atap bangunan tropis di indonesia

Upload: rizal-fahmi

Post on 08-Mar-2016

29 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

kajian mengenai perkembangan atap bangunan tropis di indonesia

TRANSCRIPT

Tugas 1 Desain dan Teknologi Arsitektur Tropis TerkiniM. Rizal Fahmi3214204005

Fungsi Atap pada Bangunan di Iklim Tropis-LembabAtap merupakan elemen yang sangat penting pada bangunan tropis khususnya untuk bangunan shelter. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Moore (1993) bahwa bangunan shelter di daerah beriklim panas-lembab memiliki ciri-ciri yaitu atapnya menjadi elemen struktur yang dominan dan memiliki sosoran untuk melindungi dari sinar matahari langsung dan hujan serta memiliki lantai yang diangkat untuk penerimaan angin yang lebih baik dan melindungi dari binatang atau serangga yang berbahaya. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa fungsi utama atap pada bangunan tropis adalah sebagai pelindung dari panas matahari dan hujan.Atap pada Bangunan Tradisional di IndonesiaBerdasarkan Hardiman (2005), arsitektur tradisional Indonesia juga dapat disebut sebagai arsitektur atap. Terminologi ini muncul akibat adanya penamaan bangunan tradisional yang berasal dari nama atap, khususnya pada arsitektur tradisional di Jawa yang nama bangunannya didasarkan pada jenis atap yang digunakan seperti Joglo, Limasan, panggang pe, bekuk lulang. Pada kenyataannya, perbedaan antara bangunan tradisional di Indonesia, seperti Batak, Jawa, Minangkabau dan Toraja, dapat dikenali dengan mudah dari bentuk atapnya. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa bentuk atap pada bangunan tradisional Indonesia juga dapat berfungsi sebagai tanda pengenal kebudayaan di daerahnya masing-masing. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Prijotomo (2000 dalam Hardiman, 2005) bahwa atap telah mengalami transformasi bentuk yang awalnya hanya sebagai elemen perteduhan menjadi bentuk identitas bagi suatu etnis.

Penyerapan dan Transmisi Radiasi Matahari pada AtapBerdasarkan Samodra (2009), kinerja atap pada bangunan tradisional Indonesia juga dipengaruhi oleh bentuk atap yang juga dapat diukur berdasarkan luas permukaan atap, orientasi dan kemiringan atap. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap besarnya penerimaan radiasi matahari pada atap. Selain itu, adanya ventilasi alami pada rongga atap dapat mengurangi akumulasi panas yang terjadi di dalam rongga atap.Berdasarkan Szokolay (2004) penyerapan radiasi matahari suatu permukaan dipengaruhi oleh: Reflectance, yaitu seberapa besar radiasi matahari yang dapat dipantulkan oleh suatu permukaan. Reflektansi ini juga dipengaruhi oleh kekasaran permukaan suatu bahan. Absorptance, yaitu seberapa besar penyerapan radiasi suatu permukaan. Hal ini dipengaruhi oleh warna permukaan atau bahan tersebut. Semakin gelap warnanya maka semakin besar nilai penyerapannya. Emittance, adalah kemampuan suatu permukaan dalam mentransmisikan radiasi.Besar dan kecepatan panas yang ditransmisikan oleh atap berdasarkan penerimaan radiasinya secara konduktif dapat dipengaruhi oleh conductivity dan thermal capacity dari material atap tersebut. Berdasarkan Evans (1980): Conductivity adalah rate dari suatu unit area dengan ketebalan tertentu dalam mengalirkan panas apabila ada perbedaan temperatur di antara kedua permukaannya. Thermal capacity adalah jumlah heat yang diperlukan untuk meningkatkan temperatur per unit volume dari suatu material.

Perkembangan Atap pada bangunan di IndonesiaArsitektur vernakular-tradisional Indonesia merupakan arsitektur yang terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kebudayaan baik kebudayaan yang datang dari luar maupun kebudayaan yang lahir di daerah setempat. Nenek moyang bangsa Indonesia diperkirakan berasal dari ras Austronesia yang datang ke wilayah Indonesia sejak tahun 1500 SM. Kemudian mulai mendapat pengaruh kebudayaan Hindu sekitar abad ke-4 Masehi dengan ditandai berdirinya kerajaan Kutai serta pengaruh kebudayaan dari agama Buddha pada abad ke-7 dengan ditandai berdirinya kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul pengaruh dari agama Islam yang mulai menyebar di wilayah Nusantara sekitar abad ke 13 Masehi.Meski demikian arsitektur vernakular Indonesia pada dasarnya berkembang dengan mengadaptasi kebudayaan dan alam setempat, sehingga dari sisi teknologi dan material, tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal yang membedakan arsitektur masing-masing daerah adalah kebudayaan setempatnya.Perkembangan arsitektur di Indonesia mulai mengalami perubahan yang signifikan pada masa Kolonial Belanda yang ditandai dengan berdirinya serikat dagang Hindia-Belanda atau VOC pada tahun 1602. Pengaruh arsitektur Barat mulai masuk ke Indonesia disertai dengan perkembangan material dan teknologi.Setelah masa kemerdekaan pada tahun 1945, perkembangan arsitektur di Indonesia didominasi oleh trend international style serta gerakan yang melawan international style tersebut yang disebut dengan arsitektur Jengki.Sekitar tahun 1970an, 1980an, dan 1990an, Indonesia mengalami perkembangan pesat di sektor industri yang memicu perkembangan di bidang arsitektur juga. Arsitektur late-modern dan arsitektur post-modern mulai masuk dan berkembang di Indonesia.

Perubahan Atap dari Masa ke MasaSeiring dengan berjalannya waktu, fungsi dan bentuk atap mengalami perubahan dari masa ke masa. Fungsi identitas etnis yang menjadi salah satu ciri arsitektur atap tradisional tidak lagi terlihat pada atap-atap bangunan pada masa yang lebih modern. Selain itu material dan konstruksi atap pun juga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu kajian mengenai atap dapat ditinjau dari segi bentuk dan fungsi, serta material, konstruksi dan teknologinya.

Atap Bangunan Tradisional-Vernakular Indonesia (1500 SM 1602 M)Atap pada bangunan tradisional-vernakular di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan terdapat berbagai macam kebudayaan yang mempengaruhinya. Meski demikian secara umum desain atap tersebut memiliki kemiripan yaitu dari segi bahan, teknologi dan prinsip-prinsip yang berkaitan dengan iklim dan alam. Oleh karena itu, atap pada rumah tradisional-vernakular di Indonesia dapat digolongkan menjadi satu masa dan yang dikaji adalah bentuk dan desain mutakhir sebelum dipengaruhi oleh masa yang lebih modern.Bentuk Atap Tradisional-VernakularUmumnya bentukan atap pada bangunan tradisional-vernakular memiliki ciri-ciri antara lain memiliki proporsi atap yang besar dibanding bidang dindingnya, minimal 1:1 atau bidang atapnya lebih besar, dengan ketinggian bidang atap antara 3 meter hingga lebih dari 5 meter. Proporsi tersebut juga dapat menunjukkan besarnya luasan atap dan sudut kemiringan atap yang cukup besar atau curam yaitu lebih dari 45o. Venitlasi pada rung atap dapat terjadi lewat celah-celah pada dinding atap atau celah pada material penutup atap.

Bidang AtapBidang Dinding

Rumah Tradisional BatakRumah Joglo dengan Atap Ijuk

Tongkonan TorajaRumah Gadang

Fungsi Atap Tradisional-VernakularContoh beberapa rumah tradisional-vernakular Indonesia dapat dilihat pada gambar-gambar di atas. Berdasarkan gambar tersebut, perbedaan antar bangunan dapat terlihat dengan jelas dari atapnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Prijotomo (2000 dalam Hardiman, 2005) bahwa atap telah mengalami transformasi bentuk yang awalnya hanya sebagai elemen perteduhan menjadi bentuk identitas bagi suatu etnis. Dengan demikian atap pada bangunan tradisional-vernakular tidak hanya berfungsi sebagai pelindung dari panas dan hujan namun juga sebagai identitas etnis setempat.Material Atap Tradisional-Vernakular

Material Atap IjukMaterial Atap Rumbia

Berdasarkan gambar-gambar di atas dapat dilihat pula bahwa material penutup atap yang digunakan merupakan material alami seperti daun nipah, alang-alang atau ijuk. Material-material ini merupakan material yang paling umum digunakan pada arsitektur tradisional-vernakular. Selain itu penutup atap berbahan kayu atau bambu juga digunakan.Material-material ini umumnya memiliki tingkat conductivity panas yang rendah dan memiliki thermal capacity yang rendah pula. Warna dari material juga dapat mempengaruhi penyerapan panas, seperti atap ijuk yang memiliki warna elap akan memiliki penyerapan (absorption) yang lebih tinggi daripada atap ilalang atau atap rumbia, namun di sisi lain warna juga mempengaruhi tingkat radiasi panas (emittance) sehingga pelepasan panas di malam hari lebih cepat.Konstruksi dan Teknologi Atap Tradisional-Vernakular

Konstruksi Atap KayuKonstruksi Atap Bambu

Konstruksi atap yang digunakan berupa konstruksi kayu atau bambu. Konstruksi kayu umumnya disusun dengan menggunakan sambungan kayu sementara konstruksi bambu disusung dengan cara diikat menggunakan tali ijuk atau bahan alami lainnya. Sambungan kayu dapat dibuat dengan melubangi kayu dan membentuk ujung lainnya sedemikian rupa agar dapat dimasukkan ke dalam lubang tersebut atau membuat pasangan yang sesuai antara ujung-ujung kayu. Sementara itu, dari segi penghantaran panas, baik material kayu atau bambu memiliki tingkat conductivity yang rendah.

Atap Bangunan Kolonial (1602 M 1945 M)Bentuk Atap Bangunan KolonialBangunan kolonial pada umumnya memiliki bentuk atap perisai atau campuran antara atap pelana dan perisai. Bangunan-bangunan awal pada masa kolonial umumnya tidak memiliki sosoran atap, namun kemudian bangunan-bangunan yang lebih baru telah beradaptasi dengan iklim di Indonesia dan memiliki sosoran atap serta beranda. Sudut atap yang digunakan cukup besar sekitar 35o - 45o. Hal ini mengakibatkan bentuk atap bangunan terlihat tinggi dan memiliki volume serta luas permukaan atap yang besar. Selain itu terdapat bentuk-bentuk atap yang khusus pada bagian menara bangunan. Selain itu, atap bangunan kolonial umumnya juga memiliki ventilasi pada ruang atap.

Office of Geo. Wehry & Co. (1918)Lawang Sewu

Material dan Teknologi Konstruksi Atap Bangunan KolonialMaterial yang paling umum digunakan adalah genting tanah liat sebagai penutup atap dan kuda-kuda baja sebagai konstruksi atapnya. Material genting memiliki conductivity yang cukup rendah dan thermal capacity yang tidak terlalu besar. Sementara itu konstruksi kuda-kuda baja memiliki tingkat conductivity yang cukup tinggi.

Genting Tanah LiatRangka Atap Bangunan Lawang Sewu

Atap Bangunan Pasca Kemerdekaan (1945 M - 1970 M)Bentuk Atap Bangunan Arsitektur JengkiSalah satu bentuk arsitektur yang menonjol pada masa pasca kemerdekaan adalah arsitektur jengki. Gerakan arsitektur jengki ini muncul akibat maraknya pengaruh gaya arsitektur International Style pada masa itu. Ciri dari arsitektur jengki ini terlihat pada olahan massa bangunan dan atapnya yang seringkali memiliki sudut yang curam, tidak simetris, atap bertumpuk atau atap dengan satu sisi saja.

Arsitektur Jengki

Material dan Teknologi Konstruksi Atap Bangunan Pasca KemerdekaanPerbedaan dengan masa sebelumnya hanya ada pada bentukan atapnya saja, sementara dari segi material dan teknologi kurang lebih sama dengan masa sebelumnya. Yaitu menggunakan penutup atap genteng dan konstruksi kuda-kuda kayu atau baja.

Atap Bangunan Kontemporer (1970 M - Sekarang)Bentuk Atap Bangunan Bergaya Modern dan MinimalisSalah satu bentuk arsitektur yang menonjol saat ini adalah arsitektur bergaya minimalis dengan bentuk yang simpel dan menggunakan sedikit atau tanpa ornamen. Bentuk atap pada masa ini semakin kecil dan sederhana dengan sudut atap 30o atau kurang dari itu. Dengan demikian luas permukaan dan volume atap yang dimiliki menjadi semakin kecil.

Rumah Modern dan Minimalis

Material dan Teknologi Konstruksi Atap Bangunan KontemporerMaterial atap yang digunakan saat ini umumnya adalah material fabrikasi atau industri yang dibuat secara massal seperti atap metal, genteng beton, maupun atap berbahan bitumen. Material-material ini umumnya memiliki conductivity yang cukup tinggi seperti metal dan beton. Meski demikian bahan metal juga memiliki tingkat reflectance dan emittance yang tinggi pula.

Atap MetalAtap Bitumen

Sementara itu konstruksi atap yang digunakan umumnya merupakan konstruksi baja ringan. Apabila penutup atapnya terbuat dari metal ataupun bitumen, umumnya ditambahkan insulasi di bawah penutup atap sehingga dapat mengurangi perambatan panas.

Insulasi alumunium foil pada rangka atapRangka atap baja ringan

Green Roof dan Solar RoofGreen roof dan solar roof merupakan pemanfaatan teknolagi baru yang diintegrasikan pada atap bangunan. Green roof ditujukan untuk mengurangi beban panas puncak yang terjadi pada siang hari dengan berfungsi sebagai, insulator dan penyimpan panas sementara. Sementara itu, solar roof merupakan integrasi antara elemen pembangkit energi terbarukan seperti panel surya (PV) atau solar thermal collector untuk memanaskan air. Penggunaan pembangkit energi terbarukan tersebut dapat menyuplai sebagian atau seluruh kebutuhan listrik dari bangunan tersebut.

Kraft Horsewalker Office, USSingapore School of Art and Design

Perbandingan ParameterTradisional-VernakularKolonialPasca KemerdekaanKontemporer

Luasan permukaanbesarbesarSedang-besarkecil

volumebesarbesarSedang-besarkecil

Sudut kemiringan45o-60o35o-45o35o-45o22,5o-30o

Fungsi perteduhanYaYaYaYa

Fungsi identitas etnisYaTidakTidakTidak

Material atapIjuk, rumbia, ilalang, bambu, kayuGenting tanah liatGenting tanah liatGenting beton, metal, bitumen

KonstruksiKayu/ bambuKuda-kuda bajaKuda-kuda kayu/bajaRangka atap baja ringan (rangka bidang/rangka ruang)

Environmental SignificanceTradisional-vernakularKolonial Pasca kemerdekaanKontemporer

Penerimaan radiasibesarbesarSedang-besarkecil

Perambatan panas melalui ruang atapLebih lama karena volume atap besarLebih lama karena volume atap besarTergantung volume atapLebih cepat karena volume atap yang kecil

Perambatan panas melalui strukturLambat karena struktur bersifat insulatorLebih cepat karena struktur bersifat konduktor, namun selubung bangunan yang tebal menjadi heat sinkTergantung jenis strukturnyaLebih cepat karena struktur bersifat konduktor, namun dapat dikurangi dengan penggunaan insulator

Ventilasi atapLewat celah dinding atau celah material atapLewat celah genteng atau lubang ventilasi atau pada celah antar atap yang ditumpukLewat celah pada genteng atau lubang ventilasi jika adaLewat celah material atap jika terdapat celah, atau lewat saluran ventilasi khusus

KesimpulanBerdasarkan kajian di atas dapat dilihat bahwa perkembangan atap dari masa ke masa terus mengalami perubahan dari segi desain dan teknologi. Penggunaan material dan teknologi baru merupakan suatu kompromi antara satu parameter dengan lainnya sehingga dapat menghasilkan kinerja atap yang tidak berbeda jauh dengan atap di masa sebelumnya.

Daftar Pustaka

Hardiman, G. (2005). The Wisdom of Traditional Architecture in Indonesia to Anticipate the Problem of the Thermal Comfort Inside the Building. The 6th International Seminar on Sustainable Environment and Architecture 19 20 September 2005. Department of Architecture, Institut Teknologi Bandung, Indonesia. pp. 32-37.Samodra, F. X. T, (2009) Analysis Of Solar Geometry Influences To The Roof Of The Roof Architecture In The Tropical Region, Architecture & Environment. Vol. 8, hal 35-48.Moore, F. 1993. Environmental Control Sistems: Heating, Cooling, Lighting. Mc Graw-Hill, Inc., New York.Evans, M. 1980. Housing, Climate and Comfort. John Wiley & Sons, New York.