asuransi kesehatan nasional - tantangan dan prospeknya

38

Click here to load reader

DESCRIPTION

Hasbullah Thabrany - Pidato pada Acara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

Asuransi Kesehatan Nasional:

Tantangan dan Prospeknya

Hasbullah Thabrany

PIDATO PADA UPACARA PENGUKUHAN SEBAGAI GURU BESAR TETAP DALAM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN

MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA, 17 APRIL 2004

Page 2: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

2

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

A. Data Pribadi Nama : Hasbullah Thabrany Jabatan : Guru Besar/Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia Anggota Tim SJSN Tempat/Tgl lahir : Jakarta, 21 Mei 1954 Agama : Islam Status Keluarga : Menikah Nama Istri : Roosyana, dr (FKUI), MPH (UC Berkeley,

USA) Anak : 1. Roestiandi Tsamanov 2. Atika Hadiati 4. Risyad Ridho Alamat : Pondok Dian Kav 4B, Batu Ampar, Jakarta

Timur, 13520 B. Riwayat Pendidikan Tahun 1966 : Lulus SD Cawang Barat, Jakarta Timur Tahun 1969 : Lulus SMP IV Muhammadiyah, Cawang, Jakarta

Timur Tahun 1972 : Lulus SMA Negeri XIV, Cililitan, Jakarta Timur Tahun 1980 : Lulus Dokter, FKUI, Jakarta Pusat Tahun 1990 : Lulus Master, Public Health, University of

California, Berkeley, USA Tahun 1995 : Lulus Doctor of Public Health, UC Berkeley,

USA C. Organisasi Profesi Tahun 1982-1988 : Pimpinan Usaha Yayasan Penerbit, Pengurus

Besar Ikatan Dokter Indonesia Tahun 1977-2000 : Sekretaris Jendral, Pengurus Besar Ikatan Dokter

Indonesia Tahun 1998 – sekarang : Ketua Umum PAMJAKI (Perhimpunan Ahli

Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia)

Tahun 2001- sekarang : Ketua Yayasan Penerbit, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Tahun 1996 – sekarang : Anggota, Internatioanal Health Economic Association

Page 3: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

3

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

..Saling tolong-menolonglah kamu dalam kabaikan dan takwa dan janganlah kamu saling tolong menolong dalam perbuatan dosa (menyusahkan orang lain) dan dalam

permusuhan (QS Al Maidah 5)

Page 4: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

4

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Bismillahirahmanirrahim Bapak Menteri Koordinator Kesra, Jusuf Kalla, selaku koordinator pihak Pemerintah dalam penyusunan UU SJSN dan para pejabat lainnya Bapak dan Ibu, Pimpinan dan anggota Komisi VII DPR RI, Ketua dan anggota Pansus RUU SJSN DPR RI Ketua dan anggota Tim SJSN Bapak Rektor, Wakil Rektor, Para Dekan, para pejabat, Guru Besar, dan Keluarga Besar Universitas Indonesia Para pimpinan Badan Penyelenggara program jaminan sosial Para kolega organisasi profesi di bidang kesehatan Dan Para hadirin sekalian yang saya hormati Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Sebuah Ilustrasi

Perkenankanlah saya memulai pidato saya dengan menyampaikan ilustrasi yang menggambarkan beberapa kondisi sistem pelayanan kesehatan kita. Masih sangat segar di benak kita semua betapa kejadian luar biasa demam berdarah, yang telah menyerang 51.996 korban dan menelan 603 nyawa, sepanjang Januari-Maret 20041. Kejadian tersebut telah menunjukkan kepada kita semua bahwa setiap saat kita dihadapi pada risiko sakit. Kejadian tersebut merupakan sebuah bencana alam yang lebih dahsyat dari gempa atau banjir yang menimpa banyak bagian negeri ini. Kerugian ekonomis dari DBD tersebut dapat mencapai ratusan milyar rupiah. Kejadian tersebut juga memperkuat pemahaman kita bahwa upaya kolektif, pemerintah, masyarakat, dan perorangan harus berjalan bersama agar tantangan alam bisa kita atasi. Kejadian tersebut telah memperkuat pehamaman kita bahwa dalam mengatasi salah satu risiko sakit, mekanisme pasar tidak berfungsi. Pemerintah dan pihak-pihak yang mempunyai kemampuan ekonomi lebih harus turun tangan.

Kita mendengar, membaca, menyaksikan berita-berita di radio, di surat kabar , di majalah, di televisi dan kejadian di lingkungan kita betapa banyak orang-orang yang bernasib kurang baik yang tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Tanpa upaya bersama, kita yang secara ekonomis mampu sekalipun, juga akan terancam terkena musibah penyakit yang sama. Para ekonom menyebutnya eksternalitas yang mengharuskan dan membenarkan upaya subsidi dan tanggung jawab kolektif.

Liputan Enam SCTV memberitakan bahwa Pundi Amal SCTV sampai tanggal 30 Maret 2004 telah memberikan bantuan kepada 1.849 pasien DBD di seluruh Indonesia2. Harian Kompas melaporkan seorang anak yang sakit lebih dari seminggu akhirnya bisa dirawat di RS setelah mendapat Dana Kemanusiaan

Page 5: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

5

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Kompas. Orang tuanya, yang bekerja di pabrik kreasi baja dengan gaji Rp 550.000 per bulan tanpa jaminan kesehatan, tidak yakin bisa memperoleh perawatan gratis, sementara keluarganya tidak tergolong miskin sehingga ia tidak memeperoleh kartu JPK Gakin.3 Dompet Dhuafa Harian Republika menyelenggarakan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma di berbagai daerah untuk menolong orang-orang yang tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan yang semakin mahal. Di balik berita-berita menggembirakan atas adanya inisitatif lembaga atau upaya-upaya yang memberikan donasi bagi penduduk yang terkena suatu penyakit, yang sesungguhnya juga merupakan bencana alam rutin, kita harus bertanya seberapa handal dan memadaikah upaya-upaya sporadik dan temporer tersebut? Seberapa mampu upaya seperti itu menolong kita—yang tidak miskin tetapi sewaktu-waktu bisa jadi miskin karena suatu penyakit. Seorang mahasiswa FKMUI harus membayar Rp 28 juta untuk pengobatan DBD di sebuah RS di Jakarta. Tidaklah mengherankan jika WHO telah berupaya keras pemerintah negara maju membantu negara berkembang dan mendorong negara berkembang untuk meningkatkan belanja kesehatan bagi penduduk untuk mencegah proses pemiskinan (impoverish) akibat suatu penyakit.4

Tidak jarang Pundi Amal, DK Kompas, atau LKC DD harus membayai uang muka bagi pasien yang tidak dirawat karena ketiadaan uang muka. Jutaan penduduk masih tidak berani ke rumah sakit untuk mendapat perawatan karena mereka tahu bahwa mereka tidak punya uang untuk membayar biayanya. Jangan heran kalau angka kematian ibu dan angka kematian bayi kita masih tinggi, karena jutaa ibu dan anak tidak mendapat pelayanan medis, karena hambatan finansial. Mereka sesungguhnya orang miskin secara medis (medically poor), meskipun secara ekonomis mereka tidak tergolong miskin. Siapakah sesungguhnya yang bertanggung jawab membiayai orang yang tidak mampu tersebut. Falsafah dasar kemiskinan adalah ketidak-mampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Apabila kita memandang dari sisi falsafah tersebut, maka sesungguhnya pemerintah juga bertanggung-jawab atas penduduk yang miskin secara medis tersebut. Seandainya pemerintah telah memenuhi tanggung-jawabnya dengan telah mengembangkan sebuah sistem asuransi kesehatan yang menjamin seluruh penduduk memperoleh pelayanan kesehatan, maka kepanikan dan kepedihan akibat kasus DBD tidak akan separah itu.

Hampir 60 tahun lamanya, kita mendengungkan sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, tetapi sebagian besar penduduk Indonesia belum merasakan adanya pelanggaran kedua sila tersebut apabila orang sakit tidak dirawat karena tidak mampu membayar biaya perawatan. Penderitaan orang semacam itu sudah dianggap suatu hal yang rutin dan diterima secara budaya. Kini semakin banyak dokter dan rumah sakit yang semakin kurang mementingkan kesehatan pasiennya, tetapi lebih memelihara tingkat penghasilannya. Pasien tidak mampu berbuat sesuatu karena adanya informasi asimetri yang menempatkan pasien pada posisi lemah (consumer ignorance).5,6,7 Kecendrungan ini akan menambah beban berat bagi masayarakat miskin dan yang tidak miskin sekalipun. Sampat saat ini belum ada kekuatan penyeimbang atas informasi asimetri, kesenjangan informasi yang amat jauh, antara dokter/provider dengan pasien yang hampir tak punya pengetahuan dan kemampuan dalam

Page 6: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

6

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

mengambil keputusan konsumsi pelayanan kesehatan. Sebuah sistem asuransi kesehatan nasional merupakan alat yang ampuh dalam mengatasi masalah informasi asimetri tersebut dalam menolong konsumen (peserta/pasien) yang ignorance.

Pada saat ini sekitar 180 juta penduduk terancam menjadi miskin jika ia terserang penyakit berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Kita tidak mungkin mengandalkan mekanisme pasar dalam mencegah dan menolog proses pemiskinan yang terus terjadi. Data-data survei rumah tangga menunjukkan bahwa lebih dari 80% rumah tangga Indonesia menghabiskan 60% atau lebih dari pendapatannya sebulan untuk belanja makanan. Jika sebuah rumah tangga harus membayar lebih dari 50% pendapatannya untuk berobat, maka rumah tangga tersebut terancam mengorbankan konsumsi makanannya yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi penyakit dan komplikasi sosial ekonomi dari sebuah tatanan kehidupan sebuah keluarga. Pemberian asuransi/jaminan kesehatan merupakan suatu upaya preventif terhadap bertambah beratnya suatu penyakit, kematian, dan bahkan pencegahan terhadap berbagai masalah social dan ekonomi. Inilah Paradigma baru yang harus kita fahami.

Mengapa Asuransi Kesehatan Nasional

Saudara-saudara para guru besar Universitas Indonesia dan para undangan lainnya yang saya hormati

Dalam kesempatan ini, saya sengaja menggunakan istilah asuransi untuk menempatkannya pada posisi yang netral. Istilah asuransi di Indonesia sesungguhnya belum mendapat tempat yang cukup baik karena pengalaman dan ketidak-tahuan penduduk. Praktek-praktek bisnis asuransi yang masih sering menimbulkan kekecewaan pemegang polis (atau yang di Indonesia lebih sering dikenal dengan istilah peserta), baik karena ketidak-fahaman peserta, polis yang kurang melindungi peserta, polis yang tercetak dengan hurup kecil dan sulit dibaca, maupun karena tindakan moral hazard* dari pengelola bisnis asuransi, telah menimbulkan image yang kurang baik dari kata-kata asuransi. Ketidak-fahaman tentang asuransi di kalangan masyarakat luas juga telah menimbulkan kesan negatif dari upaya-upaya penyediaan asuransi secara nasional, baik dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang perlindungan hari tua maupun kematian.

Praktek penyelenggaraan asuransi sosial juga telah terdistorsi, dengan menyamakannya badan penyelenggara sebagai unit bisnis yang harus mendapatkan keuntungan finansial, sehingga menambah buruk kesan asuransi yang sesungguhnya sangat netral dan merupakan alat ampuh dalam menjalin kegotong-royongan penduduk dimanapun di dunia. Sejarah masih mencatat sampai saat ini bahwa lima badan penyelenggara asuransi sosial, yaitu PT Askes Indonesia, PT Jamsostek, PT * Sesungguhnya istilah moral hazard umum digunakan untuk tertanggung (insured), namun demikian perilaku untuk memanfaatkan informasi asimetri guna menguntungkan pihaknya sesungguhnya dapat juga dilakukan oleh pengelola asuransi.

Page 7: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

7

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Taspen, PT ASABRI, dan PT Jasa Raharja adalah BUMN Persero yang bertujuan mencari laba.8 Bentuk badan hukum penyelenggara asuransi sosial yang merupakan PT Persero, yang secara legal bertujuan mencari keuntungan dan inheren tidak mendapatkan subsidi pemerintah, sama sekali tidak sesuai dengan prinsip universal, visi dan misi suatu program asuransi sosial. Saya sering menyebut kebijakan ini sebagai suatu ‘keajaiban dunia ke delapan’, karena sepanjang pengetahuan saya, Indonesia adalah satu-satunya negara yang menyelenggarakan program asuransi sosial dimana badan penyelenggaranya menyetorkan laba bagi keuangan negara. Syukurlah, Rancangan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah meluruskan penerapan konsep asuransi sosial dalam SJSN.

Kata asuransi pernah ‘diharamkan’ karena dinilai begitu jelek. Penggunaan kata asuransi pernah dihindari untuk ‘membenarkan’ bahwa suatu upaya tidak terkena aturan UU asuransi. Sebagai gantinya digunakan istilah ‘jaminan’ yang diperdebatkan sebagai ‘bukan asuransi’. Asuransi sebagai suatu instrumen sosial mempunyai mekanisme transfer risiko, sebagai suatu instrumen yang sangat handal dalam mengatasi berbagai risiko sosial dan ekonomi penduduk dimanapun di dunia. Segala sesuatu yang mengandung unsur transfer risiko adalah asuransi. Tidak ada yang salah sama sekali dengan asuransi. Dengan demikian, asuransi harus mendapat tempat yang baik. Dalam bidang kesehatan, pelurusan istilah asuransi sudah dilakukan berbagai pihak, antara lain oleh Professor Azrul Azwar, Sulastomo, dan Thabrany.9,10,11,12 Kini semakin banyak orang memahami dan bahkan semakin banyak dokter dan pengambil keputusan yang mendambakan meluasnya cakupan asuransi kesehatan. Sesungguhnya dunia international telah lama menggunakan istilah asuransi kesehatan, baik dalam literatur maupun dalam penyebutan program. Buku-buku teks yang mengupas manajemen risiko dan asuransi selalu mengupas jaminan sosial dan asuransi sosial dalam sektor kesehatan. Saya sengaja membuat judul Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) karena memang istilah AKN (National Health Insurance) mudah difahami dan mudah dikomunikasikan, khususnya di dunia internasional. Istilah AKN telah lama digunakan di Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Filipina, Korea Selatan, dan Muangtai. Asuransi Kesehatan Nasional sebagai suatu mekanisme pengumpulan dana (pooling risks), kegotong-royongan (sharing risks), maupun pembayar (purchasing) pelayanan keshatan bagi penduduk merupakan pilihan yang paling handal dalam upaya memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (2).

Asuransi Kesehatan Nasional di Berbagai Negara Para hadirin yang saya hormati Apa sesungguhnya Asuransi Kesehatan Nasional (AKN)? Istilah AKN

(National Health Insurance) kini semakin banyak digunakan di dunia internasional. Inggris merupakan negara pertama yang memperkenal AKN di tahun 191113. Meskipun sistem kesehatan di Inggris kini lebih dikenal dengan istilah National

Page 8: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

8

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Health Service (NHS), sesungguhnya sistem tersebut juga merupakan AKN yang dibiayai dari kontribusi wajib oleh tenaga kerja (termasuk di sektor informal) dan pemberi kerja. Namun demikian, karena penyaluran dananya melalui belanja negara maka sistem di Inggris tersebut lebih dikenal dengan NHS (tax-funded) ketimbang AKN. Negara-negara Eropa lain, pada umumnya juga memiliki cakupan universal dengan sistem NHS yang mengikuti pola Inggris.14 Baik NHS maupun AKN mempunyai tujuan yang sama yaitu menjamin bahwa seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis penduduk tersebut. Yang berbeda adalah bahwa pendanaannya AKN lebih bertumpu pada kontribusi khusus yang bersifat wajib (yang ekivalen dengan pajak) dan dikelola secara terpisah dari anggaran belanja negara, baik dikelola langsung oleh pemerintah maupun oleh suatu badan kuasi pemerintah yang otonom.15,16,17,18, 19

Meskipun AKN mempunyai kesamaan prinsip dan tujuan, penyelenggaraan AKN di dunia sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN yang kini disebut Medicare di tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses universal, portabel, paket jaminan yang sama bagi semua penduduk dan dilaksanakan otonom di tiap propinsi. Pendanaan AKN merupakan kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari anggaran pemerintah pusat. Pada tahun itu, hanya rawat inap yang dijamin oleh AKN. Pada tahun 1972, paket jaminan diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh penduduk Kanada menikmati pelayanan kesehatan komprehensif tanpa harus memikirkan berapa besar biaya yang mereka harus keluarkan dari kantong sendiri, jika mereka sakit berat sekalipun. Beberapa jenis pelayanan rumah sakit dan obat yang bukan esensial yang tidak dijamin AKN merupakan pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 20,21,22

Negara tetangga Kanada telah lama bergelut untuk mewujudkan sebuah AKN. Pasa saat ini, AS mempunyai asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk diatas 65 tahun saja yand disebut Medicare part A. Sekitar 50 juta penduduk AS yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25% penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini merupakan suatu bukti kegagalan mekanisme pasar dalam bidang kesehatan, karena AS memang didominisasi oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan belanja kesehatan per kapita lebih dari US$ 5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya negara maju yang tidak mampu memiliki asuransi kesehatan nasional.23

Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan RUU (Bill) AKN yang semuanya kandas karena begitu banyak interes bisnis dan politik sehingga kepentingan publik tidak terlindungi dengan baik.24 Di kala itu, 23% penduduk AS tidak memiliki asuransi kesehatan yang didominasi oleh asuransi kesehatan komersial. Pada saat ini, 18% penduduk AS yang tidak memiliki askes. Dalam hampir 30 tahun, AS tidak mampu meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi, yang dikala itu tinggal 23% saja. Jelas sekali berbagai reformasi yang dilakukan Amerika dengan UU Portabilitas Asuransi dan berbagai UU lain yang bertujuan memperluas cakupan asuransi, tanpa AKN, gagal meningkatkan cakupan kepada seluruh penduduk. Inilah salah satu bukti market failure dalam mencapai cakupan universal asuransi kesehatan. Sesungguhnya di AS telah diusulkan puluhan model pendanaan dan penyelenggaraan yang dapat digolongkan menjadi tiga model

Page 9: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

9

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

yaitu (1) kombinasi kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran pemerintah, (2) perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh penduduk, dan (3) bantuan premi dari pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak mampu.25 Upaya terakhir untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden Bill Clinton di tahun 1993 yang sekali lagi gagal karena kekuatan perusahaan asuransi, yang memiliki dana lebih besar dan takut kehilangan pasar, lebih mampu mempengaruhi anggota Kongres untuk menolak usulan Clinton. Kegagalan AS dalam mengembangkan AKN, yang lebih mementingkan kepentingan pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang harus sejak dini kita hindari.

Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan asuransi kesehatan sosial di jaman Otto van Bismark di tahun 1883. Pada masa lalu, jumlah badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial (sickness funds), yang seluruhnya bersifat nirlaba, berjumlah ribuan. Namun demikian, karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak sickness funds yang merjer sehingga kini jumlahnya sudah menysut menjadi 420 saja. Semua penduduk dengan penghasilan di bawah EUR 3.375 per bulan wajib mambayar kontribusi yang kini mencapai 14% dari upah sebulan. Penduduk yang berpenghasilan diatas itu, boleh tidak menjadi peserta sickness funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut (opt out) dengan membeli asuransi kesehatan komersial, mereka tidak diperkenankan ikut. Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman yang membeli asuransi komersial.26,27,28,29 Jerman memang tidak memiliki satu lembaga asuransi kesehatan yang secara khusus dirancang untuk menjamin seluruh penduduk. Namun demikian, Jerman telah menjamin seluruh penduduknya dengan biaya yang separuh dari yang dikeluarkan Amerika.

Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi disana-sini. Belanda sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan pooling risiko biaya medis yang besar (exceptional medical expenses) yang dikelola oleh satu badan bersekala nasional AWBZ. Sementara pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur oleh UU Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan tinggi dibolehkan untuk membeli asuransi kesehatan komersial.30,31,32 Dengan model yang hampir sama dengan model Jerman, sistem asuransi kesehatan di Belanda memiliki pendanaan yang bersekala Nasional.

Australia mengeluarkan UU Asuransi Nasionalnya di tahun 1973 dengan memberikan jaminan pelayanan komprehensif kepada seluruh penduduk Australia, baik yang berada di Australia maupun yang berada di beberapa negara tetangga seperti di Selandia Baru dan warga negara beberana negara Eropa yang tinggal di Australia. Asuransi, yang juga disebut Medicare, ini dikelola oleh Health Insurance Commisioner di tingkat negara Federal. Seluruh penduduk Australia tidak pernah harus memikirkan biaya perawatan manakala mereka sakit dan karenanya penyakit tidak akan membuat mereka jatuh miskin. Bagitu baiknya pengelolaan asuransi ini sehingga untuk merangsang penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan swasta diberikan perangsang pengurangan kontribusi asuransi wajib.33,34,35

Page 10: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

10

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Sebagai sekutu Jerman dalam Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola sistem asuransi kesehatan yang mengikuti pola Jerman dengan berbagai modifikasi. Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko Hoken) digunakan untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-employed), pensiunan swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya. Penyelenggara AKN diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di sektor formal diatur dengan UU asuransi sosial kesehatan secara terpisah. Sesungguhnya Jepang telah memulai mengembangkan asuransi sosial kesehatan sejak tahun 1922. Akan tetapi, mewajibkan asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal saja tidak bisa menjamin penduduk di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki usia pensiun mendapatkan jaminan kesehatan. Untuk memperluas jaminan kesehatan kepada seluruh penduduk (universal coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan asuransi kesehatan dengan mengeluarkan UU AKN. Dalam sistem asuransi kesehatan di Jepang, peserta dan anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang bervariasi antara 20-30% dari biaya kesehatan yang digunakannya. Bagian urun biaya inilah yang menjadi pangsa pasar asuransi kesehatan komersial. 36,37,38

Negara Asia yang pertama kali secara eksplisit menggunakan istilah AKN dengan melakukan pooling nasional adalah Taiwan. Dengan komitmen Presiden yang sangat kuat UU AKN dikeluarkan di tahun 1995 yang dikelola tunggal oleh Biro NHI yang merupakan suatu Biro di dalam Depkes Taiwan. Sistem AKN di Taiwan dimulai dengan menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, petani dan pekerja di sektor informal, yang sebelumnya dikelola secara sendiri-sendiri. Penggabungan tersebut telah meningkatkan efisiensi dan kualitas pelayanan yang telah menjamin akses yang sama kepada seluruh penduduk, dengan jaminan komprehensif yang sama, dan tingkat kepuasan peserta terus meningkat diatas 70%. Sistem AKN di Taiwan merupakan salah satu sistem yang menanggung pengobatan tradisional Cina dalam paket jaminan yang diberikan kepada pesertanya.39,40,41,42,43

Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1976 dengan mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih, kemudian diperluas sampai pemberi kerja dan satu orang karyawan, untuk menyediakan asuransi kesehatan. Cakupan askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang luar biasa, karena dalam waktu 12 tahun Korea telah mampu mencapai cakupan universal. Tetapi penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300 badan asuransi kesehatan yang bersifat nirlaba. Sejak tahun 2000, penyelenggaraan dikelola oleh satu badan national dengan iuran maksimum 8% dari upah yang ditanggung bersama antara pekerja, pemberi kerja dan subsidi pemerintah.44,45,46

Yang cukup mengejutkan adalah jawaban para pengusaha Korea yang terheran-heran ketika ditanya oleh delegasi Indonesia tentang apa keberatan mereka terhadap penyelenggaraan AKN di Korea. Keheranan mereka timbul karena mereka merasa sangat terbantu dengan AKN sehingga mereka dapat berkonsentrasi memikirkan bisnis mereka, tanpa harus memikirkan kesehatan karyawannya.

Page 11: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

11

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Penyelenggaraan AKN di Muangtai telah mulai diusulkan pada tahun 1996 dan kini sedang dalam proses penggabungan tiga badan penyelenggara yang sesungguhnya sudah mencakup seluruh penduduk (universal coverage). Usulan penyelenggaraan AKN di Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional dengan desentralisasi pembayaran kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).47 Asuransi kesehatan di Muantai terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai negeri yang paket jaminannya amat liberal dan menjamin tidak saja anggota keluarga pegawai, akan tetapi mencakup orang tua dan mertua pegawai. Seluruh pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan komprehensif melalui Badan Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnaker. Sedangkan pekerja informal memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah lembaga independen yang mengelola sistem 30 Baht. Dengan sistem 30 Baht, seluruh penduduk di luar pegawai swasta dan pegawai negeri berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif dengan hanya membayar 30 Baht (Rp 6.000) sekali berobat atau dirawat, termasuk perawatan intensif dan pembedahan.48,49,50,51 Dengan demikian, seluruh penduduk Muangtai kini juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin dan dapat lebih produktif membangun negaranya.

Filipina merupakan negara berkembang setingkat Indonesia, yang memiliki penduduk tersebar di lebih dari 7.000 pulau, yang menancapkan tekad AKN di akhir Milenium kedua. Di tahun 1995, Filipina berhasil mengeluarkan UU AKN yang menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri dan pegawai swasta yang sebelumnya dikelola sendiri-sendiri ke dalam suatu badan AKN. Sebagai negara berkembang yang kini berpendapatan per kapita sedikit diatas US$ 1.000, Filipina merupakan negara berkembang yang berhasil dalam mengembangkan AKN menuju cakupan seluruh penduduk. Memang saat ini cakupan penduduknya baru mencapai sekitar 60% saja, namun demikian seluruh pekerja di sektor formal telah menjadi peserta. Meskipun paket jaminannya belum komprehensif, paling tidak Filipina sudah mampu meniadakan ancaman pemiskinan karena sakit bagi sebagian besar penduduknya.52,53,54

Asuransi Kesehatan Sosial Sebagai Tulang Punggung AKN

Saudara-saudara yang saya hormati Dari beberapa sitasi yang saya sampaikan diatas, jelaslah bahwa AKN

merupakan suatu alat menjamin cakupan universal yang semakin banyak diterapkan oleh negara maju maupun berkembang. Sistem AKN menjadi suatu alternatif sistem NHS yang semakin menunjukkan kehandalannya. Dalam praktek di beberapa negara, AKN dapat diundangkan dalam satu UU tersendiri atau dapat digabungkan dengan UU JS seperti Medicare di AS. Dalam prakteknya juga terdapat variasi dimana AKN dapat dikelola seluruhnya secara sentral atau mengakomodir pengelolaan yang terdesentralisasi. Dimana kemampuan manajemen suatu negara memadai, pengelolaan terpusat memberikan efisiensi yang tinggi sehingga dana

Page 12: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

12

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

yang semakin terbatas dapat digunakan secara lebih optimal. Sistem AKN juga dapat dikembangkan oleh negara maju maupun berkembang.

Pada waktu Departemen Kesehatan dipimpin oleh Professor Siwabessy, di tahun 1968 Menkes pada waktu itu sudah mencita-citakan terwujudnya sebuah Sistem AKN.55,56 Kini tampaknya harapan Siwabessy mulai tampak di ufuk era Reformasi Indonesia. Pemerintah telah mengajukan RUU SJSN pada tanggal 26 Januari 2004 yang lalu. Sesungguhnya klausul-klausul dalam RUU SJSN pasal 10 sampai pasal 20 tentang Jaminan Kesehatan memenuhi kriteria sebagai suatu usulan National Health Insurance.57 Meskipun dalam RUU SJSN tidak kita dapati istilah Asuransi/Jaminan Kesehatan Nasional, rancangan yang tertulis dalam pasal-pasal merupakan upaya mewujudkan sebuah sistem AKN sebagai bagian dari SJSN. Dalam RUU itu jelas disebutkan bahwa Jaminan Kesehatan diselenggarakan berdasarkan mekanisme asuransi sosial dan berlaku secara Nasional, oleh karenanya RUU tersebut sesungguhnya merupakan landasan terselenggaranya sebuah sistem AKN. Dengan demikian, kini kita akan memasuki era baru dimana pemerintah telah memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelenggarakan AKN. Seperti halnya di negara-negara lain yang telah lebih dahulu menyelenggarakan AKN, komitmen pemerintah ini sangat dipengaruhi oleh komitmen Presidennya. Presiden Megawati telah mempunyai komitmen untuk memulai penyelenggaran AKN sejak ia menjadi Wakil Presiden. “Kalau orang lain bisa, masa kita tidak bisa!”. Itulah kata-kata singkat yang disampaikan Ibu Presiden pada waktu anggota Tim SJSN melaporkan perkembangan dan hasil kerja Tim kepada beliau tanggal 20 Nopember 2003 di Istana Negara.

Mekanisme asuransi sosial sebagai suatu mekanisme pooling dan sharing health risks merupakan barang baru di Indonesia namun sesungguhnya sudah lama dikenal di dunia. Asuransi sosial sebagai tulang punggung dari sebuah sistem jaminan sosial58,59,60 masih belum difahami oleh banyak pihak. Sampai saat inipun, belum banyak pihak—baik di kalangan intelektual maupun orang awam, yang memahami konsep asuransi sosial. Masih banyak pihak yang memahami asuransi sosial sebagai suatu asuransi untuk orang miskin. Kata-kata ‘sosial’ di Indonesia telah melekat dengan ‘orang miskin’ yang tidak mendapat prioritas atau dengan penyelenggaraan suatu kegiatan yang ‘tidak didasarkan pada perhitungan ekonomis’. Sehingga sering kali orang berasumsi bahwa asuransi sosial adalah asuransi yang penyelenggaraanya tidak profesional, tidak baik, dan segala yang negatif. Rancang bangun asuransi sosial di Indonesia selama ini telah menyuburkan kesalah-fahaman tersebut. Disnilah perlunya pembaruan sistem asuransi/jaminan sosial di Indonesia. Sesungguhnya definisi asuransi sosial memang bervariasi, namun demikian, semua defisini tersebut mempunyai empat elemen yang sama, yaitu:61,62,63,64,65

1. Kepesertaan asuransi sosial bersifat wajib. Kewajiban menjadi peserta merupakan suatu syarat mutlak, agar setiap orang mendapatkan perlindungan, terjamin atau terasuransikan. Kelompok penduduk yang diwajibkan dapat mencakup suatu kelompok tertentu, misalnya pegawai negeri, pegawai swasta dari perusahaan dengan jumlah karyawan tertentu, atau seluruh penduduk. Kelompok penduduk yang diwajibkan, hanyalah sebuah tahapan untuk menuju

Page 13: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

13

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

cakupan seluruh penduduk. Masih banyak yang sulit memahami bahwa pentahapan mewajibkan kelompok-kelompok tertentu sebagai tidak adil atau tidak tepat. Sesungguhnya pentahapan kewajiban adalah pendekatan manajemen untuk mencapai tujuan, yang merupakan suatu keharusan—sebuah langkah awal sebelum ribuan langkah berikutnya diambil, bukan sebuah tujuan akhir. Masih banyak pihak yang memahami kepesertaan wajib sebagai sesuatu ‘pemaksaan yang tidak perlu’ sehingga masih banyak pihak yang belum mendukung konsep SJSN kerena kesalah-fahaman ini. Sesungguhnya, wajib berkontribusi pada AKN atau SJSN adalah dalam rangka memenuhi hak-hak kesehatan bagi penduduk, sebagaimana wajib membayar pajak yang merupakan suatu keharusan di negara manapun di dunia.

2. Paket jaminan, manfaat (benefit), yang dijamin adalah setara dengan kebutuhan setiap peserta. Sesungguhnya asuransi sosial bertujuan memenuhi kebutuhan dasar sehingga manfaat asuransi seringkali disebut ‘perlindungan dasar’. Pemenuhan kebutuhan dasar merupakan syarat mutlak agar setiap penduduk dapat berproduksi. Namun demikian, pemahaman tentang ‘perlindungan dasar kesehatan’ seringkali disamakan dengan perlindungan dasar kebutuhan dasar lain seperti pangan, sandang, dan papan. Sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan sangat berbeda dan tidak bisa disamakan dengan kebutuhan dasar lain, seperti yang akan saya bahas lebih lanjut. Pemahaman yang tidak tepat tersebut, telah menyebabkan rancangan manfaat (benefit design) jaminan sosial kita yang kini sudah berjalan, baik Askes pegawai negeri maupun Jamsostek bagi pegawai swasta menjadi kurang optimal dalam mengatasi risiko finansial yang terkait dengan risiko sakit. Alhamdulillah, konsep AKN dalam RUU SJSN merupakan suatu perbaikan dari rancangan manfaat yang kurang optimal tersebut.

3. Kontribusi (iuran, premi) merupakan proporsi dari pendapatan. Kontribusi yang proporsional, biasanya persentase tertentu dari upah, gaji, atau penghasilan merupakan suatu cara pendanaan yang menjamin bahwa setiap orang yang memiliki penghasilan mampu mengiur. Jika diperhatikan dengan kewajiban membayar pajak yang juga proporsional, maka kontribusi ini memang sangat mirip. Oleh karenanya di beberapa negara sering disebut sosial security atau sosial insurance tax. Sesungguhnya kontribusi asuransi sosial merupakan pajak yang penggunaannya khusus untuk mendanai manfaat (benefit) asuransi wajib tersebut, sehingga kadang disebut juga earmarked tax. Namun demikian ada sedikit perbedaan kontribusi wajib asuransi sosial yaitu umumnya sedikit regresif jika dibandingkan besaran kontribusi pajak yang umumnya progresif.

4. Pengelolaannya bersifat nirlaba (not for profit). Jika kita perhatikan penyelenggaraan asuransi sosial di seluruh dunia, maka terdapat

Page 14: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

14

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

kesamaan pola penyelenggaraan yaitu dikelola oleh suatu badan pemerintah atau oleh suatu badan kuasi pemerintah yang bersifat nirlaba. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang saat ini masih mengelola asuransi sosial oleh BUMN Persero yang bersifat for profit. Untunglah, RUU SJSN telah menempatkan pengelolaan asuransi sosial di Indonesia yang konsisten dengan prinsip-prinsip universal.

Perlindungan Dasar Kesehatan yang juga belum difahami Saudara-saudara yang saya hormati Penetapan manfaat (benefit) AKN yang menjamin kebutuhan dasar kesehatan

dapat menjadi perdebatan panjang yang merugikan publik. Saya mengamati bahwa pemahaman kebutuhan dasar kesehatan di Indonesia masih beragam. Banyak pihak memahami kebutuhan dasar kesehatan sebagai pelayanan kesehatan yang ‘relatif murah’. Hal ini terjadi karena pada umumnya banyak pihak menyamakan kebutuhan kesehatan dengan kebutuhan lain. Bahkan kebijakan kesehatan di Indonesia belum secara khusus menempatkan kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang harus dapat diperoleh secara memadai. Karena sifat alamiah kebutuhan kesehatan yang sangat berbeda dengan kebutuhan dasar lain, maka sesungguhnya kebutuhan dasar kesehatan harus difahami dan diperlakukan secara berbeda. Pemahaman perbedaan kebutuhan dasar kesehatan ini sangat penting dalam merancang jaminan yang bersifat dasar dalam bidang kesehatan. Sebab, jaminan yang sifatnya diatas paket dasar menjadi bagian asuransi kesehatan swasta atau dilepas pada mekanisme pasar. Tanpa adanya keseragaman pemahaman tentang kebutuhan dasar kesehatan, maka pengaturan AKN akan lebih menguntungkan sebagian kecil orang yang berbisnis di bidang kesehatan, bukan memihak kepada produktifitas penduduk secara keseluruhan. Pada akhirnya, negaralah yang dirugikan.

Perbedaan fundamental adalah bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan mempunyai sifat ketidak pastian (uncertainty) sehingga kebutuhan biaya kesehatan pada tingkat rumah tangga tidak dapat dihitung.66,67,68 Suatu keluarga muda yang relatif sehat mungkin tidak pernah mempunyai kebutuhan berobat dalam satu tahun dan karenanya biaya kesehatan rumah tangga itu menjadi nol. Sebaliknya suatu keluarga pensiunan dapat menghabiskan biaya lebih dari Rp 2 juta sebulan untuk standar selera kualitas pelayanan dasar sekalipun. Sebuah keluarga yang salah seorang anggota keluarganya harus masuk perawatan intensif membutuhkan biaya puluhan juta rupiah. Apakah biaya kesehatan yang jutaan tersebut untuk memenuhi bukan kebutuhan dasar atau diatas dasar?

Apa sesungguhnya kebutuhan dasar? Secara filosofis kebutuhan dasar dapat kita fahami sebagai kebutuhan seseorang yang hidup yang apabila tidak dipenuhi ia tidak akan mampu berproduksi. Atas dasar asumsi inilah, batas garis kemiskinan ditetapkan. Akan tetapi, batas garis kemiskinan (poverty line) dapat bervariasi besar di antara berbagai negara karena tingkat penghasilan dan pemahaman tentang

Page 15: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

15

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

kebutuhan dasar yang terus berkembang. Di Indonesia, kebutuhan dasar pangan seseorang dipatok 2.100 kalori sehari. Kebutuhan kalori tersebut, dengan minimum 44 gram protein, dapat dipenuhi dengan biaya Rp 8.500 per hari apabila ia membeli bahan mentah dan memasak sendiri. Jelas makan di restoran yang berharga Rp 15.000 per kali makan saja, bukanlah kebutuhan dasar. Kebutuhan dasar sandang dan papan yang memungkinkan seseorang berproduksi, bersekolah atau bekerja, mudah dihitung. Orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan tersebut kita sebut orang miskin. Apakah mereka yang tidak tergolong miskin selalu mampu memenuhi kebutuhan perawatan atau pembedahan? Pasti tidak! Jika seseorang yang membutuhkan perawatan intensif tidak dirawat, apakah ia bisa berproduksi? Pasti tidak! Disinilah letak sulitnya menetapkan kebutuhan dasar kesehatan. Apakah perawatan di ICU, pengobatan kanker, atau hemodialisa (cuci darah) bukankah kebutuhan kebutuhan dasar? Seseorang bahkan dapat meninggal, bukan hanya tidak berproduksi, jika kebutuhan akan pengobatan atau perawatan tersebut tidak dipenuhi. Oleh karenanya lebih mudah menetapkan besaran jaminan pensiun dasar daripada menetapkan jaminan kesehatan dasar, apalagi kemudian ada interest bagi pihak swasta untuk menjual asuransi diatas kebutuhan dasar.

Saya mengamati bahwa banyak yang salah faham tentang arti kebutuhan dasar pelayanan kesehatan sebagai pelayanan dasar rawat jalan tingkat pertama atau pelayanan kesehatan yang murah biayanya. Rawat jalan rujukan dan rawat inap sering disebut sebagai pelayanan sekunder dan tersier yang kemudian diasosiasikan sebagai kebutuhan sekunder dan tersier. Faham ini sama sekali bertentangan dengan asas kemanusiaan dan asas kebersamaan atau tanggung-jawab bersama. Kalau kita renungkan kembali makna kebutuhan dasar adalah kebutuhan yang memungkinkan seseorang hidup dan berproduksi, maka faham tersebut adalah keliru. Faham yang banyak dianut adalah bahwa kebutuhan dasar kesehatan tidak terkait dengan tingkat kesulitan atau tingkat biaya pelayanan kesehatan. Kebutuhan dasar kesehatan adalah kebutuhan akan pelayanan yang merupakan upaya untuk mempertahankan hidup dan tingkat produktifitas seseorang yang secara normatif diterima oleh norma-norma masyarakat. Atas dasar pemahaman inilah, maka perlindungan dasar dalam bidang kesehatan haruslah terkait dengan kebutuhan medik. Suatu kebutuhan yang relatif bagi tiap orang dan hanya diketahui oleh dokter yang memeriksa seseorang. Disinilah nanti, letak sulitnya mengelola sebuah AKN.

Dengan konsep dasar tersebut, maka pemberian bantuan biaya kesehatan hanya kepada yang miskin saja, menurut kriteria yang kita gunakan sekarang, belumlah sesuai dengan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab mereka yang tidak tergolong miskin, yang masih mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, dan papan, sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Mereka itu, jika tidak dijamin asuransi atau pemerintah, dimata kebutuhan medis adalah miskin (medically poor). Itulah sebabnya, negara-negara persemakmuran dan negara-negara yang berientasi kesejahteraan (welfare oriented) menyediakan pelayanan kesehatan gratis untuk semua penduduk, tidak hanya yang miskin. Itulah sebabnya dibutuhkan AKN yang menjamin seluruh penduduk, yang kaya dan yang miskin. Fakta menunjukkan bahwa negara miskin sekalipun, yang

Page 16: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

16

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

memberikan pelayanan kesehatan cuma-cuma, seperti Sri Lanka dan Kuba, mempunyai status kesehatan yang lebih tinggi dari status kesehatan di negara kita yang cenderung melepas pelayanan kesehatan kepada mekanisme pasar yang memberatkan masyarakat.

Itulah pula sebabnya, ketika Kanada memulai AKN di tahun 1961 pelayanan perawatan dan rawat inaplah yang mulai dijamin. Sejak pertama kali diundangkan, Medicare di Amerika (semacam AKN untuk penduduk usia diatas 65 tahun dan penduduk dibawah usia 65 tahun yang memiliki penyakit berat) hanya menanggung perawatan rumah sakit dan perawatan yang berbiaya besar (Medicare part A) seperti yang telah dijelaskan di muka. Filipina juga memalui AKNnya dengan menjamin biaya perawatan di RS. Inggris dan banyak negara persemakmuran menjamin pelayanan rumah sakit tanpa harus membayar bagi penduduknya.69 Malaysia mengikuti pola NHS Inggris dimana setiap penduduk yang perlu perawatan di rumah sakit hanya membayar RM 3 (setara dengan Rp 6.000) per hari, sudah termasuk biaya obat, pembedahan, perawatan intensif—bahkan jika diperlukan bedah jantung sekalipun. Banyak negara-negara lain juga berbuat yang sama.70,71,72 Semua itu dilandasi pada pemahaman bahwa kebutuhan dasar kesehatan bukanlah kebutuhan akan pelayanan yang biayanya murah. Pemerintah dan DPR hendaknya memahmi benar hal ini dan tidak terpengaruh pada tuntutan pihak-pihak yang mempunyai inters dalam berbisnis asuransi kesehatan atau pelayanan kesehatan. Hal ini pernah terjadi pada waktu PP 14/1993 yang mengatur Jamsostek, sehingga pengobatan kanker, hemodialisa, pengobatan penyakit jantung yang mahal, dan pengobatan kelainan bawaan tidak dijamin. Melepaskan pemberi kerja sendiri-sendiri membeli asuransi kesehatan untuk karyawannya, seperti yang dibenarkan dalam PP tersebut tidak akan menjamin bahwa setiap pekerja dan anggota keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan mereka.73 Hendaknya hal ini tidak terulang lagi.

Kebutuhan akan asuransi kesehatan Saudara-saudara yang saya hormati Banyak pihak yang menyatakan bahwa kita belum sanggup malaksanakan

AKN seperti yang dilakukan Malaysia, SriLanka, Muangtai atau Filipina. Saya berpendapat bahwa sesungguhnya kita belum memiliki visi yang sama dan belum mempunyai kemauan untuk itu. Bukan belum sanggup! Dana sesungguhnya merupakan alat untuk mencapai tujuan yang dirumuskan dari visi dan kemauan yang sama tersebut. Bukankah Malaysia dan Srilanka telah memulai kebijakan itu puluhan tahun yang lalu, di kala kondisi ekonominya lebih buruk dari keadaan kita sekarang. Keraguan dan komentar-komentar tentang belum saatnya kita memikirkan AKN merupakan pandangan yang kurang memperhatikan kebutuhan akan asuransi kesehatan.

Sesungguhnya kebutuhan (needs) akan asuransi kesehatan di Indonesia sangat besar, akan tetapi permintaan (demand) terhadap asuransi kesehatan memang

Page 17: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

17

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

sangat kecil. Kondisi tersebut bukanlah suatu anomali, karena prilaku masyarakat di negara manapun sama saja. Sering kita keliru dalam mengambil kebijakan dengan menyampaikan argumen bahwa masyarakat kita belum insurance minded. Manusia di seluruh dunia mempunyai prilaku yang sama, tidak cukup sadar dan tidak cukup bertindak dalam menghadapi risiko kesehatan di masa depan. Itulah sebabnya, tidak ada satu negara majupun, yang tidak menjamin pelayanan kesehatan—baik melalui asuransi wajib ataupun melalui dana pajak (tax funded), paling tidak untuk penduduk berusia lanjut dan berisiko tinggi seperti yang dilakukan AS. Sesungguhnya inilah hakikat masyarakat berbudaya atau masyarakat madani (civilized society), membuat sebuah sistem dimana pada akhirnya seluruh masyarakat terjamin. Tidak ada satu negarapun yang menunggu sampai ekonominya baik dan masyarakatnya sadar akan asuransi kesehatan. Kesadaran akan sesuatu yang belum terjadi memang harus dipaksakan. Oleh karenanya sebuah sistem AKN atau jaminan sosial memerlukan sebuah undang-undang, yang bersifat memaksa untuk kepentingan dan kebaikan masa depan penduduk itu sendiri.

Kebutuhan akan asuransi dapat dilihat dari data-data survei Susenas maupun survei-survei rumah tangga lainnya. Data-data survei secara konsisten menunjukkan bahwa untuk membiayai rawat inap seorang anggota keluarga, sebuah rumah tangga Indonesia harus mengeluarkan lebih dari sebulan gajinya.74,75 Tidaklah mengherankan jika pelayanan rawat inap di rumah sakit pemerintah sekalipun, lebih banyak dinikmati oleh mereka yang kaya. Data menunjukkan bahwa 40,6 persen hari rawat di RS publik/pemerintah dikonsumsi oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 5,9% hari rawat.76 Penduduk di kelompok menengah ke bawah merupakan penduduk yang mempunyai beban berat memikul biaya rumah sakit yang mencapai 2-4 kali penghasilannya sebulan.77 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah jelas memberikan pedoman terhadap kasus biaya kesehatan katastropik untuk mengembangkan asuransi kesehatan78 sebagai upaya mencegah penurunan produktifitas penduduk dan mencegah sebuah rumah tangga menjadi miskin. Jika setiap rumah tangga dapat diorganisir dalam sebuah sistem asuransi kesehatan dengan membayar 5-6% penghasilannya sebulan, mereka tidak akan pernah menghadapi risiko finansial yang dapat menjadikannya miskin. Pemerintah Singapura mewajibkan setiap rakyatnya menabung 6-8% sebulan untuk biaya kesehatan.79 Korea, Muangtai, Taiwan, Filipina, Jepang, Mexico, dan negara-negara maju di Eropa dan Amerika yang sudah melaksanakan asuransi/jaminan sosial secara luas mewajibkan kontribusi antara 2,5%-14% dari upah atau penghasilan sebulan.80 Beban kontribusi rutin sebesar itu, tentu jauh lebih ringan dan tidak akan merusak tatanan ekonomi rumah tangga. Apalagi, jika pemerintah memberikan subsidi kontribusi agar besaran kontribusi bisa turun, seperti yang dilakukan Muangtai.

Gambar . Skema Pengorganisasi Pendanaan yang Direkomendasi WHO.

Page 18: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

18

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Dikutip dari WHR 2000.

Perlu Perubahan Cara Pandang Saudara-saudara, hadirin yang terhormat Ada pihak-pihak yang memandang bahwa sesungguhnya kita telah memiliki

AKN atau NHS karena pemerintah sudah mensubsidi lebih dari 70% biaya puskesmas dan rumah sakit. Yang kini menjadi beban masyarakat adalah urun biaya (cost-sharing) saja. Sesungguhnya ide untuk meringankan beban biaya kesehatan rumah tangga memang sudah lama kita pikirkan. Hanya saja, dalam implementasinya kita telah terjebak pada semantik ‘terjangkau’, pada sistem yang kita ciptakan yang kurang memahami aspek uncertainty atau unpredictability biaya kesehatan di tingkat rumah tangga. Pembangunan puskesmas dan rumah sakit pemerintah antara lain merupakan upaya agar pelayanan kesehatan dapat dijangkau oleh sebagian besar penduduk secara geografis. Pemerintah daerah menetapkan tarif pelayanan dengan prinsip “terjangkau” atau “affordable” oleh semua pihak. Tetapi kita terjebak pada satu tarif jasa per pelayanan, yang tidak mungkin kita memprediksi biaya akhir. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan pelayanan tersebut terjangkau, kalau biaya akhir tidak pernah diketahui jumlahnya. Sebagai contoh, kita tidak mungkin memastikan biaya akhir seorang yang dirawat di RS pemerintah kelas III yang tarifnya berkisar Rp 20.000-Rp 50.000 per hari--tidak termasuk biaya obat dan tindakan operasi. Berapa yang harus dibayar seorang yang dirawat selama 20 hari, dengan pembedahan, dan 7 hari di ICU? Bisa jadi biaya akhir di RS pemerintah sekalipun mencapai diatas Rp 5 juta. Apakah tarif ini terjangkau semua lapisan masyarakat? Seorang sarjana yang bergaji Rp 5 juta

Page 19: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

19

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

sebulan sekalipun, tidak mampu membayar biaya tersebut, kecuali keluarganya harus puasa sebulan penuh.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya kita telah memiliki AKN atau NHS, tidak ditunjang oleh fakta dan secara konsepsional tidak valid. Konsep “terjangkau” bisa digunakan dan valid digunakan untuk jasa transportasi, tarif listrik, tarif telepon, dan sebagainya yang dapat dihitung kebutuhannya dan tidak menimbulkan masalah kemanusiaan apabila konsumsinya dibatasi. Tetapi untuk kesehatan, konsep terjangkau dengan model tarif pelayanan kesehatan per pelayanan sama sekali tidak valid. Pemerintah Muangtai, karenanya, menerapkan kebijakan sederhana yang disebut ’30 Baht Policy’, dimana setiap penduduk yang belum menjadi peserta jaminan sosial hanya membayar 30 Baht (sekitar Rp 6.000) untuk setiap kali berobat di rumah sakit, baik hanya rawat jalan maupun rawat inap—sudah termasuk obat-obatan dan pembedahan jika diperlukan.81,82,83 Namun di Indonesia, justeru berbuat sebaliknya, banyak RS sudah diBUMNkan dan diminta lebih mandiri dalam pendanaan yang berdampak pada kenaikan tarif. Bukan itu saja, RS pemerintah menarik tarif operasi yang berisfat emegensi di luar jam kerja 1,5 sampai dua kali lebih mahal dari tarif bukan emergensi. Dan tarif yang memanfaatkan keterpojokan (karena emergensi di luar jam kerja) tersebut memang diatur pemerintah (Permenkes). Jelas sekali bahwa kebijakan tersebut bukanlah kebijkan yang memihak rakyat/publik, tetapi lebih memihak kepada pengelola—yang nota bene adalah pegawai negeri. Ada berbagai kebijakan pelayanan kesehatan kini, baik di pusat dan di daerah, akan menambah beban berat rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup yang paling fundamental. Tampak asuransi kesehatan, kita akan semakin banyak melakukan pelanggaran prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang beradab karena adanya kecendrungan kebijakan yang mengarah lebih banyak memberatkan masyarakat.

Penerapan konsep ATP/WTP dalam penetapan tarif pelayanan kesehatan di fasilitas publik (pemerintah) sesungguhnya juga tidak akan bermanfaat menolong penduduk dari beban finansial yang berat, jika tarif ditetapkan secara jas per pelayanan (fee for service, FFS). Banyak pihak menyatakan bahwa tarif puskesmas dan RS sudah dihitung atas dasar ability to pay (ATP) dan willingness to pay (WTP) masyrakat dan karenanya masyarakat tidak akan terbebani. Ini adalah juga suatu kekeliruan konsep permasalahan tarif terjangkau, karena sifat kebutuhan yang “tidak pasti”. Konsep WTP yang banyak digunakan untuk valuasi nilai hidup produktif dalam menghitung opportunity losses84,85 bisa diterapkan jika tarif pelayanan ditetapkan per eposide pengobatan. Survei-survei tentang ATP-WTP tidak akan valid selagi tarif pelayanan puskesmas atau rumah sakit ditetapkan dengan FFS untuk masyrakat yang belum punya asuransi karena adanya sifat uncertainty. Meskipun faktanya banyak masyarakat membayar, maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran terpaksa atau forced to pay (FTP) dalam ke-penderitaan bukan karena kemauan dan kemampuannya membayar. Pertanyaan yang paling mendasar kemudian muncul, yaitu, “apakah manusiawi dan normal jika pemerintah memaksa penduduknya yang sedang menderita sakit membayar di luar kemampuannya?” Data pasien di rumah sakit menunjukkan bahwa proporsi jumlah penduduk miskin dan penduduk yang diberi keringan sangat kecil di rumah-rumah

Page 20: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

20

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

sakit pemerintah (tidak usah kita sajikan RS swasta) di Indonesia jauh berada di bawah 5%. Artinya, penduduk tidak mampu mempunyai dua pilihan, tidak berobat karena tidak punya uang atau dipaksa membayar—dalam kependeritaan (lihat lampiran data pasien RS). Kejadian DBD yang luar biasa baru-baru ini dapat menyadarkan kita akan ketidak-tepatan kebijakan tarif pelayanan kesehatan di Indonesia.

Tantangan AKN

Saudara-saudara yang saya hormati Data-data survei maupun data dari fasilitas kesehatan jelas menunjukkan

bahwa terdapat barir finansial yang besar sekali bagi lebih dari 180 juta penduduk Indonesia, dalam memenuhi kebutuhan kesehatan sebagai kebutuhan hidup yang paling mendasar. Kebijakan publik yang ada sekarang ini belum mendukung terpenuhinya hak-hak penduduk dalam bidang kesehatan seperti yang tercantum dalam UUD pasal 28H(1). Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa AKN merupakan suatu keharusan. Langkah yang ditempuh Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan UU SJSN adalah langkah yang sangat tepat. Semua civitas akademika Universitas Indonesia harus turut berjuang menjadikan SJSN terlaksana dengan kinerja yang baik. Melalui perjuangan tersebut, UI akan turut serta mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat. Namun demikian, kita semua harus menyadari bahwa di depan mata terdapat tantangan yang tidak kecil. Saya mencoba mengidentifikasi tantangan-tantangan tersebut agar kita dapat menerapkan AKN dengan baik.

Kalau kita mengikuti berita atau artikel di surat kabar, sudah berulang kali kita baca beberapa pandangan orang asing yang menolak sistem yang mewajibkan asuransi kesehatan. Beberapa kali saya terlibat perdebatan dengan the International Bussiness Chambers of Commers yang dengan terbuka menyatakan menolak AKN. Apa pasalnya? Tentu sebagai pengusaha, mereka ingin memperoleh keuntungan yang besar dengan sedikit mungkin mengeluarkan biaya tenaga kerja. Seorang Konsultan USAID malah pernah menyampaikan analisis bernada menakut-nakuti kepada Menko Perekonomian, dengan menyatakan bahwa apabila SJSN dilaksanakan dalam waktu dekat, maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja sebanyak 300.000 orang per tahun. Apakah benar demikian? Sesungguhnya, prilaku orang asing tersebut sudah dapat dibaca. Mereka hanya ingin mengeruk keuntungan yang besar dari tenaga kerja murah bangsa Indonesia. Dalam diskusi dan analisis yang lebih dalam terhadap pernyataan mereka, tampak jelas bahwa mereka sama sekali tidak mengerti jaminan sosial, asuransi sosial maupun sistem kesehatan. Jangankan sistem Indonesia, sistem yang berlaku di negerinya sendiri mereka tak faham. Tidak pernah terjadi di dunia ada program jaminan sosial atau asuransi sosial yang membuat sebuah usaha bangkrut. Kita memang harus berhati-hati dalam menanggapi komentar orang asing, bisa jadi mereka mempunyai tujuan yang lebih jelek terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Akan sangat celaka, apabila mentalitas

Page 21: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

21

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

inlander masih kita miliki, dengan mendengar begitu saja apa yang dikatakan orang asing, hanya karena ia seorang bule!

Buruh dan Pengusaha juga banyak yang terpengaruh provokasi penolakan AKN dan kemudian menyatakan menolak atau meminta agar RUU SJSN ditunda.86 Dalam sebuah loka karya di Jakarta, tampak jelas di mata saya bahwa banyak serikat pekerja telah ‘ditunggangi’. Dengan lantang mereka menolak RUU SJSN dan menuntut perbaikan sistem Jamsostek. Ironinya, apa yang mereka tuntut sudah jelas tercantum dalam RUU sendiri, sesuai dengan apa yang mereka tuntut! Sebuah sistem jaminan sosial memang tidak lepas dari masalah politik praktis dan politik bisnis. Saya melihat tanda-tanda yang amat jelas bahwa banyak serikat pekerja yang ditunggangi, sehingga tanpa membaca dan memahami apa yang akan diatur dalam RUU SJSN, yang sesungguhnya menjamin hak-hak mereka dengan lebih baik, justeru mereka tolak. Penunggangan serikat pekerja dapat juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menginginkan status quo dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. Status quo memang dapat menguntungkan beberapa pihak, namun rakyat akan terus menderita dan negara akan tetap mempunyai ancaman stabilitas sosial. Inilah kenyataan kondisi di Indonesia, dimana tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi dari SLTA hanyalah 4,81% dari 98,8 juta angkatan kerja.87 Pendidikan tenaga kerja yang rendah ini sangat mudah ditunggangi.

Salah satu kendala dan tantangan yang besar lain adalah kurangnya pemahaman tentang konsep asuransi sosial, baik oleh pengambil keputusan, pemberi kerja, maupun tenaga kerja. Pemahaman yang rendah tersebut menyebabkan rancangan asuransi sosial kita, askes pegawai negeri dan askes pegawai swasta yang dikelola PT Jamsostek, menyebabkan pemamaham asuransi sosial menjadi lebih negatif. Kinerja PT Askes, yang meskipun telah memiliki tingkat kepuasan yang sangat baik di kalangan yang pernah menggunakan, sering dinilai sangat jelek oleh pegawai negeri golongan atas yang justeru tidak pernah menggunakannya. Sulitnya PT Askes memenuhi harapan seluruh pegawai negeri dan pensiunan, antara lain karena tingkat kontribusi (2%) yang sama sekali tidak memadai untuk mendanai seluruh pelayanan yang harus disediakannya. Akibatnya, pegawai negeri masih harus membayar urun biaya yang cukup besar.88 Demikian juga sikap pemberi kerja dan tenaga kerja swasta yang mempunyai mindset kewajiban menjadi peserta sebagai suatu paksaan tak menguntungkan, menyebabkan rendahnya partisipasi mereka pada program JPK Jamsostek. Sikap pengambil keputusan dan masyarakat yang sangat kurang terpapar dengan kinerja AKN di negara lain menjadi tantangan besar. Sosialisasi dan pendidikan kebijakan publik yang memihak publik harus terus digalakkan. Universitas Indonesia hendaknya menjadi pelopor dalam bidang ini, agar terjadi pemahaman yang benar dikalangan masyarakat luas yang pada akhirnya akan mendukung pelaksanaan SJSN yang baik, yang akan sangat berpengaruh pada kesejahteraan rakyat, bahkan pada pemerintahan yang bersih.

Masih banyak pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan akademisi yang masih memandang segala bentuk peraturan yang mewajibkan penduduk atau pemberi kerja sebagai peraturan yang usang. Mereka tidak sadar bahwa “hak” hanya dapat diperoleh setelah ada “kewajiban”. Kewajiban membayar kontribusi sama pentingnya dengan kewajiban membayar pajak. Tidak ada satu

Page 22: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

22

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

negarapun di dunia yang tidak mewajibkan rakyatnya membayar pajak. Kosenkuensinya adalah bahwa pengelolaan pungutan yang bersifat wajib harus dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah yang dibentuk khusus oleh UU. Banyak pihak masih juga memandang segala bentuk monopoli adalah pelanggaran UU Antimonopoli. Padahal kalau dibaca dengan baik, UU Antimonopoli melarang usaha bisnis yang bersifat sukarela, bukan melarang pemerintah yang mengelola suatu program untuk kepentingan orang banyak. Tidak ada satu negarapun di dunia yang tidak memonopoli pengelolaan pajak, kebijakan moneter, pengadilan, dan pertahanan keamanan. Pengolaan jaminan sosial dan AKN di AS, Kanada, Australia, Taiwan, Korea, Filipina (Medicare) seluruhnya juga dimonopoli oleh pemerintah atau lembaga kuasi pemerintah. Kesalah-fahaman tentang monopoli ini juga perlu diluruskan. Namun demikian perlu disadari bahwa segala sesuatu yang pengelolaannya bersifat monopolistik memerlukan pengawasan dan pengendalian publik yang efektif, agar kepentingan publik dan kepuasan publik tetap menjadi prioritas dan terjadi good governance.

Kita juga harus menyadari bahwa hanya 29,3% angkatan kerja yang bekerja pada sektor formal sebagai karyawan. Selebihnya adalah pekerja mandiri dengan atau tanpa dibantu keluarga atau buruh tetap (BPS 2001). Jika kita mampu memperluas asuransi kesehatan kepada pekerja di sektor fomal saja beserta anggota keluarga dan orang tua mereka, maka kita sudah bisa menjamin sekitar separuh penduduk Indonesia. Hal tersebut sudah akan berdampak besar bagi pembangunan sumber daya manusia dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Upaya memperluas cakupan asuransi kesehatan kepada pekerja di sektor informal sangatlah sulit. Oleh karenanya, upaya pemerintah untuk memberikan subsidi melalui fasilitas atau cara lain yang lebih akurat, misalnya dengan menetapkan tarif tetap untu suatu episode pengobatan ketimbang untuk tiap jenis pelayanan seperti yang dilakukan di Malaysia atau Muangtai, harus tetap dipertahankan sampai seluruh penduduk menjadi peserta AKN.

Penyelenggaraan AKN memang merupakan upaya mulia dan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduk. Namun demikian, fakta yang terjadi di dunia menunjukkan bahwa penyelenggaraan AKN tidak bisa dilepaskan dari masalah politik. Pelaku politik yang lebih mementingkan interest kelompoknya dapat saja menolak inisiatif AKN yang diajukan partai lain. Syukur alhamdulillah, tampaknya hal ini tidak terjadi di kalangan pimpinan partai politik di DPR. Dukungan penuh semua fraksi dalam RUU asuransi sosial kesehatan nasional, yang merupakan inisiatif DPR dan tidak perbedaan prinsip dengan yang diusulkan pemerintah dalam RUU SJSN, menunjukkan rendahnya interest golongan dalam hal ini. Namun demikian, di tingkat bawah masih mungkin terdapat sentimen golongan yang dapat mengurangi dukungan terhadap AKN.

Globalisasi dan kekuatan pasar memang tidak dapat dihindari dan tidak perlu ditakutkan. Globalisasi dan kekuatan pasar memberikan peluang dan sekaligus ancaman bagi kita, khsususnya dalam pengembangan sebuah AKN. Suka atau tidak suka, kita saksikan banyaknya kesalah-fahaman tentang globalisasi yang diartikan sebagai keharusan liberalisasi dan menyerahkan sepenuhnya nasib kita kepada mekanisme pasar global yang kemudian diartikan bahwa mewajibkan pekerja

Page 23: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

23

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

menjadi peserta AKN sebagai bertentangan dengan globalisasi. Banyak pengusaha, bahkan juga pengambil keputusan, yang berpandangan demikian yang menjadi faktor penghambat terselenggaranya AKN. Meskipun seluruh negara maju di dunia telah menyelenggarakan asuransi sosia dalam berbagai bentuknya, perlu kita sadari bahwa akan tetap ada yang tidak setuju dengan konsep asuransi sosial yang memandangnya hanya hanya dari satu sisi saja seperti beban biaya bagi dirinya atau bagi sektor publik.89 Banyak pihak kita yang tidak menyadari bahwa ada market failure yang bersumber dari tingginya informasi asimetri yang mengharuskan sektor publik (pemerintah) turun tangan. Globalisasi dan kekuatan pasar tidak akan menyelesaikan segala macam masalah ekonomi dan sosial sekaligus. Joseph Stiglitz, seorang ekonom terkemuka pemenang hadiah Nobel Ekonomi yang banyak meneliti masalah informasi asimetri, dalam bukunya yang terbit tahun lalu telah memperingatkan dunia akan adanya bahaya disamping harapan dari globalisasi.90 Ketidak-fahaman akan sebuah sistem jaminan sosial dan globalisasi dapat menjadi penghambat besar bagi AKN.

Ketidak-fahaman tentang penyelenggaraan AKN khususnya dan jaminan sosial umumnya dapat kita lihat dari sikap-sikap yang berpendapat bahwa pemerintah tidak bertanggung-jawab atas gangguan kesehatan keuangan badan penyelenggara. Pertanyaan “bagaimana kalau badan penyelenggara bangkrut?” dan “bagaimana distribusi kekayaan yang dimiliki badan penyelenggara?” menunjukkan rendahnya pemahaman tentang sebuah sistem jaminan sosial. Ada pula anggapan yang menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu mensubsidi badan peyelenggara, oleh karenanya badan penyelenggara diserahkan kepada BUMN, yang memang dasar pemikirannya harus secara finansial mandiri. Aneh!, minggu ini kita menyaksikan keputusan Bank Indonesia menutup dua bank swasta dan pemerintah menjamin dana nasabah tidak hilang. Bagaimana mungkin pemerintah tidak perlu turun tangan untuk suatu sistem jaminan sosial yang memberikan manfaat kepada seluruh rakyatnya! Kekeliruan pandang inilah yang sedang kita hadapi di negeri ini. Di banyak negara, bahkan seluruh biaya operasional didanai dari anggaran pemerintah di luar kontribusi pemerintah sebagai bentuk subsidi secara langsung. Sesungguhnya, suatu sistem jaminan sosial atau AKN dirancang untuk tidak akan bangkrut kecuali pemerintah bangkrut. Keseimbangan antara dana tekumpul dan kewajiban dalam sebuah sistem AKN atau jaminan sosial akan terus dipantau dan disesuaikan agar selalu likuid dan solven. Inilah hakikat sebuah jaminan sosial yang belum cukup difahami oleh banyak pihak di Indonesia.

Masih banyak tantangan-tantangan lain yang harus diatasi apabila UU SJSN yang meletakan fondasi AKN disetujui. Namun demikian, saya berpendapat bahwa tantangan terbesar adalah ketidak-tahuan dan kesalah-fahaman tentang asuransi sosial dan jaminan sosial. Saya mengamati bahwa di Indonesia pendidikan kebijakan publik dan pembiayaan publik (public finance) masih sangat kurang diberikan, sehingga mekanisme asuransi sosial sangat kurang difahami. Pendidikan kita belum seimbang memberikan pendidikan dan pemahaman tentang kekuatan pasar dan kegagalan pasar. Kurangnya tenaga yang memahami, mempunyai komitmen, dan menguasai manajemen dapat merusak berbagai keutamaan AKN. Dalam jangka pendek, tantangan terbesar tersebut dapat diatasi dengan sosialisasi, pendidikan, dan

Page 24: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

24

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

pelatihan; asal kita mau dan punya tekad untuk itu. Dalam jangka panjang, asuransi sosial dan jaminan sosial harus masuk dalam mata ajaran di bidang ekonomi, kesejahteraan, kebijakan publik, dan juga di bidang kesehatan. Disini Universitas Indonesia hendaknya dapat menjadi pelopor perubahan pendidikan. Universitas Indonesia hendaknya juga dapat menjadi tulang punggung sosialisasi pemahaman suatu sistem jaminan sosial untuk terwujudnya suatu AKN dan SJSN yang handal dan terpercaya. Universitas Indonesia harus lebih banyak berperan mengkaji, mengamati, mengawasi, dan memberikan solusi yang implementabel guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan peningkatan kualitas SDM yang pada gilirannya akan memacu pertumbuhan ekonomi negeri ini.

Prospek Asuransi Kesehatan Nasional

Sebuah sistem jaminan sosial ataupun AKN merupakan sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa dikerjakan oleh hanya sebagian kecil orang dalam waktu singkat. Sebuah jaminan sosial ataupun AKN adalah suatu alat yang handal dalam meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat dan dalam melakukan redistribusi pendapatan dalam mewujudkan keadilan sosial. Oleh karenanya, UU SJSN yang merumuskan AKN sebagai salah satu sub sistemnya akan sangat dipengaruhi oleh komitmen dan dukungan pemerintah, dukungan pelaku bisnis, dukungan para pekerja, dan dukungan para profesi kesehatan. Di penghujung Kabinet Gotong Royong tampak secercah harapan terwujudnya sebuah SJSN. Komitmen Pemerintah sudah tampak, hanya saja banyak pihak waswas apakah komitmen ini dapat diselesaikan dalam sisa waktu kabinet yang tinggal beberapa bulan lagi. Apabila ternyata SJSN belum bisa diundangkan pada kabinet ini, apakah kabinet yang akan datang masih punya komitmen, masih peduli dengan kepentingan rakyat banyak. Meskipun telah diundangkan, apakah kabinet yang akan datang akan melaksanakan UU tersebut dan punya komitmen bagi rakyat banyak dan bagi peningkatan mutu SDM kita.

Kalau kita berpandangan positif, sesungguhnya sudah ada kemajuan besar dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju terwujudnya kesejahteraan yang semakin merata. Perubahan UUD yang secara eksplisit mencantumkan hak rakyat terhadap jaminan sosial dan pelayanan kesehatan dan kewajiban negara mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat, sesungguhnya bangsa Indonesia sudah semakin sadar akan pentingnya SJSN. Sampai dokumen perubahan UUD, memang kemajuan tersebut sudah terlihat. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah kita telah benar-benar menyadari bahwa perubahan UUD yang memaksa negara, pemerintah dan seluruh rakyat, untuk mewujudkan sebuah SJSN—yang didalamnya mengataru dasar-dasar AKN, harus segera kita laksanakan? Ataukan komitmen tersebut baru pada retorika politik maupun sesungguhnya hanya keberhasilan beberapa orang yang mempunyai visi ke depan, tetapi tidak tampak penting oleh pembuat UU—sehingga dibiarkan lolos? Kita akan saksikan kualitas komitmen itu dalam waktu dekat.

Page 25: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

25

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Apakah SJSN dapat diundangkan dalam waktu dekat ini? Banyak pihak yang pesimistis, meskipun anggota DPR di Komisi VII—menurut pandangan saya, sebenarnya sudah cukup bulat. Jika kita perhatikan dari kinerja para anggota Dewan, khususnya Komisi VII, tampak bahwa mereka sudah membuat dua RUU inisiatif yang sama-sama berupaya memperbaiki dan menempatkan sistem jaminan sosial, termasuk AKN, pada jalur yang konsisten dengan prinsip-prinsip universal. Belum pernah terjadi anggota DPR dari berbagai berbagai fraksi secara sadar dan aklamasi berinisiatif mengusulkan RUU Asoskenas dan RUU Revisi UU Jamsostek, yang secara substansial keduanya mempunyai konsep dasar yang sama dengan RUU SJSN yang diajukan pemerintah. Oleh karena UU SJSN ini merupakan amanat Sidang Umum MPR, maka saya yakin dan penuh harap bahwa UU SJSN akan dapat disetujui sebelum Sidang Umum yang akan datang. Tentu saja, saya yakin bahwa para anggota Dewan juga berupaya sekuat tenaga menyelesaikan tekadnya dan amanatnya sendiri sebelum masa jabatannya habis.

Sebagai seorang akademisi, perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan kepada Pemerintah, khususnya kepada Presiden Megawati dan Menko Kesra Jusuf Kalla beserta jajarannya—baik yang hadir pagi ini maupun yang berhalangan hadir, yang mempunyai tekad kuat untuk menyelesaikan RUU SJSN. Saya juga menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada para anggota Dewan, khususnya para anggota Dewan dari Komisi VII yang sebagian hadir pagi ini, yang tekadnya sudah tidak diragukan lagi. Di tengah-tengah gonjang-ganjing buruknya kinerja pemerintah dan anggota Dewan, sesungguhnya ada mutiara-mutiara pemikiran dan kebijakan serta tekad menyelesaikan UU SJSN, yang mempunyai dampak besar bagi sejarah bangsa Indonesia di kemudian hari. Pada saat ini banyak orang mungkin tidak melihatnya sebagai suatu upaya besar. Saya yakin bahwa aparat pemerintah, anggota Dewan dan masyarakat umumnya yang memperjuangkan UU SJSN ini akan melihat perubahan besar dalam sejarah bangsa Indonesia di masa datang. Jika UU SJSN disetujui dan SJSN segera dilaksanakan, maka perguruan tinggi akan dipaksa juga menyesuaikan perubahan isi kurikulum—sehingga pada akhrinya akan meningkatkan pemahaman kita dan upaya kita meningkatkan kesehatan dan produktifitas SDM Indonesia.

Saya juga berterima kasih kepada anggota Tim SJSN yang dulu dipimpin almarhumah Professor Yaumil Agus Achir, yang juga civitas akademika UI dan kini dipimpin oleh Dr. Sulastomo, MPH, AAK—yang juga alumni UI kerja kerasnya meyakinkan berbagai pihak akan pentingnya sebuah SJSN. Sebagai salah seorang anggota Tim, saya tahu persis bahwa untuk sampai pada rumusan RUU—yang meskipun tampaknya belum sempurna—Tim harus melalui jalan yang berkelok-kelok, sempit, dan banyak jurang-jurang yang dapat menjerumuskan kebijakan publik yang benar-benar pro rakyat. Tim yang bekerja lebih dari tiga tahun, sesungguhnya telah menyumbang besar sekali dalam pemahaman publik dan pendidikan umum tentang hakikat sebuah jaminan sosial melalui berbagai kegiatan tatap muka maupun penyebaran informasi melalui media masa. Bagaimanapun, pemahaman publik merupakan suatu langkah maju yang berperan penting dalam terwujudnya AKN dan SJSN secara umum.

Page 26: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

26

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Prospek yang baik dari AKN tidak saja dapat dilihat dari komitmen pemerintah (termasuk Tim SJSN) dan para anggota Dewan, akan tetapi dukungan lembaga internasional seperti ILO (International Labour Organization), WHO (World Health Organization), Uni Eropa, GTZ (Lembaga Bantuan Teknis Pemerintah Jerman), ADB (the Asian Development Bank), Bank Dunia dan lembaga-lembaga donor lainnya merupakan suatu faktor positif. Tiga opsi bagi Indonesia telah diidentifikasi dan disebar-luaskan oleh ILO Indonesia, termasuk diantaranya AKN secara virtual dan faktual91, dalam bentuk laporan sebuah kajian kepada banyak pihak di dalam maupun di luar negeri. Disamping itu, WHO Indonesia, GTZ, dan Uni Eropa telah berulang kali menyeponsori berbagai studi, seminar, loka-karya, maupun mensponsori tenaga ahli asing untuk memberikan bantuan teknis di Indonesia dan mensponsori tenaga Indonesia belajar di negara lain. Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia juga telah berperan penting dalam pembaharuan sistem pembiayaan publik dan dalam pengembangan asuransi kesehatan melalui hibah dan persetujuan pendanaan program-program terkait dengan asuransi kesehatan dalam pinjaman yang diberikan. Semua itu memberikan kontribusi yang besar dalam pemahaman masalah dan opsi-opsi perbaikan sistem jaminan sosial di Indonesia.

Banyak yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya kita telah memiliki pengalaman lebih dari 35 tahun dalam melaksanakan sebuah sistem asuransi kesehatan sosial bagi pegawai negeri dan keluarganya. Disamping keluhan dan hujatan yang sering kita dengar, yang umumnya datang dari kalangan atas peserta, masa 35 tahun sesungguhnya merupakan pelajaran yang sangat berharga dan merupakan fondasi yang kuat bagi perluasan asuransi kesehatan sosial. Selain pengalaman askes pegawai negeri, askes sosial pegawai swasta juga sudah diselenggarakan sejak 10 tahun yang lalu. Masalah kronis yang dimiliki askes sosial di Indoensia, yang menyebabkan banyaknya keluhan dan hujatan, sesungguhnya bersumber dari rancangan sistem itu yang dengan kontribusi sangat rendah (2% gaji pokok bagi PNS dan pensiunan pegawai negeri) harus menjamin pelayanan komprehensif. Syukurlah, sejak tahun 2003 yang lalu, melalui PP 28/2003 pemerintah telah mulai menambah kontribusi dalam rangka perbaikan asuransi ini. Tampak adanya perbaikan asuransi kesehatan pegawai negeri, AKN akan sulit berkembang. Saya mengamati dari dekat dan saya bergembira bahwa teman-teman di PT Askes secara konsisten terus berupaya memperbaiki kinerjanya terus-menerus sejak PT Askes dipimpin oleh Dr. Sonja Roesma SKM sampai sekarang.

Pengenalan dan promosi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) oleh Depkes, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil, telah pula memberikan kontribusi kepada evolusi dan pemahaman kita terhadap pentingnya AKN. Program JPS-BK (Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan) yang telah diluncurkan sejak awal masa-masa krisis, yang dibiayai dari uang pinjaman yang kemudian diteruskan dengan program JPK Gakin sebagai bagian dari pengalihan dana subsidi BBM, telah juga memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi pengembangan AKN. Program bagi penduduk miskin tersebut, yang meskipun belum menyelesaikan seluruh masalah, telah memberikan pemahaman lebih dalam bagi pentingnya pengembangan AKN. Program ini menunjukkan semakin kuatnya

Page 27: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

27

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

komitmen pemerintah dalam menyediakan kebutuhan dasar kesehatan, sebagai suatu investasi SDM menuju masa depan bangsa Indonesia yang lebih kompetitif. Tanpa komitmen pemerintah yang kuat dan tanpa perubahan cara pandang belanja kesehatan, dari sekedar membantu rakyat miskin menjadi suatu investasi SDM, kinerja SDM kita akan terus terpuruk. Kita harus menyadari bahwa Indeks Pembangunan Manusia kita semakin merosot ke urutan 112 dan Indeks Daya Saing Indonesia yang berada diurutan ke 49 dari 49 negara yang disurvei. Negara-negara yang memiliki AKN dan sistem jaminan sosial yang kuat mempunyai IPM dan indeks daya saing yang tinggi, bahkan memiliki indeks tingkat korupsi yang rendah. Syukurlah hal ini semakin disadari oleh kita semua. Semuanya itu, telah dan akan terus menambah kazanah ilmu kita dalam bidang asuransi kesehatan.

Banyak pihak yang mengkhawatirkan bahwa AKN akan menurunkan daya saing Indonesia di pasar internasional. Bahkan, IBC—menurut saya dengan nada menakut-nakuti, menyatakan bahwa AKN akan menyebabkan perusahaan asing enggan berinvestasi di Indonesia. Prakteknya di negara maju dan di negara industri baru, kontribusi jaminan sosial—termasuk kesehatan tidak menurunkan daya saing perusahaan. Masalah di Indonesia sesungguhnya bukan kontribusi jaminan sosial atau tunjangan karyawan (employement benefits, perks) tetapi pungutan-pungatan liar yang menambah beban pengusaha. Survei biaya kesehatan yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI menunjukkan bahwa rata-rata majikan telah mengeluarkan 5,24% dari upah tenaga kerjanya untuk biaya kesehatan karyawannya (lihat lampiran tabel 1-3).92 Jika sebuah AKN dijalankan, maka sesungguhnya tidak banyak beban tambahan bagi pemberi kerja. Yang akan terjadi adalah efisiensi yang lebih tinggi karena pool dan volume peserta yang lebih besar. Tidak akan mungkin terjadi bahwa pengeluaran yang hanya berkisar 5-6% dari upah karyawan dapat membuat sebuah usaha bangkrut dan tidak kompetitif. Kita harus melihatnya tidak hanya dari biaya, akan tetapi banyak manfaat lain seperti meningkatknya moral pekerja, rasa aman, produktifitas, dan bahkan kejujuran pekerja akan meningkat. Sebuah rumah tangga sekalipun, jika harus mengeluarkan kontribusi setiap bulan sebesar 5% dari pengeluaran rutinnya tidak akan membuat rumah tangga itu kolaps. Harus diingat bahwa pengeluaran tersebut bukanlah pengeluaran sumbangan, akan tetapi pengeluaran kontijensi untuk membiayai diri mereka sendiri.

Untuk meyakinkan bahwa kontribusi untuk AKN tidak akan membuat sebuah usaha bangkrut, saya menganalisis data-data dari Badan Pusat Statistik tahun 1993 sampai tahun 2000. Ternyata telah terjadi kenaikan upah riil tenaga kerja kita yang cukup berarti sejak diundangkan UU Jamsostek. Sejak tahun 1993 UU Jamsostek sudah mewajibkan pemberi kerja memberikan kontribusi sebesar 12,7% upah (hanya 2% kontribusi tenaga kerja). Ternyata tingkat upah riil tetap meningkat. Artinya—beban tersebut tidak mengurangi kemampuan perusahaan meningkatkan upah tenaga kerjanya. Analisis lebih lanjut dari data tahun 2000 tentang proporsi biaya tenaga kerja terhadap biaya produksi menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan hanya mengeluarkan 8,1% saja dari biaya produksi untuk upah tenaga kerjanya (lihat tabel 4-6 dalam lampiran). Jika kontribusi AKN sebesar 5% yang sepenuhnya ditanggung perusahaan, maka dampak kontribusi tersebut terhadap peningkatan

Page 28: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

28

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

biaya produksi hanyalah 0,05 x 8,1% atau hanya akan meningkatkan biaya produksi sebesar 0,4%. Pecayakah kita bahwa kontribusi AKN yang diwajibkan kepada pemberi kerja dapat menurunkan daya saing produk? Fakta sederhana saja menunjukkan bahwa di pasar Indonesia terdapat begitu banyak produk dari negara-negara maju yang mewajibkan pemberi kerja berkontribusi lebih besar dari itu.

Ditinjau dari persepsi tentang kemungkinan, manfaat, dan kesediaan pemberi kerja mengikuti sebuah skema AKN, saya melakukan sebuah survei kecil kepada 100 direktur/manajer sumber daya manusia di Jakarta. Survei pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa mayoritas direktur SDM mempunyai pandangan positif tentang AKN. Bahkan 83% dari mereka setuju kalau AKN dimulai pada tahun 2004 ini. Bahkan ketika ditanyakan apakah karyawan mereka keberatan membayar tambahan iuran 3%, 61% menyatakan tidak (lihat lampiran tabel 7). Meskipun survei ini baru merupakan survei pendahuluan dan survei dengan sampel yang lebih besar masih diperlukan, sudah mulai tergambarkan bahwa sesungguhnya apabila pemberi kerja dan pekerja memahami apa yang akan dilakukan oleh sebuah sistem AKN, sesungguhnya mereka memahami manfaat besar bagi perusahaan dan karyawannya. Hal ini konsisten dengan sikap para pengusaha di Korea Selatan dan Muangtai yang saya temui. Dengan demikian, kita tidak perlu takut memulai pengembangan AKN. Apabila penyelenggaraan AKN sudah bisa dirasakan manfaatnya, pengusaha bahkan akan sangat mendukung seperti yang dilaporkan oleh Duque III.93

Sebuah sistem AKN sesungguhnya tidak hanya berdampak besar pada akses pelayanan kesehatan yang merupakan kebutuhan paling mendasar bagi manusia yang hidup di muka bumi ini. Sebuah sistem AKN juga akan berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia lain dan bahkan kepada good governance, baik dalam pemerintahan maupun dalam mengelola suatu badan usaha. Di Indonesia, saya yakin bahwa sistem AKN juga akan berdampak pada peningkatan kepatuhan pembayar pajak, karena dalam AKN hubungan kontribusi wajib dengan manfaat yang diterima oleh peserta akan sangat dekat. Hal ini merupakan suatu media pendidikan kepatuhan penduduk dalam memberikan kontribusi untuk kepentingan bersama.

Di bidang praktek kedokteran, tidak diragukan lagi bahwa AKN mempunyai dampak besar bagi profesionalisme praktek dokter dan rumah sakit. Sebuah sistem AKN akan lebih menjamin terselenggaranya penataan praktek dokter keluarga yang amat dicita-citakan oleh Departemen Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia. Fakta-fakta di dunia menunjukkan bahwa sistem praktek dokter keluarga hanya bisa berjalan apabila ditunjang oleh sebuah sistem pembiayaan melalui AKN atau sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah. Sebuah sistem AKN juga akan mendorong pemerataan distribusi dokter dan rumah sakit, karena terjadinya maldistribusi dokter dan rumah sakit—yang terkonsentrasi di kota besar terjadi karena ‘duit’nya ada di kota. Tanpa AKN, hanya masyarakat kotalah yang mampu membeli jasa medik dokter maupun rumah sakit. Akan tetapi dengan AKN, yang menjamin semua orang, uang akan terdistribusi lebih merata (money follow patients). Dokter, rumah sakit, dan fasilitas kesehatan lainnya akan dengan sendirinya mengikuti distribusi peserta atau pasien.

Page 29: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

29

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati Untuk mencakup seluruh penduduk kita memerlukan berbagai kondisi

seperti, stabilitas politik, stabilitas keamanan, porsi pekerja di sektor formal yang semakin meningkat, infrastruktur perpajakan, tingkat pendatapan penduduk, jaringan PPK, dan kemampuan manajemen.94 Akan tetapi, kita tidak boleh menunggu agar semua kondisi tersebut terpenuhi. Akan terlalu banyak korban dan kesulitan jika kita menunggu kondisi tersebut terpenuhi. Stabilitas politik dan keamanan merupakan prasyarat utama, sedangkan kondisi lainnya dapat kita bangun bersama-sama dengan upaya perluasan cakupan AKN. Upaya untuk mencapai cakupan universal melalui AKN dapat dimulai dari sektor yang mudah dikelola, yaitu mencakup seluruh pekerja di sektor formal terlebih dahulu seperti yang dilakukan berbagai negera di dunia.

Namun demikain, kita harus menyadari bahwa AKN adalah alat untuk mencapai cakupan universal, bukan tujuan. Sebuah sistem AKN merupakan alat yang ampuh yang telah dibuktikan di negara lain, khususnya di negara yang komitmen NHSnya rendah atau penerimaan negara dari pajak relatif rendah. Tampaknya kondisi Indonesia, dimana belum sampai 5% penduduk Indonesia yang telah memiliki NPWP dan karenanya rutin membayar pajak, sistem AKN jauh lebih layak dari sistem NHS.

Think big, start small, act now! Itulah yang harus kita lakukan. Kita tidak boleh menunggu sampai ekonomi baik, sampai fasilitas kesehatan siap, atau sampai kemampuan manajemen memadai. Pada waktu Otto van Bismark memperkenalkan asuransi sosial kesehatan di tahun 1883, keadaan ekonomi Jerman masih lebih jelek dari kondisi kita sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 10% dari total tenaga kerja pada waktu itu.95 Pada waktu Inggris memperkenalkan AKN di tahun 1911, dan kemudian mengubah menjadi NHS di tahun 1948, kondisi ekonomi dan fasilitas kesehatannya juga tidak sebagus yang kita miliki sekarang. Pada waktu Presiden Rosevelt di Amerika memperkenalkan jaminan sosial di tahun 1935, yang kemudian diamendemen dengan manambah Medicare di tahun 1965, juga keadaan ekonomi dan fasilitas kesehatan Amerika tidak sebaik yang kita miliki sekarang. Pada waktu Malaysia memulai sistem NHSnya, atau Filipina memulai AKNnya, kondisinya juga belum sebaik yang mereka miliki sekarang.

Akan tetapi memang kita harus menyadari berbagai keterbasan yang kita miliki. Kita harus melaksanakan AKN dengan tetap hati-hati dan realistis. Ambisi yang terlalu besar hanya akan menghancurkan sistem yang akan kita bangun. Fasilitas kesehatan dan mutu pelayanan yang disediakannya harus terus diperbaiki, sambil kita memperluas cakupan kepesertaan. Manajemen AKN harus terus dikembangkan untuk menjamin bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan memenuhi kebutuhan dan harapan peserta dan kemudian seluruh penduduk. Evaluasi harus terus menerus dijalankan agar kita dapat terus memperbaiki kinerja AKN. Segala tantangan, keberatan, dan ketidak-puasan harus terus diatasi secara seksama dan tuntas. Program AKN baru akan berhasil baik jika semua pemberi kerja, pekerja, dan seluruh peserta merasa perlu dan diuntungkan dengan menjadi peserta AKN.

Page 30: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

30

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Penutup Saudara-saudara yang saya hormati Sering kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian besar rakyat kita

tidak akan mampu memenuhi kebutuhan kesehatannya. Banyak diantara kita pun bisa jadi tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan yang kita perlukan di saat kita memerlukannya, jika suatu penyakit berat dan mahal pengobatannya menimpa kita. Kita tidak boleh mengatakan bahwa asuransi kesehatan tidak penting atau tidak kita perlukan hanya karena kita belum pernah merasakan manfaat atau mengalami kebutuhan. Inilah hakikat asuransi, menjamin masa depan, masa dimana kita belum pernah mengalaminya. Inilah pula tantangan terbesar yang menyebabkan banyak pihak, tanpa menyadari bahwa dirinya suatu ketika juga dapat jadi miskin karena sakit, tidak mendukung sebuah sistem AKN. Kita memang harus menunjukkan bukti untuk meyakinkan banyak pihak. Untuk menujukkan bukti tersebut, diperlukan keberanian bertindak. Tidak ada bukti, tanpa keberanian bertindak.

Saya sangat berharap agar kita semua menghentikan segala kontroversi yang dilandasi untuk kepentingan kelompok atau mempertahankan eksistensi kita sekarang. Semua kita harus berfikir dan mengutamakan kepentingan nasional, kepentingan rakyat banyak, dan kepentingan kita semua di masa depan. Saya gembira bahwa inisiatif kuat mewujudkan SJSN dimulai oleh Ibu Megawati yang PDI-P, diproses lebih lanjut di kantornya pak Hamzah Haz yang PPP, dan kini dikoordinir oleh Pak Jusuf Kalla yang Golkar. Artinya tiga kekuatan politik besar, yang di jaman order baru ketiganya menguasai 100% suara pemilih dan kini tampaknya menguasai sekitar 50% pemilih, sudah bahu-membahu mewujudkan impian SJSN yang didalamnya terdapat konsep AKN. Mudah-mudahan batu pertama AKN akan segera diletakan bersama ketiga partai besar tersebut, didukung oleh anak-anaknya yang kini menjadi 24 partai.

Perjalan jauh dimulai dari langkah pertama yang kecil, bangunan besar dimulai dari pemasangan batu yang kecil, dan rasa kenyang dimulai dengan sesuap makanan. Sebuah AKN yang besar dapat kita mulai dengan menata batu satu persatu sampai ia menjadi bangunan besar. Semoga impian kita semua segera menjadi kenyataan dan mendapat Ridha dari Allah Subhanahu wa Taala. Sesungguhnya tolong-menolong dalam kebaikan itu adalah amanat Tuhan kita semua.

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan Saudara-saudara yang saya hormati

Perkenankanlah saya menyampaikan puji syukur kehadirat Illhi Rabby yang tanpa Taufik dan HidayahNya, saya tidak akan pernah dapat menduduki jabatan Guru Besar ini. Sesungguhnya Allah SWT yang telah menuntun saya, melalui berbagai langkah-langkah susah dan senang, kegagalan dan kesuksesas, kemudahan

Page 31: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

31

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

serta kesukaran sehingga saya dapat lebih memahami ilmu asuransi, khususnya asuransi kesehatan dan peranannya dalam bidang kesehatan masyarakat. Atas kehendakNya-lah, segala proses yang telah saya alami, sejak saya lahir sampai sekarang ini, dapat berjalan dan membawa saya pada jabatan Guru Besar di Universitas terkemuka di Indonesia ini. Selanjutnya secara kronologis, saya ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan saya kepada keluarga, guru, kolega, dan pihak-pihak lain yang telah berperan dalam karir jabatan akademik saya.

Karunia Allah yang tidak ternilai tersebut telah sampai kepada saya melalui perjuangan berat dan bimbingan dan dukungan yang terus-menerus tanpa lelah dari ayah dan ibu saya, Thabrany dan Habibah. Dorongan dan motivasi untuk terus belajar telah diberikan oleh Ibunda, dengan kerja keras dan kesabaranya, yang tanpa terasa hari-demi hari, pengetahuan dan ilmu saya terus bertambah. Saya juga telah banyak berhutang budi kepada adik-adik saya: Zanaria; Ir. Chairul Anwar, MSC: dr. Zubaedah, SpP; Ir. Khairuddin MSc; Ir. Amir Hamzah; Ir Rahmawati; Sulilawati:--beserta keluarga dan Rizqillah—yang telah banyak memberikan dukungan dalam membantu saya menyelesaikan pendidikan, pekerjaan, maupun upaya-upaya mencari ilmu yang tidak ada batasnya.

Saya juga telah banyak berhutang budi kepada guru-guru saya, termasuk kakek saya, sejak masa pra sekolah sampai saya memasuki perguruang tinggi. Peranan kakek dan sekaligus guru mengaji saya, peranan guru-guru saya di Madrasah—bapak Abdul Latif, bapak Abdurahum, bapak Bakir Said (alm), bapak Nurhilaluddin, dan para teman-teman di sekolah sangatlah besar artinya dalam membentuk motivasi saya belajar terus. Guru-guru saya di sekolah dasar, di SMP IV Muahmmadiyah, khususnya bapak Abdullah Syafri, ibu Emma, bapak Abdul Muluk, bapak Agus dan guru-guru lainnya, telah memberikan fondasi berfikir dan belajar yang kuat yang telah membentuk motivasi belajar saya. Guru-guru saya semasa di bangku SMA, ibu Hifna Samsudin, bapak Ismail, bapak Tata Sukiman (alm), badap Alwi Nurdin (alm), bapak Agus Yun Batuta, ibu Ida Farida, dll juga telah memperkuat fondasi belajar saya yang sistematis, yang mempunyai peran penting dalam semangat saya menggali ilmu lebih lanjut.

Selama saya menimba ilmu di FKUI, selain dosen-dosen yang ratusan jumlahnya yang telah memberikan bekal dasar ilmu kesehatan dan kedokteran kepada saya, saya telah memperoleh banyak sekali pelajaran yang turut menyumbang pengembangan ilmu saya dalam bidang kesehatan masyarakat. Tanpa peran mereka, khususnya Dr. Sulastomo, Professor DR. Dr. Azrul Azwar MPH, Professor Widodo Talogo MPH (alm), Professor Dr. Rustamadji, DTPH (alm), Dr. Firman Lubis MPH, dan Professor Dr. MK Tadjudin, Professor DR. Dr. Farid dan Anfasa Moeloek, barangkali motivasi saya untuk terus menggali mencari mutiara ilmu tidak sampai membawa saya pada jabatan Guru Besar ini.

Setelah saya memasuki kehidupan rumah tangga, saya telah banyak berhutang budi kepada istri saya tercinta, Dr. Roosyana, MPH, yang telah menjadi mitra dalam menyelesaikan berbagai masalah akademis dan non akdemis, sekaligus menjadi ‘korban’ akibat penyitaan waktu yang banyak sekali dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun non akademik, selama pendidikan pasca-sarjana di California maupun setelah kembali ke bangku fakultas di Jakarta. Pengorbanan yang

Page 32: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

32

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

besar juga telah diberikan oleh anak-anak saya Roestiandi Tsamanov, Atika Hadiati, dan Risyad Ridho, yang karena tuntutan tugas-tugas akademik dan non akadmik saya telah terpaksa merebut hak-hak kalian dalam kebersamaan keluarga. Saya juga banyak berhutang budi kepada bapak mertua saya, Drs. Holil Effendi dan ibu Mertua saya Ny. Nuryati, yang telah ikut berkorban dalam mengamankan agar saya bisa berkonsentrasi dalam pendidikan dan pekerjaan saya. Kepada adik-adik ipar Ir. Rulan Effendi MSc, Rosilawati, Yaniar BA,--beserta keluarga dan Novitri telah banyak membantu saya berkonsentrasi pada pekerjaan saya, baik langsung maupun tidak langsung, saya menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga.

Terima kasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada kolega di FKMUI, khususnya di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang telah menjadi mitra dan membantu saya menyelesaikan pendidikan, pengajaran, dan pengabdian masyarakat. Saya berhutang budi besar kepada Professor Dr. Does Sampoerno, MPH; Professor Dr. Ascobat Gani, MPH, DR.PH; Professor Dr. Amal C. Sjaaf SKM, DR.PH; Professor DR. Dr. Adik Wibowo, MPH; Dr. Alex Papilaya, DTMH; Dr. Anchari Ahadi, MPH, ScD; Dr. Purnawan Junadi, MPH, PhD; Dr. Suprijanto Rijadi, MPH, PhD; Drg. Mary Wangsarahardja, MPH; DR. Drg. Mardiati Nadjib, MSc; Dr. Adang Bachtiar, MPH, ScD; DR.Drg. Yaslis Ilyas, MPH; Prastuti Chusnun SE, MPH, PhD; Dr. Sandi Iljanto, MPH; DR. Dr. Hendrik M Taurany, MPH; Dr. Peter Patinama, MSc; Dr. Dr. Hafizzurhaman MPH; Pujianto SKM, M Kes, Drg. Ronny Rivany, M Kes; Drg. Wahyu Sulistiyadi MARS; Budi Hidayat SKM, MPPM; Dono Widiatmoko, SKM, MSc; Dr. Mieke Savitri, M Kes; Dr. Tyas MARS; Mila Amegrani, SE, MBA; Ede Sediawan SKM, MSc; dan seluruh staf Departemen AKK.

Saya juga telah banyak berhutang budi kepada pimpinan FKMUI, khususnya Professor DR. Dr. Sudarto Ronoatmodjo, MSc yang telah mendorong saya menyelesaikan tugas-tugas untuk pengusulan Guru Besar saya. Kepada Dr. Kemal Siregar SKM, PhD; Professor DR. Dr. Bambang Sutrisna, MPH; Professor DR. Drs. Sukidjo Notoatmodjo, MSc; Dr. Sjafri Guricci; dan para anggota Dewan Guru Besar Fakultas dan Senat Akademik Fakultas yang telah membantu segala kelancaran proses karir jabatan akademik saya di Fakultas. Saya juga berhutang budi kepada staf di Program Diploma III AKK, Staff dan pegawai di PKEK—khususnya Dr. Laura Mayanda M Kes; Dr. Bagus Satria Budi M Kes; Dr. Mahlil M Kes; Dr. Nugroho M Kes; demikian juga para pegawai di PS KARS yang sangat kreatif dan enerjik, yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu-persatu disini.

Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada professor DR. Dr. Farid Anfasa Moeloek, SpOG yang telah banyak memberikan semangat belajar dan bekerja selama saya bekerja di Program Pascasarjana dan berkarya di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Terima kasih yang sama juga saya sampaikan kepada Professor DR. Dr. Wahyuning Ramelan, Professor DR. Drs. Martani Husaeni, dan DR. Mustafa Nasution dan segenap staf di Program Pascasarjana UI.

Kepada para sejawat dan guru-guru saya yang aktif di Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia juga telah memberikan banyak inspirasi dalam belajar dan berkarya. Professor Dr. Ratna Suprapti Samil, SpOG; Dr. Broto Wasisto, MPH; Dr. Merdias Almatsier, SpS; DR. Dr. Fahmi Idris, M Kes; Dr. Samsi Yacobalis SpB; Dr.

Page 33: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

33

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Josephine M Safri; Dr. Rina; Dr. Saleha Sungkar; dan para pengurus lainnya telah memberikan banyak dorongan kepada saya untuk terus bekerja dan belajar.

Saya juga banyak berhutang budi kepada teman-teman di PAMJAKI (Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia) khusunya kepada Drs. Arnold Oscar, MBA; Dr. Kasir Iskandar; Dr. Susilo Surachmad; Dra. Nurbaiti, M Kes; Dra. Nurhayati Aminullah, MM; Professor Dr. Alif Ghufron Mukti, PhD; Dr. Laksono Trisnantoro, PhD; Drs. Odang Mochtar Abbas, MBA; dan teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu disini.

Kepada teman-teman di lingkungan badan penyelenggara PT Askes dan PT Jamsostek saya juga telah banyak belajar dan bertukar pikiran yang memungkinkan saya lebih mendalami masalah riil asuransi kesehatan di Indonesia. Untuk itu, saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Dr. Sonya Roesma, SKM; Dr. Sulastomo, MPH; Dr. Orie Andari Sutadji, MBA; R. I Gede Subawa, M Kes; Drs. Tri Widodo, Drg. Suhardi, M Kes; Drs. MGS Aritonang, MBA; Dr. Rosa Ginting; Dr. Suzanna Zadli Radjak; Drs. Muchsin Alwi, MPA di PT Askes. Tidak lupa juga kepada bapak Drs. Sukarna; Drs. Djoko Sungkono: Drs. Godham Suprijono; Drg. Evi di PT Jamsostek; Saya juga menyampaikan terima kasih kepada Firdaus Djaelani, SE, MPA dan Ir. Masdar MSc di Direktorat Asuransi Departemen Keuangan dan kepada Ketua Dewan Asuransi Indonesia Hot Bonar Sinaga SE, MM yang telah banyak memberikan sumbangsih dalam pemahaman saya tentang berbagai masalah asuransi kesehatan di Indonesia.

Saya juga telah banyak belajar dari teman-teman di Departemen Kesehatan dan karenanya saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Professor DR. Dr. Azrul Azwar, MPH; Dr. Widiastuti Wibisana, MS(PH); Dr. Gunawan Setiadi, MPH; A Cholik Amin, SE; MM; Dr. Hapsoro, MPH; Dr. Suwarta Kosen, Dr.PH; Dr. Agus Suwandono Dr.PH; Dr. Ridwan Malik, MPH; Ir. Alwi Alhabsi, MPH; Atika Adyas, MDM; Dr. Trihono M Kes; Dr. Ali Alkatiri, Dr. Sudarmono Suyitno, Drg Rizali Noor (alm), Drs. Bastaman; Waluyo, SE, M Kes; Drg. Theresia Ronny Andayani, MPH; Dr. Asih Eka Putri, MPPM dan banyak lagi pejabat Depkes dan staff yang telah banyak memberikan inspirasi dalam saya belajar dan mendalami masalah-masalah kesehatan masyarakat, JPKM, dan pembiayaan kesehatan di Indonesia.

Saya juga telah banyak mendapatkan masukan, dorongan, dan masalah-masalah riil yang harus saya pelajari dari rekan-rekan di lembaga internasional. Untuk Itu saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Stephanus Indrajaya, PhD; Markam Brook, PhD; dari Sarah Barber, PhD; Dr. U Than Sein, dan Guy Carrin, PhD dan teman-teman lain di WHO Indonesia, SEARO, maupun Kantor Pusat. Saya juga ingin menyampaikan terima kasih yang dalam kepada teman-teman di GTZ seperti Dr. Paul Rucket, PhD, Dr. Friedeger Stierle, MBA; Dr. Chripter Lankers; Dr. Ebhard Koob; dan Dr. Gerard Servais yang telah banyak memberikan dukungan dalam pekerjaan saya. Tentu tidak bisa saya lupakan jasa-jasa guru-guru saya selama saya belajar di California dan karenanya saya menghaturkan terima kasih yang dalam kepada Professor Teh Wei-Hu, PhD; Professor Harrold Luft, PhD; Professor Joan Bloom, PhD; Professor Richard Bailey, DBA (alm); Professor

Page 34: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

34

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Richard Shaeffler, PhD; Professor David Starkwether, PhD; Professor Fredrick Balderton; dari Unversitas California di Berkeley, di San Francisco, dan di Los Angeles. Juga terima kasih kepada Professor Glenn Melnick, PhD; Paul Gertler, PhD; Jack Mollyneoux, PhD; Joice Mann, PhD dan teman-teman lain di RAND Corporation dimana saya banyak belajar dan bekerja tentang metodologi riset. Saya juga menghaturkan terima kasih kepada teman-teman konsultan internasional maupun lembaga internasional seperti Mike Smith, John Angelini, Clive Bailey, Viroj Tangchareonsathien, Pongpisut, Bart Smet, dan banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu disini. Tidak lupa saya menghaturkan terima kasih kepada lembaga donor yang telah memberikan beasiswa jangka panjang maupun jangka pendek maupun pekerjaan yang terkait dengan asuransi kesehatan, kesehatan masyarakat, maupun masalah pembiayaan kesehatan lainnya seperti USAID, GTZ, WHO, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia.

Dalam melakukan berbagai upaya perubahan kebijakan dalam bidang kesehatan masyarakat dan masalah kesehatan lainnya saya telah banyak belajar dari para anggota DPR, khususnya di Komisi VII. Untuk Itu saya menghaturkan terima kasih yang dalam kepada Dr. Surya Chandra Surapati, PhD; Dr. Ahmad Sanusi Tambunan, SpPD; Dr. Mariani Baramuli; Dr. Lapomuku; Drs. Posma L Tobing; Professor Dr. Pandapotan Simandjuntak, SpOG; I Ketut Bagiade SH; Drs. Tjarda Mochtar, Drg. Muryono, Drs. Suwitno Adi, bapak Tibrani Basri, bapak KH Bondan, bapak KH Sukardi, dan para anggota DPR lainnya yang tidak bisa saya sebutkan disini.

Dalam upaya membantu pemerintah merumuskan Sistem Jaminan Sosial Nasional, saya telah banyak belajar dan dibantu oleh Ketua dan anggota Tim SJSN. Saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Professor Dr. Yaumil A Achir (Alm), Dr. Sulastomo, MPH; Ir. Atifah Thaha, PhD; Saufie Sjamsudin, SH; Professor Dr. Payaman Simandjuntak, Dr. Mahdi, SpTHT; Professor DR. Dr. Dina H Mahdi, SpPD, Sp Al-K, SH; Yusuf Asri; Lambock Nahattands SH; Professor Dr. Erman Rajaguguk, SH; Firdaus Djaelani, SE, MPA; Drs. Edi Purwanto MPA; Drs. Ahmad Djunaedi, Ak; Drs. Ahmad Subiyanto, dan staff Deputi Kesra kantor Wapres: Sjarifah, SKM; Zulkarnain, SH; Drs. Maman Apt, MBA; Imam, Yayan, Hamidi, SH; Abdul Latief, SH; Staf proyek ADB Gege Helena dan Suwandi PhD. Tidak lupa juga kepada bapak Deputi I Menko Kesra bapak Sudjono, Ngatiyo, Yasin, Farid Husein, Tonny, Sukawati,

Dalam perjalanan menempuh karir saya, saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr. Abdul Syukur, SKM; Dr. Abdul Radjak, SpOG; Dr. Rooslani, SpTHT; Dr. Abdullah Hasan, SpKK (alm); Dr. Sujoto; Dr. Marius Wijaya Drs. Untung Satrio, dan masih banyak lagi teman-teman yang menjadi mitra dalam membahas masalah-masalah kesehatan masyarakat dan pembiayaan kesehatan.

Saya ingin menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Indonesia, Professor Usman Chatib Warsa, SpMB, para wakil Rektor yang telah mempercayakan saya memimpin FKMUI dan memberikan kesempatan saya dalam pengukuhan ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, Senat Akademik Universitas, dan Majelis

Page 35: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

35

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

Wali Amanat Universitas Indonesia yang telah memfasilitasi kelancaran perjalanan karir saya di Universitas Indonesia.

Kepada panitia, baik dari staf FKMUI maupun staf FKUI, dan kepada seluruh staf program Diploma III AKK, Departemen AKK, PS KARS, dan PKEK yang telah turut membantu kelancaran tugas-tugas saya. Terima kasih saya sampaikan kepada saudara Tata Tachman, Dr. Laura Mayanda, Alamsyah dll yang telah membantu saya mempersiapkan bahan-bahan untuk pidato ini.

Terakhir perkenanlah saya menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada seluruh hadirin yang telah berkenan menghadiri upacara pagi ini dan mendengarkan pidato saya, yang mungkin membosankan. Saya ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para hadirin yang mungkin telah memberikan sumbangsih yang besar kepada saya, namun saya terlupa menyampaikan terima kasih saya. Saya juga menyampaikan mohon maaf kepada para hadirin apabila ada kesalahan penyebutan nama ataupun gelar dan kurang tepat menempatkan para hadiri pada upacara ini. Saya juga mohon maaf kepada semua yang telah berperan dalam perkembangan karir saya yang tidak saya undang atau tidak saya sebutkan disini. Semoga semua amal bakti yang telah saudara-saudara berikan mendapat ganjaran yang setimpal dari Allah SWT.

Wabillahit Taufik wal Hidayah, Wassalamualaikum Wr. Wb.

Catatan Kaki 1 Data P2M Depkes, seperti dikutip Kompas 12 April 2004 hal 10 2 SCTV Liputan Enam Pagi, 31 Maret 2004 3 Kompas 2 April 2004, halaman 18 4 WHO. Macro Economic and Health. 5 Feldstein PJ. Health Care Economics. 4th Ed. Delmar Publ. Albany, NY, USA. 1993 6 Henderson JW. Health Economics and Policy. 2nd Ed. South-Western Thomson Learning.

Mason, Ohio, USA 2002 7 Thabrany, H. Kegagalan Pasar dalam Asuransi Kesehatan. MKI Juni 2001 8 lihat UU 9/1969 BUMN jo UU BUMN 2003 9 Azwar, A. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter

Indonesia. Jakarta, 1996 10 Azwar, A. Catatan Tentang Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Yayasan Penerbit

Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 1995 11 Sulastomo. Asuransi Kesehatan dan Managed Care. PT Asuransi Kesehatan Indonesia,

Jakarta.1997 12 Thabrany. H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia.

Jakarta, 1999 13 HIAA. Gorup Health Insurance part A. HIAA, Washington DC. 1997 14 Dixon A and Mossialos E. Health System in Eight Countries: Trends and Challenges. The

European Observatory on Health Care Systems. London, 2002 15 Henderson JW. Op Cit

Page 36: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

36

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

16 Rejda, GE. Social Insurance and Economic Security. 3rd Ed. Prentice Hall, New Jersey,

USA. 1988 17 Friedlander WA and Apte RZ. Introduction to Social Welfare. Prentice Hall. Englewood,

New Jersey, USA, 1980 18 Keintz RM. NHI and Income Distribution. D.C. Health and Company, Lexington, USA,

1976 19 Merritt Publishing, Glossary of Insurance Terms, Santa Monica, CA, USA 1996 20 Tuohy CH. The Costs Of Constraint And Prospects For Health Care Reform In Canada. Health Affairs: 21(3): 32-46, 2002 21 Vayda E dan Deber RB. The Canadian Health-Care System: A Devdelopmental

Overview. Dalam Naylor D. Canadian Health Care and The State. McGill-Queen’s University Press. Montreal, Canada, 1992

22 Roemer MI. Health System of the World. Vol II. Oxford University Press. Oxford, UK. 1993

23 Thabrany, H. Kegagalan Pasar. Op Cit 24 Keintz RM. National Health Insurance and Income Distribution. D.C. Health and

Company, Lexington, USA, 1976 25 Rubin, HW. Dictionary of Insurance Terms. 4th Ed. Barron’s Educational Series, Inc.

Hauppauge, NY, USA 2000 26 Dixon and Mossialos. Op Cit. 27 Stierle. F. German Health Insurance System. Makalah disajikan pada Seminar Asuransi

Kesehatan Sosial, Jakarta 2001 28 Rucket, P. Universal Coverage And Equitable Access To Health Care: The European and

German Experience. Makalah disajikan pada Asia Pacific Summit on Health Insurance and Managed Care. Jakarta, 22-24 Mei, 2002

29 Lankers, C. The German Health Care System. Makalah disajikan pada Kunjungan Tim SJSN di Berlin, 24 Juni 2003

30 Schoultz F. Competition in the Dutch Health Care System. Rotterdam, 1995 31 Dixon and Mossialos. Op Cit 32 Roemer, Milton I. Op Cit 33 www.health.gov.au 34 Hall Jlourenco RA and Viney R. Carrots and Sticks- The Fall and Fall of Private Health

Insurance in Australia. Health Econ 8 (8):653-660, 1999 35 Dixon A and Mossialos E. Op Cit 36 Yoshikawa A, Bhattacharya J, Vogt WB. Health Economics of Japan. University of

Tokyo Press, Tokyo, 1996 37 Okimoto DI dan Yoshikawa A. Japan’s Health System: Efficiency and Effectiveness in

Universal Care. Faulkner & Gray Inc. New York, USA, 1993 38 Nitayarumphong S. Universal Coverage of Health Care: Challenges for Developing

Countries. Paper presented in Workshop of Thailand Universal Coverage. 2002 39 Lee YC, Chang HJ dan Lin PF. Global Budget Payment System: Lesson from Taiwan.

Makalah disajikan dalam Summit 40 BNHI. National Health Insurance Profile 2001. BNHI, Taipei 2002 41 Liu CS. National Health Insurance in Taiwan. Makalah disajikan pada Seminar

Menyongsong Asuransi Kesehatan Nasional, Jakarta 3-5 Maret 2004 42 Rachel Lu J and Hsiao WC. Does Universal Health Insurance Make Health Care

Unaffordable? Lessons From Taiwan. Health Affairs: 22(3): 77-88, 2003

Page 37: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

37

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

43 Cheng TM. Taiwan’s New National Health Insurance: Genesis and And Experience So

Far. Health Affairs: 22(3):61-76 44 Am-Gu. National Health Insurance in Korea. Makalah disajikan dalam Loka Karya

Sistem Jaminan Sosial di Bali, 10-17 Februari 2004 45 Thabrany, H. Universal Coverage in Korea and Thailand. Laporan kepada Proyek Social

Health Insurance, Uni Eropa. Oktober 2003. 46 Park, . National Health Insurance in Korea, 2002. Research Division, NHIC. Memeograph

presented for an Indonesian delegate. 47 Pongpisut. Achieving Universal Coverage of Health Care in Thailand through 30 Baht

Policy. Makalah disampaikan pada SEAMIC Conference, Chiang Mai, Thailand, 14-17 Januari 2002

48 Siamwalla A. Implementing Universal Health Insurance. Dalam Pramualratana P dan Wibulpopprasert S. Health Insurance Systems in Thailand. HSRI, Nonthaburi, Muangtai, 2002

49 Tangchareonsathien V, Teokul, W dan Chanwongpaisal L. Thailand Health Financing System. Makalah disajikan pada Loka Karya Social Health Insurance, Bangkok, 7-9 Juli 2003

50 SSO. Social Health Insurance Scheme in Thailand. SSO, Bangkok 2002 51 WHO/SEARO. Social Health Insurance: Report of a Regional Consultation. WHO, New

Delhi, 2003 52 Novales MA dan Alcantara MO. National Health Insurance Program in Philippines.

Makalah disampaikan pada Summit Jakarta 53 EkaPutri. A. National Health Insurance Program in Decentralized Government in

Archipelago Country: Lesson from the Philippine. Makalah Studi. Asian Scholarship Foundation, 2003.

54 WHO/SEARO.Social HI. Op Cit 55 Sulastomo. Asuransi Kesehatan Sosial—Sebuah Pilihan. Raja Grafindo Persada. Jakarta

2002 56 Sutadji OA. Pengalaman PT Askes dalam Menyelenggarakan Asuransi Kesehatan Sosial

untuk Masyarakat Umum. Makalah disampaikan pada Loka Karya Menyongsong AKN, Jakarta 3-4 Maret 2004.

57 RUU SJSN, 2004 58 Dionne G. Hand Book of Insurance. Kluwer Publication, Boston, 2000 59 Rejda. Op Cit 60 Rosen HS. Public Finance.5th Ed. MC-Graw Hill. New York, USA. 1999 61 Dionne G, Op Cit. 62 Rosen, Oc Cit. 63 Rejda. Op Cit. 64 Butler Op Cit 65 WHO/SEARO Op Cit. 66 Thabrany, H. Rasional Pembayaran Kapitasi. YP IDI. 2000 67 Feldstein. Op Cit 68 Hederson Op Cit 69 Roemer. Op Cit 70 Thabrany, H. Rancang Bangun Sistem Jaminan Kesehatan. Kompas 20-11-2001 71 Dixon Op Cit. 72 Roemer. Op Cit.

Page 38: Asuransi Kesehatan Nasional - Tantangan dan Prospeknya

38

AKN: Tantangan dan Prospeknya Hasbullah Thabrany

73 ILO Indonesia. Social Security and Coverage for All: Restructuring Social Security

Scheme in Indonesia—Issues and Options. ILO, Jakarta 2002 74 Thabrany dkk. Review Pembiayaan Kesehatan Kesehatan di Indonesia. Pusat Kajian

Ekonomi Kesehatan Universitas Indonesia, Depok, 2002 75 Saadah F, Pradhan M, dan Sudarti. Indonesian Health Sector: Analysis of National Social

Economic Surveys for 1995, 1997, and 1998. Mimegoraf, World Bank, 2001 76 Pradhan M and Prescott N. Social Risk Menagement Options for Medical Care in

Indonesia. Health Econ. 11: 431–446 (2002) 77 Thabrany, H dkk. Review Pembiayaan. Op Cit 78 WHO. World Health Report 2000.p55, Geneva, 2001 79 Asher MG. The Pension System in Singapore. The World Bank, Washington DC, USA,

1999 80 ILO Int. Social Security of the World. ILO, Geneva 2002 81 Viroj, T. Makalah dipresentasikan di Loka Karya SHI Bangkok, Juli 2003. 82 Pongpisut, Op Cit. 83 SSO-Thailand. Op Cit 84 Yeung RM, Smith RD, McGhee SM. Willingness to pay and size of health benefit: an

integrated model to test for ‘sensitivity to scale’. Health Econ. 1: …. (2003) 85 Ryan M. A comparison of stated preferencemethods for estimating monetary values.

Health Econ. 4: (2003) 86 Jakarta Post, 13 Februari 2004 87 BPS. Statistik Indonesia 2001. BPS, Jakarta, 2002 88 Sutadji. Op Cit. 89 Gertler P and Solon O. Who Benefits from Social Health Insurance in Developing

Countries. memeograf, Berkeley, USA, 2000 90 Stiglitz. J. The Roraring Ninties—Seeds of Destruction. Allen Lane. London, UK, 2003 91 ILO Indonesia. Op Cit 92 Chusnun, P. dkk. Laporan Survei Biaya Kesehatan Karyawan, PKEK UI, 2003 93 Duque III F T. Universal Social Health Insurance Coverage in the Philippine. Makalah

disajikan pada Regional Consultation on SHI. Bangkok, 7-9 Juli 2003 94 Thabrany H. Introduksi Asuransi Kesehatan. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta 1999. 95 Rucket P. Op Cit