aspek budaya dalam korupsi

4
1 Aspek Budaya dalam Korupsi Oleh: S Waryanti dan AB Wibowo Pada tahun 1970 organisasio-organisasi mahasisiva Indonesia pernah turun ke jalan-jalan di Jakarta untuk memprotes korupsi yang terjadi dalam tubuh pemerintah. Peristiwa ini dapat dikatakan antiklimaks aksi anti korupsi yang terjadi dalam kurun waktu 25 tahun sejarah Republik Indonesia. Aksi ini kemudian mendapat tanggapan serius dari Bapak Soeharto, Presiden Republik Indonesia, yang dengan tegas menyatakan, “tidak perlu ada keragu- raguan lagi, saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi”. Pernyataan pribadi ini sebagian dapat meredam gejolak persoalan yang bergejolak saat itu. Akan tetapi dengan masalah yang sifatnya mudah menyebar korupsi dipastikan menjadi persoalan yang berulang kembali dan tidak ada habisnya. Karena apabila dilihat definisinya . korupsi tidak hanya mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk kepentingan pibadi (korupsi moneter), tetapi juga mencakup aspek skala korupsi juga mencakup pemberian hadiah berupa rokok, penyahlagunaan waktu sampai pemberian komisi dan lain-lain. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bertambah dahsyat menghantui masyaakat kita. Tidak kurang al- marhum M Hatta, bekas Wakil Presiden RI berujar bahwa korupsi te- lah membudaya di Indonesia. Di tahun 1990, Jenderal M Yusuf sebagai Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pernah men- gungkapkan di depan DPR bahwa lembaga yang dipimpinnya itu mene- mukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang ber- laku dalam pemakaian dana-dana pembangunan. Sebuah riset yang Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Umum Serambi Indonesia pada tanggal 27 Desember 1997 hari Sabtu halaman 4. Dra Sri Waryanti dan Drs. Agus Budi Wibowo M.Si, keduanya adalah staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Upload: irsyad-qomar

Post on 11-Nov-2015

15 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Aspek Budaya Dalam Korupsi

TRANSCRIPT

Aspek Budaya dalam Korupsi(Oleh: S Waryanti dan AB Wibowo(Pada tahun 1970 organisasio-organisasi mahasisiva Indonesia pernah turun ke jalanjalan di Jakarta untuk memprotes korupsi yang terjadi dalam tubuh pemerintah. Peristiwa ini dapat dikatakan antiklimaks aksi anti korupsi yang terjadi dalam kurun waktu 25 tahun sejarah Republik Indonesia. Aksi ini kemudian mendapat tanggapan serius dari Bapak Soeharto, Presiden Republik Indonesia, yang dengan tegas menyatakan, tidak perlu ada keragu-raguan lagi, saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi.

Pernyataan pribadi ini sebagian dapat meredam gejolak persoalan yang bergejolak saat itu. Akan tetapi dengan masalah yang sifatnya mudah menyebar korupsi dipastikan menjadi persoalan yang berulang kembali dan tidak ada habisnya. Karena apabila dilihat definisinya.korupsi tidak hanya mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk kepentingan pibadi (korupsi moneter), tetapi juga mencakup aspek skala korupsi juga mencakup pemberian hadiah berupa rokok, penyahlagunaan waktu sampai pemberian komisi dan lain-lain.

Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia bertambah dahsyat menghantui masyaakat kita. Tidak kurang almarhum M Hatta, bekas Wakil Presiden RI berujar bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Di tahun 1990, Jenderal M Yusuf sebagai Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pernah mengungkapkan di depan DPR bahwa lembaga yang dipimpinnya itu menemukan banyak penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam pemakaian dana-dana pembangunan. Sebuah riset yang dilakukan oleh lembaga riset luar negeri mengambil kesimpulan bahwa korupsi masih berlangsung di Indonesia dan tampaknya makin marak saja. Mengapa korupsi menjadi penyakit kronis yang tidak pemah hilang di Indonesia? Tentunya, banyak faktor yang dapat menyebabkannya. Tulisan ini mencoba mengangkat masalah korupsi dari aspek budaya.Aspek budaya

Pada beberapa abad yang lalu banyak daerah di Pulau Jawa diperintah secara efektif oleh kaum aristokrat. Kaum ini banyak yang menikmati hak-hak istimewa patrimonial yang berbeda dengan di Eropa yang feodal. Banyak jabatan seperti pangeran, atau waliraja merupakan jabatan yang diwariskan secara turun temurun. Mereka mendapat sebagian hasil panen dari rakyat, seperti halnya dengan jasa domestik yang dikenal dengan panen.

Pada masa pemerintahan Daendles hak-hak istimewa itu mulai dihilangkan. Namun usaha-usaha Daendles tersebut terancam gagal karena adanya dampak Perang di Jawa (1825-1830). Akan tetapi pada akhir abad ke19 kondisi berbalik dan mulai banyak hak istimewa tradisional tersebut mulai dikurangi pada segenap pemerintahan, kecuali di desa yang merupakan basis pemerintahan sipil di Jawa. Di saat itu tidak ada pembedaan antara uang yang masuk dan keluar. Kepala desa yang tidak digaji memungut pajak, membayar untuk diri sendiri apa yang mereka rasakan patut untuk mereka dan baru memakai sisanya untuk kepentingan desa. Singkatnya secara tradisi hanya terdapat sedikit perbedaan antara uang pmerintah dan uang pribadi. Praktek ini seluruhnya sesuai dengan nilai-nilai patrimonial.

Sejak kemerdekaan pola ini hanya sedikit.mengalami perubahan di banyak desa di Jawa. Karena banyak anak desa yang mulai menduduki jabatan tingkat kecamatan, kabupaten. Namun tingkah laku dan nilai-nilai yang diterima secara tradisional itu tiba-tiba menjadi tingkah laku dan nilai yang korup secara legal. Oleh karena sebagian besar dari pegawai Indonesia dewasa ini berbasis dan dibesarkan di desa dan di dalam diri mereka pasti sudah (dan masih) membawa banyak nilai-nilai tradisional itu ke dalam jabatan mereka, maka pertentangan berdasarkan norma ini mempunyai hubungan yang penting atas tingkah laku birokratik mereka (Soenarso, 1996: Smith, 1993).

Oleh karena contoh yang tepat dari pejabat regional menunjukkan mayoritas yang jelas bahwa mereka dilahirkan dan dibesarkan di desa, maka terdapat hubungan potensial dengan sistem patrimonial, seperti diuraikan begitu baik oleh Geertz. Meskipun tidak ada data pembanding yang baik untuk menunjukkan perbedaan dalam nilai-nilai di daerah desa dan kota, namun sisa-sisa struktur nilai patrimonial yang kuat dapat dijumpai pada sebagian besar penduduk kota yang multi-generasi. Jadi tidak adanya kesesuaian antara nilai pegawai negeri dan norma birokratik yang rasional legal, lebih umum dari pada data yang ditunjukkan oleh tempat lahir dan masa kecil.

Meskipun penjelasan yang diberikan di atas tidak dimaksudkan sebagai pembelaan atas korupsi. Penjelasan ini cukup berguna untuk menjelaskan dilema yang dihadapi oleh banyak pejabat pemerintah. Dididik dalam nilai-nilai desa secara tradisional banyak dari mereka memasuki pemerintah langsung pada saat kemerdekaan tanpa memperoleh manfaat dari perubahan nilai yang ditimba dari pendidik yang lebih tinggi. Dewasa ini mereka dibebani (dibantu ?) oleh nilai-nilai tradisional atau kalau tidak mereka mengetahui sedang dalam keadaan disorientasi moral yang meningkat.

Pemahaman makna sistem nilai tradisional yang berlanjut terus di Jawa juga membantu menjelaskan mengapa gerakan anti-korupsi jarang bertahan lama (Smith, 1993). Budaya administratif di Jawa dibangun atas dasar kedudukan status, sikap ramah dan rasahormat yang berlebihan.

Dengan demikian, untuk melakukan tuduhan langsung terhadap seseorang karena praktek korupsi menimbulkan perselisihan terbuka yang tidak akan menyenangkan dan akan mengancam mata pencaharian dan status seseorang, keluarga, staf, dan bahkan mungkin organisasinya.Sebagai benang yang mulai terurai, pengungkapan perbuatan salah seorang pejabat dapat menimbulkan keterlibatan yang merusak beberapa orang lain, bahkan mereka yang tidak dicurigai. Seorang peneliti, David Mitchel (Smith, 1993) mengemukakan bahwa sebagian besar dari pejabat dalam kabupaten yang diselidikinya saling terlibat dalam praktek korupsi tahu sama tahu. Untuk tipikal orang Jawa, biaya batiniah dari pertikaian langsung antara orang banyak dan budaya yang terlibat dalam gerakan anti korupsi.Padahal hal itu merupakan syarat mutlak agar gerakan ini berhasil dan berdaya guna.

Akhirnya, bahwa korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain di dunia juga berlangsung tindakan-tindakan semacamnya. Penyakit ini tidak akan hilang apabila tidak ada tindakan nyata dari individu dan political will dari pemerintah untuk memberantasnya. Salah satu cara mungkin dapat dilaksanakan adalah melalui upaya-upaya penelusuran akar dari masalah yang menjadi penyebab. Upaya tersebut diantaranya bisa melalui gerakan disiplin nasional (GDN) yang terdiri dari budaya kerja.budaya tertib, budaya bersih, dan budaya malu.

(Tulisan ini pernah dimuat dalam Harian Umum Serambi Indonesia pada tanggal 27 Desember 1997 hari Sabtu halaman 4.

( Dra Sri Waryanti dan Drs. Agus Budi Wibowo M.Si, keduanya adalah staf Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh