askep klien dengan otitis media akut serosa kronik
DESCRIPTION
SISTEM SENSORI PERSEPSITRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otitis media sebenarnya radang telinga tengah. Nama keren ini berasal dari
kata oto yang artinya telinga, itis berarti radang, dan media yang menunjukkan
bagian tengah. Jadi, otitis media itu peradangan sebagian atau seluruh telinga
tengah.
Telinga dibagi atas tiga bagian, yakni telinga luar, tengah, dan dalam.
Telinga luar meliputi daun telinga sampai membran timpani atau gendang
telinga, yang menjadi pembatas antara dunia luar dengan rongga telinga tengah.
Rongga telinga ini juga menjadi muara tuba eustachius, saluran yang
menghubungkan daerah nasofaring di rongga mulut dengan rongga telinga.
Tuba eustachius memiliki peranan cukup penting. Selain sebagai ventilasi agar
tekanan di rongga telinga sama dengan tekanan udara luar, saluran ini juga
merupakan penghalang masuknya kuman dari nasofaring ke telinga tengah.
Secara normal tuba dalam keadaan tertutup. Kalau telinga tengah perlu oksigen,
ketika mengunyah, menelan, atau menguap, saluran ini baru terbuka. Di telinga
tengah juga terdapat tiga tulang pendengaran yang saling bersambungan dan
menghubungkan gendang telinga dan rumah siput (koklea) di telinga dalam.
Rumah siput merupakan tujuan akhir getaran suara sebelum diteruskan melalui
saraf pendengaran dan keseimbangan ke otak.
Telinga tengah biasanya steril. Di dalam tuba eustachius ada mekanisme
pertahanan untuk mencegah masuknya mikroba dari rongga mulut ke rongga
telinga. Namun, dalam kondisi tertentu, ketika pertahanan terganggu, infeksi di
telinga tengah bisa terjadi. Kuman masuk ke telinga tengah seolah tanpa
perlawanan. Kuman inilah yang menimbulkan otitis media.
Maka dari uraian di atas, penulis mencoba mengangkat masalah tentang
Otitis media akut, serosa dan kronik.
1
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien dengan Otitis
media akut, kronik, dan serosa.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dasar teoritis otitis media akut, kronik dan
serosa.
2. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan pada klien
dengan otitis media akut, kronik dan serosa yang meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, dan intervensi.
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. ANATOMI TELINGA TENGAH
Telinga tengah terdiri dari :
1. Membran timpani.
2. Kavum timpani.
3. Prosesus mastoideus.
4. Tuba eustachius
2.1.1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan liang
telinga luar dari kavum timpani. Membrana ini panjang vertikal rata-rata 9-10 mm
dan diameter antero-posterior kira -kira 8-9 mm, ketebalannya rata-rata 0,1 mm .
Letak membrana timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring
yang arahnya dari belakang luar kemuka dalam dan membuat sudut 450 dari dataran
sagital dan horizontal. Membrana timpani merupakan kerucut, dimana bagian puncak
dari kerucut menonjol kearah kavum timpani, puncak ini dinamakan umbo. Dari
umbo kemuka bawah tampak refleks cahaya ( none of ligt)13.
Membran timpani mempunyai tiga lapisan yaitu :
1. Stratum kutaneum ( lapisan epitel) berasal dari liang telinga.
2. Stratum mukosum (lapisan mukosa) berasal dari kavum timpani.
3. Stratum fibrosum ( lapisan propria) yang letaknya antara stratum kutaneum
dan mukosum.
Lamina propria yang terdiri dari dua lapisan anyaman penyabung elastis yaitu:
1. Bagian dalam sirkuler.
2. Bagian luar radier .
Secara Anatomis membrana timpani dibagi dalam 2 bagian :
1. Pars tensa
Merupakan bagian terbesar dari membran timpani suatu permukaan yang
tegang dan bergetar sekeliling menebal dan melekat pada anulus fibrosus
pada sulkus timpanikus bagian tulang dari tulang temporal.
2. Pars flasida atau membran Shrapnell, letaknya dibagian atas muka dan
lebih tipis dari pars tensa dan pars flasida dibatasi oleh 2 lipatan yaitu :
3
1. Plika maleolaris anterior ( lipatan muka).
2. Plika maleolaris posterior ( lipatan belakang).
Membran timpani terletak dalam salura n yang dibentuk oleh tulang dinamakan
sulkus timpanikus. Akan tetapi bagian atas muka tidak terdapat sulkus ini dan bagian
ini disebut insisura timpanika ( Rivini)13.
Permukaan luar dari membrana timpani disarafi oleh cabang n. Aurikulo temporalis
dari nervus mandibula dan nervus vagus. Permukaan dalam disarafi oleh n. timpani
cabang dari nervus glosofaringeal. Aliran darah membrana timpani berasal dari
permukaan luar dan dalam. Pembuluh-pembuluh epidermal berasal dari aurikula yang
dalam cabang dari arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa telinga tengah
didarahi oleh timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna dan oleh
stylomastoid cabang dari arteri aurikula posterior13.
2.1.2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm,
sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu:
bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, d inding
posterior.
1. Atap kavum timpani.
Dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani
memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus temporalis dari otak.
Bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal dan sebagian lagi oleh
skuama dan garis sutura petroskuama. Dinding ini hanya dibatasi oleh tulang yang
tipis atau ada kalanya tidak ada tulang sama sekali ( dehisensi). Pada anak-anak,
penulangan dari sutura petroskuamosa belum terbentuk pada daerah tegmen timpani,
sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi dari kavum timpani ke
meningen dari fosa kranial media. Pada orang dewasa bahkan vena-vena dari telinga
tengah menembus sutura ini dan berakhir pada sinus petroskuamosa dan sinus
petrosal superior dimana hal ini dapat menyebabkan penyebaran infeksi dari telinga
tengah secara langsung ke sinus-sinus venosus kranial.
2. Lantai kavum timpani
Dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus
jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani mudah
merembet ke bulbus vena jugularis.
4
3. Dinding medial.
Dinding medial ini memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga
merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpanum
menonjol kearah kavum timpani, yang disebut promontorium Tonjolan ini oleh
karena didalamnya terdapat koklea. Didalam promontorium terdapat beberapa
saluran-saluran yang berisi saraf-saraf yang membentuk pleksus timpanikus.
Dibelakang dan atas promontorium terdapat fenestra vestibuli atau foramen ovale
(oval windows), bentuknya seperti ginjal dan berhubungan pada kavum timpani
dengan vestibulum, dan ditutupi oleh telapak kaki stapes dan diperkuat oleh
ligamentum anularis. Foramen ovale berukuran 3,25 mm x 1,75 mm. Diatas fenestra
vestibuli, sebagai tempat jalannya nervus fasialis. Kanalis ini didalam kavum timpani
tipis sekali atau tidak ada tulang sama sekali ( dehisensi).
Fenestra koklea atau foramen rotundum ( round windows), ditutupi oleh suatu
membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder, terletak dibelakang bawah.
Foramen rotundum ini berukuran 1,5 mm x 1,3 mm pada bagian anterior dan posterior
1,6 mm.
Kedua lekukan dari foramen ovale dan rotundum berhubungan satu sama lain pada
batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam yaitu sinus timpanikus.
Suatu ruang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior atau resesus fasial yang
didapat disebelah lateral kanalis fasial dan prosesus piramidal. Dibatasi sebelah lateral
oleh anulus timpanikus posterosuperior, sebelah superior
oleh prosesus brevis inkus yang melekat kefosa inkudis. Lebar resesus fasialis 4,01
mm dan tidak bertambah semenjak lahir. Resesus fasialis penting karena sebagai
pembatas antara kavum timpani dengan kavum mastoid sehingga bila aditus antrum
tertutup karena suatu sebab maka resesus fasialis bisa dibuka untuk menghubungkan
kavum timpani dengan kavum mastoid.
4. Dinding posterior
Dinding posterior dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus, yang
menghubungkan kavum timpani dengan atrum mastoid melalui epitimpanum.
Dibawah aditus terdapat lekukan kecil yang disebut fosa inkudis yang merupakan
suatu tempat prosesus brevis dari inkus dan melekat pada serat-serat ligamen.
Dibawah fosa inkudis dan dimedial dari korda timpani adalah piramid, tempat
terdapatnya tendon muskulus stapedius, tendon yang berjalan keatas dan masuk
kedalam stapes. Diantara piramid dan anulus timpanikus adalah resesus fasialis.
5
Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan sinus
sigmoid.
Disebelah dalam dari piramid dan nervus fasialis merupakan perluasan kearah
posterior dari mesotimpani adalah sinus timpani. Perluasan sel-sel udara kearah
dinding posterior dapat meluas seperti yang dilaporkan Anson dan Donaldson
(1981), bahwa apabila diukur dari ujung piramid, sinus dapat meluas sepanjang 9 mm
kearah tulang mastoid. Dinding medial dari sinus timpani kemudian berlanjut ke
bagian posterior dari dinding medial kavum timpani dimana berhubungan dengan dua
fenestra dan promontorium.
5. Dinding anterior
Dinding anterior kavum timpani agak sempit tempat bertemunya dinding
medial dan dinding lateral kavum timpani. Dinding anterior bawah adalah lebih besar
dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis
pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior.
Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior yang membawa
serabut-serabut saraf simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang
timpani dari arteri karotis interna1.
Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius. Tuba
ini berhubungan dengan nasofaring dan mempunyai dua fungsi. Pertama
menyeimbangkan tekanan membran timpani pada sisi sebelah dalam, kedua sebagai
drainase sekresi dari telinga tengah, termasuk sel-sel udara mastoid. Diatas tuba
terdapat sebeuah saluran yang berisi otot tensor timpani. Dibawah tuba, dinding
anterior biasanya tipis dimana ini merupakan dinding posterior dari saluran karotis.
6. Dinding lateral
Dinding lateral kavum timpani adalah bagian tulang dan membran. Bagian tulang
berada diatas dan bawah membran timpani.
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
a. Epitimpanum.
Berada dibagian atas membran timpani. Merupakan bagian superior kavum timpani,
disebut juga atik karena terletak diatas membran timpani. sebagian besar atik diisi
oleh maleus inkus. Dibagian superior epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan
tipis os posterior. Dinding medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh
penonjolan kanalis semisirkularis lateral. Pada bagian anterior terdapat ampula kanalis
superior, dan lebih anterior ada ganglion genikulatum, yang merupakan tanda ujung
6
anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari maleus oleh suatu ruang yang
sempit, disini dapat dijumpai muara sel-sel udara yang membuat pneumatisasi
pangkal tulang pipi (zygoma). Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang
berlanjut kearah lateral sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas.
Diposterior, atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad
antrum.
b. Mesotimpanum
Terletak kearah medial dari membran timpani. Disebelah medial dibatasi oleh kapsul
otik, yang terletaknya lebih rendah dari pada nervus fasialis pars timpani. Dinding
anterior mesotimpani terdapat orifisium timpani tuba eustachius pada bagian superior
dan membentuk bagian tulang dinding saluran karotis asendens pada bagian inferior.
Dinding ini biasanya mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian
bagian tulang lemah.
c. Hipotimpanum atau resesus hipotimpanikus
Terletak dibawah membrana timpani, berhubungan dengan bulbos jugulare.
Kavum timpani terdiri dari :
1. Tulang-tulang pendengaran ( maleus, inkus, stapes).
2. Dua otot.
3. Saraf korda timpani.
4. Saraf pleksus timpanikus.
Tulang-tulang pendengaran terdiri dari :
1. Malleus ( hammer / martil).
2. Inkus ( anvil/landasan)
3. Stapes ( stirrup / pelana)
Malleus
Malleus adalah tulang yang paling besar diantara semua tulang-tulang pendengaran
dan terletak paling lateral, lehe r, prosesus brevis (lateral), prosesus anterior, lengan
(manubrium). panjangnya kira-kira 7,5 sampai 9,0 mm. kepala terletak pada
epitimpanum atau didalam rongga atik, sedangkan leher terletak dibelakang pars
flaksida membran timpani. Manubrium terdapat didalam membran timpani, bertindak
sebagai tempat perlekatan serabut-serabut tunika propria. Ruang antara kepala dari
maleus dan membran Shrapnell dinamakan Ruang Prussak. Maleus ditahan oleh
7
ligamentum maleus anterior yang melekat ke tegmen dan juga oleh ligamentum
lateral yang terdapat diantara basis prosesus brevis dan pinggir lekuk Rivinus.
Inkus
Inkus terdiri dari badan inkus ( corpus) dan 2 kaki yaitu : prosesus brevis dan prosesus
longus. Sudut antara prosesus brevis dan longus membentuk sudut lebih kurang 100
derajat. Inkus berukuran 4,8 mm x 5,5 mm pada pinggir dari corpus, prosesus longus
panjangnya 4,3 mm-5,5 mm.
Inkus terletak pada epitimpanum, dimana prosesus brevis menuju antrum, prosesus
longus jalannya sejajar dengan manubrium dan menuju ke bawah. Ujung prosesus
longus membengkok kemedial merupakan suatu prosesus yaitu prosesus lentikularis.
Prosesus ini berhubungan dengan kepala dari stapes.
Maleus dan inkus bekerja sebagai satu unit, memberikan respon rotasi terhadap
gerakan membran timpani melalui suatu aksis yang merupakan suatu garis antara
ligamentum maleus anterior dan ligamentum inkus pada ujung prosesus brevis.
Gerakan-gerakan tersebut tetap dipelihara berkesinambungan oleh inkudomaleus.
Gerakan rotasi tersebut diubah menjadi gerakan seperti piston pada stapes melalui
sendi inkudostapedius.
Stapes
Merupakan tulang pendengaran yang teringan, bentuknya seperti sanggurdi beratnya
hanya 2,5 mg, tingginya 4mm-4,5 mm. Stapes terdiri dari kepala, leher, krura anterior
dan posterior dan telapak kaki ( foot plate), yang melekat pada foramen ovale dengan
perantara ligamentum anulare.
Tendon stapedius berinsersi pada suatu penonjolan kecil pada permukaan posterior
dari leher stapes. Kedua krura terdapat pada bagian leher bawah yang lebar dan krura
anterior lebih tipis dan kurang melengkung dari pada posterior.
Kedua berhubungan dengan foot plate yang biasanya mempunyai tepi superior yang
melengkung, hampir lurus pada tepi posterior dan melengkung di anterior dan ujung
posterior. panjang foot plat e 3 mm dan lebarnya 1,4 mm, dan terletak pada menestra
vestibuli dimana ini melekat pada tepi tulang dari kapsul labirin oleh ligamentum
anulare Tinggi stapes kira-kira 3,25 mm
Otot-otot pada kavum timpani.
Terdiri dari : otot tensor timpani ( muskulus tensor timpani) dan otot stapedius
8
( muskulus stapedius)
Otot tensor timpani adalah otot kecil panjang yang berada 12 mm diatas tuba
eustachius. Otot ini melekat pada dinding semikanal tensor timpani. Kanal ini terletak
diatas liang telinga bagian tulang dan terbuka kearah liang telinga sehingga disebut
semikanal. Serabut -serabut otot bergabung dan menjadi tendon pada ujung
timpanisemikanal yang ditandai oleh prosesus kohleoform. Prosesus ini membuat
tendon tersebut membelok kearah lateral kedalam telinga tengah. Tendon berinsersi
pada bagian atas leher maleus. Muskulus tensor timpani disarafi oleh cabang saraf
kranial ke 5. kerja otot ini menyebabkan membran timpani tertarik kearah dalam
sehingga menjadi lebih tegang dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem
penghantar suara serta melemahkan suara dengan freksuensi rendah.
Otot stapedius adalah otot yang relatif pendek. Bermula dari dalam kanalnya
didalam eminensia piramid, serabut ototnya melekat ke perios kanal tersebut.
Serabut-serabutnya bergabung membentuk tendon stapedius yang berinsersi pada
apek posterior leher stapes. M. Stapedius disarafi oleh salah satu cabang saraf kranial
ke 7 yang timbul ketika saraf tersebut melewati m. stapedius tersebut pada
perputarannya yang kedua. Kerja m.stapedius me narik stapes ke posterior
mengelilingi suatu pasak pada tepi posterior basis stapes. Keadaan ini stapes kaku,
memperlemah transmisi suara dan meningkatkan frekuensi resonansi tulang-tulang
pendengaran
Saraf Korda timpani
Merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus
posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior. Korda timpani
memasuki telinga tengah bawah pinggir posterosuperior sulkus timpani dan berjalan
keatas depan lateral keprosesus longus dari inkus dan kemudian ke bagian bawah
leher maleus tepatnya diperlekatan tendon tensor timpani. Setelah berjalan kearah
medial menuju ligamentum maleus anterior, saraf ini keluar melalui fisura
petrotimpani.
Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang
berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui ganglion
submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3 depan lidah
bagian anterior.
Pleksus timpanikus
Adalah berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan
9
nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis
interna. Saraf dari pleksus ini dan kemudian berlanjut pada :
1. Cabang-cabang pada membrana mukosa yamg melapisi kavum timpani, tuba
eustachius, antrum mastiod dan sel-sel mastoid.
1. Sebuah cabang yang berhubungan dengan nervus petrosus superfisial mayor.
2. Pada nervus petrosus superfisial minor, yang mengandung serabut-serabut
parasimpatis dari N. IX. Saraf ini meninggalkan telinga tengah melalui suatu
saluran yang kecil dibawah m. tensor timpani kemudian menerima serabut
saraf parasimpatik dari N. VII dengan melalui cabang dari ganglion
genikulatum. Secara sempurna saraf berjalan melalui tulang temporal, dilateral
sampai nervus petrosus superfisial mayor, diatas dasar fosa kranial media,
diluar durameter. Kemudian berjalan melalui foramen ovale dengan nervus
mandibula dan arteri meningeal assesori sampai ganglion otik. Kadang-kadang
saraf ini tidak berjalan pada foramen ovale tetapi melalui foramen yang kecil
sampai foramen spinosum.
Serabut post ganglion dari ganglion otik menyuplai serabut-serabut sekremotor pada
kelenjar parotis melalui nervus aurikulotemporalis.
Saraf fasial
Meninggalkan fosa kranii posterior dan memasuki tulang temporal melalui meatus
akustikus internus bersamaan dengan N. VIII. Saraf fasial terutama terdiri dari dua
komponen yang berbeda, yaitu :
1. Saraf motorik untuk otot-otot yang berasal dari lengkung brankial
kedua(faringeal) yaitu otot ekspresi wajah, stilohioid, posterior belly m.
Digastrik dan m. stapedius.
2. Saraf intermedius yang terdiri dari saraf sensori dan sekretomotor
parasimpatetis preganglionik yang menuju ke semua glandula wajah kecuali
parotis.
Saraf kranial VII mencapai dinding medial kavum timpani melalui auditori meatus
diatas vestibula labirin tulang. Kemudian membelok kearah posterior dalam tulang
diatas feromen ovale terus ke dinding posterior kavum timpani. Belokan kedua terjadi
dinding posterior mengarah ke tulang petrosa melewati kanal fasial keluar dari dasar
tengkorak melewati foramen stilomastoidea. Pada belokan pertama di dinding medial
dari kavum timpani terdapat ganglion genikulatum, yang mengandung sel unipolar
palsu. Sel ini adalah bagian dari jaringan perasa dari 2/3 lidah dan palatum. Saraf
10
petrosa superfisial yang besar bercabang dari saraf kranial VII pada ganglion
genikulatum, masuk ke dinding anterior kavum timpani, terus ke fosa kranial tengah.
Saraf ini mengandung jaringan perasa dari palatum dan jaringan sekremotor dari
glandula atap rongga mulut, kavum nasi dan orbita. Bagian lain dari saraf kranial VII
membentuk percabangan motor ke otot stapedius dan korda timpani. Korda timpani
keluar ke fosa intra temporal melalui handle malleus, bergerak secara vertikal ke
inkus dan terus ke fisura petrotimpanik. Korda timpani mengandung jaringan perasa
dari 2/3 anterior lidah dan jaringan sekretorimotor dari ganglion submandibula. Sel
jaringan perasanya terdapat di ganglion genikulatum.
2.1.3. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal.
Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral
fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak dibawah duramater pada daerah ini. Pada
dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.
Aditus antrum mastoid adalah suatu pintu yang besar iregular berasal dari
epitisssmpanum posterior menuju rongga antrum yang berisi udara, sering disebut
sebagai aditus ad antrum. Dinding medial merupakan penonjolan dari kanalis
semisirkularis lateral. Dibawah dan sedikit ke medial dari promontorium terdapat
kanalis bagian tulang dari n. fasialis. Prosesus brevis inkus sangat berdekatan dengan
kedua struktur ini dan jarak rata-rata diantara organ : n. VII ke kanalis semisirkularis
1,77 mm; n.VII ke prosesus brevis inkus 2,36 mm : dan prosesus brevis inkus ke
kanalis semisirkularis 1,25 mm.
Antrum mastoid adalah sinus yang berisi udara didalam pars petrosa tulangtemporal.
Berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus dan mempunyai sel-sel udara
mastoid yang berasal dari dinding-dindingnya. Antrum sudah berkembang baik pada
saat lahir dan pada dewasa mempunyai volume 1 ml, panjang dari depan kebelakang
sekitar 14 mm, daria atas kebawah 9mm dan dari sisi lateral ke medial 7 mm. Dinding
medial dari antrum berhubungan dengan kanalis semisirkularis posterior dan lebih ke
dalam dan inferiornya terletak sakus endolimfatikus dan dura dari fosa kranii
posterior. Atapnya membentuk bagian dati lantai fosa kranii media dan memisahkan
antrum dengan otak lobus temporalis. Dinding posterior terutama dibentuk oleh
tulang yang menutupi sinus. Dinding lateral merupakan bagian dari pars skumosa
tulang temporal dan meningkat ketebalannya selama hidup dari sekitar 2 mm pada
saat lahir hingga 12-15 mm pada dewasa. Dinding lateral pada orang dewasa
11
berhubungan dengan trigonum suprameatal ( Macewen’s) pada permukaan luar
tengkorak. Lantai antrum mastoid berhubungan dengan otot digastrik dilateral dan
sinus sigmoid di medial, meskipun pada aerasi tulang mastoid yang jelek, struktur ini
bisa berjarak 1 cm dari dinding antrum inferior. Dinding anterior antrum memiliki
aditus pada bagian atas, sedangkan bagian bawah dilalui n.fasialis dalam perjalanan
menuju ke foramen stilomastoid.
Prosesus mastoid sangat penting untuk sistem pneumatisasi telinga. Pneumatisasi
didefinisikan sebagai suatu proses pembentukan atau perkembangan rongga-rongga
udara didalam tulang temporal, dan sel-sel udara yang terdapat didalam mastoid
adalah sebagian dari sistem pneumatisasi yang meliputi banyak bagian dari tulang
temporal. Sel-sel prosesus mastoid yang mengandung udara berhubungan dengan
udara didalam telinga tengah. Bila prosesus mastoid tetap berisi tulang-tulang
kompakta dikatakan sebagai pneumatisasi jelek dan sel-sel yang berpneumatisasi
terbatas pada daerah sekitar antrum. Prosesus mastoid berkembang setelah lahir
sebagai tuberositas kecil yang berpneumatisasi secara sinkron dengan pertumbuhan
antrum mastoid. Pada tahun pertama kehidupan prosesus ini terdiri dari tulang-tulang
seperti spon sehingga mastoiditis murni tidak dapat terjadi. Diantara usia 2 dan 5
tahun pada saat terjad i pneumatisasi prosesus terdiri atas campuran tulang-tulang
spon dan pneumatik.
Pneumatisasi sempurna terjadi antara usia 6 – 12 tahun. Luasnyapneumatisasi
tergantung faktor herediter konstitusional dan faktor peradangan pada waktu umur
muda. Bila ada sifat biologis mukosa tidak baik maka daya pneumatisasi hilang atau
kurang. Ini juga terjadi bila ada radang pada telinga yang tidak menyembuh. Maka
nanti dapat dilihat pneumatisasi yang terhenti (pneumatisationshemung arrested
pneumatisation) atau pneumatisasi yang tidak ada sama sekali (teori dari Wittmack).
Menurut derajatnya, pneumatisasi prosesus mastoideus ini dapat dibagi atas :
1. Proesesus Mastoideus Kompakta ( sklerotik), diomana tidak ditemui sel-sel.
2. Prosesus Mastoideus Spongiosa, dimana terdapat sel-sel kecil saja.
3. Prosesus Mastoideus dengan pneumatisasi yang luas, dimana sel-sel disini besar.
Sellulae mastoideus seluruhnya berhubungan dengan kavum timpani. Dekat antrum
sel-selnya kecil tambah keperifer sel-selnya bertambah besar. Oleh karena itu bila ada
radang pada sel-sel mastoid, drainase tidak begitu baik hingga mudah terjadi radang
pada mastoid (mastoiditis)13.
12
Menurut tempatnya sel-sel ini dapat dibedakan :
1. Terminal
2. Perisinus
3. Sudut petrosal
4. Sub dural
5. Zigomatik
6. Facial
7. Periantral
8. Perilabirinter
2.1.4. Tuba Eustachius
Tuba eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani. bentuknya
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke
bawah, depan dan medial dari telinga tengah 13 dan pada anak dibawah 9 bulan
adalah 17,5 mm13.
Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
1. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
2. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Bagian tulang sebelah lateral berasal dari dinding depan kavum timpani, dan
bagian tulang rawan medial masuk ke nasofaring. Bagian tulang rawan ini
berjalan kearah posterior, superior dan medial sepanjang 2/3 bagian
keseluruhan panjang tuba (4 cm), kemudian bersatu dengan bagian tulang atau
timpani. Tempat pertemuan itu merupakan bagian yang sempit yang disebut
ismus. Bagian tulang tetap terbuka, sedangkan bagian tulang rawan selalu
tertutup dan berakhir pada dinding lateral nasofaring. Pada orang dewasa
muara tuba pada bagian timpani terletak kira-kira 2-2,5 cm, lebih tinggi
dibanding dengan ujungnya nasofaring. Pada anak-anak, tuba pendek, lebar
dan letaknya mendatar maka infeksi mudah menjalar dari nasofaring ke telinga
tengah. Tuba dilapisi oleh mukosa saluran nafas yang berisi sel-sel goblet dan
kelenjar mukus dan memiliki lapisan epitel bersilia didasarnya. Epitel tuba
terdiri dari epitel selinder berlapis dengan sel selinder. Disini terdapat silia
dengan pergerakannya ke arah faring. Sekitar ostium tuba terdapat jaringan
limfosit yang dinamakan tonsil tuba.
13
Otot yang berhubungan dengan tuba eustachius yaitu :
1. M. tensor veli palatini
2. M. elevator veli palatini
3. M. tensor timpani
4. M. salpingofaringeus
Fungsi tuba eustachius sebagai ventilasi telinga yaitu mempertahankan keseimbangan
tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drenase sekret dari
kavum timpani ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke
kavum timpani.
2.2. FISIOLOGI PENDENGARAN
Getaran suara ditangkap oleh daun telinga yang dialirkan keliang telinga dan
mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar. Getaran ini
diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain.
Selanjutnya stapes menggerakkan tingkap lonjong (foramen ovale) yang juga
menggerakkan perilimf dalam skala vestibuli. Getaran diteruskan melalui membran
Reissener yang mendorong endolimfe dan membran basal kearah bawah, perilimfe
dalam skala timpani akan bergerak sehingga tingkap (forame rotundum) terdorong ke
arah luar13.
Skala media yang menjadi cembung mendesak endolimf dan mendorong membran
basal, sehingga menjadi cembung kebawah dan menggerakkan perilimf pada skala
timpani. Pada waktu istirahat ujung sel rambut berkelok-kelok, dan dengan
berubahnya membran basal ujung sel rambut menjadi lurus. Rangsangan fisik tadi
diubah oleh adanya perbedaan ion Kalium dan ion Natrium menjadi aliran listrik yang
diteruskan ke cabang-cabang n.VII, yang kemudian meneruskan rangsangan itu ke
pusat sensorik pendengaran diotak ( area 39-40) melalui saraf pusat yang ada dilobus
temporalis.
2.3. Konsep dasar teori
2.3.1. Pengertian
Otitis media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid (Buku Ajar
Ilmu penyakit THT, 1998:hal.50). atau dalam sebutan sehari-hari disebut
“congek”.
14
Ada 3 ( tiga ) jenis otitis media yang paling umum ditemukan di klinik,
yaitu:
1) Otitis media akut merupakan infeksi akut telinga tengah (Keperawatan
Medikal-Bedah Volume 3, 2002:hal.2050).
Otitis media akut adalah keadaan dimana terdapatnya cairan di dalam
telinga tengah dengan tanda dan gejala infeksi (Buku Ajar Ilmu penyakit
THT, 1998)
2) Otitis media kronik adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan ireversibel dan biasanya disebabkan karena episode berulang
otitis media akut. (Keperawatan Medikal-Bedah Volume 3,
2002:hal.2052).
Otitis media kronik ialah infeksi kronik di telinga tengah dengan
perforasi membrane timpani dan secret yang keluat terus menerus atau
hilang timbul. (Buku Ajar Ilmu penyakit THT, 1998)
3) Otitis media serosa (efusi telinga tengah) mengeluarkan cairan, tanpa
bukti adanya infeksi aktif, dalam telinga tengah. (Keperawatan Medikal-
Bedah Volume 3, 2002:hal.2051).
Nama lain: otitis media nonsupuratif, otitis media musinosa, otitis media
efusi, otitis media sekretoria. Otitis media serosa adalah keadaan
terdapatnya secret yang nonpurulen di telinga tengah, sedangkan
membrane timpani utuh. (Buku Ajar Ilmu penyakit THT, 1998
2.3.2. Etiologi
1) Otitis media akut
Penyebab utama : bakteri Streptococcus pnemoniae, Hemophylus
influenza, dan Moraxella catarrhalis. Paling sering terjadi bila terjadi
ISPA, Inflamasi jaringan sekitarnya, dan reaksi alergi.
Factor resiko: bayi dan anak-anak karena tuba eustachii pada anak-anak
relative luas, lurus dan pendek sehingga radang hidung dan tenggorokan
lebih lekas mencapai telinga tengah
Factor lain: Perforasi membrane timpani bisa akibat trauma akibat ledakan,
pukulan, dan kesalahan dalam penggunaan pengorek kuping sampai
15
menyebabkan luka dan pecahnya membrane timpani (gendang telinga),
sehingga bakteri mudah masuk ke dalam telinga tengah.
2) Otitis media kronik
Disebabkan karena infeksi berulang otitis media akut
3) Otitis media serosa, disebabkan karena:
Pasien dengan disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang
diakibatkan oleh ISPA dan alergi
Pasien setelah menjalani radioterapi dan barotraumas (e.g: penyelam)
2.3.3. Patofisiologi
1) Otitis media akut
Bakteri yang umum ditemukan sebagai organisme penyebab adalah
bakteri Streptococcus pnemoniae, Hemophylus influenza, dan Moraxella
catarrhalis. Paling sering terjadi disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi
yang diakibatkan oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), inflamasi
jaringan sekitarnya (eg: sinusitis, hipertropi adenoid), atau reaksi alergi
(eg: rhinitis alergika). Bakteri tersebut menyebar ke telinga tengah yang
normalnya steril melewati tuba eustachii sehingga menyebabkan obstruksi
tuba eustachii dan terjadi disfungsi tuba eustachii. Kita ketahui bahwa tuba
eustachii merupakan penghubung daerah nasofaring di rongga mulut
dengan rongga telinga yang fungsinya adalah :
Menjaga keseimbangan tekanan udara di dalam telinga dan
menyesuaikan dengan tekanan udara di luar.
Sebagai sawar kuman yang mungkin akan masuk ke dalam
telinga tengah.
Karena fungsi tuba eustachius terganggu , pencegahan invasi kuman
ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga bakteri menyebar ke
dalam telinga tengah dan terjadi infeksi, respon inflamasi yang ditandai
dengan pembengkakan dan kemerahan di sekitar tuba eustachii
menyebabkan tuba eustachii semakin tersumbat, lalu sel-sel darah beraksi
melawan bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai
hasilnya terbentuklah eksudat purulen (nanah) dalam telinga tengah.
Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan
lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang
16
membrane timpani (gendang telinga). Jika lendir dan nanah bertambah
banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang telinga dan tulang-
tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di
telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Dan juga bisa menyebabkan
perforasi pada membrane timpani (gendang telinga) akibat tekanan yang
berlebihan.
Penyakit ini sering ditemukan pada bayi dan anak-anak, karena tuba
eustachii pada anak-anak relative luas, lurus dan pendek, sehingga radang
hidung dan tenggorokan lebih lekas mencapai telinga tengah dan
menyebar ke tuba eustachii sehingga menyebabkan otitis media akut.
Bakteri juga mudah masuk ke telinga tengah bila ada perforasi
membrane timpani (terbentuknya lubang yang abnormal pada membrane
timpani). Perforasi membrane timpani bisa diakibatkan trauma akibat
ledakan, pukulan, dan kesalahan dalam penggunaan pengorek kuping
sampai menyebabkan luka dan pecahnya membrane timpani (gendang
telinga).
2) Otitis media kronik
Otitis media kronik disebabkan karena episode berulang otitis media
akut. Sering berhubungan dengan perforasi menetap membrane timpani.
Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan kerusakan
membran timpani tetapi juga hampir selalu melibatkan mastoid. Infeksi
kronik telinga tengah dapat menjalar ke tulang mastoid melalui auditus ad
antrum sehingga terjadi mastoiditis. Dan juga dapat mengakibatkan
pembentukan kolesteatoma, yang merupakan pertumbuhan kulit ke dalam
(epitel skuamosa) dari lapisan luar membran timpani ke telinga tengah.
Kulit dari membran timpani lateral membentuk kantong luar, yang akan
berisi kulit yang telah rusak dan bahan sebaseus. Kantong dapat melekat
ke struktur telinga tengah dan mastoid. Bila tidak ditangani, kolesteatoma
ddapat tumbuh terus dan menyebabkan paralisis nervus fasialis,
kehilangan pendengaran sensorineural/ gangguan keseimbangan dan abses
otak. Selain itu akibat dari kolesteatoma yang tumbuh terus menerus,
semakin membesar dapat menekan jaringan tulang sekitar sehingga
menyebabkan destruksi osikulus (tulang-tulang telinga).
17
3) Otitis media serosa
Otitis media serosa (efusi telinga tengah) juga disebabkan karena
disfungsi tuba eustachii seperti obstruksi yang diakibatkan oleh infeksi
saluran pernapasan atas (ISPA), inflamasi jaringan sekitarnya (eg:
sinusitis, hipertropi adenoid), atau reaksi alergi (eg: rhinitis alergika).
Akibat dari obstruksi tuba eustachii ini maka menimbulkan tekanan
negative dalam telinga tengah dan mengeluarkan cairan tanpa bukti adanya
infeksi aktif dalam telinga tengah.
Efusi telinga tengah juga sering terlihat pada pasien setelah
menjalani radioterapi dan barotrauma (eg: penyelam). Barotraumas terjadi
bila terjadi perubahan tekanan mendadak dalam telinga tengah akibat
perubahan tekanan barometric seperti pada penyelam. Perbedaan tekanan
yang berlebihan ini menyebabkan otot yang normal aktivitasnya tidak
mampu membuka tuba sehingga cairan terperangkap di dalam telinga
tengah menyebabkan kehilangan pendengaran.
2.3.4. WOC
18
Bakteri (streptococcus pneumonia, hemophylus
influenza, moraxella catarrhalis)
Factor resiko(bayi & anak-anak)
trauma akibat ledakan, pukulan, dan kesalahan dalam penggunaan
pengorek kuping
Pasien setelah radioterapi dan barotraumas
(eg:penyelam)
2.3.5. Manifestasi klinis
1) Otitis media akut
19
Bakteri menyebar ke dalam telinga tengah
Tekanan negative telinga tengah
Obstruksi tuba eustachii
Menyebar ke telinga tengah melewati tuba eustachii
ISPA, Inflamasi jaringan sekitar, reaksi alergi
Iritasi/ lukaTuba eustachii >luas,
lurus & pendek
Pencegahan invasi kuman ked lm telinga terganggu
Disfungsi tuba eustachii
OTITIS MEDIA AKUT
inflamasi
infeksi
Perubahan tekanan mendadak
Otalgia (nyeri telinga)
OTITIS MEDIA SEROSA
Mengeluarkan cairan
≠ infeksi aktif
Perforasi membran timpani
Cairan terperangkap dlm telinga tengah
Kehilangan pendengaran konduktif
Tuba gagal utk membuka
MK: Gangguan komunikasi
Terjadi perubahan tekanan barometrik
Terbentuk eksudat purulen (nanah) dlm telinga tengah
Kerusakan pd telinga tengah
Merangsang hipotalamus
MK: Intoleransi aktivitas
MK: Nyeri
Suhu tubuh Demam MK: Hipertermia
Sel darah putih melawan bakteri dg mengorbankan diri mereka sendiri
Episode berulang OTITIS MEDIA KRONIK
Rasa penuh dlm telinga
mastoiditisProduksi Eksudat purulen semakin
Menjalar ke tulang mastoid melalui
auditus ad antrum
tekanan dlm telinga tengah
Membran timpani & tulang” kecil penghubung membran timpani dg telinga dalam tdk dapat bergerak
bebas
Kehilangan pendengaran konduktif
MK: Gangguan komunikasi
Perforasi membran timpani
MK: Nyeri
Menekan jaringan tulang sekitar
Kantong melekat ke struktur telinga tengah & mastoid
Kulit dr membran timpani lateral membentuk kantong luar berisi
kulit yg telah rusak
Kehilangan pendengaran sensorineural
Paralisis nervus fasialis
Tumbuh terus-menerus
Kolesteatoma
MK: Gangguan komunikasi
Destruksi osikulus (tulang” telinga)
Menetap (OMK)
MK: Gangguan sensori-persepsi
pendengaran
MK: Gangguan sensori-persepsi
pendengaran
Otalgia (nyeri telinga)
MK: Resti penyebaran infeksi
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa
sangat ringan dan sementara atau sangat berat.
Otalgia (nyeri telinga)
Keluarnya cairan dari telinga
Demam
Kehilangan pendengaran
Tinitus (bising telinga)
Pada pemeriksaan otoskopis, kanalis auditorius eksternus sering
tampak normal dan tak terjadi nyeri bila aurikula digerakkan.
Membrane timpani tampak merah dan sering menggelembung
2) Otitis media kronik
Kehilangan pendengaran
Terdapat otorea (cairan dalam telinga) intermitten dan persisten yang
berbau busuk
Biasanya tidak ada nyeri, kecuali pada kasus mastoiditis akut, dimana
daerah post-aurikuler menjadi nyeri tekan dan bahkan merah dan
edema.
Kolesteatoma biasanya tidak menyebabkan nyeri
Evaluasi otoskopik membrane timpani menunjukkan adanya perforasi
Kolesteatoma dapat terlihat sebagai massa putih di belakang membrane
timpani atau keluar kanalis eksternus melalui lubang perforasi.
3) Otitis media serosa
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran
Rasa penuh dalam telinga atau perasaan bendungan, bahkan suara letup
atau berderik yang terjadi ketika tuba eustachii berusaha membuka
Pada pemeriksaan otoskopi, membrane timpani tampak kusam dan
dapat terlihat gelembung udara dalam telinga tengah.
Kehilangan pendengaran konduktif
2.3.6. Pemeriksaan penunjang
20
1) Pemeriksaan dengan atoskop (alat untuk memeriksa liang-liang gendang
telinga dengan jelas).
2) Melihat ada tidaknya gendang telinga yang menggembung, perubahan
warna gendang telinga menjadi kemerahan / agak kuning dan suram, serta
cairan di liang telinga.
3) Otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat
gendang telinga yang dilengkapi dengan udara kecil). Untuk menilai
respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara.
Tujuan : untuk melihat berkurangnya atau tidak ada sama sekali gerakan
gendang telinga.
Timpanogram è untuk mengukur kesesuaian dan kekuatan membran
timpani.
Kultur dan uji sensitifitas dilakukan timpano sintesis (aspirasi jarum dari
telinga tengah melalui membran timpani).
2.3.7. Komplikasi
Komplikasi yang serius adalah :
Infeksi pada tulang sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis).
Labirinitis (infeksi pada kanalis semisirkuler).
Tuli
Peradangan pada selaput otak (meningitis).
Abses otak.
2.3.8. Penatalaksanaan
Hasil penatalaksanaan otitis media bergantung pada efektivitas terapi
(mis: dosis antibiotika oral yang diresepkan dan durasi terapi), virulensi
bakteri, dan status fisik pasien. Dengan terapi antibiotika spectrum luas yang
tepat dan awal, otitis media dapat hilang tanpa gejala sisa yang serius. Bila
terjadi pengeluaran cairan, biasanya perlu diresepkan preparat, otik
antibiotika. Kondisi bisa berkembang menjadi subakut (mis: berlangsung 3
minggu sampai 3 bulan), dengan pengeluaran cairan purulen menetap dari
telinga. Jarang sekali terjadi kehilangan pendengaran permanen. Komplikasi
sekunder mengenai mastoid dan komplikasi intracranial serius, seperti
meningitis atau abses otak, dapat terjadi meskipun jarang. Insisi pada
21
membrane timpani dikenal sebagai miringotomi atau timpanotomi.
Membrane timpani dianastesi menggunakan anestesi local seperti fenol atau
menggunakan iontoforesis. Pada iontoforesis suatu arus elektris mengalir
melalui larutan lidokain-epinefrin untuk membuat liang telinga dan membrane
timpani kebas. Prosedur ini tidak menimbulkan nyeri dan berlangsung tidak
sampai lima belas menit. Di bawah mikroskop kemudian dibuat insisi melalui
membrane timpani untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan cairan serosa
atau purulen dari telinga tengah. Normalnya, prosedur ini tidak diperlukan
untuk otitis media akut; namun, perlu dilakukan bila nyeri menetap.
Miringotomi juga memungkinkan identifikasi organism infeksi dan
menentukan sensitivitasnya terhadap agens antibiotika. Insisi akan
menyembuh dalam 24 atau 72 jam. Bila episode otitis media akut terjadi
berulang dan tidak ada kontraindikasi, dapat dipasang tabung ventilasi atau
penyeimbang tekanan (PE, Pressure equalizing). Tabung ventilasi secara
temporer mengambil alih tugas tuba eustachii dalam menyeimbangkan
tekanan dan dipertahankan selama 6 sampai 18 bulan. Tabung ventilasi lama
kelamaan akan diekstrusi oleh migrasi kulit normal membrane timpani, dan
lubang dapat menyembuh pada hampir setiap kasus. Tabung ventilasi lebih
sering digunakan untuk menangani episode otitis media akut berulang pada
anak daripada dewasa.
Otitis media serosa tidak perlu ditangani secara medis kecuali terjadi
infeksi (otitis media akut). Bila kehilangan pendengaran yang berhubungan
dengan efusi telinga tengah menimbulkan masalah bagi pasien, maka bisa
dilakukan miringotomi dan dipasang tabung untuk menjaga telinga tengah
tetap terventilasi. Kortikosteroid, dosis rendah, kadang dapat mengurangi
edema tuba eustachii pada kasus barotrauma.
Pada otitis media kronik, penanganan local meliputi pembersihan hati-
hati telinga menggunakan mikroskop dan alat pengisap. Pemberian tetes
antibiotika atau pemberian bubuk antibiotika sering membantu bila ada cairan
purulen. Antibiotika sistemik biasanya tidak diresepkan kecuali pada kasus
infeksi akut. Berbagai prosedur pembedahan dapat dilakukan bila dengan
penanganan obat tidak efektif. Yang paling sering adalah timpanoplasti-
rekonstruksi bedah membrane timpani dan osikulus. Tujuan timpanoplasti
adalah mengembalikan fungsi telinga tengah, menutup lubang perforasi
22
telinga tengah, mencegah infeksi berulang, dan memperbaiki pendengaran.
Dalam sejarah ada 5 tipe timpanoplasti. Prosedur bedah yang paling
sederhana, tipe I (Miringoplasti), dirancang untuk menutup lubang perforasi
pada membrane timpani. Prosedur lain, tipe II sampai V, meliputi perbaikan
yang lebih intensif struktur telinga tengah. Struktur dan derajat keterlibatannya
bisa berbeda, namun bagian semua prosedur timpanoplasti meliputi
pengembalian kontinuitas mekanisme konduksi suara. Timpanoplasti
dilakukan melalui kanalis auditorius eksternus, baik secara transkanal atau
melalui insisi postaurikuler. Isi telinga tengah diinspeksi secara teliti, dan
hubungan antara osikulus dievaluasi. Terputusnya rantai osikulus adalah yang
paling sering pada otitis media, namun masalah rekonstruksi juga akan muncul
dengan adanya malformasi telinga tengah dan dislokasi osikuler akibat cedera
kepala. Perbaikan dramatis pendengaran dapat terjadi setelah penutupan
lubang perforasi dan perbaikan kembali osikulus. Pembedahan biasanya
dilakukan pada pasien rawat jalan dengan anesthesia umum. Selanjutnya
mastoidektomi, tujuan pembedahan mastoid adalah untuk mengangkat
kolesteatoma, mencapai struktur yang sakit, dan menciptakan telinga yang
aman, kering dan sehat. Bila mungkin, osikulus direkonstruksi selama
prosedur pembedahan awal. Namun, kadang beratnya penyakit mengharuskan
hal ini dilakukan sebagai bagian operasi kedua yang terencana. Mastoidektomi
biasanya dilakukan melalui insisi post-aurikuler, dan infeksi dihilangkan
dengan mengambil secara sempurna sel udara mastoid. Nervus fasialis
berjalan melalui telinga tengah dan mastoid dan dapat mengalami bahaya
selama pembedahan mastoid, meskipun jarang mengalami cidera. Begitu
pasien bangun dari pembiusan, harus diperhatikan setiap tanda paresis fasialis
yang harus segera dilaporkan ke dokter. Bila terjadi kelemahan fasial, balutan
mastoid harus dilonggarkan dan pasien dikembalikan ke meja operasi, luka
dibuka, dan nervus fasialis didekompresi untuk melonggarkan kanalis tulang
yang mengelilingi nervus fasialis. Mastoidektomi kedua mungkin diperlukan 6
bulan setelah yang pertama untuk mengecek kekambuhan kolesteatoma.
Mekanisme pendengaran dapat direkonstruksi pada saat ini bila kolesteatoma
telah dieradikasi sempurna. Angka keberhasilan untuk mengkoreksi
kehilangan pendengaran konduktif ini sekitar 50% sampai 60%.
23
2.4. Konsep dasar Askep
2.4.1. Pengkajian teoritis
1. Identitas klien
(nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam masuk RS, no register dan diagnosis medis).
2. Keluhan utama
Klien masuk rumah sakit dengan keluhan Otalgia (nyeri telinga),
Keluarnya cairan dari telinga, Demam, Kehilangan pendengaran, Tinitus
(bising telinga), Pada pemeriksaan otoskopis, kanalis auditorius eksternus
sering tampak normal dan tak terjadi nyeri bila aurikula digerakkan,
Membrane timpani tampak merah dan sering menggelembung.
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien mengeluh nyeri (otalgia), gangguan pendengaran disertai
keluarnya cairan dari dalam telinga (otore).
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pernah mempunyai riwayat ISPA yang berulang
Pernah mempunyai riwayat alergi
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
6. Data Dasar pengkajian
Kaji adanya perilaku nyeri
Kaji adanya peningkatan suhu
Kaji status nutrisi dan keadekuatan asupan cairan berkalori
Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah leher
Kaji kemungkinan tuli.
7. Pemeriksaan fisik telinga
Perawat menginspeksi dan memalpasi struktur telinga luar, inspeksi
telinga tengah dengan otoskop dan menguji telinga dalam dengan
mengukur ketajaman pendengaran.
Pemeriksaan harus dimulai dengan inspeksi dan palpasi aurikula dan
jaringan sekitarnya. Liang telinga juga harus diperiksa, mula – mula
tanda speculum sebelum memeriksa membrane timpani. Liang telinga
24
tidak berjalan lurus untuk meluruskannya pada pemeriksaan, pegang
aurikula dan tarik sedikit ke belakang dan keatas pada orang dewasa,
dan ke arah bawah pada bayi.
Speculum telinga yang dipegang dengan tangan digunakan bersama
dengan suatu kaca kepala dan sumber cahaya. Berdinding tipis dan
berbentuk corong, permukaannya besifat tidak memantulkan serta
tersedia dalam berbagai ukuran. Karena lubang telinga kecil maka
speculum perlu digerakan ke dalam liang telinga untuk dapat melihat
seluruh membrane timpani. Otoskop bertenaga bateraidapat
memperbesar pandangan terhadap membrane timpani.Otoskopi
pneumatic dengan mudah menditeksi adanya perforasi membrane
timpani atau cairan dalam telinga tengah.
Uji Webber, memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya
lateralisasi suara. Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan
pukulkan pada lutut atau pergelangan tangan pemeriksa, letakan pada
dahi atau gigi pasien. Tanyakan apakah terdengar suara di tengah
kepala, di telinga kanan, atau telinga kiri. Individu dengan
pendengaran normal akan mendengar suara seimbang pada kedua
telinga atau terpusat pada tengah kepala. Bila ada kehilangan
pendengarn konduktif ( otosklerosis, otitis media ), suara akan jelas
terdengar pada sisi yang sakit. Bila terjadi kehilangan sensorineural,
suara akan mengalami lateralisasi ke telinga yang pendengarannya
lebih baik. Uji Webber berfungsi untuk kasus kehilangan pendengaran
unilateral ( Smeltzer, 2002 ).
Uji Rinne, gagang garputala yang bergetar diletakan di belakang
aurikula pada tulang mastoid samapi pasien tidak mampu lagi
mendengar suara. Kemudian pindahkan ke dekat telinga sisi yang
sama. Telinga normal masih akan mendengar suara melalui hantaran
udara yang menunjukan konduksi udara belangsung lebih lama dari
konduksi tulang. Pada kehilangan pendengaran konduktif, konduksi
tulang akan melebihi konduksi udara. Kehilangan pendengaran
sensorineural memungkinkan suara dihantarkan melalui udara lebih
baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk
dan segala suara diterima seperti sanagt jauh dan lemah.
25
Uji Schwabach, membandingkan hantaran tulang pasien dengan
pemeriksa. pasien diminta melaporkan saat penala bergetar yang
ditempelkan pada mastoidnya tidak lagi dapat didengar. Pada saat itu
pemeriksa memindahkan penala ke mastoidnya sendiri dan
menghitung berapa lama ia masih dapat menangkap gelombang bunyi.
Uji ini dikatakan normal bila hanatran tulang pasien dan pemeriksa
hampir sama. Uji ini dikatakan memanjang atau meningkat bila
hantaran tulang pasien lebih lama dibandingkan pemeriksa, misalnya
pada kasus kehilangan pendengarn konduktif. Dan dikatakan
memendek jika pemeriksa masih bias mendengar penala setelah pasien
tidak lagi mendengar.
2.4.2. Diagnosa keperawatan prioritas yang mungkin muncul
1) Nyeri berhubungan dengan inflamasi pada jaringan tengah telinga
26
2) Gangguan sensori-persepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga
tengah
3) Gangguan berkomunikasi berhubungan dengan efek kehilangan
pendengaran.
4) Gangguan citra diri berhubungan dengan paralysis nervus fasialis (nervus
kranialis VII)
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan nyeri
6) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai
pengobatan dan pencegahan kekambuhan
2.4.3. Rencana Asuhan Keperawatan (NCP)
NoDiagnosa
KeperawatanTujuan
Kriteria
HasilIntervensi Rasional
1 Nyeri
berhubungan
dengan inflamasi
pada jaringan
tengah telinga
Setelah
dilakukan
intervensi
keperawatan
selama 3 x
24 jam
diharapkan
nyeri
berkurang
Nyeri
berkurang.
Meminta
analgetik
sesuai
kebutuhan
TTV DBN:
- TD:
110/70-
120/80
mmHg
- ND: 60-
100 x/i
- RR: 16-24
x/i
- S: 36,5-
37,5°C
Dorong pasien
untuk melaporkan
nyeri
Kaji laporan
nyeri, catat lokasi,
lamanya,
intensitas (0-10).
Selidiki dan
laporkan
perubahan
karakteristik nyeri
MANDIRI
kaji ulang factor-
faktor yang
meningkatkan
atau
menghilangkan
nyeri
Mencoba untuk
mentoleransi
nyeri
Perubahan pada
karakteristik
nyeri dapat
menunjukkan
penyebaran
penyakit/
terjadinya
komplikasi.
Dapat
menunjukkan
dengan tepat
pencetus atau
factor pemberat
atau
mengidentifikas
i terjadinya
27
izinkan pasien
untuk memulai
posisi nyaman
berikan tindakan
nyaman
kompres dingin
sekitar area
telinga
KOLABORASI
Berikan analgetik
komplikasi.
Meningkatkan
relaksasi,
memfokuskan
kembali
perhatian, dan
meningkatkan
kemampuan
koping.
Meredakan
nyeri
Untuk
meredakan
nyeri
2 Gangguan
sensori-persepsi
berhubungan
dengan kerusakan
pada telinga
tengah
Setelah
dilakukan
intervensi
keperawatan
selama 3 x
24 jam
diharapkan
sensori-
persepsi
membaik
Klien akan
mengalami
peningkatan
persepsi/sen
soris
pendengaran
sampai pada
tingkat
fungsional
TTV DBN:
- TD:
110/70-
mengurangi
kegaduhan pada
lingkungan klien
Memandang klien
ketika sedang
berbicara
Berbicara jelas
dan tegas pada
klien tanpa perlu
berteriak
Memberikan
pencahayaan yang
Membantu
pendengaran
Agar klien
mengerti apa
yang
dibicarakan
Dengan
memperhatikan
gerak bibir
28
120/80
mmHg
- ND: 60-
100 x/i
- RR: 16-24
x/i
-S:36,5-
37,5°C
memadai bila
klien bergantung
pada gerak bibir
Menggunakan
tanda – tanda
nonverbal ( mis.
Ekspresi wajah,
menunjuk, atau
gerakan tubuh )
dan bentuk
komunikasi
lainnya.
Instruksikan
kepada keluarga
atau orang
terdekat klien
tentang
bagaimana teknik
komunikasi yang
efektif sehingga
mereka dapat
saling berinteraksi
dengan klien
Bila klien
menginginkan
dapat digunakan
alat bantu
pendengaran.
ketika sedang
berbicara dapat
membantu
pasien dalam
komunikasi
Membantu
lancarnya
komunikasi
pada klien
gangguan
sensori persepsi
3 Gangguan
berkomunikasi
Setelah
dilakukan
Klien akan
memakai alat
Dapatkan apa
metode
Metode
komunikasi
29
berhubungan
dengan efek
kehilangan
pendengaran
intervensi
keperawatan
selama 3 x
24 jam
diharapkan
komunikasi
membaik/
gangguan
komunikasi
berkurang.
bantu dengar
(jika sesuai).
Menerima
pesan melalui
metoda
pilihan (misal
: komunikasi
tulisan,
bahasa
lambang,
berbicara
dengan jelas
pada telinga
yang baik.
komunikasi yang
dinginkan dan
catat pada rencana
perawatan metode
yang digunakan
oleh staf dan
klien,
seperti :Tulisan,B
erbicara,Bahasa
isyarat.
Kaji kemampuan
untuk menerima
pesan secara
verbal.
1. Jika ia dapat
mendegar pada
satu telinga,
berbicara dengan
perlahan dan
dengan jelas
langsung ke
telinga yang baik
(hal ini lebih baik
daripada berbicara
dengan keras).
2. Tempatkan
klien dengan
telinga yang baik
berhadapan
dengan pintu.
3. Dekati klien
dari sisi telinga
yang baik.
untuk
membantu
kesulitan
berkomunikasi
30
Jika klien dapat
membaca ucapan:
1. Lihat langsung
pada klien dan
bicaralah lambat
dan jelas.
2. Hindari berdiri
di depan cahaya
Perkecil distraksi
yang dapat
menghambat
konsentrasi klien.
Minimalkan
percakapan jika
klien kelelahan
atau gunakan
komunikasi
tertulis.
Tegaskan
komunikasi
penting dengan
menuliskannya.
Jika ia hanya
mampu bahasa
isyarat, sediakan
penerjemah.
Alamatkan semua
komunikasi pada
klien, tidak
kepada
penerjemah. Jadi
seolah-olah
perawat sendiri
yang langsung
karena dapat
menyebabkan
klien tidak dapat
membaca bibir
anda.
31
berbicara kepada
klien dengan
mengabaikan
keberadaan
penerjemah
Gunakan faktor-
faktor yang
meningkatkan
pendengaran dan
pemahaman.
Bicara dengan
jelas, menghadap
individu.
Ulangi jika klien
tidak memahami
seluruh isi
pembicaraan.
Gunakan rabaan
dan isyarat untuk
meningkatkan
komunikasi.
Validasi
pemahaman
individu dengan
mengajukan
pertanyaan yang
memerlukan
jawaban lebih dari
ya dan tidak.
4 Gangguan citra
diri berhubungan
dengan paralysis
nervus fasialis
Setelah
dilakukan
intervensi
keperawatan
klien dapat
melakukan
upaya untuk
mengatasi
Kaji tingkat
kecemasan dan
mekanisme
koping klien
Untuk
mengurangi
pikiran negative
klien terhadap
32
(nervus kranialis
VII)
selama 3 x
24 jam
diharapkan
klien
memiliki
gambaran
diri yang
positif
penyakitnya
klien dapat
melakukan
aktivitas fisik
dan social
sehari-hari
terlebih dahulu
Beritahukan pada
klien
kemungkinan
terjadinya fasial
palsy akibat
tindak lanjut dari
penyakit tersebut
Informasikan
bahwa keadaan
ini biasanya
hanya bersifat
sementara dan
akan hilang
dengan
pengobatan yang
teratur dan rutin.
penyakitnya
Agar klien
mengerti proses
penyakitnya dan
berusaha
menghilangkan
pikiran negative
terhadap
penyakitnya
Membantu
meringankan
rasa takut klien
terhadap
penyakitnya
5 Ansietas
berhubungan
dengan
kurangnya
pengetahuan
mengenai
pengobatan dan
pencegahan
kekambuhan
Setelah
dilakukan
intervensi
keperawatan
selama 3 x
24 jam
diharapkan
klien merasa
aman dan
tidak ansietas
lagi
Klien
tampak
rileks
Melaporkan
ansietas
berkurang
Mampu
mengidentifi
kasi cara
hidup sehat
dengan
membagikan
perasaannya
.
Observasi
tingkah laku
yang
menunjukkan
tingkat ansietas.
Ansietas ringan
dapat
ditunjukkan
dengan peka
rangsang dan
insomnia.
Ansietas berat
yang
berkembang
kedalam
keadaan panic
dapat
menimbulkan
perasaan
terancam,
33
Tinggal bersama
pasien,
mempertahanka
n sikap yang
tenang.
Mengakui atau
menjawab
kekhawatiranny
a dan
mengizinkan
perilaku pasien
yang umum.
Bicara singkat
dengan kata
sederhana.
Kurangi
stimulasi dari
luar
terror,
ketidakmampu
an untuk
berbicara dan
bergerak,
berteriak-
teriak.
Menegaskan
pada pasien
atau orang
terdekat bahwa
walaupun
perasaan
pasien di luar
control,
lingkungannya
tetap aman.
Memberikan
informasi
akurat yang
dapat
menurunkan
distorsi/
kesalahan
interpretasi
yang dapat
berkenaan pada
reaksi ansietas.
Rentang
perhatian
mungkin
menjadi
34
Diskusikan
dengan pasien
atau orang
terdekat
penyebab
emosional yang
labil
Tekankan
harapan bahwa
pengendalian
emosi itu harus
tetap diberikan
sesuai dengan
perkembangan
terapi obat.
pendek,
konsentrasi
berkurang,
yang
membatasi
kemampuan
untuk
mengasimilasi
informasi.
Menciptakan
lingkungan
yang
terapeutik.
Memahami
bahwa tingkah
laku
didasarkan atas
fisiologis dapat
memungkinkan
respon yang
berbeda
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Otitis media akut merupakan infeksi akut telinga tengah yang
disebabkan oleh masuknya bakteri Streptococcus pnemoniae, Hemophylus
influenza, dan Moraxella catarrhalis ke dalam telinga tengah yang normalnya
steril. Paling sering terjadi bila terjadi ISPA, Inflamasi jaringan sekitarnya,
35
dan reaksi alergi. Dengan gejala Otalgia (nyeri telinga), Keluarnya cairan dari
telinga, Demam, Kehilangan pendengaran, Tinitus (bising telinga), Pada
pemeriksaan otoskopis, kanalis auditorius eksternus sering tampak normal dan
tak terjadi nyeri bila aurikula digerakkan, Membrane timpani tampak merah
dan sering menggelembung.
Otitis media kronik adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan ireversibel dan biasanya disebabkan karena episode berulang otitis
media akut.
Otitis media serosa (efusi telinga tengah) mengeluarkan cairan, tanpa
bukti adanya infeksi aktif, dalam telinga tengah disebabkan karena Obstruksi
tuba eustachii, Pasien setelah menjalani radioterapi dan barotraumas (e.g:
penyelam), Pasien dengan disfungsi tuba eustachii akibat ISPA dan alergi.
3.2 Saran
Diharapkan kepada mahasiswa dapat mempelajari dan memahami tentang
penyakit otitis media akut, serosa, dan kronik dan pencegahannya.
Dalam bidang keperawatan, mempelajari suatu penyakit itu penting, dan
diharapkan kepada mahasiswa mampu membuat konsep teoritis suatu
penyakit tersebut beserta asuhan keperawatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddart. 2002. Keperawatan Medical-Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC Volume 3.
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT.
FKUI:Jakarta.
36
Herawati, sri, dkk. 2003. Buku ajar Ilmu penyakit telinga hidung tenggorok untuk
mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. EGC : Jakarta
Iskandar, Nurbaiti. 2006. Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok untuk perawat,
edisi 2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta
Doenges Marilynn, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, edisi 3 . EGC : Jakarta.
Ramli Ahmad, dkk. 2000. Kamus Kedokteran. Djambatan : Jakarta.
Dorlan W.A. Nawman. 2002. Kamus Kedokteran Darkin. Edisi 29. EGC : jakarta.
http://moveamura.wordpress.com/medical-surgical-nursing/askep-otitis-media/
37