asg

25
SATU ALASAN Hanya ada satu alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Sesuatu yang terus bertalu- talu demikiannya mendorong langkahku kembali. Yang tak bisa kudefinisikan apa. Yang tak pernah bisa berhasil kuterjemahkan ke dalam bentuk frasa yang terangkai. Bahkan hanya sebuah pengakuan kecil saja barangkali, terhadap hatiku yang melulu sakit, juga terhadap diriku yang entah rasanya seperti tulang- belulang yang ringkih berdiri. Aku menyangkal. Dalam bentuk apapun jelmaan dirimu yang masih saja tinggal di sudut otakku. Aku mengoreknya agar ia mau keluar dari kediamannya, tetap aku sia-sia. Hal yang selalu sama yang kulakukan sedari dulu, enam tahun yang lalu. Jika aku sempat menghitungnya berapa kali aku menyangkal, berapa kali aku menghindar, berapa kali aku menipu diriku sendiri, dan berapa kali aku mencoba menjauh. Tapi pada akhirnya aku selalu kalah dalam perseteruan tak tertulis ini. Mengalah pada perasaan yang bodoh ini. Mengaku malu pada langit sepi yang berkali-kali menertawakan kegagalanku. Selama tahun-tahun itu berlalu di depan mataku, hampir tak secuil pun kenangan yang kulupakan atau terlupakan. Aku merasa, apakah perasaanku ini pantas untuk disebut ‘memperjuangkan’ atau ‘diperjuangkan’? Atau, aku kah saja yang terlalu tolol? Tidak bisa kuhakimi siapa yang bersalah, aku, atau kamu? Jika aku, tolong katakan bila aku terlalu jauh menterjemahkan bahasa hatimu yang begitu absurd. Tolong katakan bila aku salah menilaimu selama ini. Tolong katakan. Dan jika kamu, aku ingin menanyakan banyak hal yang selalu saja membuatku penasaran. Aku

Upload: adelia-putri-sabrina

Post on 10-Dec-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jygyu

TRANSCRIPT

Page 1: asg

SATU ALASAN

Hanya ada satu alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Sesuatu yang terus bertalu-talu demikiannya mendorong langkahku kembali. Yang tak bisa kudefinisikan apa. Yang tak pernah bisa berhasil kuterjemahkan ke dalam bentuk frasa yang terangkai. Bahkan hanya sebuah pengakuan kecil saja barangkali, terhadap hatiku yang melulu sakit, juga terhadap diriku yang entah rasanya seperti tulang-belulang yang ringkih berdiri.

Aku menyangkal. Dalam bentuk apapun jelmaan dirimu yang masih saja tinggal di sudut otakku. Aku mengoreknya agar ia mau keluar dari kediamannya, tetap aku sia-sia. Hal yang selalu sama yang kulakukan sedari dulu, enam tahun yang lalu. Jika aku sempat menghitungnya berapa kali aku menyangkal, berapa kali aku menghindar, berapa kali aku menipu diriku sendiri, dan berapa kali aku mencoba menjauh. Tapi pada akhirnya aku selalu kalah dalam perseteruan tak tertulis ini. Mengalah pada perasaan yang bodoh ini. Mengaku malu pada langit sepi yang berkali-kali menertawakan kegagalanku.

Selama tahun-tahun itu berlalu di depan mataku, hampir tak secuil pun kenangan yang kulupakan atau terlupakan. Aku merasa, apakah perasaanku ini pantas untuk disebut ‘memperjuangkan’ atau ‘diperjuangkan’? Atau, aku kah saja yang terlalu tolol?

Tidak bisa kuhakimi siapa yang bersalah, aku, atau kamu? Jika aku, tolong katakan bila aku terlalu jauh menterjemahkan bahasa hatimu yang begitu absurd. Tolong katakan bila aku salah menilaimu selama ini. Tolong katakan. Dan jika kamu, aku ingin menanyakan banyak hal yang selalu saja membuatku penasaran. Aku ingin kali ini saja kamu menjawabnya.

Aku mengenalmu, Hei. Meski aku hanya melihat keseharianmu saja dalam lembar hariku. Tak lebih, namun tak juga kurang. Aku mengenalmu, sebagai teman dekatku. Tunggu dulu, apa tadi? Teman dekat? Bahkan aku pun tak tahu apakah kamu akan mengakuiku sebagai teman dekatmu? Aku dan kamu, memang terlihat dekat. Tetapi hanya kalimat-kalimat canda yang mengenalkan kita. Kala itu, kita sering bergurau, apapun

Page 2: asg

itu. Leluconmu, membuat perutku bergoncang tak karuan, hingga aku ingin menangis saking letihnya aku tertawa. Dengar, Hei. Setelah lama kita meninggalkan lingkar kehidupan yang tadi, aku selalu merindukan kisah-kisah itu. Merindukan sesuatu yang mungkin tak akan bisa kembali lagi. Benarkan? Tak seorang pun yang mampu memutar masa lalu kembali. Dan aku hanya perlu membiarkan rindu itu tertahan tanpa ucapan. Tersenyum palsu dan mengatakan bahwa aku telah melupakanmu.

Aku merindukan suaramu, Hei. Yang selalu memanggil namaku kencang. Yang membuat telingaku harus terpasang merekam suaramu jika kamu berceloteh. Agar suatu hari jika aku merindukanmu, aku bisa menerka-nerka suaramu dalam otakku. Bisa mendengar tawamu meski tak akan nyata kini.

Aku merindukan wajahmu, Hei. Yang kunilai nyaris sempurna. Sempurna, seperti yang dipujakan lain. Aku ingin memandangmu lagi, memandang garis senyum sempurnamu untuk kurekam. Untuk kusimpan lagi dalam otakku, dan sewaktu-waktu aku bisa memutarnya lagi. Meski aku harus meraba-raba, tidak jelas.

Sederhana sebetulnya. Aku hanya merindukanmu. Itu saja titik. Tanpa ada koma lagi.

Kini aku terkurung di dalam mobilku. Kosong menatap kap mobil yang basah karena gerimis. Seperti yang kukatakan di awal. Hanya ada satu alasan yang memungkinkan, penyebab aku kembali ke tempat ini. Yaitu, rindu.Dan waktu menyeretku ke jam yang telah berlalu barusan. Membawa nostalgia yang nyata. Mempertemukan aku dengan teman-teman lamaku setelah tiga tahun meninggalkan sekolah ini. Dan dirimu, Hei, ada di antara ribuan manusia yang berkunjung ke gedung ini.

Aku tidak tahu bagaimana seharusnya, apakah aku harus berterimakasih pada waktu yang telah mempertemukan kita kembali? Apakah aku harus tertawa, menghampirimu, memelukmu, bertanya padamu ‘hei apa kabar?’ nyatanya aku tak akan bisa bertingkah seperti itu lagi padamu semenjak empat tahun yang lalu. Kala itu kita bertransformasi menjadi orang yang berbeda di mata masing-masing. Akukah yang mencoba menjauh? Ataukah kamu telah melupakanku? Sejak itu kita hanya saling bertatapan tak mengerti jika sesekali bertemu. Hanya diam dan mata yang mengisyaratkan hati kita

Page 3: asg

masing-masing. Menjadi kita yang tidak lagi saling mengenal.

Dan tatapan kaku itu kembali membeku ketika aku menemukanmu di gedung ini. Kamu menatapku datar. Saat itu detik bereplikasi kembali dalam satuan yang lebih kecil, memperlambat waktu. Mata itu, yang sering menatap mataku dulu. Yang jemarinya pernah menghapus airmataku lembut. Yang senyumnya meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Yang genggaman telapak tangannya menghangatkanku. Aku merindukanmu, Hei.

Gerimis kini telah berevolusi menjadi hujan. Airnya sebesar biji jagung menghantam kap mobilku, berderu-deru. Aku memutar pandangan ke sekitar, dari balik jendela. Menatap sekelilingku yang mulai sepi. Manusia-manusia telah meninggalkan gedung ini satu jam yang lalu. Malam mulai mengapit lara yang tak berarti apa-apa. Hujan menyebabkan bintang-bintang malas bermunculan, bersembunyi di balik awan mendung.

Aku menghidupkan mesin mobil, dalam sekejap lampu depan dari mobilku menyoroti jalanan. Kemudian aku segera tahu, di depan sana dirimu berdiri di bawah lengkungan payung. Menghindari keganasan dari air hujan. Membelah tirai hujan. Kamu menoleh untuk tersenyum. Memberikan kehangatan di tengah lalu lalang angin yang bersahutan lirih. Membuat siapa saja lepuh. Kamu kembali melangkah, masih mempertahankan senyum mu. Dan kamu menggenggam tangannya. Menggenggam tangan seorang perempuan yang kamu cintai dari semenjak empat tahun yang lalu. Perempuan yang sama. Penyebabku menghindarimu.

Enam tahun, selama itu tak pernah perasaan bodohku terungkap di hadapanmu. Didengar olehmu. Aku tidak menginginkannya, Hei. Karena satu alasan, sederhana, aku mencintaimu tetapi kamu mencintainya.

Tak secerah bulan >                                                              (Ilhamakbari)> > > Malam ini bulan bersinar dengan sangat cerah, tapi itu tak secerah hatiku saat ini. Rembulan, itulah namaku. Aku tengah menantikan sang bintang yang bisa menerangi hari-hariku. Sayangnya takdir berkata lain, dari mulai terbit sampai terbenam tak ada satu pun bintang yang bisa membuat hariku

Page 4: asg

lebih cerah. Bintang-bintang lebih mementingkan urusannya sendiri dengan bersinar sesuai kemampuannya sendiri.> > Suatu hari aku bertemu dengan seseorang, namanya Bumi. Dia memintaku untuk menemaninya dalam menjalani hidupnya. Aku pun bersedia menjadi pasangannya, ya bisa dibilang pacar. Tapi takdir berkata lain, beberapa minggu setelah terjalinnya ikatan spesial itu Bumi berkata bahwa kami tak bisa bersama lagi. Aku menerima alasannya bahwa aku tidak bisa menerangi hari-harinya.> > “Baiklah, kamu juga bukanlah seseorang yang selama ini kucari,” ucapku padanya malam itu. Bumi memang bukan bintang, dia sangat sibuk dengan kegiatan-kegiatan sehari-harinya. Aku pun menyadari bahwa kami tidak bisa saling menerangi> > Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, aku masih belum menemukan seseorang yang sesuai untukku. Sampai suatu malam hati ini terasa sangat cerah. Aku melihat seseorang yang amat sangat memukau. Hati ini bergetar ketika kumelihat senyumannya. Tapi kali ini otakku berkata lain, aku tidak akan mungkin memilikinya. Dan perkataan otakku membuat hati ini sakit dan berusaha menghapusnya yang telah bersemayam dalam hati ini. Perkataan itu menjadi awal dari tingkahku yang tak berani menanyakan namanya, menyapanya, bahkan untuk tersenyum kepadanya. Dan di setiap pertemuannya, kami hanya diam dan aku hanya menunduk.> > Kini aku tengah mencari seseorang yang lain untuk mengusirnya dari hati ini. Tapi itu masih sangat jauh dari jangkauan, karena di hati ini penuh dengan dirinya.> > Meski tak memilikinya, aku masih bisa merasakan cahayanya menerangi hari-hariku sehingga malam ini masih terasa cerah. Karena tak tahu dan tak pernah ingin tahu namanya, aku menyebutnya MATAHARI…> >

Page 5: asg

Pemilik Tatapan Teduh

Belaian mentari sopan menyentuh pagiku hari ini, di balik sejuknya embun pagi jiwa ini terasa enggan meninggalkan sayup pilu angin yang menghalau pori-pori nafasku. Sontak aku ingat pagi ini aku harus menghadiri suatu acara di kampus yang kelak menjadi tempatku menggali ilmu selama tiga tahun lamanya. Acara yang digelar untuk para mahasiswa baru seperti aku, bisa aku bayangkan seperti apa acara tersebut pastinya akan banyak wajah-wajah baru yang akan ku temui di sana.

Jarum waktu telah beralih ke angka 08.00 wib tepat, dan benar saja wajah-wajah baru itu semua berkumpul dalam satu ruangan. Aku benar-benar merasa asing disini meski ada beberapa orang yang aku kenal sebelumnya karena pernah satu sekolah tapi tetap saja rasa malu dan canggung ku tak lantas membuatku merasa nyaman.

Tiba saatnya para senior yang menghandle acara memainkan perannya membuat suasana menjadi lebih hidup. Hingga salah satu dari para senior tersebut memberi sambutannya dengan rapi ku perhatikan detik-detik saat ia mengurai kalimat demi kalimat pidatonya. Sesosok makhluk berwajah sendu telah mencuri perhatianku, siapakah dia?

Sesaat aku tertegunMelihat anggun bayang muMemaku jiwa larakuYang kaku dan bekuSecuil rindu merayuMembungkam sudut kalbu

Page 6: asg

Duhai…Engganlah ku berlaluTerjerat teduh pandangan mu

Detik-detik waktu menyulam rindu, membawaku dalam buaian mimpi tentang mu. Ah.. ilusi! sosok itu, mulai merampas pilu yang selama ini bersarang dalam jiwaku. Ku luapkan segala jerat pilu yang merajam jiwa dan ragaku, aku mampu ya aku mampu untuk berlalu dari gusaran waktu yang membelenggu. Karena kebahagian adalah HAK ku!

Satu demi satu ku rangkai asa yang beku, agar kau tau betapa dalamnya HARAPAN ku yang mungkin akan menjadi abu tak tersentuh oleh mu RINDU. Gusaran waktu telah berputar dengan merdu, tiba saatnya hari yang ku tunggu. Terik matahari angkuh menghujam ku, begitu lelah dan panasss hari itu. Seambrek aktivitas menyambut ku, wajar saja karena itu adalah syarat agar aku dan para mahasiswa lain diterima di perguruan ini. Dimulai saat sang surya bangun dari perduannya hingga senja menutup malam kagiatan demi kegiatan baru berakhir, lelah sangat jangan ditanya aku malas menjawabnya.

Di hari-hari selanjutnya tak jauh berbeda, aku harus berhadapan dengan angkuhnya matahari di siang bolong, bisa dibayangkan betapa gosongnya aku hiks hiks… derai keringat dan letih menjadi satu. Di tengah keletihan dan kehausan yang mencekik ku, ada satu moment yang selalu aku tunggu. Saat aku melihat sosok itu berdiri tak jauh dari pandanganku, dan sesekali berlalu lalang di antara barisan Mahasiswa baru. Aku menikmati saat-saat itu!

Hari ini adalah hari yang istimewa bagiku, melelehnya hati yang bernafaskan cinta menghambakan ku pada satu rasa yang ku tak tau apa itu. Bila saja Tuhan mengijinkan, aku ingin menorehkan setitik warna pelangi di hati insan yang di ridhoi-Nya. Tapi apakah ini akan nyata atau hanya khayalan ku belaka? Sesaat aku BAHAGIA seperti bahagianya senja menutup malam. Indah bukan..? Sesosok makhluk dari jenis Hawa telah merampas kesedihan yang mendekapku selama ini, siapakah dia…?

Aku melihat OaseDi tengah kejamnyaSinar matahariSubhanAllah..

Page 7: asg

Maha suci AllahMelimpahkan segala karunia-Nya

Dialah Oase bagiku yang haus akan ketulusan yang ikhlas, hanya rasa bahagia, bahagia dan bahagia yang ku kenal sejak mata ini bertemu dengan tatapan yang meneduhkan itu.

Hati ini berdesirDengan nada yang syahduSeluruh darahkuMeluncur dengan bahagiaMelalui pembulu darah di sekujur tubuhkuIrama nafaskuMengalun bersama guratan senyumYang kau uraiDan mata ini seakan enggan berkedipUntuk keindahan yang tak ingin aku lewatiBerlalu dan pergi

Aah.. debaran ini nakal menggelitik kalbu hingga aku malu pada dahan yang bergoyang dikala hembusan angin datang. Bilamana aku telah terpedaya oleh indahnya dunia, maafkanlah Tuhan aku yakin Kau lebih tau dari kebodohanku.

Lembar berikutnya, di hari yang berbeda itulah dia yang ku nanti saat matahari bangun hingga senja merona di atap langit cinta. Ada secerca semangat yang tumbuh dengan subur di jiwaku bila ku temukan sosok yang tenang dan acuh itu. Semangat baru..!!

Untuk sekejapJiwa ini bernyanyiSeperti tetesan hujanMenyentuh bumi

Setelah beberapa hari berlalu inilah ujung dari segala aktivatas ku sebagai Mahasiswa baru, semua bersorak gembira saat panitia mengumumkan berakhirnya seluruh kagiatan itu. Di antara riuh sorak gembira para maba ku alihkan pandangan ini kepada objek yang enggan aku melewatinya, objek yang membuatku betah berlama-lama tersengat matahari saat kagiatan baris berbaris di tengah lapangan. Objek yang menggelayuti simpul hati ini.

Kedipan rasa ku berdesirBerlayar mengarungi samudera cintaku

Page 8: asg

Aku ingin tenggelam di dalamnyaMeski semu dan raguAku tak ingin berlaluBilakah cinta mau menyentuhkuInilah kesungguhan hati kuUntuk mu, selalu..

Satu persatu wajah-wajah asing itu berlalu meninggalkan kampus, dengan menenteng tas dan segala aksesoris selama ospek jelas tergambar perasaan lega bertabur gembira akhirnya ospek itu pun berujung. Kemudian Langkah ku terhenti, sosok itu berdiri tak jauh dari ku merasa tak ingin menyia-nyiakan kesempatan aku pun membujuk sahabatku untuk mau mengambil gambar ku bersama dia. Dengan perasaan canggung bercampur malu, ku beranikan diri ini mendekatinya.“Maaf .. boleh saya minta fotonya?” ucapku kepadanya.Tanpa basa basi ia pun mengiyakan permintaanku itu “Oow.. iya” gumamnya.“Terimakasih ,” lirihku.“Iyaaa..” sahutnya.

Aku pun berlalu darinya, dengan gumpalan rasa yang menyeruak ke permukaan hati ku. Aku bahagia Tuhan, aku tak percaya aku bisa sedekat ini dengannya, bahkan foto bersama sungguh tak terbayangkan sebelumnya. Ku pandangi foto itu lekat-lekat seraya bergumam “aku menyukai mu kak” namun lantas aku sadar ini hanya hayalanku semata, maafkan aku Tuhan!

Mahabbah…Kini menjelma dalam tinta rasakuMenjamah sudut hatikuMeluruhkan seluruh butiran asa yang keluh..

Sejak saat itu, aku selalu menyempatkan waktu untuk sekedar melihat fotonya. Entah apa yang ada dipikiranku yang aku tau aku bahagia layaknya pelangi di ujung senja berhias mega jingga. Malam merangkai kisahnya bersama bintang-bintang dan menuangkannya ke dalam pagi berteman mentari.

Hari bergulir merangkum detak waktu, pagi ini adalah hari pertamaku sebagai mahasiswa predikat yang kini ku sanding. Selalu ada semangat tiap pagi yang ku urai dalam bait-bait puisi cintaku tentunya tak lain dan tak bukan karena dia, si pemilik tatapan teduh itu. Tak jarang aku bertemu dengannya

Page 9: asg

di sela-sela jam kuliahku, bahkan saat berada di rumah Allah pun mata ini tak sengaja terarah kepadanya. Butir-butir air wudhu yang mengalir dengan ramah di cela pori-pori wajahnya melukiskan kesejukkan dalam ketenangan jiwanya, sujud demi sujud yang ia bangun merautkan keimanannya yang rindang di hidupnya. Sungguh tak mampu aku menahan pandanganku, karena aku selalu menikmati tiap detik saat sosok itu tertangkap oleh mata ini.

Debaran rasa..Menyudutkan ku pada satu ragaYang indah bak langit senja meronaSedetik..Dua detik..Aku tak mampu berkutikTerpaku pada satu titikHingga rindu menggelitik

Hari ini aku tak menemukan mu, Sepekan kau menghilang tanpa sekilas bayangan pun tak pernah tertangkap mataku, dimanakah dirimu? Ku nanti hingga hari ke tujuh akhirnya aku pun berlalu dengan pilu yang menggelayuti hatiku. Sekejap saja tak lama atau sedetik saja biar semangat ini tak gugur lagi.

Bila takdir enggan merengkuh mu di sisikuMaka ijinkanlah aku yang merengkuh mudalam mimipi kuAku tak meminta juga tak memaksaKarena aku rasa ini bukan nyata, hayalan ku semata

Semangat itu mulai berguguran satu persatu, mungkin aku akan kembali ke masa gelap ku. Dengan tinta rindu yang ku torehkan di dahan yang kering dan akhirnya membusuk terurai oleh bakteri cinta.

Satu hari aku menungguDua hari masih menungguTiga hari aku masih mampuHari seterusnya aku berlaluMungkin hitam tak akan menjadi kelabuMalam pun enggan berganti pagiTapi aku, aku harus mampu karena mu!

Semakin lama rasa ini menenggelamkan aku semakin dalam, pusaran cinta begitu kuat menarik jiwaku. Aku tak bisa

Page 10: asg

menepi. Ku relakan hati ini tergulung bersama ombak cintamu yang landai, kembali ku rasakan hangatnya hidup kala ku mengenalmu. Hari-hari ku terasa ada yang berarti, selalu ada penantian yang tak terlewatkan. Sayup merdu angin yang datang lembut membelai angan ku tentang mu, tentang senyum mu, tentang tatapan mu, tentang kamu yang selalu ku rindu. Ku acuhkan rasa ini, biarlah menguap dengan sempurna terlampau tinggi gumpalan mimpi yang ku genggam. Biar menghilang aku relakan. Telah ku hembuskan rasa itu agar berbaur bersama mimpi yang menguap dan menggumpal di mega senja sana, semakin ku berusaha mengacuhkannya keteduhan itu mulai menghampiri serambi hatiku.

“Bila seseorang menyembunyikan sesuatu di hatinya, hal itu akan terungkap melalui kata-kata yang tak sengaja dari lidahnya dan pada rona wajahnya” itulah yang terjadi padaku saat ini.Aku tak bisa terus seperti ini, aku tak mampu meredam bisikan cinta yang selalu datang menyiksaku. Kau harus tau, yah.. kau harus tau!

Terbungkam hati menahan setitik kasihDeretan waktu membisu dalam kalbuBiarkan rindu membunuh kuDalam angan tentang mu

Malam pun tak akan tersenyum bila pagi tak menantinya, begitu setianya mereka meski tak bisa bersama dalam satu detik namun bersama menyusun waktu. Menggulung hari bersama bulan dan matahari. Hingga pada suatu hari aku berniat meluapkan seluruh rasa yang telah berkembang biak di hati ini kepada mu, namun aku bingung bagaimana caranya? Haruskah aku menemui mu lalu ku curahkan rasa ini kepada mu? Oh.. itu tidak mungkin. Aku tak ingin engkau tahu siapa aku, malulah diri ini andainya engkau tahu siapa aku. Sampai suatu hari akhirnya aku mendapatkan nomor handphone mu, sungguh tak mudah untuk memiliki nomor mu karena aku bukan dari kalangan terdekatmu.

Pesan demi pesan terkirim, begitu pun puisi ku terkirim bersama gumpalan rasa yang tersirat dalam bait-baitnya. Dengan perasaan resah ku menungguh balasan dari sms yang ku kirimkan kepada mu, huuuuft… debaran jantungku berlari kencang saat melihat satu pesan dari mu. Begitu seterusnya, meski jarang terbalas tapi aku merasa senang setidaknya ia tahu bahwa ada seseorang yang mencintainya. Terabaikan,

Page 11: asg

aku selalu menunggu balasan mu meski terkesan cuek dan dingin aku seakan tak bosan untuk mengirim pesan lagi dan lagi. Pernah terlintas dalam benak ku untuk mengakhiri semuanya, aku merasa dia sama sekali tak menghiraukan ku namun tiap kali aku akan melangkah jauh darinya aku tak bisa, aku tak bisa! Detik, menit, hingga jam merangkai hari, membuat ku rindu akan mu yang tak setiap waktu dapat ku jumpai. Sampai pada suatu moment dimana hari itu aku melihat mu, tak ada kata yang terlintas dalam benak ku kecuali debaran jantung yang mengalun bak lonceng jam yang berlari mengejar waktu.

Bisikan angin lembut menyentuh kuSaat itu aku tau kau datangDebaran jantung mulai berlariMengikuti kemana langkah mu

Aku hanya terdiam, melihat mu, mendengar suara mu dan sesekali ku alihkan pandangan ini dari mu. Agar tak ada yang tau bahwa sesungguhnya aku sedang memperhatikan mu. Ku nikmati tiap menit yang berlalu seraya melukis senyum mu dalam kalbu.

Aku adalah awanYang selalu melihat mu dari arahyang tak pernah kau tauAku adalah anginYang selalu menghembuskan cintaDari sisi yang tak pernah kau mengertiAku adalah gerimisYang selalu membasahi tiap cela hatimuDari sudut yang tak pernah kau pahami

Kau tak pernah tau, yah tentu saja karena ku melipatnya dengan rapi agar tak ada cela yang terlihat oleh mu. Aku selalu merasa bahagia, entahlah harus seperti apa aku menjelaskannya karena begitu indah hingga aku tak mampu mengibaratkanya. Mungkinkah perasaan ini telah berkembang biak sampai semua sudut hatiku tercemar oleh mu.

Bagaimana bila tiap rajut kasihkuTerdiri dari unsur-unsur muAda nama muAda senyum muAda tatapan muAda suara mu

Page 12: asg

Dan ada bayangan muLalu ku sulam menjadi mahabbah yang hakikidi atas bumi Ilahi

Pelangi sediakah kau berikan satu saja dari warna mu? Ingin ku tuang engkau dalam goresan cinta di atas kanvas yang berlukiskan bayang mu. Satu warna yang memberikan kehidupan, karena tiap helai pelangi ialah keindahan yang nyata hidup dalam diri mu. Waktu semakin menjepit ku, ia tau bahwa aku tak mungkin meraih mu meski sembilu rindu selalu merengkuh ku. Terdesak aku atas perasaan yang enggan ia menghilang, semakin hidup dan memenuhi di ruang-ruang hati ku.Cinta yang tulus maka ia akan hidup selamanya, benarkah itu? Aku kutip dari kisah cinta yang berakhir bahagia, tapi apakah kisah cinta ku akan berakhir sama? Tidak!! aku terlalu tinggi dalam bermimpi, mana mungkin kerikil bersanding dengan mutiara. Seharusnya aku tau itu, cinta ini terkadang membuat ku lupa diri. Siapa diri ku? Tentulah engkau akan enggan menyambut ku bila kau tau siapa aku.

Ku biarkan satu persatu lembar waktu terbuka, di halaman berapakah kiranya aku akan mampu bertahan? Dari semua rajutan takdir yang Engkau susun menjadi album kehidupan. Tolong beri aku jawaban Tuhan, agar aku tak selalu berharap kepada ia pemilik tatapan teduh. Mungkin aku tak mampu meraihnya, namun setidaknya air mata ini bukti adanya cinta di hatiku. Dan tergelincirlah semua anganku bersama pelangi di ujung senja.

Aku ingin menjadi gubuk kecil bagi muGubuk kecil yang beratapkan ketulusanYang berdindingkan kesetiaanDan berlantaikan kepercayaanGubuk kecil yang bercahayakan kehangatancinta di dalamnyaGubuk kecil yang menampung seribu derita muGubuk kecil yang menyimpan sejuta keluh kesah muGubuk kecil yang menjadi tempat mu mengaduSaat semuanya pergi menjauhi muGubuk kecil yang hanya menerima muSebagai penghuninya..

Gubuk kecil, ialah diriku lelaki yang biasa terlampau sederhana. Yang ingin menjadi bagian dari hidup mu meski dalam dunia maya, maya yang semu. Dari semua puisi yang

Page 13: asg

ku tulis, puisi inilah yang menguras air mata ku. Ada sesuatu yang membuatku rapuh, saat mengetik kata demi kata dalam baitnya. Aku merasa inilah ujung kekuatan ku.

End

CINTA DAN AKUSTIK

“jreeeng”. Dawai sang akustik mendengung merdu.Itu adalah petikan terakhir dari gitar akustik yang kumainkan pada parade musik solo malam di sebuah Cafe. Akhir dari lagu sendu yang seolah mewakili suasana hatiku pada beberapa minggu ini.

Desiran ombak hati yang beraroma usang kini menjadi selimut tetap dalam putaran waktu yang menyelingi irama nadi. Cinta tak lagi berpihak dan akustik adalah sebuah penghibur  yang terpilih guna menyembunyikan luka yang menggandengku erat. Terhitung satu bulan lagi. Satu bulan lagi akan menjadi hari tergelap dalam hidupku yang teramat kucintai ini.

Wanita yang begitu dekat dan melekat di hati akan terpinang dan segera membangun indahnya canda tawa sebuah keluarga dengan seseorang di luar sana. Bukan denganku dan pasti tanpaku.

Cinta tak pernah mengerti bagaimana rasa akan tumbuh dan dengan cara apa ia bisa menjelma menjadi suatu kata yang begitu berharga dalam lentera teduh yang di sebut ‘sayang’. Ya, cinta juga tak pernah mengerti kepada siapa ia akan menjatuhkan hati tentang rintihan lembut yang memanggil atas dasar ketulusan untuk memiliki. Cinta dalam hati adalah satu dari sejuta kemungkinan yang bermakna nyata.

*Hening dalam sekian detik

Semula seusainya tampil di kafe ini, hanya ku pejamkan mata sejenak. Lalu ku coba memimpikannya dalam gelap, memikirkannya dalam rindu, dan menariknya agar tak menjauh. Ku bayangkan indah matanya, lembut katanya dan aromanya yang khas. Itu adalah kenikmatan yang hanya bisa kudapati pada dirinya, wanita penghuni relung kosong ini, dia sahabatku.

Page 14: asg

Masih ku memimpikannya dalam pejaman mata yang dangkal, sebelum akhirnya para pengunjung kafe ini membangunkanku dengan tepuk tangannya yang riuh membanjiri gendang telingaku. Maka ku terbangun.“Galih!”. Teriakan suara wanita memanggil namaku. Itu bukan suara asing, aku mengenalnya.Dengan cepat aku menoleh antusias pada seluruh pengunjung kafe. Masih kucari dari mana panggilan itu berasal sebelum akhirnya muncul dengan anggunnya seorang wanita yang aku maksud. Itu adalah dia, dia yang aku filosofikan sebagai kata yang kurajut menjadi puisi. Puisi yang mengalbum dalam bingkai terbaik di sudut terindah taman cintaku. Dia yang tinggal di jagad hatiku dengan sejuta keindahannya yang membuatku senantiasa bersyukur atas nama cinta. Nadina puspita wisanto namanya, atau ku sebut dia Nadin.

Nadin adalah wanita dengan senyum renyah dan selalu membawa gitar akustik kesayangannya, sama sepertiku. Nadin dan aku adalah sesama pemain akustik. Lima tahun sudah persahabatan ini terbangun atas nama rasa. Maka lima tahun pula aku hanya bisa bernyanyi lewat akustik dan berpuisi tentangnya tanpa berani mengungkap isi hatiku yang sebenarnya. Betapa pengecutnya aku sehingga hati ini kupaksakan menunggu. Selama itu hati menahan dan lambat laun semakin sesak lalu merintih. Apalagi ketika tempo hari ku dapati sebuah cincin indah melingkar di jari manisnya tanda terjadinya sebuah ikatan. Sekali lagi bukan denganku.

“Nadin?”. Heranku padanya seraya berjalan turun dari panggung dengan masih diiringi riuhnya tepuk tangan.“bisa kita jalan?”. Pinta Nadin lembut padaku.“kemana? tapi kan…”.“kita berangkat sekarang”. Sahut Nadin memotong ucapanku.

Aku hanya bisa beranjak dan segera menuruti pintanya. Seperti ada sesuatu yang aneh ketika kuperhatikan mimik wajah dan caranya berbicara. Nadin yang biasanya berhiaskan senyum renyah tak ku dapati malam ini. Kilau rambutnya juga tak seperti yang biasa aku nikmati. Ada apa dengan Nadin? Hatiku bertanya.

Di Kedai Kopi Klasik

Sudah 30 menit lamanya aku dan dirinya tiba di kedai kopi langganan kami, tapi ia tak kunjung mengeluarkan sepatah

Page 15: asg

kata pun dari mulut manisnya. Justru air matanya lah yang gemulai menyapaku menemani tubuh yang perlahan mulai menggigil.“kamu kenapa, Nad?”. Tanyaku khawatir padanya.Aku mulai terkejut ketika dengan sekejap Nadin mendekap lenganku penuh arti. Ini bukan sembarang dekapan. Aku merasa luluh. Pada satu definisi aku menerimanya sebagai dekapan yang membawaku pada gelora cinta yang membuatku bersyukur atas nama waktu. Waktu telah memberiku jeda riang dengan dekapan yang hadir dari sang hawa bernama Nadin. Terima kasih cinta.

Tak lama, lantas ia membaringkan kepalanya pada bahu yang selalu siap menerimanya ini. Kemudian mulai ia mengungkap sesuatu dengan diiringi angin lembut yang memberikan sebuah tema haru seraya menyongsong penjelasannya padaku.“coba lihat ini”. Ujarnya sembari memberiku secarik kertas undangan pernikahan.“undangan? kamu kan udah pernah ngasih ke aku, kenapa masih ngasih lagi?”. Aku bertanya padanya dengan masih dinaungi ketidak percayaan bahwa ia benar-benar akan menikah.“iya memang, tapi aku hanya ingin kamu tau kalau sahabatmu ini benar-benar akan menikah”. Jawab Nadin penuh perasaan.“hmm, iya aku tau, semoga kamu bahagia dengan pilihanmu”. Ujarku berusaha tegar di hadapannya.“tapi persahabatan kita? gitar akustik? kafe itu?”.“tentu kita tetap bersahabat, kita juga masih bisa berakustik di kafe biasa kita kumpul, memang kenapa?”.

Sejenak aku dan dia bisu dalam hening. Air mata Nadin terus berbicara lirih mengalir menghiasi pipinya. Suasana semakin sendu ketika kuperhatikan kedai kopi ini ternyata perlahan mulai sepi.“Nadin?”. Tanyaku semakin heran padanya.“terima kasih untuk 5 tahun ini, aku beruntung bertemu seorang pemain akustik sepertimu Gal. Aku bisa nikmati bagaimana kebersamaan kita selama 5 tahun ini. Bulan depan aku bakal terpinang dan segera beranjak dari kota ini”. Tandas Nadin dengan derai air matanya yang semakin menjadi.“maksud kamu? kamu pergi? kenapa Nadin?”.“iya, aku pergi setelah pernikahanku nanti”.“tapi, Nad…”.“malam ini aku cuman mau balikin buku ini”. Tiba-tiba Nadin memotong ucapanku dan memberiku sebuah buku yang

Page 16: asg

sepertinya aku kenali.

Benar. Buku itu adalah tempatku menuang kata menjadi puisi tentangnya, tentang Nadin. Buku itu adalah pelarian dari suasana hati dan sejuta kekagumanku padanya. Aku menyebutnya lembaran hati, bukan buku diary. Lantas bagaimana buku itu bisa berada di tangan sang cinta?.

“buku itu? kenapa bisa ada di kamu, Nad?”. Aku panik dan berusaha menyembunyikan rasa yang tiba-tiba menjadi tak karuan. Timbul rasa khawatir pada benakku, khawatir akan mengacaukan persiapannya untuk menikah.“aku temuin buku itu di kafe tempat kita biasa manggung Gal. Aku udah tau semua isi buku itu”. Ucap Nadin sesenggukan.“jadi? kamu?…”.“iya Gal, aku udah tau tentang perasaan kamu ke aku selama ini”.“maafin aku Nad. Aku nggak bermaksud menodai persahabatan kita. Rasa ini mengalir begitu saja dan aku nggak pernah bisa nolak anugrah cinta yang Tuhan berikan. 5 tahun aku nyimpen ini semua karena emang aku nggak ada keberanian buat bilang ke kamu tentang perasaan aku. Aku khawatir persahabatan kita hancur dan kamu ngehindar kalau seandainya kamu nggak bisa nerima aku. Aku terpaksa diam, sekali lagi maafin aku Nad”.“bodoh!”. Teriak Nadin padaku.“maafin aku, Nad”.“kenapa kamu nggak pernah coba, Gal? kenapa kamu nggak perjuangkan apa yang seharusnya kamu dapetin?”.“aku khawatir, Nad!”. Seruku padanya.“khawatir apa?”. Nadin membalasku.Sejenak terjadilah perang argumen antara aku dengannya. Perlahan nadiku melemah menyaksikan isak tangis Nadin yang tak kunjung mereda. Sampai akhirnya aku tega melanjutkannya.“aku khawatir kamu nggak bisa nerima aku dengan segala kekurangan aku. Pikirku kamu nggak bisa nerima cinta dari seorang pemain akustik seperti aku. Tapi cuman satu yang jelas, atas nama cinta, aku sayang kamu, Nad”.“sebenarnya ada satu hal yang perlu kamu tau, Gal”.“apa?”.“tentang kita, cinta yang ternyata bersembunyi di balik keraguan kita. Tentang rasa yang selama ini ternyata sama. Sebenarnya selama ini aku juga punya perasaan yang sama sepertimu. Tanpa kamu sadari aku selalu memberimu ruang untuk masuk dan mencoba mengatakan semuanya. Aku selalu

Page 17: asg

menunggumu untuk satu hal itu, tapi kamu terlalu lama dan ragu Gal”.“Nadin?”.“aku wanita, nggak mungkin aku memulai. Kalau saja seandainya kamu lebih cepat dan tak pengecut, mungkin cincin orang lain ini nggak akan terpasang di sini”. Ujar Nadin seraya memperlihatkan cincin tunangannya.“maafin aku, Nad”. Mataku mulai berkaca-kaca.“aku sayang sama kamu Gal, tapi apa daya aku. Satu bulan lagi aku akan menikah dengan pasanganku, orang yang telah berusaha buat dapetin hati ini. Maafin aku Gal”.“…”. Aku hanya membalasnya dengan diam dalam kondisi batin yang tersayat-sayat saat kembali mendengar dia benar-benar akan menikah.“terima kasih untuk puisi-puisi indah itu, cinta!”. Curahnya padaku.

Dengan segala isi hati, Nadin mencium keningku penuh rasa, lalu ia pergi tanpa berkata-kata lagi. Sekali lagi bibirku kaku ingin membisu. Hanya kata hati yang bertutur riuh dengan segala penyesalan pada saat menyaksikannya melangkah pergi. Saat itu pula aku seperti selembar daun yang terombang-ambing di tengah kuatnya samudera. Bagaikan debu haram yang tercecer kasar pada sudut nurani. Menyedihkan.

“SELAMAT JALAN CINTA!”. Ujarku membatin padanya.

Kini Nadin telah memudar dari pandangan. Derap langkahnya mulai semu terbawa keheningan. Akustik yang kubawa menjadi saksi bisu pada momen yang begitu pilu ini. Hanya kalimat terakhirnya tadi yang membuatku terpaksa mengenangnya dalam perih. Dia menyebutku cinta walau pada nyatanya bukan aku yang bersanding dengannya kelak. Sekali lagi, dia benar-benar akan menikah.

Ini Cinta. Tak selamanya berkata ‘mampu’. Hanya keberanian dan sedikit keberuntungan yang akan membawanya pada jalan indah penuh pelangi yang disebut romansa. Akustik telah menjadikanku sebagai manusia yang bisa bersyukur dengan segala bentuk cinta terhadap makhluk ciptaan-Nya lewat lagu dan puisi yang tercipta. Enam dawai akustik telah berpesan bahwa maksud hati kadang kala menjadi salah karena jauh dari sempurna.

Selamat menikah Nadin, gapailah indah cahaya pada

Page 18: asg

manisnya sebuah bina keluarga. Terima kasih Tuhan. Dari hati, atas nama AKUSTIK dan meriahnya CINTA.

-TAMAT-

Seribu origami untukmu

Hmmm… kutarik helai nafas panjang di pagi itu. Udara terasa sejuk saat mentari mulai mengedipkan sinarnya ke bumi. Saat itu pula aku berfikir bagaimana cara untuk memulai hari. Huuuhhh…. sudahlah, dan akhirnya aku berangkat dengan langkah kaki yang pasti menuju bangku tempatku meniti kehidupan yang lebih baik. Disana, aku menemukan teman, sahabat dan kenangan. Dan disanalah aku juga menemukan apa arti kasih sayang yang tulus dari sebuah cinta.

Sesaat sampai di sekolah, aku melihat sesuatu yang membuat otakku seolah berhenti untuk berfikir dan hanya tersenyum saat melihatnya. Tanpa kusadari dia adalah teman baru sekelasku dan saat itu pula dia duduk tepat di sampingku. Namanya Dinda, saat dipanggil oleh wali kelasku yang baru. Manis, tak banyak ngomong, perhatian, anggun dan peduli, itu adalah kesan pertama yang kudapat dari dinda.

Di parkiran sekolah aku bertemu dengannya dan mengajak berkenalan, ternyata dia adalah pribadi yang welcome dan menyenangkan. Waktu ke waktu selalu kuhabiskan dengannya di kelas begitu juga dengannya. Dan aku semakin mengerti, apa artinya memberi tanpa harus diberi. Bercanda bersama, makan bersama di pinggir jalan, naik gunung bersama, naik sepeda bersama, sampai kehujanan berdua pun telah kita lalui.

Tak terasa 1 tahun aku telah bersamanya walaupun tak memilikinya. Mungkin dia tidak pernah tahu perasaanku dengannya kini telah berubah. Mungkin seluas langit, ketika dia tahu besarnya rasaku. Aku sadar, aku hanya setetes air dalam hujan. Masih banyak manusia yang lebih pantas memilikinya. Mungkin terlalu munafik ketika kita berbicara cinta tak harus memiliki, dan aku tak memungkirinya. Kerena hal teridah dalam hidup adalah ketika kita dicintai orang yang kita cintai. Mungkin terlalu naif, namun itulah kenyataannya.

Suatu ketika aku tahu bahwa orang yang aku sayangi telah

Page 19: asg

bersama orang lain yang aku kenal. Tenyata orang lain itu adalah sahabatku, dan dia juga menyimpan rasa kepada dinda. Aku hanya tersenyum melihatnya, karena senyuman ini adalah tangisanku yang terbungkam. Saat itu juga aku merasa menjadi abu yang berterbangan entah tak tahu kemana. Aku mulai memahami keadaan ini dengan keadaanku, bahwa sesuatu yang berada di dekat kita bukan berarti milik kita.

Seiring waktu aku telah berubah menjadi manusia tanpa harapan. Mungkin dinda menyadari ketika aku tak seperti biasanya. Mungkin waktu juga berbicara padanya tentang perasaanku. Dia hanya diam, namun aku tak mengerti apa arti diam. Mungkin diam mampu menghindari masalah namun diam tak mampu menyelesaikan masalah.

Suatu saat ketika aku berjalan menuju rumah, dia memanggilku dan menghampiriku. Dia mengungkapkan apa yang seharusnya dia tak ungkapkan. Aku seolah tak berdaya mendengarnya. Dinda merasa telah kehilanganku ketika aku jauh darinya, dan ia tak mengerti perasaannya. Aku hanya diam seolah tak mengerti. Lalu kulanjutkan langkah kaki dengan terbayang kata kata itu. Dia tertunduk dengan raut sedih di wajahnya. Aku semakin tak tahu dan tak mengerti sikapnya padaku.

Tak terasa saat pengumuman kelulusan telah tiba dan tak terasa pula sudah tiga tahun aku telah memendam apa yang akan aku katakan dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara padanya. Aku berfikir untuk mengungkapkannya pada saat acara perpisahan sekolah nanti. Waktu yang tepat telah di depan mata. Saat acara selesai, aku menariknya ke tempat yang memungkinkan untuk aku berbicara adanya. Dia tak mengerti apa yang aku lakukan. Lalu aku mulai bertanya kepadanya.

“Masih ingatkah ketika kita berdua mendaki gunung dan berteriak bersama seperti orang tolol yang baru saja terlepas dari semua beban, masih ingatkah ketika berlari bersama saat mengejar bis kota dan aku menggenggam tanganmu agar tak terlepas, dan masih ingatkah saat kita berdua membuat seribu origami hati yang saat ini masih kusimpan untuk kuberikan padamu, itu kulakukan karana aku cinta kamu dan saat ini perasaanku tak berubah sedikitpun”, aku hanya sanggup berkata seperti itu karena air mataku menetes bersama air matanya.Lalu dia memeluk erat seakan tak ingin kehilanganku lagi. Aku

Page 20: asg

tahu perasaanya sama dengan perasaanku, karena ternyata dia masih menyimpan setengah dari seribu origami yang dulu pernah kita buat. Lalu kita satukan kembali origami itu agar terlengkapi menjadi seribu origami yang utuh. Dan kita berjanji untuk menjaganya sampai kita bersama selamanya.

Dan sekarang, aku dan dia telah berubah menjadi kita yang penuh harapan. Sekarang aku sadari semuanya. Jodoh memang tak akan tertukar, namun kita harus berusaha untuk menemukannya dan berjuang untuk mempertahankannya. Dan temukanlah tulangmu sebelum waktumu menghilang.