artikel penelitian hibah bersaing - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/22470/1/artikel_hiber_2013_m...
TRANSCRIPT
ARTIKEL
PENELITIAN HIBAH BERSAING
ANALISIS MULTIBAHAYA BENCANA ALAM
DI KABUPATEN KULONPROGO YOGYAKARTA
KETUA
MUHAMMAD NURSA’BAN NIDN 0010077807
ANGGOTA:
SUPARMINI NIDN 0010115410
BAMBANG SAEFUL HADI. NIDN 0014087104
Dibiayai oleh:
Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian ....
Nomor: ......................................., tanggal .................
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
NOVEMBER 2013
2
ABSTRAK
ANALISIS MULTIBAHAYA BENCANA ALAM
DI KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA
Oleh:
Muhammad Nursa’ban, Suparmini, Bambang Saeful Hadi
Jurusan Pendidikan Geografi, FIS, UNY
Email: [email protected]
Tujuan tulisan ini untuk menganalisis multibahaya bencana alam di wilayah
Kabupaten Kulonprogo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menggunakan
metode eksploratif melalui pendekatan geomorfologis. Populasi penelitian yaitu seluruh
lahan di Kabupaten Kulonprogo dengan teknik sampel purpossive area sampling atas
dasar satuan lahan hasil overlay kondisi geomorfologi, penggunaan lahan, dan jenis
tanah. Metode pengumpulan data menggunakan observasi, dokumentasi, kemudia
dianalisis secara deskriptif melalui bantuan sistem informasi geografis dan analisis
keruangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat multibahaya bencana kategori
“sedang” mencakup sebagian besar wilayah di Kulonprogo khususnya pada satuan
bentuk lahan pegunungan denudasional dan perbukitan struktural. Tingkat multibahaya
kategori “tinggi” terdapat pada dataran aluvial dan daerah kepesisiran.
Kata Kunci: Multibahaya, Bencana alam, Satuan lahan, Kulonprogo
3
ABSTRACT
ANALYSIS OF MULTI-NATURAL HAZARD
IN KULONPROGO REGENCY, YOGYAKARTA
by :
Muhammad Nursa'ban , Suparmini , Bambang Hadi Saeful
Education Department of Geography , FIS , UNY
Email : [email protected]
The purpose of this paper to analyze multi-natural hazards in Kulonprogo Regency
of Yogyakarta Special Region. The method using exploratory with geomorphological
approach. The population is all land in Kulonprogo Regency. Purposive area sampling
technique used to obtained the land units using overlay geomorphological conditions ,
land use , and soil type . Methods of data collection using observation and
documentation, so then, analyzed descriptively through geographic information systems
and spatial analysis. The results showed that the level "moderate" category of multi-
natural hazard covered most areas in Kulonprogo, especially in mountainous landform
units denudasional and structural hills. Level "high" category contained in the alluvial
plains and coastal areas .
Keywords : Multihazard, natural hazards, land units , Kulonprogro
4
LATAR BELAKANG
Wilayah Kulonprogo merupakan salah satu wilayah Indonesia yang terletak pada
lokasi pertemuan lempeng tektonik besar dunia (Eurasia dengan Hindia-Australia) yang
aktif dan saling bertumbukan, dengan didukung oleh variasi konfigurasi relief dan iklim
tropis basah. Kondisi ini menimbulkan ancaman bencana yang disebabkan oleh tingginya
tingkat kerawanan bencana endogen maupun eksogen. Menurut Sudibyakto (2007),
Kabupaten Kulonprogo termasuk dalam wilayah yang memiliki ancaman bencana sangat
tinggi, baik bencana yang disebabkan oleh bahaya alam maupun bahaya non alam.
Banyaknya jenis bencana memicu timbulnya risiko bencana. Selain karena adanya
ancaman bencana, risiko juga timbul akibat ketidakmampuan masyarakat dalam
menghadapi bencana.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kulonprogo yang dikutip
Harian Kedaulatan Rakyat, edisi Sabtu, 7 Januari 2012 menyatakan bahwa pada awal
tahun 2012 sudah terdapat 160 titik bencana di Kabupaten Kulonprogo meliputi bencana
tanah longsor dan angin ribut. 160 Titik bencana itu tersebar di enam kecamatan, masing-
masing: Kecamatan Girimulyo 22 titik, Kalibawang 14 titik, Kokap 30 titik, Pengasih 6
titik, Samigaluh 80 titik, dan Sentolo 8 titik. Bencana tersebut mengakibatkan 6 rumah
dan 3 mushola roboh. Selain itu sawah terendam banjir dan beberapa jalan tertutup
longsor bahkan ada yang putus total. Kerugian bencana tersebut diperkirakan mencapai
1,1 Miliar lebih.
Pemerintah Kulonprogo mensinyalir wilayah Kulonprogo di sisi utara yang
berbukit-bukit berpotensi besar terhadap bencana tanah longsor, wilayah timur yang
dilalui oleh Sungai Progo berpotensi bencana banjir lahar dingin, wilayah Kulonprogo
yang berdekatan dengan lempeng Australia berpotensi terhadap gempa bumi, sedangkan
Kulonprogo yang dikelilingi pegunungan dan menghadap langsung dengan Samudera
Hindia berpotensi menimbulkan bencana alam angin puting beliung dan tsunami.
Konsekuensi karakteristik geologis, geomorfologis dan klimatis di wilayah
Kabupaten Kulonprogo ini berpotensi menimbulkan multibahaya bencana. Definisi
bencana menurut UU No. 24 tahun 2007 adalah Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis. Faktor-faktor alam sebagai sumber bencana menurut
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2011) yaitu seperti faktor geologis (gempa,
tsunami, letusan gunung berapi), Hydrometeorologis (banjir, tanah longsor, kekeringan,
5
angin topan), dan biologis (wabah penyakit, penyakit tanaman, penyakit ternak, hama
tanaman).
Keller dan Blodgett (2006) menyatakan bahwa natural hazards is natural processes
such as volcanic eruptions, earthquakes, floods, and hurricanes when they threaten
human life and property. Bencana alam adalah proses alami seperti erupsi gunung, gempa
bumi, banjir, angin kencang ketika mengancam kehidupan manusia. Ditambahkan Keller
dan Blodgett bahwa untuk memahami proses alam sebagai bencana memerlukan
pengetahuan dasar tentang ilmu bumi. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya bencana
alam ditimbulkan oleh adanya ancaman bahaya bencana faktor alam dan
kerawanan/kerawanan yang menimbulkan risiko bencana alam.
Menurut Undang-Undang No. 24 tahun 2007 pasal 7, 9, 38, dan 71, tersirat bahwa
bahaya bencana diidentikkan dengan sumber ancaman. Suatu kondisi, secara alamiah
maupun karena ulah manusia, yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian dan
kehilangan jiwa manusia. Bahaya bencana berpotensi menimbulkan bencana, tetapi tidak
semua bahaya selalu menjadi bencana. Konsep bahaya bencana alam yang dimaksud
dalam tulisan ini yaitu keadaan yang terjadi karena faktor-faktor kondisi alam seperti
faktor geologis dan hydrometeorologis berupa tsunami, longsor, dan banjir, yang
mengancam keselamatan dan keamanan rakyat dan atau melumpuhkan kehidupan
perekonomian, dan atau menghambat fungsi pemerintahan secara luas. Multibahaya
bencana alam berarti kompleksitas bahaya bencana alam yang dialami suatu wilayah. Van
Westen dkk (2005) melakukan peneltian multibahaya dan multirisiko dengan studi kasus
di Kota Turrialba, Costa Rica, dengan metode sistem informasi geografis. Pada penelitian
ini data diperoleh dari pengamatan lapangan dan penginderaan jauh yang kemudian
dikonversi menjadi data poligon masing-masing bencana yang kemudian digunakan
untuk tumpangsusun/overlay sehingga diperoleh multibahaya
Berdasarkan gambaran di atas penulis berkeinginan untuk mendeskripikan tingkat
multibahaya bencana alam di Kabupaten Kulonprogo. Multibahaya bencana alam yang
dimaksud adalah kompleksitas bahaya bencana karena faktor-faktor kondisi alam seperti
faktor geologis dan hidrometeorologis antara lain tsunami, longsor, dan banjir yang
mengancam keselamatan dan keamanan masyarakat dan atau melumpuhkan kehidupan
perekonomian dan atau menghambat fungsi pemerintahan secara luas. Secara teoritis
diharapkan penelitian bermanfaat dalam referensi kajian kebencanaan khususnya
mengenai multibahaya. Secara praktis dapat dijadikan sebagai informasi dasar dalam
pengelolaan bencana, khususnya tindakan mitigasi dan pasca mitigasi yang meliputi
kesiapsiagaan dan penanganan darurat bencana.
6
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksploratif pendekatan geomorfologi dengan
membagi wilayah menjadi beberapa satuan wilayah berdasarkan karakteristik masing-
masing wilayah. Populasi penelitian ini yaitu seluruh lahan di Kulonprogo kemudian
diambil sampel menggunakan purposive area sampling atas dasar satuan medan hasil
overlay kondisi geomorfologi, lereng, dan penggunaan lahan. Teknik pengumpulan data
menggunakan observasi dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif
melalui sistem informasi geografis dan analisis keruangan.
HASIL PENELITIAN
Bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor (UURI No
24 Tahun 2007). Tingkat bahaya pada suatu tempat menunjukkan potensi bencana alam
yang dapat terjadi pada tempat tersebut oleh karena pengaruh dari berbagai faktor.
Kondisi geomorfologi merupakan faktor yang berperan penting terhadap timbulnya
bahaya alami oleh karena itu pendekatan geomorfologi dapat digunakan untuk
mengidentifikasi tingkat bahaya dan persebarannya. Karena pada setiap kondisi
geomorfologi satu dengan lainnya memiliki ancaman bahaya yang berbeda maka kondisi
geomorfologi di Kabupaten Kulonprogo perlu dipisahkan ke dalam beberapa satuan
medan terlebih dahulu.
Satuan medan merupakan kelas medan yang menunjukkan suatu bentuk lahan atau
kompleks bentuk lahan yang sejenis dalam hubungannya dengan karakteristik medan
dan komponen-komponen medan yang utama. Satuan medan juga berarti satuan ekologis
yang dapat berupa bentuk lahan, proses, batuan, tanah, air, dan vegetasi yang masing-
masing saling mempengaruhi untuk membentuk suatu keseimbangan alamiah (Van
Zuidam & Cancelado, 1979). Kondisi dari komponen-komponen satuan medan akan
mempengaruhi perbedaan potensi bahaya. Satuan medan digunakan sebagai satuan
analisis untuk melakukan penilaian tingkat bahaya dan sebaran bahaya tsunami, longsor,
banjir limpasan, dan banjir genangan. Berdasarkan hasil tumpangsusun peta
geomorfologi, peta lereng, dan peta penggunaan lahan diperoleh 92 satuan medan di
seluruh wilayah Kabupaten Kulonprogo (Tabel 1), yang berada pada 12 satuan
bentanglahan. Pada masing-masing satuan medan tersebut selanjutnya dilakukan
penilaian terhadap parameter-parameter medan yang mempengaruhi bahaya tsunami,
longsor, banjir limpasan, dan banjir genangan.
7
Bahaya tsunami dipengaruhi oleh bentuklahan, lereng, ketinggian tempat, relief,
kerapatan vegetasi, jarak dari garis pantai, penggunaan lahan, dan kedudukan medan.
Bahaya longsor dipengaruhi oleh lereng, tekstur tanah, solum tanah, permeabilitas tanah,
singkapan batuan, penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi. Bahaya banjir limpasan
dipengaruhi oleh curah hujan, infiltrasi, kerapatan vegetasi, kemiringan lereng, jarak dari
sempadan sungai, kerapatan alur sungai, dan tipe sungai. Adapun bahaya banjir
genangan dipengaruhi oleh curah hujan, lereng, bentuklahan, infiltrasi, solum tanah, dan
kerapatan vegetasi.
Hasil analisis pengharkatan parameter-parameter medan di atas pada masing-
masing satuan medan menunjukkan bahaya tsunami berpotensi terjadi di wilayah
Kabupaten Kulonprogo, khususnya di wilayah kepesisiran. Secara umum di seluruh
Kabupaten Kulonprogo terdapat lima kelas bahaya tsunami meliputi bahaya sangat
rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Bahaya tsunami sangat rendah dan
rendah meliputi sebagian besar wilayah. Bahaya sangat rendah dijumpai pada 41 satuan
medan atau 44,56% wilayah sedangkan bahaya rendah dijumpai pada 31 satuan medan
atau 33,70% wilayah. Bahaya sedang dan tinggi masing-masing dijumpai pada 5 satuan
medan atau 5,43% wilayah. Adapun bahaya sangat tinggi dijumpai pada 10 satuan medan
atau 10,87% wilayah.
Faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya rendah dan sangat rendah pada
sebagian besar wilayah adalah ketinggian tempat dan jarak dari garis pantai. Kabupaten
Kulonprogo memiliki wilayah yang luas pada kompleks pegunungan denudasional.
Dengan ketinggian tempat antara 100 hingga 900 meter, kompleks pegunungan berada
pada kedudukan yang jauh lebih tinggi dari skenario tsunami dalam penelitian ini yang
mengacu pada tsunami Cilacap dan Banyuwangi dengan run up 14 meter, serta gempa
terakhir di Bantul pada tahun 2006 yang secara teoritik mampu memicu tsunami dengan
run up 6 meter.
Disamping itu jarak dari garis pantai serta kedudukan medan secara keruangan
yang terhalang oleh bentuklahan lainnya, turut berperan sebagai faktor penghambat
tsunami. Pada wilayah Kecamatan Nanggulan terdapat medan dengan karakteristik
morfologi datar, elevasi tempat rendah, penggunaan lahan sawah, dan kerapatan vegetasi
sedang, yang secara teoritik berpotensi tinggi terhadap tsunami, namun karena jarak dari
garis pantai jauh dan terhalang oleh kompleks perbukitan struktural sentolo potensi
bahaya tsunami di daerah ini tergolong rendah.
8
Tabel 1. Satuan Medan di Daerah Penelitian Satuan Medan Keterangan
A1 Qa I Kc D2 a III Tg K1 Tmj III Kc Bentuklahan:
A1 Qa I Lk D2 a IV Kc K1 Tmj III Per A1: sand dune dan swale
A1 Qa I Per D2 a IV Per K6 Tmj I Kc D2: pegunungan denudasional
A1 Qa I Tg D2 a IV Tg K6 Tmj I Per D3: inselberg
D2 Teon III Kc D2 a V Kc K6 Tmj II Per D7: lerengkaki pegunungan
D2 Teon III Tg D3 Tmok III Kc M3 Qa I Lk D9: dataran koluvial
D2 Teon IV Kc D7 Tmok II Kc M4 Qa I Kc F1: dataran aluvial
D2 Tmj III Kc D7 Tmok II Sa M4 Qa I Per K1: plato karst
D2 Tmj III Per D7 Tmok II Tg M4 Qa I Sa K6: lembah karst
D2 Tmj III Sa D7 Tmok III Kc M4 Qa I Tg M3: gisik
D2 Tmj III Tg D7 Tmok III Sa S4 Tmps III Kc M4: beting gisik
D2 Tmj IV Kc D7 Tmok III Tg S4 Tmps III Per S4: perbukitan struktural
D2 Tmj IV Per D9 Qc I Kc S4 Tmps III Sa V5: dataran fluviovulkan
D2 Tmj IV Sb D9 Qc I Per S4 Tmps III Sb F7: dataran banjir dan tanggul alam
D2 Tmj IV Tg D9 Qc I Sa S4 Tmps III Tg Geologi:
D2 Tmj V Sb D9 Qc II Kc S4 Tmps IV Kc Qa: Aluvium
D2 Tmok III Kc D9 Qc II Per S4 Tmps IV Sb Qc: Koluvium
D2 Tmok III Per D9 Qc II Sa S4 Tmps IV Tg Teon: Formasi Nanggulan
D2 Tmok III Sa D9 Qc II Sb V5 Qmi I Kc Tmj: Formasi Jonggrangan
D2 Tmok III Sb D9 Qc II Tg V5 Qmi I Per Tmok: Formasi Kebobutak
D2 Tmok III Tg F1 Qa I Kc V5 Qmi I Sa a: Andesit
D2 Tmok IV Kc F1 Qa I Lk V5 Qmi I Sb Tmps: Formasi Sentolo
D2 Tmok IV Per F1 Qa I Per V5 Qmi I Tg Qmi: Endapan Vulkan Merapi Muda
D2 Tmok IV Sa F1 Qa I Sa V5 Qmi II Kc Lereng:
D2 Tmok IV Sb F1 Qa I Tg V5 Qmi II Per I: datar, II: landai, III: miring
D2 Tmok IV Tg F1 Qa II Kc V5 Qmi II Sa IV: agak terjal, V: terjal
D2 Tmok V Kc F1 Qa II Sa F7 Qmi I Kc Penggunaan lahan:
D2 Tmok V Per F1 Qa II Tg F7 Qmi I Lk Kc: kebun campuran, Tg: tegalan
D2 Tmok V Sb K1 Tmj II Kc F7 Qmi I Per Sa: sawah, Per: permukiman
D2 Tmok V Tg K1 Tmj II Per F7 Qmi I Sa Sb: semak belukar
D2 a III Kc F7 Qmi II Kc Lk: lahan kosong
Pada wilayah kepesisiran, faktor yang mempengaruhi tingginya bahaya tsunami
antara lain jarak dari garis pantai, lereng dan relief datar, ketinggian tempat kurang dari
14 meter, serta bentuklahan yang tidak terhalangi oleh bentuklahan lainnya. Keadaan
medan diatas ini didukung pula oleh kondisi tutupan lahan dengan jenis vegetasi kecil
dan kerapatan rendah. Tingkat bahaya dan sebaran bahaya tsunami di Kabupaten
Kulonprogo ditunjukkan oleh Gambar 1.
Bahaya longsor memiliki potensi cukup tinggi di Kabupaten Kulonprogo,
khususnya pada kompleks pegunungan denudasional. Secara umum di seluruh wilayah
Kabupaten Kulonprogo terdapat empat tingkat bahaya longsor yaitu sangat rendah,
rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat bahaya sangat rendah dijumpai pada lima satuan
medan atau 5,34% wilayah. Tingkat bahaya rendah dijumpai pada 40 satuan medan atau
43,48% wilayah. Tingkat bahaya sedang dijumpai pada 34 satuan medan atau 36,96%
wilayah. Tingkat bahaya tinggi dijumpai pada 13 satuan
9
Gambar 1. Peta Bahaya Tsunami Kabupaten Kulonprogo
10
medan atau 14,13% wilayah. Walaupun tingkat bahaya sangat rendah hanya dijumpai
pada lima satuan medan, namun mencakup wilayah yang cukup luas yang dipengaruhi
oleh luasnya cakupan satuan medan tersebut. Tingkat bahaya longsor sedang juga
dijumpai pada bentuklahan gisik karena kemiringan lereng yang terjal menyebabkan
gisik mudah mengalami longsor dan menyebabkan perubahan garis pantai.
Tingginya bahaya longsor pada satuan bentuklahan pegunungan denudasional
dipengaruhi oleh kemiringan lereng sebagai pemicu utama longsor. Pengaruh lereng
didorong oleh faktor lain yaitu ketebalan solum tanah, tekstur lempung yang berperan
sebagai bidang gelincir, serta keberadaan dinding terjal. Kemiringan lereng memiliki
pengaruh besar dalam peristiwa longsor karena berhubungan langsung dengan pengaruh
gravitasi sebagai faktor pemicu longsor.
Tingkat bahaya longsor sedang yang banyak dijumpai di Pegunungan Kulonprogo
dipengaruhi oleh solum tanah tipis, permeabilitas cepat, tekstur kasar, dan kerapatan
vegetasi tinggi. Solum tanah tipis menyebabkan hanya tersedia sedikit sumber material
untuk longsor, disamping itu seringkali suatu satuan medan lebih didominasi singkapan
batuan yang belum lapuk dan stabil. Permeabilitas cepat dan tekstur kasar menyebabkan
drainase cepat sehingga menghambat penjenuhan tanah. Adapun vegetasi berperan
dalam intersepsi hujan sehingga mengurangi resapan dan aliran permukaan yang dapat
memacu longsor. Oleh karena hal tersebut, sekalipun suatu satuan medan memiliki
kemiringan lereng terjal namun bahaya longsor tergolong dalam kelas bahaya sedang
misalnya pada satuan medan D2 Tmj IV Kc, D2 Tmok IV Kc, dan D2 a V Kc. Sementara
itu pada kaki pegunungan tingkat bahaya longsor sedang terutama dipengaruhi oleh
berkurangnya kemiringan lereng, tidak dijumpai dinding terjal, serta kerapatan vegetasi
tinggi. Tingkat bahaya dan sebaran bahaya longsor di Kabupaten Kulonprogo
ditunjukkan oleh Gambar 2.
Bahaya banjir limpasan di Kabupaten Kulonprogo terutama dijumpai pada
sempadan sungai besar dan dataran dekat kaki pegunungan denudasional. Sungai-sungai
besar memiliki debit tinggi sehingga dapat menyebabkan luapan aliran ke daerah
sekitarnya. Sementara itu dataran dekat kaki pegunungan merupakan lokasi konsentrasi
aliran yang bersumber dari lereng atas pegunungan. Banjir limpasan dipicu oleh hujan
sebagai sumber aliran. Di Kabupaten Kulonprogo hujan banyak terjadi pada lereng
pegunungan denudasional. Oleh karena pengaruh kemiringan lereng dan litologi, hujan
yang diterima pada lereng pegunungan tidak banyak diresapkan dan segera dialirkan
menuruni lereng. Aliran-aliran tersebut kemudian terkumpul pada kaki lereng, dan oleh
karena perubahan kemiringan kecepatan aliran berkurang dan menjadi banjir.
11
Tingkat bahaya banjir limpasan di Kabupaten Kulonprogo meliputi bahaya sangat
rendah, rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat bahaya sangat rendah dan rendah dijumpai
di wilayah pegunungan denudasional. Tingkat bahaya sangat rendah meliputi tiga satuan
medan atau 3,62% wilayah sedangkan tingkat bahaya rendah meliputi 36 satuan medan
atau 39,13 satuan medan. Tingkat bahaya sedang meliputi 43 satuan medan atau
46,74% dijumpai pada lereng pegunungan denudasional, perbukitan struktural, dataran
koluvial, dan dataran aluvial. Tingkat bahaya tinggi meliputi 10 satuan medan atau
10,87% wilayah di sekitar sempadan sungai besar, serta sebagian wilayah dataran
koluvial dan dataran aluvial.
Faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat bahaya banjir limpasan antara lain
curah hujan tinggi, tekstur tanah berlempung yang menyebabkan resapan air ke bawah
permukaan terhambat, kerapatan vegetasi rendah sehingga fungsi intersepsi pada
vegetasi tidak dapat berperan secara optimum, serta jarak dari sempadan sungai yang
cukup dekat dan kerapatan alur sungai tinggi yang berkaitan dengan banyaknya aliran
permukaan sebagai sumber banjir limpasan. Tingkat bahaya dan sebaran bahaya banjir
limpasan di Kabupaten Kulonprogo ditunjukkan oleh Gambar 3.
Bahaya banjir genangan di Kabupaten Kulonprogo meliputi kelas rendah, sedang,
dan tinggi. Sebagian besar wilayah berada pada kelas bahaya sedang yaitu 45 satuan
medan atau 48,91%. Kelas bahaya tinggi dijumpai pada 28 satuan medan atau 30,43%.
Adapun kelas bahaya rendah dijumpai pada 19 satuan medan atau 20,65%. Sama seperti
bahaya banjir limpasan, bahaya banjir genangan di Kabupaten Kulonprogo terutama
dijumpai pada sempadan sungai besar dan dataran dekat kaki pegunungan denudasional.
Pada wilayah sempadan sungai dan dataran dekat kaki pegunungan terjadi banjir
limpasan, yang selanjutnya oleh karena faktor relief dan resapan yang buruk limpasan
tersebut terjebak pada beberapa cekungan menimbulkan genangan. Pada lereng
pegunungan denudasional banyak terjadi hujan. Hujan tersebut ketika mencapai
permukaan lahan tidak terlalu banyak diresapkan oleh karena pengaruh kemiringan
lereng dan litologi. Sebagian dari hujan yang diterima segera dialirkan menuruni lereng
menjadi limpasan, sebagian lainnya terhambat pada cekungan permukaan menjadi banjir
genangan. Oleh karena faktor ini maka tidak menutup kemungkinan daerah pegunungan
denudasional masih memiliki potensi banjir genangan.
12
Gambar 2. Peta Bahaya Longsor Kabupaten Kulonprogo
13
Gambar 3. Peta Bahaya Banjir Limpasan Kabupaten Kulonprogo
14
Faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat bahaya banjir genangan di daerah
penelitian adalah curah hujan, lereng, tekstur tanah, dan kerapatan vegetasi. Curah hujan
merupakan sumber air yang menyebabkan banjir sehingga semakin tinggi curah hujan,
penambahan air ke permukaan semakin besar. Lereng yang cenderung datar atau
membentuk cekungan menyebabkan terhambatnya aliran permukaan dan terjadi
pengisian cekungan-cekungan di permukaan. Tekstur tanah berkaitan dengan
permeabilitas dan porositas yang menentukan kemampuan infiltrasi tanah. Adapun
kerapatan vegetasi berkaitan dengan fungsi intersepsi. Permukiman dengan sedikit
vegetasi dan didominasi oleh perkerasan permukaan lahan diketahui turut berperan
dalam terhambatnya infitrasi ke dalam tanah. Bahaya banjir genangan di Kabupaten
Kulonprogo ditunjukkan oleh Gambar 4.
Berbagai jenis bahaya yang dianalisis di atas, secara bersama-sama mempengaruhi
timbulnya multibahaya pada suatu wilayah. Multibahaya di Kabupaten Kulonprogo
adalah bahaya tsunami, longsor, banjir limpasan, dan banjir genangan yang sekaligus
menimbulkan potensi ancaman bencana pada waktu dan tempat yang sama. Hasil analisis
SIG dengan teknik tumpangsusun (overlay) disertai pengharkatan menunjukkan tingkat
multibahaya di Kabupaten Kulonprogo terdiri dari tingkat rendah, sedang, tinggi, dan
sangat tinggi. Multibahaya sedang meliputi sebagian besar wilayah khususnya pada
satuan bentuklahan pegunungan denudasional dan perbukitan struktural. Multibahaya
tinggi juga mencakup wilayah yang cukup luas pada dataran aluvial dan daerah
kepesisiran
Tingkat multibahaya rendah dan sangat tinggi masing-masing dijumpai pada tiga
satuan medan atau 3,26% wilayah. Tingkat multibahaya sedang dijumpai pada 50 satuan
medan atau 54,38% wilayah. Adapun tingkat multibahaya tinggi dijumpai pada 36 satuan
medan atau 35% wilayah. Tingkat multibahaya sedang umumnya terbentuk oleh
kombinasi dua tingkat bahaya sedang dan dua tingkat bahaya rendah; atau satu bahaya
tinggi, dua bahaya sedang, dan satu bahaya sangat rendah. Tingkat multibahaya tinggi
umumnya dibentuk oleh satu bahaya tinggi, dua bahaya sedang, dan satu bahaya rendah,
atau tiga tingkat bahaya sedang dengan satu bahaya rendah.
15
Gambar 4. Peta Bahaya Banjir Genangan Kabupaten Kulonprogo
16
Gambar 5. Peta Multibahaya Kabupaten Kulonprogo
17
Tingkat multibahaya sangat tinggi dibentuk oleh tiga bahaya tinggi dengan satu
bahaya rendah; atau satu bahaya sangat tinggi, dua bahaya tinggi, dan satu bahaya sangat
rendah. Adapun tingkat multibahaya rendah dibentuk oleh keseuruhan bahaya rendah
tanpa bahaya sedang, atau dengan satu bahaya sedang dan satu bahaya sangat rendah.
Dengan adanya tingkat multibahaya ini tindakan pengelolaan kebencanaan sebaiknya
tidak hanya dilakukan terhadap salah satu jenis bahaya saja yang dipandang sering
menyebabkan bencana tetapi juga bahaya lain sekalipun masih sebatas ancaman. Sebaran
keruangan multibahaya di Kabupaten Kulonprogo ditunjukkan oleh Gambar 5.
KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan penelitian dan pembahsana disimpulkan bahwa tingkat
multibahaya di Kabupaten Kulonprogo terdiri dari tingkat rendah hingga sangat tinggi.
Tingkat bahaya sedang meliputi sebagian besar wilayah, khususnya pada satuan
bentuklahan pegunungan denudasional dan perbukitan struktural. Tingkat bahaya tinggi
juga mencakup wilayah yang cukup luas pada dataran aluvial dan daerah kepesisiran.
Kondisi multibahaya dari empat bencana paling potensial sebagai berikut:
1. Bahaya tsunami terutama berpotensi terjadi di wilayah kepesisiran. Secara umum
bahaya tsunami di wilayah Kabupaten Kulonprogo didominasi oleh bahaya sangat
rendah dan rendah. Hal ini terutama dipengaruhi oleh kedudukan medan di
pegunungan denudasional yang teretak lebih tinggi dari skenario tsunami yang
digunakan.
2. Bahaya longsor memiliki potensi cukup tinggi di Kabupaten Kulonprogo, khususnya
pada kompleks pegunungan denudasional. Faktor yang mempengaruhi bahaya
longsor antara lain kemiringan lereng, ketebalan solum tanah, tekstur lempung yang
berperan sebagai bidang gelincir, serta keberadaan dinding terjal.
3. Bahaya banjir limpasan dan banjir genangan dijumpai pada sempadan sungai besar
dan dataran dekat kaki pegunungan denudasional. Sungai-sungai besar memiliki debit
tinggi sehingga dapat menyebabkan luapan aliran ke daerah sekitarnya. Sementara itu
dataran dekat kaki pegunungan merupakan lokasi konsentrasi aliran yang bersumber
dari lereng atas pegunungan. Oleh karena faktor relief dan resapan yang buruk aliran
limpasan terjebak pada beberapa cekungan menimbulkan genangan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arif Ashari. 2009. Pendekatan Geomorfologi untuk Penentuan Kawasan Rawan Bencana
Tsunami Di Kabupaten Bantul Bagian Selatan. Jurnal Geomedia. Vol.7 nomor 1.
Mei 2009
Bemmelen, R.W. Van. 1949. The Geology of Indonesia Vol IA, General Geology of
Indonesia and Adjacent Archipelagoes. The Haque: Goverment Printing Office.
Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten Kulonprogo dalam Angka Tahun 2011
Carter. N. 1981. Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook. Bangkok:
Asian Development Bank
Daryono.. Dulbahri.. Purwoaminta. A. 2010. Bencana gempa Bumi. dalam: Sunarto..
Marfai. M.A.. dan Mardiatno. D (ed). Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah
Parangtritis: Suatu Analisis Serbacakup untuk Membangun Kepedulian
Masyarakat Terhadap Berbagai Kejadian Bencana.
Dewi. R.S. dan Dulbahri. 2010. Bencana Tsunami. dalam: Sunarto.. Marfai. M.A.. dan
Mardiatno. D (ed). Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah Parangtritis: Suatu
Analisis Serbacakup untuk Membangun Kepedulian Masyarakat Terhadap
Berbagai Kejadian Bencana.
Dibyosaputro. S. 1999. Longsorlahan di Daerah Kecamatan Samigaluh Kabupaten
Kulonprogo. Daerah Istimewa Yogyakarta. Majalah Geografi Indonesia 13 (23)
13-34
Hartono. G. 2010. Kajian Perkembangan Tanah Wilayah Rawan Gerakan tanah Sebelah
Barat Saluran Induk Kalibawang Kilometer 17-22 Kabupaten Kulonprogo. Tesis.
Yogyakarta: UGM
Jones. T.. Middelmann. M.. dan Corby. N. 2005. Natural Hazard Risk in Perth. Western
Australia. Geoscience Australia. Bureau of Meteorology
Lavigne. F. 2010. Ulasan Publikasi. dalam: Sunarto.. Marfai. M.A.. dan Mardiatno. D
(ed). Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah Parangtritis: Suatu Analisis
Serbacakup untuk Membangun Kepedulian Masyarakat Terhadap Berbagai
Kejadian Bencana.
Mardiatno. D. 2001. Risiko Longsor di Kecamatan Girimulyo Kabupaten Kulonprogo
Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada.
Muhammad Nursa’ban. 2008. Pemetaan Daerah Longsor Lahan Dalam Upaya Mitigasi
Bencana Alam. Jurnal Geomedia. Volume 6 nomor 2 tahun 2008
Pannekoek, A.J. 1949. Outline of The Geomorphology of Java. Leiden: E. J. Brill.
Sudibyakto. 1997. Manajemen Bencana Alam dengan Pendekatan Multidisiplin: Studi
Kasus Bencana Gunung Merapi. Majalah Geografi Indonesia 12 (22): 31-41.
Sudibyakto. 1999. SIPBI: A Geographic Information System for Disaster Management
in Indonesia. The Indonesian Journal of Geography 30 (77-78) 59-66.
19
Sudibyakto. 2007. Potensi Bencana Alam Dan Kesiapan Masyarakat Menghadapi
Bencana (preparedness for Vulnerable Communities). Pengantar Diskusi Bulanan.
Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) Universitas Gadjah Mada. 4 Oktober
2007.
Sugiharyanto. 2009. Studi Kerentanan Longsor Lahan (landslide) di Perbukitan Menoreh
dalam Upaya Mitigasi Bencana Alam. Penelitian Strategis Nasional. Nomor
kontrak: 135/H34.21/Pl-Stranas/2009 Tanggal 6 April 2009
Suhadi Purwantara.2010. Analisis Potensi Erosi sebagai Upaya Mitigasi Bencana Alam
dan Pembangunan Berkelanjutan di Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo.
Penelitian Strategis Nasional. Nomor kontrak: Kontrak No.225b/H34.21/PL/2010.
tanggal 30 April 2010
Sutikno. 2010. Ulasan Publikasi. dalam: Sunarto.. Marfai. M.A.. dan Mardiatno. D (ed).
Penaksiran Multirisiko Bencana di Wilayah Parangtritis: Suatu Analisis
Serbacakup untuk Membangun Kepedulian Masyarakat Terhadap Berbagai
Kejadian Bencana.
Thomas. D. 2004. Natural Hazards Risk Assessment for the State of Colorado. Hazards
Mitigation and Vulnerability Assessment Class. University of Colorado –
Colorado State Hazard mitigation Plan. Division of Emergency Management.
Thornbury, W.D. 1969. Principles of Geomorphology. New York: John Wiley and Sons.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, LNRI Tahun 2007 Nomor 66, TLNRI Nomor 4723.
Van Westen. C. J.. Montoya. L.. dan Boerboom. L. 2005. Multi-Hazard Risk Assessment
Using GIS in Urban Areas: A Case Study For The City of Turrialba Costa Rica.
Enschede: International Institute for Geoinformation Science and Earth
Observation (ITC)
Van Zuidam, R.A. dan F.I Van Zuidam Cancelado. 1979. Terran Analysis and
Classification Using Aerial Photograps, A Geomorphological Approach. The
Netherland: ITC Enschede.