artikel mongabay tentang jatigede

6
Proyek Waduk Jatigede Menyisakan Setumpuk Masalah Ganti Rugi Lahan Mongabay - June 3, 2013 Sapariah Saturi Perwakilan warga Jatigede yang aksi jalan kaki darti Sumedang ke Jakarta. Mereka ingin menyampaikan banyak masalah seputar pelepasan lahan proyek pembangunan Waduk Jatigede. Mereka ingin bertemu Presiden SBY agar mendengarkan masalah yang menimpa warga. Pemerintah berencana menenggelamkan desa-desa ini September 2013. Puluhan ribu warga akan tetap bertahan. Foto: Sapariah Saturi Pemerintah berencana menenggelamkan desa-desa itu September tahun ini. Namun, deretan masalah ganti rugi lahan proyek Waduk Jatigede ini belum diselesaikan. Warga desa bertekad bertahan, meskipun air sampai menggenangi wilayah mereka. Kini, mereka ke Jakarta, ingin mengadukan nasib dan mencari keadilan. Berbaju hitam, celana hitam. Ada memegang spanduk. Ada membawa bendera merah putih. Ada pula panci. Mereka ini empat warga Jatigede, Sumedang, dari 20 Mei-27 Mei 2013, long march, berjalan kaki ke Jakarta, mencari keadilan. Mereka ingin mengadu kepada Presiden karena ganti rugi pelepasan lahan untuk pembangunan waduk Jatigede, tak jelas hingga kini. Pemerintah berencana mulai menenggelamkan desa-desa itu, September tahun ini. Di tengah ketidakjelasan ganti rugi pelepasan lahan, warga dirundung kekhawatiran bahkan stres. Terutama ibu-ibu dan anak-anak. Masa depan mereka tak jelas ketika nanti rumah, tanah dan ruang hidup mereka ditenggelamkan. Pada Rabu (29/5/13), perwakilan warga Jatigede ini bersama Walhi dan Jaringan Ornop di Jakarta, melaporkan masalah ini ke Komnas HAM. “Komnas HAM janji akan memanggil pihak-pihak terkait masalah ini,” kata Suharyana, Desa Tarunajaya, Kecamatan Dharmaraja, Sumedang, Jawa Barat (Jabar). Jumat (31/5/13), saya menemui mereka di Sekretariat Walhi Nasional. Mereka akan aksi simpatik ke berbagai lembaga maupun kementerian terkait pembangunan ini. Mereka juga ingin menyampaikan keluhan ke Komisi V DPR tetapibelum mendapat tanggapan dari lembaga ‘wakil rakyat’ itu. Warga terutama hendak menyampaikan pesan ini kepada Presiden SBY. “Pemerintah bilang pelepasan lahan sudah selesai. Faktanya, mana? Banyak belum selesai. Kami ini bukti pelepasan lahan masih banyak masalah,” kata Kamarudin, warga Desa Cibogo, Kecamatan Dharma Raja, Sumedang. Menurut data pemerintah, proyek pembangunan waduk ini akan menggenangi wilayah seluas 4.973 hektar, mencakup 12 desa di empat kecamatan. Proyek bernilai investasi mencapai Rp4 triliun ini ditargetkan selesai September 2013 dengan dukungan dana 90 persen dari loan Loan Bank Exim China, 10 persen APBN. Namun, Kamarudin mengatakan, yang bakal terkena dampak waduk itu lima kecamatan 32

Upload: adhito-harinugroho

Post on 12-Sep-2015

17 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

lingkungan

TRANSCRIPT

  • Proyek Waduk Jatigede Menyisakan Setumpuk Masalah Ganti Rugi LahanMongabay - June 3, 2013 Sapariah Saturi

    Perwakilan warga Jatigede yang aksi jalan kaki darti Sumedang ke Jakarta. Mereka ingin menyampaikan banyak masalah seputar pelepasan lahan proyek pembangunan Waduk Jatigede. Mereka ingin bertemu Presiden SBY agar mendengarkan masalah yang menimpa warga. Pemerintah berencana menenggelamkan desa-desa ini September 2013. Puluhan ribu warga akan tetap bertahan. Foto: Sapariah SaturiPemerintah berencana menenggelamkan desa-desa itu September tahun ini. Namun, deretan masalah ganti rugi lahan proyek Waduk Jatigede ini belum diselesaikan. Warga desabertekad bertahan, meskipun air sampai menggenangi wilayah mereka. Kini, mereka ke Jakarta, ingin mengadukan nasib dan mencari keadilan.Berbaju hitam, celana hitam. Ada memegang spanduk. Ada membawa bendera merah putih. Ada pula panci. Mereka ini empat warga Jatigede, Sumedang, dari 20 Mei-27 Mei 2013, long march, berjalan kaki ke Jakarta, mencari keadilan. Mereka ingin mengadu kepada Presiden karena ganti rugi pelepasan lahan untuk pembangunan waduk Jatigede, tak jelas hingga kini.

    Pemerintah berencana mulai menenggelamkan desa-desa itu, September tahun ini. Di tengah ketidakjelasan ganti rugi pelepasan lahan, warga dirundung kekhawatiran bahkan stres. Terutama ibu-ibu dan anak-anak. Masa depan mereka tak jelas ketika nanti rumah, tanah dan ruang hidup mereka ditenggelamkan.

    Pada Rabu (29/5/13), perwakilan warga Jatigede ini bersama Walhi dan Jaringan Ornop di Jakarta, melaporkan masalah ini ke Komnas HAM. Komnas HAM janji akan memanggil pihak-pihak terkait masalah ini, kata Suharyana, Desa Tarunajaya, Kecamatan Dharmaraja, Sumedang, Jawa Barat (Jabar).

    Jumat (31/5/13), saya menemui mereka di Sekretariat Walhi Nasional. Mereka akan aksi simpatik ke berbagai lembaga maupun kementerian terkait pembangunan ini. Mereka juga ingin menyampaikan keluhan ke Komisi V DPR tetapibelum mendapat tanggapan dari lembaga wakil rakyat itu. Warga terutama hendak menyampaikan pesan ini kepada PresidenSBY.

    Pemerintah bilang pelepasan lahan sudah selesai. Faktanya, mana? Banyak belum selesai. Kami ini bukti pelepasan lahan masih banyak masalah, kata Kamarudin, warga Desa Cibogo, Kecamatan Dharma Raja, Sumedang.

    Menurut data pemerintah, proyek pembangunan waduk ini akan menggenangi wilayah seluas4.973 hektar, mencakup 12 desa di empat kecamatan. Proyek bernilai investasi mencapai Rp4 triliun ini ditargetkan selesai September 2013 dengan dukungan dana 90 persen dari loan Loan Bank Exim China, 10 persen APBN.

    Namun, Kamarudin mengatakan, yang bakal terkena dampak waduk itu lima kecamatan 32

  • desa. Pemerintah, hanya menghitung sebagian. Ini Desa Cibogo, Cikesi, Wado, dan sekitar dibayar. Mulai Desa Cisurat, Padajaya, Sukakersa, dan sekitar, tanah dibayar, tapi bangunantidak,. Hanya sampel 10 bangunan yang dibayar, kata Kamarudin.

    Warga pun menolak pindah karena tak ada kejelasan ini. Mereka ada sekitar 8.485 keluarga, atau 30 ribuan jiwa dengan luas lahan sekitar 5.000 an hektar. Pemerintah diskriminasi. September ini rencana mulai penggenangan. Kami tak akan ke mana-mana, kami akan bertahan walau ditenggelamkan.

    Proses pelepasan lahan sudah berjalan 30 tahunan, mulai 1982 sampai saat ini. Aturan proses pelepasan lahan pun sudah berganti-ganti. Dari Kepres sampai SK Bupati, semua menyisakan masalah. Masalah-masalah itu antara lain, lahan (mencakup tanah, bangunan dan tanaman) dibebaskan tapi terlupakan, lahan dibebaskan tapi tertukar nama kepemilikan. Lalu, lahan dibebaskan ternyata tak sesuai fisik, salah klasifikasi (seharusnya masuk katagorisawah tapi kategori tanah darat) serta banyak lagi.

    Bukan itu saja, trik-trik nakal dalam pelepasan lahan pun terjadi. Warga diberi dan diminta menandatangani selembar kertas tertulis nominal tertentuyang menandakan nilai aset. Dokumen itu disebutkan sebagai kesediaan warga melepas lahan. Gilanya, kertas bernilai uang itu tak dapat diuangkan warga.

    Warga dinyatakan melepaskan lahan, tetapi tak bisa mendapatkan uang. Ribuan warga menerima kertas seperti ini. Ada tahun 2008, 2009 sampai 2012. Ini contoh punya saya yang 2012, kata Danuri, warga Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede, Sumedang.

    Dia merasa tertipu. Danuri heran, mengapa pemerintah pusat menyatakan pelepasan lahan sudah selesai. Masyarakat akan bertahan sampai titik darah penghabisan, tak akan melangkah sedikitpun. Karena tidak ada penyelesaian yang jelas.

    Warga sudah pernah berkirim surat kepada Menteri Pekerja Umum (PU) menceritakan tentang berbagai masalah ini. Namun, Menteri PU mendelegasikan kepada gubernur dan membentuk tim khusus atau satuan tugas terpadu (samsat). Tapi bukan selesai, malah tambah panjang. Bahkan di Samsat itu biang masalah. Kini, semua lempar melempar dan saling lepas tangan.

    Bahkan, warga menemukan fakta nilai ganti rugi jauh-jauh berbeda antara SK Dirjen Bina Marga, Kementerian PU dan realitas di lapangan. Dalam SK Dirjen, ganti rugi sawah (Rp3.500 per meter persegi), realisasi Rp600 per m; darat, SK Dirjen Rp2.000 per m, realisasi Rp414 per m; tanah pemukiman SK Rp3.500 per m2, relaisasi Rp414 m.

    Lalu, bangunan Rp12.000-Rp80.000, realisasi Rp6.599-Rp40.000 per m; tanaman Rp400-Rp20.000 per pohon, kenyataan Rp200-Rp10.000 per m. Kerugian warga rata-rata 89,56 persen, kata Maulana, warga Desa Wado, Kecamatan Wado.

    Melihat berlarut-larutnya masalah penyelesaian pelepasan lahan ini, warga pun meminta Presiden turun tangan. Kami minta Presiden turun tangan. Bubarkan Samsat karena tidak

  • membantu penyelesaikan kasus. Justru tambah kacau.

    Menurut dia, di berbagai kesempatan baik di dalam maupun luar negeri, SBY berpidato ingin mengurangi kemiskinan. Jika ini tak selesai akan berbeda dengan keinginan SBY mengurangi kemiskinan. Ini malah menciptakan kemiskinan baru pada puluhan ribu warga, ucap Maulana.

    Irhash Ahmady, dari Walhi Nasional mengatakan, sejak lama Walhi mengingatkan bendunganbesar sama sekali tidak memberikan hasil baik bagi rakyat. Sudah banyak kasus bendunganbesar hanya sia-sia, luka rakyat masih terasa hingga detik ini, kata Irhash.

    Walhi, katanya, sejak dulu konsisten menolak proyek Jatigede, dan seluruh rencana proyek bendungan besar di Indonesia. Saya melihat 50 tahun proyek ini berjalan tidak menutup kemungkinan terjadi korupsi sistemik. Sayang, KPK tidak mampu memeriksa kasus lama karena hukum korupsi tidak berlaku surut.

    Islah, Manager Air dan Pangan Walhi Nasional menambahkan, dalam pembangunan proyek DAM besar, pemerintah selalu beralasan memenuhi kebutuhan pangan dengan meningkatkan sistem irigasi. Faktanya, tidak menyatakan demikian. Banyak hanya untuk kepentingan industri dan memenuhi kebutuhan elit kuasa dan modal negeri ini, sedang rakyat korban pasti atas pembangunan yang tidak adil.

    Dari situs resmi Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan, peresmian rencana pada Februari 2014 karena penutupan pintu pengelak akan dilakukan pada akhir September. Diperkirakan muka air mencapai puncak elevasi maksimum waduk pada Februari 2014.

    Waduk Jatigede merupakan prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Waduk ini terkait erat dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang akan memberikan manfaat untuk irigasi, air baku, dan pembangkit tenaga listrik.

    Rencananya, waduk akan dimanfaatkan mengairi irigasi 90.000 hektar, PLTA 10 MW, dan airbaku 3,5 meter kubik per detik. Waduk ini juga untuk pengendalian banjir.

    Untuk PLTA, Kementerian PU bekerjasama dengan PT PLN. PU mengerjakan power intake sepanjang 150 meter dan prasarana termasuk jaringan 20 KV. PT PLN akan mengerjakan water way, rumah pembangkit dan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 KV dan relokasi 70 KV.

    Airlangga Marjono, Kepala Satuan Kerja Pembangunan Waduk Jatigede, Balai Besar WilayahSungai Cimanuk-Cisanggarung Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (SDA), Kementerian PU membenarkan hambatan pembangunan waduk ini karena banyak rumah tunggu. Ada sekitar 10.000 unit rumah tunggu, dengan pemilik meminta ganti rugi per unit Rp5-Rp10 juta.Belum lagi terdapat 7.500 keluarga tak mau pindah dari lokasi yang akan digenangi air. Dia mengklaim pembayaran ganti rugi sudah dilakukan Kementerian PU.

  • Mendekati Penggenangan, Ribuan Warga Jatigede Resah dan Bingung (Bagian 1)August 30, 2013 Indra Nugraha, Bandung Penggenangan tahap pertama waduk Jatigede akan dilakukan 1 Oktober 2013. Pada hari ituakan ada pengalihan aliran Sungai Cimanuk, sekaligus uji coba ketahanan penyangga terowongan. Ribuan warga desa yang masih belum mendapatkan kejelasan ganti rugi pun resah dan bingung.

    Data Perhimpunan Komunikasi OTD Waduk Jatigede Bersatu (Perkot DAM Jatiber) menyebutkan, orang terkena dampak (OTD) waduk Jatigeede yang masih tinggal di areal sebanyak 8.485 keluarga atau 26.010 jiwa. Minat pindah melalui opsi resettlement 80% atau 6.677 keluarga, swakarsa mandiri 13 persen atau 1.103 keluarga dan transmigrasi tujuh persen atau 595 keluarga.

    Rencana penenggelaman mendapat reaksi keras dari warga yang terkena dampak pembangunan waduk terbesar kedua di Asia ini. Sebab, proses ganti rugi lahan yang berjalanpuluhan tahun belum tuntas. Penggenangan tahap satu akan menenggelamkan empat desa di dua kecamatan. Kami sudah mengajukan penundaan melalui kepala desa. Tapi sampai saat ini belum ada tanggapan, kata Ramli Dayat, warga Desa Ciranggem, Kecamatan Jatigede saat ditemui Mongabay, Senin (26/8/13).Ramli mengatakan, penenggelaman tahap I di Desa Sukakersa dan Jemah, sebelah timur Sungai Cimanuk, Kecamatan Jatigede. Juga Desa Cipaku dan Pakualam, sebelah barat Sungai Cimanuk, Kecamatan Darmaraja. Padahal, keempat desa ini masih banyak warga bertahan tinggal di rumah mereka.Kami bingung.

    Menurut dia, wilayah tempat tinggal Ramli di Desa Ciranggem, yang terkena genangan adalah lahan penghidupan seperti sawah dan kebun. Sedang rumah mereka karena di dataran tinggi, hanya sedikit terkena. Namun, pembayaran ganti rugi lahan garapan itu juga belum tuntas.

    Menyiasati ini, sejak 2008, masyarakat Ciranggem membangun rumah di lahan garapan. Dengan harapan, jika didirikan bangunan, pemerintah lebih memperhatikan ganti rugi yang belum selesai.Tapi upaya ini mendapat banyak hambatan. Bukan untung, modal membuat bangunan habis banyak. Bahkan, banyak yang sengaja meminjam uang untuk membangun rumah di lahan garapan mereka,ucap Ramli.

    Masyarakatpun gelisah mendengar kabar 1 Oktober terowongan akan ditutup. Kita mau dikemanakan? Kan lucu masa rumah belum disiapkan warga sudah mau direndam.Warga, katanya, jangankan memikirkan penghidupan ke depan, tempat tinggal saja belum jelas. Pemerintah menjanjikan relokasi di Conggeang Wetan, tetapi sampai saat ini belum ada satu pun rumah dibangun.

  • Waduk ini akan menenggelamkan lahan seluas 4.896,22 hektar, area genangan 3.224,78 hektar, dan fasilitas 12.000 hektar. Seluruh lahan mengambil wilayah 26 desa di enam kecamatan, antara lain, Darmaraja, Cisitu, Wado, Jatinunggal, Situraja dan Jatigede.

    Pembangunan waduk ini juga harus memindahkan sekitar 30.000 jiwa.Tolonglah, kami tidak ikhlas tanah kelahiran dipakai oleh pemerintah yang imbasnya malah menyengsarakan kami. Masa orang lain yang menikmati, kami harus sengsara?Lili Tasli, warga Desa Padajaya, Kecamatan Wado juga mengungkapkan keresahan. Dia bingung harus pindah ke mana.Banyak tanah, pohon dan rumah terlewat dan masih ada sisa, belum tuntas semua. Saya sendiri belum selesai.

    Lili menceritakan, tanah sang mertua dulu dibayar hanya 77 bata, satu bata sama dengan 14 meter persegi. Padahal, semua ada 320 bata. Ini tanah dulu dibayar Rp6 ribu per bata, beli Rp60 ribu. Sampai sekarang belum ada tindak lanjut lagi.

    Seharusnya, saat pengukuran, pemerintah bisa membereskan urusan dengan tuntas. Namun, pengukuran belum selesai di satu desa, sudah dilanjutkan ke desa lain.

    Tak beda dengan Ujang Koswara, warga Desa Sukakersa, Kecamatan Jatigede. Dia benar-benar gelisah karena tempat tinggal menjadi wilayah yang diisukan masuk genangan. Desa ini memiiliki 598 keluarga.

    Masyarakat di desa kami mengajukan pembatalan. Tapi belum ada keputusan. Jika itu dilakukan, kami menolak. Mungkin aksi besar-besaran untuk menduduki bendungan Jatigede, kata Ujang.

    Pemerintah Kabupaten Sumedang, menawarkan relokasi ke wilayah Ujung Jaya, Pasir Padang, Conggeang Kulon dan Situraja. Semua wilayah itu tak cocok. Kalau ke Ujung Jayasama dengan dibuang. Lahan penghidupan tak cocok untuk kami yang sudah dilatih ternak ikan jaring terapung. Aksi udah, demonstrasi berkali-kali tapi tak mempan. Tak hanya ribuan bahkan puluhan ribu warga yang terancam penggenangan Waduk jatigede, keberadaan situs-situs bersejarah yang dikramatkan warga sekitar, seperti makam dan petilasan leluhur di beberapa lokasi, bakal hilang.

    Asep Soma, Sekretaris Perhimpunan Komunikasi OTD Waduk Jatigede Bersatu (Perkot DAMJatiber) mengatakan, beberapa waktu lalu ada dari Dinas Kebudayaan dan Cagar Budaya. Mereka rapat di Desa Taruna Jaya. Mereka ingin situs-situs bersejarah itu dipindahkan, katanya.

    Dia berharap, situs-situs itu tak dipindahkan, tapi direkayasa sedemikian rupa hingga nanti bisa sebagai wisata ziarah. Kalau bisa sih jangan dipindahkan tapi dibuat seperti seaworld. Jadi seperti akuarium raksasa gitu. Situs-situs itu sangat besar pengaruhnya.

    Beberapa situs ada yang sudah dipindahkan dan disediakan lokasi sekitar tiga hektar. Semua akan dipindahkan ke lokasi yang sama di Cisitu. Cuma kalau dipindahkan nilai sakral

  • berkurang, ucap Asep.

    Menurut Dyaya Albanik, Ketua Perkot DAM Jatiber, di daerah yang akan menjadi genangan Waduk Jatigede itu pernah berdiri kerajaan Tembong Agung. Kerajaan ini cikal bakal kerajaanSumedang Larang.Di Waduk Jatigede terdapat 68 situs benda cagar budaya berupa makam kramat dan artefak. Situs bersejarah itu antara lain Makam Prabu Guru Adji Putih, Sanghyang Resi, Ratu Ratna Inten Nawang Wulan dan masih banyak lagi yang lainnya. Sejauh ini baru enam makam sudah dipindahkan.

    Djaya mengatakan, penyelamatan situs cagar budaya harus didasarkan kajian arkeologi dan antropologi. Mengingat masalah situs cagar budaya sangat sensitif. Jika jika dibiarkan, bisa jadi pembangunan waduk Jatigede berdampak pada penghancuran nilai-nilai sejarah.

    Pemerintah harus merelokasi keberadaan benda-benda situs bersejarah ini. Relokasi situs makam keramat harus didasarkan pada studi kelayakan dan sesuai keinginan masyarakat sekitar. Pemindahan situs cagar budaya bukan hanya badan makam meliputi area situs atau bidang tanah yang memiliki kaitan substansial atas nilai di dalamnya. (Habis)

    Proyek Waduk Jatigede Menyisakan Setumpuk Masalah Ganti Rugi LahanMendekati Penggenangan, Ribuan Warga Jatigede Resah dan Bingung (Bagian 1)