arti penting penyakit antraknosa pada buah avokad · stadia yang harus diwaspadai adalah terjadinya...

9
TINJAUAN PUSTAKA Arti Penting Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad Antraknosa adalah penyakit utama pascapanen yang disebabkan oleh C. gloeosporioides yang menyerang buah-buahan di daerah tropis dan sub tropis (Capdeville 2007), salah satunya adalah buah avokad (Nelson 2008). Penyakit ini menyerang semua bagian tanaman, kecuali akar. Bagian yang terinfeksi berwarna cokelat karat, kemudian daun, bunga, buah/cabang tanaman yang terserang akan gugur (Rukmana 1997). Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit antraknosa dan memainkan peranan penting pada ekonomi subsistem pertanian di seluruh dunia. Patogen ini menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari monokotil hingga tanaman dikotil. Meskipun infeksi antraknosa dapat terjadi pada semua stadia tanaman, namun stadia yang harus diwaspadai adalah terjadinya infeksi pada berbagai macam buah-buahan pascapanen (Dickman 1993). C. gloeosporioides merupakan bentuk anamorf dari Glomerella cingulata, sedangkan G. cingulata merupakan bentuk teleomorf dari cendawan patogen ini (CAB Internasional 2007). Patogen dapat menginfeksi buah dan batang avokad, mempunyai kisaran inang yang luas, merupakan patogen parasit fakultatif, mampu hidup sebagai saprofit pada bagian tanaman yang mati dan sisa-sisa tanaman sakit dan mengkolonisasi bagian tanaman avokad yang telah mati yang terkumpul di bawah tajuk tanaman atau berada di permukaan tanah. Cendawan dapat menyebabkan beberapa masalah selama musim buah (Nelson 2008). C. gloeosporioides menyerang avokad yang belum matang di kebun buah. Spora yang berkecambah membentuk apresorium dan menembus kutikula tetapi hifa yang telah mencapai subkutikula menjadi quiescent dan tidak berkembang sampai buah dipanen dan matang. Perubahan fisiologi yang signifikan terjadi pada buah yang dapat mengaktivasi patogen quiescent. Terdapat empat dugaan yang dapat menjelaskan mengapa buah yang belum matang lebih tahan terhadap serangan patogen: (i) kurangnya nutrisi yang diperlukan oleh patogen, (ii) adanya komponen anti cendawan, (iii) adanya induksi komponen anti cendawan, dan (iv) kurangnya faktor yang mengaktivasi patogenesitas cendawan . Ketahanan avokad

Upload: ngongoc

Post on 07-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

TINJAUAN PUSTAKA

Arti Penting Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad

Antraknosa adalah penyakit utama pascapanen yang disebabkan oleh

C. gloeosporioides yang menyerang buah-buahan di daerah tropis dan sub tropis

(Capdeville 2007), salah satunya adalah buah avokad (Nelson 2008). Penyakit

ini menyerang semua bagian tanaman, kecuali akar. Bagian yang terinfeksi

berwarna cokelat karat, kemudian daun, bunga, buah/cabang tanaman yang

terserang akan gugur (Rukmana 1997).

Colletotrichum sp. adalah penyebab penyakit antraknosa dan memainkan

peranan penting pada ekonomi subsistem pertanian di seluruh dunia. Patogen ini

menginfeksi sejumlah tanaman mulai dari monokotil hingga tanaman dikotil.

Meskipun infeksi antraknosa dapat terjadi pada semua stadia tanaman, namun

stadia yang harus diwaspadai adalah terjadinya infeksi pada berbagai macam

buah-buahan pascapanen (Dickman 1993).

C. gloeosporioides merupakan bentuk anamorf dari Glomerella cingulata,

sedangkan G. cingulata merupakan bentuk teleomorf dari cendawan patogen ini

(CAB Internasional 2007). Patogen dapat menginfeksi buah dan batang avokad,

mempunyai kisaran inang yang luas, merupakan patogen parasit fakultatif, mampu

hidup sebagai saprofit pada bagian tanaman yang mati dan sisa-sisa tanaman sakit

dan mengkolonisasi bagian tanaman avokad yang telah mati yang terkumpul di

bawah tajuk tanaman atau berada di permukaan tanah. Cendawan dapat

menyebabkan beberapa masalah selama musim buah (Nelson 2008).

C. gloeosporioides menyerang avokad yang belum matang di kebun buah.

Spora yang berkecambah membentuk apresorium dan menembus kutikula tetapi

hifa yang telah mencapai subkutikula menjadi quiescent dan tidak berkembang

sampai buah dipanen dan matang. Perubahan fisiologi yang signifikan terjadi

pada buah yang dapat mengaktivasi patogen quiescent. Terdapat empat dugaan

yang dapat menjelaskan mengapa buah yang belum matang lebih tahan terhadap

serangan patogen: (i) kurangnya nutrisi yang diperlukan oleh patogen, (ii) adanya

komponen anti cendawan, (iii) adanya induksi komponen anti cendawan, dan (iv)

kurangnya faktor yang mengaktivasi patogenesitas cendawan . Ketahanan avokad

6

yang belum matang terhadap serangan C. gloeosporioides berkaitan dengan

adanya komponen anti cendawan 1-acetoxy-2-hydroxy-4-oxoheneicosa-12,15-

diene (diene) pada perikarp buah yang belum matang (Beno-Moualem & Prusky

2000).

Gejala Penyakit Antraknosa pada Buah Avokad

Gejala serangan penyakit antraknosa dapat muncul di seluruh bagian

tanaman yang terserang. Gejala serangan pada daun adalah terjadinya bercak

coklat sampai ungu dan daun cepat rontok. Gejala pada cabang dan ranting

adalah terjadinya kematian ujung ranting (die back), sedangkan pada bunga adalah

terjadinya perubahan warna bunga menjadi cokelat tua dan mudah

rontok/berguguran (Rukmana 1997).

Gambar 1 Gejala penyakit antraknosa pada buah avokad: gejala awal (a dan b), gejala di penyimpanan (c)

Serangan cendawan C. gloeosporioides pada buah menimbulkan gejala

Bercak berwarna gelap, cekung, berbentuk bulat pada kulit buah (Gambar 1) yang

meluas secara cepat dan menjadi lunak, menyebabkan pembusukan (Nelson

2008). Warna gelap/coklat akibat serangan C. gloeosporioides muncul karena

cendawan tersebut menghasilkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis

selulosa kulit buah sehingga kulit buah terdisintegrasi dan lunak sehingga berubah

warna menjadi coklat yang dapat meluas dan akhirnya membusuk. Proses

pembusukan semakin cepat ketika buah mencapai kematangan puncak (Kotzé

1978; Ippolito & Nigro 2000)

a b c

7

Ciri khas dari penyakit ini adalah terbentuknya massa spora lengket. Bercak

memiliki ukuran yang bervariasi dan dapat terjadi di setiap bagian buah avokad

yang dapat berkembang dan berwarna salmon. Gejala dapat muncul secara cepat

selama 1 atau 2 hari terutama dalam kondisi penyimpanan hangat dan lembab.

Bercak berbentuk bulat, berwarna gelap ini biasanya muncul dalam infeksi laten

pada kulit buah setelah panen dan pematangan buah. Ukuran diameter Bercak

bervariasi tergantung kultivar avokad dan berkisar antara millimeter sampai

sentimeter (Nelson 2008).

Antraknosa dapat berkembang pada buah yang belum matang di pohon,

menyertai luka yang disebabkan oleh serangga. Buah biasanya rontok karena

serangan patogen sebelum pematangan buah. Gejala bercak pada cabai juga dapat

terjadi pada avokad (CAB Internasional 2007).

Morfologi dan Daur Penyakit

Cendawan C. gloeosporioides mempunyai miselium berwarna putih hingga

keabu-abuan, memiliki konidia yang berbentuk oval dengan ujung tumpul atau

membulat, hialin, bersel satu, tidak bersekat, terbentuk dalam aservulus, dan

berukuran 9–15 x 3–7 µm. Massa konidia berwarna merah muda seperti warna

salmon (Gambar 2) (Rubert 1992; Dickman 1993; Semangun 2000). Konidiofor

berukuran 18 x 3 µm, berbentuk silinder, hialin atau agak kecoklatan. Aservulus

dangkal dengan diameter 90–270 µm, memiliki seta dengan konidiofor yang

sederhana, pendek, dan tegak (Gambar 3). Colletorichum mempunyai stroma

yang terdiri dari massa miselium yang membentuk aservulus (seperti bantalan),

bersepta dengan panjang antara 30–90 µm (Bailey & Jeger 1992). Aservulus

berlilin dan hanya dihasilkan dalam jaringan yang terinfeksi. Seta berwarna

coklat tua, panjang 60–160 µm, sering bersekat 1 atau 2 dan teratur di tepi

aservulus (Semangun 2000).

8

Gambar 2 Massa konidia (a) dan miselium (b) C. gloeosporioides

pada media PDA (perbesaran 10 x 40)

Gambar 3 Tubuh buah C. gloeosporioides di bawah mikroskop :

aservulus (a), seta (b), konidia (c) dan miselium (d) pada perbesaran 10 x 40

C. gloeosporioides merupakan cendawan yang umum terdapat di berbagai

tanaman. Cendawan ini merupakan parasit lemah yang dapat menginfeksi dan

berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah, khususnya karena proses

penuaan. Cendawan ini dapat menginfeksi melalui luka atau lentisel. Konidium

jamur dipencarkan oleh angin dan air hujan. Infeksi buah banyak terjadi dari

konidium yang berasal dari bercak pada daun dan tangkai daun. Pada cuaca

menguntungkan, cendawan membentuk konidium. Konidium dipencarkan oleh

a

b

9

percikan air hujan dan siraman karena terbentuk dalam massa spora yang lengket

(CAB International 2007).

Cendawan dapat diisolasi dari jaringan tanaman tropis yang tampak sehat

dan berada baik di permukaan mikroflora maupun sebagai endofit (Gambar 4).

Patogen ini menimbulkan serangan berat pada kondisi kelembaban dan suhu yang

tinggi. Cendawan dapat tumbuhan pada suhu rendah 4 0C, tetapi optimum pada

suhu 25–29 °C. Perkecambahan spora, infeksi dan produksi askospora

memerlukan kelembaban relatif mendekati 100%, namun ekspresi penyakit akan

muncul pada kondisi kering karena infeksi laten atau quiescent akan aktif pada

jaringan yang rusak (CAB Internasional 2007).

Gambar 4 C. gloeosporioides pada media PDA : biakan murni (a), konidia

(berwarna kuning/oranye) dan miselium (berwarna putih) (b)

Kondisi iklim yang sesuai pada saat terjadinya infeksi sangat menentukan

terjadinya epidemi penyakit. Penyakit antraknosa ini dapat menimbulkan

kehilangan yang signifikan pada iklim hangat dan lembab (CAB Internasional

2007). Spora hanya dapat berkecambah bila ada air bebas, atau bila kelembaban

nisbi udara tidak kurang dari 95%. Infeksi tidak akan terjadi bila kelembaban

udara tidak kurang dari 96%. Spora tumbuh paling baik pada suhu 25–28 oC,

sedang dibawah 5 oC dan di atas 40 oC spora tidak dapat berkecambah. Bailey

dan Jeger (1992) menyatakan bahwa infeksi cendawan pada percobaan di rumah

kaca dan laboratorium terjadi pada kelembaban lebih dari 96% pada suhu

26–31 oC (Semangun 2000).

b a

10

Gambar 5 Siklus hidup C. gloeosporioides pada avokad (Kotzé 1978)

Patogen bertahan di dalam biji, sampah, dan gulma inang, dan dipencarkan

melalui percikan air, aliran air, serangga atau benda lain yang menyentuh

cendawan. C. gloeosporioides menyebabkan penyakit pada bagian daun, bunga

dan buah (Gambar 5). Pada jaringan tua, perkembangan penyakit lebih lambat,

seringkali quiescent atau tinggal sebagai cendawan endofit yang tidak berbahaya

hingga kondisi fisiologi memungkinkan untuk perkembangan cendawan

(Rukmana 1997).

Pengendalian Penyakit Pascapanen

Pembusukan buah-buahan dan sayuran pascapanen berasal dari infeksi yang

terjadi baik antara pembungaan dan pematangan buah, atau selama penanganan

panen, dan penyimpanan (Droby 2006). Infeksi dapat terjadi sebelum panen

(preharvest) dan tetap bertahan sampai buah menjadi tua sampai pascapanen dan

selama penyimpanan. Namun, sebagian besar infeksi terjadi melalui luka yang

ditimbulkan permukaan komoditas pada saat panen, pascapanen dan pada

penanganan selanjutnya. Kerugian akibat infeksi ini dapat ditangani dengan

askospora

askospora berkecambah

infeksi

daun ranting

buah

aservulus

konidia

konidia berkecambah

askospora dilepaskan

Askus dengan spora

peritesium telah matang dengan askus

pembentukan peritesium

anteridium askogonium

pembentukan peritesium

11

menggunakan fungisida yang diaplikasikan di lapangan atau setelah panen (Droby

2006).

Selama dekade terakhir, pengendalian penyakit komoditas hortikultura

semakin sulit dilakukan (Bautista-Bañosa et al. 2006). Fungisida sintetik adalah

bahan utama yang digunakan untuk mengendalikan pembusukan pascapanen

(Sharma et al. 2009). Residu pestisida pada buah-buahan dan sayuran menjadi

perhatian utama konsumen dalam industri buah dan sayuran. Peningkatan

kesehatan dan perhatian terhadap residu pestisida pada produk segar,

perkembangan strain patogen yang tahan terhadap fungisida, dan pendaftaran

kembali beberapa fungisida yang lebih efektif, telah mendorong pengembangan

alternatif yang lebih aman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Droby

2006).

Saat ini banyak dilakukan alternatif pengendalian yang lebih aman dan

aman terhadap lingkungan dalam mengendalikan pembusukan pascapanen

(Sharma et al. 2009). Salah satu teknik pengendalian pascapanen yang saat ini

sedang dikembangkan adalah pengendalian hayati. Strategi umum pengendalian

hayati adalah penggunaan mikroorganisme hidup untuk mengendalikan

mikroorganisme yang lain (Druvefors 2004). Penggunaan agen pengendali hayati

perlu mempertimbangkan keamanan pangan dan penerimaan masyarakat terhadap

agens pengendali hayati. Salah satu agen hayati yang digunakan untuk

pengendalian penyakit pascapanen adalah khamir dan pelapis produk untuk

memperpanjang masa simpan buah. Pelapis digunakan untuk memperpanjang

masa simpan produk segar dan melindungi kerusakan buah dari pengaruh

lingkungan yang tidak menguntungkan, misalnya serangan mikroorganisme

(Sugipriatini 2009).

Penggunaan Khamir untuk Pengendalian Hayati Penyakit

Pada awal tahun 1990, berbagai mikrob antagonis dilaporkan dapat

digunakan untuk mengendalikan berbagai patogen pada beberapa buah. Salah

satu mikrob antagonis tersebut adalah khamir (Druvefors 2004). Khamir

merupakan kelompok mikroorganisme uniseluler termasuk dalam filum

Ascomycota dan Basidiomycota. Beberapa khamir dan mikroorganisme lain telah

12

dilaporkan dapat menghambat patogen tanaman, khususnya patogen yang berada

di dalam buah dan sayuran, serta beberapa produk komersial (Janisiewicz &

Korsten, 2002). Jones dan Prusky (2002) melaporkan bahwa beberapa khamir

antagonis juga telah dilaporkan efektif untuk menghambat patogen pascapanen

pada beberapa buah-buahan dan dapat digunakan sebagai agens pengendali hayati

cendawan pascapanen penyebab busuk pada buah apel, grey dan blue mold yang

disebabkan oleh Botrytis cinerea dan Penicillium italicum, dan pada buah jeruk

(McLaughlin et al. 1990). Secara khusus, kehadiran khamir secara alami pada

buah-buahan dan sayuran berpotensi sebagai antagonis penyakit pascapanen

(Droby 2006). Khamir (Pichia guilliermondii strain US-7 dan Hanseniaspora

uvarum strain 138) diketahui dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai

patogen penyebab pembusukan pada jeruk, buah pome, dan tomat (Chalutz &

Wilson, 1990). Debaromyces hansenii dilaporkan dapat mengendalikan busuk

buah jeruk pascapanen (Wisniewski et al. 1991) dan beberapa spesies

Cryptococcus sp. dapat digunakan untuk mengendalikan pembusukan pascapanen

pada buah apel dan pir (Roberts 1990). Keberadaan mikrob antagonis baik secara

alami maupun buatan dapat dipertimbangkan sebagai alternatif penggunaan

fungisida untuk mengendalikan penyakit pascapanen (Wisniewski & Wilson

1992). Keuntungan dari penggunaan khamir antagonis, dapat diisolasi dari alam,

bersifat non patogenik terhadap tanaman dan binatang termasuk manusia, mudah

dibiakkan, dan reproduksinya cepat (Payne & Bruce 2001). Khamir juga

memiliki banyak kegunaan, biasanya tidak menghasilkan spora alergik atau

mikotoksin seperti cendawan miselial. Sel khamir juga mengandung vitamin,

mineral, dan asam amino penting yang telah dimanfaatkan dalam makanan dan

pakan (Hashem & Alamri 2009).

Mekanisme agens pengendali hayati dalam mengendalikan patogen taget

belum banyak diketahui (Janisiewicz & Korsten 2002). Khamir Debaryomyces

sp. efektif menghambat perkembangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh

C. gloeosporioides. Debaryomyces sp. kerusakan hifa dan konidia patogen C.

gloeosporioides. Penghambatan patogen C. gloeosporioides oleh Debaryomyces

sp. terjadi melalui mekanisme kompetisi dan parasitisme (Indratmi 2008).

Kompetisi nutrisi diduga sebagai mode of action beberapa agens pengendali

13

hayati, seperti P. guilliermondii dalam mengendalikan Penicillium digitatum

(Droby et al. 1989), Candida guilliermondii, Cryptococcus laurentii dan

Metschnikowia pulcherima dalam mengendalikan Botrytis cinerea dan

Penicillium expansum (Vero et al. 2002).

Penggunaan khamir menunda pemasakan buah saat penyimpanan.

Konsentrasi suspensi khamir yang digunakan di laboratorium umumnya 107

cfu/ml. Suspensi sel khamir pada konsentrasi 106 sampai 107 cfu/ml efektif

menghambat perkembangan penyakit (Droby et al. 1997).

Strain tertentu dari khamir Saccharomyces cerevisiae dilaporkan dapat

memproduksi toksin yang dapat membunuh strain lain dalam spesies yang sama.

Beberapa toksin yang dihasilkan oleh khamir juga dilaporkan memiliki pengaruh

terhadap spesies khamir lain termasuk bakteri dan cendawan (Izgu & Altinbay

1997). Droby et al. (1991) membuktikan bahwa P. guilliermondii dapat

menstimulasi produksi etilen pada anggur. Etilen pada jeruk dapat menstimulasi

produksi fitoaleksin (Rodov et al. 1994). Aureobasidium pullulans dan Candida

saitoana diketahui dapat menginduksi ß-1,3-glukanase, kitinase dan peroksidase

pada apel (Ippolito et al. 2000). Hal ini dapat menstimulasi mekanisme

pertahanan suatu tanaman (Druvefors 2004).

Saat ini terdapat tiga khamir yang dikomersialkan sebagai produk

pengendali hayati dan telah dipasarkan untuk mengendalikan pembusukan pada

buah. Aspire® (Ecogen, Inc., Langhorne, Pa) dengan bahan dasar khamir

Candida oleophila digunakan untuk mengendalikan penyakit pascapanen pada

buah pome serta jeruk dengan cara penyemprotan atau pencelupan (Janisiewicz &

Korsten 2002), dan telah digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1996. Produk

komersial Yield Plus® dengan Cryptococcus albidus sebagai bahan aktifnya

dipasarkan di Afrika Selatan pada tahun 1997 dan digunakan untuk pengendalian

hayati Botrytis sp., Penicillium sp. dan Mucor sp. pada buah apel dan pir dan

masih diteliti kemungkinannya untuk digunakan pada komoditas lain. Produk

terbaru Shemer® yang diregistrasi di Israel dengan bahan dasar khamir

Metschnikowia fructicola (Kurtzman & Droby 2001) diketahui efektif

mengendalikan patogen pada anggur, stroberi dan ubi jalar (Druvefors 2004).