arsitektur indonesia

Upload: kellinbaquita

Post on 14-Oct-2015

29 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Karakteristik Arsitektur Kolonial

Karakteristik Arsitektur Kolonial

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masuknya unsur Eropa ke dalam komposisi kependudukan menambah kekayaan ragamarsitekturdi nusantara. Seiring berkembangnya peran dan kuasa, kamp-kamp Eropa semakin dominan dan permanen hingga akhirnya berhasil berekspansi dan mendatangkan tipologi baru. Semangat modernisasi dan globalisasi(khususnya padaabadke-18 dan ke-19) memperkenalkan bangunan modern seperti administrasi pemerintahkolonial, rumah sakit atau fasilitas militer.

Bangunan-bangunankolonialyang bisa kita lihat sekarang biasanya, berupa bungunan tua peninggalan zaman penjajahan dulu. Bangunanbangunan tersebut kebanyakan dialih fungsikan atau dijadikan landmarkdari sebuah kawasan.

Bangunankolonialsangat kental dengan bau khas Eropa. Dapat dilihat dari bentukan jendela yang biasanya berjejer sepanjang sisi bangunan danpilarpilarnya yang khas. Dinding bangunannya pun terbuat dari pasangan bata, yang mungkin dulu digunakan untuk mengantisipasi perlawanan dari para pemberontak.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Karakteristik Arsitektur Kolonial Belanda1.2.2 Contoh bangunan arsitektur colonial Belanda1.3 TujuanUntuk mengetahui karakteristik arsitektur Kolonial dan bangunan peninggalan arsitektur kolonialBAB II

TINJAUAN TEORI2.1Arsitektur Kolonial

Karakteristik Arsitektur Kolonial Belanda dalam hal ini dapat dilihat dari segi periodisasi perkembangan arsitekturnya maupun dapat pula ditinjau dari berbagai elemen ornamen yang digunakan bangunan kolonial tersebut.A. Periodisasi Arsitektur Kolonial Helen Jessup dalam Handinoto (1996: 129-130) membagi periodisasi perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi empat bagian, yaitu:

1. Abad 16 sampai tahun 1800-anPada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama VOC(Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di Belanda serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.

2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902Ketika itu, pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda. Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-gedung yang berkesangrandeur(megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjam dari gaya arsitektur neo-klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda waktu itu.

3. Tahun 1902-1920-anAntara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu, pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana tersebut, makaindische architectuurmenjadi terdesak dan hilang. Sebagai gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda.

4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-anPada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian memengaruhi arsitektur kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut sebagaiekletisisme(gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional Indonesia sebagai sumber pengembangannya.

Hampir serupa dengan Helen Jessup, Handinoto (1996: 130-131) membagi periodisasi arsitektur kolonial di Surabaya ke dalam tiga periode, yaitu: 1) perkembangan arsitektur antara tahun 1870-1900; 2) perkembangan arsitektur sesudah tahun 1900; dan 3) perkembangan arsitektur setelah tahun 1920. Perkembangan arsitektur kolonial Belanda tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Perkembangan Arsitektur Antara Tahun 1870-1900Akibat kehidupan di Jawa yang berbeda dengan cara hidup masyarakat Belanda di negeri Belanda maka di Hindia Belanda (Indonesia) kemudian terbentuk gaya arsitektur tersendiri. Gaya tersebut sebenarnya dipelopori oleh Gubernur Jenderal HW. Daendels yang datang ke Hindia Belanda (1808-1811). Daendels adalah seorang mantan jenderal angkatan darat Napoleon, sehingga gaya arsitektur yang didirikan Daendels memiliki ciri khas gaya Prancis, terlepas dari kebudayaan induknya, yakni Belanda.Gaya arsitektur Hindia Belanda abad ke-19 yang dipopulerkan Daendels tersebut kemudian dikenal dengan sebutanThe Empire Style.Gaya ini oleh Handinoto juga dapat disebut sebagaiThe Dutch Colonial.Gaya arsitekturThe Empire Styleadalah suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas. Hasilnya berbentuk gaya Hindia Belanda (Indonesia) yang bergaya kolonial, yang disesuaikan dengan lingkungan lokal dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu (Akihary dalam Handinoto, 1996: 132). Ciri-cirinya antara lain: denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai. Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya: terbuka, terdapat pilar di serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan pilar atau kolom (bergaya Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapatgeveldan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Serambi belakang seringkali digunakan sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya dihubungkan dengan daerah servis (Handinoto, 1996: 132-133).

2) Perkembangan Arsitektur Sesudah Tahun 1900Handinoto (1996: 163) menyebutkan bahwa, bentuk arsitektur kolonial Belanda di Indonesia sesudah tahun 1900 merupakan bentuk yang spesifik. Bentuk tersebut merupakan hasil kompromi dari arsitektur modern yang berkembang di Belanda pada waktu yang bersamaan dengan penyesuaian iklim tropis basah Indonesia. Ada juga beberapa bangunan arsitektur kolonial Belanda yang mengambil elemen-elemen tradisional setempat yang kemudian diterapkan ke dalam bentuk arsitekturnya. Hasil keseluruhan dari arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tersebut adalah suatu bentuk khas yang berlainan dengan arsitektur modern yang ada di Belanda sendiri.

Handinoto (1996: 151-163) juga menguraikan bahwa, kebangkitan arsitektur Belanda sebenarnya dimulai dari seorang arsitek Neo-Gothik, PJH. Cuypers (1827-1921) yang kemudian disusul oleh para arsitek dari aliranNiuwe Kunst (Art Nouveaugaya Belanda)HP. Berlage (185-1934) dan rekan-rekannya seperti Willem Kromhout (1864-1940), KPC. De Bazel (1869-1928), JLM. Lauweriks (1864-1932), dan Edward Cuypers (1859-1927). GerakanNieuw Kunstyang dirintis oleh Berlage di Belanda ini kemudian melahirkan dua aliran arsitektur modern yaitu TheAmsterdam Schoolserta aliranDe Stijl. Adapun penjelasan mengenai arsitekturArt Nouveau, TheAmsterdam SchooldanDe Stijldapat dijabarkan sebagai berikut:

a)Art NouveauArt Nouveauadalah gerakan internasional dan gaya seni arsitektur dan diterapkan terutama pada seni-seni dekoratif yang memuncak pada popularitas di pergantian abad 20 (1890-1905). NamaArt Nouveauadalah bahasa Perancis untuk seni baru. Gaya ini ditandai dengan bentuk organik, khususnya yang diilhami motif-motif bunga dan tanaman lain, dan juga sangat bergaya bentuk-bentuk lengkung yang mengalir. GayaArt Nouveaudan pendekatannya telah diterapkan dalam hal arsitektur, melukis, furnitur, gelas, desain grafis, perhiasan, tembikar, logam, dan tekstil dan patung. Hal ini sejalan dengan filosofiArt Nouveaubahwa seni harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (sumber:http://en.wikipedia.org/wiki/Art_Nouveau).

b) TheAmsterdam SchoolArsitekturAmsterdam School, yang pada awalnya berkembang disekitar Amsterdam, berakar pada sebuah aliran yang dinamakan sebagaiNieuwe Kunstdi Belanda.Nieuwe Kunstadalah versi Belanda dari aliranArt Nouveauyang masuk ke Belanda pada peralihan abad 19 ke 20, (1892-1904). Agak berbeda dengan Art Nouveau, didalam dunia desain Nieuwe Kunst yang berkembang di Belanda, berpegang pada dua hal yang pokok, pertama adalah orisinalitas dan kedua adalah spritualitas, disamping rasionalitas yang membantu dalam validitas universal dari bentuk yang diciptakan (de Wit dalam Handinoto, e-journal ilmiah Petra Surabaya).

AliranAmsterdam Shoolmenafsirkan orisinalitas ini sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Sedangkan spritualitas ditafsirkan sebagai metode penciptaan yang didasarkan atas penalaran yang bisa menghasilkan karya-karya seni (termasuk arsitektur), dengan memakai bahan dasar yang berasal dari alam (bata, kayu, batu alam, tanah liat,dsb.nya). Bahan-bahan alam tersebut dipasang dengan ketrampilan tangan yang tinggi sehingga memungkinkan dibuatnya bermacam-macam ornamentasi yang indah. Tapi semuanya ini harus tetap memperhatikan fungsi utamanya.

Pada tahun 1915, Nieuwe Kunst ini kemudian terpecah menjadi dua aliran. Pertama yaitu aliranAmsterdam Schooldan yang kedua adalahDe Stijl. Meskipun berasal dari sumber yang sama dan mempunyai panutan yang sama (H.P. Berlage), tapi ternyata kedua aliran arsitektur ini mempunyai perbedaan. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan bahwaAmsterdam Schooltidak pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karya-karyanya. Hal ini berbeda denganDe Stijl, yang menganggap hasil karya dengan gaya tersebut sebagai nilai estetika publik atau estetika universal, dan bisa menerima mesin sebagai alat pengganda karya-karyanya.

Pengertian lain mengenaiAmsterdam School(Belanda:Amsterdamse School) adalah gaya arsitektur yang muncul dari 1910 sampai sekitar 1930 di Belanda. Gaya ini ditandai oleh konstruksi batu bata dan batu dengan penampilan bulat atau organik, massa relatif tradisional, dan integrasi dari skema yang rumit pada elemen bangunan luar dan dalam: batu dekoratif, seni kaca, besi tempa, menara atau tangga jendela (denganhorizontal bar),dan diintegrasikan dengansculpturearsitektural. Tujuannya adalah untuk menciptakan pengalaman total arsitektur, interior dan eksterior. (sumber:http://en.wikipedia.org/wiki/Amsterdam_School)

Disamping karakteristik diatas, ciri-ciri lain dari aliranAmsterdam Schoololeh Handinoto (dalam e-journal ilmiah Petra Surabaya), antara lain :

BagiAmsterdam School, karya orisinalitas merupakan sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap perancang, sehingga setiap desain yang dihasilkan, harus merupakan ekspresi pribadi perancangnya. Nilai estetika dari karya-karya aliranAmsterdam Schoolbukan bersifat publik atau estetika universal. Itulah sebabnyaAmsterdam Schooltidak pernah menerima mesin sebagai alat penggandaan hasil karyanya.

BagiAmsterdam Schoolmengekspresikan ide dari suatu gagasan lebih penting dibanding suatu studi rasional atas kebutuhan perumahan ke arah pengembangan baru dari jenis denah lantai dasar suatu bangunan

Arsitek dan desainer dari aliranAmsterdam Schoolmelihat bangunan sebagaitotal work of art, mereka melihat bahwa desain interior harus mendapat perhatian yang sama sebagai gagasan yang terpadu dalam arsitektur itu sendiri, dan hal tersebut sama sekali bukan merupakan hasil kerja atau produk mekanis. Pada saat yang sama, mereka berusaha untuk memadukan tampak luar dan bagian dalam (interior) bangunan menjadi suatu kesatuan yang utuh.

Bangunan dari aliranAmsterdam Schoolbiasanya dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian tangan yang tinggi dan bentuknya sangat plastis; ornamen skulptural dan diferensiasi warna dari bahan-bahan asli (bata, batu alam, kayu) memainkan peran penting dalam desainnya.

Walaupun arsitek aliranAmsterdam Schoolsering bekerja sama dengan pemahat dan ahli kerajinan tangan lainnya, mereka menganggap arsitektur sebagai unsur yang paling utama dan oleh karenanya harus sanggup mendikte semua seni yang lain.

(Sumber:http://fportfolio.petra.ac.id/e-jurnal ilmiah Petra Surabaya)

c) Gaya Arsitekturde StijlGayade Stijldikenal sebagai neoplasticism, adalah gerakan artistik Belanda yang didirikan pada 1917. Dalam hal ini,neoplasticismsendiri dapat diartikan sebagai seni plastik baru. PendukungDe Stijl berusaha untuk mengekspresikan utopia baru ideal dari keharmonisan spiritual dan ketertiban. Mereka menganjurkan abstraksi murni dan universalitas dengan pengurangan sampai ke inti bentuk dan warna; mereka menyederhanakan komposisi visual ke arah vertikal dan horisontal, dan hanya digunakan warna-warna primer bersamaan dengan warna hitam dan putih.

Secara umum,De Stijlmengusulkan kesederhanaan dan abstraksi pokok, baik dalam arsitektur dan lukisan dengan hanya menggunakan garis lurus horisontal dan vertikal dan bentuk-bentuk persegi panjang. Selanjutnya, dari segi warna adalah terbatas pada warna utama, merah, kuning, dan biru, dan tiga nilai utama, hitam, putih, dan abu-abu. Gaya ini menghindari keseimbangan simetri dan mencapai keseimbangan estetis dengan menggunakan oposisi.

(sumber:http://en.wikipedia.org/wiki/De_Stijl)

3) Perkembangan Arsitektur Setelah Tahun 1920Akihary (dalam Handinoto, 1996: 237-238) menggunakan istilah gaya bangunan sesudah tahun 1920-an dengan namaNiuwe Bouwenyang merupakan penganut dari aliran International Style. Seperti halnya arsitektur barat lain yang diimpor, maka penerapannya disini selalu disesuaikan dengan iklim serta tingkat teknologi setempat. Wujud umum dari dari penampilan arsitekturNiuwe Bouwenini menurut formalnya berwarna putih, atap datar, menggunakangevelhorizontal dan volume bangunan yang berbentuk kubus

Gaya ini (Niuwe Bouwen/ New Building)adalah sebuah istilah untuk beberapa arsitektur internasional dan perencanaan inovasi radikal dari periode 1915 hingga sekitar tahun 1960. Gaya ini dianggap sebagai pelopor dariInternational Style. Istilah Nieuwe Bouwen ini diciptakan pada tahun dua puluhan dan digunakan untuk arsitektur modern pada periode ini di Jerman, Belanda dan Perancis. ArsitekNieuwe Bouwennasional dan regional menolak tradisi dan pamer dan penampilan. Dia ingin yang baru, bersih, berdasarkan bahasa desain sederhana, dan tanpa hiasan. KarakteristikNieuwe Bouwenmeliputi: a) Transparansi, ruang, cahaya dan udara. Hal ini dicapai melalui penggunaan bahan-bahan modern dan metode konstruksi. b) Simetris dan pengulangan yaitu keseimbangan antara bagian-bagian yang tidak setara. c) Penggunaan warna bukan sebagai hiasan namun sebagai sarana ekspresi.

(sumber:http://nl.wikipedia.org/wiki/Nieuwe_Bouwen)

B. Berbagai Elemen Bangunan Arsitektur Kolonial Belanda di IndonesiaElemen-elemen bangunan bercorak Belanda yang banyak digunakan dalam arsitektur kolonial Hindia Belanda (Handinoto, 1996:165-178) antara lain: a)gevel(gable)pada tampak depan bangunan; b)tower;c)dormer;d)windwijzer(penunjuk angin); e)nok acroterie(hiasan puncak atap); f)geveltoppen(hiasan kemuncak atap depan); g) ragam hias pada tubuh bangunan; dan h)balustrade.

BAB IIISTUDI OBJEK

3.1 Contoh Bangunan Arsitektur Kolonial Masuknya unsur Eropa ke dalam komposisi kependudukan menambah kekayaan ragamarsitekturdi nusantara. Seiring berkembangnya peran dan kuasa, kamp-kamp Eropa semakin dominan dan permanen hingga akhirnya berhasil berekspansi dan mendatangkan tipologi baru. Semangat modernisasi dan globalisasi(khususnya padaabadke-18 dan ke-19) memperkenalkan bangunan modern seperti administrasi pemerintahkolonial, rumah sakit atau fasilitas militer.

Bangunan-bangunankolonialyang bisa kita lihat sekarang biasanya, berupa bungunan tua peninggalan zaman penjajahan dulu. Bangunanbangunan tersebut kebanyakan dialih fungsikan atau dijadikan landmarkdari sebuah kawasan.

Bangunankolonialsangat kental dengan bau khas Eropa. Dapat dilihat dari bentukan jendela yang biasanya berjejer sepanjang sisi bangunan danpilarpilarnya yang khas. Dinding bangunannya pun terbuat dari pasangan bata, yang mungkin dulu digunakan untuk mengantisipasi perlawanan dari para pemberontak

3.1.1GEDUNG SATE, BANDUNG

Proses pembangunan Gedung Sate merupakan suatu kerja besar, sebab melibatkan 2000 pekerja, 150 orang di antaranya adalah pemahat atau ahli Bongpay yaitu pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu dan Kanton. Selebihnya adalah tukang batu, kuli aduk, dan peladen yang merupakan pekerja bangunan yang berpengalaman memba-ngun Gedung Sirap (kampus ITB) dan Gedung Papak (Balai Kota).Arsiteknya sendiri, memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya adalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliranAsia, yaitu gaya atappura Baliatau pagoda di Thiland. Di puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden - jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate.Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan, dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.

3.1.2Museum Seni Rupa dan Keramik

Bangunan bergaya Indische Empire Stiijl ini, merupakan bekas gedung pengadilan yang kini berfungsi sebagai Museum Seni Rupa. Museum Seni Rupa dan Keramik ini terletak di Jalan Pos Kota No 2, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta,Indonesia.

Museum yang tepatnya berada diseberang Museum Sejarah itu memajang keramik lokal dari berbagai daerah di Tanah Air, dari era Kerajaan Majapahit abad ke-14, dan dari berbagai negara di dunia.

Gedung yang dibangun pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada BentengBatavia(Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Saat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1944, tempat itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan selanjutnya untuk asrama militer TNI.Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan itu dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi. Tahun 1973-1976, gedung tersebut digunakan untuk Kantor Walikota Jakarta Barat dan baru setelah itu diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto sebagai Balai Seni Rupa Jakarta.

3.1.3Gedung Merdeka

Gedung Merdeka merupakan salah satu gedung bersejarah yang terletak di pusat kota Bandung. Gedung Merdeka pernah digunakan sebagai tempat diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18-24 April 1955. Selain itu juga pernah digunakan sebagai tempat sidang-sidang sekaligus Sekretariat Konstituante pada tahun 1956 sampai dengan tahun 1959. Kantor Badan Perancang Nasional, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Tahun 1960-1965, Konferensi Islam Asia-Afrika pada Tahun 1965, dan pertemuan-pertemuan lain yang bersifat nasional maupun internasional.

Pada mulanya gedung ini merupakan bangunan sederhana yang didirikan pada tahun 1895 dan berfungsi sebagai warung kopi. Seiring dengan makin banyaknya orang Eropa terutama orang Belanda yang bermukim di kota Bandung, ditambah dengan semakin meningkatnya kegiatan mereka dalam bidang ekonomi seperti di bidang perkebunan, industri dan pemerintahan, maka diperlukan tempat untuk rekreasi yang sesuai dengan budayanya. Kebutuhan rekreasi itu antara lain terpenuhi dengan adanya gedung tersebut yang sering diperbaharui dan semakin lama makin diperluas sesuai dengan keperluan.

Pembaharuan secara besar-besaran dilakukan pada tahun 1920 dan 1928, hasilnya adalah Gedung Merdeka sekarang yang megah bergaya Romawi dan sejumlah bahan bangunannya (marmer, lampu hias kristal) didatangkan dari Eropa. Arsitek pembangunan Gedung Merdeka ini adalah Van Gallen last dan C.P. Wolff Shoemaker, guru besar arsitektur di Technische Hogeschool (THS) yang sekarang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Gedung yang luasnya 7500 m2 ini dikelola oleh organisasi Sociteit Concordia yang anggota-anggotanya terdiri kalangan elit Eropa yang bermukim di kota Bandung dan sekitarnya, terutama pengusaha perkebunan dan perwira-perwira militer. Di gedung ini terdapat ruang besar (ruang utama) tempat pertunjukan kesenian atau pertemuan, rumah makan, rumah bola (tempat bermain bilyard) dan lain-lain. Kadang-kadang ruang utamanya disewakan bagi pertemuan umum dan pertunjukan kesenian.

3.1.4Gedung Lowo

Bangunan ini dikenal dengan sebutan Gedung Lowo atau Gedung Veteran. Awalnya bangunan ini digunakan sebagai rumah tinggal bangsawan atau pejabat Belanda. Tahun 1945 bangunan ini dihuni oleh keluarga kebangsaan China bernama Djian Ho.

Gedung yang terletak di Jalan Slamet Riyadi ini memiliki bentuk khas arsitektur kolonial untuk sebuah rumah tinggal. Setelah merdeka gedung ini diserahkan kepada Pemerintah Indonesia dan digunakan sebagai Gedung Veteran. Pemugaran besar yang berarti tanpa merubah bentuk asli bangunan pernah dilakukan pada tahun 1983 1985.3.1.5 Lawang Sewu

Gedung lawang sewu yang dibangun pada awal abad ke-20 dan diselesaikan pada tahun 1908 ini dimiliki oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij atau Jawatan Kereta Api Pemerintah Hindia Belanda dan merupakan Kantor Pusat jawatan tersebut sampai kemerdekaan RI.

Arsiteknya adalah Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag yang merupakan arsitek-arsitek Belanda ternama saat itu. Gedung ini terletak di sudut jalan. Bagian depannya dihiasi oleh menara kembar yang mengingatkan pada bentuk-bentuk menara gothic. Di belakang menara gedung ini membelah menjadi dua sayap, masing-masing memanjang jauh ke belakang. Oleh masyarakat Semarang, gedung ini disebut Lawang Sewu yang artinya Pintu Seribu, karena memang gedung besar dan panjang ini memiliki banyak pintu di sepanjang sayap-sayapnya. Pintu-pintu berjejer di ruangan-ruangannya yang panjang dan beratap tinggi. Arsitektur gedung ini unik karena menunjukkan adaptasi arsitektur Eropa terhadap iklim tropis, karena itulah bangunan ini memiliki pintu yang banyak.

Setelah kemerdekaan gedung tersebut sempat dipakai oleh Kodam IV dan kemudian dikembalikan kepada Jawatan Kereta Api, yang sekarang adalah PT. KAI. Setelah PT. KAI pindah, gedung ini sempat dipakai sebagai Kantor Wilayah Departemen Perhubungan sampai tahun 1994. Setelah itu, gedung yang resminya masih menjadi milik PT. KAI ini ditinggalkan kosong dan tak terpakai selama 10 tahun menjadikan gedung ini kotor dan berdebu.

Gambar 3.1 : Gedung Sate, Bandung

Sumber : Internet

Gambar 3.1 : Bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik

Sumber : internet

Gambar 3.1.3 : Gedung Merdeka

Sumber : Internet

Gambar 3.1.4 : Gedung Lowo / veteran

Sumber : Internet

Gambar 3.1.5 : Gedung Lawang Sewu

Sumber : Internet

Arsitektur IndonesiaPage 15