arnaldo hendrix s. - repository.ipb.ac.id · model simulasi pengelolaan hutan berbasis karbon...

83
MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua) ARNALDO HENDRIX S. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Upload: duongkhanh

Post on 19-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN

BERBASIS KARBON

(Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri,

Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

ARNALDO HENDRIX S.

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

Page 2: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTANBERBASIS KARBON

(Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri,Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

ARNALDO HENDRIX S.

SkripsiSebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTANFAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR2012

Page 3: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Model Simulasi

Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon (Studi Kasus di IUPHHK PT. Mamberamo

Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)” adalah benar-benar

hasil karya sendiri dengan bimbingan Dosen Pembimbing dan belum pernah

digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2012

Arnaldo Hendrix S.

Page 4: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

Judul Penelitian : Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon (Studi

Kasus di IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten

Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

Nama : Arnaldo Hendrix S.

NIM : E14070083

Menyetujui:

Dosen Pembimbing :

Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS.

NIP. 19610720 198601 1001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suhardjito, MS.

NIP. 19630401 199403 1001

Tanggal Lulus:

Page 5: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 04 Februari 1989

sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak

Herry Cahyanto dan Ibu Rahayu Ningsih. Pendidikan formal

yang pernah ditempuh penulis dimulai dari TK Pertiwi

Tangerang pada tahun 1993, kemudian dilanjutkan di SD

Negeri Citapen 2 Tasikmalaya yang diselesaikan tahun 2001.

Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SLTP Negeri 2 Tasikmalaya

dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan ke SMA

Negeri 5 Tasikmalaya dan lulus pada tahun 2007, kemudian pada tahun

tersebut juga penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan,

Departemen Manajemen Hutan, melalui Undangan Seleksi Masuk IPB.

Selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di

sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota divisi Peningkatan

Sumber Daya Masyarakat PC Sylva IPB pada tahun 2008, Ketua divisi bidang

Pengkaderan dan Penguatan Organisasi PC Sylva IPB pada tahun 2009, dan

Wakil ketua PC Sylva IPB pada tahun 2010. Selain itu penulis juga aktif dalam

kepanitiaan Bina Corps Rimbawan 2009 sebagai anggota komisi disiplin dan

panitia Temu Manajer 2009 sebagai kepala divisi bidang logistik dan trasnportasi.

Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Sumber

Daya Hutan tahun ajaran 2009/2010.

Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH)

yang dilaksanakan di Cagar Alam Pangandaran - Gunung Sawal, Ciamis dan

Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) yang dilaksanakan di Hutan Pendidikan

Gunung Walat, KPH Cianjur dan industri pengelolaan kayu di Sukabumi, Jawa

Barat. Pada bulan April sampai Juni 2011 penulis melaksanakan Praktek Kerja

Lapang (PKL) di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan

Skripsi dengan judul Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon (Studi

Kasus di IUPHHK-HA PT.Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo

Raya, Provinsi Papua) dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS.

Page 6: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

UCAPAN TERIMA KASIH

Melalui lembaran ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Ayahanda Herry Cahyanto, Ibunda Rahayu Ningsih, Mba Vani dan de’

Vina yang senantiasa memberikan doa dan kasih sayangnya selama ini.

2. Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan penelitian

hingga penulis menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MSi selaku dosen penguji dalam sidang

komprehensif yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis.

4. Beasiswa BUMN IPB yang telah memberikan bantuan materi selama

penulis menyelesaikan karya ilmiah ini .

4. Keluarga besar PT Mamberamo Alamandiri baik yang ada di kantor pusat

Jakarta maupun yang berada di camp.

8. Rekan-rekan seperjuangan selama PKL dan Penelitian : Hikmah, Christa,

Puji, Ade, Qori, Andri, Rudi dan teman sepermainan : Bayu, Ade mbah,

Dian, Anis, Elvia (vivi), Fathia, atas bantuan dan motivasinya selama

penulis bersama kalian.

9. Keluarga besar Fakultas Kehutanan khususnya MNH’44 dimanapun

kalian berada, semoga tetap terjalin silaturahmi.

10. Teman-Teman PC Sylva IPB dan semua pengurus Sylva Indonesia yang

telah berbagi pengetahuan tentang kehutanan.

11. Wisma Mujako beserta penghuninya Hendri, Harwan dan Slamet yang

telah berbagi suka dan duka selama tinggal bersama (Elby puyuh akan

selalu dikenang, keep contact guys).

12. Seluruh pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang

telah membantu selama proses perkuliahan sampai dengan selesainya

karya ilmiah ini.

Page 7: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

RINGKASAN

ARNALDO HENDRIX S. Model Simulasi Pengelolaan Hutan BerbasisKarbon (Studi Kasus di IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri,Provinsi Papua). Dibimbing oleh BUDI KUNCAHYO.

Tingginya permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang terus meningkatserta mendukung pemerintah dalam penurunan emisi karbon, maka perludilakukan suatu simulasi guna menentukan formula yang tepat dalam pengelolaanhutan. Formula tersebut diterapkan ketika kebijakan moratorium penebanganhutan berlaku di Indonesia. Penelitian ini mensimulasikan beberapa skenariobentuk pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat selain kayu, karenabaik kayu, karbon dan hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini memilikipangsa pasar yang tinggi. Skenario tersebut terdiri dari skenario pengelolaan hutanmenggunakan sistem TPTI, skenario pengelolaan hutan berbasis karbon, skenariopengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sarang semut, skenario pengelolaanhutan kombinasi karbon dengan usaha minyak lawang, dan skenario pengelolaanhutan kombinasi karbon dengan usaha sagu. Bentuk pengelolaan hutan yang tepatdapat memberikan manfaat dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial.

Hasil simulasi skenario, menunjukan nilai kelayakan usaha pada masing-masing skenario memiliki net present value (NPV) positif, benefit cost ratio(BCR) lebih dari 1 dan internal rate return (IRR) lebih dari tingkat suku bungayang digunakan. Hal tersebut menunjukan bahwa skenario masing-masing usahalayak untuk dijalankan. Nilai NPV, BCR dan IRR tertinggi ada pada skenariopengelolaan hutan kombinasi karbon dan pemanfaatan sagu, dengan nilai NPVsebesar Rp. 25.170.588,59. Nilai ini menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkandalam kegiatan pengelolaan akan memberikan keuntungan selama umur usaha 5tahun menurut nilai sekarang. Nilai BCR pada skenario pengelolaan hutankombinasi karbon dan pemanfaatan sagu sebesar 1,47. Keadaan tersebutmenggambarkan bahwa manfaat yang diperoleh selama umur proyek sebesar nilaiBCR lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan untuk nilai IRR padaskenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pengusahaan sagu sebesar28 % berada diatas suku bunga bank yang digunakan yaitu 10%. Nilai tersebutmenujukan kriteria kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan terbaik secarafinansial ada pada skenario kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon denganpemanfaatan sagu. Hal ini juga didukung dengan tingkat kelestarian strukturtegakan yang baik dan memiliki standing stock yang besar pada siklus tebangberikutnya karena pemanfaatan kayu dihentikan sementara dan beralih kepemanfaatan jasa penyerapan karbon.

Kata Kunci : Model simulasi, pengelolaan hutan, kombinasi pendapatan,kelayakan finansial, karbon.

Page 8: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

SUMMARY

ARNALDO HENDRIX S. Simulations Model of Carbon Based ForestManagement (Case Study in IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri,Papua Province). Under supervision by BUDI KUNCAHYO.

In order to fullfilling market demand of wood which still increasing and tosupport government commitment on global emission reduction effort, there shouldbe a simulation to determine good formula on forest management. This formulaapplied when forest moratorium occur in Indonesia. The study simulating someforest management scenario’s by considering another benefits of forest wood,because wood, carbon and non timber forest products has a high market demandnowadays. The scenario’s include forest management with TPTI system, carbonbased forest management system, combination system between carbon based andants nest scenario, carbon based and mace oil combination management scenario,and carbon based and sago utilization management scenario. A proper forestmanagement could give a good economic, ecology and social benefit.

The scenario of simulation results a value of business feasibility on eachscenarios, has a positive value of net present value (NPV), benefit cost ratio(BCR) more than 1 and internal rate of return more than interest rate used. Thismeans each scenario of business is feasible. The highest value of NPV, BCR andIRR is on carbon combination forest management and sagoo utilization, by valueNPV of Rp. 25.170.588,59. This value indicates the cost used on forestmanagement giving benefit during financial analysis time, which is 5 based onpresent value. BCR value of carbon based and sago utilization scenario is 1.47This condition illustrates benefit obtained as much as BCR during project time, isbigger than the cost issued. Meanwhile the IRR value of carbon based and sagoutilization scenario is 28% above bank rate is 10%, this value indicates the goodcriteria of business feasibility based on financial is combination carbon based andsago utilization forest management. This is also supported by a good level ofsustainability of standing stock on next harvest cycle, due to banned woodutilization and turn to carbon sequestration service utilization.

Key words: Simulation model, forest management, income combination, financialanalysis, carbon.

Page 9: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan skripsi dengan judul Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis

Karbon (Studi Kasus di IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten

Mamberamo Raya, Provinsi Papua). Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini

adalah sebagai syarat kelulusan pada program sarjana Fakultas Kehutanan,

Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan banyak

kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran

yang bersifat membangun guna memperbaiki skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi semua.

Bogor, Januari 2012

Penulis

i

Page 10: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………….……………….…………….………. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………............ ii

DAFTAR TABEL ………………………………………………….…………... iv

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………. v

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………. vi

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3

1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 4

2.1 Fungsi Hutan Terhadap Perubahan Iklim ................................................... 4

2.2 Komposisi dan Struktur Tegakan................................................................ 5

2.3 Kandungan Biomassa dan Karbon di Atas Permukaan Tanah.................... 6

2.4 Perdagangan Karbon dengan Skema REDD............................................... 8

2.5 Skenario Pengelolaan Hutan ..................................................................... 10

2.6 Pemodelan Sistem ..................................................................................... 15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 19

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................... 19

3.2 Alat dan Bahan.......................................................................................... 19

3.3 Metode Penelitian...................................................................................... 19

3.4 Kerangka Penelitian .................................................................................. 24

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN.......................................... 25

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan ...................................................................... 25

4.2 Letak Geografis dan Luas IUPHHK ......................................................... 25

4.3. Topografi dan Kelerengan................................................................................25

4.4 Tanah dan Geologi ............................................................................................25

4.5 Iklim dan Intensitas Hutan ........................................................................ 26

4.6 Keadaan Hutan .......................................................................................... 26

4.7 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat.................................................. 27

Page 11: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

iii

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 28

5.1 Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan .............................. 28

5.2 Model Pengelolaan Hutan Menggunakan Sistem TPTI............................ 29

5.3 Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon .............................. 39

5.4 Pengelolaan Hutan Kombinasi.................................................................. 42

5.5 Kombinasi Skenario Terbaik..................................................................... 48

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 50

6.1 Kesimpulan ............................................................................................... 50

6.2 Saran.......................................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 51

LAMPIRAN…………………………………………………………………….. 54

Page 12: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

iv

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya….….............… 7

2 Persamaan alometrik estimasi biomassa……………………..…...............… 8

3 Penutupan vegetasi IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri…................... 27

4 Rekapitulasi data komposisi tegakan ……………..………............….......... 29

5 Skenario perubahan suku bunga……………………………..........………... 39

6 Perbandingan kelayakan usaha masing-masing skenario…..........………..... 48

Page 13: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

v

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Tumbuhan sarang semut Myrmecodia pendans Merr. & Perry….............… 12

2 Hubungan antar sub model …………………………...…..........…..…..….. 21

3 Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2010 ………..............…......... 26

4 Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan….............……. 28

5 Model konseptual dinamika struktur tegakan…………...........…....………. 32

6 Sub model pendapatan………………………………..........…………..….... 34

7 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2……............………..……. 35

8 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-3……………............…....... 35

9 Analisis sensitivitas model………………………………..…..…................ 36

10 Potensi tegakan pada pengelolaan hutan untuk produksi kayu…............… 37

11 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga…………........…. 38

12 Sub model pendugaan stok karbon…………………………………........... 39

13 Sub model pendugaan biaya pengusahaan karbon……………..............…. 41

14 Struktur tegakan pada pengelolaan hutan penyerapan karbon…….........… 41

15 Sub model pengusahaan sarang semut……………………….............…… 43

16 Sub model usaha minyak lawang………………………………………..… 44

17 Sub model usaha sagu………………………………………….............…. 46

Page 14: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Struktur tegakan awal pada hutan bekas tebangan 3 tahun…....................... 54

2. Peta PT. Mamberamo Alasmandiri....... ...................................... ................. 55

3. Print out persamaan model…………………………………...……………… 56

4. Pertumbuhan tegakan secara periodik………………………………………...60

Page 15: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada pengelolaan hutan menggunakan sistem silvikultur TPTI, terjadi

penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang yang

diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Hal ini menyebabkan besarnya

volume tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan pohon

yang mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang

berikutnya. Riap pohon berbeda-beda untuk jenis pohon yang berbeda, tergantung

oleh beberapa faktor antara lain : kesuburan tanah, iklim, dan ketersediaan air

(Wartono & Manan 1992).

Penurunan siklus tebang berdampak pula pada tingginya laju deforestasi

hutan dan degradasi lahan. Laju deforestasi dan degradasi hutan Indonesia selama

tahun 2003 – 2006 mencapai 1,089 juta hektar per tahun (Kementerian Kehutanan

2009). Berbagai upaya untuk pengurangan laju deforestasi kini mulai dilakukan

oleh pihak yang memiliki perhatian terhadap masalah hutan dan lingkungan

hidup. Hal ini dilakukan agar dampak negatif akibat kegiatan deforestasi dapat

dikurangi atau bahkan dihentikan.

Suatu tindakan adaptasi lingkungan melalui pengurangan laju deforestasi

hutan dan degradasi lahan dengan cara mempertahankan kandungan karbon di

hutan dapat memberikan manfaat tambahan dalam segi lingkungan maupun

pendapatan yang dihasilkan dari kompensasi jasa penyerapan karbon ketika

perdagangan karbon berlaku. Indonesia melakukan kerjasama dengan Norwegia

dengan cara menyediakan jasa penyerapan karbon tersebut, kemudian Norwegia

siap mengalokasikan 3 miliar NOK (satuan mata uang Norwegia) per tahun untuk

menyokong upaya REDD (Reducing emissions from deforestation and

degradation) di negara-negara berkembang yang bersedia membantu

menurunkan emisi global (Angelsen et al. 2010).

Kompensasi dari penyerapan karbon bisa menjadi income tambahan bagi

negara yang menghasilkan jasa penyerapan karbon disamping pendapatan pokok

dari sektor kehutanan yang terdiri dari sumber penerimaan negara bukan pajak

Page 16: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

2

sebesar ± Rp. 2.201.613.190 yang berasal dari dana reboisasi sebesar ± Rp.

1.454.865.578.120, provisi sumberdaya hutan sebesar ± Rp. 674.358.139.370, dan

iuran hak pengusahaan hutan sebesar ± Rp. 72.389.473.500 (Departemen

Kehutanan 2009). Selain itu, perusahaan juga dapat memanfaatkan potensi lain

selain kayu sebagai nilai tambah ketika perdagangan karbon berlaku untuk

menutupi biaya tetap yang dikeluarkan dan memperoleh keuntungan tambahan

disamping kompensasi penyerapan karbon. Potensi yang dapat dimanfaatkan dari

hasil hutan bukan kayu yang memiliki pasar cukup baik antara lain : pemanfaatan

sarang semut, usaha minyak lawang dan usaha sagu.

Sarang semut merupakan salah satu tumbuhan epifit dari hidnophytinae

(Rubiaceae) yang dapat bersimbiosis dengan semut dan menempel pada tumbuhan

lain tetapi tidak hidup secara parasit pada inangnya. Sarang semut merupakan

hasil hutan bukan kayu yang berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit

ringan dan berat, seperti kanker dan tumor, asam urat, jantung koroner, wasir,

TBC, migren, rematik, dan leukemia. Tanaman ini mengandung senyawa aktif

penting seperti flavanoid, tokoferol, fenolik dan kaya akan berbagai mineral yang

berguna sebagai anti-oksidan dan anti-kanker (Subroto 2007).

Potensi lain yang bisa dimanfaatkan adalah kulit pohon lawang yang dapat

diolah menjadi minyak lawang. Minyak Lawang adalah minyak yang dikenal

sangat panas, digosokkan pada bagian yang sakit akan mendatangkan pemulihan

dari sakit yang diderita. Diolah melalui proses penyulingan yang diambil dari kulit

pohon lawang. Minyak lawang sangat berkhasiat untuk meredakan nyeri yang

ditimbulkan oleh rematik baik rematik karena udara dingin maupun oleh karena

asam urat yang berlebih. Minyak Lawang cocok digunakan untuk wilayah yang

dingin sebagai penghangat badan.

Sagu (Metroxylon sago Rottb.) merupakan sumber karbohidrat yang cukup

potensial di Indonesia dan sebagian besar berada di Papua. Di sekitar areal kerja

perusahaan banyak ditemui tanaman sagu yang dimanfaatkan oleh masyarakat

sekitar hutan sebagai makanan pokok. Meski sudah diketahui potensinya besar,

namun bahan pangan yang satu ini belum banyak tersentuh dalam konteks

pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Selama ini sagu belum dibudidayakan

secara efektif, bahkan bisa dikatakan sekedar tumbuh secara liar.

Page 17: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

3

Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili

Calamoideae dari famili Palmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin

Metroxylon spp, berasal dari 2 (dua) kata, yaitu : Metra yang berarti empulur, dan

Xylon yang berarti Xylem. Metroxylon sagu berarti tanaman yang tumbuh di

daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran terhadap salinitas. Sagu

termasuk salah satu dari beberapa jenis palem yang penting dan telah diolah sejak

dahulu kala. Sagu dinggap penting karena memproduksi atau menghasilkan pati

(tepung sagu) yang merupakan sumber karbohidrat (Flach 1983).

Potensi hutan di Indonesia yang semakin menurun setiap tahunnya

diakibatkan oleh pemanfaatan kayu secara berlebihan, sehingga menyebabkan

stok tegakan sebagai penyerap karbon semakin sedikit. Hal ini berkorelasi negatif

dengan tingginya emisi global yang semakin bertambah setiap tahunnya. Untuk

itu perlu adanya simulasi skenario pengelolaan hutan yang tepat dengan cara

mengkombinasikan pengelolaan hutan berbasis karbon dengan hasil hutan bukan

kayu lainya agar kelestarian tegakan dan manfaat lingkungan dapat terjaga, selain

itu dari segi ekonomi perusahaan bisa memperoleh keuntungan yang maksimal.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Membuat model simulasi tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan

sistem TPTI.

2. Membuat model simulasi tegakan pada pengelolaan hutan berbasis karbon.

3. Membuat dan memilih skenario pengelolaan hutan terbaik yang dapat

dikombinasikan dengan pengelolaan hutan berbasis karbon.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memperoleh skenario pengelolaan hutan

terbaik dengan memperhatikan manfaat kelestarian ekonomi, ekologi dan sosial.

Informasi yang diperoleh dapat dijadikan arahan bagi para pemegang kebijakan

atau dalam hal ini pihak pengelola HPH PT. Mamberamo Alasmandiri yang dapat

digunakan sebagai indikator dalam menentukan strategi pengelolaan dan

pemanfaatan hutan secara optimal.

Page 18: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Hutan Terhadap Perubahan Iklim

Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan

hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya

alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan

lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Indonesia memiliki

hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire. Luas kawasan hutan di Indonesia

yang mencapai ± 133.841.806 ha yang terdiri dari luasan Izin Usaha Pemanfaatan

Hasil Hutan Kayu pada Hutan alam (IUPHHK-HA) sebesar ± 26,169,813 ha dan

luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman

(IUPHHK-HT) sebesar ± 10.039.052 ha (Dirjen Planologi Kehutanan 2009).

Potensi tersebut dapat dimanfaatkan diantaranya sebagai penyeimbang

siklus karbon di atmosfir melalui proses fotosintesis. Penyerapan CO2 di udara

oleh tegakan dibantu sinar matahari dan air dapat menghasilkan karbohidrat yang

kemudian diolah dalam organ tumbuhan, yaitu : batang, cabang, ranting, dan

daun. Sehingga dengan mengukur jumlah karbon yang tersimpan dalam suatu

areal dapat menggambarkan CO2 yang terserap dari udara. Kondisi hutan dengan

fase masa pertumbuhan mampu menyerap lebih banyak CO2 jika dibandingkan

dengan hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhanya

yang hanya mampu menyerap sedikit CO2 karena telah mencapai keseimbangan

dimana tingkat pembentukan dan pelapukan seimbang (Hairiah & Rahayu 2007).

Pada hutan bekas tebangan memiliki tingkat penyerapan CO2 yang tinggi

karena lebih didominasi oleh tingkat permudaan pohon yang berada dalam fase

pertumbuhan. Setelah hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat

adanya intervensi manusia dari kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang

tak terkontrol. Hutan sekunder akan berkembang dari benih pohon-pohon pionir

yang telah bereproduksi dan jatuh ke permukaan tanah, dari sisa-sisa tebangan

(tunggul pohon) atau melalui regenerasi jenis pohon klimaks hingga kembali ke

keadaan seperti semula selama proses tersebut tidak terganggu.

Page 19: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

5

Hutan sekunder memiliki sifat sebagai berikut :

1. Komposisi dan struktur tegakan tidak hanya tergantung pada luas keterbukaan

namun juga pada umur keterbukaan areal.

2. Tegakan muda memiliki komposisi dan struktur tegakan lebih seragam

dibandingkan dengan hutan aslinya.

3. Pohon jenis niagawi sangat sulit ditemui sedangkan jenis-jenis pohon cepat

tumbuh (fast growing species) lebih mendominasi.

4. Persaingan ruangan dan sinar matahari yang intensif sering membuat batang

bengkok karena pertumbuhan pohon mengikuti arah sinar matahari.

5. Memiliki riap awal yang besar, karena pertumbuhan tegakan distimulus oleh

sinar matahari yang langsung masuk akibat keterbukaan areal dan lambat laun

riap tersebut akan mengecil.

6. Memiliki struktur tegakan, komposisi tegakan, dan riap tegakan yang tidak

pernah stabil, sehingga mengakibatkan sulitnya merencanakan pemasaran

hasil yang tepat.

Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur di hutan alam tropis

dapat menimbulkan perubahan terhadap ekosistem hutan yang cukup besar.

Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam mengakibatkan kerusakan

vegetasi hutan dan kerusakan tanah. Disamping itu kegiatan pemanenan kayu

berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal

50%. Di hutan tropis asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas pemanenan

kayu berkisar antara 22-67% (Butler 2007).

2.2 Komposisi dan Struktur Tegakan

Keanekaragaman jenis pohon pada hutan alam umumnya lebih tinggi

dibandingkan dengan tipe hutan tanaman. Tingginya keanekaragaman jenis

tersebut diwakili oleh banyaknya jumlah jenis pohon yang ditemukan per satuan

luas. Struktur tegakan dapat menjelaskan tentang tingkat kerapatan suatu

tegakan, selain itu struktur tegakan juga dapat menjelaskan tentang distribusi

jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya. M engukur kerapatan tegakan

berguna untuk mengindikasikan kuantitas kayu yang berada di atas tegakan

( Husch et al. 2003).

Page 20: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

6

Tegakan hutan adalah sekumpulan pohon yang memiliki karakteristik

seperti komposisi, ukuran dan umur (Kohyama 1993). Tegakan dapat

diekspresikan sebagai unit per luas area seperti volume, luas bidang dasar,

jumlah pohon, dan sebagainya. Tetapi sering juga diekspresikan dalam skala

relatif sebagai persentase dari keadaan kerapatan penuh atau sebagai persentase

kerapatan rata-rata. Hasil dari proyeksi struktur tegakan berguna untuk pengaturan

hasil dan prediksi kandungan biomassa dan nilai karbon tersimpan pada tegakan.

Struktur tegakan merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis

pohon dengan dimensi diameter pohon dalam suatu kawasan hutan yang berguna

untuk mempertahankan keanekaragaman jenis. Pengetahuan menyangkut struktur

tegakan memberi informasi dinamika populasi suatu jenis mulai dari tingkat

semai, pancang, tiang dan pohon. Struktur tegakan dapat memberikan berbagai

informasi penting bagi pengelola hutan melalui upaya pemodelan untuk keperluan

prediksi yang sesuai dengan kondisi yang akan datang (Kohyama 1993).

Demikian disampaikan oleh Burkhart (1990) dalam Thornley (1998)

bahwa pemodelan pertumbuhan merupakan dasar pengelolaan hutan yang

bertujuan untuk mengekstrapolasi prediksi kegunaan untuk tujuan pengelolaan

pada basis yang dibatasi pada sejumlah hasil yang diinginkan. Dalam pemodelan

hutan, Thornley (1998) membedakan atas model individu pohon yakni terdiri atas

pengukuran dimensi tinggi, diameter, umur dan lain-lain serta model tegakan

keseluruhan seperti model pertumbuhan dan hasil tegakan.

2.3 Kandungan Biomassa dan Karbon di Atas Permukaan Tanah

Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hayati maupun

non hayati yang berada di atas maupun yang berada di bawah permukaan tanah.

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan

mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis (Brown 1997).

Faktor yang mempengaruhi besarnya biomassa diantaranya adalah iklim, curah

hujan, umur tegakan, struktur tegakan, kerapatan tegakan, serta kualitas tempat

tumbuh yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan pohon yang ekuivalen

dengan besarnya biomassa. Jumlah cadangan karbon ditentukan oleh : luasan areal,

kerapatan tegakan perhektar, dan komposisi jenis tegakan.

Page 21: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

7

Penggunaan persamaan alometrik dapat mengurangi tindakan perusakan

selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi berdasarkan pada

pengukuran diameter batang. Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa

pemanenan kayu merupakan penyebab utama penurunan jumlah stok karbon

yang diserap oleh hutan dimana karbon yang ditinggalkan di dalam tegakan

terdapat di bawah permukaan tanah, tegakan tinggal, semai, tumbuhan bawah, dan

limbah kegiatan pemanenan kayu. Prosedur pengumpulan data biomassa di atas

tanah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya

No Parameter Metode

1 Serasah dan Tumbuhan bawah Destruktive

2 Pohon hidup Non- Destruktive, persamaan alometrik

3 Pohon mati berdiri Non- Destruktive, persamaan alometrik

(nekromassa) (bercabang) dan persamaan silinder.

4 Pohon mati roboh Non- Destruktive, persamaan silinder

(nekromassa) atau alometrik untuk yang bercabang

5 Tunggak pohon (nekromassa) Non- Destruktive, persamaan silinder

Sumber : Hairiah dan Rahayu 2007.

Pengukuran karbon membutuhkan data biomassa tumbuhan yang dapat

diukur dengan menggunakan 2 sistem, yaitu : sistem destruktive sampling

merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang

pohon untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat basah di berbagai carbon

pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa akar, biomassa kayu mati,

biomassa serasah dan biomassa tanah organik (Ostwald 2008), sedangkan sistem

non-destruktive sampling merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak

merusak pohon dan menggunakan konversi persamaan alometrik dimana

parameter yang digunakan antara lain : diameter, tinggi dan berat jenis.

Persamaan alometrik merupakan pendekatan regresi yang sering

digunakan dalam menduga biomasa. Brown (1997) telah membangun persamaan

allometrik untuk hutan tropis. Beberapa persamaan alometrik dalam pengukuran

biomassa pohon di hutan tropis dalam tiga bentuk berdasarkan intensitas curah

hujannya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Page 22: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

8

Tabel 2 Persamaan alometrik estimasi biomassa

Curah hujan

tahunan

Persamaan Allometrik Kisaran

DBH

Sampel

Pohon

Kering

(<1500 mm/Thn)

B = exp[-1,996 + 2,32*ln(D)] 5-40 cm 28 0,89

B = 10^[-0,535 + log10(BA)] 5-30 cm 191 0,94

Lembab

(1500-4000 mm/thn)

B = 42,69 - 12,800(D) + 1,242 (D²)5-148 cm 170

0,84

B = exp[-2,134 + 2,530 * ln (D)] 0,97

Basah

(>4000 mm/thn)B = 21,297 - 6,953 (D) + 0,740 (D²) 4-112 cm 169 0,92

Keterangan : B = Biomassa (Kg), D = Diamater (cm), BA = Basal Area (cm²)

Pendugaan karbon diperoleh dari hasil konversi sebesar 50% dikali

dengan kandungan biomassanya. Hasil penelitian Onrizal (2004) menyebutkan

bahwa hubungan antara kandungan biomassa setiap bagian pohon berhubungan

secara linear dengan kandungan karbonnya, karbon suatu pohon akan

meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan biomassa pohon tersebut.

2.4 Perdagangan Karbon dengan skema REDD

Perdagangan karbon adalah kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari

kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari

deforestasi dan degradasi hutan melalui penyerapan emisi oleh tegakan.

Pengurangan emisi dari deforestasi hutan dan degradasi lahan yang selanjutnya

disebut REDD merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka

pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok

karbon untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pembayaran

karbon hutan dapat terjadi melalui penyerapan karbon yang diperoleh dari

penyerapan CO2 dalam penanaman pohon atau perlindungan karbon tersimpan

yang sebaliknya dapat teremisi dari hutan alam (Kementerian Kehutanan 2009b).

Perdagangan karbon dapat membantu penurunan emisi global yang

dihasilkan dari negara maju (Annex 1) dengan cara membeli kredit REDD

(offsets) untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka sendiri. Selain itu,

manfaat lain dari perdagangan karbon adalah penjualan jasa penyerapan karbon

(Payments for Environmental Services) di tingkat internasional. Pembeli jasa

akan membayar kepada penyedia jasa untuk jasa lingkungan atau kegiatan yang

dapat memberikan jasa tersebut (Angelsen 2010).

Page 23: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

9

Pertimbangan pendekatan nasional bukan berdasarkan pengurangan emisi,

tetapi kemampuan suatu negara untuk mempertahankan pengurangan karbon

sesuai tingkat referensi yang telah ditetapkan tanpa mempedulikan lokasi persis

sumber pengurangan tersebut, Jika suatu negara melampaui tingkat referensi yang

telah ditetapkan, maka salah satu alternatifnya adalah negara tersebut berusaha

menurunkan emisi dengan cara lain atau membayar denda. Melalui ‘sistem debit’

misalnya, nilai emisi di atas tingkat referensi akan dipotong dari pendapatan

kredit emisi di masa mendatang. (Schlamadinger & Johns 2006).

Metode untuk mengukur perubahan stok karbon karena degradasi hutan,

yaitu : metode perubahan stok karbon (stock-difference) dan metode tambah-

kurang (gain-loss). Metode perubahan stok dibangun berdasar inventarisasi hutan

yang biasanya dilakukan untuk menaksir serapan atau emisi karbon. Sedangkan

metode tambah-kurang berdasarkan pemahaman dari sifat ekologis hutan,

bagaimana hutan tumbuh, bagaimana proses alami dan pengaruh manusia

mengakibatkan pengurangan karbon di dalam hutan. Metode perbedaan stok

mengukur stok biomassa di awal dan akhir periode penghitungan, untuk masing-

masing pool karbon (IPCC 2006). Metode tambah-kurang menaksir terjadinya

penambahan biomassa dari pertumbuhan rata-rata per tahun (Mean Annual

Increment), dikurangi taksiran biomassa yang berkurang karena kegiatan seperti

penebangan pohon, pengumpulan kayu bakar, dan kebakaran. Apabila wilayah

hutan dikelompokkan berdasar penyebab degradasinya, maka ada kemungkinan

untuk mengetahui seberapa banyak kayu yang diambil pada kurun waktu tertentu

dengan cukup akurat.

Skema REDD diharapkan dapat meningkatkan serapan karbon melalui

additionality dari business as usual dalam rangka upaya mitigasi sampai dengan

tahun 2020 nanti diharapkan mampu menyerap 1.31 Gt CO2 dengan menanam

500.000 hektar per tahun. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan

berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer. Rencana Strategis

Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen

Pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 26% melalui kegiatan pengayaan

dan penanaman hutan serta pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m3

menjadi 9 juta m3 (Ramos 2006).

Page 24: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

10

2.5 Skenario Pengelolaan Hutan

Skenario pengelolaan hutan dibuat untuk mengetahui manfaat terbaik yang

diperoleh dari alternatif skenario pengelolaan hutan dengan memperhatikan

manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial. Berikut adalah beberapa skenario yang

akan disimulasikan dalam penelitian.

2.5.1 Pengelolaan Hutan untuk Penyerapan Karbon

Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m3 kayu bulat tiap

tahunnya. Hal ini tidak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan.

Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan

alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m3. Maraknya

pembalakan liar mengakibatkan ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu

yang semakin merusak hutan. Total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan

produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m3, telah menyebabkan kerugian

negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 (Smith et al. 2002).

Perlu adanya tindakan pengurangan penebangan atau bahkan penghentian

sementara (moratorium) eksploitasi kayu agar kelestarian tegakan bisa terjaga.

Moratorium penebangan adalah penundaan dan atau pengurangan produksi kayu

dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga kelestarian

tegakan dan carbon sink dari hutan serta serapan karbon di atmosfer. Tujuan dari

pemberlakuan moratorium adalah mempertahankan stok tegakan dan hutan yang

diharapakan mampu mengurangi emisi global (IFCA 2007).

Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut

ditindaklanjuti dengan moratorium, maka akan berdampak pada kemampuan

pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu nasional sehingga dapat mengurangi

pendapatan negara dari sektor kehutanan. Indonesia membutuhkan dana

kompensasi sebesar Rp.75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan

moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam

pada 110 perusahaan HPH dan 77 perusahaan HTI. Lebih lanjut menjelaskan

bahwa perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu seluas 1,84

juta hektar dengan potensi sebesar 79,69 juta m3 hingga 2018 (Departemen

Kehutanan 2009).

Page 25: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

11

2.5.2 Kombinasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

Permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang semakin meningkat serta

mendukung pemerintah dalam penurunan emisi global sebesar 26%, maka

diperlukan suatu tindakan pola adapatasi lingkungan dengan memperhatikan

manfaat kelestarian ekonomi, ekologi, dan sosial. Salah satunya dengan

mengkombinasikan pengelolaan hutan untuk memproduksi kayu dengan

penyerapan karbon agar keseimbangan iklim dan pemenuhan kebutuhan kayu

terpenuhi. Untuk itu, dibutuhkan suatu formula yang tepat agar kelestarian

tegakan dan pendapatan negara dari sektor kehutanan tidak terlalu menurun.

Dengan skenario tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian stok tegakan dan

mengurangi laju deforestasi di Indonesia, selain itu juga dapat mengurangi

pemanasan global dengan cara mempertahankan fungsi tegakan sebagai penyerap

emisi. Hal ini juga dapat menjadi nilai tambah bagi pendapatan negara dari sektor

kehutanan yang dihasilkan dari pembayaran jasa penyerapan karbon.

2.5.3 Sarang Semut

Skenario pengusahaan yang dapat dikombinasikan dengan pengelolaan

hutan berbasis karbon adalah usaha hasil hutan non kayu melalui pengelolaan

sarang semut yang memiliki potensi besar di Papua dan banyak diminati

konsumen belakangan ini. Skenario tersebut dilakukan ketika kebijakan

moratorium penebangan berlaku di Indonesia dan pendapatan perusahaan yang

dihasilkan dari jasa penyerapan karbon tidak dapat memenuhi besarnya

pengeluaran perusahaan.

Sarang semut (Myrmecodia pendans Merr. & Perry.) merupakan

tumbuhan dari family Rubiaceae yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini

bersifat epifit menempel pada tumbuhan lain. Ukuran sarang semut juga beragam.

Biasanya bagian umbi sarang semut mengalami proses menggelembung sejalan

dengan pertambahan usia tanaman. Daunnya juga beragam, ada yang bulat

lonjong, memanjang, namun rata-rata umbinya melonjong dengan tebaran duri

bersusun pada pola tertentu di bagian luarnya. Di dalam umbi itu terdapat labirin

yang dihuni oleh semut dan cendawan. Daging umbi tanaman itulah yang diiris

tipis-tipis, kemudian dijemur dan dijadikan obat herbal (Subroto 2007).

Page 26: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

12

Gambar 1 Tumbuhan sarang semut Myrmecodia pendans Merr. & Perry.

Menurut Subroto dan Hendro (2006), klasifikasi dari tumbuhan sarang

semut adalah sebagai berikut :

Divisi : Tracheophyta

Kelas : Magnoliospida

Subkelas : Lamiidae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Myrmecodia

Spesies : Myrmecodia pendans Merr. & Perry

Genus sarang semut tersebut dibagi menjadi beberapa spesies berdasarkan

struktur umbinya. Hydnophytum terdiri dari 45 spesies dan Myrmecodia 26

spesies. Tumbuhan sarang semut telah terbukti dapat menyembuhkan beragam

penyakit ringan dan berat, antara lain : kanker, tumor, asam urat, jantung koroner,

wasir, TBC, migren, rematik, dan leukemia. Sarang semut mengandung flavonoid

dan tanin yang berfungsi sebagai antioksidan, dan bisa mencegah sekaligus

mengatasi serangan kanker. Mekanisme kerja Flavonoid dalam mengatasi kanker

dengan cara menonaktifkan karsinogen (Subroto & Hendro 2006).

Disamping itu, sarang semut juga mengandung tokoferol serupa dengan

vitamin E yang berefek antioksidan efektif. Tekoferol berfungsi sebagai

antioksidan dalam menangkal radikal bebas bebas dan sebagai antikanker. Dilihat

dari kandungannya, maka sarang semut hampir bisa mengatasi berbagai jenis

kanker. selain itu juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit jantung dan

kebocoran jantung. Senyawa flavonoid dalam serbuk maupun ekstrak air sarang

semut berperan langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi

mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Bustanussalam 2010).

Page 27: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

13

2.5.4 Minyak Lawang

Pohon lawang (Cinnamomum culilawan BL) dikelompokkan sebagai salah

satu komoditas hasil hutan non kayu (non timber forest product) yang masuk

dalam kelompok jenis yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Berbeda dengan

produk minyak atsiri lainnya, minyak lawang lebih khas, panas, dengan banyak

multi fungsi. Persediaan minyak lawang di pasaran, masih sangat terbatas,

sementara permintaan terus meningkat. Kondisi ini terjadi dikarenakan daerah

yang menghasilkan minyak ini hanya berasal dari Indonesia bagian Timur.

Persebaran pohon penghasil minyak lawang banyak ditemukan di Indonesia

bagian Timur, terutama di Kabupaten Kaimana Propinsi Papua. Pohon yang

mempunyai genus sama dengan species ini adalah pohon kayu manis, kulit pohon

ini di Pulau Jawa banyak dimanfaatkan untuk aroma makanan dan minuman juga

digunakan sebagai bahan untuk campuran obat tradisional (Anonim 2011).

Rekayasa teknologi diperlukan untuk mengolah bahan kulit pohon lawang

menjadi produk yang siap dipasarkan dengan nilai jual tinggi guna mendapatkan

nilai tambah (value added). Klasifikasi dari pohon lawang adalah sebagai berikut.

Familia : Lauraceae

Genus : Cinnamomum

Species : Cinnamomum culilawan BL.

Tahapan proses pengolahan yang harus dilakukan untuk mendapatkan

hasil minyak lawang berkualitas, yaitu : pemilihan bahan baku, sortir bahan baku,

penghalusan bahan baku, proses penyulingan dan pemisahan minyak lawang

dengan air. Alat distilasi minyak lawang, dilengkapi dengan suhu dan tekanan.

Dengan menggunakan alat distilasi tersebut diatas mampu menghasilkan minyak

lawang dengan kualitas prima, dengan rendemen cukup tinggi sebesar 4,2%

dengan waktu penyulingan yang sangat cepat, hanya 2 jam 15 menit, sehingga

dapat menghemat bahan bakar cukup banyak. Limbah hasil penyulingan minyak

lawang, biasanya hanya dibuang begitu saja, walaupun masih mempunyai

kandungan minyak lawang, yang tentu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku

produk. Limbah minyak lawang yang berupa bubur kayu dapat dimanfaatkan

untuk bahan baku produk param dan lulur (Anonim 2010).

Page 28: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

14

2.5.5 Sagu

Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili

Calamoideae dari famili Palmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin

Metroxylon spp, berasal dari 2 (tiga) kata yaitu Metra yang berarti empulur, Xylon

yang berarti Xylem dan sagu menunjukkan kepada pati. Metroxylon sagu berarti

tanaman yang tumbuh di daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran

terhadap salinitas. Sagu dianggap penting karena menghasilkan pati yang

merupakan sumber karbohidrat. (Flach 1983)

Sagu memiliki potensi yang baik, yaitu : produksinya tinggi, dapat

tumbuh, dan berproduksi pada daerah rawa. Tanaman sagu termasuk dalam

kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah basah dataran rendah tropis.

Tanaman sagu sendiri mulai bisa dipanen setelah berumur 5-10 tahun. Setiap

tahun akan tumbuh tunas dan anakan baru dengan tingkat produksi yang juga

tinggi. Pemanenan sagu saat ini dilakukan dengan cara tradisional dengan

teknologi sederhana yaitu dengan penebangan kemudian diambil empulurnya,

dihaluskan dan disaring pati dari sagu tersebut lalu dikeringkan.

Pada umumnya sagu tumbuh di daerah dataran rendah hingga ketinggian

700 m di atas permukaan laut. Habitat sagu adalah rawa, di sekitar daerah sumber

air, di sekitar sungai dan di dataran rendah yang lembab. Tanaman sagu juga

memiliki kemampuan tumbuh dengan sedikit atau tanpa pemeliharaan serta

memiliki kemampuan tumbuh di daerah berair dengan derajat keasaman tanah

(pH) antara 3,7 sampai 6,5 dan suhu diatas 25⁰C. (Yumte 2008)

Menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) dalam Djoefrie

(1999), daerah utama kawasan sagu di nusantara adalah Papua, Maluku, Sulawesi

terutama Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara, Kalimantan terutama

Kalimantan Barat, serta Sumatera terutama di Kepulauan Riau. Di Jawa, sagu

ditemukan secara terbatas di Bogor Barat sampai ke Banten. Luas Hutan sagu

sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Luas hutan sagu di Indonesia

diperkirakan mencapai 1 juta hektar yang tersebar di Papua 800.000 ha, Maluku

50.000 ha, Sulawesi 40.000 ha, Kalimantan 45.000 ha, Sumatera 32.000 ha dan

sisanya di Jawa.

Page 29: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

15

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan

utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola

dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara

dengan tebu, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang

dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. (Balai Penelitian

Bioteknologi Perkebunan Indonesia 2007). Sagu mampu menghasilkan pati kering

hingga 25 ton per ha, jauh melebihi pati beras dan jagung yang hanya 6 ton per ha

dan pati kering jagung hanya 5,5 ton/ha. (Yuniarsih 2009)

2.6 Pemodelan Sistem

Menurut Grant et al. (1997), analisis sistem adalah studi yang dibentuk

satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem. Analisis sistem

adalah pendekatan filosofis dan kumpulan teknik, termasuk simulasi yang

dikembangkan secara eksplisit untuk menunjukkan masalah yang berkaitan

dengan sistem yang kompleks. Analisis sistem menekankan pada pendekatan

holistik untuk memecahkan masalah dan menggunakan model matematika untuk

mengidentifikasi dan mensimulasikan karakteristik yang penting dari sistem yang

kompleks. Tahapan analisis sistem menurut Grant et al. (1997), sebagai berikut :

2.6.1 Formulasi model konseptual.

Tujuan tahapan ini untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model

sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada

kenyataan di alam dengan segala sistem yang terkait antara satu dengan yang

lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang

sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan

memeperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan

tujuan melakukan pemodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah

sebagai berikut :

1. Penentuan isu, tujuan, dan batasan model

2. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem

3. Pengidentifikasian hubungan antar komponen

Page 30: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

16

Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem

dikategorisasikan kedalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan

fungsinya sebagai berikut :

1. State variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem

2. Driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun

tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.

3. Konstanta. Adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik sebuah

sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami perubahan

pada setiap kondisi simulasi.

4. Auxiliary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi

sistem.

5. Material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu

yang terletak diantara dua state, source dan sink.

6. Information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang state

dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.

7. Source dan sink berturut-turut menggambarkan asal (awal) dimulainya proses

dan akhir dari masing-masing transfer materi.

2.6.2 Spesifikasi model kuantitatif

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif

dari sistem yang diinginkan. Pembuatan model kuantitatif ini dilakukan dengan

memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing nilai variabel dan

menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model

sisitem tersebut ke dalam persamaan matematik sehingga dapat dioperasikan oleh

program simulasi. Spesifikasi model terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Memilih struktur kuantitatif umum dari model dan waktu dasar yang

digunakan dalam simulasi.

2. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model.

3. Menduga parameter dari persamaan model.

4. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi.

5. Menjalankan simulasi dan menampilkan persamaan model

Page 31: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

17

2.6.3 Evaluasi model

Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan

membandingkannya dengan dunia nyata. Tujuannya adalah mengevaluasi model

yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi tujuan-tujuan

tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut :

1. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.

2. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan.

3. Membandingkan model dengan sistem nyata.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model

jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.

2.6.4 Penggunaan model

Pemodelan adalah kegiatan membuat model untuk tujuan tertentu. Model

adalah abstraksi dari suatu sistem. Sistem adalah sesuatu yang terdapat di dunia

nyata. Sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah dunia nyata

kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya dengan

menggunakan perpaduan antara seni dan logika. Sistem adalah suatu gugus dari

elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan

atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan sub sistem adalah suatu unsur atau

komponen fungsional dari suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian

sistem tersebut. Dasar dari analisis sistem adalah asumsi bahwa proses alami

terorganisasi dalam suatu hierarki yang kompleks. Proses sistem terbentuk dari

hasil aksi dan interaksi proses-proses yang sederhana. Tidak ada sistem yang

terpisahkan dan setiap sistem saling berinteraksi satu sama lain (Gayatri 2010).

Analisis sistem lebih mendasarkan pada kemampuan untuk memahami

fenomena dari jumlah data yang tersedia. Analisis sistem adalah sebuah

pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk berusaha

memahami proses-proses yang terjadi. Membuat analogi-analogi terkadang

merupakan cara yang penting untuk memahami sesuatu, Keyakinan akan adanya

isomorfisme antar beragam sistem menjadikan pemahaman terhadap sesuatu

menjadi mungkin, bahkan pada suatu sistem kita buta sekali akan perilakunya

(Purnomo 2004).

Page 32: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

18

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah

diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan

dan simulasi beberapa skenario hasil simulasi yang telah di evaluasi, sehingga

dapat digunakan untuk memahami pola perilaku model, serta mengetahui

kecenderungan (trend) di masa yang akan datang. Model juga dapat dipakai untuk

menguji sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario atau

kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam

kasus permodelan partisipatif.

Menurut Soerianegara (1978) dalam Gayatri (2010), mengemukakan

bahwa simulasi adalah eksperimentasi yang menggunakan model dari suatu

sistem. Simulasi dalam analisis sistem meliputi tiga kegiatan sebagai berikut:

1. Membuat model yang menggambarkan keadaan sistem dan proses-proses yang

terjadi di dalamnya.

2. Memanipulasi atau melakukan percobaan-percobaan terhadap model tersebut

yang akan menghasilkan data eksperimen.

3. Menggunakan model dan data untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan

persoalan mengenai sistem sebenarnya (real world) yang diteliti.

Model merupakan penjabaran sederhana dari berbagai bentuk hubungan

dan interaksi antar komponen dalam suatu sistem. Bila bentuk hubungan ini

diketahui dengan baik, maka dapat disusun menjadi suatu persamaan matematis

untuk menjabarkan berbagai asumsi yang ada. Hasil dari pendugaan model

umumnya masih berupa ‘hipotesis’ yang harus diuji kebenarannya pada ‘dunia

yang nyata’. Hasil yang diperoleh melalui pendugaan model tidak selalu sejalan

dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bila terjadi perbedaan, maka ada dua hal

yang harus dilakukan, sebagai berikut :

1. Memeriksa ulang struktur model, termasuk nilai parameter yang dipergunakan

untuk mengawali pemodelan dan konsistensi internal model (apakah output

yang dihasilkan sejalan dengan asumsi yang ada).

2. Memeriksa ulang cara pengukuran parameter di lapangan, dengan

memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara seksama.

Page 33: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

19

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2011 yang berlokasi di

areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alas Mandiri, Kabupaten Mamberamo

Raya, Provinsi Papua.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk penelitian ini, yaitu: alat tulis, tallysheet,

kalkulator, phiband, parang, kompas, cat penanda batas petak, tambang 20 m,

seperangkat computer dengan software Microsoft Excell, Microsoft words, Stella

9.02, Minitab 14, dan kamera digital. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini

berupa data administrasi yang meliputi data pertumbuhan tegakan Petak ukur

Permanen (PUP) tiga tahun terakhir, data curah hujan, data kondisi umum lokasi

IUPHHK-HA, data biaya produksi, dan laporan tahunan perusahaan.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan dilaksanakan langsung di PUP dengan metode

purposive sampling pada petak yang tidak dilakukan pemeliharaan. Jalur

pengukuran dibuat dengan ukuran 20 x 20 meter. Pengukuran dilakukan pada

semua pohon berdiameter sama dan atau lebih dari 10 cm pada petak ukur contoh,

dengan mengukur tinggi dan diameter pohon serta mencatat jenis kayu. Data ini

selanjutnya akan digunakan untuk validasi data struktur tegakan setelah proyeksi.

3.3.2 Pengelompokan Data

Pengelompokan data menurut jenis dimaksudkan untuk membandingkan

kandungan karbon pada setiap kelompok jenis dan untuk kepentingan skenario

pengambilan keputusan. Kemudian dilakukan pengelompokan menurut kelas

diameter dengan maksud untuk melihat laju pertumbuhan riap pada setiap satu

satuan waktu dan rata-rata kandungan karbon pada setiap kelas diameter.

Page 34: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

20

3.3.3 Pemodelan Sistem

Tahapan pemodelan menurut Grant et al. (1997), sebagai berikut :

1. Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan

Identifikasi isu atau masalah dilakukan untuk mengetahui dimana

sebenarnya pemodelan perlu dilakukan. Setelah identifikasi isu dilakukan maka

selanjutnya ditentukan tujuan dari pemodelan tersebut. Batasan dapat berupa batas

daerah atau ruang, batas waktu dan batasan isu yang telah diidentifikasi sesuai

dengan tujuan pemodelan.

2. Konseptualisasi Model

Tahap ini bertujuan untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model

sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual didasarkan pada segala

sistem yang terkait antara yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi,

sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam

dimasukkan dalam simulasi dengan memeperhatikan komponen-komponen yang

terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Konsep

yang dibuat dalam pemodelan ini terdiri dari tujuh sub model, sebagai berikut :

1. Sub model dinamika struktur tegakan.

2. Sub model pendapatan kayu.

3. Sub model pendugaan stok karbon

4. Sub model pendugaan biaya usaha karbon dengan Plan Vivo Standard.

5. Sub model usaha sarang semut.

6. Sub model usaha minyak lawang.

7. Sub model usaha sagu.

3. Hubungan Antar Sub Model

Sub model dinamika struktur tegakan menjelaskan dinamika jumlah pohon

per hektar dan besarnya jumlah tebangan. Sub model Pendapatan menjelaskan

besarnya jumlah pendapatan dari penebangan kayu berdasarkan biaya-biaya yang

dikeluarkan. Sub model pendugaan stok karbon menjelaskan dinamika besarnya

stok karbon. Sub model pendapatan menjelaskan besarnya nilai ekonomi yang

akan didapatkan dari besarnya stok karbon menggunakan plan vivo standart.

Page 35: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

21

Sub model usaha sarang semut menggambarkan potensi pendapatan

tambahan dari pengusahaan sarang semut. Sub model minyak lawang

mensimulasikan pendapatan dari pengusahaaan minyak lawang. sedangkan sub

model usaha sagu merupakan simulasi tentang pendapatan yang dihasilkan dari

pengusahaan sagu. Alternatif usaha hasil hutan bukan kayu tersebut dilakukan

ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan pengelolaan hutan berbasis

karbon tidak bisa menutupi besarnya biaya tetap yang harus dikeluarkan.

Gambar 2 Hubungan antar sub model.

4. Spesifikasi Model

Data yang digunakan untuk menduga parameter-parameter model

dinamika struktur tegakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Data jumlah pohon per hektar (n/ha).

2. Persamaan Ingrowth pada penelitian ini menggunakan persamaan Krisnawati

(2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS. Untuk persamaan

Upgrowth Y = 0,214 – 0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2,

dimana Y adalah jumlah pohon, n/ha adalah jumlah pohon per hektar, LBDS

adalah luas bidang dasar (m2/ha) dan Dbh adalah diameter setinggi dada (cm).

Page 36: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

22

3. Persamaan Mortality

Nilai mortality rate pada KD<60cm diasumsikan sebesar 8 % dan untuk

KD>60cm sebesar 5%. (Elias et al. 2006).

4. Penerimaan kayu = n/ha 40up x Vol kayu x harga kayu (diasumsikan harga

kayu Rp. 2.000.000/m3). Pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan hutan,

biaya pemanenan dan pajak. Pendapatan didefinisikan sebagai total

penerimaan dikurangi total pengeluaran.

5. Persamaan Penduga Biomassa Pohon

Perhitungan biomassa yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan

persamaan alometrik Brown (1997) dengan r²=0,97. Persamaan ini diterapkan

pada zona iklim lembab dengan curah hujan sebesar 1500-4000 mm/th dimana

curah hujan di lokasi penelitian yaitu 3493 mm/th.

B = exp [-2,134 + 2,530 x ln(d)]Dimana : B = biomassa per pohon (kg)

D = Diameter pohon setinggi dada (cm).

6. Besarnya Kandungan karbon Tersimpan

Kandungan karbon di hutan alam dapat dihitung dengan menggunakan

pendugaan biomassa hutan. Brown (1997) menyatakan bahwa umumnya 50%

dari biomassa hutan tersusun atas karbon sehingga dari hasil perhitungan

biomassa dapat dirubah kedalam bentuk karbon (ton C/ha).

Karbon (C) = B x 0,5Dimana : C = Jumlah karbon (ton C/ha).

7. Biaya perdagangan karbon dengan skema plan vivo standart terdiri dari biaya

validasi sebesar US$ 12500 per waktu validasi (5 th), biaya verifikasi sebesar

US$ 30000 per waktu verifikasi (5 th) dan upah sertifikat CO2 sebesar US$

0,30 per karbon yang terjual. (Kementerian Kehutanan 2009b).

8. Pendapatan Karbon diperoleh dari perkalian stok karbon dengan harga karbon

yang berlaku, dengan asumsi harga karbon US$5/tonC, dan 1US$ = Rp. 8.500.

9. Pendapatan sarang semut diperoleh dari selisih antara cost dan income yang

dihasilkan dari pemanfaatan sarang semut.

10. Pendapatan minyak lawang diperoleh dari hasil penjualan dengan harga

pasaran Rp. 500.000,-/L dan biaya pengolahan minyak terlampir pada printout

persamaan model Lampiran 3.

Page 37: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

23

11. Pendapatan sagu diperoleh dari penjualan tepung sagu dengan harga Rp.

3000,-/Kg dan biaya pengolahan sagu terlampir pada printout persamaan

model Lampiran 3.

12. Kelayakan finansial

a. Net Present Value (NPV)

NPV = t

n

t i

CtBt

)1(1

b. Benefit Cost Ratio (BCR)

BCR =

n

tt

t

n

tt

t

i

Ci

B

1

1

)1(

)1(

Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-tCt = biaya (cost) pada tahun ke-tt = umur proyek (tahun)i = discount rate yang berlaku (%)

c. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek

mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Jika dinilai Internal

Rate of Return lebih kecil dari discount rate maka NPV<0, artinya

sebaiknya proyek itu tidak dilaksanakan. Inti analisis finansial adalah

membandingkan antara pendapatan dengan pengeluaran, dimana suatu

kegiatan atau usaha adalah feasible apabila pendapatan > dari pengeluaran.

IRR = )( 1221

11 iix

NPVNPV

NPVi

Dimana : i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positifi2 = discount rate yang menghasilkan NPV negatif

NPV1 = NPV yang bernilai positif, NPV2 = NPV yang bernilai negatif

5. Evaluasi Model

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengetahui kelogisan yang dibuat

sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Langkah evaluasi yang ditempuh

diantaranya dengan cara membandingkan model dengan sistem nyata. Analisis

sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan

perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.

Page 38: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

24

6. Penggunaan Model

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah

diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan

dan simulasi dari beberapa skenario hasil simulasi yang telah dievaluasi, sehingga

dapat digunakan untuk memahami perilaku model, serta mengetahui

kecenderungan di masa mendatang.

3.4 Kerangka Pemikiran

Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang secara keseluruhan bertujuan

untuk mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan sehingga sistem tersebut

memungkinkan memenuhi kebutuhan hidup manusia akan produksi hasil hutan

maupun jasa secara berkelanjutan dan jangka panjang. Suatu skenario disusun

untuk keperluan pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat ekonomi,

ekologi, dan sosial yang diperoleh. Beberapa skenario yang akan dijalankan

adalah sebagai berikut :

1. Skenario 1, pengelolaan hutan murni 100% untuk usaha kayu menggunakan

sistem TPTI seperti yang selama ini dijalankan.

2. Skenario 2, pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan karbon ketika

moratorium penebangan berlaku. Pada pengelolaan hutan ini 100% kawasan

digunakan sebagai penyerapan karbon.

3. Skenario 3, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha

sarang semut.

4. Skenario 4, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha

sarang minyak lawang.

5. Skenario 5, pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan usaha

sagu.

Page 39: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

25

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

PT. Mamberamo Alasmandiri merupakan perusahaan PMDN yang

tergabung dalam KODECO GROUP. Ijin Pemanfaatan Hutan IUPHHK PT.

Mamberamo Alasmandiri didasarkan pada keputusan Menteri Kehutanan No.

1071/Kpts-II/1992 tanggal 19 November 1992, seluas 691.700 ha yang kemudian

diperbaharui berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.

910/Kpts-IV/1999 tanggal 14 Oktober 1999 dengan luas 677.310 hektar. Dalam

kegiatan pengelolaan hutan, PT. Mamberamo Alasmandiri membagi areal

kerjanya menjadi 2 unit kelestarian, yaitu : Unit Aja dan Unit Gesa dimana

keduanya melakukan kegiatan operasional secara terpisah (PT. MAM 2009).

4.2 Letak Geografis dan Luas IUPHHK

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri termasuk ke

dalam kelompok hutan Sungai Mamberamo-Sungai Gesa. Berdasarkan pembagian

wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK-HA PT Mamberamo

Alasmandiri terletak di dalam wilayah distrik Mamberamo Hulu, Mamberamo

Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten

Mamberamo Raya, Provinsi Papua (PT.MAM 2009).

4.3 Topografi dan Kelerengan

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri bervariasi dari

datar sampai bergelombang dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar 100-

648 m dpl. Kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri

terdiri atas kelas lereng A (<8%) sampai kelas lereng E (>40%) (PT. MAM 2009).

4.4 Tanah dan Geologi

Jenis tanah di IUPHHK ini terdiri dari tanah aluvial, latosol, regosol,

podzolik dan litosol. Struktur geologi khususnya di areal kerja IUPHHK-HA PT.

Mamberamo Alasmandiri didominasi oleh sesar (sesar naik dan geser) dan lipatan.

Page 40: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

26

Sesar naik utama pada bagian tersebut membatasi Cekungan Wapoga dan

Cekungan Mamberamo. Struktur lipatan terdiri dari antiklin dan siklin. Antiklin

penting dikenal sebagai Antiklin Gesa yang memotong aliran S. Gesa yang

mengalir ke utara (PT. MAM 2009).

4.5 Iklim dan Intensitas Hujan

Dari data yang diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan Camp Aja tahun

2010 diperoleh curah hujan rata-rata adalah sebesar 3.493,33 mm/tahun dan

tingkat minimum hujan yang terjadi pada bulan September (156,51 mm/bulan)

dan maksimum terjadi pada bulan Mei (591,40 mm/bulan). Berdasarkan data

curah hujan pada tahun 2010, kawasan IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri

termasuk dalam klasifikasi iklim lembab. Data curah hujan bulanan pada tahun

2010 dapat dilihat pada gambar berikut. (PT. MAM 2009).

Gambar 3 Grafik curah hujan rata-rata bulanan tahun 2010.

4.6 Keadaan Hutan

Penutupan lahan areal kerja IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri

berdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US band 542, Mozaik

Path 102 Row 62, liputan tanggal 19 November 2005 dan Path 103 Row 62

Liputan tanggal 8 Juli 2006 disajikan pada tabel berikut (PT. MAM 2009)

Page 41: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

27

Tabel 3 Penutupan vegetasi IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri

Penutupan LahanFungsi Hutan (Ha)

BZ Jumlah PersenHPT HP HPK

1. Hutan Primer 287.203 66.966 6.176 12.230 372.575 55,00%

2. Hutan Bekas Tebangan 105.825 40.100 30.651 1.948 178.524 26,40%

3. Non Hutan 6.209 5.169 592 127 12.097 1,80%

4. Hutan Rawa Primer - 1.890 10.951 - 12.841 1,90%

5. Hutan Rawa Bekas Tebangan 8.268 783 - - 9.051 1,30%

6. Non Hutan Rawa - 71 1.111 - 1.182 0,20%

7. Tubuh Air / Danau - 636 - 12 648 0,10%

8. Tertutup Awan 74.295 10.511 - 5.586 90.392 13,30%

Jumlah 481.800 126.126 49.481 19.903 677.310 100,00%

Sumber : Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007(PT.MAM 2009).

4.7 Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Penduduk asli di sekitar kelompok hutan S.Mamberamo-S.Gesa adalah

suku Baudi Bira, Kerema, Obagui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan

suku Haya. Agama dan kepercayaan yang dianut adalah Kristen Protestan, Katolik

dan Islam. Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja

IUPHHK-HA PT. Mamberamo Alasmandiri meliputi mencari ikan, bercocok

tanam dengan berladang berpindah, dan “meramu” (mencari sagu, umbi dan

berburu). Sedangkan masyarakat yang tinggal di pusat-pusat pemerintah (Distrik

dan Kabupaten) yang umumnya sebagai pendatang berprofesi sebagai pegawai

negeri dan buruh harian (PT. MAM 2009).

Page 42: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

28

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Struktur Tegakan Awal Pada Hutan Bekas Tebangan

Petak yang diukur dalam penelitian ini adalah petak ukur permanen (PUP)

dengan luas 100 m x 100 m pada areal bekas tebangan 3 tahun yang tidak

mengalami pemeliharaan, yaitu : pada areal bekas tebangan Blok RKT 2008/2009

petak 4, petak 5 dan petak 6. Data pertumbuhan tegakan tahun 2009 dan 2010

diperoleh dari data sekunder perusahaan. Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa

pada hutan bekas tebangan memiliki kondisi tempat tumbuh sama dan

karakteristik tegakan yang homogen. Penelitian ini menggunakan contoh kasus

pada areal hutan bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat

pertumbuhan dan penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi

karena memiliki keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar

matahari langsung masuk kemudian diterima oleh pohon dan mempercepat proses

fotosintesis. Sinar matahari tersebut dapat menjadi stimulus bagi pertumbuhan

tegakan dalam proses penyerapan karbon. Struktur tegakan pada masing-masing

kelas diameter dapat dilihat seperti pada Gambar 4.

Gambar 4 Kondisi struktur tegakan awal areal hutan bekas tebangan.

Hasil dari pengukuran diperoleh jumlah pohon per hektar (n/ha) pada

hutan bekas tebangan sebanyak 397 pohon yang terdiri dari 6 kelas diameter

dengan lebar kelas 10 cm, mulai dari pohon berdiameter 10-19 cm hingga pohon-

pohon berdiameter >60 cm (KD 60up) seperti disajikan pada Tabel 4.

Page 43: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

29

Tabel 4 Rekapitulasi data komposisi tegakan

Jenis 1019 2029 3039 4049 5059 60up Jumlah

Komersil 128 42 15 7 3 3 209

Non komersil 11 9 3 5 3 24 59

Rimba campuran 87 17 5 7 1 2 129

Total 226 68 23 19 7 29 397Sumber : hasil rekapitulasi data

Pada hutan bekas tebangan untuk pohon inti didominasi oleh jenis-jenis

komersil dan rimba campuran karena telah dilakukan pemanenan pada kelas

diameter 40cm up dan hanya menyisakan permudaan pohon yang dihasilkan dari

regenerasi pohon induk melalui penyebaran biji yang jatuh kemudian tumbuh.

Sedangkan pada pohon layak tebang lebih didominasi oleh jenis non komersil

karena pada saat kegiatan penebangan, jenis non komersil tidak diproduksi.

Data komposisi tegakan tersebut kemudian digunakan dalam pendugaan

model simulasi dinamika struktur tegakan pada pengelolaan hutan menggunakan

sistem TPTI dimana parameter-parameternya merupakan fungsi dari kerapatam

tegakan yang dinyatakan oleh bidang dasar tegakan yang terdiri atas fungsi

ingrowth, upgrowth, dan mortality.

5.2 Model Pengelolaan Hutan Menggunakan Sistem TPTI

Sistem TPTI merupakan sistem tebang pilih tegakan tidak seumur

berdasarkan limit diameter tebangan yang dilakukan untuk meningkatkan riap dan

mempertahankan keanekaragaman hayati dengan terbentuknya struktur hutan

dalam rangka memperoleh panen yang lestari (Kementerian Kehutanan 2009c).

Siklus tebang yang digunakan dalam sistem TPTI adalah 35 tahun yang

diharapkan pada jangka waktu tersebut bisa memperoleh tegakan dengan diameter

layak tebang minimal 25 pohon per hektar. Untuk menduga potensi tersebut perlu

upaya simulasi yang dapat memproyeksikan potensi tegakan pada siklus tebang

berikutnya. Selain itu, dilakukan pula simulasi terhadap penurunan jangka waktu

siklus tebang yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009. Dalam

membangun suatu model diperlukan 4 (empat) tahap yang digunakan dalam suatu

pemodelan yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model,

spesifikasi model, serta penggunaan model.

Page 44: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

30

5.2.1 Identifikasi Isu, Tujuan, dan Batasan

Penurunan siklus tebang dan batas diameter minimal pohon layak tebang

yang diatur dalam Permenhut No. 11 tahun 2009 menyebabkan besarnya volume

tebangan yang tidak diiringi dengan peningkatan riap pertumbuhan tegakan yang

mengakibatkan tingkat kelestarian hutan sulit dicapai pada siklus tebang

berikutnya. Untuk itu perlu dilakukan suatu simulasi yang bertujuan untuk

menduga potensi tegakan dan proyeksi pendapatan yang dihasilkan dari simulasi

skenario pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI pada siklus tebang

berikutnya. Batasan yang digunakan diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Siklus tebang adalah interval waktu (dalam tahun) antara dua penebangan

yang berurutan di tempat yang sama dalam sistem sivikultur polisiklik.

2. Struktur tegakan adalah banyaknya pohon per satuan luas (per hektar) pada

setiap kelas diameter.

3. Ingrowth didefinisikan sebagai besarnya tambahan jumlah pohon terhadap

banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter (KD) terkecil selama periode

waktu tertentu.

4. Upgrowth adalah besarnya tambahan jumlah pohon per hektar terhadap kelas

diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter dibawahnya selama periode

waktu tertentu.

5. Mortality adalah banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas

diameter dalam periode waktu tertentu akibat penebangan.

6. Hasil tebangan diperoleh dari pemanenan pohon berdiameter 40 cm up.

7. Penerimaan diperoleh dari penjualan kayu hasil produksi.

8. Pengeluaran terdiri dari biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu.

5.2.2 Konseptualisasi Model

Model konseptual yang dikembangkan dapat dideskripsikan melalui stok

dan aliran. Sub model akan saling mempengaruhi satu sama lainya. Pemodelan ini

menggunakan satuan tahun. Fase konseptual model ini bertujuan mendapatkan

gambaran secara menyeluruh tentang model-model yang dibuat, terdiri dari : sub

model dinamika struktur tegakan dan sub model pendapatan kayu.

Page 45: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

31

Sub model dinamika tegakan mensimulasikan proyeksi tegakan masing-

masing kelas diameter yang dipengaruhi oleh jumlah pohon per hektar, luas

bidang dasar tegakan, pertumbuhan, dan kematian. Sub model dinamika tegakan

merupakan sub model yang paling penting karena dapat mempengaruhi sub model

lainya. Sub model pendapatan kayu menggambarkan potensi pendapatan yang

akan diperoleh dalam suatu waktu melalui produksi kayu layak tebang setelah

dikurangi dengan biaya produksi kayu. Sub model pendapatan kayu dipengaruhi

oleh sub model dinamika tegakan karena pendapatan kayu dihasilkan dari panen

pohon layak tebang pada kelas diameter 40cm up.

5.2.3 Spesifikasi Model

5.2.3.1 Sub Model Dinamika Struktur Tegakan

Pembentukan model dinamika struktur tegakan bertujuan untuk

mensimulasikan potensi tegakan per hektar pada hutan bekas tebangan setiap

tahunnya sehingga dapat diprediksi kondisi struktur tegakan yang optimal pada

waktu tertentu. Model ini merupakan model inti yang sangat berpengaruh

terhadap sub model yang lainnya. Parameter yang menjadi acuan dalam sub

model yang lainnya diantaranya adalah jumlah pohon masak tebang masing-

masing kelas diameter dan jumlah pohon per hektar.

Dinamika tegakan sangat dipengaruhi oleh kerapatan tegakan dan luas

bidang dasar tegakan. Penelitian ini menggunakan contoh kasus pada areal hutan

bekas tebangan, hal ini dilakukan akibat adanya asumsi tingkat pertumbuhan dan

penyerapan karbon pada hutan bekas tebangan yang tinggi karena memiliki

keterbukaan areal yang besar, sehingga menyebabkan sinar matahari yang masuk

langsung di terima oleh pohon dan mempercepat proses fotosintesis dan menjadi

stimulus bagi pertumbuhan tegakan dalam proses penyerapan karbon.

Selain itu pertumbuhan tegakan juga di pengaruhi oleh luas bidang dasar

tegakan yang menggunakan parameter diameter dalam pengukuranya, karena

pengukuran diameter memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dari pada volume

tegakan yang menggunakan parameter tinggi pohon, dimana pengukuran tinggi

pohon di ukur dengan menggunakan taksiran bukan pengukuran langsung

sebenarnya sehingga tingkat ketelitian pada pendugaan volume sangat kecil.

Page 46: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

32

Gambar 5 Model konseptual dinamika struktur tegakan.

Pada sub model dinamika struktur tegakan, yang menjadi state variable

adalah jumlah pohon pada setiap kelas diameter. Dari gambar model terlihat

adanya aliran materi antar kelas diameter (KD), dari KD yang lebih rendah ke KD

yang lebih tinggi. Aliran tersebut tersusun secara seri, tidak ada aliran materi KD

yang melangkahi KD atasnya. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pada selang

waktu setahun pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak akan

menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya. Perubahan

pohon dalam KD disebabkan oleh faktor ingrowth, upgrowth, dan mortality.

Penentuan ingrowth, upgrowth, dan mortality sangat dipengaruhi oleh

kerapatan tegakan, luas bidang dasar dan jumlah pohon per hektar. Ingrowth

dalam penelitian ini didefinisikan sebagai banyaknya jumlah pohon dari hasil

pertumbuhan riap yang masuk pada kelas diameter terkecil (KD1019) selama

periode satu tahun. Persamaan ingrowth yang digunakan di adopsi dari persamaan

Krisnawati (2001) yakni Y = 3,98 + 0,0269 n/ha – 0,33 LBDS, dimana Y adalah

jumlah pohon, n/ha merupakan jumlah pohon per hektar, dan LBDS adalah luas

bidang dasar (m2/ha).

KD1019

Ingrowth

Teb 60up

Upg1

KD3039KD2029 KD4049

TingkatKematianLogging1

NHA

D1 D2

KD5059 KD60up

Teb 60up

Upg2 Upg3 Upr4Upg5

TingkatKematianLogging2 D3

D4D5

D6

LBDSTot

Daur

TingkatKematianLogging3 TingkatKematanlogging4 TingkatKematianlogging5TingkatKematianlogging6

LBDSTot

NHA

Panen

Teb 4049

PendugaanVolume 60up

Vol teb 60up

LBDSTot

Pendugaan vol 5059Teb 5059

Vol Teb 5059

Teb 4049

Vol Teb 4049

Pendugaan Vol 4049

Teb 5059

Dinamika Struktur Tegakan

Page 47: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

33

Upgrowth merupakan peluang transisi dari suatu kelas diameter, yaitu

banyaknya jumlah pohon yang hidup pada kelas diameter tertentu yang pindah ke

kelas diameter berikutnya dari KD yang lebih rendah ke KD yang lebih tinggi

pada selang waktu setahun dan pertumbuhan pohon-pohon dalam suatu KD tidak

akan menyebabkan pohon-pohon tersebut dapat melewati KD diatasnya.

Upgrowth sangat dipengaruhi oleh bidang dasar tegakan dan diameter pohon.

Persamaan upgrowth yang digunakan dalam menduga model dinamika struktur

tegakan ini di adopsi dari persamaan Krisnawati (2001) yakni Y = 0,214 –

0,00235 LBDS + 0,00925 Dbh – 0,00012 Dbh2.

Mortality adalah laju kematian dari pohon-pohon dalam tegakan yang

umumnya dinyatakan dengan persen per tahun. Kematian ini disebabkan oleh

faktor alam (mati yang disebabkan oleh penyakit, kompetisi masing-masing

individu, longsor, dan kebakaran lahan) maupun kematian akibat penebangan.

Nilai mortality rate pada diameter <60 cm diasumsikan sebesar 8 %, sedangkan

untuk kelas diameter >60 cm sebesar 5%. Asumsi ini berdasarkan hasil penelitian

Elias et al. (2006) menyimpulkan bahwa dampak dari kegiatan pemanenan kayu

mengakibatkan kerusakan tegakan tinggal sampai 45% untuk seluruh tegakan atau

seluruh kelas diameter.

Besarnya efek penebangan bervariasi menurut KD dan dipengaruhi oleh

banyaknya jumlah pohon yang ditebang, sistem silvikultur, dan penerapan metode

penebangan yang digunakan. Pada state variable KD4049, KD5059, dan KD60up

terdapat faktor lain yang mempengaruhi jumlah tegakan yaitu penebangan.

Kegiatan penebangan ini tidak dilakukan setiap tahun, tetapi pada awal siklus

tebang. Besarnya penebangan ditentukan oleh LBDS tegakan, siklus tebang, dan

jumlah pohon pada masing-masing KD.

Jumlah pohon layak tebang yang diperoleh dari KD4049, KD5059, dan

KD60up kemudian dikonversi ke dalam volume (m³) menggunakan rumus umum

pendugaan volume, yakni V = 0,25*3,14*(d^2)*t dimana d adalah diameter (cm)

dan t adalah tinggi pohon (taksiran). Kemudian setelah diperoleh volume panen,

data tersebut akan digunakan dalam sub model berikutnya untuk mengetahui nilai

pendapatan bersih dari pengelolaan hutan bekas tebangan yang optimal per hektar

pada skema pengelolaan hutan.

Page 48: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

34

5.2.3.2 Sub Model Pendapatan Kayu

Pada sub model ini menggambarkan pendugaan potensi pendapatan yang

berasal dari pemasukan dan pengeluaran. Pemasukan diperoleh dari penjualan

kayu layak tebang, sedangkan pada pengeluaran terdiri dari biaya pembinaan

hutan, biaya produksi dan biaya manajemen sebagai biaya tetap. Pendapatan dari

penebangan diperoleh dari hasil tebangan pada KD4049, KD5059, dan KD60up

(dalam volume) yang kemudian di konversi ke harga kayu yang diasumsikan

sebesar Rp. 2.000.000,-/m³, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk pengelolaan

hutan diacu dari laporan tahunan perusahaan. Hal utama yang mempengaruhi sub

model pendapatan ini adalah jumlah pohon layak tebang yang dipengaruhi oleh

tingkat kematian dan jumlah pohon yang berasal dari KD3039. Pada sub model ini

menggunakan suku bunga 10% untuk menghitung nilai kelakayan usaha dari

masing-masing skenario pengelolaan hutan. Suku bunga tersebut merupakan suku

bunga yang berlaku saat penelitian berlangsung.

Gambar 6 Sub model pendapatan.

5.2.4 Evaluasi Model

Evaluasi model dilakukan untuk menguji keterandalan dalam menjelaskan

fenomena-fenomena yang terjadi di sistem nyata. Evaluasi model dilakukan

terhadap model yang paling berhubungan atau berperan terhadap pencapaian

Penyusunan RKT

Penerimaan

Pengeluaran

PenebanganCL

Teb 60up

SukuBunga Daur

NPV Conv

Teb 5059

Pelatihan

HargaKayuB

Daur

Pengamanan Hutan

PWH

PemeliharaanAlatBangunan

PemeliharaaanJalan

PerlindunganHutan

Penjarangan

PenanamanPengayaan

Gaji&TunjanganRehabilitasi lahan

Operasional & adm camp

PersemaianPembibitan

PAK

BinaDesa

ITT

PBB

Pemeliharaan tata batas

Penyiapan lahan

MuatBongkar

Pengupasan kulit

PengangkutanPengapalanDR&IHH

BiayaBinHut

Biaya Tetap

InspeksiBlok

Biaya Pemanenan

PerencanaanOperasionalPemanenan

ITSP

PenandaanJalanSarad KontruksiJalanSarad

Penyaradan

Penebangan

Vol teb 60up

Pemeliharaan Tanaman

Pembagian batang

Biaya Pemanenan

BCR

Vol Teb 5059

Vol Teb 4049

Teb 4049

Sub model Pendapatan

Page 49: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

35

tujuan penelitian dengan membandingkan data hasil simulasi dengan hasil

pengukuran atau perhitungan lapangan. Evaluasi model pada penelitian ini

dilakukan terhadap sub model dinamika struktur tegakan dengan membandingkan

struktur tegakan hasil simulasi dan data aktual pada tahun ke-2 dan ke-3.

Gambar 7 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-2.

Gambar 8 Perbandingan struktur tegakan pada tahun ke-3.

Dari hasil proyeksi perbandingan jumlah tegakan pada masing-masing

kelas diameter pada tahun ke-2 dan ke-3, diperoleh kurva antara hasil simulasi

dengan aktual tidak begitu berbeda secara signifikan. Hasil regresi pada taraf

nyata 5% untuk tahun kedua memiliki koefisien korelasi sebesar 95 % dan untuk

tahun ketiga memiliki koefisien korelasi sebesar 89,7 % menunjukan bahwa

model memiliki korelasi yang cukup tinggi dan dapat digunakan untuk menduga

dinamika tegakan dalam jangka panjang meskipun pengujian model dilakukan

hanya dari data pertumbuhan selama 3 tahun. Pengujian model akan lebih baik

lagi jika menggunakan data periodik yang lama supaya dapat diketahui pola

pertumbuhan tegakannya secara konstan.

Page 50: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

36

5.2.5 Analisis Sensitivitas Model

Analisis sensitivitas dilakukan terhadap perubahan dalam parameter yang

mendukung. Sensitivitas model pada penelitian ini dilakukan terhadap besarnya

potensi tegakan yang diperoleh apabila tingka kematian akibat pemanenan dirubah

menjadi 12%, 8%, dan 4% pada KD < 60 cm dan 9%, 6%, dan 3% pada KD > 60

cm. Semakin tinggi tingkat kematian, maka potensi tegakan semakin berubah.

Gambar 9 Analisis sensitivitas model.

Keterangan :1. Potensi tegakan dengan mortality 9% untuk KD>60 dan 12% untuk KD<60.2. Potensi tegakan dengan mortality 6% untuk KD>60 dan 8% untuk KD<60.3. Potensi tegakan dengan mortality 3% untuk KD>60 dan 4% untuk KD<60.

Gambar 16 menunjukan bahwa, jika hutan bekas tebangan memiliki

mortality yang rendah, maka pendapatan efektif yang diperoleh akan semakin

besar, hal ini dikarenakan jumlah tegakan yang ada tidak berkurang secara

signifikan, dan sebaliknya jika mortality lebih besar maka pendapatan efektifnya

juga akan berkurang lebih besar, hal ini dikarenakan berkurangnya jumlah stok

tegakan akibat mortality yang sangat berpengaruh terhadap ketersediaan tegakan.

5.2.6 Penggunaan Model

Penggunaan model berfungsi untuk menerapkan model dalam skenario

yang telah dibuat dalam rangka memberikan jawaban mengenai tujuan pembuatan

sub model. Tujuan utama yang ingin dicapai adalah memproyeksikan potensi

tegakan dan pendapatan ketika menggunakan sistem TPTI.

Page 51: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

37

5.2.6.1 Skenario Siklus Tebang

Skenario siklus tebang dan pendapatan mensimulasikan perbandingan

jumlah tegakan yang dihasilkan dari pengelolaan hutan mengggunakan sistem

TPTI dengan siklus tebang 35 tahun dan Permenhut No. 11 Tahun 2009 dengan

siklus tebang 30 tahun. Hasil simulasi model menunjukan pada siklus tebang 30

tahun lebih cepat memperoleh pohon layak tebang karena jangka waktu dari siklus

pertama ke siklus kedua lebih sedikit dibandingkan dengan siklus tebang 35

tahun. Hal ini akan berdampak pada tingginya volume layak tebang sehingga

terjadi penurunan potensi jumlah pohon per hektar pada siklus tebang berikutnya.

Perlu adanya suatu tindakan pola adaptasi pengelolaan hutan agar kelestarian

produksi dapat terjamin, salah satunya dengan menurunkan jumlah volume

tebangan atau bahkan menghentikan sementara kegiatan penebangan dan beralih

ke pengusahaan hasil hutan bukan kayu. Berdasarkan grafik pada Gambar 10

terlihat bahwa struktur tegakan pada siklus tebang berikutnya cenderung menurun.

Gambar 10 Potensi tegakan pada pengelolaan hutan untuk produksi kayu.

Keterangan :1. Potensi tegakan dengan siklus tebang 30 tahun (Permenhut No.11 2009).2. Potensi tegakan dengan siklus tebang 35 tahun (Sistem TPTI).

Dari hasil simulasi pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI seperti

yang selama ini dijalankan oleh perusahaan, diperoleh jumlah potensi pohon per

hektar pada siklus tebang berikutnya sebesar 408 pohon dengan pohon layak

tebang 63 pohon/ha, kemudian mengalami penurunan potensi pada siklus tebang

kedua menjadi 133 pohon/ha dengan 25 pohon layak tebang. Sedangkan untuk

pengelolaan hutan menggunakan siklus tebang 30 tahun memiliki jumlah pohon

per hektar sebanyak 349 pohon dengan pohon layak tebang sebanyak 63

Page 52: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

38

pohon/ha, dan mengalami penurunan potensi pada siklus tebang kedua yang hanya

memiliki 125 pohon/ha dengan 19 pohon layak tebang. Penurunan potensi

tersebut disebabkan oleh kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan akibat

penurunan limit diameter pohon layak tebang, sedangkan tingkat pertumbuhan

tegakan kecil dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk kembali memiliki

potensi pohon layak tebang.

5.2.6.2 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga

Pada skenario ini dilakukan perubahan tingkat suku bunga terhadap

besarnya Net Present Value (NPV) pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI.

Tingkat suku bunga pada skenario ini akan diubah menjadi 5 % dan 15 %.

Gambar 11 Skenario nilai NPV pada perubahan tingkat suku bunga.

Keterangan :1. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 5 %.2. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 10 %.3. Nilai NPV pada tingkat suku bunga 15 %.

Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin tingginya tingkat suku bunga,

maka besarnya NPV yang diperoleh akan semakin berkurang, sedangkan semakin

kecil tingkat suku bunga, maka besarnya NPV yang diperoleh semakin meningkat.

Karena tingkat suku bunga berbanding terbalik dengan besarnya pendapatan,

dengan semakin tinggi tingkat suku bunga, maka pendapatan yang diperoleh akan

semakin berkurang, sedangkan semakin rendah tingkat suku bunga pendapatan

yang diperoleh akan semakin meningkat. Hasil skenario nilai NPV pada

perubahan tingkat suku bunga terdapat pada Tabel 5.

Page 53: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

39

Tabel 5 Skenario perubahan suku bunga

Simulasi perubahan sukubunga

Suku bunga

5% 10% 15%

NPV (Rp) 58.356.086,88 17.032.509,69 2.417.058,81

Sumber data : hasil simulasi model.

5.3 Model Simulasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

5.3.1 Sub Model Pendugaan Stok Karbon

Pada sub model ini dilakukan pendugaan terhadap jumlah kandungan

karbon pada suatu areal. Parameter yang digunakan adalah jumlah pohon dari

masing-masing KD yang kemudian dikonversi dalam bentuk biomassa

menggunakan persamaan allometrik yang dibuat oleh Brown (1997) pada iklim

lembab, yaitu B = EXP(-2.134+2.53*(Ln(D))/1000*KD dimana D merupakan

diameter dan KD merupakan jumlah pohon pada masing-masing kelas diameter.

Biomassa dinyatakan dalam ukuran berat kering, dalam kg/ha atau ton/ha.

Biomassa yang diukur pada simulasi kali ini adalah biomassa atas permukaan

tanah pada hutan bekas tebangan. Biomassa yang didapat kemudian dikonversi ke

karbon dengan asumsi 50% dari biomassa adalah karbon (Brown 1997). Karbon

stok yang diperoleh merupakan penjumlahan stok karbon masing-masing KD.

Hasil pendugaan stok karbon ini berguna untuk memprediksi serapan emisi yang

diserap oleh tegakan melalui proses fotosintesis yang nantinya digunakan untuk

perhitungan kompensasi penyerapan karbon.

Gambar 12 Sub model pendugaan stok karbon.

KD1019 KD2029 KD3039 KD4049 KD5059 KD60up

D1019D2029 D3039

D4049 D5059

C KD1019

C KD2029

C KD3039

C KD4049

C KD5059

D60up

C KD60up

C tot

Pendugaan Stok Karbon

Page 54: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

40

5.3.2 Sub Model Pendugaan Pengusahaan Karbon

Sub model pendugaan pengusahaan karbon mensimulasikan proyeksi

pendapatan yang diperoleh dalam skema perdagangan karbon ketika perusahaan

melakukan kebijakan moratorium penebangan. Sub model pendapatan karbon

terdiri dari komponen harga karbon, stok karbon, pendapatan karbon, biaya tetap,

biaya validasi, biaya verifikasi, biaya sertifikasi dan komponen nilai kelayakan

usaha. Pendapatan karbon dihasilkan dari kompensasi jasa penyerapan karbon

yang diperoleh dari pembeli jasa penyerapan karbon, bisa dalam lingkup nasional

maupun internasional atau dalam hal ini negara-ngeara maju. Pendapatan karbon

tersebut kemudian dikurangi biaya-biaya pengusahaan karbon.

Biaya validasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembayaran

pengesahan suatu proyek REDD yang dijalankan antara penjual jasa penyerapan

karbon dengan penerima jasa, biaya verifikasi adalah biaya yang dikeluarkan

untuk memantau keberlanjutan dan tingkat keberhasilan proyek REDD yang

dijalankan, sedangkan biaya sertifikasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk

mendapatkan sertifikasi pengurangan emisi per karbon yang terjual. Besarnya

biaya-biaya tersebut mengacu kepada Plan Vivo Standard yang diadaptasi dari

Peraturan Menteri Kehutanan No P. 36/Menhut-II/2009, dimana biaya validasi

diasumsikan sebesar 12500 US$, biaya verifikasi sebesar 30.000 US$ dalam

jangka waktu pengusahaan 5 tahun dan biaya sertifikasi karbon sebesar 0,5 US$

per karbon yang terjual dengan nilai kurs rupiah diasumsikan sebesar US$ 1 = Rp.

8.500,-.

Besarnya jumlah karbon yang dapat dikompensasi ke dalam bentuk

pendapatan tambahan dan biaya pengusahaan karbon diakumulasi berdasarkan

jumlah stok karbon pada waktu tertentu yang diduga pada sub model pendugaan

stok karbon. Biaya tersebut dijumlahkan dengan biaya tetap (manajemen) yang

wajib dikeluarkan setiap tahun. Biaya tetap merupakan biaya yang harus

dikeluarkan perusahaan setiap tahunnya, baik untuk pengelolaan hutan berbasis

produksi kayu ataupun pengelolaan hutan berbasis jasa penyerapan karbon. Dalam

sub model ini juga menghitung nilai kelayakan usaha pada skenario yang dibuat

dengan tingkat suku bunga 10%.

Page 55: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

41

Gambar 13 Sub model pendugaan biaya pengusahaan karbon.

5.3.3 Skenario Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

Pada skenario pengelolaan hutan untuk penyerapan karbon tidak dilakukan

penebangan dan pengelolaan hutan difokuskan pada penyerapan karbon oleh

tegakan pada saat kebijakan moratorium berlaku. Moratorium tersebut dilakukan

agar kelestarian tegakan terjamin dan membantu penurunan emisi global.

Dinamika struktur tegakan karbon dapat dilihat seperti pada Gambar 14.

Gambar 14 Struktur tegakan pada pengelolaan hutan untuk penyerapan karbon.

Dari hasil proyeksi diperoleh bentuk dinamika struktur tegakan dengan

jumlah pohon per hektar yang cenderung meningkat pada siklus tebang berikutnya

sehingga kelestarian produksi dapat terjamin. Potensi tegakan pada skenario

pengelolaan hutan berbasis karbon mengalami peningkatan jumlah tegakan dari

397 pohon/ha menjadi 406 pohon/ha pada siklus tebang berikutnya. Peningkatan

jumlah pohon ini dikarenakan oleh pengelolaan hutan hanya diperuntukan sebagai

C tot

C Price

Income c

NPV C

BCR C

SukuBunga

Biaya TetapDaur Valid&Ver

Biay a VVS

Cost C

Sub model pendugaan pengusahaan karbon

Page 56: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

42

penyerapan karbon tanpa memanfaatkan atau menebang kayu yang ada. Tren

jumlah pohon per hektar tersebut cenderung meningkat dan konstan hingga akhir

waktu simulasi yaitu pada tahun ke-120.

Sedangkan dari segi pendapatan, skenario pengelolaan hutan berbasis

karbon memperoleh keuntungan dari hasil kompensasi jasa penyerapan karbon

yang menghasilkan nilai NPV sebesar Rp. 10.011.211,-/ha dengan BCR 1,43 dan

IRR sebesar 24%, dengan artian usaha skenario pengelolaan hutan berbasis

karbon layak untuk dijalankan dan baik secara ekologi. Akan tetapi dalam segi

pendapatan masih lebih menguntungkan skenario pengelolaan hutan

menggunakan sistem TPTI.

5.4 Pengelolaan Hutan Kombinasi

5.4.1 Sub Model Pengusahaan Sarang Semut

Myrmecodia pendans atau lebih dikenal dengan sebutan sarang semut,

merupakan tanaman berkhasiat yang berasal dari tanah Papua. Belakangan

tanaman ini marak diperbincangkan karena diyakini memiliki khasiat luar biasa

untuk mengobati berbagai macam penyakit berat, antara lain : kanker, tumor,

gangguan jantung terutama jantung koroner, stroke ringan maupun berat, ambeien

(wasir), benjolan-benjolan dalam payudara, gangguan fungsi ginjal dan prostat,

haid dan keputihan, melancarkan peredaran darah, migren, paru-paru, rematik,

sakit maag dan sebagainya. Hasil penelitian mendapati bahwa tanaman ini

mengandung senyawa aktif penting, antara lain : flavanoid, tokoferol, fenolik dan

kaya akan berbagai mineral yang berguna sebagai anti-oksidan dan anti kanker.

Sub model usaha sarang semut dibuat untuk mengetahui pendapatan

tambahan yang dihasilkan dari pengusahaan sarang semut ketika moratorium

penebangan berlaku dan perusahaan mengalihfungsikan hutan untuk penyerapan

karbon. Pada skenario ini, komponen biaya terdiri dari biaya pengolahan selama

memproduksi sarang semut, biaya kemasan dan biaya pemasaran. Sedangkan

pendapatan diperoleh dari hasil penjualan sarang semut dalam bentuk simplisia.

Proses pengolahan sarang semut dimulai dari pengunduhan di lapangan, kemudian

sarang semut tersebut diiris tipis dan dikeringkan. Hasil dari sarang semut yang

Page 57: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

43

telah dipotong dan dikeringkan dinamakan simplisia. Harga simplisia saat ini

Rp.65.000,-/kg dan dalam setahun diasumsikan sebanyak 360 kg simplisia.

Gambar 15 Sub model pengusahaan sarang semut.

Skenario pengelolaan hutan yang menghasilkan manfaat tambahan secara

finansial diperlukan ketika kebijakan moratorium penebangan diberlakukan

dengan maksud mempertahankan kelestarian tegakan dan menurunkan emisi

secara global. Karena jika pengelolaan hutan hanya difokuskan untuk penyerapan

karbon saja tidak mencukupi untuk memperoleh keuntungan yang minimal setara

dengan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI. Untuk itu perlu formula

khusus melalui beberapa skenario untuk mengetahui hasil hutan buan kayu yang

berpotensi menambah pendapatan perusahaan. Kombinasi yang mungkin

dilakukan oleh perusahaan diantaranya adalah pemanfaatan sarang semut,

pemanfaatan minyak lawang, dan pemanfaatan sagu yang memiliki potensi

melimpah di sekitar areal kerja perusahaan.

5.4.2 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon + Sarang Semut

Pada sub model pengelolaan sarang semut, keuntungan tambahan yang

akan diperoleh perusahaan disamping dari pembayaran kompensasi penyerapan

karbon adalah sebesar Rp. 7.823.608,- /ha. Nominal tersebut sedikitnya bisa

menutupi kekurangan pendapatan perusahaan ketika kebijakan moratorium

penebangan berlaku dan pengelolaan hutan diperuntukan sebagai penyerapan

karbon. Skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sarang semut, akan

Biay a

PendapatanOlah

Kemasan

Keuntungan

Pemasaran

harga simplisia

simplisia KgperTh

SukuBungaNPV SS

BCR SS

waktu

Sub Model Usaha Sarang Semut

Page 58: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

44

memperoleh pendapatan tambahan dari pengolahan sarang semut disamping dari

kompensasi penyerapan karbon. Besarnya NPV pada skenario kombinasi ini

adalah Rp. 17.834.820,-/ha dengan BCR 1,35 dan IRR 23%. Pendapatan dari

kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan sarang semut ternyata dapat

melebihi pendapatan pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTI yang hanya

Rp. 17.032.509,-/ha jika dikelola dengan benar.

5.4.3 Sub Model Usaha Minyak Lawang

Potensi minyak lawang di Papua cukup melimpah dan khasiat atau

kegunaanya pun makin digemari akhir-akhir ini. Minyak lawang yang dihasilkan

dari penyulingan berbahan baku kulit pohon lawang merupakan obat gosok yang

digunakan untuk meredakan nyeri yang ditimbulkan oleh rematik, pegel, keseleo

dan lainya. Selain itu minyak lawang juga digunakan untuk bumbu masak oleh

sebagian masyarakat di Bali. Limbah dari penyulingan minyak lawang yang

berupa bubur kayu masih bisa dimanfaatkan untuk bahan baku produk diantaranya

adalah param dan lulur.

Gambar 16 Sub model usaha minyak lawang.

Sub model ini di buat untuk mengetahui nilai ekonomis dari pemanfaatan

kulit pohon lawang dengan pengelolaan yang baik. Pengelolaan dimulai dari

pengupasan kulit batang pohon yang telah ditebang pada pohon komersil,

hasil suling

bahan bakar

kupas kulitSortir

Produksi per ha

penyulingan Biaya 1Ha

pemasaran minyak

kemas

harga per mL

pendapatan minyak

NPV Minyak

BCR minyak

Jk waktu

SukuBunga

cacah

upah pekerja

Sub Model Usaha Minyak Lawang

Page 59: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

45

kemudian dilakukan pemilihan (sortir) kulit pohon yang memiliki kualitas baik,

setelah itu dilakukan pencacahan pada kulit pohon tesebut hingga berbentuk

potongan-potongan kecil atau bahkan serbuk untuk memudahkan dalam proses

penyulingan, pencacahan tersebut dilakukan supaya menghasilkan sari pati yang

lebih banyak dari serat-serat potongan tesebut. Kemudian dilakukan proses

penyulingan hingga berbentuk minyak murni yang telah terpisah dari air,

selanjutnya dilakukan pengemasan dan pemasaran.

Sub model ini terdiri dari komponen biaya, pendapatan dan potensi

produksi. Biaya dari pembuatan minyak lawang, yaitu : biaya pengupasan kulit,

biaya pemilihan bahan baku, biaya pencacahan bahan baku, biaya penyulingan,

biaya pembelian bahan bakar, upah pekerja, biaya pengemasan, dan biaya

pemasaran. Sedangkan komponen pendapatan terdiri dari harga jual minyak

lawang per mili liter dan potensi produksi minyak hasil sulingan. Harga minyak

lawang dipasaran saat ini sebesar Rp. 500.000,- untuk tiap satu liter minyak

lawang. sedangkan dalam satu hektar kurang lebih akan menghasilkan 15,75 ℓ

dengan asumsi terdapat 21 pohon lawang/ha. Hal ini tentu saja bisa menjadi nilai

tambah lain bagi perusahaan jika pemanfaatan kulit pohon lawang dikelola

dengan baik. Dalam sub model usaha minyak lawang juga terdapat komponen

nilai kelayakan usaha menggunakan suku bunga bank 10% untuk melihat nilai

kelayakan usaha minyak lawang tersebut.

5.4.4 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Minyak Lawang

Potensi hasil hutan bukan kayu lain yang dapat dikembangkan oleh

perusahaan adalah pengelolaan minyak lawang yang memiliki cukup bahan baku

untuk dimanfaatkan. Pengelolaan minyak lawang melalui proses penyulingan

membutuhkan bahan baku kulit pohon lawang. Dari hasil simulasi model skenario

pemanfaatan minyak lawang, diperoleh besarnya pendapatan yang akan diterima

perusahaan adalah Rp, 2.818.051,-/ha. Pendapatan tersebut bisa menjadi alternatif

pendapatan tambahan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku dan

pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka

mengurangi emisi global.

Page 60: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

46

Pada kombinasi skenario pengelolaan hutan karbon dengan usaha minyak

lawang, nilai NPV yang dihasilkan sebesar Rp. 12.829.263,-/ha dengan BCR 1,18

dan IRR sebesar 21%. Nilai-nilai tersebut menunjukan bahwa skenario

pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha minyak lawang layak untuk

dijalankan, akan tetapi dalam segi pendapatan masih lebih menguntungkan

skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan usaha sarang semut yang

memiliki pendapatan lebih besar jika dibandingkan dengan pengelolaan hutan

kombinasi karbon dengan pemanfaatan minyak lawang.

5.4.5 Sub Model Usaha Sagu

Sagu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat

dipergunakan sebagai sumber karbohidrat yang cukup potensial di Indonesia.

Sagu bisa dikembangkan sebagai bahan pangan, sagu juga dibutuhkan bagi

industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika. Selain itu, bahan tepung sagu

dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai di

alam dan sebagai sumber energi alternatif (bioetanol).

Gambar 17 Sub model usaha sagu.

Potensi sagu dunia hampir 50% berada di Indonesia yang diperkirakan

mencapai satu juta hektar dan sebagian besar berada di daerah Papua salah

satunya di Kabupaten Mamberamo Raya. Hal ini dibuktikan dengan tanaman sagu

yang berada di sekitar lokasi areal kerja perusahaan cukup melimpah. Sub model

usaha sagu ini dibuat untuk melihat potensi pendapatan yang dihasilkan dari

hasil perbtg

pisah patipenghalusanpeny aringan

pengeringanPenebangan

cacah empulur

NPV sagu

panen per ha

Kemas sari buah merah

Bagi btg

Pemasaran buah

Jangka waktu

BCR sagu

SukuBunga

Biay a perHa Pendapatan sagu

Harga perKg

Sub Model Usaha Sagu

Page 61: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

47

pengelolaan sagu. Pengelolaan sagu dari batang pohon hingga menjadi tepung

memiliki beberapa tahap diantaranya adalah penebangan pohon, pembagian

batang yang dibelah secara memanjang, pengambilan empulur atau teras batang

sagu, penghalusan empulur, penyaringan, pemisahan pati sagu kemudian

pengeringan hingga menjadi tepung sagu.

Sub model usaha sagu terdiri dari beberapa komponen, antara lain : biaya

pengelolaan sagu, harga sagu, potensi sagu dan pendapatan dari penjualan sagu.

Biaya yang dikeluarkan dalam pengolahan sagu terdiri dari biaya penebangan

pohon sagu, biaya pembagian dan pemotongan batang, biaya pencacahan

empulur, biaya penghalusan, biaya penyaringan pati sagu, biaya pengeringan,

biaya kemasan dan biaya pemasaran tepung sagu. Sedangkan komponen

pendapatan terdiri dari potensi panen per hektar, potensi sagu per batang dan

harga jual sagu. Harga tepung sagu sekarang ini mencapai Rp. 3000,- /kg,

sedangkan dalam satu batang pohon sagu dihasilkan sekitar 150-300 kg tepung

sagu dan potensi pohon sagu dalam setahun bisa memanen 86 pohon/ha (Widjono

et al. 2000). Komponen lain dari sub model usaha sagu adalah nilai kelayakan

usaha yang menggunakan suku bunga bank sebesar 10% untuk mengetahui

tingkat kelayakan usaha sagu.

5.4.6 Skenario Pengelolaan Hutan Kombinasi Karbon dan Sagu

Skenario terkahir sebagai alternatif pendapatan tambahan adalah

pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan sagu. Pohon sagu yang sangat

melimpah di sekitar areal kerja perusahaan berpotensi untuk menghasilkan

pendapatan lain jika dikelola dengan benar. Harga tepung sagu semakin naik dan

dari hasil pengelolaan satu batang pohon sagu bisa menghasilkan 200-300 kg

tepung sagu mengingat masyarakat Papua sebagian besar mengkonsumsi sagu

sebagai makanan pokok sehingga dalam hal pemasarannya sangat potensial untuk

dimanfaatkan. Dari hasil simulasi pengelolaan sagu, diperoleh pendapatan

tambahan yang akan diterima perusahaan sebesar Rp. 15.159.376,-/ha. Dengan

asumsi satu hektar bisa menebang 86 pohon sagu. Pendapatan tambahan tersebut

merupakan pendapatan yang paling menguntungkan dari skenario pemanfaatan

hasil hutan bukan kayu lainnya.

Page 62: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

48

Dari hasil simulasi skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan

pemanfaatan sagu diperoleh nilai NPV sebesar Rp. 25.170.588,-/ha dengan BCR

1,47 dan sebesar IRR 28%. Nilai kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan

kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu tersebut merupakan skenario yang

paling layak untuk dijalankan, karena menghasilkan pendapatan paling besar yang

akan diterima oleh perusahaan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku

dan pengelolaan hutan difokuskan untuk penyerapan karbon dalam rangka

mengurangi emisi global. Selain itu dari hasil pengelolaan hutan berbasis karbon

tersebut diperoleh struktur tegakan yang baik dan dapat terjamin kelestariannya.

5.5 Kombinasi Skenario Terbaik

Pemilihan kombinasi skenario pengelolaan hutan terbaik dilakukan dengan

membandingkan kelayakan usaha pada masing-masing skenario pengelolaan

hutan, kemudian memilih skenario dengan kelayakan usaha yang memiliki NPV

paling maksimal untuk tiap kondisi simulasi sehingga dapat memberikan manfaat

ekonomi yang maksimal. Perbandingan pendapatan dan kelayakan usaha pada

masing-masing skenario pengelolaan hutan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perbandingan kelayakan usaha masing-masing skenario

Skenario UsahaKelayakan Usaha

NPV BCR IRR100 % Kayu Rp 17.032.509,- 1,17 21%100 % Karbon Rp 10.011.211,- 1,43 24%Karbon + sarang semut Rp. 17.834820,- 1,35 23%Karbon + minyak lawang Rp.12.829.263,- 1,18 21%Karbon + sagu Rp. 25.170.588,- 1,47 28%

Sumber : Hasil rekapitulasi data.

Dari perbandingan nilai kelayakan usaha, diketahui bahwa nilai NPV pada

masing-masing skenario pengelolaan hutan memiliki nilai positif dengan artian

semua skenario usaha layak untuk dijalankan. Nilai NPV, BCR dan IRR tertinggi

ada pada skenario pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu

yang memperoleh nilai NPV sebesar Rp. 25.170.588,-. Nilai ini menunjukan

bahwa biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan pengelolaan akan memberikan

keuntungan selama umur analisis finansial yakni 5 tahun menurut nilai sekarang.

Page 63: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

49

Nilai BCR dari skenario pengelolaan hutan kombinasi pengelolaan hutan

berbasis karbon dengan pemanfaatan sagu sebesar 1,47. Nilai BCR tersebut

menunjukan perbandingan antara manfaat dan biaya yang didiskonto. Keadaan

tersebut menggambarkan bahwa manfaat yang diperoleh selama umur proyek

lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Sedangkan untuk IRR pada skenario

pengelolaan hutan kombinasi karbon dengan pemanfaatan sagu sebesar 28 %

berada diatas suku bunga bank yang digunakan sebesar 10 %. Hal ini menunjukan

kriteria kelayakan usaha skenario pengelolaan hutan terbaik secara finansial ada

pada skenario ke-5, yaitu kombinasi pengelolaan hutan berbasis karbon dengan

pemanfaatan sagu. Disamping itu, tingkat kelestarian tegakan pada skenario ini

memiliki standing stock yang besar pada siklus tebang berikutnya karena

pemanfaatan kayu dihentikan sementara dan beralih ke pemanfaatan jasa

penyerapan karbon.

Page 64: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

50

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Pengelolaan hutan akan sangat menguntungkan bila mampu dilakukan

dengan memperhatikan manfaat lain selain kayu, karena baik kayu, karbon dan

hasil hutan bukan kayu pada akhir-akhir ini memiliki pangsa pasar yang tinggi.

Suatu manajemen pengelolaan hutan yang tepat dapat memberikan dampak

keuntungan ekonomi yang baik bagi masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Dari

hasil simulasi model pengelolaan hutan berbasis karbon di HPH PT Mamberamo

Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua dapat disimpulkan,

sebagai berikut :

1. Model simulasi tegakan dengan menggunakan sistem TPTI akan mengalami

penurunan jumlah potensi pada siklus tebang berikutnya.

2. Model pengelolaan hutan untuk jasa penyerapan karbon mengalami tren

peningkatan jumlah tegakan per hektar, sehingga memberikan manfaat baik

secara ekologi dengan kondisi ketersediaan stok tegakan yang tinggi.

3. Skenario pengelolaan hutan yang terbaik ada pada pengelolaan hutan

berbasis karbon dikombinasikan dengan pemanfaatan sagu yang

memperoleh manfaat ganda dari segi ekonomi dan ekologi. Dengan nilai

NPV sebesar Rp. 25.170.588,- BCR sebesar 1,47 dan IRR 28 % dapat

disimpulkan bahwa usaha tersebut dinyatakan layak untuk dijalankan.

6.2 Saran

Saran yang diajukan sebagai rekomendasi dari hasil penelitian ini adalah

pengelolaan hutan berbasis karbon dikombinasikan dengan pemanfaatan sagu

sangat layak untuk dijalankan, karena dapat memberikan manfaat tambahan baik

dari segi ekonomi, ekologi maupun sosial ketika kebijakan moratorium dan

perdagangan karbon berlaku di Indonesia.

Page 65: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

51

DAFTAR PUSTAKA

Angelsen, A. dan Atmadja, S. (eds). 2010. Melangkah Maju dengan REDD: Isu,Pilihan, dan Implikasi. Center of International Forestry Research. Bogor.

[Anonim]. 2010. Minyak lawang asli papua. Diakses melaluihttp://www.souvenirpapua.com/?p=7. [27 November 2011]

[Anonim]. 2011. Pemanfaatan minyak lawang dan kegunaanya. Diakses melaluihttp://nichye.blogspot.com/2011/03/minyak-lawang.html. [27 November2011]

Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007. Tanaman Sagusebagai Sumber Energi Alternatif. Warta penelitian dan pengembanganpertanian Vol.29, n0.4, 2007.

Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A.Primer. FAO. Forestry Paper. USA. 134:10-13

Bustanussalam. 2010. Penentuan Struktur Molekul dari Fraksi Air TumbuhanSarang Semut Myrmecodia pendans Merr. & Perry yang MempunyaiAktifitas Sitotoksik dan Sebagai Antioksidan. [Tesis] Institut PertanianBogor. Bogor.

Butler, R.A. 2007. Reduces Impact Logging: Sustainable Logging and ImprovedForest Management. Tropical Forest. Mongabay.com [10 Juni 2011].

Departemen Kehutanan. 2008. Statisistika Kehutanan_Bina Produksi Kehutanan.Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2009. Statisistika Kehutanan_Bina Produksi Kehutanan.Jakarta.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2009. Eksekutif Data Strategis. Jakarta.

Djoefrie, MHB. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil BahanPangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalamRangka Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Elias., Grahame, A., Kuswata, K., Machfudh., Art, K. 2006. Reduced ImpactLogging Guidelines for Indonesia. ITTO, Dephutbun, CIFOR, CIRAD,INHUTANI II, WCS. Bulungan.

Flach M. 1983. The Sago Palm. Demestication, Exploitation and Product. FAO.Plant Production and Protection. Dalam Proceeding SimposiumPenerapan Ekolabel di Hutan produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Gayatri A. 2010. Model Rantai Nilai Mata Kayu Jati (Tectona grandis L.f) diKesatuan Pemangkuan Hutan Bojonegoro Perum Perhutani Unit II JawaTimur. [Skripsi]. Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan,Institut Pertanian Bogor. Bogor

Grant W.E. Pedersen, and Sandra L. 1997. Ecology and Natural ResourceManagement System Analysis and Simulation. Toronto : John Willey andSon Inc.

Page 66: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

52

Hairiah K. 2002. Lahan gambut untuk perlindungan iklim global dankesejahteraan masyarakat : Pengukuran carbon stock di ataspermukaan tanah. Wetlands International. Canada.

Hairiah, K dan S Rahayu. 2007. Pengukuran karbon tersimpan di berbagaimacam penggunaan lahan. Agroforestry Centre – ICRAF. Bogor

Husch B, Beers TW, dan Kershaw JA. 2003. Forest Mensuration. Fourthedition.USA: John Wiley & Sons, Inc.

IFCA, 2007. Consolidation Report : Reducing Emissions from Deforestation andForest Degradation in Indonesia, Published by FORDA Indonesia.

[IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. IPCC Guidelinesfor National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the NationalGreenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L.,Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.

Kementerian Kehutanan RI. 2009a. Peraturan Menteri Kehutanan RepublikIndonesia Nomor : P. 11/Menhut-II/2009 Tentang Sistem Silvikultur dalamAreal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi.

Kementerian Kehutanan RI. 2009b. Peraturan Menteri Kehutanan RepublikIndonesia Nomor : P. 36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara PerizinanUsaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon PadaHutan Produksi dan Hutan Lindung.

Kementerian Kehutanan RI. 2009c. Pedoman Pelaksanaan Sistem SilvikulturTPTI. Lampiran 1 Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan.Nomor P.9/VI/-BPHA/2009. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Krisnawati, H. 2001. Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dengan PendekatanDinamika Struktur Tegakan (Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan). [Tesis]Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Kohyama, T. 1993. Size Structured Tree Population in Gap Dynamic Forest.Journal of Ecology, 81 : 131-145.

Nurdjannah, N. 1994. Pengeringan bahan dan penyulingan minyak. PemberitaanLitantri xx. (1-2) : 11-15. Puslitbangtri. Bogor

Onrizal. 2004. Model Penduga Biomassa dan Karbon Tegakan Hutan Kerangasdi Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat. [Tesis] InstitutPertanian Bogor. Bogor.

Ostwald M. 2008. Carbon Inventory Method. Handbook for Greenhouse GasInventory, Carbon Mitigation and Roundwood Productions Project.Goteborg University. Sweden.

[PT. MAM] PT Mamberamo Alasmandiri. 2009. RKUPHHK dalam Hutan Alampada Hutan Produksi Periode 2008 s/d 2017. Papua: PT. MAM.

Purnomo H. 2004. Teori sistem. Bahan Bacaan Mata Ajaran Analisis Sistem.Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.

Page 67: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

53

Ramos, C.A., O. Carvalho and B.D. Amaral. 2006. Short-term effects ofreduced-impact logging on eastern Amazon fauna. Forest Ecology andManagement, Vol.2322, No.1-3 : 26-35.

Smith, J dan Scheer, SJ. 2002. Forest Carbon and Local Livelihood. Assessmentof Oppourtunities and Policy Recommendation. Cifor Occasional PaperNo. 37

Schlamadinger, B. dan Johns, T. 2006. Reducing emissions from deforestation andforest degradation; Latest developments. Climat change mitigationmeasures in the agroforestry sector and biodiversity futures, Trieste/IT,ICTP.

Subroto M. A. dan Hendro. 2006. Gempur penyakit dengan sarang semut. Jakarta.Penebar Swadaya.

Subroto M. A. 2007. Kandungan sarang semut. Jakarta. Penebar Swadaya.

Thornley, JHM. 1998. Grassland dynamic, an ecosystem simulation model.Wallingford, UK. Center of Agricultural Bioscience International.

UNFCCC, 2008. Investment and financial flows to address climate change.UNFCCC. Bonn.

Wartono K, Manan S. 1992. Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan RI.Jakarta.

Widjono, A., R. Aser, dan Amisnaipa. 2000. Identifikasi, karakterisasi, dankoleksi jenis-jenis sagu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Sistem Usaha TaniPapua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Yuniarsih, FN. 2009. Pembuatan Bioetanol dari Dekstrin dan Sirup Glukosa sagu(Metroxylon sp) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var.ellipsoideus.[skripsi] Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Yumte Y. 2008. Penyusunan Model Penduga Berat Basah Tepung Sagu Duri(Metroxylon rumphii) di Kabupaten Sorong Selatan Provinsi Papua Barat[Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 68: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

54

LAMPIRAN

Lampiran 1. Struktur tegakan pada hutan bekas tebangan berumur 3 tahun

Page 69: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

55

Lampiran 2. Peta PT. Mamberamo Alasmandiri

Peta lokasi kawasan PT. Mamberamo Alasmandiri

Peta areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri

Page 70: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

56

Lampiran 3. Print out persamaan model

1. Dinamika Struktur TegakanKD1019(t) = KD1019(t - dt) + (Ingrowth - Upg1 - TingkatKematianLogging1) * dtINITKD1019 = 279INFLOWS:Ingrowth = 3.98+0.03*NHA-0.3*LBDSTotOUTFLOWS:Upg1 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d1-0.00012*(d1)^2)*KD1019TingkatKematianLogging1 = if Panen>0 then 0.08*KD1019 else 0KD2029(t) = KD2029(t - dt) + (Upg1 - Upg2 - TingkatKematianLogging2) * dtINIT KD2029= 70INFLOWS:Upg1 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d1-0.00012*(d1)^2)*KD1019OUTFLOWS:Upg2 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d2-0.00012*(d2)^2)*KD2029TingkatKematianLogging2 = if Panen>0 then 8/100*KD2029 else 0KD3039(t) = KD3039(t - dt) + (Upg2 - Upg3 - TingkatKematianLogging3) * dtINIT KD3039= 21INFLOWS:Upg2 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d2-0.00012*(d2)^2)*KD2029OUTFLOWS:Upg3 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d3-0.00012*(d3)^2)*KD3039TingkatKematianLogging3 = if Panen>0 then 8/100*KD3039 else 0KD4049(t) = KD4049(t - dt) + (Upg3 - Upr4 - TingkatKematanlogging4 - Teb_4049) *dtINIT KD4049 = 16INFLOWS:Upg3 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d3-0.00012*(d3)^2)*KD3039OUTFLOWS:Upr4 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d4-0.00012*(d4)^2)*KD4049TingkatKematanlogging4 = if Panen>0 then 8/100*KD4049 else 0Teb_4049 = if mod(time,Daur)=0 then 0.8*KD4049 else 0KD5059(t) = KD5059(t - dt) + (Upr4 - TingkatKematianlogging5 - Upg5 - Teb_5059) *dtINIT KD5059 = 5INFLOWS:Upr4 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d4-0.00012*(d4)^2)*KD4049OUTFLOWS:TingkatKematianlogging5 = if Panen>0 then 8/100*KD5059 else 0Upg5 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d5-0.00012*(d5)^2)*KD5059Teb_5059 = if mod(time,Daur)=0 then 0.8*KD5059 else 0KD60up(t) = KD60up(t - dt) + (Upg5 - Teb_60up - TingkatKematianlogging6) * dtINITKD60up = 6INFLOWS:Upg5 = (0.214-0.00235*LBDSTot+0.00925*d5-0.00012*(d5)^2)*KD5059OUTFLOWS:Teb_60up = if mod(time,Daur)=0 then 0.8*KD60up else 0TingkatKematianlogging6 = if Panen>0 then 6/100*KD60up else 0D1 = 0.15, D2 = 0.25, D3 = 0.35, D4 = 0.45, D5 = 0.55, D6 = 0.65Daur = 0LBDSTot = ((0.25)*3.14*(D1)^2)*KD1019+((0.25)*3.14*(D2)^2)*KD2029+((0.25)*3.14*(D3)^2)*KD3039+((0.25)*3.14*(D4)^2)*KD4049+((0.25)*3.14*(D5)^2)*KD5059+((0.25)*3.14*(D6)^2)*KD60upNHA = KD1019+KD2029+KD3039+KD4049+KD5059+KD60upPanen = Teb_4049+Teb_5059+Teb_60up

Page 71: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

57

PendugaanVolume_60up = 0.25*3.14*(60/100)^2*20*0.7Pendugaan_Vol_4049 = 0.25*3.14*(40/100)^2*15*0.7Pendugaan_vol_5059 = 0.25*3.14*(50/100)^2*17*0.7Vol_Teb_4049 = Pendugaan_Vol_4049*Teb_4049Vol_Teb_5059 = Pendugaan_vol_5059*Teb_5059Vol_teb_60up = Teb_60up*PendugaanVolume_60up

2. Sub Model Pendugaan Stok KarbonC_KD1019 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D1019)))))/1000*KD1019C_KD2029 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D2029)))))/1000*KD2029C_KD3039 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D3039)))))/1000*KD3039C_KD4049 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D4049)))))/1000*KD4049C_KD5059 = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D5059)))))/1000*KD5059C_KD60up = 0.5*(EXP((-2.134+2.53*(LOGN(D60up)))))/1000*KD60upC_tot= C_KD1019+C_KD2029+C_KD3039+C_KD4049+C_KD5059+C_KD60upD1019 = 15, D2029 = 25, D3039 = 35, D4049 = 45, D5059 = 55, D60up = 65

3. Sub Model PendapatanBCR = if mod(time,Daur)=0 then ((Penerimaan/Pengeluaran)/(1+SukuBunga)^Daur) else 0BiayaBinHut =Gaji&Tunjangan+ITT+Operasional_&_adm_camp+PAK+Pemeliharaan_Tanaman+Penjarangan+Penyusunan_RKT+PerlindunganHutan+PersemaianPembibitan+Rehabilitasi_lahan+PenanamanPengayaanBiaya_Pemanenan = if PenebanganCL>0 thenDR&IHH+InspeksiBlok+ITSP+KontruksiJalanSarad+MuatBongkar+PenandaanJalanSarad+Penebangan+Pengangkutan+Pengupasan_kulit+Pengapalan+PerencanaanOperasionalPemanenan+DR&IHH+Penyaradan+PWH+Pembagian_batang else 0Biaya_Tetap = if mod(time,5)=0 thenBinaDesa+Pelatihan+PBB+Pengamanan_Hutan+PemeliharaaanJalan+PemeliharaanAlatBangunan+Pemeliharaan_tata_batas else 0BinaDesa = 300000DR&IHH = 2248285Gaji&Tunjangan = 3579150HargaKayuB = 2000000InspeksiBlok = 430000ITSP = 130000ITT = if mod(time,Daur+1)=0 then 150000 else 0KontruksiJalanSarad = 237100MuatBongkar = 968068NPV_Conv = if mod(time,Daur)=0 then ((Penerimaan-Pengeluaran)/(1+SukuBunga)^Daur)else 0Operasional_&_adm_camp = 3622235PAK = if mod(time,Daur+2)=0 then 110000 else 0PBB = 581500Pelatihan = 292000Pembagian_batang = 398616PemeliharaaanJalan = 326400PemeliharaanAlatBangunan = 870000Pemeliharaan_Tanaman = if mod(time,Daur+5)=0 then 101000 else 0Pemeliharaan_tata_batas = 271000PenanamanPengayaan = if mod(time,Daur+4)=0 then 571914 else 0PenandaanJalanSarad = 112000Penebangan = 1708356PenebanganCL = Teb_4049+Teb_5059+Teb_60upPenerimaan = HargaKayuB*(Vol_Teb_4049+Vol_Teb_5059+Vol_teb_60up)Pengamanan_Hutan = 142050Pengangkutan = 740288Pengapalan = 455562

Page 72: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

58

Pengeluaran = Biaya_Pemanenan+BiayaBinHut+Biaya_TetapPengupasan_kulit = 341671Penjarangan = if mod(time,Daur+5)=0 then 43690 else 0Penyaradan = 1081959Penyiapan_lahan = if mod(time,Daur+1)=0 then 160000 else 0Penyusunan_RKT = 30000PerencanaanOperasionalPemanenan = 300861PerlindunganHutan = 1500PersemaianPembibitan = if mod(time,Daur+2)=0 then 230000 else 0PWH = 654000Rehabilitasi_lahan = if mod(time,Daur+3)=0 then 50000 else 0SukuBunga = 0.10

4. Sub Model Pendapatan Karbon dengan Plan Vivo StandardBCR_C = if Mod(time,Daur_Valid&Ver)=0 then(Income_c/Cost_C)/(1+SukuBunga)^Daur_Valid&Ver else 0Biaya_VVS[Validation] = if mod(time,0)=Daur_Valid&Ver then 12500 else 0Biaya_VVS[Verification] = if mod(time,0)=Daur_Valid&Ver then 30000 else 0Biaya_VVS[C_Certification] = 0.3Cost_C =((Biaya_VVS[Validation]+Biaya_VVS[Verification]+(Biaya_VVS[C_Certification]*C_tot))*8500)+Biaya_TetapC_Price = 5*8500Daur_Valid&Ver = 5Income_c = C_Price*C_totNPV_C = if Mod(time,Daur_Valid&Ver)=0 then (Income_c-Cost_C)/(1+SukuBunga)^Daur_Valid&Ver else 0

5. Sub Model Usaha Sarang SemutBCR_SS = ((Pendapatan/biaya)/(1+SukuBunga)^waktu)Biaya = Kemasan+Olah+Pemasaranharga_simplisia = 65000Kemasan = 10000*simplisia_KgperThKeuntungan = Pendapatan-BiayaNPV_SS = ((Pendapatan-biaya)/(1+SukuBunga)^waktu)Olah = 10000*simplisia_KgperThPemasaran = 15000*simplisia_KgperThPendapatan = simplisia_KgperTh*harga_simplisiasimplisia_KgperTh = 30*12waktu = 5

6. Sub Model Usaha Minyak lawangbahan_bakar = 654000BCR_minyak = ((pendapatan_minyak/Biaya_1Ha)/(1+SukuBunga)^Jk_waktu)Biaya_1Ha =bahan_bakar+cacah+kemas+kupas_kulit+pemasaran_minyak+penyulingan+Sortir+upah_pekerjacacah = 273000harga_per_mL = 500hasil_suling = 15*Produksi_per_haJk_waktu = 5kemas = 290000kupas_kulit = 197400NPV_Minyak = ((pendapatan_minyak-Biaya_1Ha)/(1+SukuBunga)^Jk_waktu)pemasaran_minyak = 125700pendapatan_minyak = harga_per_mL*hasil_sulingpenyulingan = 769400, Produksi_per_ha = 1050, Sortir = 97000, upah_pekerja = 930000

Page 73: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

59

7. Sub Model Usaha SaguBagi_btg = 398616BCR_sagu = ((Pendapatan_sagu/Biaya_perHa)/(1+SukuBunga)^Jangka_waktu)Biaya_perHa =Bagi_btg+cacah_empulur+Kemas_sari_buah_merah+Pemasaran_buah+Penebangan_2+pengeringan+penghalusan+penyaringan+pisah_paticacah_empulur = 8600000Harga_perKg = 3000hasil_perbtg = 200Jangka_waktu = 5Kemas_sari_buah_merah = 1240000NPV_sagu = ((Pendapatan_sagu-Biaya_perHa)/(1+SukuBunga)^Jangka_waktu)panen_per_ha = 86Pemasaran_buah = 1240000Pendapatan_sagu = panen_per_ha*hasil_perbtg*Harga_perKgPenebangan_2 = 1708356pengeringan = 2475000penghalusan = 5982700penyaringan = 3524000pisah_pati = 2017000

Page 74: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

60

Lampiran 4. Rekapitulasi pertumbuhan tegakan secara periodik pada hutan bekas tebangan

No Nama Lokal Kel Jenis Jenis Diameter Tbc KD Diameter Tbc KD Diameter Tbc KD

1 Libani Kel Rimba Campuran ND 89,5 34,6 60up 89,8 35 60up 90,4 35,6 60up

2 Matoa Kel Meranti D 10 13,1 10-19 10,9 14 10-19 11,7 15,1 10-19

3 Binuang Kel Rimba Campuran ND 52 39,5 50-59 52,8 40 50-59 53,5 40,5 50-59

4 Merbau Kel Meranti D 10,8 18,5 10-19 11,7 19 10-19 12,25 20,1 10-19

5 Jambu Kel Rimba Campuran ND 11,4 16 10-19 12,1 16,5 10-19 12,95 17,2 10-19

6 Matoa Kel Meranti D 15 16,4 10-19 15,67 17 10-19 16,07 17,65 10-19

7 Bipa Kel Rimba Campuran ND 18 18,6 10-19 18,75 19 10-19 19,35 20,1 10-19

8 Malas Kel Non Komersil NK 14 16,9 10-19 14,39 17,5 10-19 15,09 18 10-19

9 dahu Kel Kayu Indah ND 14,5 22,5 10-19 15,3 23 10-19 16,1 23,8 10-19

10 Libani Kel Rimba Campuran ND 10,9 20 10-19 11,8 21 10-19 12,5 21,8 10-19

11 Mersawa Kel Meranti D 16,8 29,4 10-19 17,7 30 10-19 18,3 30,6 10-19

12 Libani Kel Rimba Campuran ND 43 25,3 40-49 43,5 26 40-49 44,3 26,8 40-49

13 Mersawa Kel Meranti D 10,5 14,6 10-19 11,2 15 10-19 12,1 15,93 10-19

14 Matoa Kel Meranti D 15,8 33,6 10-19 16,3 34 10-19 16,87 34,5 10-19

15 Matoa Kel Meranti D 22,8 15,5 20-29 23,6 16 20-29 24,35 16,92 20-29

16 Kenari Kel Meranti D 13,6 16,3 10-19 14,2 17 10-19 15,1 18 10-19

17 Matoa Kel Meranti D 58,7 19 50-59 59,3 19,5 50-59 59,8 20,3 50-59

18 Malas Kel Non Komersil NK 10,8 22,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

19 Matoa Kel Meranti D 36 21,5 30-39 36,6 22 30-39 37,4 22,91 30-39

20 Mersawa Kel Meranti D 24,6 32,5 20-29 25,45 33 20-29 26,05 33,8 20-29

21 Malas Kel Non Komersil NK 20,6 18 20-29 21,5 18,5 20-29 21,9 19,6 20-29

22 Pala Hutan Kel Rimba Campuran ND 11 20,5 10-19 12 21 10-19 12,57 21,9 10-19

23 Matoa Kel Meranti D 10,6 23 10-19 11,4 23,5 10-19 12,2 24 10-19

24 Merbau Kel Meranti D 20,3 23 20-29 21 23,5 20-29 21,6 24 20-29

25 Resak Kel Meranti D 21 23,4 20-29 21,83 24 20-29 22,45 24,7 20-29

26 Libani Kel Rimba Campuran ND 24,1 24,5 20-29 24,9 25 20-29 25,1 25,8 20-29

27 Jambu Kel Rimba Campuran ND 19,7 20,5 10-19 20,1 21,4 20-29 21,8 23 20-29

28 Hopea Kel Meranti D 17,1 27,6 10-19 17,67 28 10-19 18,07 28,8 10-19

29 Merbau Kel Meranti D 30,1 24,5 30-39 30,75 25 30-39 31,35 26,4 30-39

30 Merbau Kel Meranti D 13,2 32,5 10-19 14 33 10-19 14,57 33,86 10-19

31 Libani Kel Rimba Campuran ND 18,9 11,6 10-19 19,3 12 10-19 20,1 12,57 20-29

32 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 16 15,5 10-19 16,73 16 10-19 17,35 16,8 10-19

33 Terentang Kel Rimba Campuran ND 11 14,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

34 Resak Kel Meranti D 10 13,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

35 Merbau Kel Meranti D 25,7 20 20-29 26,5 20,9 20-29 27,3 21,6 20-29

36 Malas Kel Non Komersil NK 11,9 18,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

37 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 13 21,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

38 Resak Kel Meranti D 31 15 30-39 31,7 15,8 30-39 32,25 16,56 30-39

39 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 13,6 9,2 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

40 Merbau Kel Meranti D 27,8 17 20-29 28,5 17,5 20-29 29,4 18,25 20-29

41 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,4 10,3 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

42 Hopea Kel Meranti D 10 13,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

43 Hopea Kel Meranti D 10 13,8 10-19 10,83 14,5 10-19 11,4 15,2 10-19

44 Hopea Kel Meranti D 45,3 18,5 40-49 46 19 40-49 46,8 19,85 40-49

45 Merbau Kel Meranti D 26,9 10,5 20-29 27,6 11 20-29 28,1 11,84 20-29

46 Matoa Kel Meranti D 14,5 17,5 10-19 15,2 18 10-19 16,1 18,9 10-19

Page 75: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

61

47 Libani Kel Rimba Campuran ND 41,2 14,5 40-49 42 15 40-49 42,5 15,6 40-49

48 Matoa Kel Meranti D 12,5 18,6 10-19 13,07 19 10-19 13,72 20 10-19

49 Sindur Kel Kayu Indah ND 12 19,1 10-19 12,7 20,8 10-19 13,3 21,2 10-19

50 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 13,2 17,6 10-19 14,1 18 10-19 14,75 18,67 10-19

51 Merbau Kel Meranti D 17 15,4 10-19 17,39 16 10-19 18,09 17 10-19

52 Merbau Kel Meranti D 28,8 13,5 20-29 29,4 14 20-29 30,1 14,8 30-39

53 Resak Kel Meranti D 12 14 10-19 12,65 14,8 10-19 13,35 15,3 10-19

54 Hopea Kel Meranti D 10 15,6 10-19 10,5 16 10-19 11 16,8 10-19

55 Matoa Kel Meranti D 24,4 8 20-29 25 8,75 20-29 25,5 9,75 20-29

56 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 13,9 22,5 10-19 14,5 23 10-19 15,3 23,6 10-19

57 Pulai Kel Meranti D 12 24 10-19 12,65 24,75 10-19 13,45 25,45 10-19

58 Matoa Kel Meranti D 14,8 9,1 10-19 15,45 9,85 10-19 16,25 10,5 10-19

59 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 17,4 11,5 10-19 18 12 10-19 18,67 13 10-19

60 Matoa Kel Meranti D 13 15,5 10-19 13,8 16 10-19 14,6 16,9 10-19

61 Merbau Kel Meranti D 31 18 30-39 31,7 18,5 30-39 32,5 19,6 30-39

62 Merbau Kel Meranti D 11 18,1 10-19 12 18,5 10-19 12,74 19,4 10-19

63 Binuang Kel Rimba Campuran ND 10,51 15,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

64 Merbau Kel Meranti D 20,73 8,5 20-29 21,53 9 20-29 22,28 9,65 20-29

65 Dahu Kel Kayu Indah ND 13,4 10,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

66 Mersawa Kel Meranti D 11 13,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

67 Merbau Kel Meranti D 12,2 12,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

68 Matoa Kel Meranti D 12,2 23,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

69 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11 11,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

70 Mersawa Kel Meranti D 13 15,5 10-19 13,87 16 10-19 14,52 16,78 10-19

71 Matoa Kel Meranti D 31,4 32,4 30-39 32,1 33 30-39 32,7 33,8 30-39

72 Binuang Kel Rimba Campuran ND 13 10,5 10-19 13,78 11 10-19 14,38 11,92 10-19

73 Hopea Kel Meranti D 11,8 13,5 10-19 12,7 14 10-19 13,4 15 10-19

74 Malas Kel Non Komersil NK 43,4 20,4 40-49 44,12 21 40-49 44,84 21,8 40-49

75 Malas Kel Non Komersil NK 10 15,4 10-19 10,86 16 10-19 11,42 16,74 10-19

76 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,7 11,5 20-29 21,3 12 20-29 22 12,7 20-29

77 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,2 12 10-19 11 12,5 10-19 11,9 13,2 10-19

78 Simpur Kel Rimba Campuran ND 61,7 32,5 60up 62,1 33 60up 62,4 33,5 60up

79 Matoa Kel Meranti D 13,4 14,5 10-19 13,97 15 10-19 14,57 15,63 10-19

80 Matoa Kel Meranti D 12,4 15,5 10-19 13,1 16 10-19 13,92 16,9 10-19

81 Binuang Kel Rimba Campuran ND 30 17,5 30-39 30,9 18 30-39 31,7 19 30-39

82 Matoa Kel Meranti D 22,1 22,4 20-29 22,81 23 20-29 23,67 23,8 20-29

83 Simpur Kel Rimba Campuran ND 13,8 13 10-19 14,5 13,5 10-19 15,23 14,3 10-19

84 Matoa Kel Meranti D 34,5 12,5 30-39 35,1 13 30-39 35,85 13,8 30-39

85 Mersawa Kel Meranti D 11,37 17,5 10-19 11,97 18 10-19 12,54 18,9 10-19

86 Mersawa Kel Meranti D 25,7 10,6 20-29 26,57 11 20-29 27,45 11,5 20-29

87 Matoa Kel Meranti D 10,67 12 10-19 11,21 12,5 10-19 11,96 13,1 10-19

88 Malas Kel Non Komersil NK 14 13,5 10-19 14,75 14 10-19 15,55 14,8 10-19

89 Malas Kel Non Komersil NK 12,9 8,1 10-19 13,6 8,5 10-19 14,5 8,35 10-19

90 Sukun Kel Rimba Campuran ND 10,1 11,5 10-19 10,9 12 10-19 11,8 13 10-19

Page 76: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

62

91 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11,27 12,3 10-19 11,77 13 10-19 12,3 13,83 10-19

92 Merbau Kel Meranti D 20,4 17,6 20-29 21 18 20-29 21,8 18,76 20-29

93 Cempaka Kel Kayu Indah ND 11,7 10 10-19 12,61 10,5 10-19 13,35 11,23 10-19

94 Matoa Kel Meranti D 30,8 15,5 30-39 31,52 16 30-39 32,4 16,91 30-39

95 Malas Kel Non Komersil NK 10 14,6 10-19 10,8 15 10-19 11,5 15,6 10-19

96 Jambu Kel Rimba Campuran ND 10,4 11,6 10-19 11,25 12 10-19 12,05 12,52 10-19

97 Mendarahan Kel Rimba Campuran ND 32,1 15,6 30-39 33 16 30-39 33,7 16,74 30-39

98 Matoa Kel Meranti D 15,2 13,4 10-19 16 14 10-19 16,9 14,82 10-19

99 Mersawa Kel Meranti D 28 16 20-29 28,63 16,5 20-29 29,33 17,4 20-29

100 Dahu Kel Kayu Indah ND 10,1 17,6 10-19 11 18 10-19 11,8 18,9 10-19

101 Libani Kel Rimba Campuran ND 12,4 14,5 10-19 13,27 15 10-19 13,97 15 10-19

102 Matoa Kel Meranti D 14,1 17,5 10-19 14,92 18 10-19 15,72 18,57 10-19

103 Matoa Kel Meranti D 26,8 17,6 20-29 27,54 18 20-29 28,34 18,9 20-29

104 Sukun Kel Rimba Campuran ND 41,1 21 40-49 41,6 21,78 40-49 42,2 22,48 40-49

105 Merbau Kel Meranti D 10,7 25,6 10-19 11,5 26 10-19 12,43 26,5 10-19

106 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 23,4 11 20-29 24,13 11,5 20-29 24,9 12,15 20-29

107 Bipa Kel Rimba Campuran ND 20,8 17,4 20-29 21,55 18 20-29 Mati Mati Mati

108 Hopea Kel Meranti D 11,3 12 10-19 12,2 12,5 10-19 13,1 13,4 10-19

109 Dahu Kel Kayu Indah ND 38,1 9 30-39 39 9,5 30-39 39,86 10,35 30-39

110 Mersawa Kel Meranti D 11,34 13,5 10-19 11,94 14 10-19 12,9 15,1 10-19

111 Simpur Kel Rimba Campuran ND 24,8 14,5 20-29 25,37 15 20-29 25,79 15,86 20-29

112 Libani Kel Rimba Campuran ND 12 23,6 10-19 12,67 24 10-19 13,52 24,9 10-19

113 Hopea Kel Meranti D 13 17,5 10-19 13,82 18 10-19 14,46 19,1 10-19

114 Mersawa Kel Meranti D 10,1 12,2 10-19 10,9 12,6 10-19 11,65 13,35 10-19

115 Mersawa Kel Meranti D 13 13,4 10-19 13,57 14 10-19 14,35 14,67 10-19

116 Matoa Kel Meranti D 56,6 13 50-59 57 13,5 50-59 57,5 14,3 50-59

117 Hopea Kel Meranti D 12,74 16,5 10-19 13,09 17 10-19 13,84 17,73 10-19

118 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10 14,5 10-19 10,8 15,4 10-19 11,5 16,2 10-19

119 Matoa Kel Meranti D 53,5 16,5 50-59 54 17 50-59 54,4 17,89 50-59

120 Matoa Kel Meranti D 14 13 10-19 14,54 13,5 10-19 15,19 14,3 10-19

121 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11,6 15,6 10-19 12,4 16 10-19 13,12 16,62 10-19

122 Malas Kel Non Komersil NK 11,1 20,5 10-19 12 21 10-19 12,8 22 10-19

123 Merbau Kel Meranti D 10,9 10,8 10-19 11,7 11,7 10-19 12,15 12,3 10-19

124 Libani Kel Rimba Campuran ND 21,7 16,6 20-29 22,5 17 20-29 23,2 18 20-29

125 Merbau Kel Meranti D 68,4 40,5 60up 68,6 41 60up 68,9 41,4 60up

126 Terentang Kel Rimba Campuran ND 10 16,5 10-19 10,49 17 10-19 11,34 18 10-19

127 Cempaka Kel Kayu Indah ND 12,5 16,5 10-19 13,34 17 10-19 14,04 17,8 10-19

128 Mersawa Kel Meranti D 10 20,5 10-19 10,75 21 10-19 11,35 21,7 10-19

129 Sukun Kel Rimba Campuran ND 12,4 30,5 10-19 13,3 31 10-19 14,05 31,4 10-19

130 Simpur Kel Rimba Campuran ND 41,2 24 40-49 41,8 25,1 40-49 42,2 25,94 40-49

131 Malas Kel Non Komersil NK 28,8 8 20-29 30 8,5 30-39 30,8 9,4 30-39

132 Lulu Kel Rimba Campuran ND 43,8 24,5 40-49 44,1 25 40-49 44,7 25,8 40-49

133 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10,4 20,5 10-19 11,2 21 10-19 11,95 21,76 10-19

134 Matoa Kel Meranti D 26,9 17,5 20-29 27,7 18 20-29 28,52 18,84 20-29

Page 77: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

63

135 Mersawa Kel Meranti D 41,2 23,4 40-49 42 24 40-49 42,6 25,1 40-49

136 Matoa Kel Meranti D 14,3 12,3 10-19 15,1 12,7 10-19 15,75 13,5 10-19

137 Hopea Kel Meranti D 10,8 17,5 10-19 11,64 18 10-19 12,4 18,9 10-19

138 Mersawa Kel Meranti D 13,2 24,5 10-19 13,62 25 10-19 14,19 25,6 10-19

139 Libani Kel Rimba Campuran ND 30,4 18,4 30-39 31 19 30-39 31,6 19,82 30-39

140 Nyatoh Kel Meranti D 16,2 10,5 10-19 16,9 11 10-19 17,5 12 10-19

141 Matoa Kel Meranti D 14,81 19,5 10-19 15,29 20 10-19 Mati Mati Mati

142 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 44,6 22 40-49 45 22,8 40-49 45,7 23,4 40-49

143 Merbau Kel Meranti D 34,3 11 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

144 Malas Kel Non Komersil NK 22,2 11 20-29 23,05 11,7 20-29 23,75 12,54 20-29

145 Merbau Kel Meranti D 23,4 21 20-29 24,13 21,5 20-29 24,85 22,3 20-29

146 Merbau Kel Meranti D 48,5 18,2 40-49 49 18,5 40-49 49,5 19,4 40-49

147 Matoa Kel Meranti D 11,27 12,4 10-19 11,94 12,83 10-19 12,67 13,4 10-19

148 Sindur Kel Kayu Indah ND 55,9 25,2 50-59 56,42 26,1 50-59 57,08 26,76 50-59

149 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 16 19,4 10-19 16,78 20 10-19 17,31 21,1 10-19

150 Merbau Kel Meranti D 28 17 20-29 28,91 17,5 20-29 29,72 18,3 20-29

151 Malas Kel Non Komersil NK 23,1 16,4 20-29 23,75 17 20-29 24,55 17,83 20-29

152 Merbau Kel Meranti D 10,3 16,4 10-19 11,1 17 10-19 Mati Mati Mati

153 Jambu Kel Rimba Campuran ND 11 20,5 10-19 11,76 21 10-19 12,56 22 10-19

154 Bipa Kel Rimba Campuran ND 16 13,2 10-19 16,57 13,6 10-19 17,15 14,23 10-19

155 Matoa Kel Meranti D 10,2 17,6 10-19 10,9 18 10-19 11,63 19 10-19

156 Dahu Kel Kayu Indah ND 40,1 12,5 40-49 40,7 13 40-49 41,1 13,78 40-49

157 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,4 25,5 10-19 11,2 26 10-19 12,06 26,7 10-19

158 Matoa Kel Meranti D 21,2 12,5 20-29 22,1 13 20-29 22,83 13,5 20-29

159 Matoa Kel Meranti D 10,2 15,4 10-19 11,05 16 10-19 11,85 17 10-19

160 Matoa Kel Meranti D 12,1 13,5 10-19 13 14 10-19 13,57 14,06 10-19

161 Merbau Kel Meranti D 24,8 12,4 20-29 25,65 13 20-29 26,4 13,82 20-29

162 Terentang Kel Rimba Campuran ND 21,6 31,5 20-29 22,34 32 20-29 23,19 32,8 20-29

163 Terentang Kel Rimba Campuran ND 12 17,4 10-19 12,57 18 10-19 13,23 18,9 10-19

164 Matoa Kel Meranti D 14,2 9,5 10-19 14,9 10 10-19 15,62 10,93 10-19

165 Merbau Kel Meranti D 89,5 33,9 60up 90 34,6 60up 90,4 35 60up

166 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 11,2 11,2 10-19 12,1 12,6 10-19 12,65 13,1 10-19

167 Malas Kel Non Komersil NK 12 12 10-19 12,85 12,78 10-19 13,45 13,68 10-19

168 Matoa Kel Meranti D 10,2 10,6 10-19 10,86 11 10-19 11,57 11,91 10-19

169 Medang Kel Meranti D 41,4 11,5 40-49 42 12,4 40-49 42,6 13 40-49

170 Matoa Kel Meranti D 16,9 17,5 10-19 17,5 18,2 10-19 18,35 19 10-19

171 Matoa Kel Meranti D 18,03 17,6 10-19 18,31 18 10-19 19,06 18,9 10-19

172 Nyatoh Kel Meranti D 37 10,5 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

173 Simpur Kel Rimba Campuran ND 12 11,4 10-19 12,57 12 10-19 13,99 12,87 10-19

174 Pulai Kel Meranti D 10 14,6 10-19 10,9 15,1 10-19 11,75 15,9 10-19

175 Bipa Kel Rimba Campuran ND 21,1 32,4 20-29 21,9 33 20-29 22,7 33,8 20-29

176 Matoa Kel Meranti D 13,2 15,4 10-19 14 16 10-19 14,66 16,65 10-19

177 Merbau Kel Meranti D 45,7 13 40-49 46,2 13,67 40-49 46,9 14,52 40-49

178 Cempaka Kel Kayu Indah ND 13,9 21,4 10-19 14,7 22 10-19 15,3 23 10-19

Page 78: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

64

179 Matoa Kel Meranti D 20 15,5 20-29 20,42 16 20-29 21,12 16,59 20-29

180 Matoa Kel Meranti D 10,6 17 10-19 11,13 17,5 10-19 11,78 18,5 10-19

181 Merbau Kel Meranti D 12,1 21,6 10-19 13 22 10-19 13,4 22,9 10-19

182 Merbau Kel Meranti D 40 20,6 40-49 40,4 21 40-49 40,9 22 40-49

183 Merbau Kel Meranti D 10,7 9,6 10-19 11,54 10,35 10-19 12,29 11,23 10-19

184 Mersawa Kel Meranti D 11,8 14,6 10-19 12,3 15 10-19 13 16 10-19

185 Pulai Kel Meranti D 23,5 19,4 20-29 24,2 20 20-29 24,83 20,65 20-29

186 Medang Kel Meranti D 13,2 9,5 10-19 14 10,23 10-19 14,58 11,08 10-19

187 Merbau Kel Meranti D 39 34,6 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

188 Mersawa Kel Meranti D 10,4 17 10-19 11,23 17,84 10-19 12,08 18,74 10-19

189 Dahu Kel Kayu Indah ND 20,9 31,8 20-29 21,55 32,5 20-29 22,25 33,4 20-29

190 Malas Kel Non Komersil NK 13 16,5 10-19 13,41 17 10-19 14,06 18,04 10-19

191 Matoa Kel Meranti D 14,6 30,4 10-19 15,2 30,7 10-19 16,12 31,2 10-19

192 Merbau Kel Meranti D 35,6 20 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

193 Dahu Kel Kayu Indah ND 17 12,2 10-19 17,42 12,5 10-19 18,15 13,34 10-19

194 Hopea Kel Meranti D 23,4 20,5 20-29 24,1 21 20-29 24,8 21,8 20-29

195 Hopea Kel Meranti D 15,3 19,5 10-19 15,86 20 10-19 16,68 21,1 10-19

196 Matoa Kel Meranti D 10 23,5 10-19 10,9 24 10-19 11,5 24,7 10-19

197 Matoa Kel Meranti D 31,1 19,5 30-39 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

198 Mersawa Kel Meranti D 11,2 14,2 10-19 11,74 14,5 10-19 12,39 15,42 10-19

199 Hopea Kel Meranti D 10,7 16,5 10-19 11,15 17 10-19 11,95 17,9 10-19

200 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,2 21,5 10-19 14,9 22 10-19 15,6 22,6 10-19

201 Bipa Kel Rimba Campuran ND 27,2 19,5 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

202 Mersawa Kel Meranti D 10,2 10,6 10-19 11,76 11 10-19 12,3 12 10-19

203 Mersawa Kel Meranti D 10 13,4 10-19 10,8 13,7 10-19 11,5 14,3 10-19

204 Binuang Kel Rimba Campuran ND 23,4 25 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

205 Hopea Kel Meranti D 22,3 30,2 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

206 Matoa Kel Meranti D 16 11,3 10-19 16,57 12 10-19 17,23 12,72 10-19

207 Hopea Kel Meranti D 16,7 20,4 10-19 17,35 20,6 10-19 18,13 21,5 10-19

208 Simpur Kel Rimba Campuran ND 10,3 19 10-19 11,12 19,5 10-19 11,82 20,3 10-19

209 Libani Kel Rimba Campuran ND 10,1 18,5 10-19 11 19 10-19 11,8 19,6 10-19

210 Matoa Kel Meranti D 10 16,5 10-19 10,8 17 10-19 11,5 17,7 10-19

211 Matoa Kel Meranti D 12 24,5 10-19 12,81 25 10-19 13,56 25,7 10-19

212 Matoa Kel Meranti D 27,8 17,6 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

213 Pulai Kel Meranti D 15,8 29,5 10-19 16,3 30 10-19 17 30,5 10-19

214 Resak Kel Meranti D 16,8 18,5 10-19 17,55 18,9 10-19 18,32 19,4 10-19

215 Hopea Kel Meranti D 10,3 19,4 10-19 11,14 20 10-19 11,93 20,6 10-19

216 Simpur Kel Rimba Campuran ND 22 16,5 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

217 Jambu Kel Rimba Campuran ND 14,33 13,5 10-19 15,13 14 10-19 15,98 15 10-19

218 Mersawa Kel Meranti D 20,1 18,5 20-29 20,75 19 20-29 21,56 19,67 20-29

219 Matoa Kel Meranti D 14,39 17,6 10-19 15,1 18 10-19 15,75 18,59 10-19

220 Binuang Kel Rimba Campuran ND 34,2 17 30-39 35,4 17,5 30-39 36,21 18,2 30-39

221 Matoa Kel Meranti D 12,29 22,4 10-19 12,77 23 10-19 13,37 23,9 10-19

222 Merbau Kel Meranti D 10,2 17,8 10-19 11,1 18,2 10-19 Mati Mati Mati

Page 79: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

65

223 Libani Kel Rimba Campuran ND 40,4 18,5 40-49 41,1 19 40-49 41,4 19,89 40-49

224 Bipa Kel Rimba Campuran ND 12,9 17,5 10-19 13,34 18 10-19 14,04 18,82 10-19

225 Matoa Kel Meranti D 40,2 29,5 40-49 40,8 30 40-49 41,2 30,5 40-49

226 Merbau Kel Meranti D 21,4 24,4 20-29 21,97 25 20-29 22,75 25,6 20-29

227 Merbau Kel Meranti D 10,2 21 10-19 11,9 21,84 10-19 12,67 22,59 10-19

228 Resak Kel Meranti D 11,2 23,6 10-19 12,04 24,21 10-19 12,86 24,5 10-19

229 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 16,9 19,5 10-19 17,47 20,3 10-19 18,99 21,12 10-19

230 Matoa Kel Meranti D 19,4 23,5 10-19 20,24 24 20-29 21,14 24,5 20-29

231 Simpur Kel Rimba Campuran ND 13,2 19,5 10-19 13,77 20,21 10-19 14,36 20,8 10-19

232 Merbau Kel Meranti D 10,1 21,6 10-19 10,59 22 10-19 11,29 22,7 10-19

233 Merbau Kel Meranti D 12,4 19,6 10-19 13,23 20,5 10-19 13,98 20,6 10-19

234 Malas Kel Non Komersil NK 20,6 11,5 20-29 21,4 12,4 20-29 21,83 13,3 20-29

235 Lulu Kel Rimba Campuran ND 15,7 18,9 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

236 Mersawa Kel Meranti D 14,5 10,5 10-19 15,3 11,12 10-19 16,07 12 10-19

237 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,27 20,5 10-19 11,94 21 10-19 12,56 21,8 10-19

238 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 18,66 13,5 10-19 19,11 14 10-19 19,84 14,78 10-19

239 Resak Kel Meranti D 16,4 16,5 10-19 17,23 16,9 10-19 17,8 17,8 10-19

240 Matoa Kel Meranti D 26,85 14,5 20-29 27,07 15,32 20-29 27,59 15,64 20-29

241 Simpur Kel Rimba Campuran ND 20,13 18,6 20-29 20,7 19,12 20-29 21,1 20 20-29

242 Merbau Kel Meranti D 13,1 12,4 10-19 13,6 13,22 10-19 14,45 14 10-19

243 Mersawa Kel Meranti D 11,6 16,5 10-19 12,52 17,13 10-19 13,29 17,4 10-19

244 Matoa Kel Meranti D 16,2 20,5 10-19 17,1 21,14 10-19 17,78 21,8 10-19

245 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,1 19,4 10-19 14,76 20,2 10-19 15,39 20,9 10-19

246 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,5 23,4 10-19 13,92 24,23 10-19 14,66 24,7 10-19

247 Malas Kel Non Komersil NK 15,3 14 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

248 Merbau Kel Meranti D 34,9 23,6 30-39 35,4 24 30-39 36,12 24,5 30-39

249 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,5 24,5 10-19 13,14 25,1 10-19 14,9 25,5 10-19

250 Cempaka Kel Kayu Indah ND 16,5 20,6 10-19 17,35 21 10-19 18,04 22,1 10-19

251 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,2 17,1 10-19 10,78 17,5 10-19 11,45 18,2 10-19

252 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 12,3 23,5 10-19 13,23 24 10-19 13,8 24,5 10-19

253 Pulai Kel Meranti D 11,3 17,5 10-19 12,1 18 10-19 12,98 18,7 10-19

254 Matoa Kel Meranti D 11,2 13,5 10-19 12,06 14,2 10-19 Mati Mati Mati

255 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10,2 14,3 10-19 11,1 15 10-19 11,92 15,84 10-19

256 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,5 11,6 10-19 14,25 12,4 10-19 14,67 13,32 10-19

257 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 12,4 10-19 11,8 13 10-19 12,5 13,83 10-19

258 Bipa Kel Rimba Campuran ND 30,1 32,6 30-39 30,92 33,12 30-39 31,76 33,4 30-39

259 Dahu Kel Kayu Indah ND 12,4 19,6 10-19 13 20 10-19 13,73 21 10-19

260 Matoa Kel Meranti D 21,94 16,9 20-29 22,29 17 20-29 23,04 17,7 20-29

261 Dahu Kel Kayu Indah ND 13,2 24,5 10-19 14,12 25 10-19 14,68 26 10-19

262 Libani Kel Rimba Campuran ND 10 15,5 10-19 10,56 16 10-19 Mati Mati Mati

263 Matoa Kel Meranti D 14,5 12 10-19 15,4 12,5 10-19 16,23 13 10-19

264 Matoa Kel Meranti D 13,89 16,1 10-19 14,33 16,4 10-19 15,08 17 10-19

265 Sukun Kel Rimba Campuran ND 15,8 23,5 10-19 16,65 24,3 10-19 17,1 24,8 10-19

266 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,4 27,5 10-19 14,12 28 10-19 14,76 28,9 10-19

Page 80: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

66

267 Resak Kel Meranti D 13,4 16,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

268 Dahu Kel Kayu Indah ND 13,4 17,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

269 Resak Kel Meranti D 27,61 15,6 20-29 27,98 16,22 20-29 28,4 17,02 20-29

270 Terentang Kel Rimba Campuran ND 11 19,2 10-19 11,86 20,1 10-19 12,56 20,8 10-19

271 Terentang Kel Rimba Campuran ND 13,5 20,4 10-19 14,1 21 10-19 14,77 21,9 10-19

272 Matoa Kel Meranti D 12,5 29,3 10-19 13,4 30 10-19 14,1 30,6 10-19

273 Hopea Kel Meranti D 15,4 18,7 10-19 16,15 19,2 10-19 16,9 20,2 10-19

274 Jambu Kel Rimba Campuran ND 16,8 12,5 10-19 17,5 13,2 10-19 18,13 14 10-19

275 Resak Kel Meranti D 16,8 19 10-19 17,35 19,78 10-19 18,25 20,4 10-19

276 Matoa Kel Meranti D 13,4 17 10-19 14,15 17,5 10-19 14,75 17,9 10-19

277 Matoa Kel Meranti D 14,5 22,5 10-19 15,22 23,1 10-19 15,92 24 10-19

278 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 18,9 20 10-19 19,32 21 10-19 20,02 22 20-29

279 Bipa Kel Rimba Campuran ND 20,8 18,5 20-29 21,45 19 20-29 22,3 20,1 20-29

280 Sukun Kel Rimba Campuran ND 12,5 24,9 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

281 Matoa Kel Meranti D 12,8 10 10-19 13,2 10,8 10-19 14,05 11,2 10-19

282 Cempaka Kel Kayu Indah ND 15,8 13 10-19 16,55 13,2 10-19 17,3 14 10-19

283 Resak Kel Meranti D 16,4 21,5 10-19 17,12 22 10-19 17,92 22,5 10-19

284 Sukun Kel Rimba Campuran ND 11,2 19 10-19 12,1 19,4 10-19 12,95 20,1 10-19

285 Bipa Kel Rimba Campuran ND 14,2 31,5 10-19 15 32 10-19 15,87 32,7 10-19

286 Libani Kel Rimba Campuran ND 16,5 34,6 10-19 16,92 35 10-19 17,7 35,4 10-19

287 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 10 17 10-19 10,83 17,5 10-19 11,46 18,12 10-19

288 Malas Kel Non Komersil NK 11,4 29,5 10-19 12,3 30 10-19 13,12 30,4 10-19

289 Merbau Kel Meranti D 25,4 24,5 20-29 26,24 25,2 20-29 27 25,9 20-29

290 Matoa Kel Meranti D 11,5 18,7 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

291 Mersawa Kel Meranti D 14,8 11 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

292 Hopea Kel Meranti D 16,8 28,6 10-19 17,45 29 10-19 18,05 29,7 10-19

293 Pulai Kel Meranti D 10,5 16,9 10-19 11,92 17,1 10-19 12,42 18 10-19

294 Matoa Kel Meranti D 11,2 21,5 10-19 12 22,3 10-19 12,97 22,7 10-19

295 Malas Kel Non Komersil NK 25,35 19,4 20-29 26,12 20 20-29 26,68 20,98 20-29

296 Mersawa Kel Meranti D 20,4 27,4 20-29 21,23 27,7 20-29 21,8 28 20-29

297 Hopea Kel Meranti D 14,5 13,5 10-19 15,27 14,2 10-19 15,9 15,1 10-19

298 Merbau Kel Meranti D 12,2 11,6 10-19 13,2 12 10-19 14,12 12,78 10-19

299 Resak Kel Meranti D 10,5 21,6 10-19 11,4 22,11 10-19 12,2 23 10-19

300 Malas Kel Non Komersil NK 14,6 12,4 10-19 15,57 13 10-19 15,97 13,59 10-19

301 Matoa Kel Meranti D 10,2 34,5 10-19 11 35 10-19 11,7 35,6 10-19

302 Sukun Kel Rimba Campuran ND 10,67 19,9 10-19 11,15 20,2 10-19 11,86 21 10-19

303 Sukun Kel Rimba Campuran ND 16,4 33 10-19 17,2 33,5 10-19 17,82 34,1 10-19

304 Matoa Kel Meranti D 10,2 21,6 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

305 Mersawa Kel Meranti D 19,39 18,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

306 Mersawa Kel Meranti D 13,5 13,4 10-19 14,4 13,9 10-19 15,1 14,8 10-19

307 Mersawa Kel Meranti D 12,3 25,8 10-19 13,12 26,1 10-19 13,97 26,9 10-19

308 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,8 19 10-19 11,5 19,5 10-19 12,25 20 10-19

309 Malas Kel Non Komersil NK 13,5 14,6 10-19 14,42 15,2 10-19 15,32 15,7 10-19

310 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 19 10-19 11,77 19,5 10-19 12,4 20,1 10-19

Page 81: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

67

311 Merbau Kel Meranti D 20,5 24,5 20-29 21,4 25,1 20-29 22,2 26 20-29

312 Dahu Kel Kayu Indah ND 18,66 15,4 10-19 19,17 16,1 10-19 20,02 16,95 20-29

313 Merbau Kel Meranti D 27,1 29 20-29 27,83 29,3 20-29 28,53 30,1 20-29

314 Resak Kel Meranti D 15,6 35 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

315 Resak Kel Meranti D 10,1 15 10-19 10,86 15,68 10-19 11,67 16,18 10-19

316 Resak Kel Meranti D 13,4 21,5 10-19 14,26 22 10-19 15,06 22,8 10-19

317 Resak Kel Meranti D 10,1 15,8 10-19 10,87 16,2 10-19 11,46 17 10-19

318 Simpur Kel Rimba Campuran ND 16,4 20,6 10-19 17,23 21,2 10-19 18,03 22 10-19

319 Bipa Kel Rimba Campuran ND 10,4 18 10-19 11,3 18,5 10-19 12,14 19,2 10-19

320 Hopea Kel Meranti D 16,02 18,5 10-19 16,72 19 10-19 17,44 19,59 10-19

321 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,6 17,9 10-19 15,4 18,2 10-19 16,34 18,8 10-19

322 Merbau Kel Meranti D 16,34 20,5 10-19 16,72 21 10-19 17,5 21,5 10-19

323 Merbau Kel Meranti D 10,2 19,6 10-19 11,05 20 10-19 11,85 20,8 10-19

324 Hopea Kel Meranti D 12,4 10 10-19 13,25 10,5 10-19 14,05 11,3 10-19

325 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 10 24,6 10-19 10,87 25 10-19 11,52 25,5 10-19

326 Dahu Kel Kayu Indah ND 24 20 20-29 24,57 20,3 20-29 25,37 20,72 20-29

327 Libani Kel Rimba Campuran ND 11,2 16,5 10-19 12,1 17 10-19 12,89 17,6 10-19

328 Bintangur Kel Rimba Campuran ND 13,8 24,9 10-19 14,42 25,1 10-19 15,27 25,9 10-19

329 Malas Kel Non Komersil NK 12,29 17 10-19 12,96 17,2 10-19 13,56 18 10-19

330 Matoa Kel Meranti D 18,76 21,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

331 Hopea Kel Meranti D 11,4 16 10-19 12,13 16,5 10-19 12,95 17 10-19

332 Dahu Kel Kayu Indah ND 14,5 15 10-19 15,35 15,2 10-19 15,92 16,1 10-19

333 Resak Kel Meranti D 19,2 8,6 10-19 20,1 9,1 20-29 20,84 9,77 20-29

334 Malas Kel Non Komersil NK 10 19,5 10-19 10,59 20 10-19 11,63 21 10-19

335 Mersawa Kel Meranti D 15,4 18,5 10-19 16,2 19 10-19 17,1 19,4 10-19

336 Pulai Kel Meranti D 19,7 19,5 10-19 20,23 20 20-29 21,18 20,9 20-29

337 Dahu Kel Kayu Indah ND 12,3 11 10-19 13,12 11,5 10-19 13,69 12,11 10-19

338 Mersawa Kel Meranti D 12,3 20,5 10-19 12,95 21 10-19 13,76 21,87 10-19

339 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,4 19 10-19 13,2 19,5 10-19 13,77 20,3 10-19

340 Mersawa Kel Meranti D 79,49 26 60up 79,72 26,5 60up 80,14 27,1 60up

341 Mersawa Kel Meranti D 18,4 19,4 10-19 19,15 20,1 10-19 19,95 21 10-19

342 Pulai Kel Meranti D 13,5 19,5 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

343 Mersawa Kel Meranti D 15 17,5 10-19 15,92 18 10-19 16,72 18,67 10-19

344 Resak Kel Meranti D 33,92 15,4 30-39 34,03 16 30-39 34,88 16,78 30-39

345 Lancat Kel Rimba Campuran ND 25,1 22,2 20-29 25,9 22,7 20-29 26,76 23 20-29

346 Libani Kel Rimba Campuran ND 17,71 29 10-19 18,31 29,5 10-19 19,11 30,23 10-19

347 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 11,4 9 10-19 12,15 9,5 10-19 12,94 10,12 10-19

348 Cempaka Kel Kayu Indah ND 26,7 32,2 20-29 27,3 32,9 20-29 27,9 33,2 20-29

349 Resak Kel Meranti D 17,36 19 10-19 17,62 19,2 10-19 18,04 19,75 10-19

350 Resak Kel Meranti D 18 25,4 10-19 18,7 25,8 10-19 19,6 26,3 10-19

351 Matoa Kel Meranti D 30,45 18 30-39 31,02 18,5 30-39 31,87 19,07 30-39

352 Merbau Kel Meranti D 14,5 25 10-19 15,36 25,5 10-19 16,21 26 10-19

353 Nani Kel Non Komersil NK 15,7 23,3 10-19 16,31 23,72 10-19 17,2 24,12 10-19

354 Sindur Kel Kayu Indah ND 15,6 19 10-19 16,5 19,5 10-19 17,3 20 10-19

Page 82: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

68

355 Merbau Kel Meranti D 20,3 25,4 20-29 21,2 26 20-29 21,92 27 20-29

356 Matoa Kel Meranti D 27,52 17,5 20-29 27,87 18 20-29 28,7 19 20-29

357 Mersawa Kel Meranti D 12,4 12 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

358 Resak Kel Meranti D 17,07 25 10-19 17,52 25,2 10-19 18,4 26 10-19

359 Resak Kel Meranti D 17,9 27,2 10-19 18,52 27,61 10-19 19,27 28,11 10-19

360 Merbau Kel Meranti D 11,3 17 10-19 12,1 17,6 10-19 12,95 18,1 10-19

361 Matoa Kel Meranti D 17,58 24,3 10-19 18,22 24,7 10-19 19,12 25,2 10-19

362 Libani Kel Rimba Campuran ND 13,5 18,9 10-19 14,34 19,2 10-19 15,14 19,9 10-19

363 dahu Kel Kayu Indah ND 24,5 20 20-29 25,35 20,6 20-29 26,05 21,1 20-29

364 Matoa Kel Meranti D 27,26 19 20-29 27,83 19,3 20-29 28,68 20,1 20-29

365 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,4 30,8 20-29 21,3 31,2 20-29 22,1 32 20-29

366 Malas Kel Non Komersil NK 13,4 30,6 10-19 14,1 30,85 10-19 15 31,15 10-19

367 Sindur Kel Kayu Indah ND 12,61 17,5 10-19 13,15 18 10-19 13,95 19 10-19

368 Mersawa Kel Meranti D 20,13 16,6 20-29 20,83 17 20-29 21,4 17,92 20-29

369 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 17,61 26,5 10-19 18,22 27 10-19 18,92 27,5 10-19

370 Matoa Kel Meranti D 16,8 17,6 10-19 17,5 18 10-19 18,3 18,46 10-19

371 Mersawa Kel Meranti D 20,48 29 20-29 21,15 29,5 20-29 21,95 30,1 20-29

372 Merbau Kel Meranti D 10,63 31 10-19 11,97 31,45 10-19 12,82 31,97 10-19

373 Mersawa Kel Meranti D 14,43 26 10-19 15,25 26,5 10-19 15,95 27,2 10-19

374 Matoa Kel Meranti D 14,81 16,1 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

375 Matoa Kel Meranti D 18,34 19 10-19 18,89 19,5 10-19 19,64 20,2 10-19

376 Matoa Kel Meranti D 25,1 30 20-29 25,92 30,2 20-29 26,72 30,7 20-29

377 Matoa Kel Meranti D 14,43 20,4 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

378 Matoa Kel Meranti D 15,16 28,5 10-19 15,86 29 10-19 16,8 29,56 10-19

379 Merbau Kel Meranti D 16,69 24,2 10-19 17,39 24,8 10-19 18,19 25,5 10-19

380 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 12,8 21,5 10-19 13,57 22 10-19 14 22,5 10-19

381 Matoa Kel Meranti D 25,35 30 20-29 26,25 30,67 20-29 26,68 31,07 20-29

382 Nani Kel Non Komersil NK 17,99 16,9 10-19 18,83 17,2 10-19 19,65 17,9 10-19

383 Merbau Kel Meranti D 12,3 20 10-19 13,15 20,5 10-19 13,85 21,4 10-19

384 Bipa Kel Rimba Campuran ND 11 20 10-19 11,74 20,5 10-19 12,34 21,1 10-19

385 Bipa Kel Rimba Campuran ND 16,69 16 10-19 17,02 16,2 10-19 17,87 17 10-19

386 Matoa Kel Meranti D 13,4 19,6 10-19 14,25 20,3 10-19 15,06 20,72 10-19

387 Simpur Kel Rimba Campuran ND 14,6 18,2 10-19 15,5 18,7 10-19 16,35 19,1 10-19

388 Merbau Kel Meranti D 17,93 20 10-19 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

389 Mersawa Kel Meranti D 16,02 11,5 10-19 16,78 12 10-19 17,4 12,57 10-19

390 Dahu Kel Kayu Indah ND 28,09 21,6 20-29 28,59 22 20-29 29,7 23 20-29

391 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 14,5 8,1 10-19 15,3 8,5 10-19 16,12 10 10-19

392 Sindur Kel Kayu Indah ND 17,61 19,8 10-19 17,93 20,5 10-19 18,72 21,1 10-19

393 Resak Kel Meranti D 22,07 16,5 20-29 22,68 16,9 20-29 23,43 17,4 20-29

394 Libani Kel Rimba Campuran ND 28,41 24 20-29 Mati Mati Mati Mati Mati Mati

395 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 20,13 23,5 20-29 20,86 23,92 20-29 21,4 24,32 20-29

396 Terentang Kel Rimba Campuran ND 13,5 20 10-19 14,4 21,2 10-19 15,23 21,62 10-19

397 Cempaka Kel Kayu Indah ND 13,76 20,2 10-19 14,56 20,62 10-19 15,46 21,02 10-19

398 Merbau Kel Meranti D 0 0 12,7 9,5 IN 13,3 10,3 10-19

Page 83: ARNALDO HENDRIX S. - repository.ipb.ac.id · MODEL SIMULASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KARBON (Studi Kasus di PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua)

69

399 Sindur Kel Kayu Indah ND 0 0 11,4 9 IN 12,3 9,8 10-19

400 Ketapang Kel Rimba Campuran ND 0 0 12 10,6 IN 12,57 11,1 10-19

401 Libani Kel Rimba Campuran ND 0 0 12 10 IN 12,5 10,65 10-19

402 Merbau Kel Meranti D 0 0 12,6 9,4 IN 13,1 10 10-19

403 Malas Kel Non Komersil NK 0 0 12,1 10 IN 12,52 10,8 10-19

404 Mersawa Kel Meranti D 0 0 11,4 12,5 IN 11,97 13,4 10-19

405 Dahu Kel Kayu Indah ND 0 0 11,5 9 IN 12 9,6 10-19

406 Hopea Kel Meranti D 0 0 12,2 10,6 IN 12,8 11,2 10-19

407 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 15,1 13,7 IN 15,52 14,5 10-19

408 Matoa Kel Meranti D 0 0 13,3 12 IN 13,71 12,57 10-19

409 Simpur Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 11,5 9 IN

410 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,2 10,6 IN

411 Mersawa Kel Meranti D 0 0 0 0 15,1 13,7 IN

412 Terentang Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 13,3 12 IN

413 Bipa Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 14,5 12,4 IN

414 Pala hutan Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,6 9,4 IN

415 Terentang Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 12,1 10 IN

416 Cempaka Kel Kayu Indah ND 0 0 0 0 11,4 12,5 IN

417 Merbau Kel Meranti D 0 0 0 0 11,5 9 IN

418 Sindur Kel Kayu Indah ND 0 0 0 0 12,2 10,6 IN

419 Resak Kel Meranti D 0 0 0 0 15,1 13,7 IN

420 Resak Kel Meranti D 0 0 0 0 13,3 12 IN

421 Merbau Kel Meranti D 0 0 0 0 14,5 12,4 IN

422 Matoa Kel Meranti D 0 0 0 0 15 13,5 IN

423 Libani Kel Rimba Campuran ND 0 0 0 0 13,8 8,9 IN