arkeologi untuk masyarakat

9
Arkeologi untuk Masyarakat – Masyarakat untuk Arkeologi (Catatan Kecil Seorang Pemerhati untuk IAAI) 3 April 2012 iaaipusat PIA 2011 Arkeologi Publik, Nunus Supardi 1 Komentar Nunus Supardi* “Kebudayaan sebaiknya tidak dibiarkan berjalan, tumbuh dan berkembang tanpa perhatian dan bimbingan, lebih-lebih bila ia diharapkan untuk berperan di dalam pertumbuhan manusia individual dan perkembangan masyarakat di mana manusia tersebut berdiam”. (Prof. Dr. Daoed Joesoef) Pendahuluan Dalam mukadimah Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART) Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) maupun dalam Kode Etik Ahli Arkeologi Indonesia, seorang arkeolog berjanji antara lain menyinggung hubungan antara arkeologi dengan kehidupan masyarakat. Bunyi lengkap mukadimah itu sbb: ”Sebagai warganegara yang menyadari pentingnya warisan budaya nasional, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, dan pemanfaatan bagi kehidupan masyarakat serta untuk memperkukuh jadidiri bangsa, maka ahli arkeologu Indonesia mengabdikan diri pada ilmu dan pengetahuan arkeologi dengan pemikiran, pendekatan, dan cara-cara yang positif ilmiah serta dengan penuh tanggung jawab kepada nusa dan bangsa”. Bertolak dari mukadimah dan bukan sekedar meniru slogan ”Memasyarakatkan Olah Raga dan Mengolahragakan Masyarakat”, lalu membuat judul ”Arkeologi untuk Masyarakat – Masyarakat untuk Arkeologi”, tetapi dalam kenyataan antara arkeologi dan masyarakat dan sebaliknya seharusnya terus menyatu. Bukankah tinggalan masa lalu (kepurbakalaan) itu lahir, besar dan lestari karena pembelaan dan pemuliaan yang dilakukan oleh masyarakat? Bahkan sebaliknya, tinggalan masa lalu itu rusak, hancur, musnah juga dapat terjadi karena kesalahan masyarakat. Hak Masyarakat Salah satu kebutuhan yang menjadi hak setiap anggota masyarakat seperti

Upload: harri-yadi

Post on 29-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

archaeology for society is so important, because the concept arcaeology is archaeology for all.

TRANSCRIPT

Page 1: Arkeologi untuk Masyarakat

Arkeologi untuk Masyarakat – Masyarakat untuk Arkeologi (Catatan Kecil Seorang Pemerhati untuk IAAI)

3 April 2012iaaipusat PIA 2011 Arkeologi Publik, Nunus Supardi 1 Komentar

Nunus Supardi*

“Kebudayaan sebaiknya tidak dibiarkan berjalan, tumbuh dan berkembang tanpa perhatian dan

bimbingan, lebih-lebih bila ia diharapkan untuk berperan di dalam pertumbuhan manusia

individual dan perkembangan masyarakat di mana manusia tersebut berdiam”. (Prof. Dr. Daoed

Joesoef)

Pendahuluan

Dalam mukadimah Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART) Ikatan Ahli Arkeologi

Indonesia (IAAI) maupun dalam Kode Etik Ahli Arkeologi Indonesia, seorang arkeolog berjanji

antara lain menyinggung hubungan antara arkeologi dengan kehidupan masyarakat. Bunyi

lengkap mukadimah itu sbb: ”Sebagai warganegara yang menyadari pentingnya warisan budaya

nasional, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, dan pemanfaatan bagi kehidupan

masyarakat serta untuk memperkukuh jadidiri bangsa, maka ahli arkeologu Indonesia

mengabdikan diri pada ilmu dan pengetahuan arkeologi dengan pemikiran, pendekatan, dan

cara-cara yang positif ilmiah serta dengan penuh tanggung jawab kepada nusa dan bangsa”.

Bertolak dari mukadimah dan bukan sekedar meniru slogan ”Memasyarakatkan Olah Raga dan

Mengolahragakan Masyarakat”, lalu membuat judul ”Arkeologi untuk Masyarakat – Masyarakat

untuk Arkeologi”, tetapi dalam kenyataan antara arkeologi dan masyarakat dan sebaliknya

seharusnya terus menyatu. Bukankah tinggalan masa lalu (kepurbakalaan) itu lahir, besar dan

lestari karena pembelaan dan pemuliaan yang dilakukan oleh masyarakat? Bahkan sebaliknya,

tinggalan masa lalu itu rusak, hancur, musnah juga dapat terjadi karena kesalahan masyarakat.

Hak Masyarakat

Salah satu kebutuhan yang menjadi hak setiap anggota masyarakat seperti yang diamanatkan

oleh pasal 28C ayat (1) UUD 1945 adalah hak memperoleh manfaat dari seni dan budaya. Bunyi

lengkap ayat itu adalah: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi

kesejahteraan umat manusia.” Dalam kaitan dengan judul makalah, fokus manfaat dari

kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi adalah ilmu pengetahuan dan seni budaya

(kepurbakalaan) sebagai bagian dari kebudayaan.

Dalam memenuhi kebutuhan dasar itu telah disahkan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.

Di dalam UU ini secara jelas dinyatakan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga

Page 2: Arkeologi untuk Masyarakat

negara dan penduduknya untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya. Tetapi selama ini

ketika orang berbicara tentang kebijakan publik, perhatian publik sendiri lebih tertuju kepada

pelayanan kebutuhan sandang, pangan, kesehatan masyarakat, kesejahteraan masyarakat,

kesempatan mendapatkan perlindungan keamanan, perlindungan hukum, pelayanan

transportasi, pelayanan administrasi masyarakat dan sebagainya. Boleh dikatakan munculnya

keluhan karena kebutuhan pelayanan masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari bidang

kepurbakalaan masih tergolong kecil dibanding dengan bidang-bidang yang lain.

Tetapi publik sepertinya tidak perduli terhadap ada atau tidak adanya kebijakan pelayanan publik

tentang kepurbakalaan. Selain tidak perduli, publik juga lebih berpandangan masalah kebijakan

pelayanan publik adalah menjadi kewajiban pemerintah semata. Pola pandang seperti ini perlu

diluruskan karena lahirnya kebijakan publik tidak hanya datang dari birokrasi pemerintah,

melainkan dapat pula datang berkat dorongan masyarakat. Dapat datang dari perseorangan,

kelompok, LSM termasuk organisasi profesi seperti organisasi bidang kepurbakalaan.

Selain itu juga diikat dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik. Mendapatkan informasi adalah hak asasi masyarakat dan keterbukaan informasi

merupakan ciri demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan

penyelenggaraan negara yang baik. Untuk melayani hak masyarakat mendapatkan informasi

menjadi kewajiban Badan Publik untuk menyediakan dan/atau menerbitkan informasi Publik

yang berada di bawah kewenangan termasuk lembaga-lembaga yang mengurus Arkeologi

(Pasal 7).

Sementara itu dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diatur tentang pemanfaatan

cagar budaya diamanatkan agar Pemerintah dan Pemerintah daerah memfasilitasi pemanfaatan

BCB untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengtahuan, teknologi, kebudayaan dan

pariwisata (Pasal 85). Mengingat pemanfaatan itu berhubungan dengan masalah kelestarian

BCB maka dalam pemanfaatan itu diatur tentang perizinan pemanfaatannya.

Dalam harian Kompas 20/9/2011 ditulis Pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik

yang berkualitas. Hal yang sama juga dinyatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi, saat melakukan sosialisasi reformasi birokrasi kepada pejabat pemerintah

provinsi di Jakarta, 19/9/2011 yang lalu. Akuntabilitas kinerja instansi perlu pembenahan dan

harus berorientasi pada hasil.

Apa yang ditulis oleh Kompas harus dijadikan dasar dalam melakukan evaluasi terhadap

kesiapan kebudayaan dalam menyediakan bahan informasi pelestarian arkeologi untuk

masyarakat. Kebijakan nasional dalam hal penyebaraan informasi kebudayaan yang pernah

digagas dengan membentuk wadah Pusat Informasi Budaya (1985-an) perlu dilanjutkan dengan

didukung oleh Bagian/Bidang informasi di semua unit kerja kebudayaan, termasuk Direktorat

Jenderal Sejarah dan Purbakala. Segala fasilitas penyebaran informasi harus dimanfaatkan

secara optimal: cetak, elektronik, Internet, pameran, sosilisasi, seminar, dialog dll. Sasaran

sosialisasi diprioritaskan pada generasi muda. Selain itu juga melakukan pelestarian seluruh

sub-disiplin arkeologi (ada pada uraian berikutnya) yang hasilnya dapat dimanfaatkan

masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.

Page 3: Arkeologi untuk Masyarakat

Sub-disiplin Arkeologi

Setiap kali bicara tentang kepurbakalaan (arkeologi) masih ada orang yang belum memahami,

baik mengenai makna, peran dan sub-sub disiplin yang mengiringinya. Untuk memahami semua

itu saya selalu teringat pendapat Prof. Daoed Joesoef. Menurut beliau kajian ilmu yang

mempelajari kehidupan manusia melalui analisis jejak tinggalan budaya masa lalu untuk

menjelaskan asal dan perkembangan suatu peradaban disebut arkeologi. Ilmu arkeologi pada

dasarnya adalah ilmu untuk mengungkap asal usul manusia, termasuk mengungkap asal usul

manusia Indonesia. Dalam melaksanakan misi pengungkapan itu haruslah bekerja sama dengan

ilmu-ilmu yang lain. Menurut Prof. Daoed Yoesoef: “…kalaupun arkeologi tidak bisa sendirian

menjawab sepenuhnya suatu pertanyaan yang sudah dan akan terus mengusik manusia

sepanjang sejarah peradabannya, yaitu ‘sangkan paraning dumadi’ (asal usul dan tujuan

penciptaan), paling sedikitnya disiplin ilmiah yang satu ini diharapkan dapat menjelaskan ‘how

the worlds become’ – bagaimana bumi menjadi human”.

Dapat dibayangkan betapa luasnya cakupan ilmu arkeologi karena ia mengkaji dan menjelaskan

“bagaimana bumi menjadi human”. Berbagai hal yang berkaitan dengan manusia dan

lingkungannya dapat digali datanya melalui arkeologi. Ilmu ini memiliki area pengkajian yang

mencakup seluruh aspek yang dilakukan manusia dalam hidupnya. Ilmu ini mampu mengkaji

‘sangkan paraning dumadi’ bagaimana sistem pemukiman manusia masa lalu (setlement

archaeology), mengkaji hubungan manusia dengan lingkungannya (environment archaeology),

sistem perekonomiannya (economic archaeology) sistem kepercayaan (religion archaeology),

kehidupan sosial (social archaeology), sistem nilai seni (art in archaeology) diaspora manusia

masa lalu (geo-archaeology) sistem industri (industrial archaeology), yang berkaitan dengan

lingkungan air (underwater archaeology) dan lain-lainnya. Pendeknya, ilmu ini memiliki tujuan

yang mulia yakni membuka tabir misteri kehidupan manusia, dan kemudian

merekonstruksikannya ke dalam sejarah kehidupan manusia masa lalu menyambung ke masa

kini. Peran membuka tabir itu berada di tangan arkeolog, sehingga menurut Prof. Dr.

Moendardjito, arkeolog adalah “detektif” masa lalu. Sementara itu, mengenai benda hasil

penelitian arkeolog menurut Prof. Edi Sedyawati: “benda yang berasal dari masa lalu adalah

suatu saksi budaya yang harus diperlakukan dengan ‘penuh hormat’ oleh para peneliti yang

menemukannya di masa kini”. Adalah suatu kaidah baku dalam arkeologi, bahwa segala macam

temuan dari masa lalu, baik temuan dari atas permukaan tanah maupun yang didapat dari

penggalian dan dari bawah air, harus diberlakukan sebagai sangat penting sebelum dapat

dibuktikan bahwa ”tidak penting” – ini pun tidak dengan kriteria yang sewenang-wenang.

Sementara itu, menurut Angelo Guarino dari Kementerian Kebudayaan (Beni Culturali) Italia

setiap material adalah bukti peradaban (Every material evidence of civiliztaion).

Ada beberapa sub-disiplin arkeologi lain yang memiliki kaitan dengan air seperti Maritime

Archaeology, Nautical Archaeology, Naval Archaeology, Wetland Archaeology. Sub-disiplin

Maritime Archaeology (Arkeologi Maritim) mengkaji situs, artefak, tinggalan manusia di

lingkungan laut, danau, aliran sungai baik yang di dalam air maupun di rawa-rawa dan daratan

pesisir. Masih ada beberapa sub-disiplin yang lain tetapi belum begitu populer dibandingkan

dengan sub-disiplin di atas. Ada sub-disiplin yang disebut Riverine Archaeology atau Arkeologi

Page 4: Arkeologi untuk Masyarakat

Sungai, mengkaji situs dan artefak pada lalulintas sungai. Ada pula yang disebut Submerged

Site Archaeology yang mengkaji situs dan artefak yang terjadi akibat terjadi genangan air karena

turunnya permukaan tanah atau naiknya permukaan air (di darat). Adapun sub-disiplin yang lain

adalah Water Saturated Sites, yang mempelajari artefak di rawa-rawa, paya-paya, dan situs

tanah berair lainnya yang terbentuk karena perubahan pada permukaan air karena perubahan

alam atau ulah manusia. Sub-disiplin ini juga sering disebut Wetland Archaeology.

Belakangan muncul sub-disiplin Arkeologi Bawah Air (Underwater Archaeology). Untuk sub-

disiplin Arkeologi Bawah Air (ABA) termasuk disiplin “baru”. Disebut demikian karena artefak

yang terkubur itu tidak berada dalam tanah melainkan di bawah air atau di bawah tanah di

bawah air. Arkeolog yang memiliki perhatian terhadap keberadaan tinggalan budaya di bawah

air adalah George Bass, dari University of Pensylvania. Untuk menjelaskan arkeologi bawah air,

tahun 1960-an Bass menulis buku berjudul Archaeology Underwater. Di sini Bass tidak

menggunakan nomenklatur Underwater Archaeology, seperti yang berkembang sekarang tetapi

Archaeology Underwater. Alasannya karena bila seseorang menggali situs di hutan atau di

padang pasir tidak dinamakan arkeologi hutan atau arkeologi padang pasir (”…people excave in

jungles or deserts, but do not call it jungle or desert archaeology”). Dalam perkembangan

selanjutnya, istilah tersebut tidak dapat dukungan. Orang lebih suka memakai istilah Underwater

Archaeology, dan istilah inilah yang kemudian digunakan orang termasuk UNESCO.

Tampaknya misi kearkeologian selama ini masih lebih menitikberatkan penelitiannya pada

arkeologi di darat. Arkeologi Bawah Air (ABA) dengan segala sub-disiplin ilmunya masih belum

mendapatkan perhatian. Jangan dilupakan, kalau sekarang Indonesia dinyatakan sebagai

“negara kelautan” menggantikan sebutan “negara kepulauan” perhatian terhadap ABA juga

harus ditingkatkan. Perhatian terhadap arkeologi di darat sudah lama dan mempunyai

sumbangan yang besar bagi ilmu-ilmu yang lain. Arkeologi darat sudah mendapatkan perhatian

sejak berdirinya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW);

Oudheidkundige Dienst (OD); dan Java Instituut (JI). Sementara itu perhatian terhadap ABA

mulai muncul setelah terjadi berbagai kasus pengangkatan isi muatan kapal tenggelam secara

ilegal.

Jika Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala ke depan akan meningkatkan pelayanan hasil

pelestarian arkeologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan, maka

pelestarian terhadap sub-disiplin yang lain harus lebih ditingkatkan. Patut diketahui, aktivitas

yang berkenaan dengan kapal tenggelam sebagai bagian dari ABA hampir seluruhnya

berlangsung dengan cara mengabaikan kaidah-kaidah ilmu kepurbakalaan. Akibatnya Indonesia

mengalamai banyak kehilangan data yang dapat dijadikan sumber untuk merekonstruksi sejarah

kemaritiman kita. Demikian pula dengan sub-disiplin yang lain seperti disebut di atas perlu

dilakukan rintisan untuk penelitian dan perlindungannya.

Perubahan lingkungan bergerak dengan amat cepat, membuat lembaga pelestarian arkeologi

yang sangat memerlukan keaslian dan keterawatan lingkungan selalu ketinggalan kereta.

Banyak situs yang rusak karena pembangunan fisik baru sebelum dilakukan penelitian dan

lokasi dinyatakan steril. Demikian pula halnya situs di bawah air. Apa yang dilakukan oleh

sebuah Blog yang mengangkat Wetland Archaeology merupakan salah langkah untuk

Page 5: Arkeologi untuk Masyarakat

memperkenalkan sub-disiplin ini kepada masyarakat. Cara ini patut dikembangkan untuk

menyebarluaskan sub-disiplin yang lain. Patut diketahui untuk melindungi situs Lahan Basah

sudah ada konvensi yang disebut The Convention on Wetlands of International Importance, atau

biasa disebut “the Ramsar Convention” tahun 1971.

Kewajiban Masyarakat

Pelestarian arkeologi di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sejak Belanda menjajah

Indonesia. Bangsa Belanda yang memiliki tradisi pelestarian yang kuat, mendirikan beberapa

lembaga yang melakukan upaya pelestarian kebudayaan, termasuk arkeologi. Berdirinya BGKW

(1778), OD (1913) dan JI (1919) dll, meninggalkan hasil yang amat penting sebagai masukan

dalam penyusunan kebijakan pelestarian kebudayaan Indonesia. Lembaga-lembaga itu sangat

disegani di kawasan Asia, bahkan Eropa. Di lingkungan Asia pesaingnya hanya Siam Society di

Thailand.

Setelah Belanda meninggalkan Indonesia kegiatan lembaga-lembaga itu diambil alih dan

dilanjutkan oleh cendekiawan bumiputra hingga kini. Yang menarik, dalam masa transisi setelah

merdeka dan Belanda kembali masuk ke Indonesia membonceng Sekutu, kelembagaan

kebudayaan antara tahun 1945-1950 terjadi dualisme. Di samping terdapat kelembagaan

kebudayaan yang dibentuk pemerintahan RI, juga masih aktif beberapa lembaga kebudayaan

yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Baru setelah Belanda resmi meninggalkan

Indonesia lembaga-lembaga itu diserahkan kepada pemerintah RI. Lembaga-lembaga itu antara

lain adalah BGKW hingga tahun 1950 masih aktif, dan baru pada tanggal 29/2/950 diserahkan

kepada Pemerintah RI dan namanya berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia.

Hingga tahun 2011 pelestarian kearkeologian mengalami pasang surut. Pembelaan terhadap

tinggalan arkeologi berupa pembinaan dilakukan dengan mendirikan berbagai lembaga

pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga arkeologi, sehingga tenaga di bidang arkeologi

sepenuhnya ditangani oleh bumiputra baik sebagai peneliti, tenaga ahli dan teknisi.

Pengembangan arkeologi dilakukan dengan merehabilitasi, merawat dan memugar berbagai

tinggalan arkeologi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu keberhasilan sektor lain.

Upaya perlindungan terutama dari sisi hukum, antara lain telah dihasilkan UU No. 5 Tahun 1992

tentang Benda Cagar Budaya sebagai pengganti Monumenten Ordonanntie Stbl. 238 tahun

1931. UU No. 5 Tahun 1992 diperbaharui menjadi UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar

Budaya.

Pembelaan terhadap kelestarian arkeologi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga

oleh masyarakat. Tetapi selain itu “pembalakan” terhadap kelestarian tinggalan arkeologi juga

meningkat dibandingkan dengan sebelum Indonesia merdeka. “Pembalakaan” tidak hanya

dilakukan oleh orang-orang yang kurang memahami arti dan pentingnya tinggalan arkeologi,

melainkan oleh orang-oarang yang justru mengetahui betapa tingginya nilai (rupiah) tinggalan

budaya. Tindak pencurian, pengangkatan dan pengiriman ilegal cenderung meningkat.

Khusus untuk penelitian arkeologi kalau mengikuti pendapat “Bapak Prasejarah” Indonesia, Prof.

Dr. RP. Sujono, kondisinya justru cenderung berada dalam ketidakmandirian, terutama dalam

Page 6: Arkeologi untuk Masyarakat

kegiatan analisis dan interpretasi melalui penelitian arkeologis. Adanya intervensi dari luar

secara terus menerus, dikhawatirkan akhirnya dapat melenyapkan identitas Arkeologi Indonesia

sebagai aset ilmiah nasional. Selain itu juga menyatakan arkeologi Indonesia kini sedang berada

dalam situasi tribulasi, yaitu berada dalam masa pertentangan dengan pola struktur yang tidak

mengikuti pola kerja ilmiah arkeologi yang selama lebih satu abad diikuti untuk tetap berada

dalam batas-batas persyaratan sebagai ilmu arkeologi yang berkembang secara global. Dalam

era kompetisi dengan negara-negara yang mengembangkan ilmu arkeologi dengan penuh

kesadaran dan taat pada prinsip-prinsip ilmiah, Arkeologi Indonesia kini berada di pinggir atau

periferi kemunduran yang sulit diatasi.

Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah tanggal 1/1/2001

sebagian kewenangan Pusat telah diserahkan ke daerah. Ini berarti kewenangan Pusat yang

sebelumnya penuh, kini berkurang banyak. Dalam Pasal 2 ayat (3) butir 11 angka 6) dinyatakan

tentang kewenangan yang masih ditangani Pemerintah, yaitu: ”Penetapan persyaratan

pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan

dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyatan penelitian arkeologi”. Sementara itu dalam

butir 7) dinyatakan: “Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum

nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara

internasional”, serta pada butir 10) disebutkan tentang: “Pembinaan dan pengembangan bahasa

dan sastra Indonesia”, yang berarti masalah kewenangan bidang kebahasaan dan kesastraan

masih berada di Pusat.

Dengan modal kewenangan yang masih ada seharusnya ada pembahasan dan penyusunan

konsep, kebijakan dan strategi pelestarian kebudayaan antara Pusat dan Daerah. Sayangnya,

Kongres Kebudayaan 2003 dan 2008 tidak mengagendakan masalah ini. Patut dicatat

keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang kebudayaan termasuk bidang arkeologi di

wilayah Gubernur atau Bupati/Walikota memerlukan iklim yang bersahabat karena lokasi kantor

dan wilayah pelestariannya berada di bawah kewenangan pejabat-pejabat tersebut. Kehadiran

UPT Daerah dengan nomenklatur dan tugas fungsinya mirip dengan UPT Pusat, perlu dikelola

dengan baik agar koordinasi dan kerjasama pelestarian arkeologi antara Pusat dan Daerah yang

terpandu.

Selain melakukan koordinasi dan kerjasama antarinstansi pemerintah perlu dilakukan kerjasama

dengan masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat yang mempunyai perhatian terhadap

kelestarian tinggalan arkeologi. Banyak lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang melakukan

pembelaan terhadap kelestarian tinggalan arkeologi, karena tahu bahwa selain masyarakat

mempunyai hak seperti disebut dalam Pasal 28 C, masyarakat juga mempunyai kewajiban

seperti disebut dalam Pasal 28 J: “…tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan

Undang-undang…”.

Penutup

Kalau kita kembali pada kutipan pendapat Prof. Daoed Joesoef di atas, pertanyaannya siapa

yang harus memberikan ‘perhatian dan bimbingan’ terhadap arkeologi? Jawabnya, paling tidak

Page 7: Arkeologi untuk Masyarakat

ada empat elemen yang terlibat secara intens, yaitu: (1) masyarakat pemilik tinggalan arkeologi;

(2) lembaga kearkeologian yang berkembang di masyarakat; (3) lembaga kebudayaan di

lingkungan pemerintah termasuk instansi pemerintah terkait; dan (4) dunia usaha termasuk para

pecinta.

Bila kita sepakat dengan jawaban itu, bukankah Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sebagai

organisasi profesi dan juga anggota masyarakat harus banyak menaruh perhatian dan

bimbingan dalam pelestarian arkeologi dalam arti aktif melakukan pembelaan dan pemuliaan

arkeologi. Masyarakat juga mempunyai kewajiban yang sama, di samping menuntut haknya

untuk mendapat manfaat arkeologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan

hidupnya. Arkeologi untuk masyarakat dan masyarakat untuk arkeologi.

Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya.

Kemanggisan, Jakarta, 1 Oktober 2011

*Sebelum pensiun pernah menjabat Sekretaris Ditjen Kebudayaan, Direktur Purbakala, Staf Ahli

Menbudpar dan Sekretaris Utama Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.

Sekarang aktif di BKKI, LBI, Panitia Nasional Pengangkatan Isi Muatan Kapal Tenggelam

(BMKT), Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI) dan kini juga menjabat Wakil

Ketua Lembaga Sensor Film RI.

*MAKALAH PIA 2011

http://iaaipusat.wordpress.com/2012/04/03/arkeologi-untuk-masyarakat-masyarakat-untuk-arkeologi-catatan-kecil-seorang-pemerhati-untuk-iaai/