arkeologi untuk masyarakat
DESCRIPTION
archaeology for society is so important, because the concept arcaeology is archaeology for all.TRANSCRIPT
Arkeologi untuk Masyarakat – Masyarakat untuk Arkeologi (Catatan Kecil Seorang Pemerhati untuk IAAI)
3 April 2012iaaipusat PIA 2011 Arkeologi Publik, Nunus Supardi 1 Komentar
Nunus Supardi*
“Kebudayaan sebaiknya tidak dibiarkan berjalan, tumbuh dan berkembang tanpa perhatian dan
bimbingan, lebih-lebih bila ia diharapkan untuk berperan di dalam pertumbuhan manusia
individual dan perkembangan masyarakat di mana manusia tersebut berdiam”. (Prof. Dr. Daoed
Joesoef)
Pendahuluan
Dalam mukadimah Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART) Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia (IAAI) maupun dalam Kode Etik Ahli Arkeologi Indonesia, seorang arkeolog berjanji
antara lain menyinggung hubungan antara arkeologi dengan kehidupan masyarakat. Bunyi
lengkap mukadimah itu sbb: ”Sebagai warganegara yang menyadari pentingnya warisan budaya
nasional, dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, dan pemanfaatan bagi kehidupan
masyarakat serta untuk memperkukuh jadidiri bangsa, maka ahli arkeologu Indonesia
mengabdikan diri pada ilmu dan pengetahuan arkeologi dengan pemikiran, pendekatan, dan
cara-cara yang positif ilmiah serta dengan penuh tanggung jawab kepada nusa dan bangsa”.
Bertolak dari mukadimah dan bukan sekedar meniru slogan ”Memasyarakatkan Olah Raga dan
Mengolahragakan Masyarakat”, lalu membuat judul ”Arkeologi untuk Masyarakat – Masyarakat
untuk Arkeologi”, tetapi dalam kenyataan antara arkeologi dan masyarakat dan sebaliknya
seharusnya terus menyatu. Bukankah tinggalan masa lalu (kepurbakalaan) itu lahir, besar dan
lestari karena pembelaan dan pemuliaan yang dilakukan oleh masyarakat? Bahkan sebaliknya,
tinggalan masa lalu itu rusak, hancur, musnah juga dapat terjadi karena kesalahan masyarakat.
Hak Masyarakat
Salah satu kebutuhan yang menjadi hak setiap anggota masyarakat seperti yang diamanatkan
oleh pasal 28C ayat (1) UUD 1945 adalah hak memperoleh manfaat dari seni dan budaya. Bunyi
lengkap ayat itu adalah: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia.” Dalam kaitan dengan judul makalah, fokus manfaat dari
kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi adalah ilmu pengetahuan dan seni budaya
(kepurbakalaan) sebagai bagian dari kebudayaan.
Dalam memenuhi kebutuhan dasar itu telah disahkan UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Di dalam UU ini secara jelas dinyatakan bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga
negara dan penduduknya untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya. Tetapi selama ini
ketika orang berbicara tentang kebijakan publik, perhatian publik sendiri lebih tertuju kepada
pelayanan kebutuhan sandang, pangan, kesehatan masyarakat, kesejahteraan masyarakat,
kesempatan mendapatkan perlindungan keamanan, perlindungan hukum, pelayanan
transportasi, pelayanan administrasi masyarakat dan sebagainya. Boleh dikatakan munculnya
keluhan karena kebutuhan pelayanan masyarakat untuk mendapatkan manfaat dari bidang
kepurbakalaan masih tergolong kecil dibanding dengan bidang-bidang yang lain.
Tetapi publik sepertinya tidak perduli terhadap ada atau tidak adanya kebijakan pelayanan publik
tentang kepurbakalaan. Selain tidak perduli, publik juga lebih berpandangan masalah kebijakan
pelayanan publik adalah menjadi kewajiban pemerintah semata. Pola pandang seperti ini perlu
diluruskan karena lahirnya kebijakan publik tidak hanya datang dari birokrasi pemerintah,
melainkan dapat pula datang berkat dorongan masyarakat. Dapat datang dari perseorangan,
kelompok, LSM termasuk organisasi profesi seperti organisasi bidang kepurbakalaan.
Selain itu juga diikat dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik. Mendapatkan informasi adalah hak asasi masyarakat dan keterbukaan informasi
merupakan ciri demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan
penyelenggaraan negara yang baik. Untuk melayani hak masyarakat mendapatkan informasi
menjadi kewajiban Badan Publik untuk menyediakan dan/atau menerbitkan informasi Publik
yang berada di bawah kewenangan termasuk lembaga-lembaga yang mengurus Arkeologi
(Pasal 7).
Sementara itu dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya diatur tentang pemanfaatan
cagar budaya diamanatkan agar Pemerintah dan Pemerintah daerah memfasilitasi pemanfaatan
BCB untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengtahuan, teknologi, kebudayaan dan
pariwisata (Pasal 85). Mengingat pemanfaatan itu berhubungan dengan masalah kelestarian
BCB maka dalam pemanfaatan itu diatur tentang perizinan pemanfaatannya.
Dalam harian Kompas 20/9/2011 ditulis Pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik
yang berkualitas. Hal yang sama juga dinyatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, saat melakukan sosialisasi reformasi birokrasi kepada pejabat pemerintah
provinsi di Jakarta, 19/9/2011 yang lalu. Akuntabilitas kinerja instansi perlu pembenahan dan
harus berorientasi pada hasil.
Apa yang ditulis oleh Kompas harus dijadikan dasar dalam melakukan evaluasi terhadap
kesiapan kebudayaan dalam menyediakan bahan informasi pelestarian arkeologi untuk
masyarakat. Kebijakan nasional dalam hal penyebaraan informasi kebudayaan yang pernah
digagas dengan membentuk wadah Pusat Informasi Budaya (1985-an) perlu dilanjutkan dengan
didukung oleh Bagian/Bidang informasi di semua unit kerja kebudayaan, termasuk Direktorat
Jenderal Sejarah dan Purbakala. Segala fasilitas penyebaran informasi harus dimanfaatkan
secara optimal: cetak, elektronik, Internet, pameran, sosilisasi, seminar, dialog dll. Sasaran
sosialisasi diprioritaskan pada generasi muda. Selain itu juga melakukan pelestarian seluruh
sub-disiplin arkeologi (ada pada uraian berikutnya) yang hasilnya dapat dimanfaatkan
masyarakat dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya.
Sub-disiplin Arkeologi
Setiap kali bicara tentang kepurbakalaan (arkeologi) masih ada orang yang belum memahami,
baik mengenai makna, peran dan sub-sub disiplin yang mengiringinya. Untuk memahami semua
itu saya selalu teringat pendapat Prof. Daoed Joesoef. Menurut beliau kajian ilmu yang
mempelajari kehidupan manusia melalui analisis jejak tinggalan budaya masa lalu untuk
menjelaskan asal dan perkembangan suatu peradaban disebut arkeologi. Ilmu arkeologi pada
dasarnya adalah ilmu untuk mengungkap asal usul manusia, termasuk mengungkap asal usul
manusia Indonesia. Dalam melaksanakan misi pengungkapan itu haruslah bekerja sama dengan
ilmu-ilmu yang lain. Menurut Prof. Daoed Yoesoef: “…kalaupun arkeologi tidak bisa sendirian
menjawab sepenuhnya suatu pertanyaan yang sudah dan akan terus mengusik manusia
sepanjang sejarah peradabannya, yaitu ‘sangkan paraning dumadi’ (asal usul dan tujuan
penciptaan), paling sedikitnya disiplin ilmiah yang satu ini diharapkan dapat menjelaskan ‘how
the worlds become’ – bagaimana bumi menjadi human”.
Dapat dibayangkan betapa luasnya cakupan ilmu arkeologi karena ia mengkaji dan menjelaskan
“bagaimana bumi menjadi human”. Berbagai hal yang berkaitan dengan manusia dan
lingkungannya dapat digali datanya melalui arkeologi. Ilmu ini memiliki area pengkajian yang
mencakup seluruh aspek yang dilakukan manusia dalam hidupnya. Ilmu ini mampu mengkaji
‘sangkan paraning dumadi’ bagaimana sistem pemukiman manusia masa lalu (setlement
archaeology), mengkaji hubungan manusia dengan lingkungannya (environment archaeology),
sistem perekonomiannya (economic archaeology) sistem kepercayaan (religion archaeology),
kehidupan sosial (social archaeology), sistem nilai seni (art in archaeology) diaspora manusia
masa lalu (geo-archaeology) sistem industri (industrial archaeology), yang berkaitan dengan
lingkungan air (underwater archaeology) dan lain-lainnya. Pendeknya, ilmu ini memiliki tujuan
yang mulia yakni membuka tabir misteri kehidupan manusia, dan kemudian
merekonstruksikannya ke dalam sejarah kehidupan manusia masa lalu menyambung ke masa
kini. Peran membuka tabir itu berada di tangan arkeolog, sehingga menurut Prof. Dr.
Moendardjito, arkeolog adalah “detektif” masa lalu. Sementara itu, mengenai benda hasil
penelitian arkeolog menurut Prof. Edi Sedyawati: “benda yang berasal dari masa lalu adalah
suatu saksi budaya yang harus diperlakukan dengan ‘penuh hormat’ oleh para peneliti yang
menemukannya di masa kini”. Adalah suatu kaidah baku dalam arkeologi, bahwa segala macam
temuan dari masa lalu, baik temuan dari atas permukaan tanah maupun yang didapat dari
penggalian dan dari bawah air, harus diberlakukan sebagai sangat penting sebelum dapat
dibuktikan bahwa ”tidak penting” – ini pun tidak dengan kriteria yang sewenang-wenang.
Sementara itu, menurut Angelo Guarino dari Kementerian Kebudayaan (Beni Culturali) Italia
setiap material adalah bukti peradaban (Every material evidence of civiliztaion).
Ada beberapa sub-disiplin arkeologi lain yang memiliki kaitan dengan air seperti Maritime
Archaeology, Nautical Archaeology, Naval Archaeology, Wetland Archaeology. Sub-disiplin
Maritime Archaeology (Arkeologi Maritim) mengkaji situs, artefak, tinggalan manusia di
lingkungan laut, danau, aliran sungai baik yang di dalam air maupun di rawa-rawa dan daratan
pesisir. Masih ada beberapa sub-disiplin yang lain tetapi belum begitu populer dibandingkan
dengan sub-disiplin di atas. Ada sub-disiplin yang disebut Riverine Archaeology atau Arkeologi
Sungai, mengkaji situs dan artefak pada lalulintas sungai. Ada pula yang disebut Submerged
Site Archaeology yang mengkaji situs dan artefak yang terjadi akibat terjadi genangan air karena
turunnya permukaan tanah atau naiknya permukaan air (di darat). Adapun sub-disiplin yang lain
adalah Water Saturated Sites, yang mempelajari artefak di rawa-rawa, paya-paya, dan situs
tanah berair lainnya yang terbentuk karena perubahan pada permukaan air karena perubahan
alam atau ulah manusia. Sub-disiplin ini juga sering disebut Wetland Archaeology.
Belakangan muncul sub-disiplin Arkeologi Bawah Air (Underwater Archaeology). Untuk sub-
disiplin Arkeologi Bawah Air (ABA) termasuk disiplin “baru”. Disebut demikian karena artefak
yang terkubur itu tidak berada dalam tanah melainkan di bawah air atau di bawah tanah di
bawah air. Arkeolog yang memiliki perhatian terhadap keberadaan tinggalan budaya di bawah
air adalah George Bass, dari University of Pensylvania. Untuk menjelaskan arkeologi bawah air,
tahun 1960-an Bass menulis buku berjudul Archaeology Underwater. Di sini Bass tidak
menggunakan nomenklatur Underwater Archaeology, seperti yang berkembang sekarang tetapi
Archaeology Underwater. Alasannya karena bila seseorang menggali situs di hutan atau di
padang pasir tidak dinamakan arkeologi hutan atau arkeologi padang pasir (”…people excave in
jungles or deserts, but do not call it jungle or desert archaeology”). Dalam perkembangan
selanjutnya, istilah tersebut tidak dapat dukungan. Orang lebih suka memakai istilah Underwater
Archaeology, dan istilah inilah yang kemudian digunakan orang termasuk UNESCO.
Tampaknya misi kearkeologian selama ini masih lebih menitikberatkan penelitiannya pada
arkeologi di darat. Arkeologi Bawah Air (ABA) dengan segala sub-disiplin ilmunya masih belum
mendapatkan perhatian. Jangan dilupakan, kalau sekarang Indonesia dinyatakan sebagai
“negara kelautan” menggantikan sebutan “negara kepulauan” perhatian terhadap ABA juga
harus ditingkatkan. Perhatian terhadap arkeologi di darat sudah lama dan mempunyai
sumbangan yang besar bagi ilmu-ilmu yang lain. Arkeologi darat sudah mendapatkan perhatian
sejak berdirinya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW);
Oudheidkundige Dienst (OD); dan Java Instituut (JI). Sementara itu perhatian terhadap ABA
mulai muncul setelah terjadi berbagai kasus pengangkatan isi muatan kapal tenggelam secara
ilegal.
Jika Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala ke depan akan meningkatkan pelayanan hasil
pelestarian arkeologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan, maka
pelestarian terhadap sub-disiplin yang lain harus lebih ditingkatkan. Patut diketahui, aktivitas
yang berkenaan dengan kapal tenggelam sebagai bagian dari ABA hampir seluruhnya
berlangsung dengan cara mengabaikan kaidah-kaidah ilmu kepurbakalaan. Akibatnya Indonesia
mengalamai banyak kehilangan data yang dapat dijadikan sumber untuk merekonstruksi sejarah
kemaritiman kita. Demikian pula dengan sub-disiplin yang lain seperti disebut di atas perlu
dilakukan rintisan untuk penelitian dan perlindungannya.
Perubahan lingkungan bergerak dengan amat cepat, membuat lembaga pelestarian arkeologi
yang sangat memerlukan keaslian dan keterawatan lingkungan selalu ketinggalan kereta.
Banyak situs yang rusak karena pembangunan fisik baru sebelum dilakukan penelitian dan
lokasi dinyatakan steril. Demikian pula halnya situs di bawah air. Apa yang dilakukan oleh
sebuah Blog yang mengangkat Wetland Archaeology merupakan salah langkah untuk
memperkenalkan sub-disiplin ini kepada masyarakat. Cara ini patut dikembangkan untuk
menyebarluaskan sub-disiplin yang lain. Patut diketahui untuk melindungi situs Lahan Basah
sudah ada konvensi yang disebut The Convention on Wetlands of International Importance, atau
biasa disebut “the Ramsar Convention” tahun 1971.
Kewajiban Masyarakat
Pelestarian arkeologi di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, sejak Belanda menjajah
Indonesia. Bangsa Belanda yang memiliki tradisi pelestarian yang kuat, mendirikan beberapa
lembaga yang melakukan upaya pelestarian kebudayaan, termasuk arkeologi. Berdirinya BGKW
(1778), OD (1913) dan JI (1919) dll, meninggalkan hasil yang amat penting sebagai masukan
dalam penyusunan kebijakan pelestarian kebudayaan Indonesia. Lembaga-lembaga itu sangat
disegani di kawasan Asia, bahkan Eropa. Di lingkungan Asia pesaingnya hanya Siam Society di
Thailand.
Setelah Belanda meninggalkan Indonesia kegiatan lembaga-lembaga itu diambil alih dan
dilanjutkan oleh cendekiawan bumiputra hingga kini. Yang menarik, dalam masa transisi setelah
merdeka dan Belanda kembali masuk ke Indonesia membonceng Sekutu, kelembagaan
kebudayaan antara tahun 1945-1950 terjadi dualisme. Di samping terdapat kelembagaan
kebudayaan yang dibentuk pemerintahan RI, juga masih aktif beberapa lembaga kebudayaan
yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Baru setelah Belanda resmi meninggalkan
Indonesia lembaga-lembaga itu diserahkan kepada pemerintah RI. Lembaga-lembaga itu antara
lain adalah BGKW hingga tahun 1950 masih aktif, dan baru pada tanggal 29/2/950 diserahkan
kepada Pemerintah RI dan namanya berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia.
Hingga tahun 2011 pelestarian kearkeologian mengalami pasang surut. Pembelaan terhadap
tinggalan arkeologi berupa pembinaan dilakukan dengan mendirikan berbagai lembaga
pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga arkeologi, sehingga tenaga di bidang arkeologi
sepenuhnya ditangani oleh bumiputra baik sebagai peneliti, tenaga ahli dan teknisi.
Pengembangan arkeologi dilakukan dengan merehabilitasi, merawat dan memugar berbagai
tinggalan arkeologi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu keberhasilan sektor lain.
Upaya perlindungan terutama dari sisi hukum, antara lain telah dihasilkan UU No. 5 Tahun 1992
tentang Benda Cagar Budaya sebagai pengganti Monumenten Ordonanntie Stbl. 238 tahun
1931. UU No. 5 Tahun 1992 diperbaharui menjadi UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya.
Pembelaan terhadap kelestarian arkeologi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga
oleh masyarakat. Tetapi selain itu “pembalakan” terhadap kelestarian tinggalan arkeologi juga
meningkat dibandingkan dengan sebelum Indonesia merdeka. “Pembalakaan” tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang yang kurang memahami arti dan pentingnya tinggalan arkeologi,
melainkan oleh orang-oarang yang justru mengetahui betapa tingginya nilai (rupiah) tinggalan
budaya. Tindak pencurian, pengangkatan dan pengiriman ilegal cenderung meningkat.
Khusus untuk penelitian arkeologi kalau mengikuti pendapat “Bapak Prasejarah” Indonesia, Prof.
Dr. RP. Sujono, kondisinya justru cenderung berada dalam ketidakmandirian, terutama dalam
kegiatan analisis dan interpretasi melalui penelitian arkeologis. Adanya intervensi dari luar
secara terus menerus, dikhawatirkan akhirnya dapat melenyapkan identitas Arkeologi Indonesia
sebagai aset ilmiah nasional. Selain itu juga menyatakan arkeologi Indonesia kini sedang berada
dalam situasi tribulasi, yaitu berada dalam masa pertentangan dengan pola struktur yang tidak
mengikuti pola kerja ilmiah arkeologi yang selama lebih satu abad diikuti untuk tetap berada
dalam batas-batas persyaratan sebagai ilmu arkeologi yang berkembang secara global. Dalam
era kompetisi dengan negara-negara yang mengembangkan ilmu arkeologi dengan penuh
kesadaran dan taat pada prinsip-prinsip ilmiah, Arkeologi Indonesia kini berada di pinggir atau
periferi kemunduran yang sulit diatasi.
Sejak diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah tanggal 1/1/2001
sebagian kewenangan Pusat telah diserahkan ke daerah. Ini berarti kewenangan Pusat yang
sebelumnya penuh, kini berkurang banyak. Dalam Pasal 2 ayat (3) butir 11 angka 6) dinyatakan
tentang kewenangan yang masih ditangani Pemerintah, yaitu: ”Penetapan persyaratan
pemintakatan/zoning, pencarian, pemanfaatan, pemindahan, penggandaan, sistem pengamanan
dan kepemilikan benda cagar budaya serta persyatan penelitian arkeologi”. Sementara itu dalam
butir 7) dinyatakan: “Pemanfaatan hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum
nasional, galeri nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, dan monumen yang diakui secara
internasional”, serta pada butir 10) disebutkan tentang: “Pembinaan dan pengembangan bahasa
dan sastra Indonesia”, yang berarti masalah kewenangan bidang kebahasaan dan kesastraan
masih berada di Pusat.
Dengan modal kewenangan yang masih ada seharusnya ada pembahasan dan penyusunan
konsep, kebijakan dan strategi pelestarian kebudayaan antara Pusat dan Daerah. Sayangnya,
Kongres Kebudayaan 2003 dan 2008 tidak mengagendakan masalah ini. Patut dicatat
keberadaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang kebudayaan termasuk bidang arkeologi di
wilayah Gubernur atau Bupati/Walikota memerlukan iklim yang bersahabat karena lokasi kantor
dan wilayah pelestariannya berada di bawah kewenangan pejabat-pejabat tersebut. Kehadiran
UPT Daerah dengan nomenklatur dan tugas fungsinya mirip dengan UPT Pusat, perlu dikelola
dengan baik agar koordinasi dan kerjasama pelestarian arkeologi antara Pusat dan Daerah yang
terpandu.
Selain melakukan koordinasi dan kerjasama antarinstansi pemerintah perlu dilakukan kerjasama
dengan masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat yang mempunyai perhatian terhadap
kelestarian tinggalan arkeologi. Banyak lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang melakukan
pembelaan terhadap kelestarian tinggalan arkeologi, karena tahu bahwa selain masyarakat
mempunyai hak seperti disebut dalam Pasal 28 C, masyarakat juga mempunyai kewajiban
seperti disebut dalam Pasal 28 J: “…tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
Undang-undang…”.
Penutup
Kalau kita kembali pada kutipan pendapat Prof. Daoed Joesoef di atas, pertanyaannya siapa
yang harus memberikan ‘perhatian dan bimbingan’ terhadap arkeologi? Jawabnya, paling tidak
ada empat elemen yang terlibat secara intens, yaitu: (1) masyarakat pemilik tinggalan arkeologi;
(2) lembaga kearkeologian yang berkembang di masyarakat; (3) lembaga kebudayaan di
lingkungan pemerintah termasuk instansi pemerintah terkait; dan (4) dunia usaha termasuk para
pecinta.
Bila kita sepakat dengan jawaban itu, bukankah Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) sebagai
organisasi profesi dan juga anggota masyarakat harus banyak menaruh perhatian dan
bimbingan dalam pelestarian arkeologi dalam arti aktif melakukan pembelaan dan pemuliaan
arkeologi. Masyarakat juga mempunyai kewajiban yang sama, di samping menuntut haknya
untuk mendapat manfaat arkeologi untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan
hidupnya. Arkeologi untuk masyarakat dan masyarakat untuk arkeologi.
Mudah-mudahan tulisan ini ada manfaatnya.
Kemanggisan, Jakarta, 1 Oktober 2011
*Sebelum pensiun pernah menjabat Sekretaris Ditjen Kebudayaan, Direktur Purbakala, Staf Ahli
Menbudpar dan Sekretaris Utama Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.
Sekarang aktif di BKKI, LBI, Panitia Nasional Pengangkatan Isi Muatan Kapal Tenggelam
(BMKT), Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia (BPKKI) dan kini juga menjabat Wakil
Ketua Lembaga Sensor Film RI.
*MAKALAH PIA 2011
http://iaaipusat.wordpress.com/2012/04/03/arkeologi-untuk-masyarakat-masyarakat-untuk-arkeologi-catatan-kecil-seorang-pemerhati-untuk-iaai/