aransemen tartĪb nuzŪl al-qur’Ān

28
25 ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE (1836-1930 M.) Oleh: Mohamad Yahya Dosen Prodi IAT STAI Sunan Pandanaran, Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh program doktoral (S3) pada PPs UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Surel: [email protected] Abstrak Topik artikel ini adalah aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān garapan seorang orientalis terkemuka bernama Theodor Nöldeke. Dalam merumuskan hal itu, Nöldeke memanfaatkan dua rujukan, yaitu data sejarah dan penafsiran al-Qur’an serta manuskrip- manuskrip al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang tersebar sepanjang zaman. Sementara itu, prinsip dasar yang digunakan oleh Nöldeke adalah (1) petunjuk-petunjuk di dalam al-Qur’an yang mengarah pada kejadian sejarah, dan (2) karakteristik teks al-Qur’an. Dalam struktur periodesasinya, Nöldeke tetap menggunakan dua terma tahapan yang dibuat oleh kalangan intelektual Muslim, yaitu makiyyah dan madaniyyah. Dua tahap tersebut kemudian dikembangkan menjadi empat tahap, yaitu (1) makiyyah tahap pertama dengan jumlah 48 surat, (2) makiyyah tahap kedua dengan jumlah 21 surat, (3) makiyyah tahap ketiga dengan jumlah 21 surat, dan (4) tahap madaniyyah dengan jumlah 24 surat. Kata Kunci: Theodor Nöldeke dan tartīb al-nuzūl A. Pendahuluan Salah satu topik penting dalam studi al-Qur’an yang hingga kini masih penuh kontroversi dan syarat dengan spekulasi adalah tentang kronologi pewahyuan al-Qur’an, yang dapat

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

25

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀNPERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE (1836-1930 M.)

Oleh: Mohamad Yahya

Dosen Prodi IAT STAI Sunan Pandanaran, Yogyakarta.Saat ini sedang menempuh program doktoral (S3)

pada PPs UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.Surel: [email protected]

Abstrak

Topik artikel ini adalah aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān garapan seorang orientalis terkemuka bernama Theodor Nöldeke. Dalam merumuskan hal itu, Nöldeke memanfaatkan dua rujukan, yaitu data sejarah dan penafsiran al-Qur’an serta manuskrip-manuskrip al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang tersebar sepanjang zaman. Sementara itu, prinsip dasar yang digunakan oleh Nöldeke adalah (1) petunjuk-petunjuk di dalam al-Qur’an yang mengarah pada kejadian sejarah, dan (2) karakteristik teks al-Qur’an. Dalam struktur periodesasinya, Nöldeke tetap menggunakan dua terma tahapan yang dibuat oleh kalangan intelektual Muslim, yaitu makiyyah dan madaniyyah. Dua tahap tersebut kemudian dikembangkan menjadi empat tahap, yaitu (1) makiyyah tahap pertama dengan jumlah 48 surat, (2) makiyyah tahap kedua dengan jumlah 21 surat, (3) makiyyah tahap ketiga dengan jumlah 21 surat, dan (4) tahap madaniyyah dengan jumlah 24 surat.

Kata Kunci: Theodor Nöldeke dan tartīb al-nuzūl

A. Pendahuluan

Salah satu topik penting dalam studi al-Qur’an yang hingga kini masih penuh kontroversi dan syarat dengan spekulasi adalah tentang kronologi pewahyuan al-Qur’an, yang dapat

Page 2: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah26

Vol. III, No. 1, April 2015

disebut dengan tartīb nuzūl al-Qur’ān. Dikatakan penting karena topik tersebut erat kaitannya dengan pembahasan makiyyah-madaniyyah, nāsikh-mansūkh, dan bahkan bentuk penafsiran yang pada akhirnya berimplikasi pada terbentuknya suatu pemahaman dari al-Qur’an, hukum misalnya. Sementara itu, dikatakan kontroversi dan syarat dengan spekulasi karena pembicaraan tersebut hingga kini terus mengalami perkembangan dan perubahan, serta tidak adanya data faktual otentik lagi komprehensif yang berkaitan dengan topik tersebut. Jika demikian halnya, maka secara sederhana, konstruksi teori nāsikh-mansūkh, misalnya, dapat dipastikan penuh dengan spekulasi, dan bahkan dalam kasus-kasus tertentu, “mungkin”, tidak bisa dijadikan lagi sebagai pra-syarat bagi seorang mujtahid untuk mengetahuinya.

Di tengah gegap-gempita kontroversi para intelektual Muslim kaitannya dengan tartīb nuzūl al-Qur’ān kala itu, muncul peneliti orientalis yang dapat mengungguli para pendahulunya, yaitu Theodor Nöldeke (kemudian disebut Nöldeke). Kemunculan dirinya membawa arus besar bagi kajian tartīb nuzūl al-Qur’ān. Tidak hanya di Barat, di Timur pun torehan olah pikirnya mendapatkan apresiasi yang berkepanjangan hingga kini. Banyak intelektual, baik dari kalangan Muslim dan non-Muslim, menjadikan produk aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān-nya sebagai pijakan dalam studi al-Qur’an, dan tidak sedikit pula kaum intelektual yang mengkritik produk brilliant-nya. Dalam pada itu, penulis bermaksud untuk mengelaborasi aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān-nya Nöldeke untuk kemudian melakukan kritik terhadapnya secara sepintas. Namun sebelum hal itu dilakukan, sketsa biografi Nöldeke diurai terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya reduksi pembacaan.

Page 3: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya27

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

B. Nöldeke dan Studi al-Qur’an: Sketsa Biografi

Di kalangan pegiat studi al-Qur’an akademis dapat dipastikan bahwa nama Nöldeke sudah tidak asing lagi. Kenamaan dirinya akan selalu hadir saat sejarah al-Qur’an menjadi topik perbincangannya. Lebih-lebih jika masyarakat Muslim membincang tentang orientalisme dan al-Qur’an, gelar “pioneer” akan selalu disematkan pada dirinya. Itulah Nöldeke yang dapat merasakan hidup di era perkembangan pesat ilmu pengetahuan, yakni dari Tahun 1836 hingga 1930 M.1

Putra Jerman yang lahir pada 2 Maret di Kota Harburg (sekarang masuk Hamburg) itu merupakan anak kandung dari Pengawas Sekolah Menengah di Kota Lingen sejak tahun 1849 hingga 1866. Kepindahan tugas ayahnya dari Hamburg (sebagai Wakil Kepala Sekolah Menengah) ke Lingen turut serta membawa kepindahan Nöldeke. Di Lengin (1849-1853) inilah sosok Nöldeke mempersiapkan diri di bawah bimbingan ayahandanya dengan belajar sastra klasik, Yunani dan Latin untuk masuk ke jenjang pendidikan tinggi. Proses persiapan tersebut membawa Nöldeke kepada pilihan untuk lebih berkonsentrasi pada bahasa-bahasa Semit saat ia memasuki gerbang pendidikan tingkat tinggi di Universitas Göttingen (1853).2

1 Terdapat kontroversi berkaitan dengan masa kehidupan Nöldeke. Ada yang mengatakan bahwa ia hidup pada era 1836-1931 M., 1837-1931, dan ada juga yang mengatakan bahwa ia hidup pada era sebagaimana tertulis, 1836 hingga 1930 M. Keterangan terakhir iniliah yang penulis ikuti karena lebih banyak pemerhati Nöldeke menulis dengan angka tersebut. Periksa, N.A. Newmen (ed.), The Qur’an: An Introductory Essay by Theodor Nöldeke (Hatfield: Interdisciplinary Biblical Research Institute, 1992), hlm. 1. Bandingkan dengan, Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 413.

2 Pemilihan konsentrasi tersebut, menurut Badawi, disebabkan karena saran dari sahabat ayahnya, H. Ewald, yang sangat pakar akan bahasa-bahasa semit, terutama Ibrani. Nöldeke yang saat itu dititipkan oleh ayahnya kepada Ewald disarankan

Page 4: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah28

Vol. III, No. 1, April 2015

Gelar sarjana pertama diperoleh oleh Nöldeke pada tahun 1856 dengan mengajukan tugas akhir tentang kesejarahan al-Qur’an. Setahun kemudian, yakni pada tahun 1857, Parisian Académie des Inscriptions et Belles-Lettres mengadakan sebuah proyek tentang “A Critical History of The Text of The Qur’an” dengan bentuk memberikan kesempatan kepada para peneliti tentang kesejarahan al-Qur’an untuk mengajukan hasil kajiannya guna diberi hadiah. Kesempatan itu tidak disia-siakan olehnya, dan nyatanya dialah yang memenangkan kompetisi itu. Dari kompetisi inilah Nöldeke memperoleh hadiah bersama dua rekan lainnya, Aloys Sprenger (1813-1893) dan Michele Amari (1806-1889).3 Kaitannya dengan Nöldeke, dapat dikatakan bahwa kompetisi inilah yang membuat namanya terus melonjak di aras oriental studies. Selain membuat nama Nöldeke yang mulai masyhūr, tampaknya kompetisi itu mengarahkan pikiran dan hatinya untuk memilih al-Qur’an sebagai pilihan konsentrasi kajiannya. Terbukti, pada tahun 1960 dengan bantuan murid kesayangannya, Friedrich Schwally (1863-1919), karya magnum opus-nya diterbitkan dengan judul, Geschichte des Qorans. Sebagaimana dikutip oleh Maimun dan Nur Hasan, menurut Arthur Jeffery, apa yang diukir oleh Nöldeke dalam kompetisi tersebut (dan kemudian diterbitkan) merupakan karya pertama kali yang memberikan landasan ilmiah yang sebenarnya untuk mengkaji Kitab Suci Islam (Geschichte des Qorans provided for

untuk terlebih dahulu menekuni dua bahasa Semit, yakni Arab dan Persia. Pada perkembangannya, Nöldeke mengembangkan objek pembelajarannya pada Bahasa Suryani kepada Ewald, Bahasa Arami kepada Bertheu, dan Bahasa Sansakerta kepada Benfay. Ibid., hlm. 414.

3 Faried F. Saenong, “Kesarjanaan al-Qur’an di Barat: Studi Bibliografis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, vol. 1 No. 2, Tahun 2006, hlm. 155. Bandingkan dengan Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis, hlm. 414.

Page 5: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya29

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

the first time a really scientific basis for study of the Scripture of Islam).4

Proses penelitian yang dilakukan Nöldeke dalam mengkaji kesejarahan al-Qur’an tidak terlepas dari ragam perlawatan intelektual yang telah dilakukannya. Pada tahun 1856, Nöldeke melawat ke Wina (Vienna) dan bertempat tinggal di sana hingga 1857. Di Wina, Nöldeke mempelajari dan meneliti manuskrip-manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Wina. Bersamaan dengan itu, ia juga memperdalam bahasa Persia dan Turki. Dari Wina Nöldeke melanjutkan lawatan intelektualnya ke Leiden hingga tahun 1858. Di Leiden inilah di samping banyak menjumpai manuskrip Arab Nöldeke juga menjumpai banyak orientalis senior Belanda terkemuka, seperti Reinhart Pieter Anne Dozy (1820-1883), Theodor William Juynboll (1802-1861), dan lain-lain, serta orientalis juniornya sekaligus seperti Michael Jan de Goeje (1836-1909) dan lain-lain. Tidak berhenti sampai di Leiden, Nöldeke kembali ke Jerman tetapi tidak pulang kampung, melainkan melanjutkan lawatannya ke Goeta dan menetap di sana selama satu bulan. Pada 26 April 1858 Nöldeke

4 Muhammad Maimun dan Muhammad Nur Hasan, “Nöldeke dan al-Qur’an: Problematika Kronologi al-Qur’an dan Duplikasi Bahasa”, dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Orientalisme al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Nawesea, 2007), hlm. 74. Terdapat kejanggalan dalam artikel tersebut, di dalamnya bahwa Arthur Jeffery meninggal pada tahun 1959, sementara karya Nöldeke terbit satu tahun setelahnya. Bagaimana Jeffery sudah mengomentari karya Nöldeke yang belum terbit? Memang dimungkinkan banyak hal, tetapi rentang waktu tersebut memberikan satu persoalan tersendiri. Angka tahun meninggalnya sosok Jeffery ini bagi penulis sangat unik karena ada beragam kontroversi, misalnya Nasaruddin Umar yang menyebutkan pada tahun 1952, demikian halnya dengan Adnin Armas yang menyebutkan pada tahun 1958. Periksa, Nasaruddin Umar, “Al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Waraq dan Marka A. Gabriel”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, vol. 1 No. 2, Tahun 2006, hlm. 94., dan Adnin Armas, “Orientalis dan Misi Kristen”, dalam Islamia: Jurnal Pemikiran Islam Republika, Edisi Kamis 23 September 2010, hlm. 6.

Page 6: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah30

Vol. III, No. 1, April 2015

kembali melanjutkan lawatannya, kali ini ke Berlin untuk kembali bersentuhan dengan manuskrip-manuskrip. Pada tanggal 2 September 1860 Nöldeke meninggalkan Berlin menuju ke Roma dan menetap di sana hingga tiga bulan lamanya. Di Roma inilah lawatan intelektual seorang Nöldeke berakhir, ia pun selanjutnya kembali ke Perpustakaan Universitas Göttingen untuk menjadi asisten pengelola.5

Pengembaraan intelektual seorang Nöldeke yang syarat dengan manuskrip-manuskrip sebagai asupannya di kemudian hari menghasilkan ragam karya seputar oriental studies. Di antara karyanya yang menjadi rujukan penting untuk studi al-Qur’an, baik di Barat maupun di Timur (kalangan tertentu) adalah Geschichte des Qorans (1960) dan Orientalische Skizzen (1892). Karya pertama telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Arab dengan judul Tārīkh al-Qur’ān, sementara karya kedua—yang penulis temui—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul, Sketches from Eastern History.6 Namun demikian, terdapat kejanggalan dalam pengembaraan intelektual Nöldeke, yakni tidak pernahnya Nöldeke mengunjungi wilayah-wilayah Timur-Tengah, yang notabene sebagai objek kajiannya.

5 Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis, hlm. 414-416.6 N.A. Newmen (ed.), The Qur’an, hlm. 1. Karya-karya selain seputar al-Qur’an misalnya

saja, Das Leben Muhammed’s Nach den Quellen Populaer Dargestelt (1862), Zur Grammatik des Klassichen Arabish (1897), Neue Beitrage Zur Semitischen Sprachkunde (1911), Das Leben Mohammeds (1963), Beiträge zur Kenntnis der Poesie der Alten Araber (1964), Die Alttestamentliche Literatur (1868), Untersuchungen zur Kritik des Alten Testaments (1869), Geschichte der Perser und Araber zur Zeit der Sasaniden: Aus der arabischen Chronik des Tabari Űbersetzt (1879), dan lain sebgainya. Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Theodor_N%C3%B6ldeke (Diakses pada tanggal 13 Nopember 2011).

Page 7: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya31

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

C. Tartīb Nuzūl al-Qur’ān Model Nöldeke

1. Basis Konstruksi

Kajian kesejarahan al-Qur’an dilakukan oleh Nöldeke secara mendasar tidak dapat dilepaskan dari geliat para intelektual orientalis kala itu, di mana al-Qur’an menjadi salah satu objek penting yang harus dikaji untuk memahami Islam secara menyeluruh. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa intensitas “persenggamaan” Nöldeke dengan al-Qur’an tidak terlepas dari proyek yang dicanangkan oleh Parisian Académie des Inscriptions et Belles-Lettres. Dengan demikian, maka tujuan yang hendak dicapai oleh Nöldeke pun tidak jauh berbeda dengan digelarnya proyek tersebut. Berkaitan dengan itu, William Montgomery Watt (1909-2006) mengungkapkan bahwa:

“Reshercher la division primitive et le caractère des différents morceaux qui le composent; determiner autant qu’il est possible, avec l’aid des historians et des commentateurs et d’après l’examen des morceaux eux-mêmes, les moment de la vie de Mohamet aux quells ils se repportent; exposer les vicissitudes que traversa le texte du Coran, depuis les recitations de Mohamet jusqu’à la récension definitive qui lui donna la forme où nous le voyons; determiner d’après l’examen des plus anciens manuscrits la nature des variantes qui ont survécu aux récensions”.7

Artinya, proyek tersebut bertujuan untuk, paling tidak, empat capaian. Pertama, untuk mengkaji pembagian klasik dan karakter berbagai essai yang ditulis. Kedua, untuk menentukan semaksimal mungkin, berbagai tahap, langkah dan peristiwa

7 Dikutip dari Faried F. Saenong, “Kesarjanaan al-Qur’an di Barat, hlm. 163-164. Telusuri dalam, W. M. Watt dan Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991), hlm. 175.

Page 8: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah32

Vol. III, No. 1, April 2015

kehidupan Muhammad, dengan bantuan sejawaran-sejarawan Arab dan para mufassir, serta penilaian mereka terhadap essai-essai itu. Ketiga, untuk menjelaskan berbagai perubahan dan perkembangan yang dialami oleh teks al-Qur’an, sejak ia dibacakan pada masa kehidupan Muhammad hingga pada kodifikasi final-nya. Keempat, untuk memverifikasi hakikat berbagai varian yang mempertahankan kodifikasi tersebut berdasarkan berbagai kajian terhadap manuskrip-manuskrip sebelumnya.

Proyek monograf yang kemudian mewujud pada buah karya monumental tersebut pada perkembangannya dan yang beredar saat ini tidak hanya berisi persoalan kronologi pewahyuan al-Qur’an saja. Topik ini hanya merupakan bagian awal dari buku Geschichte des Qorans. Di dalamnya terdapat dua kajian penting lain tentang kesejarahan al-Qur’an. Jika dipetakan secara kronologis, karya ini terbagi ke dalam tiga volume. Volume pertama berjudul Euber den Ursprung des Qorans dan dipublikasikan di Leipzig pada tahun 1909. Dalam edisi terjemahan Arab volume ini diberi judul, Fī Aṣl al-Qur’ān. Di dalamnya terdapat dua topik pembahasan, yaitu kenabian dan kewahyuan Muhammad (Nubuwwah Muḥammad wa al-Waḥy), dan bagian-bagian otentik al-Qur’an (Aṣl Ajzā’ al-Qur’ān al-Mufradah). Volume kedua berjudul Die Samlung des Qorans dan diterbitkan pada tahun 1919, tepat tebelum Schwally meninggal pada Februari 1919 sebelum menyempurnakan volume ketiga tentang sejarah teks al-Qur’an. Schwally bahkan masih sempat menulis pengantar untuk volume ketiga sebelum ia meninggal. Pada edisi Arab volume ini diberi judul, Jamˋ al-Qur’ān, dengan tujuh topik pembahasan. Sedangkan volume ketiga berjudul Geschichte des Qoran Texts dan diterbitkan pada tahun 1938.

Page 9: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya33

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

Pada edisi Arab volume ini diberi judul, Tārīkh Naṣṣ al-Qur’ān, dengan tiga topik pembahasan.8

Apa yang dikonstruksikan oleh Nöldeke terkait dengan tartīb nuzūl al-Qur’ān tidak terlepas dari empat tujuan proyek di atas, tetapi pokok tujuan yang hendak dicapai oleh Nöldeke tampaknya hanya sampai pada dua hal, yakni untuk menentukan semaksimal mungkin, berbagai tahap, langkah dan peristiwa kehidupan Muhammad, dengan bantuan sejawaran-sejarawan Arab dan para mufassir, serta penilaian mereka terhadap essai-essai itu; dan dari situ kemudian dilanjutkan untuk menjelaskan berbagai perubahan dan perkembangan yang dialami oleh teks al-Qur’an, sejak ia dibacakan pada masa kehidupan Muhammad hingga pada kodifikasi final-nya. Namun demikian tujuan kedua ini hanya sebatas implikasi yang kemudian muncul, bukan sebagai tujuan utama.

Berangkat dari tujuan utama tersebut guna mengkonstruskikan tartīb nuzūl al-Qur’ān Nöldeke memanfaatkan dua rujukan, yaitu data sejarah dan penafsiran al-Qur’an serta manuskrip-manuskrip al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang

8 Proses editing volume ketiga ini berjalan terkatung-katung. Bagaimana tidak, sepeninggal Schwally proyek tersebut dilanjutkan oleh iparnya, Zimmern (1862-1931) dan koleganya Fischer (1865-1949). Kemudian diteruskan lagi oleh Gotthelf Bergsträsser (1886-1933), salah satu kolega Schwally di Köningsberg, yang hanya sempat menyelesaikan dua bagian dalam volume ketiga yang dicetak pada 1926 dan 1929. Ketika sedang menyelesaikan bagian ketiganya, Bergsträsser meninggal secara tiba-tiba pada 1933. Otto Pretzl (1893-1941) kemudian bertugas menyelesaikan sisa-sisa yang tertinggal hingga dapat terbit. Mengomentari panjangnya waktu yang dibutuhkan (16 belas tahun setelah pertama terbit) dalam merevisi karya tersebut, W. M. Watt berkata, “It is truly remarkable work of scholarly cooperation, and deservedly maintains its position as the standard treatment of the subject, even thought some parts of it now require revision”. Dikutip dari Faried F. Saenong, “Kesarjanaan al-Qur’an di Barat, hlm. 164-165. Telusuri dalam, W. M. Watt dan Richard Bell, Introduction to the Qur’an, hlm. 176. Periksa, Theodor Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, terj. Jawraj Tāmir (Beirut: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004), hlm. 836-841.

Page 10: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah34

Vol. III, No. 1, April 2015

tersebar sepanjang zaman.9 Artinya, Nöldeke tidak menafikan literatur dalam khazanah Islam sebagai referensinya. Dengan melihat pada pola penjelasannya, M. ˋAbed al-Jābirī� (w. 2010) mengungkapkan bahwa standart (prinsip dasar) yang digunakan oleh Nöldeke dalam menyusun aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān ada dua hal, yaitu (1) petunjuk-petunjuk di dalam al-Qur’an yang mengarah pada kejadian sejarah, dan (2) karakteristik teks al-Qur’an.10

Sebagai implikasi dari penggunaan literatur dalam khazanah Islam sebagai rujukannya, Nöldeke tidak terlepas dari peta standart makiyyah dan madaniyyah. Dua terma ini di kalangan intelektual Muslim didefinisakan dengan tiga paradigma. Pertama, paradigma waktu. Makiyyah, dalam paradigma ini didefinisikan dengan surat-surat/ayat-ayat al-Qur’an yang turun sebelum hijrah, sementara madaniyyah adalah setelahnya. Kedua, paradigma tempat. Makiyyah, dalam paradigma ini didefinisikan dengan surat-surat/ayat-ayat al-Qur’an yang turun di Kota Makkah dan sekitarnya, seperti Minā, ˋArafah, dan Ḥudaibiyah, sementara madaniyyah adalah surat-surat/ayat-ayat al-Qur’an yang turun di Kota Madinah dan sekitarnya, seperti Uḥud, Qubā’, dan Silˋ. Ketiga, paradigama audience. Makiyyah, dalam paradigma ini didefinisakan dengan surat-surat/ayat-ayat al-Qur’an yang seruannya ditujukan kepada penduduk Makkah, sementara yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah desebut madaniyyah.11 Dengan melihat pola struktur aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān-nya (lihat pada tabel), Nöldeke tampak

9 Ibid., hlm. 53-54.10 M. ˋA� bed al-Jābirī�, Madkhal ilā al-Qur’ān al-Karīm: Al-Juz al-Awwal fi al- Taˋrīf bi al-

Qur’ān (Bairut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-ˋArabiyyah, 2006), hlm. 241.11 Mannāˋ Khalī�l al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī ˋUlūm al-Qur’ān (T.t.p.: Mansyūrāt al-ˋAṣr al-

Ḥadīṡ, 1990), hlm. 61-62.

Page 11: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya35

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

menggunakan paradigma waktu, di mana makiyyah adalah klasifikasi surat yang turun sebelum hijrah, sementara yang setelahnya diklasifikasikan dalam terma madaniyyah.

Dalam pada itu, ada satu persoalan yang dikeluhkan oleh Nöldeke kaitannya dengan persoalan kesejarahan al-Qur’an, yakni tentang data otentik yang menjadi rujukan induk tentang tartīb nuzūl al-Qur’ān.12 Realitas demikian menjadi sebuah keniscayaan akan adanya kontroversi tentang tartīb nuzūl al-Qur’ān di kalangan intelektual Muslim sendiri. Aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān versi Ibn ˋAbbās dan ˋUmar ibn Muḥammad ibn ˋAbd al-Kāfī�, misalnya, perbedaan keduanya dipastikan berbeda pula dengan riwayat dari ˋIkrimah dan Ḥusain ibn Abī� Ḥasan.13

Melihat relitas kontroversi tersebut maka sangat wajar jika Abu Zayd (w. 2010) mengungkapkan bahwa terminologi makiyyah dan madaniyyah serta asbab al-nuzūl merupakan tiga topik ilmu al-Qur’an yang sengaja dibuat oleh ulama-ulama terdahulu berdasarkan premis hukum Islam (fikih), khususnya dalam penentuan ayat-ayat nāsikh-mansūkh. Pengorientasian berdasarkan premis fikih tersebut, pada perkembangannya, telah menyebabkan kacaunya batasan kajian ketiga terminologi makiyyah dan madaniyyah.14

2. Struktur Periodesasi dan Perbandingannya dengan Sarjana Barat Lain

Meski Geschichte des Qorans kerap dielu-elukan di kalangan orientalis sendiri, bukan berarti aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān

12 Lihat, Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, hlm. 57-58.13 Lihat perbedaan masing-masing dalam, Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-

Qur’an (Yogyakarta: FkBA, 2001), hlm. 86-88. 14 Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, Tekstualitas al-Qur’an, terj Khairon Nahdliyyin (Yogyakarta:

LKiS, 2001), hlm. 94-95.

Page 12: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah36

Vol. III, No. 1, April 2015

belum pernah dilakukan sama sekali oleh mereka. Saat itu, abad ke-19, kesarjanaan Barat sudah “terbiasa” manaruh perhatian mereka terhadap upaya merekonstruksi secara kronologis wahyu-wahyu al-Qur’an. Upaya tersebut dilakukan dengan mengeksploitasi ragam literatur dalam khazanah keislaman dan memperhatikan bukti-bukti internal al-Qur’an sendiri.

Gustav Weil (1808-1889) dapat dikatakan sebagai sosok orientalis pertama yang menaruh perhatiannya pada kajian tentang tartīb nuzūl al-Qur’ān. Karyanya berhasil diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Historisch-Kritische Einleitung in der Koran pada tahun 1844. Dalam karya tersebut Weil mengelaborasi lebih jauh kaitannya dengan periodesasi makiyyah dan madaniyyah yang dikonstruksikan oleh para intelektual Muslim terdahulu. Dalam pada itu, Weil membagi periode makiyyah menjadi tiga tahap dan madaniyyah dalam satu tahap. Artinya, yang semula periodesasi tersebut hanya berjumlah dua tahap kini menjadi empat tahap, yang berupa (1) makiyyah tahap pertama, (2) makiyyah tahap kedua, (3) makiyyah tahap ketiga, dan (4) tahap madaniyyah. Pengembangan periodesasi tersebut mengandaikan keharusan adanya batasan-batasan titik pengalihan yang jelas. Titik pengalihan tersebut terletak pada masa hijrah ke Abisinia (615 M.) untuk makiyyah tahap pertama ke tahap kedua, saat kembalinya Nabi dari Ṭā’if (620 M.) untuk makiyyah tahap kedua ke tahap ketiga, dan peristiwa hijrah (622 M.) untuk makiyyah tahap ketiga ke periode madaniyyah.15

Apa yang digagas oleh Weil kemudian dikembangkan oleh Nöldeke dengan beberapa perbedaan (lihat pada tabel) dan kajian yang lebih kritis. Basis periodesasi tersebut tampaknya

15 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah, hlm. 100.

Page 13: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya37

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

diterima secara total oleh Nöldeke, namun kandungan di dalamnya terdapat beberapa perbedaan yang cukup krusial. Belakangan, Regis Blachère (1900-1973) mengadopsi aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān Nöldeke dengan sedikit perbedaan sebagai sistematika terjemahan al-Qur’an-nya yang berjudul, Le Coran: Traduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates (1949-1950). Dengan demikian, meski dengan pendekatan yang sama, yakni sejarah modern, tampaknya di kalangan orientalis pun menghasilkan kontroversi, sebagaimana hal tersebut terjadi di kalangan intelektual Muslim terdahulu.

Selain daripada perbedaan dari aspek waktu, karakteristik internal teks juga menjadi bagian dari alasan pembedaan empat kelompok tersebut. Taufik Adnan Amal meringkas bahwa titik perbedaan intrinsik tersebut berupa:16

a. Pada tahapan makiyyah pertama surat-suratnya cenderung pendek-pendek. Sepadan dengan itu adalah bentuk ayatnya yang cenderung pendek, selain juga berirama. Awalan-awalan surat kerap dimulai dengan ungkapan-ungkapan sumpah, dan bahasanya penuh dengan perumpamaan, serta memiliki keindahan puitis yang tinggi.

b. Pada tahapan makiyyah kedua surat-suratnya lebih panjang dari yang pertama dan cenderung berbentuk prosa dengan tetap mempertahankan keindahan putisnya. Gaya yang ditampilkan membentuk transisi antara surat-surat makiyyah tahap pertama dan ketiga. Tanda-tanda kemahakuasaan Tuhan dalam alam dan sifat-sifat Ilahi, seperti raḥmah ditekankan, sementara

16 Ibid., hlm. 101-104.

Page 14: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah38

Vol. III, No. 1, April 2015

Tuhan sendiri sering disebut dengan al-raḥmah. Deskripsi yang hidup tentang surga dan neraka diungkapkan, serta dalam periode inilah kisah-kisah umat Nabi sebelum Muhammad yang diazab Tuhan diintroduksi.

c. Pada tahapan makiyyah ketiga surat-suratnya cenderung lebih panjang dan membentuk prosa. Weil bahkan beranggapan bahwa “kekuatan puitis” yang menjadi ciri surat-surat dua periode sebelumnya telah menghilang dalam periode ini, sementara Nöldeke mengemukakan bahwa penggunaan al-raḥmah sebagai nama diri Tuhan telah berakhir pada periode ketiga, tetapi karakteristik-karakteristik periode kedua lainnya semakin mengental. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban umat terdahulu dituturkan kembali secara lebih rinci.

d. Pada tahapan madaniyyah surat-suratnya tidak banyak memperlihatkan perubahan gaya dari periode makiyyah ketiga dibandingkan pokok perubahan bahasan. Perubahan ini terjadi dengan semakin meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan umum peristiwa-peristiwa di Madinah setelah hijrah. Pengangkuan Nabi sebagai pemimpin masyarakat, menyebabkan wahyu-wahyu berisi hukum dan aturan kemasyarakatan. Tema-tema dan istilah kunci baru turut membedakan surat-surat periode ini dari periode sebelumnya.

Berikut penulis lansir ketiga struktur aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān tersebut sebagai perbandingan:17

17 Nama surat ini didasarkan pada Muṣaf ˋUṡmānī� yang beredar di Indoensia. TN: Tartīb Nuzūlī, TM: Tartīb Muṣḥafī. Tabel ini diadaptasi dari Taufik Adnan Amal dalam,

Page 15: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya39

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

TN TM Nama Surat Versi G. Weil Versi Blachère

TAHAP MAKIYYAH I

1 96 al-ˋAlaq1 al-ˋAlaq al-ˋAlaq2 74 al-Mudaṡṡir2 al-Mudaṡṡir al-Mudaṡṡir3 111 al-Lahab al-Muzammil Quraisy4 106 Quraisy Quraisy al-Ḍuḥā5 108 al-Kawṡar al-Lahab al-Syarḥ6 104 al-Humazah al-Najm al-ˋAṣr7 107 al-Māˋūn al-Takwī�r al-Syams8 102 al-Takāṡur al-Qalam al-Māˋūn9 105 al-Fī�l3 al-Aˋlā al-Ṭāriq

10 92 al-Layl al-Layl al-Tī�n11 90 al-Balad al-Fajr al-Zalzalah12 94 al-Syarkh al-Ḍuḥā al-Qāriˋah13 93 al-Ḍuḥā al-Syarḥ al-ˋA� diyah14 97 al-Qadr al-ˋAsr al-Layl15 86 al-Ṭāriq al-ˋA� diyah al-Infiṭār16 91 al-Syams al-Kawṡar al-Aˋlā17 80 ˋAbasa al-Takāṡur ˋAbasa18 68 al-Qalam4 al-Māˋūn al-Takwī�r19 87 al-Aˋlā al-Kāfirūn al-Insyiqāq20 95 al-Tī�n al-Fī�l al-Nāziˋāt21 103 al-ˋAṣr5 al-Falaq al-Gāsyiyah22 85 al-Burūj6 al-Nās al-Ṭūr23 73 al-Muzammil al-Ikhlāṡ al-Wāqiˋah24 101 al-Qāriˋah ˋAbasa al-Hāqqah25 99 al-Zalzalah al-Qadr al-Mursalāt26 82 al-Infiṭār al-Syams al-Nabā’27 81 al-Takwī�r al-Burūj al-Qiyāmah28 53 al-Najm7 al-Balad al-Raḥmān29 84 al-Insyiqāq8 al-Tī�n al-Qadr30 100 al-ˋA� diyāt al-Qāriˋah al-Najm31 79 al-Nāziˋāt9 al-Qiyāmah al-Takāṡur32 77 al-Mursalāt al-Humazah al-‘Alaq

Ibid., hlm. 101-105., dan al-Jābirī�, Madkhal ilā al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 241., dengan dilakukannya verifikasi pada karya Nöldeke langsung. Lihat, Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, hlm. 61-210.

Page 16: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah40

Vol. III, No. 1, April 2015

33 78 al-Nabā’10 al-Mursalāt al-Ma’arij34 88 al-Gāsyiyah al-Ṭāriq al-Muzammil35 89 al-Fajr al-Maˋārij al-Insān36 75 al-Qiyāmah11 al-Nabā’ al-Muṭaffifī�n37 83 al-Muṭaffifī�n al-Nāziˋah al-Mudaṡṡir38 69 al-Hāqqah al-Infiṭār al-Lahab39 51 al-Z� āriyāt12 al-Insyiqāq al-Kawṡar40 52 al-Ṭūr13 al-Wāqiˋah al-Humazah41 56 al-Wāqiˋah14 al-Gāsyiyah al-Balad42 70 al-Maˋārij al-Ṭūr al-Fī�l43 55 al-Raḥmān15 al-Ḥaqqah al-Fajr44 112 al-Ikhlāṣ al-Muṭaffifī�n al-Ikhlāṣ45 109 al-Kāfirūn al-Zalzalah al-Kāfirūn46 113 al-Falaq - al-Fātiḥah47 114 al-Nās - al-Falaq48 1 al-Fātiḥah - al-Nās

TAHAP MAKIYYAH II

1 54 al-Qamar al-Fātiḥah al-Z� āriyāt2 37 al-Ṣaffāt al-Z� āriyāt al-Qamar3 71 Nūḥ Yāsī�n al-Qalam4 76 al-Insān Qaf al-Ṣaffāt5 44 al-Dukhān al-Qamar Nūḥ6 50 Qāf al-Dukhān al-Dukhān7 20 Tāhā Maryam Qāf8 26 al-Syūrā Ṭāhā Ṭāhā9 15 al-Ḥijr al-Anbiyā’ al-Syuˋarā

10 19 Maryam16 al-Mu’minūn al-Ḥijr11 38 Ṣād al-Furqān Maryam12 36 Yāsī�n al-Syuˋarā Ṣād13 43 al-Zukhruf al-Mulk Yāsī�n14 72 aL-Jin al-Ṣaffāt al-Zukhruf15 67 al-Mulk Ṣād al-Jin16 23 al-Mu’minūn al-Zukhruf al-Mulk17 21 al-Anbiyā’ Nūḥ al-Mu’minūn18 25 al-Furqān17 al-Raḥmān al-Anbiyā’19 17 al-Isrā’ al-Ḥijr al-Furqān20 27 al-Naml al-Insān al-Naml21 18 al-Kahfi - al-Kahfi

Page 17: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya41

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

TAHAP MAKIYYAH III1 32 al-Sajdah al-Aˋraf al-Sajdah2 41 Fuṣṣilat al-Jin Fuṣṣilat3 45 al-Jāṡiyah Fāṭir al-Jāṡiyah4 16 al-Naḥl18 al-Naml al-Isrā’5 30 al-Rūm al-Qaṣaṣ al-Naḥl6 11 Hūd al-Isrā’ al-Rūm7 14 Ibrāhim19 Yūnus Hūd8 12 Yūsuf Hūd Ibrāhim9 40 al-Mu’min20 Yūsuf Yūsuf

10 28 al-Qaṣaṣ al-Anˋām al-Mu’min11 39 al-Zumar Luqmān al-Qaṣaṣ12 29 al-ˋAnkabūt21 Sabā’ al-Zumar13 31 Luqmān22 al-Zumar al-ˋAnkabūt14 42 al-Syūrā al-Mu’min Luqmān15 10 Yūnus al-Sajdah al-Syūrā16 34 Sabā’ al-Syūrā Yūnus17 35 Fāṭir al-Jāṡiyah Sabā’18 7 al-Aˋraf23 al-Aḥqāf Fāṭir19 46 al-Aḥqāf al-Kahfi al-Aˋraf20 6 al-Anˋam al-Naḥl al-Aḥqāf21 13 al-Raˋd Ibrāhim al-Anˋam22 - - Fuṣṣilat al-Raˋd23 - - al-Rūm -24 - - al-ˋAnkabūt -25 - - al-Ra’d -26 - - al-Tagābun -

TAHAP MADANIYYAH1 2 al-Baqarah al-Baqarah al-Baqarah2 98 al-Bayyinah al-Bayyinah al-Bayyinah3 64 al-Tagābun al-Jumu’ah al-Tagābun4 62 al-Jumuˋah al-Talaq al-Jumuˋah5 8 al-Anfāl al-Ḥaj al-Anfāl6 47 Muḥammad al-Nisa Muḥammad7 3 A� lu ˋImrān al-Anfāl A� lu ˋImrān8 61 al-Ṣaff Muḥammad al-Ṣaff9 57 al-Ḥadī�d al-Ḥadī�d al-Ḥadī�d

10 4 al-Nisā’ A� lu ˋImrān al-Nisā’

Page 18: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah42

Vol. III, No. 1, April 2015

11 65 al-Ṭalāq al-Ḥasyr al-Talāq12 59 al-Ḥasyr al-Nūr al-Ḥasyr13 33 al-Aḥzāb al-Munāfiqūn al-Aḥzāb14 63 al-Munāfiqūn al-Aḥzāb al-Munāfiqūn15 24 al-Nūr al-Fatḥ al-Nūr16 58 al-Mujādilah al-Naṣr al-Mujādilah17 22 al-Ḥaj al-Ṣaff al-Ḥaj18 48 al-Fatḥ al-Mumtaḥanah al-Fatḥ19 66 al-Taḥrī�m al-Mujādilah al-Taḥrī�m20 60 al-Mumtaḥanah al-Ḥujurāt al-Mumtaḥanah21 110 al-Naṣr al-Taḥrī�m al-Naṣr22 49 al-Hujurāt al-Tawbah al-Ḥujurāt23 9 al-Tawbah al-Mā’idah al-Tawbah24 5 al-Mā’idah - al-Mā’idah

Dari struktur aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān tersebut, dengan dua perbandingan yang ada, dapat dilihat perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan, utamanya antara Nöldeke dan Weil. Dilihat dari aspek jumlahnya, Nöldeke dan Weil sama-sama mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an ke dalam 114 tahapan surat, sementara Blachère hanya 113 tahapan surat. Pada tahapan makiyyah dan madaniyyah secara keseluruhan antara Nöldeke dan Blachère hampir mendekati kesamaan jumlah, yakni 80 dan 79, sementara bagi Weil makiyyah tahap pertama hanya 45 surat, makiyyah kedua hanya 20 surat, dan makiyyah melebihi dari dua tokoh yang lain, yakni 26 surat, tetapi secara keseluruhan total jumlah tahapan makiyyah jauh diatas jumlah dua tokoh yang lain, yakni mencapai 91 surat. Perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan jumlah surat yang turun pada tahapan madaniyyah, jika Nöldeke dan Blachère berjumlah 24, sementara Weil berjumlah 23 surat.

Page 19: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya43

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

Dari perbedaan-perbedaan tersebut yang justru menjadikan penulis sedikit terkesima adalah awal dan akhir surat dilihat dari aspek kronologisnya. Ketiganya sama-sama menempatkan posisi al-ˋAlaq sebagai wahyu pertama dan al-Mā’idah sebagai surat penutup. Masih banyak perbedaan-perbedaan dan kesamaan-kesamaan lain yang pada dasarnya penting untuk dieksplorasi, namun karena terbatasnya kesediaan halaman, titik penting perbedaan dan persamaan di atas dapat dianggap mewakili yang lain. Pasalnya, jika berbicara tentang kesejarahan al-Qur’an maka yang paling pokok dibahas adalah surat mana yang pertama dan terakhir kali turun.

Apa yang telah dikonstruksikan oleh Nöldeke, dan termasuk Weil dan Blachère, di atas secara global bagi al-Jābirī� tidak ada hal baru jika dibanding dengan torehan intelektual Muslim sebelumnya.18 Dengan melihat pada konstruksi aransemen al-Jābirī�,19 ketidakbaruan tersebut tampak terletak pada peta terminologi makiyyah dan madaniyyah yang masih mengekor pada hasil konstruksi intelektual Muslim terdahulu, demikian juga dengan awal surat dan alasan-alasan dari penempatan kronologis masing-masing suratnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Taufik, menurutnya sistem penanggalan empat periode di atas terlihat hanya merupakan varian yang agak terelaborasi dari sistem penanggalan makiyyah-madaniyyah kesarjanaan Islam. Ketiganya sangat bergantung pada penanggalan tradisional dan hal-hal yang bertalian dengan bentuk serta gaya yang dikembangkan sarjana Muslim.20

18 Al-Jābirī�, Madkhal ilā al-Qur’ān al-Karīm, hlm. 243.19 Lihat bagaimana konstruski baru al-Jābirī� dalam, Mohamad Yahya, “Fahm al-Qur’ān

al-Ḥakīm: Al-Tafsīr al-Wāḍiḥ Ḥasba Tartīb al-Nuzūl Karya al-Jābirī�”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an dan Hadis, vol. 11, No. 1, Januari 2010, hlm. 16-18.

20 Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah, hlm. 105.

Page 20: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah44

Vol. III, No. 1, April 2015

D. Tinjauan Siyāq dan Logika Sejarah: Sebuah Kritik

Sebelum penulis melakukan kritik atas konstruksi aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān Nöldeke, terlebih dahulu menguraikan titik-tik penting setting kajiannya. Sebagaimana telah diungkap sebelumnya bahwa apa yang dilakukan oleh Nöldeke tidak terlepas dari geliat para orientalis kala itu yang sedang ramai mengaplikasikan teori-teori sejarah dan sastra modern untuk mengkaji Islam, dan al-Qur’an secara khusus. Tujuan yang hendak dicapai Nöldeke dalam kajiannya adalah menentukan semaksimal mungkin, berbagai tahap, langkah dan peristiwa kehidupan Muhammad, dengan bantuan sejawaran-sejarawan Arab dan para mufassir, serta penilaian mereka terhadap essai-essai itu. Artinya, ia secara langsung ingin memotret fakta pentahapan al-Qur’an dari waktu ke waktu selaras dengan tahapan kenabian itu sendiri. Sehingga, dapat dipahami bahwa kajian Nöldeke berpilar pada kandungan al-Qur’an yang didasarkan pada kesesuaian (siyāq) struktur teks dan logika sejarah yang digali dari data faktual yang tertera dalam riwayat-riwayat masyarakat Muslim terdahulu. Pertanyaannya kemudian, konsistenkah konstruksi Nöldeke dengan dua pilar tersebut? Dalam menjawab pertanyaan ini penulis menggunakan surat yang terakhir kali turun sebagai sample-nya. Bukan berarti contoh analisis disini sebagai tolak ukur dan representasi utuh untuk mengatakan bahwa apa yang dikonstruskikan oleh Nöldeke sebagaimana yang terjadi dalam surat terakhir kali turun tersebut, tetapi lebih sebagai contohnya saja. Sengaja penulis hanya mengambil surat terakhir, tidak pertama kali turun, karena surat al-ˋAlaq sebagai surat yang pertama kali turun tampaknya menjadi mayoritas pendapat, dan termasuk pula pendapat Nöldeke.

Page 21: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya45

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

Dalam Mabāḥṡ fī ˋUlūm al-Qur’ān, Mannāˋ al-Qaṭṭān21 menguaikan bahwa pendapat piling sahih mengenai surat yang pertama kali turun adalah Q.S. al-ˋAlaq, (65): 1-5. Dasar legitimasi pendapat ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh ˋA� ’isyah.22 Selain dari pendapat tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa yang turun pertama kali adalah Q.S. al-Mudaṡṡir,23 Q.S. al-Fātiḥah, dan bahkan Bism Allāh al-Raḥmān al-Raḥīm, karena ia ada dalam setiap awal surat. Kontroversi tersebut sebagaimana terjadi pada persoalan surat yang terakhir kali turun, namun tidak ada yang menegaskan bahwa salah satu pendapat yang paling sahih atau lebih unggul. Pendapat-pendapat tersebut, sebagaimana dilansir Mannāˋ al-Qaṭṭān, di antaranya adalah (1) Q.S. al-Baqarah (2): 278, (2) Q.S. al-Baqarah, (2): 281, (3) Q.S. al-Baqarah, (2): 282, (3) Q.S. al-Nisā’, (4): 176, (4) Q.S. al-Tawbah, (9): 128-129, (5) Q.S. al-Mā’idah, (6) Q.S. A� lu ˋImrān, (5): 195, (6) Q.S. al-Nisā’, (4): 93, (7) Q.S. al-Naṣr, dan (8) Q.S. al-Mā’idah (5): 3.24

Sebagaimana tampak dalam tabel di atas, Nöldeke menempatkan Q.S. al-Mā’idah sebagai surat yang turun terakhir kali. Berkaitan dengan surat terakhir yang turun ini pada dasarnya Nöldeke telah menyinggungnya sejak mengulas Q.S. al-Naṣr. Ia pun tidak memungkiri jika ada yang berpendapat bahwa surat ini yang terakhir kali turun. Pendapat tersebut disandarkan pada hadis riwayat al-Bukharī�, Muslim, al-Tirmiżī�, al-Ṭabarī�, dan

21 Baca, Mannāˋ Khalī�l al-Qaṭṭān, Mabāḥṡ fī ˋUlūm al-Qur’ān, hlm. 67-68. 22 Hadis tersebut di-takhrīj oleh Imam Muslim dengan nomor 422, lihat, Abū al-Ḥusain

Muslim al- Naisabūrī�, Al-Jāmiˋ al-Ṣaḥīḥ (Beirut: Dār al-Afāq al-Jadī�dah, t.t.), juz I. hlm. 97.

23 Pendapat ini didasarkan pada riwayat Jābir bin Abdillāh. Lihat, Ibid., hlm. 13. Mengomentari hadis ini, Mannāˋ al-Qaṭṭān mengungkapkan bahwa hadis ini berkaitan dengan surat yang pertama kali turun secara penuh sebelum al-ˋAlaq selesai diturunkan semua. Al-Qaṭṭān, Mabāḥṡ fī ˋUlūm al-Qur’ān, hlm. 67.

24 Lihat dan baca masing-masing alasan pendapat tersebut dalam, Ibid., hlm. 69-71.

Page 22: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah46

Vol. III, No. 1, April 2015

lain sebagainya.25 Selanjutnya, Nöldeke mengungkapkan bahwa banyak kalangan yang berpendapat bahwa al-Mā’idah menjadi surat yang terakhir kali turun. Ayat ke-3 dalam surat tersebut menjadi penegas dari pendapat tersebut, di mana ayat tersebut turun pada saat haji wadāˋ yang dilaksanakan pada tahun ke-10 H., sebelum meninggalnya Nabi Muhammad Saw.26 Berdasarkan riwayat-riwayat kaitannya dengan al-Mā’idah inilah kemudian Nöldeke memposisikan ayat tersebut sebagai surat yang terakhir kali turun.

Al-Jābirī� mengungkapkan bahwa kalangan yang memposisian al-Mā’idah sebagai surat yang terakhir kali turun daripada al-Naṣr menggunakan tolak ukur kata al-naṣr dan al-fatḥ dalam surat tersebut, yang menjadi acuan peristiwa penaklukkan kota Makkah yang terjadi pada tahun ke-8 H.27 Ia pun tidak memungkiri rasionalitas kesesuaian siyāq tersebut, namun baginya hal itu tidak selaras dengan logika sejarah yang menunjukkan bahwa fatḥ makkah terjadi pada bulan Ramadan tahun ke-8 H. Baginya, yang sesuai di posisi surat terakhir turun adalah al-Naṣr. Surat tersebut, menurutnya, diturunkan pada tahun ke-10 H., yang bersamaan dengan peristiwa kedatangan suku-suku Arab ke Madinah untuk memeluk agama Islam setelah Islam semakin menyebar dan tenang seusai perang Tabuk pada tahun 9 H., yang juga menjadi tahun diturunkannya surat al-Tawbah, jauh berbeda dengan al-Mā’idah yang bagi al-Jābirī� turun pada tahun ke-7 H.28

Ketidakselarasan antara dua kata kunci di atas dengan realitas sejarahnya mengarahkan al-Jābirī� untuk memilih konstruksi

25 Lihat footnote No. 884. Nöldeke, Tārīkh al-Qurān, hlm. 197 26 Ibid., hlm. 204.27 M. ˋA� bed al-Jābirī�, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm: Al-Tafsīr al-Wāḍiḥ Ḥasb Tartīb al-Nuzūl

(Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-ˋArabiyyah, 2008) ,Vol. III, hlm. 411.28 Ibid., hlm. 352.

Page 23: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya47

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

ayat per ayat dari Q.S. al-Naṣr. Ayat pertama dipahami bahwa setelah kurang lebih 23 tahun lamanya terjadi konflik berulang-ulang dengan kaum Quraisy dan beragam suku Arab yang lain kini pertolongan Allah telah datang. Sedangkan ayat kedua, yadkhulūna fī dīnillāh afwājā, dipahami sebagai tanda bahwa risalah Muhammad telah disampaikan dan tugasnya pun telah (selesai) dilakukan. Karena itu, sudah saatnya Nabi menghadap kepada Allah dengan memuji dan bersyukur kepada-Nya, seraya meminta pengampunan kepada-Nya untuk keislaman mereka (umat), karena Allah adalah Z� āt Penerima Taubat, sebagaimana bunyi ayat terakhir.29 Di sinilah letak kesesuaian kandungan al-Naṣr untuk dikatakan sebagai surat yang terakhir kali turun.

Untuk melegitimasi pendapatnya, al-Jābirī� menguti pendapat Ibn Masˋūd yang mengatakan bahwa surat al-Naṣr disebut juga al-Tawdīˋ (perpisahan). Selain itu, ia juga memperkuatnya dengan riwayat Ibn ˋAbbās yang menyatakan bahwa setelah surat al-Naṣr ini turun, Nabi memanggil putrinya, Fāṭimah, dan memberitahukan bahwa ajal nabi sudah ditentukan oleh Allah Swt., Fāṭimah pun menangis. ˋAbdullāh ibn ˋUmar menyatakan bahwa Nabi hanya hidup selama tiga bulan setelah turunnya al-Naṣr, yang juga berarti bahwa surat ini turun beberapa saat setelah haji wadāˋ, yang digelar pada tahun ke-10 H., sementara Nabi wafat pada 13 Rabī�̀ al-Awwal tahun ke-11 H.30

Apa yang dilakukan oleh Nöldeke tidak seteliti al-Jābirī� dalam kasus tersebut. Nöldeke hanya sebatas melihat bagaimana literatur keislaman mengatakan persoalan tersebut dan kemudian melihat kandungannya secara sekilas. Artinya,

29 Ibid., hlm. 412. 30 Ibid., hlm. 411-412.

Page 24: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah48

Vol. III, No. 1, April 2015

jika terjadi perbedaan-perbedaan pendapat terhadap suatu kasus, misalnya saja surat terakhir, maka ia akan mengambil pendapat yang paling banyak. Pada saat yang bersamaan ia tidak sekritis al-Jābirī� untuk menilai rasionalitas pendapat-pendapat tersebut. Dilakukannya perbandingannya dengan al-Jābirī�, kaitannya dengan surat terakhir, hanya untuk mengantarkan suatu kesimpulan bahwa, bagi penulis, meskipun Nöldeke menggunakan kandungan teks sebagai salah satu pertimbangan konstruksinya tetapi pada kasus-kasus tertentu hal tersebut ia abaikan saat literatur keislaman tidak menyepakatinya.

E. Penutup

Uraian di atas mengantarkan penulis pada suatu kesimpulan bahwa dalam konteks zaman dan wilayahnya, apa yang dilakukan oleh Nöldeke merupakan prestasi besar. Bagimana tidak, pendekatan sejarah dan sastra modern dapat ia aplikasikan dengan baik untuk melihat dan melakukan penanggalan aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān. Untuk merekonstruksinya, Nöldeke memanfaatkan dua rujukan, yaitu data sejarah dan penafsiran al-Qur’an serta manuskrip-manuskrip al-Qur’an dan hal-hal yang berkaitan dengannya yang tersebar sepanjang zaman. Sementara itu, prinsip dasar yang digunakan oleh Nöldeke adalah (1) petunjuk-petunjuk di dalam al-Qur’an yang mengarah pada kejadian sejarah, dan (2) karakteristik teks al-Qur’an. Namun demikian, tampak terdapat inkonsistensi pada saat menentukan surat yang terakhir kali turun.

Dalam struktur periodesasinya, Nöldeke tetap menggunakan dua terma tahapan yang dibuat oleh kalangan intelektual Muslim, yaitu makiyyah dan madaniyyah. Dua tahap tersebut kemudian

Page 25: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya49

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

diperluas menjadi empat tahap, yaitu (1) makiyyah tahap pertama dengan jumlah 48 surat, (2) makiyyah tahap kedua dengan jumlah 21 surat, (3) makiyyah tahap ketiga dengan jumlah 21 surat, dan (4) tahap madaniyyah dengan jumlah 24 surat. Pengembangan periodesasi ini tidak bisa dilepaskan, dan bahkan bisa dikatakan adopsi, dari pendahulunya, Weil. Menilai garapan Nöldeke ini, mengekor pandangan al-Jābirī� dan Taufik, bagi penulis bukanlah hal yang baru jika dibanding dengan garapan para intelektual Muslim terdahulu dan hanya bersifat pengembangan saja dalam studi kesejarahan al-Qur’an. Namun demikian, sebagai sebuah karya monumental dari kalangan orientalis, aransemen tartīb nuzūl al-Qur’ān Nöldeke patut diapresiasi dan dikaji secara kritis dan memadai. Wa Allāh Aˋlam bi al-Ṣawāb

(Footnotes dalam Tabel (Halaman 39-42)

1 Ayat 9-11 bagi Nöldeke turun setelah beberapa tahun diutusnya Muhammad. Ibid., hlm. 76.

2 Dikecualikan dari surat ini adalah ayat 31-34, dan 41, yang turun belakangan. Ibid., hlm. 79-80.

3 Taufik mengecualikan ayat 6 yang dimasukkan pada makiyyah tahap III, tetapi penulis tidak menemukan penjelasan tersebut dalam karya Nöldeke. Ia tidak banyak mengurai ayat ini, menurutnya al-Fī�l adalah surat pertama yang didalamnya menjelaskan kepada musuh perumpamaan sebuah sejarah. Perumpamaan tersebut diambil dari kejadian di Makkah sendiri. Ibid., hlm. 82-83. Bandingkan dengan, Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah, hlm. 101.

4 Ayat 17-33 bagi Nöldeke bukan bagian dari tahap ini, tetapi justru termasuk madaniyyah. Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, hlm. 86.

5 Ayat 3 dalam surat ini termasuk tahap makiyyah III. Ibid., hlm. 87.6 Ayat 8-11 dalm surat ini bagi Nöldeke turun belakangan. Ibid. 7 Ayat 23 dan 26-32 dalam surat ini turun belakangan. Ibid., hlm. 89.8 Ayat 25 dalam surat ini turun belakangan. Ibid., hlm. 92.9 Ayat 27-46 dalam surat ini turun pada tahapan makiyyah II. Ibid., hlm. 93.10 Ayat 37 sampai akhir dalam surat ini termasuk dalam tahapan makiyyah II. Ibid.

Page 26: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah50

Vol. III, No. 1, April 2015

11 Nöldeke tidak tegas pada saat menentukan posisi ayat 16-19. Pada kesimpulannya ia mengatakan bahwa empat ayat tersebut berada di antara tahapan makiyyah dan madaniyyah. Ibid., hlm. 94.

12 Ayat 24 dalam surat ini turun belakangan. Ibid.13 Ayat 21 dalam surat ini turun pada tahap makiyyah II, sementara ayat 29 hingga

akhir, menurut Nöldeke, struktur teksnya bertentangan dengan karakter makiyyah tahap pertama sehingga ia dianggap turun belakangan. Ibid.

14 Ayat 75-82 dalam surat ini turun belakangan. Ibid., 95.15 Ayat 8-9 dalam surat ini turun belakangan. Ibid., 96.16 Ayat 35-40 dalam surat ini turun pada sekitar permulaan tahap makiyyah III dan

akhir tahap makiyyah kedua. Ibid., 116.17 Kaitannya dengan ayat 64-77, Nöldeke tidak secara tegas mengatakan apakah

termasuk dalam tahap yang mana. Di satu sisi ia mengungkapkan riwayat yang mengatakan bahwa al-Furqān turun di Ṭā’if, di sisi yang lain ia juga melansir riwayat yang menyatakan bahwa ayat-ayat tertentu turun di Madinah. Hingga pada akhir uraiannya Nöldeke tidak secara tegas memutuskan apakah ayat-ayat tersebut termasuk bagian makiyyah ataukah madaniyyah. Ibid., hlm. 119-120.

18 Dengan tegas Nöldeke mengatakan bahwa sebagian ayat dari surat ini (41, dan 110-124) termasuk dalam tahapan madaniyyah. Ibid., hlm. 130.

19 Ayat 38 dalam surat ini termasuk dalam tahapan madaniyyah. Ibid., hlm. 136.20 Dalam menyebut surat ini, Nöldeke menggunakan sebutan “Gāfir”. Dalam pada

itu, ia mengungkapkan bahwa ayat 57, dan 59-87 memiliki perbedaan mendasar dengan karakter dasar secara umum surat al-Mu’min. Ibid., hlm. 137. Mungkin karena ketidakkomprehensifan penjelasan Nöldeke, Taufik memberi tanda tanya, “?” dalam karyanya. Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah, hlm. 104.

21 Ayat 1-11 dan 46 dalam surat ini menurut Nöldeke termasuk dalam tahapan madaniyyah, sementara ayat 69 ia tidak memberikan kejelsan apakah termasuk madaniyyah atau makiyyah saat setelah ia lansir kontroversi berkaitan dengan ayat tersebut. Nöldeke, Tārīkh al-Qur’ān, hlm. 139-140.

22 Jika ayat 14 dan 27-29 dalam surat tersebut oleh Nöldeke dikategorikan dalam jajaran tahapan madiniyyah, sementara ayat 12 dan 16-19 menurutnya memang termasuk tahapan makiyyah III, tetapi turun belakangan. Ibid., hlm. 141.

23 Untuk ayat 156-157, menurut Nöldeke, terdapat indikasi yang mengarahkan bahwa

ayat tersebut termasuk dalam kategori tahapan madaniyyah. Ibid., hlm. 143.

Page 27: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Mohamad Yahya51

ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN PERSPEKTIF THEODOR NӦLDEKE

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jābirī�, M. ˋA� bed, Madkhal ilā al-Qur’ān al-Karīm: al-Juz al-Awwal fi al- Taˋrīf bi al-Qur’ān, Bairut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-ˋArabiyyah, 2006.

________________, Fahm al-Qur’ān al-Ḥakīm: al-Tafsīr al-Wāḍiḥ Ḥasb Tartīb al-Nuzūl, Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wiḥdah al-ˋArabiyyah, Vol. III, 2008.

Al-Naisabūrī�, Abū al-Ḥusain Muslim, Al-Jāmiˋ al-Ṣaḥīḥ, Beirut: Dār al-Afāq al-Jadī�dah, t.t.

Al-Qaṭṭān, Mannāˋ Khalī�l, Mabāḥiṡ fī ˋUlūm al-Qur’ān, T.t.p.: Mansyūrāt al-ˋAṣr al-Ḥadī�ṡ, 1990.

Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta: FkBA, 2001.

Armas, Adnin, “Orientalis dan Misi Kristen”, dalam Islamia: Jurnal Pemikiran Islam Republika, Edisi Kamis 23 September 2010.

Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Orientalis, Yogyakarta: LKiS, 2003.

http://en.wikipedia.org/wiki/Theodor_N%C3%B6ldeke (diakses pada tanggal 13 Nopember 2011).

Newmen, N.A. (ed.), The Qur’an: An Introductory Essay by Theodor Nöldeke, Hatfield: Interdisciplinary Biblical Research Institute, 1992.

Nöldeke, Theodor, Tārīkh al-Qur’ān, terj. Jawraj Tāmir, Beirut: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004.

_______________, Sketches from Eastern History, terj. John Shuterland Black, London dan Edinburgh: Adam dan Charles Black, 1892.

Page 28: ARANSEMEN TARTĪB NUZŪL AL-QUR’ĀN

Jurnal Syahadah52

Vol. III, No. 1, April 2015

Saenong, Faried F., “Kesarjanaan al-Qur’an di Barat: Studi Bibliografis”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, vol. 1 No. 2, Tahun 2006.

Setiawan, M. Nur Kholis dan Sahiron Syamsuddin (ed.), Orientalisme al-Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Nawesea, 2007.

Umar, Nasaruddin, “Al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Waraq dan Marka A. Gabriel”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, vol. 1 No. 2, Tahun 2006.

Zayd, Naṣr Ḥāmid Abū, Tekstualitas al-Qur’an, terj Khairon Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2001.