aplikasi konsep sikuen stratigrafi dan pengaruhnya ... · 1.1. tataan geologi 1.1.1. struktur...

20
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA 13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA 815 APLIKASI KONSEP SIKUEN STRATIGRAFI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KANDUNGAN TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) PADA SERPIH FORMASI BELUMAI DAN BAONG BAWAH SEBAGAI POTENSI BATUAN INDUKDI LAPANGAN “DEWI”,CEKUNGAN SUMATERA UTARA Riko Susetia Yuda 1* Ferian Anggara 1 Gema Wahyudi Purnama 2 Murthala Hatta 2 1 Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada 2 PERTAMINA Hulu Energi MNK Sumatera Utara *corresponding author: [email protected] ABSTRAK Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busurdengan hidrokarbon yang melimpah. Formasi yang berpotensi sebagai batuan induk selain Formasi Bampo adalah Formasi Belumai dan Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep sikuen stratigrafi dan pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon (TOC) pada serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah. Penelitian dilakukan berdasarkan data sumur, biostratigrafi, seismik dan geokimiayang dimiliki oleh PT. PERTAMINA Hulu Energi. Terdapat 12 sumur yang digunakan yaitu sumur WWP-1, DNC-1, RSY-1, TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, BOP-1, BOP-2, MDN-1, DW-1, dan TP-1. Datasumurdigunakan untuk menentukan fasies pengendapan dan pola penumpukan vertikal kemudian dikombinasikan dengan biostratigrafi untuk dilakukan korelasi kronostratigrafi. Data geokimia yang digunakan adalah TOC.Hasil yang didapatkan adalah Formasi Belumai terbentuk ketika fase muka air laut relatif konstan yang dicirikan oleh keterdapatan highstand system tract (HST) pada lingkungan paparan- lereng benua danmemiliki kandungan TOC 0,66-3,64% (rerata 1,66%).Formasi Baong Bawah terbentuk ketika fase transgresi yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan transgressive system tract (TST) pada lingkungan laguna, paparan-lereng benua dan memiliki kandungan TOC 0,6-3,85% (rerata 1,72%). Fasies serpih Belumai dan Baong Bawah didominasi oleh komposisi karbonatan dan menempati urutan ketiga dari pengelompokan litofasies (Slatt dkk., 2011) dengan kandungan material organik tergolong cukup.Hasil tersebut menunjukkan kandungan TOC semakin meningkat saat transgresi yang membentuk TST dengan karakteristik TOC cenderung merata. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk yaitu ketika fase transgresi hingga mencapai maksimum yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan TST. Kata kunci: sikuen stratigrafi, total organic carbon, batuan induk, Formasi Belumai, Formasi Baong Bawah 1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi shale hydrocarbon yang sangat besar yaitu 349,7 trillion cubic feet (tcf) untuk jenis gas dan 242,3 miliar barrel untuk jenis minyak (EIA, 2015). Shale hydrocarbon atau hidrokarbon serpih merupakan istilah untuk menyatakan hidrokarbon non-konvensional yang terkandung di dalam serpih. Serpih ini selain sebagai reservoar, juga berperan sebagai batuan induk. Cekungan Sumatera Utara merupakan salah satu cekungan yang matang dengan potensi hidrokarbon yang besar (Pertamina BPPKA, 1995). Terdapat tiga batuan induk utama dari sistem petroleum-nya yaitu Formasi Bampo, Belumai, dan Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995). Formasi Bampo umumnya memiliki letak yang sangat dalam, sedangkan Formasi Belumai dan Baong Bawah letaknya lebih dangkal. Formasi Belumai

Upload: others

Post on 06-Jan-2020

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

815

APLIKASI KONSEP SIKUEN STRATIGRAFI DAN PENGARUHNYA TERHADAP

KANDUNGAN TOTAL ORGANIC CARBON (TOC) PADA SERPIH FORMASI BELUMAI DAN

BAONG BAWAH SEBAGAI POTENSI BATUAN INDUKDI LAPANGAN “DEWI”,CEKUNGAN

SUMATERA UTARA

Riko Susetia Yuda1*

Ferian Anggara1

Gema Wahyudi Purnama2

Murthala Hatta2

1Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

2PERTAMINA Hulu Energi MNK Sumatera Utara *corresponding author: [email protected]

ABSTRAK

Cekungan Sumatera Utara merupakan cekungan belakang busurdengan hidrokarbon yang melimpah. Formasi yang berpotensi sebagai batuan induk selain Formasi Bampo adalah Formasi Belumai dan Baong

Bawah (Pertamina BPPKA, 1995).Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep sikuen

stratigrafi dan pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon (TOC) pada serpih Formasi

Belumai dan Baong Bawah. Penelitian dilakukan berdasarkan data sumur, biostratigrafi, seismik dan geokimiayang dimiliki oleh PT. PERTAMINA Hulu Energi. Terdapat 12 sumur yang digunakan yaitu

sumur WWP-1, DNC-1, RSY-1, TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, BOP-1, BOP-2, MDN-1, DW-1, dan TP-1.

Datasumurdigunakan untuk menentukan fasies pengendapan dan pola penumpukan vertikal kemudian dikombinasikan dengan biostratigrafi untuk dilakukan korelasi kronostratigrafi. Data geokimia yang

digunakan adalah TOC.Hasil yang didapatkan adalah Formasi Belumai terbentuk ketika fase muka air laut

relatif konstan yang dicirikan oleh keterdapatan highstand system tract (HST) pada lingkungan paparan-

lereng benua danmemiliki kandungan TOC 0,66-3,64% (rerata 1,66%).Formasi Baong Bawah terbentuk ketika fase transgresi yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan transgressive system tract (TST) pada

lingkungan laguna, paparan-lereng benua dan memiliki kandungan TOC 0,6-3,85% (rerata 1,72%). Fasies

serpih Belumai dan Baong Bawah didominasi oleh komposisi karbonatan dan menempati urutan ketiga dari pengelompokan litofasies (Slatt dkk., 2011) dengan kandungan material organik tergolong

cukup.Hasil tersebut menunjukkan kandungan TOC semakin meningkat saat transgresi yang membentuk

TST dengan karakteristik TOC cenderung merata. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk yaitu

ketika fase transgresi hingga mencapai maksimum yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan TST.

Kata kunci: sikuen stratigrafi, total organic carbon, batuan induk, Formasi Belumai, Formasi Baong

Bawah

1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi shale hydrocarbon yang sangat besar

yaitu 349,7 trillion cubic feet (tcf) untuk jenis gas dan 242,3 miliar barrel untuk jenis minyak

(EIA, 2015). Shale hydrocarbon atau hidrokarbon serpih merupakan istilah untuk menyatakan

hidrokarbon non-konvensional yang terkandung di dalam serpih. Serpih ini selain sebagai

reservoar, juga berperan sebagai batuan induk. Cekungan Sumatera Utara merupakan salah satu

cekungan yang matang dengan potensi hidrokarbon yang besar (Pertamina BPPKA, 1995).

Terdapat tiga batuan induk utama dari sistem petroleum-nya yaitu Formasi Bampo, Belumai, dan

Baong Bawah (Pertamina BPPKA, 1995). Formasi Bampo umumnya memiliki letak yang sangat

dalam, sedangkan Formasi Belumai dan Baong Bawah letaknya lebih dangkal. Formasi Belumai

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

816

dan Baong terdiri atas serpih dari lingkungan laut dengan potensi Total Organic Carbon (TOC)

sebesar 1% (Pertamina BPPKA, 1995). Formasi Baong Bawah sendiri memiliki kandungan TOC

berkisar 0,8–3,5% dengan tipe kerogen II/III (mixed oil/gas-prone) (Bahesti dkk., 2013). Tipe

kerogen berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut berpotensi menghasilkan gas serpih

karena banyak reservoar penghasil gas serpih berasal dari batuan induk overmature oil-prone

(Passey dkk., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aplikasi konsep stratigrafi dan

pengaruhnya terhadap kandungan total organic carbon pada serpih Formasi Baong Bawah yang

memiliki potensi sebagai batuan induk.

1.1. Tataan Geologi

1.1.1. Struktur Geologi Regional

Struktur geologi cekungan Sumatera Utara dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori

yaitu batuan dasar tersesarkan normal, struktur inversi, pengangkatan Bukit Barisan, struktur

detached dan Rayeu hinge (Reed, 1995 dalam Pertamina BPPKA, 1995:34).Batuan dasar

tersesarkan normalterbentuk akibat gaya ekstensi pada fase regangan (syn-rift). Gaya

ekstensional inilah yang menghasilkan half-graben dan full-graben dengan asosiasi horst, blok

sesar termiringkan, ramp regions, antiklin roll-over dan zona hinge, serta antiklin pada zona

transfer (Pertamina BPPKA, 1995:34).

Struktur inversi dihasilkan selama ekstensi berlangsung. Struktur ini terdapat pada zona transfer

TL-BD dengan trend lokal timurlaut. Pembentukan area lokal kompresi pada zona transfer ini

dihasilkan oleh antiklin berarah baratlut akibat inversi graben pull-apart kecil (Pertamina

BPPKA, 1995:35).

Pengangkatan Bukit Barisan terjadi akibat kompresi arcuate sepanjang restraining bend pada

sistem Sesar Sumatera. Bukit Barisan tersusun oleh struktur individual yang umumnya dibatasi

oleh sesar naik sepanjang sisi utaranya dan oleh zona sesar sobek kompleks di sepanjang sisi

timurnya. Sesar naik sepanjang sisi utara ini umumnya membentuk lipatan fault-propagation

pada sedimen Pliosen (Pertamina BPPKA, 1995:35).

Struktur Detached dihasilkan oleh kompresi regional yang sama dengan Bukit Barisan.

Struktur ini secara lokal berasosiasi dengan sesar naik yang melibatkan batuan dasar yang juga

membatasi Bukit Barisan. Sistem sesar detached akibat gravitasi hadir di sebelah utara Bukit

Barisan dan di sebelah selatan Cekungan Sumatera Utara.

Reyeu Hinge merupakan tektonik batuan dasar dan batas paleofisiografi pada Tersier

yang terletak di sebelah timur cekungan dan sebelah barat paparan Malaka. Rayeu Hinge hanya

terdapat sepanjang zona lemah batuan dasar dan merupakan lekukan sederhana, bukan zona sesar.

1.1.2. Tektonik dan Stratigrafi Regional

Menurut Barber, dkk. (2005), evolusi Cekungan Sumatera Utara dapat dibagi menjadi

beberapa tahap (Gambar 1), yaitu:

1.1.2.1. Pre-Rift (Eosen Akhir); periode ini mencakup seluruh perisitiwa geologi pada awal

Tersier yang berupa peregangan (rifting) batuan dasar sebagai fase awal pembentukan

cekungan. Saat itu, area Cekungan Sumatera Utara sudah merupakan paparan karbonat

dan deltaik. Fase ini menghasilkan Formasi Tampur dan Meucampli yang terdiri dari

batupasir, batugamping dan konglomerat polimik.

1.1.2.2. Syn-rift atau horst and graben stage (Oligosen Awal-Akhir); merupakan fase

peregangan yang dimulai dengan sedimentasi klastik kontinen yang sangat dominan

dengan sedimen berasal dari baratlaut dan timur kemudian dilanjutkan dengan

sedimentasi endapan laut dan darat bersamaan dengan transgresi. Akhir dari peregangan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

817

diikuti dengan pengangkatan termal yang menghasilkan ketidakselarasan post-rift

regional dan sedimentasi klastik laut mulai dominan dengan lingkungan pengendapan

berupa laut tertutup. Saat itu pula terjadi pembedaan antara Bukit Barisan, cekungan

belakang busur dan cekungan depan busur. Fase ini menghasilkan Formasi

Bruksah/Parapat (batupasir kasar dan konglomerat di bagian bawah, serta sisipan serpih

yang diendapkan secara tidak selaras) dan Bampo (serpih hitam dan tidak berlapis,

umumnya berasosiasi dengan pirit dan gamping).

1.1.2.3. Post-rift transgresi; merupakan tahapan saat terjadi transgresi regional yang

menghasilkan endapan deltaik dan karbonat berkembang di struktur tinggian yang telah

ada sebelumnya. Hal ini kemudian menghasilkan Formasi Peutu (batupasir dengan

sisipan batubara), Belumai (batupasir glaukonit dengan perselingan serpih dan

batugamping) dan Arun (batupasir kalkarenit dan kalsilutit dengan selingan serpih).

Saat transgresi maksimum terjadi, endapan menjadi dominan berbutir halus dengan

sedikit interkalasi butiran klastik yang lebih kasar. Hal ini kemudian menghasilkan

Formasi Baong Bawah yang terdiri atas serpih laut dengan sedikit sisipan batupasir.

1.1.2.4. Post-rift regresi; merupakan tahapan saat regresi terjadi yang menghasilkan dominasi

endapan klastik berbutir kasar (pasir) akibat dari pengangkatan Bukit Barisan dan

peristiwa volkanisme. Fase ini menghasilkan Formasi Baong Atas (serpih dengan

selingan batupasir yang lebih banyak), Keutapan (perselingan antara serpih,

batulempung, beberapa sisipan batugampingan dan batupasir), Seurula (batupasir,

serpih, dominan batulempung, batubara dan fragmen batuan volkanik) dan Julu Rayeu

(batupasir halus sampai kasar, serpih dengan fragmen batuan volkanik, batulempung).

Saat volkanisme, diendapkan satuan volkanik Toba yang dilanjutkan dengan

pengendapan alluvial kuarter.

1.2. Sistem Petroleum

Menurut Barber dkk., (2005), terdapat dua sistem petroleum yang paling terkenal yaitu

sistem Bampo-Peutu di bagian utara dan sistem Baong-Belumai-Keutapang di sebelah tenggara.

Sistem Bampo-Peutu terdiri dari Bampo sebagai batuan induknya yang mengekspulsikan

hidrokarbon ke reservoar batugamping Arun yang mana sebagai bagian dari Formasi Peutu dan

disekat oleh serpih overpressure Formasi Baong. Sistem Baong-Belumai-Keutapang terdiri dari

Formasi Baong Bawah-Belumai sebagai batuan induk untuk minyak ringan dan kondensat,

Keutapang-Baong Atas sebagai batuan reservoar dan penyekatnya.

Kirby, dkk. (1993) dalam Barber, dkk. (2005), yang melakukan studi di bagian tengah

cekungan menemukan bahwa Formasi Baong memiliki TOC sekitar 0,5%. Adapun Formasi

Belumai memiliki TOC sekitar 0,2-4,8% dan material organiknya berasal dari laut, sedangkan

Formasi Bampo sekitar 0,27-3,84%. Menurut Sjahbuddin, dkk. (1993), Formasi Baong memiliki

kerogen yang terdiri dari dua tipe. Tipe kerogen II/III atau mixedoil/gas-prone dan tipe III atau

gas-prone. Analisis juga dilakukan pada Formasi Belumai yang menunjukkan tipe kerogen

batuan induknya merupakan tipe III atau gas-prone.

2. Metode Penelitian

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

818

Lokasi tujuan penelitian adalah Lapangan “Dewi” yang termasuk dalam Cekungan Sumatera

Utara. Lapangan “Dewi” berada di sebelah tenggara provinsi Sumatera Utara (Gambar 2). Objek

penelitian secara khusus adalah serpih Formasi Baong Bawah.

Penelitian ini menggunakan data yang disediakan oleh PT. Pertamina Hulu Energi

Unconventional Hydrocarbon yang terdiri atas dua belas sumur yang digunakan yaitu sumur

WWP-1, DNC-1, RSY-1, TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, BOP-1, BOP-2, MDN-1, DW-1, dan TP-1.

Data tersebut meliputi data log sumur, geokimia laboratorium danbiostratigrafi. Analisis log

sumur dilakukan berdasarkan pola log gamma ray, resistivity, log pemboran (mudlog), dan

laporan sumur sehingga dapat diketahui fasies litologi, lingkungan pengendapan, dan sikuen

stratigrafi yang bekerja pada target formasi.Sikuen stratigrafi tersebut ditentukan bagian top dan

bottom-nya lalu dicocokkan umur dan paleobathimetrinya berdasarkan data biostratigrafi agar

dapat dilakukan korelasi kronostratigrafi antar sumur. Kemudian hasil korelasi diikatkan ke

seismik (well seismic tie). Hasil akhir pengolahan data seismik berupa peta struktur kedalaman

dan isopach sehingga dapat diketahui kondisi dan ketebalan sikuen stratigrafi di bawah

permukaan. Data sumur, seismik dan biostratigrafi digunakan dalam penyusunan paleogeografi.

Analisis geokimia yang dilakukan pada serbuk pemboran (cutting)dan batuinti terdiri atas

analisis kuantitas material organik. Analisis kuantitas material organik didasarkan pada data

Rock-Eval pyrolysis yang berguna untuk mengetahui TOC. Data TOC ini kemudian digunakan

untuk mengkalibrasi analisis DLogR guna mengkalkulasi TOC pada kedalaman tertentu yang

tidak terdapat data geokimianya. Adapun data geokimia Rock-Eval Pyrolisis dapat dilihat pada

Tabel 1. dan Tabel 2.

3. Hasil dan Diskusi

3.1. Penentuan Sikuen Stratigrafi

Analisis log sumur dilakukan berdasarkan pola loggamma ray (GR), resistivity, log

pemboran(mudlog), dan data laporan sumur sehingga dapat diketahui sikuen stratigrafi pada

target formasi. Sikuen stratigrafi tersebut ditentukan bagian top dan bottom-nya untuk dilakukan

korelasi antar sumur (well to well correlation).

Awalnya, dilakukan penentuan fasies litologi berdasarkan log GR dan datamudlog.

Kemudian ditentukan formasi target dan top-bottomnya dari karakteristik litologinya yang

dicocokkan dengan data laporan sumur dan mudlog. Selanjutnya adalahditentukan lingkungan

pengendapannyaberdasarkan model fasies. Kemudian ditentukan parasikuennya berdasarkan

pola defleksi GR yang besar danresistivity yang rendah utamanya deep resistivity seperti

Induction Lateralog Deep (ILD) atau (Lateralog Deep) LLD yang mencirikan flooding surface.

Kumpulan parasikuen tersebutmembentuk sikuen dan ditentukan system tract-nya berdasarkan

karakteristiknya (Gambar 3). Berdasarkan penentuan tersebut, menunjukkan bahwa Formasi

Baong Bawah terbentuk ketika fase transgresi yang dicirikan oleh pola mendalam ke atas atau

menghalus ke atas hingga maksimum sehingga membentuk transgressive system tract(TST).

Formasi Belumai terbentuk ketika muka air laut relatif stabil yang dicirikan oleh pola

mendangkal ke atas atau mengkasar ke atas sehingga membentuk highstand system tract (HST).

Setelah penentuan parasikuen dan system tract selesai dilakukan, ditariklahmaximum flooding

surface (MFS) sebagai datum untuk korelasi kronostratigrafi antar sumur. Penarikan datum MFS

berguna untuk mengetahui mana arah cekungan (basinward) yang dicirikan oleh semakin

tebalnya serpih. Korelasi dilakukan pada dua belas sumur yaitu WWP-1, DNC-1, RSY-1, BOP-1,

TB-1, TB-2, TB-3, TB-4, BOP-1, DW-1, MDN-1, dan TP-1. Korelasi dilakukan dari tenggara ke

baratlaut yang menunjukkan bahwa arah cekungan berada di sebelah baratlaut. Hal ini dicirikan

oleh semakin tebalnya serpih (Gambar4).Kemudian hasil korelasi diikatkan ke seismik (well

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

819

seismic tie). Hasil akhir pengolahan data seismik berupa peta struktur kedalaman (Gambar 5)

dan isopach(Gambar 6)sehingga dapat diketahui kondisi dan ketebalan sikuen stratigrafi di

bawah permukaan. Data sumur, isopach dan biostratigrafi digunakandalam penyusunan peta

paleogeografi (Gambar 7dan Gambar 8).

3.2. Kuantitas Material Organik (TOC)

Kuantitas batuan induk hidrokarbon serpih terbagi menjadi dua target yaitu Formasi

Belumai dan Formasi Baong Bawah. Kedalaman yang tidak memiliki nilai TOC, menggunakan

metode DLogR Passey dkk. (1990) seperti yang terlihat pada Gambar 9. Hasil analisis data

kemudian dicocokan dengan klasifikasi dari McCarthy dkk. (2011). Berdasarkan Tabel 1dan

Gambar 8menunjukkan bahwa pada HST Formasi Belumai memiliki nilai rerata TOC 1,66%

(cukup) dengan kisaran nilai 0,66-3,64% (buruk-baik). Distribusi TOC yang dibuat berdasarkan

nilai yang ada kemudian diinterpolasikan secara konvergen dengan bantuan software Petrel 2013

(Gambar 10). Hasil yang didapatmenunjukkan bahwa nilai TOC terbesar berada di sebelah

selatan daerah penelitian, sedangkan semakin ke arah utara maka akan semakin kecil. Nilai TOC

tersebut ternyatatidak sebanding dengan ketebalan sedimennya, kemungkinan karena pengaruh

sedimentasi klastika yang lebih besar di daerah lereng sehingga mempengaruhi kandungan

material organik.

Hasil analisis data berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 9pada TST Formasi Baong Bawah

menunjukkan bahwa nilai rerata TOC 1,72% (cukup) dengan kisaran nilai 0,6-3,85% (buruk-

baik). Distribusi TOC yang dibuatberdasarkan nilai yang ada kemudiandiinterpolasikan secara

konvergen (Gambar 11) menunjukkan bahwa nilai TOC besar berada di sebelah selatan dan

utara daerah penelitian, sedangkan semakin ke arah tengah nilainya akan semakin kecil. Nilai

TOC tersebut ternyata sebanding dengan ketebalan sedimennya yang menunjukkan bahwa

semakin tebal sedimen maka semakin besar TOC-nya.

3.3. Penentuan Fasies Serpih

Penentuan fasies serpih dilakukan dengan menggunakan kombinasi data serbuk bor (cutting)

dan log sumur (Gambar 12). Fasies serpih pada HST Formasi Belumai diidentifikasi pada sumur

RSY-1 (kedalaman 2630-3065 m), TB-1 (kedalaman 2390-2560 m), MDN-1 (2560-2680 m), dan

TP-1 (kedalaman 1740- 1950 m). Fasies serpih tersebut terdiri dari tiga fasies (Tabel 3) yaitu

serpih abuabu dengan sisipan batulanau abu-abu dan batupasir laminasi dengan ketebalan 435 m

dan TOC 0,93%, serpih cokelat-hitam karbonatan dengan sisipan batupasir & batugamping yang

memiliki ketebalan 170-210 m dan TOC 1,08-2,24%, serta perselingan serpih abu-abu dan serpih

lanauan dengan ketebalan 120 m dan TOC 0,76%. Fasies serpih pada TST Formasi Baong Bawah

diidentifikasi pada sumur RSY-1 (kedalaman 2015-2486 m), TB-1 (kedalaman 1901-2360 m),

TB-2 (kedalaman 1961 -2400 m), TB-3 (kedalaman 1961 -2300 m), BOP-2 (kedalaman 2061-

2131 m), MDN-1 (2140-2410 m), dan TP-1 (kedalaman 1490-1740 m). Fasies serpih tersebut

terdiri dari tiga fasies (Tabel 4) yaitu serpih cokelat dan abu-abu dengan ketebalan 471 m dan

TOC 1,48%, perselingan serpih cokelat-hitam karbonatan dengan batupasir yang memiliki

ketebalan 150 m dan TOC 1,47%, serta serpih cokelat & abu-abu karbonatan dengan sisipan

batupasir dan batulanau yang memiliki ketebalan 70-439 m dan TOC 0,64-3,21%.

Menurut Slatt dkk. (2011), tiap jenis litofasies serpih tertentu dapat berpengaruh terhadap

kandungan material organik yang ada di dalamnya (Gambar13). Hal ini disebabkan oleh

perubahan kondisi lingkungan laut yang membentuk serpih tersebut. Kondisi tersebut adalah

fluktuasi muka air laut relatif, yang mana kenaikan muka air laut menyebabkan perubahan

lingkungan oksik menjadi anoksik sehingga terjadi perubahan komposisi dari serpih dan

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

820

peningkatan kandungan material organik di dalamnya. Begitupun sebaliknya, penurunan muka

air laut relatif menyebabkan perubahan komposisi dari serpih tersebut dan penurunan kandungan

material organik di dalamnya. Fasies serpih Formasi Baong Bawah dan Belumai yang didominasi

oleh komposisi karbonatan menempati urutan ke tiga dari pengelompokan litofasies dengan

tingkatan kandungan material organiknya. Hal ini sebanding dengan kuantitas TOC dari ke dua

Formasi tersebut yaitu 0,64-3,21% (buruk-baik).

3.4. Pengaruh Aplikasi Sikuen Stratigrafi terhadap Kandungan TOC

Aplikasi konsep sikuen stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal

pada batuan induk. Hal ini sama seperti penelitian dari Slatt dkk. (2011) yang mana perubahan

kondisi lingkungan laut dapat mempengaruhi kandungan material organik di dalamnya. Kondisi

tersebut adalah fluktuasi muka air laut relatif, yang mana kenaikan muka air laut menyebabkan

perubahan lingkungan oksik menjadi anoksik sehingga terjadi perubahan komposisi dari serpih

dan peningkatan kandungan material organik di dalamnya, begitupun sebaliknya. Saat fase muka

air laut relatif stabil, yang menghasilkan Formasi Belumai dengan keterdapatan

HighstandSystemTract, memiliki kandungan nilai rerata TOC 1,66% (cukup) dengan rentang

0.66-3,64% (buruk-baik). Saattransgresi hingga mencapai maksimum dan menghasilkan Formasi

Baong Bawah denganketerdapatan Transgressive System Tract, memiliki nilai rerata TOC 1,72%

(cukup) dengan rentang 0,6-3,85% (buruk-baik). Hal ini menunjukkan bahwa kandungan TOC

pada saat transgresi (TST) lebih besar daripada saat fase muka air laut relatif stabil, dalam artian

penambahan ruang akomodasinya lebih kecil daripada kecepatan suplai sedimennya sehingga

membentuk HST. Perbandingan distribusi TOC terhadap kedalaman dapat dilihat pada Gambar

14.

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa aplikasi konsep sikuen

stratigrafi dapat menentukan kandungan TOC yang paling optimal pada batuan induk yaitu ketika

fase transgresi hingga mencapai maksimum yang dapat diidentifikasi oleh keterdapatan TST.

Acknowledgements

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada PT. PERTAMINA Hulu Energi

Unconventional Hydrocarbon yang telah menyediakan data untuk keperluan penelitian. Penulis

juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ferian Anggara, S.T., M.Eng. selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan bimbingan hingga selesainya penelitian tersebut.

Daftar Pustaka

Bahesti, F., Eddy A. S., Nanang A. M., Wuryadi S., Mohammad W., dan F. Nuri. 2013. Integrated

Geochemical, Geomechanical and Geological (3G) Study of Lower Baong shale Formation for

Preliminary Shale Gas Prospectivity in the North Sumatra Basin. SPE Conference Paper, SPE Journal. Texas: Society of Petroleum Engineers.

Barber, A.J. and De Smet, M.E.M. 2005. Chapter 7: Tertiary stratigraphy. In: Barber, A.J., Crow, M.J.,

& Milsom, J.S., eds,Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution, Geological Society,

London, Memoirs, p86-97. McCarthy, K., Katherine R., Martin N., Daniel P., Kenneth P., dan Artur S.. 2011. Basic Petroleum

Geochemistry for Source Rock Evaluation. Oilfield Review Summer 2011: 23, No. 2.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

821

Passey, O.R., Moretti, F.U., Stroud, J.D.. 1990. A practical model for organic richness from porosity and resistivity logs. AAPG Bulletin 74, 1777–1794.

Passey, Q.R., Bohacs, K. M., Esch, W.L., Klimentidis, R., Sinha, S. 2010. From

oil prone source rock to gas producing shale reservoir geologic and petrophysical characterization of unconventional shale gas reservoir, CPS/SPE international Oil and

Gas conference Exhibition in China, Beijing.

Pepper, A.S. dan Corvi, P.J.. 1995b. Simple Kinetic Models of Petroleum Formation. Part III: Modelling

an open system: Marine and Petroleum Geology, v. 12, no. 4, p. 417-452. Pertamina BPPKA. 1995. Petroleum Geology of Indonesian Basins: Principles, Methods, and Application,

Vol. I North Sumatra Basin. Jakarta: Pertamina.

Sjahbuddin, E. dan Ramli D.. 1993. Hydrocarbon Source Rock Characteristics and the Implications for Hydrocarbon Maturation in the North Sumatra Basin. Proceedings Indonesian Petroleum

Association, 93, p. 509.

Slatt, R.M., Philp, R.P., O'Brien, N.R., Abousleiman, Y., Singh, P., Eslinger, E.V., Perez, R., Portas, R., Baruch, E., Marfurt, K.J., dan Madrid-Arroyo, S.. 2011. Pore-to-regional-scale integrated

characterization workflow forunconventional gas shales. dalam: J. Breyer, ed., Shale reservoir-Giant

resources for the 21 st century: AAPG Memoir 97, p. 1-24.

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

822

Gambar 1. Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Utara (Barber dkk., 2005)

Gambar 2. Lokasi penelitian

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

823

Gambar 3. Penentuan parasikuen dan system tract berdasarkan karakteristik log GR dan resistivity

/TS

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

824

Gambar 4. Korelasi antar sumur pada datum MFS yang menunjukkan cekungan berada di sebelah baratlaut daerah penelitian (tanda tanya menunjukkan korelasi yang dilakukan dengan bantuan horizon seismik karena keterbatasan data sumur)

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

825

Gambar 5.Interpretasi seismik dan pembuatan peta struktur kedalaman

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

826

Gambar 6.Peta isopach Formasi Belumai dan Baong Bawah

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

827

Gambar 7. Paleogeografi HST Formasi Belumai

Gambar 8. Paleogeografi TST Formasi Baong Bawah

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

828

Gambar 9. (a.) TOC kalkulasi menggunakan metode DLogR (Passey dkk., 1990) pada sumur RSY-1;

(b) Penentuan Level of Maturity dan hasil dari TOC kalkulasi pada HST Formai Belumai dari sumur yang tidak memiliki data TOC laboratorium; (c.) Penentuan Level

of Maturity dan hasil dari TOC kalkulasi pada TST Formasi Baong Bawah dari sumur

yang tidak memiliki data TOC laboratorium

b

c

DLogR (Passey dkk., 1990)

a

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

829

Gambar 10. Peta distribusi TOC pada HST Formasi Belumai

Gambar 11. Peta distribusi TOC pada TST Formasi Baong Bawah

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

830

Gambar 12. Contoh penentuan fasies serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah dari data serbuk bor dan log sumur

Gambar 13. Hubungan litofasies serpih dengan kandungan material organik (Slatt dkk., 2011)

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

831

Gambar 14.TOC vs Kedalaman dari tiap sumur kunci

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

832

Tabel 1. Data Rock-Eval Pyrolysis tiap sumur pada HST Formasi Belumai

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

833

Tabel 2. Data Rock-Eval Pyrolysis tiap sumur pada TST Formasi Baong Bawah

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10 PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA

13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

834

Tabel 3. Ringkasan fasies serpih Formasi Belumai dan Baong Bawah

HST Formasi Belumai

Sumur Kedalaman

(m) Fasies

Ketebalan

(m)

TOC

(%)

RSY-1 2630-3065 Serpih abu-abu dengan sisipan batulanau

abu-abu & batupasir laminasi 435 0,93

TB-1 2390-2560 Serpih cokelat-hitam karbonatan dengan

sisipan batupasir 170 1,08

MDN-1 2560-2680 Perselingan serpih abu-abu dengan

serpih lanauan 120 0,76

TP-1 1740-1950 Serpih cokelat-hitam karbonatan dengan

sisipan batupasir & batugamping 210 2,24

TST Formasi Baong Bawah

Sumur Kedalaman

(m) Fasies

Ketebalan (m)

TOC (%)

RSY-1 2015-2486 Serpih cokelat & abu-abu 471 1,48

TB-1 1901-2180 Perselingan serpih cokelat & abu-abu

karbonatan dengan batulanau 279 1,08

TB-1 2210-2360 Perselingan serpih cokelat-hitam

karbonatan dengan batupasir 150 1,47

TB-2 1961-2400 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan 439 2,19

TB-3 1961-2300 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan 339 3,21

BOP-2 2061-2131 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan 70 0,64

MDN-1 2140-2410 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan dengan sisipan batupasir dan batulanau

270 1,75

TP-1 1490-1740 Serpih cokelat & abu-abu karbonatan

dengan sisipan batupasir dan batulanau 250 1,49