apendisitis
DESCRIPTION
apTRANSCRIPT
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN
PASIEN DENGAN APPENDISITIS
Di Ruang IBS RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
(Minggu Ke-6 Stase KMB)
Tugas MandiriStase Praktek Keperawatan Medikal Bedah
Disusun oleh :
Pratiwi Wulan Dhari. R
10/302323/KU/14042
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
APPENDISITIS
Di Ruang IBS RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
(Minggu Ke-6 Stase KMB)
Tugas MandiriStase Praktek Keperawatan Medikal Bedah
Disusun oleh :
Pratiwi Wulan Dhari. R
10/302323/KU/14042
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi/Pengertian
Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2008.
Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu saluran
kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci. Lokasi
appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya pada dinding
abdomen dibawah titik Mc burney.
B. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni :
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul
striktur lokal.
b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas:
a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur
lokal.
b. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan
pada usia tua.
C. Penyebab/ Factor Predisposisi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia
jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi
dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
e. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza
dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat.
D. Manifestasi Klinis/tanda dan gejala
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain :
1. Nyeri perut.
Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai
dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke
titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa keadaan tertentu
(bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi
apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri
bawah, punggung, atau di bawah pusar. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya
nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi.
2. Anoreksia (penurunan nafsu makan).
3. Mual dan muntah
Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama,
kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.
4. Keinginan BAB atau kentut.
5. Demam
juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih
dari 1oC (37,8oC – 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC.
Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah
perut (peritonitis).
Timbulnya gejala yang bergantung pada letak apendiks ketika meradang.
Berikut gejala yang timbul tersebut :
1. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung
oleh sekum),
- Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal.
- Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan
gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan.
- Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari
dorsal.
2. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
- Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala
dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
- Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada
waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut
beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
E. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan
sebelumnya atau tumor.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding.
Karena obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya
iskemi yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini
dapat meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di
daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat
appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
F. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
2. Palpasi
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan
apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut
kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
3. Pemeriksaan colok dubur : pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang
terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada
apendisitis pelvika.
4. Pemeriksaan uji psoas
Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri.
5. Pemeriksaan uji obturator
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini
akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi peningkatan
yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi
(pecah).
- Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.
2. Radiologi
- Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam penegakkan
diagnosis apendisitis (71 – 97 %)
- CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta
perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Tingkat keakuratannya 93 – 98 %.
H. Penatalaksanaan
1. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendiktomi.
Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu :
a. Cara terbuka
b. Cara laparoskopi.
2. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik
kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob.
- Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan.
- Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka
dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan
apendisektomi.
- Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda
radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat
dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
3. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan
- Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan
- Analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)
I. Komplikasi yang dapat terjadi
Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses apendiks
a. Tromboflebitis supuratif
b. Abses subfrenikus
c. Obstruksi intestinal
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien, Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan,
penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki
berusia lebih dari 50 tahun.
b. Keluhan utama
Keluhan utama nyeri bekas luka operasi.
c. Riwayat penyakit sekarang
Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk, nyeri
dirasakan pada luka bekas operasi dengan skala (0-10) dan nyeri timbul
memberat ketika bergerak.
d. Riwayat penyakit dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi
sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya
sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar
kolon sehingga menjadi appendisitis akut.
e. Pola – pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di rumah
sakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan dan minum
sebelum flatus.
3) Pola eliminasi
Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih menggunakan
dower chateter karena masih dalam pengaruh anastesi, dan pasien akan
dilatih untuk berkemih.
4) Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah.
Namun, setelah 6 jam pasien diharapkan pasien sudah mampu untuk
bergerak miring kanan dan miring kiri dan dilanjutkan dengan duduk
kemudian berjalan.
5) Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri akibat post operasi dan perubahan situasi karena
hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6) Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu
tidak mengalami gangguan.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang
perawatan post operasi appendiks.
8) Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka
dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga
tempat kerja dan masyarakat.
9) Pola reproduksi seksual
Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada
hubungannya dengan alat reproduksi.
10) Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang
perawatan post operasi. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme
koping klien terhadap stres tersebut.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya dower chateter dan nyeri post operasi memerlukan adaptasi
klien dalam menjalankan ibadahnya .
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Dx. I. Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat
berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil : Nyeri berkurang Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai
kenyamanan.Intervensi
Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.
Observasi ketidaknyamanan non verbal Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien
untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi, berikan perawatan yang tidak terburu-buru.
Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan.
Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
b. Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan
cairan yang tidak adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan
cairan pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.
Kriteria Hasil : Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal, HT normal. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal.
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa lembab.
Tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Intervensi Pertahankan catatan intake dan output yang akurat. Monitor vital sign dan status hidrasi. Monitor status nutrisi Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu
pembekuan. Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi. Atur kemungkinan transfusi darah.
Daftar Pustaka
Betz, Cecily L, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 3. Jakarta: EGC
Catzel, Pincus.1995. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta: EGC.
Dongoes. Marilyn. E.dkk 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencana
Pendokumentasian Perawatan Klien. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Johnson, Marion,dkk. Nursing Outcome Classification (NOC). St. Louis, Missouri: Mosby
Yearbook,Inc.
Markum.1991.Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: FKUI.
Mansjoer. A. Dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
Mc. Closkey, Joanne. 1996. Nursing Intervention Classsification (NIC). St. Louis, Missouri:
Mosby Yearbook,Inc.
Nelson.1994.Ilmu Kesehatan Anak.Vol 2.Jakarta: EGC.
Sabiston, D.C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
Syamsuhidayat. R & De Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2 .Jakarta : EGC.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawtan Pediatrik, Edisi 4. Jakarta: EGC
____, 2007, apendisitis, terdapat pada:www. harnawatiarjwordpress.com diakses tanggal 1
Juni 2008.