ancaman perang asimetris dalam politik legislasi

21
Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi Indonesia BY MUHAMMAD TAUFIK AL-JUSTISIY JULY 28, 2013 Selama hampir tiga dekade terakhir, persisnya sejak publikasi Peter Noll yang berjudul Gesetzgebungslehre pada tahun 1973, telah memberikan perhatian dan pengaruh yang sangat besar terhadap studi keilmuan tentang fenomena legislasi. Sampai saat itu, Noll melihat bahwa teori hukum telah secara eksklusif terfokus pada ajudikasi, sementara legislasi tidak menjadi perhatian. Ilmu hukum (legal science) telah secara terbatas pada apa yang disebut Noll sebagai “a science of the application of rules” (Rechtsprechungwissenschaft), yang lebih banyak menfokuskan penerapan hukum oleh hakim. Padahal, menurutnya, kreasi para hakim dan para legislator, atau judicial process dan legislative process, sesungguhnya melakukan hal yang sama. Prinsip legalitas sebagai dasar putusan‐putusan pengadilan dan keterbatasan hakim dalam mengaplikasikan hukum, dalam perspektif yang demikian, jelas merupakan hal yang terkait dengan otoritas atau kedaulatan pada legislator untuk membentuk aturan‐aturan hukum. Perdebatan tentang hukum tidak cukup menggambarkan bagaimana negara dapat menjalankan mandat hukum sebaik‐baiknya, karena penerapan hukum tidak terpuaskan atau sekedar mereduksi ilmu hukum sebagai ilmu dalam proses yudisial (rule application), yang berkiblat pada aturan main hukum. Dalam konteks inilah, pendekatan ilmu hukum sebagai suatu tatanan sistem dengan urgensi yang tidak perlu dipertanyakan lagi harus dikembangkan terhadap teori‐teori bagaimana hukum itu dibentuk (rule creation), terutama dalam kondisi kekinian yang mana tantangan globalisasi dan intervensi kepentingan dalam dan luar negri begitu aktif mencari celah setiap peluang dimana produk hukum dapat dipermainkan menurut kepentingan masing-masing. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengembangkan atau setidaknya memberikan gambaran lain tentang perspektif teoritik dalam legislasi. Hingga kemudian pada giliranya para legislator dituntut wajib secara cermat mampu berpandangan progresif dalam menjajaki kemungkinan‐kemungkinan bagaimana pendekatan teori‐teori legislasi yang ada perlu direspon dengan pengembangan wacana legisprudence

Upload: cakmatt

Post on 19-Jan-2016

155 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Perang Simetris sudah bukan jamannya lagi. Sekarang negara pada sibuk dengan persiapan perang asimetris untuk mempertahankan kedaulatan negaranya.

TRANSCRIPT

Page 1: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi IndonesiaBY MUHAMMAD TAUFIK AL-JUSTISIY JULY 28, 2013

Selama hampir tiga dekade terakhir, persisnya sejak publikasi Peter Noll yang berjudul Gesetzgebungslehre pada tahun 1973, telah memberikan perhatian dan pengaruh yang sangat besar terhadap studi keilmuan tentang fenomena legislasi. Sampai saat itu, Noll melihat bahwa teori hukum telah secara eksklusif terfokus pada ajudikasi, sementara legislasi tidak menjadi perhatian. Ilmu hukum (legal science) telah secara terbatas pada apa yang disebut Noll sebagai “a science of the application of rules” (Rechtsprechungwissenschaft), yang lebih banyak menfokuskan penerapan hukum oleh hakim. Padahal, menurutnya, kreasi para hakim dan para legislator, atau judicial process dan legislative process, sesungguhnya melakukan hal yang sama.

Prinsip legalitas sebagai dasar putusan‐putusan pengadilan dan keterbatasan hakim dalam mengaplikasikan hukum, dalam perspektif yang demikian, jelas merupakan hal yang terkait dengan otoritas atau kedaulatan pada legislator untuk membentuk aturan‐aturan hukum. Perdebatan tentang hukum tidak cukup menggambarkan bagaimana negara dapat menjalankan mandat hukum sebaik‐baiknya, karena penerapan hukum tidak terpuaskan atau sekedar mereduksi ilmu hukum sebagai ilmu dalam proses yudisial (rule application), yang berkiblat pada aturan main hukum. Dalam konteks inilah, pendekatan ilmu hukum sebagai suatu tatanan sistem dengan urgensi yang tidak perlu dipertanyakan lagi harus dikembangkan terhadap teori‐teori bagaimana hukum itu dibentuk (rule creation), terutama dalam kondisi kekinian yang mana tantangan globalisasi dan intervensi kepentingan dalam dan luar negri begitu aktif mencari celah setiap peluang dimana produk hukum dapat dipermainkan menurut kepentingan masing-masing. Oleh sebab itu, diperlukan upaya mengembangkan atau setidaknya memberikan gambaran lain tentang perspektif teoritik dalam legislasi.

Hingga kemudian pada giliranya para legislator dituntut wajib secara cermat mampu berpandangan progresif dalam menjajaki kemungkinan‐kemungkinan bagaimana pendekatan teori‐teori legislasi yang ada perlu direspon dengan pengembangan wacana legisprudence secara kritis (critical legisprudence) guna menyesuaikan diri dengan iklim dunia perpolitikan yang cenderung fluktuatif mengikuti selera pasar.Sebagaimana telah dipahami bahwa ranah perpolitikan dalam jagad hukum dan kenegaraan rentan dirasuki intervensi yang menghendaki segelintir kepentingan dengan mengabaikan kaedah-kaedah kemanusian dan masyarakat banyak. Hal ini pula lah yang harus diwaspasdai para pelaku pembentukan produk hukum suatu negara sebagai aktor penting yang memainkan peran sebagai legislator yang berkuasa atas konstruksi undang-undang. Apalagi bagi negara ‘sekaliber’ Indonesia yang notabene merupakan negara kaya akan sumber daya alam, tambang, pertanian, migas, kelautan dll yang mencengangkan setiap mata dan menjadi iming-iming negara-negara adikuasa berpacu merebut sebidang kepentingan di tanah Indonesia. Dalam salah satu segmentasi pembuktian dan kajian, globalisasi nyatanya turut andil sebagai elemen yang memainkan peranan penting dalam mempengaruhi baik secara terang-terangan maupun berdampak laten atas peta perpolitikan suatu bangsa.

Page 2: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Globalisasi merupakan tatanan sistem yang berkembang cepat dalam konteks kekinian yang tidak saja berdampak positif namun juga membawa pengaruh negatif lainya apabila ketidak mampuan dalam mengelola tatanan paradigma yang terbentuk mencapai tahap akut yang mengkebiri setiap gerak laku dan pola kebijakan suatu negara.Sejarah globalisasi sendiri dimulai ketika dunia dihadapkan pada tantangan zaman yang menghendaki masing-masing negara bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi dalam kondisi suhu perpolitikan yang semakin panas. Gerakan konstruktif pun berbalasan dilancarkan saling serang antar negara yang berbentrokan kepentingan, mulai dari peta kebijakan hingga peraturan perundang-undangan dalam negri pun disinyalir telah mendapat serangan dari negara lawan. Dalam model perang generasi baru yang mengedepankan strategi dan teknologi informasi berbagai upaya baru yang lebih canggih dan menghancurkan lawan tidak hanya dari sisi luar namun juga dari dalam sendiri terus dikembangkan. Pelbagai kajian dan penelitian model serangan ketatanegaraan semakin giat dilakukan demi mereduksi fungsi-fungsi vital dan strategis yang pada giliranya akan melumpuhkan negara lawan bahkan dalam tahap yang tidak disadarinya. Konsep globalisasi sendiri dapat dipahami dalam salah satu segmentasinya sebagai kegiatan ekonomi, teknologi serta komunikasi. Revolusi informasi mengarahkan kita ke dalam milenium ketiga yang tidak hanya menawarkan berbagai peluang baru tetapi juga tantangan baru bagi umat manusia. Kondisi kehidupan telah mengalami perbaikan, secara bersamaan telah menciptakan suatu jurang perbedaan yang dalam antara orang-orang yang hidup di negara-negara maju dengan orang-orang yang hidup di negara yang sedang berkembang dan negara-negara terbelakang (Levit dalam Dressler, G., 2006).

Ancaman bagi kedaulatan sebuah negara-bangsa dewasa ini menjadi semakin kompleks dan rumit. Terorisme, misalnya, tidak dapat dikenali dalam terminologi perang simetrik. Ancaman arus uang panas para spekulan juga dapat meruntuhkan fundamen ekonomi sebuah bangsa. Para pengambil kebijakan baik dari kalangan sipil maupun militer perlu memahami jenis-jenis ancaman baru dan cara terbaik untuk menangkalnya. Pemahaman baru tersebut perlu berpijak pada paradigma atau model yang juga baru. Penelitian ini turut berupaya menjelaskan pergeseran paradigma dalam memahami ancaman dan keamanan nasional dalam politik legislasi Indonesia. Paradigma perang generasi ketiga bergeser menjadi perang generasi keempat yang mana media, diplomasi dan think tank memainkan peranan penting.

Keamanan nasional pada umumnya dipahami dalam kerangka negara “Westphalian” yang berfokus pada pengakuan resiprokal antara negara. Resiprositas tersebut pada gilirannya menghasilkan konsep kedaulatan yang terbatas secara teritorial. Tulisan-tulisan lama tentang keamanan nasional bersandar pada gagasan tentang perlindungan fisik terhadap teritori fisik sebuah negara berdaulat. Sebab itu, monopoli terhadap penggunaan kekerasan yang absah mutlak berada di tangan negara dalam wujud angkatan bersenjata. Persoalannya, negara berdaulat tidak sekedar hadir sebagai protektor teritori fisik melainkan untuk sebuah tujuan yang lebih luas. Dalam tulisan filsuf-filsuf kontinental seperti Locke, Hobbes dan Adam Smith, negara tidak hanya berfungsi sebagai penjaga malam melainkan membangun masyarakat yang beradab.

Page 3: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Negara adalah sebuah proyek etis untuk (bahasa pembukaan UUD 1945) melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Negara bukan sekadar makhluk politik melainkan juga kultural yang bersendikan nilai atau prinsip hidup bersama secara berkeadaban. Negara-kultural biasa disebut sebagai “bangsa”. Konsep “negara-bangsa” pun harus dibaca dalam kerangka fungsi ganda negara melindungi teritori fisik (batas wilayah) dan non fisik (kultur, keadaban). Globalisasi sendiri adalah berkah sekaligus ancaman terhadap negara-bangsa. Di satu sisi, globalisasi dianggap berkah karena berkat dialah warga sebuah negara dapat menikmati produk murah buatan negara lain. Di sisi lain, globalisasi sering dicap sebagai ancaman terhadap fungsi kultural negara sebab menghilangkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kemiskinan bahkan mengintervensi penegakan hukum hingga politik perundang-undangan suatu negara. Perang kurs antara Amerika Serikat dan Cina bersandar pada kepentingan kultural masing-masing negara dalam melindungi keadaban bangsanya dari kehancuran ekonomi. Perang sudah bergeser dari adagium lama Clausewitz tentang perang sebagai kepanjangan politik. Dewasa ini, perang dan politik bukan dua hal terpisah yang mana satu adalah kepanjangan dari yang lain. Perang dan politik harus disebut dalam satu tarikan nafas. Perang bukan lagi subjek dari hukum internasional melainkan pondasi hukum itu sendiri. Watak perang yang meregulasi dan membuat tertib sosial sebangun dengan watak hukum. Ketika dulu perang disubordinasi oleh struktur legal, maka sekarang perang justru menciptakan dan memaksakan kerangka legalnya sendiri. Perang seputar kurs yang dilancarkan Amerika terhadap Cina berupaya menciptakan kerangka legal internasional yang memaksa negara-negara mengambangkan nilai kurs-nya untuk perdagangan yang lebih fair dan setara. Segenap perang revolusi anti kolonialisme (termasuk perang revolusi kemerdekaan RI) adalah upaya menumbangkan rejim kolonial dan menancapkan kode legal dan bentuk kehidupan baru.

Watak ancaman yang berubah menuntut perubahan dalam cara kita berperang. Ancaman baru terhadap kesehatan, kecerdasan, nilai, dan kebudayaan sebuah negara-bangsa tidak dapat lagi dihadapi dengan angkatan bersenjata. Perang sudah memasuki fase baru yang biasa disebut generasi keempat (fourth generation warfare). Generasi pertama perang modern didominasi oleh tenaga manusia (manpower) dalam skala masif dan mencapai puncaknya pada perang Napoleon. Generasi kedua didominasi oleh persenjataan (firepower) dan berakhir pada perang dunia pertama. Generasi ketiga didominasi oleh manuver, siasat dan taktik. Generasi keempat adalah bentuk perang baru yang berhadapan dengan fenomena insurgensi yang memanfaatkan kekuatan ekonomi, politik, sosial dan militer untuk melemahkan legitimasi moral musuh. Insurgensi juga memanfaatkan berbagai modalitas yang ada untuk meyakinkan musuh betapa tujuan strategis dari perang tak mungkin dicapai dan mahal yang pada akhirnya akan memperlemah, mematikan, hingga pada keadaan yang lebih parahnya negara yang dikalahkan akan menjadi ‘budak’ dari negara yang memenangkan perperangan bahkan terhadap hal hukum dan politik. Dapat dibayangkan bagaimana ketika sebuah negara yang dalam keadaan setengah sadar, nanar dalam tekanan tinggi berada dibawah intervensi asing, terkhusus terhadap politik hukum dan legislasi maka kedaulatan negara secara tak langsung telah tergadaikan tinggal menunggu penyerahan kekuasaan secara terang-terangan dari negara yang telah habis masanya.

Page 4: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum suatu negara cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius constituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.

Hukum adalah hasil tarik-menarik dari pelbagai kekuatan politik yang kemudian diejawantahkan kedalam sebuah produk hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu.

Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang. Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di Indonesia. Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam suatu masyarakat.

Urgensi suatu lembaga legislatif dalam keberadaanya di sebuah negara menjadi hal yang tidak diragukan lagi. Selama lebih dari 200 tahun terakhir, lembaga legislatif merupakan institusi kunci (key institution) dalam perkembangan politik negara-negara modern. Menilik perkembangan lembaga-lembaga negara, lembaga legislatif merupakan cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan kedaulatan rakyat.

Page 5: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Rabu, 09 Januari 2013

PERANG ASIMETRIK ABAD 21 DI INDONESIA

STRATEGI PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN KOMPONEN KEKUATAN NASIONAL DALAM MENGHADAPI PERANG ASIMETRIK ABAD 21 DI INDONESIA

Sigit Sasongko

Komponen kekuatan nasional Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini terdiri dari diplomasi,

informasi, militer, dan ekonomi. Keempat unsur ini berkaitan satu sama lain dan saling membutuhkan,

militer yang kuat tentunya akan menimbulkan efek gentar strategis  atau "strategicdeterrent effect"

(informational) kepada negara-negara di kawasan sehingga akan dapat menjadi daya tangkal

terhadap ancaman dari luar. Selain itu, militer yang kuat tentunya dapat mendukung upaya

diplomasi (diplomatic-political) agar memperoleh bargaining position yang memadai dalam setiap

penyelesaian suatu konflik dengan negara lain. Dengan bargaining yang kuat maka secara otomatis

militer akan melindungi momentum kemajuan ekonomi dari gangguan pihak luar maupun dalam

negeri, terutama dengan cara menciptakan stabilitas dalam negeri serta melindungi aset-aset

ekonomi.  Hubungan seperti ini yang pada dasarnya belum optimal diaplikasikan dalam sistem

pertahanan negara Indonesia dalam menghadapi perang asimetris. 

Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai karakteristik perang asimetris abad 21 untuk Indonesia kemudian strategi pembinaan dan pengembangan komponen kekuatan nasional Indonesia untuk mengatasi perang asimetrik abad 21. Mengingat Indonesia mempunyai posisi strategis diantara dua samudera dan dua benua tidak menutup kemungkinan banyak ancaman yang harus dihadapi. Khususnya ancaman asimetris, Indonesia menghadapi dua dimensi yang berbeda, di mana Indonesia berada di posisi yang kuat dalam menghadapi aktor non-negara seperti terorisme dan separatisme di dalam negeri, namun dilain pihak Indonesia berada di posisi yang lemah ketika berhadapan dengan negara besar seperti halnya China.

Karakteristik Perang Asimetris Abad 21 untuk IndonesiaDi era globalisasi sekarang ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat baik jarak maupun waktu menjadi sedemikian dekat. Globalisasi juga telah menciptakan ruang baru dimana negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam percaturan ekonomi maupun politik global. Fenomena ini juga telah menciptakan spectrum ancaman yang sedemikian unik, suatu ancaman terhadap kehidupan manusia yang semakin luas dan beragam. Ancaman tersebut bukan hanya berasal dari aktor-aktor negara berupa ancaman agresi seperti timbulnya perang-perang besar. Namun fenomena yang terjadi sekarang ini muncul ancaman-ancaman yang berasal dari aktor-aktor non-negara yang perkembangannya lebih mengancam kedaulatan negara. Penguasaan terhadap suatu negara dengan cara-cara lama melalui jalan perang secara langsung sudah mulai ditinggalkan berganti dengan strategi perang secara tidak langsung dengan menguasai kehidupan secara multidimensi. Tentara dan persenjataan canggih bukan lagi pemegang monopoli kekerasan terhadap kemanusiaan, tetapi justru dari perangkat-perangkat sipil yang

Page 6: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

tidak dibayangkan sebelumnya[1]. Fenomena-fenomena inilah yang kemudian muncul istilah yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Asimetris.

Perang Asimetris lebih sering disebut sebagai perang generasi keempat yang merupakan sebuah bentuk perang dengan menggunakan cara berpikir yang tidak lazim dan diluar aturan peperangan yang berlaku karena berakar dari ketidakmampuannya menghadapi kekuatan musuh yang lebih kuat. Rod Thornton dalam bukunya Asymmetric Warfare mengemukakan bahwa Peperangan Asimetris adalah sebuah aksi kekerasan yang dilakukan oleh si lemah melawan si kuat, dimana si lemah dapat berupa aktor negara atau aktor non-negara, mencoba untuk menghasilkan pengaruh yang mendalam disemua level peperangan dengan mengerahkan keunggulan yang dipunyai dan memanfaatkan kerawanan-kerawanan dari pihak yang lebih kuat[2]. Globalisasi dan kemajuan teknologi telah membuka sebuah era baru dalam peperangan yang melibatkan multi aktor. Indonesia sebagai negara berdaulat menghadapi berbagai ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam negeri, sadar atau tidak sadar ancaman dari dalam negeri terus meningkat seiring dengan munculnya aktor-aktor non-negara yang bertujuan untuk mempersempit ruang gerak pemerintahan, penyebaran terhadap ajaran-ajaran radikal, eksistensi kelompok, dan tujuan politik untuk mengganti ideologi negara dengan sebuah ideologi tertentu.

Munculnya aksi-aksi teror yang terjadi di Indonesia, menandakan hadirnya aktor non-negara yang menginginkan tujuan tertentu dan bertentangan dengan negara. Gerakan terorisme di Indonesia hampir seumur dengan berdirinya republik ini[3], kemudian menjadi sorotan dunia internasional setelah terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II. Selain gerakan terorisme, muncul pula berbagai kelompok separatisme seperti di Aceh oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Berbagai media digunakan oleh kelompok-kelompok tersebut dengan memanfaatkan teknologi dan informasi untuk dijadikan isu-isu yang dapat menggoyang dominasi negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Perlawanan ini dilakukan secara sistemik guna mendapatkan hati dan pikiran rakyat serta lambat laun dapat menghancurkan negara dari dalam. Disinilah terjadi Asimetris yang merujuk kepada kata ketidakseimbangan, dimana posisi aktor-aktor negara tersebut berada di pihak yang lemah berusaha melakukan perlawanan terhadap aktor negara, yaitu Indonesia sebagai pihak yang lebih kuat. Para aktor non-negara baik gerakan terorisme maupun separatisme berusaha memanfaatkan kelemahan dan kerawanan yang dimiliki bangsa Indonesia untuk dapat mewujudkan tujuan politiknya sehingga dapat memisahkan diri dari Negara Indonesia.

Disamping menghadapi ancaman-ancaman dari keberadaan aktor-aktor non-negara yang mempunyai keinginan untuk memisahkan diri, Indonesia sebagai bangsa berdaulat juga menghadapi ancaman dari aktor-aktor negara yang berada di kawasan Asia Pasifik, walaupun secara prediksi ke depan bangsa indonesia tidak akan mengalami agresi atau invasi militer secara besar-besaran dari suatu negara. Namun yang perlu diwaspadai adalah munculnya pengaruh-pengaruh negara-negara besar yang dapat mempengaruhi kebijakan dan tata kelola pemeritahan dari tingkat lokal hingga global sehingga tidak dapat melaksanakan fungsi pemerintahan dan negara secara baik. Konflik-konflik perbatasan, konflik wilayah mengenai Sumber Daya Alam (SDA) menjadi trend ancaman yang terjadi antar negara. Berbagai kepentingan muncul dengan wujud klaim-klaim wilayah yang cenderung memiliki SDA yang diyakini dapat menjadi investasi negara di masa depan.

Page 7: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Contoh nyata adalah konflik Laut China Selatan yang menyangkut beberapa negara tetangga Indonesia seperti Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina menghadapi klaim wilayah yang dilakukan China. Indonesia yang secara tidak langsung ikut dalam konflik tersebut, tetapi antara Indonesia dan China masih terdapat tumpang tindih teritorial di sebagian wilayah perairan timur laut Kepulauan Natuna. Di Perairan tersebut terdapat tiga blok eksplorasi minyak dan gas bumi milik Indonesia[4] yang memang menjadi klaim China melalui nine dash lines policies-nya. Tumpang tindih teritorial ini harus menjadi tempat khusus bagi Indonesia dengan tetap menjaga kewaspadaan terhadap kedaulatan dan kepentingan nasional yang harus tetap dibela. Selain menghadapi permasalahan klaim territorial, Indonesia – China juga menghadapi suatu permasalahan asimteris dalam menghadapi perdagangan bebas sebagai dampak dari penerapan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA), dimana terdapat keasimterisan dalam bidang ekonomi antara Indonesia dan China yang bila dibiarkan akan menjajah Indonesia secara ekonomi. Berhadapan dengan negara besar seperti China menempatkan Indonesia sebagai negara yang lebih lemah dari China sehingga perlu strategi-strategi tertentu sebagai bentuk peperangan asimetris.

Bersumber dari beberapa dimensi yang berbeda dimana Indonesia sebagai aktor negara berhadapan dengan aktor non-negara (separatisme dan terorisme), Indonesia memposisikan diri sebagai pihak yang lebih kuat seharusnya bisa mengoptimalkan strateginya dengan Positive Asymmetric. Di lain sisi berhadapan dengan negara besar seperti China, Indonesia harus mampu mengoptimalkan strategi dengan menerapkan Negative Asymmetric sebagai bentuk strategi dari Peperangan Asimetris. Inilah karakteristik perang Asimetris Indonesia dalam menghadapi ancaman dari aktor negara dan aktor non-negara dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.

Komponen Kekuatan Nasional Indonesia Untuk Menghadapi Perang Asimetris

Dalam tulisan ini komponen kekuatan nasional yang dibahas dalam menghadapi Perang Asimetris yang dilakukan oleh Indonesia adalah Diplomasi, Informasi, Militer, dan Ekonomi.

Diplomasi

Bertolak dari permasalahan ancaman asimetris terhadap Indonesia, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut sebagai potensi ancaman bagi keselamatan dan kedaulatan NKRI. Ancaman asimetris tersebut dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor baik negara maupun non-negara sebagai titik-titik rawan yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa. Pemerintah RI perlu berkomitmen bersama untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI dari ancaman terorisme, separatisme atau disintegrasi yang dilakukan oleh sekelompok aktor-aktor non-negara. Salah satunya adalah dengan menguatkan peran diplomasi, karena diplomasi merupakan faktor terpenting dari segenap faktor yang menyebabkan suatu negara menjadi kuat. Kualitas diplomasi dalam melaksanakan hubungan luar negeri dalam suatu negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan nasional dalam masa damai, sama artinya dengan siasat dan taktik militer oleh pemimpin militernya untuk kekuatan nasionalnya dalam masa perang[5]. Diplomasi Indonesia pada abad 21 dihadapkan pada berbagai perubahan dan pergeseran kekuatan dalam lingkungan strategis global dan regional sebagai dampak pada aspek hubungan antarnegara[6]. Dengan kualitas diplomasi yang bagus, pemerintah

Page 8: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

RI dapat mempunyai suatu pengaruh maksimum atas masalah-masalah dalam situasi internasional yang langsung menyangkut kepentingan negara.

Informasi

Informasi memegang peranan penting dalam berbagai bidang kehidupan. Di era modern sekarang informasi sangat mudah untuk diakses melalui media, baik media cetak maupun elektronik. Kebebasan pers yang digaungkan oleh masyarakat menjadi batu loncatan bagi para penyaji informasi di Indonesia untuk menggerakan bisnisnya semenjak pasca reformasi. Namun kebebasan tersebut disamping mempunyai banyak manfaat positif juga menjadi suatu kerawanan tersendiri bagi Negara RI.

Kerawanan informasi harus mendapat sorotan yang besar dari pemerintah. Banyak contoh sudah terjadi akibat kebebasan informasi, karena informasi dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk melancarkan sebagaimana disebut sebagai perang informasi, seperti yang terjadi di negara-negara Arab. Peristiwa Arab Spring seperti yang terjadi di Mesir, Libia, dan Suriah, konflik yang terjadi di negara-negara tersebut berasal dari akses informasi melalui media sosial sepertifacebook dan twitter yang berhasil dimanfaatkan oleh aktor-aktor non-negara yang berkedudukan sebagai oposisi pemerintah untuk menggalang perlawanan terhadap pemerintah yang syah. Akibat perang informasi yang sangat efektif dan dapat dengan cepat merebut hati maupun pikiran rakyat maka dengan waktu yang relative singkat timbul gejolak perlawanan yang besar terhadap pemerintahan.

Melihat peristiwa yang terjadi di negara-negara arab tersebut, sudah menjadi kewajiban pemerintah memperhatikan peran informasi yang disampaikan atau diberitakan oleh media sebagai sarana pembentukan opini publik dan menjadi strategi asimetrik bagi para aktor non-negara. Tak luput dari itu semua juga perlu memperhatikan peranan LSM-LSM yang berada di Indonesia yang memang keberadaannya terkadang menyudutkan pemerintahan RI khususnya keberadaan aparat TNI dan Polri seperti yang berada di Papua sehingga apabila dibiarkan akan dapat mengancam kedaulatan RI. Di era sekarang informasi sangat mudah menyebar dan diakses oleh semua lapisan masyarakat. Media massapun dijadikan sebagai sarana untuk melancarkan perang-perang informasi sebagai bentuk dari perang urat syaraf dalam rangka merebut hati dan pikiran rakyat dengan harapan rakyat dapat memberikan dukungan kepada aktor-aktor non-negara tersebut untuk memberikan perlawanan terhadap pemerintah RI.

Militer

Perkembangan dunia militer saat ini tidak terlepas dari dinamika globalisasi. Globalisasi menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam perikehidupan manusia yang pada gilirannya membuat pola-pola konflik kepentingan bergeser sehingga bila konflik-konflik tersebut tidak dapat dikelola dengan baik akan muncul beberapa ancaman terhadap keamanan nasional suatu negara[7]. Terkait dengan ancaman separatisme yang ada di Indonesia seperti halnya di Papua, dikarenakan kelompok separatis di Papua dalam memperjuangkan kemerdekaan telah menggunakan peperangan asimetris dengan melakukan cara menguatkan jalan diplomasi melalui ILWP (International Lawyer West Papua) dan IPWP (International Parlementary West Papua). Kedua organisasi ini berusaha meyakinkan dunia internasional untuk dapat mendukung perjuangan kemerdekaan di Papua. Perlu suatu pendekatan khusus dalam menggunakan kekuatan militer sebagai salah

Page 9: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

satu elemen kekuatan nasional, karena bila pemerintah RI terprovokasi untuk menggunakan kekuatan militer secara besar-besaran dalam mengatasi permasalahan berupa separatisme di Papua maka akan memberikan dampak negatif terhadap cara pandang dan opini internasional terhadap perjuangan kelompok separatis yang menginginkan kemerdekaan Papua.

Terkait dengan permasalahan dalam konflik Laut China Selatan, keberadaan militer menjadi sangat diperlukan karena memegang peranan sebagai pemberi efek penangkal (detterent effect) bagi negara-negara lainnya. Namun kondisi militer Indonesia khususnya TNI masih jauh dari standar, baik kesejahteraan anggotanya maupun alutsista yang dimilikinya. Dalam hal konflik Laut China Selatan kita perlu mengetahui kekuatan alutsista khususnya kekuatan laut masing-masing negara yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1. Komparasi Kekuatan Laut di Kawasan Laut China Selatan 2012

China Indonesia Thailand Singapura Malaysia Philipina Vietnam

Submarines

SSBN 3

Tactical (SSK) 68 2 5 2 2

Principal Surface Combatan (PSC)

Destroyer 13

Frigate 65 11 10 6 10 1 2

Patrol and Coastal combatant (PCC)

211 67 83 35 37 63 62

Mine Warfare 73

Mine Counter

Measure88 11 19 4 4 13

Mine Layer 1

Log & Support 205 32 14 2 13 7 25

Landing Aircraft 151 54 56 34 115 26 30

Landing Ships 87 26 8 7 6

Amphibious vessel 1 5

Aircraft Carrier 1

Sumber : Military Balance 2012

Berdasarkan data tersebut Indonesia berada di posisi bawah setelah China, dan memiliki keseimbangan dengan negara-negara lainnya, namun perlu disadari bahwa keberadaan

Page 10: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

alutsista atau kekuatan laut Indonesia masih merupakan jumlah keseluruhan bukan kekuatan yang sudah terbagi berdasarkan lokasi-lokasi tertentu, sehingga hal tersebut menjadi penting bahwa kekuatan laut Indonesia belum cukup dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan apabila memang terjadi suatu pertempuran. Kondisi asimetris kekuatan laut inilah supaya dijadikan menjadi bahan penting untuk tidak terlena dalam menghadapi ancaman-ancaman dari aktor negara khususnya dalam konflik Laut China Selatan.

Berdasarkan tabel 1 diatas kondisi alutsista TNI AL masih berada di bawah rata-rata dari jumlah ideal. Seperti halnya kapal selam TNI AL hanya memiliki 2 kapal selam dengan kategori tactical submarine memiliki jenis patrol submarine (SSK)masih di bawah rata-rata jumlah negara yang terlibat konflik yaitu 12 kapal selam. Jumlah kapal perang TNI AL gabungan PSC dan PCC (78 unit) masih dibawah jumlah rata-rata kapal perang negara-negara di kawasan Laut China Selatan (97 unit). Demikian juga dengan kapal pendukung TNI AL (amphibious, logistic, dan support) dengan jumlah 112 unit masih berada di bawah nilai rata-rata jumlah kekuatan kapal pendukung (128 unit) yang ada di kawasan Laut China Selatan. Merujuk data perbandingan diatas perlu dirumuskan jumlah kekuatan laut yang ideal sebagai bagian dari strategi penggunaan militer khususnya kekuatan TNI AL dalam menghadapi konflik di Laut China Selatan sebagai ancaman asimetris yang dapat mengganggu kedaulatan NKRI.

Ekonomi

Beragam kemajuan di bidang pembangunan ekonomi telah dialami Indonesia. Transformasi ekonomi Indonesia  telah membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan bermula berbasis ekonomi yang berasal dari kegiatan pertanian tradisional lambat laun bergeser menjadi negara dengan mengandalkan industri manukfatur dan jasa.

Indonesia juga memainkan peran yang makin besar di perekonomian global. Saat ini Indonesia menempati urutan ekonomi ke -17 terbesar di dunia[8]. Perekonomian Indonesia saat ini sedang diakui oleh dunia karena keberhasilannya dalam melewati krisis ekonomi global tahun 2008, dan perbaikan peringkat hutang. Tantangan Indonesia di bidang ekonomi ke depan sangatlah besar dan tidak mudah untuk ditangani. Salah satu tantangan ke depan adalah penerapan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) dimana terdapat penerapan pembebasan bea masuk dan Meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan serta penghapusan tarif. Apakah Indonesia siap menghadapi tantangan dalam bidang ekonomi ini, dimana terdapat perimbangan ekonomi dengan China yang masih asimteris? Dan bagaimana strategi ekonomi Indonesia dalam menghadapi asimetris dalam bidang ekonomi ini dengan China?

Strategi Pembinaan dan Pengembangan Komponen Kekuatan Nasional di Indonesia

Strategi Diplomasi

Dalam penggunaan kekuatan diplomasi perlu melihat situasi dan kondisi kawasan baik regional maupun secara global khususnya di wilayah Asia Pasifik.Menghadapi ancaman berkaitan dengan Peperangan Asimetris, Indonesia harus menyikapinya dengan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dengan memperkuat penataan sistem politik dalam negeri yang dapat memberikan stabilitas politik dalam negeri yang dinamis sehingga menimbulkan efek penangkal yang tinggi. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan keluar yang diarahkan untuk mendinamisasikan strategi dan upaya diplomatik melalui

Page 11: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

peningkatan peran instrumen politik luar negeri dalam membangun kerja sama dan saling percaya dengan negara-negara lain sebagai kondisi untuk mencegah atau mengurangi potensi konflik antarnegara, yang dimulai dari tataran internal, regional, supraregional, hingga global[9].

Melihat indikasi keterlibatan internasional, perlu suatu kerjasama berupa public diplomacy[10] bilateral maupun multilateral diplomacy sebagai suatu strategi dalam soft power yang meliputi negara-negara kawasan Asia Pasifik terkait dengan dinamika geopolitik dan geostrategi yang diusung oleh masing-masing negara tersebut. Dengan meningkatkan kerjasama diplomatik secarainterrelationship sesuai dengan kapasitas kepentingan nasional Indonesia dengan pula memantapkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional, diharapkan memperoleh dampak yang positif dalam mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman terorisme, separatisme di Papua maupun dalam menghadapi negara besar seperti China terkait permasalahan klaim territorial yang terdapat tumpang tindih.

Kegagalan-kegalan masa lalu Bangsa Indonesia dalam menghadapi tekanan dunia internasional menjadi pelajaran tersendiri untuk dijadikan pedoman dalam mengambil langkah di masa depan. Perlunya suatu hubungan baik antar negara baik di kawasan regional maupun global dapat ditingkatkan dengan melaksanakan kerjasama diplomatik secara aktif. Peran serta aktif lembaga-lembaga yang terlibat sebagai pengambil keputusan harus dilaksanakan secarainterrelationship dalam mengambil langkah-langkah dalam optimalisasi penggunaan kekuatan diplomasi sebagai bagian dari upaya mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman-ancaman asimetris yang datang dari baik dari aktor negara maupun non-negara.

Strategi Informasi

Perlu suatu strategi khusus guna mengeliminir penyebaran informasi atau untukmengounter perang informasi yang dilancarkan oleh aktor-aktor non-negara dalam rangka menyudutkan pemerintah. Menghadapi peperangan informasi pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan Kementerian Komunikasi dan Informasi perlu mengadakan kerjasama secara interrelationship dan merumuskan kebijakan nasional untuk mewujudkan keunggulan informasi dalam rangka pertahanan negara. Kebijakan nasional ini berfungsi sebagai dasar hukum bagi pelaksanaan Operasi Informasi di seluruh jajaran pertahanan militer dan nirmiliter melalui beberapa lembaga pemerintahan seperti TNI, Polri, Pemda, BUMN maupun swasta untuk bersama-sama mencegah terjadinya penyebaran informasi yang dapat menyudutkan pemerintah khususnya dalam rangka mencari dukungan untuk memisahkan diri dari NKRI. Melaksanakan pemonitoran terhadap situs-situs di internet yang mengarah terhadap provokasi dan ancaman separatisme maupun yang berisikan penyebaran ajaran radikal yang dapat mengarah ke terorisme. Mengaktifkan komunikasi antara pemerintah dengan rakyat seperti diadakannya program TMMD, posyandu, pengobatan masal dan sebagainya yang bertujuan untuk meraih hati rakyat guna mengantisipasi penyebaran paham terorisme dan separatisme yang dapat mengancam kedaulatan negara RI.

Strategi Militer

Page 12: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Melihat kondisi yang ada maka penggunaan kekuatan militer sebagai polasecurity approach dalam menghadapi permasalahan di Papua berupa ancaman separatisme harus terus dikaji dengan menimbang berbagai faktor baik internal, regional maupun global. Mengedepankan kerjasama pertahanan di kawasan merupakan cara berdiplomasi terbaik dalam bidang militer guna meyakinkan dan menggalang opini dunia internasional untuk menekan ancaman separatisme di Papua.

Adapun penggunaan kekuatan militer difokuskan sebagai pendukung dalam mengatasi ancaman tekanan dari kelompok separatis bersenjata OPM dengan tetap mengedepankan smart power yaitu menerapkan operasi intelijen berupa penyelidikan maupun penggalangan sebagai langkah terbaik yang bersinergis dengan pemberdayaan wilayah, ekonomi lokal dan komponen pembangunan lainnya. Dalam melaksanakan strategi smart power  ini, pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap kebutuhan masyarakat di Papua, seperti yang dikemukakan oleh David Galula bahwa salah satu cara mengatasi pemberontakan adalah dengan mendukung kebutuhan penduduk[11]. Pemerintah harus jeli dalam menggunakan kekuatan militernya, yang terpenting disini adalah bagaimana to win the heart and mind of people, sehingga bilapun pemerintah menggunakan kekuatan militernya harus melalui strategi pemberdayaan kewilayahan sesuai dengan karakter daerah dan penduduk seperti halnya di Papua guna merangkul masyarakat untuk tetap mempertahankan kedaulatan RI dari ancaman separatisme.

Dalam menghadapi ancaman asimetris yang merupakan bagian dari konflik di kawasan Laut China Selatan, maka pemerintah perlu mengoptimalkan keberadaan kekuatan militer khususnya armada TNI AL dalam rangka perimbangan kekuatan guna menghadapi ancaman di kawasan Laut China Selatan tersebut, perlu beberapa kajian dari pemerintah seperti halnya rencana pemerintah menambah armada lautnya. Kekuatan angkatan laut secara prinsip berbasis pada kekuatan Alutsista bukan pada kekuatan personel seperti halnya angkatan darat[12]. Mengingat wilayah laut Indonesia sangat luas dan memiliki lokasi strategis yang dijadikan sebagai lalu lintas kapal-kapal internasional sehingga memiliki potensi terjadinya konflik yang sangat besar terutama di kawasan Laut China Selatan, dengan dasar tersebut dapat dijadikan sebuah pertimbangan untuk membangun TNI AL yang modern dan berwibawa.

Berdasarkan perbandingan di tabel 1 di atas, maka dalam merumuskan jumlah kekuatan TNI AL khususnya kapal perang dapat berdasarkan perimbangan kekuatan militer negara-negara di kawasan Laut China Selatan serta konsepsi gelar kekuatan TNI AL yang ideal. Mengingat pula bahwa Grand Strategymiliteristik menekankan Postur TNI yang kuat secara internasional[13], maka nilai rata-rata kawasan Laut China Selatan dapat digunakan sebagai patokan jumlah kekuatan laut yang harus dimiliki oleh TNI AL. Merujuk perbandingan tabel diatas maka dapat di rumuskan bahwa kekuatan laut untuk menghadapi ancaman dan mengantisipasi terjadinya konflik di kawasan Laut China Selatan, maka idealnya kekuatan TNI AL harus mempunyai jumlah kekuatan laut diatas rata-rata negara-negara kawasan tersebut. Contohnya adalah TNI AL akan ideal bila memiliki 10 unit kapal selam kategori tactical dengan tipe minimal SSN (attack submarine nuclear powered) dan 4 unit kelas strategic dengan dilengkapi SLBM (submarine Launch Balistic Missile)[14]. Sedangkan untuk membangun Postur TNI Laut yang kuat dan berwibawa, maka perlu menambah jumlah kapal perang berkategori PSC berjenis destroyer dan cruiser, Aircraft Carrier (CV), Aircraft Carrier Nuclear Powered (CVN), Helicopter Carrier (CVH)[15] dan

Page 13: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

untuk PCC TNI AL yang ideal berupa penambahan kapal corvette dengan kemampuan serang yang dilengkapi dengan SAM (Surface to Air Missile), Torpedo, maupun senjata dengan kaliber 57 mm.

Sejumlah penambahan kekuatan laut tersebut akan digunakan untuk mendukung operasional di perairan yuridiksi Indonesia dengan prioritas di kawasan sekitar Laut China Selatan, seperti selat malaka atau yang menjadi wilayah Armada Barat (Armabar) sekarang ini dengan penambahan kekuatan laut dari yang sudah ada diharapkan mampu menambah pengamanan dan dapat mencegah terjadinya konflik yang lebih besar atau setidaknya Indonesia tidak menjadi bangsa yang menjadi korban apabila terjadi konflik di kawasan tersebut. Selain penempatan alutsista TNI AL yang berorientasi pada letak strategis diharapkan mampu dimobilisasi atau bermanuver secara cepat bila terjadi gangguan yang menyangkut keamanan di territorial Indonesia.

Strategi Ekonomi

Strategi ekonomi dengan meningkatkan daya saing ekonomi disusun sebagai solusi untuk menghindari dan mengatasi dampak negatif dari perdagangan atau pasar bebas yang merupakan konsekuensi diberlakukannya ACFTA. Diharapkan strategi ini dapat menyeimbangan neraca perdagangan antara Indonesia – China yang masih terdapat keasimetrisan dalam kegiatan ekspor dan impor. Konsekuensi dari akan diimplementasikannya komunitas ekonomi ASEAN dan terdapatnya Asean – China Free Trade Area (ACFTA) mengharuskan Indonesia meningkatkan daya saingnya guna mendapatkan manfaat nyata dari adanya integrasi ekonomi tersebut[16].

Indonesia harus siap dalam menghadapi kebijakan penerapan ACFTA tersebut, yaitu dengan memposisikan terlebih dahulu sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan dan sumber daya mineral. Hal tersebut harus dilaksanakan karena Indonesia memang memiliki potensi demografi, kekayaan sumber daya alam, dan posisi geografis Indonesia, yang bilamana diolah dengan baik akan memberikan suatu posisi yang menguntungkan secara ekonomi bagi Indonesia.

Sebagai penyiapan strategi ekonomi dalam menghadapi penerapan perdagangan bebas khususnya dengan China membutuhkan perubahan dalam cara pandang dan perilaku seluruh komponen bangsa.  Strategi yang dapat dijadikan sebagai solusi dalam menghadapi keasimterisan ekonomi dengan China sebagai dampak dari penerapan ACFTA yang juga merupakan prinsip dasar keberhasilan pembangunan[17] adalah sebagai berikut; (1) Perubahan pola pikir (mindset)dimulai dari Pemerintah dengan birokrasinya; (2) Perubahan membutuhkan semangat kerja keras dan keinginan untuk membangun kerjasama dalam kompetisi yang sehat; (3) Produktivitas, inovasi, dan kreatifitas didorong oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menjadi salah satu pilar perubahan; (4) Peningkatan jiwa kewirausahaan menjadi faktor utama pendorong perubahan; (5) Dunia usaha berperan penting dalam pembangunan ekonomi; (6) Kampanye untuk melaksanakan pembangunan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan; dan (7) Kampanye untuk perubahan pola pikir untuk memperbaiki kesejahteraan dilakukan secara luas oleh

Penutup

Page 14: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Merujuk karakter perang asimetris abad 21, Indonesia menghadapi beberapa permasalahan yang melibatkan negara sebagai aktor utama menghadapi beberapa aktor baik negara lain maupun non-negara. Ancaman asimetris yang dihadapi oleh Indonesia menjadi permasalahan sekaligus tantangan yang harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah maupun juga pemangku kepentingan lainnya. Pada abad 21 ini ancaman asimetris yang dihadapi oleh bangsa Indonesia menempatkan posisi Indonesia yang saling berlawanan yaitu Indonesia dalam posisi asimetris positif dimana Indonesia menghadapi ancaman terorisme dan separatisme, di sisi lain Indonesia berada di posisi sebagai asimetris negatif manakala berhadapan dengan negara besar seperti China dalam permasalahan klaim China di kawasan Laut China Selatan dan permasalahan ekonomi sebagai dampak penerapan ACFTA.

Melihat karakter perang asimetris di Indonesia, maka pemerintah perlu mengerahkan komponen kekuatan nasionalnya dengan strategi-strategi seperti yang telah dibahas di atas, kemudian merujuk kepada model yang diusung oleh Arreguin Toff, Indonesia harus dapat menempatkan dirinya untuk menghadapi ancaman asimetris dari kedua sisi yang berbeda yaitu positif dan negatif asimetris.

Tabel 2. Arreguin Toff Model.

Ivan Arreguin Toff Model

Weak- Actor

Strategic approach

Direct Indirect

Strong-actor

Strategic approach

Direct Strong - actor Weak - actor

Indirect Weak - actor Strong - actor

Berdasarkan model Arreguin Toff, seperti tabel yang di atas, bila Indonesia menempatkan posisinya sebagai aktor yang kuat, dalam berhadapan dengan aktor yang lemah disarankan untuk menggunakan dan menerapkan pendekatan strategis berupa indirect approach manakala aktor yang lemah seperti halnya dalam kasus terorisme dan separatisme menggunakan indirect approach juga sehingga berdasarkan model dalam tabel 2 maka Indonesia akan mengalami kemenangan. Pendekatan direct seperti penggunaan militer, digunakan manakala aktor lemah menggunakan pendekatan direct  juga berupa aksi kekerasan menggunakan kekuatan bersenjata, yang intinya bahwa kemenangan tersebut dapat tercapai bila pemerintah dapat merebut hati dan pikiran masyarakat atau rakyat Indonesia itu sendiri.

Di sisi lain, pada saat Indonesia dalam posisi yang lemah, maka Indonesia harus menguatkan pendekatan indirect-nya dengan menguatkan pilar-pilar komponen kekuatan nasional Indonesia seperti halnya dalam diplomasi, informasi, militer maupun ekonomi

Page 15: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

dengan memanfaatkan kerjasama-kerjasama baik bilateral maupun multilateral sehingga mampu memberikan posisi tawar yang menguntungkan bagi Indonesia. Bilapun Indonesia akan menggunakan pendekatan secara langsung, maka Indonesia harus bertransformasi menjadi negara yang kuat dan memiliki komponen kekuatan nasional yang besar seperti kekuatan diplomasi, informasi, militer, dan ekonomi yang kuat.

Demikian strategi-strategi yang ditawarkan dalam menghadapi ancaman asimetris sesuai dengan karakter perang asimetris untuk Indonesia. Indonesia sangat perlu memperkokoh komponen kekuatan nasionalnya. Keasimetrisan yang terjadi dari kedua sisi yang berbeda harus mendapatkan perhatian serius bagi pemerintah, karena Indonesia harus siap menghadapi segala kemungkinan ancaman asimetris yang dapat mengganggu kedaulatan dan integritas bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Arreguin-Toft, Ivan. 2001.How the Weak Win Wars, dalam Jurnal International Security, Vol.26, No 1.

Bakrie, Connie R. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI.

Kementrian Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI. Jakarta : Kementrian Koord Bid Ekonomi.

Kiras, James D. 2007. “Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, Second Edition, Oxford University Press.

Morgenthau, Hans J.. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Muradi. 2012. Densus 88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung: Dian Cipta.

Octavian, Amarulla. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta : UI Press.

Prabowo, J.S. 2010. Himpunan Catatan tentang Perang Gerilya Mao, Nasution, Che, Carlos, & Crabtree.

Routledge. 2012. The Mililtary Balance 2012. UK: Routledge.

Thornton, Rod. 2007. Asymmetric Warfare. UK: Polity Press.

Page 16: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi

Winarno, Budi. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: Caps.

Internet

Sihombing, Denny L. 2010. Kekuatan Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses dari http://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/

Surat Kabar

Wisnu Dewabrata. 2012. “Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan” dalam Kompas, Minggu 14 Oktober 2012

[1] Budi Winarno.2011. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS, Hlm. 167.

[2] Rod Thornton.2007. Asymmetric Warfare.   Cambridge: Polity Press. Hlm. 1.

[3] Muradi. 2012. Densus 88 AT Konflik, Teror, dan Politik. Bandung: Dian Cipta, hlm. 23.

[4] Wisnu Dewabrata. 2012. “Indonesia, ASEAN, dan Laut China Selatan” dalam Kompas, Minggu 14 Oktober 2012. Hal 10.

[5] Hans J. Morgenthau. 1990. Politik Antar Bangsa. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, Hlm 213.

[6] Denny L. Sihombing. 2010. Kekuatan Diplomasi dan Politik Luar Negeri Indonesia. Diakses darihttp://dennylorenta.wordpress.com/2010/05/05/kekuatan-diplomasi-dan-politik-luar-negeri%C2%A0indonesia/

[7] Amarulla Octavian. 2012. Militer dan Globalisasi. Jakarta : UI Press, Hlm 19

[8] Kementrian Koord Bid Ekonomi. 2011. Masterplan P3EI. Jakarta : Kementrian Koord Bid Ekonomi. Hlm. 14.

[9] Dephan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan RI 2008. Jakarta: Dephan RI, hlm. 85.

[10] Diplomasi publik didefinisikan sebagai upaya mencapai kepentingan nasional suatu negara melalui understanding, informing, and influencing foreign audiences. Jika proses diplomasi tradisional dikembangkan melalui mekanisme government to government relations, maka diplomasi publik lebih ditekankan pada government to people atau bahkan people to people relations. Diplomasi Publik bertujuan untuk mencari teman di kalangan masyarakat negara lain, yang dapat memberikan kontribusi bagi upaya membangun hubungan baik dengan negara lain.

[11] James D.Kiras, “Irregular Warfare: Terrorism and Isurgency”, dalam John Baylishlm, Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, Second Edition, Oxford University Press, 2007, hlm 177.

[12] Connie R. Bakrie. 2007. Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 178.

[13] Ibid. Hlm 190.

[14] Ibid. Hlm 182.

[15] Ibid. Hlm 187.

[16] Ibid. hlm 16.

[17] Ibid. hlm 28.

Page 17: Ancaman Perang Asimetris Dalam Politik Legislasi