analisis transmisi kebijakan moneter (credit channeling) terhadap posisi kredit investasi di...
DESCRIPTION
ANALISIS TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER (CREDIT CHANNELING) TERHADAP POSISI KREDIT INVESTASI DI INDONESIA PERIODE 2001:1-2007:6Baca selengkapnya di http://www.contohmakalah77.comTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era reformasi yang diperkenalkan di Indonesia kurang lebih satu
dasawarsa silam, dapat disebut sebagai titik tolak perubahan Bangsa Indonesia
secara sturktural dan konseptual di segala lini. Sektor ekonomi, dalam hal ini yang
merupakan bagian yang terintegrasi pada sistem kenegaraan bersama-sama
dengan sektor politik, social, dan budaya, juga membangun perbaikan-perbaikan
secara gradual dengan satu tujuan tunggal, yaitu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Badai krisis yang menghantam perekonomian Indonesia pun secara tidak
langsung telah mendorong peramuan berbagai formulasi kebijakan dalam bidang
ekonomi. Diawali dari perubahan kebijakan nilai tukar tetap kepada sistem nilai
tukar mengambang pada tahun 1997, kemudian diikuti dengan kebijakan inflation
targeting yang mulai diperkenalkan pada tahun 2000,1 sampai upaya untuk
mendongkrak pertumbuhan sektor riil yang isunya kini telah marak berkembang
dikalangan para praktisi, akademisi, bahkan masyarakat luas sekalipun. Adalah
1 dengan menggunakan metode quantity-based approach lalu pada pertengahan tahun 2005 menggunakan metode price-based approach
1
Sumber: data statistik BI, setelah diolah
Bab I Pendahuluan 2
benar jika pada dasarnya pertumbuhan ekonomi sebuah negara lebih didominasi
oleh sektor konsumsi sebagai motor penggeraknya, namun tidak lantas investasi
menjadi faktor yang dapat diabaikan.
Grafik 1.1
Proporsi Investasi dan Konsumsi Dalam GDP
Mar-01
Sep.
Mar-02
Sep.
Mar-03
Sep.
Mar-04
Sep.
Mar-05
Sep.
Mar-06
Sep.
Mar-07
Sep.
0.00%
10.00%
20.00%
30.00%
40.00%
50.00%
60.00%
70.00%
80.00%
90.00%
investasi konsumsi
Grafik 1.1 diatas menjelaskan betapa proporsi GDP selama rentang waktu
2001-2007 selalu didominasi oleh konsumsi masyarakat, hal ini dapat dilihat
melalui sumbangsihnya pada GDP yang selalu diatas 60% atau dengan rata-rata
sebesar 72%, sedangkan dari sisi investasi hanya mampu berkontribusi rata- rata
sebesar 20% tiap kuartalnya. Meskipun sumbangan investasi ini dapat dibilang
Bab I Pendahuluan 3
masih relatif kecil, namun investasi tetap memiliki peranan penting di dalam
permintaan agregat.
Alasan pertama, biasanya pengeluaran investasi lebih tidak stabil apabila
dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi sehingga fluktuasi investasi dapat
menyebabkan resesi dan boom. Oleh karena itu para ahli ekonomi sangat tertarik
untuk menganalisanya, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan stabilisasi
untuk mengatasi akibat buruk dari adanya fluktuasi investasi (Nopirin: 1993).
Kedua, Harapan yang ingin dicapai oleh pemerintah dengan pemberdayaan
pengeluaran investasi nantinya ialah akan memberikan kontribusi yang signifikan
dalam pertumbuhan ekonomi sekaligus sebagai media penyerap tenaga kerja
untuk kemudian menjadi pemecah masalah pengangguran yang terus menghantui
perekonomian Indonesia.
Menyadari hal tersebut BI selaku pemegang otoritas moneter bersama-
sama dengan pemerintah mencoba menjalankan tugas dan fungsinya dalam
mengontrol tingkat pertumbuhan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat suku
bunga domestik secara simultan untuk membangun pertumbuhan investasi sektor
riil di Indonesia.
Sumber: data statistik BI, setelah diolah
Bab I Pendahuluan 4
Grafik 1.2
Posisi Kredit Konsumsi, Modal Kerja, dan Investasi
2004 2005 2006 20070
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
Kredit Investasi (miliar Rp / tahun)Kredit Modal Kerja (miliar Rp / tahun)Kredit Konsumsi (mliar Rp / tahun)
Grafik 1.3 diatas menunjukkan bahwa kredit konsumsi masih
mendominasi proporsi pengucuran kredit perbankan umum kepada masyarakat.
Hal ini wajar, mengingat sifat dari kredit konsumsi yang rendah resiko. Posisi
tertinggi kedua ditempati oleh kredit modal kerja, yang pada dasarnya juga serupa
dengan kredit konsumsi, yaitu bersifat jangka pendek dan rendah akan resiko,
namun berbeda halnya dengan kredit investasi dimana kredit investasi merupakan
kredit jangka panjang yang lebih tinggi dalam hal resiko pengembalian kredit.
Sehingga terkesan bahwa perbankan selama ini cenderung untuk bermain aman.
Sejalan dengan hal tersebut, BI selaku pemegang otoritas tertinggi dalam
Sumber: data statistik BI, setelah diolah
Bab I Pendahuluan 5
bidang moneter telah mengeluarkan empat belas kebijakan2 yang mengarah pada
optimalisasi fungsi intermediasi perbankan sebagai langkah kongkrit konstruktif
untuk mendorong perkembangan sektor riil. Pemerintah bukan tidak pernah
berupaya untuk menumbuhkembangkan sektor riil, namun kebijakan yang
diberlakukan oleh pemerintah pada masa lampau masih belum terasa maksimal.
Manajemen yang kurang baik dari perbankan ditambah lagi isu korupsi yang
sangat sarat pada masa orde baru, akhirnya mampu mementahkan rumusan
kebijakan yang dibangun oleh pemerintah pada saat itu.
Grafik 1.3
Perbandingan Suku Bunga SBI 1 Bulan
dan Suku Bunga Kredit Bank Umum
Jan-04 jun
nop apr
sep feb juldes mei
0.002.004.006.008.00
10.0012.0014.0016.0018.00
Suku bunga SBI 1 bulananSuku bunga kredit bank umum
Jika kita melihat Grafik 1.3 diatas yang mengkomparasikan tingkat suku
bunga SBI 1 bulanan dengan tingkat suku bunga kredit bank umum maka dapat
disimpulkan bahwa sebelum oktober 2005 pergerakan tingkat suku bunga kredit
2 Kebijakan ini kemudian dikenal dengan terminologi pakto 2006
Bab I Pendahuluan 6
bank umum berlawanan arah dengan pergerakan tingkat suku bunga SBI 1
bulanan, yang artinya ketika terjadi peningkatan pada tingkat suku bunga SBI 1
bulanan tidak direspon positif oleh tingkat suku bunga kredit bank umum,
begitupun sebaliknya. Namun setelah memasuki kuartal pertama tahun 2006,
pergerakan dari kedua tingkat suku bunga tersebut mulai searah, dan ini menjadi
pemicu bagi Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku bunga SBI 1 bulanan
dengan harapan tingkat suku bunga kredit bank umum juga akan turun yang tidak
lain tujuan akhirnya ialah untuk mengoptimalisasi fungsi intermediasi perbankan.
Dengan mengacu pada latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk
menyajikan menyajikan skripsi yang berjudul :
“Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Jalur Kredit dan
Posisi Kredit Investasi Domestik di Indonesia Periode 2001:1-2007:6”
1.2 Identifikasi Masalah
Sektor riil tidak akan bergerak menuju kearah pertumbuhan yang
signifikan sejauh investasi bisnis tidak memperoleh dukungan dari pihak pemberi
pinjaman, yang dalam hal ini ialah perbankan. Dan dapat dikatakan bahwa
pinjaman yang diberikan oleh perbankan dapat berbentuk kredit investasi.
Permasalahan selanjutnya yang mendasar ialah sejauh mana investor
bisnis akan merespon pergerakan yang terjadi pada tingkat suku bunga yang
berangkat dari pasar uang dan diawali oleh pergerakkan BI rate. Dari pemaparan
diatas, maka penulis mengidentifikasi permasalahan pada hal-hal sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan 7
1. Apa yang mempengaruhi pergerakan loan supply dan loan demand
dalam jangka panjang?
2. Apakah transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit berjalan pada
rentang waktu tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam rangka membangun sebuah negara yang besar maka dibutuhkan
sikap proaktif dari masyarakat sebagai elemen inti di dalamnya. Berangkat dari
hal tersebut, penulis sebagai seorang mahasiswa yang berafiliasi dalam bidang
ekonomi akan menghadirkan tulisan ini sebagai wacana bersama yang sekaligus
menjadi suplemen bagi wawasan kita terutama dalam bidang moneter. Tujuan dari
tulisan ini nantinya akan melihat:
1. Faktor yang mempengaruhi penurunan loan supply dan loan demand
dalam jangka panjang.
2. Bukti berjalannya transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit
dalam periode 2001:1-2007:6
Bab I Pendahuluan 8
1.4 Kegunaan Penelititan
Bagi akademisi dan pemerintah diharapkan mengetahui efektifitas
kebijakan moneter melalui jalur kredit dalam usaha untuk membangun kemajuan
sektor riil, disamping itu, para praktisi khususnya dari sisi investor usaha kecil
menengah dapat melihat bahwa BI berupaya optimal untuk mendorong perbankan
umum secara gradual menambah volume kucuran kredit bagi usaha kecil
menengah.
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Kerangka Transmisi
Dinamika dari variabel-varibel moneter seperti inflasi, tingkat suku bunga,
GDP, dan yang lainnya pada kenyataannya telah mendorong pemegang otoritas
moneter –yang dalam hal ini adalah Bank Indonesia- dalam mengeluarkan
kebijakan moneter untuk kemudian diterapkan.
Namun permasalahannya tidak berhenti sampai disitu. Hal yang harus
diperhatikan dalam menerapkan kebijakan moneter tersebut ialah seberapa akurat
kebijakan tersebut terkait dengan masalah waktu dan dampak yang akan terjadi.
Untuk itu BI harus memahami mekanisme jalur dari kebijakan moneter terhadap
ekonomi.
Bab I Pendahuluan 9
Pada dasarnya ada dua tipe kerangka berpikir untuk memahami fakta di
lapangan mengenai dinamika dan fluktuasi dari variable-variabel moneter
(Mishkin: 2001):
1. Structural Model Evidence
Structural model evidence adalah kerangka berpikir dalam memahami
fakta pergerakan variabel moneter dalam perekonomian yang diperkenalkan oleh
pendukung aliran Keynesian. Dimana titik tekan dari kerangka berpikir ini ialah
adanya mekanisme transmisi kebijakan moneter yang terstruktur mulai dari
pergerakan variabel independent kemudian diestafetkan melalui variabel mediasi
hingga mencapai tujuan akhir yang ingin dicapai. Secara bagan dapat
digambarkan sebagai berikut:
M Y
Contoh kasus diatas menerangkan bagaimana jumlah uang beredar
diharapkan mampu mempengaruhi tingkat GDP melalui dua variabel perantara
yaitu tingkat suku bunga riil dan tingkat investasi sektor riil.
2. Reduced Form Evidence
Kaum Monetaris adalah kelompok yang sangat memberi apresiasi pada
peranan uang sebagai stimulator dalam aktivitas perekonomian. Terkait dengan
hal tersebut, kelompok Monetaris lebih cenderung melihat korelasi antara
i I
Bab I Pendahuluan 10
pergerakan sebuah variabel terhadap variabel lainnya sebagai sebuah kerangka
berpikir dalam memahami fenomena dinamika yang terjadi. Secara bagan dapat
digambarkan sebagai berikut:
M Y
Bagan diatas menerangkan bahwa adanya korelasi antara jumlah uang
beredar dan tingkat pertumbuhan ekonomi telah membawa kaum Monetaris pada
satu kesimpulan bulat bahwa ada korelasi positif antar dua variabel tersebut tanpa
harus melihat mekanisme intermediasi secara terstruktur, karena menurut kaum
Monetaris struktur yang dipaparkan oleh kaum Keynesian membuka peluang
untuk terjadinya kesalahan analisis.
1.5.2 Jenis Transmisi Kebijakan Moneter
Frederic S. Mishkin (2001) membagi transmisi kebijakan moneter menjadi
tiga bagian besar, yaitu:
1. Jalur suku bunga tradisional
Secara sketmatis transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga
tradisional dapat digambarkan sebagai berikut:
M ir I Y
Mekanisme tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan jumlah uang yang
meningkat akan membuat tingkat suku bunga riil menjadi turun, dan turunnya
tingkat suku bunga riil ini akan direspon oleh tingginya tingkat permintaan uang
untuk investasi sektor riil yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara agregat.
?
Bab I Pendahuluan 11
2. Jalur harga aset
Transmisi kebijkan moneter melalui jalur harga aset adalah sebuah
perbaikan yang dikeluarkan oleh kaum Monetaris kepada kaum Keynesian dengan
penjelasan bahwa suku bunga yang digunakan pada transmisi moneter tidaklah
sama sebagaiamana yang tercantum dalam transmisi jalur suku bunga tradisional,
transmisi jalur harga aset menaruh perhatian bukan hanya pada tingkat suku bunga
obligasi, tetapi juga valas dan saham. Lebih jauh lagi, transmisi jalur harga aset
memiliki tiga derivatif jalur lagi, yaitu:
Jalur efek nilai tukar pada net ekspor;
Jalur teori q Tobin, dan;
Jalur kesejahteraan melalui ekspektasi harga.
3. Jalur kredit
Teori transmisi jalur kredit ialah bermula dari ketidakpuasan pada teori
konvensional klasik yang menjelaskan bahwa efek dari suku bunga dapat
menjelaskan pengaruh kebijakan moneter terhadap aktivitas ekonomi pada sektor
riil. Secara garis besar teori jalur kredit dibagi menjadi dua, yaitu: Balance Sheet
Channel dan Bank Lending Channel.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Data
Dalam membangun sebuah wacana empiris, penulis didukung oleh data
sekunder yang diperoleh dari internet, buku, dan sumber kepustakaan lainnya
Bab I Pendahuluan 12
yang terkait dengan pembahasan. Variabel yang nantinya akan masuk kedalam
model adalah sebagai berikut;
Loan = Posisi pinjaman atau kredit investasi nominal seluruh bank umum
Equity = Permodalan nominal bank umum
rL = Suku bunga pinjaman bank umum
rM = SBI 1 bulanan
PGDP = Nilai pembentukan modal tetap bruto nominal + nilai konsumsi nominal
(private GDP).
1.6.2 Spesifikasi Model
Dalam melakukan perumusan secara kuantitatif, penulis membagi menjadi
tiga sesi. Sesi pertama ialah mengadopsi fungsi penawaran dan permintaan kredit,
sesi yang kedua ialah melihat kointegrasi dari penawaran dan permintaan kredit,
dan sesi yang ketiga ialah melihat signifikansi dari tiap-tiap variabel.
1.6.2.1 Derivasi Loan Supply
Pasar keuangan pada dasarnya memiliki struktur dasar yang sama dengan
pasar barang dan jasa dimana penawaran dan permintaan merupakan bagian yang
terintegrasi dalam sistem tersebut. Perbankan umum yang merupakan pelaku
dalam pasar keuangan dalam melakukan penawaran kredit tentu harus meletakkan
dasar perhitungannya pada analisis cost dan benefit. Sehingga ringkasnya fungsi
Bab I Pendahuluan 13
penawaran kredit oleh perbankan umum adalah fungsi dari suku bunga kredit
yang merupakan benefit bagi perbankan, sedangkan fungsi cost dalam hal ini
direpresentasikan dengan suku bunga SBI, sementara faktor lain yang
mempengaruhi fungsi penawaran kredit ialah struktur keuangan internal
perbankan yang penelititan ini direpresentasikan oleh equity perbankan umum3.
Secara matematis persamaan penawaran kredit oleh perbankan umum
dapat ditulis sebagai berikut;.
Lt=α 1r L−α2 r M+α3 Z+ut
Dimana:
Lt = Posisi penawaran kredit investasi
rL = rata-rata tingkat suku bunga kredit investasi domestik
rM = tingkat suku bunga SBI
Z = struktur keuangan internal perbankan umum (equity).
ut = random error.
1.6.2.2 Derivasi Loan Demand
Permintaan akan kredit pada dasarnya merupakan analogi dari permintaan
uang, dan dalam teori permintaan uang, keynes telah menjelaskan melalui teori
3 Lihat Hülsewig (2003).
Bab I Pendahuluan 14
liqudity preference bahwa fungsi permintaan akan uang sangat dipengaruhi tidak
hanya oleh tingkat pendapatan melainkan tingkat suku bunga, Md = f(r,Y).
Dengan mengacu pada teori tersebut maka persamaan permintaan kredit
investasi bagi investor ialah sebagai berikut:
Lt=β1 PGDP−β2 rtL+ut
Dimana:
Lt = posisi permintaan kredit investasi
PGDP = private GDP (konsumsi + pembentukan modal tetap
bruto)
rL = rata-rata tingkat suku bunga bunga kredit investasi domestik
ut = random error.
Dengan memperhatikan siklus bisnis, maka asumsi yang dibangun ialah
bahwa nilai pembentukan modal tetap adalah proksi bagi net worth agregat bagi
investor.4 Signifikansi variabel private GDP (PGDP) menjadi faktor penentu
apakah kebijakan moneter melalui jalur balance sheet berjalan dengan baik pada
periode sampel.
4 Ibid.
Bab I Pendahuluan 15
1.6.3 Uji Statistic
1.6.3.1 Uji Stsioneritas
Sebuah persamaan yang menggunakan data time series haruslah
memenuhi asumsi bahwa data tersebut stasioner. Yang dimaksud dengan stasioner
ialah nilai rata-rata, varian, dan kovarian relatif sama pada periode kapanpun.
Pengujian stasioneritas dapat menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller
Test. Dengan demikian;
∆ X=α 1 X t−1+ε ¿
∆ X=α 0+α 1 X t−1+ε ( intercept )
∆ X=α 0+α 1 X t−1+α 2t+ε ( intercept∧trend )
H0 : Data tersebut tidak stasioner
H1 : Data tersebut stasioner
Kriteria uji:
Jika P-value ADF > α, maka H0 tidak ditolak, artinya data tersebut tidak
stasioner
Jika P-value ADF < α, maka H0 ditolak, artinya data tersebut stasioner.
Bab I Pendahuluan 16
1.6.3.2 Uji Kelayakan Lag
Uji kelayakan lag bermaksud melihat berapa panjang lag yang tepat yang
akan dimasukkan kedalam model persamaan VECM. Uji kelayakan model dapat
menggunakan Akaike Information Criterion (AIC).
Pada umumnya dalam penentuan lag tidak ada teori yang menjelskannya ,
namun demikian penentuannya ialah dengan melihat beberapa kriteria baku
seperti nilai Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz Criterion (SC), dan
lainnya (Gujarati: 2003). Mekanismenya ialah dengan try and error dimulai dari
lag yag tertinggi ke yang rendah.
Setelah kita menentukan panjang lag yang tepat untuk model regresi linier
dengan mengacu pada nilai AIC yang terendah, maka diperlukan uji LM untuk
mengetahui apakah model tersebut sudah bebas dari masalah autokorelasi.
Dengan hipotesis:
H0 : Tidak ada masalah autokorelasi pada lag ke-h
H1 : Ada masalah autokorelasi pada lag ke-h
Kriteria Uji:
Jika LM-stat > χ2, maka H0 ditolak
Jika LM-stat < χ2, maka H0 tidak ditolak.
Bab I Pendahuluan 17
1.6.3.3 Uji Kointegrasi Johansen
Kombinasi dari dua seri yang tidak stasioner, akan bergerak ke arah yang
sama menuju keseimbangan jangka panjangnya dan diferensiasi diantara kedua
seri tersebut akan konstan. Jika demikian halnya, seri Ini dikatakan saling
berkointegrasi. Uji kointegrasi dapat menggunakan dua metode, yaitu:
1. Metode Engle-Granger
2. Metode Johansen.
Dalam pembahasan ini penulis menggunakan uji kointegrasi Johansen
pasalnya dengan uji tersebut kita akan dapat melihat jumlah persamaan yang
terkointegrasi. Dengan hipotesis:
H0 : Rank = a
H1 : Rank ≠ a
Dimana;
a= jumlah persamaan linier yang terkointegrasi.
Kriteria uji:
Max-Eigen statistik > nilai kritis, H0 ditolak.
Max-Eigen ≤ nilai kritis, H0 tidak ditolak.
Bab I Pendahuluan 18
1.6.3.4 Uji t Statistik
Uji t-stat merupakan uji statistik parsial dengan menggunakan pendekatan
signifikansi untuk hasil penghitungan berdasarkan sampel, tujuannya untuk
membuktikan benar tidaknya suatu hipotesis null. Uji ini memiliki beberapa
ketentuan yaitu:
H0 : Tidak ada pengaruh parsial antara variabel bebas dengan variabel
terikat
H1 : Ada pengaruh parsial antara variabel bebas dengan variabel terikat.
Hipotesis null tersebut ditolak atau tidak ditolak, keputusannya
berdasarkan perkiraan yang diperoleh dari data empiris atau dari data hasil
observasi sampel. Untuk menguji hipotesis secara individu, digunakan nilai
probabilitas dengan tingkat signifikansi tertentu.
Tabel 1.1
Kesimpulan Pengujian t-Statistik
Tipe hipotesis Ho H1 Kriteria Keterangan
Satu arah (kanan) β ≤ 0 β > 0 t-stat > t-tabel H0 ditolak
Satu arah (kiri) β ≥ 0 β < 0 t-stat < t tabel H0 ditolak
Dua arah β = 0 β ≠ 0 -t-stat < t-tabel < t-stat H0 diterima
Bab I Pendahuluan 19