analisis putusan mahkamah konstitusi no ... - jurnal.uai.ac.id

12
Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788 1 Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU- X/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Indonesia Suparji, Muhammad Abdul Roni Program Studi Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana, Universitas Al Azhar Indonesia, Komplek Masjid Agung Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12110 [email protected] Abstrak-Kehadiran Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia pada tahun 1992, terjadi berkat dukungan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Perkembangan perbankan syariah yang pesat sejak tahun 1999 merupakan hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Kata Kunci: Putusan, Perbankan, Syariah PENDAHULUAN Kehadiran Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia pada tahun 1992, terjadi berkat dukungan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 1 Perkembangan perbankan syariah yang pesat sejak tahun 1999 merupakan hasil dari dukungan regulasi yang memadai yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004. 2 Di tahun 2002, Bank Indonesia memperbaiki aturan tentang unit usaha syariah melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI Tahun 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan 1 Yusuf Wibisono, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume 16, Nomor 2, MeiAgustus 2009, hlm.105. 2 Ibid. Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional. 3 Terhitung sejak tanggal 16 Juli tahun 2008, industri perbankan syariah Indonesia secara resmi memasuki era baru sehingga Indonesia telah resmi memiliki regulasi perbankan syariah yaitu Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pada tahun 2012 terjadi permohonan uji materil Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah terhadap Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh Dadang Achmad. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) dan (3) menimbulkan ketidakpastian hukum yang memunculkan mekanisme penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa antara pihak bank syariah dengan nasabah. Terdapat kontradiktif yang jelas di mana yang satu secara tegas menyebutkan dan yang lainnya membebaskan untuk memilih, maka lahirlah penafsiran sendiri-sendiri sehingga makna 3 Ibid.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

1

Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-

X/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan

Syariah Di Indonesia

Suparji, Muhammad Abdul Roni

Program Studi Magister Ilmu Hukum,

Pascasarjana, Universitas Al Azhar Indonesia,

Komplek Masjid Agung Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja,

Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12110

[email protected]

Abstrak-Kehadiran Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia

pada tahun 1992, terjadi berkat dukungan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan. Perkembangan perbankan syariah yang pesat sejak tahun 1999 merupakan hasil

dari dukungan regulasi yang memadai yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 dan undang-undang Nomor 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia yang kemudian diperkuat oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004

Kata Kunci: Putusan, Perbankan, Syariah

PENDAHULUAN

Kehadiran Bank Muamalat Indonesia sebagai

bank syariah pertama di Indonesia pada tahun

1992, terjadi berkat dukungan Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.1

Perkembangan perbankan syariah yang pesat

sejak tahun 1999 merupakan hasil dari

dukungan regulasi yang memadai yaitu

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun

1992 dan undang-undang Nomor 23 Tahun

1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian

diperkuat oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun

2004.2

Di tahun 2002, Bank Indonesia memperbaiki

aturan tentang unit usaha syariah melalui

Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI

Tahun 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha

Bank Umum Konvensional Menjadi Bank

Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan

1 Yusuf Wibisono, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu

Administrasi dan Organisasi, Volume 16, Nomor 2,

Mei–Agustus 2009, hlm.105. 2 Ibid.

Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip

Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.3

Terhitung sejak tanggal 16 Juli tahun 2008,

industri perbankan syariah Indonesia secara

resmi memasuki era baru sehingga Indonesia

telah resmi memiliki regulasi perbankan

syariah yaitu Undang-undang No. 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah.

Pada tahun 2012 terjadi permohonan uji materil

Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

terhadap Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 ke

Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh

Dadang Achmad.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) dan (3)

menimbulkan ketidakpastian hukum yang

memunculkan mekanisme penyelesaian

sengketa apabila terjadi sengketa antara pihak

bank syariah dengan nasabah. Terdapat

kontradiktif yang jelas di mana yang satu

secara tegas menyebutkan dan yang lainnya

membebaskan untuk memilih, maka lahirlah

penafsiran sendiri-sendiri sehingga makna

3 Ibid.

Page 2: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

2

kepastian hukum menjadi tidak ada dan

bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28D ayat

(1).4

Sejak tumbuh dan berkembangnya aktifitas

perbankan syariah di tahun 1998 penyelesaian

sengketa perbankan syariah rata-rata dilakukan

melalui proses Arbitrase oleh Badan Arbitrase

Muamalat Indonesia (BAMUI) dan kemudian

berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah

Nasional (BASYARNAS) melalui Surat

Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor

Kep-09/MUI/XII/2003 karena rata-rata akad

(perjanjian) antara bank syariah dengan

nasabahnya selalu mencantumkan arbitration

clause.

Namun sejak lahirnya Undang-undang No. 3

Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama muncul pilihan penyelesaian sengketa

yang baru, karena pasal 49 huruf (i) undang-

undang ini memberikan tugas dan kewenangan

penyelesaian sengketa ekonomi syariah

termasuk di dalamnya perbankan syariah

kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan

agama.

Pembagian kewenangan absolut masing-masing

peradilan juga telah ditegaskan oleh undang-

undang nomor 48 tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan

kewenangan peradilan agama.5

Jika suatu undang-undang mempersilahkan

untuk memilih menggunakan fasilitas negara

(lembaga peradilan), sedangkan ayat lainnya

secara tegas telah menentukan peradilan mana

yang harus dipakai, maka dengan adanya

dibebaskan memilih akan menimbulkan

berbagai penafsiran dari berbagai pihak apalagi

selanjutnya ayat lain mengisyaratkan harus

memenuhi prinsip-prinsip dalam hal ini prinsip

syariah sehingga menimbulkan ketidakpastian

hukum. Hal ini dikarenakan masing-masing

lingkungan peradilan hanya berwenang

mengadili terbatas pada kasus yang

dilimpahkan undang-undang.6 Oleh sebab itu,

4 Putusan Mahkamah Konstitusi, op. cit., hlm. 9

.

5 Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012,

op.cit., hlm.8. 6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang

Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan

pada hakekatnya sebenarnya pelemparan

kompetensi absolut kepada selain lembaga

yang tertulis secara langsung adalah

penyimpangan dari asas kepastian hukum yang

diatur dalam UUD 1945, yaitu pasal 28D Bab

10A tentang Hak Asasi Manusia yang

menjamin tentang kepastian hukum bagi

warganya.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1) Bagaimanakah dasar pertimbangan

Majelis Hakim Konstitusi terhadap

penyelesaian sengketa perbankan syariah

pada putusan No.93/PUU-X/2012?

2) Bagaimanakah akibat hukum pasca

putusan Mahkamah Konstitusi

No.93/PUU-X/2012 terhadap

penyelesaian sengketa Perbankan Syariah?

3) Bagaimanakah kesiapan Peradilan Agama

dalam menyelesaikan sengketa Perbankan

Syariah pasca putusan Mahkamah

Konstitusi No.93/PUU-X/2012?

METODOLOGI

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat

deskriptif analisis, artinya adalah akan

menganalisis dan memberikan gambaran atau

pemaparan atas subjek dan objek penelitian

sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan.7

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode penelitian dengan

pendekatan yuridis normative dimana

dilakukan pendekatan terhadap permasalahan

dengan mengkaji berbagai aspek hukum

dengan mempelajari ketentuan perundang-

undangan, buku-buku, yuresprudensi yang

berkaitan dengan permasalahan.

Jenis dan sumber data yang penulis gunakan

dalam penelitian terdiri atas 2 macam, yaitu:

1. Data Primer, Undang-undang No. 21

Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

Putusan MK No.93/PUU-X/2012.

2. Data Sekunder, data yang diperoleh dari

berbagai sumber literatur, melalui buku-

buku, media cetak, media elektronik,

Putusan Pengadilan, cet. Ke-10, (Jakarta : Sinar

Grafika, 2010) hlm.181. 7 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme

Penelitian Hukum Normatif& Empiris, (Yogyakarta

: Pustaka Belanja, Cetakan I, 2010), hal 183.

Page 3: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

3

tulisan, makalah, pendapat para pakar

hukum, serta sumber-sumber lain.

Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah

proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang diperoleh dari hasil Penelitian

Kepustakaan (library research), yakni

penelitian dengan mempelajari bahan bacaan

berupa buku-buku ilmiah, surat kabar, majalah

dan bahan kepustakaan lain yang mempunyai

kaitan dengan penulisan makalah ini.

PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim

Konstitusi Terhadap Penyelesaian

Sengketa Perbankan Syariah Pada

Putusan No.93/ PUU-X/ 2012

Dadang Achmad (Direktur CV. Benua

Enginering Consultant) mengajukan uji materiil

pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-undang No.

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

terhadap pasal 28 ayat (1) Undang-Undang

Dasar (UUD) 1945 yang didaftarkan di

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada

tanggal 19 Oktober 2012 berdasarkan Akta

Penerimaan Berkas Permohonan

Nomor322/PAN.MK/2012 dan telah dicatat

dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada

tanggal 24 September 2012 dengan

No.93/PUU-X/2012.8

Persyaratan standing juga dapat dikatakan

terpenuhi karena penggugat atau pemohon

mempunyai kepentingan nyata dan secara

hukum dilindungi. Mengenai legal standing

pemohon juga dinyatakan oleh Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi bahwa pemohon adalah

perseorangan warga negara Indonesia yang

merupakan nasabah Bank Muamalat Cabang

Bogor yang telah melakukan akad sebagaimana

akta Notaris No. 34 tertanggal 9 Juli 2009 dan

diperbaharui dengan akad pembiayaan Al-

Musyarakah (tentang perpanjangan jangka

waktu dan perubahan jaminan) dengan No. 14

tertanggal 8 Maret 2010 yang dibuat di hadapan

Catur Virgo, SH. Notaris di Jakarta.

8 Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-

X/2012, loc.cit.

Pemohon mengajukan dua orang ahli yang

bernama Ija Suntana dan Dedi Ismatullah, dan

telah didengar keterangannya di bawah sumpah

dalam persidangan tanggal 20 Desember 2012

dan satu orang saksi bernama Muhammad Ikbal

yang telah didengar keterangannya di bawah

sumpah dalam persidangan tanggal 29 Januari

2013.

Terhadap pertimbangan hukum yang diberikan

oleh Ahli dan Saksi dari Pemohon, Pemerintah,

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan terakhir

Ahli dari Mahkamah. Keterangan yang

mendukung agar Mahkamah Konstitusi

mengabulkan permohonan dari pemohon

berasal dari pertimbangan hukum oleh Ahli dan

Saksi dari Pemohon bersama Ahli dari

Mahkamah. Sedangkan Pemerintah bersama

DPR tidak mendukung hal tersebut karena

menurut Pemerintah dan juga DPR ketentuan

dalam penjelasan pasal 55 ayat (2) dan (3)

Undang-undang Perbankan Syariah telah sesuai

sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip

syariah sehingga dianggap telah memberikan

kepastian hukum dan tidak bertentangan

dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun

Ahli dan Saksi dari Pemohon bersama Ahli dari

Mahkamah menganggap pada prakteknya tidak

seperti itu, dengan dibukanya pilihan forum

penyelesaian mulai dari pengadilan agama,

basyarnas, hingga pengadilan negeri. Para

pihak yang kalah bisa membawanya ke

pengadilan lainnya sehingga sering kali terjadi

timpang tindih kewenanganan peradilan.

Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-

undang Perbankan Syariah tidak memberi

kepastian hukum. Berdasarkan kenyataan yang

demikian, walaupun Mahkamah tidak

mengadili perkara konkrit, telah cukup bukti

bahwa ketentuan Penjelasan pasal 55 ayat (2)

telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang

adil dan hilangnya hak konstitusional nasabah

untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil

dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah

(Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) yang

bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi.

Terhadap penilaian, fakta dan hukum

sebagaimana diuraikan diatas, Mahkamah

Konstitusi menyatakan mengabulkan

permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang

Page 4: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

4

Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Mahkamah Konstitusi juga

memerintahkan pemuatan putusan ini dalam

Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana

mestinya dan menolak permohonan Pemohon

untuk selain dan selebihnya.

Terhadap putusan Mahkamah ini, Hakim

Konstitusi Hamdan Zoelva, Hakim Konstitusi

Ahmad Fadlil Sumadi memiliki alasan berbeda

(concurring opinion) dan Hakim Konstitusi

Muhammad Alim memiliki pendapat berbeda

(dissenting opinion).

B. Akibat Hukum Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi NO.93/ PUU-X/

2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa

Perbankan Syariah

1. Akibat Hukum Terhadap Penjelasan Pasal

55 Ayat 2 Undang-UndangNo.21 Tahun

2008 Tentang Perbankan Syariah.

Setelah keluarnya putusan Mahkamah

Konstitusi No.93/PUU-X/2012 yang

menjelaskan bahwa penjelasan pasal 55

ayat (2) Undang-undang No.21 tahun 2008

tentang Perbankan Syariah dinyatakan

bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat,

maka para pihak baik bank syariah dan

nasabah tidak lagi harus mengikuti

penjelasan pasal 55 ayat (2) dalam memilih

penyelesaian sengketa secara non-litigasi,

walaupun demikian musyawarah masih

tetap menjadi pilihan alternatif utama

penyelesaian sengketa perbankan syariah

sebelum membawa sengketa ke tingkat

selanjutnya.

Musyawarah menjadi opsi awal bagi

penyelesaian sengketa perbankan syariah

dikarenakan musyawarah merupakan

komunikasi dua arah yang dirancang untuk

mencapai kesepakatan pada saat kedua

belah pihak memiliki berbagai kepentingan

yang sama maupun yang berbeda.

Musyawarah merupakan sarana bagi pihak-

pihak yang bersengketa untuk

mendiskusikan penyelesaiannya tanpa

keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah

baik yang tidak berwenang mengambil

keputusan maupun yang berwenang

mengambil keputusan.9

Selain musyawarah, selanjutnya ada forum

penyelesaian alternatif secara mediasi

perbankan. Dasar hukum mediasi

perbankan adalah PBI No. 10/1/PBI/2008

tanggal 30 Januari 2008 tentang perubahan

PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi

perbankan. Dalam melaksanakan fungsi

mediasi perbankan, Bank Indonesia tidak

memberikan keputusan dan atau

rekomendasi penyelesaian sengketa kepada

nasabah dan bank. Dalam hal ini,

pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan

oleh lembaga mediasi perbankan

independen yang dibentuk oleh asosiasi

perbankan.10

Proses mediasi dapat

dilakukan di kantor Bank Indonesia yang

terdekat dengan domisili nasabah.

Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan

dilaksanakan oleh Bank Indonesia11

untuk

sementara waktu sampai saat pembentukan

lembaga mediasi perbankan independen

oleh asosiasi perbankan.

Putusan MK No.93/PUU-X/2012 tidak

mempengaruhi kekuatan dari mediasi

perbankan. Mediasi perbankan masih

menjadi suatu pilihan alternatif jika para

pihak bersepakat untuk tidak membawa

sengketa ke pengadilan agama namun harus

mencantumkannya secara jelas dalam akad

(perjanjian).

Begitupun mengenai eksistensi Basyarnas

sebagai salah satu forum penyelesaian

sengketa perbankan syariah secara

alternatif, putusan MK No.93/PUU-X/2012

tidak ada menyinggung atau mengecilkan

kewenangan basyarnas, namun hanya

9 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata

di Lingkungan Peradilan Agama. Cetakan keempat

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)

hlm. 171.

10

Pasal 3 ayat (1) PBI Nomor 10/1/PBI/2008

tentang Perubahan atas peraturan Bank Indonesia

nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan. 11

Pasal 3 ayat (3) PBI Nomor 10/1/PBI/2008

tentang Perubahan atas peraturan Bank Indonesia

nomor 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan.

Page 5: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

5

kembali mempertegas jika para pihak

sepakat ingin membawa sengketa

perbankan syariah ke forum penyelesaian

basyarnas maka harus secara jelas

mencantumkannya pada akad pembiayaan

syariah yang dibuat dihadapan Notaris.

Namun kewenangan pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum (Pengadilan

Negeri) telah secara tegas diputuskan oleh

Mahkamah Konstitusi melalui putusan

No.93/PUU-X/2012 yang menjelaskan

bahwa pengadilan dalam lingkungan

peradilan umum wajib menolak untuk

menangani perkara perbankan syariah,

karena bertentangan dengan Pasal 25

Undang-undang No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara

kompetensi Pengadilan Negeri sama sekali

tidak berwenang memeriksa bahkan

mengadili sengketa ekonomi syariah.

2. Akibat Hukum Terhadap Para Pihak yang

bersengketa

Terbitnya putusan MK No.93/PUU-

X/2012 memunculkan beberapa norma

baru dan juga jaminan kepastian hukum

sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal

28 ayat (1) UUD 1945 terutama dalam hal

penyelesaian sengketa perbankan syariah

itu sendiri, pilihan forum penyelesaian

sengketa yang dibuka oleh penjelasan pasal

55 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah dalam

beberapa kasus telah nyata menimbulkan

ketidakpastian hukum yang dapat

merugikan bukan hanya nasabah tetapi juga

pihak bank yang pada akhirnya akan

menyebabkan adanya tumpang tindih

kewenangan untuk mengadili karena ada

dua peradilan yang diberikan kewenangan

untuk menyelesaikan sengketa perbankan

syariah sedangkan dalam Undang-undang

No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama

secara tegas dinyatakan bahwa Peradilan

Agama diberikan kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa perbankan syariah

termasuk juga sengketa ekonomi syariah,

padahal hukum sudah seharusnya

memberikan kepastian bagi nasabah dan

bank dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariah sebagaimana amanah

Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945.

Penyelesaian sengketa perbankan syariah

merupakan kewenangan mutlak Peradilan

Agama sebagaimana yang diamanahkan

Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang No. 3

Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama dan Pasal 55 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah.

Para pihak yang melakukan akad dalam

aktifitas perbankan syariah yakni Bank

Syariah dan nasabah dapat membuat

pilihan forum hukum jika para pihak tidak

bersepakat untuk menyelesaikan

sengketanya melalui Pengadilan Agama,

namun hal tersebut harus termuat secara

jelas dalam akad (perjanjian), para pihak

harus secara jelas menyebutkan forum

hukum yang dipilih bilamana terjadi

sengketa.

Dengan terbitnya putusan Mahkamah

Konstitusi No.93/PUU-X/2012 yang

menyatakan penjelasan Pasal 55 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah, maka para

pihak tidak lagi terpaku dalam

menyelesaikan sengketanya secara non

litigasi pada musyawarah, mediasi

perbankan, arbitrase melalui Badan

Arbitrase Syariah Nasional atau lembaga

arbitrase lainnya, tetapi dapat juga

menempuh proses non-litigasi lainnya

seperti konsultasi, negosiasi (perundingan),

konsiliasi, mediasi non mediasi perbankan,

pendapat atau penilaian ahli.12

12

Abdul Mannan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah, Sebuah Kewenangan Baru Peradilan

Agama, dalam Mimbar Hukum Edisi 73 Tahun

2011, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan

Masyarakat Madani (PPHIMM), hlm. 20 – 35.

Page 6: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

6

C. Kesiapan Peradilan Agama Dalam

Menyelesaikan Sengketa Perbankan

Syariah Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi No.93/ PUU-X/ 2012

1. Kompetensi dan Kewenangan Peradilan

Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa

Perbankan Syariah.

Badan Peradilan Agama sebagai salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman telah ada

cukup lama di Indonesia.13

Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa antara

Islam dan Hukum Islam selalu beriringan

tidak dapat dipisah-jauhkan.14

Peradilan Islam di Indonesia yang

kemudian dikenal dengan sebutan

Pengadilan Agama, keberadaannya jauh

sebelum Indonesia merdeka, karena ketika

Islam mulai disebarkan di bumi nusantara

Indonesia, pengadilan agama pun telah ada

bersamaan dengan perkembangan

kelompok masyarakat di kala itu, kemudian

memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan

yang sempurna dalam kerajaan-kerajaan

Islam.15

Hal ini karena masyarakat Islam

atau kaum muslimin sebagai anggota

masyarakat adalah orang yang paling

mentaati hukum dalam pergaulan orang

perseorangan maupun pergaulan umum.16

Kompetensi pengadilan agama telah

diperluas dalam bidang sengketa ekonomi

syariah dan ditegaskan pula pada Undang-

undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah dimana sengketa

ekonomi syariah menjadi kewenangan

absolut pengadilan agama.17

13

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-

undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanan

Lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta:

Rajawali Press, 2004) hlm. 57. 14

M. Daud Ali, Undang-undang Peradilan Agama,

Panji Masyarakat, Nomor 634, tanggal 1-10 Januari

1990, Jakarta, hlm. 71. 15

Ibid. 16

Syed Habibul Haq Nadvi, The Dynamic of Islam,

diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan judul

“Dinamika Islam”, (Bandung: Risalah, 1982) hlm.

212. 17

Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah.

Mengenai jangkauan kewenangan

mengadili lingkungan peradilan agama

dalam bidang ekonomi syari’ah dapat

dilihat dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (i)

UU No. 3 Tahun 2006.

Jangkauan kewenangan lingkungan

peradilan agama di semua bidang yang

disebutkan dalam Pasal 49 berikut

penjelasannya tersebut, tidak hanya terbatas

pada sengketa yang terjadi antara orang-

orang yang beragama Islam saja, melainkan

juga meliputi sengketa yang terjadi antara

orang Islam dengan yang non Islam,

bahkan termasuk juga sengketa yang terjadi

antara sesama non Islam sekalipun,

sepanjang mereka itu menundukkan diri

terhadap hukum Islam dalam hal yang

menjadi kewenangan lingkungan peradilan

agama tersebut. Sekalipun penganut agama

lain di luar Islam, tidak tunduk dan tidak

dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan

lingkungan peradilan agama.18

Dari data yang dihimpun Badan Peradilan

Agama (Badilag), statistik mencatat19

404.857 (empat ratus empat ribu delapan

ratus lima puluh tujuh) perkara yang

diterima 359 (tiga ratus lima puluh

sembilan) Pengadilan Agama/Mahkamah

Syar’iyah tahun 2012 (dua ribu dua belas),

sebanyak 238.666 (dua ratus tiga puluh

delapan ribu enam ratus enam puluh enam)

perkara atau 58,9 (lima puluh delapan

koma sembilan persen) di antaranya

merupakan perkara cerai gugat. Pada

urutan kedua adalah perkara cerai talak.

Selama 2012, 359 (tiga ratus lima puluh

sembilan) pengadilan tingkat pertama di

lingkungan peradilan agama menerima

107.780 (seratus tujuh ribu tujuh ratus

delapan puluh) perkara cerai talak atau 26,6

(dua puluh enam koma enam persen) dari

total perkara yang masuk. Perkara isbat

nikah berada di urutan ketiga. Sepanjang

2012, ada 31.927 (tiga puluh satu ribu

sembilan ratus dua puluh tujuh) perkara

18

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan

Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini,

1993), hlm.37. 19

Tim Penyusun Badilag, http://badilag.net/pojok-

pakdirjen/15079-cerai-gugat-59-persen-ekonomi-

syariah-001-persen-34.html, .

Page 7: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

7

isbat nikah atau 7,8 (tujuh koma delapan

persen) dari total perkara yang masuk.

Sementara itu, perkara ekonomi syariah

masih terbilang minim. Dari Januari hingga

Desember 2012, hanya ada 31 (tiga puluh

satu) perkara ekonomi syariah yang

diterima 359 (tiga ratus lima puluh

sembilan) Pengadilan Agama/Mahkamah

Syariah atau 0,01 (nol koma nol satu

persen) dari total perkara yang masuk.

2. Kesiapan Hakim Peradilan Agama

Adanya anggapan dari sebagian pihak yang

mengatakan bahwa peradilan agama belum

siap mengadili perkara-perkara ekonomi

syariah dibantah oleh Hakim Pengadilan

Agama Medan. Tidak benar jika ada yang

beranggapan seperti itu. Karena itu hanya

sebatas asumsi dari beberapa pihak saja

yang cenderung tidak menginginkan

persoalan ekonomi syariah masuk ke dalam

kewenangan peradilan agama. Peradilan

Agama sudah sangat siap untuk

menyelesaikan perkara-perkara ekonomi

syariah. Kesiapan Hakim Peradilan Agama

dalam menyelesaikan sengketa perbankan

syariah sampai saat ini, contohnya sudah

ada dilakukan pelatihan di luar negeri.

Dalam hal ini pelatihan dilakukan di

Riyadh, Arab Saudi, yang telah

diselenggarakan dua kali. Pelatihan

pertama pada antara Desember 2008 hingga

Januari 2009 yang melibatkan 38 (tiga

puluh delapan) hakim. Pelatihan kedua

pada Mei-Juni 2012 yang melibatkan 40

(empat puluh) hakim. Diusulkan oleh Bank

Indonesia dan Mahkamah Agung yang

menyeleksi para Hakim untuk

diberangkatkan ke Riyadh. Bahkan

pemerintah Arab Saudi menyediakan

beasiswa S-3 gratis untuk para Hakim

Indonesia agar lebih memahami ilmu

hukum & ekonomi syariah yang

sebenarnya.

Untuk dalam negeri sendiri, biasanya setiap

6 (enam) bulan sekali para Hakim

Pengadilan Agama yang ada diseluruh

Indonesia dipanggil ke Mahkamah Agung

(MA) secara bergantian untuk mengikuti

pelatihan mengenai ekonomi syariah.

Sampai saat ini20

, sudah ada 380 (tiga ratus

delapan puluh) hakim peradilan agama

yang punya sertifikat untuk menyelesaikan

sengketa ekonomi syariah. Sertifikat itu

dikeluarkan oleh Balitbangdiklatkumdil

(Badan Penelitian dan Pengembangan dan

Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan

Peradilan) Mahkamah Agung. Rinciannya:

tahun 2009 ada 80 (delapan puluh) orang,

tahun 2010 ada 99 (sembilan puluh

sembilan) orang, tahun 2011 ada 50 (lima

puluh) orang, 2012 ada 40 (empat puluh)

orang, dan tahun 2013 ada 100 (seratus)

orang. Ada juga pelatihan yang

diselenggarakan Komisi Yudisial (KY)

pada Februari 2013 lalu yang diikuti 54

(lima puluh empat) hakim peradilan agama

untuk wilayah jawa barat.21

Pada tahun

2014 akan ada sekitar 1400 (seribu empat

ratus) hingga 1800 (seribu delapan ratus)

orang hakim yang siap menangani sengketa

ekonomi syariah, yang mana pada saat ini

saja jumlah hakim di peradilan agama

berjumlah sekitar 3000 (tiga ribu) orang.22

3. Kesiapan Hukum Materiil dan Formil

Sumber hukum yang dapat digunakan dasar

hukum untuk menyelesaikan sengketa

ekonomi syari’ah:23

a. Sumber Hukum Acara (Hukum

Formil).

Hukum Acara yang berlaku di

Pengadilan Agama untuk mengadili

sengketa ekonomi syari’ah adalah

Hukum Acara yang berlaku dan

dipergunakan pada lingkungan

Peradilan Umum. Ketentuan ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 54 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989.

20

Rahmat Arijaya dan Hermansyah, Peradilan

Agama Sangat Siap Mengadili Sengketa Ekonomi

Syariah, wawancara dengan Direktur Jenderal

Badan Peradilan Agama.

http://perkara.net/v1/news_view.php?c_pa=&id=97

71 21

Ibid. 22

Ibid. 23

Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Sebuah Kewenangan Baru.

Page 8: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

8

b. Sumber Hukum Materiil.

Adapun bagi lingkungan pengadilan

agama, sumber-sumber hukum yang

terpenting untuk dijadikan dasar dalam

mengadili perkara-perkara perbankan

syariah setelah Al Qur’an dan As

Sunnah sebagai sumber utama, antara

lain adalah peraturan Perundang-

undangan, fatwa-fatwa Dewan Syari’ah

Nasional (DSN), aqad perjanjian

(kontrak), fiqih dan Ushul Fiqih, adat

kebiasaan, dan yurisprudensi.

4. Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan

Syariah Dalam Lingkungan Peradilan

Agama.

Penyelesaian Melalui Perdamaian.

Sudah menjadi asas dalam hukum acara

perdata bahwa pengadilan (hakim) wajib

mendamaikan pihak beperkara.24

Upaya

damai yang harus dilakukan hakim dalam

rangka penyelesaian sengketa syariah

khususnya di Pengadilan Agama tertuju

pada ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR

dan Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) No. 01 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kelalaian

hakim mengupayakan perdamaian bagi

kedua belah pihak beperkara akan

mengakibatkan batalnya pemeriksaan

perkara tersebut demi hukum.25

Tindakan yang harus dilakukan oleh hakim

dalam mengupayakan damai berdasarkan

ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR adalah:

1. Bila pada hari yang telah ditentukan

para pihak datang menghadap, maka

pengadilan negeri dengan perantara

ketua berusaha mendamaikan.

2. Bila dapat dicapai perdamaian, maka

didalam sidang itu juga dibuatkan suatu

akta dan para pihak dihukum untuk

menaati perjanjian yang telah dibuat

dan akta itu mempunyai kekuatan serta

dilaksanakan seperti suatu surat

keputusan biasa.

24

Ibid, hlm 12. 25

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2005) hlm.239.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat

dipahami bahwa tindakan pertama harus

dilakukan oleh seorang hakim adalah

mengupayakan perdamaian di kedua belah

pihak. Kemudian apabila tercapai

kesepakatan unutuk menyelesaikan perkara

tersebut secara damai, maka kesepakatan

itu dituangkan dalam bentuk perjanjian

(akta) perdamaian.

Apabila anjuran damai yang dilakukan

semata-mata atas dasar ketentuan Pasal 154

R.Bg/130 HIR ternyata tidak berhasil,

maka langkah selanjutnya yang harus

dilakukan hakim adalah mengupayakan

perdamaian melalui mediasi sesuai dengan

ketentuan PERMA No. 01 Tahun 2008.

Mediasi yang diterapkan dalam sistem

peradilan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7

PERMA diartikan “cara penyelesaian

sengketa melalui proses perundingan untuk

memperoleh kesepakatan para pihak

dengan dibantu oleh mediator.

Orang yang dapat bertindak dan

diperkenankan dipilih oleh para pihak

untuk mediator menurut ketentuan ini

adalah:26

a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada

pengadilan yang bersangkutan.

b. Advokat atau akademisi hukum.

c. Profesi bukan hukum yang dianggap

para pihak menguasai atau

berpengalaman dalam pokok

sengketa.

d. Hakim manjelis pemeriksa perkara.

e. Gabungan antara mediator yang

disebut dalam butir a dan d, atau

gabungan butir b dan d, atau gabungan

butir c dan d.

26

Pasal 8 Ayat (1) PERMA.

Page 9: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

9

Dalam proses mediasi, ada 2 hal

terpenting pula yang harus diketahui yaitu

mediasi mencapai kesepakatan atau tidak

mencapai kesepakatan. Apabila mediasi

mencapai kata kesepakatan, maka ada

beberapa hal yang harus dilakukan oleh

para pihak, yaitu:27

1. Para pihak dengan bantuan mediator

wajib merumuskan secara tertulis

kesepakatan yang dicapai yang

ditandatangi oleh para pihak dan

mediator tersebut.

2. Jika dalam proses mediasi para pihak

diwakili oleh kuasa hukum, para pihak

wajib menyatakan secara tertulis

persetujuan atas kesepakatan yang

dicapai.

3. Para pihak wajib menghadap kembali

kepada hakim pada hari sidang yang

telah ditentukan untuk

memberitahukan kesepakatan

perdamaian.

4. Para pihak dapat mengajukan

kesepakatan perdamaian kepada

hakim untuk dikuatkan dalam bentuk

akta perdamaian.

5. Jika tidak, kesepakatan perdamaian

harus memuat klausula pencabutan

gugatan atau klausula yang

menyatakan perkara telah selesai.

Selanjutnya, apabila mediasi tidak

mencapai kata kesepakatan atau gagal,

maka mediator wajib melakukan:

1. Menyatakan secara tertulis bahwa

proses mediasi telah gagal.

2. Memberitahukan kegagalan

tersebut kepada hakim. b.

Penyelesaian Melalui Proses

Persidangan (Secara Litigasi)

Dalam hal memeriksa perkara ekonomi

syari’ah ada beberapa hal penting yang

harus dilakukan terlebih dahulu sebelum

proses di persidangan dimulai. Hal-hal

penting yang harus dilakukan terlebih

dahulu antara lain dimulai dari

memastikan lebih dahulu perkara tersebut

bukan perkara perjanjian yang

mengandung klausula arbitrase.

Kewenangan absolut lingkungan peradilan

27

Op.Cit,. Cik Basir., hlm. 139.

agama tidak menjangkau sengketa atau

perkara perjanjian yang di dalamnya

terdapat klausula arbitrase.

Untuk mengetahui bahwa perkara tersebut

merupakan sengketa perjanjian yang

mengandung klausula arbitrase atau

bukan, baca terlebih dahulu secara cermat

perjanjian atau akad tertulis yang mereka

buat dan mereka sepakati sebelumnya

berkaitan dengan kegiatan usaha yang

mereka jalankan. Akad menurut ketentuan

Pasal 1 Ayat (13) UU No. 21 Tahun 2008

tentang Ekonomi Syari’ah adalah

”Kesepakatan tertulis antara bank syari’ah

atau Uus dan pihak lain yang memuat hak

dan kewajiban bagi masing-masing pihak

sesuai dengan prinsip syari’ah.

Biasanya dalam perjanjian atau akad

tersebut klausulnya lebih kurang berbunyi

“segala sengketa yang timbul berkaitan

dengan perjanjian ini akan diselesaikan

melalui Badan Arbitrase Syari’ah

Nasional (BASYARNAS)”.. Dalam Pasal

3 UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan

bahwa pengadilan negeri tidak berwenang

untuk mengadili sengketa para pihak yang

telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Pasal 11 Ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999

menyatakan bahwa adanya suatu

perjanjian arbitrase tertulis meniadakan

hak para pihak untuk mengajukan

penyelesaikan sengketa atau beda

pendapat yang termuat dalam

perjanjiannnya ke pengadilan negeri.

Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan

agama, jika perkara tersebut merupakan

sengketa perjanjian yang mengandung

klausula arbitrase sebelum memeriksanya

lebih jauh adakah menjatuhkan putusan

negatif berupa pernyataan hukum yang

menyatakan bahwa pengadilan agama

tidak berwenang memeriksa dan

mengadili perkara tersebut. Setelah

dipastikan bahwa perkara tersebut bukan

merupakan sengketa perjanjian yang

didalamnya terdapat klausula arbitrase

barulah tindakan selanjutnya yang harus

dilakukan hakim adalah menyelesaikan

perkara tersebut sesuai dengan ketentuan

undang-undang yang berlaku.

Page 10: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

10

Dengan demikian, perkara tersebut akan

diperiksa dan diselesaikan melalui proses

persidangan (litigasi) sebagaimana

mestinya. Dalam hal ini proses

pemeriksaan perkara tersebut akan

berjalan sebagaimana lazimnya proses

pemeriksaan perkara perdata di pengadilan

yang secara umum akan dimulai dengan

pembacaan surat gugatan penggugat, lalu

disusul dengan proses menjawab yang

akan diawali dengan jawaban dari pihak

tergugat, kemudian replik penggugat, dan

terakhir duplik dari pihak tergugat.

Setelah proses jawab menjawab tersebut

selesai, lalu persidangan dilanjutkan

dengan acara pembuktian. Pada tahap

pembuktian ini kedua belah pihak

beperkara masing-masing mengajukan

bukti-buktinya guna mendukung dalil-

dalil yang telah dikemukakan di

persidangan. Setelah masing-masing pihak

mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap

berikutnya adalah kesimpulan dari para

pihak yang merupakan tahap terakhir dari

proses pemeriksaan perkara di

persidangan.

Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara

di persidangan selesai, hakim melanjutkan

kerjanya untuk mengambil putusan dalam

rangka mengadili atau memberikan

keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu

tindakan selanjutnya yang harus dilakukan

hakim dalam memeriksa dan mengadili

perkara tersebut adalah melakukan

konstatir, mengkualifitsir, dan meng-

konstituir guna menemukan hukum dan

menegakkan keadilan atas perkara tersebut

untuk kemudian disusun dalam suatu

putusan (vonnis) hakim Adapun kerangka

kerja dari ketiga hal tersebut sebagai

acuannya paling tidak seperti yang

diuraikan oleh Arto, yaitu:28

Pertama, meng-konstatir artinya menguji

benar tidaknya peristiwa atau fakta yang

diajukan para pihak melalui pembuktian

menggunakan alat-alat bukti yang sah

menurut hukum pembuktian. Hal ini harus

diuraikan secara sistematis dalam utusan

28

A. Mukti Arto, loc. cit, hlm. 33, 36-37.

hakim pada bagian duduk perkaranya.

Kedua, meng-kualifisir, artinya menilai

peristiwa atau fakta yang telah terbukti itu

termasuk hubungan hukum apa dan

menemukan hukumnya bagi peristiwa

yang telah dikonstatir. Ketiga, meng-

konstituir artinya menetapkan hukum atas

perkara tersebut.

Demikian secara garis besar prosedur

pemeriksaan perkara ekonomi syari’ah di

pengadilan agama sesuai dengan

ketentuan hukum acara yang berlaku.

Kesimpulan Dan Saran

A. Kesimpulan 1. Pertimbangan majelis hakim

Mahkamah Konstitusi melalui putusan

No.93/PUU-X/2012 adalah : pertama,

hanya mengabulkan sebagian dengan

menyatakan penjelasan pasal 55 ayat

(2) undang-undang no. 21 tahun 2008

tentang Perbankan Syariah

bertentangan dengan UUD 1945 dan

tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat dan kedua, Mahkamah

Konstitusi mempertegas kewenangan

peradilan agama sebagaimana yang

diamanatkan dalam pasal 55 ayat (1)

undang-undang Perbankan Syariah dan

pasal 49 huruf (i) undang-undang no. 3

tahun 2006 tentang perubahan atas

undang-undang no. 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama mengenai

penyelesaian sengketa secara litigasi.

2. Akibat hukum yang lahir setelah

keluarnya putusan Mahkamah

Konstitusi No.93/PUU-X/2012 adalah :

pertama, pilihan forum penyelesaian

sengketa secara alternatif tidak lagi

terbatas hanya pada yang terdapat

dalam penjelasan pasal 55 ayat (2)

undang-undang perbankan syariah,

yaitu musyawarah, mediasi perbankan,

basyarnas dan juga pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum dan masih

ada forum penyelesaian non-litigasi

lainnya yang juga dapat dipergunakan

sepanjang disepakati oleh para pihak

seperti konsultasi, negosiasi

(perundingan), konsiliasi, mediasi non

perbankan, pendapat atau penilaian

Page 11: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

11

ahli, dan sebagainya. Kedua, secara

khusus kewenangan pengadilan negeri

dalam mengadili sengketa perbankan

syariah tidak dapat dipergunakan lagi,

namun untuk basyarnas masih dapat

dipergunakan sepanjang disepakati

oleh para pihak. 3. Peradilan

Agama sebenarnya sudah sangat siap

dalam menyelesaikan sengketa

perbankan syariah. Hal ini dibuktikan

dengan : pertama, kesiapan hukum dan

peraturan yang telah mendukung

peradilan agama. Kedua, konsistennya

Badan Peradilan Agama, Bank

Indonesia, Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial dalam melakukan

pelatihan secara rutin dan berkala baik

itu di dalam negeri hingga keluar

negeri kepada hakim-hakim pengadilan

agama di seluruh Indonesia untuk

meningkatkan pemahaman ilmu hukum

dan ekonomi syariah. Ketiga, mengenai

eksekusi putusan di pengadilan agama,

para pihak tidak perlu khawatir karena

pengadilan agama juga memiliki

kekuatan / kewenangan yang sama

layaknya pengadilan negeri dalam

menjalankan eksekusi putusan, baik itu

lewat juru sita pengadilan agama

sendiri maupun menggunakan bantuan

dari pihak lain seperti kepolisian.

B. Saran. 1. Disarankan apabila terjadi sengketa

perbankan syariah yang tidak dapat

diselesaikan lewat musyawarah, maka

forum penyelesaian selanjutnya adalah

lewat peradilan agama sebagaimana

yang telah ditentukan oleh pasal 55

ayat (1) Undang-undang No.21 tentang

Perbankan Syariah, maka dari itu

kepada masyarakat luas terlebih yang

beragama Islam agar mempergunakan

Peradilan Agama dalam menyelesaikan

sengketa-sengketa ekonomi syariah dan

perlu dilakukan sosialisasi yang

menyeluruh baik itu dari peraturan-

peraturan pendukung seperti fatwa

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

sebelumnya lebih mengarahkan

penyelesaian sengketa perbankan

syariah ke forum penyelesaian

basyarnas juga kepada para pihak yang

terlibat dalam ruang lingkup perbankan

syariah mulai dari bank syariah itu

sendiri, nasabah-nasabah, dan juga

notaris yang membuat akta pembiayaan

syariah agar memilih dan

menempatkan pengadilan agama

sebagai pilihan utama forum

penyelesaian apabila terjadi sengketa

setelah tidak tercapainya kata sepakat

melalui musyawarah terlebih dahulu.

2. Disarankan kepada para pihak yang

ingin menggunakan forum

penyelesaian sengketa secara alternatif

(non-litigasi) agar tidak lagi memilih

pengadilan dalam lingkungan peradilan

umum (Pengadilan Negeri) karena hal

tersebut bertentangan dengan Pasal 25

Undang-undang No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, para

pihak masih bisa mempergunakan

Basyarnas dan juga bisa memilih forum

penyelesaian secara non-litigasi lainnya

seperti konsultasi, negosiasi

(perundingan), konsiliasi, mediasi non

perbankan, pendapat atau penilaian

ahli, dan sebagainya karena selain

proses yang cepat dan dari segi biaya,

jalur non-litigasi juga lebih murah

dibanding jalur litigasi yang akan

memakan biaya lebih besar dan proses

yang lama.

3. Disarankan kepada Direktorat Jenderal

Badan Peradilan Agama (Badilag)

sebagai yang berwenang dalam

melakukan pembinaan peradilan agama

di Indonesia untuk terus meningkatkan

kualitas hakim pengadilan agama

dalam memahami dan menangani

sengketa perbankan syariah dan juga

segera menerbitkan Hukum Acara

Ekonomi Syari’ah (HAES), karena

belum ada hukum acara khusus

ekonomi syari’ah, penyelesaian

sengketa perbankan syari’ah masih

berpedoman pada hukum acara perdata

umum yang mana hukum acara perdata

umum belum bisa menjawab segala

kebutuhan perkara perbankan syari’ah,

selanjutnya Badilag juga harus

memperkuat kewenangan lembaga

eksekusi di pengadilan agama agar para

pihak dapat langsung mengajukan

Page 12: Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No ... - jurnal.uai.ac.id

Vol. II No. 1 Januari Tahun 2017 No. ISSN 2548-788

12

permohonan eksekusi putusan

pengadilan agama melalui pengadilan

agama itu sendiri sehingga tidak lagi

harus mempergunakan lembaga

eksekusi di pengadilan negeri.

Daftar Pustaka

Buku/Literatur

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara

Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.

Cetakan keempat, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2006.

Abdul Mannan, Penyelesaian Sengketa

Ekonomi Syariah, Sebuah Kewenangan Baru

Peradilan Agama, dalam Mimbar Hukum Edisi

73 Tahun 2011, Pusat Pengembangan Hukum

Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM).

M. Daud Ali, Undang-undang Peradilan

Agama, Panji Masyarakat, Nomor 634, tanggal

1-10 Januari 1990, Jakarta.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata

tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cet. Ke-

10, Jakarta : Sinar Grafika, 2010.

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan

dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka

Kartini, 1993.

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-

undang Perdata Islam dan Peraturan

Pelaksanan Lainnya di Negara Hukum

Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2004.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme

Penelitian Hukum Normatif& Empiris,

Yogyakarta : Pustaka Belanja, Cetakan I, 2010.

Yusuf Wibisono, Bisnis & Birokrasi, Jurnal

Ilmu Administrasi dan Organisasi, Volume 16,

Nomor 2, Mei–Agustus 2009.

Syed Habibul Haq Nadvi, The Dynamic of

Islam, diterjemahkan oleh Asep Hikmat dengan

judul “Dinamika Islam”, Bandung: Risalah,

1982.

Peraturan-Peraturan dan Perundang-

Undangan

Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-

X/2012, tanggal 29 Agustus 2013.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01

Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syariah.

internet

http://perkara.net/v1/news_view.php?c_pa=&id

=9771.

http://badilag.net/pojok-pakdirjen/15079-cerai-

gugat-59-persen-ekonomi-syariah-001-persen-

34.html.