analisis proses terbentuknya peraturan menteri
TRANSCRIPT
ANALISIS PROSES TERBENTUKNYA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN
2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA
Choirinnisa dan Rainingsih Hardjo
Program Studi Ilmu Administrasi Negara Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
Abstrak
Tugas Karya Akhir ini membahas tentang proses terbentuknya suatu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pekerja Rumah Tangga. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan proses terbentuknya Permenaker No.2 Tahun 2015. Teori yang digunakan untuk menjelaskan penelitian ini antara lain kebijakan publik, sektor informal dan perlindungan tenaga kerja. Pendekatan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui studi literatur/dokumen dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah formulasi Permenaker ini memiliki 3 tahapan, yakni pertama masukan-masukan dari masyarakat, kedua pembuatan draft Permenaker No.2 Tahun 2015 dan ketiga disahkannya Permenaker No.2 Tahun 2015 memfokuskan kepada lembaga penyalur. Hal ini disebabkan terdapat beberapa hal yang akan sulit diterapkan jika memfokuskan kepada PRT seperti jam kerja dan upah. Upaya pemerintah dalam melindungi pekerja rumah tangga anak telah terlihat dengan adanya pelarangan dalam permenaker ini. Namun permenaker ini masih belum cukup kuat untuk melindungi PRT dan kurang partisipatif dalam pembuatannya.
Kata kunci: Formulasi Kebijakan Publik, Pekerja Rumah Tangga (PRT)
Analysis of the Process of Formation of Regulation No.2/2015 about Domestic Workers from the Ministry of Employment of the Republic Indonesia
Abstract
This minor thesis discusses about the process of formation of Regulation No.2/2015 about Domestic Workers, from the Ministry of Employment of the Republic Indonesia. This research aims to explain or describe the formation process of Permenaker 2 2015. The theories used to explain this research include public policy, the informal sector, and labor protection. The methods of this thesis using qualitative approach of data collection, using the study of literature or documents and in-depth interviews. The results of this study is the formulation of Ministry of Employmemt Regulation has three steps, the first is input from the public, the second is the drafting of Permenaker No.2/2015, and the third is legalization of Permenaker No.2/2015 that focused on the distributor of domestic workers. This is due to there are some things that would be difficult to implement if the focus to domestic workers such as working hours and wages. Government efforts to protect child domestic workers have been seen by the prohibition in this Ministrial Regulation. However this regulation from the Ministry of Employment of the Republic Indonesia is still not strong enough to protect domestic workers and less participative in the making.
Key words: Policy Formulation, Domestic Workers (PRT)
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Pendahuluan Di Indonesia saat ini terdapat 10.744.887 orang yang berprofesi sebagai pekerja rumah
tangga (PRT) (gresnews.com, 2012). Hampir 90 persen pekerja rumah tangga di Indonesia
adalah perempuan (Hasil wawancara dengan Ibu Lita, Ketua Koordinator Jaringan Nasional
Advokasi PRT, 2015). Mayoritas PRT umumnya berusia di bawah 30 tahun dan berasal dari
daerah pedesaan, dimana fasilitas pendidikan dan kesempatan kerja terbatas (ILO-IPEC dalam
Hidayati, 2011). Beberapa faktor yang melatarbelakangi mengapa seseorang menjadi pekerja
rumah tangga (PRT) selain pendidikan yang rendah yaitu faktor ekonomi yang menjadi
pendorong PRT disamping itu karena alasan dan tidak mau disebut sebagai pengangguran.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena orang tersebut tidak memiliki
keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor formal, karena di ajak teman, dan tidak kalah
penting karena faktor rendahnya pendidikan serta alasan lainnya (batampos.co.id, 2015).
Mengingat banyak wanita yang bekerja sebagai PRT, maka diperlukan peraturan
perlindungan PRT, karena PRT di Indonesia rentan mengalami kekerasan, diskriminasi dan
eksploitasi dalam pekerjaannya. Hal ini disebabkan masih adanya kekosongan hukum yang
melindungi PRT baik di tingkat nasional dan lokal (ugm.ac.id, 2011). Aida Milasari, Wakil
Ketua Jaringan Advokasi untuk Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT)
mengatakan bahwa 50 persen PRT di Indonesia mengalami perlakuan kekerasan dan
pelecehan dari majikannya (nasional.tempo.co, 2014). Hal ini dibuktikan dengan grafik dari
data kekerasan terhadap PRT tahun 2012-2015.
Grafik1.1 Data Kekerasan Terhadap PRT Tahun 2012- Sept 2015
Sumber : JALA PRT, 2015
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Berdasarkan grafik di atas, banyak terjadinya kekerasan terhadap PRT yang berlangsung
sejak tahun 2012 hingga tahun 2015. Pada tahun 2012 kasus kekerasan yang terjadi pada PRT
yaitu sebanyak 327 kasus. Kemudian pada tahun 2013 terdapat 336 kasus kekerasan PRT.
Pada tahun 2014 sendiri kasus kekerasan terhadap PRT sebanyak 408 kasus, dan di tahun
berikutnya yaitu tahun 2015 terdapat 376 kasus yang terjadi di Indonesia.
Permasalahan yang banyak terjadi pada Pekerja Rumah Tangga (PRT) tidak hanya
menjadi perhatian bagi Indonesia saja melainkan juga menjadi perhatian dunia. Hal ini terlihat
dengan adanya Konvensi International Labour Organization (ILO) 189 mengenai kerja layak
bagi pekerja rumah tangga. Konvensi ini telah diadopsi oleh Indonesia sejak 16 Juni 2011.
Konvensi ini membahas mengenai perlindungan khusus kepada pekerja rumah tangga (PRT).
Konvensi ini membahas mengenai perlindungan khusus kepada pekerja rumah tangga (PRT).
Konvensi ini menetapkan standar minimal untuk pekerja rumah tangga yaitu hak-hak dasar
pekerja rumah tangga, informasi mengenai syarat dan ketentuan kerja, jam kerja, pengupahan,
keselamatan dan kesehatan kerja, jaminan sosial, standar mengenai pekerja rumah tangga
anak, standar mengenai pekerja tinggal di dalam, standar mengenai PRT migran, agen
ketenagakerjaan swasta dan penyelesaian perselisihan, pengaduan, penegakan (Kovensi ILO
189, 2011).
Lebih lanjut, mengingat bahwa mayoritas PRT di Indonesia yang didominasi kaum
perempuan. Indonesia juga mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against
Women - CEDAW). Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Konvensi CEDAW ini menetapkan secara universal
prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Konvensi ini menetapkan
persamaan hak untuk perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, di semua bidang –
politik, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi mendorong diberlakukannya perundang-
undangan nasional yang melarang diskriminasi dan mengadopsi tindakan-tindakan khusus-
sementara untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk
merubah praktek-praktek kebiasaan dan budaya yang didasarkan pada inferioritas atau
superioritas salah satu jenis kelamin atau peran stereotipe untuk perempuan dan laki-laki
(Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuasn {CEDAW},
1984).
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Dengan telah diratifikasinya Konvensi CEDAW dan telah diadopsinya Konvensi ILO
189 di Indonesia, Menteri Ketenegakerjaan, Bapak Hanif Dhakiri, mengeluarkan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (PRT) sebagai wujud peran negara/pemerintah dalam melindungi PRT.
Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 berisi mengenai kebijakan perlindungan terhadap PRT
dengan berisikan syarat-syarat untuk menjadi PRT dan syarat-syarat bagi lembaga penyalur
pekerja rumah tangga (LPPRT). Secara tidak langsung dengan terbentuknya Permenaker
Nomor 2 Tahun 2015 yang merupakan kebijakan pertama untuk melindungi pekerja rumah
tangga (PRT) di Indonesia diharapkan dapat menuntaskan permasalahan terkait pekerja rumah
tangga (PRT).
Tinjauan Teoritis
Kebijakan Publik
Birkland (2001, hal.132) mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan pemerintah apa
yang diperuntukkan untuk dilakukan dan tidak boleh dilakukan, seperti hukum, peraturan,
kebiasaan, keputusan atau perintah ataupun perpaduan dari kesemuanya. Kebijakan pada
intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung
mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial, dan manusia demi
kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara.
Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi, atau bahkan kompetisi antara
berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik
suatu negara (Suharto, 2008, hal.3).
Definisi lainnya, menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan (policy term) digunakan
dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan
yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan (goals), program,
keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design (Jones, 1984, hal.25). Sementara
menurut Anderson, istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang
aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau
sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson, 1969, hal.4). Definisi
kebijakan lainnya datang dari Eyestone, secara luas kebijakan publik dapat didefinisikan
sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya (Eyestone, 1971, hal.18).
Menurut Thomas R. Dye ( 1975 dalam Widodo, 2007, hal.13) mengenai kebijakan
publik sebagai “whatever governments choose to do or not to do”, yang mana kebijakan
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
publik sebagai apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Berkaitan dengan hal tersebut, David Easton (dalam Waluyo, 2007, hal.41) mengemukakan
bahwa kebijakan publik sebagai pengalokasiannilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota
masyarakat. Maksudnya dalam hal ini adalah bahwa hanya pemerintahlah yang secara sah
dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu
atau tidak melakukan seuatu tersebut, diwujudkan dalam pengalokasian nilai-nilai kepada
masyarakat. Dye yang dikutip Young dan Quinn (2002, hal.5) memberikan definisi kebijakan
publik secara luas, yakni sebagai “a purposive course of action followed by an actors in
dealing with a problem or matter of concern.” , yang merupakan serangkaian tindakan yang
memiliki tujuan yang dilakukan oleh aktor dalam menghadapi masalah atau hal yang menjadi
perhatian. Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan didalam
proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Proses analisis kebijakan ini dijalankan
agar dalam membuat suatu kebijakan dapat di implementasikan dengan baik. Kemudian
proses ini diatur menurut urutan waktu yaitu dimulai dari penyusunan agenda, formulasi
kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.
Formulasi Kebijakan Publik
Formulasi kebijakan merupakan suatu permulaan dari kebijakan. Jones (1996, hal.38)
berpendapat bahwa formulasi berasal dari kata formula yang berarti pengembangan suatu
rencana, metode atau rumus dalam rangka menyelesaikan suatu permasalahan. Widodo (2007,
hal.43) mengemukakan, tahap formulasi kebijakan (policy formulation) ini merupakan
tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahapan berikutnya dalam proses kebijakan
publik. Melalui sumber yang sama dikatakan manakala proses formulasi tidak dilakukan
secara tepat dan komprehensif, hasil kebijakan yang diformulasikan tidak akan dapat
mencapai tataran optimal. Artinya, dapat menjadi kebijakan tadi akan sulit
diimplementasikan, bahkan tidak dapat diimplementasikan (unimplementable).
Perumusan masalah adalah hal yang terpenting dalam proses formulasi kebijakan,
karena inti dari proses formulasi kebijakan yaitu menemukan pokok dari permasalahan. Pada
proses ini ditentukannya batas-batas kebijakan adalah menemukan pokok dari permasalahan
(Nugroho, 2004, hal. 101). Oleh karena itu, pada tahap formulasi kebijakan perlu dilakukan
analisis secara komprehensif agar diperoleh kebijakan publik yang betul-betul dapat
diimplementasikan, dan dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dan sasarannya, dan mampu
memecahkan masalah publik yang mengemuka di masyarakat (Widodo, 2007, hal.44).
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Dalam formulasi kebijakan terdapat beberapa alternatif dalam bagaimana kebijakan-
kebijakan dirumuskan. Menurut Lester (2000, hal.94) alternatif perumusan kebijakan adalah
The Rational-Comprehensive Model, The Incremental Model, dan System Model. Berikut
penjelasan dari alternatif perumusan kebijakan tersebut.
a. The Rational-Comprehensive Model
Sebuah model yang dikenal sebagai pembuat kebijakan adalah model rasional
keseluruhan yang dimana secara utama berasumsi pada setiap individu membuat
keputusan berdasarkan perhitungan secara harga dan keuntungan yang rasional.
Pemilihan model kebijakan ini biasanya mengikuti beberapa komponen di bawah ini:
1. Pembuat kebijakan berhadapan dengan masalah yang dipisahkan dengan masalah
yang lain atau setidaknya mempertimbangkan secara penuh dalam perbandingan
kedua masalah tersebut.
2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang memandu pembuat kebijakan yang
diklarifikasikan dan diurutkan berdasarkan kebutuhan mereka.
3. Penyiapan suatu kumpulan kebijakan alternatif yang lengkap untuk setuju dengan
masalah.
4. Konsekuensi (harga dan manfaat, keuntungan dan ketidak untungan) akan
mengikuti pemilihan setiap pemeriksaan penyelidikan.
5. Setiap alternatif, dan konsekuensi kehadiran, dapat dikalkulasikan dan
dibandingkan dengan alternatif lain.
6. Pembuat kebijakan memilih alternatif yang memaksimalkan pencapaian tujuan,
nilai, dan sasaran mereka.
b. The Incremental Model
The Incremental Model melihat perumusan kebijakan publik sebagai kelanjutan dari
aktifitas pemerintahan yang lalu dengan hanya beberapa sedikit tambahan. Desakan
waktu, kecerdasan, dan ongkos mencegah pembuat kebijakan dari pengidentifikasian
keseluruhan alternatif kebijakan dan konsekuensi mereka. Incrementalisme merupakan
cara pandang yang kolot dalam program, kebijakan dan pengeluaran yang ada dan yang
di kenal sebagai dasar perhatiannya terkonsentrasi pada program baru dan kebijakan,
dan dalam peningkatan atau penurunan atau modifikasi dalam program atau kebijakan
yang ada. Kunci asumsi dasar dari model ini adalah pembuat keputusan tidak memiliki
kapabilitas prediksi yang cukup untuk mengetahui semua konsekuensi setiap alternatif;
Pembuat keputusan menerima keputusan yang legal dari kebijakan sebelumnya; Ongkos
yang berkurang mencegah pertimbangan yang serius terkait semua alternatif kebijakan
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
dan khususnya semua perubahan drastis dalam kebijakan; The Incremental Model
mengurangi konflik dan kemanfaatan yang pantas dalam politik; Karakteristik pembuat
keputusan sendiri lebih cocok di model tambahan, bahwa manusia bukanlah penambah
nilai atau norna, tetapi, lebih ke pemberi kepuasan, bertindak hanya sekedar memuaskan
di beberapa keperluan. Demikian, ketidak adanya nilai masyarakat yang disetujui,
sebuah kepemerintahan yang pluralis terikat pada keseluruhan kebijakan merencanakan
semua tujuan kebijakan secara spesifik.
c. System Model
System Model ini dikembangkan oleh ahli biologi dan kemudian diaplikasikan di politik
oleh David Easton. David Easton menyatakan bahwa perumusan kebijakan publik
dipengaruhi permintaan untuk kebijakan yang baru atau dukungan untuk kebijakan yang
masih berlaku. Pada intinya, model David Easton tentang perumusan kebijakan bahwa
permintaan dikonversikan oleh proses sistem politik, contohnya legislatif, pengadilan,
dan lain-lain yang menghasilkan kebijakan atau keputusan dan kebijakan ini
memberikan dampak, baik pada sistem politik dan lingkungan dimana kebijakan
tersebut belaku. Permintaan berasal dari dalam sistem seperti partai politik, atau
kelompok kepentingan, dam diluar sistem seperti ekology, ekonomi, kebudayaan, dan
demografi. Menurut Easton, dukungan terhadap kebijakan publik merupakan tindakan
yang membantu sistem politik beroperasi dan membantu sistem tersebut untuk tetap
berjalan. Dukungan diberikan dari 3 arah, yaitu komunitas politik, rezim yang berlaku,
dan pemerintahan itu sendiri. Sistem politik menghasilkan dukungan dengan cara
memenuhi permintaan dari pemerintah dan dengan sosialisasi politik. Keputusan politik
atau kebijakan publik mendapatkan dukungan ketika mereka dapat memenuhi
permintaan atau disaat mereka merasa pemerintah mendukung kepentingan mereka.
Disisi lain, ketidakmampuan pemerintah dalam mengeluarkan hasil yang memuaskan
untuk anggota suatu sistem dapat membuat permintaan untuk perubahan rezim atau
pembubaran komunitas politik.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk
mendapatkan informasi-informasi atau keterangan-keterangan mengenai proses terbentuknya
Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga oleh
Kementerian Ketengakerjaan RI. Teknik pengumpulan data penelitian ini yaitu penelitian
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
lapangan dilakukan dengan studi kepustakaan dan wawancara mendalam. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan
dengan cara wawancara mendalam dengan pegawai dari pihak Kementerian Ketenagakerjaan
RI yaitu Bapak Heri Tomson dan Bapak Hendry Wijaya serta dari pihak JALA PRT yaitu Ibu
Aida Milasari, serta data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data dari pihak
Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia dan JALA PRT.
Hasil Penelitian
Formulasi Terbentuknya Permenaker Nomor 2 Tahun 2015
Perlindungan yang diberikan terhadap pekerja rumah tangga di Indonesia telah diatur
dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015. Berikut merupakan tahap-
tahap dibentuknya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015.
Gambar 3.1 Tahap-tahap dibentuknya Permenaker Nomor 2 Tahun 2015
Sumber : Hasil Olahan Peneliti, 2016
Masukan / rekomendasi dari masyarakat
Banyak isu-isu mengenai pekerja rumah tangga yang tersebar di beberapa daerah di
Indonesia. Isu-isu terkait pekerja rumah tangga sendiri timbul disebabkan permasalahan yang
dialami oleh PRT seperti mengenai jam kerja PRT, gaji yang rendah atau tidak dibayarkan,
kekerasan fisik, dan masih terdapat beberapa permasalahan yang menimpa pekerja rumah
tangga di Indonesia (icjr.or.id,2012). Isu mengenai jam kerja PRT, menurut data ILO
menunjukkan 45 persen PRT diseluruh dunia tak mempunyai hari libur yang cukup
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
(nasional.tempo.co,2013). Selain mengenai isu jam kerja PRT, terdapat pula isu mengenai
gaji PRT. Menurut Sayuti sebagai koordinator aksi, sekitar 25 persen PRT di Yogyakarta
tidak mendapatkan gaji yang layak (nasional.tempo.co, 2013). Isu selanjutnya mengenai PRT
yaitu kekerasan fisik yang dialami oleh PRT. Kekerasan fisik tersebut seperti menginjak kaki
PRT, menendang, menjambak rambut PRT hingga botak, bahkan sang majikan mengancam
menggunakan golok (metro.tempo.co, 2013). Kemudian terdapat isu pelecehan seksual yang
ditimpa oleh para PRT. Selama empat bulan kerja dengan majikannya, PRT tersebut
mengalami pelecehan seksual seperti diraba, difoto tanpa busana, dan lain-lain
(news.liputan6.com, 2013).
Banyaknya isu-isu tersebut membuat banyaknya masukan dari masyarakat dan LSM
mengenai perlindungan PRT. Hal ini menjadi awal tahap dibentuknya Permenaker Nomor 2
Tahun 2015.Dalam pembuatan Permenaker no.2 tahun 2015, masukkan-masukkan yang
digunakan adalah masukkan-masukkan yang sebelumnya digunakan untuk pembuatan
Undang-Undang yang ditampung oleh JALA PRT dan dalam perumusannya tidak
mengikutsertakan LSM-LSM yang berkaitan sehingga dalam pembuatan Permenaker No.2
Tahun 2015 tidak partisipatif.
Pembuatan draft Permenaker No.2 Tahun 2015
Berdasarkan dari masukkan yang telah dijelaskan sebelumnya, pihak Kementerian
Ketenagakerjaan kemudian membuat konsep dalam bentuk draft. Pembuatan draft ini
melibatkan pihak-pihak terkait seperti Bagian Hukum dan Kerjasama Luar Negeri (HKLN)
Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta), Bagian Hukum dan
Kerjasama Luar Negeri (HKLN) Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial (PHI)
dan Biro Hukum.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 2 Tahun 2015 berlandaskan pada
Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah
No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta Keputusan Presiden Nomor
121 Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja
Periode 2014-2019. Permenaker ini menggunakan beberapa peraturan sebelumnya dengan
beberapa alasan. Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
pihak Kementerian Ketenagakerjaan menggunakan undang-undang ini dijadikan landasan
dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 disebabkan dalam melakukan pengawasan terhadap
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
lembaga penyalur didaerah-daerah yaitu provinsi yang dimana diawasi oleh kabupaten/kota.
Oleh karena itu, permenaker ini menggunakan Undang-Undang No.23 Tahun 2014 sebagai
landasannya.
Selain itu, Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 menggunakan Peraturan Pemerintah No.38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan Keputusan Presiden Nomor 121
Tahun 2014 tentang Pembentukan Kementerian dan Pengangkatan Menteri Kabinet Kerja
Periode 2014-2019. Hal ini disebabkan pada Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 agar
jelas pembagian tugas dan wewenang antara provinsi dan daerah dalam permenaker ini
supaya tidak terjadi tumpang tindih wewenang. Sedangkan, pada Keputusan Presiden Nomor
121 Tahun 2014, pihak Kementerian Ketenagakerjaan menggunakannya sebagai landasan
dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 menjelaskan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan
ini mempunyai landasan hukum di dalam pembentukannya sehingga mereka berhak membuat
permenaker.
Pembahasan draft Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 2 Tahun 2015
memfokuskan pada lembaga penyalur PRT. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yang
menyebabkan Permenaker ini memfokuskan pada lembaga penyalur PRT, yakni jam kerja
dan tempat tinggal. Pertama adalah dari segi jam kerja. Mengenai waktu kerja, ketentuan
dalam UU Ketenagakerjaan yang terdapat dalam Pasal 77 dapat digunakan sebagai
perbandingan, yaitu:
a. 7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
b. 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Ketentuan mengenai waktu kerja ini perlu dilihat terkait adanya wacana memberlakukan
hari libur bagi PRT, dimana dalam UU Ketenagakerjaan bagi pengusaha yang
mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja harus membayar upah kerja lembur dan
harus memenuhi syarat berikut:
1. Terdapat persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
2. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14
jam dalam 1 minggu.
Seperti yang diketahui, PRT di Indonesia sendiri bekerja lebih dari tujuh jam sehari.
Apabila mengacu kepada UU Ketengakerjaan, jika PRT bekerja lebih dari tujuh jam maka
para pengguna PRT harus membayar uang lembur mereka dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Dengan begitu hal ini akan memberatkan para pengguna PRT.
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Selain mengenai jam kerja, hal yang menyebabkan pembahasan draft memfokuskan
kepada lembaga penyalur PRT yaitu tempat tinggal. Tempat tinggal ini masih berkaitan
dengan jam kerja bagi pekerja rumah tangga. Pekerja rumah tangga tidak hanya bekerja
didaerah dimana mereka tinggal, tetapi juga ada pekerja rumah tangga yang bekerja diluar
daerah. Jika pekerja rumah tangga bekerja didaerah dimana PRT tersebut tinggal maka saat
mereka telah menyelesaikan pekerjaannya mereka dapat pulang ke rumahnya, tetapi jika
pekerja rumah tangga yang bekerja diluar daerah hal ini tidak memungkinkan mereka untuk
pulang sehingga mereka membutuhkan tempat tinggal. Kemudian jika pekerja rumah tangga
yang tinggal dengan pemberi kerja tetap di anggap sebagai waktu kerja lembur. Sedangkan
menurut UU Ketenagakerjaan maksimal hanya tiga jam dalam sehari. Hal ini bertentangan
dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam menjalankan pekerjaan, PRT masuk dalam
situasi pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal,
sehingga tidak ada pengawasan dari instansi terkait. Oleh karena itu, Permenaker ini lebih
memfokuskan kepada lembaga penyalur PRT. Pemerintah ingin melindungi PRT dari
penyalur-penyalur yang tidak bertanggung jawab atas PRT yang telah disalurkannya.
Pada Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 ini tidak menggunakan Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan jika menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan
maka dalam permenaker ini harus memuat peraturan mengenai jam kerja, upah, cuti dan
lembur PRT, sedangkan hal tersebut jika diatur dalam permenaker ini akan sulit. Oleh karena
itu dalam permenaker ini tidak menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pada
pembuatan permenaker mengenai perlindungan PRT ini ada beberapa kendala yang dihadapi.
Permenaker ini tidak dapat sepenuhnya mengatur tentang PRT karena seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa untuk mengatur jam kerja dan upah PRT itu susah untuk diatur
karena itu hanya perjanjian antara si pengguna PRT dan PRT. Kemudian untuk mengatasi
proses penyelisihan antara si pengguna PRT dan PRT akan susah diatur jika hanya
menggunakan peraturan menteri. Hal ini disebabkan dalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2015
terkait dengan sanksi yang diberikan hanya menggunakan sanksi administratif. Sanksi
administratif tersebut berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh
kegiatan usaha lembaga penyalur PRT dan pencabutan izin oleh Gubernur.
Disahkannya Permenaker No.2 Tahun 2015
Setelah menyusun draft tersebut, dibuatlah hal-hal yang akan menjadi isi dari
permenaker tersebut. Kemudian setelah semuanya setuju dengan isi dari draft permenaker
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
tersebut akan diparaf oleh Sekjen dan ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan. Setelah
draft permenaker tersebut ditandatangani, draf tersebut dikirim ke Kementerian Hukum dan
HAM untuk dimasukkan dalam berita acara negara.
Analisis Proses Terbentuknya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 2 Tahun
2015
Peraturan Menteri Ketengakerjaan RI Nomor 2 Tahun 2015 ditetapkan pada tanggal 19
Januari 2015. Peraturan menteri ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap
pekerja rumah tangga (PRT) dengan tetap menghormati kebiasaan, budaya, dan adat istiadat
setempat. Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 memfokuskan pada lembaga penyalur PRT
namun terdapat pula penjelasan mengenai PRT dan pengguna. Berikut merupakan rangkuman
isi dari Permenaker Nomor 2 Tahun 2015.
Tabel 3.1
Rangkuman Isi Permenaker Nomor 2 Tahun 2015
No Terkait Mengenai
1 Pekerja Rumah Tangga;
terdapat dalam Bab 2, pasal
4-8
• Persyaratan PRT. (Pasal 4)
• PRT dan Pengguna PRT wajib
membuat perjanjian kerja tertulis atau
lisan yang memuat hak dan kewajiban
yang dapat dipahami oleh kedua belah
pihak serta diketahui oleh ketua RT.
(Pasal 5 dan Pasal 6)
• Hak dan kewajiban dari PRT. (Pasal 7
dan Pasal 8)
2 Pengguna Pekerja Rumah
Tangga; terdapat dalam Bab
3, pasal 9-11
• Persyaratan Pengguna PRT. (Pasal 9)
• Hak dan kewajiban dari Pengguna PRT.
(Pasal 10 dan Pasal 11)
3 Lembaga Penyalur Pekerja
Rumah Tangga; terdapat
dalam Bab 4-6, pasal 12-27
• Lembaga Penyalur PRT yang akan
menyalurkan PRT wajib memiliki Surat
Izin Usaha Lembaga Penyalur PRT
(SIU LPPRT) dari Gubernur atau
pejabat yang ditunjuk. (Pasal 12-25)
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
• Lembaga Penyalur PRT diberi
pembinaan dan pengawasan oleh
Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk.(Pasal 26)
• Sanksi administratif yang akan
dikenakan kepada LPPRT yang
melanggar berupa peringatan tertulis,
penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan usaha LPPRT dan
pencabutan izin. (Pasal 27) Sumber : Olahan Peneliti, 2016
Pada pekerja rumah tangga, di peraturan menteri ini berisikan mengenai persyaratan PRT
seperti memiliki dokumen identitas diri, minimal berusia 18 tahun dan mendapat izin dari
suami atau istri bagi PRT yang sudah berkeluarga. Lebih lanjut, pengguna dan PRT wajib
membuat perjanjian kerja tertulis atau lisan yang memuat hak dan kewajiban yang dapat
dipahami oleh kedua belah pihak serta diketahui oleh ketua RT. Kemudian berisikan
mengenai hak dan kewajiban dari PRT. Pada pengguna PRT, peraturan menteri ini
menjelaskan mengenai persyaratan pengguna seperti mempunyai penghasilan yang tetap,
memiliki tempat tinggal yang layak, dan sehat jasmani dan rohani. Kemudian berisikan
mengenai hak dan kewajiban dari pengguna PRT.
Pada lembaga penyalur PRT, peraturan menteri ini menuliskan bahwa lembaga penyalur
PRT yang akan menyalurkan PRT wajib memiliki Surat Izin Usaha Lembaga Penyalur PRT
(SIU LPPRT) dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Jika ingin memperoleh SIU-LPPRT
harus mengajukan permohonan secara tertulis dan melampirkan beberapa copy surat-surat
penting seperti akte pendirian dan/atau perubahan badan usaha, anggaran dasar, surat
keterangan domisili perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bukti kepemilikan
sarana dan prasarana, bagan struktur organisasi dan personil serta rencana kerja minimal satu
tahun. SIU-LPPRT memiliki jangka waktu paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama lima tahun. Lembaga penyalur PRT wajib memberikan
laporan mengenai jumlah dan data PRT yang disalurkan kepada Gubernur atau pejabat yang
ditunjuk. Kemudian Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaporkan jumlah LPPRT dan data
PRT di wilayahnya kepada Menteri setiap enam bulan.
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Lembaga Penyalur PRT diberi pembinaan dan pengawasan oleh Gubernur atau pejabat
yang ditunjuk. Pembinaan dan pengawasan ini meliputi pendataan jumlah LPPRT dan jumlah
PRT yang disalurkan, penertiban perizinan dan evaluasi kinerja LPPRT, pelayanan perizinan
LPPRT melalui sistem online agar mudah diakses oleh publik, penguatan jejaring pengawasan
sampai tingkat lingkungan rukun tetangga dalam rangka pembinaan dan pencegahan terhadap
timbulnya kasus kekerasan terhadap PRT serta pemberian sanksi administratif kepada LPPRT
yang melanggar ketentuan. Sanksi administratif yang akan dikenakan kepada LPPRT yang
melanggar berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
usaha LPPRT dan pencabutan izin.
Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 memiliki kelebihan dan kekurangan didalamnya.
Kelebihan dalam permenaker ini yakni telah adanya peraturan mengenai pelarangan
mempekerjakan pekerja rumah tangga anak. Setidaknya Pemerintah mempunyai komitmen
untuk melarang mempekerjakan anak dibawah umur 18 tahun. Walaupun sebenarnya masih
adanya pekerja rumah tangga anak. Kekurangan pada permenaker ini yaitu dalam
pembuatannya tidak partisipatif. Hal ini disebabkan pihak Kementerian Ketenagakerjaan
hanya menggunakan masukan-masukan yang sebelumnya digunakan untuk pembuatan
Undang-Undang. Pihak Kementerian Ketenagakerjaan tidak mengikutsertakan pihak-pihak
terkait yang nantinya akan merasakan langsung dampak dari kebijakan baru ini.
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan draft dari Permenaker Nomor 2 Tahun
2015, Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 ini lebih memfokuskan kepada lembaga penyalur
PRT. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal sehingga memfokuskan kepada lembaga penyalur
PRT, yakni jam kerja dan upah. Berdasarkan hal tersebut, penulis berpendapat bahwa penulis
menyetujui kebijakan yang dibuat untuk melindungi PRT dalam bentuk Permenaker Nomor 2
Tahun 2015 lebih memfokuskan kepada lembaga penyalur. Jika memfokuskan kepada PRT
maka pengangguran di Indonesia akan semakin bertambah. Hal ini berkaitan dengan upah dan
jam kerja yang akan sulit untuk diatur jika permenaker memfokuskan kepada PRT. Apabila
memfokuskan kepada PRT, setidaknya dalam Permenaker akan menggunakan Undang-
Undang No.13 tahun 2003 yang mana terkait jam kerja hanya 7 hingga 8 jam dalam sehari
dan jika bekerja lebih dari jam kerja tersebut maka akan dikenakan upah lembur. Seperti yang
diketahui, PRT di Indonesia bekerja melebihi 8 jam sehari dengan begitu para pengguna PRT
harus membayar upah lembur mereka. Jika hal ini diterapkan maka banyak para pengguna
PRT akan berfikir kembali untuk menggunakan PRT sehingga terjadinya peningkatan
pengangguran.
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Namun Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 ini belum cukup kuat untuk melindungi PRT.
Hal ini dikarenakan didalam Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 hanya terdapat sanksi
admnistratif saja yaitu berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau
seluruh kegiatan usaha lembaga penyalur PRT dan pencabutan izin. Jika hanya dengan sanksi
administratif saja ini belum menjadi suatu produk hukum yang kuat dalam melindungi pekerja
rumah tangga. Dengan tidak adanya sanksi pidana maka tidak akan dapat menjadi alat dalam
menyelesaikan permasalah dalam perlindungan pekerja rumah tangga. Selain itu, sanksi
administratif pun dapat disepelekan oleh berbagai pihak karena hukumnya tidak terlalu kuat.
Misalnya saja lembaga penyalur A mendapatkan sanksi administratif yaitu pencabutan izin.
Hal tersebut tidak mempengaruhi dia untuk terus menjalankan penyaluran pekerja rumah
tangga. Pengusaha lembaga penyalur A ini dapat membuat lembaga penyaluran yang baru
dengan nama yang baru dan tempat yang baru dengan membuatnya ke notaris. Oleh karena
itu, permenaker ini masih dianggap kurang di dalam melindungi PRT yang menunjukkan
bahwa pemerintah belum sepenuhnya komitmen dalam melindungi PRT. Diharapkan dengan
adanya permenaker ini menjadi tahap awal untuk mencapai perlindungan PRT yang lebih baik
lagi.
Kesimpulan
Proses terbentuknya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 2 Tahun 2015 memiliki 3
tahapan, yakni pertama masukan-masukan dari masyarakat, kedua pembuatan draft
Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 dan ketiga disahkannya Permenaker Nomor 2 Tahun 2015.
Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 memfokuskan kepada lembaga penyalur. Hal ini
disebabkan terdapat beberapa hal yang akan sulit diterapkan jika memfokuskan kepada PRT
seperti jam kerja dan upah. Upaya pemerintah dalam melindungi pekerja rumah tangga anak
telah terlihat dengan adanya pelarangan dalam permenaker ini. Namun permenaker ini masih
belum cukup kuat untuk melindungi PRT dan kurang partisipatif dalam pembuatannya.
Saran
Adapun saran yang peneliti rumuskan untuk Kementerian Ketenagakerjaan RI yaitu
mengingat fokus dari Permenaker Nomor 2 Tahun 2015 pada lembaga penyalur PRT
diharapkan dalam implementasinya Permenaker ini dilakukan dengan lebih baik dalam
melakukan pengawasan terhadap lembaga penyalur PRT. Jika ada perbaikan dalam
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Permenaker ini diharapkan dapat partisipatif sehingga dapat melibatkan pihak-pihak terkait
yang berdampak langsung dalam kebijakan ini.
Daftar Referensi
Buku Anderson, James. 1969. Public Policy Making. New York : Holt, Renehart, and Winston.
Birkland, Thomas A. 2001. An Introduction To The Policy Process. New York: M.E. Sharpe, Inc.
Eyestone, Robert. 1971. The Threads of Policy : A Study in Policy Leadership. Indianapolis : Bobs-Merril.
Jones, Charles O. 1984. An Introduction to The Study of Public Policy. Monterey : Books / Cole Publishing Company.
_____________. 1996. An Introduction to The Study of Public Policy. Belmont CA : Wodsworth.
Lester, James P, Joseph Stewart. 2000. Public Policy : An Evolutionary Approach. United States of America : Wadsworth.
Nugroho, Riant. 2004. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta : Gramedia.
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Waluyo. 2007. Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi, dan Implementasinya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah). Bandung : Penerbit Mandar Maju.
Widodo, Joko. 2007. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta : Bayu Media Publishing.
Young, Eoin dan Lisa Quinn. 2002. Writing Effective Public Policy Paper : a Guide of Edvisers in Central and eastern Europe. Budapest : Local Government and Public Service Reform Initiative.
Jurnal Hidayati, Maslihati Nur. 2011. Upaya Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Sebagai
Kelompok Masyarakat Yang Termarjinalkan di Indonesia. Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, Vol . 1, No. 1 (Maret).
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016
Web Admin. 2012. UU Perlindungan PRT: Kebutuhan Penting dan Mendesak bagi Pekerja
Rumah Tangga!. http://icjr.or.id/uu-perlindungan-prt-kebutuhan-penting-dan-
mendesak-bagi-pekerja-rumah-tangga/. Diakses pada 31 Januari 2016
Fitria, Apriliani Gita. 2014. Separuh PRT di Indonesia Alamin Kekerasan.
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/02/25/173557339/separuh-prt-di-indonesia-
alami-kekerasan. Diakses pada 10 Oktober 2015.
Grehenson, Gusti. 2011. 16 Juta PRT Rentan Kekerasan, Diskriminasi dan Eksploitasi.
http://ugm.ac.id/id/berita/3847-
16.juta.prt.rentan.kekerasan.diskriminasi.dan.eksploitasi. Diakses pada 30 September
2015.
Oki. 2012. Profesi PRT miskin penghargaan, rentan kekerasan.
http://www.gresnews.com/berita/sosial/848142-profesi-prt-miskin-penghargaan-
rentan-kekerasan/0/. Diakses pada 19 November 2015.
Sihombing, Agustinus. 2015. Dilema Pembantu Rumah Tangga. http://batampos.co.id/13-01-
2015/dilema-pembantu-rumah-tangga/. Diakses pada 4 Oktober 2015.
Sufa, Ira Guslina. 2013. 10,7 juta PRT Bekerja Tanpa Perlindungan.
https://nasional.tempo.co/read/news/2013/09/02/173509312/10-7-juta-prt-bekerja-
tanpa-perlindungan. Diakses pada 31 Januari 2016
Wicaksono, Pribadi. 2013. Pembantu Rumah Tangga Tuntut Perlindungan Perda. https://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/15/058461584/pembantu-rumah-tangga-tuntut-perlindungan-perda. Diakses pada 31 Januari 2016.
Produk Hukum dan Dokumen Negara
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Dokumen Lembaga
Konvensi ILO 189 mengenai kerja layak bagi pekerja rumah tangga
Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(CEDAW)
Lainnya
JALA PRT. 2015. Presentasi Data Kekerasan Terhadap PRT 2012-2015.
Analisis Proses ..., Choirinnisa, FISIP UI, 2016