analisis pengaruh work-life balance dan emotional
TRANSCRIPT
Analisis Pengaruh Work-life Balance dan Emotional Exhaustion terhadap In-role Performance yang Dimediasi oleh Komitmen Afektif (Studi Kasus:
Perawat Rumah Sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta) Sarah Aninidha, Aryana Satrya
Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Depok, 16324
E-mail: [email protected]
Abstrak
Work-life balance, emotional exhaustion, dan komitmen afektif dapat memengaruhi in-role performance seorang pekerja. Profesi perawat memiliki potensi untuk memiliki permasalahan work-life balance dan kondisi emotional exhaustion karena banyak menghabiskan waktu di tempat kerja. Untuk dapat menjaga in-role performance dari para perawat, rumah sakit tempat perawat bekerja dapat mempertimbangkan untuk memberikan work-life balance dan meminimalisir terjadinya emotional exhaustion yang dialami perawat melalui penciptaan komitmen afektif para perawat. Sampel dalam penelitian ini adalah 195 perawat rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta. Data diolah menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa work-life balance dan penurunan emotional exhaustion untuk mencapai in-role performance dapat tercipta jika pengelola rumah sakit dapat membentuk komitmen afektif para perawat.
Abstract
Causal Analysis of Work-life Balance and Emotional Exhaustion toward In-role Performance Mediated by Affective Commitment
(Case Study: Hospital Nurse at D.I. Yogyakarta Province)
Work-life balance, emotional exhaustion, and affective commitment can influence in-role performance of a worker. Nurses has the potential to experience work-life balance problems and emotional exhaustion conditions because they spend a lot of time at workplace. To maintain performance of the nurses, the hospital may consider to provide work-life balances and minimizing the occurrence of emotional exhaustion experienced by nurses through the creation of affective commitment of the nurses. The sample in this study was 195 hospital nurses in D.I Province. Yogyakarta. The data were processed using Structural Equation Modeling (SEM). The results showed that work-life balance and decreased emotional exhaustion to achieve in-role performance can be created if hospital managers can establish affective commitment of nurses. Key Words:
Work-life Balance, Emotional Exhaustion, Affective Commitment, In-role Performance, Hospital Nurses
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Pendahuluan
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2016, Pemerintah Indonesia giat untuk
melakukan pembangunan kesehatan sebagai bentuk perwujudan dari salah satu hak dasar
warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Dalam upaya melakukan pembangunan
kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang, maka rumah sakit merupakan salah satu institusi yang berperan penting dalam
pembangunan kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Salah satu upaya pembangunan kesehatan dilakukan dengan penyelenggaraan program JKN
atau Jaminan Kesehatan Nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Program JKN
diperluas dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk
memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh kepada masyarakat Indonesia (BPJS
Kesehatan, 2014). Dalam hal ini BPJS Kesehatan bekerja sama dengan rumah sakit.
Pada tahun 2015 jumlah peserta BPJS Kesehatan di Provinsi D.I. Yogyakarta menempati
posisi ke-8 dengan persentase sebesar 68,05% dan memiliki Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) yang tinggi dengan persentase 77,59%. Bahkan angka IPM D.I. Yogyakarta sebesar
1,02% merupakan hasil peningkatan yang paling tinggi jika dibandingkan dengan provinsi
lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Indikator IPM yang tinggi ditunjang oleh fasilitas
pembangunan kesehatan yang baik. Salah satu indikatornya adalah jumlah tempat tidur
rumah sakit, yakni mencapai 2,94 per 1000 penduduk di Provinsi D.I. Yogyakarta, yang
menduduki peringkat pertama di Indonesia.
Peningkatan pelayanan kesehatan di Provinsi D.I. Yogyakarta juga diiringi dengan
peningkatan jumlah rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta. Selama 10
tahun terakhir ini, jumlah rumah sakit meningkat dari 40 rumah sakit pada akhir tahun 2006
menjadi 74 rumah sakit pada akhir tahun 2015 (Dinas Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta,
2016). Pertambahan jumlah rumah sakit tersebut akan meningkatkan persaingan antar rumah
sakit, sehingga rumah sakit perlu berlomba-lomba untuk mempertahankan kinerja yang baik.
Peningkatan jumlah rumah sakit di D.I. Yogyakarta selama 10 tahun terakhir juga diiringi
peningkatan beban kerja yang dialami oleh perawat rumah sakit. Data BPS pada tahun 2006
menunjukkan bahwa dengan adanya 1.482 perawat dan jumlah pasien sebanyak 549.071,
maka setiap satu perawat harus melayani 371 pasien. Namun data BPS pada tahun 2015
menunjukkan bahwa 4.948 perawat harus menangani pasien sebanyak 7.975.807, sehingga
seorang perawat harus melayani 1.612 pasien setiap tahunnya. Beban kerja yang meningkat
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
akan menimbulkan kelelahan dan stres di tempat kerja, sehingga pelayanan yang diberikan
tidak akan optimal karena adanya penurunan kinerja perawat (Tappan, 1998).
Untuk dapat bertahan dan bersaing dengan rumah sakit lainnya, maka rumah sakit perlu
mempertahankan kinerja atau performance para pekerjanya, khususnya perawat. Profesi
perawat berperan penting karena perawat merupakan pekerja dalam rumah sakit yang
berhubungan langsung dengan pasien (Zulmiati, 2010), dan melakukan pemeliharaan
kesehatan dan penjagaan mutu pelayanan kesehatan (Aditama, 2004). 2001). Rumah sakit di
Provinsi D.I. Yogyakarta perlu memiliki kebijakan yang memungkinkan perawat memiliki
performa kerja yang baik sehingga performa rumah sakitpun juga akan baik.
Untuk dapat menjaga kesinambungan organisasi, rumah sakit harus menjaga in-role
performance dari para pekerja di dalamnya karena in-role performance merupakan kunci
sukses bagi organisasi dalam mencapai tujannya (Kim, 2014). Didorong oleh hal tersebut,
maka saat ini sudah banyak organisasi yang mencari berbagai cara untuk dapat memotivasi
para pekerja di dalamnya (Kim, 2014). Salah satu cara yang dapat digunakan rumah sakit
untuk menjaga in-role performance dari para pekerja adalah dengan memperhatikan work-life
balance dan meminimalisir terjadinya emotional exhaustion.
Dex dan Bond (2005), menyatakan bahwa work-life balance merupakan kondisi ketika
seorang pekerja dapat memenuhi kebutuhan dan dapat mencapai keseimbangan hidup, baik
kehidupan di dalam dan di luar pekerjaan. Apabila work-life balance tidak tercapai, maka
dapat menyebabkan kinerja yang buruk dan tingginya ketidakhadiran (absenteeism) para
perawat yang bekerja di rumah sakit (Frone, Yardley, dan Markel, 1997). Adanya work-life
balance dapat meningkatkan kepuasan kerja dan meningkatkan komitmen para perawat
dalam bekerja di rumah sakit (Cegarra-Leiva, Sánchez-Vidal, dan Cegarra-Navarro, 2012).
Emotional exhaustion merupakan salah satu dimensi dalam job burnout (Maslach, 1981).
Emotional exhaustion merupakan tekanan yang dihasilkan dari stres di tempat kerja
(Cropanzano dan Rupp, 2003). Emotional exhaustion merupakan variabel sentral yang dapat
digunakan untuk memahami proses terjadinya burnout (Baba, Jamal, dan Tourigny, 1998).
Emotional exhaustion yang dirasakan oleh perawat juga dapat menurunkan performance
kerja dari para perawat (Cropanzano dan Rupp, 2003). Leiter dan Maslach (1988)
menunjukkan jika emotional exhaustion yang dialami oleh pekerja dapat menurunkan
komitmen organisasi, khususnya komitmen afektif.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Mengacu pada berbagai uraian tersebut, peneliti ingin melakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh work-life balance, emotional exhaustion, komitmen afektif, dan in-role
performance dari perawat yang bekerja di rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta. Adanya
sistem giliran kerja (shift) pada perawat rumah sakit berpotensi untuk muncul permasalahan
mengenai work-life balance dan emotional exhaustion yang sering dialami oleh para perawat
sehingga dapat memengaruhi performa kerja (in-role performance) dan komitmen afektif
yang dimiliki oleh perawat.
Tinjauan Teoritis
Work-life Balance
Work-life balance dapat dideskripsikan sebagai tingkat kepuasan seseorang atas keterlibatan
dirinya untuk merasa cocok dengan peran yang dimilikinya dalam hidup, baik peran di dalam
pekerjaan maupun peran dalam keluarga (Lazăr, Codruţa, & Patricia, 2010). Dex dan Bond
(2005) menjabarkan work-life balance sebagai keseimbangan dalam kehidupan di rumah,
keseimbangan kehidupan sosial bersama teman di luar lingkungan kerja, adanya waktu luang,
adanya perhatian terhadap kesehatan, dan semangat yang dimiliki oleh pekerja dalam
menyelesaikan pekerjaannya.
Work-life Balance pada In-role Performance
Work-life balance yang dimiliki oleh seorang pekerja akan secara postif berhubungan dengan
performance yang dihasilkan dan juga akan berdampak performa organisasi (Harrington dan
Ladge, 2009). Work-life balance telah terbukti memiliki dampak postif berupa rendahnya
turnover intention, peningkatan performance, dan meningkatnya kepuasan kerja (Cegarra-
Leiva, Sánchez-Vidal, dan Cegarra-Navarro, 2012). Magnini (2009) mengemukakan bahwa
work-life balance berkontribusi dalam meningkatkan in-role performance yang dimiliki oleh
pekerja. Dengan adanya well-being dan harmonisasi dalam kehidupan, akan membuat pekerja
dapat berkonsentrasi dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga akan menghasilkan
performance yang lebih baik (Kim, 2014)
Work-life Balance pada Komitmen Afektif
Adanya work-life balance diharapkan dapat memenuhi kebutuhan psikologis dari para
pekerja dalam menyeimbangkan kehidupan dalam pekerjaan dan keluarga (Kim, 2014).
Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa adanya work-life balance akan
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
berkontribusi pada perbaikan dalam evaluasi dalam organisasi dan meningkatkan komitmen
afektif para pekerja (Muse, 2008).
Emotional Exhaustion
Emotional exhaustion merupakan dimensi paling penting dari job burnout. Job burnout dapat
didefinisikan sebagai salah satu bentuk dari stres kerja yang terjadi pada seorang individu,
yang biasanya terjadi pada individu yang bekerja di bidang jasa (Maslach dan Jackson, 1986).
Kondisi emotional exhaustion terjadi ketika sumber daya emosional individu semakin
berkurang, sehingga individu tersebut tidak lagi dapat bekerja dengan kondisi psikologis
yang dirasakan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya rasa lelah berkepanjangan dan tekanan
individu yang dapat diketahui melalui perasaan over-extended dan merasa tidak bertenaga
pada kondisi fisik dan emosional seseorang (Maslach dan Jackson 1981).
Komitmen Afektif
Komitmen afektif merupakan bagian dari komitmen organisasi (Allen dan Meyer, 1991).
Menurut Allen dan Meyer (1991), komitmen afektif merupakan komitmen yang dapat
menunjukkan ikatan emosional yang dimiliki seorang individu dengan organisasi yang
menaunginya. Individu yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan memiliki tujuan dan
nilai-nilai yang sama dengan organisasi tempat mereka bekerja (Allen dan Meyer, 1991). Hal
ini dapat terjadi karena individu tersebut menikmati keanggotaannya dalam organisasi dan
merasa bahwa keberadaan mereka dalam organsiasi merupakan suatu hal yang penting. Suatu
individu yang bertahan dalam organisasi akan memiliki komitmen afektif di dalam organisasi
karena adanya keinginan dari dalam diri sendiri untuk bertahan. Komitmen afektif dapat
mencakup tiga hal, yaitu kuatnya keyakinan yang dimiliki disertai tingginya penerimaan atas
tujuan dan nilai-nilai penting dalam organisasi, adanya kemauan untuk melakukan usaha
mendukung organisasi, dan adanya keinginan yang kuat untuk bertahan dalam organisasi.
In-role performance
In-role performance merupakan bagian dari job performance (Campbell, 1990). Campbell
(1990) mengemukakan jika in-role performance berkaitan dengan kemampuan seorang
pekerja untuk dapat menyelesaikan tugasnya, baik tugas yang bersifat umum maupun tugas
spesifik. Williams dan Anderson (1991) mendefinisikan in-role performance sebagai
pembentukan perilaku yang dilakukan oleh organisasi agar pekerjanya dapat bekerja sesuai
dengan perilaku yang diinginkan oleh organisasi. Jex dan Britt (2002) mendefinisikan in-role
performance sebagai hasil kinerja dari para pekerja yang dilihat dari segi aspek teknikal
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
dalam penyelesaian pekerjaan. Van Dyne dan LePine (1998) menjabarkan in-role
performance sebagai perilaku yang diharapkan dapat dicapai oleh pekerja di dalam suatu
organisasi dan merupakan dasar dari job performance reguler yang ada.
Emotional Exhaustion pada In-role Performance
Pada penelitian yang dilakukan oleh Cropanzano dan Rupp (2003), emotional exhaustion
yang dialami oleh tenaga kesehatan akan menyebabkaan penurunan in-role performance. In-
role performance perawat menurut Bakker dan Heuven (2006) terdiri dari pemberian injeksi
ke pasien, menyediakan makanan, dan memandikan pasien. Ketika para perawat merasakan
kelelahan (exhaustion) yang berlebihan dan kelelahan tersebut ditimbulkan karena kerja yang
berlebihan, maka akan menyebabkan penurunan in-role performance (Cropanzano dan Rupp,
2003). Jika terjadi penurunan in-role performance, hal tersebut akan memengaruhi tingkat
pencapaian tujuan organisasi, semakin buruk in-role performance dari para pekerja, maka
tujuan organisasi akan semakin sulit untuk dicapai (Bakker dan Heuven, 2006)
Emotional Exhaustion pada Komitmen Afektif
Adanya emotional exhaustion dapat menyebabkan penurunan komitmen dari para pekerja,
khususnya komitmen afektif (Cropanzano dan Rupp, 2003). Komitmen Organisasi
merupakan salah satu pekerjaan yang dipengaruhi oleh job burnout (Gemlik, Sisman, dan
Sigri, 2010). Job burnout memiliki pengaruh negatif terhadap komitmen organisasi
khususnya komitmen afektif dan dari masing-masing dimensinya, yang diprediksi
menimbulkan komitmen afektif yang rendah diseabkan oleh adanya emotional exhaustion
(Leiter dan Maslach, 1988). Emotional exhaustion akan menyebabkan pengaruh negatif
terhadap komitmen organisasi (Moon, Hur, dan Jun, 2013).
Komitmen Afektif pada In-role Performance
Swailes (2004) berpendapat jika pencapaian dalam in-role performance dapat dipengaruhi
oleh komitmen afektif yang dimiliki oleh pekerja. Dengan adanya komitmen afektif, akan
mendorong para pekerja dalam suatu organisasi untuk berkontribusi dalam perbaikan
performance dari organisasi (Meyer, Paunonen, Gellatly, Goffin, dan Jackson 1989).
Zimbarado (1985) menyatakan jika seorang individu memiliki perasaan emosional kepada
organisasi tempat mereka bekerja, maka individu tersebut akan melakukan aksi yang
berdampak pada performance individu maupun organisasi. Hal ini sangat memungkinkan
karena individu dengan komitmen afektif yang tinggi, maka emosi yang dimiliki akan dapat
memotivasi perilaku pekerja dalam mencapai tujuan organisasi (Kim, 2014).
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Metode Penelitian
Peneliti melakukan pengujian terhadap model penelitian yang dikembangkan dari model
penelitian yang dikembangkan oleh Kim (2014) dan Cropanzano & Rupp (2003).
Gambar 1. Penggabungan model penelitian Kim (2014) dengan model penelitian Cropanzano & Rupp (2003)
Berikut ini adalah hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini:
Work-life balance
Pada penelitian yang dilakukan oleh Magnini (2009) menyatakan adanya pengaruh positif
work-life balance terhadap peningkatan in-role performance dari seorang pekerja. Dengan
adanya keseimbangan dalam hidup yang dimiliki, maka diyakini performa kerja juga akan
meningkat. Selain itu, dengan adanya work-life balance akan berdampak pada komitmen
afektif yang dimiliki oleh pekerja dengan organisasi yang menaunginya (Kim, 2014).
H1 - Work-life balance berpengaruh positif terhadap in-role performance
H2 - Work-life balance berpengaruh positif terhadap komitmen afektif
Emotional Exhaustion
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Cropanzano dan Rupp (2003), pekerja yang
menghasilkan servis, akan berpotensi mengalami kelelahan di tempat kerja yang disebabkan
oleh beban kerja yang cukup berat dan faktor utama yang menyebabkan kelelahan di tempat
kerja adalah kondisi emotional exhaustion yang dialami oleh para pekerja, sehingga
berdampak pada performa kerja yang dimiliki. Selain itu, emotional exhaustion juga dapat
berdampak pada menurunnya komitmen organisasi, khususnya komitmen afektif (Hilton,
2015).
H3 - Emotional exhaustion berpengaruh positif terhadap in-role performance
H4 - Emotional exhaustion berpengaruh positif terhadap komitmen afektif
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Komitmen afektif
Swailes (2004) menyatakan jika pencapaian in-role performance dapat dipengaruhi oleh
adanya komitmen afektif yang dimiliki oleh para anggotanya. Ketika seorang anggota telah
terikat secara afektif dan memiliki komitmen kepada organisasinya, maka akan terjadi
peningkatan pencapaian in-role performance dari para anggotanya (Kim, 2014). Selain itu,
dalam penelitian ini juga ingin dibuktikan jika komitmen afektif dapat berperan sebagai
mediator atau penghubung antara work-life balance dan emotional exhaustion terhadap
pencapaian in-role performance.
H5 - Komitmen Afektif berpengaruh positif terhadap in-role performance
H6 - Komitmen afektif memediasi pengaruh work-life balance terhadap tingkat in-role
performance
H7 - Komitmen afektif memediasi pengaruh emotional exhaustion terhadap tingkat in-
role performance
Dalam melakukan penelitian ini, data penelitian akan diolah menggunakan Structural
Equation Modeling (SEM) dengan software Lisrel 8.51. Data yang terkumpul berasal dari
195 responden. Untuk mengukur work-life balance didasarkan pada pengukuran yang
dikembangkan oleh Dex dan Bond (2005) dengan menggunakan checkscale7, sedangkan
untuk mengukur emotional exhaustion didasarkan pada alat ukur yang dikembangkan oleh
Maslach dan Jackson (1986). Pengukuran komitmen afektif memakai alat ukur yang
dikembangkan oleh Allen dan Meyer (1990), sedangkan pengukuran in-role performance
didasarkan pada alat ukur yang dikembangkan oleh Williams dan Anderson (1991).
Pembahasan
Setelah dilakukan pengolahan data didapatkan jika seluruh indikator pengukuran telah
memiliki validitas dan reliabilitas yang baik karena nilai SLF ≥ 0,5 dengan rentang 0,5 –
0,88; t-value ≥ 1,645 dengan rentang 6,92 – 15,25; CR ≥ 0,7 dengan rentang 0,82 – 0,9.
Nilai kecocokan model juga menunjukkan nilai yang baik dengan nilai RMSEA= 0,077;
SRMR= 0,077; NNFI= 0,83; IFI= 0,85; CFI= 0,85; ECVI, AIC, CAIC menunjukkan tingkat
kecocokan model yang baik. Selanjutnya dilakukan analisis hubungan kausal untuk
mengetahui pengaruh antar variabel.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Tabel 1. Analisis Hubungan Kausal
Hipotesis Lintasan (Path) SLF T-value Hasil
1 Work-life Balance à In-role Performance
0,14 1,59 Tidak Signifikan
2 Work-life Balance à Komitmen Afektif 0,18 2,20 Signifikan
3 Emotional Exhaustion à In-role Performance
-0,03 -0,33 Tidak Signifikan
4 Emotional Exhaustion à Komitmen Afektif
-0,25 -3,14 Signifikan
5 Komitmen Afektif à In-role Performance
0,32 3,25 Signifikan
Direct Effect
Indirect Effect
Total Effect
1 Work-life Balance à Komitmen Afektif à In-role Performance
0,14 0,0576 0,1976
2 Emotional Exhasution à Komitmen Afektif à In-role Performance
-0,03 -0,112 -0,1420
Gambar 2. Diagram Lintasan, Nilai SLF, T-value Output Model Struktural
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis 1 dan hipotesis 3 dapat diketahui bahwa tidak ada
pengaruh langsung yang signifikan dari variabel penelitian. Hipotesis 1 yang menyatakan
bahwa work-life balance berpengaruh terhadap in-role performance tidak terbukti karena t-
hasil pengujuan hipotesis menunjukkan bahwa nilai uji 1,59 lebih rendah dari pada nilai tabel
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
1,64. Hasil pengujian hipotesis ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim (2014)
yang menyatakan jika work-life balance tidak memengaruhi pencapaian in-role performance
para pekerja secara langsung. Tercapainya performa kerja yang baik dapat dicapai karena
adanya komitmen afektif yang dimiliki oleh perawat terhadap rumah sakit bekerja. Hipotesis
3 yang menyatakan jika emotional exhaustion berpengaruh terhadap in-role performance
tidak terbukti karena t-value -0,33 dan nilai SLF -0,03. Hasil pengujian hipotesis tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tourigny, Baba, Han, dan Wang (2013), yang
menunjukkan bahwa emotional exhaustion yang dialami para pekerja tidak memengaruhi
pencapaian performa kerja (in-role performance). Menurut Tourigny, Baba, Han, dan Wang
(2013), performa kerja dari perawat dikontrol oleh rumah sakit dan telah mengacu pada
standar profesional pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien. Adanya standar
profesional yang dikontrol langsung oleh rumah sakit akan menjaga tingkat pencapaian in-
role performance perawat, walaupun perawat sedang atau tidak mengalami kondisi emotional
exhaustion dalam bekerja.
Work-life balance dan emotional exhaustion terbukti memiliki pengaruh langsung terhadap
komitmen afektif yang signifikan dengan t-value 2,20 (work-life balance) dan -3,14
(emotional exhaustion) beserta nilai SLF 0,18 (work-life balance) dan -0,25 (emotional
exhaustion). Adanya usaha rumah sakit untuk memberikan work-life balance dan usaha untuk
meminimalisir emotional exhaustion dari para perawat menyebabkan terjadinya proses social
exchange theory. Jika suatu organisasi melakukan suatu usaha untuk para pekerjanya, maka
akan terjadi hubungan timbal balik antara pekerja dan pemberi kerja. Dengan memberikan
work-life balance dan meminimalisir terjadinya emotional exhaustion rumah sakit dinilai
telah melakukan suatu usaha untuk para perawat, sehingga sebagai ganti atas usaha yang
dilakukan oleh rumah sakit maka perawat akan meningkatkan loyalitas terhadap rumah sakit
tempat mereka bekerja. Adanya loyalitas tersebut dapat menunjukkan adanya ikatan
emosional yang kuat antara perawat dengan rumah sakit tempat mereka bekerja. Dampak
akan adanya ikatan emosional tersebut memungkinkan terjadinya pencapaian performa kerja
(in-role performance) yang baik. Pencapaian in-role performance dari para perawat perlu
dipertahankan oleh rumah sakit guna menjaga sustainable growth dari rumah sakit tempat
perawat bekerja. In-role performance dari para perawat juga merupakan kunci sukses bagi
suatu rumah sakit dalam mencapai tujuannya maka dari itu penting bagi rumah sakit untuk
menemukan cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan in-role performance dari para
pekerjanya.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Adanya komitmen afektif sebagai mediator dapat dibuktikan jika work-life balance dan
emotional exhaustion memiliki pengaruh tidak langsung terhadap in-role performance
melalui komitmen afektif. Untuk mengetahui peran komitmen afektif sebagai mediator, maka
perlu dilakukan perhitungan total effect. Total effect menunjukkan jika work-life balance dan
emotional exhaustion memiliki pengaruh tidak langsung terhadap in-role performance
dengan total effects sebesar 0,1976 (work-life balance) dan -0,1420 (emotional exhaustion).
Adanya pengaruh tidak langsung disebabkan karena adanya komitmen afektif sebagai
variabel mediasi sehingga peran mediasi dapat dibuktikan. Mediasi yang terbukti dalam
penelitian ini adalah full mediation. Mediasi penuh atau full mediation terjadi ketika variabel
independen dapat memengaruhi variabel dependen melalui variabel mediasi. Adanya work-
life balance dan usaha meminimalisir emotional exhaustion dapat memengaruhi pencapaian
in-role performance melalui adanya komitmen yang dimiliki oleh para pekerja. Berikut ini
adalah model penelitian akhir dari penelitian ini
Gambar 3. Hasil Model Penelitian Akhir
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, pada penelitian ini
diperoleh hasil penelitian yang meliputi lima hipotesis signifikan dan dua hipotesis tidak
signifikan. Berikut ini merupakan kesimpulan dan penjelasan lebih rinci terkait hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini:
1. Work-life balance tidak terbukti memiliki pengaruh positif terhadap pencapaian in-role
performance perawat rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
2. Work-life balance memiliki pengaruh positif terhadap tingkat komitmen afektif perawat
rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta.
3. Emotional exhaustion tidak terbukti memiliki pengaruh negatif terhadap pencapaian in-
role performance perawat rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta.
4. Emotional exhaustion memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat komitmen afektif para
perawat rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta.
5. Komitmen afektif tidak terbukti memiliki pengaruh positif terhadap pencapaian in-role
performance perawat rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta. Dengan meningkatnya
komitmen yang dimiliki perawat terhadap rumah sakit tempat perawat bekerja, maka hal
ini sejalan dengan pencapaian performa kerja dari para perawat.
6. Hubungan work-life balance terhadap pencapaian in-role performance perawat rumah
sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta terbukti dimediasi penuh oleh adanya komitmen afektif.
7. Hubungan emotional exhaustion terhadap pencapaian in-role performance perawat rumah
sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta terbukti dimediasi penuh oleh adanya komitmen afektif.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui jika adanya work-life balance dan emotional
exhaustion pada perawat rumah sakit di Provinsi D.I. Yogyakarta tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap performa kerja atau in-role performance dari para perawat. Dalam
penelitian ini ditemukan hubungan positif antara work-life balance dengan tingkat komitmen
afektif. Kemudian dalam penelitian ini juga ditemukan adanya pengaruh hubungan negatif
antara emotional exhaustion dengan tingkat komitmen afektif. Komitmen afektif dalam
penelitian ini memiliki peran mediasi penuh pada pengaruh work-life balance dan emotional
exhaustion terhadap pencapaian in-role performance, maka dari itu rumah sakit perlu
memperhatikan beberapa kebijakan untuk dapat menjaga performa kerja dari para perawat.
Secara keseluruhan, perawat di Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki permasalahan dalam
keseimbangan hidup yang dimiliki, terutama terbatasnya waktu untuk bersantai sehingga
mengalami kelelahan dengan pekerjaannya. Meskipun demikian, para perawat tetap dapat
melaksanakan tugas-tugas utamanya sesuai dengan deskripsi pekerjaan dengan adanya ikatan
emosional yang kuat di antara perawat sebagai keluarga besar dalam rumah sakit tempat
mereka bekerja.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Berikut ini beberapa hal yang dapat dilakukan oleh rumah sakit agar dapat menjaga performa
kerja dari para perawat. Pertama, untuk meningkatkan work-life balance para perawat,
pengelola rumah sakit dapat memberikan penjadwalan kerja yang teratur, memberikan
pelatihan time management, dan mempromosikan pola hidup sehat, sehingga perawat akan
dapat membagi waktunya, termasuk untuk dapat bersantai sejenak. Kedua, adanya emotional
exhaustion dapat diminimalisir dengan memberikan pelatihan pengelolaan emosi untuk
mengurangi kelelahan berlebih yang dialami.
Selain itu, pengelola rumah sakit dapat meningkatkan komitmen afektif melalui dukungan
sosial berupa pelaksanaan outbond atau rekreasi bagi perawat dan keluarga, melakukan studi
banding ke rumah sakit lain, menciptakan suasana kerja yang nyaman, dan mengadakan olah
raga bersama, misalnya senam atau yoga secara rutin. Hal tersebut akan meningkatkan ikatan
emosional antara perawat dengan rumah sakit, sehingga mereka menganggap rumah sakit
tempat mereka bekerja sebagai keluarga. In-role performance dapat dijaga dan ditingkatkan
dengan mempekerjakan perawat yang sudah expert dan menyediakan jumlah perawat yang
memadai agar pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien dapat dijaga kualitasnya
meskipun beban kerja perawat meningkat.
Kepustakaan
Aditama. (2004). Manjemen Administrasi Rumah Sakit. Cetakan kedua. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI Pres).
Aiken, L. H., Clarke, S. P., Sloane, D. M., Sochalski, J. A., Busse, R., Clarke, H. (2001). Nurses’ reports on hospital care in five countries. Health Affairs, 20 (3), 43-53.
Allen, N. J. dan Meyer, J. P., (1991). A three-component conceptualization of organizational commitment. Human Resource Management Review, 1 (1), 61-89.
Allen, N.J. dan Meyer, J.P. (1990). The measurement and antecedents of affective, continuance and normative commitment to the organization. Journal of Occupational Psychology, 63 (1), 1-18.
Bakker, A. B., Heuven, E. (2006). Emotional dissonance, burnout, and in-role performance among nurses and police officers. International Journal of Stress Management, 13(4), 423-440.
Cegarra-Leiva, D., Sánchez-Vidal, M.E., dan Cegarra-Navarro, J.G. (2012). Understanding the link between work life balance practices and organizational outcomes in SMEs. Personnel Review, 41(3), 359-379.
Cropanzano, R., Rupp, D. E. (2003). The relationship of emotional exhaustion to work attitudes, job performance, and organizational citizenship behaviors. Journal of Applied Psychology, 8 (1), 160 – 169.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Dex dan Bond. (2005). Measuring work-life balance and its covariates. Work, Employment and Society, 19 (3), 627-637.
Frone, M.R., Yardley, J.K., & Markel, K.S. (1997). Developing and testing an integrative model of work–family interface. Journal of Vocational Behavior, 50(2), 145-167.
Gemlik, N., Sisman, F. A., & Sigri, U. (2010). The relationship between burnout and organizational commitment among health sector staff in Turkey. Journal of Global Strategic Management, 8, 137-149.
Harrington, B., & Ladge, J. (2009). Present dynamics and future directions for organizations. Organizational Dynamics, 3 (2), 148-157.
Herlina. (2014). Pengaruh emotional labor dan emotional exhaustion terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional afektif pada flihght attendant (studi kasus pada PT Garuda Indonesia Tbk). Skripsi: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hilton, T. L. (2015). Effect of burnout and organizational commitment on the turnover intention of clinical laboratory employees in Florida. Doctoral Dissertation. Walden University.
Jex, S. M., & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner Approach (2nd ed.). New Jersey: John Wiley dan Sons, Inc.
Kementerian Kesehatan (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kim, H. K. (2014). Work-life balance and employees’ performance: the mediating role of affective commitment. International Journal of Global Business and Management Research, 6 (1), 37-42.
Lazăr, I., Osoian, C., & Raţiu, P. (2010). The role of work-life balance practices in order to improve organizational performance. European Research Studies. 13(1), 201-212.
Leiter, M. P., & Maslach, C. (1988). The impact of interpersonal environment on burnout and organizational commitment. Journal of Organizational Behavior, 9(4), 297-308.
Magnini, V.P. (2009). Understanding and reducing work-family conflict in the hospitality industry. Journal of Human Resources in hospitality & Tourism, 8(2), 119-136.
Maslach, C., & Jackson, S. E. (1986). Maslach Burnout Inventory manual (2nd ed.). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
Meyer, J.P., Paunonen, S.V., Gellatly, I.R., Goffin, R.D., & Jackson, D.N. (1989). Organizational commitment and job performance: It’s the nature of the commitment that counts. Journal of Applied Psychology, 74(1), 152-156.
Moon, T.-W, Hur, W.-M., & Jun, H.-K. (2013). The Role of Perceived Organizational Support on Emotional Labor in the Airline Industry. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 25(1), 105-123.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017
Muse, L., Harris, S.G., Giles, W.F., dan Feild, H.S. (2008). Work-life benefits and positive organizational behavior: Is there a connection. Journal of Organizational Behavior, 29(2), 171-192.
Swailes, S. (2004). Commitment to change: Profiles of commitment and in-role performance. Personal Review, 33 (2), 187-204.
Tappan, M. B. (1998). Morale Education in the zone of proximal development. Journal of Moral Education, 27(2), 141 – 160.
Todaro, Michael P. (2000). Economic Development (7th Edition). New York: University, Adison Mesley.
Tourigny, L., Baba, V. V., Han, J., Wang, X. (2013). Emotional exhaustion and job performance: the mediating role of organizational commitment. The International of Human Resources Management, 24(3), 514-532.
Van Dyne, L. & LePine, J. (1998). Helping and voice extra-role behaviors: Evidence of construct and predictive validity. The Academy of Management Journal, 41(1), 108-119.
Williams, L.J., & Anderson, S.E. (1991). Job satisfaction and organizational commitment as predictors of organizational citizenship and in-role behaviors. Journal of Management, 17(3), 601-617.
Zulmiati. (2010). Analisis Pengaruh Kepuasan Kerja Tenaga Perawat Bagian Rawat Inap terhadap Komitmen Organisasi di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Undergraduate Thesis. Diponegoro University: Semarang.
Analisis Pengaruh ..., Sarah Aninidha, FEB UI, 2017