analisis konsentrasi spasil dan aglomerasi.pdf

65
ix ANALISIS KONSENTRASI SPASIAL DAN FAKTOR YANG MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI KAWASAN BARAT INDONESIA MEILANI PUTRI DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: carla-dennis

Post on 06-Nov-2015

54 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • ix

    ANALISIS KONSENTRASI SPASIAL DAN FAKTOR YANG

    MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR

    DI KAWASAN BARAT INDONESIA

    MEILANI PUTRI

    DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

    FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2013

  • ii

  • ix

    PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Konsentrasi

    Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur di

    Kawasan Barat Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

    pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

    mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

    maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

    dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

    Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

    Pertanian Bogor.

    Bogor, Juli 2013

    Meilani Putri

    NIM H14090029

  • ii

    ABSTRAK

    MEILANI PUTRI. Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi

    Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia. Dibimbing oleh

    WIWIEK RINDAYANTI

    Ketimpangan regional terjadi akibat perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi

    yang dihasilkan oleh tiap daerah. Pengembangan potensi daerah yang dilakukan

    harus mendorong sektor-sektor perekonomian sesuai dengan keunggulan yang

    dimiliki oleh daerahnya. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis

    perkembangan ketimpangan regional, konsentrasi spasial dan aglomerasi industri

    manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI). Penelitian ini

    menggunakan alat analisis, yaitu Indeks Williamson, Sistem Informasi Geografi

    (SIG), Indeks Hoover Balassa dan data panel. Hasil penelitian mengindikasikan

    bahwa terdapat ketimpangan regional yang relatif sedang antar wilayah dan

    terdapat beberapa provinsi dengan titik konsentrasi spasial industri manufaktur.

    Variabel-variabel yang secara signifikan memengaruhi aglomerasi sektor industri

    manufaktur adalah Indeks Persaingan Industri, ukuran perusahaan, Penanaman

    Modal Asing (PMA), panjang jalan, nilai tambah dan jumlah perusahaan Industri

    Besar dan Sedang (IBS). Peta distribusi lokasi industri manufaktur yang lebih

    merata dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat daerah.

    Kata kunci: Indeks Williamson, Indeks Hoover Balassa, SIG, aglomerasi, data

    panel

    ABSTRACT

    MEILANI PUTRI. Analysis of Spatial Consentration and Agglomeration Factor

    of Manufacturing Industry in Western Region of Indonesia. Supervised by

    WIWIEK RINDAYATI

    Regional inequalities can be occured because of differences in resources

    and the economic activity generated by each region. Manufacturing industry is

    important sector that can encourage growth and development of other sectors.

    The purposes of this research is to analyze the development of regional

    imbalances, spatial concentration and agglomeration factor of manufacturing

    industry in the western region of Indonesia. This research uses the analysis tool

    Williamson Index, Geography Information System (GIS), Hoover Balassa Index

    and panel data. Results of the study indicate that there is a relatively medium

    regional imbalances in the distribution income and there are regions have point

    of consentration spatial of manufacturing industries. Variables that constantly

    affect the agglomeration of manufacturing industry is Competition Industry Index,

    size of company, foreign investment, road, value added and number of large and

    medium manufacturing industries. Map of the distribution of the location of the

    manufacturing industry which is more evenly distributed can increase the income

    and welfare of society.

    Keywords: Williamson Index, Hoover Balassa Index, GIS, agglomeration, panel

    data

  • ix

    Skripsi

    sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Sarjana Ekonomi

    pada

    Departemen Ilmu Ekonomi

    ANALISIS KONSENTRASI SPASIAL DAN FAKTOR YANG

    MEMENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR

    DI KAWASAN BARAT INDONESIA

    MEILANI PUTRI

    DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

    FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2013

  • iv

  • ix

    Judul Skripsi : Analisis Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi

    Aglomerasi Industri Manufaktur di Kawasan Barat Indonesia

    Nama : Meilani Putri

    NIM : H14090029

    Disetujui oleh

    Dr. Ir. Wiwiek Rindayati

    Pembimbing

    Diketahui oleh

    Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim

    Ketua Departemen

    Tanggal Lulus:

  • vi

    PRAKATA

    Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa taala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

    penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah industri

    manufaktur di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI), dengan judul Analisis

    Konsentrasi Spasial dan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri

    Manufaktur di KBI. Masalah industri manufaktur dipilih menjadi topik penelitian

    karena dianggap penting terutama dalam kontribusinya dalam Produk Domestik

    Regional Bruto (PDRB) wilayah KBI yang semakin meningkat. Pembangunan

    industri manufaktur yang tidak merata di setiap daerah mengindikasikan adanya

    ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah. Selanjutnya,

    masalah ini akan menimbulkan titik-titik konsentrasi di wilayah tertentu karena

    perbedaan sumberdaya dan kemampuan yang dihasilkan tiap daerah. Titik-titik

    konsentrasi ini mengumpul dan membentuk aglomerasi dengan tujuan agar

    mendapatkan manfaat skala, lokasi dan urbanisasi.

    Terima kasih juga diucapkan kepada orang tua dan keluarga penulis, yakni

    Bapak Hermawan SH MM dan Ibu Erwina SH serta kakak dari penulis, Ripal

    Agusta atas segala doa dan dukungan yang selalu diberikan. Selain itu ucapan

    terima kasih juga ditujukan kepada:

    1. Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan, saran dan motivasi dengan sabar dan

    membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    2. Ibu Sahara Ph.D selaku dosen penguji utama dan Ibu Laily Dwi Arsyianti, M.Sc selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas kritik dan saran yang

    telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

    3. Para dosen, staf dan seluruh civitas akademik Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPN yang telah memberikan ilmu dan berbagai bantuan.

    4. Teman-teman satu bimbingan Astrid, Alfi dan Rahmat yang telah banyak memberikan bantuan, saran, kritik, motivasi dan dukungannya dalam

    penyelesaian skripsi ini.

    5. Sahabat penulis Ilmu Ekonomi 46 Sonya, Manda, Gina, Srikandhi, Raisha, Anisaul, Irene, Nella, Merlyn yang telah membantu dalam menyelesaikan

    skripsi ini.

    6. Sahabat penulis Kost Sinabung Echi, Wewe, Bagas, Tesa, Anin, Vera, Vini, Vici, Yusi dan Rahma yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

    7. Sahabat penulis Ady Mentayadiputra yang telah banyak memberikan bantuan, motivasi dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini.

    Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

    Bogor, Juli 2013

    Meilani Putri

  • ix

    DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii

    DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii

    DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix

    PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

    Latar Belakang .................................................................................................... 1

    Perumusan Masalah ............................................................................................. 4

    Tujuan Penelitian ................................................................................................. 5

    Manfaat Penelitian ............................................................................................... 5

    Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 6

    TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 6

    Ketimpangan Pembangunan Wilayah ................................................................. 6

    Konsentrasi Spasial ............................................................................................. 8

    Aglomerasi Sektor Industri Manufaktur .............................................................. 9

    Penelitian Terdahulu .......................................................................................... 11

    Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 13

    METODE .............................................................................................................. 14

    Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 14

    Metode Analisis Data ........................................................................................ 14

    Indeks Williamson ......................................................................................... 15

    Analisis Sistem Informasi Geografi ............................................................... 15

    Indeks Hoover Balassa................................................................................... 16

    Analisis Regresi Data Panel ........................................................................... 17

    Pemilihan Model Terbaik .............................................................................. 18

    Pengujian Asumsi .......................................................................................... 19

    Spesifikasi Model .......................................................................................... 20

    HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 21

    Gambaran Umum .............................................................................................. 21

    Ketimpangan Pembangunan Wilayah ............................................................... 31

    Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur .......................................................... 33

  • viii

    Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur ............................ 38

    SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 41

    Simpulan ............................................................................................................ 41

    Saran .................................................................................................................. 42

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 43

    LAMPIRAN .......................................................................................................... 45

    RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 53

    DAFTAR TABEL

    1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha Tahun 2011 2

    2 Luas wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun 2011 3

    3 Perkembangan Jumlah Perusahaan IBS Wilayah KBI Tahun 2007-2010 22 4 Jumlah Perusahaan IBS Menurut Subsektor dan Provinsi Wilayah KBI

    Tahun 2011 23 5 Peringkat (rank) Menurut Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI Tahun 2011 34 6 Peringkat (rank) menurut Rata-Rata Nilai Tambah IBS Menurut

    Provinsi Tahun 2011 35

    7 Indeks Hoover Ballasa menurut Provinsi Tahun 2009-2011 37 8 Hasil Estimasi Persamaan Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi 39

    DAFTAR GAMBAR

    1 PDB Atas Dasar Harga Konstan tahun 2007-2012 1 2 PDRB Per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2011 4 3 Hipotesis Teori Neo-klasik 7 4 Perkembangan Konsep dan Paradigma Mengenai Aglomerasi 10 5 Kerangka Pemikiran Penelitian 13 6 Indeks Persaingan Industri Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 24 7 Ukuran Perusahaan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 25 8 PMA Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 26 9 PMDN Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 27

    10 Panjang Jalan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 28 11 UMP Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 29 12 Nilai Tambah Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 30 13 Jumlah IBS Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 30 14 Indeks Williamson Antar Provinsi di Wilayah KBI Tahun 2002-2011 31

  • ix

    15 Indeks Williamson Intra Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011 32 16 Perkembangan SIG menurut Jumlah Tenaga Kerja IBS Wilayah KBI

    Tahun 2011 34

    17 Perkembangan SIG Rata-Rata Nilai Tambah IBS Wilayah KBI Tahun 2011 36

    DAFTAR LAMPIRAN

    18 Indeks Williamson Antar Provinsi Wilayah KBI tahun 2002-2011 45 19 Indeks Williamson Intra Provinsi Wilayah KBI Tahun 2002-2011 45 20 Indeks Hoover Balassa (LQ TK) Provinsi Wilayah KBI Tahun 2009-

    2011 46 21 Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri Manufaktur 47

  • 1

    sumber: BPS, 2012 (diolah)

    Gambar 1 PDB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2007-2011

    Sumber : Badan Pusat Statistik , 2013 (diolah)

    Gambar 1 PDB Atas Dasar Harga Konstan tahun 2007-2012

    0

    100000

    200000

    300000

    400000

    500000

    600000

    700000

    800000

    2007 2008 2009 2010 2011 2012

    PD

    RB

    (m

    ilia

    r ru

    pia

    h)

    tahun

    Pertanian, Peternakan,Kehutanan dan Perikanan

    Industri Manufaktur

    Perdagangan, Hotel &Restoran

    Keuangan, Real Estate &Jasa Perusahaan

    Jasa-jasa

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Indonesia memiliki rencana pembangunan secara terarah dan intensif

    melalui program Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional

    tahun 2010 sampai tahun 2014. Program ini bertujuan sebagai bahan

    pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun atau menyesuaikan

    rencana pembangunan daerahnya masing-masing dalam rangka pencapaian

    sasaran pembangunan nasional. Rencana pembangunan sangat diperlukan oleh

    pemerintah daerah sebagai arahan dalam rangka mempercepat pembangunan dan

    pertumbuhan ekonomi daerah. Arah pembangunan Indonesia sejak tahun 1990

    telah bertransformasi dari negara berbasis pertanian menjadi negara berbasis

    industri, dimana kontribusi sektor industri manufaktur dalam PDB (Produk

    Domestik Bruto) telah melampaui kontribusi sektor pertanian (Shofiyana 2012).

    Hal ini sesuai dengan target Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II bahwa

    pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%, tingkat pengangguran turun menjadi kisaran

    5 sampai 6%, serta tingkat kemiskinan turun menjadi kisaran 8 sampai 10%.

    Tujuan tersebut dapat diwujudkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur

    yang diharapkan dapat menjadi penggerak utama perekonomian nasional. Berikut

    merupakan gambar yang menunjukkan kontribusi lima sektor tertinggi dalam

    PDB nasional.

    Gambar 1 menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur merupakan

    sektor yang memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB nasional dari tahun

    2007 sampai 2012. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan

    merupakan sektor tertinggi ketiga dalam kontribusinya terhadap PDB nasional.

    Selanjutnya, sektor-sektor lainnya mengalami perkembangan yang berfluktuasi,

    namun belum ada yang mampu melampaui kontribusi sektor industri manufaktur.

    Menurut Shofiyana (2012), industri manufaktur mempunyai peranan sebagai

    leader sector, artinya dengan pembangunan sektor industri maka akan memacu

  • 2

    dan mengangkat pembangunan di sektor lainnya, seperti sektor pertanian,

    perdagangan dan jasa. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 28

    tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yaitu untuk mewujudkan

    Indonesia sebagai negara industri yang tangguh pada tahun 2025, menghadapi

    tantangan dan kendala yang ada, serta merevitalisasi industri nasional.

    Pengembangan sektor industri manufaktur yang merata merupakan salah

    satu cara untuk meningkatkan pendapatan dan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

    Pembangunan sektor industri manufaktur merupakan titik awal pengembangan

    perekonomian daerah dalam rangka untuk meningkatkan PDRB (Produk

    Domestik Regional Bruto) dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dimulainya era

    otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mendorong masing-masing daerah untuk

    meningkatkan daya saing dan keunggulan komparatif daerahnya.

    Pemerataan hasil-hasil pembangunan adalah salah satu upaya untuk

    mewujudkan pembangunan melalui konsentrasi spasial melalui kontribusi sektor

    industri terhadap PDRB (Chollidah 2012). Pembangunan industri manufaktur

    yang tidak merata menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan, karena

    perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi yang dihasilkan. Ketidakmerataan

    sumberdaya ini tercermin pada konsentrasi kegiatan ekonomi di daerah tertentu

    saja. Oleh karena itu, masalah lokasi dari setiap kegiatan pembangunan industri

    baik secara nasional maupun regional harus dipertimbangkan secara mendalam

    dan tepat.

    Wilayah Indonesia diklasifikasikan menjadi dua kawasan, yaitu Kawasan

    Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Setiap kawasan

    memiliki keunggulan komparatif yang terspesialisasi pada sektor tertentu sesuai

    dengan kemampuan daerahnya. Tabel 1 menunjukkan PDRB Atas Dasar Harga

    Konstan 2000 pada wilayah KBI dan KTI.

    Tabel 1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kawasan dan Lapangan Usaha

    Tahun 2011 (miliar rupiah)

    No Lapangan Usaha Wilayah

    KBI Wilayah

    KTI

    1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan 283 471 52 332

    2 Pertambangan dan Penggalian 150 295 20 011

    3 Industri Manufaktur 543 914 17 366

    4 Listrik, Gas dan Air Bersih 26 100 85 347

    5 Konstruksi 130 833 15 259

    6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 468 654 30 530

    7 Pengangkutan dan Komunikasi 175 319 17 144

    8 Kuangan, Real Estat dan Jasa 198 245 11 198

    9 Jasa-jasa 195 770 25 350

    Total 2 172 601 274 537 Sumber: BPS, 2013 (diolah)

    Tabel 1 menunjukkan sektor industri manufaktur merupakan sektor yang

    memberikan kontribusi terbesar bagi pembentukan PDRB di wilayah KBI. Sektor

    listrik, gas dan air bersih merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar

  • 3

    bagi pembentukan PDRB di wilayah KTI. Namun, sektor listrik, gas dan air

    bersih merupakan perusahaan negara yang pengelolaannya dilakukan oleh

    pemerintah setempat, sehingga tidak digolongkan sebagai usaha pribadi

    masyarakat. Sektor kedua terbesar dalam pembentukan PDRB wilayah KTI

    adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan yang merupakan

    sektor yang dikelola dan diolah oleh masyarakat. Sektor industri manufaktur dan

    pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam pembangunan dan

    pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua sektor ini juga memiliki lokasi dan

    karakteristik tertentu dalam pembangunan dan perkembangannya. Sektor industri

    manufaktur umumnya berlokasi di daerah maju dan berkembang pesat (perkotaan),

    sedangkan sektor pertanian umumnya berlokasi di daerah perdesaan dimana masih

    terdapat lahan bagi aktivitas pertanian (Kurniawan dan Sugiyanto 2013).

    Penelitian ini akan menganalisis sektor industri manufaktur sehingga objek

    lokasi yang akan diteliti adalah wilayah KBI. Wilayah KBI dipilih berdasarkan

    kontribusi sektor industri manufaktur yang lebih besar dibandingkan dengan

    sektor lainnya. Wilayah KBI memiliki potensi yang dibutuhkan untuk

    pembangunan industri manufaktur, didukung dengan letak geografisnya yang

    dekat dengan pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi. Potensi lainnya yang

    dimiliki oleh wilayah KBI dapat ditunjukkan dari luas wilayah total yang

    mencapai 995 778.58 km2.

    Tabel 2 Luas Wilayah KBI dan Persentase Terhadap Luas Indonesia Tahun 2011

    Provinsi Luas (km2) Perbandingan terhadap Luas Indonesia (%)

    Sumatera Utara 72 981.2 3.82

    Sumatera Barat 42 012.8 2.2

    Riau 8 023.6 4.55

    Jambi 50 058.1 2.62

    Sumatera Selatan 91 592.4 4.79

    Lampung 34 623.8 1.81

    DKI Jakarta 664.01 0.03

    Jawa Barat 353 77.7 1.85

    Jawa Tengah 9 662.9 1.72

    DI. Yogyakarta 3 133.1 0.16

    Jawa Timur 47 799.7 2.5

    Banten 9 662.9 0.51

    Bali 5 780.0 0.3

    Kalimantan Barat 1 47307.0 7.71

    Kalimantan Tengah 153 564.5 8.04

    Kalimantan Timur 204 534.3 10.7 Sumber : BPS, 2010 (diolah)

    Tabel 2 menunjukkan bahwa provinsi terluas di wilayah KBI adalah

    Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan luas area

    yaitu sebesar 204 ribu km2, 153 ribu km

    2 , dan 147 ribu km

    2 .Provinsi dengan luas

    area terkecil adalah DKI Jakarta dengan luas wilayah sebesar 664.01 km2. Hal ini

    menunjukkan bahwa masih terdapat potensi pengembangan industri manufaktur

  • 4

    yang dimiliki oleh wilayah KBI yang dapat ditingkatkan, sesuai dengan

    keunggulan komparatif masing-masing provinsi. Setiap provinsi memiliki sumber

    daya yang berbeda-beda, sehingga setiap kebijakan industri yang dibuat oleh

    pemerintah akan menimbulkan hasil yang tidak sama. Salah satu cara untuk

    mengatasinya adalah menciptakan spesialisasi sesuai dengan kemampuan dan

    keunggulan sektor yang dimiliki tiap provinsi. Sektor industri manufaktur

    diharapkan dapat mempercepat pemerataan dan pertumbuhan ekonomi daerah.

    Perumusan Masalah

    Pembangunan yang merata di setiap daerah merupakan target dan sasaran

    yang ingin dicapai oleh pemerintah pusat. Perbedaan sumber daya, faktor

    produksi dan kebijakan daerah menyebabkan pembangunan yang tidak merata dan

    terpusat hanya di beberapa titik tertentu. Provinsi yang memiliki banyak faktor

    produksi akan memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan

    provinsi lain. Kondisi ini menyebabkan munculnya ketimpangan terutama

    pembangunan sektor industri manufaktur yang tidak merata. Hal ini terjadi karena

    wilayah maju memiliki daya tarik yang tidak dimiliki oleh wilayah pinggiran atau

    terbelakang. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur

    ketimpangan wilayah adalah PDRB per kapita. Berikut merupakan PDRB per

    kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000 menurut provinsi wilayah KBI.

    Sumber: BPS, 2013 (diolah)

    Gambar 2 PDRB Per Kapita Menurut Provinsi Tahun 2011

    Gambar 2 menunjukkan bahwa PDRB per kapita tertinggi dimiliki oleh

    provinsi DKI Jakarta dan PDRB per kapita terendah adalah provinsi Lampung.

    PDRB per kapita menunjukkan perbandingan pendapatan suatu daerah yang

    terhadap jumlah penduduk. Tingginya tingkat pendapatan per kapita

    mencerminkan tingginya jumlah barang dan jasa yang dihasilkan dan tingkat

    kemakmuran masyarakat pun relatif baik. Gambar 2 menunjukkan hanya ada dua

    provinsi yang memiliki PDRB per kapita yang tinggi, yaitu DKI Jakarta dan

    Kalimantan Timur, hal ini dikarenakan DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan

    05000

    100001500020000250003000035000400004500050000

    PD

    RB

    per

    kap

    ita

    (00

    0)

    Provinsi

  • 5

    ekonomi dan pemerintahan serta Kalimantan Timur yang memiliki kekayaan alam

    yang tidak dimiliki oleh daerah lainnya.

    Sektor industri manufaktur akan lebih mudah ditingkatkan bila industri

    mengelompok dan berkumpul sehingga tercapai suatu peghematan, kegiatan ini

    disebut juga sebagai aglomerasi. Pengelompokkan ini akan meningkatkan kinerja

    sektor industri melalui beberapa keunggulan, seperti penghematan skala, lokasi

    dan urbanisasi. Menurut Purwaningsih (2011) bahwa semakin teraglomerasi

    secara spasial suatu perekonomian, maka akan semakin meningkat

    pertumbuhannya. Pembangunan sektor industri manufaktur dengan kebijakan

    yang berorientasi spasial dan regional merupakan salah satu faktor kunci yang

    dapat mendukung pemerintah pusat dan daerah dalam merumuskan dan

    mengimplementasikan kebijakan pembangunan. Penelitian ini akan menganalisis

    konsentrasi daerah industri yang mengakibatkan terbentuknya aglomerasi sektor

    industri maufaktur pada lokasi tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini juga akan

    menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi terbentuknya aglomerasi.

    Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan utama yang ingin dibahas

    dalam penelitian ini adalah:

    1 Bagaimana kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di wilayah KBI?

    2 Dimanakah titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di wilayah KBI? 3 Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di

    wilayah KBI?

    Tujuan Penelitian

    Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka

    penelitian ini pada intinya bertujuan untuk:

    1 Menganalisis kondisi ketimpangan wilayah antar dan intra provinsi di wilayah KBI.

    2 Menganalisis letak titik-titik konsentrasi spasial industri manufaktur di wilayah KB.

    3 Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi aglomerasi industri manufaktur di wilayah KBI.

    Manfaat Penelitian

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran

    kepada pembaca mengenai ketimpangan wilayah, konsentrasi spasial dan

    aglomerasi sektor industri manufaktur di wilayah KBI. Penelitian ini juga

    diharapkan dapat memberikan saran dan masukan bagi pemerintah terutama

    pemerintah daerah terkait dengan ketimpangan pembangunan wilayah dan

    aglomerasi sektor industri manufaktur. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan

    dapat menjadi sumber referensi, literatur dan informasi tambahan bagi penelitian-

    penelitian terkait selanjutnya.

  • 6

    Ruang Lingkup Penelitian

    Penelitian ini mencakup periode 10 tahun, yaitu dari tahun 2002 sampai

    dengan tahun 2011. Penelitian ini akan menganalisis wilayah KBI dengan yang

    dibatasi menjadi 16 provinsi, dimana provinsi Aceh, Kepulauan Bangka Belitung,

    Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatatan tidak diikutsertakan. Alasannya,

    karena terdapat beberapa provinsi baru sehingga dikembalikan pada daerah

    asalnya serta keterbatasan data yang dimiliki oleh penulis. Data yang terkaitan

    dengan industri manufaktur dibatasi hanya untuk perusahaan yang tergolong

    Industri Besar dan Sedang (IBS) tanpa mengikutsertakan industri kecil karena

    keterbatasan data. Kategori industri besar sedang mengikuti klasifikasi BPS, yaitu

    suatu perusahaan industri dikatakan berskala sedang jika mempunyai tenaga kerja

    20 orang sampai dengan 99 orang dan berskala besar jika mempunyai tenaga kerja

    100 orang atau lebih.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Ketimpangan Pembangunan Wilayah

    Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses kerja antara pemerintah

    daerah dan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya dan membentuk suatu

    pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan

    suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi

    (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Kuncoro 2004). Perbedaan

    tingkat pembangunan akan menyebabkan tingkat kesejahteraan yang berbeda

    antar daerah, dan akan menimbulkan ketimpangan regional. Ketimpangan wilayah

    adalah ketidakmerataan dalam hal penguasaan sumberdaya alam atau sumber

    penerimaan daerah satu dengan daerah lainnya, dan juga perkembangan sektor-

    sektor ekonomi setempat (Adisasmita 2006).

    Teori pertumbuhan neo-klasik memprediksi hubungan antara tingkat

    pembangunan ekonomi nasional dengan ketimpangan regional antar wilayah.

    Hipotesis neo-klasik ketimpangan wilayah pada permulaan proses cenderung

    meningkat, proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai titik

    puncak. Kemudian, bila proses pembangunan terus berlanjut maka secara

    berangsur-angsur ketimpangan wilayah akan menurun (Sjafrizal 2008). Hal ini

    menunjukkan bahwa ketimpangan pada negara berkembang cenderung lebih

    tinggi dibandingkan ketimpangan pada negara maju. Kurva ketimpangan wilayah

    berbentuk U terbalik pada Gambar 3.

  • 7

    Ketimpangan pada negara sedang berkembang relatif lebih tinggi karena

    pada waktu proses pembangunan baru dimulai, kesempatan dan peluang

    pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisi

    pembangunannya sudah lebih baik sedangkan daerah yang masih terbelakang

    tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan saran

    serta rendahnya kualitas sumberdaya manusai. Oleh sebab itu, pertumbuhan

    ekonomi cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisi yang lebih baik,

    sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan. Pada

    negara yang telah maju di mana kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan

    sarana serta kualitas sumber daya manusia, setiap kesempatan peluang

    pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Sehingga,

    proses pembangunan pada negara maju cenderung mengurangi ketimpangan

    pembangunan antar wilayah.

    Ukuran ketimpangan pembangunan antar daerah dapat digunakan dengan

    menggunakan alat analisis yang disebut Indeks Williamson. Indeks ini ditemukan

    oleh Williamson (1965) yang meneliti hubungan antara ketimpangan wilayah

    regional dan tingkat pembangunan ekonomi dengan menggunakan data ekonomi

    negara yang sudah maju dan negara yang sedang berkembang. Secara statistik,

    indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk

    mengukur suatu perbedaan. Tahap awal pembangunan, ketimpangan wilayah

    menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu.

    Pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih maju, terdapat keseimbangan

    antardaerah dan ketimpangan akan berkurang secara signifikan.

    Indikator yang juga dapat digunakan untuk menganalisis ketimpangan

    pembangunan antar wilayah antara lain PDRB, Konsumsi Rumah Tangga

    Perkapita, Kontribusi sektoral terhadap PDRB, Tingkat kemiskinan dan Struktur

    Fiskal. Alat analisis lain yang juga dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan

    pembangunan (pendapatan) adalah Indeks Williamson, Gini Ratio, Kurva Lorentz,

    Kriteria Bank Dunia, dan Indeks Entrophy Theil.

    Sumber: Sjafrizal, 2008

    Gambar 3 Hipotesis Teori Neo-klasik

    Tingkat pembangunan nasional

    Tingkat

    ketimpangan

    Kurva

    ketimpangan

  • 8

    Konsentrasi Spasial

    Konsensus umum dalam paradigma geografi ekonomi baru adalah bahwa

    liberalisasi perdagangan mendorong penyebaran kegiatan manufaktur. Studi

    empiris mengenai distribusi geografi kegiatan manufaktur yang tidak merata dan

    terus-menerus berlangsung dalam jangka panjang telah banyak dilakukan di

    negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa.

    Wilayah Amerika Serikat faktanya lebih terkonsentrasi secara geografis

    dibandingkan negara Uni Eropa. Negara Uni Eropa cenderung merupakan industri

    yang padat modal dan berlokasi pada daerah inti, sedangkan industri-industri

    padat karya relatif lebih tersebar secara geografis.

    Derajat pengelompokkan industri secara geografis memainkan peranan

    penting dalam menentukan sektor manakah yang memiliki keunggulan kompetitif

    pada skala internasional. Dewasa ini, hipotesis bahwa kluster industri yang

    ditandai dengan konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan dan institusi-

    institusi yang saling berkaitan satu sama lain pada suatu bidang tertentu.

    Konsentrasi spasial memperlihatkan kontribusi suatu wilayah dan distribusi lokasi

    dari suatu industri. Apabila ada distribusi spasial yang tidak merata dan terdapat

    wilayah yang mendominasi kawasan industri, maka hal ini menunjukkan adanya

    industri yang terkonsentrasi secara spasial di wilayah tersebut (Kuncoro 2004).

    Konsentrasi spasial merupakan pengelompokkan setiap industri dan

    aktivitas ekonomi secara spasial, dimana industri tersebut berlokasi pada suatu

    wilayah tertentu. Hal ini sejalan dengan Teori Kutub Pertumbuhan oleh Perroux

    yang menyatakan bahwa pertumbuhan tidak muncul di berbagai tempat dan waktu

    yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa tempat yang merupakan pusat

    (kutub) pertumbuhan dengan intensitas yang berbeda. Perusahaan yang menguasai

    dominasi ekonomi pada umumnya adalah industri besar dan industri pendorong

    yang dianggap sebagai titik awal proses pembangunan dan merupakan elemen

    penting untuk tahapan pembangunan selanjutnya. Sehingga, industri dominan dan

    pendorong akan menimbulkan aglomerasi yang hanya terjadi pada kutub-kutub

    pertumbuhan tertentu (Adisasmita 2005).

    Konsentrasi spasial tidak hanya disebabkan oleh perbedaan dari struktur

    industri dan eksternalitas, akan tetapi juga diperluas pada transaksi yang tidak

    melalui pasar. Ada tiga hal yang saling terkait dalam konsentrasi spasial, yaitu

    skala ekonomi, biaya transportasi dan permintaan. Untuk mendapatkan dan

    meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung

    berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi.

    Sedangkan untuk meminimalisasi biaya transportasi, perusahaan-perusahaan

    cenderung pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi

    permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya

    aktivitas ekonomi, seperti kawasan industri maupun perkotaan. Konsentrasi

    spasial akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokalisasi dan

    penghematan urbanisasi yang merupakan faktor pendorong terjadinya aglomerasi.

    Ukuran konsentrasi spasial yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi

    adanya pengelompokan industri manufaktur adalah Sistem Informasi Geografi

    (SIG) dan Indeks Hoover Balassa. SIG merupakan alat analisis yang bermanfaat

    untuk mengidentifikasi lokasi industri dan di daerah mana industri cenderung

  • 9

    mengelompok secara spasial. Prosedur standar dalam merancang dan

    menggunakan SIG, yaitu pengumpulan data awal, konstruksi basis data, analisis

    dan kajian spasial dan penyajian grafis (Kuncoro 2002).

    Konsentrasi spasial juga dapat diukur dengan menggunakan Indeks Hoover

    Balassa yang merupakan indikator dalam menentukan seberapa jauh suatu industri

    terkonsentrasi pada suatu daerah dibandingkan industri di seluruh wilayah.

    Metode penentuan konsentrasi spasial dilakukan dengan cara menghitung antara

    tenaga kerja sektor industri manufaktur pada terhadap tenaga kerja total semua

    sektor di daerah bawah dengan tenaga kerja sektor industri manufaktur pada

    daerah atas terhadap tenaga kerja total semua sektor di daerah atas (Priyarsono et

    al 2007). Peningkatan nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan adanya

    peningkatan spesialisasi industri dalam daerah tersebut. Sebaliknya penurunan

    nilai LQ untuk suatu daerah industri menunjukkan penurunan spasialisasi industri

    dalam daerah tersebut. Spesialisasi yang tinggi pada suatu daerah industri di

    daerah tertentu dapat mempercepat pertumbuhan industri di wilayah tersebut. Hal

    ini dikarenakan bahwa pengetahuan yang diperoleh sebuah perusahaan dapat

    menguntungkan perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang masih dalam

    suatu industri yang sama. Alat ukur untuk menganalisis konsentrasi spasial juga

    dapat menggunakan KSPEC, Gini lokasional, Indeks Entrophy Theil, Herfindahl

    Indeks, Indeks Ellison- Glaeser dan lain sebagainya.

    Aglomerasi Sektor Industri Manufaktur

    Istilah aglomerasi pertama kali diperkenalkan oleh Weber dan

    disempurnakan oleh Alfred Marshall (1920) mengenai penghematan aglomerasi

    (agglomeration economies) atau disebut juga sebagai industri yang terlokalisir

    (localized industries). Menurut Marshall, sebuah industri akan memilih lokasi

    yang memungkinkan untuk berlangsungnya kegiatan ekonomi dalam jangka

    panjang sehingga keuntungan akan meningkat apabila mendirikan usaha di sekitar

    lokasi tersebut. Perusahaan akan cenderung selalu mengelompok di lokasi

    tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa skala pengembalian yang meningkat

    dapat dicapai oleh perusahaan-perusahaan dalam kelompok tersebut, jika hal

    tersebut tidak tercapai maka pengelompokkan yang hanya bersifat sementara.

    Menurut McCann (2001) bahwa terdapat tiga sumber mengapa skala

    pengembalian meningkat selalu tercapai, yaitu:

    1 Kelimpahan Informasi (Information Spillovers) Jika banyak perusahaan pada industri yang tergolong sejenis, maka dengan

    beraglomerasi pada lokasi yang sama maka tenaga kerja pada perusahaan

    tertentu akan secara relatif mudah berhubungan dengan tenaga kerja dari

    perusahaan lokal lain. Dengan demikian, pertukaran informasi baik antar

    tenaga kerja maupun antar perusahaan akan lebih mudah dan berlangsung

    setiap saat.

    2 Input Lokal yang Tidak Diperdagangkan (Non-traded local inputs)

    Keadaan dimana perusahaan-perusahaan dalam industri yang sejenis

    mengelompok di suatu tempat maka ada beberapa input produksi tertentu

    yang menjadi lebih efisien jika digunakan secara bersama-sama oleh pekerja

  • 10

    di perusahaan-perusahaan tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli

    secara individu oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

    3 Ketersediaan Tenaga Kerja Terampil Lokal (Local skilled-labour pool) Ketersediaan tenaga kerja terampil di wilayah tersebut akan menyebabkan

    turunnya biaya tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan di lokasi tersebut.

    Tujuan dari adanya aglomerasi adalah agar mampu menciptakan manfaat-

    manfaat yang tidak diperoleh bila letak industri tersebut menyebar, antara lain:

    1 Penghematan Skala (scala economies), yaitu adanya penghematan dalam produksi secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Sehingga dapat

    memberikan manfaat pada konsentrasi penduduk dalam jumlah besar

    daripada jumlah penduduk yang lebih sedikit, industri dan kegiatan lainnya.

    2 Penghematan lokasi (lokalization economies), yaitu kekuatan yang diasosiasikan dengan penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan

    dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu.

    3 Penghematan urbanisasi (urbanization economies), yaitu jenis penghematan yang diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil

    industri, pendapatan dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan

    yang dilakukan bersama-sama.

    Perkembangan konsep dan paradigma mengenai aglomerasi dapat

    dirangkum dalam Gambar 4. Gambar ini memperlihatkan bahwa studi atau teori

    mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik dan modern.

    sumber: Kuncoro, 2002

    Gambar 4 Perkembangan Konsep dan Paradigma Mengenai Aglomerasi

    AGLOMERASI

    KLASIK MODERN

    Penghematan

    eksternal (External

    economies)

    Formasi

    Perkota

    an

    Eksternalitas

    Dinamis Pertumbuhan

    Kota

    Biaya

    Transaksi

    Lokalisasi vs

    Urbanisasi Marshall-

    Arrow-

    Romer

    Jacob

    s

    Central

    Place vs

    Network

    System

    Increasing

    returns akibat

    skala ekonomis

    Knowledge spillover

    akibat

    keanekaragaman

    Ketergantungan

    skala vs

    netralitas

    Meminimalkan

    biaya transaksi

  • 11

    Perspektif atau teori klasik berpendapat bahwa aglomerasi muncul karena

    para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi

    (agglomeration economies), baik karena penghematan lokalisasi maupun

    penghematan urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu

    sama lain. Para ekonom biasanya membedakan antara dua pendekatan, yaitu

    penghematan internal dan eksternal serta penghematan akibat skala ekonomis dan

    cakupannya. Penghematan internal merupakan suatu pengurangan biaya secara

    internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Beberapa faktor yang berperan

    dalam pengurangan biaya secara internal meliputi pembagian kerja (spesialisasi)

    dan penggantian tenaga manusia dengan mesin, melakukan subkontrak beberapa

    aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain dan menjaga titik optimal

    operasi yang dapat meminimalkan biaya. Penghematan eksternal merupakan

    pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau

    pabrik. Penghematan biaya terjadi karena terdapat perusahaan dalam industri yang

    sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen.

    Penghematan ini juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku

    dalam daerah tersebut yang menopang jalannya usaha perusahaan (Kuncoro 2002).

    Perspektif modern menunjukkan ada tiga jalur pemikiran yang dapat

    diidentifikasi, yaitu teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic

    externalities), mazhab pertumbuhan perkotaan dan paradigma berbasis biaya

    transaksi. Eksternalitas dinamis menyatakan bahwa akumulasi informasi pada

    suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produkstivitas dan kesempatan kerja.

    Eksternalitas dinamis versi Marshall-Arrow-Romer (MAR) menekankan pada

    pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antarperusahaan lokal

    dalam industri yang sama. Pertumbuhan yang didorong oleh transfer pengetahuan

    pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonklustersi secara

    spasial. Analisis biaya transaksi menyatakan bahwa dengan adanya biaya

    transaksi akan mendorong munculnya perusahaan baru.

    Aglomerasi merupakan proses yang lebih kompleks jika dibandingkan

    dengan kluster industri. Salah satu ukuran yang menentukan dalam pembentukan

    aglomerasi sektor industri manufaktur adalah Indeks Spesialisasi. Indeks ini

    adalah ukuran konsentrasi suatu industri dalam suatu kluster, dimana banyak studi

    sebelumnya percaya mampu mendorong kemajuan teknologi dan pembentukan

    aglomerasi. Indeks Spesialisasi juga menunjukkan seberapa jauh spesialisasi

    industri dalam suatu kluster dibandingkan apabila industri tersebut tersebar secara

    random diseluruh wilayah.

    Penelitian Terdahulu

    Hasil penelitian dari Arifin (2006) yang berjudul Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Berbasis Perikanan di Jawa Timur (Studi Kasus Industri

    Besar Sedang). Penelitian ini menggunakan metode Sistem Informasi Geografi (SIG) dimana peneliti menggunakan indikator nilai output yang dihasilkan

    perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS). Dari analisis ini akan diperoleh

    hasil daerah industri dan non industri. SIG yang digunakan digunakan untuk

    mengidentifikasi dimana industri manufaktur cenderung berkumpul atau

    membentuk kluster. Sehingga penelitian ini akan menunjukkan konsentrasi spasial

  • 12

    yang terjadi di Jawa Timur yang dapat menimbulkan ketimpangan distribusi

    lokasi industri manufaktur antar pulau yang cukup besar. Pada penelitiaannya

    yang lain Zainal Arifin juga meneliti dengan menggunakan alat analisis SIG untuk

    mengukur dinamika spasial industri manufaktur. Indikator yang digunakan adalah

    jumlah tenaga kerja yang akan menunjukkan daerah industri dan non industri.

    Hasil penelitian dari Shofiyana (2012) yang berjudul Analisis Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Besar dan Sedang di Provinsi Jawa Tengah Tahun

    2002-2008 menunjukkan bahwa letak konsentrasi spasial industri manufaktur di Jawa Tengah tertinggi berada di Kabupaten Kudus, Kota Semarang dan Kota

    Pekalongan. Hal ini menunjukkan bahwa pola pengembangan industri di Jawa

    Timur mengindikasikan adanya spesialisasi industri di beberapa wilayah tertentu.

    Sehingga memberikan keuntungan pada nilai tambah produksi dan penyerapan

    tenaga kerja. Metodologi yang digunakan adalah dengan Loqation Quotient (LQ)

    untuk menunjukkan daya saing dan keunggulan komparatif subsektor industri.

    Analisis konsentrasi kegiatan industri juga digunakan untuk menunjukkan

    konsentrasi kegiatan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah

    yang dihasilkan oleh IBS.

    Penelitian yang dilakukan oleh Mudrajat Kuncoro dan Sari Wahyuni (2009)

    yang berjudul FDI Impact On Industrial Agglomeration: The Case of Java, Indonesia menganalisis tentang teori mana yang paling tepat untuk menjelaskan konsentrasi geografi pada sektor industri manufaktur di Pulau Jawa. Metode data

    panel digunakan untuk mengukur konsentrasi spasial subsektor industri di Pulau

    Jawa pada periode tahun 1991 sampai 2002. Variabel terikat yang digunakan

    adalah Indeks Spesialisasi dengan variabel bebasnya, yaitu skala ekonomi,

    intensitas sumber daya, kandungan impor, pendapatan per kapita, persaingan,

    biaya tenaga kerja, path dependency,orientasi ekspor, investasi asing serta

    dilengkapi oleh dummy industri, dummy regional dan dummy waktu. Hasil

    penelitian menunjukkan bahwa intensitas sumber daya dan investasi asing tidak

    berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Spesialisasi. Variabel-variabel

    yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 5% adalah kandungan impor, skala

    ekonomi, orientasi ekspor, Indeks Persaingan, path dependency dan pendapatan

    per kapita. Variabel yang berpengaruh secara signifikan pada taraf 10%

    ditunjukkan oleh biaya tenaga kerja.

    Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2011) yang berjudul Tren Konsentrasi dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Aglomerasi Industri

    Manufaktur Besar Sedang di Jawa Barat menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di Jawa Barat yang diukur dengan menggunakan Indeks Williamson

    mempunyai tren yang menurun dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa

    antar kabupaten di Jawa Barat masih terjadi ketimpangan pendapatan.

    Perkembangan ketimpangan distribusi geografis aktivitas industri manufaktur

    dapat dihitung dan dianalisis dengan Indeks Entrophy Theil yang menunjukkan

    bahwa ada indikasi yang sangat tinggi pada periode 2001-2008. Namun, tren

    konsentrasi spasial terbukti cenderung menurun dari tahun ke tahunnya.

    Selanjutnya faktor-faktor yang secara positif memengaruhi aglomerasi industri

    manufaktur di Jawa Barat adalah ukuran perusahaan, keanekaragaman industri,

    kepemilikan modal asing, besarnya pangsa pasar dan infrastruktur jalan.

    Sedangkan faktor-faktor yang secara negatif mempengaruhi aglomerasi industri

    manufaktur di Jawa Barat adalah tingkat upah dan kenaikan BBM. Terdapat tiga

  • 13

    variabel bebas yang tidak signifikan memengaruhi aglomerasi industri, yaitu

    Indeks Persaingan Industri, Orientasi Ekspor dan Impor dan Infrastruktut Listrik.

    Kerangka Pemikiran

    Ketimpangan yang terjadi antar daerah di wilayah KBI disebabkan oleh

    perbedaan sumberdaya dan kegiatan ekonomi, terutama pembangunan sektor

    industri manufaktur. Pengembangan sektor industri manufaktur berpengaruh

    penting terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi wilayah KBI, karena

    merupakan salah satu indikator pendorong nilai tambah dan lapangan kerja.

    Secara keseluruhan kerangka pemikiran penelitian ini seperti pada yang di

    tunjukkan pada Gambar 4.

    Gambar 5 menunjukkan bahwa penelitian ini bertujuan untuk meninjau

    lokasi industri manufaktur yang cenderung terkonsentrasi dan faktor-faktor apa

    saja yang dapat memengaruhi pembentukan aglomerasi tersebut. Hal ini

    menyebabkan perlunya perencanaan yang mendalam terhadap lokasi industri agar

    Gambar 5 Kerangka Pemikiran Penelitian

    Kawasan Barat Indonesia

    Kesenjangan regional antar daerah :

    Indeks Williamson

    Perbedaan sumber daya dan

    kegiatan ekonomi

    Konsentrasi spasial sektor industri

    manufaktur

    Faktor-faktor yang memengaruhi

    aglomerasi

    Sistem Informasi

    Geografi

    Pembangunan industri manufaktur di titik-titik tertentu

    saja

    Indeks Persaingan Industri, Ukuran

    Perusahaan, Penanaman Modal

    Asing, Penanaman Modal Dalam

    Negeri, Panjang Jalan, Upah

    Minimum Provinsi, Nilai Tambah,

    dan Jumlah IBS Implikasi Kebijakan

    Indeks Hoover

    Balassa

  • 14

    tidak terjadi konsentrasi dan menciptakan aglomerasi hanya pada titik-titik

    tertentu saja. Sehingga diperlukan analisis untuk melihat titik-titik lokasi industri

    manufaktur yang telah berkembang serta faktor-faktor apa yang menciptakan

    aglomerasi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di

    wilayah KBI.

    METODE

    Jenis dan Sumber Data

    Penelitian ini menggunakan data sekunder 16 provinsi di wilayah Kawasan

    Barat Indonesia (KBI) dengan periode tahun 2002 sampai dengan tahun 2011,

    yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi

    Penanaman Modal (BKPM). Dalam penelitian ini data dianalisis secara kuantitatif

    dan kualitatif. Berikut merupakan data-data yang diperlukan pada penelitian ini.

    1 Data PDRB per kapita Provinsi Atas Dasar Harga Konstan 2000 KBI. 2 Data jumlah penduduk dan tenaga kerja tingkat provinsi di wilayah KBI. 3 Data tenaga kerja yang diserap Industri Besar dan Sedang (IBS) menurut

    provinsi wilayah KBI.

    4 Data nilai tambah dan ouput yang dihasilkan IBS menurut provinsi di wilayah KBI.

    5 Data realisasi nilai Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menurut provinsi di wilayah KBI.

    6 Data Upah Minimum Provinsi (UMP), yaitu upah minimal yang seharusnya diterima oleh tenaga kerja industri besar dan sedang menurut

    provinsi Kawasan Barat Indonesia.

    7 Data panjang jalan menurut kondisi baik di masing-masing provinsi di Kawasan Barat Indonesia.

    8 Data jumlah perusahaan, yaitu banyaknya jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS) menurut provinsi wilayah KBI

    Metode Analisis Data

    Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan analisis metode

    kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran secara

    umum mengenai kondisi sektor industri manufaktur di wilayah KBI dan

    karakteristik variabel-variabel yang terkait dengan penelitian. Variabel-variabel

    tersebut adalah Indeks Persaingan Industri, ukuran perusahaan, PMA, PMDN,

    panjang jalan, UMP, nilai tambah, dan jumlah perusahaan IBS. Penelitian ini akan

    diolah dengan menggunakan program Eviews 6.1, Quantum Geographic

    Information System (GIS) 1.7.4 dan Microsoft Excel 2007. Penggunaan metode

    kuantitatif bertujuan untuk melakukan perhitungan dalam rangka menjawab

    permasalahan dalam penelitian. Alat analisis pertama yang digunakan adalah

    dengan Indeks Williamson, yaitu untuk mengukur seberapa besar ketimpangan

    wilayah di wilayah KBI. Kedua, dengan Indeks Hoover Balassa dan Sistem

    Informasi Geografi (SIG) untuk melihat titik-titik konsentrasi spasial pada

  • 15

    wilayah KBI. Selanjutnya, analisis dilakukan dengan menggunakan data panel

    untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi aglomerasi industri manufaktur

    di tiap provinsi wilayah KBI. Berikut merupakan penjelasan lebih mendalam

    mengenai metode kuantitatif yang digunakan.

    Indeks Williamson

    Tujuan pertama akan dijawab dengan menggunakan Indeks Williamson,

    yaitu untuk mengukur ketimpangan ekonomi wilayah antar dan intra provinsi di

    wilayah KBI. Indeks Williamson yang diperoleh terletak antar 0 sampai dengan 1,

    semakin mendekati 0 maka ketimpangan wilayah semakin rendah, tetapi jika

    mendekati 1 maka ketimpangan wilayah akan semakin tinggi serta

    mengindikasikan adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.

    Formulasi Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan antar provinsi

    wilayah KBI adalah sebagai berikut:

    IW =

    Keterangan:

    IW = Indeks Williamson

    yi = PDRB per kapita di provinsi i

    = PDRB per kapita rata-rata wilayah KBI fi = Jumlah penduduk di provinsi i

    n = Jumlah penduduk wilayah KBI

    Formulasi Indeks Williamson untuk mengukur ketimpangan intra provinsi

    wilayah KBI adalah sebagai berikut:

    IW =

    Keterangan:

    IW = Indeks Williamson

    yj = PDRB per kapita kabupaten j

    = PDRB per kapita rata-rata provinsi fj = Jumlah penduduk di kabupaten j

    n = Jumlah penduduk total provinsi

    Kusumantoro (2009) menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk

    menentukan apakah ketimpangan ada pada ketimpangan rendah, sedang atau

    tinggi. Berikut ini adalah kriterianya:

    Bila mendekati 0 - 0.34 Artinya ketimpangan ekonomi wilayah rendah

    Bila antara 0.35 - 0.80 Artinya ketimpangan ekonomi wilayah sedang

    Bila di atas 0.80 Artinya ketimpangan ekonomi wilayah tinggi

    Analisis Sistem Informasi Geografi

    Tujuan kedua adalah untuk menentukan letak titik konsentrasi spasial

    industri manufaktur wilayah KBI dengan menggunakan Sistem Informasi

    Geografi (SIG). SIG mentransformasikan data menjadi informasi dengan

    mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis fokus dan

    menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan. Menurut

  • 16

    Kuncoro (2002) bahwa kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan

    dan membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu,

    dari teknologi informasi hingga sosial-ekonomi maupun analisis yang berkaitan

    dengan populasi. Pola konsentrasi spasial dapat diidentifikasi dengan menerapkan

    langkah-langkah sebagai berikut:

    1 Memberikan peringkat (rank) untuk seluruh provinsi di wilayah KBI

    berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh

    perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS);

    2 Menyajikan data jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh

    perusahaan IBS dalam bentuk peta untuk menunjukkan dimana lokasi daerah

    industri dan daerah non-industri.

    3 Membedakan antara daerah industri dan daerah non-industri dengan membuat

    suatu kriteria tertentu, yaitu sangat tinggi, tinggi, serta menengah sampai

    rendah berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan

    masing-masing industri. Ciri utama daerah industri adalah daerah yang

    memiliki tingkat kepadatan industri yang tinggi atau sangat tinggi baik dalam jumlah pekerja maupun nilai tambah.

    4 Menurut Kuncoro (2013) kriteria wilayah yang memiliki daerah kepadatan industri dengan menggunakan klasifikasi sangat tinggi, tinggi dan menengah

    sampai rendah, yaitu:

    Sangat Tinggi, apabila jumlah pekerja lebih dari 125 ribu orang, Tinggi, apabila memiliki jumlah tenaga kerja antara 25 ribu hingga 125 ribu orang

    dan Menengah sampai rendah, apabila memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 25 ribu orang.

    Sangat Tinggi, apabila menghasilkan nilai tambah lebih dari Rp2 triliun, Tinggi, apabila menghasilkan nilai tambah antara Rp450 juta hingga Rp2 triliun dan Menengah sampai rendah, apabila menghasilkan nilai tambah kurang dari Rp450 juta

    Indeks Hoover Balassa

    Indeks Hoover Balassa juga digunakan untuk menjawab tujuan kedua,

    untuk menganalisis titik konsentrasi spasial industri manufaktur yang terjadi di

    wilayah KBI. Menurut Kuncoro (2004), Indeks Hoover Balassa atau Location

    Quotient (LQ) tenaga kerja juga digunakan untuk melihat rasio dari peranan

    sektor lokal tertentu terhadap sektor yang sama di tingkat ekonomi acuan yang

    lebih luas. Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif (industri) pada

    suatu wilayah terjadi, apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar

    daripada spesialisasi pada wilayah agregat. Selanjutnya, dalam bentuk aljabar

    hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan:

    LQ = (Eij/ )/( Keterangan:

    LQ : Koefisien Spesialisasi Regional.

    Eij

    : Tenaga Kerja sektor i di daerah j

    : Total tenaga kerja sektor i di daerah j

    : Tenaga kerja di daerah j

    : Total tenaga kerja di daerah j

  • 17

    Nilai LQ lebih dari satu (>1), menunjukkan bahwa sektor i terspesialisasi

    secara relatif di wilayah j dan sektor i merupakan sektor unggulan yang layak

    dikembangkan di wilayah j. Nilai LQ kurang dari satu (1), berarti sektor i

    memiliki daya saing dibanding sektor lain pada wilayah yang dijadikan

    pembanding misalnya provinsi terhadap negara dan sebagainya.

    Analisis Regresi Data Panel

    Tujuan ketiga akan dijawab dengan menggunakan analisi data panel, yaitu

    data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu (Gujarati 2004). Secara

    umum, data panel dicirikan oleh t periode waktu (t=1,2,3,....,t) yang kecil dan n

    jumlah individu (i=1,2,3,...,n) yang besar. Namun, tidak menutup kemungkinan

    terjadi sebaliknya, yaitu data panel terdiri atas periode waktu yang besar dengan

    jumlah individu yang kecil. Menurut Baltagi (2005) ada beberapa keuntungan

    tentang penggunaan data panel, diantaranya sebagai berikut:

    1 Mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan menerapkan metode ini, estimasi yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur

    heterogenitas individu.

    2 Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar peubah (variabel), serta meningkatkan derajat bebas (deegre of freedom) dan

    lebih efisien.

    3 Lebih baik untuk studi dynamic of adjustment. Karena berkaitan dengan observasi cross section yang berulang, maka data panel baik dalam

    mempelajari perubahan dinamis.

    4 Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time series saja.

    Data panel merupakan satu set observasi yang terdiri dari beberapa individu

    pada suatu periode tertentu. Observasi tersebut merupakan pasangan yit (variabel

    terikat) dengan xit (variabel bebas) dimana i menunjukkan individu, t

    menunjukkan waktu dan j menunjukkan variabel bebas yang dinyatakan dalam

    sebuah persamaan berikut:

    Yit = + xijt + it

    Terdapat dua pendekatan dalam data panel, yaitu Fixed Effect Model (FEM)

    dan Random Effect Model (REM). Keduanya dibedakan berdasarkan pada asumsi

    ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas (Firdaus

    2011).

    a. Fixed Effect Model (FEM) Pada model FEM, terdapat pola yang tidak acak atau korelasi antara efek

    individu dan peubah penjelas dengan xit sehingga komponen error dari efek

    individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep. Pada pendekatan one

    way error component, komponen error hanya terdiri dari efek individu

    sedangkan pada two way error component, selain efek individu juga terdapat

    efek waktu. Penduga pada FEM dapat diestimasi melalui beberapa teknik

    sebagai berikut:

  • 18

    1. Pooled Least Square (PLS), pendekatan ini menggunakan gabungan seluruh data (pooled) atau menggabungkan data cross section dan time

    series murni. Unit observasi yang terbentuk adalah N x T observasi,

    dimana N menunjukkan jumlah unit cross section dan T menunjukkan

    jumlah series yang digunakan. Ketika data digabungkan menjadi pool data,

    regresi yang dihasilkan cenderung lebih baik dibandingkan regresi dengan

    menggunakan data cross section saja atau time series saja. Pendekatan ini

    juga memiliki kelemahan, yaitu penduga parameter cenderung akan bias

    karena variasi atau perbedaan antara individu dan waktu tidak dapat

    terlihat.

    2. Within Group (WG) merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengatasi masalah bias pada PLS. Teknik yang digunakan adalah dengan

    menggunakan data deviasi dari rata-rata individu. Kelebihan dari WG

    adalah dapat menghasilkan parameter yang tidak bias, namun

    kelemahannya adalah nilai varian parameternya relatif lebih besar dari

    parameter PLS sehingga penduga WG relatif lebih tidak efisien.

    Kelemahan lainnya adalah pendekatan WG tidak memiliki intersep

    sehingga tidak mengakomodir karakteristik time-invariant pada FEM.

    3. Least Square Dummy Variable (LSDV), pendekatan ini menggunakan dummy variable untuk dapat merepresentasikan perbedaan intersep.

    yit = i+xit+it ; i= 1,2,...,N ; t=1,2,...,T Dimana it=i+vit untuk one way error component dan ui=i +

    t+vt untuk two way error component dimana i adalah efek individu t adalah efek waktu dan vit adalah error. Kelebihan dari pendekatan LSDV

    adalah dapat menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien

    namun kelemahannya adalah jika jumlah unit observasinya besar maka

    terlihat cumbersome.

    b. Random Effect Model (REM) Pada REM, intersep diintegrasikan dalam komponen error (it) sehingga

    menjadi cross section error (i), time series error (t) dan combination error (it). REM akan lebih tepat digunakan jika memang benar tidak ada hubungan antara it dan xit, karena jika it dan xit berkorelasi maka estimasi menggunakan REM akan bias. REM digunakan ketika efek individu dan efek

    waktu tidak berkorelasi dengan xit. Asumsi ini membuat komponen error dari

    efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error. Model umum yang

    digunakan untuk one way error component adalah yit = i+xit+uit+i+t.

    Pemilihan Model Terbaik

    Berdasarkan asumsi model yang telah dijelakan sebelumnya akan dilakukan

    pemilihan model terbaik dengan menggunakan uji Hausman untuk menentukan

    apakah Random Effect Model (REM) atau Fixed Effect Model (FEM) adalah

    model yang paling tepat untuk digunakan.

    a. Uji Hausman Dalam memilih apakah fixed atau random effect yang lebih baik, dilakukan

    pengujian terhadap asumsi ada tidaknya korelasi antara regresor dan efek

    individu. Seperti yang kita ketahui bahwa penggunaan model FEM

    mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya derajat kebebasan dengan

    memasukkan variabel dummy. Penggunaan metode REM juga harus

  • 19

    memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat.

    Untuk menguji asumsi ini dapat digunakan uji hausman. Hipotesis yang diuji

    adalah sebagai berikut:

    H0 : E(xit) = 0 atau REM adalah model yang tepat H1 : E(xit) 0 atau FEM adalah model yang tepat Kemudian, nilai statistik uji Hausman dibandingkan dengan nilai statistik

    Chi square. Statistik Hausman dirumuskan dengan:

    H = (REM FEM)(MFEM-MREM)-1(REM emFEM)~

    2(k)

    Dimana M adalah matriks kovarian untuk parameter dan k adalah derajat bebas. Jika nilai H lebih besar dari 2 tabel, maka cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0 sehingga model yang digunakan adalah model fixed

    effect begitu juga sebaliknya.

    b. Uji Chow Chow Test atau beberapa buku menyebutnya pengujian F-Statistics adalah

    pengujian untuk memilih apakah model yang digunakan Pooled Least Square

    atau Fixed Effect. Seperti yang kita ketahui, terkadang asumsi bahwa setiap

    unit cross section memiliki perilaku yang berbeda. Dalam pengujian ini

    dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut:

    H0 : Model Pooled Least Square

    H1 : Model Fixed Effect

    Dasar penolakan terhadap hipotesa nol adalah dengan menggunakan F-

    Statistik seperti yang dirumuskan oleh Chow.

    CHOW = (RRSS-URSS)/(N-1)

    URSS/ (NT-N-K)

    Keterangan:

    RRSS : Restricted Residual Sum Square

    URSS : Unrestricted Residual Sum Square

    N : Jumlah data cross section

    T : Jumlah data time series

    K : Jumlah variabel penjelas

    Chow ini mengikuti distribusi F-statistik yaitu FN-1,NT-N-K. Jika nilai Chow

    statistics (F-stat) hasil pengujian lebih besar dari F-Tabel, maka cukup bukti

    untuk melakukan penolakan terhadap H0, sehingga model yang digunakan

    adalah fixed effect, begitu juga sebaliknya.

    Pengujian Asumsi

    a. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar dugaan parameter dalam model

    regresi bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimated) adalah varian dari

    semua komponen error (uit) bernilai sama atau konstan. Kondisi demikian

    disebut sebagai homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan atau

    berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas

    menyebabkan uji hipotesis baik uji-t atau uji-F akan memberikan kesimpulan

    yang tidak akurat. Untuk mendeteksi heteroskedastis dapat dilakukan dengan

    metode generalized least square (GLS), yaitu dengan membandingkan sum

    square residual pada weighted statistics dengan sum square residual pada

  • 20

    unweighted statistics. Jika sum square residual pada weighted statistics lebih

    kecil dari sum square residual pada unweighted statistics, maka terjadi

    heteroskedastisitas.

    b. Uji Autokorelasi Autokorelasi terjadi jika terdapat korelasi antar observasi dalam satu peubah

    atau terdapat korelasi antar error masa lalu dengan error masa yang akan

    datang. Autokorelasi yang kuat dapat menyebabkan variabel yang tidak

    berhubungan menjadi berhubungan. Bila metode OLS digunakan, maka akan

    terlihat koefisien signifikansi atau R2 yang besar. Pengujian ada tidaknya

    autokorelasi dalam model dapat dilakukan dengan uji Durbin Watson.

    Statistik Durbin-Watson (DW) didefinisikan sebagai berikut:

    DW =

    /

    Nilai statistik DW dibandingkan dengan nilai DW tabel. Adapun kerangka

    identifikasi autokorelasi terangkum sebagai berikut.

    4-dl < DW < 4 : Terdapat korelasi serial negatif

    4-du < DW

  • 21

    IS = (Eij/ )/( Dimana:

    Eij

    : Tenga Kerja sektor i di daerah j

    : Total tenaga kerja sektor i di daerah j

    : Tenaga kerja di daerah j

    : Total tenaga kerja di daerah j 2. Variabel IPI merupakan Indeks Persaingan Industri yang digunakan untuk

    melihat struktur pasar di provinsi i dan tahun t, rumus yang digunakan adalah:

    IPIit =

    Dimana jumlah perusahaan menunjukkan jumlah IBS dan output

    menunjukkan total produksi yang dihasilkan oleh provinsi i pada tahun t.

    3. Variabel UK adalah ukuran perusahaan berdasarkan rata-rata jumlah pekerja di provinsi i dan tahun t. Variabel ini digunakan untuk mendekati skala

    ekonomi perusahaan di daerah tersebut, rumus yang digunakan adalah:

    Ukit =

    Dimana : Eit adalah tenaga kerja IBS dalam suatu provinsi i,

    IBSit adalah perusahaan IBS pada provinsi i dan tahun t.

    4. Variabel PMA ($) merupakan realisasi nilai Penanaman Modal Asing yang berada di Indonesia berdasarkan provinsi i pada tahun t.

    5. Variabel PMDN (Rp) merupakan realisasi nilai Penanaman Modal Dalam Negeri berdasarkan provinsi i pada tahun t.

    6. Variabel JAL (km) merupakan panjang infrastruktur jalan yang terdapat di kabupaten, provinsi i dan tahun t dengan kondisi baik dan sedang.

    7. Variabel UMP (Rp) merupakan upah minimum yang ditetapkan pemerintah daerah yang menunjukkan pengeluaran perusahaan untuk tenaga kerja di suatu

    provinsi i dan tahun t.

    8. Variabel NT (Rp) merupakan nilai tambah yang dihasilkan perusahaan IBS provinsi i pada tahun t. Nilai tambah merupakan selisih yang dihasilkan dari

    besaran nilai output dan nilai input (antara).

    Variabel JMLH (unit) merupakan jumlah perusahaan IBS yang dimiliki oleh

    perusahaan i pada tahun t. Klasifikasi IBS menggunakan definisi BPS (2012),

    yaitu industri yang memiliki jumlah pekerja 20 sampai dengan 99 orang pekerja

    dan 100 orang pekerja atau lebih.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Gambaran Umum

    Peta lokasi industri manufaktur sangat penting sebagai pertimbangan dalam

    penentuan lokasi dan pengembangan wilayah. Sesuai dengan Peraturan Presiden

    tentang Kebijakan Industri Nasional, pasal 3 yang menyatakan bahwa Pemerintah

  • 22

    Provinsi harus menyusun peta panduan mengenai pengembangan industri

    unggulan di wilayahnya. Pembangunan industri manufaktur bergantung pada

    faktor produksi yang dimiliki oleh tiap daerah, sehingga menimbulkan

    keunggulan komparatif yang berbeda-beda. Sektor industri manufaktur

    merupakan sektor yang terbukti sebagai penyumbang terbesar terhadap PDB

    nasional, sehingga diharapkan industri manufaktur dapat meningkatkan

    pendapatan negara. Industri manufaktur diharapkan dapat mendorong

    pertumbuhan sektor-sektor lain dan mempercepat pengembangan wilayah. Hasil

    akhir yang diharapkan adalah ketimpangan wilayah berkurang dan pembangunan

    dapat dinikmati oleh semua wilayah.

    Industri manufaktur merupakan salah satu langkah yang ditempuh oleh

    negara berkembang yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun,

    hal ini seharusnya juga diikuti dengan pembangunan yang merata di setiap

    wilayah. Perkembangan sektor industri manufaktur di wilayah KBI ditunjukkan

    dari jumlah perusahaan Industri Besar dan Sedang (IBS) yang belokasi pada

    wilayah tertentu. Hal ini dapat menggambarkan kecenderungan para pelaku

    ekonomi industri manufaktur menentukan lokasi industrinya. Berikut merupakan

    gambar dari jumlah perusahaan IBS menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

    Tabel 3 Perkembangan Jumlah Perusahaan IBS Wilayah KBI Tahun 2007-2010

    No Provinsi 2007 2008 2009 2010 2011

    1 Jawa Barat 6 776 6 195 6 204 6 199 6 201

    2 Jawa Timur 6 260 6 248 6 254 6 251 6 252

    3 Jawa Tengah 5 168 4 678 4 213 3 887 4 050

    4 DKI Jakarta 2 566 1 866 1 699 1 588 1 643

    5 Banten 1 846 1 804 1 695 1 620 1 675

    6 Sumatera Utara 1 184 1 109 1 002 987 987

    7 DI. Yogyakarta 451 416 403 409.5 406

    8 Bali 474 409 366 326 346

    9 Riau 199 196 191 183 187

    10 Sumatera Selatan 152 152 226 220 187

    11 Lampung 314 279 167 242 204

    12 Sumatera Barat 178 182 158 139 148

    13 Kalimantan Timur 148 122 111 116 113

    14 Kalimantan Barat 181 120 103 95 99

    15 Jambi 93 84 90 88 88

    16 Kalimantan Tengah 51 37 57 47 52 Sumber : BPS, 2013 (diolah)

    Tabel 3 menunjukkan peta lokasi IBS di wilayah KBI yang tidak merata dan

    terkonsentrasi hanya di beberapa wilayah saja. Provinsi dengan jumlah IBS

    terbanyak terletak di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta dan

    Banten. Kelima provinsi itu merupakan provinsi di pulau Jawa yang menunjukkan

    adanya pemusatan kegiatan industri di wilayah tersebut. Provinsi dengan

    pengembangan jumlah IBS terrendah adalah provinsi Kalimantan Tengah, Jambi,

  • 23

    Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa provinsi-

    provinsi tersebut cenderung memiliki keunggulan pada sektor lain selain sektor

    industri manufaktur, seperti Jambi dan Kalimantan Tengah dengan sektor

    perkebunannya dan Kalimantan Timur dengan sektor pertambangannya. Hal

    inilah yang menyebabkan terjadinya terpusatnya lokasi sektor industri manufaktur

    dan membentuk suatu aglomerasi.

    Sektor industri manufaktur memiliki dua karakteristik, yaitu industri padat

    modal dan padat karya. Namun, pada dasarnya maupun industri padat modal atau

    karya akan terkonsentrasi pada titik yang memiliki keuntungan untuk berlokasi

    pada daerah yang mampu meminimumkan biaya produksi. Titik konsentrasi

    industri manufaktur tidak hanya terpusat berdasarkan pada lokasi tetapi juga

    berdasarkan subsektor yang berada di lokasi tersebut. Berikut merupakan

    gambaran subsektor terbanyak yang dimiliki oleh suatu provinsi wilayah KBI

    tahun 2011.

    Tabel 4 Jumlah Perusahaan IBS Menurut Subsektor dan Provinsi Wilayah KBI

    Tahun 2011

    No Provinsi Subsektor Jumlah

    1 Jawa Barat Makanan dan minuman 1 143

    2 Jawa Timur Makanan dan minuman 1 761

    3 Jawa Tengah Makanan dan minuman 869

    4 DKI Jakarta Pakaian jadi 382

    5 Banten Karet dan barang dari karet dan barang dari plastik 223

    6 Sumatera Utara Makanan dan minuman 469

    7 DI. Yogyakarta Furnitur dan industri pengolahan lainnya 90

    8 Bali Pakaian jadi 90

    9 Riau Makanan dan minuman 136

    10 Sumatera Selatan Makanan dan minuman 75

    11 Lampung Makanan dan minuman 181

    12 Sumatera Barat Makanan dan minuman 73

    13 Kalimantan Timur Mesin lainnya dan perlengkapannya 35

    14 Kalimantan Barat Makanan dan minuman 51

    15 Jambi Makanan dan minuman 36

    16 Kalimantan Tengah Makanan dan minuman 27 Sumber: BPS, 2013

    Tabel 4 menunjukkan bahwa subsektor makanan dan minuman merupakan

    subsektor terbanyak yang dihasilkan oleh wilayah KBI, lebih dari 10 provinsi

    terspesialisasi pada sektor industri manufaktur, seperti Jawa Barat, Jawa Timur,

    Jawa Tengah dan lain sebagainya. Selanjutnya Provinsi DKI Jakarta dan Bali

    yang terspesialisasi pada subsektor pakaian jadi, Banten yang terspesialisasi pada

    subsektor karet dan barang dari karet dan barang dari plastik, D.I Yogyakarta

    yang terspesialisasi pada subsektor dan furnitur dan industri pengolahan lainnya

    dan Kalimantan Timur yang terspesialisasi pada Mesin lainnya dan

    perlengkapannya. Jumlah IBS yang besar tidak menunjukkan nilai tambah yang

  • 24

    dihasilkan juga tinggi, hal ini bergantung efisiensi dan skala ekonomi yang

    dihasilkan oleh masing-masing IBS.

    Subsektor yang besar pada suatu wilayah akan menarik perusahaan IBS

    sejenis untuk berlokasi dan berproduksi di wilayah yang sama. Hal ini

    dikarenakan perusahaan sejenis cenderung membutuhkan faktor produksi yang

    sama, seperti tenaga kerja. Hal ini akan menguntungkan karena perusahaan akan

    memperoleh tenaga kerja terampil serta upah yang rendah. Hal ini berbeda, jika

    perusahaan sejenis pada lokasi yang sama berkompetisi dalam memperoleh faktor

    input, seperti bahan baku, maka keuntungan dari lokasi yang berdekatan tidak

    akan tercapai. Perusahaan baru sejenis akan cenderung mencari lokasi yang

    berjauhan untuk melakukan kegiatan ekonomi.

    Titik konsentrasi baru perlu dikembangkan dengan menganalisis faktor-

    faktor yang memengaruhi pembentukan aglomeras. Sehingga, daerah-daerah yang

    memiliki potensi juga dapat menikmati keuntungan dari aglomerasi yang pada

    akhirnya mampu mendistribusikan pendapatan secara lebih merata. Variabel-

    variabel yang dipilih berdasarkan pertimbangan analisis dan upaya untuk menguji

    model lokasi. Berikut merupakan beberapa variabel yang menentukan

    pembentukan aglomerasi dari aktivitas industri manufaktur.

    Hubungan Indeks Persaingan Industri terhadap Aglomerasi

    Persaingan merupakan suatu konsep yang sering digunakan dalam ilmu

    ekonomi tentang pembentukan harga pasar dan penetapan harga oleh suatu

    perusahaan atau produsen. IPI dihitung dari rata-rata jumlah perusahaan dan

    output yang dihasilkan suatu daerah dan dibandingkan secara agregat. Semakin

    tinggi persaingan maka setiap produsen akan menggunakan strategi aglomerasi

    dan membentuk kluster guna meningkatkan tingkat produksi. Hal ini

    menunjukkan bahwa semakin besar struktur pasar di suatu daerah maka akan

    tercipta suatu konsentrasi yang akan membentuk kluster-kluster untuk terus

    mengembangkan daya saing dan pangsa pasarnya. Berikut merupakan gambaran

    IPI menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

    Sumber: BPS, 2013 (diolah)

    Gambar 6 Indeks Persaingan Industri Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

    0

    0.5

    1

    1.5

    2

    2.5

    3

    Ind

    eks

    Per

    sain

    gan

    Ind

    ust

    ri

    Provinsi

  • 25

    Gambar 6 menunjukkan bahwa daerah yang memiliki IPI terbesar adalah

    Jawa Tengah dengan indeks sebesar 2.46, diikuti oleh Provinsi Jawa Timur, Bali,

    Jawa Barat dan Sumatera Barat. Provinsi dengan IPI terrendah adalah Riau

    dengan nilai indeks 0.16. Hipotesi yang digunakan adalah semakin besar IPI maka

    menunjukkan bahwa pasar mendekati persaingan sempurna, sehingga dapat

    mempercepat pembentukkan aglomerasi di wilayah tersebut. DKI Jakarta dan

    Banten memiliki nilai indeks sebesar 0.66 dan 0.48, artinya wilayah tersebut

    masih cenderung menuju monopolistik yang dapat menghambat terbentuknya

    aglomerasi. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara

    signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.

    Hubungan Ukuran Perusahaan terhadap Aglomerasi

    Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan rata-rata ukuran pabrik

    yang dilihat dari jumlah pekerja produksi. Ukuran perusahaan dapat menyediakan

    informasi mengenai penggunaan faktor produksi dan lokasi pada industri tertentu,

    yaitu fleksibilitas dan menyesuaikan skala operasi dapat beroperasi bahkan pada

    wilayah yang terisolasi di mana infrastruktur masih terbelakang. Perusahaan-

    perusahaan IBS cenderung akan mengelompok di sekitar wilayah kota

    metropolitan. Berdasarkan ukuran ini, kita menguji apakah skala ekonomi dapat

    menjelaskan konsentrasi industri di wilayah KBI. Kecenderungan bahwa skala

    perusahaan yang lebih besar akan berlokasi di sentra-sentra industri, dan

    perusahaan yang lebih kecil cenderung akan berlokasi jauh dari sentra industri.

    Berikut merupakan gambaran ukuran perusahaan menurut provinsi di wilayah

    KBI tahun 2011.

    Sumber: BPS, 2013 (diolah)

    Gambar 7 Ukuran Perusahaan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

    Gambar 7 menunjukkan bahwa ukuran atau skala yang terbesar adalah

    Provinsi Kalimantan Tengah dengan nilai 2 345.48, diikuti oleh Provinsi

    Lampung, Kalimantan Timur, dan Banten. Provinsi Bali memiliki ukuran atau

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    300

    350

    Uku

    ran

    Per

    usa

    haa

    n

    Provinsi

  • 26

    skala perusahaan yang terkecil, yaitu sebesar 79.69. Ukuran perusahaan ini

    dihitung berdasarkan tenaga kerja yang diserap dan jumlah perusahaan IBS yang

    berada di wilayah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah dengan

    jumlah perusahaan IBS yang besar memiliki daya serap tenaga kerja IBS yang

    juga besar sehingga ukuran atau skala perusahaannya tidak terlalu besar. Hipotesis

    yang digunakan adalah semakin besar ukuran atau skala perusahaan maka akan

    semakin mendorong terbentuknya aglomerasi. Variabel ini akan dianalisis untuk

    melihat keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor

    industri manufaktur.

    Hubungan Penanaman Modal Asing terhadap Aglomerasi

    Penanaman Modal Asing (PMA) dianggap juga sebagai sumber pembiayaan

    yang paling berkualitas karena bersifat berkelanjutan dan dapat menyerap ilmu

    dan teknologi. Pendapatan nasional Indonesia yang cenderung hasil dari

    penjumlahan konsumsi yang tinggi bersifat tidak tahan lama dan tidak mengatasi

    masalah pengangguran. PMA di wilayah KBI terkonsentrasi wilayah tertentu

    terutama pada wilayah pusat kegiatan ekonomi. Berikut merupakan gambaran

    PMA menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

    Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2013 (diolah)

    Gambar 8 PMA Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

    Gambar 8 menunjukkan bahwa provinsi dengan nilai PMA tertinggi adalah

    DKI Jakarta sebesar 4.8 miliar dollar. Hal ini dikarenakan DKI Jakarta merupakan

    ibu kota negara sebagai pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan dan politik

    sehingga PMA cenderung lebih terpusat pada daerah tersebut. Provinsi Jawa Barat,

    Banten dan Sumatera Utara merupakan provinsi selanjutnya dengan nilai PMA

    yang tertinggi. Hal ini menunjukkan adanya iklim positif dimana pengembangan

    PMA seiring dengan peningkatan nilai PMA di beberapa provinsi dekat pusat kota

    pemerintahan. Nilai PMA terendah adalah provinsi DI Yogyakarta sebesar 19 juta

    dollar. Pemerintah perlu melakukan perencanaan dan target yang sesuai agar dapat

    mempercepat pengembangan wilayah lainnya melalui spesialisasi dan aglomerasi.

    Hipotesis yang digunakan adalah nilai realisasi PMA yang semakin tinggi pada

    suatu wilayah akan mempercepat pembentukan aglomerasi sektor industri

    0

    1000000

    2000000

    3000000

    4000000

    5000000

    6000000

    PM

    A (

    $0

    00

    )

    Provinsi

  • 27

    manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara

    signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.

    Penanaman Modal Dalam Negeri terhadap Aglomerasi

    Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dianggap juga sebagai sumber

    pembiayaan yang berkualitas karena bersifat berkelanjutan dan mampu

    meningkatkan pendapatan nasional. Jika nilai keuntungan dari investasi PMA

    yang ditanamkan sebagian akan kembali ke negara asal, maka nilai keuntungan

    dari investasi PMDN akan dinikmati oleh warga negara indonesia. Sehingga,

    investasi yang ditanamkan akan lebih berkualitas karena aliran modal lancar

    dalam negeri. Berikut merupakan realisasi nilai PMDN menurut provinsi wilayah

    KBI.

    Sumber: BKPM, 2013 (diolah)

    Gambar 9 PMDN Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

    Gambar 9 menunjukkan bahwa realisasi PMDN tertinggi dimiliki oleh

    Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar 37 triliun rupiah. Selanjutnya adalah provinsi

    Jawa Timur, Jawa Barat dan Riau masing-masing dengan realisasi PMDN sebesar

    9.6 triliun rupiah, 9.2 triliun rupiah, dan 7.4 triliun rupiah. Provinsi lainnya terlihat

    bahwa investasi dalam negeri masih belum begitu berkembang. Provinsi dengan

    PMDN terrendah dimiliki oleh Provinsi DI Yogyakarta sebesar 0.32 triliun rupiah.

    Hipotesis yang digunakan adalah nilai realisasi PMDN yang semakin tinggi pada

    suatu wilayah akan mempercepat pembentukan aglomerasi sektor industri

    manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat keterkaitannya secara

    signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri manufaktur.

    Panjang Jalan terhadap Aglomerasi

    Jalan merupakan salah satu infrastruktur yang utama sebagai penghubungan

    antara satu wilayah ke wilayah lainnya. Penelitian ini menggunakan panjang jalan

    provinsi dan kabupaten dengan kondisi baik dan sedang. Hal ini akan

    menunjukkan kemampuan suatu daerah dalam penyediaan sarana infrastruktur

    dalam rangka pelayanan untuk masyarakatnya. Berikut merupakan gambaran

    panjang jalan menurut provinsi wilayah KBI tahun 2011.

    0

    5000

    10000

    15000

    20000

    25000

    30000

    35000

    40000

    PM

    DN

    (m

    ilia

    r ru

    pia

    h)

    provinsi

  • 28

    Sumber: BPS, 2013 (diolah)

    Gambar 10 Panjang Jalan Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

    Gambar 10 menunjukkan bahwa jalan terpanjang dimiliki oleh provinsi

    Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah dengan panjang 33 490 km, 21

    269 km dan 20 266 km. Provinsi DI Yogyakarta merupakan daerah dengan jalan

    kondisi baik dan sedang terendah. Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa

    luas area terbesar dimiliki oleh provinsi Kalimantan Barat dengan panjang jalan

    kondisi baik dan sedang sebesar 7 392 km, hal ini berbeda dengan Jawa Timur

    yang memiliki luas yang lebih kecil namun memiliki jalan yang lebih panjang.

    Hipotesis yang digunakan adalah peningkatan panjang jalan dengan kondisi baik

    dan sedang pada suatu wilayah akan mempercepat pembentukan aglomerasi

    sektor industri manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat

    keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri

    manufaktur.

    Hubungan Upah Minimum Provinsi terhadap Aglomerasi

    Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi penting dalam struktur

    biaya usaha, karena perusahaan membayar upah sebagai balas jasa terhadap

    perusahaan. Upah yang merupakan biaya input yang harus dikeluarkan oleh

    perusahaan memiliki kebijakan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah untuk

    mendukung dan melindungi kedua belah pihak. Penetapan UMP yang terlalu

    tinggi disuatu daerah akan menyebabkan peningkatan biaya produksi yang harus

    dikeluarkan oleh suatu perusahaan. Sehingga salah satu daya tarik keputusan

    berlokasi di suatu tempat adalah dengan tingkat upah yang rendah. Berikut

    merupakan gambaran UMP wilayah KBI tahun 2011.

    0

    5000

    10000

    15000

    20000

    25000

    30000

    35000

    40000P

    anja

    ng J

    alan

    (km

    )

    Provinsi

  • 29

    Sumber: BPS, 2013 (diolah)

    Gambar 11 UMP Menurut Provinsi Wilayah KBI Tahun 2011

    Gambar 11 menunjukkan bahwa UMP tertinggi dimiliki oleh provinsi DKI

    Jakarta sebesar 1.2 juta rupiah Selanjutnya diikuti oleh provinsi Kalimantan

    Tengah, Riau, dan Kalimantan Timur sebesar 1.13 juta rupiah, 1.12 juta rupiah

    dan 1.08 juta rupiah. Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah dengan UMP

    paling rendah, yaitu sebesar 675 ribu rupiah. Provinsi DKI Jakarta yang tinggi

    menunjukkan bahwa kebutuhan dan tuntutan hidup di kota metropolitan yang

    tinggi, sehingga perlunya upah yang juga tinggi untuk memenuhinya. Penetapan

    nilai UMP yang harus dibayar oleh perusahaan adalah sesuai dengan kebijakan

    pemerintah masing-masing daerah. Hal ini berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak

    (KHL) yang berbeda-beda di setiap provinsi. Hipotesis yang digunakan adalah

    UMP yang semakin kecil pada suatu wilayah akan mempercepat pembentukan

    aglomerasi sektor industri manufaktur. Variabel ini akan dianalisis untuk melihat

    keterkaitannya secara signifikan terhadap pembentukan aglomerasi sektor industri

    manufaktur.