analisis kesenjangan antar wilayah fileanalisis kesenjangan antar wilayah pengarah ir. max h. pohan,...
TRANSCRIPT
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah i
Publikasi Database PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI KEWILAYAHAN BERBASIS SPASIAL DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN REGIONAL DAN OTONOMI DAERAH
ANALISIS KESENJANGAN ANTAR WILAYAH
PENGARAH
Ir. Max H. Pohan, CES, MA
PENANGGUNG JAWAB Ir. Arifin Rudiyanto M.Sc, Ph.D
TIM PENYUSUN Drs. Sumedi Andono Mulyo, MA, Ph.D; Awan Setiawan, SE, MM, ME
Yudianto, ST, MT, MPP; Uke Mohammad Hussein, S.Si. MPP; Supriyadi, S.Si, MTP; Rudi Alfian, SE; Agung Widodo, SP, MIDEC
Fidelia Silvana, SP, M.Int.Econ & F; Septaliana Dewi Prananingtyas, SE, M.Bus,Ec Anang Budi Gunawan, SE; Ika Retna Wulandary, ST.
TENAGA AHLI
Bambang Waluyanto; Moch Rum Alim; Nana Mulyana; Aziz Faizal Fachrudin; Setya Rusdianto; Tri Supriyana; Nur Farida Panglipuring Tyas.
TIM PENDUKUNG
Bimo Fachrizal Arvianto, S.Si; Anna Astuti; Eni Arni; Sapto Mulyono; Slamet Supriyanto; Dwi Santi Satkawati; Cecep Supriyadi; Donny Yanuar.
Komentar, saran dan kritik dapat disampaikan ke :
Direktorat Pengembangan Wilayah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta Pusat 10310
Telp/Fax. (021) 3193 4195
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah ii
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan buku Publikasi yang berjudul ”Analisis Kesenjangan Antar Wilayah 2011” dari kegiatan ”Pengelolaan Data dan Informasi Kewilayahan Berbasis Spasial Mendukung Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah”.
Penyusunan Buku Analisis Kesenjangan Antardaerah ini dimaksudkan untuk menyajikan informasi tentang perkembangan hasil pembangunan daerah sebagai kelanjutan dari publikasi sejenis tahun sebelumnya. Data yang digunakan dalam publikasi ini bersumber dari informasi yang dihasilkan oleh Badan Pusat Statistik, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian/ Lembaga dan sumber data lainnya.
Informasi yang disajikan dalam buku ini dibagi menjadi 3 bagian yang meliputi: Bagian Pertama, berisi uraian yang menjadi latar belakang penyusunan buku ini, dan penjelasan sistematika penyajian buku. Bagian Kedua, berisi uraian Metodologi dan Analisis Kesenjangan Antardaerah, Bagian ketiga berisi uraian kesenjangan perekonomian antardaerah, bagian keempat, berisi uraian Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antarwilayah, bagian kelima berisi uraian kesenjangan analisis Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Bagian Keenam berisi uraian implikasi kebijakan.
Informasi kesenjangan ini diharapkan dapat memberikan inspirasi dan pemahaman terhadap kondisi dan perkembangan kesenjangan di Indonesia dilihat dari beberapa aspek yang dibahas. Dengan demikian melalui informasi dari hasil analisis kesenjangan ini diharapkan dapat menjadi benchmarking, sehingga kondisi atau kinerja tiap daerah bisa diperbandingkan dengan daerah yang lain. Selanjutnya berdasarkan informasi kesenjangan antardaerah ini diharapkan dapat memberikan orientasi terhadap berbagai kebijakan dan program pengurangan kesenjangan antardaerah.
Kami mengucapkan terimakasih atas segala dukungan berbagai pihak dalam penyusunan dan penerbitan buku ini. Kami sangat menghargai kritik dan saran dari berbagai pihak guna menyempurnakan publikasi ini pada edisi yang mendatang.
Jakarta, Desember 2011
Direktur Pengembangan Wilayah
Ir. Arifin Rudiyanto, M.Sc, Ph.D
KATA PENGANTAR
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah iii
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Sistematika Penyajian 2
2. METODOLOGI ANALISIS KESENJANGAN
ANTARWILAYAH 3 2.1. Analisis Kesenjangan Perekonomian Antarwilayah 3
2.1.1. Metode Analisis Pendapatan Regional 3 2.1.2. Metode Analisis Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur
Pertumbuhan Ekonomi. 6
2.2. Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah 7 2.3. Analisis Pendapatan dan Belanja Daerah 9 2.4. Metode Penyajian Kesenjangan. 10
3. KESENJANGAN PEREKONOMIAN ANTARWILAYAH 13
3.1. Kesenjangan Pendapatan Regional 13 3.1.1. Disparitas PDRB Perkapita Antarprovinsi. 14 3.1.2. Indeks Kesenjangan Regional 20
3.2. Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi 27 4. KESENJANGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
ANTARWILAYAH 29 4.1. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarprovinsi 29 4.2. Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antar Kabupaten/Kota 31
4.2.1. Wilayah Sumatera 32 4.2.2. Wilayah Jawa Bali 33 4.2.3. Wilayah Kalimantan 35 4.2.4. Wilayah Sulawesi 36 4.2.5. Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua 37
5. ANALISIS PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH 39
5.1. Analisis Pendapatan Daerah 39 5.1.1. Rasio Kemandirian Daerah 39 5.1.2. Kesenjangan Ruang Fiskal Daerah 41
5.2. Analisis Belanja Daerah 43
5.2.1. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah 43 5.2.2. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total
Belanja Daerah 45 5.2.3. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah 46 5.2.4. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk 48
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah iv
5.2.5. Perbandingan Kualitas Pendapatan dan Belanja Pemerintah Antarprovinsi 51
5.3. Perimbangan Indeks Komponen Pembentuk IPM denganBelanja Pemerintah 53
6. IMPLIKASI KEBIJAKAN 55
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah v
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2. Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah 9
Tabel 3.1. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sumatera 13
Tabel 3.2. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Jawa-Bali 14
Tabel 3.3. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di wilayah Kalimantan 17
Tabel 3.4. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sulawesi 18
Tabel 3.5. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua 19
Tabel 3.6. Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun 2005 sampai 2009 20
Tabel 3.7. Theil Indeks dari PDRB Perkapita (ADHB) Menuru Pulau Tahun 2005 dan 2009 21
Tabel 3.8. IW dan Theil Indeks PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2009 21
Tabel 3.9. PDRB Perkapita Non Migas (ADHK) Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2009 22
Tabel 3.10. Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sumatera 23
Tabel 3.11. CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009di Wilayah Sumatera 23
Tabel 3.12. Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Jawa-Bali 24
Tabel 3.13. CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2008 di
Wilayah Jawa-Bali 24
Tabel 3.14. Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2008 di Kalimantan 25
Tabel 3.15. CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Kalimantan 25
Tabel 3.16. Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Sulawesi 26
Tabel 3.17. CVw dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2009 di Wilayah Sulawesi 26
Tabel 3.18. Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua 27
Tabel 3.19. CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah vi
Tabel 3.20. Posisi Kuadran Kabupaten/kota Berdasarkan nilai acuan rata-rata
kabupaten/kota pada Tingkat Nasional dan Pulau 2004-2008 28
Tabel 4.1. Perkembangan Disparitas IPM Antarprovinsi pada Setiap Wilayah
di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua 27
Tabel 4.2. Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sumatera Tahun 2005 dan 2009 33
Pulau, pada Tahun 2005-2009 29
Tabel 4.3. Disparitas IPM Antar Kab.kota Disetiap Provinsi di Wilayah Jawa-Bali Tahun 2005dan 2009
Tabel 4.4. Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Kalimantan Tahun 2005 dan 2009 36
Tabel 4.5. Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sulawesi Tahun 2005 dan 2008 37
Tabel 4.6. Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, Tahun 2005 dan 2009 38
Tabel 5.1. Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot) Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan Terrendah, Tahun 2010 43
Tabel 5.2. Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan Terrendah, Tahun 2010 44
Tabel 5.3. Indikator Pendapatan Dan Belanja Pemerintah 52
Tabel 5.4. Matriks Penilaian Kualitas Pendapatan dan Belanja Antarprovinsi 53
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar3.1. Distribusi Nilai PDRB Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2010, (dalam persen) 13
Gambar 3.2. Perbandingan PDRB Perkapita (ADHB) dengan Migas dan Tanpa Migas Antarprovinsi, Tahun 200914
Gambar 3.3. Nilai CVw dan T-Indek Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun 2005 sampai 2009 20
Gambar 4.1. Perbandingan Nilai Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi, Tahun 2009 31
Gambar 4.2. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Sumatera 32
Gambar 4.3. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Jawa Bali 34
Gambar 4.4. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Kalimantan 35
Gambar 4.5. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Sulawesi 36
Gambar 4.6. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan papua 38
Gambar 5.1. Rasio PAD Terhadap APBD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 41
Gambar 5.2. Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010 41
Gambar 5.3. Ruang Fiskal Agregat (Pempro + Pemkab/Pemkot) Antarprovinsi, Tahun 2010 42
Gambar 5.4. Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov, Tahun 2010 43
Gambar 5.3. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total BelanjaAgregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 45
Gambar 5.4. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se-Provinsi, Tahun 2010 46
Gambar 5.5. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010 47
Gambar 5.6. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 48
Gambar 5.7. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi 49
Gambar 5.8. Rasio Belanja Modal perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota 50
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah viii
Gambar 5.9. Perimbangan Sumber Pendapatan dari DBH + Daya Penyesuaian dan Otsus dengan Belanja Modal 51
Gambar 5.10. Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi 51
Gambar 5.10. Perimbangan Indeks Harapan Hidup dengan belanja pemerintah bidang kesehatan 54
Gambar 5.11. Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Pendidikan 55
Gambar 5.12. Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Ekonomi 55
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 1
1.1. Latar Belakang
Kesenjangan antarwilayah di Indonesia menjadi signifikan karena adanya keragaman potensi sumber daya alam, letak geografis, kualitas sumber daya manusia, ikatan etnis atau politik. Keberagaman ini dapat menjadi sebuah keunggulan dalam satu sisi, namun disisi lain dapat berpotensi menjadi sumber instabilitas sosial dan politik nasional. Untuk itu, maka penyelenggaraan pembangunan secara terencana dan berorientasi terhadap pengurangan kesenjangan antarwilayah menjadi sangat penting untuk dilakukan.Pemahaman secara komprehensif terhadap persoalan kesenjangan tersebut perlu menjadi acuan dalam perumusan perencanaan pembangunan, sehingga dapat mendukung upaya pemerataan pembangunan di Indonesia.
Ketidakseimbangan perekonomian antar daerah di Indonesia harus dianggap sebagai masalah serius dalam perekonomian nasional dan dalam masalah inilah seharusnya desentralisasi bisa memberikan kontribusi yang paling signifikan. Walaupun, desentralisasi juga berpotensi membuat disparitas semakin parah apabila tidak ada kebijakan khusus yang memprioritaskan upaya mengurangi kesenjangan itu sendiri. Kesenjangan perekonomian antara daerah sendiri adalah gejala alamiah yang terjadi di hampir semua wilayah di dunia, termasuk di negara maju. Italia, misalnya, mempunyai kesenjangan perekonomian yang besar antara wilayah utara dan wilayah selatan. Cina yang mempunyai pertumbuhan ekonomi spektakuler praktis bergantung pada pertumbuhan wilayah pantai timurnya. Di Amerika Serikat, orang pasti bisa merasakan adanya kesenjangan besar antara wilayah pantai barat dan timur, dengan wilayah selatan. Yang lebih ekstrim lagi, perekonomian Asia Timur (termasuk Asia Tenggara) yang dianggap sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi paling pesat, ternyata terkonsentrasi di satu wilayah metropolitan, Tokyo, serta perekonomian Thailand yang terkonsentrasi di metropolitan Bangkok.
Meskipun tidak bisa dihilangkan sepenuhnya, kesenjangan antar daerah tetap harus diupayakan untuk dikurangi. Salah satu prinsip dasar yang harus dipegang para pengambil kebijakan adalah bahwa kesenjangan perekonomian antar daerah masih dapat ditoleransi sejauh tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi nasional dan tidak menciptakan ketidakmerataan pendapatan yang luar biasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, upaya melakukan redistribusi pendapatan masyarakat haruslah mendapatkan prioritas utama dibandingkan redistribusi perekonomian daerah. Satu hal lagi yang harus dilakukan dalam upaya mengurangi kesenjangan perekonomian antar daerah adalah mengurangi jarak antara daerah terkaya dengan daerah termiskin, melalui upaya khusus untuk mengangkat daerah termiskin secara signifikan.
Untuk memberikan orientasi dalam upaya mengurangi kesenjangan tersebut, diperlukan data dan informasi objektif, serta teknik pengolahan data tertentu sehingga dapat memberi gambaran adanya kesenjangan antarwilayah. Informasi yang dikembangkan dalam análisis kesenjangan ini mencakup dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal memberikan gambaran tentang keadaan di dalam tiap daerah, sedangkan
1 PENDAHULUAN
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 2
dimensi eksternal menggambarkan posisi relatif keadaan daerah terhadap daerah lainnya. Dengan demikian informasi ini mengandung sifat benchmarking, sehingga kondisi atau kinerja tiap daerah bisa diperbandingkan dengan daerah yang lain. Lebih lanjut juga diharapkan bisa diketahui corak keadaan tiap daerah atau kelompok daerah.
Atas dasar hal tersebut di atas, maka Direktorat Pengembangan Wilayah berinisiatif menyusun Buku Analisis Kesenjangan Antarwilayah. Melalui berbagai temuan dari hasil análisis kesenjangan ini diharapkan dapat memberikan alternatif dalam penguatan perencanaan yang berbasis wilayah.
1.2. Sistematika Penyajian
Buku ini menyajikan data dan informasi yang terkait dengan kesenjangan antarwilayah, dengan lingkup informasi mengenai beberapa teori pembangunan dan kesenjangan antarwilayah, serta informasi mengenai hasil analisis kesenjangan dilihat dari perspektif perekonomian daerah, kesejahteraan masyarakat, serta kemampuan keuangan daerah. Rincian dari informasi tersebut disajikan dalam 6 Bab, dengan gambaran singkat dari setiap bab adalah sebagai berikut: BAB I, berisi mengenai latar belakang dari penyajian buku analisis kesenjangan antarwilayah; BAB II, berisi mengenai metodologi pendekatan untuk melihat kesenjangan antarwilayah dalam aspek perekonomian daerah, analisis kesejahteraan masyarakat, analisis kemampuan keuangan antar wilayah, serta metode penyajian kesenjangan antarwilayah. BAB III, berisi mengenai hasil analisis perekonomian daerah, BAB IV, berisi mengenai hasil analisis kesenjangan kesejahteraan masyarakat, BAB V, berisi mengenai hasil analisis kesenjangan kemapuan keuangan daerah, dan BAB VII, berisi uraian mengenai implikasi kebijakan yang diperlukan untuk merespon adanya kesenjangan antarwilayah.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 3
Kesenjangan berarti suatu gambaran terhadap fakta (kondisi) yang tidak homogen, yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang membutuhkan perhatian. Atas dasar pengertian tersebut, nalaisis kesenjangan antarwilayah dimaksudkan untuk memberi gambaran fakta-fakta perbedaan perkembangan kondisi hasil pembangunan antarwilayah, juga terkandung informasi mengenai perbandingan antarwilayah dan informasi adanya gap (kesenjangan) antaradaerah yang maju dan tertinggal.
Peta kesenjangan antarwilayah ini dibangun melalui pendekatan pengolahan dan teknik penyajian data, sehingga dapat memberi gambaran fakta kesenjangan antarwilayah. Berdasarkan temuan fakta kesenjangan ini, selanjutnya diharapkan dapat menjadi dasar dalam menentukan isu dan permasalahan strategis yang perlu direspon melalui kebijakan dan program pembangunan.
Bertitik tolak dari fakta kesenjangan tersebut, melalui publikasi analisis kesenjangan antarwilayah ini, akan menyajikan beberapa fakta kesenjangan antarwilayah yang meliputi:
• Kesenjangan perekonomian antarwilayah • Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah • Kesenjangan kemampuan fiskal antarwilayah • Keseimbangan antara kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat
dengan kemampuan fiskal daerah
2.1. Analisis Kesenjangan Perekonomian Antarwilayah Untuk merepresentasikan pendapatan regional, digunakan parameter output regional (pendekatan produksi) yang sangat terkait dengan area tertentu, dalam hal ini kabupaten/kota digunakan sebagai satuan terkecil.Data yang digunakan ialah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut kabupaten/kota. Dalam hal ini, PDRB menunjukkan total nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh perekonomian suatu daerah (kabupaten/kota) selama satu tahun. Data yang digunakan berasal dari regional account menurut kabupaten/kota yang mulai dipublikasikan oleh BPS secara konsisten sejak tahun 1993. Selanjutnya digunakan nilai PDRB per kapita untuk menunjukkan nilai output dibagi jumlah penduduk di area tersebut. Semakin tinggi nilai PDRB per kapita berarti semakin tinggi kekayaan daerah (region prosperity) di daerah tersebut, dengan kata lain nilai PDRB per kapita dianggap merefleksikan tingkat kekayaan daerah.
2.1.1. Metode Analisis Pendapatan Regional Metode analisis kesenjangan regional dapat ditunjukkan berdasarkan perhitungan disparitas PDRB Perkapita antarwilayah, perhitungan indeks Theil, indeks L dan CVw (CV Williamson). Indeks Theil dan L bisa didekomposisi, dimana kesenjangan total sama dengan penjumlahan dari kesenjangan ‘dalam’ grup dan kesenjangan ‘antar’ grup. Sementara yang terakhir, CVw (CV Williamson)terkenal dan populer digunakan untuk
METODOLOGI ANALISIS KESENJANGAN ANTARWILAYAH
2
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 4
mengukur kesenjangan pendapatan regional, khususnya pendapatan dalam pengertian indikator PDRB per kapita.
1. Pendapatan per Kapita Pendapatan per kapita didekati dari angka PDRB (Produk Domestik Regional
Bruto) per kapita, yaitu perhitungan PDRB di suatu kabupaten/kota dibagi oleh populasi kabupaten/kota tersebut. Formulasi untuk menghitung pendapatan per kapita adalah:
Data yang digunakan untuk mengolah variabel ini berasal dari buku PDRB Kabupaten dan Kota serta Kabupaten dalam Angka.
2. Perhitungan Indeks: a) Theil Indeks merupakan analisis dekomposisi regional (regional decomposition
analysis), kesenjangan “dalam” provinsi (within provinces inequality) dan ketimpangan “antar” provinsi atau between provinces inequality . Misalkan penduduk dikelompokkan secara eksklusif menurut provinsi dan kabupaten, maka indeks Theil dan L didefinisikan sebagai:
Dimana:
Yij = Total pendapatan di provinsi i, grup j
Y = Total pendapatan untuk Indonesia ( Yij)
Yij = Rata-rata pendapatan di provinsi i, grup j
Y = Rata-rata pendapatan untuk Indonesia
nij = penduduk di provinsi i, grup j
n = Total penduduk Indonesia ( nij)
Indeks Theil dan L bisa didekompisisi menjadi komponen dalam grup dan antar grup sebagai berikut:
Ketimpangan total = Ketimpangan dalam grup + ketimpangan antar grup
KotaKabupaten/ Penduduk JumlahKotaKabupaten/ PDRBNilai
Perkapita Pendapatan =
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 5
Dimana:
Yi adalah pendapatan total di provinsi, Y adalah rata-rata pendapatan di provinsi i, dan ni adalah jumlah penduduk di provinsi i. Tw dan Lw adalah komponen dalam grup dari indeks Theil dan L dan didefinisikan sebagai rata-rata tertimbang komponen dalam grup Ti dan Li, penimbangnya adalah proporsi pendapatan untuk Theil dan proporsi penduduk untuk L. TB dan LB adalah komponen antar grup dari indeks Theil dan L, yang murni mengukur ketimpangan karena perbedaan rataan pendapatan antar provinsi.
b. CVw(CV Williamson) Indeks Williamson merupakan pendekatan untuk mengukur derajat ketimpangan antar wilayah berdasarkan PDRB perkapita. Formula ini pada dasarnya sama dengan coefficient of variation (CV) biasa dimana standar deviasi dibagi dengan rataan. Williamson (1965) memperkenalkan CV ini dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk, yang disebut CVw. Formulanya adalah sebagai berikut:
Dimana:
CVw =Weighted coefficient of variation ni = Penduduk di daerah i
n = Penduduk total
Yi = PDRB perkapita di daerah i
Y= Rata-rata PDRB perkapita untuk semua daerah
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 6
2.1.2. Metode Analisis Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi.
TipologiKlassen juga merupakan salah satu alat analisis ekonomi regional yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi suatu daerah.Pada pengertian ini, TipologiKlassen
Melalui Analisis Tipologi
dilakukan dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan pertumbuhan ekonomi daerah yang menjadi acuan atau nasional dan membandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah dengan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau PDB per kapita (secara nasional).
Klassen
ini selain dapat dapat digunakan untuk mengidentifikasi posisi perekonomian suatu daerah dengan memperhatikan perekonomian daerah yang diacunya, dan mengidentifikasi sektor, subsektor, usaha, atau komoditi unggulan suatu daerah, juga dapat memberi gambaran adanya kesenjangan antarwilayah berdasarkan posisi perekonomian yang dimiliki suatu daerah terhadap perekonomian nasional maupun daerah yang diacunya.
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, pengguna analisis tipologiKlassen
1.Dapat membuat prioritas kebijakan daerah berdasarkan keunggulan sektor, subsektor, usaha, atau komoditi daerah yang merupakan hasil analisis tipologi
akan mendapatkan manfaat sebagai berikut:
2. Dapat menentukan prioritas kebijakan suatu daerah berdasarkan posisi perekonomian yang dimiliki terhadap perekonomian nasional maupun daerah yang diacunya.
Klassen.
3. Dapat menilai suatu daerah baik dari segi daerah maupun sektoral. TipologiKlassen menghasilkan empat klasifikasi dengan karakteristik yang berbeda sebagai berikut.
Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi
Rendah Tinggi
Rata-rata PD
RB
Perkapita
Tinggi
Kuadran II Daerah Maju tetapi Tertekan (high income but low growth)
Kuadran I Daerah Cepat Maju dan Cepat-Tumbuh (high growth and high income)
Rendah
Kuadran III Daerah Relatif Tertinggal (low growth and low income).,
Kuadran IV Daerah sedang Berkembang (high growth but low income)
Penjelasan dari matriks di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Daerah yang maju dan tumbuh dengan pesat (Kuadran I). Kuadran ini merupakan kuadran daerah dengan laju pertumbuhan PDRB yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi acuan atau secara nasional dan memiliki
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 7
pertumbuhan PDRB per kapita yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.
2. Daerah maju tapi tertekan (Kuadran II). Daerah yang berada pada kuadran ini memilikinilai pertumbuhan PDRB yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRBdaerah yang menjadi acuan atau secara nasional, tetapi memiliki pertumbuhan PDRBper kapita yang lebih besar dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerahyang menjadi acuan atau secara nasional .
3. Daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat (Kuadran III). Kuadran ini merupakan kuadran untuk daerah yang memiliki nilai pertumbuhan PDRB yang lebih tinggi dari pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional,tetapi pertumbuhan PDRB per kapita daerah tersebut lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.
4.
Daerah relatif tertingggal (Kuadran IV). Kuadran ini ditempati oleh daerah yang memilikinilai pertumbuhan PDRB yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan PDRB daerah yang menjadi acuan atau secara nasional dan sekaligus pertumbuhan PDRBper kapita yang lebih kecil dibandingkan pertumbuhan PDRB per kapita daerah yang menjadi acuan atau secara nasional.
2.2. Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah
Saat ini penggunaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) sebagai indikator kesejahteraan memperoleh penerimaan secara luas di seluruh dunia, bahkan telah memperoleh penerimaan pada tingkat daerah.Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan indeks pembangunan manusia sebagai acuan untuk menentukan tingkat kesejahteraan dalam bentuk ranking kesejahteraan suatu negara atau daerah.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah publikasi Badan Pusat Statistik, baik data Survei Sosial Ekonomi Nasional, Produk Domestik Regional Bruto maupun data lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pola perkembangan dan kesenjangan antarwilayah dengan menggunakan IPM sebagai indikator utama. Deskripsi tentang pola perkembangan dan kesenjangan antarwilayah sangat penting untuk memahami daerah-daerah yang perlu memperoleh perhatian khusus dalam perumusan kebijakan.Selain itu, penelitian ini juga menganalisis keterkaitan pola perkembangan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut dengan variabel-variabel pembentuk IPM dan variabel-variabel lain yang relevan.Berbagai studi telah memperluas eksplorasi dengan memperhitungkan berapa lama yang diperlukan oleh suatu negara atau suatu daerah untuk mencapai tingkat kesejahteraan tertentu.
Salah satu motivasi yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bagaimana bisa menyampaikan dan menyebarkan informasi tentang perkembangan dan kesenjangan kesejahteraan secara luas.Oleh sebab itu, indikator kesejahteraan yang digunakan harus mudah dipahami, komunikatif dan merangsang keterlibatan dalam pembahasan.Hal ini dianggap penting karena perencanaan pembangunan dewasa ini umumnya menggunakan pendekatan partisipatif. Dengan pertimbangan tersebut, penelitian ini
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 8
menggunakan formulasi sederhana, nilai maksimum dan minimum, serta rata-rata hitung, serta tabel dan grafik yang diharapkan bisa membantu kejelasan informasi mengenai perkembangan dan kesenjangan kesejahteraan masyarakat daerah di Indonesia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan suatu indikator komposit tunggal yang diharapkan mampu merangkum beberapa dimensi utama pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar penduduk.Dimensi-dimensi utama itu adalah dimensi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Indikator dan variabel yang menyusun Indeks Pembangunan Manusia ini adalah variabel-variabel yang menunjukan kualitas sumber daya manusia dalam beberapa dimensi-dimensi utama yaitu dimensi ekonomi, dimensi kesehatan, dan dimensi pendidikan, yaitu sebagai berikut:
Indikator Ekonomi : Variabel yang dipakai dalam indikator ini adalah Konsumsi/kapita disesuaikan (ribuan rupiah).
Indikator Kesehatan : Variabel yang dipakai dalam indikator ini adalah Angka Harapan Hidup (tahun).
Indikator Pendidikan : Variabel yang dipakai dalam indikator ini adalah Angka Melek Huruf (%) dan Rata-rata Lama Sekolah (tahun).
Angka Harapan Hidup pada Waktu Lahir (Life Expectancy at Birth)
Angka harapan hidup pada waktu lahir adalah suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup sejak lahir (dalam tahun) yang akan dicapai oleh penduduk. Data yang digunakan berasal dari olahan BPS tahun 1996 dan 1999.
Angka Melek Huruf (Literacy Ratio) Angka melek huruf adalah ukuran persentase penduduk usia sepuluh tahun ke atas yang bisa membaca dan menulis. Formula yang digunakan untuk menghitung angka melek huruf adalah sebagai berikut.
Data digunakan untuk mengolah variabel ini berasal dari Susenas tahun 1996 dan 1999 dan hasil olahan Biro Pusat Statistik tahun 1996 dan 1999.
2) Rata-rata Pengeluaran per Kapita Riil yang Disesuaikan (Adjusted Real per Capita Expenditure)
Komponen standar hidup layak diukur dengan indikator rata-rata konsumsi riil yang telah disesuaikan.Data yang ditampilkan merupakan hasil pengolahan Biro Pusat Statistik (BPS), terutama berdasarkan data Susenas.
100% X Ataske Tahun10Usia Penduduk JumlahBaca TulisBisa yang Ataske Tahun10Usia Penduduk
HurufkAngka Mele =
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 9
Sumber Data yang digunakan dalam penyusunan Indeks Pembanguanan Manusia ini adalah data dari Susenas olahan Biro Pusat Statistik (BPS).
Rumus penghitungan IPM dapat disajikan sebagai berikut:
IPM = 1/3 [X(1) + X(2) + X (3)]
Keterangan:
X(1) = Indeks harapan hidup
X(2) = Indeks pendidikan = 2/3 (indeks melek huruf) +1/3 (indeks rata-rata lama sekolah)
X(3) = Indeks standar hidup layak
Indeks komponen IPM merupakan perbandingan antara selisih nilai suatu indikator dan nilai minimumnya dengan selisih nilai maksimum dan nilai minimum indikator tersebut. Rumusnya dapat disajikan sebagai berikut:
Indeks X(i) = [ X(i) - X(i)min] / [ X(i)maks - X(i)min]
Keterangan:
X(i) = Indikator ke-i (i =1,2,3)
X(i)maks = Nilai maksimum X(i)
X(i)min = Nilai minimum X(i)
Nilai maksimum dan nilai minimum indikator X(i) disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2.2 Analisis Kesenjangan kesejahteraan antarwilayah
2.3. Analisis Pendapatan dan Belanja Daerah Terdapat beberapa macam metode biasa digunakan untuk menganalisis pendapatan dan belanja daerah. Melalui Analisis kesenjangan ini akan dilakukan analisis sebagai berikut:
Komponen IPM (=X(i))
Nilai Maksimum
Nilai Minimum Catatan
Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Rata-rata lama sekolah Konsumsi per kapita yang disesuaikan
85 100 15
732.720 a)
1332.720 c)
25 0 0
300.000 b)
900.000 d)
Standar UNDP Standar UNDP Standar UNDP UNDP menggunakan PDB/kapita riil yang disesuaikan
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 10
1. Rasio Kemandirian Daerah Rasio kemandirian dapat ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan. Rasio PAD terhadap total penpatan memiliki makna kemandirian, yaitu semakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah.
2. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai APBD. Belanja pegawai yang dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung.
3. Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah
Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah dan sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah.
4. Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah
Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah belanja barang dan jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
5. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk
Rasio belanja modal perkapita menunjukkan seberapa besar belanja yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Rasio belanja modal perkapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi karena belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan perekonomian penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang dikeluarkan.
2.4. Metode Penyajian Kesenjangan. Kesenjangan berarti suatu gambaran terhadap fakta (kondisi) yang tidak homogen, yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan yang membutuhkan perhatian.Atas dasar pengertian tersebut, penyusunan profil kesenjangan antarwilayah dimaksudkan untuk memberi gambaran fakta-fakta perbedaan perkembangan kondisi hasil pembangunan antarwilayah, juga terkandung informasi mengenai perbandingan antarwilayah yang maju dan tertinggal.
Kondisi kesenjangan antarwilayah ini akan dilakukan melalui pendekatan analisis data dengan perhitungan indeks yang sudah lajim digunakan, dan dibangun melalui
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 11
pendekatan pengolahan dan teknik penyajian data. Penyajian dengan cara ini diharapkan akan lebih memberikan informasi yang lebih utuh baik secara kuantitatif maupun dimensi ruangnya. Dalam Profil Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antarwilayah ini lingkup unit-unit yang akan diperbandingkan dipilih sedemikian rupa sehingga akan menunjukkan:
1. Kesenjangan antarwilayah Kesenjangan bentuk ini adalah komparatif antarwilayah (kabupaten/kota) yang
disajikan dalam suatu pengamatan yang agregat terhadap seluruh kabupaten/kota yang ada di wilayah Indonesia.
2. Kesenjangan antarwilayah dalam kelompok terdefinitif (cluster pada integrasi spasial, provinsi, pulau, dsb.)
Dalam bentuk ini kesenjangan dilihat dalam suatu lingkup wilayah yang terdefinitif seperti kesenjangan antarwilayah dalam lingkup satu provinsi, satu pulau, dan lainnya.Misalnya kesenjangan antarwilayah (kabupaten/kota) dalam suatu provinsi, kesenjangan antarwilayah (kabupaten/kota) di Pulau Jawa, dan sebagainya.
Untuk menggambarkan keberbandingan melalui pendekatan di atas, akan disajikan melalui format sebagai berikut:
• Grafik, berisi ilustrasi hasil pengolahan data tabular seperti perankingan kabupaten dan kota berdasarkan olahan suatu variabel. Grafik ini juga untuk menggambarkian nilai-nilai ekstrim seperti grafik 10 kabupaten/kota tertinggi dan 10 kabupaten/kota terrendah dan mengambarkan perbandingan antara kabupaten/kota tertinggi dengan kabupaten terrendah seperti grafik perbandingan 10 kabupaten/kota tertinggi dengan 10 kabupaten/kota terrendah.
• Diagram Pencar (Scatter Plot), berisi pemetaan kondisi dan kedudukan kota/kabupaten dilihat dari dua atau tiga aspek variabel yang saling terkait dan dinilai mampu memberikan makna yang lebih berarti.lihat Box 1.
• Tabular dan perankingan yaitu penyajian data-data dengan menggunakan tabel yang merupakan hasil penghitungan baik dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif maupun teknik analisis lain yang relevan, dilengkapi dengan peringkat kota/kabupaten dalam skala nasional dan provinsi berdasarkan variabel yang diolah yang mengukur keterbandingan antar kabupaten/kota.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 12
0.00 20.00 40.00 60.00 80.00
VARIABEL 1
6.00
7.00
8.00
9.00
10.00
11.00
VA
RIA
BE
L 2
Kuadran IKuadran II
Kuadran III Kuadran IV
Nilai
Rat
a-ra
ta V
aria
bel
1
Nilai Rata-rata Variabel 2
BOKS 1.
KETERANGAN SALIB SUMBU
Variabel 1 merupakan variabel yang dipertimbangkan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap variabel 2, dan variabel 2 dapat merupakan variabel output, outcome atau impact.
Kuadran I: merupakan kelompok provinsi yang berada di atas rata-rata niai variabel 1 dan 2.
Kuadran II: merupakan kelompok provinsi yang berada di atas rata-rata variabel 2, dan berada di bawah rata-rata variabel 1.
Kuadran III: merupakan kelompok provinsi yang berada di bawah rata-rata niai variabel 1 dan 2.
Kuadran IV: merupakan kelompok provinsi yang berada di bawah rata-rata variabel 2, dan berada di atas rata-rata variabel 1.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 13
3.1. Kesenjangan Pendapatan Regional
Perekonomian nasional masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera, hampir >70 persen nilai PDRB terkonsentarasi di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera seperti disajikan pada Gambar 3.1. Perkembangan nilai PDRB dalam periode 2005-2009 (BPS 2010), kontribusi Wilayah Jawa-Bali terhadap pembentukan PDB Nasional tahun 2005 mencapai 60,11 persen dan 59,39 persen tahun 2010. Sementara untuk wilayah Sumatera sekitar 22,12 persen (2005) meningkat pada tahun 2010 menjadi 23,03 persen. Sedangkan kontribusi paling rendah adalah dari wilayah Maluku hanya sekitar 0,27 persen (2005) dan 0,25 persen (2010). Jika dilihat nilai PDRB antarprovinsi tahun 2010, menunjukan tingkat kesenjangan yang cukup tinggi antarprovinsi, hal ini ditunjukan dengan adanya gap PDRB tertinggi dan terredah antar provinsi, nilai PDRB tertinggi di Provinsi DKI Jakarta (Rp. 862.158.910,75 juta), Jawa Tengah (Rp. 444.396.468,19 juta), Jawa Barat (Rp. 770.660.479,99 juta), Jawa Timur (Rp. 778.455.772,46 juta), Riau (Rp. 342.691.448,53 juta), dan nilai PDRB terrendah adalah Provinsi Maluku Rp. 8.084.807,44 juta). Maluku Utara (RP. 5.387.443,93 juta), dan Gorontalo (Rp. 8.056.514,92 juta). Lampiran 1.
Gambar 3.1.
Distribusi Nilai PDRB Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2010, (dalam persen)
Share PDRB terhadap PDB (persen) Share PDRB terhadap PDB (persen)
Sumber: BPS 2010
22.12
60.11
10
4.07
1.51
0.27
1.93
2005
Sumatera
Jawa & Bali
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara
Maluku
Papua
23.03
59.39
9.134.61
1.45
0.25
2.12
2010**)
Sumatera
Jawa & Bali
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara
Maluku
Papua
KESENJANGAN PEREKONOMIAN ANTARWILAYAH
3
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 14
3.1.1. Disparitas PDRB Perkapita Antarprovinsi. Kesenjangan perekonomian antarwilayah dapat digambarkan dari output regional berdasarkan PDRB perkapita. Kesenjangan pendapatan antar provinsi menunjukan angka cukup tinggi atau disparitas cukup tinggi, diakibatkan adanya nilai PDRB perkapita dibeberapa provinsi yang jauh lebih besar dari rata-rata PDB perkapita nasional, diantaranya adalah PDRB perkapita di Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau, dan Kepulauan Riau. Sebaliknya beberapa provinsi dengan PDRB perkapita sangat rendah, meliputi Provinsi Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku,dan Gorontalo. Tingginya PDRB perkapita di Kalimantan Timur dan Riau disebabkan wilayah tersebut memiliki sumber daya alam yang berlimpah seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang, dan sumberdaya hutan. Di Kepulauan Riau disebabkan adanya Kota Batam yang merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan antar Negara. Sementara DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan sektor industri, jasa dan perdagangan.
Perkembangan disparitas setiap provinsi berdasarkan PDRB perkapita dengan migas dan tanpa migas tahun 2005 dan 2009 rata-rata menunjukan kecenderungan semakin melebar. Seperti disajikan pada Gambar 3.1, ditunjukan bahwa tingginya kesenjangan PDRB perkapita antarprovinsi karena adanya gap yang cukup tinggi antara PDRB perkapita tertinggi dan Terrendah, PDRB perkapita tanpa migas tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Timur, DKI Jakarta, Riau dan Kepulauan Riau, sedangkan PDRB perkapita terrendah terdapat di Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku Utara. Berdasarkan Tabel 3.1, terlihat tingkat perbandingan disparitas tahun 2009 antarprovinsi di lingkup pulau, disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Kepulauan Riau dan Riau yang di tunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Riau tahun 2009 mencapai sebesar Rp. 63.986 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 21.802 ribu/jiwa dengan PDRB perkapita tertinggi terdapat Pelalawan, Siak, Kuantan Singingi, dan terrendah di Kabupaten Kampar, Kota Dumai, di Provinsi Kepulauan Riau dengan
Gambar 3.2. Perbandingan PDRB Perkapita (ADHB) dengan Migas
dan Tanpa Migas Antarprovinsi, Tahun 2009
Sumber: Data PDRB, Data BPS
82,08088,920
4,8085,225
47,81681,746
0 25,000 50,000 75,000 100,000
MalutNTT
MalukuGorontalo
SulbarBengkulu
NTBLampung
DIYJatengSultraKalbarSulsel
SultengBanten
SulutKalselJambiJabar
SumbarBali
AcehKaltengSumut
JatimSumselPapua …
Kep. BaBelNASIONAL
PapuaKepriRiauDKI
Kaltim
PDRB Perkapita Tanpa Migas 2009**PDRB Perkapita dengan Migas 2009**
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 15
PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 52,336 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 10,100 ribu/jiwa, kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di Kota Batam, Kab.Bintan, Kota Tanjung Pinang dan PDRB terrendah terdapat di Padang Kabupaten Lingga. Sementara disparitas terrendah di tunjukan dengan rendahnya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, disparitas terrendah terdapat di Provinsi Jambi dan Bengkulu dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Jambi sebesar Rp. 17,875 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar Rp. 7,886 ribu/jiwa. Kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di Tanjung Jabung Barat, Kota Sungai Penuh, dan Kota Jambi dan PDRB terrendah terdapat di Kabupaten Tebo dan Muaro Jambi. Sementara untuk PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Bengkulu sekitar Rp. 14,984 ribu/jiwa dan terrendah sebesar Rp. 4.093 ribu/jiwa, Kabupaten/kota dengan PDRB perkapita terbesar terdapat di Kota Bengkulu dan Rejang Lebong, Kepahiang dan PDRB terrendah terdapat di Kabupaten Kaur, Seluma. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sumatera
Wilayah Tahun Disparitas (ribu Rp) Keterangan
Max. Min. Perubahan Tertinggi Terendah Aceh 2005 15.207 3.411 11.796 Lhokseumawe, Nagan
Raya, Banda Aceh Simeulue, Aceh Singkil, Kota Subulusallam
2009** 29.403 4.644 24.759 Banda Aceh, Lhokseumawe, Nagan Raya
Ubussalam, Aceh Jaya, Simeulue
Sumatera Utara
2005 24.163 4.474 19.689 Kab.Asahan, Deli Serdang, Kota Tanjung Balai, Kota Binjai
Pakpak Bharat dan Tapanuli Tengah
2009** 37.270 6.141 31.129 Batu Bara, Labuhan Batu Selatan, dan Deli Serdang
Pakpak Bharat dan Tapanuli Tengah
Sumatera Barat
2005 16.555 5.375 11.180 Kota Padang, Kota Pariaman, Kota Swah Lunto
Pesisir Selatan, Solok Selatan, Pasaman
2009** 24.941 9.099 15.842 Kota Padang, Kota Pariaman, Kep. Mentawai
Pesisir Selatan, Solok Selatan, Pasaman
R i a u 2005 28.887 11.780 17.107 Pelalawan, Siak, Kuantan Singingi
Kampar, Kota Dumai
2009** 63.986 21.802 42.184 Pelalawan, Siak, Kuantan Singingi
Kampar, Kota Dumai
J a m b i 2005 10.658 4.551 6.107 Tanjung Jabung Barat, Kota Jambi, Kerinci
Tebo dan Muaro Jambi
2009** 17.875 7.886 9.989 Tanjung Jabung Barat, Kota Sungai Penuh, dan Kota Jambi
Tebo dan Muaro Jambi
Sumatera Selatan
2005 12.856 4.325 8.531 Kota Palembang, Musi Banyuasin
Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ulu Selatan
2009** 22.311 7.738 14.573 Kota Palembang, Musi Banyuasin
Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Komering Ulu Selatan
Bengkulu 2005 10.148 2.761 7.387 Kota Bengkulu, Rejang Lebong, Kepahiang
Kaur, Seluma
2009** 14.984 4.093 10.891 Kota Bengkulu dan Rejang Lebong, Kepahiang
Kaur, Seluma
Lampung 2005 8.561 3.690 4.871 Kota Bandar Lampung, Tulang Bawang, Lampung Utara
Way Kanan, Lampung Barat
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 16
2009** 20.477 6.302 14.175 Kota Bandar Lampung, Tulang Bawang, Lampung Utara
Way Kanan, Lampung Barat
Bangka Belitung
2005 22.533 10.139 12.394 Bangka Barat, Belitung Timur, Bangka Tengah
Bangka, Bangka Selatan
2009** 33.277 10.139 23.138 Bangka Barat, Belitung Timur, Bangka Tengah
Bangka, Bangka Selatan
Kepulauan Riau
2005 42.043 7.397 34.646 Kota Batam, Kab.Bintan, Kota Tanjung Pinang
Lingga
2009** 52.336 10.100 42.236 Kota Batam, Kab.Bintan, Kota Tanjung Pinang
Lingga
Sumber: BPS Thaun 2010 Keterangan: **) angka sangat sementara Di wilayah Jawa-Bali, perkembangan disparitas PDRB perkapita setiap provinsi antara tahun 2005 dan 2009, menunjukan kecenderungan semakin melebar. Berdasarkan Tabel 3.2, terlihat jika diperbandingkan tingkat disparitas tahun 2009 antarprovinsi di lingkup pulau, disparitas tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Timur yang di tunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di Provinsi DKI Jakarta mencapai sebesar Rp. 222,549 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 16,292 ribu/jiwa, dengan nilai tertinggi terdapat di Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan PDRB perkapita terrendah Jakarta Barat, Kep Seribu. PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Jati Tengah mencapai sebesar Rp. 202.335 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 3,245 ribu/jiwa, dengan nilai tertinggi terdapat di Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang dan PDRB perkapita terrendah Trenggalek, Pamekasan, . Sementara disparitas terrendah di tunjukan dengan rendahnya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, disparitas terrendah terdapat di Provinsi DI Yogyakarta dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 22,892 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar Rp. 5,656 ribu/jiwa, dengan nilai tertinggi terdapat di Kota Yogyakarta, Kab. Sleman dan PDRB perkapita terrendah Kulon Progo, Bantul. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Jawa-Bali
Wilayah Tahun PDRB Perkapita (Ribu Rp.) Keterangan Max. Min. Selisih Tertinggi Terendah
DKI Jakarta
2005 126.766 10.305 116.461 Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan
Jakarta Barat, Kep Seribu
2009** 222.549 16.292 206.257 Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan
Jakarta Barat,Kep Seribu
Jawa Barat 2005 28.336 4.395 23.941 Bekasi, Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Cimahi
Majalengka, Tasikmalaya, Kuningan
2009** 38.655 6.905 31.750 Bekasi, Kota Cirebon, Kota Bandung
Kuningan, Majalengka, Tasikmalaya
Jawa Tengah
2005 26.275 2.717 23.558 Kudus, Kota Semarang, Cilacap
Kebumen, Tegal, Gerobogan
2009** 36.240 4.283 31.957 Kudus, Kota Semarang, Cilacap
Kebumen, Tegal, Gerobogan
DI Yogyakarta
2005 15.495 5.550 9.945 Kota Yogyakarta, Kab. Sleman
Kulon Progo, Bantul
2009** 22.892 5.656 17.236 Kota Yogyakarta, Kab. Sleman
Kulon Progo, Bantul
Jawa Timur
2005 121.228 3.245 117.983 Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang
Trenggalek, Pamekasan, Pacitan
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 17
2009** 202.335 3.245 199.090 Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang
Trenggalek, Pamekasan, Pacitan
Banten 2005 39.971 4.209 35.762 Kota Tanggerang, Banten
Lebak, Kab. Tangerang
2009** 57.229 5.783 51.446 Kota Tanggerang, Banten
Lebak, Kab. Tangerang
B a l i 2005 17.981 5.852 12.129 Kab. Badung, Kota Denpasar
Bangli, Karang Asem
2009** 30.350 9.477 20.873 Kab. Badung, Kota Denpasar
Bangli, Karang Asem
Sumber: BPS Thaun 2010 Keterangan: **) angka sangat sementara Di wilayah Kalimantan, perkembangan disparitas PDRB perkapita seluruh provinsi antara tahun 2009 dan 2009, menunjukan kecenderungan semakin melebar. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan yang di tunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur mencapai sebesar Rp. 135,165 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 12,545 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Kalimantan Timur berada di Kutai Timur, Bontang, Kutai Kartanegara dan PDRB perkapita terrendah di Nunukan, Penajam Paser Utara. PDRB perkapita tertinggi di Provinsi Kalimantan Selatan mencapai sebesar Rp. 29,746 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 5,945 ribu/jiwa dengan PDRB perkapita tertinggi di Kalimantan Selatan berada di Kota Baru, Tanah Bambu, Balangan, Tabalong dan PDRB perkapita terrendah di Hulu Sungai tengah, Hulu Sungai Utara. Sementara disparitas terrendah terdapat di Provinsi Kalimantan Tengah dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 23,690 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar Rp. 9,379 ribu/jiwa, dengan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten Gunung Mas, Kapuas, Pulang Pisau, Murung Raya, dan Barito Timur. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di wilayah Kalimantan
Wilayah Tahun PDRB Perkapita (Ribu Rp.) Keterangan
Max. Min. Selisih Tertinggi Terendah
Kalimantan Barat
2005 13.752 3.532 10.220 Kota Pontianak, Kab. Pontianak, Kota Singkawang
Sekadu, Melawi
2009** 19.744 4.941 14.803 Kota Pontianak, Kab. Pontianak, Kota Singkawang
Sekadu, Melawi
Kalimantan Tengah
2005 19.809 6.417 13.392 Kab. Sukamara, Murung Raya, Seruyan
Gunung Mas, Kapuas, Pulang Pisau
2009** 23.690 9.379 14.311 Kab. Sukamara, Murung Raya, Seruyan, Kotawaringin Timur
Gunung Mas, Kapuas, Pulang Pisau
Kalimantan Selatan
2005 19.662 4.187 15.475 Kota Baru, Tanah Bambu, Balangan
Hulu Sungai tengah, Hulu Sungai Utara
2009** 29.746 5.945 23.801 Kota Baru, Tanah Bambu, Balangan, Tabalong
Hulu Sungai tengah, Hulu Sungai Utara
Kalimantan Timur
2005 68.499 8.224 60.275 Kutai Timur, Kota Bontang, Kab. Berau
Nunukan, Penajam Paser Utara
2009** 135.165 12.545 122.620 Kutai Timur, Bontang, Kutai Kartanegara
Nunukan, Penajam Paser Utara
Sumber: BPS Tahun 2010 Keterangan: **) angka sangat sementara
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 18
Di wilayah Sulawesi, perkembangan disparitas PDRB perkapita seluruh provinsi antara tahun 2005 dan 2009, menunjukan kecenderungan semakin melebar. Keceuali Provinsi Sulawesi Selatan kecenderungan menurun. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara yang di tunjukan dengan tingginya selisih nilai PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di Sulawesi Selatan mencapai sebesar Rp. 27,031 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 5,241 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Sulawesi Selatan terdapat di Kabupaten Luwu Timur, Kota Makasar, Pangkajene, dan PDRB perkapita terrendah di Tana Toraja, Gowa, Jenepon. PDRB perkapita tertinggi dan terendah di provinsi tersebut, PDRB perkapita tertinggi di Sulawesi Utara mencapai sebesar Rp. 23,647 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 7,097 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Sulawesi Utara terdapat di Kabupaten Kota Bitung , Kota Manado, Kota Tomohon, Minahasa Tenggara, dan PDRB perkapita terrendah di Bolaang Mangondow Selatan Kutamobagu. Sementara disparitas terrendah terdapat di Provinsi Sulawesi Barat dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 10,229 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar Rp. 7,035 ribu/jiwa, dengan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten Mamasa. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sulawesi
Wilayah Tahun PDRB Perkapita (Ribu Rp.) Keterangan
Max. Min. Selisih Tertinggi Terendah
Sulawesi Utara
2005 14.298 5.212 9.086 Kota Bitung, Kota Manado,
Kepulauan Sangihe, Kepulauan Talaud, Bolaang Mangondow
2009** 23.647 7.097 16.550 Kota Bitung , Kota Manado, Kota Tomohon, Minahasa Tenggara
Bolaang Mangondow Selatan Kutamobagu
Sulawesi Tengah
2005 9.768 3.191 6.577 Kota Palu, Parigi Moutong
Buol, Banggai Kepulauan, Tojo Una una
2009** 17.834 4.794 13.040 Kota Palu, Kab. Morowali, Parigi Mautong
Buol, Banggai Kepulauan, Tojo Una una
Sulawesi Selatan
2005 24.274 3.124 21.150 Luwu Timur, Kota Makasar, Pangkajene
Tana Toraja, Gowa, Jeneponto
2009** 27.031 5.241 21.790 Luwu Timur, Kota Makasar, Pangkajene
Tana Toraja, Gowa, Jeneponto
Sulawesi Tenggara
2005 11.116 3.248 7.868 Kolaka, Kolaka Utara, Kota Kendari
Wakatobi, Buton
2009** 19.694 6.091 13.603 Kolaka, Kolaka Utara, Kota Kendari
Wakatobi, Buton
Gorontalo 2005 4.725 2.764 1.961 Pahuwato, Kota Gorontalo
Gorontalo, Bone Bolango
2009** 8.918 4.905 4.013 Pahuwato, Kota Gorontalo, Bone Bolango
Gorontalo Utara
Sulawesi Barat
2005 6.149 3.779 2.370 Mamuju Utara, Mamasa
Polewali Mandar
2009** 10.229 7.035 3.194 Mamuju Utara, Mamuju, Majene
Mamasa
Sumber: BPS Tahun 2010, Keterangan: **) angka sangat sementara
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 19
Di wilayah Maluku, Nustra, dan Papua perkembangan disparitas PDRB perkapita setiap provinsi antara tahun 2005 dan 2009 rata-rata menunjukan kecenderungan semakin melebar. Kecuali Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua menunjukan kecenderungan menurun, namun kedua provinsi tersebut memiliki disparitas paling tinggi diantara provinsi lainnya dengan nilai PDRB perkapita tertinggi terdapat di Mimika. PDRB perkapita tertinggi di Nusa Tenggara Barat mencapai sebesar Rp. 128,262 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 4,789 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Nusa Tenggara Barat terdapat di Kabupaten Sumbawa Barat, Kota Mataram, Dompu, Sumbawa, dan PDRB perkapita terrendah di Lombok Tengah, Lombok Timur. Untuk PDRB perkapita tertinggi di Papua mencapai sebesar Rp. 295,051 ribu/jiwa dan terrendah Rp. 1,553 ribu/jiwa, PDRB perkapita tertinggi di Papua terdapat di Kabupaten Mimika, Boven Digul, Kota Jayapura, dan PDRB perkapita terrendah di Yahukimo, Nduga, Lanny Jaya. Sementara disparitas terrendah terdapat di Provinsi Maluku Utara dengan perbadingan PDRB perkapita tertinggi sebesar Rp. 10,796 ribu/jiwa dan PDRB perkapita terrendah sebesar Rp. 3,305 ribu/jiwa, dengan PDRB perkapita terrendah di Kabupaten Halmahera Barat, Kepulauan Sula. Perbandingan PDRB perkapita kabupaten/kota di tiap provinsi disajikan pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Disparitas PDRB perkapita Provinsi Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Maluku,
Nus Tenggara dan Papua
Wilayah Tahun PDRB Perkapita (Ribu Rp.) Keterangan
Max. Min. Selisih Tertinggi Terendah
Nusa Tenggara Barat
2005 99.512 2.974 47.415,82 Sumbawa Barat, Mataram, Dompu
Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah
2009** 128.262 4.789 36.020,13 Sumbawa Barat, Kota Mataram, Dompu, Sumbawa
Lombok Tengah, Lombok Timur
Nusa Tenggara Timur
2005 9.623 1.968 4.671,25 Sumba Barat, Kota Kupang, Ngada
Lembata, Manggarai
2009** 13.452 3.031 5.388,32 Kota Kupang, Ngada Sumba Barat Daya, Manggarai Timur
Maluku 2005 7.764 1.908 4.227,94 Kota Ambon, Maluku Tenggara Barat,
Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, Seram Bagian Timur
2009** 10.942 2.757 4.575,61 Kota Ambon, Kota Tual, Kepulauan Aru
Seram Bagian Barat, seram Bagian Timur
Maluku Utara 2005 6.635 2.226 3.591,83 Halmahera Tengah, Halmahera Timur,
Halmahera Barat, Kep Sula
2009** 10.796 3.305 3.898,31 Halmahera Tengah, Halmahera Timur,
Halmahera Barat, Kepulauan Sula
Papua Barat 2005 11.759 4.480 4.227,94 Kaimana, Sorong, Fakfak, Teluk Bintuni
Sorong Selatan, Teluk Wondama
2009** 17.464 7.134 4.575,61 Fakfak, Teluk Bintuni, Kaimana
Sorong Selatan, Raja Empat
Papua 2005 254.141 935 74.002,34 Mimika, Boven Digul, Kota Jayapura
Asmat, Pegunungan Bintan, Yahukimo
2009** 295.051 1.553 66.307,24 Mimika, Boven Digul, Kota Jayapura
Yahukimo, Nduga, Lanny Jaya
Sumber: BPS Tahun 2008 Keterangan: *) angka sementara; **) angka sangat sementara
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 20
3.1.2. Indeks Kesenjangan Regional Pengukuran kesenjangan regional melalui pendekatan indeks akan digunakan berdasarkan analisis Theil indeks, dan CVw (CV Williamson). Indeks Theil dan L bisa didekomposisi, dimana ketimpangan total sama dengan penjumlahan dari ketimpangan ‘dalam’ grup dan ketimpangan ‘antar’ grup. Sementara yang terakhir, CVw digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan regional, khususnya pendapatan dalam pengertian indikator PDRB per kapita.
Tabel 3.6 : Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun 2005 sampai 2009.
Tipe Kesenjangan 2005 2006 2007 2008 2009
T-within prov 0,191 0,189 0,186 0,179 0,182 T-between prov 0,206 0,206 0,207 0,216 0,218 Total 0,397 0,395 0,393 0,395 0,400 T-within prov (%) 48,10 47,80 47,44 45,39 45,54 T-between prov (%) 51,90 52,20 52,56 54,61 54,46
Sumber: diolah 2011
Gambar 3.3 : Nilai CVw dan T-Indek Kesenjangan PDRB Perkapita Tahun 2005 sampai 2009
Ketimpangan wilayah diukur dengan Theil Indeks dari PDRB perkapita dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2005-2009), menunjukan kesenjangan antar wilayah di Indonesia semakin meningkat. Dari Tabel 3.6 dan Gambar 3.3, diperlihatkan nilai Theil Indeks tahun 2005-2009 sekitar 0,4 dan juga ditunjukan dengan nilai CVw berkisar antara 0,817-0,843. Jika didekomposisi tingkat kesenjangan antar wilayah lebih besar di akibatkan oleh besarnya kontribusi ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan dalam provinsi, dimana pada tahun 2009 ketimpangan “antar” provinsi (between provinces inequality) menyumbang sekitar 54,46 persen terhadap ketimpangan total, dan disebabkan oleh ketimpangan “dalam” provinsi atau
2005 2006 2007 2008 2009
T-within prov 0.191 0.189 0.186 0.179 0.182
T-between prov 0.206 0.206 0.207 0.216 0.218
Thail Indeks_Nasional 0.397 0.395 0.393 0.395 0.4
CVw_Nasional 0.817 0.816 0.818 0.842 0.843
0.80.8050.810.8150.820.8250.830.8350.840.8450.85
00.05
0.10.15
0.20.25
0.30.35
0.40.45
T-Indeks CVw
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 21
within provinces inequality, menyumbang sekitar 45,54 persen, jika dilihat dalam kurun waktu lima tahun tingkat ketimpangan nasional lebih disebabkan oleh tingkat ketimpangan antar provinsi, sementara untuk ketimpangan dalam provinsi menunjukan perkembangan yang semakin membaik. Ketimpangan “dalam” provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi.
Dari Tabel 3.7 tecatat, provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya ketimpangan antarprovinsi tahun 2009 adalah provinsi DKI Jakarta, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Bangka Belitung, sementara kontribusi terbesar yang mendorong ketimpangan dalam provinsi, adalah provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua. Dari table tersebut dapat dilihat, bahwa angka (-) menunjukan wilayah tersebut memiliki kontribusi terhadap pengurangan ketimpangan wilayah, sebaliknya angka (+) menunjukan wilayah tersebut berkontribusi terhadap meningkatnya ketimpangan wilayah.
Tabel 3-7 : Theil Indeks dari PDRB Perkapita (ADHB) Menuru Pulau Tahun 2005 dan 2009
Wilayah Tipe Kesenjangan 2005 2006 2007 2008 2009
P. Sumatera T-within pulau 0,004 0,003 0,003 0,004 0,005 T-between pulau 0,006 0,005 0,010 0,012 0,019
P. Jawa-Bali T-within prov 0,140 0,141 0,138 0,139 0,138 T-between pulau 0,198 0,203 0,200 0,210 0,203
P. Kalimantan T-within prov 0,005 0,006 0,006 0,007 0,007 T-between pulau 0,026 0,026 0,024 0,026 0,024
P. Sulawesi T-within prov 0,005 0,005 0,005 0,005 0,005 T-between pulau -0,023 -0,023 -0,023 -0,022 -0,021
P. NT, Maluku dan Papua
T-within prov 0,037 0,034 0,035 0,024 0,027 T-between pulau -0,002 -0,005 -0,004 -0,010 -0,008
NASIONAL T-within prov 0,191 0,189 0,186 0,179 0,182 T-between pulau 0,206 0,206 0,207 0,216 0,218
Sumber: diolah Bappenas 2011, Data PDRB Kab/kota BPS
Tabel 3.8: IW dan Theil Indeks PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2009.
PROVINSI WI intra prov T-between prov T-within prov
2005 2009**) 2005 2009**) 2005 2009**)
Aceh 0,411 0,516 -0,0030 -0,0022 0,0003 0,0004 Sumatera Utara 0,445 0,238 -0,0032 -0,0074 0,0038 0,0028 Sumatera Barat 0,371 0,314 -0,0019 -0,0017 -0,0064 -0,0065 Riau 0,300 0,329 0,0213 0,0394 0,0009 0,0021 Jambi 0,259 0,240 -0,0033 -0,0029 0,0003 0,0003 Sumatera Selatan 0,384 0,407 -0,0067 -0,0060 0,0016 0,0020 Bengkulu 0,399 0,405 -0,0022 -0,0024 0,0003 0,0003 Lampung 0,264 0,360 -0,0110 -0,0092 0,0006 0,0012 Kep. Bangka Belitung 0,309 0,318 0,0013 0,0005 0,0002 0,0002 Kep. Riau 0,507 0,446 0,0151 0,0106 0,0022 0,0016 Dki. Jakarta 0,576 0,601 0,2860 0,2947 0,0245 0,0264 Jawa Barat 0,620 0,581 -0,0249 -0,0280 0,0227 0,0210
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 22
Jawa Tengah 0,757 0,719 -0,0473 -0,0472 0,0168 0,0147 Di Yogyakarta 0,425 0,400 -0,0037 -0,0041 0,0008 0,0007 Jawa Timur 1,245 1,267 -0,0072 -0,0046 0,0646 0,0655 Banten 0,811 0,821 -0,0028 -0,0055 0,0093 0,0087 Bali 0,392 0,428 -0,0019 -0,0020 0,0009 0,0010 NTB 2,303 2,009 -0,0060 -0,0065 0,0085 0,0063 NTT 0,505 0,448 -0,0065 -0,0072 0,0006 0,0005 Kalimantan Barat 0,335 0,313 -0,0041 -0,0049 0,0007 0,0007 Kalimantan Timur 0,262 0,206 0,0002 -0,0005 0,0003 0,0002 Kalimantan Selatan 0,432 0,425 0,0001 -0,0022 0,0004 0,0012 Kalimantan Timur 0,479 0,613 0,0294 0,0320 0,0033 0,0054 Sulawesi Utara 0,372 0,395 -0,0016 -0,0017 0,0006 0,0006 Sulawesi Tengah 0,225 0,265 -0,0029 -0,0026 0,0002 0,0003 Sulawesi Selatan 0,621 0,528 -0,0101 -0,0089 0,0036 0,0032 Sulawesi Tenggara 0,390 0,350 -0,0026 -0,0023 0,0004 0,0004 Gorontalo 0,232 0,192 -0,0015 -0,0016 0,0000 0,0000 Sulawesi Barat 0,160 0,138 -0,0016 -0,0016 0,0000 0,0000 Maluku 0,570 0,564 -0,0022 -0,0022 0,0003 0,0003 Maluku Utara 0,271 0,288 -0,0014 -0,0015 0,0000 0,0000 Papua Barat 0,213 0,207 -0,0005 -0,0006 0,0001 0,0001 Papua 2,678 2,270 0,0149 0,0102 0,0280 0,0199
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
Jika diperbandingkan tingkat kesenjangan wilayah pulau selama kurun waktu 2005 sampai 2009 (Tabel 3.9), menunjukan tingkat kesenjangan wilayah pulau rata-rata kecenderungan meningkat, kecuali untuk wilayah kecenderungan menurun, untuk wilayah Sumatera dari tahun 2005-2007 menunjukan tingkat kesenjangan menurun, namun pada tahun 2008 dan hingga akhir 2009 tingkat kesenjangan meningkat. Sebaliknya kondisi kesenjangan di Wilayah Jawa-Bali, Kalimantan dan Wilayah Maluku-Nustra-Papua kecenderungan semakin melebar, hal ini diperlihatkan dengan nilai CVw tahun 2008 lebih besar disbanding tahun 2004. Jika diperbandingkan antarpulau, tingkat kesenjangan tertinggi terjadi di wilayah Jawa-Bali yaitu dengan kisaran nilai CVw sebesar 0,92-0,94 dan tingkat kesenjangan terrendah di wilayah Sulawesi dengan kisaran nilai CVw 0,16-0,23.
Tabel 3.9: CVw dari PDRB Perkapita Non Migas (ADHK) Menurut Pulau Tahun 2005 dan 2009
Wilayah 2005 2006 2007 2008 2009** Sumatera 0,21 0,21 0,20 0,21 0,22 Jawa-Bali 0,71 0,70 0,70 0,73 0,73 Kalimantan 0,13 0,13 0,13 0,14 0,14 Sulawesi 0,16 0,16 0,16 0,14 0,13 Nustra-Maluku-Papua 0,23 0,27 0,25 0,26 0,26 Nasional 0,82 0,82 0,82 0,84 0,84
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS Kondisi ketimpangan wilayah di Sumatera antara tahun 2005-2009 kecenderungan meningkat, seperti diperlihatkan dengan nilai Theil Indeks dari PDRB perkapita dengan perhitungan tanpa migas menurun dari tahun 2004 ke tahun 2008 (Tabel 3.10), yaitu tahun 2005 sebesar 0,01 dan tahun 2009 sebesar 0,023. Ketimpangan di Wilayah Sumatera tahun 2005 lebih akibatkan oleh besarnya kontribusi ketimpangan
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 23
antarprovinsi (between provinces inequality) dibandingkan ketimpangan dalam provinsi, dimana ketimpangan “antar” provinsi menyumbang sebesar rata-rata 62.12 persen terhadap ketimpangan total. Sedang sisanya yang 37.88 persen, disebabkan oleh ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality). Seperti halnya pada tahun 2008, ketimpangan di wilayah Sumatera persen disebabkan oleh ketimpangan antarprovinsi dibanding ketimpangan dalam provinsi. Ketimpangan antarprovinsi berkontribusi sebesar 80.29 persen, sementara ketimpangan dalam provinsi tercatat sebesar 19.71 persen. Ketimpangan dalam provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi. Wilayah yang kontribusi besar terhadap ketimpangan antar provinsi adalah Provinsi Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, sementara ketimpangan dalam provinsi Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Riau.
Tabel 3.10. Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi
Tahun 2005 dan 2009 di Wilayah Sumatera Tipe Kesenjangan 2005 2006 2007 2008 2009
T-within provinsi 0,004 0,003 0,003 0,004 0,005 T-between Provinsi 0,006 0,005 0,010 0,012 0,019 Total 0,010 0,008 0,012 0,016 0,023 T-within prov (%) 37,88 38,86 20,67 25,14 19,71 T-between prov (%) 62,12 61,14 79,33 74,86 80,29
Sumber: diolah 2011
Kesenjangan ekonomi antar provinsi menurut analisis CVw, menunjukan kondisi kesenjangan wilayah antarprovinsi di Sumatera kecenderungan menurun dari tahun 2005-2007, namun pada tahun 2008-2009 kesenjangan cenderung meningkat. Hal tersebut diperlihatkan dengan nilai CVw semakin menurun dari tahun 2005 sdengan nilai CVw sebesar 0,215 dan tahun 2007 sebesar 0,204, namun pada tahun 2008 meningkat menjadi 0,209 dan hingga akhir 2009 sebesar 0.222. Sementara ketimpangan dalam provinsi di Sumatera Utara, dan Kepulauan Riau menunjukan ketimpangan menurun dari tahun 2005-2009, sementara untuk provinsi lainnya kecedenderungan semakin melebar (Tabel 3.11).
Tabel 3.11: CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009di Wilayah Sumatera
PROVINSI WI intra prov 2005 2006 2007 2008*) 2009**)
Aceh 0,411 0,454 0,464 0,484 0,516 Sumatera Utara 0,445 0,263 0,253 0,247 0,238 Sumatera Barat 0,371 0,352 0,341 0,334 0,314 Riau 0,300 0,303 0,311 0,329 0,329 Jambi 0,259 0,243 0,239 0,230 0,240 Sumatera Selatan 0,384 0,388 0,394 0,404 0,407 Bengkulu 0,399 0,402 0,402 0,401 0,405 Lampung 0,264 0,279 0,301 0,341 0,360 Kep. Bangka Belitung 0,309 0,306 0,301 0,324 0,318 Kep. Riau 0,507 0,491 0,478 0,478 0,446 Sumatera 0,215 0,213 0,204 0,209 0,222
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 24
Kondisi ketimpangan wilayah di Jawa-Bali antara dari tahu 2005 sampai 2009 menunjukan kecenderungan semakin meningkat (Tabel 3.12), hal ini diperlihatkan dengan nilai Theil indeks dan nilai CVw tahun 2009 lebih besar dibandingkan tahun 2005, dengan perhitungan PDRB perkapita tanpa migas. Ketimpangan di Wilayah Jawa-Bali tahun 2009 lebih akibatkan oleh adanya ketimpangan antarprovinsi dibandingkan ketimpangan dalamprovinsi, dimana ketimpangan “antar” provinsi (between provinces inequality) menyumbang rata-rata 59.54 persen terhadap ketimpangan total. Sedang ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality) menyumbang sebesar 40.46 persen.Ketimpangan dalam provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan dalam provinsi tahun 2009 adalah Provinsi Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat, sementara ketimpangan antar provinsi adalah DKI Jakarta.
Tabel 3.12: Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Jawa-Bali Tipe Kesenjangan 2005 2006 2007 2008 2009
T-within provinsi 0,140 0,141 0,138 0,139 0,138 T-between Provinsi 0,198 0,203 0,200 0,210 0,203 Total 0,338 0,344 0,338 0,349 0,341 T-within prov (%) 41,32 40,93 40,74 39,87 40,46 T-between prov (%) 58,68 59,07 59,26 60,13 59,54
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
Kesenjangan ekonomi antar provinsi menurut analisis CVw, menunjukan kondisi kesenjangan wilayah antarprovinsi di Jawa-Bali kecenderungan meningkat, hal tersebut diperlihatkan dengan nilai CVw dari tahun 2005 sampai 2009 terus meningkat setiap tahunnya, nilai CVw tahun 2005 sebesar 0,706 dan tahun 2009 sebesar 0,730. Sementara ketimpangan dalam provinsi di Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur menunjukan kecenderungan menurun, sedangkan untuk provinsi DKI Jakarta, Banten dan Bali terlihat kecedenderungan semakin melebar (Tabel 3.13).
Tabel 3.13: CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2008
di Wilayah Jawa-Bali
PROVINSI WI intra prov 2005 2006 2007 2008*) 2009**)
DKI. Jakarta 0,576 0,580 0,570 0,596 0,601 Jawa Barat 0,620 0,615 0,604 0,590 0,581 Jawa Tengah 0,757 0,735 0,733 0,731 0,719 Di Yogyakarta 0,425 0,416 0,412 0,408 0,400 Jawa Timur 1,245 1,265 1,250 1,253 1,267 Banten 0,811 0,810 0,799 0,805 0,821 Bali 0,392 0,387 0,391 0,397 0,428 Jawa-Bali 0,706 0,696 0,705 0,727 0,730
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 25
Kondisi ketimpangan wilayah di Kalimantan dari tahun 2005 sampai 2009 menunjukan kecenderungan semakin meningkat, hal ini diperlihatkan dengan nilai Theil indeks dan CVw tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan tahun 2005, yaitu tahun 2005 Thail indeks sebesar 0,030 dan tahun 2009 sebesar 0,032. Ketimpangan di Wilayah Kalimantan lebih diakibatkan oleh adanya ketimpangan antar provinsi dibandingkan ketimpangan dalam provinsi, dimana ketimpangan antar provinsi (between provinces inequality) menyumbang rata-rata 76.67 persen terhadap ketimpangan total, sementara ketimpangan dalam provinsi (within provinces inequality) menyumbang sebesar 23.33 persen. Kontribusi ketimpangan dalam provinsi terhadap ketimpangan wilayah Kalimantan dari tahun 2005 sampai 2009 kecenderungan meningkat, sementara ketimpangan antarprovinsi menunjukan kecenderungan menurun. Ketimpangan dalam provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan antar dan dalam provinsi adalah Provinsi Kalimantan Timur.
Tabel 3.14: Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2008 di Kalimantan
Tipe Kesenjangan 2005 2006 2007 2008 2009
T-within provinsi 0,005 0,006 0,006 0,007 0,007 T-between Provinsi 0,026 0,026 0,024 0,026 0,024 Total 0,030 0,031 0,030 0,033 0,032 T-within prov (%) 15,64 17,84 21,19 21,90 23,33 T-between prov (%) 84,36 82,16 78,81 78,10 76,67
Sumber: diolah 2011 Kesenjangan ekonomi antar provinsi menurut analisis CVw, menunjukan kondisi kesenjangan wilayah antarprovinsi di Kalimantan kecenderungan meningkat, hal tersebut diperlihatkan dengan perkembangan nilai CVw tahun tahun 2005 sampai 2009 rata-rata meningkat setiap tahunnya. Sementara ketimpangan dalam provinsi di Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat menunjukan kecenderungan menurun, sementara di Provinsi Kalimantan Timur terlihat kecenderungan semakin melebar (Tabel 3.15).
Tabel 3.15: CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009 di Wilayah Kalimantan
PROVINSI WI intra prov 2005 2006 2007 2008*) 2009**)
Kalimantan Barat 0,335 0,314 0,313 0,317 0,313 Kalimantan Tengah 0,262 0,256 0,227 0,205 0,206 Kalimantan Selatan 0,432 0,426 0,434 0,427 0,425 Kalimantan Timur 0,479 0,561 0,546 0,601 0,613 Kalimantan 0,126 0,128 0,132 0,142 0,141
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS Ketimpangan wilayah di Sulawesi antara tahun 2005 sampai 2009 menunjukan kecenderungan meningkat seperti diperlihatkan dengan nilai Theil indeks dari tahun 2005 sampai 2009. Theil indeks total 2005 sebesar -0,018 menjadi -0,016 di tahun 2009. Ketimpangan di Wilayah Sulawesi lebih diakibatkan karena tingginya tingkat ketimpangan dalam provinsi dibandingkan ketimpangan antarprovinsi. Ketimpangan
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 26
dalam provinsi berarti ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota dalam masing-masing provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan dalam provinsi adalah Provinsi Sulawesi Selatan.
Tabel 3.16: Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Sulawesi Tipe Kesenjangan 2005 2006 2007 2008 2009
T-within prov 0,005 0,005 0,005 0,005 0,005 T-between prov -0,023 -0,023 -0,023 -0,022 -0,021 Total -0,018 -0,017 -0,018 -0,017 -0,016 T-within prov (%) -29,15 -29,50 -28,81 -30,06 -30,14 T-between prov (%) 129,15 129,50 128,81 130,06 130,14
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
Seperti halnya ditunjukan dengan nilai CVw dengan perhitungan tanpa migas tahun dari tahun 2005 sampai 2009, ketimpangan di Wilayah Sulawesi menunjukan kecenderungan menurun, hal ini diperlihatkan dengan nilai CVw tahun 2005 sebesar 0.158 menurun menjadi 0.131 pada tahun 2009. Sementara ketimpangan dalam provinsi di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo menunjukan kecenderungan menurun, sementara di Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah terlihat kecenderungan semakin melebar (Tabel 3.17).
Tabel 3.17:
CVw dari PDRB Perkapita Menurut ProvinsiTahun 2005-2009 di Wilayah Sulawesi
PROVINSI WI intra prov
2005 2006 2007 2008*) 2009**) Sulawesi Utara 0,372 0,375 0,377 0,378 0,395 Sulawesi Tengah 0,225 0,236 0,246 0,257 0,265 Sulawesi Selatan 0,621 0,613 0,607 0,579 0,528 Sulawesi Tenggara 0,390 0,400 0,415 0,389 0,350 Gorontalo 0,232 0,233 0,236 0,213 0,192 Sulawesi Barat 0,160 0,144 0,155 0,156 0,138 Sulawesi 0,158 0,157 0,157 0,144 0,131
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
Ketimpangan wilayah di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, tahun 2005 sampai 2009 kecenderungan semakin meningkat (Tabel 3.18), hal ini diperlihatkan dengan nilai CVw semakin besar dibandingkan tahun sebelumnya. Nilai CVw tahun 2005 sebesar 0.232 menurun menjadi 0.261 pada tahun 2009. Ketimpangan wilayah di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua lebih besar diakibatkan oleh ketimpangan dalam provinsi dibandingkan ketimpangan antar provinsi. Wilayah yang berkontribusi besar terhadap ketimpangan antar provinsi adalah Provinsi Papua, sementara ketimpangan dalam provinsi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Papua. Dengan analisis CVw, nilai CVw wilayah Nusa Tenggara dan Maluku dengan perhitungan tanpa migas menunjukan ketimpangan semakin melebar dari tahun 2005-2009, sementara untuk wilayah Papua ketimpangan semakin menurun.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 27
Tabel 3.18: Theil Indeks dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua. Tipe Kesenjangan 2005 2006 2007 2008 2009
T-within prov 0,037 0,034 0,035 0,024 0,027 T-between prov -0,002 -0,005 -0,004 -0,010 -0,008 Total 0,036 0,029 0,030 0,014 0,019 T-within prov (%) 104,82 117,42 114,57 170,32 139,94 T-between prov (%) -4,82 -17,42 -14,57 -70,32 -39,94
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
Tabel 3.19: CVw dari PDRB Perkapita Menurut Provinsi Tahun 2005-2009
di Wilayah Maluku, Nustra dan Papua
PROVINSI WI intra prov 2005 2006 2007 2008*) 2009**)
NTB 2,303 2,246 2,401 1,959 2,009 NTT 0,505 0,561 0,492 0,442 0,448 Maluku 0,570 0,578 0,582 0,572 0,564 Maluku Utara 0,271 0,256 0,262 0,257 0,288 Papua Barat 0,213 0,218 0,214 0,206 0,207 Papua 2,678 2,575 2,524 2,240 2,270 Nustra-Maluku-Papua 0,232 0,266 0,252 0,261 0,261
Sumber: Diolah Bappenas, Data PDRB Kab/kota BPS
3.2. Kesenjangan Berdasarkan Pola dan Struktur Pertumbuhan Ekonomi.
Berdasarkan hasil analisis tipologi Klassen yang menggambarkan pola dan struktur pertumbuhan ekonomi setiap kabupaten/kota diperoleh empat karateristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda, yaitu: daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah relatif tertinggal (low growth and low income).
Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota dalam kajian ini adalah sebagai berikut: (1) daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh, daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding nilai rata-rata acuan (nasional/ pulau); (2) daerah maju tapi tertekan, daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah nilai rata-rata acuan (nasional/ pulau); (3) daerah berkembang cepat, daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding nilai rata-rata acuan (nasional/ pulau); (4) daerah relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapat per kapita yang lebih rendah dibanding nilai rata-rata acuan (nasional/ pulau). Dikatakan “tinggi” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di tingkat nasional atau pulau, dan digolongkan “rendah” apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 28
kabupaten/kota di di tingkat nasional atau pulau. Berdasarkan nilai rata-rata PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB untuk tiap kabupaten/kota dalam kurun waktu tahun 2004-2008, beserta rata-ratanya untuk seluruh kabupaten/kota di tingkat nasional atau pulau, dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 3.20. Posisi Kuadran Kabupaten/kota Berdasarkan nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada
Tingkat Nasional dan Pulau 2004-2008
WILAYAH
Rata-rata Pertumb
uhan PDRB
(;04-08) (%)
Rata-rata Pertumbuhan PDRB (;04-08) (Rp.000)
POSISI KUADRAN I II III IV
∑ Kab/Kota
% Kab/Kota
∑
Kab/ Kota
% Kab/Kota
∑
Kab/Kota
% Kab/Kota
∑ Kab
/ Kota
% Kab/Kota
Sumatera 5,0 7.645 16 11,6 22 15,9 31 22,5 69 50,0
Jawa-bali 4,9 8.059 18 14,4 5 4,0 56 44,8 46 36,8
Nustra 3,7 3.971 2 6,9 1 3,4 7 24,1 19 65,5
Kalimantan 4,9 14.206 6 11,1 3 5,6 16 29,6 29 53,7
Sulawesi 5,8 4.730 17 24,6 11 15,9 19 27,5 22 31,9
Maluku 4,6 2.743 5 29,4 1 5,9 5 29,4 6 35,3
Papua 8,6 8.455 2 7,1 2 7,1 17 60,7 7 25,0
INDONESIA 5,2 7.730 53 11,5 48 0,4 176 8,3 183 39,8
Nilai rata-rata PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB setiap kabupaten/kota terhadap nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada tingkat nasional, terbagi komposisi sebanyak berikut:
• Sebanyak 53 kabupaten/kota (11,5%) tergolong daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income),
• Sebanyak 48 kabupaten/kota (10,4%) tergolong daerah daerah maju tapi tertekan (high income but low growth),
• Sebanyak 176 kabupaten/kota (38,3%) tergolong daerah relatif tertinggal (low growth and low income).
• Sebanyak 53 kabupaten/kota (39,8%),tergolong daerah berkembang cepat (high growth but income).
Berdasarkan gambaran hasil analisis di atas, gambaran kesenjangan antarkabupaten/kota di Indonesia dapat ditunjukkan oleh masih tingginya daerah yang berada pada kuadran III, yaitu kabupaten/kota yang tergolong relatif tertinggal (38,3%). Sementara berdasarkan nilai rata-rata PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB setiap kabupaten/kota terhadap nilai acuan rata-rata kabupaten/kota pada tingkat pulau, tingginya kesenjangan dapat ditunjukkan oleh kabupaten/kota di wilayah Papua yang mencapai 60,7% berada di Kuadran III, dan berikutnya di Pulau Jawa sebesar 44,8%.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 29
4.1. Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarprovinsi
Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarwilayah, serta arah perkembangannya dapat diindikasikan dari nilai disparitas IPM, beserta tren nilai disparitas dalam periode tertentu. Peningkatan IPM yang diikuti oleh disparitas IPM antarwilayah yang semakin berkurang disebut sebagai perkembangan IPMconvergen, atau mengindikasikan arah perkembangan berkurangnya kesenjangan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, peningkatan IPM yang diikuti disparitas IPM yang makin melebar(meningkat) disebut sebagai perkembangan divergen, atau mengindikasikan arah perkembangan meningkatnya kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarwilayah.Gambaran kesenjangan IPM tersebut dapat dilihat dari kesenjangan antarprovinsi pada lingkup nasional, wilayah pulau, dan kesenjangan antar kabupaten/kota pada setiap provinsi.
Perkembangan IPM Nasional pada periode 2005-2009 menunjukkan tren meningkat, dan diikuti penurunan disparitas IPM antarprovinsi. Perkembangan disparitas IPM menunjukkan arah convergen, yaitu dari disparitas IPM pada tahun 2005 sebesar 14, berkurang menjadi 12,8 pada tahun 2009, yaitu merupakan selisih dari IPM tertinggi di
Tabel 4.1. Perkembangan Disparitas IPM Antarprovinsi pada Setiap Wilayah Pulau, pada Tahun 2005-2009.
WILAYAH (PULAU)
KATEGORI TAHUN
PROVINSI KET. 2005 2006 2007 2008 2009
Sumatera
IPM Max 73,6 73,8 74,6 75,1 75,6 Riau
IPM Min 68,8 69,4 69,8 70,3 70,9 Lampung
Disparitas IPM 4,8 4,4 4,8 4,8 4,7 Convergen
Jawa‐Bali
IPM Max 76,1 76,3 76,6 77,0 77,4 DKI Jakarta
IPM Min 68,4 69,1 69,3 69,7 70,1 Banten
Disparitas IPM 7,7 7,2 7,3 7,3 7,3 Convergen
Nusa Tenggara
IPM Max 63,6 64,8 65,4 66,2 66,6 NTT
IPM Min 62,4 63,0 63,7 64,1 64,7 NTB
Disparitas IPM 1,2 1,8 1,6 2,0 1,9 Divergen
Kalimantan
IPM Max 73,2 73,4 73,8 74,5 75,1 Kaltim
IPM Min 66,2 67,1 67,5 68,2 68,8 Kalbar
Disparitas IPM 7,0 6,3 6,2 6,4 6,3 Convergen
Sulawesi
IPM Max 74,2 74,4 74,7 75,2 75,7 Sulut
IPM Min 65,7 67,1 67,7 68,6 69,2 Sulbar
Disparitas IPM 8,5 7,3 7,0 6,6 6,5 Convergen
Maluku
IPM Max 69,2 69,7 70,0 70,4 71,0 Maluku
IPM Min 67,0 67,5 67,8 68,2 68,6 Malut
Disparitas IPM 2,2 2,2 2,1 2,2 2,3 divergen
Papua
IPM Max 64,8 66,1 67,3 68,0 68,6 Papua Barat
IPM Min 62,1 62,8 63,4 64,0 64,5 Papua
Disparitas IPM 2,7 3,3 3,9 4,0 4,1 Divergen
NASIONAL
IPM Max 76,1 76,3 76,6 77,0 77,4 DKI Jakarta
IPM Min 62,1 62,8 63,4 64,0 64,5 Papua
Disparitas IPM 14,0 13,5 13,2 13,0 12,8 Riau Convergen
KESENJANGAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ANTARWILAYAH
4
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 30
Provinsi DKI Jakarta sebesar 76,1 (2005) dan 77,4 (2009)dengan IPM terrendah di Provinsi Papua sebesar 62,1 (2005) dan 64,5 (2009).
Disparitas IPM antarwilayah pulau, tertinggi terdapat di wilayah Jawa Bali yaitu sebesar 7,3, dengan arah perkembangan convergen selama periode 2005-2009. Disparitas terrendah terdapat di Pulau Nusa Tenggara sebesar 2, namun menunjukkan arah perkembangan divergen, yaitu dari disparitas sebesar 1,2 pada tahun 2005 menjadi 2 pada tahun 2009. Perkembangan disparitas yang stagnan (tetap) terdapat di wilayah Sumatera, dan Maluku.Gambaran selengkapnya, lihat Tabel 4.1.
Indeks komponen IPM yang meliputi Indeks Kesehatan menurut data Umur Harapan Hidup, Indeks Pendidikan menurut data Angka Melek Huruf dan Rata-Rata Lama Sekolah, dan Indeks Daya Beli menurut data Pengeluaran Riil Perkapita Disesuaikan. Untuk melihat komponen yang berpengaruh terhadap nilai IPM antarprovinsi, secara umum menunjukkan kontribusi tertinggi berasal dari indeks pendidikan, kemudian indeks kesehatan dan terrendah berasal dari indeks hidup layak (lihat Gambar 4.1.). Namun, terdapat provinsi-provinsi yang memiliki komposisi berbeda, yaitu pada kelompok provinsi-provinsi sebagai berikut:
1. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi indeks pendidikan dan kesehatan relatif sama, sementara indeks hidup layak memberikan kontribusi yang rendah, yaitu terdapat diProvinsi Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan. Pada daerah ini membutuhkan akselerasi dalam peningkatan daya beli masyarakat untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks antar komponen pembentuk IPM.
2. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi tertinggi pada indeks pendidikan, sementara indeks kesehatan dan indeks hidup layak menunjukkan indeks relatif sama. Kelompok ini terdapat di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan.Pada daerah ini membutuhkan akselerasi peningkatan derajat kesehatan dan daya beli masyarakat untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks antar komponen pembentuk IPM.
3. Kelompok provinsi yang menunjukkan kontribusi indeks harapan hidup tertinggi, kemudian berikutnya indeks pendidikan, dan indeks hidup layak. Kelompok ini terdapat di Provinsi Papua.Pada daerah ini membutuhkan akselerasi dalam peningkatan daya beli dan tingkat pendidikan masyarakat untuk mengurangi ketimpangan nilai indeks antar komponen pembentuk IPM.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 31
Gambar: 4.1. Perbandingan Nilai Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi, Tahun 2009.
Berdasarkan Gambar 4.1, dapat diketahui provinsi-provinsi yang memiliki indeks komponen pembentuk IPM di bawah indeks nasional, serta tingginya ketimpangan antar indeks komponen pembentuk IPM, atau ketimpangan terhadap nilai indeks nasional. Misalnya tampak jelas tingginya ketimpangan pada indeks pendidikan di Provinsi Papua, indeks kesehatan di Provinsi NTB dan Kalimantan Selatan, serta indeks daya beli masyarakat di provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Papua, dan NTT dibanding dengan provinsi lainnya yang lebih maju, dan dengan masing-masing nilai indeks nasional.
4.2.Kesenjangan Kesejahteraan Masyarakat Antar Kabupaten/Kota
Kondisi disparitas IPM antar kabupaten/kota disetiap provinsi memiliki rentang yang lebih lebar, atau memiliki kesenjangan lebih tinggi dibanding dengan disparitas IPM antarprovinsi. Paling ekstrim dapat ditunjukkan dari disparitas IPM antarkabupaten/kota di tingkat nasional (tahun 2009) sebesar 32,1, yaitu antar IPM Kota Jakarta Selatan sebesar 79 dengan IPM Kabupaten Nduga di Provinsi Papua sebesar 47,5.
Untuk perbandingan disparitas antar kabupaten/kota di setiap provinsi Antarwilyah (pulau/kepulauan besar), menunjukkan besaran dan arah perkembangan disparitas yang beragam.
40.0
60.0
80.0
100.0 ACEH
SUMUTSUMBAR
RIAU
JAMBI
SUMSEL
BENGKULU
LAMPUNG
KEP. BABEL
KEPRI
DKI JAKARTA
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
D I …
JAWA TIMURBANTEN
BALINTBNTT
KALBAR
KALTENG
KALSEL
KALTIM
SULUT
SULTENG
SULSEL
SULTRA
GORONTALO
SULBAR
MALUKU
MALUKU …
PAPUA BARATPAPUA
Indeks Harapan Hidup (IHH) Indeks Pendidikan (IP)
Indeks Hidup layak (IHL) IHH Nasional
IP Nasional IHL Nasional
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 32
4.2.1. Wilayah Sumatera
Berdasarkan perbandingannilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah Sumatera, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks Pendidikan (IP), kemudian indeks Harapan Hidup IIHH)danterrendah pada Indeks Hidup Layak(IHL). Diseluruh Provinsi diwilayah Sumatera menunjukkan indeks pendidikan di atas indeks nasional (78,9)., provinsi yang berada di bawah indeks Harapan Hidup (IHH) nasional(73,7) meliputi Provinsi Aceh, Jambi, dan Kep. Bangka Belitung.
Gambar 4.2.
Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Sumatera.
Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Sumatera dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum menunjukkan perkembangan convergen, kcuali di Provinsi Kepulauan Riau menunjukkan perkembangan divergen yang disebabkan pemekaran Kabupaten Anambas dari Kabupaten Induk Natuna. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Sumatera Utara dan Bengkulu masing-masing sebesar 10,9 dan 10,8, sementara disparitas terrendah di Provinsi Jambi sebesar 4,6, yakni antara Kota Jambi dan Kabupaten Tanjung Timur.
72.7
83.4
57.8
71.3 73.9
84.0
63.5
73.8 73.8
83.3
63.3
73.4
77.1
84.4
65.3
75.6 73.3
81.1
63.0
72.5 74.0
81.8
62.0
72.6 74.4
81.6
61.7
72.5 73.8
79.6
59.5
70.9 72.9
80.2
64.5
72.5 74.6
84.0
65.1
74.5
73.7
78.9
62.7
71.8
50
55
60
65
70
75
80
85
90
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
IHH IP
IHL
IPM
ACEH SUMATERA UTARA
SUMATERA BARAT
RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN
BENGKULU LAMPUNG KEP. BANGKA BELITUNG
KEP. RIAU
Series1 IHH Nasional IP Nasional IHL Nasional IPM Nasional
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 33
Tabel 4.2. Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sumatera
Tahun 2005 dan 2009
4.2.2. Wilayah Jawa Bali
Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah Jawa Bali, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks Pendidikan (IP), kemudian indeks Harapan Hidup IIHH)dan terrendah pada Indeks Hidup Layak(IHL). Sebagian provinsi diwilayah Jawa Bali menunjukkan indeks pendidikan di bawah indeks nasional (78,9), yaitu di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Provinsi yang berada di bawah indeks Harapan Hidup (IHH) nasional(73,7) meliputi Provinsi Jawa Barat dan Banten, sementara provinsi dengan IHL di bawah IHL Nasional (62,7) adalah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Berdasarkan gambaran keragaman nilai antar indeks antarprovinsi, menunjukkan adanya perbedaan kontribusi dari setiap indeks pembentuk IPM di setiap provinsi di wilayah Jawa Bali.Misalnya di wilayah DKI Jakarta, walaupun memiliki indeks pendidikan tertinggi namun masih memiliki indeks IHL yang relatif rendah.Di provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Bali menunjukkan IHH lebih tinggi dibanding dengan IP.
1Katagori angka disparitas ditentukan berdasarkan pendekatan quartile dari nilai disparitas IPM di 33 provinsi, dengan kategori (rendah = disparitas 4,2‐7,6), (sedang =7,7‐9,2), (tinggi = 9,3‐12,0), dan sangat tinggi > 12.
PROVINSI KATEGORI TAHUN 2005 TAHUN 2009 DISPARITAS
IPM KAB/KOTA IPM KAB/KOTA 2005 2009 KETERANGAN
NAD MAX 74,7 Kota Banda Aceh 77,0 Kota Banda Aceh
9,5 9,4 Disparitas1 Tinggi Divergen MIN 65,2 Simeulue 67,6 Gayo Lues
SUMUT MAX 75,8
Kota Pematang Siantar
77,2 Kota Pematang Siantar 11,9 10,9
Disparitas Tinggi Convergen
MIN 63,9 Nias Selatan 66,3 Nias Selatan
SUMBAR MAX 76,3 Kota Padang 77,9 Kota Padang
11,8 9,4 Disparitas Tinggi Convergen MIN 64,5 Dharmas Raya 68,4 Kepulauan Mentawai
RIAU MAX 75,9 Kota Pekan Baru 77,9 Kota Pekan Baru
7,3 5,9 Disparitas Rendah Convergen
MIN 68,6 Rokan Hilir 72,0 Rokan Hilir
JAMBI MAX 74,1 Kota Jambi 75,8 Kota Jambi
5,3 4,6 Disparitas Rendah Dinvergen
MIN 68,8 Bungo 71,2 Tanjung Jabung Timur
SUMSEL MAX 73,6 Kota Palembang 75,8 Kota Palembang
8,6 8,5 Disparitas Sedang Divergen
MIN 65,0 Musi Rawas 67,3 Musi Rawas
BENGKULU MAX 76,3 Kota Bengkulu 77,3 Kota Bengkulu
12,6 10,8 Disparitas Tinggi Convergen MIN 63,6 Seluma 66,5 Seluma
LAMPUNG MAX 74,5 Kota Metro 76,0 Kota Metro
8,5 7,2 Disparitas Rendah Convergen
MIN 66,0 Lampung Barat 68,8 Lampung Barat
BABEL MAX 73,9
Kota Pangkal Pinang
75,4 Kota Pangkal Pinang 10,9 8,9
Disparitas Sedang Convergen MIN 63,0 Bangka Selatan 66,5 Bangka Selatan
KEPRI MAX 76,5 Kota Batam 77,5 Kota Batam
8,2 9,6 Disparitas Tinggi Divergen MIN 68,4 Natuna 67,9 Kepulauan Anambas
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 34
Gambar 4.3. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Jawa Bali.
Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Jawa Bali dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum menunjukkan perkembangan convergen, kecuali di Provinsi DI Yogyakarta menunjukan perkembangan divergen dari 8,4 pada tahun 2005 menjadi 9,1 pada tahun 2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Timur yakni antara Kota Blitar dan Kabupaten Sampang, sementara disparitas terrendah di Provinsi Banten sebesar 7,5, yakni antara Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak.
Tabel 4.3.
Disparitas IPM Antar Kab.kota Disetiap Provinsi di Wilayah Jawa-Bali Tahun 2005dan 2009
Berdasarkan disparitas IPM tersebut, perkembangan yang perlu memperoleh perhatian khusus dalam rangka mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkabupaten/ kota di setiap provinsi, adalah di Jawa Timur dengan angka disparitas IPM sebesar 18,3, walaupun menunjukkan arah perkembangan convergen dibanding tahun 2005.
80.1
90.2
61.8
77.4
71.7
81.1
62.1
71.6
77.1 75.4
63.9
72.1
80.3 79.6
65.8
75.2 73.9 74.5
64.7
71.1
66.3
82.1
61.8
70.1
76.1 75.5
62.9
71.5 73.7
78.9
62.7
71.8
55
60
65
70
75
80
85
90
95
100
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
DKI JAKARTA JAWA BARAT JAWA TENGAH DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BANTEN BALI
Series1 IHH Nasional IP Nasional IHL Nasional IPM Nasional
PROVINSI KATEGORI TAHUN 2005 TAHUN 2009 DISPARITA
IPM KAB/KOTA IPM KAB/KOTA 2005 2009 KETERANGAN
DKI MAX 77,9 Kota Jakarta Selatan 79,3 Kota Jakarta Selatan 10,2 8,7 Disparitas Sedang
Convergen MIN 67,6 Kep. Seribu 70,5 Kep. Seribu
JABAR MAX 77,1 Kota Depok 78,8 Kota Depok 14,1 11,4 Disparitas Tinggi
Convergen MIN 63,0 Indramayu 67,4 Indramayu
JATENG MAX 76,0 Kota Surakarta 77,5 Kota Surakarta 11,6 9,8 Disparitas Tinggi
Convergen MIN 64,3 Brebes 67,7 Brebes
DIY MAX 77,7 Kota Yogyakarta 79,3 Kota Yogyakarta 8,4 9,1 Disparitas Sedang
Divergen MIN 69,3 Gunung Kidul 70,2 Gunung Kidul
JATIM MAX 75,1 Kota Blitar 77,0 Kota Blitar 20,1 18,3 Disparitas sangat
Tinggi Convergen
MIN 55,0 Sampang 58,7 Sampang
BANTEN MAX 73,9 Kota Tangerang 75,0 Kota Cilegon 7,9 7,5 Disparitas Sedang
Convergen MIN 66,0 Serang 67,5 Lebak
BALI MAX 75,2 Kota Denpasar 77,6 Kota Denpasar 11,9 11,5 Disparitas Tinggi
Convergen MIN 63,3 Karangasem 66,1 Karangasem
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 35
4.2.3. Wilayah Kalimantan
Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah Kalimantan, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks Pendidikan (IP), kemudian indeks Harapan Hidup (IHH)dan terrendah pada Indeks Hidup Layak(IHL). Sebagian besar provinsi diwilayah Kalimantan menunjukkan indeks pendidikan di atas indeks nasional (78,9), kecuali di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi yang berada di bawah indeks Harapan Hidup (IHH) nasional(73,7) adalah Provinsi Kalimantan Selatan, sementara provinsi dengan IHL di bawah IHL Nasional (62,7) adalah di Provinsi Kalimantan Barat.
Gambar 4.4. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Kalimantan.
Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Kalimantan dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum menunjukkan perkembangan convergen, kecuali di Provinsi Kalimantan Barat menunjukan perkembangan divergen dari 7,6 pada tahun 2005 menjadi 7,9 pada tahun 2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Selatan yakni antara Kota Banjar Baru dan Kabupaten Balangan, sementara disparitas terrendah di Provinsi Kalimantan Tengah sebesar 6,8, yakni antara Kota Palangkaraya dan Kabupaten Pulang Pisau.
Tabel 4.4.
Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Kalimantan Tahun 2005 dan 2009
69.1
74.8
62.5
68.8
76.8
82.9
63.3
74.4
64.1
80.4
63.5
69.3
76.7
84.3
64.4
75.1
73.7
78.9
62.7
71.8
50.0
55.0
60.0
65.0
70.0
75.0
80.0
85.0
90.0
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TIMUR
Series1 IHH Nasional IP Nasional IHL Nasional IPM Nasional
PROVINSI KATEGORI TAHUN 2005 TAHUN 2009 DISPARITA
IPM KAB/KOTA IPM KAB/KOTA 2005 2009 KETERANGAN
KALBAR
MAX 69,5 Kota Pontianak 72,4 Kota Pontianak 7,6 7,9 Disparitas SedangDivergen MIN 61,9 Sambas 64,5 Sambas
KALTENG
MAX 77,0 Kota Palangka Raya 78,0 Kota Palangka Raya 7,7 6,8 Disparitas RendahConvergen MIN 69,3 Pulang Pisau 71,2 Pulang Pisau
KALSEL
MAX 73,0 Kota Banjar Baru 74,4 Kota Banjar Baru 8,7 8,4 Disparitas SedangConvergen MIN 64,3 Balangan 66,1 Balangan
KALTIM
MAX 76,1 Kota Balikpapan 77,9 Kota Balikpapan 6,9 6,8 Disparitas RendahConvergen MIN 69,2 Kutai Barat 71,1 Tana Tidung
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 36
4.2.4. Wilayah Sulawesi
Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah Sulawesi, secara umum menunjukkan nilai tertinggi pada Indeks Pendidikan (IP), kemudian indeks Harapan Hidup (IHH)dan terrendah pada Indeks Hidup Layak(IHL). Sebagian besar provinsi diwilayah Sulawesi menunjukkan indeks pendidikan di bawah indeks nasional (78,9), yaitu di Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Provinsi yang berada di bawah indeks Harapan Hidup (IHH) nasional(73,7) adalah Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo dan Sulawesi Barat, sementara provinsi dengan IHL di atas IHL Nasional (62,7) adalah di Provinsi Sulawesi Selatan.
Gambar 4.5. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Sulawesi.
Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Sulawesi dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum menunjukkan perkembangan convergen, kecuali di Provinsi Sulawesi Utara menunjukan perkembangan divergen dari 4,7 pada tahun 2005 menjadi 7,8 pada tahun 2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan yakni antara Kota Makassar dan Kabupaten Jeneponto, sementara disparitas terrendah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 4,2, yakni antara Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Polewali Mamasa.
78.5
85.9
62.6
75.7
68.9
81.4
61.8
70.7
74.7 74.5
63.7
70.9
71.0
78.6
59.0
69.5 69.2
79.8
60.4
69.8 71.0
74.1
62.5
69.2
73.7
78.9
62.7
71.8
50.0
55.0
60.0
65.0
70.0
75.0
80.0
85.0
90.0
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
SULAWESI UTARA SULAWESI TENGAH
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGGARA
GORONTALO SULAWESI BARAT
Series1 IHH Nasional IP Nasional IHL Nasional IPM Nasional
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 37
Tabel 4.5. Disparitas IPM Antar Kabupaten/Kota Disetiap Provinsi di Wilayah Sulawesi
Tahun 2005 dan 2008
PROVINSI KATEGORI TAHUN 2005 TAHUN 2009 DISPARITAS
IPM KAB/KOTA IPM KAB/KOTA 2005 2009 KETERANGAN
SULUT MAX 76,3 Kota Manado 77,8 Kota Manado
4,7 7,8 Disparitas Sedang, DivergenMIN 71,6 Bolaang Mongondow 70,0 Bolaang Mongondow Selatan
SULTENG MAX 73,6 Kota Palu 76,0 Kota Palu
8,9 8,8 Disparitas Sedang,
ConvergenMIN 64,7 Banggai Kepulauan 67,2 Banggai Kepulauan
SULSEL MAX 76,6 Kota Makasar 78,2 Kota Makasar
15,6 13,7 Disparitas
Sangat Tinggi ConvergenMIN 60,9 Jeneponto 64,5 Jeneponto
SULTRA MAX 73,4 Kota Kendari 75,3 Kota Kendari
10,3 8,7 Disparitas Sedang
ConvergenMIN 63,0 Wakatobi 66,6 Bombana
GORONTALO MAX 70,4 Kota Gorontalo 72,4 Kota Gorontalo
4,5 4,4 Disparitas Rendah,
Convergen MIN 65,9 Boalemo 68,0 Boalemo
SULBAR MAX 67,5 Mamasa 70,8 Mamasa
4,2 4,2 Disparitas Rendah MIN 63,3 Polewali Mamasa 66,6 Polewali Mamasa
4.2.5. Wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
Perbandingan nilai antar indeks komponen pembentuk IPM disetiap provinsi di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki kondisi yang berbeda. Hal ini dapat ditunjukkan dari indeks komponen yang paling berpengaruh terhadap nilai IPM di masing-masing provinsi.Rendahnya IPM di Provinsi NTB sangat dipengaruhi oleh rendahnya indeks Harapan Hidup (IHH), sementara Indeks Hidup Layak (IHL) banyak mempengaruhi terhadap rendahnya IPM di Provinsi NTT. IPM di provinsi Maluku dan Maluku Utara secara umum memiliki indeks komponen IPM yang relatif sama, dan sedikit lebih tinggi untuk di provinsi Maluku. Gambaran kondisi IPM dan komponen pembentuknya di wilayah Papua menunjukkan perbedaan komponen yang mempengaruhi, yaknitingginya IPM di provinsi Papua Barat dibanding Provinsi Papua disebabkan oleh tingginya indeks Pendidikan.
Gambar 4.6. Perbandingan Indeks Komponen Pembentuk IPM Antarprovinsi di Wilayah Nusa
Tenggara, Maluku dan papua.
61.3
68.4 64.2 64.7
70.4 73.3
56.1
66.6 70.3
84.6
57.9
71.0
67.8
83.0
55.1
68.6
72.0
79.4
54.4
68.6
72.3
65.0
56.4
64.5
73.7 78.9
62.7
71.8
505560657075808590
IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM IHH IP IHL IPM
NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR
MALUKU MALUKU UTARA PAPUA BARAT PAPUA
Series1 IHH Nasional IP Nasional IHL Nasional IPM Nasional
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 38
Kategori disparitas IPM tinggi sampai sangat tinggi merupakan gambaran tingginya kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkabupaten/kota di setiap provinsi.di wilayah Nusa Tenggara, maluku dan Papua. Disparitas sangat tinggi terdapat seluruh provinsi wilayah Nusa Tengara dan wilayah Papua. Kondisi disparitas IPM terbesar terdapat di Provinsi Papua dengan disparitas IPM sebesar 27,1. Perkembangan disparitas IPM tersebut sebagian besar menunjukkan arah divergen, kecuali di Provinsi Papua Barat yang menunjukkan arah convergen.
Kesenjangan pencapaian IPM antara kabupaten/kota di setiap provinsi diwilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua dilihat dari disparitas IPM (selisih IPM tertinggi dan terrendah), secara umum menunjukkan perkembangan divergen, kecuali di Provinsi Papua Barat menunjukan perkembangan convergen dari 14,2 pada tahun 2005 menjadi 12,8 pada tahun 2009. Disparitas tertinggi terdapat di Provinsi Papua yakni sebesar 27,4 (tahun 2009) antara Kota Jayapura dan Kabupaten Ndunga, sementara disparitas terrendah di Provinsi Maluku Utara sebesar 9,5, yakni antara Kota Ternate dan Kabupaten Halmahera Barat.
Tabel 4.6. Disparitas IPM Antar Kabupaten/kota Disetiap Provinsi di Wilayah Nusa Tenggara, Maluku
dan Papua, Tahun 2005 dan 2009
PROVINSI KATE GORI
TAHUN 2005 TAHUN 2009 DISPARITAS
IPM KAB/KOTA IPM KAB/KOTA 2005 2009 KETERANGAN
NTB
MAX 69,4 Kota Mataram 71,8 Kota Mataram 11,6 13,4
Disparitas Sangat Tinggi (Divergen) MIN 57,8 Lombok Barat 58,4 Lombok Utara
NTT
MAX 74,5 Kota Kupang 76,9 Kota Kupang 14,9 17,1
Disparitas Sangat Tinggi (Divergen) MIN 59,6 Sumba Timur 59,8 Sumba Tengah
MALUKU
MAX 76,2 Kota Ambon 78,2 Kota Ambon 11,4 12,0
Disparitas Tinggi Divergen MIN 64,8 Seram Bagian Timur 66,2 Maluku Barat Daya
MALUKU UTARA
MAX 74,2 Kota Ternate 76,1 Kota Ternate 9,3 9,5
Disparitas Tinggi (Divergen) MIN 64,9 Halmahera Barat 66,6 Halmahera Barat
PAPUA BARAT
MAX 74,3 Kota Sorong 76,8 Kota Sorong 14,2 12,8
Disparitas sangat tinggi,(convergen) MIN 60,1 Teluk Wondama 64,1 Raja Ampat
PAPUA MAX 72,1 Kota Jayapura 75,2 Kota Jayapura
25,2 27,4 Disparitas Sangat Tinggi (Divergen) MIN 46,9 Peg. Bintang 47,7 Nduga
Berdasarkan angka dan arah perkembangan disparitas IPM antarkabupaten/ kota di setiap provinsi di wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, diperlukan perhatian khusus dalam rangka mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat.Upaya percepatan dalam aspek pendidikan, kesehatan dan peningkatan daya beli masyarakat masih perlu terus ditingkatkan khususnya pada daerah-daerah yang memiliki IPM rendah.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 39
5.1. Analisis Pendapatan Daerah APBD dialokasikan untuk melaksanakan program/kegiatan sesuai dengan kemampuan pendapatannya, serta didukung oleh pembiayaan yang sehat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang diikuti dengan pemerataan pembangunan. Pencapaian tujuan tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah Pusat yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah yang mencukupi dan juga berkualitas. Selanjutnya melalui belanja yang berkualitas diharapkan APBD dapat menjadi injeksi bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, kenyataan yang dihadapi dalam pengelolaan keuangan publik, selalu terjadi kendala penganggaran, yang tercermin dari banyaknya kebutuhan yang dihadapkan pada keterbatasan sumber-sumber pendapatan daerah. Dengan demikian, prioritas belanja dan perencanaan yang baik dapat menjadi kunci untuk menyiasati kendala penganggaran. Terkait dengan hal tersebut, melalui analisis keuangan APBD diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna dalam memotret kondisi keuangan APBD baik dari sisi pendapatan dan belanja.
Di sisi pendapatan, analisis kesehatan keuangan APBD akan melihat aspek kemandirian daerah dan ruang fiskal (fiscal space), sementara dari sisi belanja daerah akan meliputi rasio belanja pegawai terhadap total belanja, rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja, rasio belanja modal per total belanja, dan rasio belanja modal per jumlah penduduk. Semua rasio tersebut menunjukkan kecenderungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait erat dengan upaya peningkatan ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur, seperti belanja pegawai tidak langsung. 5.1.1. Rasio Kemandirian Daerah Berdasarkan data APBD tahun 2010, rasio kemandirian dapat ditunjukkan oleh rasio PAD terhadap total pendapatan. Rasio PAD terhadap total penpatan memiliki makna kemandirian, yaitusemakin besar angka rasio PAD maka kemandirian daerah semakin besar. Dengan demikian, daerah yang memiliki tingkat kemandirian yang baik adalah daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi sekaligus rasio transfer yang rendah. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Analisis agregat provinsi, kabupaten dan kota menunjukkan rasio kemandirian daerah seluruh pemda di suatu provinsi. Penghitungannya dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada satu provinsi kemudian membaginya dengan total pendapatan untuk wilayah yang sama. Dari perhitungan tersebut diperoleh potret rasio PAD terhadap pendapatan seluruh (lihat Gambar5.1.).
ANALISIS PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
5
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 40
Gambar : 5.1. Rasio PAD Terhadap APBD Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Dari Gambar,tampak bahwa DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang paling tinggi, yaitu sebesar 53%, jauh lebih tinggi dibandingan rasio PAD agregat pada lingkup nasional sebesar 20%. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD terrendah yaitu sebesar3%. Hal ini menunjukkan bahwa, DKI Jaya memiliki kemandirian daerah yang paling baik dibandingkan provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat kemandirian yang paling rendah. Tingginya tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah, sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut.
2. Agregat Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi dan Pemerintah Provinsi
Pada Gambar6.2. nampak bahwa rasio kemandirian tertinggi untuk seluruh pemerintah kabupaten (pemkab) dan pemerintah kota (pemkot) antarprovinsi terdapat di Provinsi Bali yaitu sebesar 25% sedangkan kemandirian terrendah adalah di pemkab dan pemkot di Provinsi Papua Barat dan Lampung masing-masing sebesar 3%. Kemandirian untuk pemerintah provinsi, tertinggi dicapai oleh Pemprov Jawa Barat sebesar 72% dan terrendah dimiliki oleh pemda provinsi Papua Barat 3% .
Gambar 5.2. Rasio Kemandirian Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010
Sumber: APBD 2010 (Diolah)
8 17 14 15 12 15 13 12
53
24 19 22 22
11 12 16 16
9 8 16
10
32
13 8 7 5
10
28
13 9
19
3 6 20
‐10 20 30 40 50 60
Aceh
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Ben
gkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalim
antan Barat
Kalim
antan Ten
gah
Kalim
antan Selatan
Kalim
antan Tim
ur
Sulawesi U
tara
Sulawesi Ten
gah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Ten
ggara
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Utara
Banten
Bangka Belitung
Gorontalo
Kep
ulauan
Riau
Papua Barat
Sulawesi Barat
%
PAD/APBD (Total Se Provinsi) PAD/APBD Total Se Provinsi (Nasional)
13
65
51 44
39 48
40
50 53
72 68
50
70
40 38
54
36 33 27
60
31
55
40
25 21
7 13
68
30
19 27
3
14 5 7 7 8 5 6 5 3
11 10 13 11 5 5 6 9
4 4 8 6
25
7 5 4 4 9
14 8 6
16
3 4
46
11 ‐
20
40
60
80
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Ben
gkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulten
gSulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Utara
Banten
Kep
. Babel
Gorontalo
Kep
riPapua Barat
Sulbar
%
PAD/APBD Provinsi PAD/APBD Kab/Kota
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 41
5.1.2. Kesenjangan Ruang Fiskal Daerah
Ruang fiskal2 dapat didefinisikan sebagai ketersediaan ruang yang cukup pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi keuangan pemerintah. Ruang fiskal diantaranya dapat dipengaruhi oleh peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan kewajiban pembayaran utang. Selain itu, efektivitas penggunaan anggaran di suatu daerah juga menunjang terciptanya ruang fiskal yang cukup memberi ruang dalam pembangunan suatu daerah.
Ruang fiskal diperoleh dari pendapatan umum setelah dikurangi pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) serta belanja yang sifatnya mengikat seperti belanja pegawai dan belanja bunga. Dengan demikian, perencanaan dan penganggaran yang dituangkan dalam APBD suatu daerah memegang peranan sangat penting. Pemerintah daerah diharapkan memiliki terobosan untuk memanfaatkan ruang fiskal yang ada guna memacu pertumbuhan ekonomi.
Gambar 5.3. Ruang Fiskal Agregat (Pempro + Pemkab/Pemkot) Antarprovinsi, Tahun 2010
Sumber: Data SIKD, DJPK
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Ruang fiskal agregat per provinsi menunjukkan persentase ruang fiskal seluruh pemda (pemprov + Pemkab/Pemkot) pada suatu provinsi. Dari keseluruhan ruang fiskal provinsi di seluruh Indonesia, rata-rata nasionalnya adalah sebesar 57,07%. Terdapat 13 provinsi yang berada diatas rata-rata nasional, dan sisanya sebanyak 20 provinsi memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional.
2 laporan Fiscal Policy for Growth and Development (World Bank, 2006) dinyatakan bahwa ruang fiskal (fiscal space) tersedia, jika pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya tanpa mengancam solvabilitas fiskal (fiscal solvency). Stephen S. Heller (IMF Policy Discussion Paper, 2005)
57.07
‐
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00 Aceh
SumutSumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalbar
KaltengKalsel
KaltimSulut
SultengSulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku Utara
Banten
Kep. Babel
Gorontalo
Kepri
Papua BaratSulbar
Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot)
Rata‐rata Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot)
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 42
Tabel: 5.1. Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot) Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan
Terrendah, Tahun 2010.
No. Ruang Fiskal Agregat (Pemprov + Pemkab/Pemkot)
Tertinggi % Terrendah %
1 Papua Barat 77,9 Jawa Tengah 43,0
2 Papua 75,6 Bali 45,0
3 Kaltim 74,9 Sumbar 45,4
4 Maluku Utara 67,1 DI Yogyakarta 45,8
5 DKI Jakarta 65,7 Lampung 46,1
Pada Gambar 5.3 dan Tabel 5.1, Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Papua Barat mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 77,9%. Hal ini dapat disebabkan oleh besarnya penerimaan Provinsi Papua Barat yang terutama diperoleh dari dana transfer dan dana Penyesuaian + Otonomi Khusus. Dengan demikian, Provinsi Papua Barat, serta provinsi lainnya (Papua, Kalimantan Timur, Maluku Utara dan DKI Jakarta) mempunyai ruang yang cukup luas dalam memenuhi kebutuhan daerahnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sebaliknya, Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang memiliki ruang fiskal terrendah yaitu sebesar 43,0%. Dengan demikian, Provinsi Bengkulu harus pandai memilih belanja yang tepat dalam memanfaatkan ruang fiskal yang ada untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
2. Agregat Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi dan Pemerintah Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemkab dan pemkot di setiap provinsi dan ruang fiskal pemerintah provinsi dapat digambarkan pada Gambar 5.4, dan Tabel 5.2.
Gambar : 5.4 Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov, Tahun 2010
‐
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
AcehSumut
SumbarRiau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
KalbarKalteng
KalselKaltimSulutSultengSulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku Utara
Banten
Kep. Babel
Gorontalo
KepriPapua Barat
Sulbar
Ruang Fiskal Pemprov . Rata‐rata Ruang Fiskal Pemprov
Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot Rata‐rata Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 43
Tabel : 5.2. Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot dan Pemprov Menurut 5 Provinsi Tertinggi dan Terrendah,
Tahun 2010
Dari hasil analisis ini, ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi Papua sebesar 71,2%, Papua Barat (70,9%) dan Kalimantan Timur (70,5%), dan terrendah di provinsi Jawa Tengah sebesar 35,8%, Bali (37,1%) dan DI.Yogyakarta (37,7%). Sementara untuk ruang fiskal pemerintah provinsi, tertinggi terdapat di Papua Barat sebesar 91.36%, Papua (88.85%) dan Kepulauan Riau (87,99%), dan untuk kelompok terrendah adalah Provinsi Bengkulu sebesar 58,61%, NTT (59,32%) dan Sulawesi Utara (61,69%).
Tinggi ruang fiskal di wilayah Papua dan Kalimantan Timur, serta Kepulauan Riau sesuai dengan gambaran di atas, disebabkan oleh tingginya dana transfer, serta dana Otsus untuk pemerintah daerah diwilayah Papua. Ruang fiskal terrendah terdapat pada kabupaten dan kota Jawa Tengah, Bali dan DI. Yogyakarta disebabkan tingginya pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai. Rendahnya ruang fiskal dapat juga dikontribusi oleh pendapatan daerah yang rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.
5.2. Analisis Belanja Daerah 5.2.1. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah Rasio ini memperlihatkan rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai dan begitu sebaliknya semakin kecil angka rasio belanja pegawai maka semakin kecil pula proporsi APBD yang dialokasikan untuk belanja pegawai APBD. Belanja pegawai yang dihitung dalam rasio ini melipui belanja pegawai langsung dan belanja pegawai tidak langsung. 1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota pada lingkup nasional, rata-rata rasio belanja pegawai terhadap total belanja daerah adalah 44%. Rasio belanja pegawai agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 12 provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 21 provinsi yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang lebih diatas rata-rata nasional. Sementara terdapat sebanyak 9 provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai lebih dari 50,0%. Hal ini berarti bahwa pada daerah-daerah tersebut, belanja daerahnya masih didominasi oleh
No Ruang Fiskal Pemkab/Pemkot Ruang Fiskal Pemprov
Tertinggi % Terrendah % Tertinggi % Terrendah %
1 Papua 71,2 Jawa Tengah 35,8 Papua Barat 91,36 Bengkulu 58,61
2 Papua Barat 70,9 Bali 37,1 Papua 88,85 NTT 59,32
3 Kaltim 70,5 DI Yogyakarta 37,7 Kepri 87,99 Sulut 61,69
4 DKI Jakarta 65,7 Lampung 40,2 Kaltim 87,57 Maluku 63,96
5 Maluku Utara 64,3 Sumbar 41,2 Aceh 85,57 NTB 64,25
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 44
belanja pegawai.Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Prov. Kalimantan Timur dan Papua Barat yaitu masing-masing sebesar 27%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah Prov. DI. Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan rasio sebesar 57%.
Gambar : 5.3. Rasio Belanja Pegawai Terhadap Total BelanjaAgregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Tingginya porsi belanja pegawai tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja selain belanja pegawainya.. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya yang mendukung pertumbuhan ekonomi. 2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi dan Pemerintah Provinsi
Gambar5.3. memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi terhadap total belanjanya, dan rasio belanja pegawai pemerintah provinsi terhadap total belanjanya. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemkab dan pemkot se-provinsi dengan rata-rata sebesar 50%, yang berada di atas 50% meliputi sebanyak 19 provinsi. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi sebagian besar mengalokasikan lebih dari setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar yaitu sebesar 65%, sedangkan yang memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil adalah pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Kalimantan Timur dengan rasio sebesar 30%.
41
51 50
37
45 45 50
55
37
48
57 57 50
45
36 42
27
51 49 51 49 52
56 51
43
29
38
47
36
50
37
27
47
44
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Ben
gkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah DI …
Jawa Timur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulten
g
Sulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
…
Banten
Kep
. Babel
Gorontalo
Kep
ri
Papua Barat
Sulbar
belanja pegawai/total belanja belanja pegawai/total belanja Agregat (Nasional)
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 45
Gambar 5.4. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Se-Provinsi, Tahun 2010
Rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 26%. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata rasio tersebut. Gambar 5.3. memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemprov Bengkulu dengan rasio sebesar 42%, sedangkan pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemprov Papua Barat yang sebesar 11%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah daripada rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi. 5.2.2. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD. Semakin besar rasionya maka semakin besar belanja daerah yang dibelanjakan untuk membayar gaji pegawai daerah dan sebaliknya, semakin kecil angka rasionya maka semakin kecil belanja daerah yang dipergunakan untuk membayar gaji pegawai daerah.
15 23
26 26 31
35 42
29 37
20 25
32 26 26
19 25
16
37 34 27
37
27 35 38 38
15
27
18 18
35
20
11
26
60 57 55
41
49 47 53
61
37
56 64 65
56 48
41 46
30
54 53 55 51
61 60 53
44
34 41
57
41
54
43
35
54
26
50
‐
10
20
30
40
50
60
70
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Ben
gkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulten
gSulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Utara
Banten
Kep
. Babel
Gorontalo
Kep
riPapua Barat
Sulbar
belanja pegawai/total belanja Pemprovbelanja pegawai/total belanja Pemkab/Pemkot Se Provinsibelanja pegawai/total belanja Pemprov (Nasional)belanja pegawai/total belanja Pemkab/pemkot (Nasional)
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 46
Gambar 5.5. Rasio Belanja Pegawai Tidak Langsung terhadap Total Belanja Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota Se Provinsi, Tahun 2010
Rasio belanja pegawai tidak langsung pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi terhadap belanja daerahnya memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 45% dari belanja daerah. Sebanyak 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.6 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Jawa Tengah memiliki rasio belanja pegawai tidak langsung yang tertinggi yaitu 60%, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov. Kalimantan Timur memiliki rasio terrendah dengan angka sebesar 22%. Masih banyaknya provinsi yang memilikibelanja pegawai tidak langsung relatif tinggi, perlu mendapatkan perhatian karena itu berarti mayoritas daerah membelanjakan lebih dari 45,0% untuk belanja pegawai tidak langsung dan sisanya baru dibagi oleh bermacam jenis belanja lainnya. Rasio belanja pegawai tidak langsung terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa secara rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung adalah 21% belanja daerah. Berdasarkan angka rata-rata rasio belanja pegawai tidak langsung tersebut, sebanyak 16 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari angka tersebut. Selanjutnya, Gambar 5.4 memperlihatkan bahwa Pemprov Bengkulu memiliki rasio tertinggi sebesar 38%, sedangkan yang terrendah, adalah Pemprov Papua Barat, memiliki rasio sebesar 8%. 5.2.3. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah Rasio belanja modal terhadap total belanja daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk belanja modal. Belanja Modal sendiri ditambah belanja barang dan jasa, merupakan belanja pemerintah yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah selain dari sektor swasta, rumah tangga, dan luar negeri. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya, semakin baik pengaruhnya
11 19
23 18
27
14
38
25 31
17 21
26 19
23 16
21
12
33 29
22 26 26
31 32 32
12
20 14 15
31
10 8 16
52 51 51
33
44 42 47
57 52
60 59 52
43 36
41
22
49 49 50 46
58 56
48
39
28 34
48
33
47
34 29
49
21
45
‐
10
20
30
40
50
60
70 Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Ben
gkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulten
gSulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Utara
Banten
Kep
. Babel
Gorontalo
Kep
riPapua Barat
Sulbar
%
Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Daerah Pemprov
Belanja Pegawai Tidak Langsung Terhadap Total Belanja Pemkab/pemkot
belanja pegawai Tidak Langsung/total belanja Pemprov (Nasional)
belanja pegawai Tidak Langsung/total belanja Pemkab/pemkot (Nasional)
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 47
terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin buruk pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Gambar 5.6 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rasio rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota(Nasional) sebesar 22%. Berdasarkanrasio nasional tersebut, sebanyak 18 provinsi sudah memiliki rasio di atas rata-rata nasional, sedangkan 15 provinsi berada di bawah rata-rata. Provinsi yang memiliki rasio terrendah adalah Prov. DI. Yogyakarta sebesar 8%, sedangkan rasio tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur sebesar 39%. Kondisi di atas menunjukkan sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 50%. Itu berarti bahwa sebagian daerah masih belum memberikan perhatian yang cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonominya.
Gambar 5.6. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan oleh Gambar 5.6 memperlihatkan bahwa secara rata-rata nasional rasio belanja modal terhadap belanja daerah untuk pemkab/pemkot adalah sebesar 22%. Sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja modal pemkab/pemkot lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 16 provinsi memiliki rasio belanja modal pemkab/pemkot terhadap belanja pegawai yang lebih kecil dari rata-rata. Provinsi Kalimantan Timur memiliki rasio belanja modal yang terbesar yaitu sebesar 41%, sedangkan pemerintah kabupaten dan kota di Prov.DI Yogyakarta memiliki rasio terkecil yaitu 8%.
26
18 20
32
24 27
19 14
28
14 9 8
14
21
31 26
39
24 23 19
25
10 16
20 25
29 33
20
30
24 27
31
21 22
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Ben
gkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulten
gSulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Utara
Banten
Kep
. Babel
Gorontalo
Kep
riPapua Barat
Sulbar
belanja Modal/total belanja Agregat Se‐Provinsi
belanja Modal/total belanja Agregat Se‐Provinsi (Nasional)
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 48
Gambar 5.7. Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi
3. Pemerintah Provinsi
Profil rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerahnya dapat dilihat pada Gambar 5.7. Sebanyak 16 provinsi memiliki rasio belanja modal pemprov lebih besar dari rata-rata (23%), sedangkan 17 provinsi memiliki rasio belanja modal pemprov terhadap belanja pegawai yang lebih kecil dari rata-rata. Gambar 5.7, memperlihatkan kisaran rasio antara 8% hingga 42% dengan rasio tertinggi terdapat di Pemprov. Kepulauan Riau dan terrendah di Pemprov. Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing sebesar 8%. 5.2.4. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk Rasio belanja modal perkapita menunjukkan seberapa besar belanja yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk. Rasio belanja modal perkapita memiliki hubungan yang erat dengan pertumbuhan ekonomi karena belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan perekonomian penduduknya dari pembangunan infrastruktur yang dikeluarkan.
41
8 9
40 42
8
41
9
23 22
‐
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Ben
gkulu
Lampung
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulten
gSulsel
Sultra
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Maluku
Utara
Banten
Kep
. Babel
Gorontalo
Kep
riPapua Barat
Sulbar
%
belanja Modal/total belanja Pemprov
belanja Modal/total belanja Pemkab/Pemkot se Provinsi
belanja Modal/total belanja Pemprov (Nasional)
belanja Modal/total belanja Pemkab/Pemkot (Nasional)
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 49
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota Grafik 3.17 yang menunjukkan rasio belanja modal perkapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota) memperlihatkan bahwa rata-rata rasio belanja modal perkapita adalah Rp. 433,19 Ribu. Terdapat11 provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita lebih rendah dari rata-rata nasional, dan 22 provinsi memiliki rasio belanja modal perkapita lebih tinggi dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Prov. Papua Barat yaitu sebesar Rp. 3,4 juta, sedangkan yang terrendah adalah Prov. Jawa Tengah sebesar Rp. 92,53 Ribu.
Gambar : 5.8. Rasio Belanja Modal perkapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal perkapita pemkab dan pemkot se-Provinsi mencerminkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota di setiap provinsi. Dari data APBD terlihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata adalah provinsi yang memiliki potensi SDA yang besar dan atau memperoleh dana perimbangan yang besar dari pusat terutama DBH SDA + dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus. Hal ini dapat ditunjukkan dari 10 Provinsi dengan Rasio Belanja Modal tertinggi, sebanyak 6 provinsi berada pada kuadran I dari Gambar 5.9 yang menunjukkan Perimbangan Sumber Pendapatan dari DBH + Daya Penyesuaian dan Otsus dengan Belanja Modal.
99
433
3,423
‐ 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000
Jawa TengahDI Yogyakarta
Jawa BaratJawa TimurLampungBanten
BaliNTB
SumutSulselNTT
NASIONALKalbarSulbar
SumbarSumselSulteng
BengkuluJambi
GorontaloSulutKalselSultra
MalukuAcehRiau
Kep. BabelKepri
KaltengMaluku Utara
DKI JakartaPapuaKaltim
Papua Barat
(Rp.000/ Kapita)
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 50
Gambar: 5.9. Perimbangan Sumber Pendapatan dari DBH + Daya Penyesuaian dan Otsus
dengan Belanja Modal.
Gambar 5.10. menunjukkan rasio belanja modal perkapita pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi. Secara nasional rata-rata rasio belanja modal kabupaten dan kota se-provinsi adalah Rp. 322,49 Ribu. Pemkab dan Pemkot Se-Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita lebih tinggi dari rata-rata sebanyak 23 provinsi, sedang yang dibawah rata-rata sebanyak 10 provinsi. Papua Barat memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi yaitu sebesar Rp2,6 juta sedangkan yang terrendah adalah Pemkab dan Pemkot se-Prov. Jawa Tengah dengan rasio Rp. 84.000/ kapita.
Gambar : 5.10. Rasio Belanja Modal perkapita Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Belanja Modal Perkapita Pemkab/Pemkot Belanja Modal Perkapita Pemprov
14000000.0012000000.0010000000.008000000.006000000.004000000.002000000.000.00
Dana Bagi Hasil pajak/bukan pajak + dana penyesuaian dan Otsus (Juta Rp.)
25000000.00
20000000.00
15000000.00
10000000.00
5000000.00
0.00
Bel
anja
Mod
al (J
uta
Rp.
)
Sulbar
Papua Barat
Kepri
Kep. Babel
Banten
Papua
NTTNTB
Sulsel
Sulteng
Kaltim
Kalteng
Jawa Timur
Jawa Tengah
Jawa Barat
DKI Jakarta
Sumsel
Riau
Sumut
Aceh
84
322
2,610
‐ 1,000 2,000 3,000
Jawa TengahDI Yogyakarta
Jawa BaratBanten
Jawa TimurLampung
BaliNTB
SumutSulbar
NASIONALSulselAcehNTT
KalbarSumbarSumselJambi
SultengBengkuluGorontalo
KalselSulutSultraKepri
DKI JakartaKep. Babel
RiauMaluku
Maluku UtaraKaltengPapua
Papua BaratKaltim
Ribu Rp/ Kapita
15
111
1,178
‐ 500 1,000 1,500
Jawa TengahJawa TimurJawa Barat
SulselLampung
DI …NTBNTT
SumutBanten
BaliMalukuKalbarSultengSulut
BengkuluGorontaloNASIONAL
SumbarSumselJambiSultraSulbarKalselRiau
KaltengMaluku …Papua
Kep. BabelKepriKaltimAceh
DKI JakartaPapua Barat
Ribu Rp/ Kapita
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 51
3. Pemerintah Provinsi
Rasio Belanja Modal perkapita pemerintah provinsi ditunjukkan pada Gambar 5,9. Rasio belanja modal perkapita pemerintah provinsi memiliki rata-rata nasional sebesar Rp110,70 Ribu/Kapita.Sebanyak 17 pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk di bawah rata-rata nasional, dan sebanyak16 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemprov. Papua Barat, yaitu sebesar Rp 1.177, 97 Ribu/ kapita sedangkan yang terrendah adalah Pemprov.Jawa Tengah Rp. 14,53 Ribu / kapita. 5.2.5. Perbandingan Kualitas Pendapatan dan Belanja Pemerintah Antarprovinsi Berdasarkan gambaran perbandingan proporsi pendapatan dan belanja pemerintah antarprovinsi seperti diuraikan pada sub sebelumnya, kualitasnya dapat diindikasikan melalui indikator kemandirian daerah, Rasio belanja pegawai dan belanja PNSD terhadap total belanja, serta rasio belanja modal terhadap total belanja. Dengan melakukan pengkategorian berdasarkan nilai terhadap rasio rata-rata nasional untuk setiap indikator, dapat diidentifikasi kategori “Tinggi (T)” dan “Rendah (R)”.Penjelasan dari setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Indikator Pendapatan Dan Belanja Pemerintah
No INDIKATOR KATEGORI KETERANGAN
1 Ruang Fiskal Daerah Tinggi (T) Kemandirian daerah Tinggi Rendah (R) Kemandirian daerah Rendah
2
Rasio PAD Thd APBD dibanding Rata-rata Nasional
Tinggi (T) Kemandirian daerah Tinggi Rendah (R) Kemandirian daerah Rendah
3
Rasio belanja pegawai thd total belanja di banding rata-rata nasional
Tinggi (T) Porsi dana untuk belanja program dan kegiatan daerah relatif rendah
Rendah (R) Porsi dana untuk belanja program dan kegiatan daerah relatif tinggi
4
Rasio belanja pegawai tidak langsung thd total belanja di banding rata-rata nasional
Tinggi (T) Porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD relatif tinggi
Rendah (R) Porsi belanja daerah terhadap pembayaran gaji pegawai PNSD relatif tinggi
5
Rasio belanja Modal thd total belanja di banding rata-rata nasional
Tinggi (T) Porsi belanja modal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi relatif tinggi
Rendah (R) Porsi belanja modal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi relatif rendah
Berdasarkannilai rasio setiap provinsi pada indicator yang dinilai, dapat diidentifikasi kategori setiap indicator untuk setiap provinsi, lihat Tabel 5.3. Untuk memudahkan dalam membedakan kualitas pendapatan dan belanja pada setiap provinsi, setiap kategori yang diberi “Blok warna Abu-abu” menunjukkan kualitas kemampuan
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 52
keuangan, dan kualitas belanja “relatif rendah ” dan sebaliknya menunjukkan kualitas “relatif baik”.
Berdasarkan nilai agregat (pemerintah provinsi dan kabupaten/kota) untuk setiap provinsi, kualitas pendapatan dan belanja “relatif rendah” meliputi Provinsi Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, NTT, NTB, dan Sulawesi Barat. Kualitas pendapatan dan belanja “relatif jrendah” pada kelompok ini, untuk pemerintah provinsi terdapat di Provinsi Bengkulu, Kalimantan Barat, NTT dan NTB, sementara untuk pemerintah kabupaten/kota terdapat di Provinsi Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Jawa tengah, Sulawesi Selatan, NTB. NTT, dan Sulawesi Barat.
Tabel: 5.1. Matriks Penilaian Kualitas Pendapatan dan Belanja Antarprovinsi
Provinsi
PEMERINTAH PROVINSI PEMERINTAH
KABUPATEN/KOTA AGREGAT SE PROVINSI
Ruang Fiskal
Rasio PAD Thd APBD
Rasio belanja pegaw
ai thd total belanja
Rasio belanja pegaw
ai tidak langsung
thd total belanja
Rasio belanja M
odal thd total belanja
Belanja M
odal Perkapita
Ruang Fiskal
Rasio PAD Thd APBD
Rasio belanja pegaw
ai thd total belanja
Rasio belanja pegaw
ai tidak langsung
thd total belanja
Rasio belanja M
odal thd total belanja
Belanja M
odal Perkapita
Ruang Fiskal
Rasio PAD Thd APBD
Rasio belanja pegaw
ai thd total belanja
Rasio belanja pegaw
ai tidak langsung
thd total belanja
Rasio belanja M
odal thd total belanja
Belanja M
odal Perkapita
Aceh T R R R T T R R T T R T T R R R T T
Sumatera Utara T T R R R R R R T T R R R R T T R R
Sumatera Barat R T R T T R R R T T R T R R T T R T
Riau R R R R T T T R R R T T T R R R T T
Jambi R R T T T R T R R R T T R R T T T T
Sumatera Selatan T T T R T R T R R R T T T R T R T T
Bengkulu R R T T R R T R T T R T R R T T R T
Lampung R T T T R R R R T T R R R R T T R R
DKI Jakarta R T T T T T T T R R T T T T R R T T
Jawa Barat T T R R R R R T T T R R R T T T R R
Jawa Tengah T T R R R R R R T T R R R R T T R R
DI Yogyakarta R T T T R R R T T T R R R T T T R R
Jawa Timur T T R R R R R R T T R R R T T T R R
Kalimantan Barat R R T T R R T R R R R T T R T T R R
Kalimantan Tengah T R R R T T T R R R T T T R R R T T
Kalimantan Selatan R T R R T T T R R R T T T R R R T T
Kalimantan Timur T R R R T T T R R R T T T R R R T T
Sulawesi Utara R R T T R R R R T T T T R R T T T T
Sulawesi Tengah R R T T R R T R T T T T R R T T T T
Sulawesi Selatan T T T T R R R R T T R T R R T T R R
Sulawesi Tenggara R R T T T R T R T T T T R R T T T T
Bali R T T T R R R T T T R R R T T T R R
NTB R R T T R R R R T T R R R R T T R R
NTT R R T T R R R R T T R T R R T T R R
Maluku R R T T R R T R R R T T T R R R T T
Papua T R R R R T T R R R T T T R R R T T
Maluku Utara R R T R T T T R R R T T T R R R T T
Banten T T R R T R R T T T R R R T T T R R
Bangka Belitung T R R R T T T R R R T T T R R R T T
Gorontalo R R T T R R T R T T T T R R T T T T
Kepulauan Riau T R R R T T T T R R T T T R R R T T
Papua Barat T R R R T T T R R R T T T R R R T T
Sulawesi Barat T R R R T R R R T T R R T R T T R RSumber: Hasil Pengolahan Data APBD 2010.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 53
5.3. Perimbangan Indeks Komponen Pembentuk IPM denganBelanja Pemerintah
Perkembangan Indeks komponen pembentuk IPM yang meliputi : Indeks Harapan Hidup (IHH), Indeks Pendidikan (IP), dan Indeks Hidup Layak (IHL) memiliki kaitan erat dengan dukungan alokasi pendanaan pemerintah. Berdasarkan struktur APBD menurut fungsi dibedakan dalam 11 kelompok belanja, dan yang dianggap memiliki kaitan langsung dengan perkembangan indeks komponen pembentuk IPM tersebut adalah belanja bidang kesehatan, bidang pendidikan dan belanja bidang ekonomi. Pada Gambar 5.10, tampak perimbangan Indeks Harapan Hidup dengan belanja pemerintah bidang kesehatan. Pada gambar tersebut terdapat sebanyak 9 provinsi yang berada pada kelompok Indeks Harapan Hiduprendah dan dukungan belanja pemerintah bidang kesehatan yang rendah pula, yaitu Provinsi NTB, Banten, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, NTT, Maluku, dan Sulawesi Barat.
Gambar 5.10. Perimbangan Indeks Harapan Hidup dengan belanja pemerintah
bidang kesehatan.
Pada Gambar 5.11, tampak perimbangan Indeks Pendidikan (IP) dengan belanja pemerintah bidang pendidikan. Pada gambar tersebut terdapat sebanyak 8 provinsi yang berada pada kelompok Indeks Pendidikan rendah dan dukungan belanja pemerintah bidang pendidikan yang rendah pula, yaitu Provinsi NTT, NTB, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, dan Provinsi Bali.
1000000.00800000.00600000.00400000.00200000.000.00
Belanja Pemerintah Bidang Kesehatan (Rp/ Kapita)
80.00
75.00
70.00
65.00
60.00
Ind
eks H
ara
pan
Hid
up
PAPUAPAPUA BARAT
MALUKU UTARA
MALUKU
SULBAR
GORONTALO
SULSEL
SULTENG
SULUT
KALTIM
KALSEL
KALTENG
KALBAR NTT
NTB
BALI
BANTEN
JAWA TIMUR
D I YOGYAKARTA
JAWA TENGAH
JAWA BARAT
DKI JAKARTA
KEPRI
KEP. BABELLAMPUNGJAMBI
RIAU
SUMBAR
ACEH
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 54
Gambar 5.11.
Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Pendidikan.
Pada Gambar 5.12, tampak perimbangan Indeks Hidup Layak (IHL) yang menunjukkan daya beli masyarakat dengan belanja pemerintah bidang ekonomi. Pada gambar tersebut terdapat sebanyak 3 provinsi yang berada pada kelompok IHL rendah dan dukungan belanja pemerintah bidang ekonomi yang rendah pula, yaitu Provinsi NTT, Lampung, Bengkulu dan Gorontalo. Sementara terdapat sebanyak 6 provinsi yang memiliki IHL rendah, namun memiliki belanja pemerintah bidang ekonomi tinggi, yaitu di provinsi Papua Barat, Maluku Utara, Papua, Aceh, Maluku, Sulawesi Tenggara.
Gambar 5.12. Perimbangan Indeks Hidup Layak dengan belanja pemerintah bidang Ekonomi.
1500000.001250000.001000000.00750000.00500000.00250000.00
Belanja Pemerintah Bidang Pendidikan (Rp/ Kapita)
95.00
90.00
85.00
80.00
75.00
70.00
65.00
Inde
ks P
endi
dika
n
PAPUA
PAPUA BARAT
MALUKU UTARA
MALUKU
SULBAR
GORONTALO
SULTRA
SULSEL
SULTENG
SULUT
KALTIM
KALSEL
KALTENG
KALBAR
NTT
NTB
BALI
BANTEN
JAWA TIMUR
D I YOGYAKARTA
JAWA TENGAH
JAWA BARAT
DKI JAKARTA
KEPRI
KEP. BABEL
BENGKULUSUMSEL
JAMBI
RIAUSUMBAR
SUMUTACEH
1500000.001200000.00900000.00600000.00300000.000.00
Belanja Pemerintah Bidang Ekonomi (Rp./ kapita)
66.00
64.00
62.00
60.00
58.00
56.00
54.00
Inde
ks H
idup
Lay
ak
PAPUA
PAPUA BARAT
MALUKU UTARA
MALUKU
SULBAR
GORONTALO
SULTRA
SULSEL
SULTENG
SULUT
KALTIM
KALTENG
NTT
NTB
BALI
BANTEN
JAWA TIMUR
D I YOGYAKARTA
JAWA TENGAH
JAWA BARATDKI JAKARTA
KEPRI
KEP. BABEL
LAMPUNG
BENGKULU
JAMBI
RIAU
ACEH
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 55
Berdasarkan hasil analisis kesenjangan antarwilayah menunjukkan berbagai hal dengan implikasi kebijakan penting, yaitu mengenai perlunyadukungan dalampenguatan formulasi perencanaan pembangunan melalui pengembangan informasi mengenai perkembangan kesenjangan antarwilayah, dan dukungan kebijakan dalammerespon persoalan berbagai temuan dari hasil analisis kesenjangan antarwilayah.Dukungan kebijakan dalam penguatan perencanaan pembangunan tersebut, khususnya dalam pemahaman terhadap persoalan kesenjangan antarwilayah yangdapat diindikasikan dari beberapa temuan tingginya disparitas antarwilayah, tren kesenjangan yang cenderung meningkat (divergen), rendahnya keterkaitan antara kekayaan daerah dengan kesenjahteraan masyarakat, serta rendahnya kemampuan fiskal daerah pada beberapa daerah yang relatif tertinggal. Kondisi ini tentunya perlu memperoleh perhatian serius dan dipantau perkembangannya, agar tidak memicu instabilitas dan gejolak sosial yang tidak diharapkan. Disisi lain, hal ini dapat menjadi acuan dalam merumuskan kebijakan dan program pembangunan yang tepat dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan antarwilayah di Indonesia.
Beberapa fakta dari kesenjangan antarwilayah, secara umum dapat dideskripsikan sebagai berikut:
Pertama, Beberapa provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap terjadinya kesenjangan perekonomian antarprovinsi di Indonesia, yaitu provinsi DKI Jakarta, Riau, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Timur yang memiliki PDRB perkapita tinggi, sebaliknya beberapa provinsi dengan PDRB perkapita sangat rendah, terdapat di Provinsi Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo. Hal ini tidak terlepas dari eksploitasi sumber daya alam yang berlimpah seperti minyak dan gas bumi, bahan tambang, dan sumberdaya hutan yang dimiliki Provinsi Kalimantan Timur dan Riau. Di Kepulauan Riau disebabkan adanya Kota Batam yang merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan antar Negara. DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan sektor industri, jasa dan perdagangan. Sementara menurut derajat ketimpangan antar wilayah berdasarkan PDRB perkapita menurut Theil Indeks kesenjangan di tingkat nasional lebih disebabkan akibat tingginya kesenjangan antarprovinsi (54,46 %) dibandingkan kesenjangan dalam provinsi (45,54 %). Kondisi kesenjangan (indeks Williamson) di Wilayah Jawa-Bali, Kalimantan dan Wilayah Maluku-Nustra-Papua kecenderungan semakin melebar, hal ini diperlihatkan dengan nilai CVw tahun 2009 lebih besar dibanding tahun 2005, dan tingkat kesenjangan tertinggi terjadi di wilayah Jawa-Bali. Tingkat kesenjangan di Wilayah Sumatera (Indeks Theil) lebih diakibatkan karena tingginya kesenjangan antarprovinsi, yaitu menyumbang sekitar 80,29 persen, Kesenjangan di wilayah Jawa-Bali didikibatkan oleh tingginya kesenjangan antarprovinsi (59,54 %), Kesenjangan di wilayah Kalimantan lebih diakibatkan oleh tingginya kesenjangan antarprovini (76,67 %), kesenjangan di Wilayah
IMPLIKASI KEBIJAKAN
6
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 56
Sulawesi dan wilayah Nustra-Maluku-Papua lebih diakibatkan oleh tingginya kesenjangan dalam provinsi.
Kedua, Perkembangan IPM Nasional pada periode 2005-2009 menunjukkan tren meningkat, dan diikuti penurunan disparitas IPM antarprovinsi. Namun perkembangan disparitas IPM antarprovinsi dan antarkabupaten/kota disetiap provinsi memiliki arah perkembangan yang berbeda, yaitu:
Perkembangan disparitas IPM antarprovinsi menunjukkan arah convergen, yaitu dari disparitas IPM pada tahun 2005 sebesar 14, berkurang menjadi 12,8 pada tahun 2009, yaitu selisih dari IPM tertinggi di Provinsi DKI Jakarta sebesar 76,1 (2005) dan 77,4 (2009) dengan IPM terrendah di Provinsi Papua sebesar 62,1 (2005) dan 64,5 (2009).
Kesenjangan kesejahteraan masyarakat berdasarkan disparitas IPM antar kabupaten/kota pada lingkup nasional juga ditentukan oleh perkembangan kesejahteraan kota-kota di DKI Jakarta dengan nilai IPM tinggi dan kabupaten-kabupaten di wilayah Papua dengan nilai IPM rendah. Sementara untuk disparitas IPM antarkabupaten/kota di setiap provinsi, kategori sangat tinggi terdapat di Provinsi papua sebesar 27,4, dan memiliki arah perkembangan disparitas meningkat (divergen). Disparitas IPM sangat tinggi dengan perkembangan divergen juga terjadi di Provinsi NTB, NTT dengan disparitas masing-masing sebesar 13,7 dan 17,1. Disparitas IPM sangat tinggi, namun memiliki arah perkembangan convergen terdapat di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua Barat masing-masing dengan disparitas sebesar 18,3, 13,7 dan 12,8.
Ketiga, fakta menunjukkan bahwa kaitan antara tingkat output perekonomian di suatu
wilayah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan sangat lemah.Tingginya kekayaan daerah tidak secara signifikan diikuti oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi pula.Jadi, terdapat kegagalan untuk merefleksikan kekayaan daerah ke dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.Hal ini merefleksikan penduduk asli (indigenous people) tidak merasakan manfaat dari kekayaan daerah yang ada disekitar mereka.Hal ini secara jelas tercermin dari kasus beberapa kabupaten di atas seperti Mimika, Kutai Timur, Sumbawa Barat. Sebagaimana di ketahui, di sekitar enclave pembangunan berbasiskan kelimpahan sumberdaya alam atau kantong-kantong eksploitasi (minyak-gas, pertambangan lainnya, hutan, perkebunan, dan lain lain) ditemukan adanya kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dan terlupakan ditengah hiruk-pikuk pengerukan sumberdaya alam di sekitar mereka. Mereka umumnya adalah penduduk asli daerah yang bersangkutan.
Keempat, peran penganggaran yang dituangkan dalam APBD suatu daerah memegang
peranan sangat penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun faktanya setiap daerah tidak memiliki kemampuan keuangan yang memadai, serta pengelolaan belanja pembangunan yang efektif untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gambaran kondisi keuangan daerah berdasarkan beberapa indikator dapat dijelaskan sebagai berikut:
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 57
kemandirian daerah DKI Jakartaberada pada posisi paling tinggi dibandingkan provinsi-provinsi yang lain, dan sebaliknya Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat kemandirian paling rendah. DKI Jakarta memiliki rasio PAD sebesar 53%, sementara Provinsi Papua Barat memiliki rasio PAD sebesar 3%. Hal ini menunjukkan bahwa, tingginya tingkat kemandirian di Provinsi DKI tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah, sedangkan rendahnya tingkat kemandirian di Provinsi Papua Barat disebabkan oleh rendahnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah tersebut.
Ruang Fiskal menggambarkan besarnya pendapatan yang masih bebas digunakan oleh daerah untuk mendanai program/kegiatan sesuai kebutuhannya. Ruang fiskal di wilayah Papua dan Kalimantan Timur, serta Kepulauan Riau yang termasuk kategori tinggi, disebabkan oleh tingginya dana transfer, serta dana Otsus untuk pemerintah daerah diwilayah Papua. Sementara itu, rendahnya ruang fiskal untuk pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah, Bali dan DI. Yogyakarta, serta untuk pemerintah provinsi yang terdapat di Provinsi Bengkulu, NTT dan Sulawesi Utara disebabkan tingginya pendapatan yang bersifat earmarked serta belanja wajib, khususnya belanja pegawai. Rendahnya ruang fiskal dapat juga dikontribusi oleh pendapatan daerah yang rendah, disisi lain pendapatan DAU sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai.
Rasio belanja pegawai terhadap total belanja, sebanyak 17 pemerintah provinsi dan 19 pemerintah kabupaten/kota memiliki rasio di atas rata-rata nasional, denganRasio tertinggi untuk pemerintah provinsi adalah Provinsi Bengkulu sebesar 42% dan terrendah di Provinsi Papua Barat sebesar 11%, sementara tertinggi untuk pemerintah kabupaten/kota adalah Provinsi DIY (65%) dan terrendah di provinsi Kalimantan Timur (30%). Berdasarkan rasio belanja pegawai tidak langsung (untuk gaji PNSD) terhadap total belanja sebanyak 16pemerintah provinsi dan 19 pemerintah kabupaten/kota memiliki rasio di atas rata-rata nasional, dengan rasio tertinggi untuk pemerintah provinsi adalah Provinsi Bengkulu sebesar 38% dan terrendah di Provinsi Papua Barat sebesar 8%, sementara untuk pemerintah kabupaten/kota, sementara untuk pemerintah kabupaten/kota, tertinggi di Provinsi Jawa Tengah (60%) dan terrendah di Provinsi Kaliman Timur (22%).
Rasio belanja modal terhadap total belanja, sebanyak 17 pemerintah provinsi dan 16 pemerintah kabupaten/kota memiliki rasio di bawah rata-rata nasional, dengan rasio tertinggi di Provinsi Bengkulu sebesar 42% dan terrendah di Provinsi Papua Barat sebesar 11%. Berdasarkan rasio belanja pegawai tidak langsung (untuk gaji PNSD) terhadap total belanja sebanyak 16 pemerintah provinsi dan 19 pemerintah kabupaten/kota memiliki rasio di atas rata-rata nasional, dengan rasio tertinggi di Provinsi Bengkulu sebesr 38% dan terrendah di Provinsi Papua Barat sebesar 8%.
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 58
Berdasarkan beberapa fakta di atas, maka beberapa kebijakan yang diperlukan diantaranya meliputi:
1. Diperlukan optimalisasi potensi sumberdaya lokal melalui pengembangan ekonomi lokal untuk terus ditingkatkan, serta meningkat keterkaitan ekonomi daerah-daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan.
2. Diperlukan adanya terobosan-terobosan dalam pembangunan perekonomian daerah, yaitu diantaranya melalui pengembangan pola kerjasama para aktor regional antar daerah otonom yang bertetangga, berdasarkan kebersamaan atau kepentingan tertentu untuk menemukan titik win-win solution, yaitu melalui pengembangan Regional Management.
3. Afirmative yang lebih konkrit untuk meningkatkan pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, serta meningkatkan akses masyarakat terhadap sarana dan prasarana perekonomian di daerah-daerah tertinggal,terutama di daerah-daerah yang memiliki disparitas tinggi dan memiliki perkembangan divergen. bagi kabupaten/kota dengan kenaikan IPM rendah, kemampuan fiskal tinggi nilai IPM rendah, intervensi kebijakan yang diperlukan adalah upaya memperkuat kapasitas pemerintah daerah melalui pembenahan tata pemerintahan. Daerah dengan IPM rendah dankemampuan fiskal rendah diperlukan intervensi kebijakan memperkuat kemampuan fiskal daerah melalui pengalokasian Dana Alokasi Khusus, Dekon-TP, serta sumber pendanaan lain yang sah, namun secara bersamaan perlu juga dilakukan pembenahan tata pemerintahan.
4. Percepatan pembangunan kedepan perlu dilakukan dengan pendekatan kewilayahan. Pendekatan pengembangan wilayah ini, tentunya diselenggarakan dengan memerhatikan potensi, peluang keunggulan sumber daya, baik darat maupun laut, serta dayadukung lingkungan. Optimalisasi percepatan dilakukan dengan pendekatan kewilayahan, diharapkan terbangun strategic regional development yang mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi wilayah,termasuk percepatan pembangunan di daerah tertinggal.Hal ini tentunya sangat menuntut adanya kesungguhan pemerintah dan peran aktif dari sektor-sektor terkait dalam mendukung percepatan pembangunan,termasuk dunia usaha dan partisipasi masyarakat.
5. Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk melakukan perbaikan dalam pemanfaatan sumber-sumber daya publik. Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentingan administrasi seharusnya merupakan target pemerintah daerah.
6. Stimulus berupa kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif sangatlah diharapkan. Sektor riil seperti perdagangan dan perkembangan usaha kecil dan menengah yang selama ini masih belum optimal, harus diberi dukungan kebijakan dari pemerintah. Terkait dengan iklim investasi di suatu daerah, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah kelompok kebijakan pemerintah yang memengaruhi biaya seperti pajak, beban regulasi dan pungli, korupsi, infrastruktur, biaya operasi, dan investasi perusahaan, dan yang kedua, kelompok yang mempengaruhi risiko yang
Analisis Kesenjangan Antarwilayah, 2011
Direktorat Pengembangan Wilayah, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah 59
terdiri dari stabilitas makroekonomi, prediktibilitas kebijakan, hak properti, kepastian kontrak, dan hak untuk mentransfer keuntungan.
7. Strategi pembangunan yang efektif perlu mempertimbangkan keragaman wilayah. Daerah yang memiliki tingkat PDRB yang rendah memperoleh manfaat relatif lebih tinggi dari alokasi dana DAU terlepas dari kemiskinandan pendapatan fiskal mereka. Di sisi lain, daerah yang mempunyai PDRB yang tinggi dan pendapatan fiskal yang juga tinggi menerima pendapatan bagi hasil yang relatif lebih tinggidari pemerintah pusat dan DAU pemerintah pusatyang relatif lebih rendah. Analisis pengelompokan kabupaten/kota seperti ini menunjukkan keragamansituasi yang akan diketahui sendiri oleh kabupaten/kota terutama mengenai hal-hal seperti angka kemiskinan, kondisiekonomi, dan kapasitas fiskal mereka. Keragaman ini sudah seharusnya diperhitungkan dalam penyusunan strategi pembangunan daerah.