analisis kekeringan

19
ANALISA KEKERINGAN 1. PENDAHULUAN 1.1. Pengertian dan Definisi Kekeringan Kekeringan biasa terjadi, merupakan kejadian biasa dan menggambarkan iklim yang senantiasa berulang, meskipun sering disalahartikan sebagai kejadian acak dan sangat jarang. Dalam kenyataannya terjadi pada semua jenis iklim meskipun karakteristiknya sangat berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kekeringan merupakan penyimpangan temporer dan sangat berbeda dengan kegersangan (aridity) yang lebih bersifat permanen dimana curah hujan yang turun senantiasa kecil. Kekeringan merupakan bencana alam yang penuh tipu muslihat. Meskipun mempunyai banyak definisi, tetapi sebenarnya dia berasal dari kekurangannya hujan pada suatu kondisi tertentu, biasanya terjadi satu musim atau lebih. Kondisi itu menimbulkan kekeringan air untuk beberapa sektor pertanian, PDAM, PLTA. Kekeringan harus selalu diperhitungkan secara relatif terhadap kondisi rata – rata jangka panjang di suatu wilayah, kondisi seperti ini disebut “ normal “. Kekeringan tidak dapat dilihat dari sisi fenomena fisik saja, tetapi perlu pula ditinjau dampak pada kehidupan masyarakat akibat interaksi antara kejadian alam (hujan yang lebih kecil dari biasanya) dan kebutuhan manusia akan suplai air. Kekeringan pada masa ini mengakibatkan dampak ekonomi, sosial dan pertanian, menunjukan adanya kerentanan masyarakat akan bencana tersebut. Ada dua definisi kekeringan yang akan dibahas yaitu jenis konseptual dan operasional. 1

Upload: ricka-aprillia

Post on 19-Jan-2016

256 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

definisi tentang kekeringan dan metode - metode yang digunakan untuk menganalisa tingkat kekeringan disuatu daerah

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis kekeringan

ANALISA KEKERINGAN

1. PENDAHULUAN

1.1. Pengertian dan Definisi Kekeringan

Kekeringan biasa terjadi, merupakan kejadian biasa dan menggambarkan

iklim yang senantiasa berulang, meskipun sering disalahartikan sebagai kejadian

acak dan sangat jarang. Dalam kenyataannya terjadi pada semua jenis iklim

meskipun karakteristiknya sangat berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain.

Kekeringan merupakan penyimpangan temporer dan sangat berbeda dengan

kegersangan (aridity) yang lebih bersifat permanen dimana curah hujan yang turun

senantiasa kecil.

Kekeringan merupakan bencana alam yang penuh tipu muslihat. Meskipun

mempunyai banyak definisi, tetapi sebenarnya dia berasal dari kekurangannya

hujan pada suatu kondisi tertentu, biasanya terjadi satu musim atau lebih. Kondisi

itu menimbulkan kekeringan air untuk beberapa sektor pertanian, PDAM, PLTA.

Kekeringan harus selalu diperhitungkan secara relatif terhadap kondisi rata – rata

jangka panjang di suatu wilayah, kondisi seperti ini disebut “ normal “.

Kekeringan tidak dapat dilihat dari sisi fenomena fisik saja, tetapi perlu pula

ditinjau dampak pada kehidupan masyarakat akibat interaksi antara kejadian alam

(hujan yang lebih kecil dari biasanya) dan kebutuhan manusia akan suplai air.

Kekeringan pada masa ini mengakibatkan dampak ekonomi, sosial dan

pertanian, menunjukan adanya kerentanan masyarakat akan bencana tersebut.

Ada dua definisi kekeringan yang akan dibahas yaitu jenis konseptual dan

operasional.

1.1.1.Definisi Konseptual dari Kekeringan

Definisi konseptual, diformulasikan secara umum, bertujuan membantu

orang untuk mengerti konsep dari kekeringan.

Contoh :

Kekeringan adalah periode kurang hujan yang berkepanjangan

mengakibatkan kerugian yang cukup berarti pada pertanian sehingga menimbulkan

gagal panen. Definisi konseptual ini sangat penting secara filosofi untuk

menegakkan kebijakan penanggulangan kekeringan. Contoh kebijakan Pemerintah

1

Page 2: Analisis kekeringan

Australia menghubungkan pengertian variabilitas iklim normal pada definisi

kekeringan.

Negara ini memberikan bantuan dana pada petani yang sedang mengalami “

kekeringan yang tidak biasa, ada pengecualian “. Kriteria tersebut didapat melalui

suatu hasil yang cukup panjang. Sebelum diberlakukan, beberapa petani didaerah

semi arid mendapatkan kucuran dana hampir setiap beberapa tahun. Hal ini

menunjukan bahwa kriteria tersebut perlu disesuaikan.

1.1.2. Definisi Operasional dari Kekeringan

Definisi operasional membantu orang untuk dapat mengidentifikasikan awal,

akhir dan tingkat keparahan kekeringan .

Untuk menentukan awal kekeringan, definisi operasional menghitung tingkat

penyimpangan dari hujan rata-rata atau perubahan iklim yang lain pada suatu

periode waktu tertentu. Ini biasanya dilakukan dengan memperbandingkan situasi

masa kini dengan rata – rata historis, umumnya berdasarkan minimal 30 tahun

pengamatan. Awal kekeringan biasanya ditentukan sembarang seperti misalnya

jika mencapai kurang dari 75 % rata–ratanya. Atau berdasarkan kriteria lain yang

disesuaikan dengan dampak tertentu.

Definisi operasional dapat juga digunakan untuk menganalisa frekuensi

kekeringan, keparahannya dan durasinya untuk suatu periode. Definisi tersebut

membutuhkan data cuaca jam jaman, harian, bulanan, atau periode lain dan

mungkin data dampak kekeringan (seperti hasil panen ) tergantung dari makna

definisi kekeringan yang digunakan. Analisa kekeringan untuk suatu wilayah akan

sangat membantu pengertian akan karakteristiknya dan kemungkinan terjadi

pengulangan tingkat keparahan tertentu. Informasi seperti ini sangat bermanfaat

bagi pengembangan strategi mitigasi dan respons selain untuk kepentingan

perencanaan bangunan air.

1.2. Kekeringan dalam Perspektif Disiplin Ilmu Meteorologi, Hidrologi

dan Pertanian.

1.2.1.Kekeringan Meteorologi

Kekeringan meteorologi diartikan biasanya berdasarkan tingkat kekeringan

(dibandingkan dengan “ normal “ atau rata-rata ) dan durasi periode kering.

Definisi kekeringan meteorologi harus menggambarkan kondisi wilayah yang

spesifik karena kondisi atmosfer yang terjadi akibat hujan berkurang sangat

2

Page 3: Analisis kekeringan

bervariasi dari satu wilayah ke wilayah. Contoh, beberapa definisi kekeringan

meteorologi mengidentifikasikan periode kekeringan berdasarkan jumlah hari hujan

dengan curah hujan, kurang dari ambang yang telah dispesifikasikan.

Ukuran ini hanya dapat diterapkan untuk wilayah dengan karakteristik

sepanjang tahun hujan seperti Indonesia tapi tidak sesuai untuk Negara Brazil,

Darwin (Australia), Nebraska (USA).

Definisi lain menghubungkan penyimpangan terhadap rata-rata berdasarkan

skala waktu bulan, musim atau hujan.

1.2.2.Kekeringan Hidrologi

Kekeringan hidrologi berhubungan dengan akibat dari periode kurang hujan

terhadap ketersediaan air dipermukaan dan bawah permukaan ( seperti aliran

sungai, muka air waduk dan danau, air tanah ). Frekuensi dan keparahan

kekeringan hidrologi sering digambarkan dalam skala DPS. Meskipun semua

kekeringan berasal dari kurang hujan tetapi para ahli hidologi lebih tertarik pada

bagaimana kekurangan ini berperan dalam sistim hidrologi. Kekeringan hidrologi

biasanya mempunyai fase yang berbeda dalam arti ada tenggang waktu (lag)

terhadap kekeringan meteorologi dan pertanian. Ada beberapa saat setelah hujan

kurang, tanah mengalami kurang kandungan air dalam pori-porinya, beberapa saat

kemudian debit aliran air berkurang dan seterusnya kandungan air tanah dan muka

air waduk berkurang. Akibatnya dampaknya mempengaruhi beberapa sektor yang

menggunakan ketersediaan air di dalam tanah (pertanian), disungai (Pertanian, air

baku), diwaduk(Pertanian, air baku, PLTA) dan air tanah (air baku, pertanian).

Sehingga, dimusim kering sering timbul konflik pengguna air dari berbagai sektor

1.2.3.Kekeringan Pertanian

Kekeringan pertanian menghubungkan berbagai karakteristik meteorologi

(atau hidrologi) dengan dampak pertanian. Kondisi kurang hujan dikaitkan dengan :

1. Evapotranspirasi aktual dan potensi

2. Air tanah yang menyusut

3. Karakteristik dari tanaman tertentu seperti tingkat pertumbuhan

4. Penyusutan aliran air sungai, waduk, air tanah

Kekeringan pertanian harus mampu memperhitungkan kondisi kelengasan

tanah di top soil pada saat awal penanaman. Oleh karena jika tidak mencukupi

kelengasan tanah di top soil tersebut akan menimbulkan penurunan hasil panen

atau bahkan puso untuk tanaman padi.

3

Page 4: Analisis kekeringan

1.3 Peranan Analisis Kekeringan dalam Perencanaan Bangunan Air

Perencanaan bangunan air dalam rangka pengembangan Sumber Daya Air

berbentuk waduk, bendung,. Kapasitas waduk ditentukan oleh inflow yang alami

dan outflow yang bergantung pada perencanaan mencakup single dan multi

purpose reservoirs, jumlah areal sawah yang dilayani bendung tergantung dari

suplai air yang tersedia di sungai maupun waduk.

Besarnya inflow yang berfluktuasi dalam suatu periode waktu

mengakibatkan besaran ketersediaan air atau debit handal pada suatu periode

berbeda dengan periode lain. Pada tahun-tahun basah ketersediaan air berlimpah,

jika data tersebut digunakan maka kapasitas waduk yang dihasilkan menjadi kecil

atau areal persawahan yang dilayani menjadi lebih sempit.

1.4. Analisa Kekeringan

1.4.1. Uraian Umum

Seperti yang dijelaskan sebelumnya ada beberapa pengertian kekeringan.

Oleh karena analisa kekeringan meteorologi selalu digunakan dalam analisa lain

seperti kekeringan hidrologi dan pertanian, maka kajian kekeringan difokuskan

pada kekeringan meteorologi.

Ada beberapa indeks kekeringan yang mengukur berapa besar hujan yang

jatuh pada suatu periode tertentu dan menyimpang dari kondisi normal yang

dihitung dari data historisnya.

Meskipun tidak ada satu indekspun yang mampu menampung semua ukuran

kekeringan dan memuaskan semua pihak, indeks yang satu selalu mempunyai

kelebihan dan kekurangan dari yang lain.

Dalam bahasan ini akan ditampilkan tiga jenis analisa indeks kekeringan yaitu :

1. Prosentasi terhadap normal

2. Desil

3. Standardized Precipitation Index (SPI) dan

4. Theory of Run

1.4.2 Cara Prosentasi Terhadap Normal

Cara ini merupakan salah satu cara termudah untuk mengukur kekeringan,

yang intinya membandingkan hujan yang bersangkutan dengan hujan normal.

Hujan normal dihitung dari rata-rata selama minimum 30 tahun. Skala waktu yang

4

Page 5: Analisis kekeringan

digunakan dapat mingguan, bulanan, atau tahunan. Jadi cara ini berguna untuk

lokasi dan musim tertentu.

Prosentasi terhadap normal mudah dimengerti dan memberi indikasi

kekeringan yang berbeda tergantung dari lokasi dan musim. Perhitungan dilakukan

dengan cara membagi hujan dengan hujan normalnya, dikalikan 100 %. Prosedur

ini dapat dilakukan untuk berbagai skala waktu, dengan menganggap nilai

normalnya sebagai 100 %.

Salah satu kerugian menggunakan cara ini adalah hujan normal berupa rata-

rata hujan biasanya nilainya tidak sama dengan median. Peluang dari median

secara kumulatif terjadi selain 50 % dari jumlah data yang cukup panjang. Nilai rata

tidak sama dengan median karena distribusi data hujan tidak mengikuti normal.

Hal ini yang menyebabkan cara ini sukar menghubungkan penyimpangan

berupa prosentasi dengan penyimpangan yang terjadi sebenarnya.

1.4.3. Desil

Metode ini dikembangkan oleh Gibbs dan Maher (1967) untuk menghindari

beberapa kelemahan dari metode Prosentasi terhadap normal.

Kata desil berasal dari satu per sepuluh, dimana rentetan data diurut

menjadi 10 kelompok. Kelompok pertama adalah hujan dengan kemungkinan lebih

kecil, 10 % dari seluruh kejadian. Kelompok kedua adalah curah hujan dengan

kemungkinan lebih kecil, 20 % dari seluruh kejadian.

Berdasarkan definisi desil kelima sama dengan median, sehingga cara ini

dikelompokan menjadi 5 kelompok yaitu :

Desil 1 - 2 : terrendah, 20 % jauh dibawah normal

Desil 3 - 4 : diatas terrendah, 20 % di bawah normal

Desil 5 - 6 : di tengah, 20 % mendekati normal

Desil 7 - 8 : di atas tengah-tengah, 20 % diatas normal

Desil 9 - 10 : tertinggi, jauh diatas normal

Metode Desil dipilih sebagai ukuran kekeringan oleh “ Australian Drought

Watch System “ karena relatif sederhana untuk dihitung.

Dengan metode ini, petani di Auatralia hanya dapat meminta bantuan

kepada pemerintah jika curah hujan yang terjadi ada pada tingkat desil 1 - 2 dan

berakhir lebih dari 12 bulan

Satu kerugian dari cara ini adalah membutuhkan data hujan yang cukup

panjang, agar hasilnya lebih handal.

5

Page 6: Analisis kekeringan

1.4.4 Standarized Precipitation Index (SPI)

Pengertian bahwa bila hujan yang turun mengecil akan mengakibatkan

kandungan air dalam tanah dan debit aliran berkurang, menimbulkan

berkembangnya Standardized Precipitation Index (SPI). SPI dihitung untuk

mengkwantifikasikan defisit hujan dengan berbagai skala waktu. Skala waktu

tersebut mencerminkan dampak kekeringan pada ketersediaan air diberbagai

sumber. Kondisi kelengasan tanah merespon anomali hujan pada jangka waktu

pendek, sedangklan air tanah, debit di sungai dan tampungan waduk menanggapi

anomali hujan lebih lama. Oleh karena itu SPI dihitung untuk 3-, 6-, 12-,24 dan 48

bulan.

SPI untuk suatu lokasi dihitung berdasarkan data hujan yang cukup panjang

untuk periode yang diingini. Data hujan yang cukup panjang disesuaikan dengan

suatu jenis distribusi (Gamma), kemudian ditransformasikan ke distribusi normal

sehingga rata-rata SPI di suatu lokasi sama dengan nol.

SPI positif mengidentifikasikan hujan yang lebih besar dari median dan SPI

negatif menunjukan hujan yang lebih kecil dari median.

Mc Kee et al (1993) menggunakan klasifikasi dibawah ini untuk

mengidentifikasikan intensitas kekeringan, dan juga kriteria kejadian kekeringan

untuk skala waktu tertentu.

Kekeringan terjadi pada waktu SPI secara berkesinambungan negatif dan

mencapai intensitas kekeringan dengan SPI bernilai -1 atau kurang.

Tabel 1.1 Klasifikasi SPI mengikuti skala

Nilai SPI Klasifikasi

2.00 Amat sangat basah

1.50 -1.99 Sangat basah

1.00 - 1,49 Cukup basah

-0.99 - 0.99 Mendekati normal

-1,00 - 1,49 Cukup kering

-1,50 - 1,99 Sangat Kering

-2.00 atau <-2.00 Amat sangat kering

6

Page 7: Analisis kekeringan

2. INDEKS KEKERINGAN UNTUK PERENCANAAN

BANGUNAN AIR

2.1. Uraian Umum

Perencanaan bangunan air seperti waduk dan bendung membutuhkan seri

data debit bulanan atau tengah bulanan yang cukup panjang. Dalam seri waktu

tersebut fluktuasi data memberikan gambaran akan kondisi ekstrim yang pernah

terjadi yaitu surplus mengakibatkan banjir dan defisit menimbulkan kekeringan

yang pernah terjadi. Panjang data debit jauh lebih pendek dibandingkan dengan

data hujan. Di samping itu watak seri data debit sangat tergantung dari alih fungsi

lahan sehingga tidak dapat diperhitungkan sebagai suatu sampel data. Oleh karena

itu data hujan lebih tepat untuk digunakan untuk perhitungan kekeringan yang

butuh data hidrologi menerus (berkesinambung, continued).

Seberapa kuatnya kekeringan yang terkandung secara historis dalam data,

mempengaruhi dimensi bangunan air. Misalnya, panjang data debit 20 tahun,

mengandung tingkat keparahan kekeringan periode ulang 50 tahun akan

menghasilkan kapasitas waduk yang besar. Sebaliknya, dengan panjang data yang

sama, 20 tahun, dengan tingkat keparahan periode ulang 10 tahun misalnya, akan

menghasilkan kapasitas waduk yang kecil. Oleh karena itu, peranan indeks

kekeringan dengan tingkat keparahan tertentu sangat memegang peranan penting.

Surplus tidak dapat mencerminkan kondisi banjir yang sebenarnya dibandingkan

dengan defisit yang lebih mampu menggambarkan kondisi kekeringan.

2.2 Teori Run

Dari hasil penerapan teori run, diperoleh dua parameter baru, yaitu panjang

defisit (Ln) dan jumlah defisit (Dn). Disamping kedua parameter

tersebut,dikembangkan pula parameter intensitas kekeringan yang pada dasarnya

sama dengan jumlah (Dn) dibagi durasi (Ln). Sebenarnya, dalam pengertian

intensitas ada dua pendekatan, yang pertama apabila dihitung berdasarkan

intensitas maksimum tanpa memperhatikan durasi. Yang kedua, bilamana

7

Page 8: Analisis kekeringan

intensitas yang diperhitungkan adalah pada waktu kritis saja dimana durasi yang

melatarbelakanginya maksimum.

Parameter tersebut diperoleh dengan tahapan sebagai berikut :

1. Dari data curah hujan yang telah disaring ,Xt, dihitung nilai rata-ratanya pada

masing- masing bulan selama T tahun.

2. Defisit perbulan dihitung dengan mengurangkan nilai Xt dengan rata-rata

bulan yang bersangkutan. Dimana bila hasil pengurangannya itu bernilai

negatif, maka bulan tersebut mengalami defisit (Dn).

3. Jumlah defisit merupakan kumulatif dari defisit perbulan yang terjadi secara

berturut- turut.

4. Setelah bulan-bulan yang mengalami defisit diketahui, maka dapat dilihat

berapa lamanya defisit (durasi) yang terjadi, Ln.

Kemudian dihitung nilai Lnt dan Dnt dengan periode ulang yang telah

ditentukan. Perhitungan periode ulang dari indeks kekeringan durasi, jumlah dan

intensitas dibuat berdasarkan SNI, 2003.

Langkah penghitungan Teori Run:

Langkah pengerjaan dilakukan sebagai berikut.

a) Kumpulkan data hujan bulanan yang menerus tanpa ada data kosong.

Dengan pertimbangan yang cukup matang, data hujan diizinkan untuk tidak

menerus dalam hitungan tahun.

b) Hitung jumlah datanya (N), rata-rata, simpangan baku (standar deviasi),

koefisien kepencongan (skewness) dan koefisien keruncingan (kurtosis) untuk

setiap bulannya.

c) Kurangkan data asli tiap-tiap bulan setiap tahunnya dengan rata-rata dari

seluruh data pada bulan tersebut, atau kemungkinan 20 % tidak melampaui

pada setiap bulannya.

d) Lakukan penghitungan durasi kekeringan, menggunakan persamaan (1) dan

(3). Bila penghitungan yang dihasilkan adalah positif, diberi nilai nol (0) dan

negatif akan diberi nilai satu (1). Bila terjadi nilai negatif yang berurutan,

maka jumlahkan nilai satu tersebut sampai dipisahkan kembali oleh nilai nol,

untuk kemudian menghitung dari awal lagi. Langkah ini dilakukan dari data

tahun pertama berurutan terus sampai data tahun terakhir.

e) Hitung durasi kekeringan terpanjang, tuliskan nilai yang maksimum saja.

f) Tentukan nilai maksimum durasi kekeringan selama T tahun. Nilai

maksimum durasi kekeringan selama kurun waktu T (sama dengan 10 8

Page 9: Analisis kekeringan

tahun) tersebut dirata-ratakan sehingga menghasilkan nilai untuk periode

ulang 10 tahunnya. Untuk periode ulang selanjutnya lakukan penghitungan

yang sama.

g) Hitung jumlah defisit. Jika durasi kekeringan berurutan dan lebih dari satu

maka pada bulan selanjutnya merupakan nilai kumulatifnya, demikian pula

halnya dengan jumlah defisit;

h) Buat pada tabel baru penghitungan jumlah kekeringan maksimum (selama T

tahun), tuliskan hanya jumlah kekeringan maksimum saja yang diabsolutkan.

i) Buat tabel baru kembali, tentukan nilai maksimum jumlah kekeringan selama

T tahun. Nilai maksimum selama selang waktu T=10 tahun tersebut dihitung

rata-ratanya dan merupakan nilai periode ulang untuk 10 tahun, dan

seterusnya.

Pedoman perhitungan Theory of Run dapat dilihat pada Lampiran I.

9

Page 10: Analisis kekeringan

3. INDEKS KEKERINGAN UNTUK MONITORING DAN

PERINGATAN DINI

3.1. Uraian Umum

Untuk menangani kekeringan di Indonesia telah dilaksanakan beberapa pertemuan

yang menghasilkan beberapa wacana sebagai berikut :

A. Menurut Balai Penelitian Tanaman Padi, Puslitbang Tanaman Pangan,

Balitbang Pertanian (2002), secara konseptual upaya antisipasi

kekeringan dapat dijabarkan dalam tiga pendekatan yaitu :

1. Pendekatan strategis, yaitu mengidentifikasikan wilayah rawan

kekeringan dan banjir, endemik hama dan penyakit tanaman padi

berdasarkan karakteristik biofisik suatu ekosistim.

2. Pendekatan tastis yaitu mengembangkan teknik prediksi dan prakiraan

cuaca serta iklim untuk menduga kemungkinan terjadinya anomaly

iklim.

3. Pendekatan operasional yaitu upaya untuk menghindari, mengurangi

dan menanggulangi risiko bencana dan dampak anomaly iklim terhadap

produksi padi.

B. Dalam Diskusi Panel La-Nina dan El-Nino (Pawitan et al,1998b) dirumuskan

antara lain :

1. Kekeringan dan kebanjiran dapat terjadi tanpa adanya gejala alam El

Nino dan La-Nina;

2. Masih rendahnya tingkat kepedulian masyarakat terhadap aspek cuaca

dan iklim serta penyimpangannya;

3. Tingkat keandalan prakiraan cuaca dan iklim perlu ditingkatkan sampai

ke tingkat daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;

4. Pentingnya pelayanan informasi cuaca dan iklim untuk masyarakat luas

dan khusus seperti petani dan pelayan;

10

Page 11: Analisis kekeringan

5. Masih lemahnya kemampuan teknologi prakiraan iklim nasional.

C. Tiga program dari pemerintah untuk mengatasi kekeringan meliputi :

1. Pendistribusian air minum ke daerah-daerah yang kekurangan air;

2. Pemberian beras gratis;

3. Padat karya untuk petani yang kehilangan pekerjaan, (Kompas,20/8/03).

Buku Pedoman Antisipasi Kekeringan Jawa Tengah diterbitkan pada bulan

September 2003 oleh Seksi Penanggulangan Banjir dan Kekeringan Sub Dinas

Eksploitasi dan Pemeliharaan, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Propinsi Jawa

Tengah yang berkedudukan di Semarang (Pedoman, 2003). Maksud dan tujuan

pedoman tersebut adalah menyatukan persepsi dan langkah untuk mengantisipasi

danmenanggulangi kekeringan di Jawa Tengah dilakukan oleh Dinas Sumber Daya

Air termasuk Balai Pengelolaan Sumber Daya Air serta jajaran Pengairan yang

lainnya dengan sasaran utama meminimalkan dampak yang timbul pada daerah-

daerah kekeringan.

Dalam pedoman tersebut dibahas mengenai data yang dibutuhkan dan

prakiraan daerah rawan kekeringan. Prakiraan didasarkan pada dua pendekatan

yaitu prakiraan cuaca yang dilakukan oleh BMG dan tingkat ketersediaan air

melalui factor K (perbandingan ketersediaan dan kebutuhan air dalam persen)

serta factor R (selisih ketersediaan air dan kebutuhan terhadap kebutuhan total).

Selanjutnya factor R dikaitkan dengan pola penggiliran antar blok golongan atau

antar blok sekunder atau blok tersier untuk yang terparah.

Pelaksanaan antisipasi kekeringan melalui berbagai jenis tindakan dalam

kerangka kerja jangka panjang dan pendek juga dijabarkan dalam pedoman

tersebut.

Berdasarkan data yang sudah dirinci pada Pedoman, 2003b, dibuat laporan

mengenai kekeringan tahun 2003 (Laporan, 2003). Hanya ada empat jenis tindakan

yang dilakukan untuk menangani kekeringan yaitu pengadaan pompa dan

pembuatan sumur dangkal, pemeliharaan jaringan irigasi, padat karya dan hujan

buatan. Hal ini berkaitan dengan kondisi kekeringan yang kurang parah di wilayah

Jawa Tengah berdasarkan factor K. Kabupaten Blora, Rembang, Grobogan, Sragen,

Wonogiri dan Klaten mempunyai factor K lebih kecil dari 70 selebihnya di atas 70.

Selanjutnya Arifin, 2003, menghimbau pemerintah untuk segera

merealisasikan sekian macam rencana tentang system peringatan dini (early

warning system) dan langkah antisipasi lain yang pernah dicanangkan. Kelalaian

melakukan hal penting itu akan berarti bencana besar bagi para petani dan

11

Page 12: Analisis kekeringan

segenap anggota masyarakat lain, yang juga dapat menjadi ancaman serius bagi

upaya rekonstruksi kebijakan pangan dan pertanian.

Pendekatan butir 1 dan 2 (kelompok A) di atas termasuk dalam tugas dan

kewajiban Monitoring atau Early Warning sedangkan butir 3 termasuk tindakan

mitigasi. Belum ada suatu keterkaitan erat antar butir yang satu dengan yang lain,

pada kondisi strategis perlu ditentukan peranan pendekatan taktis dan operasional

atau sebaliknya, melalui suatu sistim kerja. Dari rumusan kelompok B di atas

tersirat bahwa butir 1 sampai dengan 5 termasuk dalam kegiatan Monitoring dan

Early Warning. Selanjutnya, ulasan dari Arifin, 2003, juga menyiratkan pentingnya

dilakukan monitoring atau peringatan dini. Sedangkan, tindakan pemerintah yang

dilakukan pada waktu bencana sudah terjadi menggambarkan suatu upaya

responsif, yang dilakukan secara spontan tanpa adanya suatu antisipasi apalagi

perencanaan.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan perlunya suatu kegiatan

Monitoring untuk mengantisipasi upaya mitigasi. Tugas utama dari monitoring

adalah mengidentifikasi besaran dan waktu kekeringan dalam bentuk indeks

kekeringan yang siap pakai dijadikan dasar pemilihan jenis tindakan mitigasi dalam

satu tatanan Perencanaan Kekeringan.

Perencanaan Kekeringan didefinisikan sebagai tindakan yang diambil

masyarakat, pemerintah dan lain-lain sebelum kekeringan terjadi dengan tujuan

meringankan (mitigasi) beberapa dampak dan konflik yang berhubungan dengan

kejadian tersebut, (Wilhite, 1993). Salah satu komponen perencanaan kekeringan

adalah prediksi dan peringatan dini yang dilaksanakan oleh organisasi Monitoring.

Monitoring adalah organisasi yang mempunyai tugas memantau, menganalisa dan

menyebarluaskan data iklim dan suplai air (sungai, waduk, danau, air tanah dan

kelengasan tanah) dan mengidentifikasikan besar dan waktu (awal, akhir dan

durasi) kekeringan melalui indeks kekeringan, NDMC(2003b).

3.1 Metodologi

3.2.1 Standardized Precipitation Index (SPI)

Salah satu metode perhitungan indeks kekeringan yang sering digunakan

adalah SPI (Standardized Precipitation Index). SPI didesain untuk mengetahui

secara kuantitatif defisit hujan dengan berbagai skala waktu. Mc. Kee et al. (1993),

mendefinisikan intensitas kekeringan dari SPI secara kualitatif sebagai berikut : SPI

antara 0 sampai dengan -0,99 sebagai ringan, SPI antara -1,00 sampai dengan -

12

Page 13: Analisis kekeringan

1,49 sebagai sedang, SPI antara -1,50 sampai dengan -1,99 sebagai parah serta

lebih kecil dari -2,00 sebagai ekstrim. SPI tersebut dihitung berdasarkan berbagai

skala waktu seperti 3 atau 6 atau 9 atau 12 atau 24 atau 48 bulan.

Dari penelitian terdahulu, dapat disimpulkan bahwa SPI-6 dapat dijadikan

patokan dalam memonitor kekeringan, sehingga dalam kajian ini digunakan SPI

skala waktu 6 bulan. SPI dihitung berdasarkan selisih antara hujan yang

sebenarnya terjadi dengan hujan rata-rata menggunakan skala waktu tertentu,

dibagi dengan simpangan bakunya. Untuk menghilangkan faktor musim pada deret

data hujan bulanan disamping membentuk satu deret data dengan distribusi

probabilitas yang sama, dilakukan transformasi data. Pertama kali dengan merubah

data menjadi bentuk peluang kumulatif (cdf atau cumulative distribution function)

dengan jenis distribusi Gamma.

Selanjutnya dirubah menjadi bentuk distribusi Normal Baku (standard), dan

nilai yang dihasilkan merupakan indeks kekeringan SPI. Proses perhitungan SPI

sebenarnya merupakan upaya untuk menjadikan seri data asli menjadi seragam

sehingga regionalisasi dapat dilakukan.

Bila seri data periodik berupa hujan bulanan disebut X, dimana

menunjukkan tahun dan adalah bulan (dari Januari sampai dengan Desember),

maka persamaan distribusi probabilitas cdf Gamma seperti terlihat pada

persamaan 1 sampai dengan 3.

G(x) (Xk,i; i; i) = 1/{ii (i} Xk,i (

i-1) e –( X

k,i/

i) (1)

Di mana

i = i2 / i

2 (2)

i = i2 / Xi (3)

i = rata-rata Xk,i pada bulan ke i

i = simpangan baku pada bulan ke i

Seri probabilitas diubah menjadi nilai Z yang mempunyai cdf (cumulative

distribution function) dari Distribusi Normal Standard seperti terlihat pada

persamaan 4.

Fx(X) = Pr(X,x) = Pr(Z( X, - )/) = Pr(Zz)

(4)

Z tersebut di atas disebut Standardized Precipitation Index atau disingkat SPI.

Permasalahan timbul pada waktu curah hujan nol, karena persamaan cdf

Gamma, persamaan (1), tidak terdefinisi. Untuk menghindari kesulitan tersebut

persamaan cdf Gamma dirubah menjadi persamaan (5).

13

Page 14: Analisis kekeringan

(5)

Di mana q adalah probabilitas terjadinya hujan nol di bulan bersangkutan.

Probabilitas kumulatif H(x) ditransformasikan menjadi variabel acak normal baku,

Z, dengan rata-rata nol dan varians nya satu. Z merupakan nilai SPI, dihitung

secara empiris oleh persamaan di bawah.

(6)

(7)

Di mana :

(8)

(9)

c0= 2.515517 d1= 1.432788

c1= 0.802853 d2= 0.189269

c2= 0.010328 d3= 0.001308

Kejadian kekeringan didefinisikan sebagai waktu di mana SPI bertanda

negatif terus menerus sampai nilai positif terjadi lagi, tenggang waktu tersebut

dikatakan Durasi Kekeringan. Jika nilai SPI dijumlahkan selama tenggang waktu

durasi tersebut akan menggambarkan jumlah kekeringan, selanjut intensitas

kekeringan dihitung berdasarkan jumlah dibagi durasi kekeringan (Hayes,1999;

Edward,1997; McKee,1993).

Jadi, seri data hujan bulanan melalui SPI dapat menghasilkan seri data SPI

baru. Jika durasi kekeringan sudah dihitung maka intensitas kekeringan SPI dapat

ditentukan pula. Selanjutnya, hujan bulanan dapat dialihkan menjadi hujan 6-

bulanan, sehingga dihasilkan SPI 6-bulanan.

Deret SPI, akhirnya merupakan deret waktu dengan distribusi frekuensi

mendekati Normal , melalui proses transformasi (Gammanisasi) dan standarnisasi

menjadi Normal, lihat contoh pada Gambar 3.1.

14