analisis kar mutu pang

Upload: yessi-karlina

Post on 20-Jul-2015

106 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Analisis Karakteristik Mutu Pangan dan Keterterimaan ProdukPengampu/Penulis: Ir. H. Armein Syukri Arbi, M.Si 1. Pendahuluan Bagaimana meningkatkan mutu produk pangan merupakan masalah krusial agar bagi masarakat industri pangan Indonesia,melihat bahwa era saat ini semakin berada di tengah-tengah era perdagangan bebas dan globalisasi. Produk pangan yang kita konsumsi sehari-hari dewasa ini semakin didominasi oleh produk-produk asing maupun produk dalam negeri yang berbahan baku impor. Hal ini berimplikasi bahwa ketahanan pangan betumpu ke pada sumber daya asing, bukan sumber daya dalam begeri. Sebenarnya hal ini adalah masalah yang ironis, melihat bahwa di dunia ini bangsa Indonesia merupakan pewaris sumber daya alami yang besar, terutama dari sumber hayatinya. Akan tetapi, rakyat Indonesia belum mampu memanfaatkan dan mengolahnya secara mandiri, agar menjadi produk-produk andalan yang bermutu dan mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri, yaitu produk dalam negeri sendiri dan juga di luar negeri. Anda yang sedang belajar Ilmu Teknologi Pangan dan mendalami Mata Kuliah Pngendalian Mutu Produk Pada Industri Pangan ini sangat diharapkan akan terpanggil untuk menjawab permasalahan peningkatan mutu produk pangan Indonesia yang masih rendah ini.

FAKULTAS:

MATEMATIK DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Program Studi:S1 TEKNOLOGI PANGAN Mata Kuliah: Pengendalian Mutu Pada Industri Pangan (PANG4412)

Menu Awal Materi 1Analisis Karakteristik Mutu Pangan: 1. Pendahuluan 2. Mutu Pangan dan Karakter Sensori 3. Kegunaan Analisis Mutu Sensori 4. Bagaimana Menentukan Masalah Mutu Sensori Pada Suatu Produk

Materi 2: bangsa Indonesia mampu memenuhi permintaan pasar dan mampu bersaing di Analisis Keterterimaan Produk1. 2. Macam Panelis Macam Metoda Uji Sensori Konsumen 3. Konsep Preferensi Produk 4. Konsep Keterpilihan Produk

Menu

1

2. Mutu dan Karakter Sensori Pangan Definisi Mutu Pangan Dalam definisi mutu pangan berkembang dua pendekatan yang saling berkaitan, yaitu pendekatan karakter pangan dan kepuasan konsumen. 1. Menurut pendekatan karakter pangan Mutu Pangan adalah nilai pangan yang makanan, makanan dan minuman. Dari pendekatan ini mutu dapat dikategorikan atas dua hal: a. Mutu eksternal. Adalah kriteria mutu pangan yang dapat dilihat dan diraba tanpa harus dicicip konsumen b. Mutu internal. Adalah kriteria mutu pangan yang dapat dideteksi dengan pencicipan atau pengukuran atau analisis terhadap produk pangan tersebut, rasa, kandungan, protein, kadar air dan sebagainya. 2. Menurut penerimaan pasar (kepuasan konsumen) Mutu pangan adalah hal-hal tertentu yang membedakan antara produk yang satu dengan yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan daya terima dan kepuasan konsumen. Perusahan yang mengembangkan mutu produk dengan berorientasi daya terima dan kepuasan konsumen adalah perusahan yang telah berwawasan strategi pemasaran bagi produk yang diproduksinya. Dalm hal ini, Penelitian dan pengembangan produk berfokus pada penemuan yang keistimewaan produk (product feature) serta pemrosesan produk bebas dari defisiensi (freedom from deficiency) ditentukan atas dasar aspek keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan

2

3. Karakteristik Mutu Sensori Pangan Dari bahasan sebelumnya dapat tersimpulkan bahwa mutu sensori pangan terkait pada setiap definisi mutu pangan. Persepsi dari karakter mutu (baik internal maupun eksternal) menentukan keputusan konsumen untuk membeli dan membeli ulang produk. Sebelum mutu sensori dapat dievaluasi, terlebih dahulu harus didefinisikan. Menurut Resurreccion (1998) definisi dari mutu sensori pangan atau produk pangan adalah :Keterterimaan (acceptance) atas karakteristik produk oleh konsumen yang secara reguler menggunakan jenis produk tersebut, atau oleh orang-orang yang terdiri dari target market dari produk ( Resurreccion, 1998).

Makanan dikonsumsi karena memiliki karakter yang menimbulkan rangsangan untuk mengkonsumsinya oleh organ pencitarasa dan perasa (organoleptik) manusia. Organ ini berfungsi sebagai sensor untuk merasakan (menentukan) parameter-parameter karakteristik bagaimana yang disukai dan yang tidak. Menurut Ahza (1996) manusia menerima makanan atau bahan pangan atas dasar karakteristik tertentu yang dilukiskan berdasarkan rasa, perasaan (sense) dan persepsi yang dihasilkannya. Persepsi yang dimaksud adalah pernyataan yang berasal dari faktor-faktor penampakan fisik seperti warna, ukuran, bentuk dan kerusakan fisik; faktor-faktor kinestiteka seperti tekstur, viskositas, konsistensi, perasaan dengan mulut ( mouthfeel), dan perasaan jari (finger feel); faktor-faktor flavor (kenikmatan) atau sensasi, yaitu kombinasi bau (odor) dan rasa (taste).

3

5. Bagaimana Mengidentifikasi Masalah Mutu Sensori Produk Lea, Naes dan Rodbotten (1998) menggolongkan Uji sensori atas metoda analisis (objektif) dan metoda afektif (subjektif). Metoda analisis terdiri atas uji pembedaan dan uji deskriptif. Uji pembedaan (difference test) digunakan bila kita ingin menguji apakah terdapat beda antara dua contoh atau lebih. Apabila analisis yang lebih rinci diperlukan, maka dilakukan uji profile atau uji deskriptif. Uji deskriptif berguna agar dapat mendeteksi atribut sensori yang menyebabkan adanya beda antar sampel, dan mengukur intensitas dari atribut yang menimbulkan beda tersebut. Bagaimana menentukan metoda sensori yang sesuai dengan problem sensori pada produk, dapat berpedoman

kepada Lea, Naes dan Rodbotten (1998), yang berhasil menggambarkan skema lingkup dari analisis sensori sebagai Gambar 1 berikut.

4

Affective Analytical methods methodsIs the difference of importance to the consumer?

sensory problem:

What is the difference, and how big? Preference test - Profile test test

-Consumer test -Acceptance test

-

Can the products be Quality control for intensity of? Is there a difference between products? -Ranking test Paired comparison Triangular test Duo-trio test Two-out-of-five test

ranked -

Gambar 1. Macam Tipe analisis sensori. (Lea, Naes dan Rodbotten 1998).

Uji deskriptif pelaksanaannya lebih time consuming dan rumit karena panelis harus dilatih atau sudah terlatih dan uji statistiknya lebih rumit. Sedangkan untuk uji pembedaan dapat menggunakan baik panelis terlatih maupun panelis tidak terlatih ( Schutz, 1994).

5

Materi 2

Analisis Uji sensori Konsumen1. Batasan dan Tujuan

Cakupan Materi Analisis Uji Sensori Konsumen:1. 2. 3. 4. Batasan dan Tujuan Tipe Metoda Uji Sensori Konsumen Konsep Preferensi Produk Konsep Keterpilihan Produk

Sebagaimana telah dibahas pada Materi 1 bahwa uji sensori konsumen merupakan kawasan uji afektif yang terdiri dari uji preferensi (preference test), uji keterterimaan (acceptance test) dan uji konsumen. Uji afektif (perilaku) adalah satu dari kegiatan yang terpenting dalam pengembangan produk. Menurut Resurreccion, (1998) Tujuan utama dari uji sensori

Menu

konsumen ini adalah untuk: (1). Menilai respons personal dari pelanggan aktual maupun pelanggan potensial atas produk, (2). Menemukan gagasan produk (product ideas), dan (3). Menemukan karakteristik produk yang spesifik. Penelitian konsumen berfokus pada pengujian produk dengan

menggunakan panelis tak terlatih yang terdiri dari pengguna akhir atau yang akan menjadi pengguna akhir dari produk. Terdapat perbedaan besar antara Uji sensori konsumen dengan Uji pasar. Uji sensori konsumen umumnya dilaksanakan dengan produk tidak dilabeli merek, hanya diberi kode. Uji sensori bertujuan untuk menilai

keterterimaan produk tanpa kemasan, label, harga dan atribut sejenisnya. Sedangkan uji pasar terutama ditujukan atas merek produk (van Trijp dan Schifferson, 1995 dalam Resurreccion, 1998). 6

2. Konsep Metoda Uji Sensori Konsumen dan Kegunaannya Menurut Resurreccion (1998) ada dua pendekatan dalam mengukur uji sensori konsumen, yaitu pengukuran preference dan pengukuran acceptance. a. Consumer Acceptance dapat didefinisikan sebagai (a).Suatu

pengalaman atau feature dari pengalaman yang dicirikan oleh adanya sikap positif terhadap suatu pangan, dan/ atau (b) Penggunaan aktual (dengan membeli atau mengkonsumsi) suatu pangan oleh konsumen. Acceptance dapat diukur dengan preferensi atau kesukaan atas suatu item pangan yang spesifik. Uji acceptance konsumen mengukur acceptabilitas atau kesukaan atas suatu produk berdasarkan scale ratings. Pengukuran acceptance dapat dilakukan atas produk tunggal dan tidak membutuhkan pembanding dengan produk lainnya. Untuk uji acceptance, inti pertanyaan ke pada konsumen adalah: "Seberapa suka anda terhadap produk ini?" b. Uji preferensi konsumen mengacu pada uji afektif yang berdasarkan pengukuran preferensi. Preferensi didefinisikan sebagai (a). Suatu ekspresi tentang derajat kesukaan yang lebih tinggi antara satu objek dengan objek yang lainnya; (b). Terpilihnya suatu objek ketimbang objek lainnya; (c). Psikologikal kontinum dari afektifitas (suka/tidak

7

suka) yang mendasari suatu keterpilihan. Untuk uji preferensi ini pertanyaan yang diajukan adalah Sampel yang mana yang lebih anda sukai? Uji sensory acceptance dilakukan agar berguna sebagai pedoman pengembangan produk yang terdiri dari : screening product,

pengidentifikasian produk- produk mana yang significant dislike dan mana yang sesuai (match) atau mana yang telah melampaui target dari yang dispesifikasikan. Resurreccion (1998) mengungkapkan bahwa terkandung tujuan yang implisit dalam setiap evaluasi sensori, yaitu usaha dari pihak industri pangan untuk meningkatkan mutu, penampilan, flavor, dan tekstur produk melalui justifikasi konsumen sehingga berpengaruh menjadi produk pilihan (food choice). Hal ini akhirnya menjadi alasan keputusan konsumen untuk membeli produk tersebut. Penelitian sensori pada konsumen dapat digolongkan ke dalam dua kategori: kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kuantitatif mencakup pengukuran (measurement), sedangkan penelitian kualitatif bersifat

deskriptif dan tidak melibatkan pengukuran. Penelitian kualitatif berguna dalam pendefinisian atribut kritis produk. Metoda yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup focus group, group interviews, in depth interviews, dan one in one ( Resurreccion, 1998). 8

Kuantifikasi atau pengukuran karakteristik mutu pangan sangat penting dalam industri pangan sebagai landasan program pengendalian mutu. Kuantifikasi terjadi setelah atribut kritis mutu dapat diidentifikasi. Uji konsumen berguna untuk membantu mendapatkan potensi perfomance dan untuk menyediakan pedoman untuk pengembangan produk lebih lanjut ( Resurreccion, 1998). Hasil dari tes afektif dapat menghasilkan modifikasi dari prototipe. Uji afektif konsumen dilakukan untuk mengkuantifikasi overall

acceptance dan respons konsumen atas atribut kritis yang menentukan daya terima produk. Diperolehnya respons positif yang signifikan dapat mengarahkan ke pada pengembangan produk tahap akhir. Schutz (1994) membedakan antara uji afektif hedonik dengan afektif kognitif. Ia menyatakan bahwa uji afektif kognitif

membutuhkan jumlah responden lebih sedikit dibandingkan dengan uji hedonik. Schutz beralasan bahwa ada dasar perbedaan antara judgment afektif dengan kognitif. Pada saat melakukan judgment

hedonik semua ragam faktor menyumbangkan pengaruhnya; seperti faktor apa yang dikonsumsi sebelumnya, faktor penyiapan tes, dan seluruh unsur kontekstual sehingga berpeluang menciptakan tingkat heterogenitas yang tinggi antar responden. Sedangkan pada sisi tes 9

afektif cognitif, tipe judgment yang diberikan panelis lebih berlandaskan budaya; Oleh karena itu responden melakukan judgment-nya dengan cara yang lebih konsisten, yaitu berdasarkan apa yang lebih tipikal dan diterima oleh tradisi. Schutz

menyatakan bahwa tes afektif cognitif dengan 25 responden telah menghasilkan reliable means untuk satu item dengan menggunakan struktur kognitif yang konsisten. Uji afektif kognitif juga tipikal dilakukan dengan jumlah responden sebanyak 50 orang. Dalam mengukur daya terima produk dari aspek cognitive-contextual, Schutz (1994) mengaplikasikan teknik aproppriateness item by use. Dalam tehnik ini responden diminta menentukan rating berdasarkan atas kecocokan (appropriate) atas atribut pangan. Rating ini dengan 7 skala. Skala ini mulai dari satu ( tak pernah cocok /never

appropriate) sampai dengan 7 (selalu cocok / always appropriate).

3. Pendekatan pengukuran food choice Pengukuran preferensi konsumen dimaksudkan untuk dapat

menjelaskan penerimaan atau keterterimaan (acceptance) suatu produk

10

pangan. Menurut Schutz (1994) judgment dengan penggunaan preferensi semata sebagai variable pengukur yang berpengaruh, tidaklah cukup dalam menjelaskan keterpilihan produk oleh konsumen ( food choice ). Dalam hal ini Schutz memaparkan bahwa penelitian preferensi dari beberapa peneliti mengungkapkan bahwa hasil prediksi yang terbaik terhadap perilaku konsumsi melalui judgment preferensi hanya sekitar 50% dari ragam konsumsi. Untuk memperbaiki hasil prediksi itu, komunitas periset pasar dan periset komsumen memandang penting untuk memahami perilaku konsumen. Menurut Gains (1994) food choice adalah fenomena psikologis yang manifestasinya bersifat fisik dan mesti diinterpretasikan dalam kerangka teori perilaku seperti Personal Construct Theory. Umumnya segala bentuk dari perilaku foodchoice adalah hasil dari interaksi tiga faktor : pangan, konsumen, dan konteks (situasi yang mempengaruhi di mana interaksi terjadi).Hal ini digambarkan oleh Gains seperti pada Gambar 2.

11

CONSUMER

FOOD

CONTEXT

Gambar 2. Skema representasi dari faktor-faktor yang mempengaruhi food choice. (Gains, 1994)

D. Identifikasi Food choice1. Kegunaan Food choice adalah fokus utama bagi mereka yang terlibat dalam produksi dan industri pangan karena identik dengan penjualan produk. Tapi perhatian terus meningkat pada

pertanyaan penting tentang problema nutrisi yang terkait dengan food choice. Food choice menentukan status nutrisi. Status nutrisi saat ini banyak dipermasalahkan, sejalan dengan pengaruh-

12

pengaruh

diet atas kesehatan dan penyakit. (WHO, 1991). bagaimana

Karena itu adalah vital dan penting untuk dipelajari proses

terjadinya food choice. Khususnya, hanya dengan pemahaman yang cukup atas alasan-alasan terpilihnya panganlah, maka kita dapat berusaha mengubah pilihan-pilihan dan kemudian berusaha mengubah pola nutrisi yang sesuai dengan rekomendasi

kesehatan. Pertanyaan nutrisi ini adalah potensial dan lebih kompleks dibandingkan, sebagai contoh, dengan mereka yang terlibat atas pilihan merek-merek dari jenis-jenis pangan yang dipandang sebagai

sama. ( yang oleh konsumen nampaknya

alternatif, padahal tingkat kesamaannya tinggi). Dalam hal ini alternatif berkisar antara masalah kandungan perbedaan lemak yang tinggi atau rendah, atau diet kandungan garam tinggi atau rendah. Namun dengan banyak meningkatnya ragam suplay produk pangan maka issue yang melandasi food choice sangatlah penting dari aspek nutrisi.

13

2. Model food choice Sebagaimana setiap perilaku manusia yang kompleks, demikian juga food choice dipengaruhi oleh faktor yang saling berketerkaitan. Sudah sangat banyak model-model yang diajukan, tapi semua hanya menyajikan deskripsi dari efek-efek yang mempengaruhi (Yudkin, 1956; Pilgrim, 1957; Khan, 1981; dan Shepherd, 1985). Hal ini ditegasi oleh Shepherd dan Sparks (1994), bahwa model-model tersebut secara garis besarnya adalah sama, walau ada perbedaan dalam penekanan. Umumnya, modelmodel tersebut tidaklah kuantitatif. Model terebut tidak mencoba

menjelaskan bagaimana gambaran mekanisme aksi dari faktor-faktor yang berbeda, dan tidak pula mengkuantifikasi secara relatif seberapa penting faktor tersebut, atau bagaimana mekanisme interaksinya. Model-model tersebut kenyataannya hanya mengkatalogkan gambaran pengaruh. pengaruh

Karena itu, model yang demikian hanya berguna sebagai

penunjuk peubah-peubah pengukur dalam penelitian dalam lingkup food choice. Model tersebut tidak memberikan framework yang dengannya

terancang suatu penelitian atau suatu basis yang di atasnya dapat dibangun teori dari human choice. Model-model tersebut ditinjau ulang oleh Shepherd (1994) sebagai berikut.

14

4.

Metoda Pengujian Sebagaimana telah di bahas di atas bahwa untuk uji sensori konsumen hanya menggunakan panelis tak ter latihMeiselman (1994) mengkategorikan panelis terlatih sebagai berikut, (1). Trained panelist with a uniform and directed program of training; (2). Expert sensory evaluators based on long-standing experience with product, and (3). Product developers. Metoda-metoda uji Sensori konsumen dan ukuran panelis untuk uji ini adalah sebagai berikut

a. Focus Groups. Focus group adalah suatu metode penelitian kualitatif yangpaling banyak digunakan. Penggunaan metoda ini ditujukan untuk optimisasi daya terima produk. Penilaian awal dari suatu konsep atau prototype dan untuk memfasilitasi penelitian kuantitatif (Resurreccion, 1998). Focus group adalah dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil dari konsumen agar didapatkannya informasi berdasarkan reaksi dalam group untuk menginvestigasi beragam aspek dari persepsi dan reaksi responden. Metoda ini untuk menentukan atribut-atribut produk mana

yang konsumen pandang adalah penting sehingga harus dimaksimalkan pada produk. Juga karakteristik yang tidak disukai konsumen sehingga harus diminimalkan dan dihilangkan .

15

Idealnya ukuran satu focus group adalah 8 12 peserta yang representatif bagi pasar target (ASTM, 1979; Sokolof, 1988 dalam Resurreccion, 1998). Peserta dalam focus group tidak memerlukan pelatihan.

b. Laboratory test. Panelis terdiri dari konsumen dengan proses recruitmentdan screening dalam hal kemampuan berpartisipasi sebagai panelis. Jumlah reponden yang digunakan biasanya 25 50 orang perproduk

(Resurreccion, 1998). Tapi jumlah responden 50 100 orang dipandang lebih baik (IFT/SED, 1993 dalam Resurreccion, 1998).

c. Central location test (CLT). CLT adalah Uji konsumen yang paling seringdigunakan terutama bagi para periset pasar. Uji ini dilaksanakan pada satu atau beberapa lokasi di luar lab sensori, yang dekat dengan publik seperti shopping mall, grocery store dan sekolah. Keuntungan yang diperoleh dari metoda CLT adalah kemampuan dalam merekrut jumlah panelis yang besar. Menurut Stone dan Sidel dalam Resurreccion ( 1998) jumlah

panelis adalah 100 atau lebih (responden per produk). Tapi jumlah panelis boleh berkisar dari 50 sampai 300 (Meilgard, et al, 1998).

d. Home-use Test. (HUT). Uji yang menggunakan rumah tempat tinggalpanelis ini dimaksudkan agar dapat menilai atribut produk, acceptance/ preferensi, sesuai dengan kondisi aktual pemakaian. Menurut

Resurreccion (1998) jumlah minimum panelis berkisar 5 100 orang per

16

produk. Jumlah panelis ini tergantung pada tipe produk yang diuji dan pengalaman responden sebagai peserta home used test.

17