analisis jaringan pelaku destructive fishing di...

79
ANALISIS JARINGAN PELAKU DESTRUCTIVE FISHING DI KAWASAN PULAU-PULAU KECIL (STUDI KASUS PULAU KAMBUNO, KECAMATAN PULAU SEMBILAN, KABUPATEN SINJAI) SKRIPSI Oleh ABD.WAHAB L24112902 PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Upload: tranngoc

Post on 02-Mar-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS JARINGAN PELAKU DESTRUCTIVE FISHING DI KAWASAN PULAU-PULAU KECIL

(STUDI KASUS PULAU KAMBUNO, KECAMATAN PULAU SEMBILAN, KABUPATEN SINJAI)

SKRIPSI

Oleh

ABD.WAHAB

L24112902

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

ANALISIS JARINGAN PELAKU DESRTUCTIVE FISHING DI KAWASAN PULAU-PULAU KECIL

(STUDI KASUS PULAU KAMBUNO, KECAMATAN PULAU SEMBILAN, KABUPATEN SINJAI)

SKRIPSI

Oleh

ABD.WAHAB L241 12 902

PROGRAM STUDI SOSIAL EKONOMI PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

ABSTRAK

Abd.Wahab (L24112902). Analisis Jaringan Pelaku Destructive Fishing di

Kawasan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus Pulau Kambuno, Kecamatan Pulau

Sembilan, Kabupaten Sinjai). Dibimbing oleh Sitti Fakhriyyah dan Andi Adri Arief.

Destructive fishing adalah aktivitas penangkapan dengan cara merusak

sumberdaya ikan dan ekosistemnya sehingga dapat merugikan atau

membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui (1) Bentuk-bentuk kegiatan destructive fishing yang

terjadi Pulau Kambuno (2) persepsi masyarakat terhadap perilaku destructive

fishing (3) jaringan-jaringan pelaku destructive fishing. Penelitian dilaksanakan

pada Desember 2016-Januari 2017 di Pulau Kambuno, Kecamatan Pulau

Sembilan, Kabupaten Sinjai. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara

sengaja (purposive) berdasarkan bahwa Pulau Kambuno merupakan wilayah

yang masih marak terjadinya kegiatan destructive fishing. Dari hasil penelitian

diketahui bahwa, (1) bentuk kegiatan destructive fishing yang terjadi di Pulau

Kambuno berupa penangkapan ikan menggunakan bom dan bius, (2) persepsi

masyarakat menyatakan bahwa yang mempengaruhi nelayan melakukan

destructive fishing adalah kurang efektifnya aturan, efisiensi waktu penangkapan

untuk mendapatkan hasil yang banyak dan juga adanya pasar yang jelas, serta

(3) adanya jaringan yang menyebabkan jenis kejahatan perikanan ini terus

berulang-ulang, seperti jaringan suplai bahan baku pembuatan bom dan bius

hingga pada jaringan pemasaran hasil tangkapan.

Kata kunci; destructive fishing, jaringan, pulau-pulau kecil, bom, bius

ABSTRACT

Abd.Wahab (L24112902). Network Analysis of Destructive Fishing Performers in

Small Islands Area (Case Study of Kambuno Island, Sembilan Island Sub-district,

Sinjai District). Guided by Sitti Fakhriyyah and Andi Adri Arief.

Destructive fishing is a fishing activity by destroying the fish resources and its

ecosystem so that it can harm or endanger the sustainability of fish resources

and the environment. This study aims to determine (1) the forms of destructive

fishing activities that occur Kambuno Island (2) community perception of

destructive fishing behavior (3) destructive fishing network actors. The research

was conducted in December 2016-January 2017 on Kambuno Island, Sembilan

Island Sub-district, Sinjai District. Determining the location of the study was done

purposively based on that Kambuno Island is an area that still rampant

destructive fishing activities. From the result of research, it is known that (1)

destructive fishing activity happened in Kambuno Island in the form of fishing with

bomb and anesthesia, (2) perception of society that influence fisherman doing

destructive fishing is less effective of rule, time efficiency of catching to get result

and (3) the existence of networks that cause these types of fishery crimes to

continue over and over again, such as the supply network of raw materials

making bombs and anesthesia to the marketing network of the catch.

keyword; destructive fishing, network, small islands, bomb, anesthesia

RIWAYAT HIDUP

ABD.WAHAB dilahirkan pada 17 Oktober 1994 di

Pinrang, Sulawesi Selatan. Memulai pendidikan

formal dari Taman Kanak-Kanak (2000-2001),

Sekolah Dasar Negeri 135 Duampanua, Pinrang

(2001-2006), Sekolah Menengah Pertama Pondok

Pesantren Manahilil Ulum DDI Kaballangang,

Duampanua, Pinrang (2006-2009), Sekolah

Menengah Atas 1 Duampanua, Pinrang (2009-2012), dan kemudian melanjutkan

pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Program Studi Sosial Ekonomi

Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin

melalui jalur POSK (2012-2018).

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif di beberapa organisasi

intra maupun ekstra kampus. Penulis merupakan Proklamator pembentukan

Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Perikanan Indonesia (HIMASEPINDO),

selanjutnya menjabat sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Harian Keluarga

Mahasiswa Profesi Sosial Ekonomi Perikanan Universitas Hasanuddin (BPH

KMP-SEP UH) periode 2014-2015, Ketua Majelis Pertimbangan Himpunan

Keluarga Mahasiswa Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

Universitas Hasanuddin (MPH KEMAPI FIKP UNHAS) periode 2015-2016, dan

sebagai Direktur di Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa

Islam Cabang Makassar Timur (LPMI HMI MakTim) periode 2017-2018.

i

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatuhi Wabarakatuhu

Puji syukur, marilah kita panjatkan kehadirat Allah S.W.T, Tuhan

Pencinta, Pemilik segala cinta, yang senantiasa memberikan cinta-Nya kepada

kita semua makhluk ciptaan-Nya. Berkat segala cinta-Nya, sehingga penyusunan

skripsi ini dapat diselesaikan.

Sholawat serta salam, marilah kita haturkan kepada junjungan kita,

seorang manusia paripurna Muhammad S.A.W yang telah menuntun kita dalam

dari asal hingga muasal cinta-Nya.

Melalui skripsi ini, penulis akan menyampaikan hasil dari penelitian yang

telah dilakukan di lapangan dengan judul Analisis Jaringan Pelaku Destructive

Fishing di Kawasan Pulau-Pulau Kecil. Ada banyak pihak yang berperan

dalam tahap perencanaan hingga penyusunan skripsi ini. Penulis ingin

mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada hal-hal yang tidak

berkenan di hati.

Begitu pula, dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari sangat

banyak bantuan, bimbingan, dan dukungan yang sangat berharga telah diberikan

kepada penulis. Oleh karena itu melalui skripsi ini penulis menghaturkan

penghormatan yang setinggi-tingginya dan terima kasih sebesar-sebesarnya

kepada :

1. Ibu saya DINAR dan ayah saya BAHAR serta seluruh keluarga kecil saya,

yang semoga senantiasa dirahmati Allah S.W.T.

2. Dr. Sitti Fakhriyyah, S.Pi, M.Si dan Dr. Andi Adri Arief, S.Pi, M.Si selaku

Pembimbing Skripsi yang dengan ikhlas menjalankan tugas mulia sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan sebaik-baiknya

3. Para pegawai dan seluruh staf di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

4. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A selaku Rektor Universitas

Hasanuddin beserta seluruh jajaran

5. Dr. Ir. St. Aisjah Fahrum, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanaan, Universitas Hasanuddin. Beserta jajaran

6. Dr. Ir. Gunarto Latama, M.Sc selaku Ketua Depertemen Perikanan Fakultas

Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin beserta jajaran

ii

iii

DAFTAR ISI

Nomor Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................. i

DAFTAR ISI…………………………………………………………. iii

DAFTAR TABEL…………………………………………………… v

DAFTAR GAMBAR….. ............................................................. vi

DAFTAR LAMPIRAN… ............................................................ vii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................... 6

C. Tujuan Penelitian........................................................ 6

D. Kegunaan Penelitian .................................................. 6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pulau-Pulau Kecil ....................................................... 7

B. Masyarakat Nelayan ................................................... 8

C. Konsep Persepsi ........................................................ 10

D. Konsep Perilaku ......................................................... 12

E. Jaringan Sosial. .......................................................... 14

F. Destructive Fishing.. ................................................... 18

G. Kerangka Pikir Penelitian…. ...................................... 22

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................... 25

B. Pengelolaan Peran Sebagai peneliti .......................... 25

C. Lokasi Penelitian ........................................................ 26

D. Sumber Data .............................................................. 26

E. Prosedur Pengambilan Data ...................................... 27

F. Teknik Analisis Data ................................................... 28

G. Konsep Operasional…… ........................................... 30

BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI

A. Keadaan Umum Pulau Kambuno Kabupaten Sinjai... 31

1. Letak Geografis Desa Pulau Harapan……………… 31

iv

2. Topografi………………………………………………. 32

3. Keadaan Iklim…………………………………………. 32

4. Keadaan Sosial Ekonomi…………………................ 32

a. Demografi ........................................................... 32

b. Sarana dan Prasara ............................................ 34

c. Kondisi Ekonomi ................................................. 35

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk-Bentuk Kegiatan Destructive Fishing di Pulau Kambuno……………………………………………......... 36

1. Penggunaan Bom Ikan ........................................... 36

2. Penggunaan Bius.................................................... 40

B. Persepsi Masyarakat Terhadap Perilaku Kejahatan Destructive Fishing Di Pulau Kambuno…………… ..... 43

C. Jaringan-Jaringan Pelaku Destructive Fishing di Pulau Kambuno…………………………………… ....... 51

1. Jaringan Suplai Bahan Baku……......... ................... 52

2. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Destructive

Fishing……………………… .................................... 54

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................. 58

B. Saran ......................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

v

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pembagian Daerah Administrasi Desa………………… 31

2. Jumlah Penduduk………………..................................... 33

3. Jumlah Sarana dan Pra Sarana…………………………. 34

4. Mata Pencaharian Penduduk……………………………. 35

5. Persepsi terhadap Efektivitas Implementasi Aturan Pelarangan Destructive Fishing di Pulau Kambuno…… 45

6. Persepsi terhadap Motivasi Nelayan untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive Fishing di Pulau Kambuno. 47

7. Persepsi terhadap Tujuan Nelayan untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive Fishing di Pulau Kambuno. .. 48

8. Persepsi terhadap pertimbangan aspek situasi dan kondisi oleh nelayan untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive Fishing………………………………………….. 50

vi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Skema Kerangka Pikir Penelitian………………………… 24

2. Persentase Persepsi Terhadap Efektevitas Implementasi Aturan Pelarangan Destructive Fishing di Pulau Kambuno. 45

3. Persentase terhadap Motivasi Nelayan untuk Tetap

Melakukan Aktivitas Destructive Fishing di Pulau Kambuno 47

4. Persentase terhadap Tujuan Nelayan untuk Tetap

Melakukan Aktivitas Destructive Fishing di Pulau Kambuno 49

5. Persentase Jawaban Informan Terhadap Pertimbangan Aspek Situasi Kondisi Nelayan Untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive Fishing Di Pulau Kambuno………… 50

6. Jaringan Suplai Bahan Baku Bius………………………….. 52

7. Jaringan Suplai Bahan Baku Bom……………………………. 54

8. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Bom………………………. 55

9. Jaringan Pemasaran Ikan Bius Mati……………………….. 57

10. Jaringan Pemasaran Ikan Bius Hidup……………………… 57

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian………………….………………… 63

2. Foto Kegiatan…..………………..................................... 64

3. Foto Bahan Bom dan Bius…….…………………………. 65

4. Data Informan………………..……………………………. 66

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik perikanan destruktif merupakan salah satu bagian dari kejahatan

perikanan (Illegal Fishing), yaitu kegiatan penangkapan di wilayah pengelolaan

perikanan Republik Indonesia dengan cara merusak sumberdaya ikan dan

ekosistemnya melalui penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,

alat atau cara serta bangunan sehingga merugikan atau membahayakan

kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya. Keadaan ini dikatakan sebagai

kejahatan atau melanggar hukum (illegal) karena memiliki dampak temporal,

bukan saja pada saat tindakan dilakukan (destructive fishing), tetapi juga di masa

yang akan datang. Merusak sumberdaya dan lingkungan perikanan pada saat ini

akan membawa kerugian bukan saja bagi generasi sekarang tetapi juga bagi

generasi masa depan, karena sumberdaya dan lingkungan perikanan memiliki

kemampuan memperbaharui diri yang terbatas. Oleh karena itu, kerusakan

sumberdaya dan lingkungan perikanan melalui penggunaan teknologi destruktif,

membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikannya pada kondisi seperti

semula. Dengan kata lain, kerusakan lingkungan dan sumberdaya perikanan

pada saat sekarang akan menutup peluang bagi generasi masa depan untuk

memanfaatkan lingkungan dan sumberdaya tersebut. Oleh karena itu,

pelanggaran seperti ini memiliki dampak sosial ekonomi yang cukup besar dan

luas spektrumnya.

Aktivitas penangkapan yang merusak lingkungan lebih banyak terjadi di

kawasan pulau-pulau kecil disebabkan karena kawasan laut dan pulau-pulau

kecil merupakan wilayah pengelolaan terbuka untuk umum. Hanya saja dampak

yang disebabkan oleh aktivitas ini dapat saja merusak terumbu karang salah

2

satunya. Pada kawasan Pulau Sembilan yang termasuk di dalamnya Pulau

Kambuno merupakan wilayah yang didapatkan menjadi tempat terjadinya

kegiatan destructive fishing.

Beberapa hasil penelitian -Munsi Lampe,dkk (2005)- telah menunjukkan

bahwa destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan sesungguhnya adalah

praktik-praktik lama yang telah diadaptasi dan menjadi melembaga (pola

berulang) dalam komunitas nelayan baik di pesisir maupun di kawasan pulau-

pulau kecil dan cenderung dipersespsikan oleh komunitasnya bukan sebagai

sebuah kejahatan bagi orang-orang yang melakukan destructive fishing.

Dengan demikian, dapat diamsusikan bahwa aktivitas destructive fishing

dipandang sebagai suatu sistem kejahatan perikanan yang telah terorganisir

dengan baik (organized crime) yang melibatkan berbagai pihak dan membentuk

jaringan-jaringan kejahatan, mulai dari pengadaan bahan baku bom dan bius,

jaringan dalam akitivas aksi (pemboman dan pembiusan), serta jaringan pasar

sebagai penerima ikan-ikan hasil kegiatan destructive fiishing tersebut.

Menurut Harkrisnowo (2004), suatu kejahatan disebut sebagai organized

crime jika: (1) Dilakukan oleh lebih dari satu orang dalam suatu kegiatan yang

terorganisasi dengan baik; (2) Dibangun untuk beroperasi pada suatu pola yang

sudah mapan; (3) Mendasarkan kegiatannya pada hubungan yang lebih sering

permanen daripada tidaknya; (4) Mempunyai aturan-aturan yang berlaku internal

dan diterapkan dengan ketat; (5) Mempunyai hierarki ketat dalam organisasi

yang berkesinambungan dan jelas pembagian kerjanya; (6) Memperoleh

keuntungan dari kejahatan; (7) Tidak ragu menggunakan paksaan, kekerasan,

atau upaya koruptif untuk memperoleh kekebalan; (8) Kontinuitas tidak

dipatahkan oleh kematian seseorang dalam organisasi, serta; (9) Didukung oleh

sejumlah orang yang profesional. Selanjutnya, Harkrisnowo (2004),

mengemukakan pula bahwa makna utama suatu organized crime tidak terletak

3

pada “kejahatan”-nya semata tetapi pada “keterorganisasian” (jaringannya)

dalam arti yang lebih luas dan bukan sekadar perencanaan belaka. Dengan ciri-

ciri organized crime seperti diuraikan sebelumnya, tidak disangkal lagi bahwa

aktivitas destructive fishing sebetulnya tergolong kejahatan ini. Beberapa

alasannya yaitu bahwa destructive fishing pasti dilakukan lebih dari satu orang,

secara terorganisasi di atas kapal maupun di darat melalui jaringan pemasokan

dan pengadaan faktor-faktor produksi serta jaringan pemasaran ikan hasil

tangkapan. (Nikijuluw, 2008)

Destructive fishing ini masih marak dilakukan, disebabkan karena

memiliki mangnitude (kekuatan besar) ekonomi secara pragmatis, sehingga

pelaku-pelaku dalam “kejahatan perikanan” ini berani mengambil resiko dalam

melakukannya. Secara hukum formal telah diatur dalam Undang-Undang

Perikanan No 45 tahun 2009 dalam Pasal 85 yang berbunyi “Setiap orang yang

dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat

penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan

merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah

pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan

denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” Dalam praktiknya,

pelaku tindak pidana dibidang perikanan yang terdapat pada pasal 85, pelakunya

adalah masyarakat yang pekerjaannya sehari-hari adalah nelayan atau orang

yang menangkap ikan dengan menggunakan peledak. Hal ini banyak terjadi di

daerah Pulau Kambuno, hukuman denda tidak hanya dikenakan kepada pelaku

destructive fishing yang secara langsung turun melakukan operasi, tetapi juga

kepada para pelaku-pelaku dibalik terjadinya kegiatan destuktif ini, yang berarti

pasal ini berlaku kepada suatu sistem jaringan kejahatan terorganisir dalam

destructive fishing.

4

Adapun bentuk-bentuk destructive fishing yang dikategorikan merusak

sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang Perikanan adalah;

Penggunaan bahan peledak bom (dengan bahan berupa pupuk cap matahari,

beruang, obor); Penggunaan bahan kimia seperti, bius (kalium cianida – KCn)

dan tuba (akar tuba); Penangkapan ikan dengan trawl (pukat harimau);

penggunaan kompressor.

Demikian halnya dengan dampak kerusakan yang telah ditimbulkan oleh

kegiatan destructive fishing, beberapa lembaga penelitian telah melakukan kajian

tentang ini, misalnya; Tropical Research and Conservation Centre (TRACC)

dalam Burhanuddin (2011) mengungkapkan secara matematis, bahwa setiap

bahan peledak yang beratnya kurang lebih 1 kg diledakkan, dapat membunuh

ikan dalam radius 15 hingga 25 meter, atau sekitar 500 meter persegi, dan

menyisakan kawah sedalam sekitar 3 hingga 4 meter diameter terumbu karang.

Sementara, IMA Indonesia (2001) mencatat penggunaan bahan peledak

berukuran botol minuman yang paling banyak dilakukan oleh nelayan

diperkirakan merusak setidaknya 10 meter persegi. Kadang-kadang bom

berukuran kecil dilempar lebih dulu untuk mematikan ikan-ikan kecil, lalu disusul

dengan bom yang lebih besar untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak.

Penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom, mengakibatkan biota laut

seperti karang menjadi patah, terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir

dan meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Indikatornya adalah

karang patah, terbelah, tersebar berserakan dan hancur menjadi pasir,

meninggalkan bekas lubang pada terumbu karang. Ada juga dengan

penggunaan bahan kimia seperti, bius dan tuba (akar tuba). Kegiatan

penangkapan dengan bius dan tuba dilakukan pada daerah karang yang diduga

masih memiliki ikan yang banyak. Pelaku menyemprotkan bius atau tuba kesela-

sela karang agar ikan stress, pingsan, sehingga mudah mengambilnya. Bahkan

5

tidak jarang pelaku membongkar karang dengan linggis untuk mendapatkan ikan

yang masih ada di dalam liang karang. Dampak ekologisnya, penangkapan

dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang,

misalnya ikan hias, kerapu dan sebagainya. Disamping itu, dalam satu kali

semprotan yang mengeluarkan sekitar 20 mililiter mampu mematikan terumbu

karang dalam radius 5 kali 5 m persegi dalam waktu relatif 3 hingga 6 bulan.

Selanjutnya, berupa penangkapan ikan dengan trawl (pukat harimau). Pukat

harimau (trawl) merupakan salah satu alat penangkapan yang berupa jaring

dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat

sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan

yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut.

Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar

perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerus menyebabkan

kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan.

Mengambil kasus pada Kawasan pulau-pulau kecil (Pulau Kambuno),

didasari pertimbangan bahwa pulau-pulau kecil sangat potensial terjadinya

kegiatan destructive fishing karena lemahya pengawasan dan mudahnya

transaksi terjadi, khususnya pengadaan bahan baku kegiatan operasional

destructive fishing.

Dalam mengantisipasi tantangan tersebut kedepannya, maka penelitian

Analisis Jaringan Pelaku Destructive Fishing di Kawasan Pulau-Pulau

Kecil, ini disusun dan dilakukan. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa hanya

dengan pendekatan yang komprehensif (menyeluruh) dengan menganalisis

berbagai aktor yang terlibat maka upaya menggambarakan kegiatan destructive

fishing sebagai organized crime yang sudah mapan dan terbangun dalam suatu

jaringan kerja (social network) dapat tercapai.

6

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk-bentuk kegiatan destructive fishing yang terjadi di Pulau

Kambuno?

2. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap perilaku kejahatan destruktif di

Pulau Kambuno?

3. Bagaimana jaringan-jaringan pelaku destructive fishing di Pulau Kambuno?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

1. Bentuk-bentuk kegiatan destructive fishing yang terjadi di Pulau Kambuno

2. Persepsi masyarakat terhadap perilaku kejahatan destruktif di Pulau

Kambuno

3. Jaringan-jaringan pelaku destructive fishing di Pulau Kambuno

D. Kegunaan Penelitian

Dalam kegunaan akademik, dimaksudkan untuk menunjang teori-teori

jaringan social (social network), khususnya jaringan pelaku dalam kegiatan

destructive fishing di kawasan pulau-pulau kecil.

Dalam kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi

destructive fishing yang terjadi di kawasan pulau-pulau kecil, terkhusus kepada

Pulau Kambuno dan sekitarnya yang termasuk dalam wilayah Pulau Sembilan,

dan secara umum kepada kawasan pulau-pulau kecil lainnya.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pulau-Pulau Kecil dalam Suatu Kawasan

Kawasan pulau-pulau kecil adalah kumpulan pulau kecil yang saling

berdekatan sehingga secara fungsional baik individu maupun sinergis dapat

terjadi interkasi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya dan ada dalam suatu

wilayah administratif. Potensi sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil akan

tergantung pada proses terbentuknya pulau serta posisi atau letak pulau

tersebut, sehingga secara geologis pulau-pulau tersebut memiliki formasi struktur

berbeda dan dalam proses selanjutnya pulau-pulau tersebut juga akan memiliki

kondisi lingkungan, sumberdaya lingkungan, serta keanekaragaman yang

spesifik dan unik (Dahuri, 1998).

Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain

sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang

hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di

pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus

dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau

kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada

pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat

hilang ke dalam air. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil

mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen

dan daratan (Dahuri, 1998).

Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan

Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan

Perikanan No. 67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan

10.000 km2 dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa.

8

Kemudian direvisi dalam UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih

kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Beberapa

karakteristik lain pulau-pulau kecil sebagai pendasaran bahwa secara ekologis

terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan

terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular, mempunyai sejumlah

besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi, tidak

mampu mempengaruhi hidroklimat, memiliki daerah tangkapan air (catchment

area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen

masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya bersifat khas

dibandingkan dengan pulau induknya (Arief, 2007).

B. Masyarakat Nelayan

Masyarakat adalah kelompok-kelompok individu yang teratur, dimana

setiap kelompok manusia saling bergaul dan berinteraksi dan bekerjasama

dalam jangka waktu yang cukup lama. Menurut Mattulada (1983), masyarakat

pesisir adalah sekelompok manusia yang hidup bekerjasama di suatu daerah

tertentu yang disebut pantai. Sementara itu orang yang bertempat tinggal di

pesisir pantai dan mempunyai mata pencaharian pokok sebagai penangkap ikan

dan hasil laut lainnya disebut nelayan. Sebagai masyarakat nelayan dalam

melakukan penangkapan ikan di laut bergantung pada kemudahan bersama

karena tempat usahanya tergolong liar, berpindah-pindah, dan ikan yang

ditangkap berkembang biak secara alamiah.

Seperti masyarakat yang lain, masyarakat nelayan menghadapi sejumlah

masalah politik, sosial dan ekonomi yang kompleks. Masalah-masalah tersebut

antara lain:

9

1. Kemiskinan, kesenjangan sosial dan tekanan-tekanan ekonomi yang datang

setiap saat.

2. Keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar sehingga memengaruhi

dinamika usaha.

3. Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi yang ada.

4. Kualitas sumberdaya masyarakat yang rendah sebagai akibat keterbatasan

akses pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.

5. Degradasi sumberdaya lingkungan baik di kawasan pesisir, laut, maupun

pulau-pulau kecil.

6. Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar

utama pembangunan nasional (Kusnadi, 2006 dalam Kusnadi 2009).

Aspek budaya dalam suatu masyarakat tidak terlepas atau erat kaitannya

dengan kondisi pekerjaan/mata pencaharian masyarakatnya. Soemardjan (1974)

dalam Soekanto (1983), mengemukakan bahwa masyarakat adalah orang-orang

yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan, sehingga setiap anggota

kelompok merasa dirinya terikat satu dengan lainnya. Lebih lanjut dikatakan

bahwa ikatan yang membuat satu kesatuan manusia menjadi satu masyarakat

adalah pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam

batas-batas kesatuannya termasuk mata pencahariannya.

Dilihat dari aspek teknologi, nelayan tradisional pada umumnya cukup

terampil dengan peralatan yang dimilikinya yang merupakan sarana tangkap

dengan kemampuan terbatas tetapi sukar untuk ditingkatkan ke arah

modernisasi. Sumberdaya manusia (pendidikan yang rendah) dan posisi

ekonomi nelayan yang sangat rendah karena modal terbatas, produktivitas

rendah dengan hasil tangkapan yang tidak menentu karena pengaruh musim,

serta jaminan pemasaran yang tidak menentu pula karena berbagai kendala.

Keadaan ini akan menyulitkan dalam proses transformasi teknologi yang

10

akhirnya menghambat transformasi struktural masyarakat nelayan kearah kondisi

yang lebih baik. Kondisi prasarana dan sarana seperti jalan, dermaga, pasar,

TPI, dok serta cold storage dan pabrik es belum menunjang upaya peningkatan

produksi dan mutu hasil tangkapan nelayan (Setyohadi, 2006).

Secara sosiologis, Sallatang (1982), berpandangan bahwa dalam

komunitas masyarakat pesisir khususnya di Sulawesi Selatan terdapat kelompok

nelayan yang terdiri atas Punggawa dan Sawi. Kelembagaan ini sangat kuat

ikatannya karena selain dimensi ekonomi, dimensi sosialpun sangat kuat

beroperasi didalamnya. Patron-klien merupakan basis relasi sosial masyarakat

nelayan atau masyarakat pesisir. Relasi sosial patron-klien sangat dominan dan

terbentuk karna karakteristik kondisi mata pencarian, sistem ekonomi, dan

lingkungan. Hubungan-hubungan demikian terpola dalam kegiatan organisasi

produksi, aktivitas pemasaran, dan kepemimpinan sosial. Pola-pola hubungan

patron-klien dapat menghambat atau mendukung perubahan sosial ekonomi.

Namun demikian, dalam kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi, pola-pola

hubungan patron-klien harus diperlakukan sebagai modal sosial atau potensi

pemberdayaan masyarakat (Kusnadi, 2009).

C. Konsep Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan mengumpulkan informasi dan menafsirkan

peran (Susiatik, 1998). Persepsi itu bersifat individual, karena persepsi

merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam individu, maka persepsi dapat

dikemukakan karena perasaan dan kemampuan berfikir. Pengalaman individu

tidak sama, maka dalam mempersepsikan stimulus, hasil dari persepsi mungkin

dapat berbeda satu dengan yang lain karena sifatnya yang sangat subjektif

(Roger 1965 dalam Walgito, 2002).

11

Menurut Siagian (1995) ada beberapa faktor yang mempengaruhi

persepsi seseorang yaitu:

1. Diri orang yang bersangkutan, dalam hal ini orang yang berpengaruh adalah

karakteristik individual meliputi dimana sikap, kepentingan, minat,

pengalaman dan harapan.

2. Sasaran persepsi, yang menjadi sasaran persepsi dapat berupa orang,

benda, peristiwa yang sifat sasaran dari persepsi dapat mempengaruhi

persepsi orang yang melihatnya. Hal-hal lain yang ikut mempengaruhi

persepsi seseorang adalah gerakan, suara, ukuran, tindak tanduk dan lain-

lain dari sasaran persepsi.

3. Faktor situasi, dalam hal ini tinjauan terhadap persepsi harus secara

kontekstual artinya perlu dalam situasi yang mana persepsi itu timbul.

Sementara menurut Walgito (2002) dalam persepsi individu

mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus mempunyai arti individu

yang bersangkutan dimana stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan

dalam persepsi. Berkaitan dengan hal itu faktor-faktor yang berperan dalam

persepsi yaitu:

1. Adanya objek yang diamati. Objek menimbulkan stimulus yang mengenai

alat indera atau reseptor stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai

alat indera (reseptor), dan dapat datang dari dalam yang langsung mengenai

syaraf penerima (sensori) yang bekerja sebagai reseptor.

2. Alat indera atau reseptor. Alat indera (reseptor) merupakan alat untuk

menerima stimulus. Disamping itu harus ada syaraf sensori sebagai alat

untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat syaraf yaitu otak

sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respon

diperlukan syaraf sensori.

12

3. Adanya perhatian. Perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu

persiapan dalam suatu persepsi. Tanpa adanya perhatian tidak akan

terbentuk persepsi.

D. Konsep Perilaku

Perilaku manusia pada umumnya terbagi atas dua macam; yaitu perilaku

yang telah direncanakan dalam gen-nya dan merupakan milik dirinya tanpa

belajar, Seperti refleksi, kelakuan nurani, dan kelakuan membabi buta. Yang

keduanya adalah prilaku yang manusia yang prosesnya tidak terencana dalam

gen-nya tetapi yang harus dijadikan milik dirinya dengan belajar

(Koentjaraningrat,1994).

Dengan demikian, maka perilaku menurut Gillin (1954) dalam Munandar

(1992) muncul karena adanya saling bergaul dan interaksi yang mempunyai nilai-

nilai, norma-norma, cara-cara dan prosedur merupakan kebutuhan bersama.

Oleh karena itu, perilaku manusia yang tergolong dalam kategori kedua di atas

terlahir dan hanya dapat diwujudkan dalam suatu kehidupan sosial

kemasyarakatan.

Parson (1951) dalam Soekanto (1996), mengemukakan bahwa perilaku

manusia dalam kehidupan sosial kemasyarakat ditentukan oleh paling kurangnya

empat faktor; yaitu norma, motivasi, tujuan, dan situasi/kondisi. Norma adalah

aturan yang di gunakan dalam hubungan antar manusia didalam suatu

masyarakat yang terdiri atas 4 tingkat dan masing-masing mempunyai kekuatan

meningkat yang berbeda, yakni: cara (usage). Kebiasaan (folkways), tata

kelakuan (mores), dan adat istiadat (costum) kemudian motivasi kadang-kadang

di pakai dalam arti kebutuhan (need), keinginan (want), dan dorongan (drive).

Sedangkan tujuan dan situasi/kondisi menurut Mattulada (1997), biasanya

ditentukan oleh adanya kesamaan geografis atau hasil interaksi dengan

13

lingkungan fisik sekitarnya. Dengan demikian, maka lahirlah pola perilaku yang

tercermin dari platform budaya dan merupakan kekhasan dari masyarakat

tersebut, yang dalam penelitian ini adalah masyarakat nelayan.

Adanya pengaruh dari luar sebagai hasil interaksi masyarakat yang

terwujud dalam peralatan-peralatan kehidupan sebagai hasil perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi ikut mendorong terjadinya perubahan perilaku yang

dianut oleh masyarakat tersebut. Dalam hal masyarakat nelayan, hal itu dapat

dilihat dari kemampuan mereka mengadopsi dan mengembangkan berbagai

jenis alat tangkap.

Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi organisme, dalam hal ini

manusia terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang

diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan yang

menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu (Notoatmojdo,1997). Perilaku atau

aktfitas individu dalam pengertian yang lebih luas mencakup perilaku yang

nampak (over behavior) dan perilaku yang tidak nampak (inert behavior).

Perilaku manusia tidak muncul dengan sendirinya tanpa pengaruh

stimulus yang diterima baik stimulus yang bersifat eksternal maupun internal.

Namun demikian, sebagian besar perilaku manusia adalah akibat respon

terhadap stimulus eksternal yang diterima (Walgito, 1999).

Jenis perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu

perilaku alami (innate behavior) dan perilaku operan (operant behavior). Perilaku

alami yang berupa reflek dan insting adalah perilaku yang dibawa manusia sejak

manusia dilahirkan. Sedangkan, perilaku operan adalah perilaku yang dibentuk

melalui proses belajar, yang selanjutnya disebut sebagai perilaku psikologis

(Skinner,1976).

14

Pada manusia, perilaku operan atau perilaku psikologis lebih dominan

berpengaruh akibat dari bentuk kemampuan untuk mempelajari dan dapat

dikendalikan atau di ubah melalui proses pembelajaran. Sebaliknya reflek

merupakan perilaku yang pada dasarnya tidak dapat untuk di kendalikan.

Perilaku individu dan lingkungan saling berinteraksi yang artinya bahwa

perilaku individu dapat mempengaruhi individu itu sendiri, juga berpengaruh

terhadap lingkungan. Adapun secara spesifik faktor lingkungan dan individu yang

mempengaruhi perilaku adalah sebagai berikut:

1. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan perilaku,

bahkan sering kekuatannya lebih besar dari faktor individu (Azwar, 1998).

Dalam hubungan antara perilaku dengan lingkungan dibagi dalam tiga

kelompok, yaitu lingkungan alam/fisik (kepadatan, kebersihan), lingkungan

sosial (organisme sosial, tingkat pendidikan, mata pencaharian, tingkat

pendapatan) dan lingkungan budaya (adat istiadat, peraturan, hukum)

(Sumaatmadja,1997).

2. Faktor Individu

Faktor individu yang menentukan perilaku manusia antara lain adalah tingkat

intelegensia, pengalaman pribadi, sifat kepribadian dan motif (Azwar, 1998).

E. Jaringan Sosial

Jaringan sosial merupakan salah satu dimensi sosial selain kepercayaan

dan norma. Konsep jaringan dalam kapital sosial lebih memfokuskan pada aspek

ikatan antar simpul yang bisa berupa orang atau kelompok (organisasi). Dalam

hal ini terdapat pengertian adanya hubungan sosial yang diikat oleh adanya

kepercayaan, yang mana kepercayaan itu dipertahankan dan dijaga oleh norma

yang ada. Pada konsep jaringan ini, terdapat unsur kerja, yang melalui media

15

hubungan sosial menjadi kerja sama. Pada dasarnya jaringan sosial terbentuk

karena adanya rasa saling tahu, saling menginformasikan, saling mengingatkan,

dan saling membantu dalam melaksanakan ataupun mengatasi sesuatu. Intinya,

konsep jaringan dalam capital social menunjuk pada semua hubungan dengan

orang atau kelompok lain yang memungkinkan kegiatan dapat berjalan secara

efisien dan efektif (Lawang, 2005).

Pada teori jaringan banyak dibahas tentang hubungan antara satu aktor

(individu atau kelompok) dengan aktor lainnya. Salah satu ciri khas teori jaringan

adalah pemusatan pemikiran pada tingkat makro; artinya aktor atau pelaku bisa

saja individu (Wellman, 1983 dalam Ritzer, 2004), atau mungkin juga kelompok,

perusahaan dan masyarakat. Kaitannya dalam hal ini teori jaringan membahas

tentang hubungan yang terjadi pada tingkat struktur sosial skala luas sampai

tingkat yang lebih mikroskopik. Analisis jaringan lebih ingin mempelajari

keteraturan individu atau kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan

keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu pakar

analisis jaringan mencoba menghindarkan penjelasan normatif dari perilaku

sosial. Mereka menolak penjelasan non struktural yang memperlakukan proses

sosial sama dengan penjumlahan ciri pribadi aktor individual dan norma tertanan.

Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individual atau

kelompok) memiliki akses berbeda terhadap sumber daya yang menilai

(kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang

berstruktur cenderung tersratifikasi, komponen tertentu tergantung pada

komponen lain.

Teori jaringan juga memiliki beberapa prinsip logis yang merupakan tempat

bersandarnya pemikiran-pemikiran teori jaringan itu sendiri. (Wellman, 1983

dalam Ritzer, 2004) yaitu:

16

1. Ikatan antar aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun

intensitasnya.

2. Ikatan antara individu yang harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan

lebih luas.

3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non acak.

4. Adanya kelompok jaringan menyebabkan terciptanya hubungan silang antara

kelompok jaringan maupun antara individu.

5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur didalam sebuah sistem jaringan

dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara

tak merata.

6. Distribusi yang tampak dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu

kerjasama maupun kompetisi.

Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, dimana “ikatan”

yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan

sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung

yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person). Jaringan

sosial tidak hanya beranggotakan pada satu individu, namun dapat juga berupa

sekumpulan orang yang mewakili titik-titik seperti yang dikemukakan

sebelumnya, jika tidak harus satu titik mewakili satu orang, misalnya organisasi,

instansi, pemerintah atau negara.

Sementara hubungan sosial atau saling keterhubungan merupakan

interaksi sosial yang berkelanjutan (relatif cukup lama atau permanen) yang

terakhirnya diantara mereka terikat satu sama lain dengan atau oleh seperangkat

harapan yang relatif stabil (Zanden, 1990 dalam Agusyanto, 2007).

Hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah

merupakan sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu

orang(titik) dengan orang-orang lain dimana melalui jalur atau saluran tersebut

17

bisa dialirkan sesuatu, misalnya barang, jasa, dan informasi. Hubungan sosial

antara dua orang mencerminkan adanya pengharapan peran dari masing-masing

lawan interaksinya. Tingkah laku yang diwujudkan dalam suatu interaksi sosial itu

sistematik, meskipun para pelakunya belum tentu menyadarinya. Dari

terwujudnya hubungan sosial yang baik maka akan memudahkan jaringan sosial

berkembang. Jaringan sosial menjadi sangat penting di dalam masyarakat

karena di dunia ini bisa dikatakan bahwa tidak ada manusia yang tidak menjadi

bagian dari jaringan-jaringan hubungan sosial dari manusia lainnya. Walaupun

begitu manusia tidak selalu menggunakan semua hubungan sosial yang

dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang

dan waktu atau konteks sosialnya (Agusyanto, 2007).

Ada tiga pembagian tipe keteraturan jaringan sosial menurut Epstein (1992

dalam Agusyanto, 2007), yaitu:

1. Keteraturan Struktural, dimana perilaku orang-orang terinterpretasikan dalam

bentuk tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi-posisi yang mereka duduki

dalam suatu perangkat tatanan posisi-posisi.

2. Keteraturan Katagorikal, dimana perilaku seseorang di dalam situasi-situasi

yang tidak terstruktur bisa terinterpretasi ke dalam term steriotipe-steriotipe.

3. Keteraturan Personal, dimana perilaku orang-orang, baik di dalam situasi yang

terstruktur maupun tidak, bisa diinterpretasikan ke dalam pengertian-pengertian

ikatan-ikatan personal yang dimiliki seseorang individu dengan orang-orang lain.

Bicara mengenai jaringan sosial tidak akan habis dalam sekali pembahasan,

karena begitu kompleksnya jaringan yang terbentuk dalam masyarakat bahkan

saling tumpah tidih dan memotong satu sama lain sehingga Barnes merasa perlu

untuk membedakan jaringan untuk kepentingan penelitiannya, menurut Barnes

(1969 dalam Agusyanto, 2007), jaringan dibedakan atas jaringan total digunakan

untuk menyebut jaringan sosial yang kompleks, dan jaringan partial untuk

18

menyebut jaringan yang hanya berisi satu jenis hubungan sosial. Lain hal lagi

bila jaringan sosial ditinjau dari tujuan hubungan sosialyang membentuk jaringan-

jaringan. Beberapa pakar antropologi maupun sosiologi dari beberapa literatur

mengatakan, dari sisi ini jaringan sosial dapat di bedakan dalam tiga jenis yaitu :

1. Jaringan interest (kepentingan), terbentuk dari hubungan-hubungan sosial

yanng bermuatan kepentingan.

2. Jaringan power, hubungan-hubungan sosial yang membentuk jaringan

bermuatan power. Power disini merupakan suatu kemampuan seseorang

atau unit sosial untuk mempengaruhi perilaku dan pengambil keputusan

orang atau unit sosial lainnya mellalui pengendalian (Adams: 1977 dalam

Agusyanto, 2007).

3. Jaringan sentiment (emosi), terbentuk atas dasar hubungan-hubungan

sosial yang bermuatan emosi. Hubungan sosial itu sendiri sebenarnya

menjadi tujuan tindakan sosial misalnya percintaan, pertemanan atau

hubungan kerabat, dan sejenisnya. Struktur sosial yang terbentuk dari

hubungan-hubungan emosi pada umumnya lebih mantap atau permanen.

F. Destructive Fishing

Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktik dalam penangkapan

ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis menjadi

pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing disebabkan

oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Rentang kendali dan luasnya wilayah

pengawasan tidak seimbang dengan kemampuan tenaga pengawas yang ada

saat ini, (2) Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut, (3) Lemahnya

kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan pengusaha

bermental pemburu rente ekonomi, (4) Masih lemahnya penegakan hukum, (5)

19

Lemahnya koordinasi dan komitmen antar aparat penegak hukum (Mukhtar,

2007).

Menurut La Ode (2007), minimal ada 4 (empat) hal yang memotivasi

nelayan untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak

dan bius, diantaranya : (1) desakan kebutuhan ekonomi subsisten masyarakat

nelayan khususnya sawi; (2) masih rendahnya pemahaman akan pentingnya

pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan; (3) meningkatnya

permintaan pasar luar negeri khususnya ikan hidup; dan (4) inkonsistensi dan

lemahnya penegakan hukum dalam mencegah penggunaan bahan peledak dan

bius.

1. Penggunaan Bahan Peledak

Penggunaan bom dalam penangkapan ikan adalah merupakan salah satu

cara penangkapan yang sangat merusak dan juga ilegal di seluruh Indonesia.

Bom dikemas menggunakan bubuk dalam wadah tertentu dan dipasangi sumbu

untuk kemudian dinyalakan dan dilemparkan ke dalam air. Bom akan meledak

dan memberikan guncangan fatal di sepanjang perairan, yang dapat membunuh

hampir semua biota laut yang ada di sekitarnya. Nelayan hanya mengumpulkan

ikan konsumsi yang berharga, tetapi banyak ikan dan hewan laut lainnya

ditinggalkan dalam keadaan mati di antara pecahan karang yang mungkin tidak

dapat pulih kembali (Erdmann, 2004).

Penggunaan bom, yang telah berlangsung sejak masa perang dunia II,

merupakan bencana bagi terumbu karang. Satu botol bir bom bisa

menghancurkan area terumbu karang seluas 5 m2 dan untuk botol gallon yang

lebih besar mampu menghancurkan area terumbu karang seluas 20 m2.

Penggunaan bom secara berkala meningkatkan kematian terumbu karang 50%

sampai 80% (Pet-Soede, 2000 dalam La Ode, 2007).

20

Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan

merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di

sekitar daerah terumbu karang, menimbulkan efek samping yang sangat besar,

selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat

menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran

penangkapan. Penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan

yang luas terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara

menggunakan bom, mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,

terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir, dan meninggalkan bekas lubang

pada terumbu karang. Indikatornya adalah karang patah, terbelah, tersebar

berserakan dan hancur menjadi pasir, meninggalkan bekas lubang pada terumbu

karang (Mukhtar, 2007).

2. Pembiusan

Penggunaan racun memberikan dampak ganda; kerusakan karang dan

kematian larva dan ikan-ikan kecil (Johannes and Riepen, 1995 dalam La Ode

2007)

Teknik penangkapan dengan pembiusan juga merupakan bagian dari

Destructive fishing yang marak digunakan akhir-akhir ini di wilayah kepulauan.

Bahan bakunya yang sering digunakan adalah sianida selain akar tuba.

Penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan

karang, misalnya ikan hias, kerapu (Epinephelus spp.), dan ikan napoleon

(Chelinus). Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi

“mabuk” dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat

menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai

dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama

kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati, memutih,

meninggalkan bekas karang yang banyak akibat pengambilan ikan di balik

21

karang. Secara umum terutama pada daerah-daerah yang mempunyai jumlah

terumbu karang yang cukup tinggi, karena kebanyakan ikan-ikan dasar

bersembunyi atau melakukan pembiakan pada lubang-lubang terumbu karang.

Sedang pelaku pembius memasukkan/ menyemprotkan obat ke dalam lubang

dan setelah beberapa lama kemudian ikan mengalami stress kemudian pingsan

dan mati, sehingga mereka dengan muda mengambil ikan. Jenis-jenis bahan

beracun :

a. Potasium Cianida digunakan untuk penangkapan ikan di daerah karang,

bahan ini biasa digunakan tukang emas.

b. Racun hama pertanian seperti merek Dexon, Diazino, Basudin, Acodan

digunakan untuk penangkapan ikan air tawar di sungai atau perairan umum,

bahan ini sering digunakan di daerah transmigrasi dan masyarakat lain di

sekitar perairan umum.

c. Deterjen digunakan untuk penangkapan ikan di daerah karang.

d. Akar Tuba digunakan untuk penangkapan ikan di daerah karang.

e. Tembakau digunakan untuk penangkapan ikan di daerah karang.

Berbeda dengan teknik penangkapan dengan menggunakan bahan

peledak, teknik ini tidak menyebabkan kerusakan struktur habitat melainkan

dapat menyebabkan kematian pada habitat karang. Sehingga secara nyata

dapat dilihat jejak pembiusan meninggalkan struktur habitat yang relatif tidak

berubah namun mengalami kematian. Tanda-tanda kematian habitat karang

akibat pembiusan ini adalah terjadinya pemutihan karang yang disusul dengan

pertumbuhan alga yang sangat cepat yang menutupi permukaan karang tersebut

atau biasa dikenal dengan Dead Coral Alga (DCA). Jadi sisi merusak dari

metode pembiusan ini adalah efek mematikan dari bahan bius (sianida) terhadap

habitat karang.

22

Seperti halnya teknik penangkapan dengan menggunakan bahan

peledak, teknik ini diajarkan oleh nelayan yang berasal dari Filipina. Hingga

sekarang, teknik ini masih dipergunakan oleh nelayan, bahkan

kecenderungannya lebih banyak digunakan dibanding teknik penangkapan yang

lainnya (Saleh, 2010).

G. Kerangka Pikir Penelitian

Pulau-pulau kecil merupakan suatu aset bangsa yang memiliki nilai

penting dan harus dikelola dengan baik dalam menunjang aktivitas ekonomi

negara. Hanya saja, di kawasan pulau-pulau kecil ini pulalah yang dijadikan

sebagian besar pelaku kejahatan perikanan destuktif sebagai tempat strategis

dalam melakukan aktivitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bersifat

eksplotatif, penangkapan secara berlebihan (over fishing) dan juga melakukan

kegiatan penangkapan yang bersifat merusak lingkungan sumberdaya perikanan

(destructive fishing) baik menggunakan bom maupun bius.

Praktik perikanan destruktif salah satu bagain dari kejahatan perikanan

(Illegal Fishing) yaitu kegiatan penangkapan di wilayah pengelolaan perikanan

Republik Indonesia dengan cara merusak sumberdaya ikan dan ekosistemnya

melalui penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat atau cara

serta bangunan sehingga merugikan atau membahayakan kelestarian

sumberdaya ikan dan lingkungannya. Keadaan ini dikatakan sebagai kejahatan

atau melanggar hukum (illegal) karena memiliki dampak temporal, bukan saja

pada saat tindakan dilakukan (destructive fishing), tetapi juga dimasa yang akan

datang.

Kejahatan perikanan destruktif merupakan sebuah kejahatan

terorganisasi melalui hubungan jaringan-jaringan pelaku destruktif. Destructive

fishing terjadi bukan hanya dilakukan oleh satu orang saja melainkan adanya

23

aktor-aktor lain yang berperan mulai dari pemasokan bahan baku pembuatan

bom dan bius, distibusi, hingga sampai di tangan nelayan yang mengolahnya

menjadi bom dan bius yang digunakan pada saat melakukan kegiatan

destructive fishing di wilayah perairan dan khusunya di pulau-pulau kecil yang

terpencil dan jauh dari pengawasan ketat oleh pemerintah.

Jaringan sosial yang merupakan suatu jaringan tipe khusus, di mana

ikatan yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah

hubungan sosialnya. Pada jenis jaringan ini secara langsung atau tidak langsung

yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah manusia (person). Bisa saja

yang menjadi anggota suatu jaringan sosial itu berupa sekumpulan dari orang

yang mewakili titik-titik seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, jadi tidak

harus satu titik diwakili dengan satu orang, misalnya organisasi, instansi,

pemerintah atau Negara -jaringan Negara non blok. (Agusyanto,2007).

24

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir Penelitian

Pemanfaatan Sumberdaya

Perikanan di Kawasan

Pulau Kecil

Persepsi

Terhadap Perilaku

Destructive

fishing

- Norma

- Motivasi

- Tujuan

- Situasi

REKOMENDASI

Jaringan-

Jaringan Pelaku

Destructive

fishing

Perilaku

Destructive

fishing

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode penelitian kualitatif

(qualitaif research) yang berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami

maknanya, sehingga sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas.

Penekanan penelitian kualitatif dimaksudkan untuk meneliti kondisi subjek,

dengan mencari dan menemukan informasi melalui pengkajian kasus yang

terbatas namun mendalam dengan penggambaran secara holistik. Pendekatan

kualitatif mencirikan makna kualitas yang menunjuk pada segi alamiah dan tidak

menggambarkan perhitungan (Maleong, 2000; Bungin, 2003).

Strategi jenis penelitian adalah studi kasus. Strategi ini merupakan

metode yang dianggap tepat untuk sebuah studi yang mempelajari mendalam

tentang dinamika atau keadaan kehidupan sekarang dengan latar belakangnya

dalam interaksi dengan lingkungan dari suatu unit sosial seperti individu,

kelembagaan, komunitas dan masyarakat (Yin, 1997).

B. Pengelolaan Peran sebagai Peneliti

Dalam kajian ini, peneliti melakukan pengamatan terlibat aktif dengan

berusaha memperlama keberadaan dalam komunitas, mengintensifkan observasi

dan wawancara yang dilakukan sedalam mungkin (in-depth). Untuk menghindari

subyektifitas jawaban informan karena interaksi langsung dengan peneliti, materi

pertanyaan yang diberikan sifatnya tidak menilai atau mengintervensi, tetapi lebih

kepada materi pertanyaan yang mengarahkan informan untuk mengungkapkan

pengalaman yang dialami atau pernah dialaminnya berkaitan dengan konflik-

konflik yang pernah terjadi baik yang sifatnya laten (tersembunyi) maupun yang

bersifat manifest (terbuka) melalui life-history (Koentjaraningrat, 1994).

26

C. Lokasi Penelitian

Menentukan lokasi penelitian dilakukan secara segaja (purpossive) pada

unit desa yang memungkinkan untuk melakukan studi mendalam tentang

komunitas masyarakat nelayan secara menyeluruh. Kawasan pulau-pulau kecil

yang dipilih adalah Kawasan Pulau-pulau Sembilan sebagai wilayah kasus

dengan dasar pertimbangan berdasarkan survey awal yang dilakukan, yakni: (1)

kawasan pulau-pulau ini mayoritas penduduknya menggantungkan hidupnya

dalam bidang perikanan (nelayan); (2) ditemukan kejadian-kejadian konflik antar

nelayan dalam aktivitas di bidang perikanan tangkap. (3) dalam

perkembangannya, sebagian besar nelayan masih mempertahankan

pengetahuan tradisional dalam kegiatan kenelayanan sebagai warisan dari

leluhurnya sebagai adat kenelayanan. Sehingga dipilihlah Pulau Kambuno dan

penelitian ini telah dilaksanakan pada Bulan Desember 2016 – Januari 2017.

D. Sumber Data

Sumber data terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh

dari hasil wawancara dan observasi, sedang data sekunder bersumber dari

instansi-instansi terkait serta hasil-hasil laporan, penelitian sebelumnya yang

dapat mendukung kajian penelitian.

Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui penentuan informan

didasarkan pada informasi awal tentang warga komunitas yang terlibat dalam

usaha perikanan tangkap (penangkapan ikan), baik yang berposisi sebagai

punggawa darat (pemberi modal), punggawa atau juragan (pemilik usaha), sawi

(pekerja) dan nelayan mandiri. Kepada informan sebagai peneliti yang telah

diwawancarai ditanyakan tentang warga komunitas yang dapat dijadikan

informan berikutnya (teknik bola salju; efek snowball). Di samping itu ada juga

informan yang ditentukan sendiri oleh peneliti, seperti tokoh masyarakat, pemuka

27

agama, tokoh pemuda dan sebagainya. Demikian proses ini berlangsung

sehingga data yang terkumpul mencapai tingkat kecukupan. Perulangan

wawancara untuk informan tertentu dapat dilakukan, apabila informan tersebut

dianggap potensil mengungkap banyak hal yang berkaitan dengan penelitian ini.

Prinsip triangulasi pengumpulan data juga dipraktikkan, dalam arti suatu tema

pertanyaan tidak hanya diandalkan pada satu sumber informasi saja, melainkan

kebenaran informasi disandarkan pada beberapa informan, hal ini dimaksudkan

untuk menghindari subyektifitas jawaban yang diberikan oleh informan. Selama

penelitian berlangsung telah diwawancarai sebanyak 25 informan (titik

jenuh) sebagai sumber informasi dalam mendapatkan kedalaman

keterangan berdasarkan substansi penelitian.

E. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam studi kasus, sejumlah data dikumpulkan dan dipadukan dalam

proses analisis, serta disajikan sedemikian rupa untuk mendukung tema utama

yang menjadi fokus penelitian, sehingga merupakan suatu konstruksi tersendiri

sebagai suatu produk interaksi antara responden atau informan, lapangan

penelitian dan peneliti. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan

meliputi:

1. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan melalui sejumlah

pertemuan dengan informan yang didalamnya berlangsung tanya jawab dan

pembicaraan terlibat mengenai berbagai aspek permasalahan yang akan dicari

dalam penelitian.

2. Pengamatan (observation)

Data yang dikumpulkan melalui pengamatan adalah data yang dapat

diamati oleh peneliti tanpa menuntut keterlibatan secara langsung dengan

28

informan. Jenis data yang diperoleh dengan cara ini adalah antara lain, keadaan

pemukiman penduduk, jenis peralatan dalam aktivitas usahanya, pola aktivitas

dan kegiatan sehari-hari penduduk.

3. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan untuk menelaah sejumlah sumber tertulis,

dalam rangka memperoleh data, baik primer maupun sekunder yang berkaitan

dengan tujuan penelitian yang dimaksud.

F. Teknik Analisis Data

Metode analisis utama yang digunakan adalah analisis data kualitatif

yang analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative

understanding). Pengertian kualitatif di sini bermakna bahwa data yang disajikan

berwujud kata-kata ke dalam bentuk teks yang diperluas bukan angka-angka

(Miles dan Huberman, 1992). Data hasil wawancara dan pengamatan ditulis

dalam suatu catatan lapangan yang terinci kemudian dianalisis secara kualitatif.

Untuk memperoleh data yang akurat, maka dibuat catatan lapangan yang

selanjutnya disederhanakan/ disempurnakan dan diberi kode data dan masalah.

Pengkodean data berdasarkan hasil kritik yang dilakukan, data yang sesuai

dipisahkan dengan kode tertentu dari data yang tidak sesuai dengan masalah

penelitian atau data yang diragukan kebenarannya. Data yang diperoleh

dianalisis secara komponensial (componential analysis) dengan melalui tiga

tahap:

Tahap pertama, analisis data kualitatif yang dilakukan adalah proses

reduksi data kasar dari catatan lapangan. Dalam prosesnya, dipilih data yang

relevan dengan fokus penelitian dan data yang tidak memenuhi kriteria eksklusif-

inklusif. Proses reduksi data dilakukan bertahap selama dan sesudah

pengumpulan data sampel tersusun. Reduksi data dilakukan dengan cara

29

membuat ringkasan data, menelusuri tema tersebardata, dan membuat kerangka

dasar penyajian

Tahap kedua, penyajian data, yaitu penyusunan sekumpulan informasi

menjadi pernyataan yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Data disajikan

dalam bentuk teks naratif, mulanya terpencar dan terpisah pada berbagai sumber

informasi, kemudian diklasifikasikan menurut tema dan kebutuhan analisis. Pada

tahap inilah data disajikan dalam kesatuan tema keadaan umum wilayah

komunitas masyarakat nelayan, gambaran mengenai aktivitas kenelayanan,

gambaran dinamika fenomena konflik antar nelayan, gambaran tentang hal-hal

yang masih dipertahankan sebagai tradisi dalam pengelolaan sumberdaya

perikanan tangkap

Tahap ketiga, penarikan kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian

data. Penarikan kesimpulan berlangsung bertahap dari kesimpulan umum pada

tahap reduksi data, kemudian menjadi lebih spesifik pada tahap penyajian data,

dan lebih spesifik lagi pada tahap penarikan kesimpulan yang sebenarnya.

Rangkaian proses ini menunjukkan bahwa analisis data kualitatif dalam

penelitian ini bersifat menggabungkan tahap reduksi data, penyajian data, dan

penarikan kesimpulan secara berulang dan bersiklus.

Analisis data kualitatif menggunakan metode induktif. Penelitian ini tidak

menguji hipotesis, tetapi lebih merupakan penyusunan abstraksi berdasarkan

bagian yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan. Seluruh data yang tersedia

ditelaah, direduksi kemudian diabstraksikan sehingga terbentuk satuan informasi.

Satuan informasi di ditafsirkan dan diolah menjadi kesimpulan. Penarikan teori

substantif dilakukan dengan membuat analisis komprehensif dan holistik

terhadap unsur-unsur yang menjadi sentral permasalahan dalam penelitian.

30

G. Konsep Operasional

Konsep operasional ini dibuat dengan maksud memberikan batasan yang

jelas tentang tema yang akan dikaji untuk menyamakan persepsi terhadap

konsep-konsep pembahasan dalam penelitian.

1. Kawasan Pulau-Pulau Kecil adalah kumpulan pulau kecil yang saling

berdekatan, sehingga secara fungsional baik individu maupun sinergis dapat

terjadi interkasi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya dan ada dalam suatu

wilayah administratif, dalam penelitian ini yang dimaksud adalah Pulau Kambuno

dan pulau di Kawasan Pulau Sembilan, Kab. Sinjai.

2. Pulau Kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah

dari pulau induknya (mainland), memiliki batas yang pasti, dan terisolasi dari

habitat lain. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah pulau kambuno.

3. Nelayan adalah seseorang yang dalam kesehariannya bekerja mencari,

menangkap atau memperjualbelikan hasil laut, dalam hal ini adalah masyarakat

Pulau Kambuno.

4. Persepsi adalah cara berpikir seseorang dalam mewujudkan pendapat yang

dalam pelaksanaannya dipengaruhi pula oleh pandangannya ataupun sikap

perilakunya tentang destructive fishing.

5. Pelaku Perikanan Destruktif adalah nelayan yang melakukan aktivitas

penangkapan ikan menggunakan bahan peledak atau bius.

6. Jaringan adalah hubungan-hubungan sosial antara para pelaku destuktif

dalam menjaga kelancaran operasinya.

7. Jaringan bahan baku adalah jaringan penyuplai bahan baku pembuatan bom

dan bius kepada pelaku-pelaku destruktif yang berada di Pulau Kambuno

8. Jaringan pemasaran adalah jaringan pelaku destructive fishing dalam

pemasaran yang diletakkan pada konteks bagaimana ikan hasil tangkapan

menggunakan bom maupun bius bisa sampai ditangan konsumen.

31

BAB IV

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Keadaan Umum Pulau Kambuno Kabupaten Sinjai

1. Letak Geografis Desa Pulau Harapan

Desa pulau harapan (Kambuno) adalah sebuah desa yang terletak di

Kecamatan Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai. Secara geografis terletak

00o56’51” LU dan 120o20’50” BT dengan Luas 1.75 km2. Desa Pulau Harapan

terdiri dari dua pulau yaitu Pulau Kambuno yang merupakan ibu kota kecamatan

pulau-pulau sembilan dan pulau liang-liang. Desa Pulau Harapan terdiri dari

empat dusun; Dusun Kambuno Barat, Dusun Kambuno Timur, Dusun Kambuno

Selatan, dan Dusun Pulau Liang-liang.

Tabel 1. Pembagian Daerah Administrasi Desa Pulau Harapan

No Dusun Jumlah RW Jumlah RT

1. Kambuno Barat 2 4

2. Kambuno Selatan 2 4

3. Kambuno Timur 2 4

4. Pulau Liang-liang 2 4

Jumlah 8 16

Sumber: Data Sekunder, 2015

Dari Tabel 1, memperlihatkan bahwa komposisi RT (Rukun Tetangga) dan

RW (Rukun Warga) sangat berimbang. Hal ini berarti bahwa, komposisi jumlah

penduduk masing-masing dusun tidak terlalu jauh berbeda dari satu dusun

dengan dusun lainnya.

Adapun batas–batas wilayah desa pulau harapan sebagai berikut: Sebelah

utara berbatasan dengan Desa Pulau Padaelo; Sebelah selatan berbatasan

32

dengan Desa Pulau Buhungpitue; Sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone;

Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Bone.

2. Topografi

Desa Pulau Harapan memiliki karakteristik dengan pantai yang berpasir

putih dengan tipe pulau berbukit batuan granit. Di sekeliling pulau tersebut

dilindungi oleh terumbu karang tepi dengan kontur yang sangat landai yang pada

saat surut rendah paparan karang Pulau Kambuno terlihat tersambung dengan

paparan pulau liang-liang yang terletak di sebelah selatan.

3. Keadaan Iklim

Desa Pulau Harapan mempunyai suhu rata-rata berkisar antara 23,82°C–

27,68 °C. Berdasarkan analisis Smith–Ferguson (tipe iklim diukur menurut bulan

basah dan bulan kering) maka klasifikasi iklim di kecamatan ini termasuk iklim

lembap atau agak basah. Desa Pulau Harapan juga berada di sektor timur,

artinya musim barat terjadi antara Oktober sampai dengan Januari dan musim

timur antara April sampai dengan Juli. Adapun curah hujan di kecamatan ini

berkisar antara 800 – 1000 mm/tahun. Berbeda pada umumnya untuk daerah

perairan pulau sembilan ketika memasuki musin barat kondisi angin dan arus

justru tidak kencang dan ketika memasuki musim timur arah arus dan angin

justru bergerak kencang.

4. Keadaan Sosial Ekonomi

a. Demografi

Jumlah penduduk di Desa Pulau Harapan adalah jumlah penduduk 3.479

jiwa. Penduduk tersebut tersebar di empat dusun yakni Dusun Kambuno Barat,

Dusun Kambuno Timur, Dusun Kambuno Selatan, dan Dusun Pulau Liang-liang.

Penyebaran penduduk tersebut tidak merata pada setiap desa.

33

Berikut jumlah penduduk Desa Pulau Harapan berdasarkan dusun

masing-masing:

Tabel 2. Jumlah Penduduk

Sumber: Data Sekunder, 2015

Berdasarkan dari tabel 2, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbesar

pada Desa Pulau Harapan terdapat pada Dusun Kambuno Selatan yakni

berjumlah 1.101 jiwa dengan persentase 32% sedangkan dusun dengan jumlah

penduduk terendah di Desa Pulau Harapan ini terdapat pada Dusun Pulau Liang-

liang dengan jumlah penduduk 644 jiwa dengan persentase 18%.

Migrasi masyarakat di Desa Pulau Harapan yang terdiri atas dua pulau

yaitu Pulau Kambuno dan Pulau Liang-liang sangat tinggi dalam mencari daerah

penangkapan (fishing ground) baru terutama untuk komoditi lobster dan teripang

yang merupakan hasil ekologis perairan yang menguntungkan dari segi

ekonomis. Aktivitas pencarian hingga penangkapan yang dilakukan oleh nelayan

setempat hingga memasuki daerah teritorial perairan Australia merupakan wujud

dari suatu upaya dalam mencari daerah-daerah potensial penangkapan guna

memenuhi kebutuhan ekonomis nelayan setempat. Berbeda dengan kondisi

masyarakat nelayan pada umumnya apabila pada bulan-bulan yang memasuki

musim angin barat yang tidak melakukan aktivitas penangkapan namun pada

masyarkat nelayan setempat dianggap bukan sebagai halangan untuk melaut,

hal ini dapat dilihat pada hampir keseluruhan penduduk laki-laki yang berprofesi

sebagai nelayan justru berangkat memasuki Selat Madura untuk melakukan

No DUSUN

JUMLAH KK

JENIS KELAMIN (jiwa)

PERSENTASE

L P L+P

1 Kambono Barat 144 362 390 752 22%

2 Kambono Timur 249 504 478 982 28%

3 Kambono Selatan

302 595 506 1.101 32%

4 Pulau Liang-liang 196 319 325 644 18%

Jumlah 890 1.780 1.699 3.479 100%

34

aktivitas penangkapan. Daerah sekitar Selat Madura telah menjadi daerah

penangkapan rutin masyarakat dalam tiga tahun terakhir, hal ini dikarenakan

daerah sekitar selat madura memiliki kelimpahan biota jenis teripang yang dalam

tiga tahun belakangan ini menjadi penangkapan favorit bagi nelayan setempat.

b. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di Desa Pulau Harapan terdiri atas PAUD, Sekolah

Dasar, SMP, SMK, POLINDES, Puskesmas, Posyandu, Mesjid, Lapangan

Olahraga dan Dermaga. Jumlah semua sarana dan prasarana tersebut berbeda-

beda di tiap-tiap dusun.

Berikut jumlah sarana dan prasarana pada tiap-tiap dusun pada Desa

Pulau Harapan:

Tabel 3. Jumlah Sarana dan Prasarana

No

Infrastruktur

Dusun Jumlah Kambuno

Barat Kambuno

Timur Kambuno Selatan

Pulau Liang-Liang

1. TK 1 - 1 1 3

2. SD 1 - 1 1 3

3. SMP 1 - - - 1

4. SMK 1 - - - 1

5. Puskesmas 1 - - - 1

6. Posyandu 1 1 1 1 4

7. Polindes 1 - - - 1

8. Mesjid 1 1 1 4 7

9. Lap. Olahraga

1 - - 1 2

10. Dermaga 1 3 2 2 8

Sumber: Data Sekunder, 2015

Tabel 3 menunjukkan jumlah infrastruktur yang terdapat pada Desa Pulau

Harapan. Dari tabel dapat diketahui bahwa sangat kurangnya fasilitas pendidikan

di setiap dusun serta tidak meratanya pembangunan membuat masyarakat harus

menyebrang pulau untuk dapat bersekolah menuju jenjang pendidikan yang lebih

tinggi dan kesulitan dalam mengakses pengobatan dikarenakan oleh fasiltas

yang kesehatan yang kurang memadai.

35

c. Kondisi Ekonomi

Mata pencaharian pokok penduduk Pulau Kambuno adalah nelayan atau

usaha yang bergerak di bidang perikanan. Perekonomian masyarakat di desa

pulau Harapan dapat dilihat dari kondisi lokasi tempat tinggal mereka yang hanya

berprofesi sebagai nelayan dan pedagang kios-kios kecil yang menjual barang-

barang kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat. Meskipun terdapat pasar,

namun sebagian besar transaksi jual beli, seperti kebutuhan rumah tangga

maupun hasil bumi dilakukan di luar pulau.

Mata pencaharian pokok penduduk Pulau Kambuno adalah nelayan atau

usaha yang bergerak di bidang perikanan. Secara rinci, mata pencaharian

secara umum di Desa Pulau Harapan (Pulau Kambuno dan Pulau Liang-liang)

dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Mata pencaharian penduduk Desa Pulau Harapan

No Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

1. Wiraswasta 78 14,03

2. Pegawai Negeri Sipil 23 4,14

3. Petani 2 0,36

4. Tukang kayu 4 0,72

5. Nelayan 396 71,22

6. Karyawan swasta 43 7,73

7. Bengkel perahu 1 0,18

8. Tukang batu 1 0,18

9. Lain-lain 8 1,44

Jumlah 556 100

Sumber: Data Sekunder, 2015.

Berdasarkan keterangan di atas, menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai

Nelayan berada pada tingkat terbanyak dengan 71,22%. Hal ini bukanlah hal

yang tidak wajar, disebabkan wilayah Desa Pulau Harapan yang memang

berada pada wilayah kepulauan. Sedangkan pekerjaan dengan tingkay terendah

yaitu Bengkel Perahu dan Tukang Batu yang masing-masing berada pada

persentase 0,18%.

36

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk-Bentuk Kegiatan Destructive Fishing di Pulau Kambuno

Kawasan Pulau-pulau kecil merupakan wilayah open access yang

menyebabkan mudahnya terjadi kegiatan penangkapan baik yang dilakukan

secara berkelanjutan dan memenuhi kriteria penangkapan yang sesuai bahkan

penangkapan tidak ramah lingkungan atau yang sering disebut destructive

fishing. Penangkapan ikan secara destruktif atau yang tidak ramah lingkungan

semakin marak terjadi di wilayah perairan indonesia dan temasuk di kawasan

pulau-pulau kecil. Praktik kejahatan destructive fishing ini selain menimbulkan

dampak buruk atau kerugian secara ekologis, juga dapat memberikan kerugian

dalam aspek sosial ekonomi yang besar terhadap daerah kejahatan terjadi.

Pulau Kambuno yang merupakan kawasan pulau-pulau kecil dan sangat

jauh dari pengawasan menjadi salah satu wilayah praktik kejahatan destructive

fishing marak terjadi. Mata pencaharian utama dari masyarakat Pulau Kambuno

adalah bekerja sebagai nelayan, hanya saja dalam memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari melalui penangkapan ikan yang terjadi di daerah tersebut sebagian

besar termasuk melakukan kejahatan destructive fishing.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, bahwa bentuk-bentuk

kegiatan destructive fishing yang terjadi di Pulau Kambuno tergambarkan

sebagai berikut:

1. Penggunaan Bom Ikan

Bom ikan adalah salah satu bentuk kegiatan penangkapan ikan secara

destruktif. Hal ini dikatakan destruktif disebabkan karena melakukan

penangkapan menggunakan bahan peledak yang dapat memberikan dampak

buruk bagi kelestarian lingkungan juga bagi nelayan.

37

a. Sejarah Penggunaan Bom Ikan

Menurut sejarah dan beberapa literatur ilmiah (Pontoh, 2011)

menjelaskan bahwa penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak

atau bom dimulai pada waktu perang Permesta pada tahun 1957-1959. Ketika itu

tentara dari pusat didatangkan ke Sulawesi Utara untuk memberi makan pasukan

yang besar dan dibutuhkan ikan dengan jumlah yang banyak untuk memenuhi

kebutuhan lauk-pauk, maka sorang koki tentara mengajak beberapa nelayan

menangkap ikan dengan menggunakan granat tangan yang dimiliki dan ternyata

hanya dalam waktu yang singkat dapat menghasilkan banyak tangkapan ikan.

Setelah itu, ia mengajarkan cara penggunaannya dan membagikannya kepada

nelayan. Sejak saat itu, mulailah dikenal oleh nelayan cara menangkap ikan

menggunakan bom.

Pada tahun 1979, ketika Indonesia telah aman, warga negara sipil

dilarang menyimpan senjata api atau bom yang dimiliki sekaligus pemerintah

melarang melakukan penangkapan ikan menggunakan bom. Tetapi nelayan

dengan segala kebutuhan dan kreativitasnya berupaya merakit bahan peledak

untuk menangkap ikan dengan mengambil mesiu peluru untuk dimasukkan ke

dalam botol. Hal ini terus berkembang hingga saat ini dan mengalami beberapa

bentuk modifikasi dalam merakit bom.

b. Cara Pembuatan Bom Ikan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan keterangan bahwa alat

dan bahan yang digunakan dalam pembuatan bom ikan adalah Pupuk Cap “X”.

Hal ini disebabkan karena pupuk ini mengandung amonium nitrat yang dapat

digunakan sebagai bahan peledak.

Dalam hal cara pembuatannya, pupuk diaduk dan dicampurkan dengan

minyak tanah lalu dikeringkan melalui penjemuran dengan mengandalkan sinar

matahari. Setelah kering, pupuk tersebut kemudian dimasukkan ke dalam botol.

38

Pemilihan botol juga harus selektif. Botol yang dipilih harus yang berbahan kaca

berukuran tipis, seperti botol Sirup “X” dan sangat mudah didapatkan. Untuk

botol minuman keras berbahan kaca tebal tidak menjadi pilihan untuk

dipergunakan.

Pada bagian sumbunya menggunakan korek kayu Merk “X” sebagai

sumbu peledak atau detonator. Ada berbagai ukuran sumbu yang digunakan,

misalnya 12 cm, 7 cm, 5 cm, 3 cm, dan 2 cm, tergantung kedalaman laut lokasi

penangkapan. Jika lautnya dalam, maka sumbunya harus panjang, dan jika air

lautnya cerah yang menandakan lautnya dangkal maka sumbu yang digunakan

juga harus pendek. Ini dimaksudkan agar bom meledak tepat waktu dan sasaran.

Sumbu yang ukurannya 2 cm diistilahkan oleh pembom sebagai sumbu bismillah

sebab pembom harus mengucapkan Basmalah tepat di saat bom dilepas ke laut

supaya tidak meledak di tangan.

c. Cara Kerja Nelayan Menggunakan Bom

Dalam melakukan operasi penangkapan dengan menggunakan bom,

nelayan bekerja dalam bentuk tim yang pada umumnya terdiri dari 6 sampai 8

orang. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab tersendiri yaitu

Nakhoda Jolloro atau masyarakat sekitarnya menyebut dengan Punggaha Lopi,

Pembom, dan lainnya. Pada pengoperasiannya nelayan saling membagi tugas,

ada yang bertugas sebagai pengintai atau pemantau ikan. Jika terlihat

mengkilap-kilap di permukaan air berarti ada kerumunan ikan dan itulah yang

menjadi target pengeboman. Menurut informan, sebelum membom ikan, di atas

kapal/perahu, para nelayan biasanya mengamati terlebih dahulu kualitas (dalam

hal ini jenisnya) dan kuantitas ikan yang akan dibom.

Ikan-ikan yang menjadi target penangkapan menggunakan bom biasanya

ikan-ikan yang bergerombol (sejenis) dan ikan yang berlindung/berkumpul di

karang-karang (tidak sejenis).

39

Berikut petikan wawancara dengan informan (AS, 25 thn; 7 Januari 2017)

sehubungan dengan fenomena tersebut:

“Biasanya kalau ada kelap-kelip di tengah laut, itu tandanya banyak ikan di situ. Jadi disitu ki lagi melempar.”

Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan informan mengatakan

bahwa ada “kelap-kelip” sebagai penanda bahwa terdapat banyak ikan di wilayah

tersebut. Hal yang dimaksudkan “kelap-kelip” ini merupakan tanda-tanda alam

yang sudah menjadi pengetahuan lokal nelayan itu sendiri. Banyaknya Ikan-ikan

yang bergerombol membuat pergerakan di air serta adanya pengaruh cahaya

sehingga secara tidak langsung menyebabkan akan ada penampakan “kelap-

kelip” di permukaan air, sebagaimana yang dituturkan oleh informan.

Dapat diasumsikan bahwa penggunaan bom ikan dalam melakukan

penangkapan dianggap dapat mengefektifkan hasil tangkapan ikan. Disebabkan

pada saat proses penangkapan yang terjadi kelompok nelayan yang melakukan

pengeboman hanya melemparkan botol (bom) ke perairan di bagian wilayah

berkumpulnya ikan-ikan secara berkelompok yaitu di wilayah karang.

Penggunaan bom dimaksudkan untuk mencegah ikan lolos melarikan diri setelah

ditangkap sebelum dinaikkan ke kapal/perahu. Pertama-tama, nelayan akan

melemparkan bom ke wilayah penangkapan yang telah ditentukan, setelah

proses pengeboman terjadi akan menyebabkan ikan-ikan mati seketika. Langkah

berikutnya, nelayan tinggal memasukkan ikan-ikan tersebut ke dalam jaring lalu

dinaikkan ke atas perahu

Keterangan lain dari informan (KF, 31 thn; 7 Januari 2017) diperoleh

keterangan bahwa para pembom ikan juga memperkirakan berapa keuntungan

mereka kelak jika melakukan penangkapan ikan menggunakan bom, termasuk

didalamnya menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk membeli mesin dan

alat tangkap, bagi hasil dengan punggawa, sampai penjualannya.

40

d. Dampak Negatif Menggunakan Bom Ikan

Penangkapan ikan menggunakan bom memberikan banyak dampak

negatif yang dapat berakibat kepada kerusakan lingkungan perairan, hingga

pada keselamatan kerja nelayan.

Meskipun demikian, berdasarkan pengalaman lapangan sepanjang

penelitian ini dilakukan, peneliti sangat sulit untuk mengidentifikasi para pelaku

bom dikarenakan pada wilayah Pulau Kambuno sudah terbangun sistem

komunikasi yang saling menyembunyikan identitas nelayan pelaku bom. Namun

berdasarkan kasus kecelakaan yang terjadi akibat bom seperti kematian dan

juga luka yang terdapat pada nelayan, secara kasat mata dapat diidentifikasi

orang-orang yang termasuk pelaku bom dan itu dapat mengantarkan peneliti

untuk menggali informasi di pelaku-pelaku lainnya.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Kepolisian Sinjai, juga didapatkan

data mengenai beberapa pelaku yang tertangkap oleh polisi akibat melakukan

penangkapan ikan menggunakan bom. Kasus terakhir yang ada yaitu

penangkapan pelaku bom ikan pada Tahun 2000.

Selain itu, menangkap ikan menggunakan bom juga dapat memberikan

kualitas yang buruk terhadap ikan hasil tagkapan yang ditandai dengan ciri-ciri

ikan hasil pengeboman adalah sebagai berikut; daging agak lunak, daging dan

bagian tubuh kurang cerah, bila daging ditekan dengan jari tampak lekukan,

daging lepas dari tulang dan hancur, daging lembek dan isi perut biasanya

keluar, serta warna daging agak kemerahan terutama di sekitar tulang punggung,

karena pembuluh darah pecah.

2. Penggunaan Bius

Tidak jauh berbeda dengan penggunaan bahan peledak, penggunaan

bahan kimia beracun atau bius dalam melakukan penangkapan juga dapat

dengan mudah menunjang untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan.

41

a. Sejarah Penggunaan Bius Ikan

Sejak perdagangan ikan karang hidup (Life Reef Fish Trade/LRFFT)

diperkenalkan ke Indonesia lebih dari sepuluh tahun yang lalu, ikan karang

khususnya yang bernilai ekonomi tinggi seperti ikan kerapu dan napoleon telah

dieksplorasi dan dieksploitasi secara intensif di seluruh perairan Indonesia

termasuk di Sulawesi Selatan dengan menggunakan metode penangkapan yang

merusak lingkungan dan sumberdaya ikan, khususnya penggunaan obat bius.

Demikian halnya dengan yang terjadi di Kawasan Pulau Sembilan dan

termasuk Pulau Kambuno sendiri. Aktivitas penangkapan ikan dengan

menggunakan alat bantu bius telah menjadi salah satu bentuk kegiatan

destructive fishing yang dilakukan oleh nelayan ikan karang di Pulau Kambuno.

Aktivitas penangkapan ini terus berlanjut dan bahkan menjadi kebiasaan

bagi nelayan Pulau Kambuno, dikarenakan bahan baku pembuatan bius sangat

mudah didapatkan juga termasuk cara pembuatan yang sangat mudah. Bahan

baku didapatkan dari Kota Sinjai lalu dibawa masuk ke pulau oleh penjual eceran

yang kemudian dibeli oleh juragan dan diserahkan kepada penyelam.

b. Cara Pembuatan Bius Ikan

Bahan baku yang digunakan yaitu Potacyium Sianida atau dalam bahasa

lokal masyarakat sekitar menyebutnya Cello atau gula-gula. Bahan ini dijual

secara sembunyi-sembunyi di dalam kawasan pulau itu sendiri dengan harga

berkisar yaitu Rp.350.000,-/kilogram.

Adapun cara pembuatannya juga sangat mudah, yaitu dimulai dari

Potasium diambil sebanyak 3 bulir lalu dilarutkan dengan air dimasukkan ke

dalam botol vitsal atau botol dengan desain semprotan.

42

c. Cara Kerja Nelayan Menggunakan Bius

Dalam operasionalnya, kegiatan penangkapan ikan dengan

menggunakan bius juga dilakukan secara berkelompok. Dalam satu kelompok

terdiri dari 6 orang yang masing-masing memiliki tugas, 2 orang bertugas untuk

melakukan penyelaman. Dua orang yang bertugas sebagai penyelam, mereka

menggunakan kompressor sebagai alat bantu pernafasan ketika di dalam air dan

hal ini dapat membahayakan penyelamnya dikarenakan tidak teraturnya oksigen

yang didapatkan ketika di dalam air. Kemudian 4 orang lainnya bertugas di atas

perahu untuk mengatur hasil tangkapan dan memegang tali untuk penyelam.

Seperti kebiasaannya, waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas

penangkapan menggunakn bius itu yaitu mereka berangkat dari pukul 6 pagi dan

bermalam selama dua hari di lautan sebelum kembali ke daratan. Kegiatan ini

semakin banyak dilakukan pada saat musim ikan yaitu pada bulan Desember-

Maret. Ikan-ikan yang menjadi target penangkapan adalah ikan-ikan yang

memiliki nilai ekonomis tinggi berupa Ikan Sunu, Ikan Napoleon dan juga Ikan

Kerapu. Ikan-ikan hasil pembiusan disimpan sementara di keramba.

d. Dampak Negatif Menggunakan Bius Ikan

Banyaknya dampak negatif akibat melakukan penangkapan ikan

menggunakan bahan kimia atau juga yang dikenal dengan bius ikan ternyata

belum mampu memberi efek jera terhadap pelaku destruktif. Dari beberapa

dampaknya, selain menyebabkan pemutihan karang akibat semprotan, juga

berbahaya terhadap nelayan dalam melakukan operasi penagkapan. Beberapa

nelayan penyelam dapat mengalami kelumpuhan akibat terlalu lama menyelam.

Dari data kepolisian, diperoleh keterangan bahwa pada 27 Desember

2016 ditangkap beberapa nelayan pelaku penangkapan ikan menggunakan bius.

Ini juga merupakan salah satu dampak negatif yang dapat terjadi terhadap

nelayan destruktif menggunakan bius.

43

B. Persepsi Masyarakat Terhadap Perilaku Kejahatan Destructive

Fishing Di Pulau Kambuno

Secara historis, aktivitas nelayan pada masa lalu, Istilah “merusak” atau

“penangkapan yang merusak” (destructive fishing) pada dasarnya tidak dikenal

oleh nelayan. Seluruh aktivitas penangkapan apapun dan bagaimana pun

caranya dianggap legal oleh mereka. Dalam melakukan penangkapan tujuannya

hanya satu yaitu bagaimana mendapatkan hasil tangkapan dalam jumlah

banyak, tidak peduli bagaimana pun caranya. Seiring dengan perkembangan,

sebuah alat tangkap dianggap terlarang ketika telah ada peraturan pemerintah

tentang hal tersebut, tapi selama tidak ada informasi maka alat tangkap apa pun

dianggap legal oleh nelayan. Kenyataan ini dapat dilihat melalui perjalanan

sejarah penggunaan alat tangkap di kepulauan, yang pada awalnya tidak ada

pelarangan terhadap satu pun alat tangkap, menyebabkan masyarakat

melakukan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak dan bius secara

terang-terangan.

Namun, setelah keluarnya aturan pelarangan terhadap teknik

penangkapan tersebut, masyarakat mulai melakukan kamuflase alat tangkap

walaupun sebagian di antaranya masih tetap melakukan secara terang-terangan.

Dengan demikian, istilah alat tangkap atau teknik penangkapan yang merusak

tidak di kenal oleh nelayan, yang ada hanyalah alat tangkap atau teknik

penangkapan yang dilarang. Pandangan masyarakat seperti ini sesungguhnya

dibangun di atas pemahaman yang lahir dari hasil interaksi mereka dengan

sumberdaya. Secara historis, perairan Pulau Kambuno memiliki sumberdaya

alam yang sangat melimpah. Nelayan yang setiap hari menangkap tidak pernah

sekalipun menjumpai hasil tangkapan ikan berkurang jumlahnya walaupun ada

banyak nelayan yang melakukan hal yang sama setiap harinya. Kondisi ini

berjalan bertahun-tahun, sehingga pada akhirnya muncul sebuah kesimpulan

44

bahwa ikan-ikan yang ada di lautan tidak akan pernah habis seberapa pun

banyaknya diambil (ditangkap). Pemikiran inilah yang melandasi pola

pemanfaatan sumberdaya oleh masyarakat. Karena sumberdaya tidak akan

pernah habis, maka semua cara dianggap boleh dalam eksploitasi, termasuk

menggunakan bahan peledak dan bius.

Kaitan dengan dikeluarkannya aturan UU Perikanan No.45 Tahun 2009

yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai,

membawa, dan atau menggunakan alat penangkap ikan yang mengganggu dan

merusak keberlanjutan sumberdaya ikan yang menggangu dan merusak

keberlanjutan sumberdaya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9

dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling

banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Maka kajian analisis persepsi

masyarakat terhadap perilaku kejahatan destructive fishing dianalisis melalui

varibel yang mendorong terjadinya tindakan tingkah laku manusia, berupa:

norma atau aturan, motivasi, tujuan serta situasi/kondisi.

Adapun hasil analisis persepsi masyarakat terhadap perilaku kejahatan

destructive fishing, terjelaskan sebagai berikut:

1. Norma/Aturan

Salah satu faktor yang mengatur tata kelakuan manusia adalah adanya

norma atau aturan yang mengatur serta membatasi dari tindakan atau perilaku

baik secara individu maupun kelompok. Dalam konteks penelitian ini, norma

atau aturan dikaitkan dengan pelarangan berikut sanksi ancaman terhadap

kegiatan destructive fishing. Berdasarkan persepsi masyarakat terhadap

efektivitas atau implementasi aturan yang berlaku terhadap pelarangan kegiatan

destructive fishing di Pulau Kambuno, diperoleh keterangan seperti pada tabel

berikut.

45

Tabel 5. Persepsi terhadap Efektifitas Implementasi Aturan Pelarangan Destructive fishing di Pulau Kambuno

Pandangan Informan Frekuensi Persentase (%)

Sangat Efektif 1 4

Kurang Efektif 14 56

Tidak Efektif 10 40

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer, 2017.

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar informan yaitu 52%

menilai bahwa maraknya kegiatan destructive fishing akibat kurang efektifnya

implementasi aturan yang meralarang kegiatan tersebut. Dalam hal ini,

sosialisasi mengenai Undang-Undang Perikanan No.45 Tahun 2009. Banyak

pelaku destructive fishing (bom dan bius) tidak mengetahui mengenai ancaman

hukuman maupun denda yang dikenakan bagi pelaku pembom dan bius.

Sementara terdapat 40% yang beranggapan tidak efektif, dengan alasan bahwa

banyak pelaku bom atau bius yang tertangkap. Namun tidak pernah sampai ke

pengadilan sehingga efek jera dari aturan malah menjadi sumber pendapatan

bagi oknum yang bersangkutan. Selain itu, terdapat 12% yang berpandangan

bahwa aturan nampak efektif diberlakukan dengan pertimbangan bahwa sering

ada patroli pengawasan yang dilakukan oleh aparat petugas dalam mencari

pelaku bom dan bius.

Gambar 2. Persentase persepsi terhadap Efektifitas Implementasi Aturan

Pelarangan Destructive fishing di Pulau Kambuno.

46

2. Motivasi

Motivasi digunakan untuk menjelaskan adanya daya atau kekuatan yang

mendorong dan mengarahkan orang untuk melakukan aktivitas tertentu.

Sekalipun terdapat banyak definisi yang berbeda, tapi secara umum memberikan

gambaran bahwa karakteristik dari motivasi adalah wilayah yang berfungsi

mengaktifkan perilaku. Sehubungan dengan pengertian motivasi sebagai daya

atau kekuatan yang mendorong dan mengarahkan organisme untuk melakukan

aktivitas tentu tadi, dapat disimak pendapat para ahli sebagai berikut.

McMachon (1986), menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu proses yang

mengarah pada pencapaian suatu tujuan. Menurut Teevan dan Smith (1967),

motivasi adalah suatu konstruksi yang mengaktifkan dan mengarahkan prilaku

dengan cara memberi dorongan atau daya pada orang untuk melakukan suatu

aktivitas. Dengan demikian, Motivasi merupakan penggerak dan pemberi arah

dalam proses munculnya perilaku serta pemberdaya terhadap perilaku yang ada,

sehingga perilaku tersebut tetap persisten (berkesinambungan) sampai tujuan

tercapai. Motivasi sebagai pemberi arah, tentunya arah dimaksud tertuju pada

objek yang berkaitan dengan tujuan perilaku. Atau sebaliknya, mengarahkan

untuk menghindari objek dimaksud. Oleh karena itu motivasi dapat dikatakan

pula sebagai kontrol terhadap perilaku. Di sini dapat dipahami, bahwa dengan

adanya motivasi maka akan muncul suatu proses yang mendorong dan

mengarahkan orang pada suatu tindakan tertentu dan berlangsung secara

persisten sehingga tujuan tercapai.

Kaitan dengan penjelasan sebelumnya maka motivasi juga menjadi hal

yang mempengaruhi bagi nelayan hingga melakukan tindakan yang berupa

perilaku kejahatan destructive fishing. Berikut persepsi masyarakat terhadap hal-

hal yang menjadi motivasi hingga mendorong nelayan untuk tetap melakukan

kejahatan destructive fishing.

47

Tabel 6. Persepsi terhadap Motivasi Nelayan untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive fishing di Pulau Kambuno

Pandangan Informan Frekuensi Persentase (%)

Cepat Mendapatkan Hasil dan banyak 16 64

Pengawasan dari Aparat yang Lemah 5 20

Sumberdaya Ikan tidak akan Habis 4 16

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer, 2017.

Tabel di atas menunjukakan bahwa sebagian besar informan yaitu 64%

menilai bahwa motivasi nelayan untuk tetap melakukan pemboman dan

pembiusan ikan adalah untuk mendapatkan hasil yang cepat dan banyak,

khususnya untuk kegiatan pembiusan dengan ikan target seperti ikan kerapu,

sunu dan napoleon yang habitatnya di sela-sela karang. Jika sebelumnya,

mereka menggunakan pancing maka dengan penggunaan bius, nelayan dapat

langsung melihat keberadaan ikan-ikan karang. Untuk alasan lemahnya

pengawasan aparat, jawaban informan sekitar 20%. Menurut informan lemahnya

pengawasan dari aparat membuat nelayan bebas melakukan kegiatan tersebut.

Ada 16% dari jawaban informan yang mempersepsikan bahwa nelayan pembom

dan pembius masih menganggap bahwa ikan-ikan tersebut tidak akan habis

sehingga tidak menjadi masalah ditangkap dengan cara apapun, termasuk bom

dan bius.

Gambar 3. Persentase Persepsi terhadap motivasi nelayan tetap melakukan

Destructive fishing di Pulau Kambuno.

48

3. Tujuan

Tindakan yang dilakukan seseorang pasti mempunyai alasan atau tujuan

yang jelas atau karena ada dorongan yang kuat untuk melakukan tindakan

ekonomi. Alasan yang mendorong seseorang mendorong seseorang melakukan

tindakan ekonomi dinamakan motif ekonomi. Motif ekonomi adalah usaha atau

upaya-upaya yang membuat manusia terdorong untuk melakukan tindakan-

tindakan ekonomi. Dalam konteks penelitian ini, tujuan dijadikan indikator yang

dilihat, mengapa nelayan tetap melakukan kegiatan destructive fishing. Berikut

persepsi masyarakat terhadap hal-hal yang menjadi tujuan hingga mendorong

nelayan untuk tetap melakukan kejahatan destructive fishing.

Tabel 7. Persepsi mengenai Tujuan Nelayan untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive fishing di Pulau Kambuno.

Pandangan Informan Frekuensi Persentase (%)

Harga ikan yang mahal 20 80

Adanya kepastian pasar 3 12

Menguasai Persaingan Pasar 2 8

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer, 2017.

Tabel di atas menunjukkan bahwa sebanyak 80% informan menilai motif

ekonomi sebagai tujuan nelayan untuk tetap melakukan kegiatan pemboman dan

pembiusan karena adanya harga yang tinggi (khususnya pembiusan ikan-ikan

karang). Terpahami bahwa ikan-ikan karang yang dibius oleh nelayan

merupakan ikan-ikan ekonomis penting dengan tujuan pasar ekspor. Sementara,

12% dari jawaban informan yang menyatakan bahwa pengambilan risiko untuk

tetap melakukan kegiatan destructive fishing karena adanya jaminan pasar.

Artinya semua ikan yang mereka dapatkan ada pembeli yang sudah siap untuk

membeli. Jawaban informan yang menyatakan bahwa nelayan berpikir untuk

menguasai pasar atau mengikat pembeli dengan kontinyuitas ikan yang selalu

49

ada sehingga cara mengebom atau membius dianggap yang paling efektif

dilakukan adalah sebanyak 8%.

Gambar 4. Persepsi mengenai Tujuan Nelayan untuk Tetap Melakukan Aktivitas

Destructive fishing di Pulau Kambuno. 4. Situasi/Kondisi

Situasi atau kondisi, dalam hal ini seseorang harus mempertimbangkan,

berpikir, menaksir, memilih dan memprediksi sesuatu (Matlin, 1998 dalam

Kuntadi, 2004:14). Pilihan atau alternatif yang dihadapi oleh setiap orang

seringkali berlainan, demikian pula dalam hal akibat, risiko maupun keuntungan

dari pilihan yang diambilnya. Hal seperti ini jelas sekali pada gilirannya akan

membuat situasi pengambilan keputusan antara individu yang satu dengan

individu yang lain akan berbeda. Matlin (1998 dalam Kuntadi, 2004:14), pada

penjelasan berikutnya, juga menyatakan bahwa pertimbangan situasi dan kondisi

akan mendorong seseorang dalam pengambilan keputusan atau melakukan

tindakan. Dalam hal ini individu mempertimbangkan, menganalisa, melakukan

prediksi, dan menjatuhkan pilihan terhadap alternatif yang ada berdasarkan

situasi dan kondisi yang dialami atau diprediksikan.

50

Berikut persepsi masyarakat terhadap hal-hal yang menjadi pertimbangan

situasi dan kondisi hingga mendorong nelayan untuk tetap melakukan kejahatan

destructive fishing.

Tabel 8. Persepsi terhadap pertimbangan aspek situasi dan kondisi oleh nelayan untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive fishing di Pulau Kambuno.

Pandangan Informan Frekuensi Persentase (%)

Sanksi hukum yang ringan 5 20

Tersedianya suplai bahan baku 10 40

Motif ekonomi yang menjajikan 10 40

Jumlah 25 100

Sumber: Data Primer, 2017.

Tabel di atas menunjukakan bahwa sebagian besar informan yaitu 80%

menilai motif ekonomi yang menjanjikan dan tersedianya suplay bahan baku

merupakan aspek situasi dan kondisi yang mendorong nelayan untuk tetap

melakukan destructive fishing.

Gambar 5. Persentase Persepsi Terhadap Pertimbangan Aspek Situasi Dan Kondisi Oleh Nelayan Untuk Tetap Melakukan Aktivitas Destructive Fishing Di

Pulau Kambuno.

51

C. Jaringan-Jaringan Pelaku Destructive fishing di Pulau Kambuno

Sebuah organized crime terbentuk oleh adanya jaringan-jaringan yang

saling terhubung dan menjadi suatu alat yang digunakan oleh para pelaku untuk

mencapai tujuannya. Salah satunya pada pelaku kejahatan perikanan yang

melakukan penangkapan secara destruktif atau memberikan dampak kerusakan

bagi lingkungan. Seperti halnya di Pulau Kambuno, berdasarkan penelitian yang

telah dilakukan bahwa masih marak terjadi aktivitas kejahatan destructive fishing

berupa penangkapan dengan penggunaan bom dan juga penggunaan bius.

Jaringan sosial yang terjadi diantara para pelaku destructive fishing yaitu

beragam. Nelayan dengan penggunaan bom dan yang menggunakan bius

menjalankan suatu jaringan yang saling berbeda-beda tergantung sesuai dengan

ikatan dalam mitra kerjanya. Jaringan sosial yang terjadi di kawasan Pulau

Kambuno yaitu jaringan vertikal, jaringan horizontal dan juga jaringan diagonal.

Jaringan vertikal yaitu jaringan yang terjalin satu arah dari bos besar kepada

pekerjanya. Jaringan vertikal yang jaringan yang mengikat mitra dengan

mengutamakan ikatan pertemanan sedangkan jaringan diagonal yang yang

menyatukan mitra kerja yaitu dengan mengutamakan sifat kekeluargaan.

Jaringan pelaku destructive fishing membentuk sebuah jaringan

kejahatan yang terorganisir. Jika ditelusuri dari bagian tersembunyi ke bagian

yang tampak jelas, dapat digambarkan bahwa jaringan kejahatan terorganisisr ini

terjadi oleh sebuah tim, kelompok atau mitra yang saling berhubungan. Dimulai

dari bos besar yang bertugas sebagai pengedar bahan baku, kemudian kepada

juragan darat yang bertugas sebagai pengumpul hasil tangkapan ikan yang

didapat. Kemudian yang bertugas di laut dalam operasi penangkapan yaitu

juragan kapal yang bertugas mengkoordinir kapal beserta para anggota-

anggotanya. Dalam bidang pemasaran juga tidak dapat dipungkiri bahwa yang

52

menjadi bos besar akan mengarahkan seluruh hasil tangkapan yang didapat

untuk dipasarkan baik dalam skala kecil-kecilan ataupun dalam skala besar.

1. Jaringan Suplai Bahan Baku

Pulau Kambuno yang merupakan salah satu pulau yang termasuk di

dalam kawasan Pulau Sembilan terbilang masih cukup lemah pengawasan yang

terjadi mengenai suplai bahan baku yang terus terjadi baik itu jaringan yang

terbentuk dari luar pulau ke dalam pulau maupun jaringan suplai bahan baku

dalam pulau itu sendiri.

Jaringan suplai bahan baku untuk pembuatan bom maupun bius yang

sering digunakan oleh nelayan Pulau Kambuno dalam melakukan penangkapan

secara destruktif itu berbeda. Ada perbedaan antara jaringan-jaringan yang

terjadi untuk suplai bahan baku bom maupun bius.

a. Suplai Bahan Baku Bius

Potasium Cyanida atau dalam bahasa lokal masyarakat menyebutnya

dengan Cello merupakan bahan baku utama dalam pembuatan bius ikan.

Terjadinya destructive fishing menggunakan bius tidak bisa dipungkiri karena

adanya suplai bahan baku bius yang masuk sampai ke tangan nelayan.

Gambar 6. Jaringan Suplai Bahan Baku Bius

53

Dari Gambar 6, didapatkan keterangan bahwa yang menjadi sumber

utama bahan baku bius atau Cello yang digunakan masyarakat adalah dari toko

emas yang ada di Kota Makassar dan juga merupakan salah satu jaringan yang

terjalin dengan para pelaku destructive fishing. Bahan baku ini sebenarnya

merupakan bahan yang digunakan oleh penjual emas untuk meleburkan dan

membersihkan emas dan jika nelayan ingin melakukan aktiviitas pembiusan

hanya mendapatkan bahan dari toko emas.

Berikut petikan wawancara dari informan (YD, 27; 7 Januari 2017)

“Satu ji tempat yang selalu na tempati bos untuk ambil bahan. Dari toko emas langganan yang ada di Makassar. Itu lagi dari Makassar sampai di pulau banyak juga caranya orang bawa masuk ke sini.” Salah satu informan (WN, 29; 7 Januari 2017) juga ikut menambahkan

keterangan:

“Biasa itu bos beli dari pengecer di dalam pulau ji juga, karena lebih gampang didapat barangnya.”

b. Suplai Bahan Baku Bom

Dalam hal jaringan suplai bahan baku yang terjadi pada pelaku

destructive fishing dengan menggunakan bom berbeda dengan jaringan suplai

bahan baku bius. Suplai bahan baku bom memiliki jaringan yang panjang sebab

Pupuk Cap “X” yang merupakan bahan utama dalam pembuatan bom ini diimpor

dan bersumber dari Malaysia.

Pelaku bom lebih mudah diidentifikasi kejahatannya melalui suplai bahan

baku makanya dalam jaringan yang terbentuk bergerak secara lebih aman dan

sembunyi-sembunyi melalui oknum-oknum yang merupakan jaringan pelaku

destructive fishing. Oknum ini ada di setiap wilayah yang merupakan daerah

rawan.

54

Gambar 7. Jaringan Suplai Bahan Baku Bom

Dari gambar 7, diperoleh keterangan bahwa jaringan suplai bahan baku

bom itu yang berasal dari Malaysia dibawa masuk melalui Nunukan. Dari

Nunukan lalu menyebrang ke Sulawesi Selatan masuk ke pelabuhan Pare-Pare.

Setibanya di Pare-Pare, seluruh barang didistribusikan ke masing-masing kota

termasuk Makassar, Pangkep, Bone, maupun Sinjai. Yang berperan sentral

ketika barang sudah masuk ke ke kota-kota adalah para pengecer yang berada

di masing-masing kota yang berperan sebagai pengecer di luar pulau. Inilah

yang menjalin jaringan dengan punggawa pada tiap kelompok pelaku bom, juga

dengan para pengecer yang berada di dalam pulau. Bagi pengecer di dalam

pulau, mereka juga punya jaringan khusus kepada tiap-tiap punggawa yang

terdapat di dalam pulau itu sendiri seperti yang terjadi di lokasi penelitian, Pulau

Kambuno.

2. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Destructive Fishing

Setiap barang atau ikan hasil tangkapan secara destruktif baik yang

menggunakan bom maupun yang menggunakan bius, akan dipasarkan melalui

jalur-jalur yang berbeda, sesuai dengan jaringan-jaringan yang sudah terjadi

secara berulang-ulang dan terorganisir. Hal ini dikarenakan pemasaran ikan yang

55

ditangkap secara illegal juga harus dipasarkan secara aman agar jaringan yang

sudah terbentuk tidak mudah terungkap oleh khalayak maupun pihak yang

berwajib.

Adapun jaringan pemasaran ikan hasil tangkapan secara destruktif oleh

pelaku destructive fishing di Pulau Kambuno adalah sebagai berikut:

a. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Bom

Gambar 8. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Bom

Dari gambar di atas menunjukkan bahwa jaringan sangat berpengaruh

dalam melakukan pemasaran ikan hasil penangkapan dengan menggunakan

bom. Ikan hasil tangkapan dengan menggunakan bom sangat mudah

diidentifikasi oleh pasar dikarenakan dapat terlihat dari daging ikan yang sangat

berbeda dengan ikan-ikan yang ditangkap secara non-destruktif. Maka dari itu,

pelaku kejahatan destructive dengan menggunakan bom ini melakukan

pemasaran secara aman melalui jaringan yang terorganisir dan dikendalikan oleh

oknum-oknum yang juga berupa jaringan agar tidak mudah diketahui oleh

masyarakat pada umumnya.

56

Pemasaran ikan hasil bom dimulai dari nelayan pembom yang lalu

dikumpulkan pada punggawa darat untuk dibawa ke PPI. Ikan yang telah sampai

pada jaringan di PPI kemudian disebar ke pengecer yang kemudian ke

konsumen akhir, juga dapat secara langsung ke konsumen akhir. Ada juga

melalui PPI langsung ke distributor yang merupakan perusahaan mitra lalu ke

konsumen akhir atau juga diberikan ke pengusaha/eksportir untuk dipasarkan ke

pasar Regional maupun Internasional. Punggawa darat juga dapat melakukan

pemasaran langsung ke distributor untuk mencapai pasar yang lebih besar.

Nelayan sendiri dapat melakukan pemasaran langsung ke pengecer untuk

dibawa ke konsumen akhir.

Banyaknya jaringan terorganisir yang menjadi saluran pemasaran ikan

hasil pengeboman, dapat membantu pelaku destructive fishing memasarkan ikan

hasil tangakapannya secara lebih aman. Jaringan-jaringan inilah yang terus

berlaku secara berulang-ulang dan merupakan sebuah organized crime

dikarenakan pada setiap jaringan yang ada merupakan oknum-oknum yang

melancarkan pasar bagi ikan-ikan hasil bom.

b. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Bius

Pemasaran ikan-ikan hasil tangkapan dengan menggunakan bius

berbeda dengan pemasaran ikan-ikan hasil bom, karena ikan-ikan hasil bius

lebih mudah dan lebih cepat dipasarkan oleh pelaku destructive fishing tanpa

melalui jaringan-jaringan yang terlalu banyak.

Pemasaran dilakukan lebih cepat dan untuk menjaga ikan-ikan hasil bius

tetap terawat. Pemasaran ikan hasil bius dimulai dari jaringan terorganisir yang

telah terbentuk dimulai dari nelayan penyelam hingga sampai pada konsumen

akhir di tingkat pasar regional maupun pasar internasional di Hongkong.

Namun, ada perbedaan antara jaringan pemasaran pada ikan hasil bius

yang masih hidup dengan yang sudah mati. Bagi ikan-ikan hasil bius yang tidak

57

dapat bertahan lama langsung dijual ke PPI Lappa agar ikan-ikan itu bisa sampai

ke konsumen akhir.

Gambar 9. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Bius Yang Sudah Mati

Pada ikan yang masih hidup, nelayan penyelam akan meneruskannya ke

punggawa darat yang sekaligus pemilik keramba. Di keramba, ikan-ikan itu

kemudian disimpan sementara waktu hingga distibutor dari Makassar datang

untuk menjemput hasil tangkapan tersebut. Dari Distributor, ikan-ikan tersebut

dijual kepada para pengusaha yang menjual ikan-ikannya hingga ke pasar

internasional.

Gambar 10. Jaringan Pemasaran Ikan Hasil Bius Yang Masih Hidup

Yang berperan sentral pada proses pemasaran ini adalah distributor dari

salah satu perusahaan yang ada di Kota Makassar dan merupakan salah satu

jaringan mitra dari Punggawa dalam Pulau Kambuno. Ikan-ikan didistribusikan ke

Pengusaha-pengusaha atau para eksportir.

58

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk-bentuk kegiatan destructive fishing di Pulau Kambuno adalah

penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan juga bius.

2. Persepsi masyarakat terhadap perilaku kejahatan destructive fishing

menyatakan bahwa hal yang mempengaruhi nelayan melakukan penangkapan

secara destruktif disebabkan oleh kurang efektifnya aturan, nelayan ingin

mendapatkan hasil tangkapan yang banyak secara singkat, adanya pasar yang

jelas baik bagi ikan yang masih hidup ataupun yang sudah mati, serta pengaruh

situasi bahwa suplai bahan baku terus masuk ke pulau dan kemudian

mempengaruhi tindakan nelayan untuk melakukan destructive fishing.

3. Jaringan-jaringan pelaku destructive fishing di Pulau Kambuno sudah

terbentuk dan terorganisir baik dari jaringan suplai bahan baku pembuatan bom

dan bius, maupun jaringan-jaringan pasar bagi ikan-ikan hasil dengan cara

penangkapan yang destruktif.

B. Saran

Pihak-pihak yang terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan,

Kepolisian, serta Pasar perlu bertindak tegas atas segala aktivitas penangkapan

yang secara destruktif dilakukan. Termasuk yang menggunakan bom maupun

bius yang dapat merusak ekosistem dan kelestarian sumberdaya perikanan.

Serta segera mengambil tindakan bila terindikasi melakukan pelanggaran yang

bersifat terus menerus, juga melakukan pemberdayaan intensif untuk

memunculkan kesadaran konservasi sumber daya perikanan agar sekiranya

aktivitas penangkapan yang illegal dapat dihentikan.

59

DAFTAR PUSTAKA

Agusyanto, Rudi. 2007. Jaringan Sosial Dalam Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Arief, A. Adri. 2007. “Artikulasi Modernisasi dan Dinamika Formasi Sosial Pada Nelayan Kepulauan di Sulawesi Selatan (Studi Kasus Nelayan Pulau Kambuno)”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar

Azwar Saifuddin, 1998. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi II, Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Harian Vokal. 24 Desember 2011. “Illegal Fishing, Antara Kesadaran dan Kebutuhan”, Edisi. 546

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke arah Penguasan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Dahuri, Rokhmin. 1998. “Penyusunan Konsep Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Lautan yang Berakar dari Masyarakat Kerjasama Ditjen Bangda dengan Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan”. Laporan Akhir. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Erdmann, M. A. 2004. Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo. The Nature Conservancy.

Harkrisnowo, H. 2004. “Transnational Organized Crime: Dalam Perspektif Hukum Pidana dan Kriminologi”. Indonesian Journal of International Law. Vol. 1(2), Hal. 323-341.

IMA. 2001. “Eksploitasi dan Perdagangan Dalam Perikanan Karang di Indonesia”. CSO 2001. Bogor.

Koentjaraningrat, 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kusnadi,dkk,2009.Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran.IPB Press.Bogor.

La Ode Muh. Yasir Haya, Hazairin Zubair, Darmawan Salman. 2007. “Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Kasus Penangkapan Ikan Yang Merusak (sianida dan bom) di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan”. Jurnal Analisis, Vol. 4, Hal.13-30

Lawang, R.M.Z. 2005. Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologi. Cetakan Kedua. Depok: FISIP UI Press.

60

Maleong, Lexy. J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mattulada, 1983. Kebudayaan Bugis-Makassar. Jakarta: Penerbit Djambatan.

__________. 1997. Sketsa Pemikiran Tentang Kebudayaan, Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

Miles, M. B. dan Huberman, A. M. 1992. Analisis data kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UIPres.

Mukhtar. 2007. Destructive Fishing Di Perairan Propinsi Sulawesi Tenggara, (mukhtar-api.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 5 Januari 2018)

Munandar, S.C. Utami. 1992. Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Lampe. M, Sairin, S & Putra. H.S.A. 2005. “Perilaku Eksploitasi Sumberdaya Perikanan Taka dan Konsekuensi Lingkungan Dalam Konteks Internal dan Eksternal: Studi Kasus Pada Nelayan Pulau Sembilan”. Jurnal Humaniora, Vol. 17, Hal.312-325

Nikijuluw, V.P.H. 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Illegal, Jakarta: PT Pusaka Cidesindo.

Notoatmodjo, Soekidjo, 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Jakarta: Rineka Cipta.

Pontoh, Ontiel. 2011. “Penangkapan Ikan Menggunakan Bom di Daerah Terumbu Karang Desa Arakan dan Wawontulap”. E-Journal Unsrat, Vol. VII-1

Ritzer, G. & Douglas, J. G. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media

Saleh, Amrullah. 2010. “Startegi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) perairan Liukang Tuppabiring Kab. Pangkep”. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar

Sallatang, M. Arifin.1982. Pinggawa-Sawi; Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil. Jakarta: Depdikbud.

Setyohadi., 2006. Agroindustri, Hasil Tanaman Perkebunan. Jurusan THP, FP USU, Medan.

Siagian, Sondang P. 1995. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.

Skinner, 1976. The Experimental an Analysis of Behavior, New York: Viking Press.

61

Soekanto, Soerjono. 1983. Beberapa Teori Tentang Struktur Masyarakat. Jakrta: PT Raja Grafindo Persada

_________________, 1996. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa

Sumaatmadja, Nursid. 1997. Metode Pengajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara

Susiatik T. 1998. “Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Kegiatan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDHT) di Desa Mojorebo Kecamatan Wirosari Kabupaten Dati II Grobogan Jawa Tengah” Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Walgito, Bimo. 1999. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Offset.

____________.2002.Pengantar Psikologi Umum.Yogyakarta: Andi Offset

Yin, Rober K. 1996. Studi Kasus : Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.

62

LAMPIRAN

63

1. Lampiran Peta Lokasi Penelitian

a. Peta kawasan pulau-pulau kecil Kecamatan Pulau Sembilan Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan

b. Peta lokasi penelitian

c. Peta area penangkapan ikan

Lokasi

Penelitian

Lokasi penangkapan ikan

64

2. Lampiran Foto Kegiatan

a. Wawancara dengan Kepolisian Sinjai

b. Wawancara dengan informan (Penyelam)

c. Wawancara dengan Bos Ojan d. Wawancara dengan Kepolisian Sinjai

e. Wawancara Dengan Informan f. Wawancara dengan informan

65

3. Lampiran Foto Bahan Bom dan Bius

Botol Bom1 Pupuk2 Sumbu Peledak3

Korek Kayu4 Penyemprot Bius5 Kompressor6

1 Sumber foto; http://3.bp.blogspot.com 2 Sumber foto: http://lintasterkini.coml 3 Sumber foto: http://1.bp.blogspot.com 4 Sumber foto: http://tribratanewspolreskolaka.com 5 Sumber foto: https://www.facebook.com/photo.php 6 Sumber foto: dokumen pribadi

66

Lampiran 4. Data Informan

NO

NAMA

UMUR

(TAHUN)

JENIS

KELAMIN

PEKERJAAN UTAMA

PEKERJAAN SAMPINGAN

TEMPAT TINGGAL

JUMLAH

TANGGUNGAN (ORANG)

1 Mukhsin 17 Laki-laki Pelajar SMK Nelayan Bom Pulau Kambuno -

2 Aslam 25 Laki-laki Nelayan Penyelam - Pulau Kambuno -

3 Ojan 31 Laki-laki Bos Nelayan Pembius dan Pemilik Keramba

- Pulau Kambuno 6

4 Daeng Aco 35 Laki-laki Kepala Dusun Kambuno - Pulau Kambuno 3

5 Hj. Nure 40 Laki-laki Pensiunan Nelayan Bom - Pulau Kambuno 3

6 Ashadi Jahri 23 Laki-laki Polisi (Bripda) - Kota Sinjai -

7 Yantar, SH 47 Laki-laki Polisi (Aiptu) - Kota Sinjai 4

8 Yadi 27 Laki-laki Nelayan Penyelam - Pulau Kambuno -

9 Takim 25 Laki-laki Nelayan Penyelam - Pulau Kambuno -

10 Wandi 29 Laki-laki Nelayan Penyelam - Pulau Kambuno -

11 Ibu Ira 38 Perempuan Sekretaris Desa IRT Pulau Kambuno -

12 Hj. Bunga 52 Perempuan Pengrajin Bunga Hiasan IRT Pulau Kambuno 7

13 Kifli 31 Laki-laki Nelayan Bom - Pulau Kambuno 4

14 Said 39 Laki-laki Nelayan Bom - Pulau Kambuno 4

15 Muhlis 28 Laki-laki Nelayan Penjual Pulau Kambuno 2

16 H. Nata 48 Laki-laki Guru Mengaji - Pulau Kambuno 1

17 Lina 30 Perempuan Penjual Eceran - Pulau Kambuno 3

18 Sudirman 46 Laki-laki Nelayan Pulau Kambuno 4

19 Rais 29 Laki-laki Nelayan Pulau Kambuno 6

20 Dandi 33 Laki-laki Nelayan Pulau Kambuno 5

20 Ridwan 42 Laki-laki Nelayan Pulau Kambuno 4

21 Sirajuddin 34 Laki-laki Nelayan - Pulau Kambuno 8

22 Sappe 42 Laki-laki Nelayan - Pulau Kambuno 6

23 Rusli 51 Laki-laki Nelayan - Pulau Kambuno 5

24 Alwi 50 Laki-laki Nelayan - Pulau Kambuno 4

25 Rahmad 34 Laki-laki Nelayan - Pulau Kambuno 2