analisis hubungan kausalitas antara bi rate …eprints.ums.ac.id/31667/11/naskah_publikasi.pdfkarena...
TRANSCRIPT
ANALISIS HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA BI RATE DENGAN
INFLASI DI INDONESIA PERIODE JULI 2006-JULI 2013
MENGGUNAKAN METODE GRANGER DAN FINAL PREDICTION
ERROR
NASKAH PUBLIKASI
Disusun Oleh :
LILIS SETIOWATI
B300100052
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
ANALISIS HUBUNGAN KAUSALITAS ANTARA BI RATE DENGAN
INFLASI DI INDONESIA PERIODE JULI 2006-JULI 2013
MENGGUNAKAN METODE GRANGER DAN FINAL PREDICTION
ERROR.
Lilis Setiowati
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul “Analisis Hubungan Kausalitas Antara BI Rate
Dengan Inflasi Di Indonesia Periode Juli 2006 - Juli 2013 Menggunakan Metode
Granger Dan Final Prediction Error”. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pola kausalitas antara BI Rate dengan inflasi di Indonesia.
Berdasarkan hasil pengujian diperoleh hasil bahwa terjadi pola hubungan
satu arah pada uji kausalitas Granger yaitu perubahan inflasi menyebabkan
perubahan BI Rate, dengan melihat probalitas pada lag 4 yaitu sebesar 0.0103 <
0,05. Sedangkan pada uji Final Prediction Error menunjukkan bahwa terdapat
pola kausalitas dua arah antara variabel BI Rate dan variabel inflasi yang terjadi di
Indonesia Dimana 3.36E-05>2.67E-05 artinya variabel BI Rate mempengaruhi
Inflasi, sedangkan 1.61E-06>1.83E-07 artinya variabel inflasi (INF) menyebabkan
BI Rate (R).
Dari hasil tersebut, penulis menyarankan kepada Pemerintah harus lebih
teliti dalam menentukan kebijakan untuk mengendalikan tingkat suku bunga dan
laju inflasi agar stabilitas perekonomian di Indonesia tetap stabil.
Kata kunci : BI Rate, Inflasi, Uji Kausalitas Granger dan Final Prediction Error
(FPE).
1
I. PENDAHULUAN
Perkembangan perekonomian di dasari oleh dua indikator ekonomi
makro yaitu tingkat bunga (BI Rate) dan inflasi. Pertumbuhan ekonomi yang
melambat ditandai dengan meningkatnya angka inflasi dan kenaikan tingkat
suku bunga. Tugas utama Bank Indonesia adalah menjamin stabilitas harga
(inflasi yang terkendali). Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter
melalui berbagai instrumen, diantaranya melalui tingkat bunga. Ketika laju
inflasi bergerak cenderung melebihi target inflasi, Bank Indonesia menaikan
tingkat bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Inflasi merupakan kecenderungan kenaikan harga-harga secara umum
dan terus-menerus. Inflasi dapat berdampak buruk bagi masyarakat yang
memiliki penghasilan tetap. Karena, dengan adanya inflasi (kenaikan harga),
penghasilan riil mereka akan turun. Dengan demikian kemampuan mereka
memenuhi kebutuhan hidup (daya beli) juga akan berkurang. Secara umum dan
sederhana inflasi dapat disebabkan oleh dua hal yaitu inflasi yang timbul
karena adanya permintaan masyarakat yang berlebih dan inflasi yang terjadi
karena adanya kenaikan biaya produksi, fenomena inflasi yang diakibatkan
oleh tarikan permintaan, secara umum ada kecenderungan meningkatnya
output secara bersamaan dengan harga barang (Boediono, 1982).
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap
kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan
kepada publik. BI Rate ini yang kemudian akan diatur untuk menjaga inflasi
agar tetap stabil dan rendah. Mekanisme bekerjanya BI Rate hingga
mempengaruhi tujuan akhir kebijakan moneter berupa inflasi yang disebut
sebagai mekanisme kebijakan moneter. Sasaran operasional kebijakan moneter
dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank
Overnight (PUAB). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan
diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku
bunga kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain
dalam perekonomian (Bank Indonesia, 2013)
2
II. LANDASAN TEORI
A. Definisi Kebijakan Moneter
Didalam ekonomi moneter, dijelaskan bahwa inflasi adalah fenomena
moneter. Ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran terhadap
uang akan menyebabkan munculnya inflatoar dan memicu laju pertumbuhan
inflasi. Oleh sebab itu keseimbangan antara jumlah uang beredar dan
kebutuhan terhadap uang di masyarakat harus selalu dipantau. Pemerintah
sejak Orde Baru setiap tiga bulan sekali melakukan sidang kabinet terbatas
yang membahas bidang ekonomi, industri, perdagangan, dan keuangan yang
termasuk pula jumlah uang yang beredar di masyarakat.
Kebijaksanaan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran
menengah yang menetapkan tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong
kegiatan investasi. Apabila suku bunga menunjukan kenaikan melampaui
angka yang ditetapkan, maka bank sentral akan segera melakukan ekspansi
moneter agar suku bunga turun sampai pada tingkat yang ditetapkan.
Sebaliknya apabila suku bunga menurun, maka bank sentral akan melakukan
kontraksi moneter. Di sini terlihat bahwa di satu pihak suku bunga dapat
diupayakan untuk tetap stabil, tetapi di pihak lain monetary agregate akan
bergejolak naik turun untuk mempertahankan suku bunga yang ditetapkan.
a. Adapun instrumen yang sering digunakan pemerintah dalam melakukan
kebijakan moneter antara lain (Algifari dkk,1998):
1. Open Market Operation (Operasi Pasar Terbuka)
2. Reserves Requirement (Cadangan Minimum)
3. Rediscount Policy (Politik Diskonto)
4. Selective Credit Control
B. Pengertian BI Rate
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau
stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan
diumumkan kepada publik. Sasaran operasional kebijakan moneter
dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank
Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan
3
akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya
suku bunga kredit perbankan. Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor
lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan
BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah
ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila
inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan
(Bank Indonesia 2013).
C. Teori Klasik Tingkat Bunga
Tabungan, menurut teori klasik adalah fungsi dari tingkat bunga. Makin
tinggi tingkat bunga maka makin tinggi pula keinginan masyarakat untuk
menabung. Artinya, pada tingkat bunga lebih tinggi masyarakat akan lebih
terdorong untuk mengorbankan/mengurangi pengeluaran untuk konsumsi
guna menambah tabungan.
Investasi merupakan fungsi dari tingkat bunga. Makin tinggi tingkat
bunga maka keinginan untuk melakukan investasi juga makin kecil.
Alasannya, seorang pengusaha akan menambah pengeluaran investasinya
apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari tingkat
bunga yang harus dibayar untuk dana investasi tersebut yang merupakan
ongkos untuk penggunaan dana. Makin rendah tingkat bunga, maka
pengusaha akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sabab biaya
pengguna dana juga makin kecil. Tingkat bunga dalam keadaan
keseimbangan artinya tidak ada dorongan untuk naik atau turun, akan tercapai
apabila keinginan menabung masyarakat sama dengan keinginan pengusaha
untuk melakukan investasi.
D. Pengertian Inflasi
Inflasi merupakan kecenderungan dari harga-harga barang untuk
meningkat secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau
dua barang saja tidak disebut fenomena inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut
meluas atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-
barang lain. Syarat ada kecenderungan menaik terus-menerus juga perlu
diingat. Kenaikan harga-harga karena misalnya musiman, menjelang hari-
4
hari besar, atau yang terjadi sekali saja dan tidak mempunyai pengaruh
lanjutan maka tidak disebut inflasi. Kenaikan harga semacam ini tidak
dianggap sebagai masalah atau “penyakit” ekonomi dan tidak memerlukan
kebijaksanaan khusus untuk menanggulanginya. Secara umum dan sederhana
inflasi dapat disebabkan oleh dua hal yaitu inflasi yang timbul karena adanya
permintaan masyarakat yang berlebih dan inflasi yang terjadi karena adanya
kenaikan biaya produksi (Boediono, 1998).
E. Teori Inflasi
1. Teori Kuantitas
Adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini (yang
akhir-akhir ini mengalami penyempurnaan-penyempurnaan oleh kelompok
ahli ekonomi Universitas Chicago) masih sangat berguna untuk
menerangkan proses inflasi di zaman modern ini, terutama di negara-
negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam
proses inflasi dari jumlah uang beredar, dan psikologi harapan masyarakat
mengenai kenaikan-kenaikan harga (expectation).
2. Teori Keynes
Teori ini inflasi didasarkan atas teori makronya, dan menyoriti aspek
lain dari inflasi. Menurut teori ini inflasi terjadi karena suatu masyarakat
ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya. Proses inflasi, menurut
pandangan ini, tidak lain adalah proses perebutan bagian rezeki di antara
kelompok-kelompok sosial yang menginginkan bagian yang lebih besar
daripada yang bisa disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan
ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan di mana permintaan
masyarakat akan barang=barang selalu melebihi jumlah barang-barang
yang tersedia atau disebut dengan inflationary gap.
3. Teori Strukturalis
Teori strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas
pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan
pada ketegaran (inflexibilities) dari struktur perekonomian negara-negara
sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor
5
struktural dari perekonomian (menurut definisi, faktor-faktor ini hanya
bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa
disebut teori inflasi “jangka panjang”.
F. Hubungan BI Rate dengan Inflasi
Hubungan antara laju inflasi dan tingkat bunga dapat juga dijelaskan
dari sisi lain, yakni laju inflasi akan berpengaruh terhadap suku bunga. Laju
inflasi yang relatif tinggi mendorong bank sentral mengambil kebijakan
moneter untuk mengantisipasi inflasi tinggi tersebut. Salah satu instumen
kebiajakan moneter dalam mengendalikan laju inflasi adalah tingkat bunga
(rediscount policy). Jadi dalam konteks ini laju inflasi menentukan tingkat
bunga.
Persamaan Fisher dapat pula digunakan untuk menggambarkan
hubungan antara tingkat bunga dengan laju inflasi. Tingkat bunga yang
diperoleh dari mendepositokan uang di bank merupakan pendapatan yang
diperoleh pemilik uang. Namun demikian tingkat bunga yang dihasilkan dari
deposito tersebut tidaklah menggambarkan kenaikan nilai uang yang
sesungguhnya, karena dalam masa periode deposito terjadi perubahan harga.
Misalnya dalam masa periode deposito terjadi kenaikan harga (inflasi), maka
sebenarnya kenaikan nilai uang yang didepositokan adalah sebesar tingkat
bunga dikurangi laju inflasi. (Mankiw, 2003).
Pemberi pinjaman dan peminjam lebih memperhatikan tingkat bunga
rill dibandingkan tingkat bunga nominal. Tingkat bunga rill diketahui hanya
setelah kenyataannya terjadi, yaitu hanya setelah inflasi betul-betul terjadi.
Tingkat bunga nominal selalu positif, tetapi tingkat bunga rill bisa saja
menjadi negatif.
Karena masa depan tidak pasti, pemberi pinjaman dan peminjam harus
membentuk ekspektasi atau perkiraan mengenai inflasi, dan kemudian
mendasarkan kemauannya untuk meminjam atau meminjamkan pada
ekspektasi tersebut. Bila hal lain diasumsikan konstan, semakin tinggi
ekspektasi tingkat bunga, semakin tinggi juga tingkat bunga nominal yang
diinginkan pemberi pinjaman dan yang mau dibayar oleh peminjam.
6
Peminjam dan pemberi pinjaman mendasarkan keputusannya pada ekspektasi
tingkat bunga rill, yaitu tingkat bunga nominal dikurangi ekspektasi tingkat
inflasi (Eachern, 2000).
Perubahan BI Rate akan mempengaruhi beberapa variabel
makroekonomi yang kemudian diteruskan kepada inflasi. Perubahan berupa
peningkatan level BI Rate bertujuan untuk mengurangi laju aktifitas ekonomi
yang mampu memicu inflasi. Pada saat level BI Rate naik maka suku bunga
kredit dan deposito pun akan mengalami kenaikan. Ketika suku bunga
deposito naik, masyarakat akan cenderung menyimpan uangnya di bank dan
jumlah uang yang beredar berkurang. Pada suku bunga kredit, kenaikan suku
bunga akan merangsang para pelaku usaha untuk mengurangi investasinya
karena biaya modal semakin tinggi. Hal demikianlah yang meredam aktivitas
ekonomi dan pada akhirnya mengurangi tekanan inflasi.
Sebaliknya pada saat level BI Rate turun maka suku bunga kredit dan
deposito pun akan mengalami penurunan. Ketika suku bunga deposito turun,
keinginan masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank akan menurun.
Kondisi ini memicu peningkatan jumlah uang beredar yang selanjutnya akan
meningkatkan transaksi masyarakat. Pada suku bunga kredit, penurunan suku
bunga akan merangsang peningkatan permintaan kredit dari pelaku usaha
karena murahnya biaya modal. Pada kondisi ini maka keadaan ekonomi yang
lesu akan segera meningkat. Adanya tambahan likuiditas yang ada di
masyarakat untuk bertransaksi akan diimbangi oleh peningkatan produksi di
sisi pelaku usaha maka pada akhirnya akan meningkatkan kegiatan ekonomi
(Yodiatmaja, 2012)
III. Metode Analisis Data
A. Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Bank Indonesia, yaitu
BI Rate dan inflasi pada periode bulan Juli 2006 s/d bulan Juli 2013.
Definisi Operasional Variabel
7
1. BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada
masyarakat. Data dalam satuan persen % (Bank Indonesia, 2013).
2. Inflasi merupakan kecenderungan dari harga-harga barang yang meningkat
secara umum dan terus menerus. Data dalam satuan persen % (Boediono,
1992).
B. Metode Analisis Data
Untuk membuktikan secara empiris hipotesis yang dikemukakan maka
dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan analisis kausalitas Granger
dan kausalitas Final Prediction Error (FPE) yaitu merupakan sebuah metode
analisis untuk mengetahui kausalitas antara dua variabel dengan menggunakan
program Eview.
Pada data urut waktu (time series) sering terjadi hubungan korelasi yang
lancung (spurious) karena masalah data yang tidak stasioner dan tidak
terkointergrasi. Oleh karena itu di dalam penelitian ini dilakukan tahapan analisis
sebagai berikut :
1. Uji Stasioneritas
Suatu data urut waktu dikatakan stasioner apabila rata-rata, varian dan
otokovarian pada berbagai waktu kelambanan (lag) bernilai konstan pada titik
waktu yang manapun dilakukan. Pada data urut waktu yang stasioner, pada
dasarnya tidak ada gerakan trend yang bersifat sistematik, artinya
perkembangan nilai variabel diakibatkan faktor random yang stokastik.
Metode pengujian stasioneritas uji ADF (Augmented Dickey Fuller)
dengan waktu kelambanan maksimum (k) hingga sebesar . Model
pengujiannya adalah sebagai berikut (Gujarati, 2003):
∑
∑
8
∑
Hipotesis uji ADF adalah: HO : = 0 (data tidak stasioner) dengan HA :
< 0 (data stasioner). Apabila koefisien > 0 (positif), maka uji ADF tidak
valid dikarenakan data urut waktu yang diuji berarti bersifat eksplosif. Model
uji ADF terbaik adalah model yang memiliki nilai akaike information
criterion (AIC) minimum (Gujarati, 2003).
2. Uji Kausalitas Granger
Uji kausalitas granger yaitu untuk menganalisa pola hubungan
kausalitas atau hubungan timbal balik antara dua variabel yang di teliti.
Granger mengemukakan definisi kausalitas adalah variabel X dikatakan
menyebabkan Y jika variasi Y dapat dijelaskan secara lebih baik dengan
menggunakan nilai masa lalu X dibandingkan jika tidak menggunakannya
(Gujarati, 1995).
Dua perangkat data time series yang linier berkaitan dengan variabel
BI Rate (Rt) dan inflasi (INFt) diformulasikan dalam dua bentuk model
regresi sebagai berikut (Purnomo, 2004).
∑
∑
∑
∑
Dimana :
Rt = BI Rate (tingkat suku bunga)
INFt = Inflasi
n,m = Jumlah lag
Ut, Vt = Variabel Pengganggu
Hasil-hasil regresi kedua bentuk model ini akan menghasilkan empat
kemungkinan mengenai nilai koefisien-koefisien regresi masing-masing
yaitu (Purnomo, 2004):
9
∑
∑
Maka terdapat kausalitas satu arah dari
variabel BI Rate dengan variabel inflasi
∑
∑
Maka terdapat kausalitas satu arah dari
variabel inflasi dengan variabel BI Rate
∑
∑
Maka tidak ada hubungan kausalitas antara
kedua variabel tersebut
∑
∑
Maka terdapat kausalitas dua arah antara
variabel BI Rate dengan variabel inflasi
3. Kausalitas Final Predicition Error (FPE)
Analisis kausalitas Final Predicition Error (FPE) pada dasarnya
merupakan uji kausalitas Granger dengan penentuan lag (waktu kelambanan)
maksimal tidak secara sembarangan. Dalam uji kausalitas FPE, penentuan lag
ini didasarkan pada kriteria Final Prediction Error yang dikenalkan oleh
Akaike. Oleh karena itu, formulasi model uji kausalitas FPE pada dasarnya
sam dengan formulasi uji kausalitas Granger sebagai berikut (Akaike, 1969):
∑
∑
∑
∑
Uji kausalitas FPE, namun demikian, memiliki langkah-langkah
estimasi model dan kriteria penentuan arah kausalitas yang sangat berbeda
dengan uji kausalitas Granger. Apabila pada uji kausalitas Granger k
ditentukan secara seragam dan sama bagi semua model dan variabel, pada uji
kausalitas FPE estimasi model, penentuan waktu kelambanan, dan arah
kausalitasnya, dilakukan secara bertahap. Untuk mengetahui apakah BI Rate
(R) menyebabkan inflasi (INF), misalnya harus dilakukan langkah-langkah
sebagai berikut (Utomo, 2012):
10
1. Regres INF dengan nilai masa lalu INF dengan berbagai waktu
kelambanan maksimum (m) yang berbeda-beda:
∑
2. Hitung nilai FPE untuk masing-masing nilai m dengan rumus :
( )
Pada saat FPER (m) minimum berarti m ini adalah waktu
kelambanan maksimum optimal untuk variabel R, sebut saja sebagai
FPER (m,o).
3. Regres kembali R terhadap nilai masa lalu R dengan waktu
kelambanan maksimum optimal (m,o) dan masa lalu nilai variabel R
dengan berbagai kelambanan maksimum (n) yang berbeda-beda:
∑
( )
∑
4. Hitung nilai FPE untuk masing-masing nilai n dengan rumus :
( ) ( )
( )
Pada saat FPER (m,o) minimum berarti n ini adalah waktu
kelambanan maksimum optimal untuk variabel INF, sebut saja
sebagai FPER (m,o).
5. Bandingkan FPER (m,o) dengan FPEINF (mn,o). Apabila FPER (m,o)
< FPER (mn,o) berarti model yang tepat adalah model tanpa
keberadaan variabel INF, artinya INF tidak menyebabkan R. Apabila
FPER (mn,o) < FPER(m,o) berarti model yang tepat adalah model
dengan keberadaan variabel INF, artinya INF menyebabkan R.
Langkah yang sebaliknya dapat dilakukan untuk menguji
apakah R berpengaruh terhadap INF.
IV. Hasil Analisis
A. Kausalitas Granger
11
Dari hasil uji kausalitas Granger, selama periode pengamatan yang
meliputi rentan waktu bulan Juli 2006 hingga Juli 2013 menunjukkan bahwa
terdapat pola kausalitas satu arah antara variabel BI Rate dan variabel inflasi
yang terjadi di Indonesia. Pada hubungan BI Rate (R) dan inflasi (INF)
ditunjukan H0 diterima, berarti BI Rate (R) tidak mempengaruhi inflasi (INF),
dengan melihat probabilitas pada lag 4 yaitu sebesar 0.6454 > 0,05. Untuk
hubungan Inflasi (INF) terhadap BI Rate (R) ditunjukkan dengan H0 ditolak,
berarti inflasi (INF) mempengaruhi BI Rate (R), dengan melihat probabilitas
pada lag 4 yaitu sebesar 0.0103 < 0,05. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
pola hubungan kausalitas satu arah antara Inflasi dengan BI Rate di
Indonesia. Artinya, bahwa tingkat kenaikan inflasi setiap bulannya
mempengaruhi kenaikan tingkat suku bunga setiap bulannya dan berbeda
apabila tingkat bunga setiap bulannya tidak mempengaruhi kenaikan inflasi
setiap bulannya yang terjadi di Indonesia.
B. Kausalitas Final Prediction Error (FPE)
Dari hasil uji Final Prediction Error (FPE), selama periode pengamatan
yang meliputi rentan waktu bulan juli 2006 hingga juli 2013 menunjukkan
bahwa terdapat pola kausalitas dua arah antara variabel BI Rate (R) dan
variabel inflasi (INF) yang terjadi di Indonesia. Dimana 3.36E-05>2.67E-05
artinya variabel BI Rate mempengaruhi Inflasi, sedangkan 1.61E-06>1.83E-
07 artinya variabel inflasi (INF) menyebabkan BI Rate (R).
C. Perbedaan Pola Kausalitas antara BI Rate dengan inflasi di Indonesia
Menggunakan Uji Kausalitas Granger dan Final Prediction Error
Pada uji kausalitas Granger, selama periode pengamatan yang meliputi
rentan waktu bulan Juli 2006 hingga Juli 2013 menunjukkan bahwa terdapat
pola kausalitas satu arah antara variabel BI Rate dan variabel inflasi yang
terjadi di Indonesia. Pada hubungan BI Rate (R) dan inflasi (INF) ditunjukan
H0 diterima, berarti BI Rate (R) tidak mempengaruhi inflasi (INF), dengan
melihat probabilitas pada lag 4 yaitu sebesar 0.6454 > 0,05. Untuk hubungan
Inflasi (INF) terhadap BI Rate (R) ditunjukkan dengan H0 ditolak, berarti
inflasi (INF) mempengaruhi BI Rate (R), dengan melihat probabilitas pada
12
lag 4 yaitu sebesar 0.0103 < 0,05. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pola
hubungan kausalitas satu arah antara Inflasi dengan BI Rate di Indonesia.
Artinya, bahwa tingkat kenaikan inflasi setiap bulannya mempengaruhi
kenaikan tingkat suku bunga setiap bulannya dan berbeda apabila tingkat
bunga setiap bulannya tidak mempengaruhi kenaikan inflasi setiap bulannya
yang terjadi di Indonesia.
Sedangkan hasil uji Final Prediction Error (FPE), selama periode
pengamatan yang meliputi rentan waktu bulan juli 2006 hingga juli 2013
menunjukkan bahwa terdapat pola kausalitas dua arah antara variabel BI Rate
(R) dan variabel inflasi (INF) yang terjadi di Indonesia. Dimana 3.36E-
05>2.67E-05 artinya variabel BI Rate mempengaruhi Inflasi, sedangkan
1.61E-06>1.83E-07 artinya variabel inflasi (INF) menyebabkan BI Rate (R).
V. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, maka penulis memberikan
saran yang mudah-mudahan dapat dijadikan pertimbangan para pembaca
dalam melakukan penelitian selanjutnya. Dari analisis permasalahan penulis
menyarankan sebagai berikut :
1. Bagi pemerintah harus lebih teliti dalam menentukan kebijakan untuk
mengendalikan tingkat suku bunga dan laju inflasi agar stabilitas
perekonomian Indonesia tetap stabil.
2. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin meneliti mengenai BI Rate
dengan inflasi, agar hasil penelitian lebih valid maka jumlah observasi
harus lebih banyak.
VI. Daftar Pustaka
Anonim-Bank Indonesia. 2013. BI Rate. http://www.bi.go.id. (Oktober 2013)
Anonim-Bank Indonesia. 2013. Inflasi. http://www.bi.go.id. (Oktober 2013)
Algifari. 2009. “Model Vector Auto Regressive Laju Iinflasi Dan Tingkat
Bunga Di Indonesia”. Jakarta
Almilia, Luciana Spica dan Utomo, Anton Wahyu. (2006). “Faktor-faktor yang
mempengaruhi Tingkat Suku Bunga Deposito Berjangka pada Bank Umum di
Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis ANTISIPASI Vol. 10. No. 1.
Boediono. 1992. Ekonomi Moneter. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE
13
Boediono. 1982. Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE
Eachern diterjemahkan Triandaru Sigit. 2000. Ekonomi Makro. Jakarta:
Salemba Empat
Ernawati, Neny dan Llewelyn, Richard. (2002). “Analisa Pergerakan Suku
Bunga dan Laju Ekspektasi Inflasi untuk Menentukan Kebijakan
Moneter di Indonesia”. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 4,
No. 2 : 98 – 107.
Gul, Ekrem dan Ekinci, Aykut. (2006). “ The Causal Relationship Between
Nominal Interest Rates and Inflasion”. Scientific Journal od
Administrative Development, Vol. 4: 54-69.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometric. Third Edition. Singapore:
McGraw Hill Book Co
Mangkoesoebroto and Algifari. 1994. Teori Ekonomi Makro. Edisi 2.
Yogyakarta: STIE YKPN
Mankiw, N. Gregory. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi 4. Jakarta: Erlangga
Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter Buku I. Yogyakarta: BPFE
Utomo, Yuni Prihadi. 2012. Eviews: Buku Praktek Komputer Statistik II. FE-
UMS
Purnomo, Didit. 2004. “Kausalitas Suku Bunga Domestik dengan Tingkat
Inflasi di Indonesia”. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Volume 5, No. 2.
50-56.
Purnomo, Riyadi Sri. 2003. “Analisis instrumen tingkat suku bunga SBI dan
hubungan antara kebijakan SBI dengan tingkat inflasi di Indonesia
periode 1999 – 2002”. UNS-F. Ekonomi
Setyowati Endang, dkk. 2004. Ekonomi Makro Pengantar. Edisi 2.
Yogyakarta: STIE YKPN
Sundari, Triwik. 2003. “Analisis Hubungan Kausalitas Antara Tingkat Bunga
Domestik”. Skripsi : Universitas Muhammadiyah Surakarta
Yodiatmaja, Banu. 2012. “Hubungan Antara BI Rate Dan Inflasi Periode Juli
2005 – Desember 2011 : Uji Kausalitas Toda–Yamamoto”. Universitas
Negeri Semarang. Indonesia