analisis harga pokok produksi ball bearing dengan metode activity-based costing di pt skf indonesia
TRANSCRIPT
i
ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI BALL BEARING DENGAN METODE ACTIVITY-BASED COSTING DI PT
SKF INDONESIA
Di ajukan sebagai salah satu persyaratan kelulusan Tugas akhir pada
program Strata Satu (S1) Jurusan Teknik Industri
Disusun Oleh :
Nama : Slamet Widodo
NIM : 2011220008
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DARMA PERSADA
JAKARTA2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS HARGA POKOK PRODUKSI BALL BEARING
DENGAN METODE ACTIVITY-BASED COSTING DI PT
SKF INDONESIA
Disusun untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi di
Jurusan Teknik Industri
Fakultas Teknik
Disusun oleh
Nama : Slamet Widodo
NIM : (2011220008)
Jakarta , 04 September 2015
Mengetahui : Menyetujui,
Ketua Program Studi Teknik Industri Pembimbing
(Ir. JAMALUDDIN PURBA, MT) (Ir. SENTI SIAHAAN, ME)
Ketua Jurusan / Koordinator Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri :
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DARMA PERSADA 2015
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Slamet Widodo
Nim : 2011220008
Jurusan : Teknik Industri
Fakultas : Teknik
Universitas : Darma Persada
Menyatakan bahwa Tugas Akhir atau Skiripsi ini saya susun
sendiri berdasarkan hasil peninjauan, penelitian, wawancara dan
bimbingan serta memadukan dengan buku-buku referensi lain
yang terkait dan relevan dengan materi Tugas Akhir atau Skiripsi
ini.
Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 14 Septemberi 2015
(Slamet Widodo)
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DARMA PERSADA 2015
iv
v
ABSTRAK
PT. Skf Indonesia sebagai pembuat suku cadang otomotif khususnya bearing.Perkembangan teknologi yang semakin canggih di era modern dan globalisasi mempengaruhi perkembangan dunia usaha sehingga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Para pelaku usaha diharapkan mampu mengikuti perkembangan tersebut serta mampu menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat agar tujuan perusahaan dapat tercapai secara optimal. Persaingan harga, kualitas, dan sebagainya, menjadikan sebagian perusahaan harus membenahi berbagai aspek di dalam perusahaannya agar mampu menghadapi persaingan tersebut, dimana permasalahan dalam perusahaan ini adalah menetukan harga pokok produksi yang sangat komplek.
Dalam perhitungan harga pokok produksi yang tepat, maka harga jual suatu produk dapat diketahui dan ditentukan dengan tepat sehingga produk tidak overcost dan juga tidak undercost. Perusahaan dapat menghitung harga pokok produksi dengan tepat dengan menggunakan sistem Activity-Based Costing. Dalam penelitian ini penentuan harga pokok masih menggunakan sistem tradisional. Sehingga kurang akurat jika digunakan oleh perusahaan yang memproduksi lebih dari satu jenis produk.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam Penelitian ini adalah biaya yang menjadi fokus dari aktivitas pada produk Ball Bearing untuk menentukan alokasi biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik yang dibebankan ke produk. Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif berdasarkan explanatory research, yaitu penelitian yang tujuannya untuk mengungkapkan atau menjelaskan secara mendalam tentang variabel tertentu dan penelitian ini bersifat deskriptif.
Hasil penelitian adalah harga pokok produksi dengan sistem Activity Based Costing pada Ball bearing sebesar Rp 16.240/unit atau lebih murah Rp 1.359/unit dari sistem tradisional sebesar Rp 17.599/unit. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pendekatan sistem activity-based costing untuk menentukan harga pokok produksi Ball bearing sudah sesuai karena pengalokasian dan pembagian biaya sudah jelas berdasarkan pemicu biaya dan sumber daya yang dikonsumsi masing- masing produk. Bagi peneliti lain diharapkan lebih komprehensif dalam mengkalkulasi biaya, baik biaya produksi maupun non produksi sehingga diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. Kata kunci, HPP, Metode ABC, Analisis harga pokok produksi ball bearing dengan metode Activity-based costing.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan nikmatNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi dengan ini
dengan baik dan lancar. Sholawat serta salam selalu tercurah pada junjungan Nabi
Muhammad S.A.W yang kita harapkan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Laporan Penelitian Tugas Akhir ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan
tugas akhir pada Program Strata Satu (S1) pada Fakultas Teknik Jurusan Teknik
Industri di Universitas Darma Persada, dengan judul “Analisis haraga pokok produksi
ball bearing dengan metode Activity-based costing di PT. SKF Indonesia ”.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Ibu Ir. Senti Siahaan, ME. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan
laporan penelitian ini.
2. Bapak Ir. Jamaluddin Purba, MT, selaku Ketua Jurusan Teknik Industri,
Fakultas Teknik, Universitas Darma Persada atas bimbingan dan petunjuknya
selama ini yang telah diberikan.
3. Seluruh Dosen Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Darma Persada
yang bersedia memberikan waktunya dan juga ilmunya untuk diberikan dan
diajarkan kepada penulis sebagi mahasiswa.
4. Bapak I Wayan AB, selaku Dept,Head Demand chain and Procurement dan
Bapak Agus Riyadi selaku section Head yang telah memberikan kesempatan
melakukan penelitian di PT. SKF Indonesia.
5. Seluruh karyawan PT. SKF Indonesia yang telah banyak membantu penulis
selama mengambil data dalam penelitian ini.
vii
6. Kedua orang tua, istri, dan putriku terkasih serta teman-teman tercinta, yang
telah memberikan banyak dukungan dan kesabaran, baik moril maupun
materil.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam laporan penelitian kerja
praktek ini , oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan penulis terima
guna kemajuan kita bersama. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.
Jakarta, 04-September-2015
( Slamet Widodo )
viii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................................ i
Lembar Pengesahan ....................................................................................... ii
Lembar Pernyataan ......................................................................................... iii
Abstrak ............................................................................................................ v
Kata Pengantar ............................................................................................... vi
Daftar Isi .......................................................................................................... viii
Daftar Tabel ..................................................................................................... xi
Daftar Gambar ................................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ........................................................................... 1
1.2 Perumusan masalah ................................................................... 2
1.3 Tujuaan penelitian.......................................................... .............. 3
1.4 Pembatasan masalah .................................................................. 4
1.5 Manfaat penelitian ..................................................................... 5
1.6 Metodologi penelitian .................................................................. 6
1.7 Sistematika penulisan.................................................... ............... 6
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Harga pokok produksi.................................. ................................ 8
2.1.1 Pengertian harga pokok produksi .................................... 8
2.1.2 Manfaat informasi harga pokok produksi ......................... 9
2.1.3 Metode pengumpulan data harga pokok poduksi..... ........ 10
2.1.4 Unsur-unsur harga pokok produksi ................................... 12
2.1.4.1 Biaya bahan baku............................. ....................... 12
ix
2.1.4.2 Biaya tenaga kerja............................. ...................... 13
2.1.4.3 Biaya overhead pabrik........................... .................. 14
2.1.5 Sistem biaya tradisional .................................................... 18
2.1.6 Sistem biaya activity-based costing .................................. 24
2.2 Menghitung kecukupan, keseragaman dan kenormalan
Data............ ................................................................................ 41
2.3 Pengertian, sejarah, aktivitas, perkembangan, dan peranan
serta tantangan teknik industri ..................................................... 43
2.4 Peneltian Terdahulu .................................................................... 47
BAB III KERANGKA PEMECAHAN MASALAH
3.1 Kerangka berpikir / prosedur ....................................................... 48
3.2 Studi lapangan dan stufi pustaka ................................................. 50
3.3 Jenis dan sumber data ................................................................ 51
3.4 Metode pengumpulan data .......................................................... 51
3.5 Pengolahan data ......................................................................... 52
3.6 Analisis dan pembahasan ........................................................... 54
3.7 Kesimpulan dan saran................................................... ............... 54
3.8 Kerangka pemecahan masalah..................................... ............... 54
BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
4.1 Pengumpulan data ...................................................................... 56
4.1.1 Data umum ......................................................................... 56
4.1.1.1 Sejarah perusahaan .............................................. 56
4.1.1.2 Visi dan misi perusahaan ....................................... 59
4.1.1.3 Logo intansi ........................................................... 59
4.1.1.4 Struktur organisasi ................................................ 60
x
4.1.1.5 Proses Produksi ..................................................... 63
4.1.1.6 Peta proses bearing ............................................... 74
4.1.2 Data khusus ....................................................................... 75
4.2 Pengolahan data ......................................................................... 75
4.2.1 Biaya bahan baku ball bearing ........................................... 81
4.2.2 Biaya tenaga kerja langsung ............................................. 82
4.2.3 Biaya overhead pabrik ....................................................... 83
4.2.4 Biaya harga pokok produksi ball bearing dengan
sistem tradisional…………………………………. ................ 91
4.2.5 Perbandingan harga pokok produksi ball bearing
metode activity -based costing dengan sistem
tradisional…………………………………. ........................... 93
BAB V PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
5.1 Analisis ....................................................................................... 94
5.1.1 Analisis perbandingan harga pokok produksi ball bearing ... 94
5.2 Pembahasan ............................................................................... 94
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ................................................................................. 102
6.2 Saran .......................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Perbandingan metode Activity- Based Costing dengan
metode biaya Tradisional ...................................................... 38
Tabel 4.1 Total biaya bahan penolong .................................................. 77
Tabel 4.2 Data produksi tahun 2014 .................................................... 78
Tabel 4.3 Harga bahan baku tahun 2014 .............................................. 80
Tabel 4.4 Biaya bahan baku ball bearing .............................................. 80
Tabel 4.5 Biaya tenaga kerja langsung ................................................. 83
Tabel 4.6 Biaya overhead pabrik produksi Ball bearing ......................... 84
Tabel 4.7 Rincian biaya overhead pabrik Ball bearing ........................... 86
Tabel 4.8 Alokasi biaya aktivitas heat treatment .................................... 89
Tabel 4.9 Alokasi biaya Aktifitas Face & OD grinding ............................ 89
Tabel 4.10 Alokasi biaya Aktifitas Channel line ....................................... 90
Tabel 4.11 Alokasi biaya Aktifitas pengemasan ...................................... 90
Tabel 4.12 Biaya Overhead yang di alokasikan ....................................... 91
Tabel 4.13 Penentuan Harga Pokok Produksi Ball bearing berdasarkan
Sistem Activity Based Costing ............................................... 91
Tabel 4.14 Penentuan Tarif BOP Sistem Tradisional .............................. 92
Tabel 4.15 Penentuan Tarif HPP Sistem Tradisional ............................... 92
Tabel 4.16 Perbandingan Harga Pokok Produksi ball bearing dari kedua
metode perhitungan ............................................................... 93
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Kerangka pemecahan masalah ............................................ 55
Gambar 4.1 Logo Intansi ......................................................................... 59
Gambar 4.2 Struktur organisasi PT. SKF Indonesia ................................ 60
Gambar 4.3 Bahan baku bearing .............................................................. 64
Gambar 4.4 Proses produksi bearing................................................... ..... 65
Gambar 4.5 Aliran proses pemanasan normal..... ..................................... 67
Gambar 4.6 Aliran proses pemanasan carbo-nitriding.... .......................... 67
Gambar 4.7 Aliran proses penggerindaan permukaan.... .......................... 68
Gambar 4.8 Aliran proses raceway (alur bola).............................................. 70
Gambar 4.9 Aliran proses perakitan.... ..................................................... 71
Gambar 4.10 Produk jadi (bearing).... ......................................................... 70
Gambar 4.11 Pengemasan untuk OEM.... .................................................. 72
Gambar 4.12 Pengemasan untuk AM.... ..................................................... 72
Gambar 4.13 Peta Proses Operasi.... ......................................................... 74
Gambar 4.14 Grafik batas kontrol data produksi tahun 2014 ...................... 79
Gambar 4.15 Grafik batas kontrol harga outring tahun 2014......................... 80
Gambar 4.16 Grafik batas kontrol harga innerring tahun 2014 ................... 81
Gambar 6.1 Perbandingan metode Activity-based costing dengan
Tradisonal ............................................................................. 98
Gambar 6.2 Diagram proses SR sistem Lama ......................................... 99
Gambar 6.3 Diagram proses sistem Barcode ........................................... 100
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Proses manufaktur ................................................................... L-1
Lampiran 2. Jenis-jenis produk .................................................................... L-2
Lampiran 3. Struktur organisasi .................................................................. L-3
Lampiran 4. Diagram flow process .............................................................. L-4
Lampiran 5. Bearing components ............................................................... L-5
Lampiran 6. Data khusus stock ball bearing ................................................. L-6
Lampiran 7. Data khusus bahan penolong ball bearing ................................ L-6
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Perkembangan teknologi yang semakin canggih di era modern dan
globalisasi mempengaruhi perkembangan dunia usaha sehingga mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Para pelaku usaha diharapkan mampu mengikuti
perkembangan tersebut serta mampu menghadapi persaingan bisnis yang semakin
ketat agar tujuan perusahaan dapat tercapai secara optimal. Persaingan harga,
kualitas, dan sebagainya, menjadikan sebagian perusahaan harus membenahi
berbagai aspek di dalam perusahaannya agar mampu menghadapi persaingan
tersebut.
Perhitungan harga pokok produksi merupakan kegiatan yang sangat penting
dilakukan oleh setiap perusahaan. Dalam perhitungan harga pokok produksi yang
tepat, maka harga jual suatu produk dapat diketahui dan ditentukan dengan tepat
sehingga produk tidak overcost (dibebani biaya lebih dari yang seharusnya) dan juga
tidak undercost (dibebani biaya kurang dari yang seharusnya). Penentuan harga
pokok produksi dapat di hitung dengan dua pendekatan, yaitu dengan menggunakan
full costing dan variable costing (Jhonny Setiawan dan Mulyadi, Akuntansi
Manajemen, Jakarta, Salemba empat, 2001),hal.49. Full Costing merupakan salah
satu metode penentuan cost produk, yang membebankan seluruh biaya produksi
sebagai cost produk, baik biaya produksi yang berperilaku variabel maupun tetap.
Variable costing merupakan salah satu metode penentuan cost produk, di samping
1
2
full costing, yang membebankan hanya biaya produksi yang berperilaku variabel
saja kepada produk. Full costing dan variable costing merupakan metode penentuan
cost produk tradisional, yang dirancang berdasarkan kondisi teknologi manufaktur
pada masa lalu. Alokasi biaya yang tepat dibutuhkan untuk menentukan harga
pokok produksi yang akurat. Biaya langsung dapat ditelusuri dengan mudah namun
biaya overhead sulit untuk ditelusuri. Maka dibutuhkan suatu metode yang dapat
mengalokasikan biaya overhead secara tepat ke setiap produk. Selama ini
perusahaan menggunakan biaya konvensional yang membebankan biaya secara
tidak tepat ke setiap produk.
Activity-Based Costing (ABC) merupakan sistem pembebanan biaya dengan
cara pertama kali menelusuri biaya aktivitas dan kemudian ke produk. Dalam sisitem
biaya ABC mempergunakan lebih dari satu pemicu biaya (cost driver) untuk
mengalokasikan biaya overhead pabrik ke masing-masing produk (Ahmad Slamet,
penganggaran, perencanaan dan pengendalian usaha, Semarang, Unnes Press,
2007),hal.103. Sehingga biaya overhead pabrik yang dialokasikan akan menjadi
lebih proposional dan informasi mengenai harga pokok produksinya lebih akurat.
PT.SKF Indonesia merupakan salah satu perusahaan manufaktur dibidang industri
spare part otomotif dengan produk yang lebih dikenal Bearing (bantalan gelinding).
Penulis dalam hal ini melakukan analisis harga pokok produksi Ball bearing dengan
metode Activity- Based Costing di PT.SKF Indonesia.
3
1.2 Perumusan masalah
Penentuan harga pokok produksi dengan sistem tradisional yang
menggunakan perkiraan saja, seperti yang diterapkan oleh Perusahaan Bearing
(bantalan gelinding) dianggap kurang akurat memberikan semua informasi biaya
yang terkandung dalam masing-masing produksi. Perusahaan Bearing (bantalan
gelinding) memproduksi tiga jenis produk, yaitu Ball Bearing, Spacer dan HUB
Bearing. Sehingga menyebabkan semua jenis produk bearing mengkonsumsi biaya
overhead dengan proporsi yang sama. Apabila perusahaan salah dalam
menetapkan harga, maka akan banyak kemungkinan yang akan terjadi pada
perusahaan, seperti kerugian.
Sesuai dengan uraian di atas maka akan timbul permasalahan sebagai
berikut :
1. Berapa harga pokok produksi Ball Bearing dengan metode Activity-Based
Costing dan metode tradisional di Perusahaan tersebut.
2. Bagaimana analisis harga pokok produksi Ball Bearing berdasarkan kedua
metode di perusahaan tersebut.
1.3 Tujuan penelitian
Berdasarkan identifikasi di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menghitung harga pokok produksi Ball Bearing dengan metode Activity-
Based Costing dan metode Tradisional di perusahaan tersebut.
2. Menganalisis harga pokok produksi Ball Bearing dari kedua metode, dan
menentukan metode apa yang terbaik untuk perusahaan tersebut.
4
1.4 Pembatasan masalah
Dalam penelitian ini penulis perlu untuk melakukan pembatasan masalah.
Berdasarkan judul skripsi, yaitu “analisis harga pokok produksi Ball Bearing dengan
metode Activity-Based Costing di PT.SKF Indonesia”, maka pembatasan masalah
yang penulis bahas adalah menganalisis perhitungan Harga Pokok Produksi dengan
menggunakan metode Tradisional dan Activity-Based Costing di PT.SKF Indonesia
pada tahun 2014. Agar penelitian dapat lebih fokus dan terarah maka perlu ada
batasan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data yang digunakan adalah data yang di dapat dalam proses produksi Ball
bearing, Spacer dan HUB bearing pada periode bulan Januari 2014 sampai
Desember 2014.
2. Metode yang di gunakan adalah analisis penentuan harga pokok produksi
Bearing dengan metode Activity-Based Costing dan metode biaya Tradisional
dengan data yang di dapat dari PT. SKF Indonesia.
3. Mesin-mesin dan fasilitas produksi yang digunakan di asumsikan tidak
mengalami perubahan dan dianggap berada dalam kondisi layak untuk
melakukan aktivitas produksi.
1.5 Manfaat penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ganda, yaitu
manfaat akademis, maupun praktisnya. Guna teoritis pada perspektif akademis,
penelitian ini akan berguna untuk: memberikan sumbangan konseptual bagi
5
perkembangan kajian ilmu manajemen, khususnya mengenai penerapan teori
perhitungan harga pokok produksi berdasarkan sistem activity -based costing.
Sedangkan kepetingan praktis hasil penelitian ini diharapkan bisa berguna :
1. Secara Teoritis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak lain
yang berkepentingan dalam rangka penentuan Harga Pokok Produksi Ball
Bearing di PT.SKF Indonesia.
b. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang manajemen
terutama yang terkait dengan penentuan Harga Pokok Produksi dengan
metode Activity-Based Costing.
2. Secara Praktis
a. Bagi Perusahaan
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi PT.SKF
Indonesia dalam menentukan Harga Pokok Produksi.
2. Membantu perusahaan dalam menentukan Harga Pokok Produksi dengan
metode Activity-Based Costing System.
b. Bagi Peneliti
1. Membandingkan teori yang diperoleh di bangku kuliah dengan praktek
yang ada di perusahaan.
2. Memperoleh pengetahuan dalam bidang akuntansi biaya serta
memperkaya khasanah disiplin teknik industri dalam menentukan harga
pokok produksi perusahaan.
6
1.6 Metodologi penelitian
Dalam memecahkan dan menganalisa masalah, penulis menggunakan dua
metode yaitu :
1. Studi Pustaka
Kegiatan ini dilakukan dengan cara membaca dan mempelajari literatur buku
yang berhubungan dengan topik pokok pembahasan.
2. Studi Lapangan
Merupakan pengamatan secara langsung diperusahaan dengan cara
mengamati proses atau sistem yang berjalan, mencatat data-data yang diperlukan,
melakuakn diskusi kepada karyawan atau pekerja perusahaan sesuai dengan topik
permasalahan.
1.7 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dibagi menjadi 6 bab sebai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang, tujuan, perumusan
masalah, pembatasan masalah, pemecahan masalah dan sistematika
penulisan laporan penelitian.
BAB II : LANDASAN TEORI
Bab ini berisikan beberapa uraian tentang teori-teori yang relevan
dengan masalah yang ada, yang kemudian dipergunakan sebagai
landasan teori dalam pemecahan masalah.
BAB III: KERANGKA PEMECAHAN MASALAH
7
Bab ini berisikan uraian mengenai langkah-langkah pemecahan
masalah yang digambarkan secara skematis melalui flow chart.
BAB IV: PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini mengungkapkan data yang telah diperoleh atau dikumpulkan.
Serta pengolahan data berdasarkan teori yang telah dipelajari.
BAB V : ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan analisis dan pembahasan berdasarkan hasil
pengolahan data yang telah diperoleh.
BAB VI: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini kembali dikupas dalam hal-hal yang penting untuk
dianalisa yang akhirnya dibuat kesimpulan dan disertakan saran-
saran yang akan bermanfaat bagi pihak perusahaan dimana penulis
melakukan penelitian.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Harga Pokok Produksi
2.1.1 Pengertian harga pokok produksi
Harga pokok produksi adalah harga pokok produk yang sudah selesai dan
ditransfer ke produk dalam proses pada periode berjalan (Blocher dkk, manajemen
biaya dengan tekanan strategik, Jakarta salemba empat, 2000), hal,90. Sedangkan
menurut (Hansen dan Mowen, Akuntansi manajerial, Jakarta, Salemba empat,
2009), hal.60. Menyatakan harga pokok produksi mencerminkan total biaya barang
yang diselesaikan selama periode berjalan. Harga pokok produksi juga disebut biaya
produksi. Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk mengolah bahan baku
menjadi produk jadi. Seperti yang telah dikemukakan oleh Simamora (Henry
simamora, akuntansi manajemen, salemba empat, 2000),hal,547. yang
mendefinisikan biaya produksi adalah biaya yang digunakan untuk membeli bahan
baku yang dipakai dalam membuat produk serta biaya yang dikeluarkan dalam
mengkonversi bahan baku menjadi produk jadi.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang harga pokok produksi di atas maka
dapat dikemukan bahwa harga pokok produksi adalah total biaya yang dikeluarkan
untuk mengolah bahan baku menjadi produk jadi.
8
9
2.1.2 Manfaat informasi harga pokok produksi
a. Menentukan harga jual produk. Dalam penetapan harga jual produk, biaya
produksi per unit merupakan salah satu data yang dipertimbangkan, di
samping data biaya lain serta data non biaya.
b. Memantau realisasi biaya produksi.
Jika rencana produksi untuk jangka waktu tertentu telah diputuskan untuk
dilakukan, manajemen memerlukan informasi biaya produksi yang
sesungguhnya dikeluarkan dalam pelaksanaan rencana produksi tersebut.
Oleh karena itu, akuntansi biaya digunakan untuk mengumpulkan
informasi biaya produksi, yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu
untuk memantau apakah proses produksi mengkonsumsi total biaya
produksi sesuai dengan yang dipertimbangkan sebelumnya.
c. Menghitung laba atau rugi periode tertentu.
Manajemen memerlukan informasi biaya produksi yang telah dikeluarkan
untuk memproduksi produk dalam periode tertentu. Informasi laba atau
rugi bruto periodik, diperlukan untuk mengetahui kontribusi produk dalam
menutup biaya non produksi dan menghasilkan laba atau rugi.
d. Menentukan harga pokok persediaan produk jadi dan produk dalam
proses yang disajikan dalam neraca.
Pada saat manajemen dituntut untuk membuat pertanggungjawaban
keuangan periodik, manajemen harus menyajikan laporan keuangan
berupa neraca dan laporan rugi laba. Di dalam neraca manajemen harus
menyajikan harga pokok persediaan produk jadi, dan harga pokok produk
10
yang pada tanggal neraca masih dalam proses. Untuk tujuan tersebut,
manajemen perlu menyelenggarakan catatan biaya produksi setiap
periode.
2.1.3 Metode pengumpulan data harga pokok produksi
Metode pengumpulan harga pokok produksi pada dasarnya ada dua macam
sistem penentuan biaya produk yang digunakan dalam jenis industri yang berbeda
yaitu sistem penentuan biaya berdasarkan pesanan (job costing) dan sistem
penentuan biaya berdasarkan proses ( process costing).
a. Penentuan Biaya Berdasarkan Pesanan (Job Costing).
Merupakan sistem penentuan biaya produk yang mengakumulasikan dan
membebankan biaya ke pesanan tertentu. Harga pokok pesanan dikumpulkan untuk
setiap pesanan sesuai dengan biaya yang dinikmati oleh setiap pesanan, jumlah
biaya produksi setiap pesanan akan dihitung pada saat pesanan selesai. Untuk
menghitung biaya satuan, jumlah biaya produksi pesanan tertentu dibagi jumlah
produksi pesanan yang bersangkutan.
Karakteristik usaha perusahaan yang menggunakan metode penentuan
biaya berdasarkan pesanan menurut Mulyadi (Mulyadi, akutansi manajerial, salemba
empat,19990),hal,42. yaitu:
1. Proses pengelohan produk terjadi secara terputus-putus.
2. Produk dihasilkan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan oleh pemesan.
Produksi ditujukan untuk memenuhi pesanan.
Manfaat harga pokok produksi berdasarkan pesanan adalah :
11
1. Menentukan harga jual yang akan dibebankan kepada pemesan.
2. Memepertimbangkan penerimaan atau penolakan pesanan.
3. Memantau realisasi biaya produksi.
4. Menghitung laba atau rugi tiap pesanan.
5. Menentukan harga pokok persediaan produk jadi dan produk dalam proses yang
disajikan dalam neraca.
b. Penentuan Biaya Berdasarkan Proses (Process Costing).
Mengakumulasikan biaya produk atau jasa berdasarkan proses atau
departemen dan kemudian membebankan biaya tersebut ke sejumlah besar produk
yang hampir identik.
Karakteristik usaha perusahaan yang menggunakan sistem penentuan biaya
berdasarkan proses yaitu:
1. Produk yang dihasilkan merupakan produk standar.
2. Produk yang dihasilkan dari bulan ke bulan adalah sama
3. Kegiatan produksi yang berisi rencana produksi produk standar untuk jangka
waktu tertentu.
Manfaat harga pokok produksi berdasarkan proses adalah:
1. Menentukan harga jual produk.
2. Memantau realisasi biaya produksi.
3. Menghitung laba atau rugi periodik.
4. Menetukan harga pokok persediaan produk jadi dan produk dalam proses
dijadikan dalam neraca.
12
2.1.4 Unsur-unsur harga pokok produksi
Dalam memproduksi suatu produk, akan diperlukan beberapa biaya untuk
mengolah bahan mentah menjadi produk jadi. Biaya produksi dapat digolongkan
kedalam biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik.
2.1.4.1 Biaya bahan baku
Biaya bahan baku adalah biaya yang digunakan untuk memperoleh bahan
baku yang akan diolah menjadi produk jadi. Biaya bahan baku dapat juga di artikan
sebagai bahan yang menjadi komponen utama yang membentuk suatu kesatuan
yang tidak terpisahkan dari produk jadi.
Dari beberapa pengertian tentang biaya bahan baku di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa biaya bahan baku bahwa biaya bahan baku adalah total biaya
yang dikorbankan untuk pengolahan bahan utama produk yang diproduksi menjadi
produk selesai.
Bahan baku meliputi bahan-bahan yang dipergunakan untuk memperlancar
proses produksi atau disebut bahan baku penolong dan bahan baku pembantu.
Bahan baku dibedakan menjadi bahan baku langsung dan bahan baku tidak
langsung. Bahan baku langsung disebut dengan biaya bahan baku, sedangkan
bahan baku tidak langsung disebut biaya overhead pabrik.
Dalam memperoleh bahan baku, perusahaan tidak hanya mengeluarkan
biaya sejumlah harga beli saja, tetapi juga mengeluarkan biaya-biaya pembelian,
pergudangan, dan biaya perolehan lainnya. Harga bahan baku terdiri dari harga beli
ditambah dengan biaya-biaya pembelian dan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
13
menyiapkan bahan baku tersebut dalam keadaan siap diolah. Biaya bahan baku
langsung adalah semua biaya bahan yang membentuk bagian integral dari barang
jadi dan yang dapat dimasukkan langsung dalam kalkulasi biaya produk.
Bahan baku yang dihitung dalam satuan (unit) uang disebut anggaran biaya
bahan baku. Anggaran bahan baku adalah kuantitas standar bahan baku dipakai
dikalikan harga standar bahan baku per unit.
2.1.4.2 Biaya tenaga kerja
Biaya tenaga kerja digolongkan menjadi dua kelompok yaitu biaya tenaga
kerja langsung dan biaya tenaga kerja tidak langsung. Biaya tenaga kerja langsung
adalah balas jasa yang diberikan kepada karyawan pabrik yang manfaatnya dapat
diidentifikasikan atau diikuti jejaknya pada produk tertentu yang dihasilkan
perusahaan. Sedangkan biaya tenaga kerja tidak langsung adalah balas jasa yang
diberikan kepada karyawan pabrik, akan tetapi manfaatnya tidak dapat
diidentifikasikan atau diikuti jejaknya pada produk tertentu yang dihasilkan
perusahaan. Biaya tenaga kerja langsung menurut Simamora (Henry Simamora,
akutansi manajemen, jakrata, salemba empat, 2000),hal.547. adalah upah
karyawan-karyawan pabrik yang dapat secara fisik mudah ditelusuri dalam
pengorbanan bahan baku menjadi produk jadi. Sedangkan menurut Mulyadi
(Mulyadi, akutansi biaya, edisi lima, Yogyakarta, Aditya medika, 2000),hal,343.
adalah harga yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja manusia. Sehingga
biaya tenaga kerja adalah biaya yang timbul akibat penggunaan tenaga kerja
manusia untuk pengolahan produk.
14
Dari beberapa pengertian tentang biaya tenaga kerja di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa biaya tenaga kerja adalah sejumlah balas jasa yang diberikan
kepada para tenaga kerja yang terlibat secara langsung dalam pengolahan proses
produksi.
Biaya tenaga kerja yang digunakan adalah jumlah biaya yang dibayarkan
kepada setiap karyawan yang terlibat lansung dalam proses produksi. Dimana
sistem pembayaran yang digunakan adalah sistem pembayaran upah karyawan.
Untuk menghitung tenaga kerja langsung terlebih dahulu ditetapkan biaya
tenaga kerja langsung standar per unit produk. Biaya tenaga kerja langsung standar
per unit produk terdiri dari:
a. Jam tenaga kerja langsung
Jam standar tenaga kerja langsung adalah taksiran sejumlah jam tenaga
kerja langsung yang diperlukan untuk memproduksi satu unit produk tertentu.
b. Tarif upah standar tenaga kerja langsung
Tarif upah standar tenaga kerja langsung adalah taksiran tarif upah per jam
tenaga kerja langsung. Tarif ini dapat ditentukan atas dasar: perjanjian dengan
organisasi karyawan, dari upah masa lalu yang dihitung secara rata-rata, dan
perhitungan tarif upah dalam operasional normal.
2.1.4.3 Biaya overhead pabrik
Biaya over head pabrik adalah biaya-biaya yang secara tidak langsung
berkaitan dengan pengolahan produk jadi. Biaya overhead pabrik meliputi: biaya
bahan baku penolong, tenaga kerja tidak langsung, penyusutan pabrik dan mesin,
15
asuransi, pajak, dan biaya pemeliharaan fasilitas pabrik. Sedangkan biaya
manufaktur tidak langsung menurut Hansen dan Mowen (Hansen, Don R. dan
Maryanne M. Mowen, Akuntansi Manajemen, Jakarta, Salemba Empat,
2006),hal,51. mengemukakan bahwa biaya overhead pabrik adalah semua biaya
produksi selain dari bahan langsung dan tenaga kerja langsung dikelompokkan ke
dalam satu kategori yang di sebut ongkos overhead.
Biaya overhead merupakan suatu biaya yang keseluruhan biayanya
berhubungan dengan proses produksi pada suatu perusahaan, akan tetapi tidak
mempunyai hubungan langsung dengan hasil produksinya. Secara umum yang
termasuk biaya overhead pabrik antara lain: bahan tidak langsung, energi dan listrik,
pajak bumi dan bangunan, asuransi pabrik, dan biaya lainnya yang bertujuan untuk
mengoperasikan pabrik.
Dari beberapa pengertian tentang biaya overhead pabrik maka dapat
disimpulkan bahwa biaya overhead pabrik adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan
untuk memproduksi barang atau jasa, selain biaya yang termasuk dalam biaya
bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung.
Metode pengalokasian biaya overhead pada perhitungan biaya pokok
produksi menurut Blocher dkk (Blocher, Manajemen biaya dengan tekanan strategik,
jakarta, salemba empat, 2007),hal.151-153 ada dua cara, yaitu sistem perhitungan
biaya konvensional dan sistem perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (activity-
based costing).
Sistem perhitungan biaya konvensional mengalokasikan biaya overhead
pada produk menggunakan penggerak biaya (cost driver) berdasarkan volume,
16
seperti jumlah unit yang diproduksi. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa setiap
produk menggunakan biaya overhead dalam jumlah yang sama, karena setiap
produk dibebankan jumlah yang sama. Biaya overhead pabrik dalam tiap pabrik
seharusnya proporsional terhadap jam tenaga kerja langsung yang dibutuhkan untuk
memproduksi unit produk tersebut.
Sistem perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (activity-based costing)
mengalokasikan biaya overhead pabrik pada produk menggunakan kriteria sebab
akibat dengan banyak penggerak biaya. Sistem activity based costing menggunakan
penggerak biaya berdasarkan volume maupun non volume agar lebih akurat dalam
mengalokasikan biaya overhead pabrik pada produk berdasarkan konsumsi sumber
daya selama berbagai aktivitas berlangsung.
Pengaruh harga pokok berdasarkan Activity-Based Costing menurut Hariadi
(Bambang Hariadi, akutansi manajemen suatu sudut pandang, yogyakarta, BPFE,
2002),hal,84-86. memerlukan dua tahap yaitu:
a. Tahap pertama
Pada tahap pertama ada 5 langkah yang perlu dilakukan yaitu:
1. Mengidentifikasikan aktivitas
2. Menentukan biaya yang terkait dengan masing-masing aktivitas
3. Mengelompokkan aktivitas yang seragam menjadi satu.
4. Menggabungkan biaya dari aktivitas- aktivitas yang dikelompokkan
5. Menghitung tarif per kelompok aktivitas
b. Tahap kedua
17
Biaya over head masing-masing kelompok aktivitas dibedakan ke masing-
masing aktivitas dibedakan ke masing-masing produk untuk menentukan harga
pokok per unit produk. Langkah yang dilakukan adalah dengan menggunakan tarif
yang dihitung pada tahap pertama dan mengukur berapa jumlah komsumsi masing-
masing produk. Untuk menentukan jumlah pembebanan adalah sebagai berikut :
Overhead yang dibebankan = tarif kelompok χ jumlah konsumsi setiap produk
Sedangkan menurut Slamet (Achmad Slamet, Penganggaran, Perencanaan
dan Pengendalian Usaha, Semarang, UNNES Press, 2007),hal,104. untuk
menetapkan activity based costing (ABC) dibagi dalam dua tahap yaitu:
a. Tahap pertama
Tahap pertama pada sistem ABC pada dasarnya terdiri dari :
1. Mengidentifikasi aktivitas
2. Membebankan biaya ke aktivitas
3. Mengelompokkan aktivitas sejenis untuk membentuk kumpulan sejenis
4. Menjumlahkan biaya aktivitas yang dikelompokkan untuk mendefinisikan
kelompok biaya sejenis
5. Menghitung kelompok tarif overhead
b. Tahap kedua
Pada tahap kedua, biaya dari setiap kelompok overhead ditelusuri ke produk,
dengan menggunakan tarif kelompok yang telah dihitung. Pembebanan overhead
dari setiap kelompok biaya pada setiap produk dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Over head yang dibebankan = tarif kelompok X unit driver yang dikonsumsi
18
2.1.5 Sistem biaya tradisional
A. Pengertian Sistem Biaya Tradisional
Penentuan harga pokok produksi konvensional terdiri dari full costing dan
variable costing. Perhitungan harga pokok produksi menurut Slamet ((Achmad
Slamet, Penganggaran, Perencanaan dan Pengendalian Usaha, Semarang, UNNES
Press, 2007),hal,98. hanya membebankan biaya produksi pada produk. Biaya
produk biasanya dimonitor dari tiga komponen biaya yaitu: bahan baku, tenaga kerja
langsung, dan over head pabrik.
Pada sistem biaya tradisional, pembebanan biaya bahan baku langsung dan tenaga
kerja langsung pada produk tidak memiliki tantangan khusus. Biaya-biaya
ditekankan pada produk dengan menggunakan penelusuran langsung, atau
penelusuran pendorong yang sangat akurat, dan sebagian besar sistem tradisional
didesain untuk memastikan bahwa penelusuran ini dilakukan. Sedangkan
pembebanan biaya over head pabrik akan menimbulkan masalah dalam
pembebanan biaya ke produk, karena hubungan antara masukan dan keluaran tidak
dapat diobservasi secara fisik. Penggerak tingkat unit yang diproduksi, jam tenaga
kerja langsung, upah tenaga kerja langsung, jam mesin, dan bahan langsung.
Sistem biaya tradisional mengasumsikan bahwa semua biaya dapat
diklasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu biaya tetap dan biaya variabel dengan
memperhatikan perubahan-perubahan dalam unit atau volume produksi. Jika unit
produk atau penyebab lain yang sangat berkaitan dengan unit yang diproduksi,
seperti jam kerja langsung atau jam mesin dianggap sebagai cost driver yang
penting. Cost driver berdasarkan unit atau volume ini digunakan untuk menetapkan
19
biaya produksi kepada produk. Sistem ini dianggap lebih akurat untuk menentukan
harga pokok produksi. Padahal metode ini juga masih tidak mempertimbangkan
biaya yang berubah karena aktivitas atau proses yang berbeda dalam tiap aktivitas.
B. Keterbatasan sistem biaya tradisional
Sistem penentuan harga pokok tradisional, yang mendasarkan pada volume
sangat bermanfaat jika :
1. Tenaga kerja langsung dan bahan merupakan faktor yang dominan dalam
produksi,
2. Teknologi stabil
3. Ada keterbatasan produk
Dalam beberapa situasi biaya produk yang diperoleh dengan cara tarif
tradisional akan menimbulkan distorsi, karena produk tidak mengkonsumsi sebagian
besar sumber daya pendukung dalam proposisi yang sesuai dengan volume
produksi yang dihasilkan.
Keterbatasan utama yang ada dalam penentuan harga pokok tradisional
adalah penggunaan tarif tunggal atau tarif departemental yang mendasar pada
volume. Tarif ini menghasilkan biaya produk yang tidak akurat jika sebagian besar
biaya over head pabrik tidak berhubungan dengan volume, dan jika perusahaan
menghasilkan komposisi produk yang bermacam-macam dengan volume, ukuran,
dan kompleksitas yang berbeda-beda. Informasi biaya yang tidak akurat dapat
membawa dampak pada strategi-strategi yang dilakukan perusahaan seperti:
kekeliruan dalam pengambilan keputusan tentang line produk, penentuan harga jual
yang tidak realistis, dan alokasi sumber daya yang tidak realistis.
20
C. Kelemahan sistem biaya tradisional
Sistem biaya tradisional dapat dikatakan sebagai sistem biaya yang
ketinggalan jaman atau telah usang. Gejala-gejala dari sistem biaya yang
ketinggalan jaman menurut Slamet (2007:103) adalah :
1. Hasil dari penawaran sulit dijelaskan.
2. Harga pesaing Nampak lebih rendah sehingga kelihatan tidak masuk akal.
3. Produk-produk yang sulit diproduksi menunjukkan laba yang tinggi
4. Manajer operasional ingin menghentikan produk-produk yang kelihatan
menguntungkan.
5. Marjin laba sulit dijelaskan
6. Pelanggan tidak mengeluh atas naiknya harga
7. Departemen akuntansi menghabiskan banyak waktu untuk memberi data
biaya bagi proyek khusus, dan
8. Biaya produk berubah karena perubahan peraturan pelaporan.
Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang diungkapkan oleh Hansen dan
Mowen (Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen, Managerial Accounting:
Akuntansi Manajerial, Jakarta: Salemba Empat 2009),hal,170), bahwa gejala-gejala
dari sistem biaya konvensional adalah:
a. Hasil dari penawaran sulit dijelaskan
b. Harga pesaing tampak tidak wajar rendahnya
c. Produk-produk yang sulit di produksi menunjukkan laba yang tinggi
d. Manajer operasional ingin menghentikan produk-produk yang kelihatan
menguntungkan
21
e. Marjin laba sulit dijelaskan
f. Perusahaan memiliki niche yang menghasilkan keuntungan yang tinggi
g. Pelanggan tidak mengeluh keanikan harga
h. Departemen akuntansi menghabiskan banyak waktu untuk memberikan data
biaya bagi proyek-proyek khusus
i. Beberapa departemen menggunakan sistem akuntansi biayanya sendiri
j. Biaya produk berubah karena perubahan dalam pelaporan keuntungan
D. Tanda-tanda sistem biaya tradisional
Sistem biaya konvensional dapat dikatakan sebagai biaya yang ketinggalan
jaman atau telah usang. Gejala-gejala dari sistem biaya yang ketinggalan jaman
menurut Slamet (Slamet achmad, Penganggaran, Perencanaan dan Pengendalian
Usaha, Semarang, UNNES Press, 2007),hal,103 diantaranya yaitu: hasil dari
penawaran sulit dijelaskan, harga pesaing nampak lebih rendah sehingga kelihatan
tidak masuk akal, produk- produk yang sulit diproduksi menunjukkan laba yang
tinggi, manajer operasional ingin menghentikan produk-produk yang kelihatan
menguntungkan, margin laba sulit dijelaskan, pelanggan tidak mengeluh atas
naiknya harga, departemen akuntansi menghabiskan banyak waktu untuk memberi
data biaya bagi proyek khusus, biaya produk berubah karena perubahan pelaporan.
E. Distorsi sistem biaya tradisional
Dari sudut pandang konseptual bahwa masalah distorsi sistem biaya
tradisional dapat dibagi dalam tiga sumber utama :
22
a. Sumber distorsi karena kurangnya potensi data yaitu ketidak pastian yang
melekat dalam desain, distorsi tak terelakkan, dan penilaian mempengaruhi
apa yang dinilai.
b. Masalah keandalan selama pelaksanaan yaitu faktor situasional
mempengaruhi model, metode ini tidak di terapkan dengan benar.
c. Defisiensi tentang metode karena kurangnya data dan metode tidak mampu
menangani masalah.
Terdapat 5 faktor sumber distorsi dalam sistem biaya tradisional menurut
Sulastiningsih (Sulastiningsih, Akuntansi Biaya, Yogyakarta: UPP AMP YKP,.
1999),hal,19, yaitu:
a. Beberapa biaya dialokasikan ke produk, padahal sebenarnya tidak
mempunyai hubungan dengan produk yang dihasilkan. Distorsi ini timbul
khususnya menyangkut perlakuan terhadap revenue verse capital
expenditure contro versy.
b. Biaya yang sebenarnya mempunyai hubungan dengan produk yang
dihasilkan atau dengan pelayanan kepada pelanggan diabaikan. Distorsi ini
ditimbulkan karena dalam akuntansi keuangan, yang termasuk biaya produk
hanya menyangkut manufacturing cost, dan sebagai akibat dari unrecorder
opportunity cost.
c. Penetapan biaya produk terbatas pada suatu sub himpunan output
perusahaan, sementara itu perusahaan menghasilkan multi produk, maka
alokasi ini menimbulkan distorsi yaitu distorsi yang sangat material.
23
d. Pembebanan biaya secara tidak cermat ke produk, dapat menimbulkan dua
bentuk distorsi yaitu distorsi harga dan distorsi kuantitas.
e. Usaha mengalokasikan biaya bersama dan biaya bergabung ke produk yang
dihasilkan.
Sedangkan menurut Hansen dan Mowen (Hansen, Don R. dan Maryanne M.
Mowen, Managerial Accounting: Akuntansi Manajerial, Jakarta: Salemba Empat
2009),hal,:169. faktor-faktor yang menyebabkan distorsi sistem biaya tradisional ada
dua yaitu:
a. Proporsi biaya overhead yang tidak berkaitan dengan unit terhadap total
biaya overhead adalah besar, dan
b. Tingkat keaneka ragaman produknya besar.
F. Dampak sistem biaya tradisional
Dampak sistem biaya tradisional adalah tarif keseluruhan pabrik dan tarif
departemen dalam beberapa situasi, tidak berfungsi baik dan dapat menimbulkan
distorsi biaya produk yang besar. Faktor yang menyebabkan ketidakmampuan tarif
pabrik menyeluruh dan tarif departemen berdasarkan unit, untuk membebankan
biaya overhead secara tepat adalah proporsi biaya overhead pabrik yang berkaitan
dengan unit terhadap total biaya overhead, adalah besar dan tingkat keragaman
produk yang besar. Penggunaan tarif keseluruhan pabrik dan departemen memiliki
asumsi bahwa pemakaian sumber daya overhead berkaitan erat dengan unit yang
diproduksi.
Keanekaragaman produk berarti bahwa produk mengkonsumsi aktivitas
overhead dalam proporsi yang berbeda-beda. Biaya produk akan terdistorsi, apabila
24
jumlah overhead berdasarkan unit yang dikonsumsi oleh overhead bukan unit.
Seringkali organisasi mengalami gejala tertentu yang menunjukkan bahwa sistem
akuntansi biaya mereka ketinggalan jaman.
Menurut Sulastiningsih (Sulastiningsih, Akuntansi Biaya, Yogyakarta, UPP
AMP YKPN, 1999),hal,21. informasi biaya yang terdistorsi akan berdampak pada
prilaku anggota organisasi antara lain:
a. Para manajer pusat cenderung untuk membeli dari luar dari pada
memproduksi sendiri. Hal ini dimaksudkan agar alokasi overhead atas dasar
jam atau upah langsung tidak terlalu besar.
b. Terlalu banyak waktu yang dikorbankan untuk mengukur jam kerja langsung.
c. Pengolahan data pada pusat yang padat karya lebih mahal daripada pusat
biaya yang padat modal.
d. Tidak ada insentif bagi para manajer produk untuk mempengaruhi atau
mengendalikan pertumbuhan yang cepat dari tenaga personalia penunjang,
e. Ruangan bersih yang mahal tidak digunakan secara efisien sebagai akibat
dari alokasi biaya menurut luas lantai
f. Jam kerja karyawan yang diukur dengan sangat detail karena alokasi tarif
upah hanya dibebankan menurut jam kerja aktual, sedang jam kerja pada
waktu tidak kerja, pergantian pekerjaan dan kerusakan serta reparasi mesin
dibebankan kepada kategori overhead.
2.1.6 Sistem biaya activity-based costing
A. Pengertian sistem activity-bBasedcCosting
25
Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (Activity-Based Costing / ABC)
menurut Blocher dkk (Blocher, Edward J., Chen Kung H. Lin, Thomas W,
Manajemen Biaya: Dengan Tekanan Strategik, Jakarta: Salemba Empat,
2007),hal,222. adalah pendekatan perhitungan biaya yang membebankan biaya
sumber daya ke objek biaya seperti produk, jasa, atau pelanggan berdasarkan
aktivitas yang dilakukan untuk objek biaya tersebut. Dasar pemikiran pendekatan
perhitungan biaya ini adalah bahwa produk atau jasa perusahaan merupakan hasil
dari aktivitas tersebut menggunakan sumber daya yang menyebabkan timbulnya
biaya.
Perhitungan biaya berdasarkan aktivitas menurut Mulyadi (Mulyadi,
Akuntansi Manajemen, Jakarta, Salemba Empat, 2003),hal,53. adalah sistem
informasi biaya berbasis aktivitas yang didesain untuk memotivasi personel dalam
melakukan pengurangan biaya dalam jangka panjang melalui pengolahan aktivitas.
Dasar pemikiran pendekatan perhitungan biaya ini adalah bahwa produk atau jasa
perusahaan merupakan hasil dari aktivitas dan aktivitas tersebut menggunakan
sumber daya yang menyebabkan timbulnya biaya. Sistem perhitungan biaya
berdasarkan aktivitas (activity based costing) merupakan sistem pembebanan biaya
dengan cara pertama kali menelusuri biaya aktivitas kemudian ke produk. Dari
beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa activity based costing
adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan harga pokok produksi dan
terfokus pada aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk menghasilkan produk atau
jasa dengan tujuan menyajikan informasi mengenai harga pokok produksi yang
akurat, yang nantinya akan digunakan oleh manajer dalam mengambil keputusan.
26
B. Konsep dasar sistem activity –based costing
Ada dua keyakinan dasar yang melandasi sistem activity-based costing
menurut Mulyadi (2003:52) yaitu:
a. Cost in caused. Biaya ada penyebabnya dan penyebab biaya adalah
aktivitas. Dengan demikian pemahaman yang mendalam tentang aktivitas
yang menjadi penyebab timbuknya biaya akan menempatkan personel
perusahaan pada posisi dapat mempengaruhi biaya. ABC system berangkat
dari keyakinan dasar bahwa sumber daya menyedeiakn kemampuan untuk
melaksanakan aktivitas, bukan sekedar penybab timbulnya biaya yang harus
dialokasikan
b. The causes of cost can be managed. Penyebab terjadinya biaya (yaitu
aktivitas) dapat dikelola. Melalui pengelolaan terhadap aktivitas yang menjadi
penyebab terjadinya biaya, personel perusahaan dapat mempengaruhi biaya.
Pengelolaan terhadap aktivitas memerlukan berbagai informasi tentang
aktivitas.
Pendapat lain menyebutkan konsep yang mendasari sistem Activity-Based
Costing menurut Morse dkk (2003:184-185) dalam Kumar dan Zander
(2007:2) adalah:
a. Kegiatan yang dilakukan untuk mengisi kebutuhan pelanggan mengkonsumsi
sumber daya yaitu biaya.
b. Biaya sumber daya yang dikonsumsi oleh aktivitas harus diserahkan biaya
atas dasar unit kegiatan yang dikonsumsi oleh tujuan biaya. Tujuan biaya
biasanya suatu produk atau layanan yang diberikan kepada pelanggan.
27
C. Kondisi penyebab perlunya sistem activity-based costing
Beberapa tanda yang membuat activity- based costing sebaiknya diterapkan
menurut Hongren dkk (2005:184) adalah:
a. Jumlah biaya tidak langsung yang signifikan dialokasikan menggunakan satu
atau dua kelompok biaya saja
b. Semua atau kebanyakan biaya tidak langsung merupakan biaya pada tingkat
unit produksi (yakni hanya sedikit biaya tidak langsung yang berada pada
tingkatan biaya kelompok produksi, biaya pendukung produk, atau biaya
pendukung fasilitas)
c. Terdapat perbedaan akan permintaan sumber daya oleh masing-masing
produk akibat adanya perbedaan volume produksi, tahap-tahap
pemprosesan, ukuran kelompok produksi, atau kompleksitas.
d. Produk yang dibuat dan dipasarkan perusahaan menunjukkan keuntungan
yang rendah sementara produk yang kurang sesuai untuk dibuat dan
dipasarkan perusahaan justru memiliki keuntungan yang tinggi.
e. Staf bagian operasional memiliki perbedaan pendapat yang signifikan
dengan staf akuntansi mengenai biaya manufaktur dan biaya pemasaran
barang dan jasa.
Kondisi-kondisi yang mendasari penerapan sistem Activity- Based Costing
adalah sebagai berikut :
a. Perusahaan menghasilkan beberapa jenis produk
Perusahaan yang hanya menghasilkan satu jenis produk tidak memerlukan
sistem activity based costing karena tidak timbul masalah keakuratan
28
pembebanan biaya. Jika perusahaan menghasilkan beberapa jenis produk
dengan menggunakan fasilitas yang sama (common products) maka biaya
overhead pabrik merupakan biaya bersama untuk seluruh produk yang
dihasilkan. Masalah ini dapat diselesaikan dengan menggunakan sistem
activity based costing karena sistem Activity- Based Costing menentukan
driver-driver biaya untuk mengidentifikasikan biaya over head pabrik yang
dikonsumsi oleh masing-masing produk.
b. Biaya Overhead Pabrik berlevel non unit jumlahnya besar
Biaya berbasis non unit harus merupakan presentase signifikan dari biaya
overhead pabrik. Jika biaya-biaya berbasis non unit jumlahnya kecil, maka
sistem activity based costing belum diperlukan sehingga perusahaan masih
dapat menggunakan sistem biaya full costing.
c. Diversitas Produk
Diversitas produk mengakibatkan rasio-rasio konsumsi antara aktivitas-
aktivitas berbasis unit dan non unit berbeda-beda. Jika dalam suatu
perusahaan mempunyai diversitas produk maka diperlukan penerapan
sistem Activity- Based Costing. Namun jika berbagai jenis produk
menggunakan aktivitas-aktivitas berbasis unit dan bukan unit dengan rasio
relatif sama, berarti diversitas produk relatif rendah sehingga tidak ada
masalah jika digunakan sistem biaya full costing.
D. Identifikasi aktifitas pada sistem activity-based costing
Konsep dasar sistem activity based costing menyatakan bahwa biaya ada
penyebabnya dan penyebab biaya adalah aktivitas. Karena itu, aktivitas merupakan
29
fokus utama sistem Activity- Based Costing, dan identifikasi merupakan langkah
penting dalam perancangan sistem Activity- Based Costing. Aktivitas menurut
Hansen dan Mowen (Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen, Managerial
Accounting: Akuntansi Manajerial, Jakarta: Salemba Empat 2009),hal,154.
merupakan tindakan-tindakan yang diambil atau pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan dalam perusahaan. Hansen dan Mowen (Hansen, Don R. dan Maryanne
M. Mowen, Managerial Accounting: Akuntansi Manajerial, Jakarta: Salemba Empat
2009),hal,154-155. mengungkapkan aktivitas-aktivitas yang telah diidentifikasi dapat
diklasifikasikan menjadi salah satu dari empat kategori umum aktivitas yaitu :
a. Aktivitas tingkat unit (unit level activities)
Aktivitas tingkat unit merupakan aktivitas yang dilakukan setiap suatu unit
produksi diproduksi. Biaya aktivitas unit level bersifat proporsional dengan jumlah
unit produksi. Sebagai contoh pemesanan dan perakitan adalah aktivitas yang
dikerjakan tiap kali suatu unit dikerjakan.
b. Aktivitas tingkat batch (batch level activities)
Aktivitas tingkat batch merupakan aktivitas yang dilakukan setiap batch
barang diproduksi, dimana batch adalah sekelompok produk/jasa yang diproduksi
dalam satu kali proses, tanpa memperhatikan berapa unit yang ada dalam batch
tersebut. Biaya pada batch level lebih tergantung pada jumlah batch yang diproses
dan bukannya pada jumlah unit produksi, jumlah unit yang dijual, atau ukuran
volume yang lain. Biaya aktivitas tingkat batch bervariasi dengan jumlah batch tetapi
tetap terhadap unit pada setiap batch. Contoh aktivitas tingkat batch adalah
penyetelan, pengawasan, jadwal produksi, dan penanganan bahan. Basis
30
pembebanan biaya aktivitas ke produk yang menggunakan jumlah batch disebut
batch related activity driver.
c. Aktivitas tingkat produk (product level activity)
Aktivitas tingkat produk merupakan aktivitas yang dilakukan karena
diperlukan untuk mendukung berbagai produksi yang diproduksi oleh perusahaan.
Contoh biaya aktivitas tingkat produk adalah perubahan teknik, pengembangan
prosedur, pengujian produk, pemasaran produk, rekayasa teknik produk,
pengiriman, dan lain-lain.
d. Aktivitas tingkat fasilitas (facility level activity)
Aktivitas tingkat fasilitas merupakan aktivitas yang menopang proses
manufaktur secara umum, yang diperlukan untuk menyediakan fasilitas atau
kapasitas pabrik untuk memproduksi, dimana fasilitas adalah sekelompok sarana
dan prasarana yang dimanfaatkan untuk proes pembuatan produk atau penyerahan
jasa. Biaya aktivitas ini tidak berhubungan dengan unit, batch, atau bauran produksi
yang diproduksi. Contoh aktivitas tingkat aktivitas adalah manajemen pabrik, tata
letak, pendukung program komunitas, keamanan, pajak kekayaan dan penyusutan
di pabrik.
E. Analisis penggerak pada sistem activity-based costing
Aktivitas (activity) adalah perbuatan, tindakan, atau pekerjaan spesifik yang
dilakukan. Suatu pekerjaan dapat berupa suatu tindakan atau kumpulan dari
beberapa tindakan.
Penggerak atau penggerak biaya adalah masalah faktor yang menyebabkan
atau menghubungkan perubahan biaya dari aktivitas. Karena penggerak biaya
31
menyebabkan atau berhubungan dengan perubahan biaya, jumlah penggerak biaya
terukur atau terhitung adalah dasar yang sangat baik untuk membebankan biaya
sumber daya pada aktivitas dan biaya satu atau lebih aktivitas pada aktivitas atau
objek biaya lainnya. Penggerak biaya ada dua yaitu :
a. Penggerak biaya konsumsi sumber daya (resource comsumption cost driver)
adalah ukuran jumlah sumber daya yang dikonsumsi oleh semua aktivitas.
Penggerak biaya ini digunakan untuk membebankan biaya sumber daya
yang dikonsumsi oleh atau terkait dengan suatu aktivitas ke aktivitas atau
tempat penampungan biaya tertentu.
b. Penggerak biaya konsumsi (activity consumption cost driver) mengukur
jumlah aktivitas yang dilakukan untuk suatu objek biaya. Penggerak biaya ini
digunakan untuk membebankan biaya-biaya aktivitas dari tempat
penampungan biaya ke objek biaya.
Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih penggerak biaya
dalam sistem biaya activity-based costing yaitu:
a. Tersedianya data yang berhubungan dengan cost driver
Adanya data yang rapi dan rinci mengenai suatu aktivitas merupakan syarat
mutlak dapat diselenggarakannya sistem Activity- Based Costing.
b. Adanya korelasi antara cost driver dengan input biaya
Harus ada korelasi yang erat antara cost driver dengan konsumsi sumber
daya sebab jika tidak maka harga pokok yang dihitung tidak akan akurat.
c. Pengaruh penentuan cost driver terhadap prestasi
32
Cost driver dapat mempengaruhi tingkah laku manajemen jika cost driver
tersebut dijadikan salah satu pertimbangan dalam mengevaluasi kinerja
manajemen.
F. Manfaat Sistem Activity- Based Costing
Activity- Based Costing membantu mengurangi distorsi yang disebabkan oleh
alokasi biaya konvensional. Activity- Based Costing juga memberikan pandangan
yang jelas tentang bagaimana komposisi perbedaan produk, jasa dan aktivitas
perusahaan yang memberi kontribusi sampai lini yang paling dasar dalam jangka
panjang.
Manfaat utama Activity-Based Costing menurut Blocher dkk (Blocher,
Edward J., Chen Kung H. Lin, Thomas W, Manajemen Biaya: Dengan Tekanan
Strategik, Jakarta, Salemba Empat, 2000),hal,127. adalah:
a. Activity-Based Costing menyajikan biaya produk yang lebih akurat dan
informatif, yang mengarahkan kepada pengukuran profitabilitas produk yang
lebih akurat dan informatif, yang mengarahkan kepada pengukuran
profitabilitas produk yang lebih akurat dan kepada keputusan stratejik yang
lebih baik tentang penentuan harga jual, lini produk, pasar, dan pengeluaran
modal.
b. Activity-Based Costing menyajikan pengukuran yang lebih akurat tentang
biaya yang dipicu oleh adanya aktivitas, hal ini dapat membantu manajemen
untuk meningkatkan product value dan dengan membuat keputusan yang
lebih baik tentang desain produk, mengendalikan biaya secara lebih baik dan
membantu perkembangan proyek-proyek peningkatan value.
33
c. Activity-Based Costing memudahkan manajer memberikan informasi tentang
biaya relevan untuk pengambilan keputusan bisnis.
Manfaat sistem Activity-Based Costing (ABC) menurut Supriono (Supriono,
Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Untuk Tekhnologi Maju dan Globalisasi,
edisi II, Yogyakarta, BPFE, 2007),hal,280. yaitu:
a. Menentukan biaya produk secara lebih akurat
b. Meningkatkan mutu pembuatan keputusan
c. Menyempurnakan perencanaan strategis
Meningkatkan kemampuan yang lebih baik untuk mengelola aktivitas-
aktivitas melalui penyempurnaan berkesinambungan.
Sedangkan manfaat sistem Activity-Based Costing (ABC) menurut Mulyadi
(Mulyadi., Akuntansi Manajemen, Jakarta, Salemba Empat, 2003),hal,94. antara
lain:
a. Menyediakan informasi berlimpah tentang aktivitas yang digunakan oleh
perusahaan untuk menghasilkan produk dan jasa bagi customer.
b. Menyediakan fasilitas untuk menyusun dengan cepat anggaran berbasis
aktivitas (activity based budget).
c. Menyediakan informasi biaya untuk memantau implementasi rencana
pengurangan biaya.
d. Menyediakan secara akurat dan multidimensi biaya produk dan jasa yang
dihasilkan oleh perusahaan.
G. Keterbatasan Sistem Activity-Based Costing
34
Keterbatasan penggunaan sistem Activity-Based Costing menurut Blocher
dkk (Blocher, Edward J., Chen Kung H. Lin, Thomas W, Manajemen Biaya: Dengan
Tekanan Strategik, Jakarta, Salemba Empat, 2000),hal,127. adalah:
a. Alokasi
Bahkan jika data aktivitas tersedia, beberapa biaya mungkin membutuhkan
alokasi ke departemen atau produk berdasarkan ukuran volume arbitrer yang
secara praktis tidak dapat ditemukan aktivitas yang dapat menyebabkan
biaya tersebut. Contoh beberapa biaya untuk mempertahankan fasilitas,
seperti aktivitas membersihkan pabrik dan pengelolaan proses produksi.
b. Mengabaikan biaya
Keterbatasan lain dari activity based costing adalah beberapa biaya yang
diidentifikasikan pada produk tertentu diabaikan dari analisis. Aktivitas yang
biayanya sering diabaikan adalah pemasaran, advertensi, riset, dan
pengembangan, rekayasa produk, dan klaim garansi. Tambahan biaya
secara sederhana ditambahkan ke biaya produksi untuk menentukan biaya
produk total. Secara konvensional biaya pemasaran dan administrasi tidak
dimasukkan ke dalam biaya produk karena persyaratan pelaporan keuangan
yang dikeluarkan oleh GAAP mengharuskan memasukkan ke dalam biaya
periode.
c. Pengeluaran waktu yang dikonsumsi
Sistem Activity-Based Costing sangat mahal untuk dikembangkan dan
diimplementasikan. Di samping itu juga membutuhkan waktu yang banyak.
Seperti sebagian besar sistem akuntansi dan manajemen yang inovatif,
35
biasanya diperlukan waktu lebih dari satu untuk mengembangkan dan
mengimplementasikan Activity-Based Costing dengan sukses.
H. Kelebihan Sistem Activity-Based Costing
Sistem Activity-Based Costing memiliki beberapa kelebihan menurut Hansen
dan Mowen (Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen, Managerial Accounting:
Akuntansi Manajerial, Jakarta, Salemba Empat, 2011),hal,36. antara lain:
a. Sistem Activity-Based Costing dapat memperbaiki distorsi yang melekat dalam
informasi biaya konvensional berdasarkan alokasi yang hanya menggunakan
penggerak yang dilakukan oleh volume.
b. Sistem Activity-Based Costing lebih jauh mengakui hubungan sebab akibat
antara penggerak biaya dengan kegiatan.
c. Sistem Activity-Based Costing menghasilkan banyak informasi mengenai
kegiatan dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan
tersebut.
d. Sistem Activity-Based Costing menawarkan bantuan dalam memperbaiki
proses kinerja yang menyediakan informasi yang lebih baik untuk
mengidentifikasikan kegiatan yang banyak pekerjaan.
e. Sistem Activity-Based Costing menyediakan data yang relevan hanya jika
biaya setiap kegiatan adalah sejenis dan benar-benar proposional.
I. Kekurangan Sistem Activity-Based Costing
Kekurangan sistem Activity-Based Costing menurut Hansen dan Mowen
(Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen, Akuntansi Manajemen, Jakarta,
Salemba Empat, 2006),hal,192. adalah :
36
a. Dengan menggunakan sistem Activity-Based Costing manajer dapat
mengasumsikan penghapusan produk bervolume rendah. Menggantinya
dengan produk baru yang lebih matang dan memiliki margin lebih tinggi,
yang akan meningkatkan profitabilitas perusahaan. Namun strategi
pemotongan biaya akan meningkatkan margin jangka pendek manajer
mungkin memerlukan penggunaan waktu dan anggaran lebih banyak untuk
tujuan pengembangan serta perbaikan mutu produk barunya.
b. Sistem Activity-Based Costing dapat mengakibatkan kesalahan konsepsi
mengenai penurunan biaya penanganan pesanan penjualan dengan
mengeliminasi pesanan kecil yang menghasilkan margin lebih rendah.
Sementara strategi ini mengurangi jumlah pesanan penjualan, pelanggan
mungkin lebih sering menginginkan pengiriman dalam jumlah kecil bila
dibandingkan dengan interval pemesanannya. Jika terdapat perusahaan
pesaing yang mau memenuhi kebutuhan mereka, sebaliknya jika pelanggan
lebih menyukai dalam jumlah kecil, manajer harus mempelajari kegiatan
yang terlibat untuk dapat mengetahui jika terdapat kegiatan yang tidak
bernilai.
c. Sistem Activity-Based Costing secara khusus tidak menyesuaikan diri secara
khusus dengan prinsip-prinsip akuntansi berterima umum. Activity-Based
Costing mendorong biaya non produk, oleh karena itu banyak perusahaan
menggunakan Activity-Based Costing untuk analisis internal dan terus
menggunakan sistem konvensional untuk pelaporan eksternal.
37
d. Penekanan informasi Activity-Based Costing dapat juga menyebabkan
manajer secara konstan mendorong pengurangan biaya.
e. Activity-Based Costing tidak mendorong identifikasi dan penghapusan kendala
yang menyebabkan keterlambatan dan kelebihan.
J. Keuntungan Sistem Activity-Based Costing
Beberapa keuntungan dari penggunaan sistem Activity-Based Costing dalam
penentuan harga pokok produksi adalah sebagai berikut:
a. Biaya produk yang lebih realistik, khususnya pada industri manufaktur
teknologi tinggi dimana biaya over head adalah merupakan proporsi yang
signifikan dari total biaya.
b. Semakin banyak over head yang dapat ditelusuri ke produk. Analisis sistem
Activity-Based Costing itu sendiri memberi perhatian pada semua aktivitas
sehingga biaya aktivitas yang dapat ditelusuri.
c. Sistem Activity-Based Costing mengakui bahwa aktivitaslah yang
menyebabkan biaya (activity cause cost) bukanlah produk, dan produklah
yang mengkonsumsi aktivitas.
d. Sistem activity based costing mengakui kompleksitas dari diversitas produksi
yang modern dengan menggunakan banyak pemicu biaya (multiple cost
driver), banyak dari cost driver tersebut adalah berbasis transaksi
(transaction based) dari pada berbasis volume produk.
K. Perbandingan Sistem Biaya Tradisional dan Sistem Activity-Based Costing
Perbedaan antara sistem biaya Tradisional dan Activity-Based Costing itu
seperti siang dan malam, namun sumber perbedaan ini terletak pada dasar asumsi :
38
1) Sistem biaya Tradisional, yaitu produk mengkonsumsi sumber daya, dan biaya
yang dialokasikan dengan menggunakan dasar alokasi tingkat unit.
2) Activity-Based Costing, yaitu produk mengkonsumsi aktivitas, mereka tidak
langsung menggunakan sumber daya. Biaya yang dilacak menggunakan driver
bertingkat.
Activity-Based Costing merupakan suatu alternatif dari penentuan harga
pokok produksi konvensional. Dimana penentuan harga pokok produksi Tradisional
adalah full costing dan variable costing, yang dirancang berdasarkan kondisi
teknologi manufaktur pada masa lalu dengan menggunakan teknologi informasi
dalam proses pengolahan produk dan dalam mengolah informasi keuangan.
Perbedaan antara kedua metode ini dapat dilihat di tabel.
Tabel 2.1 Perbandingan metode Activity-Based Costing dengan metode biaya Tradisional
Sistem activity based costing Sistem biaya Tradisional
Menggunakan penggerak
berdasarkan Aktivitas
Menggunakan penggerak biaya
berdasarkan volume
Membebankan biaya overhead
pertama ke biaya aktivitas baru
kemudian ke produk
Membebankan biaya overhead
pertama ke departemen dan kedua ke
produk
Fokus pada pengelolaan proses dan
aktivitas
Fokus pada pengelolaan biaya
departemen fungsional
Beberapa perbandingan antara sistem konvensional dan sistem Activity-
Based Costing adalah sebagai berikut :
a. Sistem Activity-Based Costing menggunakan aktivitas-aktivitas sebagai pemicu
biaya (cost driver) untuk menentukan seberapa besar konsumsi overhead dari setiap
39
produk. Sedangkan sistem konvensional mengalokasikan biaya overhead secara
arbiter berdasarkan satu atau dua basis alokasi yang non representatif.
b. Sistem Activity-Based Costing memfokuskan pada biaya, mutu dan faktor waktu.
Sistem konvensional terfokus pada performansi keuangan jangka pendek seperti
laba. Apabila sistem konvensional digunakan untuk penentuan harga dan
profitabilitas produk yang produknya lebih dari satu angka-angkanya tidak dapat
diandalkan.
c. Sistem Activity-Based Costing memerlukan masukan dari seluruh departemen
persyaratan ini mengarah ke integrasi organisasi yang lebih baik dan memberikan
suatu pandangan fungsional silang mengenai organisasi.
d. Sistem Activity-Based Costing mempunyai kebutuhan yang jauh lebih keciluntuk
analisis varian dari pada sistem konvensional, karena kelompok biaya (cost pool)
dan pemicu biaya (cost driver) jauh lebih akurat dan jelas, selain itu Activity-Based
Costing dapat menggunakan data biaya historis pada akhir periode untuk
menghitung biaya aktual apabila kebutuhan muncul.
L. Penerapan Sistem Activity-Based Costing
Pengaruh harga pokok berdasarkan Activity-Based Costing menurut Hariadi
(Hariadi, Bambang, Akuntansi Manajemen Suatu Sudut Pandang, Yogyakarta,
BPFE, 2002),hal,84-86. memerlukan dua tahap yaitu:
a. Tahap pertama
Pada tahap pertama ada 5 langkah yang perlu dilakukan yaitu:
1. Mengidentifikasikan aktivitas
2. Menentukan biaya yang terkait dengan masing-masing aktivitas
40
3. Mengelompokkan aktivitas yang seragam menjadi satu.
4. Menggabungkan biaya dari aktivitas-aktivitas yang di kelompokkan.
5. Menghitung tarif per kelompok aktivitas
b. Tahap kedua
Biaya over head masing-masing kelompok aktivitas dibedakan ke masing-masing
aktivitas dibedakan ke masing-masing produk untuk menentukan harga pokok per
unit produk. Langkah yang dilakukan adalah dengan menggunakan tarif yang
dihitung pada tahap pertama dan mengukur berapa jumlah komsumsi masing-
masing produk. Untuk menentukan jumlah pembebanan adalah sebagai berikut:
Overhead yang dibebankan = tarif kelompok X jumlah konsumsi setiap produk
Sedangkan menurut Slamet (Achmad Slamet, Penganggaran, Perencanaan dan
Pengendalian Usaha, Semarang, UNNES Press, 2007),hal,104. untuk menetapkan
Activity-Based Costing dibagi dalam dua tahap yaitu:
a. Tahap pertama
Tahap pertama pada sistem Activity-Based Costing pada dasarnya terdiri dari:
1. Mengidentifikasi aktivitas.
2. Membebankan biaya ke aktivitas.
3. Mengelompokkan aktivitas sejenis untuk membentuk kumpulan sejenis.
4. Menjumlahkan biaya aktivitas yang dikelompokkan untuk mendefinisikan
kelompok biaya sejenis.
5. Menghitung kelompok tarif overhead.
b. Tahap kedua
41
Pada tahap kedua, biaya dari setiap kelompok overhead ditelusuri ke produk,
dengan menggunakan tarif kelompok yang telah dihitung. Pembebanan overhead
dari setiap kelompok biaya pada setiap produk dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Overhead dibebankan = tarif kelompok X unit driver yang dikonsumsi
2.2 Menghitung kecukupan, keseragaman, dan kenormalan data
Uji keseragaman data bertujuan untuk menguji keseragaman dari data yang
yang sudah didapat. Langkah-langkah untuk melakukan uji keseragaman data :
1. Menghitung data rata-rata
Data Rata-Rata = ∑ xi / N
Ket :
∑ xi : Jumlah total data per bulan
N : Jumlah pengamatan
2. Menghitung Standard Deviasi
σ = √ ∑ Xi−X Rata−rataN−
Ket :
Xi : Rata-rata data
N : Jumlah Pengamatan
3. Menghitung Kontrol Atas (BKA)
BKA = P + (2 x σ)
Ket :
P : Faktor Penyesuaian
42
σ : Standar Deviasi
4. Menghitung Kontrol Bawah (BKB)
BKA = P - (2 x σ)
Ket :
P : Faktor Penyesuaian
σ : Standar Deviasi
Kecukupan data merupakan salah satu pengujian data - data yang telah
didapatkan sebelumnya. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah
data pengamatan yang sebaiknya digunakan dan bertujuan untuk menguji apakah
data pengamatan yang telah dikumpulkan sebelumnya sudah memenuhi jumlah
yang sebaiknya digunakan.
Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimal hasil penghukuran
dari waktu sebenarnya dan biasanya dinyatakan dalam bentuk persen. Sedangkan
tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan pengukur bahwa hasil yang
diperoleh memenuhi syarat ketelitian dan biasanya dinyatakan dalam bentuk persen.
Dalam aktifitas pengukuran kerja biasanya akan diambil tingkat ketelitian 10
% dan tingkat keyakinan 90 % atinya adalah bahwa pengukur membolehkan rata -
rata hasil pengukurannya menyimpang sejauh 10 % dari rata-rata sebenarnya dan
kemungkinan berhasil mendapatkan adalah 90 %. Jika jumlah pengukuran yang
seharusnya dilakukan lebih besar dari jumlah pengukuran yang telah dilakukan (N’ >
N), maka dilakukan pengukuran ulang dengan N lebih besar. Jika N > N’ berarti
bahwa jumlah pengamatan yang telah dilakukan memenuhi syarat tingkat ketelitian
43
dan tingkat keyakinan . Berikut ini rumus yang digunakan untuk menghitung berapa
jumlah data yang harus didapatkan :
N’ = [�∶ � √� ∑ Xi kuadrat – ∑ Xi ]2 2 ∑ Xi ] Ket :
N’ : Jumlah data pengamatan yang harus dikumpulkan.
K : Tingkat keyakinan (confidence level)
S : Derajat ketelitian
N : Jumlah data pengamatan yang telah dikumpulkan sebelumnya.
∑ xi : Jumlah total data
2.3 Pengertian, sejarah, aktivitas, perkembangan, dan peranan serta
tantangan teknik industri
Definisi teknik industri adalah aplikasisi stematis dari kombinasi sumber daya
fisika dan alam dengan suatu cara tertentu untuk menciptakan, mengembangkan,
memproduksi dan mendukung suatu produk atau suatu proses dimana secara
ekonomis mencakup beberapa bentuk kegunaan bagi manusia. Sedangkan Menurut
Institute of Industrial Engineering (IIE) teknik industri adalah disiplin ilmu teknik /
engineering yang menangani pekerjaan-pekerjaan perancangan (design), perbaikan
(improvement), penginstalasian (installation), dan menangani masalah manusia,
peralatan, bahan/material, informasi, energisecara efektif dan efisien.
Aktivitas2 yang dapat di lakukan disiplin teknik industri menurut American
Institute of Industrial Engineering (AIIE)
a. Perencanaan dan pemilihan metode kerja dalam prosesproduksi.
44
b. Pemilihan dan perancangan perkakas kerja serta peralatan yang di
butuhkan dalam proses produksi.
c. Desain fasilitas pabrik, termasuk perencanaan tataletak fasilitas
produksi, peralatan pemindahan material.
d. Desain dan perbaikan sistem perencanaan dan pengendalian untuk
distribusi barang / jasa, pengendalian persediaan, pengendalian
kualitas.
e. Pengembangan sistem pengendalian ongkos produksi (pengendalian
budget, analisa biaya standar produksi, dll).
f. Perancangan dan pengembangan produk.
g. Desain dan pengembangan sistem pengukuran performans serta
standar kerja.
h. Pengembangan dan penerapan sistem pengupahan dan pemberian
insentif.
i. Perencanaan dan pengembangan organisasi, prosedur kerja.
j. Analisa lokasi dengan mempertimbangkan pemasaran, bahan baku,
suplai tenaga kerja.
k. Aktivitas penyelidikan operasional dengan analisa matematik,
simulasi, program linier, teori pengambilan keputusan dan lain lain.
Perkembangan dan organisasi yang mendukung berdirinya disiplin Teknik
Industri sebagai berikut :
a. American Society of Mechanical Engineering (ASME) adalah
Organisasi ini pertama kali mendiskusikan konsep-konsep teknik
45
industri dan merupakan persemaian dari timbulnya konsep teknik
industri.
b. Pada tahun 1912 berdiri organisasi bernama The Efficiency Society
danThe Society to Promote the Science of Management yang
kemudian pada tahun 1915 keduanya bergabung menjadi The Taylor
Society. Organisasi ini bertujuan mengembangkan konsep-konsep
manajemen umum yang diperkenalkan oleh Frederick Winslow
Taylor.
c. Tahun 1917 berdiri Society of Industrial Engineering (SIE) yang
mewadahi para spesialis produksi maupun para manajer sebagai
pembanding terhadap filosofi manajemen umum yang telah
dikembangkan oleh Taylor.
d. Tahun 1932 berdiri The Society of Manufacturing Engineer (SME)
untuk mengembangkan pengetahuan dibidang manufaktur.
e. Tahun 1936 The Taylor Society dan The Society of Industrial
Engineering bergabung menjadi The Society for Advancement
Management (SAM).
f. Program studi Teknik Industri pertama kali dibuka pada tahun 1908 di
Pennsylvania State University.
g. Tahun 1948 berdiri The American Society of Industrial Engineering
dengan didukung sekitar 70 negara, American Institute of Industrial
Engineering (AIIE) berkembang menjadi organisasi internasional
dengan nama Institute of Industrial Engineering (IIE).
46
h. Pendidikan Teknik Industri di Indonesia di perkenalkan oleh Bapak
Matthias Aroef pada tahun 1958 setelah menyelesaikan studi di
Cornell University.
i. Tahun 1960 membuka sub jurusan teknik produksi di jurusan teknik
mesin, sebagai embrio berdirinya teknik industri.
j. Tahun 1971 berdiri jurusan teknik industri yang terpisah dengan
Teknik Mesinyang kemudian mengawali pendidikan Teknik Industri di
Indonesia.
k. Pada saat ini telah berkembang pendidikan Teknik Industri baik di
Perguruan Tinggi Negri maupun Perguruan Tinggi Swasta.
Peranan teknik industri dalam kehidupan
a. Dapat memecahkan masalah-masalah baik di sektor industri maupun
non-industri serta persoalan yang dapat di pandang sebagai suatu
sistem yang integral
b. Pendekatan Teknik Industri dapat di terapkan untuk pengambilan
keputusan dalam analisa manajemen dengan melihat suatu masalah
sebagai bagian dari sistem yang integral
c. Salah satu pemanfaatan Teknik Industri yaitu produksi masal yang
sedikit banyak membutuhkan sumber daya manusia untuk
memperbaiki efisiensi, efektifitas dan peningkatan produktifitas kerja.
Tantangan masa depan teknik industri
a. Bagaimana mendesain sistem & proses yang sesuai dengan
lingkungan.
47
b. Bagaimana mendesain produk yang aman dan handal sesuai
peraturan.
c. Bagaimana mendesain sistem yang mengoptimalkan penggunaan
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2.4 Penelltian terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan penentuan harga pokok produksi
berdasarkan sistem Activity-Based Costing telah dilakukan beberapa peneliti. Harga
pokok produksi dengan sistem activity based costing dilakukan pada perusahaan
tahu. Untuk cost pool tahu putih harga pokok produksi sebesar Rp. 97.576,26/tong
dengan harga jual sebesar Rp. 115.000,00/tong memperoleh keuntungan sebesar
Rp. 17.423,74 atau sebesar 17,88%, sedangkan untuk cost pool tahu goreng harga
pokok produksi sebesar Rp. 103.534,49/tong dengan harga jual Rp. 150.000,00/tong
memperoleh keuntungan sebesar Rp. 46.465,51 atau sebesar 44,88%.(Betty Br
Sembiring:2011).
Penelitian juga dilakukan untuk penentuan harga pokok produksi
menggunakan sistem activity based costing pada Batik Agus Sukoharjo. Harga
pokok produksi dengan menggunakan sistem Activity-Based Costing (ABC) pada
cost poll kemeja batik sebesar Rp. 86.649,30 dengan keuntungan sebesar Rp
18.350,71, pada cost poll jarik batik sebesar Rp 66.649,00 dengan keuntungan
sebesar Rp 13.351,01, pada cost poll sarung batik sebesar Rp 67.755,35 dengan
keuntungan sebesar Rp 14.836,67. (Bayu Rahmad Setyawan:2011).
48
BAB III
KERANGKA PEMECAHAN MASALAH
3.1 Kerangka berpikir / prosedur
Sistem biaya tradsional tidak mampu untuk membebankan biaya overhead
kepada masing-masing produk secara tepat ke masing-masing produksi. Faktor
utama yang merupakan penyebab utama ketidak mampuan sistem konvensional
untuk membebankan biaya overhead secara tepat adalah proporsi biaya overhead
yang tidak berkaitan dengan unit terhadap total biaya overhead dan tingkat
keragaman produksi.
Sistem tradisional mengasumsikan bahwa pemakaian sumber daya berkaitan
erat dengan unit yang diproduksi. Apabila biaya overhead didominasi oleh biaya
berlevel unit, maka tidak akan timbul masalah. Sebaliknya apabila biaya overhead
didominasi oleh biaya overhead berlevel non unit, maka penggerak aktivitas
berdasarkan unit tidak mampu membebankan biaya overhead tersebut secara
akurat ke produksi. Distorsi biaya akan terjadi pada perusahaan yang menghasilkan
bermacam-macam produk jika masih menggunakan sistem tradisional. Produk yang
berbeda dalam dalam ukuran dan kompleksitas akan mengkonsumsi sumber daya
dalam jumlah yang berbeda pula. Sejalan dengan peningkatan diversitas produk,
kuantitas sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani transaksi dan mendukung
aktivitas meningkat, sehingga semakin tinggi pula distorsi yang dihasilkan dari biaya
produk yang dilaporkan dengan sistem tradisional.
Penerapan sistem Activity-Based Costing adalah salah satu solusi tepat
untuk dapat menentukan harga pokok produk dengan akurat. Penerapan ini
48
49
dilakukan dengan mengidentifikasi aktivitas yang ada pada PT. SKF Indonesia yaitu
Ball bearing, Spacer dan HUB bearing. Dengan mengklasifikasikan aktivitas ke
dalam level yang sejenis. Masing-masing kelompok aktivitas memiliki aktivitas
sendiri-sendiri dalam menghasilkan produk, setelah dilakukan penelitian awal dapat
disimpulkan bahwa aktivitas yang memicu dari kelompok aktivitas tersebut adalah
aktivitas Heat treatment, Face & OD grinding, channel line, dan pengemasan.
PT. SKF Indonesia adalah perusahaan yang bergerak di bidang industri
spare part otomotif yang memproduksi beberapa macam Bearing. Produk tersebut
meliputi Ball bearing, Spacer dan HUB bearing. Bahan baku utama dalam
pembuatan Bearing ini yaitu Outer rings, Inner rings, bahan penolongnya utamanya
adalah Cages, Balls, Seals dan Shields. Tenaga kerja yang membantu dalam proses
produksi pada PT. SKF Indonesia ada beberapa pekerja. Biaya overhead pabrik
yang dibebankan pada produksi Bearing antara lain biaya bahan penolong, biaya
listrik, biaya air minum, biaya tenaga kerja pengiriman, biaya BBM, biaya telepon.
Dalam mengidentifikasi biaya overhead berbeda dengan pengidentifikasian biaya
bahan baku dan biaya tenaga kerja. Biaya overhead pabrik tidak dapat dibebankan
secara merata atau sama pada semua produk yang dihasilkan karena setiap produk
mengkonsumsi biaya overhead yang berbeda-beda sesuai dengan aktivitas
produksinya.
Penerapan sistem Activity-Based Costing dilakukan dengan mengi-
dentifikasikan aktivitas yang ada pada PT. SKF Indonesia yaitu pada produksi Ball
bearing, Spacer dan HUB bearing, dilanjutkan dengan mengidentifikasikan aktivitas
ke dalam level yang sejenis. Aktivitas ini diklasifikasikan ke dalam empat kelompok
50
umum yaitu aktivitas tingkat unit, tingkat produk, tingkat batch dan tingkat fasilitas.
Masing-masing tingkat kelompok tersebut memiliki aktivitas-aktivitas sendiri-sendiri
dalam menghasilkan produk, namun setelah dilakukan penelitian awal disimpulkan
bahwa aktivitas yang memicu (cost driver) dari kelompok aktivitas tersebut adalah
aktivitas kegiatan Heat treatment, Face & OD grinding, Channel line, dan
Pengemasan.
Masing-masing pemicu memiliki aktivitas yang menimbulkan biaya untuk
melakukan aktivitas tersebut diantaranya adalah kegiatan Heat treatment, Face &
OD grinding, channel line, dan pengemasan. Kegiatan berikutnya adalah
menentukan tarif kelompok (pool rate) yaitu mengalokasikan biaya-biaya yang terjadi
ke produksi dengan pembagiannya adalah cost driver.
3.2 Studi lapangan dan studi pustaka
Dalam studi lapangan penulis melakukan pengamatan secara langsung ke
perusahaan untuk mendapatkan data-data umum dan data khusus untuk penelitian
yang dibutuhkan. Diharapakan dengan studi lapangan ini lebih mengakuratkan data-
data yang ada sehingga menghindari tidak jelasnya penyelesaian. Sedangkan studi
pustaka dilakukan dengan membaca literatur-literatur yang mendukung untuk
memecahkan permasalahan yang ada.
51
3.3 Jenis dan sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data umum yang
merupakan data yang diperoleh dari PT. SKF Indonesia yang menjadi tempat
penelitian. Sumber data secara keseluruhan diperoleh dari dalam institusi yang
menjadi tempat penelitian. Data yang bersifat kuantitatif diperoleh dari dokumen/
arsip bagian produksi dan bagian personalia. Sedangkan data yang bersifat kualitatif
diperoleh dari wawancara dan pengamatan secara langsung di perusahaan.
3.4 Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan melakukan pengamatan langsung di perusahaan yang menjadi objek
penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Wawancara (interview)
Merupakan suatu cara untuk mendapatkan data atau informasi dengan tanya
jawab secara langsung pada orang yang mengetahui tentang objek yang diteliti.
Dalam hal ini adalah dengan pihak pimpinan, pekerja atau operator PT XXX yaitu
data mengenai jenis-jenis produk, proses produksi serta bahan baku yang
digunakan.
2. Obsevasi
Yaitu pengamatan atau peninjauan secara langsung di tempat penelitian
yaitu di PT XXX dengan mengamati sistem atau cara kerja yang ada.
3. Dokumentasi
52
Yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen perusahaan yang berupa
laporan kegiatan produksi, laporan jumlah produksi dan harga bahan baku produk,
serta dokumen kepegawaian dan data-data yang diperlukan dalam peneltian ini.
3.5 Pengolahan data
Pengolahan data dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif
dengan menggunakan sistem Activity -Based Costing. Bahan baku yang dihitung
menurut Nafarin (M. Nafarin, Penganggaran Perusahaan, Jakarta, Salemba Empat,
2007),hal,203. dalam satuan (unit) uang disebut anggaran biaya bahan baku.
Perhitungan bahan baku adalah kuantitas standar bahan baku dipakai dikalikan
harga standar bahan baku per unit. Untuk menghitung biaya tenaga kerja langsung
menurut Nafarin (M. Nafarin, Penganggaran Perusahaan, Jakarta, Salemba Empat,
2007),hal,225 terlebih dahulu ditetapkan biaya tenaga kerja langsung standar per
unit produk.
Untuk perhitungan biaya overhead pabrik dengan sistem Activity-Based
Costing dihitung menggunakan pendekatan yang terdiri dari dua tahap yaitu :
a) Prosedur Tahap Pertama
Pada tahap pertama ada 5 langkah yang perlu dilakukan dalam metode
activity-based costing yaitu :
1. Mengidentifikasi aktifitas.
Aktivitas yang dilakukan dalam pembuatan tas adalah: Heat treatment, Face
& OD grinding, channel line, dan pengemasan.
53
2. Membebankan biaya ke aktivitas
Biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi antara lain: biaya bahan
penolong, biaya air minum, biaya listrik, biaya pengemasan, biaya
pengiriman, dan biaya telepon.
3. Mengelompokkan aktivitas sejenis untuk membentuk kumpulan sejenis
Mengelompokkan aktivitas yang saling berkaitan untuk membentuk
kumpulan yang sejenis (homogen).
4. Menjumlahkan biaya aktivitas yang dikelompokkan untuk mendefinisikan
kelompok biaya sejenis
Mengelompokkan biaya aktivitas yang telah dikelompokkan untuk
mendefinisikan kelompok biaya sejenis (homogeneous cost pool).
5. Menghitung kelompok tarif overhead
b) Prosedur Tahap Kedua
Pada tahap kedua, biaya dari setiap kelompok overhead ditelusuri ke produk,
dengan menggunakan tarif kelompok yang telah dihitung. Pembebanan
overhead dari setiap kelompok biaya pada setiap produk dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
Overhead yang dibebankan = tarif kelompok x unit driver yang dikonsumsi
Selanjutnya, harga pokok produksi dapat dihitung dengan menjumlahkan
seluruh biaya yang digunakan, terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja, dan biaya overhead pabrik dibagi per unit produk yang dihasilkan oleh
perusahaan.
BOP Kelompok aktivitas tertentu
Driver biayaTarif pool=
54
3.6 Analisis dan Pembahasan
Setelah melakukan pengolahan data maka selanjutnya penulis melakukan
anakisis dan pembahasan terhadap hasil pengolahan data mengenai harga pokok
produksi dengan metode sistem biaya Activity-Based Costing.
3.7 Kesimpulan dan Saran
Pada langkah ini penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan yang berhasil
diperoleh dan juga memberikan saran-saran kepada perusahaan berdasarkan hasil
analisa dari pengolahan data yang telah di peroleh dalam penelitian ini.
55
3.8 Kerangka pemecahan masalah
Gambar 3.1 Kerangka Pemecahan Masalah Penelitian
Studi Pustaka Studi LapanganMulai
Selesai
Perumusan masalah dan tujuan
Pengumpulan data
Biaya Overhead Pabrik
Biaya Bahan Bakulangsung
Biaya Tenaga Kerjalangsung
Penetapan Tarip Kelompok (Pool Rate)
Pengalokasian Biaya ke Cost Driver
Biaya Face dan OD
Biaya HeatTreatmen
Biaya Pengemas
Biaya Cannel line
Tarip Overhead
Biaya Overhead yang dibebankan
Harga Pokok Produksi dengan metode Activity Based Costing
Kesimpulan dan saran
Menganalisis perbandingan metodeActivity-Based Costing dengan
metode Tradisional
Biaya Tenaga Kerja tak langsung dan Biaya
bahan penolong
56
BAB IV
PENGGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
4.1 Pengumpulan data
Pada langkah ini penulis melakukan pengumpulan data yang dikelompokkan
menjadi 2 macam, yaitu pengumpulan data umum dan pengumpulan data khusus
dari penelitian.
4.1.1 Data umum
Adapun data-data umum yang dikumpulkan terdiri dari sejarah perusahaan,
visi dan misi perusahaan, logo intansi, struktur organisasi, dan proses produksi
bearing (Bantalan Gelinding).
4.1.1.1 Sejarah perusahaan
Usia 31 Tahun bagi sebuah perusahaan bearing merupakan suatu prestasi
yang membanggakan, betapa tidak semenjak di dirikan pabrik bearing pada tahun
1984 ini oleh seorang yang bernama Bapak Wirontono, sampai sekarang masih
dapat memenuhi permintaan para konsumen, meskipun telah melewati masa krisis
moneter yang terjadi pada tahun 1998.
Pada mulanya perusahaan ini bernama PT Logam Sari Bearindo, dan
perusahaan ini memulai produksi komersial pada Januari 1986 dan mempunyai
merek pasaran yaitu BI (Bearing Indonesia) pada tahun 1988 PT Logam Sari
Bearindo mengikat perjanjian dengan SKF Swedia yang merupakan produsen
bearing terbesar di dunia. Perjanjian tersebut berupa kerja sama teknik yang
56
57
berguna untuk meningkatkan mutu produksi, sehingga BI dapat bersaing dengan
produk-produk import.
Pada September 1988, perusahaan Astra Internasional melalui PT Federal
Motor menjadi salah satu pemegang saham PT Logam Sari Bearindo. Hal itu agar
memperkuat struktur permodalan dan pemasaran dan juga menjadikan struktur
manajemen menjadi lebih baik. Pada tahun 1992 perusahaan ini mendapat izin
usaha tetap dari Departemen Perindustrian Republik Indonesia. Lisensi SKF
diberikan untuk semua tipe bearing yang di produksi. Pada akhir tahun 1992 merek
FMB (Federal Motor Bearing ) di perkenalkan dan menggantikan merek BI.
Setelah sekian tahun semenjak produksi pertamanya, perusahaan ini
mendapatkan sertifikasi ISO 9002 dari lembaga sertifikasi Llyod’s Register Quality
Assurance ( LRQA ) pada Januari 1996. Hal ini membuktikan dedikasi pihak
manajemen terhadap kualitas manajemen perusahaan yang sudah di akui oleh
internasional.
Pada September 1997, PT Logam Sari Bearindo sudah resmi menjadi bagian
dari SKF Group, kemudian berganti nama menjadi PT SKF Indonesia. Tentunya hal
ini menjadikan produk – produk yang di produksi memiliki standar dengan SKF
Swedia, dan juga tentunya kualitas dan specifikasi produk akan sama dengan
produk yang berasal dari PT SKF di seluruh negara. Kemudian demi memenuhi
standar manajemen lingkungan maka perusahaan mendapatkan sertifikat ISO
14001 pada Desember 1999, dan juga pada bulan yang sama mendapatkan
sertifikat ISO 9000. Pada Januari tahun 2000, di perkenalkan sebuah merek dagang
baru yaitu SKF Enduro dan SKF Genio. Pada Desember tahun 2000, AHM sebagai
58
salah satu customer utama memberikan penghargaan sebagai produk bearing yang
memiliki kualitas terbaik. Dengan memiliki beberapa sertifikasi, produk PT SKF
Indonesia mampu memasuki pasar internasional, yang dimulai pada Oktober 2000
dengan mengekspor produknya ke Malaysia. Pada Maret 2004 PT SKF Indonesia
mendapatkan serftikasi ISO/TS 16949. Dari tahun ketahun perkembangan
perusahaan ini semakin meningkat, hal itu di tunjukan dengan memperluas area
pabrik dalam rangka memenuhi banyak nya permintaan pelanggan yang datang baik
dari lokal maupun internasional. Saat ini PT SKF Indonesia memiliki luas tanah
53.000 m2 dan luas pabrik 11.000 m2 dengan memiliki 15 jalur produksi.
Adapun manajemen PT SKF Indonesia memegang teguh kebijakan kualitas
SKF yaitu :
1. SKF hanya akan memasarkan produk layanan dan solusi yang akan
menjamin kepuasan pelanggan.
2. Menjalankan proses bisnis yang kompeten, dapat di andalkan dan efisien.
3. Menerapkan perbaikan berkelanjutan di seluruh organisasi demi mencapai
kualitas tanpa cacat ( Zero Defect).
Selain kebijakan kualitas, PT SKF Indonesia dalam aktivitas nya juga
menerapkan kebijakan lingkungan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, hal tersebut
diupayakan agar meraih keuntungan yang dapat bertahan dalam jangka panjang,
Adapun tugas utama untuk mencapai tujuan tersebut dengan mengembangkan,
membuat dan memasarkan produk dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan
pelanggan secara aman dalam penggunaannya untuk menjalankan energi yang
59
digunakan harus efisien, tidak mencemari lingkungan dan dapat di daur ulang atau
di buang secara aman.
4.1.1.2 Visi dan Misi perusahaan
Visi dari perusahaan PT SKF Indonesia adalah “Melengkapi dunia dengan
pengetahuan SKF” .
Misi PT SKF Indonesia adalah : Menjadi Perusahaan Pilihan
1. Untuk pelanggan, distributor dan pemasok dengan memberikan industri
terkemuka, produk bernilai tinggi, layanan dan solusi rekayasa pengetahuan.
2. Untuk karyawan dengan menciptakan lingkungan kerja yang dapat memuaskan di
mana upaya diakui, ide dihargai dan hak-hak individu dihormati.
3. Untuk para pemegang saham dengan memberikan nilai pemegang saham
melalui pertumbuhan pendapatan yang berkelanjutan.
4.1.1.3 Logo intansi
Gambar 4.1 Logo SKF
60
4.1.1.4 Struktur organisasi
Struktur organisasi dalam suatu perusahaan memiliki arti yang sangat
penting sebagai alat untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu mengatur tugas,
tanggung jawab, dan wewenang pada setiap bagian dalam perusahaan sehingga
perusahaan dapat berjalan dengan baik. Struktur organisasi dan job description
pada PT SKF Indonesia disusun berdasarkan fungsi-fungsi yang dibutuhkan di
dalam perusahaan.
Struktur organisasi pada PT SKF Indonesia dapat dilihat dibawah ini,
Gambar 4.2 Struktur organisasi PT. SKF Indonesia
Guna membagi seluruh pekerjaan dengan tepat, maka PT SKF Indosesia
memiliki struktur organisasi yang memiliki pekerjaan masing masing di setiap
jabatannya. Berikut ini adalah tugas dari setiap jabatan.
1. President Direktur
61
Adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas semua kepentingan
perusahaan.
2. Marketing & Sales Director
Adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas penjualan dan serta
pemasukan perusahaan.
3. Manufacturing Director
Adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas proses produksi dalam
perusahaan.
4. Six Sigma
Adalah bagian yang bertanggung jawab terhadap kebijakan six sigma yang di
gunakan dalam perusahaan.
5. Manufacturing Excellence Facilitator
Merupakan bagian yang memfasilitasi semua urusan produksi pada
perusahaan.
6. Production Rings
Adalah kepala bagian yang bertugas mengatur operasional produksi di dalam
perusahaan, bagian ini membawahi langsung heat treatment, Face and Outerside
Diameter Grinding.
7. Production Bearings
Adalah bertugas menjalankan sistem produksi bearing, yaitu pada proses
grinding, honing dan assembling.
8. Enginerring
62
Bagian yang mengatur persiapan peralatan dan memperbaiki mesin – mesin
dan perkakas yang mengalami kerusakan.
9. Maintenance
Bertanggung jawab dalam hal perawatan mesin yang digunakan dalam
proses produksi. berkewajiban menyediakan tenaga ahli dalam hal persiapan dan
pengecekan instalasi mesin yang di butuh kan agar mesin dapat berjalan dengan
baik dan lancar.
10. Procurement and Material Flow
Bertugas mengatur sirkulasi material dalam proses produksi. Departemen ini
di sebut juga sebagai bagian gudang, karena mengatur keluar masuk semua
perlengkapan dan meterial yang di butuhkan. Bagian ini bertanggung jawab atas
penyimpanan material, perkakas, perlengkapan kerja, pakaian pengamanan dan
perlengkapan pengamanan yang merupakan cadangan persediaan serta menerima
pengiriman barang dari luar yang berhubungan dengan proses produksi.
11. Business Controller Director
Pemimpin yang mengontrol sistem perdagangan yang terjadi di dalam
perusahaan.
12. Accounting and IS
Bagian yang mengatur keuangan dalam perusahaan dan informasi sistem.
13. Quality Assurance
Bagian yang bertanggung jawab atas kualitas produk yang di buat oleh
perusahaan.
14. AM and Sales administrasi
63
Bagian yang bertugas menawarkan produk yang dihasilkan kepada
konsumen pada golongan After Market ( AM ).
15. OEM and Business Development
Bagian yang bertugas menawarkan produk yang dihasilkan kepada
konsumen pada golongan Original Engine Manufacturing ( OEM ).
16. Human Resource and General Affair
Bagian yang mengatur pengurangan dan penerimaan karyawan dalam
perusahaan.
17. Susntainability and Environmental, Health and Safety
Merupakan departemen keselamatan kerja, yang berkewajiban memberikan
pengarahan dan peningkatan kepada para buruh agar terhindar dari kecelakaan
kerja. Departement ini juga bertugas memberikan training kepada buruh baru
maupun lama tentang kesehatan dan keselamatan kerja, juga penggunaan alat
pengamanan , cara penanggulangan kecelakaan kerja.
4.1.1.5 Proses produksi bearing (bantalan gelinding)
Sebelum mengetahui proses produksi bearing, sebaiknya terlebih dahulu
mengenal apa itu bearing (bantalan) dan fungsi dari bearing. Bearing adalah elemen
mesin yang menumpu poros berbeban, sehingga putaran atau gerak bolak-balik
dapat bekerja dengan aman, halus, dan panjang umur. Bantalan harus kokoh untuk
memungkinkan poros atau elemen mesin lainnya dapat bekerja dengan baik. Jika
bearing tidak dapat bekerja dengan baik, maka prestasi kerja seluruh sistem akan
menurun atau tidak dapat bekerja pada semestinya. Adapun fungsi dari bearing
64
yaitu mengurangi gesekan dan menahan beban radial, axial, dan kombinasi. Berikut
gambar bahan baku bearing yang sebagian besar didatangkan dari luar negeri
dalam bentuk barang setengah jadi,
Gambar 4.3 Bahan baku bearing.
Setelah semua bahan yang sampai di gudang ini baru akan terjadi proses
manufaktur bearing dengan tahapan proses sebagai berikut:
A. Proses Heat treatment (Pengerasan).
B. Proses production ring / face dan OD ( Proses penggerindaan permukaan )
C. Proses production bearing / Channel line (Penghalusan dan Assembly)
D. Proses pengemasan (Packaging)
Untuk lebih memperjelas proses tersebut akan diuraikan satu persatu proses
tersebut dan berikut ini aliran proses produksi bearing di PT. SKF Indonesia.
Component Parts of a Ball Bearing
Seal Rolling elements Inner ring
Outer ring Cage Seal
Electrical Business Unit
65
Gambar 4.4 Proses produksi ball bearing
A. Proses heat treatment
Pada proses ini bahan baku yang sudah ada dan sudah dipersiapkan oleh
pihak receiving (gudang) diambil pihak terkait untuk diproses perlakuan panas
digunakan untuk meningkatkan daya tahan dan meningkatkan kehidupan potongan
cut logam.
Pada umumnya, perlakuan panas dilakukan untuk meningkatkan kekuatan
material serta mempertinggi sifat mampu manufaktur material, seperti mampu
mesin, mampu bentuk serta pengembalian keuletan pada material yang telah
dikenakan pengerjaan dingin.
Dalam proses pembuatan outer ring dan innering ini, dilakukan juga proses
perlakuan panas. Berdasarkan standar pada ASM Handbook yaitu ISO 683-17/ SAE
52100. Proses perlakuan panas yang dikenakan pada outer ring adalah proses
quenching dan tempering.
Material ini dipanaskan sampai pada temperatur austenisasi (830-870oC),
sehingga seluruhnya akan berubah menjadi fasa austenit. Dari temperatur
austenisasi, dilakukan penahanan sampai selang waktu tertentu kemudian dilakukan
66
proses pendinginan secara cepat menggunakan medium cair. Dalam pemrosesan
ring digunakan medium cair berupa oli. Hasil dari quenching memberikan perubahan
fasa dari austenit menjadi martensit dan austenit sisa γ → M + γs.
Baja paduan hasil dari quenching akan memiliki kekerasan yang tinggi, dan
bersifat getas. Untuk mengurangi kegetasan pada martensit dilakukan proses
pemanasan yang disebut dengan proses tempering. Temperatur pemanasan untuk
proses temper sangat dipengaruhi oleh kekerasan akhir yang diinginkan. Secara
umum, temperatur temper dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1.) Temperatur Temper Tahap 1 (TTT 1): 80-150oC
2.) Temperatur Temper Tahap 2 (TTT 2): 200-400oC
3.) Temperatur Temper Tahap 3 (TTT 3): > 400oC
Di SKF Indonesia ada dua perlakukan panas yaitu Through Hardening
Process dan Carbo-Nitriding Process.
67
Gambar 4.5 Aliran proses pemanasan normal
Gambar 4.6 Aliran proses pemanasan carbo-nitriding
68
B. Proses Face dan OD Grinding
Pada proses pembentukan penghalusan outer ring dan inner ring dengan
cara penggerindaan halus menggunakan mesin centrelees grinding, outer ring
sendiri atau inner ring luar dari sebuah bearing secara umum berasal dari material
padat atau disebut juga dengan raw material yang sebelumnya sudah heat
treatment. Secara rule process, material yang sudah terbentuk dari hasil bubutan
pada proses machining tersebut akan digerinda dulu bagian Surfacenya, dengan 2
tahapan yaitu rough surface (gerinda permukaan kasar) dan finish surface (gerinda
permukaan halus). Setelah selesai proses surface grinding, barulah outer ring ini
masuk pada proses penggerindaan outside diameter.
Pada proses inilah mesin centreeles grinding itu bertugas, outer ring yang
tentunya sudah diketahui outside diameternya ini akan diproses haluskan bagian
luarnya, melalui dua kali proses yang juga sama seperti pada proses penggrindaan
side face ringnya.
Gambar 4.7 Proses penggerindaan permukaan
69
Work piece atau Outer ring masuk melalui infeed dengan dorongan feed
roller kedalam GW (grinding wheel) yang di topang oleh Support Blade dan di
jalankan oleh RW (regulating wheel). Tentunya proses penggerindaan ROUGH
outside diameter akan berbeda dengan FINISHnya, dalam beberapa hal perbedaan
mendasar itu adalah sebagai berikut:
a) Jika rough itu menghasilkan gerindaan kasar dan sizenya masih relatif besar
maka tidak dengan finish, proses finish mengahasilkan gerindaan halus dan
sizenya relatif sesuai dengan target masing-masing tipe bearing.
b) Jika pada proses rough sudut Regulator wheel adalah berkisar antara 40
derajat sampai 60 derajat, maka pada proses finish sudut regulator wheel
adalah berkisar antara 20 derajat sampai 30 derajat.
c) Pemakanan Grinding wheel pada proses rough adalah 3/4 dari panjang GW
d) Pemakanan Grinding wheel pada proses finish adalah 2/4 dari panjang GW
e) Pada proses rough tingkat kehalusan grinda atau wheel relatif kasar yaitu
dengan kecepatan pemakanan diamond dresser sebesar 5-8rpm
f) Pada proses finish tingkat kehalusan grinda atau wheel relatif halus yaitu
dengan kecepatan pemakanan diamond dresser sebesar 1-2rpm
C. Proses channel line (prod Assembling)
Setelah proses diatas selesai maka proses selanjutnya adalah masuk line
channel dimana masing channel dari channel 1 sampai 13 mempunyai proses yang
hampir sama dengan mesin yang sama. Dalam hal ini terdiri dari beberapa proses
yaitu:
70
1-Proses pengasahan OR raceway dan pengasahan IR Bore serta raceway. Pada
proses ini setiap item masuk kemesin dengan transfer handling didalam mesin
sebuah batu gerinda digunakan untuk menggiling permukaan bagian untuk akurasi
dimensi yang diperlukan dan sangat presisi. Dimensi seperti diameter luar dan
dalam dan lebar raceway untuk micrometer (seperseribu milimeter) presisi, seperti
alur, struktur internal yang utama terbentuk antara bagian dalam dan luar cincin di
mana bola berjalan. Alur antara cincin luar dan dalam di mana bola berjalan ini
diasah untuk nanometer (seperseribu mikrometer) presisi
Gambar 4.8 Proses penggerindaan raceway (alur bola)
Untuk hal ini OR raceway dan IR raceway harus pada ukuran yang sejalan
agar bola dimasukan sesuai dengan clearance yang di inginkan.
2-Proses pemasukan bola dan perakitan.
71
Gambar 4.9 Perakitan bearing
Pada bagian ini OR dan IR masuk kemesin Ball filling untuk dimasukan bola
sesuai ukuran bola yang di inginkan, setelah itu masuk ke mesin press untuk
dipasang cages (kandang) pengikat bola.
Setelah ini jadilah bearing yang sesuai standar dan aplikasinya dimasukkan
ke mesin washing untuk dicuci agar bersih dari serbuk logam sehabis pengasahan
dan masuk kemesin demagtinizing (penghilang magnit) lalu masuk ke camera
pokayoke untuk pengukuran kualitas.
Sesuai aplikasi yang di inginkan maka dapat ditambahkan pelumas (grease)
dan juga penutup baik dari karet atau metal (Rubber seals dan metal shields) yang
diterapkan berdasarkan kebutuhan aplikasi bearing, Lihat gambar dibawah tentang
produk bearing dengan penutup metal shield, tanpa penutup, dan penutup rubber
seals.
72
Gambar 4.10 Produk jadi ( bearing )
D. Proses Pengemasan
Setelah Proses production bearing / Channel line (Penghalusan dan
Assembly) maka proses selanjutnya adalah proses pengemasan dimana dalam
porses ini dibagi menjadi dua proses pengemasan yaitu :
a- Pengemasan untuk OEM (Original Engine Manufacturing)
Adalah pengemasan untuk dikirim langsung ke perusahaan perakitan sepeda
motor atau mobil seperti Honda motor, Honda mobil, Suzuki motor, Suzuki
mobil, Daihatsu, Yamaha dan lainnya, Dapat di lihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.11 Pengemasan untuk OEM
b- Pengemasan untuk AM (After Market)
73
Adalah pengemasan untuk dikirim langsung ke distributor spare part motor atau
mobil dan SKF Indonesia mempunyai after market sendiri dengan menjual
produk seperti Enduro, Genio, dan Fitgo untuk bearing berbagai jenis sepeda
motor, Dapat di lihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.12 Pengemasan untuk AM
74
4.1.1.6 Peta proses ball bearing
Untuk mempermudah mengetahui proses produksi disini penulis
membuat peta proses operasi terlampir:
Gambar 4.13 Peta Proses Operasi
Nama objek = Porses produksi Ball bearing
Nomor peta = PPO-01
Dipetakan = Slamet w idodo
Tanggal dipetakan =
Proses Heatreatment Proses Heatreatment
21.600 w ashing, oil quenching
,hardening & tempering
(Dow a machine)
21.600 w ashing, oil quenching ,
hardening & tempering
(Dow a machine)
60 Diperiksa kekerasan,
dimensi & struktur
(rockw ell, stuer, vicker)
60 Diperiksa kekerasan,
dimensi & struktur
(rockw ell, stuer, vicker)
Proses Face & OD Grinding Proses Face & OD Grinding
30 Penggerindaan permukaan
dan w ith (RCM, RDM.&SLDP
machine)
20 Penggerindaan permukaan
dan w ith (RCM, RDM.&SLDP
machine)
20 Diperiksa dimensi dan
ukuran (rockw ell, stuer,
gauge spin )
10 Diperiksa dimensi dan
ukuran (rockw ell, stuer,
gauge spin )
Proses Channel line
180
10 Diperiksa dimensi dan
ukuran, Clearence
(pokayoke, anderon, mvm &
gauge spin )
Proses Pengemasan
20 Diroll dengan plastik lalu
diisolasi dan dimasukkan
kebox pengiriman.
120 Diperiksa jumlah setipa roll
dan dihitung sesuai
pengiriman (manual)
Penggerindaan alur bola,
ball pilling, press cages dan
perakitan (Rabbit,Izumi, HIT
20 Februari 2015
PETA PROSES OPERASI
Cages Steel BallSeals/shields Inner ringsOuter ring
0-1
0-2
0-3
0-4
0-5
0-6
1-6
1-5
1-4
1-3
1-2
1-1
Logo Kegiatan Jumlah Waktu (Detik)
Operasi 6 43.450
Pemeriksaan 6 280
Gudang 1
Jumlah 3 13 43.730
Keterangan
75
4.1.2 Data khusus
Data khusus yang diambil dalam penelitian ini adalah data tentang biaya-
biaya yang menjadi fokus aktivitas dalam produksi antara lain biaya bahan baku,
biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik. Data di dapat dengan bertanya
langsung dengan pihak terkait dan meminta data yang berupa dokumen yang
diperlukan dalam penelitian ini, selanjut data diolah sebagai bahan untuk membuat
laporan tugas akhir untuk dianalisis dan memberi kesimpulan serta membuat saran
untuk pihak perusahaan.
4.2 Pengolahan Data
Analisis penentuan harga pokok produksi yang lebih akurat dapat dilakukan
dengan menggunakan sistem activity based costing. Penentuan harga pokok
produksi bearing pada perusahaan ini dibagi tiga cost pool. Cost pool tersebut yaitu
Ball Bearing, Spacer, dan HUB Bearing. Aktivitas yang terjadi dalam pembuatan
bearing dikelompokkan dalam empat cost driver yaitu Heat treatment, Face & OD
grinding, Channel line, dan Pengemasan.
Sebelum mengetahui jenis pengeluaran pada masing-masing cost driver,
biaya yang dikeluarkan oleh Perusahaan ini selama proses produksi pada bulan
Januari - Desember 2014 diketahui terlebih dahulu. Proses klasifikasi biaya dapat
dimulai dengan suatu pengelompokkan yang sederhana dari semua biaya dalam
dua golongan, yaitu harga pokok produksi (manufacturing cost) dan biaya-biaya
komersil (commercial cost). Harga pokok produksi dibagi menurut tiga unsur utama
76
dari biaya yaitu biaya bahan baku (BBB), biaya tenaga kerja (BTK), dan biaya
overhead pabrik (BOP), Sedangkan biaya komersil yaitu biaya-biaya pemasaran.
Pengolahan data ini untuk dalam hal pengemasan hanya di dapat data untuk
pengemasan OEM (Original Engine Manufacturing) karena tidak ada biaya
pengiriman, di mana pelanggan mengambil langsung barang yang telah selesai dan
siap untuk di ambil pelanggan sesuai dengan kesepakatan.
Data yang didapat dari berbagai sumber dalam mendukung untuk dapat
diolah dan di laporkan oleh penulis sebagai berikut :
a. Data produksi selama tahun 2014 Ball bearing sebanyak 1.200.000
pcs/tahun, Spacer sebanyak 78.000 pcs/tahun, dan Hub bearing
sebanyak 48.000 pcs/tahun.
b. Data biaya harga bahan baku selama tahun 2014 sebagai berikut :
1. Data biaya pembelian Outring selama tahun 2014 dalam
membantu proses produksi selama Rp 5.762.400.000,-
2. Data pembelian Innerring selama tahun 2014 dalam proses
produksi sebesar Rp 3.842.400.000,-
3. Data pembelian Steel Ball selama tahun 2014 dalam
membantu proses produksi sebesar Rp 932.400.000,-
4. Data pembelian Cages selama tahun 2014 dalam membantu
proses produksi sebesar Rp 806.400.000,-
5. Data pembelian Seals selama tahun 2014 dalam membantu
proses produksi adalah Rp 294.000.000,-
77
6. Data biaya pembelian Shields selama tahun 2014 dalam
membantu proses produksi adalah Rp 124.800.000,-
c. Data biaya tenaga kerja dan jumlah pekerja dalam aktivitas proses
produksi Ball bearing, Spacer, dan Hub bearing dengan total biaya
keseluruhan sebesar Rp 1.747.440.000 selama tahun 2014, data
biaya setiap aktivitas sebagai berikut :
1. Biaya aktivitas Heat treatment jumlah 9 pekerja dengan
penghasilan selama tahun 2014 adalah Rp.466.650.000,-
2. Biaya aktivitas Face & OD grinding jumlah 9 pekerja dengan
penghasilan selam tahun 2014 adalah Rp.427.680.000,-
3. Biaya aktivitas Channel line jumlah 12 pekerja dengan
penghasilan selama tahun 2014 adalah Rp.590.400.000,-
4. Biaya aktivitas Pengemasan jumlah 6 pekerja dengan
penghasilan selama tahun 2014 adalah Rp.262.800.000,-
d. Data biaya bahan penolong dalam aktivitas proses produksi Ball
bearing, Spacer, dan Hub bearing selama tahun 2014, data biaya
bahan penolong dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini :
Tabel 4.1 Total biaya bahan penolong
No Bahan PenolongJumlah biaya bahan
penolong
1 Biaya gerinda 1.124.320.000Rp
2 Biaya Air 886.970.000Rp
3 Biaya Listrik 1.868.524.000Rp
4 Biaya oli 1.945.789.000Rp
5 Biaya Gas 1.039.867.000Rp
6 Biaya Telepon 164.500.000Rp
7 Biaya Email dan Internet 145.789.000Rp
8 Biaya alat-alat kantor 116.820.000Rp
9 Biaya plastik 189.856.800Rp
10 Biaya Isolasi 126.987.500Rp
7.609.423.300Rp
Sumber: data perusahaan Januari - Desember 2014
Jumlah
78
Berikut tabel produksi Ball bearing selama tahun 2014 Sebelum data diolah
dengan metode Activity-based costing dan Tradisional,
Tabel 4.2 Data produksi tahun 2014
1. Sebelumnya data terlebih dahulu diuji keseragaman data dan kecukupan
data, apakah data cukup, seragam dan tidak keluar dari batas kontrol,
berikut perhitungannnya.
Bulan
(N)
Produksi Ball
bearing /bulan
1 90.000
2 110.000
3 90.000
4 96.000
5 110.000
6 95.000
7 110.000
8 110.000
9 90.000
10 110.000
11 95.000
12 94.000
Total 1.200.000
1.200.000
12
902.000.000
11
BKA = = 100.000 + ( 2 x 9.055 ) = 118.111
BKB = = 100.000 - ( 2 x 9.055 ) = 81.889
= = = 100.000,0
= = = 9.055 82.000.000 =
X∑xn
σ √ ∑( Xi - X ) ²
n-1√
X - 2σx
X + 2σx
√
79
Gambar 4.14 Grafik batas kontrol data produksi tahun 2014
Dari perhitungan diatas dapat diketahui bahwa data tersebut tidak keluar dari
batas bawah dan batas atas dan dianggap data masih batas normal, sedangkan
untuk kecukupan data di peroleh bahwa data yang di ambil sudah lebih dari cukup.
2. Setelah itu menghitung kecukupan dan keseragaman data harga bahan baku
ball bearing yaitu outring dan innerring apakah data tidak keluar batas
kontrol, berikut tabel harga kedua bahan baku ball bearing selama tahun
2014.
80,000
90,000
100,000
110,000
120,000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Data produksi ball bearing Tahun2014
BKA
Qty
BKB
N'
20 12 . 120.902.000.000 - 1.200.000 ² ²
1.200.000
N' =
N' = 3,01
1,73
N' =
= 20√ ²n.∑ Xi² - ( ∑ Xi ) ²
∑ Xi
( )
( )²
( )
80
Tabel 4.3 Harga bahan baku tahun 2014
Gambar 4.15 Grafik batas kontrol harga outring tahun 2014
57.624
12
574
11
BKA = = 4.802 + ( 2 x 7 ) = 4.816
BKB = = 4.802 - ( 2 x 7 ) = 4.788
= 52 = 7
= = = 4.802
= =
X∑xn
σ √ ∑( Xi - X ) ²
n-1√
X - 2σx
X + 2σx
√
N'
20 12 . 276.711.022 - 57.624 ² ²
57.624
N' =
N' =
0,03
0,001
N' =
= 20√ ²n.∑ Xi² - ( ∑ Xi ) ²
∑ Xi
( )
( )²
( )
4,780
4,800
4,820
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Data harga Outring
BKA
HARGA
BKB
81
Gambar 4.16 Grafik batas kontrol harga inerring tahun 2014
4.2.1 Biaya bahan baku ball bearing
Unsur utama dari biaya yang pertama adalah biaya bahan baku, dimana
biaya bahan baku yang digunakan dalam pembuatan Ball Bearing yaitu cincin dalam
(Innerring) dan cincin luar (outring) di perusahaan PT.SKF Indonesia.
38.424
12
604
11
BKA = = 3.202 + ( 2 x 7 ) = 3.217
BKB = = 3.202 - ( 2 x 7 ) = 3.187
= 55 = 7
= = = 3.202
= =
X∑xn
σ √ ∑( Xi - X ) ²
n-1√
X - 2σx
X + 2σx
√
N'
20 12 . 123.034.252 - 38.424 ² ²
38.424
N' =
N' =
0,04
0,002
N' =
= 20√ ²n.∑ Xi² - ( ∑ Xi ) ²
∑ Xi
( )
( )²
( )
3,184
3,194
3,204
3,214
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Data harga innerring
BKA
Qty
BKB
82
Tabel 4.4 Biaya bahan baku ball bearing
Jumlah pemakaian bahan baku selama tahuni 2014 PT. SKF Indonesia
adalah sebesar 3.600.000Pcs. Sehingga total biaya bahan baku yang dikeluarkan
sebesar Rp 11.762.400.000. Perhitungan biaya bahan baku sudah bersih karena
data yang didapat sudah termasuk biaya PPN, Bea masuk, dan Frieght cost sampai
di gudang bahan baku PT.SKF Indonesia.
4.2.2 Biaya tenaga kerja langsung
Unsur utama biaya yang kedua adalah biaya tenaga kerja, upah tenaga kerja
langsung yang ada pada PT.SKF Indonesia. Dapat di lihat pada tabel berikut:
No Bahan Baku
Jumlah per tahun
(Pcs)
Harga Bahan
Baku
Jumlah Biaya Bahan
Baku
1 Outring 1.200.000 4.802Rp 5.762.880.000Rp
2 Innering 1.200.000 3.202Rp 3.841.920.000Rp
3 Balls 1.200.000 777Rp 932.400.000Rp
4 Cages 1.200.000 672Rp 806.400.000Rp
5 Rubber Seals 1.200.000 245Rp 294.000.000Rp
6 Metal seals 1.200.000 104Rp 124.800.000Rp
3.600.000 11.762.400.000Rp
Sumber: data perusahaan Januari - Desember 2014
Jumlah
83
Tabel 4.5 Biaya tenaga kerja langsung
Biaya tenaga kerja pada tabel 4.5 adalah biaya tenaga kerja langsung dalam
proses aktivitas produksi Ball Bearing di PT.SKF Indonesia. Total biaya tenaga kerja
pada perusahaan ini sebesar Rp 1.581.393.665. untuk 36 orang tenaga kerja.
4.2.3 Biaya overhead pabrik
Unsur utama dari biaya yang ketiga adalah biaya overhead pabrik, Biaya
yang termasuk dalam biaya overhead pabrik adalah biaya-biaya yang tidak langsung
berpengaruh dalam penentuan harga pokok produksi. Biaya-biaya ini terjadi karena
adanya ativitas-aktivitas yang dilakukan dalam memproduksi mulai dari mengolah
bahan mentah menjadi produk jadi. Penentuan harga pokok produksi Ball Bearing,
Spacer, dan HUB Bearing di perusahaan PT.SKF Indonesia dengan sistem activity
based costing menurut Slamet (2007:104) dilakukan dengan dua tahap yaitu:
A. Tahap Pertama
1. Analisis aktivitas
Aktivitas yang terjadi dalam proses produksi Ball Bearing, Spacer, dan HUB
Bearing di perusahaan PT.SKF Indonesia adalah sebagai berikut :
No Proses aktifitasJumlah Tenaga
KerjaUpah / tahun
Jumlah Biaya
Tenaga Kerja
1 Heat treatment 9 46.914.027Rp 422.226.244Rp
2 Face & OD Grinding 9 43.004.525Rp 387.040.724Rp
3 Channel Line 12 44.524.887Rp 534.298.643Rp
4 Pengemasan 6 39.638.009Rp 237.828.054Rp
36 1.581.393.665Rp
Sumber: data perusahaan Januari - Desember 2014
Jumlah
84
a. Aktivitas Heat treatment
b. Aktivitas Face & OD grinding
c. Aktivitas Channel line
d. Aktivitas pengemasan
2. Membebankan biaya ke aktivitas
Setelah mengetahui aktivitas-aktivitas yang terjadi dalam proses produksi,
langkah selanjutnya adalah membebankan biaya ke aktivitas, sebelum itu tabel 4.6
merupakan rincian biaya bahan penolong yang di gunakan perusahaan.Total biaya
bahan penolong adalah Rp 7.609.423.000. Sehingga biaya overhead pabrik pada
perusahaan dalam proses aktivitas produksi Ball Bearing selama tahun 2014 dapat
dilihat pada tabel 4.6.
Tabel 4.6 Biaya overhead pabrik produksi Ball bearing
3. Mengelompokkan aktivitas sejenis untuk membentuk kumpulan sejenis
No Bahan PenolongJumlah biaya bahan
penolong
1 Biaya gerinda 1.017.484.163Rp
2 Biaya Air 802.687.783Rp
3 Biaya Listrik 1.690.971.946Rp
4 Biaya oli 1.760.895.023Rp
5 Biaya Gas 941.056.109Rp
6 Biaya Telepon 148.868.778Rp
7 Biaya Email dan Internet 131.935.747Rp
8 Biaya alat-alat kantor 105.719.457Rp
9 Biaya plastik 171.816.109Rp
10 Biaya Isolasi 114.920.814Rp
6.886.355.928Rp
Sumber: data perusahaan Januari - Desember 2014
Jumlah
85
Aktivitas untuk kelompok sejenis dalam pembuatan Ball Bearing, Spacer, dan HUB
Bearing selama tahun 2014 adalah sebagai berikut:
a. Kelompok Aktivitas Heat treatment: biaya Listrik, biaya air, biaya gas, biaya oli,
biaya alat-alat kantor, biaya bahan penolong dan biaya telepon serta biaya email.
b. Kelompok Aktifitas Face & OD grinding: biaya Listrik, biaya air, biaya gerinda,
biaya oli, biaya, biaya alat-alat kantor dan biaya telepon serta biaya email.
c. Kelompok Aktivitas Channel line: biaya Listrik, biaya air, biaya gerinda, biaya oli,
biaya alat-alat kantor dan biaya telepon serta biaya email.
d. Kelompok aktivitas pengemasan: biaya plastik, biaya isolasi, biaya alat-alat kantor
dan biaya telepon serta biaya email.
4. Menjumlahkan biaya aktivitas yang dikelompokkan untuk mendefinisikan
kelompok biaya sejenis.
86
Tabel 4.7 Rincian Biaya overhead pabrik ball bearing
5. Menghitung kelompok tarif overhead
Penentuan tarif kelompok overhead untuk penentuan harga pokok produksi ball
bearing adalah sebagai berikut :
a. Aktivitas Heat treatment
No Kelompok Aktivitas Jenis Biaya Jumlah
1 Heat treatment Biaya Air 321.075.113Rp
Biaya Listrik 676.388.778Rp
Biaya oli 704.358.009Rp
Biaya Gas 941.056.109Rp
Biaya Telepon 37.217.195Rp
Biaya Email dan Internet 32.983.937Rp
Biaya alat-alat kantor 26.429.864Rp
2.739.509.005Rp
2 Face & OD Grinding Biaya Air 200.671.946Rp
Biaya Listrik 240.806.335Rp
Biaya oli 528.268.507Rp
Biaya Gerinda 406.993.665Rp
Biaya Telepon 37.217.195Rp
Biaya Email dan Internet 32.983.937Rp
Biaya alat-alat kantor 26.429.864Rp
1.473.371.448Rp
3 Channel Line Biaya Air 280.940.724Rp
Biaya Listrik 240.806.335Rp
Biaya oli 528.268.507Rp
Biaya Gerinda 401.343.891Rp
Biaya Telepon 37.217.195Rp
Biaya Email dan Internet 32.983.937Rp
Biaya alat-alat kantor 26.429.864Rp
1.547.990.452Rp
4 Pengemasan Biaya Plastik 171.816.109Rp
Biaya Isolasi 114.920.814Rp
Biaya Telepon 37.217.195Rp
Biaya Email dan Internet 32.983.937Rp
Biaya alat-alat kantor 26.429.864Rp
383.367.919Rp
Jumlah
Jumlah
Jumlah
Jumlah
87
Biaya yang termasuk dalam kelompok biaya Heat treatment adalah biaya
listrik, biaya air, biaya gas, biaya oli, biaya alat-alat kantor, biaya bahan penolong
dan biaya telepon serta biaya email. Penentuan tarif kelompok berdasarkan jumlah
bahan baku yang dipesan selama tahun 2014. Jumlah bahan baku yang digunakan
sebesar 1.200.000 Pcs.
Kelompok biaya Heat treatment =
b. Aktifitas Face & OD grinding
Biaya yang termasuk dalam kelompok biaya face & OD grinding adalah biaya
Listrik, biaya air, biaya oli, biaya gerinda, biaya alat-alat kantor, dan biaya telepon
serta biaya email. Penentuan tarif kelompok berdasarkan jumlah bahan baku yang
dipesan selama tahun 2014. Jumlah bahan baku yang digunakan sebesar 1.200.000
Pcs.
Kelompok biaya Face & OD grinding =
c. Aktivitas Channel line
Biaya yang termasuk dalam kelompok biaya face & OD grinding adalah biaya
Listrik, biaya air, biaya oli, biaya gerinda, biaya alat-alat kantor, dan biaya telepon
serta biaya email. Penentuan tarif kelompok berdasarkan jumlah bahan baku yang
dipesan selama tahun 2014. Jumlah bahan baku yang digunakan sebesar 1.200.000
Pcs.
Kelompok biaya Channel line=
2.739.509.005Rp
1.200.000 Rp2.282,92 /Pcs=
1.473.371.448Rp
1.200.000= Rp1.227,81 /Pcs
88
d. Aktivitas Pengemasan
Biaya yang termasuk dalam kelompok biaya Pengemasan adalah biaya
plastik, biaya isolasi, biaya alat-alat kantor, dan biaya telepon serta biaya email.
Penentuan tarif kelompok berdasarkan jumlah bahan baku yang dipesan selama
tahun 2014. Jumlah bahan baku yang digunakan sebesar 1.200.000 Pcs.
Kelompok biaya Pengemasan=
B. Tahap Kedua
Biaya overhead pabrik (BOP) setiap kelompok aktivitas dilacak ke berbagai jenis
produk dengan menggunakan tarif kelompok yang dikonsumsi setiap produk.
Pembebanan BOP produk dihitung dengan rumus:
Over head yang dibebankan = tarif kelompok X unit driver yang dikonsumsi
a. Aktivitas Heat treatment
Aktivitas Heat treatment adalah aktivitas yang berhubungan dengan Heat
treatment bahan baku serta bahan penolong. Biaya yang termasuk dalam kelompok
biaya ini adalah biaya listrik, biaya air, biaya gas, biaya oli, biaya alat-alat kantor,
biaya bahan penolong dan biaya telepon serta biaya email. Pengalokasian biaya ke
cost driver berdasarkan jumlah pemakaian bahan baku sebesar 1.200.000 Pcs,
karena pemakaian bahan baku adalah pemicu terjadinya biaya tersebut. Biaya yang
digunakan dalam aktivitas heat treatment selama tahun 2014 adalah sebesar
Rp2.739.509.005. Adapun alokasinya disajikan pada tabel 4.8
1.547.990.452Rp
1.200.000= Rp1.289,99 /Pcs
383.367.919Rp
1.200.000= Rp 319,47 /Pcs
89
Tabel 4.8 Alokasi biaya aktivitas heat treatment
b. Aktifitas Face & OD grinding
Aktifitas Face & OD grinding adalah aktivitas yang berhubungan dengan
pengerindaan permukaan bahan baku yang sudah diproses heat treatment, yang
termasuk dalam kelompok biaya ini adalah biaya listrik, biaya air, biaya gerinda,
biaya oli, biaya alat-alat kantor, biaya bahan penolong dan biaya telepon serta biaya
email. Pengalokasian biaya ke cost driver berdasarkan jumlah pemakaian bahan
baku sebesar 1.200.000 Pcs, karena pemakaian bahan baku adalah pemicu
terjadinya biaya tersebut. Biaya yang digunakan dalam aktivitas Face & OD griding
selama tahun 2014 adalah sebesar Rp 1.473.371.448. Adapun alokasinya disajikan
pada tabel 4.9
Tabel 4.9 Alokasi biaya Aktifitas Face & OD grinding
c. Aktifitas Channel line
Aktifitas channel line adalah aktivitas yang berhubungan dengan
pengerindaan alur bola bahan baku dan perakitan bahan penolong, yang termasuk
dalam kelompok biaya ini adalah biaya listrik, biaya air, biaya gerinda, biaya oli,
biaya alat-alat kantor, biaya bahan penolong dan biaya telepon serta biaya email.
Pengalokasian biaya ke cost driver berdasarkan jumlah pemakaian bahan baku
sebesar 1.200.000 Pcs, karena pemakaian bahan baku adalah pemicu terjadinya
biaya tersebut. Biaya yang digunakan dalam aktivitas channel line selama tahun
Produk Tarif kelompok Unit driver Jumlah
Ball Bearing 2.282,92Rp 1.200.000 2.739.509.005Rp
Produk Tarif kelompok Unit driver Jumlah
Ball Bearing 1.227,81Rp 1.200.000 1.473.371.448Rp
90
2014 adalah sebesar Rp 1.547.990.452. Adapun alokasinya disajikan pada tabel
4.10.
Tabel 4.10 Alokasi biaya Aktifitas Channel line
d. Aktifitas pengemasan
Aktifitas pengemasan adalah aktivitas yang berhubungan dengan barang
yang sudah jadi (finish goods) setelah hasil dari perakitan channel line kelompok
biaya ini adalah biaya plastik, biaya isolasi, biaya alat-alat kantor, dan biaya telepon
serta biaya email. Pengalokasian biaya ke cost driver berdasarkan jumlah
pemakaian bahan baku sebesar 1.200.000 Pcs, karena pemakaian bahan baku
adalah pemicu terjadinya biaya tersebut. Biaya yang di gunakan dalam aktivitas
pengemasan selama tahun 2014 adalah sebesar Rp 383.367.919. Adapun
alokasinya disajikan pada tabel 4.11
Tabel 4.11 Alokasi biaya Aktifitas pengemasan
Jumlah biaya overhead yang dialokasikan menggunakan sistem activity-
based costing dapat di lihat pada tabel 4.12 sebagai berikut:
Produk Tarif kelompok Unit driver Jumlah
Ball Bearing 1.289,99Rp 1.200.000 1.547.990.452Rp
Produk Tarif kelompok Unit driver Jumlah
Ball Bearing 319,47Rp 1.200.000 383.367.919Rp
91
Tabel 4.12 Biaya Overhead yang di alokasikan
Jumlah biaya overhead pabrik yang dialokasikan dengan sistem activity
based costing adalah sebesar Rp 6.144.238.824.
Selanjutnya dilakukan perhitungan harga pokok produksi dengan sistem activity
based costing adalah sebagai berikut :
Tabel 4.13 Penentuan Harga Pokok Produksi Ball bearing berdasarkan
metode Activity-Based Costing
Pada tabel 4.13 menyajikan penentuan harga pokok produksi ball bearing
dengan sistem activity based costing. Harga pokok produksi ball bearing sebesar
Rp19.488.032.489. diperoleh dari penjumlahan tiga unsur biaya yaitu biaya bahan
baku sebesar Rp 11.762.400.000. (60%), biaya tenaga kerja langsung sebesar Rp
1.581.393.665. (8%), dan biaya overhead pabrik sebesar Rp 6.144.238.824 (32%).
4.2.4 Biaya harga pokok produksi ball bearing dengan sistem tradsional
Penentuan harga pokok produksi ball bearing dengan sistem tradisional
terutama dalam perhitungan biaya overhead pabrik tidak dihitung secara detail
No Kelompok Biaya Jumlah
1 Heat treatment 2.739.509.005Rp
2 Face & OD Grinding 1.473.371.448Rp
3 Channel Line 1.547.990.452Rp
4 Pengemasan 383.367.919Rp
6.144.238.824Rp Jumlah total
Sumber data khusus yang diolah
HPP HPP/unit
Rp % Rp % Rp % Rp Rp
1.200.000 11.762.400.000 60 1.581.393.665 8 6.144.238.824 32 19.488.032.489 16.240
BOPBBBUnit
BTKL
92
berdasarkan atas pemicu biaya dan sumber daya yang dikonsumsi oleh produk ball
bearing, karena harga pokok produksi dihitung dengan cara menjumlahkan biaya
bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik.
Perusahaan ini menentukan harga pokok produksi masih menggunakan sistem
tradisional, berikut ini adalah penentuan harga pokok produksi berdasarkan sistem
tradisional:
Penentuan tarif overhead tas dengan sistem tradisional pada Perusahaan ini
diilustrasikan pada tabel berikut :
Tabel 4.14 Penentuan tarif BOP sistem tradisional
Setelah biaya overhead diketahui sebesar Rp 7.609.423.300 maka
penentuan harga pokok produksi dengan sistem tradisional dapat dilakukan.
Penentuan harga pokok produksi ball bearing sistem tradisional disajikan pada tabel
4.15 dibawah ini.
Tabel 4.15 Penentuan Tarif HPP Sistem Tradisional
= 6.341Rp /pcs
BOP=
=
Biaya Over head pabrik yang dianggarkan
Jumlah prroduksi
7.609.423.300Rp
1.200.000
Unit Biaya Overhead Jumlah BOP
1.200.000 6.341Rp 7.609.423.300Rp
HPP HPP/unit
Rp % Rp % Rp % Rp Rp
1.200.000 11.762.400.000 56 1.747.440.000 8 7.609.423.300 36 21.119.263.300 17.599
Sumber: data perusahaan Januari - Desember 2014
UnitBBB BTKL BOP
93
Tabel 4.15 menyajikan penentuan harga pokok produksi Ball bearing
berdasarkan sistem tradisional. Harga pokok produksi Ball bearing sebesar
Rp21.119.263.300. diperoleh dari penjumlahan tiga unsur biaya yaitu biaya bahan
baku sebesar Rp 11.762.400.000. (56%), biaya tenaga kerja langsung sebesar
Rp1.747.440.000. (8%), dan biaya overhead pabrik sebesar Rp7.609.423.300
(25%).
4.2.5 Perbandingan harga pokok produksi ball bearing metode activity-based
costing dengan sistem tradisional
Penentuan harga pokok produksi yang selama ini digunakan perusahaan
adalah menggunakan sistem tradisional, yaitu menjumlahkan biaya bahan baku,
biaya tenaga kerja dan biaya overhead pabrik. Dalam sistem activity based costing
(ABC), harga pokok produksi diperoleh dari penjumlahan konsumsi aktivitas-aktivitas
yang terjadi dalam proses produksi untuk menghasilkan Ball bearing..
Penentuan harga pokok produksi dan biaya overhead pabrik dengan sistem
ABC dan Tradisional terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut disajikan pada tabel
4.16.
Tabel 4.16 Perbandingan Harga Pokok Produksi ball bearing dari kedua
metode
No Metode Biaya BBB (Rp) BTKL (Rp) BOP (Rp) HPP (Rp) HPP/unit
1 Activity-Based Costing 11.762.400.000 1.581.393.665 6.144.238.824 19.488.032.489 16.240
2 Tradisional 11.762.400.000 1.747.440.000 7.609.423.300 21.119.263.300 17.599
94
BAB V
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1 ANALISIS
5.1.1 Analisis perbandingan harga pokok produksi ball bearing
Berdasarkan tabel 4.16 menunjukkan bahwa harga pokok produksi Ball
bearing dengan sistem tradisional menghasilkan harga pokok produksi lebih besar
(overcost) dibandingkan dengan harga pokok produksi menggunakan sistem activity-
based costing. Perbedaan yang terjadi antara harga pokok produksi menggunakan
sistem tradisional dan sistem activity-based costing disebabkan karena pembebanan
biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik pada masing-masing
produk. Pada metode tradisional biaya tenaga kerja langsung biaya overhead
produk hanya dibebankan pada satu cost driver saja. Sedangkan pada sistem
activity-based costing, biaya overhead pada masing-masing produk dibebankan
pada banyak cost driver sesuai aktivitas-aktivitas yang dilakukan dalam prose
produksi ball bearing. Sehingga dalam metode activity-based costing mampu
mengalokasikan biaya aktivitas ke setiap produk lebih akurat berdasarkan konsumsi
masing-masing aktivitas.
5.2 PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis, diketahui bahwa hasil perhitungan harga pokok
produksi dengan sistem activity-based costing memiliki keunggulan dibandingkan
sistem tradisional. Meskipun sistem tradisional lebih mudah diaplikasikan karena
94
95
hanya menjumlahkan biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya overhead
pabrik, tetapi perhitungan tersebut kurang tepat untuk menghitung harga pokok
produksi lebih dari satu jenis produk karena tidak mencerminkan konsumsi sumber
daya secara lengkap dan akurat dalam proses produksinya. Pembahasan dalam
menganalisa pengolahan data diatas terdiri dari beberapa pembahsan:
1. Menguji keseragaman, kecukupan dan kenormalan data.
Dari pengolahan data maka didapat bahwa data produksi ball bearing
tahun 2014 sudah seragam yaitu data rata-rata setiap bulan sebanyak
100.000 pcs dan data sudah cukup yaitu dari 12 data per bulan selama tahun
2014 yang diperlukan hanya 3 data, serta data dalam batas normal dari data
per bulan selama atahun 2014 tidak keluar dari batas kontrol atas
118.111pcs dan batas kontrol bawah 81.889pcs , ini merupakan salah satu
pengujian data-data yang telah didapatkan sebelumnya. Pengujian ini
dilakukan untuk mengetahui berapa jumlah data pengamatan yang
sebaiknya digunakan dan bertujuan untuk menguji apakah data pengamatan
yang telah dikumpulkan sebelumnya sudah memenuhi jumlah yang
sebaiknya digunakan.
Tingkat ketelitian menunjukkan penyimpangan maksimal hasil
pengukuran dari data sebenarnya dan biasanya dinyatakan dalam bentuk
persen. Sedangkan tingkat keyakinan menunjukkan besarnya keyakinan
pengukur bahwa hasil yang diperoleh memenuhi syarat ketelitian dan
biasanya dinyatakan dalam bentuk persen. Dalam aktifitas pengukuran
biasanya akan diambil tingkat ketelitian 10 % dan tingkat keyakinan 90 %
96
atinya adalah bahwa pengukur membolehkan rata-rata hasil pengukurannya
menyimpang sejauh 10 % dari rata-rata sebenarnya dan kemungkinan
berhasil mendapatkan adalah 90 %. Jika jumlah pengukuran yang
seharusnya dilakukan lebih besar dari jumlah pengukuran yang telah
dilakukan (N’ > N), maka dilakukan pengukuran ulang dengan N lebih besar.
Jika N > N’ berarti bahwa jumlah pengamatan yang telah dilakukan
memenuhi syarat tingkat ketelitian dan tingkat keyakinan.
2. Menentukan harga pokok produksi metode activity-based costing dan
tradisional.
Penentuan Harga Pokok Produksi berdasar activity-based costing
terdiri dari dua tahap yaitu prosedur tahap pertama dan prosedur tahap
kedua. activity-based costing menggunakan Cost Driver yang lebih banyak,
oleh karena itu activity-based costing mampu menentukan hasil yang lebih
akurat dan tidak menimbulkan distorsi biaya. Selain itu activity-based costing
dapat meningkatkan mutu pengambilan keputusan sehingga dapat
membantu pihak manajemen memperbaiki perencanaan strategisnya. Dalam
hal ini metode activity-based costing lebih akurat dalam memperhitungkan
biaya overhead pabrik dimana segala macam aktivitas dalam proses
produksi secara teliti dan terperinci masuk ke setiap biaya yang membuat
faktor aktivitas masing-masing proses produksinya.
Dalam menghitung harga pokok produksi dengan metode activity-
based costing dapat diketahui dan ditelusuri biaya overhead pabrik mana
saja yang tidak perlu dan harus dihilangkan seperti biaya internet pada
97
aktivitas heat treatment, face & od grinding, serta channel line perlu
ditiadakan karena operator hanya bekerja untuk mengoperasikan mesin dan
bekerja dilapangan tapi untuk pengemasan tidak perlu dihilangkan karena
untuk komunikasi ke pelanggan bahwa barang siap untuk diambil, dan
kekurangan pengiriman. Pembahasan bagaimana menentukannya harga
pokok produksi dengan metode activity-based costing dengan rincian
sebagai berikut:
a. Untuk biaya bahan baku metode activity-based costing sama
dengan metode tradisional tidak dapat ditelusuri lebih dalam lagi dimana
biaya bahan baku sebsesar Rp 11.762.400.000.
b. Untuk biaya tenaga kerja langsung dapat ditelusuri setiap
aktivitas dalam proses produksi hanya ball bearing dalam metode
activity-based costing sedangkan dalam metode tradisional tenaga kerja
dihitung secara umum (digabung dengan proses produksi lainnya)
seperti spacer dan hub bearing, yang membuat perbedaan biaya
tersebut dimana metode activity-based costing sebanyak
Rp1.581.393.665 sedangakan metode tradisional sebanyak Rp
1.747.440.000, terdapat selisih sebanayak Rp 166.046.335 (9,5%).
c. Untuk biaya overhead pabrik dalam proses produksi ball
bearing dengan metode activity-based costing lebih akurat dalam
memperhitungkan biaya overhead pabrik dimana segala macam aktivitas
dalam proses produksi secara teliti dan terperinci masuk ke setiap biaya
yang membuat faktor aktivitas masing-masing proses produksinya,
98
sedangkan metode tradisional tidak terperinci dan teliti yang membuat
perbedaan perhitungan biaya overhead pabriknya. Dalam hal ini metode
activity-based costing biaya overhead pabriknya sebanyak
Rp.144.238.824. sedangkan biaya dengan metode tradisional sebanyak
Rp.609.423.300 . terdapat selisih Sebanyak Rp 1.465.184.476 (19,2%).
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar grafik dibawah ini.
Gambar 6.1 Perbandingan metode Activity-based costing dengan Tradisonal
3. Penerapan disiplin teknik industri dalam metode activity-based coasting.
Dilihat dari gambar 6.1 bahwa metode Activity-based costing lebih
baik, Akan tetapi untuk menerapkannya tidak mudah dan perlu biaya yang cukup
besar dimana permasalahannya adalah mengganti dari sistem pergudangan
yang lama dengan sistem pergudangan yang baru menggunakan kode batang,
setiap barang datang dan barang keluar discan menggunakan Personal Data
Terminal (PDT) yang terhubung langsung dengan data yang ada didalam sistem
pergudangan diperusahan. Untuk melihat bagaimana sistem tersebut berikut
BBB (Rp) BTKL (Rp) BOP (Rp)
1 Activity-Based Costing 11,762,400,000 1,581,393,665 6,144,238,824
2 Tradisional 11,762,400,000 1,747,440,000 7,609,423,300
1,000,000,000
4,000,000,000
7,000,000,000
10,000,000,000
13,000,000,000
D
a
l
a
m
R
u
p
i
a
h
Perbandingan kedua metode
99
diagram Store Request (pengambilan barang / SR) antara sistem lama dengan
sistem baru memakai Barcode.
Gambar 6.2 Diagram proses SR sistem Lama
Flow Chart Store Request (SR) :
User mengambil kartu SR digudang
User mengisi kartu SR sesuai barang yang mau diambil
dan SR ditantangani oleh
pengawas
Petugas gudang memberikan
barang sesuai SR yang sudah diisi
oleh user
User menanda tangani SR yang sudah diberikan
barang yang sudah diberikan
Jenis barang
Petugas Memberikan
salinan SR keuser
setelah ditanda tangani petugas
Petugas mengentri data SR kekomputer
yang sudah ada di sistem dan
menandatangani
SR bahwa data sudah dientri
Tidak
Ya
100
Gambar 6.3 Diagram proses sistem Barcode
Dibalik biaya yang cukup besar untuk diinvestasikan untuk sistem Barcode
ternyata ada keuntungan yang sangat besar yang bisa diperoleh dengan
menerapkan teknologi Barcode, Adapun keuntungan dari penerapan Barcode
adalah sebagai berikut:
Flow Chart Store Request (SR) :
Kartu ID
User Receiving menscan barcode ID SIIS di kartu ID
User Receiving menscan
departemen beban
Departemen beban
User Receiving menscan barcode IPD, lokasi & Qty
Fisik Shop Supplies
Jenis barang > 1
User Receiving mencetak Form
SR
User peminta barang
menandatangani
Form SR
Form SR
Tidak
Ya
Sunar s o
Sunarso
101
a. Proses Input Data lebih Cepat, Tepat, dan Akurat
i. Cepat : Barcode Scanner dapat membaca / merekam data lebih cepat
dibandingkan dengan melakukan proses input data secara manual
ii. Tepat : Teknologi Barcode mempunyai ketepatan yang tinggi dalam
pencarian data.
iii. Akurat : Teknologi Barcode mempunyai akurasi dan ketelitian yang
sangat tingi.
b. Mengurangi Biaya
iv. Mengindari kerugian dari kesalahan pencatatan data.
v. Mengurangi pekerjaan yang dilakukan secara manual secara berulang-
ulang.
c. Peningkatan Kinerja Manajemen
vi. Dengan data yang lebih cepat, tepat dan akurat maka pengambilan
keputusan oleh manajemen akan jauh lebih baik dan lebih tepat, yang
nantinya akan sangat berpengaruh dalam menentukan kebijakan
perusahaan.
vii. Kemampuan bersaing dengan perusahaan saingan / kompetitor akan
lebih terjaga.
Sistem barcode sangat berguna sekali bagi perusahaan yang memiliki
aktivitas yang sangat sibuk dengan produksi berbagai macam produk dengan
membebankan pengambilan barang ke setiap aktivitas masing-masing
depatemen.
102
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis di
PT. SKF Indonesia, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Perhitungan Harga Pokok Produksi pada PT. SKF Indonersia dengan
Activity-Based Costing diperoleh hasil sebesar Rp 19.488.032.489.
Sedangkan Perhitungan Harga Pokok Produksi pada PT. SKF Indonesia
menggunakan Sistem Tradisional diperoleh hasil sebesar Rp
21.119.263.300. Dengan menjumlahkan biaya bahan baku, biaya tenaga
kerja dan biaya overhead pabrik.
2. Perbandingan Harga Pokok Produksi pada PT. SKF Indonesia dengan
menggunakan Sistem Tradisional dan Activity-Based Costing System adalah
sebagai berikut:
a. Perhitungan Harga Pokok Produksi menggunakan Activity-Based Costing
sistem memberikan hasil yang lebih murah dan hasil lebih kecil dengan
sistem tradisional pada Ball bearing dan selisih dengan sistem tradisional
sebesar Rp 1.636.230.811 (7,72%) atau selisih Rp 1.359/unit.
b. Perbedaan yang terjadi antara Harga Pokok Produksi dengan
menggunakan sistem tradisional dengan activity-based costing Sistem
disebabkan karena pembebanan biaya tenaga kerja dan biaya Overhead
pabrik pada masing-masing produk. Pada sistem tradisional biaya pada
masing-masing produk hanya dibebankan pada satu Cost Driver saja.
102
103
Akibatnya cenderung terjadi distorsi pada pembebanan biaya tenaga kerja
dan biaya overhead pabrik.
6.2 SARAN
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka terdapat
beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengambilan
kebijakan, saran tersebut antara lain:
1. PT. SKF Indonesia dapat menggunakan sistem Tradisional jika Harga Pokok
Produksinya tidak melebihi harga dari perusahaan lain, sehingga dapat
bersaing dengan harga di pasaran. Apabila perusahaan menghasilkan
produk yang semakin bervariasi sebaiknya perusahaan menggunakan
activity-based costing sistem, tetapi harus benar-benar dapat membantu
pihak manajemen dalam mengambil keputusan karena penetapan activity-
based costing membutuhkan biaya yang cukup besar.
2. Pihak manajemen sebaiknya mulai mempertimbangkan perhitungan Harga
Pokok Produksi dengan menggunakan activity-based costing dengan tetap
mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang lain seperti harga pesaing
dan kemampuan masyarakat. Harga Pokok Produksi dengan activity-based
costing lebih kecil dan menampakkan hasil yang relatif lebih besar dari pada
Harga Pokok Produksi dengan metode Tradisional, namun sebaiknya PT.
SKF Indonesia mengevaluasi kembali sistem pembebanan biayanya dalam
menentukan Harga Pokok Produksi karena Harga Pokok Produksi akan
mempengaruhi posisi produk di pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Blocher, Edward J., Chen Kung H. Lin, Thomas W. 2000. Manajemen Biaya Dengan Tekanan
Strategik. Jakarta: Salemba Empat.
---------- 2007. Cost Management: Manajemen Biaya Penekanan Strategis. Jakarta: Salemba
Empat.
Cokins, Gary. 2001. Activity Based Cost Management : An Executive’s Guide. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Emblemsvag, Jan. 2003. Life Cycle Costing : Using Activity-Based Costing and Monte Carlo
Methods to Manage Future Costs and Risks. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Gaspersz, V. 2002. Production Planning and Inventory Control. PT. Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta.
Handoko, T. H. 2000. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. BPFE,
Yogyakarta.
Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen 2006. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba
Empat .
Herjanto, E. 2003. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Kedua. PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Mariadi, Bambang. 2002. Akuntansi Manajemen Suatu Sudut Pandang. Yogyakarta: BPFE.
Horngren, Charles T., Dastar., Srikant M. Foster, dan George. 2005. Akuntansi Biaya
Penekanan Manajerial. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Media.
Kumar, Sameer dan Matthew. 2007. Supply Chain Cost Control Using Activity-Based
Management. New York: Auerbach Publications.
Mulyadi. 1999. Akuntansi Manajerial. Yogyakarta: Aditya Medika.
Mulyadi, dan Setiawan Jhonny. 2001. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat .
Nafarin, M. 2007. Penganggaran Perusahaan. Jakarta: Salemba Empat.
Siti, Laeni Setyaningsih. 2011. “Analisis Penentuan Harga Pokok Produksi Berdasarkan Sistem
Activity Based Costing (ABC) Pada Pabrik Roti Sumber Rejeki Gunungpati”. Skripsi.
Semarang: Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang
Simamora, Henry. 2000. Akuntansi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat
Slamet, Achmad. 2007. Penganggaran, Perencanaan dan Pengendalian Usaha. Semarang:
UNNES Press
Sulastiningsih. 1999. Akuntansi Biaya. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta.
Supriono. 2007. Akuntansi Biaya dan Akuntansi Manajemen Untuk Tekhnologi Maju dan
Globalisasi edisi II. Yogyakarta: BPFE
http://jualbarcode.blogspot.sg/2008/06/penggunaan-barcode-keuntungan-arcode.html
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7