analisis gaya bahasa personifikasi dan nilai...
TRANSCRIPT
ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
NOVEL PUKAT KARYA TERE LIYE
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjanan Pendidikan (SP.d.)
Oleh:
RISKHA FATMANINGRUM
115 14 154
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2018
ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
NOVEL PUKAT KARYA TERE LIYE
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjanan Pendidikan (SP.d.)
Oleh:
RISKHA FATMANINGRUM
115 14 154
PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2018
PERSEMBAHAN
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik, dan karya ini saya persembahkan kepada:
Teruntuk Ayahanda Slamet Sukamdi dan Ibunda Nur Azizah,
yang atas kasih sayang dan segala dukungan baik moral
ataupun materil sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini
dengan baik.
Teruntuk suami tercinta yang selalu setia menemani,
membantu dan mendukung penuh pengerjaan tugas akhir ini.
Terimakasih untuk semuanya cinta.
Teruntuk anakku tersayang dek Aisyah Amaturrahman
Mubarok, terimaksih telah menemani Ibu nak, memberikan
energi positif dan memberikan semangat yang luar biasa.
Teruntuk adikku tersayang Muhammad Azmi Darussalam yang
telah banyak menjadi teman curhat dalam segala kondisi.
Teruntuk semua keluarga besarku, terimakasih telah
memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan jenjang
pendidikan Strata Satu ini dengan baik.
Teruntuk manusia-manusia luar biasa yang dengan sengaja
Allah pertemukan kami bertiga, sahabat yang selalu ada
dalam penentuan keputusan-keputusan besar dalam hidupku,
Mbak Puji Lestari (Be), dan Anis Aulia Arifani (Lay).
Terimakasih untuk semuanya.
Teruntuk squad gagan KKN 53 2018, Pak Dian, Tante In,
Moms ki, Dwikek, Fitri, Om Ahsan, Edo, Uky. Kalian luar
biasa.
Teruntuk teman-teman PPP MIN Salatiga, terimakasih untuk
dua bulan yang tidak akan pernah terlupakan, terimakasih
telah saling memberikan semangat, berkompetisi dan terus
berkarya untuk selalu menjadi guru dan pendidik yang selalu
mau belajar dan belajar.
Teruntuk teman-teman PGMI E angkatan 2014, terimakasih
untuk bantuan dan kerjasamanya selama ini, semoga kita
menjadi orang-orang yang hebat di kemudian hari.
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah puji syukur senantiasa penulis panajtkan atas
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Gaya
Bahasa Personifikasi dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat
Karya Tere Liye. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan
seluruh umat yang menggikuti ajaranya.
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada berbagai
pihak yang telah memberikan banyak motivasi, bimbingan, arahan dan
bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dekan FTIK IAIN Salatiga.
3. Ibu Peni Susapti, M.Si selaku ketua jurusan PGMI IAIN Salatiga yang
sekaligus dosen Pembimbing Akademik penulis.
4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah mengarahkan, membimbing, dan meluangkan waktunya dalam
penulisan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu yang luar
bisa kepada penulis.
6. Staf perpustakaan, bagian akademik dan seluruh staf IAIN Salatiga yang
telah memberikan layanan serta bantuan kepada penulis.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih
atas semua motivasi dan bantuanya.
Karena keterbatasan penulis, penulis menyadari dalam penulisan
skripsi ini masih banyak kekuranganya dan penulis berharap saran dan
masukan dari para pembaca demi kebaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan
pembaca pada umumnya serta menjunjung pengembangan ilmu
pengetahuan.
Salatiga, 19 Juli 2018
Penulis
Riskha Fatmaningrum
ABSTRAK
Fatmaningrum, Riskha. 2018. Analisis Gaya Bahasa Personifikasi dan Nilai
Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat Karya Tere Liye. Skripsi. Prodi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra.
Urifatun Anis, M.Pd.I.
Kata Kunci: Personifikasi & nilai pendidikan karakter.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui wujud gaya bahasa
personifikasi yang digunakan Tere Liye dalam novel Pukat. (2) Mengetahui nilai
pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Pukat. (3) Mengetahui
relevansi gaya bahasa personifikasi dan nilai pendidikan karakter dalam novel
Pukat terhadap kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini menggunakan metode library research, teknik pengumpulan
data dilakukan dengan teknik baca dan catat.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Gaya bahasa personifikasi
dalam novel Pukat digunakan dalam penggambaran waktu (pagi, siang, sore,
malam) dan penggambaran keadaan yang sedang terjadi. (2) nilai pendidikan
karakter yang terdapat dalam novel Pukat adalah nilai pendidikan yang sesuai
dengan agama, pancasila, budaya dan nilai pendidikan nasional, yaitu: jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratiis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan dan nasionalisme, cinta anah air, menghargai prestasi,
bersahabat dan komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial dan tanggung jawab. (3) Relevansi gaya bahasa personifikasi yang
terkandung dalam novel Pukat yaitu: (a) Menjelaskan suasana, (b) Menarik minat
pembaca, (c) Sebagai contoh gaya bahasa dalam pembelajaran. Relevansi nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam novel ini antara lain: ajakan untuk zakat,
berbuat jujur, menerima pendapat, membantu orang tua, menghargai pemerintah,
membantu tetangga, tidak merusak hutan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO ..................................................................................................... ii
JUDUL ........................................................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................................... vi
MOTTO .......................................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... x
ABSTRAK ..................................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ................................................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian................................................................................................. 7
D. Kegunaan Penelitian ............................................................................................ 7
E. Metode Penelitian ................................................................................................ 8
F. Penegasan Istilah ............................................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 11
BAB II BIOGRAFI NASKAH
A. Biografi Novel ................................................................................................... 13
B. Biografi Penulis ................................................................................................. 45
C. Karakteristik Novel Karya Tere Liye ................................................................ 46
D. Karya-Karya Tere Liye ..................................................................................... 47
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Gaya Bahasa Personifikasi ................................................................................ 49
B. Nilai Pendidikan Karakter ................................................................................. 62
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................................
A. Gaya Bahasa Personifikasi ................................................................................ 76
B. Relevansi Gaya Bahasa Personifikasi dalam Kehidupan Sehari-hari ............... 90
C. Pendidikan Karakter dan Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari ................. 93
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................... 125
B. Saran ................................................................................................................ 127
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 128
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 129
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Tugas Pembimbing Skripsi
Lampiran 2 Daftar Nilai SKK
Lampiran 3 Lembar Bimbingan Skripsi
Lampiran 4 Riwayat Hidup Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membaca merupakan sebuah kebutuhan bagi masyarakat secara
umum, mulai dari anak-anak hingga mereka yang sudah berusia senja. Dari
mulai membaca sesuatu yang tidak sengaja sampai yang memang berniat
untuk membacanya, sesuatu yang tidak sengaja misalnya iklan, banner atau
bahkan tempelan pada tiang listrik di jalan. Semua hal-hal tersebut seakan
meminta untuk dibaca, dan banyak hal lain yang memang menjadi niatan
untuk dibaca, seperti halnya membaca buku, membaca Al-Qur‟an, dan lain
sebagainya yang memang bermaksut untuk membacanya.
Membaca menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-
hari, karena dari membaca maka akan terbuka wawasan dan pemahaman
baru. Pentingnya membaca juga terdapat dalam Q.S Al-Alaq ayat 1-5, ayat
yang sekaligus menjadi wahyu pertama Nabi Muhammad SAW ini menjadi
perintah umat manusia untuk membaca, karena dari membaca seseorang akan
mengetahui banyak hal. Baik itu membaca secara langsung ataupun membaca
dalam arti lain.
Dewasa ini, kesadaran membaca sudah cukup tinggi dikalangan
masyarakat. walaupun jika dibandingkan dengan negara lain Indonesia masih
berada diperingkat bawah. Namun seiring berjalanya waktu semakin banyak
orang-orang, kelompok-kelompok tertentu, instansi-instansi pendidikan dan
pemerintah yang peduli dan semakin giat mempromosikan pentingnya
membaca. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perpustakaan, taman-
taman baca, dan kelompok-kelompok baca yang semakin hari semakin
terlihat perkembanganya.
Berbicara mengenai membaca, pastilah yang pertama terbesit di
fikiran adalah buku, entah itu buku mengenai ilmu pengetahuan, ataupun
buku bacaan yang lain. Diera yang serba modern ini memang membaca tidak
harus menggunakan media cetak/buku, banyak media-media lain yang juga
memberikan fasilitas untuk membaca. Namun tidak bisa di pungkiri
keberadaan media cetak/buku tetaplah tidak bisa tergantikan.
Budaya membaca menjadi sangatlah penting untuk anak-anak usia
sekolah, terutama bagi mereka yang masih mengenyam bangku pendidikan
dasar. Karena dari sinilah cikal bakal akan seperti apa mereka dikemudian
hari, akankah menjadi generasi yang tunduk pada gadget dan segala game
yang ada di dalamnya atau mereka yang berteman dengan buku dan
informasi-informasi yang pantas mereka peroleh.
Anak usia sekolah, terutama mereka yang duduk di bangku sekolah
dasar kegiatan membaca buku bacaan yang berisi cerita-cerita menjadi sangat
menarik, mengingat imajinasi mereka yang cukup tinggi. Disinilah perbedaan
membaca dengan menonton serial cerita. Saat membaca cerita, anak-anak
secara tidak langsung akan membayangkan cerita yang sedang di baca,
berbeda dengan ketika menonton serial cerita. Karena ketika menonton,anak-
anak hanya akan menikmati apa yang ditonton, tanpa ada proses imajinasi
mereka mengenai cerita tersebut.
Banyak buku bacaan yang sesuai untuk anak usia Sekolah dasar,
mulai dari buku pelajaran, buku pengetahuan umum, majalah anak, cerpen,
hingga novel anak dan lain sebagainya.
Saat membaca cerpen ataupun novel misalnya, anak dapat
membayangkan tokoh dalam cerita tersebut, bagaimana latar tempatnya,
kapan waktu berlangsungnya cerita dan banyak hal lain mengenai cerita yang
dibaca. Saat mengalami hal ini secara tidak langsung anak telah belajar unsur
instrinsik dan ekstrinsik dari sebuah cerita yang telah dibaca.
Berjalan dari unsur instrinsik dan ekstrinsik dari sebuah cerita terdapat
pula didalam cerpen ataupun novel tersebut gaya bahasa, gaya bahasa dapat
diartikan sebagai cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). (Keraf,
1985: 13)
Gaya bahasa mempunyai banyak ragam, salah satunya adalah gaya
bahasa personifikasi. Gaya bahsa ini sering dan hampir ada di setiap cerpen
dan novel. Gaya bahasa personifikasi itu sendiri adalah gaya bahasa kiasan
yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 1994:140)
Gaya bahasa personifikasi merupakan gaya bahasa yang cukup mudah
untuk di pahami, termasuk pemahaman untuk anak-anak usia sekolah
terutama yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat membaca cerita baik
cerpen ataupun novel anak-anak pastilah juga akan menemukan gaya bahasa
yang banyak, termasuk gaya bahasa personifikasi.
Belajar dari unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerita, terdapat
pula amanat atau nilai yang dapat diambil dari cerita tersebut. Dari membaca
cerpen ataupun novel pembaca bisa mengambil pelajaran yang ada
didalamnya, baik itu nilai pendidikan, nilai agama, nilai kebudayaan, dan
semua yang ada dalam cerita. Termasuk pendidikan karakter, nilai pendidikan
yang juga disebut pendidikan budi pekerti ini bukan hanya dapat diperoleh di
sekolah, namun dari membaca novel sekalipun pembaca akan mendapatkan
contoh dari penanaman karakter dalam kehidupan sehari-hari.
Dewasa ini, pendidikan karakter sangat ditekankan diberbagai lapisan
masyarakat, terutama di bidang pendidikan. Dalam dunia pendidikan saat ini,
pendidikan karakter bahkan menjadi tujuan utama daripada unsur intelegensi
yang kerapkali dianggap sebagai kepintaran yang paling penting. Dengan
adanya fokus pada pendidikan karakter ini maka novel Pukat dapat menjadi
salah satu novel yang tidak hanya menghibur dari segi isi, namun juga
memberikan nilai pedidikan karakter dari amanat yang ada didalamnya.
Sehingga akan ada sesuatu yang dapat dipetik dari hasil membaca tersebut.
Seperti halnya novel Pukat karya Tere Liye, novel ini merupakan
novel dengan serial Anak-anak Mamak atau lebih mudahnya dapat dikatakana
novel untuk anak-anak. Dalam novel ini menceritakan tentang anak laki-laki
yang pintar dan selalu mempunyai banyak akal bernama Pukat, dia dijuluki Si
Jenius, dia adalah anak ke dua dari empat bersaudara. Kakaknya bernama
Eliana, adiknya bernama Burlian, dan adik bungsunya bernama Amelia.
ketiga saudaranya ini juga dijadikan novel oleh penulis yang tidak lagi asing
di kalangan sastrawan novel di Indonesia, Tere Liye.
Tere Liye merupakan penulis yang hasil karyanya selalu di tunggu-
tunggu oleh penikmat sastra, banyak dari novel-novenya yang mendapatkan
predikat best seller, Tere Liye sendiri merupakan nama pena dari Darwis,
beliau lahir di Lahat Sumatera pada tanggal 21 Mei tahun 1979, pekerjaanya
adalah penulis novel sekaligus akuntan, Tere Liye mulai menulis sejak tahun
2005 hingga saat ini, adapun karya-karyanya yang lain selain serial anak-
anak mamak (Eliana, Pukat, Burlian, dan Amelia) diantaranya adalah: Daun
Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Hafalan Shalat Delisa, Moga
Bunda Disayang Allah, Bidadari-Bidadari Surga, Pulang, Hujan, Tentang
Kamu, Senja Bersama Rosie, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, Bumi, Bulan,
Matahari, Rindu, dan masih banyak lagi.
Novel Pukat ini pantas diteliti, karena novel ini merupakan salah satu
novel best seller dari sekian novel yang ditulis Tere Liye. Dilihat dari segi
kebahasaan novel ini mempunyai gaya bahasa yang unik dan pemilihan
kalimat yang digunakan penulis sederhana dan mudah dipahami, terutama
untuk anak-anak. Selain itu penulis juga berkeinginan untuk meneliti gaya
bahasa apakah yang sering muncul dalam novel Pukat karya Tere Liye ini.
Dan melihat banyaknya nilai pendidikan karakter yang dapat di ambil dari
novel ini, maka novel ini akan banyak memberikan pembelajran dan dampak
positif bagi pembaca.
Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti novel
tersebut dengan judul “Analisis Gaya Bahasa Personifikasi dan Nilai
Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat Karya Tere Liye”.
B. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini membahas permasalahan yang dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah wujud gaya bahasa personifikasi yang digunakan Tere
Liye dalam novel Pukat?
2. Nilai pendidikan karakter apa yang terkandung dalam novel Pukat?
3. Bagaimana relevansi gaya bahasa personifikasi dan nilai pendidikan
karakter dalam novel Pukat terhadap kehidupan sehari-hari?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Mengetahui gaya bahasa personifikasi yang ditampilkan Tere Liye dalam
novel Pukat.
2. Mengetahui nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Pukat.
3. Mengetahui relevansi gaya bahasa personifikasi dan nilai pendidikan
karakter dalam novel Pukat terhadap kehidupan sehari-hari.
D. Kegunaan Penelitian
Nilai dari suatu penelitian ditentukan oleh seberapa besar kegunaan
yang dapat di ambil dari penelitian tersebut. Adapun kegunaan yang
diharapkan peneliti adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Dari hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat mengetahui dimana
letak gaya bahasa personifikasi yang digunakan Tere Liye dalam novel
Pukat.
b. Dari hasil penelitian ini diharapkan agar pembaca dapat lebih
memahami nilai pendidikan karakter seperti apakah yang terkandung
dalam novel Pukat.
c. Dari hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi sumbangsih
terhadap karya satra.
2. Manfaat Praktis
Dari hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat mengetahui gaya
bahasa personifikasi dari novel Pukat karya Tere Liye dan dapat mengambil
nilai pendidikan karakter yang terkandung didalamnya.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kepustakaan atau
library research, yaitu penelitian yang lebih menitik beratkan pada
pembahasan yang bersifat literer. Penelitian kepustakaan ini hanya membatasi
kegiatannya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa adanya riset
lapangan. (Zed, 2004:2)
Dalam penelitian library research ini penghimpunan data dapat
diambil dari berbagai literatur, dimana novel Pukat adalah objek primer
dalam penelitian ini, dan buku-buku lain yang beraitan dengan pembahasan
penelitian ini adalah objek sekunder.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat.
Teknik membaca dilakukan dengan membaca novel Pukat secara cermat,
kemudian mencatat data yang diperlukan untuk penelitian novel tersebut.
Teknik ini digunakan untuk mencari gaya bahasa personifikasi dan nilai
pendidikan karakter dalam novel Pukat. Adapun langkah-langkah dalam
menganalisis data adalah sebagai berikut:
a. Langkah deskriptif, yaitu menguraikan teks-teks dalam novel Pukat yang
termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan teks yang berhubungan
dengan pendidikan karakter.
b. Langkah interpretasi, menjelaskan teks-teks dalam novel Pukat yang
termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan teks yang berhubungan
dengan pendidikan karakter.
c. Langkah analisis, yaitu menganalisis penjelasan dari novel Pukat yang
termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan penjelasan yang
berhubungan dengan nilai pendidikan karakter.
d. Langkah pengambilan kesimpulan, yaitu mengambil kesimpulan dari
dalam novel Pukat yang termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan
bagian dari novel Pukat yang berhubungan dengan pendidikan karakter.
F. Penegasan Istilah
1. Gaya Bahasa Personifikasi
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa). (Keraf, 1985:113)
Gaya bahasa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan
yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 1994:140)
2. Pendidikan Karakter
a. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah, sepanjang
hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan
peranan dalam berbagai lingkungan hidup secata tepat dimasa yang
akan datang. (Mudyahardjo, 2010:11)
b. Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti
yang membedakan seseorang dengan yang lain (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008:521)
c. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti budi pekerti plus,
yaitu pendidikan yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). (Muslich, 2015:29)
3. Novel
Novel adalah sebuah karya fiksi menawarkan dunia, dunia yang
berisi model kehidupan yang diidealka, dunia imajinatif yang dibangun
melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, tokoh, latar, sudut
pandang, dan lain-lainnya yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif.
(Nurgiyantoro, 2005:4)
4. Pukat
Pukat adalah salah satu novel karya Tere Liye (Serial anak-anak mamak) yang
masuk dalam kategori novel Best Seller, novel ini menceritakan tentang
kehidupan Pukat, keluarganya dan warga kampung yang penuh dengan
kesederhanaan, kejujuran dan saling tolong menolong dalam segala
kondisi. Novel yang mengajarkan banyak kebaikan kepada pembacanya,
novel yang memberikan banyak wawasan dan ilmu baru pada
pembacanya. Novel yang patut di baca oleh segala usia, baik anak-anak
ataupun orang dewasa.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika skripsi ini terdiri dalam lima bab yang dibagi dalam sub-
sub bagian yang digunakan untuk mempermudah pemahaman terhadap isi
penelitian. Adapun sistematika penulisan analisis novel Pukat ini adalah
sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah yang
membuat penulis tertarik untuk meneliti Gaya Bahasa Personivikasi dan Nilai
Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat. Serta uraian mengenai rumusan
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan
istilah, dan sistematika penulisan.
BAB II: BIOGRAFI NASKAH. Dalam bab ini dijelaskan mengenai biografi
naskah dengan diperkuat kajian teori yang berasal dari berbagai sumber yang
dijadikan sebagai bahan kutipan.
BAB III: DESKRIPSI PEMIKIRAN. Dalam bab ini dijelaskan secara lebih umum
mengenai rumusan masalah yang ada dengan menjabarkan hal-hal yang akan
dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya, yaitu bab pembahasan.
BAB IV: PEMBAHASAN. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tujuan penelitian
yang dibuktikan dengan kutipan yang diambil dalam novel Pukat yaitu sebagai
berikut: Mendeskripsikan gaya bahasa dan nilai pendidikan karakter yanag
terkandung dalam Novel Pukat karya Tere Liye, mendeskripsikan gaya bahasa
personifikasi dan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel
tersebut serta relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.
BAB V: PENUTUP. Menyajikan kesimpulan, saran dan harapan peneliti untuk
mendapatkan masukan mengenai keterbatasan penulis dalam penulisan
penelitian.
BAB II
BIOGRAFI NASKAH
A. Biografi Novel
1. Profil Novel
Judul : Pukat (Serial Anak-Anak Mamak)
Penulis : Tere Liye
Desain dan Ilustrasi Sampul : Mano Wolvie
Penerbit : Republika, Jakarta
Tahun Terbit : 2010
Ukuran : 344 Halaman, 20,5x13,5 cm
2. Sinopsis
Novel Pukat karya Tere Liye terdiri atas dua puluh lima bab/
bagian. Dimana setiap babnya menceritakan tentang Pukat,
keluarganya, saudara-saudaranya, teman-temanya, tetangga sekitarnya,
dan masih banyak lagi. Adapun uraian secara garis besar tiap bagianya
adalah sebagai berikut:
Bagian satu menceritakan tentang pengalaman Pukat pertama
kali naik kereta api dengan Bapak dan adik laki-lakinya (Burlian).
Perjalanan menuju kota kabupaten yang menegangkan, ditambah kabar
burung mengenai misteri terowongan kereta yang menyeramkan, dan
kejadian di gerbong kereta yang tidak terduga menjadikan bagian
pertama ini menegangkan dan heboh.
Poonggg, Kereta api melengkung panjang. Seperti biasa,
masinisnya tidak absen memberikan sinyal kalau kereta bersiap
memasuki terowongan. Aku dan Burlian menelan ludah, semakin
tegang.(Liye, 2010:15)
Bagian dua menceritakan kecerdasan Pukat dalam situasi yang
sangat genting. Bermula dari kejadian di terowongan sepanjang lima
pal ketika tiba-tiba kereta berhenti dengan kasar dan terjadi keributan
luar biasa, suara kasar dan letusan senapan yang merobek langit-langit
gelap, terjadi perampokan di dalam kereta.
―Aturan main kita sederhana. Dua rekan saya dari ujung
gerbong akan mengeluarkan karung goni yang cukup besar. Nah,
adalah tugas kalian mengisinya penuh-penuh dengan uang,
perhiasan, jam tangan, apa saja barang berharga yang kalian bawa
sekarang –― (Liye, 2010:20)
Bagian tiga menceritakan kedatangan murid baru di kelas lima,
gadis cantik anak Bu Bidan yang membuat Raju teman Pukat seakan
jatuh cinta pada pandangan pertama, cinta monyet yang merubah
Raju dari yang suka membolos menjadi anak paling rajin masuk kelas,
bahkan paling awal datang ke sekolah.
Tetapi ada yang masih berdiri terpana di tubir sungai. Bagai
batang kayu dipakukan ke bumi. Di bawah ribuan bulir air hujan,
berlatarkan panggung serabut musik guntur. Di sana masih ada yang
berdiri membeku. Dia seperti baru saja melihat puteri kayangan.
Hatinya tertikam sudah.
Oi, lihatlah Raju, teman sekelas kami, hatinya berdegup
kencang. (Liye, 2010:41).
Bagian empat menceritakan cerita cinta monyet Raju dan
Saleha, cinta anak kelas lima SD yang awalnya begitu manis namun
bertepuk sebalah tangan. Raju tidak cinta lagi pada si cantik Saleha,
karena Saleha mengalami hal yang belum anak-anak kelas lima SD
pahami benar.
―Kau tidak pacaran lagi denganya?‖ Aku bertanya pertanyaan
yang sebenarnya terlalu canggih untuk anak kelas lima SD. Burlian di
sebelah sibuk menyikut lenganku, mengeluh kalau dia terkena
cipratan air. Kami sudah keluar dari gerbang pagar sekolah.
―Tidak lagi‖ Raju menjawab tidak peduli.
―Tidak lagi? Kau berkelakar.‖ Aku tertawa.
―Memang tidak lagi‖ (Liye, 2010:71)
Bagian lima menceritakan kepadaian Pukat di kelas, Pukat yang
selalu lebih pandai dari teman-temanya. Pukat menjadi andalan Pak
Bin, guru di sekolahan mereka. Namun ternyata Raju, teman karibnya
sendiri iri akan kebiasaan Pak Bin dan teman-temanya yang selalu
mengandalkan Pukat di kelas, sampai akhirnya Raju mengolok-olok
Pukat, teman sebangkunya sendiri. Api pertengkaran pun mulai
menyala di antara kedua teman karib tersebut.
―Sedikit-sedikit Pukat, entah pelajaran Matematika, IPA, IPS,
semuanya pukat yang jadi contoh, Pukat inilah , Pukat itulah, Oi,
memangnya hanya dia saja yang ada di kelas.‖
―Tanpa banyak cakap lagi, Raju sudah lompat menerkamku,
tanganya memukul. Aku juga sudah menunggunya, menghindar lantas
balas memukul. Terjadilah perkelahian itu. Anak-anak lain berseru
tertahan, Saleha, Julia dan murid perempuan lainya menjerit-jerit
menyuruh berhenti. Lamsari berusaha menarik tubuhku, melerai.
JDUT‼ Tangnku justeru menghantam dahinya. Tubuh kecil Lamsari
terjejer ke meja. Suara derak meja terpelanting membuat ruangan
kelas lima semakin ramai, mengalahkan suara gerimis membasuh
halaman sekolah.‖ (Liye, 2010:82)
Bagian enam menceritakan kelanjutan dari pertengkaran Pukat
dan Raju, ucapan maaf yang keduanya lontarkan sesaat setelah
berkelahi itu ternyata tidak membuat keduanya berdamai. Justru api
pertengkaran itu semakin menjadi.
Aku selalu pulang duluan setiap kali Raju ikut bergabung. Benci
sekali meliat dia tertawa-tawa, apalagi semua orang tahu, raju
jagonya urusan bermain bola air. Tubuh liatnya begitu anggun
dibandingkan yang lain. Belum lagi dia suka berseru lantang, ―Oi, di
sini tidak ada Pak Bin yang selalu bilang si itu, si itu dan si itu. kalian
tahu siapa si itu bukan?‖ Menyebalkan sekali melihatnya.
Dan aku membalasnya di ruangan kelas. Lebih rajin
mengacungkan tangan, menjawab pertanyaan Pak Bin dengan
intonasi suara yang dilebih-lebihkan, lantas menoleh ke bangku
sebelah, memasang wajah, sepertinya kau tidak tahu, bukan. Bersorak
senang (dalam hati) setiap kali melihat raut muka Raju terlipat
mengkal mendengar Pak Bin memujiku. Mau bilang apa dia? Ini
bukan permukaan sungai. Di sini, otak lebih dihargai.
Begitulah, pertengkaran kami soal kambing-ayam itu ternyata
berbuntut panjang. Bukan sekedar perkelahian lumrah anak-anak.
Walau Lamsari tidak bosan, setiap hari berkali-kali membujuk kami
bermain bersama lagi, meski Burlian tertawa mengolok-olok agar
berbaikan, satu bulan berlalu, musim penghujan sudah tiba di
penghujungnya, kami belum menunjukkan tanda-tanda akan
berdamai. Yang terjadi justru sebaliknya, kebencian itu semakin
menebal. (Liye, 2010:91)
Bagian tujuh menceritakan adat-istiadat di kampung Pukat,
acara pernikahan. Seluruh warga kampung hadir dalam acara tersebut,
tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan, keluarga dekat, keluarga jauh
semua diundang. Termasuk Pukat dan Raju, dua sahabat karib yang
sempat bermusuhan ini akhirnya berdamai. Berdamai dengan
semuanya.
Aku dan Raju sudah terseyum canggung. Menyeringai salah
tingkah satu sama lain. Meski lebih mirip seringai kuda, itu jelas
seringai perdamaian. Akhirnya setelah dua bulan tidak saling tegur,
kami berbaikan. (Liye,2010:110)
Bagian delapan menceritakan tentang kejadian dimalam dingin
yang membuat seisi kampung panik, hujan berkepanjangan membuat
sungai meluap dan membanjiri kampung. Bukan hanya itu yang
membuat panik, tapi Pukat, dia harus kehilangan sahabat karibnya.
Sahabat yag baru saja berdamai denganya.
Suara bedug dari masjid kampung terdengar bertalu-talu, sahut
menyahut dengan kentongan bambu. Nyala obor terlihat ramai di
kejauhan. Hujan deras berkepanjangan sepertinya telah membuat
sungai meluap.
―Jika melihat hujannya, jangan-jangan banjir akan lebih besar
dibandingkan sepuluh tahun lalu.‖ Bapak mendongak, menatap rintik
gerimis. (Liye, 2010:118)
Bagian sembilan menceritakan Ibu Ahmad, seorang ibu yang
merawat Nayla anaknya yang sedang sakit. Ibu Ahmad mempunyai
warung didekat sekolah Pukat, warung yang menjual peralatan
sekolah seperti pensil dan buku, juga menjual kue-kue kecil. Namun
semenjak Nayla sakit warung tersebut tutup, walhasil banyak siswa
yang kesulitan saat hendak membeli peralatan sekolah (alat tulis).
―Kudengar Nayla sakit, anaknya Ibu Ahmad sakit‖ Mamak
yang sedang membuka kulit jengkol bertanya. Memecah kesibukan
suara ptak-ptok di beranda rumah.
―Sudah lima hari, Mak.‖ Aku menjawab.
Mamak menoleh kepadaku, dahinya berkerut.
―Warungnya tutup, Mak. Jadi aku tahu.‖ Aku menjelaskan.
―Oi, kalau begitu repot sekali Ibu-nya Ahmad sekarang.‖ Mamak
menghela nafas prihatin.
―Yang repot itu kami, Mak.‖ Burlian sekarang yang berkomentar. ―Jajan
tidak bisa lagi, beli buku tulis tidak bisa lagi. Warungnya tutup
terus.‖ (Liye, 2010:132)
Bagian sepuluh menceritakan tentang ide Pukat untuk membuka
warung kejujuran di warung Ibu Ahmad, karena warung masih tutup
bahkan hingga pergantian semester, siswa-siswa di sekolah Pukat jadi
kesulitan untuk jajan dan membeli alat tulis.
Aku berfikir keras. Harus ada pemecahan masalah ini, jalan
keluar yang mungkin bisa membantu dua sisi sekaligus. Aku menatap
bulan separuh sambil menghela nafas pelan, formasi galaksi bima
sakti terlihat jelas. Suara anak-anak mengaji terdengar, rumah Nek
Kiba sudah dekat, Baiklah, sepertinya itu bisa jadi jalan keluar
terbaik. Warung itu harus tetap buka, apapun caranya. (Liye,
2010:139)
Bagian sebelas menceritakan perjalanan warung kejujuran di
sekitar dua minggu pertama. Semua berjalan dengan lancar sampai
pada hari ke-delapan, dimana ada selisih antara dagangan yang terjual
dan uang yang terkumpul. Selebihnya warung Ibu Ahmad dengan
kaleng kejujuranya masih bejalan dengan lancar.
―Uangnya kurang, Pak.‖ Aku tersengal, langsung ke topik masalah.
―Ya, Pukat‖ Pak Bin melepaskan kaca-mata kusamnya.
―Uang dalam kaleng kurang, Pak.‖ Aku tersenggal, langsung ke topik
masalah.
―Uang dalam kaleng kurang, Pak.‖ Aku mengangkat kaleng biskuit, ―Ada
yang mengambil jualan Ibu Ahmad tanpa memasukkan uang.‖
―Kau tidak salah hitung?‖ Pak Bin sekarang sempurna menaruh
perhatian kepadaku, menyingkirkan kartas penuh angka-angka di
hadapannya.
Aku menggeleng. Sudah dua kali ku periksa. (Liye, 2010:147)
Bagian dua belas menceritakan arti sebuah kejujuran, Dan yang
diharap-harapkan, Nayla sembuh. Warung yang selama enam bulan
hanya mengandalkan daftar harga dan kaleng uang kini kembali
seperti sediakala. Warung tersebut telah mengajarkan seisi kampung
mengenai makna kejujuran yang sesungguhnya.
―Besok Ibu sudah bisa menunggui warung, Pukat.‖
―Oi?‖ Aku tertawa riang.
―Nayla sudah boleh bermain di luar. Ikut Ibu menjaga warung.‖ (Liye,
2010:167)
Bagian tiga belas menceritakan teka-teki Wak Yati yang selalu
diberikan pada Pukat, Wak Yati selalu memberikan teka-teki pada
Pukat jika ia berkunjung. Kali ini teka teki terhebat Wak Yati yang
harus Pukat pecahkan.
―Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat mangkok,
hutan menghijau seperti zamrud, sungai mengalir ibarat naga, tak
terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak terbilang.‖ (Liye,
2010:180)
Bagian empat belas menceritakan betapa sayangnya Mamak
pada ke-empat anaknya, Eliana, Pukat, Burlian dan Amelia. Namun
terkadang mereka salah mengartikan sayang mamak pada mereka.
―Dengan menghukummu seperti ini, itu berarti Mamak kau amat
mencintai…..‖
―Mamak benci pada Pukat!‖ Aku memotong kasar kalimat Bapak.
―Tidak seperti yang kau lihat.‖ Bapak menghela nafas.
―Mamak benci pada Pukat!‖
―Oi, kau keliru, Pukat. Dengarkan Bapak, tidak ada seorangpun Mamak
di atas bumi ini yang bisa membenci anaknya sendiri, ‗darah-daging‘-
nya sendiri….. Bukankah kau pandai mengkait-kaitkan banyak hal,
kau juga pandai mengkaitkan banyak penjelasan. Nah, kau artikan
sendiri makna harfilah, ‗darah-daging‘. Setiap anak pernah
dikandung Mamak-nya sembilan bulan. Mual, muntah, nyeri, badab
sakit, semua terasa tidak enak. Melahirkan dengan kondisi siap mati.
Tidak akan pernah ada seorang Mamak yang bisa membenci anaknya
sendiri. Dilahirkan penuh perjuangan.‖ (Liye, 2010:194)
Bagian lima belas menceritakan besarnya cinta dan sayang
Mamak pada Pukat, saat akhirnya Pukat jatuh sakit setelah mendapat
hukuman dari Mamak untuk tidur di beranda rumah. Pukat sakit
selama lima hari, selama itu pula Mamak tidak pernah meninggalkan
Pukat, sekalipun Pukat sedang tidur. Dan dari kejadian itu, pukat sadar
„Tidak akan pernah ada Mamak yang membenci anaknya‟. Yang
pukat tau, Mamak sangat mencintai dan menyayangi Pukat, dan ketiga
saudaranya yang lain.
―Maafkan Pukat, Mak. Sungguh maafkan Pukat.‖
Oi, sepuluh tahun lebih Mamak memasakkan makanan untukku. Sudah
berapa juta butir nasi yang disiapkannya. Berapa ratus ribu gelas air
minum yang dijerangnya. Bertumpuk-tumpuk piring sayur dan lauk
yang boleh jadi sudah setinggi bukit. Penuh kasih-sayang, tanpa
pernah berharap imbalan selain doa agar kami menjadi anak yang
baik. Bagaimana mungkin aku menuduh Mamak benci kepadaku,
tidak lagi sayang. Belum lagi saat kami jatuh sakit, dia mengurus air
kencingku, muntahku, berakku, semuanya, tanpa lalai meninggalkan
kewajiban lain. ―Maafkan Pukat, Mak. Sungguh.‖ Malam itu aku
menyadarinya. (Liye, 2010:205)
Bagian enam belas menceritakan betapa indahnya pagi itu, di
kampung sedang ada renovasi masjid, seluruh warga desa ikut bersuka
cita. Keluarga pukat, dan keluarga-keluarga lainya berbondong-
bondong menuju masjid. Seluruh warga repot membawa makanan
terbaik mereka, untuk dimakan bersama warga yang lain di masjid.
―Ayuk Yati bawa makanannya juga? Aduh, repot sekali.‖
Mamak meletakkan bawaannya, berusaha membantu membawa
rantang-rantang menuruni anak tangga. ―Oh schat, bagaimana tidak.
Kalau semua penduduk kampung membawa makanan, aku juga harus
membawa makanan terbaikku.‖ Wak Yati berjalan dengan tongkat
rotan berpliturnya. (Liye, 2010:209)
Bagian tujuh belas meceritakan jalannya renovasi masjid, semua
berjalan dengan lancar. Sampai pada kejadian ditemukannya empat
kotak misterius di atap masjid yang sedang di renovasi. Empat kotak
harta karun beserta surat-surat yang menceritakan kejadian di masa
itu, empat kotak misterius yang sangat berharga.
Aku menelan ludah melihat hamparan benda-benda itu di atas
tikar. Pak Bin dan Bakwo Dar mengangkat satu kotak lagi dari anak
tangga, perlahan meletakkanya.
―Masih ada di atas??‖
―Habis, Mang!‖ (Liye, 2010:223)
Bagian delapan belas menceritakan tentang cara jual-beli
mamak di pasar, arti jual-beli yang sesungguhnya. Tanpa ada mencuri
timbangan, justru memberikan lebih dan tidak menawar rendah ketika
membeli, arti jual-beli yang diajarkan Bapak dan Mamak pada anak-
anaknya.
―Jual beli itu dihalalkan. Siapa yang menjual dengan baik,
memberikan barang yang benar, tanpa menipu, senang hati
melebihkan timbangan, memberi bonus, tambahan, niscahya dia
mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat.‖
―Tidak mungkin. Bagaimana kita untung berlipat-lipat kalau menjual
lebih murah?‖ Aku protes, tidak bisa diterima oleh nalarku.
―Itu karena kau menghitung keuntungan yang terlihat saja. Oi, rasa
senang yang muncul dari proes kebaikan itu tidak bisa dibeli dengan
uang segunung.‖ Bapak mengangkat tunjukanya ke atas. ―Kalian
masih terlalu kecil untuk mengerti….. Sayangnya, hari ini, esok-esok
lusa akan lebih banyak orang yang sudah dewasa, tahu urusan ini,
tetapi tetap berpura-pura tidak mengerti. Kalian tahu, hal ini juga
berlaku sebaliknya. Barang siapa yang membeli dengan santun,
ringan hati melebihkan bayaran, tidak selalu menawar, niscahya
bukan hanya barang itu yang berhasil dia beli, dia juga sejatinya
telah mendapatkan harga yang lebih murah—―(Liye, 2010:227)
Bagian sembilan belas menceritakan tentang keluarga Kesi,
teman Amelia, adik bungsu Pukat. Ada kabar tidak sedap beberapa
hari terkhir di kampung, kabar burung yang tidak jelas kebenaranya.
Menggunjing.
―Katanya orang-tua Kesi akan bercerai, Mak?‖ Aku memecah
keheningan jalan setapak. Ujung-ujung rumput teki mengenai betis
kami yang basah.
―Kata siapa?‖ Mamak menjawab tidak tertarik.
―Tadi ibu-ibu di pemandian bicara tentang itu.‖
―Oi, Kau seperti tidak ada topik yang lebih baik untuk dibicarakan.‖
Mamak menyergah ketus, melambaikan tangan. (Liye, 2010:249)
Bagian dua puluh masih menceritakan tentang keluarga Kesi,
dan Samsurat kakaknya, kabar burung akan perceraian orang tua kesi
makin melebar kemana-mana. Peringai Samsurat yang memang
mempunyai gangguan jiwa sejak kecil juga menjadikan kabar ini
semakin lezat untuk dibicarakan, mamun tetap saja kabar tersebut
tidak ada benarnya.
Orang tua kesi memang baik-baik saja. Meski dengan takdir
anak sulungnya tidak waras, orang-tua Kesi sejak tiga puluh tahun
silam tetap akur, bahagia, juga hingga hari ini.
Muasal semua gunjingan bermula dari tetangga rumah kiri-
kanannya yang sering mendengarkan Samsurat berteriak-teriak,
lantas juga teriakan orang-tua Kesi yang berusaha mengendalikan
Samsurat, gatal mulut mengartikannya mereka sedang bertengkar.
Maka melesatlah gunjingan itu. Diawali dengan bisik-bisik mereka
hanya bertengkar karena perangai Samsurat, lantas berkembang
menjadi mereka hendak bercerai. (Liye, 2010:268)
Bagian dua puluh satu menceritakan tentang pembukaan hutan
untuk lahan pertanian (menanam padi), pekerjaan membuka hutan
bukan perkara yang mudah, diperlukan tenaga ekstra, kehati-hatian,
dan juga kesabaran. Bapak, Bakwo Dar dan delapan pria dewasa
lainnya siap membuka lahan, tak lupa dibantu Pukat, Burlian, dan
Can.
‗Membuka hutan‘ adalah ritual panjang, tidak selesai dalam
hitungan bulan. Maka demi mendengar kabar baik itu, kami bersiap
atas segala kesenangan sepanjang musim kemarau dan musim
penghujan. Aku belum pernah mengalaminya langsung selama ini,
tetapi aku yakin ini akan seru. (Liye, 2010:278)
Bagian dua puluh dua masih menceritakan tentang panjangnya
ritual membuka hutan. Banyak yang harus dilakukan, membatasi
lahan yang akan dibuka, menebang pohon-pohon, menunggunya
kering, membakar, dan kegiatan panjang lainya. Semua ini dilakukan
untuk mendapatkan lahan pertanian (menanam pagi), sungguh bukan
hal yang mudah untuk mendapatkan sebulir beras.
―Ya Rabb, yang maha pemberi rezeki, ijinkanlah kami
membakar hutan ini! Ijinkan kami merusak sedikit untuk kebaikan
yang lebih banyak.‖
―Ya Rabb, berkahilah semuanya. Amin.‖ Bakwo Dar sudah
menutup doa.(Liye, 2010:299)
Bagian dua puluh tiga menceritakan proses panjang sebulir
beras. Setelah berhasil membuka hutan, kini saatnya memulai bertani
(menanam padi). Mulai dari menebar benih, menanam padi, memberi
pupuk, memanen, menjemur gabah, sampai akhirnya dapat menjadi
nasi. Perjalanan panjang yang mengajarkan banyak hal pada Pukat.
―Bagi kami, petani adalah kehidupan. Proses panjang
menghargai kasih-sayang alam dan lingkungan sekitar, proses
panjang dari rasa syukur kepada yang MahaKuasa. Lihat, padi-padi
ini tumbuh subur, tapi hanya dengan kebaikan Tuhan-lah, esok-lusa
akan muncul bulir-bulir padi yang banyak. Kita tidak pernah bisa
menumbuhkan padi, membuatnya berbuah, kita hanya bisa membantu
prosesnya.‖ Bapak tersenyum melihat aku dan Burlian yang ber-hah
kepedasan. Bapak menjulurkan gelas air.
―Boleh jadi semua padi-padi ini tidak berbuah. Boleh jadi ada
hama menyerangnya. Boleh jadi seluruh kerja keras kita, kalian yang
pernah terperangkap rotan setan, Burlian yang pernah berhari-hari
minta disuapi makan karena nyeri-pegal, terjebak di dalam nyala api,
boleh jadi semuanya sia-sia.‖ (Liye, 2010:313)
Bagian dua puluh empat menceritakan kepergian Wak Yati, wak
Yati terjatuh saat membantu panen padi di ladang, penyakit tua,
beberapa kali Wak Yati dibawa ke rumah sakit. Bertahan empat belas
hari, itupun setiap hari Wak Yati selalu minta pulang, dan saat
diperbolehkan meninggalkan rumah sakit justru takdir berkata lain.
Saat diperjalanan pulang ke rumah, wak Yati telah pulang terlebih
dahulu.
―Syahdan, Nurmas …. Kalian akan mengurus seluruh ladang dan
rumah panggungku.‖ Wak Yati menyeka ujung matanya. Urusan ini
berat sekali untuk Wak Yati, seharusnya dia menyampaikan wasiat ini
dalam situasi yang lebih baik, bukan di atas kereta api yang melaju
kencang siap melewati terowongan. (Liye, 2010;332)
Kisah Pukat berakhir dengan cerita kepulanganya ke
kampung untuk berseru pada Wak Yati bahwa Pukat telah
menemukan arti dari teka-teki terakhir yang Wak Yati berikan.
Harta karun paling berharga di kampung ini adalah anak-anak,
anak-anak kampung. Di tengah kesibukanya di Amsterdam untuk
kuliah mengejar gelar doktoral Pukat menyempatkan pulang ke
kampung, dan mengejutkannya lagi adalah Pukat pulang dengan di
jemput Raju dan Saleha Istrinya.
3. Unsur Intrinsik Novel
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra
hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang (secara
langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan berbagai unsur
intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau
sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang pembaca, unsur-unsur
(cerita) inilah yang akan di jumpai jika kita membaca sebuah novel.
Unsur yang dimaksud adalah penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. (Nurgiyantoro,
2007:23)
Adapun unsur-unsur intrinsik dalam novel Pukat ini adalah:
a. Tema
Tema dalam novel ini adalah tentang kampung pedalaman
Sumatera yang begitu indah, damai, sederhana, penuh dengan teka-
teki dan begitu menghargai alam. Perkampungan yang menjunjung
tinggi nilai kejujuran, begitu pula keluarga Syahdan, yang turun
temurun menjadi orang yang berpengaruh banyak pada kampung
termasuk ke-empat anaknya, Eliana, Pukat, Burlian dan Amelia.
Pukat anak ke-dua-nya yang cerdas, mampu menghubungkan
banyak hal menjadi salah satu harta yang paling berharga di
kampung.
b. Penokohan
1) Pukat
Pukat merupakan tokoh utama dalam novel ini, Pukat
merupakan anak yang cerdas, mempunyai kemampuan yang
baik dalam membaca situasi.
―Dalam urusan ini ternyata Bapak kau keliru.‖
Komandan tentara itu tersenyum lebar, ―Kau Pukat si anak
yang pintar … tapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak
jenius.‖ (Liye, 2010:32)
2) Eliana
Eliana adalah kakak sulung Pukat, Eliana adalah anak
yang rajin, selalu membantu Mamak menyelesaikan pekerjaan
rumah, sayang terhadap adik-adiknya, namun perangainya
seakan tidak peduli, itu adalah cara Eliana mendidik adik-
adiknya agar terbiasa mandiri.
―Lihat, Ayuk Eli menjemput kita.‖
Puuh, aku mendengus, menepiskan tangan. Tidak mungkin Ayuk
Eli mau menjemput, itu bakal jadi keajaiban dunia ke-8.
Mamak juga tidak mungkin, pasti sibuk mengurus apalah di
rumah. Tetapi siapa yang mau-maunya datang? Karena hanya
kami bertiga yang masih ada di sekolahan, mungkin Bu Bidan
yang menjemput Saleha. Itu lebih masuk akal. (Liye, 2010:56)
3) Burlian
Burlian adalah adik Pukat, anak ketiga Bapak dan Mamak.
Burlian adalah anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang
tinggi, terkadang ceroboh dan suka bergurau.
―Aduh bagaimana ini, karcis Burlian tidak ada, Pak.‖ Suara
Burlian mulai mengeras, cemas.
―Kau cari dululah.‖ Bapak menoleh sekilas.
Aku ikut menatap Burlian yang sibuk. Sudah biasa pemandangan
seperti ini, sama halnya saat di stasiun kampung tadi ketika
Burlian memaksa menyimpan sendiri karcis keretanya. Dia
selalu saja sok-tahu dan seperti biasa, ujung-ujungnya justeru
mengacaukan semuanya. (Liye, 2010:5)
4) Mamak
Mamak adalah sosok yang sangat penyayang, rela
melakukan apapun untuk anak-anaknya, mendidik anak-
anaknya dengan tegas, sosok Mamak yang luar biasa.
―Kau terlalu keras pada Pukat.‖
―Tidak. Dia sudah tau aturan mainnya‖
―Oi, urusan ini bukan sekedar aturan main, kesepakatan, sanksi.‖
―Tentu saja. Urusan ini tentang berdisiplin. Anak-anak itu harus
disiplin. Tahu kapan bekerja, tahu kapan bermain. Apa pula
yang dikerjakan dia, setiap hari hanya dihabiskan menonton
televisi. Tidak ada manfaatnya.‖ (Liye, 2010:195)
5) Bapak
Bapak adalah sosok yang bijaksana, sabar, disegani warga
kampung, dan selalu memberikan nasehat baik untuk anak-
anaknya.
―Padahal kita belum bicara yang lebih luas dari itu. Rasa
peduli, kasih-sayang dengan anak-anak di sekitar, keinginan
untuk saling membantu, keinginan untuk membuat hidup lebih
baik. Kita belum bicara tempat kita bekerja, tempat kita
beribadah, tempat kita sekolah, termasuk tempat kita
berbelanja memenuhi kebutuhan hidup.‖ Bapak tersenyum
bijak menatap wajah-wajah kami, yang belum mengerti benar
kemana arah pembicaraan. (Liye, 2010:237)
6) Raju
Raju adalah teman karib Pukat, teman baik yang
mempunyai perangai tidak mau kalah, selalu menjadi yang
terbaik ketika bermain bola air, dan yang pasti selalu menjadi
teman terbaik Pukat sampai kapapun.
―Siapa lagi yang mau bercapai-capai menjemput kau di
bandara selain aku?‖ Raju tergelak, lompat memelukku erat-
erat. ―Kau mau ku terbangkan sekarang juga menuju kampung
kita?‖ (Liye, 2010:343)
7) Lamsari
Lamsari adalah teman sekelas Pukat yang polos, selalu
jujur, dan baik hatinya.
Pak Bin tertawa, melambaikan tangan, ―Kawan kau yang
satu itu tidak akan berani mencuri, Pukat. Perangai yang baik
selalu datang karena pengaruh keluarga, teman dan orang
sekitar. Lamsari punya teman yang baik di sekolah ini. Punya
teladan dari orang-orang tua di sekitarnya. Ah, pemuda itu
tadi dulunya juga anak yang baik, jujur. Mungkin karena keliru
berteman di kota kecamatan, salah bergaul, berubahlah sifat
dan pemahamanya.‖ (Liye, 2010:165)
8) Can
Can adalah teman sekelas Burlian, tetapi juga menjadi
teman bermain Pukat. Perangainya suka bergurau, teman yang
baik, dan suka membantu.
―Sebutkan 100 nama buah yang berakhiran huruf K‖ Can
memecah suara derik serangga, mengajak bermain tebak-
tebakan. Bosan menunggu proses pembakaran dimulai.
―Seratus? Tidak mungkin sebanyak itu.‖ Aku membantah
pertanyaan tebak-tebakan Can, tidak masuk akal.
―Mungkin kau saja yang tidak tahu jawabanya.‖ Can menyeringai.
(Liye, 2010:296)
9) Nek Kiba
Nek kiba adalah guru mengaji di kampung, Nek Kiba
sudah tua, namun semangatnya mengajar anak-anak kampung
mengaji tidak penah surut. Bukan hanya mengaji, Nek Kiba
juga mengajarkan banyak hal pada anak-anak kampung.
Termasuk kejujuran.
―Camkan kalimat ini Amel, orang-orang yang
bersungguh-sungguh jujur, menjaga kehormatannya, dan
selalu berbuat baik kepada orang lain, maka meski hidupnya
tetap sederhana, tetap terlihat biasa-biasa saja, maka dia
sejatinya telah menggenggam seluruh kebahagiaan dunia.
Kejadian celengan ini tidak terlalu luar biasa dibandingkan
dengan orang-orang berhati mulia lainya. Kau tahu Amel,
Mamak kau…. Ya, Mamak kau adalah salah satu pemilik
pengalaman hebat di kampung ini. Atas keteguhan hatinya
menjaga prinsip hidup, atas ketabahanya melewati cobaan, aku
melihat sendiri ketika seluruh kampung bercahaya.‖ (Liye,
2010:164)
10) Wak Yati
Wak Yati adalah kakak perempuan Bapak, Wak Yati
sudah tua, dan dituakan di kampung. Wak Yati menjadi satu-
satunya orang yang bisa berbahasa Belanda di kampung,
pengetahuanya Luas, pandai membuat songket, dan pandai
membuat teka-teki untuk Pukat.
―Ini pasti bahasa belanda, Wak.‖ Mang Dullah
menjulurkan salah satu buku dari kotak, ―Karena di kampung
ini hanya Wak satu-satunya yang bisa bahasa itu, maka kami
memanggil Wak Yati.‖ (Liye, 2010:223)
―Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat
mangkok, hutan menghijau seperti zamrud, sungai mengalir
ibarat naga, tak terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak
terbilang.‖
―Ini teka-teki Wawak yang paling hebat, Pukat. Inilah
teka-teki yang Wak Yati ciptakan sendiri, Bukan dari dongeng-
dongeng tua kakek-nenek kau.‖ Wak Yati tersenyum—meski
aku tidak bisa melihatnya, aku tahu Wak Yati sedang
tersenyum. Suara seraknya bergetar, menahan rasa haru.
(Liye, 2010:334)
11) Pak Bin
Pak Bin adalah guru Pukat di sekolah, Pak Bin
mempunyai pengetahuan yang luas, seperti segala sesuatu
diketahui Pak Bin. Pak Bin guru yang baik, sabar, dan selalu
memberikan PR.
Teman-teman di kelas menepuk dahi masing-masing,
mengeluh. Lamsari bahkan terlihat seperti mau pingsan. Lagi-
lagi PR tambahan—sudah dua, padahal jam pelajaran jauh
dari selesai. Pak Bin tertawa melambaikan tangan, ―Kerjakan
dengan baik. Dan kau Lamsari, sekali lagi Bapak tahu kau
mencontek, Bapak hukum kau piket selama sebulan.‖ (Liye,
2010:78)
c. Alur
Alur yang digunakan dalam novel Pukat ini adalah campuran
(maju-mundur). Hal ini dibuktikan dengan penggunan kata minggu
ini, jaman itu, esok lusa, esok pagi, tahun lalu, dan sebagainya.
Kilau petir menyambar samar, disusul gemerutuk panjang
suara guntur, langit dipenuhi awan hitam, angin kencang
menerpa wajah, membuat anak rambut beriap-riap. Minggu-
minggu ini seharusnya sudah masuk musim penghujan, boleh
jadi sore ini akhirnya hujan turun lebat setelah berbulan-bulan
kemarau mengungkung kampung. Kabar baik bagi seluruh
penduduk, itu artinya benih padi sudah bisa mulai ditabur.
(Liye, 2010:35)
Hari itu, siang itu, gerhana matahari total membungkus
kampung kami saat renovasi masjid akan dimulai. Jaman itu
tidak ada yang memberi kabar lewat televisi hitam-putih punya
Bapak kapan tamu spesial ini akan datang. Tidak ada juga yang
menjelaskan seperti apa rasanya gerhana matahari, kecuali
buku-buku pelajaran yang sadanya. (Liye, 2010:218)
d. Latar
1) Latar Waktu
a) Pagi Hari
Aku sekarang bangun lebih pagi. Di saat Amelia dan
Burlian masih menguap membereskan tempat tidur, aku
sudah bergegas ke rumah Ibu Ahmad. (Liye, 2010:145)
b) Siang Hari
Hari itu, siang itu, gerhana matahari total
membungkus kampung kami saat renovasi masjid akan
dimulai. Jaman itu tidak ada yang memberikan kabar lewat
televisi hitam-putih punya Bapak kapan tamu spesial ini
akan datang. Tidak ada juga yang menjelaskan seperti apa
rasanya gerhana matahari, kecuali buku-buku pelajaran
yang seadanya. (Liye, 2010:218)
c) Sore Hari
Sore harinya.
Klotak-klotak alat tenun terdengar berirama seiring gerakan
tangan Ayuk Eli. Amelia dan Burlian duduk di pojok sambil
bermain congkak. Sementara aku asyik melukis sesuatu di
buku gambar. Kami tidak bertahan lama menonton orang
dewasa bekerja keras di masjid, setelah kepala sakit terus
mendongak, bosan bermain (karena dilarang terus
berkejaraan di sekitar masjid, khawatir terkena jatuhan
genteng, terinjak paku atau tersenggol apalah), kami ke
rumah Wak Yati. Ayuk Eli melanjutkan belajar menenun.
(Liye, 2010:219)
d) Malam Hari
Kami melanjutkan makan malam dengan membahas
soal lain. Burlian dan Amelia berebut bercerita soal
kejadian di sekolah tadi siang – Can dan Mujib ketahuan
meletakkan kotoran ayam di kelas tiga, mereka sedang
bertengkar antar kelas. (Liye, 2010:116)
2) Latar Tempat
a) Gerbong Kereta Api
Burlian menyeringai, menggaruk kepalanya yang
tidak gatal, menoleh kepadaku. Aku yang sedang lamat-
lamat memperhatikan penumpang di seberang bangku tidak
terlalu memperhatikan wajah sebal Burlian. Gerbong
penumpang jaman itu hanya memiliki dua lajur tempat
duduk, memanjang saling berhadap-hadapan dari ujung ke
ujung. Lantas lorong di tengahnya dipenuhi dengan barang
bawaan. (Liye, 2010:2)
b) Sungai
―AWAAS!‖
BUUMM!
―AWAAASS!‖
BUUMM!
Aku dan Burlian yang berenang mengambang di permukaan
sungai menyeka wajah dari cipratan air. Kencang sekali
debum mereka kali ini, sengaja benar menghantamkan
badan ke permukaan air, ingin terlihat paling hebat. Can
dan Lamsari bereng mendekat. (Liye, 2010:36)
c) Dalam Kelas
Hujan turun saat pembelajaran dimulai. Aku menatap
langit gelap dari jendela kelas. Gerimis. Mungkin ada
jutaan bulir air yang jatuh ke bumi. Kaca jendela terlihat
mengembun. (Liye, 2010:47)
d) Rumah Wak Lihan
Tenda belakang rumah Wak Lihan dipenuhi panci-
panci besar. Uap mengepul mengeluarkan aroma lezat,
beberapa ibu-ibu tetangga cekatan mengisi mangkok-
mangkok, mengaduk-aduk masakan, sementara yang lain
menambah kayu bakar, menjaga nyala api tungku tetap
menyala. Kesanalah aku dan Burlian melangkah. (Liye,
2010:18)
e) Warung Ibu Ahmad
Anak-anak berkerumun di depan warung yang
terbuka.
―Memangnya Ibu Ahmad sudah jualan lagi, ya?‖ Lamsari
yang berdiri paling depan bertanya. Melongok-longok
melihat ke dalam. (Liye, 2010:142)
f) Rumah Nek Kiba
Aku yang duduk di sebelah Burlian dan Amelia
menghentikan mainan duri landak – sebagai penunjuk
bacaan Al-Qur‘an. Rumah panggung Nek Kiba dipenuhi
puluhan anak-anak mengaji, hampir semua anak-anak
kampung belajar padanya. Mengingat Nek Kiba sudah
empat puluh tahun mengajar mengaji, maka bisa dikatakan
nyaris semua penduduk kampung bisa membaca huruf Arab
karena dia. (Liye, 2010:155)
g) Rumah Wak Yati
Amelia dan Burlian berlarian menaiki anak tangga
rumah Wak Yati, membuat suara derak papan. Saling sikut,
saling mendahului. Ingus Amelia tercecer jorok, tidak
peduli, menyeka hidungnya yang berlendir-meski lagi pilek,
dia tetap semangat bersaing dengan Burlian (Liye,
2010:171)
h) Ruang Makan
―Oi, apa film kartun kau tadi bisa membuat
kenyang?‖ Mamak sudah berdiri disebelah kursiku.
Aku agak kaget, mendongak.
Apa kau tidak malu berada di meja makan, hah? (Liye,
2010:192)
i) Beranda Rumah
Aku tidak menjawab, membalikkan badan
membelakangi, tidur di kursi rotan beranda rumah. Malam
beranjak larut, langit mendung mengusir bintang-
gemintang, angin lembah berhembus kencang, membuat
udara semakin dingin. Ini untuk yang ketiga kalinya Bapak
menyuruhku masuk. (Liye, 2010:193)
j) Kamar Pukat
―Perutmu seharian tidak tersentuh makanan, Pukat.‖
Aku mendengus dalam hati, bahkan lebih bukankah kemarin
malam Mamak melarangku makan. Aku memutuskan
menatap langit kamar-kamar. (Liye, 2010:200)
k) Masjid
Hidangan mulai dihamparkan. Ada empat tikar besar
dibentangkan di dalam masjid, dikelilingi tetua dan orang
dewasa laki-laki. Empat tikar besar lainnya dibawah
masjid, dikelilingi tetua, Ibu-ibu dan gadis remaja. Lima
tikar lainnya di halaman, dikerubuti tidak jelas oleh
Amelia, Burlian, dan teman-temannya. Saling sikut, saling
berebut. (Liye, 2010:212)
l) Pasar Kalangan
Pagi ini aku dan Burlian menemani Mamak ke pasar
kalangan. Pasar ini istimewa, hanya buka selama empat
jam, sejak pukul enam pagi ini dan itupun hanya seminggu
sekali, setiap hari Kamis, di kota kecamatan. Jangan
bayangkan ada bangunan bertingkat, lantas lapak-lapak
permanen seperti pasar di kota besar, pasar kalangan
hanya lapangan luas, lantas pedagang membawa tikar,
terpal atau alas lainya, sembarang menghamparkan jualan.
(Liye, 2010:231)
m) Ruang Guru
―Nah, Pukat… Ruangan guru sekarang sudah lebih
gelap, meski tetap tidak lebih gelap dibandingkan semalam
saat kau melihat Samsurat di bawah pohon mangga.‖
Petugas itu tersenyum kepadaku. (Liye, 2010:266)
n) Hutan
Seminggu berlalu, saat kami kembali ikut membantu
Bapak, hutan seluas satu hektar itu sudah separuh
terpangkas. Batang pohon bergelimpangan, semak belukar
yang dipotong sebulan lalu mulai layu. (Liye, 2010:291)
o) Ladang
Benih padi tumbuh cepat. Belum puas kami berlarian
di atas tanah hitam-gembur, menangkapi belalang yang
banyak berkeliaran, batang padi sudah tumbuh beberapa
jengkal. Giliran Amelian yang sekarang senag bermain di
ladang, tertawa riang merasakan ujung-ujung daun padi
menyentuh betisnya. Embun pagi yang tersisa membuat
roknya basah. Dan entah dari mana datangnya, capung
warna-warni memenuhi ladang padi. (Liye, 2010:309)
e. Sudut Pandang
Pada novel Pukat, pengarang (Tere Liye) mengunakan sudut
pandang orang pertama, berperan langsung dalam cerita.
Aku yang meski sering sebal dengan tingkah laku Burlian
karena dia memang terbiasa menghilangkan sesuatu--- ikut
membantu mencari. Kasihan juga lama-lama melihat tampangnya.
(Liye, 2010:6)
f. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang sering muncul dalam Novel Pukat adalah
gaya bahasa Personifikasi. Adapun contoh-contohnya adalah
sebagai berikut:
1) Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah belantara
hutan. (Liye, 2010:3)
2) Sore semakin matang, langit semakin gelap. (Liye, 2010:39)
3) Siang ini hujan deras membasuh halaman sekolah. (Liye,
2010:89)
g. Amanat
Amanat dalam novel ini adalah mengajarkan untuk banyak
berfikir, terus belajar, memahami segala yang ada di sekitar.
Menghormati orang yang lebih tua, menyayangi sesama dan
mengeyomi yang lebih muda. Pukat anak yang cerdas, pandai
menghubungkan sebab akibat yang ada di sekitarnya.
B. Biografi Penulis
Darwis atau yang biasa di panggil Tere Liye untuk nama penanya
adalah pria yang lahir di Lahat 39 tahun yang lalu, lebih tepatnya 21 Mei
tahun 1979. Tere Liye yang di kenal sebagai penulis novel ini juga bekerja
sebagai akuntan. Tere Liye mulai menulis novel sejak tahun 2005, karya-
karyanya banyak yang mendapatkan penghargaan best seller. Bahkan
novel Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah telah di
angkat ke layar lebar.
Tere Liye adalah alumni dari Fakultas Ekonomi di Universitas
Indonesia, beliau mempunyai seorang istri bernama Riski Amelia dan di
karuniai dua orang anak, Abdullah Pasai dan Fizah Azkia.
Berbeda dengan penulis-penuis yang lain, pembaca akan sulit
mencari biografi Tere Liye dalam novelnya. Ketika penulis-penulis lain
selalu mennyertakan biografi dan foto diri di belakang novelnya, maka
berbeda dengan Tere Liye. Tidak ada satupun novel karya Tere Liye yang
mencantumkan biografi di dalamnya, di bagian belakang novel hanya
tertera cara menghubungi beliau melalui akun facebook dan blog.
Pembaca hanya bisa mendpatkan informasi singkat mengenai kehidupan
Tere Liye dalam laman-laman tertentu di dunia maya.
C. Karakteristik Novel Karya Tere Liye
Setiap penulis pastilah mempunyai karakteristik sendiri-sendiri
dalam setiap novelnya. Novel karya Pidi Baiq pastilah berbeda dengan
novel karya Asma Nadia, novel karya Asma Nadia pastilah berbeda
dengan novel Karya Dee Lestari, novel Karya Dee Lestari akan berbeda
dengan novel krya Habiburrahman. Begitu pula karakteristik penulisan
novel Tere Liye.
Dalam setiap novelnya Tere Liye selalu menyuguhkan hal-hal baru
bagi pembacanya, pembaca seolah-olah berada dalam kejadia-kejadian
dalam novel yang dibacanya. Tere Liye tidak hanya mampu mengolah kata
sedemikian indahnya, namun juga memberikan pemahaman-pemahaman
baru bagi pembaca dan menambah wawasan pembaca.
Dalam setiap novelnya Tere Liye banyak memasukkan unsur-unsur
agama, pemahaman mengenai ibadah, akhlak, kejujuran, dan masih
banyak lagi. Judul-judul novel Tere Liye juga selalu menjadi misteri,
membuat pembaca penasaraan akan isi dari novel tersebut. Novel Tentang
Kamu misalnya, sekilas membaca judulnya yang ada di benak pembaca
adalah novel tentang percintaan. Namun perkiraan itu salah, novel Tentang
Kamu justru berisi tentang sejarah. Itulah salah satu keunikan Tere Liye,
selalu menyuguhkan kejutan dalam setiap karyanya.
D. Karya-karya Tere Liye
Tere Liye merupakan penulis yang cukup mempunyai nama di
Indonesia, karya-karyanya selalu di tunggu para pecinta sastra (Novel),
banyak dari karya-karya Tere Liye yang mendapatkan penghargaan novel
best seller, seperti halnya novel Pukat ini.
Adapun beberapa novel karya Tere Liye yang tersebar di seluruh
Indonesia adalah sebagai berikut:
1) Hafalan Shalat Delisa (Republika, 2005)
2) Kisah Sang Penandai (Mahakata, 2005)
3) Bidadari-Bidadari Syurga (Republika, 2008)
4) Burlian (Republika, 2009)
5) Pukat (Republika, 2010)
6) Eliana (Republika, 2011)
7) Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah (Gramedia Pustaka Utama,
2012)
8) Amelia (Republika, 2013)
9) Daun Yang Jatuh Tak Pernah Mebenci Angin (Gramedia Pustaka
Utama, 2013)
10) Sunset Bersama Rosie (Mahaka, 2013)
11) Bumi (Gramedia Pustaka Utama, 2014)
12) Rindu (Republika, 2014)
13) Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta (Gramedia Pustaka
Utama, 2014)
14) Bulan (Gramedia Pustaka Utama, 2015)
15) Pulang (Republika, 2015)
16) #aboutlove (Gramedia Pustaka Utama, 2015)
17) Matahari (Republika, 2016)
18) Hujan (Gramedia Pustaka Utama, 2016)
19) Tentang Kamu (Republika, 2016)
20) Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2016)
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN
A. Gaya Bahasa Personifikasi
Gaya bahasa adalah cara pengungkapakan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa). (Keraf, 1985:13)
Dalam karya-karyanya Tere Liye juga mempunyai bahasa yang khas
yang memperlihatkan kepribadian dirinya sebagai penulis, yang tidak akan di
temui pada karya-karya orang lain, hal tersebut juga terdapat dalam novel
Pukat. Dalam novel ini terdapat banyak gaya bahasa yang digunakan, namun
yang banyak muncul dan mendominasi novel Pukat adalah gaya bahasa
personifikasi.
Gaya bahasa personifikasi sendiri adalah semacam gaya bahasa kiasan
yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 1994:140)
Berikut adalah kutipan novel Pukat yang menunjukan gaya bahasa
personifikasi:
1. Meski si ular besi ini sudah menjadi bagian kehidupan kampung, dengan
suara klaksonnya yang tidak pernah alpa, melengkung nyaring setiap
subuh buta dan tengah malam, sejatinya kami dan boleh jadi anak-anak
lain belum enyak yang menaiki kereta api dalam sebuah perjalanan
sungguhan. (Liye, 2010:1)
2. Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah hutan. Atap-atap
rumah yang terlihat kecoklatan dari kejauhan mulai menghilang,
digantikan hamparan hijau yang dibungkus kabut pagi, seperti buntalan
kapas putih, menyenangkan melihatnya. (Liye, 2010:3)
3. Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus
menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit. Matahari
semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye, 2010:9)
4. Selepas lengkungan itu hilang ditelan deru roda, maka saat itu seperti ada
berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi sekitar. Perlahan-
lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat remang. Aku melihat
lenganku yang semakin buram. Dan dalam hitungn sepersekian detik,
cahaya seperti ditelan kesaktian terowongan. (Liye, 2010:15)
5. Splassh, semua gelap. Seperti ada yang menampar lemut perasaanku.
Kami sudah masuk kedalam terowongan. Bagian paling misterius , paling
ditunggu dalam perjalanan ini. (Liye, 201016)
6. Dalam gelapnya gerbong, semua orang menoleh kesana-kemari berusaha
mencari tahu. Sementara laju kereta melambat dengan cepat, suara
mendecit membuat telingga nyilu, percikan kembang api menyembur dari
roda baja menggilas batangan rel. (Liye, 2010:17)
7. ―SEMUANYA DIAM DI TEMPAT!‖ Teriakan itu meningkahi hingar-
bingar, berusaha segera membekukan kekacauan, berusaha menghentikan
dengung lebah dan gerak tangan penumpang yang panik sekaligus
mencari tahu apa yang terjadi. (Liye, 2010:19)
8. Suara letusan senapan kembali merobek langit-langit gelap. Bau mesiu
tercuim pekat. (Liye, 2010:20)
9. Entah apa sasaran tembak itu, suara letusannya menggema sepanjang
terowongan. Mengerikan membayangkan apa yang terjadi, bahkan kali ini
kelepak kelelawar ikut bungkam. (Liye, 2010:23)
10. Klakson kereta tiba-tiba melengkung panjang. Belum hilang gemanya,
kereta berderak kasar, membuat penumpang yang bersitegang terjerabah
jatuh. Sepersekian detik, roda kereta mulai menjejak rel, membuat seluruh
gerbong bergerak. (Liye, 2010:25)
11. Aku dan burlian berlari lebih cepat, dalam situasi ribut seperti ini, takut
benar kehilangan punggung Bapak. Kereta juga meliuk tambah cepat,
melewati tikungan tajam, gerbong bergetar miring. Bapak berteriak
menyuruh kami berpegangan. Aku dan burlian loncat meraih apa saja
yang bisa dipegang. Karung-karung terlempar keluar. Beberap
penumpang terpelanting. Seruan-seruan tertahan. (Liye, 2010:26)
12. Kereta terus menjejak batangan rel, menuruni lembah, melintasi jembatan
panjang. Jikalau tidak dalam situasi perampokan, memandang hamparan
hijau hutan dan aliran bening sungai dengan bingkai jembatan akan
terlihat istimewa. (Liye, 2010:29)
13. Terlepas dari bumbu cerita yang semakin lezat saat kisah ini sambung
meyambung dari satu mulut ke mulut lain, rasa penasaranku atas
terowongan kereta itu sudah berakhir. Ternyata tidak ada bedanya dengan
berada di kamar tertutup tanpa penerangan. Mengingat kampung
kamibelum ada listrik, selalu gelap di malam hari, itu artinya terowongan
itu biasa-biasa saja. (Liye, 2010:33)
14. Kilau petir menyambar samar, disusul gemerutuk panjang suara guntur,
langit dipenuhi awan hitam, angin kencang menerpa wajah, membuat
anak rambut beriap-riap. Minggu-minggu ini seharusnya sudah masuk
musim penghujan, boleh jadi sore ini akhirnya hujan turun lebat setelah
berbulan-bulan kemarau mengungkung kampung. Kabar baik bagi seluruh
penduduk, itu artinya benih padi sudah bisa mulai ditabur. (Liye,
2010:35)
15. Kami tidak terlalu memperhatikan kesibukan di atas langit sana, kami
sedang asyik melompati cadas sungai. Kadang bergantian lebih sering
lompat serempak. Mandi sore yang menyenangkan. (Liye, 2010:35)
16. Meski di luar hujan deras lembali turun membungkus kampung, angin
lembah menambah dingin udara, langit-langit dapur terasa lebih hangat,
meja makan sekarang dipenuhi oleh rajukan-rajukan Ayuk Eli, Burlian
dan Amelia agar Mamak mau bercerita lebih banyak. (Liye, 2010:60)
17. Hujan deras turun membungkus halaman sekolah. Aku tidak semangat
menyambut lonceng pulang, lagi-lagi aku lupa membawa payung. Teman-
teman sibuk membereskan buku, menyandang tas, mengeluarkan payung
warna-warni, melangkah keluar ruangan, lantas beramai-ramai
menerobos hujan. Di depan kelas Burlian sudah menunggu. Menyeringai
menatapku. (Liye, 2010:69)
18. Pak Bin mengeluarkan sebuah kalender besar dari tas kusamnya. Wajah-
wajah terlongok, satu-dua semangat mendekat. Situasi kelas berubah
menjadi lebih hangat meski gerimis di luar menderas. (Liye, 2010:74)
19. Siang ini, hujan deras membasuh halaman sekolah. Aku mengembangkan
payung, Burlian berlari-lari kecil keluar dari kelasnya. Kami harus
bergegas, tadi Mamak menyuruh segera pulang, ada tumpukan karung
jengkol yang harus diurus. (Liye, 2010:89)
20. Pertandingan baru selesai saat langit semakin berat, matahari semakin
pudar. Anak-anak berlarian, berpisah di ujung jalan setapak menuju
kampung. Aku dan raju berjalan bersisihan, ujung rumput teki menyelisik
celana. (Liye, 2010:111)
21. Buaian suara air hujan menerpa genteng terdengar menyenangkan.
Bergelung kemul, sudah nyenyak sejak pukul sembilan. Malam ini televisi
kecil hitam-putih milik Bapak mati, aki-ya soak. Jadi warga yang awalnya
ramai menumpang menonton bergegas pulang. (Liye, 2010:117)
22. Hanya butuh waktu lima menit, sembilan lanting bambu siap di ujung
sungai. Tinggi air sudah sepinggang anak kecil. Hanya karena rumah
penduduk berbentuk panggung saja yang membuat perabot dalam rumah
tetap kering. Pendi dan juhan menatap ke depan, sungai yang kebarnya
hanya dua puluh meter itu sekarang berubah menjadi sungai raksaksa
selebar setidaknya dua ratus meter. Air cokelat sudah menyentuh belakang
kampung, dan boleh jadi sudah menghampar hingga ke ujung lembah.
Cahaya seter tidak berhasil menembus ujungnya. Arus air menderu-deru
dalam gelap. Gelombang bah air membuat miris telinga. (Liye, 2010:122)
23. Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan sekolah.
(Liye, 2010:129)
24. Lonceng berdentang, memutus lamunanku. Waktu ujian matematika habis.
Pak Bin di depan kelas berkata tegas, selesai tidak selesai dikumpulkan,
menarik paksa kertas jawaban Lamsari, yang sebaliknya bersikukuh
mencari-cari alasan—―Sebentar Pak. Sebentar …. Saya lupa menulis
nama.‖ (Liye, 2010:132)
25. Burlian yang memegang kaleng bergegas menggulurkan benang gelasan.
Aku berdiri di sebelahnya, mendongak menatap langit-langit kampung.
Ada sekitar dua puluh layangan di atas sana. Anak-anak dan pemuda
dewasa memenuhi lapangan, juga penduduk kampung yang asyik
menonto, menghabiskan sore. (Liye, 2010:149)
26. Dari kejauhan, terlihat salah-satu layangan putus, terbang menjauh dari
arena duel. Beberapa anak kecil dengan membawa galah bambu
berteriak, berlarian mengejarnya. Aku menyeka peluh di dahi, meski
matahari sudah mulai tumbang di ufuk barat langit sana, lapangan masih
terasa panas. Apalagi tegang menyaksikan Can tarik-ulur layangannya,
gatal tanganku ingin mengambil-alih. (Liye, 2010:149)
27. Langit mendung, kilat petir dsn dusrs geledek kembali. Musih hujan
datang lagi. Tetes air hujan di ujung-ujung genteng, gerombolan sapi
yang basah, bunga merah bogenvil menggelayut, lokomotof kereta yang
tersenggal mendaki bukit—(Liye, 2010:167)
28. Aku tidak menjawab, membalikkan badan membelakangi, tidur di kursi
rotan beranda rumah. Malam beranjak larut, langit mendung mengusir
bintang-gemintang, angin lembah berembus kencang, membuat udara
semakin dingin. Ini untuk yang ke tiga kalinya bapak menyuruh masuk.
(Liye, 2010:193)
29. Gerimis akhirnya turun. Satu butir bulir air menghujam atap genteng,
disusul dengan jutaan bulir air lain. Membuat beranda depan terasa
lembab. (Liye, 2010:194)
30. Terbangun tengah malam, lepas pukul dua. Di luar hujan membungkus
kampung. Mataku mengerjap-ngerjap menatap sekitar. Lampu canting
masih menyala di atas meja, cahaya apinya bergoyang. (Liye, 2010:201)
31. Cahaya lembut matahari menimpa atap masjid, terlihat indah. Aku
menelan ludah, akhirnya masjid ini diperbaiki. Bertahun-tahun penduduk
kampung mengumpulkan uang untuk renovasi, sepersen demi sepersen,
Dua bulan Pak Bin membantu menggambar ulang bentuk masjid,
menghiting biaya material dan peralatan, dan minggu lalu berbagai
material seperti gelondongan tiang, papan, semen, paku, genten dibeli.
Sekarang menumpuk di halaman masjid. (Liye, 2010:210)
32. Ketakutan dengan cepat menyebar di halaman masjid. Lihatlah, di atas
sana, ada bayangan raksaksa yang bersiap menelan matahari. Persis
seperti nampan (Liye, 2010:216)
33. Besar, bentuknya hitam legam, garisnya mulai bersentuhan, pinggiran
matahari sudah mulai ditelannya. Aku meneguk ludah, kakiku gemetar,
menyeramkan sekali. (Liye, 2010:216)
34. Hari itu, siang itu, gerhana matahari total membungkus kampung kami
saat renovasi masjid akan dimulai. Jaman itu idak ada yang memberi
kabar lewat televisi hitam-putih punya Bapak kapan tamu spesial ini akan
datang. Tidak ada juga yang menjelaskan seperti apa rasanya gerhana
matahari, kecuali buku-buku pelajaran yang sadanya. (Liye, 2010:218)
35. Setelah semua kembali terang, raksaksa besar itu pergi dari menelan
matahari kami, satu persatu anak-anak memberanikan diri keluar dari
masjid. Mendongak mengintip matahari. Gerhana itu sudah usai. (Liye,
2010:218)
36. Makan malam itu belanjut, ditingkahi suara sendok. ―Pak, kalau sudah
besar nanti, Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia memecah
kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye, 2010:239)
37. Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut lapangan kota
kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal, menumpahkan separuh
duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan. Minggu lalu Bapak (dan
Mamak) sudah sepakat, sepersepuluh dari uang yang kami peroleh
menjadi bagian kami. Itu berarti lebih banyak majalah bekas yang bisa
kubeli. (Liye, 2010:240)
38. Aku sudah dua kali menyuruh burlian berkeliling pasar kalangan. Survei,
siapa saja yang menjual duku dan berapa harga jual mereka. Oi,
sepertinya hargaku sudah tepat, bagaimana mungkin duku jualan kami
hanya laku sedikit. Hingga matahari mulai terik membakar ubun-ubun,
pasar kalangan mulai sepi pengunjung, beberapa pedagang melipat
kembali barang jualannya, duku yang tersisa di keranjang lebih dari
separuh. Aku menghela nafas kecewa. Sudah siang, mau bagaimana lagi,
menyuruh burlian membereskan terpal. (Liye, 2010:241)
39. Mamak tertawa, mempercepat langkah, matahari sudah semakin tumbang
di ufuk barat. Sebentar lagi adzan magrib. Amelia bersungut-sunggut
dengan tampang seperti kepiting rebus. (Liye, 2010:250)
40. Aku lebih suka musim penghujan. Lebih segar saja rasanya menatap
sekitar. Dan bagi kami anak-anak yang suka bermain bola, bermain di
lapangan becek jauh lebih seru dibnadingkan bermain di lapangan
berdebu dan panas. Musim kemarau juga serba tidak konsisten, siang hari
terasa gerah, keringat mengucur deras, malam harinya justru sebaliknya,
udara terasa dingin menusuk tulang, apalagi angin yang menembus celah-
celah papan, tidak tahan. (Liye, 2010:276)
41. Senja tiba, matahari mulai tumbang di ufuk barat sana. (Liye, 2010:288)
42. Aku kembali menyeka peluh, meski matahari mulai tumbang di ufuk barat
sana, udara musim kemarau tetap terasa gerah. Bapak berjalan di
belakang, memeriksa pekerjaan, seberapa bersih kami membuat batas
dengan hutan. Celaka kalau ada ranting yang bisa menjalarkan api ke
hutan saat proses pembakaran dilakukan. (Liye, 2010:294)
43. Hingga matahari siap menghilang di balik garis kanopi hutan, hingga
Bapak dan Mamak meneriaki kami agar bergegas pulang, ayam jago itu
tidak berhasil ditangkap. ―Besok kita bawa jala ikan saja.‖ Aku
mendesiskan ide. Burlian dan Can mengangguk sepakat. (Liye, 2010:295)
44. Terik matahari membuat gerah, Burlian menyeka peluh. Aku dan Can
sejak tadi sudah membuka kancing atas, membiarkan angin lembah
membasuh badan. Kami datang lebih awal, disuruh menemani Bapak
memeriksa garis pembatas untuk terakhir kalinya. (Liye, 2010:296)
45. Langkah kakiku terhenti. Setelah jatuh bangun, lintang pukang
menyelamatkan diri, kami akhirnya tiba di tepi hutan, hanya tinggal dua
puluh meter lagi dari garis pembatas, dekat saja, tetapi nyala api laksana
benteng tangguh menghadang. Bergemerutuk. Menyala-nyala membuat
pedas seluruh kulit. Asap cokelatnya mengepul seram, memerihkan mata.
(Liye, 2010: 301)
46. Muka Ayuk Eli seketika bersemu merah. Salah-tingkah. Amelia dan
Burlian sudah sibuk saling jawil, berkejaran lagi. Cahaya matahari pagi
lembut menerabas dedaunan, kabut masih mengungkung kanipi hutan.
(Liye, 2010:304)
47. ―LARI BURLIAN PASAI‼‖ Aku berteriak kencang, dan belum habis suara
teriakanku, Burlian sudah melesat ke depan, ikut berteriak. Tubuhnya
laksana terbang saat melompat melewati nyala api, lantas terjatuh
terguling di ujung sana. (Liye, 2010:306)
48. Dan Bapak dengan senang hati menceritakan banyak hak. Terkadang,
tanpa kami sadari seluruh ladang sudah selesai kami kelilingi, matahari
sudah muali tumbang di kaki barat sana, dan cerita itu harus berlanjut
esok hari. (Liye, 2010:318)
49. Gerimis membungkus ladang. Gemerutuk guntur memecah suara tetes air
dan derik jangkrik. Sekali-dua kilat menggurat langit gelap. (Liye,
2010:319)
50. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di
kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya
tidak sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD,
dengan nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di kota
kabupaten. Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku hanya bisa
pelang ke kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil colt yang
tersenggal melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye, 2010:324)
51. Kami terdiam mendengar kalimat-kalimat menusuk Wak Yati. Ayuk Eli
bahkan terlihat menyeka ujung matanya, menatap sedih tubuh tua Wak
Yati yang berontak di atas tempat tidur. Saa dokter keluar dari ruangan,
Ayuk Eli berlarian mengejarnya di lorong bangsal, ―Bisakah…. Bisakah
Wawak kami diijinkan pulang?‖ Dokter menghela nafas, akhirnya
mengangguk. (Liye, 2010:336)
52. Siang yang menyenangkan, gumpalan awan di atas sana membuat jalanan
kota terasa sejuk. Semilir angin memainkan ujung-ujung tudung. Aku
mengeluarkan kepala dari bawah atap dokar, mendongak, rombongan
burung terlihat terbang, warnanya putih melenguh lantang. (Liye,
2010:237)
53. Kereta api gagah mendaki bukut-bukit, menuruni lembah-lembah. Kelok
sungai terlihat elok dari ketinggian, juga air terjun di kejauhan. Mamak
benar, dari sisi mana saja pemandangan di luar sana terlihat hebat.
Pohon-pohon berpilin seperti berlari. Pedalaman Sumareta yang masih
permai. (Liye, 2010:330)
54. Kereta api seperti biasa melenguh panjang. Seperti biasa, masinisnya
tidak lupa memberi sinyal kalau kereta bersiap memasuki terowongan.
Suara klakson kereta yang menahan kelanjutan kalimat Wak Yati, serta
seruan marah Bapak.(Liye, 2010:333)
55. Selepas gaung lenguhan itu hilang ditelan deru kereta, maka saat itu juga
seperti ada berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi sekitar.
Perlahan-lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat remang. Aku
melihat lenganku yang semakin buram. Dan dalam hitungan sepersekian
detik, cahaya seperti ditelan kesaktian terowongan. Splassh. Gulita sudah.
Seperti ada yang menampar lembut perasaanku. Kami sudah masuk
kedalam terowongan. Bagian paling misterius, paling ditunggu dalam
setiap perjalanan kereta. (Liye, 2010:333)
56. Suara roda baja menjejak batangan rel sekarang berbeda. Lebih keras.
Menggema. Meski tidak sesegar sebelumnya, udara terowongan tidak
semenyeramkan yang dibayangkan. Tidak terdengar kelepak kelelawar di
luar sana. Boleh jadi memang ada ribuan di langit-langit terowongan, tapi
suara berisik mereka jelas kalah dengan deru gagah kereta. (Liye,
2010:333)
57. Malam itu hujan deras membasuh kampung. Jalanan becek, beranda
rumah panggung tampias, seluruh lampu canting dan obor dipadamkan.
Seluruh kampung dicekam ketakutan. Tubuh-tubuh meringkuk di kamar,
wajah-wajah pias. Satu saja suara letusan terdengar di luar, bisa
membuat anak-anak dan remaja tanggung terkencing di celana. (Liye,
2010:339)
58. Persis ketika semburat pertama matahari menyentuh dasar hutan,
perampok itu berhasil dikejar. Jumlah mereka tujuh kali lipat, tetapi di
tengah hutan lebat, jumlah tidak penting lagi. (Liye, 2010:340)
59. Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh kampung
saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati terisak lama,
memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa anak-anak Wak
Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak mengapa… anak-anakku
meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau telah melakukan hal yang
benar… mereka-lah harta sejati milik kampung kita. mereka-lah sungguh
harta karun paling
60. berharga kampung kita. (Liye, 2010:341)
B. Nilai Pendidikan Karakter
Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat memberikan
wawasan dan nilai pendidikan lebih pada pembacanya. Dalam hal ini
pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan
berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter telah
menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial,
pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. (Harianto,
2013:43)
Pendidikan karakter dewasa ini menjadi poin penting dalam dunia
pendidikan, semua jenjang pendidikan menekankan pendidikan karakter,
terutama pada tingkat dasar (SD/MI). Penekanan pendidikan karakter ini
bahkan mengharuskan pemerintah mengubah kurikulum yang ada menjadi
kurikulum baru dengan segala keunikannya demi mendogkrak nilai pendidikan
karakter pada siswa.
Pendidikan karakter akan sangat ideal ketika ditanamkan sedini
mungkin, mengingat kondisi saat ini yang dapat dikatakan memprihatinkan
untuk anak-anak jenjang pendidikan dasar. Segala kecanggihan tekhnologi
membuat mereka lebih dewasa sebelum waktunya. Maka dalam ranah
pendidikan, hal ini membutuhkan kerjasama dari semua pihak, bukan hanya
guru sebagai pendidik di sekolah saja, tetapi juga semua lapisan masyarakat
untuk dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter untuk semua pihak
terutama anak-anak.
Terdapat delapan belas nilai karakter yang bersumber dari agama,
pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yang terdapat dalam novel
Pukat. Kedelapan belas nilai karakter tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6)
Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa ingin tahu; (10) Semangat
kebangsaan dan nasionalisme; (11) Cinta tanah air; (12) Menghargai prestasi;
(13) Bersahabat dan komunikatif; (14) Cinta damai; (15) Gemar membaca;
(16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli sosial; (18) Tanggung jawab.
(Kemendiknas, 2011:11)
Adapun kutipan nilai pendidikan karakter dalam novel Pukat adalah
sebagai berikut:
1. Religius
a. ―Perhatikan ke depan, anak-anak.‖ Nek Kiba memukulkan rotan
panjang ke lantai papan rumah panggungnya, terdengar lantang di
langit-langit ruangan. Kami yang sibuk membaca Al-Qur‘an,
Juz‘amma, atau patah-patah mengeja a-i-u huruf arab. Separuh lagi
sibuk bermain karet gelang, kartu bergambar atau sekedar permainan
jari tangan mengangkat kepala, menoleh kedepan. Tadi lepas maghrib,
meski sudah selesai menghadap. Tidak seperti lazimnya, Nek Kiba
melarang kami pulang. (Liye, 2010:155)
b. Nek kiba tertatih dengan tongkatnya terlihat riang. Menurut cerita
Ayuk Eli (yang sebelahan shaf dengan Nek Kiba), waktu shalat tadi Nek
Kiba terdengar menangis. Meski lancar, Bakwo Dar—imam shalat,
sempat bertanya kepada Nek Kiba bagaimana shalat itu harus
dilakukan. Dan kami berbaris rapi mengikuti gerakan di depan hingga
salam. (Liye, 2010:219)
c. Tiga bulan lalu, ladang padi Bapak sukses besar. Tidak kurang seratus
karung goni besar hasil panennya. Butuh seminggu lebih untuk
mengani-ani pucuk batang padi, hilir-mudik tetangga bergotong
royong. Dikurangi dengan zakat, jatah untuk tetangga yang selama ini
membantu, hasil panen tetap menyisakan puluhan karung, Bapak
menyimpn separuhnya di gudang, separuhnya lagi dijual ke kota, biaya
melanjutkan sekolahku. (Liye, 2010:324)
d. ―Berjanjilah, Pukat.‖ Wak Yati menunggu janjiku.
Aku meneguk ludah, ―Pukat berjanji Wak.‖
Wak Yati memelukku erat. Mulutnya kemudian pelan membaca shalawat.
(Liye, 2010:334)
2. Jujur
a. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap,
―Ide ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad
agar terus berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja
keperluan, ide ini juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar
saya yang memberikan pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-
kali ke mereka. Insya Allah, tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)
b. ―Memang tidak ada yang melihat kalian, tetapi Allah…. Allah sungguh
melihat kalian.‖ Nek Kiba, guru mengaji kami sengaja mengosongka
jadwal tartil malam itu, dia menceramahi kami panjang lebar tentang
kejujuran. ―Jangan pernah berikan kesempatan niat jahat itu datang.
Sekali-kali jangan. Karena sekali-kali terbiasa, maka kalian dengan
mudah bisa bertingkah lebih jahat lagi.‖ (Liye, 2010:144)
c. ―Tenang, tidak sepersen pun uangnya berkurang. Apa kata Nek Kiba,
‗Kalian jangan pernah mencuri, sesulit apapun hidup dan nafsu dunia
merusak kalian. Kejujuran adalah segalanya‘. Nah kau mau main
layangan bersamaku sekarang? Si Juha menunggu di lapangan
Stasiun.‖ Can menirukan suara berat Nek Kiba, nyengir lebar, lantas
menunjukkan layangan kuningnya. (Liye, 2010:169)
3. Toleransi
Setengah jam berlalu, sisa kawanan itu mulai terhitungdengan
situasi, mereka melarikan diri ke hutan lebat. Dari sepuluh anak yang
diculik delapan diantaranya selamat. Dua meninggal tertembus timah
panas, dan dua-duanya adalah anak Wak Yati. Tidak ada yang tahu,
senapan angin siapa yang telah mengenai anak Wak Yati, yang pasti sejak
saat itulah Bapak bersumpah tidak akan menembak. Dan sejak saat itulah
Wak Yati hidup sendiri.
Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh
kampung saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati
terisak lama, memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa
anak-anak Wak Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak mengapa…
anak-anakku meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau telah
melakukan hal yang benar… mereka-lah harta sejati milik kampung kita.
mereka-lah sungguh harta karun paling berharga kampung kita. (Liye,
2010:341)
4. Disiplin
―Bapak punya pulpen di tas, dua malah. Bapak lihat Lamsari di
sebelahmu juga punya cadangan dua pulpen… Sayang, aturan adalah
aturan, Pukat. Kita dihargai bukan karena kita seram, galak apalagi
berkuasa, kita dihargai karena menegakkan aturan main. Kau sudah tau
sendiri resikonya.‖ Pak Bin menyeringai tipis melambaikan tangan. (Liye,
2010:126)
5. Kerja Keras
Tidak ada lelaki di rumahnya, Raju berubah menjadi ‗Kepala
keluarga‘. Ibunya hanya punya sepetak kecil ladang karet, meski di sadap
setiap hari, getah karetnya tidak mencukupi. Maka Raju ringan tangan
ikut bekerja. Wak Lihan salah satu bos Raju yang paling sering menyuruh-
nyuruh. (Liye, 2010:113)
6. Kreatif
a. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru sajamistarnya, kau beri
tanda senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu
duduk, mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan.
Yang lain menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu.
Sebenarnya aku hanya mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan
mistar panjang milikku, lantas mengantinya dengan karton yang
dipotong mirip mistar, kemudian diberikan garis senti-sentinya. (Liye,
2010:130)
b. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap,
―Ide ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad
agar terus berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja
keperluan, ide ini juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar
saya yang memberikan pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-
kali ke mereka. Insya Allah, tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)
c. ―Bagus kan, Wak?‖ Ayuk Eli mengenakan songket karyanya. Mematut-
matut di depan cermin tua Wak Yati.
―Natuurlijk, tentu saja, ini songket paling bagus yang pernah Wawak
lihat.‖ Wak Yati tersenyum, memperbaiki posisi kain di pinggang Ayuk
Eli. (Liye, 2010:177)
7. Mandiri
―Kalian harusnya mengerti, sejak Ayuk Eli sekolah di kota, tidak
ada lagi yang membantu Mamak mengurus rumah. Mencuci, menyiapkan
makanan, membersihkan rumah, semua dikerjakan sendirian. Belum lagi
Mamak setiap hari harus ke ladang, menyiangi rumput ilalang,
memangkas tunas kopi, dan pekerjaan kampung lainya, seperti sekarang
di rumah Wak Yati. Amel harusnya bisa membantu dengan merapikan
tempat tidur. Burlian bisa membantu dengan tidak menambah beban
pikiran Mamak, selalu menghabiskan sarapan. Mudah, kan (Liye,
2010:185)
8. Demokratis
―Kau punya cita-cita apa, Pukat? Bapak bertanya lagi.
―Pe-ne-li-ti.‖ Aku menjawab malu-malu.
―Oi, binatang apa pula itu?‖
―Kata Pak Bin, itu orang yang tau jawaban semua pertanyaan.‖
Bapak menepuk dahinya, ―Kalau begitu cocok sekali dengan kau, Pukat. Kau
memang selalu tahu jawaban semua pertanyaan. Apa Pak Bin juga bilang
masih berapa tahun lagi kau harus sekolah agar bisa menjadi peneliti
yang hebat?‖
Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali. . . SD, SMP,
SMA, universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum ada
di sini. Harus pergi ke negara jauh sana.‖
―Kalau begitu, semoga kami masih hidup saat kau sudah menjadi peneliti
yang hebat, Pukat. . . . Wak Yati, Bakwo Dar, Pak Bin, terlebih-lebih
Mamak kau, ingin sekali melihat kau menjadi orang.‖ (Liye, 20101:320-
321)
9. Rasa ingin tahu
Aku menyeringai, mengaruk kepala yang tidak gatal. Sepertinya
seru sekali bentuk masjid yang digambar Pak Bin, ada kubah besar dan
menara tingginya. Pak Bin tertawa, menutup pekerjaanya, menunjuk jam
di dinding—sebentar lagi lonceng masuk. (Liye, 2010:166)
10. Semangat kebangsaan dan nasionalisme
a. Lima belas menit kemudian saat kereta tiba di kota kabupaten, seluruh
peron sudah di kepung oleh puluhan petugas dan tentara. Penumpang
diminta turun satu-persatu. Kecemasan bapak terbukti, jika hanya
mengandalkan pemeriksaan lisan, tidak akan mudah membedakan
penumpang dengan gerombolan perampok. Penyamaran mereka
sempurna, dan jumlah enam ratus penumpang melelahkan petugas.
Tetapi mereka sekarang punya senjata pamungkas: aroma bubuk kopi.
(Liye, 2010: 30)
b. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami
melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acan menumpang dokar,
komandan tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok
menepuk bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖
Komandan tentara tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang
pintar… tetapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖
(Liye, 2010:32)
c. ―Setidaknya kita akan menunggu petugas dari kota. Terserah mereka
mau diapakan kotak-kotak ini.‖ Mang Dullah memutuskan, menyuruh
beberapa orang membawa kotak itu ke balai-balai kampung. (Liye,
2010:227)
d. Seminggu kemudian datang rombongan berpakaian rapi dari kota.
Mereka menaikan empat kotak itu ke mobil besar. Bapak sempat
bersikukuh melarang mereka membawanya pergi, mengusulkan mereka
bisa tinggal di kampung meneliti kotak-kotak itu. Usul itu di tolak
mentah-mentah, rombongan itu menyerahkkan surat perintah agar
kotak itu diamankan ke kota atau Bapak akan diancam menghalangi
tugas pemerintah. Bapak kalah posisi, Mang Dullah dan Pak Bin juga
kehilangan argumen. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang datang
membawa kabar kemana kotak-kotak itu pergi. (Liye, 2010:229)
11. Cinta tanah air
a. ―Kalau sudah besar Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia
memecah kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye,
2010:239)
b. Dan Bapak dengan senang hati menceritakan banyyak hal. Terkadang,
tanpa kami sadari seluruh ladang sudah selesai dikelilingi, matahari
sudah mulai tumbang di kaki barat sana, dan cerita itu harus berlanjut
esok hari. Setiap kali waktu kami habis, maka Bapak menutupnya
dengan tersenyum, menatap kami lamat-lamat, ―Esok lusa, kalian
sendiri akan berkesempatan ke sana, Pukat, Burlian. Kalian akan
seperti burung yang terbang bebas. Kalian bisa melihat seluruh dunia.
Dan ketika waktu itu tiba, ingatlah selalu kampung kita. orang-orang
yang telah memberikan teladan baik dan budi luhur.‖ (Liye, 2010:318)
12. Menghargai prestasi
a. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami
melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acana menumpang dokar,
komandan tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok
menepuk bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖
Komandan tentara tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang
pintar… tetapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖
(Liye, 2010:32)
b. Kalau soal mengajar sambil bercerita, aku yakin tidak ada yang
mengalahkan kehebatan Pak Bin, apalagi dengan semua keterbatasan
yang dimiliki sekolah kami. (Liye, 2010:75)
c. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru saja mistarnya, kau beri
tanda senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu
duduk, mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan.
Yang lain menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu.
Sebenarnya aku hanya mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan
mistar panjang milikku, lantas mengantinya dengan karton yang
dipotong mirip mistar, kemudian diberikan garis senti-sentinya. (Liye,
2010:130)
d. Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali… SD, SMP,
SMA, universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum
ada di sini. Harus pergi ke negara jauh sana. (Liye, 2010:321)
e. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di
kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya
tidak sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD,
dengan nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di
kota kabupaten. Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku
hanya bisa pelang ke kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil
colt yang tersenggal melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye,
2010:324)
f. Meski aku ingin sekali sekolah di kota provinsi atau bahkan di pulau
sebrang sana, aku tetap bersyukur dengan hanya melanjutkan di kota
kabupaten. (Liye, 2010:324)
13. Bersahabat dan komunikatif
a. ―Bagaimana, lebih baik lompatan siapa?‖ Lamsari bertanya
―Lamsari.‖ Aku menjawab mantap
―Can.‖ Jawab burlian tidak kalah mantap.
Tentu saja urusan ini tidak pernah mudah diputuskan. Mau berapa
kalipun kami ber-awas-awas bum-bum saling memamerkan teknik
lompatan terbaik, penilaian kami tetap saja subyektif, membela teman
masing-masing. (Liye, 2010:36)
b. ―Kakak di belakang, kalau kau jatuh, kakak bisa menangkapmu.‖ Aku
berkata pelan di telinga Burlian, meyakinkannya. ―Ayo Burlian, larilah
secepat kaki kau …Bapak sudah menunggu di ujung batang kayu ini.‖
(Liye, 2010:306)
14. Cinta damai
Aku dan Raju sudah tersenyum caggung, menyeringai salah-
tingkah satu sama lain. Meski lebih mirip seringai kuda, itu jelas seringai
perdamaian. Akhirnya setelah dua bulan tidak saling tegur, kami
berbaikan. (Liye, 2010:110)
15. Gemar membaca
Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut
lapangan kota kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal,
menumpahkan separuh duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan.
Minggu lalu Bapak (dan Mamak) sudah sepakat, sepersepuluh dari uang
yang kami peroleh menjadi bagian kami. Itu berarti lebih banyak majalah
bekas yang bisa kubeli. (Liye, 2010:240)
16. Peduli Lingkungan
Sungguh sebuah kekeliruan jika ada yang menilai penduduk
kampung yang selama ini menyumbang porsi besar kerusakan hutan.
Faktanya, sejak berpuluh-puluh tahun silam hingga sekarang luas ladang
yang ditanami penduduk kampung hanya itu-itu saja. Tidak setiap tahun
mereka membakar hutan. Lebih banyak yang seperti siklus alam, hanya
membuka ulang ladang lama yang tidak diurus bertahun-tahun. (Liye,
2010:277)
17. Peduli sosial
Aku menjulurkan bungkusan plastik. ―Masakan rendang dari
Mamak.‖
―Aduh merepotkan, terima-kasih.‖ Ibu Ahmad tersenyum riang. (Liye,
2010:137)
18. Tanggung jawab
a. ―Oi, sungguhan kita bisa ambil sendiri?‖
―Kau tetap harus bayar. Lihat kaleng itu, kau harus masukkan uangnya
juga.‖ Aku mendelik. (Liye, 2010:143)
b. ―Mak, Burlian mau nasi hangat seperti itu.‖Burlian takut-takut
menunjuk.
―Kalian habiskan dulu nasi ini, baru boleh ambil yang hangat di periuk.‖
―Tapi, Mak, kenapa Amelia boleh langsung mengambil dari periuk?‖
―Karena Amel menghabiskan nasinya.‖ Mamak mendesis. (Liye,
2010:275)
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang telah penulis kumpulkan dalam meneliti
novel Pukat karya Tere Liye dengan teknik baca dan catat, maka penulis
mendapatkan beberapa hal yang terkait dengan gaya bahasa dan nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Pukat. Dalam hal ini gaya
bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Gaya bahasa ini sesuai dengan firman Allah, yaitu Q.S Az-Zukruf,43: 4 :
Artinya: Dan Sesungguhnya Al-Quran itu dalam Induk Al kitab
(Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar Tinggi (nilainya) dan
Amat banyak mengandung hikmah. (Kemenag, 2008:391)
Ayat di atas menjelaskan bahwasannya Al-Quran juga
mengandung banyak keindahan sastra. Selain gaya bahasa penulis juga
meneliti nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Pukat
karya Tere Liye. Nilai pendidikan karakter yang dimaksud adalah
pelajaran mengenai sifat-sifat baik yang dapat dipetik dari novel tersebut,
sehingga dapat diambil pelajaran dari apa yang telah dibaca. Hal serupa
juga terdapat dalam QS. Shaad, 38 :29.
Artinya: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.
(Kemenang, 2008: 363)
Ayat di atas menjelaskan bahwasanya Allah telah menurunkan
Al-Quran agar menjadi bahan belajar untuk manusia, sehingga manusia
dapat menjadi lebih baik dalam segala hal.
Sesuai dengan pengertian di atas maka penulis dapat menuliskan
data sesuai deskripsi pemikiran, yaitu:
A. Gaya Bahasa Personifikasi
Dalam novel Pukat karya Tere Liye setidaknya terdapat lima puluh
sembilan kalimat yang mengandung gaya bahasa personifikasi, yang tersebar
dalam dua puluh empat bagian cerita.
Penggunaan gaya bahasa personifikasi mempunyai fungsi untuk
memperjelas suasana dan memperindah bacaan sehingga dapat menarik minat
pembaca. Berikut adalah kutipan gaya bahasa prsonifikasi dalam novel pukat.
a. Menunjukkan waktu
Penggunaan gaya bahasa personifikasi dalam penunjukan waktu ini
membuat kalimat-kalimat yang Tere Liye menggunakan menjadi lebih
indah dan menarik. Berikut adalah kutipan dalam novel Pukat yang
menunjukkan waktu, baik waktu pagi, siang, sore ataupun malam:
1. Menjelaskan waktu pagi
a. Meski si ular besi ini sudah menjadi bagian kehidupan kampung,
dengan suara klaksonnya yang tidak pernah alpa, melengkung
nyaring setiap subuh buta dan tengah malam, sejatinya kami dan
boleh jadi anak-anak lain belum banyak yang menaiki kereta api
dalam sebuah perjalanan sungguhan. (Liye, 2010:1)
b. Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah hutan. Atap-atap
rumah yang terlihat kecoklatan dari kejauhan mulai menghilang,
digantikan hamparan hijau yang dibungkus kabut pagi, seperti
buntalan kapas putih, menyenangkan melihatnya. (Liye, 2010:3)
c. Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan sekolah.
(Liye, 2010:129)
d. Cahaya lembut matahari menimpa atap masjid, terlihat indah. Aku
menelan ludah, akhirnya masjid ini diperbaiki. Bertahun-tahun
penduduk kampung mengumpulkan uang untuk renovasi, sepersen
demi sepersen, Dua bulan Pak Bin membantu menggambar ulang
bentuk masjid, menghitung biaya material dan peralatan, dan minggu
lalu berbagai material seperti gelondongan tiang, papan, semen,
paku, genteng dibeli. Sekarang menumpuk di halaman masjid. (Liye,
2010:210)
e. Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut lapangan
kota kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal, menumpahkan
separuh duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan. Minggu lalu
Bapak (dan Mamak) sudah sepakat, sepersepuluh dari uang yang
kami peroleh menjadi bagian kami. Itu berarti lebih banyak majalah
bekas yang bisa kubeli. (Liye, 2010:240)
f. Muka Ayuk Eli seketika bersemu merah. Salah-tingkah. Amelia dan
Burlian sudah sibuk saling jawil, berkejaran lagi. Cahaya matahari
pagi lembut menerabas dedaunan, kabut masih mengungkung kanopi
hutan. (Liye, 2010:304)
g. Persis ketika semburat pertama matahari menyentuh dasar hutan,
perampok itu berhasil dikejar. Jumlah mereka tujuh kali lipat, tetapi
di tengah hutan lebat, jumlah tidak penting lagi. (Liye, 2010:340)
2. Menjelaskan waktu siang
Aku sudah dua kali menyuruh burlian berkeliling pasar kalangan.
Survei, siapa saja yang menjual duku dan berapa harga jual mereka. Oi,
sepertinya hargaku sudah tepat, bagaimana mungkin duku jualan kami
hanya laku sedikit. Hingga matahari mulai terik membakar ubun-ubun,
pasar kalangan mulai sepi pengunjung, beberapa pedagang melipat
kembali barang jualannya, duku yang tersisa di keranjang lebih dari
separuh. Aku menghela nafas kecewa. Sudah siang, mau bagaimana lagi,
menyuruh Burlian membereskan terpal. (Liye, 2010:241)
3. Menjelaskan waktu sore
a. Pertandingan baru selesai saat langit semakin berat, matahari semakin
pudar. Anak-anak berlarian, berpisah di ujung jalan setapak menuju
kampung. Aku dan raju berjalan bersisihan, ujung rumput teki
menyelisik celana. (Liye, 2010:111)
b. Burlian yang memegang kaleng bergegas menggulurkan benang
gelasan. Aku berdiri di sebelahnya, mendongak menatap langit-langit
kampung. Ada sekitar dua puluh layangan di atas sana. Anak-anak dan
pemuda dewasa memenuhi lapangan, juga penduduk kampung yang
asyik menonto, menghabiskan sore. (Liye, 2010:149)
c. Dari kejauhan, terlihat salah-satu layangan putus, terbang menjauh
dari arena duel. Beberapa anak kecil dengan membawa galah bambu
berteriak, berlarian mengejarnya. Aku menyeka peluh di dahi, meski
matahari sudah mulai tumbang di ufuk barat langit sana, lapangan
masih terasa panas. Apalagi tegang menyaksikan Can tarik-ulur
layanganya, gatal tanganku ingin mengambil-alih. (Liye, 2010:149)
d. Mamak tertawa, mempercepat langkah, matahari sudah semakin
tumbang di ufuk barat. Sebentar lagi adzan magrib. Amelia bersungut-
sunggut dengan tampang seperti kepiting rebus. (Liye, 2010:250)
e. Senja tiba, matahari mulai tumbang di ufuk barat sana. (Liye,
2010:288)
f. Aku kembali menyeka peluh, meski matahari mulai tumbang di ufuk
barat sana, udara musim kemarau tetap terasa gerah. Bapak berjalan
di belakang, memeriksa pekerjaan, seberapa bersih kami membuat
batas dengan hutan. Celaka kalau ada ranting yang bisa menjalarkan
api ke hutan saat proses pembakaran dilakukan. (Liye, 2010:294)
g. Hingga matahari siap menghilang di balik garis kanopi hutan, hingga
Bapak dan Mamak meneriaki kami agar bergegas pulang, ayam jago
itu tidak berhasil ditangkap. ―Besok kita bawa jala ikan saja.‖ Aku
mendesiskan ide. Burlian dan Can mengangguk sepakat. (Liye,
2010:295)
h. Dan Bapak dengan senang hati menceritakan banyak hak. Terkadang,
tanpa kami sadari seluruh ladang sudah selesai kami kelilingi,
matahari sudah mulai tumbang di kaki barat sana, dan cerita itu harus
berlanjut esok hari. (Liye, 2010:318)
4. Menunjukkan waktu malam
Aku tidak menjawab, membalikkan badan membelakangi, tidur di
kursi rotan beranda rumah. Malam beranjak larut, langit mendung
mengusir bintang-gemintang, angin lembah berhembus kencang, membuat
udara semakin dingin. Ini untuk yang ke tiga kalinya bapak menyuruh
masuk. (Liye, 2010:193)
b. Menunjukkan keadaan
Dalam banyak karya sastra, gaya bahasa personifikasi sering
digunakan dalam peggambaran waktu sehingga kalimatnya menjadi lebih
indah, namun bukan hanya dalam penggambaran waktu, suatu keadaan
juga menjadi lebih berkesan ketika di bumbui dengan gaya bahasa
personifikasi seperti yang dilakukan Tere Liye.
1. Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah hutan. Atap-atap
rumah yang terlihat kecoklatan dari kejauhan mulai menghilang,
digantikan hamparan hijau yang dibungkus kabut pagi, seperti
buntalan kapas putih, menyenangkan melihatnya. (Liye, 2010:3)
2. Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus
menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit.
Matahari semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye,
2010:9)
3. Selepas lengkungan itu hilang ditelan deru roda, maka saat itu seperti
ada berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi sekitar.
Perlahan-lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat remang. Aku
melihat lenganku yang semakin buram. Dan dalam hitungan
sepersekian detik, cahaya seperti ditelan kesaktian terowongan. (Liye,
2010:15)
4. Splassh, semua gelap. Seperti ada yang menampar lembut perasaanku.
Kami sudah masuk kedalam terowongan. Bagian paling misterius ,
paling ditunggu dalam perjalanan ini. (Liye, 2010:16)
5. Dalam gelapnya gerbong, semua orang menoleh kesana-kemari
berusaha mencari tahu. Sementara laju kereta melambat dengan cepat,
suara mendecit membuat telinga ngilu, percikan kembang api
menyembur dari roda baja menggilas batangan rel. (Liye, 2010:17)
6. ―SEMUANYA DIAM DI TEMPAT!‖ Teriakan itu meningkahi hingar-
bingar, berusaha segera membekukan kekacauan, berusaha
menghentikan dengung lebah dan gerak tangan penumpang yang panik
sekaligus mencari tahu apa yang terjadi. (Liye, 2010:19)
7. Suara letusan senapan kembali merobek langit-langit gelap. Bau mesiu
tercuim pekat. (Liye, 2010:20)
8. Entah apa sasaran tembak itu, suara letusanya menggema sepanjang
terowongan. Mengerikan membayangkan apa yang terjadi, bahkan kali
ini kelepak kelelawar ikut bungkam. (Liye, 2010:23)
9. Klakson kereta tiba-tiba melengkung panjang. Belum hilang gemanya,
kereta berderak kasar, membuat penumpang yang bersitegang
terjerabah jatuh. Sepersekian detik, roda kereta mulai menjejak rel,
membuat seluruh gerbong bergerak. (Liye, 2010:25)
10. Aku dan Burlian berlari lebih cepat, dalam situasi ribut seperti ini,
takut benar kehilangan punggung Bapak. Kereta juga meliuk tambah
cepat, melewati tikungan tajam, gerbong bergerak miring. Bapak
berteriak menyuruh kami berpegangan. Aku dan burlian loncat meraih
apa saja yang bisa dipegang. Karung-karung terlempar keluar.
Beberap penumpang terpelanting. Seruan-seruan tertahan. (Liye,
2010:26)
11. Kereta terus menjejak batangan rel, menuruni lembah, melintasi
jembatan panjang. Jikalau tidak dalam situasi perampokan,
memandang hamparan hijau hutan dan aliran bening sungai dengan
bingkai jembatan akan terlihat istimewa. (Liye, 2010:29)
12. Terlepas dari bumbu cerita yang semakin lezat saat kisah ini sambung
meyambung dari satu mulut ke mulut lain, rasa penasaranku atas
terowongan kereta itu sudah berakhir. Ternyata tidak ada bedanya
dengan berada di kamar tertutup tanpa penerangan. Mengingat
kampung kami belum ada listrik, selalu gelap di malam hari, itu artinya
terowongan itu biasa-biasa saja. (Liye, 2010:33)
13. Kilau petir menyambar samar, disusul gemerutuk panjang suara
guntur, langit dipenuhi awan hitam, angin kencang menerpa wajah,
membuat anak rambut beriap-riap. Minggu-minggu ini seharusnya
sudah masuk musim penghujan, boleh jadi sore ini akhirnya hujan
turun lebat setelah berbulan-bulan kemarau mengungkung kampung.
Kabar baik bagi seluruh penduduk, itu artinya benih padi sudah bisa
mulai ditabur. (Liye, 2010:35)
14. Kami tidak terlalu memperhatikan kesibukan di atas langit sana, kami
sedang asyik melompati cadas sungai. Kadang bergantian lebih sering
lompat serempak. Mandi sore yang menyenangkan. (Liye, 2010:35)
15. Meski di luar hujan deras lembali turun membungkus kampung, angin
lembah menambah dingin udara, langit-langit dapur terasa lebih
hangat, meja makan sekarang dipenuhi oleh rajukan-rajukan Ayuk Eli,
Burlian dan Amelia agar Mamak mau bercerita lebih banyak. (Liye,
2010:60)
16. Hujan deras turun membungkus halaman sekolah. Aku tidak semangat
menyambut lonceng pulang, lagi-lagi aku lupa membawa payung.
Teman-teman sibuk membereskan buku, menyandang tas,
mengeluarkan payung warna-warni, melangkah keluar ruangan, lantas
beramai-ramai menerobos hujan. Di depan kelas Burlian sudah
menunggu. Menyeringai menatapku. (Liye, 2010:69)
17. Pak Bin mengeluarkan sebuah kalender besar dari tas kusamnya.
Wajah-wajah terlongok, satu-dua semangat mendekat. Situasi kelas
berubah menjadi lebih hangat meski gerimis di luar menderas. (Liye,
2010:74)
18. Siang ini, hujan deras membasuh halaman sekolah. Aku
mengembangkan payung, Burlian berlari-lari kecil keluar dari
kelasnya. Kami harus bergegas, tadi Mamak menyuruh segera pulang,
ada tumpukan karung jengkol yang harus di urus. (Liye, 2010:89)
19. Buaian suara air hujan menerpa genteng terdengar menyenangkan.
Bergelung kemul, sudah nyenyak sejak pukul sembilan. Malam ini
televisi kecil hitam-putih milik Bapak mati, aki-ya soak. Jadi warga
yang awalnya ramai menumpang menonton bergegas pulang. (Liye,
2010:117)
20. Hanya butuh waktu lima menit, sembilan lanting bambu siap di ujung
sungai. Tinggi air sudah sepinggang anak kecil. Hanya karena rumah
penduduk berbentuk panggung saja yang membuat perabot dalam
rumah tetap kering. Pendi dan Juhan menatap ke depan, sungai yang
lebarnya hanya dua puluh meter itu sekarang berubah menjadi sungai
raksaksa selebar setidaknya dua ratus meter. Air cokelat sudah
menyentuh belakang kampung, dan boleh jadi sudah menghampar
hingga ke ujung lembah. Cahaya seter tidak berhasil menembus
ujungnya. Arus air menderu-deru dalam gelap. Gelombang bah air
membuat miris telinga. (Liye, 2010:122)
21. Lonteng berdentang, memutus lamunanku. Waktu ujian matematika
habis. Pak Bin di depan kelas berkata tegas, selesai tidak selesai
dikumpulkan, menarik paksa kertas jawaban Lamsari, yang sebaliknya
bersikukuh mencari-cari alasan—―Sebentar Pak. Sebentar …. Saya
lupa menulis nama.‖ (Liye, 2010:132)
22. Langit mendung, kilat petir dan suara geledek kembali. Musih hujan
datang lagi. Tetes air hujan di ujung-ujung genteng, gerombolan sapi
yang basah, bunga merah bogenvil menggelayut, lokomotif kereta yang
tersenggal mendaki bukit—(Liye, 2010:167)
23. Gerimis akhirnya turun. Satu butir bulir air menghujam atap genteng,
disusul dengan jutaan bulir air lain. Membuat beranda depan terasa
lembab. (Liye, 2010:194)
24. Terbangun tengah malam, lepas pukul dua. Di luar hujan membungkus
kampung. Mataku mengerjap-ngerjap menatap sekitar. Lampu canting
masih menyala di atas meja, cahaya apinya bergoyang. (Liye,
2010:201)
25. Ketakutan dengan cepat menyebar di halaman masjid. Lihatlah, di atas
sana, ada bayangan raksaksa yang bersiap menelan matahari. Persis
seperti nampan besar, bentuknya hitam legam, garisnya mulai
bersentuhan, pinggiran matahari sudah mulai ditelannya. Aku meneguk
ludah, kakiku gemetar, menyeramkan sekali. (Liye, 2010:216)
26. Hari itu, siang itu, gerhana matahari total membungkus kampung kami
saat renovasi masjid akan dimulai. Jaman itu tidak ada yang memberi
kabar lewat televisi hitam-putih punya Bapak kapan tamu spesial ini
akan datang. Tidak ada juga yang menjelaskan seperti apa rasanya
gerhana matahari, kecuali buku-buku pelajaran yang seadanya. (Liye,
2010:218)
27. Setelah semua kembali terang, raksaksa besar itu pergi dari menelan
matahari kami, satu persatu anak-anak memberanikan diri keluar dari
masjid. Mendongak mengintip matahari. Gerhana itu sudah usai. (Liye,
2010:218)
28. Makan malam itu belanjut, ditingkahi suara sendok. ―Pak, kalau sudah
besar nanti, Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia memecah
kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye, 2010:239)
29. Aku lebih suka musim penghujan. Lebih segar saja rasanya menatap
sekitar. Dan bagi kami anak-anak yang suka bermain bola, bermain di
lapangan becek jauh lebih seru dibandingkan bermain di lapangan
berdebu dan panas. Musim kemarau juga serba tidak konsisten, siang
hari terasa gerah, keringat mengucur deras, malam harinya justru
sebaliknya, udara terasa dingin menusuk tulang, apalagi angin yang
menembus celah-celah papan, tidak tahan. (Liye, 2010:276)
30. Terik matahari membuat gerah, Burlian menyeka peluh. Aku dan Can
sejak tadi sudah membuka kancing atas, membiarkan angin lembah
membasuh badan. Kami datang lebih awal, disuruh menemani Bapak
memeriksa garis pembatas untuk terakhir kalinya. (Liye, 2010:296)
31. Langkah kakiku terhenti. Setelah jatuh bangun, lintang pukang
menyelamatkan diri, kami akhirnya tiba di tepi hutan, hanya tinggal
dua puluh meter lagi dari garis pembatas, dekat saja, tetapi nyala api
laksana benteng tangguh menghadang. Bergemerutuk. Menyala-nyala
membuat pedas seluruh kulit. Asap cokelatnya mengepul seram,
memerihkan mata. (Liye, 2010: 301)
32. ―LARI BURLIAN PASAI‼‖ Aku berteriak kencang, dan belum habis
suara teriakanku, Burlian sudah melesat ke depan, ikut berteriak.
Tubuhnya laksana terbang saat melompat melewati nyala api, lantas
terjatuh terguling di ujung sana. (Liye, 2010:306)
33. Gerimis membungkus ladang. Gemerutuk guntur memecah suara tetes
air dan derik jangkrik. Sekali-dua kilat menggurat langit gelap. (Liye,
2010:319)
34. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di
kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya
tidak sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD,
dengan nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di
kota kabupaten. Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku
hanya bisa pelang ke kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil
colt yang tersenggal melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye,
2010:324)
35. Kami terdiam mendengar kalimat-kalimat menusuk Wak Yati. Ayuk Eli
bahkan terlihat menyeka ujung matanya, menatap sedih tubuh tua Wak
Yati yang berontak di atas tempat tidur. Saat dokter keluar dari
ruangan, Ayuk Eli berlarian mengejarnya di lorong bangsal,
―Bisakah…. Bisakah Wawak kami diijinkan pulang?‖ Dokter menghela
nafas, akhirnya mengangguk. (Liye, 2010:336)
36. Siang yang menyenangkan, gumpalan awan di atas sana membuat
jalanan kota terasa sejuk. Semilir angin memainkan ujung-ujung
tudung. Aku mengeluarkan kepala dari bawah atap dokar, mendongak,
rombongan burung terlihat terbang, warnanya putih melenguh lantang.
(Liye, 2010:237)
37. Kereta api gagah mendaki bukit-bukit, menuruni lembah-lembah. Kelok
sungai terlihat elok dari ketinggian, juga air terjun di kejauhan.
Mamak benar, dari sisi mana saja pemandangan di luar sana terlihat
hebat. Pohon-pohon berpilin seperti berlari. Pedalaman Sumareta yang
masih permai. (Liye, 2010:330)
38. Kereta api seperti biasa melenguh panjang. Seperti biasa, masinisnya
tidak lupa memberi sinyal kalau kereta bersiap memasuki terowongan.
Suara klakson kereta yang menahan kelanjutan kalimat Wak Yati, serta
seruan marah Bapak.(Liye, 2010:333)
39. Selepas gaung lenguhan itu hilang ditelan deru kereta, maka saat itu
juga seperti ada berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi
sekitar. Perlahan-lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat
remang. Aku melihat lenganku yang semakin buram. Dan dalam
hitungan sepersekian detik, cahaya seperti ditelan kesaktian
terowongan. Splassh. Gulita sudah. Seperti ada yang menampar lembut
perasaanku. Kami sudah masuk kedalam terowongan. Bagian paling
misterius, paling ditunggu dalam setiap perjalanan kereta. (Liye,
2010:333)
40. Suara roda baja menjejak batangan rel sekarang berbeda. Lebih keras.
Menggema. Meski tidak sesegar sebelumnya, udara terowongan tidak
semenyeramkan yang dibayangkan. Tidak terdengar kelepak kelelawar
di luar sana. Boleh jadi memang ada ribuan di langit-langit
terowongan, tapi suara berisik mereka jelas kalah dengan deru gagah
kereta. (Liye, 2010:333)
41. Malam itu hujan deras membasuh kampung. Jalanan becek, beranda
rumah panggung tampias, seluruh lampu canting dan obor
dipadamkan. Seluruh kampung dicekam ketakutan. Tubuh-tubuh
meringkuk di kamar, wajah-wajah pias. Satu saja suara letusan
terdengar di luar, bisa membuat anak-anak dan remaja tanggung
terkencing di celana. (Liye, 2010:339)
42. Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh
kampung saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati
terisak lama, memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa
anak-anak Wak Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak
mengapa… anak-anakku meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau
telah melakukan hal yang benar… mereka-lah harta sejati milik
kampung kita. mereka-lah sungguh harta karun paling berharga
kampung kita. (Liye, 2010:341)
B. Relevansi Gaya Bahasa Personifikasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari gaya bahasa dapat ditemui dalam
berbagai bacaan, baik itu koran, majalah, novel, atau bacaan yang lainnya.
Dalam dunia pendidikan terutama dalam mata pelajaran bahasa Indonesia,
gaya bahasa menjadi salah satu materi didalamnya. Mulai dari pendidikan
tingkat dasar, menengah atau bahakan pada pendidikan tinggi pada jurusan-
jurusan tertentu.
Dalam dunia pendidikan dasar, baik itu SD ataupun MI materi ini juga
sudah termasuk di dalamnya. Relevansi gaya bahasa personifikasi dalam novel
Pukat pada pendidikan dasar sama seperti fungsi umum gaya bahasa itu sendiri,
yaitu berguna untuk:
a. Memperjelas suasana
Relevansi gaya bahasa personifikasi dapat disampaikan dengan
maksut memperjelas suasana. Tere Liye mengharapkan pembaca dapat
memahami sekaligus merasakan secara tidak langsung (Berimajinasi) suasana
yang terjadi dalam novel.
Berikut salah satu kutipan yang menggunakan gaya bahasa
personifikasi sebagai penjelas suasana:
Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan sekolah.
―Kau tidak jadi sarapan, Kawan?‖
―Warungnya tutup.‖ Lamsari bersungut-sungut.(Liye, 2010:129)
Gaya bahasa tersebut mengambarkan bahwa cahaya matahari pagi
telah menyinari lapangan sekolah.
b. Menarik minat pembaca
Relevansi gaya bahasa personifikasi yang di sampaikan dalam
kutipan novel dapat bermaksut sebagai daya tarik pembaca agar pembaca
menyukai penggunaan bahasa yang digunakan atau dapat dikatakan agar
pembaca tidak bosan dengan bahasa yang digunakan. Penggunaan gaya
bahasa personifikasi yang indah dapat membuat pembaca semakin tenggelam
dalam imajinasi sesuai alur dalam novel.
Hal ini dibuktikan dalam salah satu kutipan, yaitu:
Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus
menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit. Matahari
semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye, 2010:9)
Kalimat yang digunakan untuk mengambarkan laju kereta api
menjadi sangat apik ketika gaya bahasa personifikasi ada di dalamnya, Tere
Liye menggunakan gaya bahasa ini agar menarik minat pembaca.
c. Sebagai contoh gaya bahasa dalam pembelajaran
Relevansi gaya bahasa personifikasi dalam novel Pukat dapat
digunakan sebagai bagian dalam contoh-contoh gaya bahasa personifikasi
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Madrasah Ibtidaiyah. Salah satu
contohnya adalah:
Hujan deras turun membungkus halaman sekolah. Aku tidak
semangat menyambut lonceng pulang, lagi-lagi aku lupa membawa
payung. Teman-teman sibuk membereskan buku, menyandang tas,
mengeluarkan payung warna-warni, melangkah keluar ruangan, lantas
beramai-ramai menerobos hujan. Di depan kelas Burlian sudah
menunggu. Menyeringai menatapku. (Liye, 2010:69)
Gaya bahasa personifikasi tersebut dapat diartikan bahwa hujan deras
telah mengguyur sekolah.
d. Menjadi ciri khas dalam novel
Relevansi gaya bahasa personifikasi dalam novel Pukat adalah gaya
bahasa ini Tere Liye gunakan sebagai kekhasan dalam novelnya, gaya bahasa
personifikasi menjadi andalan Tere Liye untuk mengambarkan cuaca yang
sedang terjadi, dan menggambarkan benda-benda di sekitar yang mempunyai
pergerakan.
Contoh kutipan gaya bahasa personifikasi yang Tere Liye gunakan
untuk menggambarkan benda adalah sebagai berikut:
Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus
menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit. Matahari
semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye, 2010:9)
Dalam novel Pukat, Tere Liye sering menggambarkan kereta api
dengan gaya bahasa personifikasi. Walaupun tidak dapat dipungkiri, gaya
bahasa yang satu ini akan sering muncul untuk menggambarkan cuaca. Baik itu
dalam novel Pukat ataupun novel-novel yang lainya.
C. Pendidikan Karakter dan Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari Pada
Novel Pukat
Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat memberikan
wawasan dan nilai pendidikan lebih pada pembacanya. Dalam hal ini
pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan
berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter telah
menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial,
pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. (Hariyanto,
2013:43)
Pada umumnya novel adalah suatu karangan yang menceritakan
kehidupan dengan alur yang cukup panjang, keberadaan unsur intrinsik
terutama poin amanah menjadi penguat nilai pendidikan yang di dalamnya
terdapat juga pendidikan karakter. Nilai pendidikan yang tengah hangat mejadi
sorotan didunia pendidikan Indonesia, nilai karakter yang terus digali demi
kebaikan bersama, nilai pendidikan karakter yang bukan hanya didapat di
sekolahan, tapi juga dirumah, di masyarakat, dan dinovel sekalipun.
Terdapat delapan belas nilai karakter yang bersumber dari agama,
pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Kedelapan belas nilai
karakter tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6)
Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa ingin tahu; (10) Semangat
kebangsaan dan nasionalisme; (11) Cinta tanah air; (12) Menghargai prestasi;
(13) Bersahabat dan komunikatif; (14) Cinta damai; (15) Gemar membaca;
(16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli sosial; (18) Tanggung jawab.
(Kemendiknas, 2011:11)
Dalam novel yang menceritakan kehidupan di sebuah kampung di
pedalaman sumatera yang menjunjung tinggi nilai kejujuran ini kedelapan
belas nilai karakter yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional secara tersirat maupun tersurat lengkap berada di
dalamnya. Novel yang tidak hanya menjadi penghilang dahaga bagi para
pecinta sastra, namun juga berisi nilai pendidikan yang luar biasa, memberikan
banyak contoh kehidupan anak-anak sesuai usianya, dengan karakater yang
seharusnya dimiliki, tumbuh dengan segala keterbatasan dan
kesitimewahannya. Berikut kutipan novel Pukat yang berisi nilai pendidikan
karakter:
1. Religius
a. ―Perhatikan ke depan, anak-anak.‖ Nek Kiba memukulkan rotan
panjang ke lantai papan rumah panggungnya, terdengar lantang di
langit-langit ruangan.
Kami yang sibuk membaca Al-Qur‘an, Juz‘amma, atau patah-patah mengeja
a-i-u huruf arab. Separuh lagi sibuk bermain karet gelang, kartu
bergambar atau sekedar permainan jari tangan mengangkat kepala,
menoleh kedepan. Tadi lepas maghrib, meski sudah selesai menghadap.
Tidak seperti lazimnya, Nek Kiba melarang kami pulang. (Liye,
2010:155)
Dalam kutipan ini menceritakan kesibukan anak-anak kampung
belajar mengaji, ada yang sudah dapat membaca Al-Qur‟an, ada yang
masih pada tahap membaca juz‟amma, ataupun yang masih belajar
membaca huruf hijaiyah.
Nilai pendidikan karakter ditinjau dari segi religiusnya adalah
ajakan agar selalu belajar dan belajar. Hal ini juga terdapat dalam ajaran
agama Islam yaitu untuk selalu menuntut ilmu sejak dari buaian Ibu
sampai dengan liang lahat (meninggal).
b. Nek kiba tertatih dengan tongkatnya terlihat riang. Menurut cerita Ayuk
Eli (yang sebelahan saf dengan Nek Kiba), waktu shalat tadi Nek Kiba
terdengar menangis. Meski lancar, Bakwo Dar—imam shalat, sempat
bertanyakepada Nek Kiba bagaimana shalat itu harus dilakukan. Dan
kami berbaris rapimengikuti gerakan di depan hingga salam. (Liye,
2010:219)
Kutipan diatas menceritakan prosesi shalat gerhana yang baru
dilakukan sekali dalam seumur hidup sebagian warga kampug, begitu
pula nek Kiba. Prosesi shalat yang awalnya masih asing bagi sebagian
warga kampung, namun berjalan dengan khimad dan penuh dengan rasa
syukur atas segala yang Allah berikan dan menjadi awal yang baik untuk
perjalanan renovasi masjid.
Nilai religius yang dapat diambil adalah perintah untuk
menjalankan shalat gerhana, baik itu gerhana matahari, ataupun gerhana
bulan, dan berlaku untuk shalat gerhana total dan gerhana sebagian, tanpa
terkecuali.
c. Tiga bulan lalu, ladang padi Bapak sukses besar. Tidak kurang seratus
karung goni besar hasil panennya. Butuh seminggu lebih untuk mengani-
ani pucuk batang padi, hilir-mudik tetangga bergotong royong.
Dikurangi dengan zakat, jatah untuk tetangga yang selama ini
membantu, hasil panen tetap menyisakan puluhan karung, Bapak
menyimpn separuhnya di gudang, separuhnya lagi dijual ke kota, biaya
melanjutkan sekolahku. (Liye, 2010:324)
Kutipan diatas menceritakan kesuksesan ladang padi Bapak,
panen raya yang tidak hanya di nikmati keluarga pukat, namun juga
tetangga sekitar dan oran-orang yang dirasa pantas untuk
mendapatkannya.
Nilai pendidikan karakter dalam ranah religius yang dapat
diambil yaitu perintah Allah untuk berzakat, dalam hal ini adalah zakat
mal. Hasil panen padi yang juga perlu untuk di keluarkan zakatnya.
Perintah untuk zakat ini juga terdapat dalam Q.S Al-Baqarah, 2:43:
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku'. (Kemenang, 2008:7)
d. ―Berjanjilah, Pukat.‖ Wak Yati menunggu janjiku.
Aku meneguk ludah, ―Pukat berjanji Wak.‖
Wak Yati memelukku erat. Mulutnya kemudian pelan membaca syahadad.
(Liye,2010:334)
Kutipan diatas menceritakan kepergian Wak Yati untuk
selamanya, wak Yati yang beberpa hari terakhir harus berbaring di rumah
sakit akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya di gerbong kereta
apai saat perjalanan pulang ke rumah. Lisannya yang berucap syahadat
menjadi kalimat terakhir yang didengar Pukat saat akhirnya semua
menyadari bahwa Wak Yati telah tiada.
Nilai karakter dalam ranah religius yang dapat diambil adalah
perintah agar esok atau lusa saat nyawa akan dicabut maka sebisa
mungkin kalimat yang diucapkan adalah kalimat yang baik, dan
diharapkan yang terakhir terucap adalah kalimat syahadad. Hal ini juga
sebagai penginggat agar terbiasa berucap kalimat tayyibah, karena apa
yang akan terucap nanti ketika sakaratul maut adalah kalimat yang biasa
diucapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Jujur
a. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap,
―Ide ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad agar
terus berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja keperluan,
ide ini juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar saya yang
memberikan pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali ke
mereka. Insya Allah, tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)
Kutipan diatas menceritakan tentang ide pukat untuk membantu
Ibu Ahmad untuk tetap berjualan dengan membuka warung kejujuran.
Warung yang sangat aneh bagi warga kampung, namun ide aneh Pukat ini
justru memberikan manfaat untuk banyak orang. Selain warung Ibu
Ahmad tetap buka warung ini juga mengajarkan hal yang paling berharga
di dunia untuk seluruh warga kampung.
Pelajaran yang bisa diambil adalah sebuah nilai kejujuran, jujur
merupakan harta yang paling berharga yang dimiliki seseorang, dan jujur
harus di ajarkan sedini mungkin dan dengan cara apapun.
b. ―Memang tidak ada yang melihat kalian, tetapi Allah…. Allah sungguh
melihat kalian.‖ Nek Kiba, guru mengaji kami sengaja mengosongka
jadwal tartil malam itu, dia menceramahi kami panjang lebar tentang
kejujuran. ―Jangan pernah berikan kesempatan niat jahat itu datang.
Sekali-kali jangan. Karena sekali-kali terbiasa, maka kalian dengan
mudah bisa bertingkah lebih jahat lagi.‖ (Liye, 2010:144)
Kutipan diatas menceritakan kelanjutan kejadian yang terjadi
di warung Ibu Ahmad, warung kejujuran yang telah dibuka beberapa
hari itu mengalami hal yang ganjil, ada barang yang hilang. Dalam
pertemuan mengaji Nek Kiba memberikan wejangan tentang
pentingnya sebuah kejujuran, dan nasihat agar kita tidak mencuri.
Pelajaran berharga yang dapat diambil adalah etika untuk
selalu berbuat baik, dalam hal apapun, dimanapun, dan kapanpun.
Karena kebaikan sekecil apapun akan mendapatkan balasanya,
begitupula sebaliknya, ketika melakukan kejahatan maka akan
mendapatkan imbalan dari apa yang dilakukan. Sebagaimana firman
Allah, yaitu Q.S Luqman,31:16 dan Q.S Al-Zalzalah,99:7-8.
Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika
ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau
di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya
(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
mengetahui. (Kemenang, 2008:329)
Artinya:
7.Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya
Dia akan melihat (balasan)nya.
8. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,
niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (Kemenang, 2008:481)
c. ―Tenang, tidak sepersen pun uangnya berkurang. Apa kata Nek Kiba,
‗Kalian jangan pernah mencuri, sesulit apapun hidup dan nafsu dunia
merusak kalian. Kejujuran adalah segalanya‘. Nah kau mau main
layangan bersamaku sekarang? Si Juha menunggu di lapangan Stasiun.‖
Can menirukan suara berat Nek Kiba, nyengir lebar, lantas menunjukkan
layangan kuningnya. (Liye, 2010:169)
Masih tentang kejujuran dalam bagian cerita yang sama. Warung
kejujuran Ibu Ahmad benar-benar menjadi pupuk yang baik bagi warga
kampung, terutama anak-anaknya. Kejadian demi kejadian yang terjadi
beberapa hari belakangan juga menjadi hal yang patut untuk di ambil
pelajaran. Kejujuran merupakan harta yang paling berharga pada diri
seseorang, karena ketika kejujuran itu rusak maka dapat dilihat seberapa
buruk perangai seseorang.
3. Toleransi
Setengah jam berlalu, sisa kawanan itu mulai terhitungdengan situasi,
mereka melarikan diri ke hutan lebat. Dari sepuluh anak yang diculik delapan
diantaranya selamat. Dua meninggal tertembus timah panas, dan dua-duanya
adalah anak Wak Yati. Tidak ada yang tahu, senapan angin siapa yang telah
mengenai anak Wak Yati, yang pasti sejak saat itulah Bapak bersumpah tidak
akan menembak. Dan sejak saat itulah Wak Yati hidup sendiri.
Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh
kampung saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati terisak
lama, memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa anak-anak
Wak Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak mengapa… anak-anakku
meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau telah melakukan hal yang
benar… mereka-lah harta sejati milik kampung kita. mereka-lah sungguh harta
karun paling berharga kampung kita. (Liye, 2010:341)
Kutipan diatas menceritakan kejadian kampung di masa lalu, kejadia
ketika Bapak masih perjaka, kejadian yang membuat Bapak bersumpah tidak
akan pernah menembak lagi. Dan kepergian anak-anak Wak Yati juga menjadi
sebuah pelajaran bahwa segala sesuatu telah tergambarkan sesuai takdirnya.
Wak Yati yang tetap berbesar hati menerima keadaan, tidak marah pada Bapak
dan pemuda kampung lainya. Kesabaran yang begitu besar menjadi pelajaran
berharga dalam kutipan novel ini.
4. Disiplin
―Bapak punya pulpen di tas, dua malah. Bapak lihat Lamsari di
sebelahmu juga punya cadangan dua pulpen… Sayang, aturan adalah aturan,
Pukat. Kita dihargai bukan karena kita seram, galak apalagi berkuasa, kita
dihargai karena menegakkan aturan main. Kau sudah tau sendiri resikonya.‖
Pak Bin menyeringai tipis melambaikan tangan. (Liye, 2010:126)
Kutipan cerita diatas menceritakan kejadian saat ujian tengah
berlangsung, Pukat yang saat itu kehabisan pulpen mengahuskanya berlari
keluar kelas untuk mencari pulpen, karena peraturan dalam kelas Pak Bin
adalah tidak boleh saling pinjam meminjam alat tulis ketika ujian tengah
berlangsung.
Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil adalah betapa
karismatiknya guru yang bernama Pak Bin, caranya menanamkan kedisiplinan
pada siswanya sangatlah patut dicontoh. Hal yang sangat sepele “Tidak boleh
saling meminjam alat tulis ketika ujian” peraturan sederhana yang dapat
menjadi benih karakter yang baik bagi siswa-siswanya.
5. Kerja Keras
Tidak ada lelaki di rumahnya, Raju berubah menjadi ‗Kepala
keluarga‘. Ibunya hanya punya sepetak kecil ladang karet, meski di sadap
setiap hari, getah karetnya tidak mencukupi. Maka Raju ringan tangan ikut
bekerja. Wak Lihan salah satu bos Raju yang paling sering menyuruh-nyuruh.
(Liye, 2010:113)
Kutipan diatas menceritakan sosok tangguh Raju, teman karib Pukat.
Anak kelas lima SD yang mau tidak mau harus menjadi tulang punggung
keluarga, bekerja keras demi membantu Ibunya menghidupi keluarga.
Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah kerja keras.
Bagaimanapun kehidupan yang dijalani, sesulit apapun kehidupan, semuanya
akan terasa ringan ketika kita ikhlas dan bersungguh-sungguh. Kerja keras
akan menjadi guru untuk pribadi yang tangguh dan siap menghadapi berbagai
kondisi kehidupan.
6. Kreatif
a. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru sajamistarnya, kau beri tanda
senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu duduk,
mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan. Yang lain
menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu. Sebenarnya aku hanya
mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan mistar panjang milikku,
lantas mengantinya dengan karton yang dipotong mirip mistar, kemudian
diberikan garis senti-sentinya. (Liye, 2010:130)
Kutipan diatas menceritakan tentang kecerdasan Pukat saat
membantu temannya yang membutuhkan penggaris, ide cemerlangnya
membuat semua teman berdecak kagum. Ketika yang lain panik ketika
hendak ulangan matematika tidak membawa penggaris. Maka Pukat dengan
santai menunjukkan cara sederhana membuat penggaris menggunakan
kertas buku.
Pelajaran berharga yang dapat diambil adalah kreatifitas tanpa
batas. Di zaman yang serba moderen ini semua orang dituntut untuk dapat
selalu berinovasi, kalaulah Pukat dapat membuat penggaris dari kertas maka
di zaman milenia ini penerus bangsa harus selalu belajar untuk lebih kreatif.
b. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap, ―Ide
ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad agar terus
berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja keperluan, ide ini
juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar saya yang memberikan
pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali ke mereka. Insya Allah,
tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)
Kutipan diatas kembali menceritakan tentang kekreatifan Pukat,
benar adanya anak yang satu ini bukan hanya pintar, tapi juga jenius. Demi
membantu Ibu ahmad agar tetap dapat berjualan walaupun Naila sakit dan
demi melihat teman-temannya dapat membeli peralatan sekolah dan jajan di
warung, Pukat memutar otak agar permasalahan ini dapat terselesaikan. Dan
benar saja ide Pukat membuat Pak Bin tersenyum dan berkali-kali
meyakinkan Mang Dullah bahwa ide Pukat sangat bagus.
Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah ajakan agar selalu
kreatif dalam segala keadaan, mampu memanfaatkan peluang dan berfikir
kritis untuk selalu membuat perubahan yang baik.
c. ―Bagus kan, Wak?‖ Ayuk Eli mengenakan songket karyanya. Mematut-
matut di depan cermin tua Wak Yati.
―Natuurlijk, tenti saja, ini songket paling bagus yang pernah Wawak lihat.‖
Wak Yati tersenyum, memperbaiki posisi kain di pinggang Ayuk Eli. (Liye,
2010:177)
Kutipan diatas menceritakan tentang Ayuk Eli yang berhasil
membuat songket setelah belajar dengan Wak Yati. Cantiknya songket
Ayuk Eli membuat Wak Yati tidak bisa untuk tidak memuji hasil Karya
Ayuk Eli.
Pelajaran yang dapat diambil adalah karakter kreatif dari Ayuk Eli,
pemuda yang masih dengan senang hati berlatih membuat songket. Dewasa
ini banyak anak muda, bahkan hampir sebagian besar anaka muda tidak
peduli akan kerajinan daerahnya. Maka para penerus bangsa wajib
mengubah pola pikir anak muda zaman ini untuk dapat mencintai dan
melestarikan apa yang negeri ini miliki, terlebih dapat membuatnya lebih
baik dengan kreatifitas yang kita punya.
7. Mandiri
―Kalian harusnya mengerti, sejak Ayuk Eli selolah di kota, tidak ada
lagi yang membantu Mamak mengurus rumah. Mencuci, menyiapkan
makanan, membersihkan rumah, semua di kerjakan sendirian. Belum lagi
Mamak setiap hari harus ke ladang, menyiangi rumput ilalang, memangkas
tunas kopi, dan pekerjaan kampung lainya, seperti sekarang di rumah Wak
Yati. Amel harusnya bisa membantu dengan merapikan tempat tidur. Burlian
bisa membantu dengan tidak menambah beban pikiran Mamak, selalu
menghabiskan sarapan. Mudah, kan (Liye, 2010:185)
Kutipan diatas menceritakan nasihat Bapak kepada Pukat, Burlian,
dan Amelia agar selalu ringan tangan untuk membantu pekerjaan rumah
Mamak tanpa harus diperintah terlebih dahulu. Dan nasihat agar mereka selalu
mandiri dalam memimpin diri mereka masing-masing.
Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah nasihat Bapak agar anak-
anaknya membantu Mamak, tidak membantah, dan selalu belajar mandiri. Hal
ini juga terdapat dalam firman Allah Q.S Luqman, 31:15:
Artinya: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan. (Kemenag, 2008:329)
8. Demokrasi
―Kau punya cita-cita apa, Pukat? Bapak bertanya lagi.
―Pe-ne-li-ti.‖ Aku menjawab malu-malu.
―Oi, bin binatang apa pula itu?‖
―Kata Pak Bin, itu orang yang tau jawaban semua pertanyaan.‖
Bapak menepuk dahinya, ―Kalau begitu cocok sekali dengan kau, Pukat. Kau
memang selalu tahu jawaban semua pertanyaan. Apa Pak Bin juga bilang
masih berapa tahun lagi kau harus sekolah agar bisa menjadi peneliti yang
hebat?‖
Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali… SD, SMP, SMA,
universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum ada di sini.
Harus pergi ke negara jauh sana.‖
―Kalau begitu, semoga kami masih hidup masih hidup saat kau sudah menjadi
peneliti yang hebat, Pukat… Wak Yati, Bakwo Dar, Pak Bin, terlebih-lebih
Mamak kau, ingin sekali melihat kalian menjadi orang.‖ (Liye, 20101:320)
Kutipan diatas menceritakan tentang pertanyaan Bapak mengenai cita-
cita Pukat. Cita-citanya ingin menjadi seorang peneliti, pekerjaan yang bahkan
Bapak tidak mengerti apakah peneliti itu. Namun dengan segala
kebijaksanaanya Bapak tetap mendukung cita-cita luar biasa Pukat, sekalipun
anaknya harus belajar sampai kenegeri sebrang yang Bapak juga belum pernah
mengunjunginya.
Pelajaran dapat diambil adalah ketika menjadi seorang Bapak (orang
tua) maka kita harus mendukung segala sesuatu yang dilakukan anak, selama
hal itu adalah kegiatan yang positif. Memberikan kesempatan pada anak untuk
memilih mana yang anak sukai, bukan memaksakan kehendak sebagai orang
tua agar anak menurutinya. Orang tua hanya bertugas mengarahkan ketika anak
membutuhkan bantuan.
Ketika menjadi seorang anak maka harus pandai mengambil hati
orang tua, meyakinkan orang tua bahwa anaknya bisa melakukan sesuatu yang
telah pilih, dan membuktikan secara nyata bahwa bisa melakukannya.
9. Rasa Ingin Tahu
Aku menyeringai, mengaruk kepala yang tidak gatal. Sepertinya seru
sekali bentuk masjid yang digambar Pak Bin, ada kubah besar dan menara
tingginya. Pak Bin tertawa, menutup pekerjaanya, menunjuk jam di dinding—
sebentar lagi lonceng masuk. (Liye, 2010:166)
Kutipan diatas menceritakan rasa ingin tahu Pukat terhadap pekerjaan
gurunya, Pak Bin. Pak Bin tengah sibuk dengan ketas-kertas bergambar dan
segala kerumitannya Pak Bin sedang mengambar sketsa masjid, masjid
kampung yang nantinya akan direnovasi.
Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah cara untuk selalu
memupuk rasa ingin tahu, mencoba segala sesuatu yang baru, mengamati,
memahami dan mencobanya. Selalu kreatif dan inovatif dalam hal-hal yang
positif. Seperti yang dilakukan Pukat, rasa ingin tahunya besar, dengan itu
maka ia secara tidak langsung telah belajar banyak hal, dan esok dia akan
menjadi orang yang berhasil karena rasa ingin tahunya. Allah SWT juga telah
memerintahkan kita untuk selalu belajar, membaca, baik itu membaca secara
langsung ataupun membaca secara tidak langsung, membaca keadaan dan
semisalnya, agar kita peka terhadap segala sesuatu. Hal ini terdapat dala Q.S
Al-Alaq ayat 1-5:
Artinya:
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Kemenag, 2008:
379)
10. Semangat Kebangsaan dan Nasionalisme
a. Lima belas menit kemudian saat kereta tiba di kota kabupaten, seluruh
peron sudah di kepung oleh puluhan petugas dan tentara. Penumpang
diminta turun satu-persatu. Kecemasan bapak terbukti, jika hanya
mengandalkan pemeriksaan lisan, tidak akan mudah membedakan
penumpang dengan gerombolan perampok. Penyamaran mereka sempurna,
dan jumlah enam ratus penumpang melelahkan petugas. Tetapi mereka
sekarang punya senjata pamungkas: aroma bubuk kopi. (Liye, 2010: 30)
b. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami
melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acan menumpang dokar, komandan
tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok menepuk
bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖ Komandan tentara
tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang pintar… tetapi kau lebih
dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖ (Liye, 2010:32)
c. ―Setidaknya kita akan menunggu petugas dari kota. Terserah mereka mau
diapakan kotak-kotak ini.‖ Mang Dullah memutuskan, menyuruh beberapa
orang membawa kotak itu ke balai-balai kampung. (Liye, 2010:227)
Kutipan diatas menceritkan kejadian di gerbong kereta api saat
pertama kali Pukat dan Burlian naik si Ular Besi, kejadian di gerbong kereta
yang memaksa seluruh harta berharga penumpang kereta api berpindah
tangan kepada perampok. Panik, tegang, jengkel karena hartanya di rampas,
dan segala kecemasan lainya bercampur didalam gerbong. Namun si Jenius
memang selalu punya cara yang tidak dipikirkan orang lain, berkatnya
perampok dapat ditangkap pihak yang berwajib dan harta berhara
penumpang dapa diselamatkan.
Pelajaran yang dapat diambil adalah pelajaran untuk tidak main
hakim sendiri, mempercayakan hal-hal yang berkaitan hukum kepada pihak
yang berwajib, tugas kita adalah membantu. Sehingga sinergi antara
masyarakat dengan penegak hukum dapat harmonis dan selalu berjalan
beriringan.
d. Seminggu kemudian datang rombongan berpakaian rapi dari kota. Mereka
menaikan empat kotak itu ke mobil besar. Bapak sempat bersikukuh
melarang mereka membawanya pergi, mengusulkan mereka bisa tinggal di
kampung meneliti kotak-kotak itu. Usul itu di tolak mentah-mentah,
rombongan itu menyerahkkan surat perintah agar kotak itu diamankan ke
kota atau Bapak akan diancam menghalangi tugas pemerintah. Bapak kalah
posisi, Mang Dullah dan Pak Bin juga kehilangan argumen. Sejak saat itu,
tidak ada lagi yang datang membawa kabar kemana kotak-kotak itu pergi.
(Liye, 2010:229)
Kutipan diatas menceritakan tentang penemuan empat peti
hartakarun berisi emas di atas plapon masjid, saat renovasi masjib
berlangsung warga yang sedang membongkar atap masjid menemukan
empat peti tersebut, namun warga kampung ini memang warga kampung
yang baik, tak sedikitpun emas itu diambil. Justru empat peti tersebut
diserahkan kepada petugas kabupaten.
Sama halnya dengan nilai pendidikan yang dapat diambil seperti
pada kutipan sebelumnya bahka kewajiban masyarakat harus percaya
kepada pemerintah (petugas kabupaten). Sebagai warga negara yang baik
haruslah dapat mengikuti prosedur yang ada, seperti halnya empat peti harta
karun tersebut, itu dapat menjdi prasasti atau semacam peninggalan sejarah
yang dimiliki negara, maka kita harus memberikanya kepada negara. Agama
Islam juga mengajarkan kepada kita agar selalu menghargai pemimpin
(Pemerintah).
11. Cinta Tanah Air
―Kalau sudah besar Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia
memecah kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye, 2010:239)
Kutipan diatas menceritakan suasana hangat di rumah Pukat saat
makan malam, hidangan lezat mamak selalu megguh selera, termasuk selera
untuk dapat berbincang panjang mengenai masa depan. Termasuk nasihat
Bapak kepada anak-anaknya untuk selalu berbesar hati, selalu ramah dan
peduli terhadap orang sekitar. Hal yang tidak akan didapatkan di zaman
milenia. Hingga Amel mempunyai keinginan untuk selalu berada di
kampungnya, kampung yang penuh dengan keramah tamahannya, dan
mencintai kampungnya sepenuh hati.
Nilai pendidikan karakter dari kutipan cerita diatas adalah ajakan
untuk selalu mencintai tanah air, sebagaimana pepatah lama mengatakan
sejauh apapun kamu pergi, rumah adalah tempat ternyaman untuk kembali
pulang.
12. Menghargai Prestasi
a. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami
melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acan menumpang dokar,
komandan tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok
menepuk bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖
Komandan tentara tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang
pintar… tetapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖ (Liye,
2010:32)
Kutipan cerita diatas menceritakan tentang kejadian perampokan di
gerbong kereta yang Pukat naiki, dengan menggunakan bubuk kopi yang
akan diberikan kepada Koh Acan kawanan perampok tersebut dapat di
ringkus oleh betugas yang berwenang. Dan semua itu berkat ide cemerlang
Pukat.
Nilai karakter menghargai prestasi yang dapat diambil dari kutipan
cerita diatas selain cerdas dalam mengunakan peluang adalah kebesaran
hati komandan tentara yang bersedia mengapresiasi kerja Pukat, menghargai
kerjanya dengan memberikan pujian.
b. Kalau soal mengajar sambil bercrita, aku yakin tidak ada yang
mengalahkan kehebatan Pak Bin, apalagi dengan semua keterbatasan yang
dimiliki sekolah kami. (Liye, 2010:75)
Kutipan cerita diatas menceritakan tentang kekaguan Pukat pada
sosok guru yang luar bisa, guru yang tidak hanya mentransfer ilmu pada
siswanya tetapi juga mendidiknya menjadi harta karun paling berharga yang
di miliki kampungnya, yang dimiliki negara ini.
Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari menghargai
prestasi selain memberikan pujian adalah berusaha seperti orang yang kita
puji dalam hal kebaikan. Dalam kutipan ini berarti mencoba meneladani
kepribadian Pak Bin, guru yang dengan ikhlas mengajarkan segala hal
kepada muridnya, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pengetahuannya
yang luas dan hatinya yang juga tak kalah luas.
c. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru sajamistarnya, kau beri tanda
senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu duduk,
mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan. Yang lain
menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu. Sebenarnya aku hanya
mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan mistar panjang milikku,
lantas mengantinya dengan karton yang dipotong mirip mistar, kemudian
diberikan garis senti-sentinya. (Liye, 2010:130)
Kutipan diatas menceritakan tentang kecerdasan Pukat saat
membantu temannya yang membutuhkan penggaris, ide cemerlangnya
membuat semua teman berdecak kagum. Ketika yang lain panik ketika
hendak ulangan matematika tidak membawa penggaris. Maka Pukat dengan
santai menunjukkan cara sederhana membuat penggaris menggunakan
kertas buku.
Nilai pendidikan karakter menghargai prestasi dari kutipan diatas
selain memberikan pujian adalah mencontoh apa yang orang tersebut
lakukan, sehingga kita mendpatkan ilmu baru, medapatkan pengalaman
yang baru dan dapat seperti orang yag kita beri pujian (dalam hal positif).
d. Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali… SD, SMP,
SMA, universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum ada di
sini. Harus pergi ke negara jauh sana. (Liye, 2010:321)
Kutipan cerita diatan menceritakan kejadian saat Bapak bertanya
apa cita-cita pukat, harus dengan apa Pukat menggapainya, dan dengan
kearifan Bapak dalam membiarkan anaknya memilih. Maka Pukat
mempunyai PR besar untuk terus belajar sampai sekolah yang sangat jauh di
negeri seberang.
Nilai pendidikan karakternya adalah menghargai prestasi dengan
terus belajar, selama masih mampu maka kewajiban kita dalam menghargai
prestasi adalah terus semangat belajar, sebagimana yang diajarkan dalam
agama Islam. Bahwasanya menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki
dan muslim perempuan, dan hal ini berlaku sejak lahir sampai kita
menghembuskan nafas terakhir. Selama itu pula menuntut ilmu hukumnya
wajib.
e. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di
kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya tidak
sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD, dengan
nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di kota kabupaten.
Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku hanya bisa pelang ke
kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil colt yang tersenggal
melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye, 2010:324)
f. Meski aku ingin sekali sekolah di kota provinsi atau bahkan di pulau
sebrang sana, aku tetap bersyukur dengan hanya melanjutkan di kota
kabupaten. (Liye, 2010:324)
Kutipan cerita diatas mengambarkan upaya Pukat dalam
menghargai prestasi, terus belajar. Pukat termasuk yang mempunyai
kesempatan untuk melanjutkkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi,
selangkah demi selangkah untuk mewujudkan cita-citanya menjadi peneliti.
Terus bersyukur dan selalu semangat belajar menjadi caranya untuk
menghargai kemampuan yang ia miliki.
13. Bersahabat dan Komunikatif
a. ―Bagaimana, lebih baik lompatan siapa?‖ Lamsari bertanya
―Lamsari.‖ Aku menjawab mantap
―Can.‖ Jawab burlian tidak kalah mantap.
Tentu saja urusan ini tidak pernah mudah diputuskan. Mau berapa kalipun
kami ber-awas-awas bum-bum saling memamerkan teknik lompatan
terbaik, penilaian kami tetap saja subyektif, membela teman masing-
masing. (Liye, 2010:36)
Kutipan cerita diatas bercerita tentang keseruan Pukat bersama
teman-temanya saat bermain air di sungai, bermain bersama, bergurau, saling
memberikan semangat dan bersahabat.
Nilai pendidikan karater yang dapat diambil dari kutipan cerita diatas
adalah pertemanan yang menyenangkan, dunia anak-anak di kampung yang
masih bersatu dengan alam, berkawan dengan lingkungan, sekali dua
bertengkar menjadi hal yang biasa ketika lima menit kemudian mereka sudah
kembali tertawa bersama,saling menjahili dan selalu bersahabat. Dalam
agama islam juga diperintahkan untuk memilih teman yang baik, teman yang
selalu mengajak kita untuk berada di jalan yang benar.
b. ―Kakak di belakang, kalau kau jatuh, kakak bisa menangkapmu.‖ Aku
berkata pelan di telinga Burlian, meyakinkannya. ―Ayo Burlian, larilah
secepat kaki kau …Bapak sudah menunggu di ujung batang kayu ini.‖
(Liye, 2010:306)
Kutipan cerita diatas menceritakan tentang proses pembukaan hutan
yang membawa pelajaran berharga tentang sebulir padi pada Pukat dan
Burlian. Dua kali mereka mengalami kejadian hemat yang sekaligus membuat
Mamak menangis melihat kondisi anaknya. Kejadian pertama saat Pukat.
Burlian dna Can tersejab rotan setan dan yang kedua ini adalah kejadian saat
Pukat, Burlian dan Can terjebak nyala api yang digunakan untuk membakar
lahan. Pukat sebagi kakak berhasil mengambil peran untuk memberikan
semangat dan energi untuk percaya diri pada Burlian dan Can, kejadian yang
tidak akan pernah mereka lupakan, besera bekas-bekas luka bakarnya.
Pelajaran yang dapat diambil dari kutipan cerita diatas adalah belajar
dari sosok Pukat, kakak yang komunikatif, mau melindungi adiknya, rela
mengedepankan keselamatan adiknya daripada dirinya sendiri. Caranya
memberikan semangat yang bagus dan caranya meyakinkkan Burlian dan Can
yang mengagumkan.
14. Cinta Damai
a. Begitulah, pertengkaran kami soal kambing-ayam itu ternyata berbuntut
panjang. Bukan lagi sekedar perkelahian lumrah anak-anak. Walau
Lamsari tidak bosan, setiap hari berkali-kali membujuk kami bermain
bersama lagi, meskipun burlian tertawa mengolok-olok agar berbaikan,
satu bulan berlalu, musim penghujan sudah tiba di penghujungnya, kami
belum menunjukan tanda-tanda akan berdamai. Yang terjadi justeru
sebaliknya, kebencian itu semakin menebal. (Liye, 2010:91)
b. Aku dan Raju sudah tersenyum caggung, menyeringai salah-tingkah satu
sama lain. Meski lebih mirip seringai kuda, itu jelas seringai
perdamaian. Akhirnya setelah dua bulan tidak saling tegur, kami
berbaikan. (Liye, 2010:110)
Kutipan cerita diatas menggambarkan kejadian saat Pukat dan
Raju bertengkat, permasalahan sepele di dunia anak-anak yang akhirnya
membawa mereka belajar arti sahabat yang sesungguhnya. Pukat dan
Raju bertengkar cukup lama, hanya karena sio kelahiran mereka yang
dianggap hewan yang tidak kuat, kambing dan ayam. Keduanya tidak
saling sapa cukup lama, hingga akhirnya naluri anak-anaknya kembali
membuat mereka bersahabat kembali, bahkan sampai mereka
menemukan jalan hidup masing-masing.
Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil adalah sikap maaf-
memaafkan dan mengargai orang lain, sebagaimana ajaran dalam agama
Islam yaitu perintah untuk saling memaafkan dan tidak bermarahan
dengan saudaranya lebih dari tiga hari.
15. Gemar Membaca
Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut lapangan
kota kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal, menumpahkan separuh
duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan. Minggu lalu Bapak (dan Mamak)
sudah sepakat, sepersepuluh dari uang yang kami peroleh menjadi bagian
kami. Itu berarti lebih banyak majalah bekas yang bisa kubeli. (Liye,
2010:240)
Kutipan diatas menceritakan kejadian di pasar Kalangan, pasar
dadakan yang hanya ada pada hari kamis, hari itu Pukat dan Burlian menjual
duku di pasar Kalangan. Menggelar daganganya, menawarkan kepada setiap
orang yang lewat didepan lapak mereka, berharap rezeki lebih dapat mereka
bawa pulang, dan untuk membeli majalah bekas. Barang yang tidak pernah
luput dari tangan Pukat ketika pulang dari pasar Kalangan.
Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil adalah harapan Pukat
untuk dapat membeli majalah bekas, kegemaranya membaca membuat dia
begitu bahagia ketika mendapatkan majalah bekas, hanya majalah bekas yang
sering kali ada beberapa halaman di dalamnya yang telah hilang. Majalah
usang yang darinya Pukat berharap mendapatkan ilmu yang lebih.
16. Peduli Lingkungan
Sungguh sebuah kekeliruan jika ada yang menilai penduduk
kampung yang selama ini menyumbang porsi besar kerusakan hutan.
Faktanya, sejak berpuluh-puluh tahun silam hingga sekarang luas ladang
yang ditanami penduduk kampung hanya itu-itu saja. Tidak setiap tahun
mereka membakar hutan. Lebih banyak yang seperti siklus alam, hanya
membuka ulang ladang lama yang tidak diurus bertahun-tahun. (Liye,
2010:277)
Kutipan diatas menggambarkan kehidupan di kampung yang masih
sangat erat hubunganya dengan alam, masyarakat di kampung tidak pernah
merusak hutan, membakar hutan untuk membuka lahan. Tidak, mereka hanya
menggunakan lahan yang ada, membakar lahan yang memang dari tahun ke
tahun lahan itulah yang digunakan. Tidak merusak alam sama sekali.
Dari kutipan mengajarkan untuk selalu mencintai alam sekitar, tidak
merusaknya, dan berusaha untuk melestarikannya. Sebagaimana hal yang
dilakukan warga kampung.
17. Peduli Sosial
Aku menjulurkan bungkusan plastik. ―Masakan rendang dari
Mamak.‖
―Aduh merepotkan, terima-kasih.‖ Ibu Ahmad tersenyum riang. (Liye, 2010:137)
Kutipan diatas menceritakan kejadian saat Nayla sakit, Ibu Ahmad
yang pekerjaan sehari-harinya berjualan di sekolah tidak bisa melakukan
aktifitas seperti biasa, tidak dapat bekerja. Yang artinya mereka juga tidak
mendapatkan uang untuk sekadar membeli makanan, mendengar kabar itu
Mamak meminta Pukat untuk mengantarkan rendang untuk Ibu Ahmad dan
Nayla makan.
Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah kepekaan hati untuk
selalu peduli terhadap orang-orang yang ada di sekitar, membantu mereka
yang membutuhkan dan meringanan beban yang mereka rasakan.
Sebagaimana yang dilakukan keluarga Pukat. Karena agama Islam juga
sangat menganjurkan untuk saling tolong menolong dan meringankan beban
saudara sesama muslim, sebagaimana tertera dalam firmannya, yaitu Q.S Al-
Ma‟idah,05:2.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-
syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,
dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah
sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Kemenag, 2008:75)
18. Tanggung Jawab
―Oi, sungguhan kita bisa ambil sendiri?‖
―Kau tetap harus bayar. Lihat kaleng itu, kau harus masukkan uangnya juga.‖
Aku mendelik. (Liye, 2010:143)
Kutipan diatas adalah kejadian saat pertama kali Pukat membuka
warung kejujuran milik Ibu Ahmad, Lamsari yang merasa asin dengan hal
baru tersebut bertanya dengan polosnya kepada Pukat, Lamsari berharap dia
bisa jajan sepuasnya di warung tanpa harus membayar.
Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari kutipan cerita
diatas adalah pelajaran untuk bertanggung jawab, kapanpun dan dimanapun.
Seperti halnya yang ada di warung kejujuran. Tanggung jawab ketika
membeli adalah menaruk uangnya di kaleng, maka dilihat atau tida dilihat
orang lain harus tetap memasukkan uang, bukan malah mengambil barang
tetapi tidak membayarnya. Perintah untuk selalu bertanggung jawab juga
terdapat dalam Al-Quran, yaitu Q.S Al-Israa‟, 17:36:
Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
(Kemenag, 2008:228)
Kutipan-kutipan cerita dalam novel Pukat diatas memberikan
gambaran mengenai nilai pendidikan karakter, yang sebenarnya masih banyak
lagi yang dapat temui ketika membaca novel, baik novel Pukat atau novel
yang lainya. Cerita yang secara tidak langsung mengajak untuk selalu berbuat
baik, cerita yang secara tidak langsung menambah wawasan, menambah ilmu
pengetahuan, dan banyak manfaat membaca lainya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Gaya bahasa yang terdapat dalam novel Pukat Karya Tere Liye.
Dalam novel Pukat, Tere Liye menggunakan banyak gaya
bahasa. Dari banyaknya gaya bahasa yang digunakan, gaya bahasa
Personifikasi merupaka gaya bahasa yang paling sering muncul. Ada
setidaknya lima puluh sembilan gaya bahasa personifikasi yang
digunakan dalam novel ini. Beberapa diantaranya adalah:
1. Suara letusan senapan kembali merobek langit-langit gelap. Bau
mesiu tercuim pekat. (Liye, 2010:20)
2. Kami tidak terlalu memperhatikan kesibukan di atas langit sana,
kami sedang asyik melompati cadas sungai. Kadang bergantian
lebih sering lompat serempak. Mandi sore yang menyenangkan.
(Liye, 2010:35)
3. Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan
sekolah. (Liye, 2010:129)
2. Nilai pendidikan karakter dalam novel Pukat
Dalam novel Pukat terdapat delapan belas nilai pendidikan
karakter yang sesuai dengan agama, pancasila, budaya dan tujuan
pendidikan nasional. Delapan belas nilai pendidikan karakter beserta isi
dalam kutipan novelnya yaitu:
1. Reigius: Mengaji, zakat, shalat, dan mengucapkan kalimat tayyibah.
2. Jujur: Membayar ketika jajan di warung kejujuran.
3. Toleransi: Menerima pendapat orang lain
4. Disiplin: Menaati peraturan sekolah
5. Kerja keras: Membantu perekonomian keluarga
6. Kreatif: Membuat penggaris dari kertas buku
7. Mandiri: Membersihkan tempat tidur
8. Demokrasi: Bebas memilih cita-cita
9. Rasa ingin tahu: Tidak malu bertanya
10. Semangat kebangsaan dan nasionalisme: Menghargai pemimpin
11. Cinta tanah air: Kemanapun merantau, kampung halaman tetap
menjadi tempat ternyaman untuk pulang
12. Menghargai prestasi: Menuntut ilmu setinggi-tingginya
13. Bersahabat dan komunikatif: Berteman dengan siapa saja.
14. Cinta damai: Saling memaafkan ketika bertengkar
15. Gemar membaca: Rajin membeli buku (majalah)
16. Peduli lingkungan: Menjaga hutan
17. Peduli sosial: Membantu tetangga yang kesusahan
18. Taggung jawab: Menghabiskan makanan yang sudah diambil
3. Relevansi gaya bahasa personifikasi dan pendidikan karakter
dalam kehidupan sehari-hari
1. Relevansi gaya bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada novel Pukat
Dalam kehidupan sehari-hari gaya bahasa personifikasi akan
banyak ditemukan dalam berbagai bacaan, baik itu koran, majalah,
novel dan buku bacaan lainnya. Sebagaimana fungsinya secara umum
gaya bahasa berfungsi sebagai penjelas suasana, menarik minat
pembaca, menjadikan kekhasan dalam novel.
Dalam kehidupan sehari-hari ilmu mengenai gaya bahasa ini
akan ditemukan baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah,
ataupun atas. Sehingga relevansi gaya bahasa personifikasi dalam
novel ini yaitu dapat dijadikan bahan belajar untuk pelajaran dan
materi tertentu dalam pendidikan.
2. Relevansi nilai pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari pada
novel Pukat
Pendidikan karakter dewasa ini menjadi poin penting dalam
pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan karakter
diharapkan dapat membantu menjadikan generasi bangsa menjadi lebih
bermartabat, dan dalam novel ini, pembaca baik anak-anak ataupun
orang dewasa akan mendapatkan banyak contoh nilai karakter yang
baik sesuai dengan kehidupan sehari-hari, terutama dalam dunia anak-
anak.
4. Saran
Setelah melakukan penelitian mengenai gaya bahasa
personifikasi dalam novel Pukat Serial Anak-anak Mamak, maka dapat
diberikan beberapa saran yang dapat digunakan sebagai acuan dalam
dunia pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama
dalam penanaman karakter yang baik. Maka penulis ingin
menyampaikan sedikit saran untuk perbaikan dan kemajuan bersama,
yaitu:
1. Bagi pendidik dan calon pendidik hendaklah novel ini dapat
menjadi reverensi ketika membutuhkan gaya bahasa personifikasi
atau gaya bahasa yang lain, novel ini juga dapat menjadi juga
menjadi sarana untuk mendidik melalui media tulisan yang
didalamnya terdapat contoh-contoh untuk menanamkan pendidikan
karakter yang baik.
2. Sebagai orang tua dapat menjadikan novel ini sebagai reverensi
dalam mendidik anak, mengajarkan anak kemandirian, kejujuran,
kerja keras, dan masih banyak lagi nilai kehidupan didalamnya.
3. Bagi pembaca baik anak-anak ataupun orang dewasa novel Pukat
menjadi bacaan yang bagus untuk menambah wawasan, dan
memberikan amanat yang bagus bagi pembacanya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2008. Al-Quran dan Terjemah. Semarang: Karya
Putra Utama
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka
Hariyanto, Muhtar. 2013. Konsep Pendidikan Karakter. Jakarta: Remaja
Rosda Karya
Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan
Karakter. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum
Dan Perbukuan
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: Gramedia
Keraf, Gorys. 1987. Argumentasi Dan Narasi. Jakarta: Gramedia
Liye, Tere. 2010. Pukat Serial Anak-Anak Mamak. Jakarta: Republika
Mudyahardjo, Redja. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Muslich, Masnur. 2015. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press
Pedoman Penyusunan Skripsi IAIN Salatiga 2017
Sari, Risky Permata. 2017. Analisis Gaya Bahasa Personifikasi Dan Nilai
Pendidikan Karakter Dalam Novel Amelia Karya Tere Liye. Salatiga:
IAIN Salatiga
Setiawati, Nopi. 2013. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Novel Pukat
Serial Anak-anak Mamak Karya Tere Liye. Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga
Zed, Mustika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tere_Liye_(Penulis) (diakses pada Kamis, 15
Maret 2018. Pukul 21.16)