analisis gaya bahasa personifikasi dan nilai...

152
ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL PUKAT KARYA TERE LIYE SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjanan Pendidikan (SP.d.) Oleh: RISKHA FATMANINGRUM 115 14 154 PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2018

Upload: vodung

Post on 26-May-2019

236 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM

NOVEL PUKAT KARYA TERE LIYE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjanan Pendidikan (SP.d.)

Oleh:

RISKHA FATMANINGRUM

115 14 154

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2018

ANALISIS GAYA BAHASA PERSONIFIKASI DAN

NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM

NOVEL PUKAT KARYA TERE LIYE

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjanan Pendidikan (SP.d.)

Oleh:

RISKHA FATMANINGRUM

115 14 154

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA

2018

MOTTO

(Q.S Al-Alaq: 1)

PERSEMBAHAN

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala

nikmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik, dan karya ini saya persembahkan kepada:

Teruntuk Ayahanda Slamet Sukamdi dan Ibunda Nur Azizah,

yang atas kasih sayang dan segala dukungan baik moral

ataupun materil sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini

dengan baik.

Teruntuk suami tercinta yang selalu setia menemani,

membantu dan mendukung penuh pengerjaan tugas akhir ini.

Terimakasih untuk semuanya cinta.

Teruntuk anakku tersayang dek Aisyah Amaturrahman

Mubarok, terimaksih telah menemani Ibu nak, memberikan

energi positif dan memberikan semangat yang luar biasa.

Teruntuk adikku tersayang Muhammad Azmi Darussalam yang

telah banyak menjadi teman curhat dalam segala kondisi.

Teruntuk semua keluarga besarku, terimakasih telah

memberikan semangat untuk dapat menyelesaikan jenjang

pendidikan Strata Satu ini dengan baik.

Teruntuk manusia-manusia luar biasa yang dengan sengaja

Allah pertemukan kami bertiga, sahabat yang selalu ada

dalam penentuan keputusan-keputusan besar dalam hidupku,

Mbak Puji Lestari (Be), dan Anis Aulia Arifani (Lay).

Terimakasih untuk semuanya.

Teruntuk squad gagan KKN 53 2018, Pak Dian, Tante In,

Moms ki, Dwikek, Fitri, Om Ahsan, Edo, Uky. Kalian luar

biasa.

Teruntuk teman-teman PPP MIN Salatiga, terimakasih untuk

dua bulan yang tidak akan pernah terlupakan, terimakasih

telah saling memberikan semangat, berkompetisi dan terus

berkarya untuk selalu menjadi guru dan pendidik yang selalu

mau belajar dan belajar.

Teruntuk teman-teman PGMI E angkatan 2014, terimakasih

untuk bantuan dan kerjasamanya selama ini, semoga kita

menjadi orang-orang yang hebat di kemudian hari.

KATA PENGANTAR

Alhamdullilah puji syukur senantiasa penulis panajtkan atas

kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Gaya

Bahasa Personifikasi dan Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat

Karya Tere Liye. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada

junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan

seluruh umat yang menggikuti ajaranya.

Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada berbagai

pihak yang telah memberikan banyak motivasi, bimbingan, arahan dan

bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku rektor IAIN Salatiga.

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dekan FTIK IAIN Salatiga.

3. Ibu Peni Susapti, M.Si selaku ketua jurusan PGMI IAIN Salatiga yang

sekaligus dosen Pembimbing Akademik penulis.

4. Ibu Dra. Urifatun Anis, M.Pd.I. selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah mengarahkan, membimbing, dan meluangkan waktunya dalam

penulisan skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu yang luar

bisa kepada penulis.

6. Staf perpustakaan, bagian akademik dan seluruh staf IAIN Salatiga yang

telah memberikan layanan serta bantuan kepada penulis.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih

atas semua motivasi dan bantuanya.

Karena keterbatasan penulis, penulis menyadari dalam penulisan

skripsi ini masih banyak kekuranganya dan penulis berharap saran dan

masukan dari para pembaca demi kebaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan

pembaca pada umumnya serta menjunjung pengembangan ilmu

pengetahuan.

Salatiga, 19 Juli 2018

Penulis

Riskha Fatmaningrum

ABSTRAK

Fatmaningrum, Riskha. 2018. Analisis Gaya Bahasa Personifikasi dan Nilai

Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat Karya Tere Liye. Skripsi. Prodi

Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra.

Urifatun Anis, M.Pd.I.

Kata Kunci: Personifikasi & nilai pendidikan karakter.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui wujud gaya bahasa

personifikasi yang digunakan Tere Liye dalam novel Pukat. (2) Mengetahui nilai

pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Pukat. (3) Mengetahui

relevansi gaya bahasa personifikasi dan nilai pendidikan karakter dalam novel

Pukat terhadap kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini menggunakan metode library research, teknik pengumpulan

data dilakukan dengan teknik baca dan catat.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa: (1) Gaya bahasa personifikasi

dalam novel Pukat digunakan dalam penggambaran waktu (pagi, siang, sore,

malam) dan penggambaran keadaan yang sedang terjadi. (2) nilai pendidikan

karakter yang terdapat dalam novel Pukat adalah nilai pendidikan yang sesuai

dengan agama, pancasila, budaya dan nilai pendidikan nasional, yaitu: jujur,

toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratiis, rasa ingin tahu,

semangat kebangsaan dan nasionalisme, cinta anah air, menghargai prestasi,

bersahabat dan komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,

peduli sosial dan tanggung jawab. (3) Relevansi gaya bahasa personifikasi yang

terkandung dalam novel Pukat yaitu: (a) Menjelaskan suasana, (b) Menarik minat

pembaca, (c) Sebagai contoh gaya bahasa dalam pembelajaran. Relevansi nilai

pendidikan karakter yang terdapat dalam novel ini antara lain: ajakan untuk zakat,

berbuat jujur, menerima pendapat, membantu orang tua, menghargai pemerintah,

membantu tetangga, tidak merusak hutan.

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i

LEMBAR BERLOGO ..................................................................................................... ii

JUDUL ........................................................................................................................... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................................... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................................... vi

MOTTO .......................................................................................................................... vii

PERSEMBAHAN ........................................................................................................ viii

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... x

ABSTRAK ..................................................................................................................... xii

DAFTAR ISI ................................................................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian................................................................................................. 7

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................................ 7

E. Metode Penelitian ................................................................................................ 8

F. Penegasan Istilah ............................................................................................... 10

G. Sistematika Penulisan ........................................................................................ 11

BAB II BIOGRAFI NASKAH

A. Biografi Novel ................................................................................................... 13

B. Biografi Penulis ................................................................................................. 45

C. Karakteristik Novel Karya Tere Liye ................................................................ 46

D. Karya-Karya Tere Liye ..................................................................................... 47

BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN

A. Gaya Bahasa Personifikasi ................................................................................ 49

B. Nilai Pendidikan Karakter ................................................................................. 62

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................................

A. Gaya Bahasa Personifikasi ................................................................................ 76

B. Relevansi Gaya Bahasa Personifikasi dalam Kehidupan Sehari-hari ............... 90

C. Pendidikan Karakter dan Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari ................. 93

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................................... 125

B. Saran ................................................................................................................ 127

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 128

LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................................... 129

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Tugas Pembimbing Skripsi

Lampiran 2 Daftar Nilai SKK

Lampiran 3 Lembar Bimbingan Skripsi

Lampiran 4 Riwayat Hidup Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membaca merupakan sebuah kebutuhan bagi masyarakat secara

umum, mulai dari anak-anak hingga mereka yang sudah berusia senja. Dari

mulai membaca sesuatu yang tidak sengaja sampai yang memang berniat

untuk membacanya, sesuatu yang tidak sengaja misalnya iklan, banner atau

bahkan tempelan pada tiang listrik di jalan. Semua hal-hal tersebut seakan

meminta untuk dibaca, dan banyak hal lain yang memang menjadi niatan

untuk dibaca, seperti halnya membaca buku, membaca Al-Qur‟an, dan lain

sebagainya yang memang bermaksut untuk membacanya.

Membaca menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan sehari-

hari, karena dari membaca maka akan terbuka wawasan dan pemahaman

baru. Pentingnya membaca juga terdapat dalam Q.S Al-Alaq ayat 1-5, ayat

yang sekaligus menjadi wahyu pertama Nabi Muhammad SAW ini menjadi

perintah umat manusia untuk membaca, karena dari membaca seseorang akan

mengetahui banyak hal. Baik itu membaca secara langsung ataupun membaca

dalam arti lain.

Dewasa ini, kesadaran membaca sudah cukup tinggi dikalangan

masyarakat. walaupun jika dibandingkan dengan negara lain Indonesia masih

berada diperingkat bawah. Namun seiring berjalanya waktu semakin banyak

orang-orang, kelompok-kelompok tertentu, instansi-instansi pendidikan dan

pemerintah yang peduli dan semakin giat mempromosikan pentingnya

membaca. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perpustakaan, taman-

taman baca, dan kelompok-kelompok baca yang semakin hari semakin

terlihat perkembanganya.

Berbicara mengenai membaca, pastilah yang pertama terbesit di

fikiran adalah buku, entah itu buku mengenai ilmu pengetahuan, ataupun

buku bacaan yang lain. Diera yang serba modern ini memang membaca tidak

harus menggunakan media cetak/buku, banyak media-media lain yang juga

memberikan fasilitas untuk membaca. Namun tidak bisa di pungkiri

keberadaan media cetak/buku tetaplah tidak bisa tergantikan.

Budaya membaca menjadi sangatlah penting untuk anak-anak usia

sekolah, terutama bagi mereka yang masih mengenyam bangku pendidikan

dasar. Karena dari sinilah cikal bakal akan seperti apa mereka dikemudian

hari, akankah menjadi generasi yang tunduk pada gadget dan segala game

yang ada di dalamnya atau mereka yang berteman dengan buku dan

informasi-informasi yang pantas mereka peroleh.

Anak usia sekolah, terutama mereka yang duduk di bangku sekolah

dasar kegiatan membaca buku bacaan yang berisi cerita-cerita menjadi sangat

menarik, mengingat imajinasi mereka yang cukup tinggi. Disinilah perbedaan

membaca dengan menonton serial cerita. Saat membaca cerita, anak-anak

secara tidak langsung akan membayangkan cerita yang sedang di baca,

berbeda dengan ketika menonton serial cerita. Karena ketika menonton,anak-

anak hanya akan menikmati apa yang ditonton, tanpa ada proses imajinasi

mereka mengenai cerita tersebut.

Banyak buku bacaan yang sesuai untuk anak usia Sekolah dasar,

mulai dari buku pelajaran, buku pengetahuan umum, majalah anak, cerpen,

hingga novel anak dan lain sebagainya.

Saat membaca cerpen ataupun novel misalnya, anak dapat

membayangkan tokoh dalam cerita tersebut, bagaimana latar tempatnya,

kapan waktu berlangsungnya cerita dan banyak hal lain mengenai cerita yang

dibaca. Saat mengalami hal ini secara tidak langsung anak telah belajar unsur

instrinsik dan ekstrinsik dari sebuah cerita yang telah dibaca.

Berjalan dari unsur instrinsik dan ekstrinsik dari sebuah cerita terdapat

pula didalam cerpen ataupun novel tersebut gaya bahasa, gaya bahasa dapat

diartikan sebagai cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang

memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). (Keraf,

1985: 13)

Gaya bahasa mempunyai banyak ragam, salah satunya adalah gaya

bahasa personifikasi. Gaya bahsa ini sering dan hampir ada di setiap cerpen

dan novel. Gaya bahasa personifikasi itu sendiri adalah gaya bahasa kiasan

yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 1994:140)

Gaya bahasa personifikasi merupakan gaya bahasa yang cukup mudah

untuk di pahami, termasuk pemahaman untuk anak-anak usia sekolah

terutama yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat membaca cerita baik

cerpen ataupun novel anak-anak pastilah juga akan menemukan gaya bahasa

yang banyak, termasuk gaya bahasa personifikasi.

Belajar dari unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerita, terdapat

pula amanat atau nilai yang dapat diambil dari cerita tersebut. Dari membaca

cerpen ataupun novel pembaca bisa mengambil pelajaran yang ada

didalamnya, baik itu nilai pendidikan, nilai agama, nilai kebudayaan, dan

semua yang ada dalam cerita. Termasuk pendidikan karakter, nilai pendidikan

yang juga disebut pendidikan budi pekerti ini bukan hanya dapat diperoleh di

sekolah, namun dari membaca novel sekalipun pembaca akan mendapatkan

contoh dari penanaman karakter dalam kehidupan sehari-hari.

Dewasa ini, pendidikan karakter sangat ditekankan diberbagai lapisan

masyarakat, terutama di bidang pendidikan. Dalam dunia pendidikan saat ini,

pendidikan karakter bahkan menjadi tujuan utama daripada unsur intelegensi

yang kerapkali dianggap sebagai kepintaran yang paling penting. Dengan

adanya fokus pada pendidikan karakter ini maka novel Pukat dapat menjadi

salah satu novel yang tidak hanya menghibur dari segi isi, namun juga

memberikan nilai pedidikan karakter dari amanat yang ada didalamnya.

Sehingga akan ada sesuatu yang dapat dipetik dari hasil membaca tersebut.

Seperti halnya novel Pukat karya Tere Liye, novel ini merupakan

novel dengan serial Anak-anak Mamak atau lebih mudahnya dapat dikatakana

novel untuk anak-anak. Dalam novel ini menceritakan tentang anak laki-laki

yang pintar dan selalu mempunyai banyak akal bernama Pukat, dia dijuluki Si

Jenius, dia adalah anak ke dua dari empat bersaudara. Kakaknya bernama

Eliana, adiknya bernama Burlian, dan adik bungsunya bernama Amelia.

ketiga saudaranya ini juga dijadikan novel oleh penulis yang tidak lagi asing

di kalangan sastrawan novel di Indonesia, Tere Liye.

Tere Liye merupakan penulis yang hasil karyanya selalu di tunggu-

tunggu oleh penikmat sastra, banyak dari novel-novenya yang mendapatkan

predikat best seller, Tere Liye sendiri merupakan nama pena dari Darwis,

beliau lahir di Lahat Sumatera pada tanggal 21 Mei tahun 1979, pekerjaanya

adalah penulis novel sekaligus akuntan, Tere Liye mulai menulis sejak tahun

2005 hingga saat ini, adapun karya-karyanya yang lain selain serial anak-

anak mamak (Eliana, Pukat, Burlian, dan Amelia) diantaranya adalah: Daun

Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Hafalan Shalat Delisa, Moga

Bunda Disayang Allah, Bidadari-Bidadari Surga, Pulang, Hujan, Tentang

Kamu, Senja Bersama Rosie, Aku dan Sepucuk Angpau Merah, Bumi, Bulan,

Matahari, Rindu, dan masih banyak lagi.

Novel Pukat ini pantas diteliti, karena novel ini merupakan salah satu

novel best seller dari sekian novel yang ditulis Tere Liye. Dilihat dari segi

kebahasaan novel ini mempunyai gaya bahasa yang unik dan pemilihan

kalimat yang digunakan penulis sederhana dan mudah dipahami, terutama

untuk anak-anak. Selain itu penulis juga berkeinginan untuk meneliti gaya

bahasa apakah yang sering muncul dalam novel Pukat karya Tere Liye ini.

Dan melihat banyaknya nilai pendidikan karakter yang dapat di ambil dari

novel ini, maka novel ini akan banyak memberikan pembelajran dan dampak

positif bagi pembaca.

Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti novel

tersebut dengan judul “Analisis Gaya Bahasa Personifikasi dan Nilai

Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat Karya Tere Liye”.

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini membahas permasalahan yang dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah wujud gaya bahasa personifikasi yang digunakan Tere

Liye dalam novel Pukat?

2. Nilai pendidikan karakter apa yang terkandung dalam novel Pukat?

3. Bagaimana relevansi gaya bahasa personifikasi dan nilai pendidikan

karakter dalam novel Pukat terhadap kehidupan sehari-hari?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1. Mengetahui gaya bahasa personifikasi yang ditampilkan Tere Liye dalam

novel Pukat.

2. Mengetahui nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Pukat.

3. Mengetahui relevansi gaya bahasa personifikasi dan nilai pendidikan

karakter dalam novel Pukat terhadap kehidupan sehari-hari.

D. Kegunaan Penelitian

Nilai dari suatu penelitian ditentukan oleh seberapa besar kegunaan

yang dapat di ambil dari penelitian tersebut. Adapun kegunaan yang

diharapkan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Dari hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat mengetahui dimana

letak gaya bahasa personifikasi yang digunakan Tere Liye dalam novel

Pukat.

b. Dari hasil penelitian ini diharapkan agar pembaca dapat lebih

memahami nilai pendidikan karakter seperti apakah yang terkandung

dalam novel Pukat.

c. Dari hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi sumbangsih

terhadap karya satra.

2. Manfaat Praktis

Dari hasil penelitian ini diharapkan pembaca dapat mengetahui gaya

bahasa personifikasi dari novel Pukat karya Tere Liye dan dapat mengambil

nilai pendidikan karakter yang terkandung didalamnya.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian kepustakaan atau

library research, yaitu penelitian yang lebih menitik beratkan pada

pembahasan yang bersifat literer. Penelitian kepustakaan ini hanya membatasi

kegiatannya pada bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa adanya riset

lapangan. (Zed, 2004:2)

Dalam penelitian library research ini penghimpunan data dapat

diambil dari berbagai literatur, dimana novel Pukat adalah objek primer

dalam penelitian ini, dan buku-buku lain yang beraitan dengan pembahasan

penelitian ini adalah objek sekunder.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik baca dan catat.

Teknik membaca dilakukan dengan membaca novel Pukat secara cermat,

kemudian mencatat data yang diperlukan untuk penelitian novel tersebut.

Teknik ini digunakan untuk mencari gaya bahasa personifikasi dan nilai

pendidikan karakter dalam novel Pukat. Adapun langkah-langkah dalam

menganalisis data adalah sebagai berikut:

a. Langkah deskriptif, yaitu menguraikan teks-teks dalam novel Pukat yang

termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan teks yang berhubungan

dengan pendidikan karakter.

b. Langkah interpretasi, menjelaskan teks-teks dalam novel Pukat yang

termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan teks yang berhubungan

dengan pendidikan karakter.

c. Langkah analisis, yaitu menganalisis penjelasan dari novel Pukat yang

termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan penjelasan yang

berhubungan dengan nilai pendidikan karakter.

d. Langkah pengambilan kesimpulan, yaitu mengambil kesimpulan dari

dalam novel Pukat yang termasuk dalam gaya bahasa personifikasi dan

bagian dari novel Pukat yang berhubungan dengan pendidikan karakter.

F. Penegasan Istilah

1. Gaya Bahasa Personifikasi

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa

secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa). (Keraf, 1985:113)

Gaya bahasa personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan

yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 1994:140)

2. Pendidikan Karakter

a. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,

masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,

dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah, sepanjang

hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan

peranan dalam berbagai lingkungan hidup secata tepat dimasa yang

akan datang. (Mudyahardjo, 2010:11)

b. Karakter adalah watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti

yang membedakan seseorang dengan yang lain (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2008:521)

c. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti budi pekerti plus,

yaitu pendidikan yang melibatkan aspek teori pengetahuan (cognitive),

perasaan (feeling), dan tindakan (action). (Muslich, 2015:29)

3. Novel

Novel adalah sebuah karya fiksi menawarkan dunia, dunia yang

berisi model kehidupan yang diidealka, dunia imajinatif yang dibangun

melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, tokoh, latar, sudut

pandang, dan lain-lainnya yang kesemuanya tentu saja bersifat imajinatif.

(Nurgiyantoro, 2005:4)

4. Pukat

Pukat adalah salah satu novel karya Tere Liye (Serial anak-anak mamak) yang

masuk dalam kategori novel Best Seller, novel ini menceritakan tentang

kehidupan Pukat, keluarganya dan warga kampung yang penuh dengan

kesederhanaan, kejujuran dan saling tolong menolong dalam segala

kondisi. Novel yang mengajarkan banyak kebaikan kepada pembacanya,

novel yang memberikan banyak wawasan dan ilmu baru pada

pembacanya. Novel yang patut di baca oleh segala usia, baik anak-anak

ataupun orang dewasa.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika skripsi ini terdiri dalam lima bab yang dibagi dalam sub-

sub bagian yang digunakan untuk mempermudah pemahaman terhadap isi

penelitian. Adapun sistematika penulisan analisis novel Pukat ini adalah

sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah yang

membuat penulis tertarik untuk meneliti Gaya Bahasa Personivikasi dan Nilai

Pendidikan Karakter dalam Novel Pukat. Serta uraian mengenai rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan

istilah, dan sistematika penulisan.

BAB II: BIOGRAFI NASKAH. Dalam bab ini dijelaskan mengenai biografi

naskah dengan diperkuat kajian teori yang berasal dari berbagai sumber yang

dijadikan sebagai bahan kutipan.

BAB III: DESKRIPSI PEMIKIRAN. Dalam bab ini dijelaskan secara lebih umum

mengenai rumusan masalah yang ada dengan menjabarkan hal-hal yang akan

dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya, yaitu bab pembahasan.

BAB IV: PEMBAHASAN. Dalam bab ini dijelaskan mengenai tujuan penelitian

yang dibuktikan dengan kutipan yang diambil dalam novel Pukat yaitu sebagai

berikut: Mendeskripsikan gaya bahasa dan nilai pendidikan karakter yanag

terkandung dalam Novel Pukat karya Tere Liye, mendeskripsikan gaya bahasa

personifikasi dan nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel

tersebut serta relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.

BAB V: PENUTUP. Menyajikan kesimpulan, saran dan harapan peneliti untuk

mendapatkan masukan mengenai keterbatasan penulis dalam penulisan

penelitian.

BAB II

BIOGRAFI NASKAH

A. Biografi Novel

1. Profil Novel

Judul : Pukat (Serial Anak-Anak Mamak)

Penulis : Tere Liye

Desain dan Ilustrasi Sampul : Mano Wolvie

Penerbit : Republika, Jakarta

Tahun Terbit : 2010

Ukuran : 344 Halaman, 20,5x13,5 cm

2. Sinopsis

Novel Pukat karya Tere Liye terdiri atas dua puluh lima bab/

bagian. Dimana setiap babnya menceritakan tentang Pukat,

keluarganya, saudara-saudaranya, teman-temanya, tetangga sekitarnya,

dan masih banyak lagi. Adapun uraian secara garis besar tiap bagianya

adalah sebagai berikut:

Bagian satu menceritakan tentang pengalaman Pukat pertama

kali naik kereta api dengan Bapak dan adik laki-lakinya (Burlian).

Perjalanan menuju kota kabupaten yang menegangkan, ditambah kabar

burung mengenai misteri terowongan kereta yang menyeramkan, dan

kejadian di gerbong kereta yang tidak terduga menjadikan bagian

pertama ini menegangkan dan heboh.

Poonggg, Kereta api melengkung panjang. Seperti biasa,

masinisnya tidak absen memberikan sinyal kalau kereta bersiap

memasuki terowongan. Aku dan Burlian menelan ludah, semakin

tegang.(Liye, 2010:15)

Bagian dua menceritakan kecerdasan Pukat dalam situasi yang

sangat genting. Bermula dari kejadian di terowongan sepanjang lima

pal ketika tiba-tiba kereta berhenti dengan kasar dan terjadi keributan

luar biasa, suara kasar dan letusan senapan yang merobek langit-langit

gelap, terjadi perampokan di dalam kereta.

―Aturan main kita sederhana. Dua rekan saya dari ujung

gerbong akan mengeluarkan karung goni yang cukup besar. Nah,

adalah tugas kalian mengisinya penuh-penuh dengan uang,

perhiasan, jam tangan, apa saja barang berharga yang kalian bawa

sekarang –― (Liye, 2010:20)

Bagian tiga menceritakan kedatangan murid baru di kelas lima,

gadis cantik anak Bu Bidan yang membuat Raju teman Pukat seakan

jatuh cinta pada pandangan pertama, cinta monyet yang merubah

Raju dari yang suka membolos menjadi anak paling rajin masuk kelas,

bahkan paling awal datang ke sekolah.

Tetapi ada yang masih berdiri terpana di tubir sungai. Bagai

batang kayu dipakukan ke bumi. Di bawah ribuan bulir air hujan,

berlatarkan panggung serabut musik guntur. Di sana masih ada yang

berdiri membeku. Dia seperti baru saja melihat puteri kayangan.

Hatinya tertikam sudah.

Oi, lihatlah Raju, teman sekelas kami, hatinya berdegup

kencang. (Liye, 2010:41).

Bagian empat menceritakan cerita cinta monyet Raju dan

Saleha, cinta anak kelas lima SD yang awalnya begitu manis namun

bertepuk sebalah tangan. Raju tidak cinta lagi pada si cantik Saleha,

karena Saleha mengalami hal yang belum anak-anak kelas lima SD

pahami benar.

―Kau tidak pacaran lagi denganya?‖ Aku bertanya pertanyaan

yang sebenarnya terlalu canggih untuk anak kelas lima SD. Burlian di

sebelah sibuk menyikut lenganku, mengeluh kalau dia terkena

cipratan air. Kami sudah keluar dari gerbang pagar sekolah.

―Tidak lagi‖ Raju menjawab tidak peduli.

―Tidak lagi? Kau berkelakar.‖ Aku tertawa.

―Memang tidak lagi‖ (Liye, 2010:71)

Bagian lima menceritakan kepadaian Pukat di kelas, Pukat yang

selalu lebih pandai dari teman-temanya. Pukat menjadi andalan Pak

Bin, guru di sekolahan mereka. Namun ternyata Raju, teman karibnya

sendiri iri akan kebiasaan Pak Bin dan teman-temanya yang selalu

mengandalkan Pukat di kelas, sampai akhirnya Raju mengolok-olok

Pukat, teman sebangkunya sendiri. Api pertengkaran pun mulai

menyala di antara kedua teman karib tersebut.

―Sedikit-sedikit Pukat, entah pelajaran Matematika, IPA, IPS,

semuanya pukat yang jadi contoh, Pukat inilah , Pukat itulah, Oi,

memangnya hanya dia saja yang ada di kelas.‖

―Tanpa banyak cakap lagi, Raju sudah lompat menerkamku,

tanganya memukul. Aku juga sudah menunggunya, menghindar lantas

balas memukul. Terjadilah perkelahian itu. Anak-anak lain berseru

tertahan, Saleha, Julia dan murid perempuan lainya menjerit-jerit

menyuruh berhenti. Lamsari berusaha menarik tubuhku, melerai.

JDUT‼ Tangnku justeru menghantam dahinya. Tubuh kecil Lamsari

terjejer ke meja. Suara derak meja terpelanting membuat ruangan

kelas lima semakin ramai, mengalahkan suara gerimis membasuh

halaman sekolah.‖ (Liye, 2010:82)

Bagian enam menceritakan kelanjutan dari pertengkaran Pukat

dan Raju, ucapan maaf yang keduanya lontarkan sesaat setelah

berkelahi itu ternyata tidak membuat keduanya berdamai. Justru api

pertengkaran itu semakin menjadi.

Aku selalu pulang duluan setiap kali Raju ikut bergabung. Benci

sekali meliat dia tertawa-tawa, apalagi semua orang tahu, raju

jagonya urusan bermain bola air. Tubuh liatnya begitu anggun

dibandingkan yang lain. Belum lagi dia suka berseru lantang, ―Oi, di

sini tidak ada Pak Bin yang selalu bilang si itu, si itu dan si itu. kalian

tahu siapa si itu bukan?‖ Menyebalkan sekali melihatnya.

Dan aku membalasnya di ruangan kelas. Lebih rajin

mengacungkan tangan, menjawab pertanyaan Pak Bin dengan

intonasi suara yang dilebih-lebihkan, lantas menoleh ke bangku

sebelah, memasang wajah, sepertinya kau tidak tahu, bukan. Bersorak

senang (dalam hati) setiap kali melihat raut muka Raju terlipat

mengkal mendengar Pak Bin memujiku. Mau bilang apa dia? Ini

bukan permukaan sungai. Di sini, otak lebih dihargai.

Begitulah, pertengkaran kami soal kambing-ayam itu ternyata

berbuntut panjang. Bukan sekedar perkelahian lumrah anak-anak.

Walau Lamsari tidak bosan, setiap hari berkali-kali membujuk kami

bermain bersama lagi, meski Burlian tertawa mengolok-olok agar

berbaikan, satu bulan berlalu, musim penghujan sudah tiba di

penghujungnya, kami belum menunjukkan tanda-tanda akan

berdamai. Yang terjadi justru sebaliknya, kebencian itu semakin

menebal. (Liye, 2010:91)

Bagian tujuh menceritakan adat-istiadat di kampung Pukat,

acara pernikahan. Seluruh warga kampung hadir dalam acara tersebut,

tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan, keluarga dekat, keluarga jauh

semua diundang. Termasuk Pukat dan Raju, dua sahabat karib yang

sempat bermusuhan ini akhirnya berdamai. Berdamai dengan

semuanya.

Aku dan Raju sudah terseyum canggung. Menyeringai salah

tingkah satu sama lain. Meski lebih mirip seringai kuda, itu jelas

seringai perdamaian. Akhirnya setelah dua bulan tidak saling tegur,

kami berbaikan. (Liye,2010:110)

Bagian delapan menceritakan tentang kejadian dimalam dingin

yang membuat seisi kampung panik, hujan berkepanjangan membuat

sungai meluap dan membanjiri kampung. Bukan hanya itu yang

membuat panik, tapi Pukat, dia harus kehilangan sahabat karibnya.

Sahabat yag baru saja berdamai denganya.

Suara bedug dari masjid kampung terdengar bertalu-talu, sahut

menyahut dengan kentongan bambu. Nyala obor terlihat ramai di

kejauhan. Hujan deras berkepanjangan sepertinya telah membuat

sungai meluap.

―Jika melihat hujannya, jangan-jangan banjir akan lebih besar

dibandingkan sepuluh tahun lalu.‖ Bapak mendongak, menatap rintik

gerimis. (Liye, 2010:118)

Bagian sembilan menceritakan Ibu Ahmad, seorang ibu yang

merawat Nayla anaknya yang sedang sakit. Ibu Ahmad mempunyai

warung didekat sekolah Pukat, warung yang menjual peralatan

sekolah seperti pensil dan buku, juga menjual kue-kue kecil. Namun

semenjak Nayla sakit warung tersebut tutup, walhasil banyak siswa

yang kesulitan saat hendak membeli peralatan sekolah (alat tulis).

―Kudengar Nayla sakit, anaknya Ibu Ahmad sakit‖ Mamak

yang sedang membuka kulit jengkol bertanya. Memecah kesibukan

suara ptak-ptok di beranda rumah.

―Sudah lima hari, Mak.‖ Aku menjawab.

Mamak menoleh kepadaku, dahinya berkerut.

―Warungnya tutup, Mak. Jadi aku tahu.‖ Aku menjelaskan.

―Oi, kalau begitu repot sekali Ibu-nya Ahmad sekarang.‖ Mamak

menghela nafas prihatin.

―Yang repot itu kami, Mak.‖ Burlian sekarang yang berkomentar. ―Jajan

tidak bisa lagi, beli buku tulis tidak bisa lagi. Warungnya tutup

terus.‖ (Liye, 2010:132)

Bagian sepuluh menceritakan tentang ide Pukat untuk membuka

warung kejujuran di warung Ibu Ahmad, karena warung masih tutup

bahkan hingga pergantian semester, siswa-siswa di sekolah Pukat jadi

kesulitan untuk jajan dan membeli alat tulis.

Aku berfikir keras. Harus ada pemecahan masalah ini, jalan

keluar yang mungkin bisa membantu dua sisi sekaligus. Aku menatap

bulan separuh sambil menghela nafas pelan, formasi galaksi bima

sakti terlihat jelas. Suara anak-anak mengaji terdengar, rumah Nek

Kiba sudah dekat, Baiklah, sepertinya itu bisa jadi jalan keluar

terbaik. Warung itu harus tetap buka, apapun caranya. (Liye,

2010:139)

Bagian sebelas menceritakan perjalanan warung kejujuran di

sekitar dua minggu pertama. Semua berjalan dengan lancar sampai

pada hari ke-delapan, dimana ada selisih antara dagangan yang terjual

dan uang yang terkumpul. Selebihnya warung Ibu Ahmad dengan

kaleng kejujuranya masih bejalan dengan lancar.

―Uangnya kurang, Pak.‖ Aku tersengal, langsung ke topik masalah.

―Ya, Pukat‖ Pak Bin melepaskan kaca-mata kusamnya.

―Uang dalam kaleng kurang, Pak.‖ Aku tersenggal, langsung ke topik

masalah.

―Uang dalam kaleng kurang, Pak.‖ Aku mengangkat kaleng biskuit, ―Ada

yang mengambil jualan Ibu Ahmad tanpa memasukkan uang.‖

―Kau tidak salah hitung?‖ Pak Bin sekarang sempurna menaruh

perhatian kepadaku, menyingkirkan kartas penuh angka-angka di

hadapannya.

Aku menggeleng. Sudah dua kali ku periksa. (Liye, 2010:147)

Bagian dua belas menceritakan arti sebuah kejujuran, Dan yang

diharap-harapkan, Nayla sembuh. Warung yang selama enam bulan

hanya mengandalkan daftar harga dan kaleng uang kini kembali

seperti sediakala. Warung tersebut telah mengajarkan seisi kampung

mengenai makna kejujuran yang sesungguhnya.

―Besok Ibu sudah bisa menunggui warung, Pukat.‖

―Oi?‖ Aku tertawa riang.

―Nayla sudah boleh bermain di luar. Ikut Ibu menjaga warung.‖ (Liye,

2010:167)

Bagian tiga belas menceritakan teka-teki Wak Yati yang selalu

diberikan pada Pukat, Wak Yati selalu memberikan teka-teki pada

Pukat jika ia berkunjung. Kali ini teka teki terhebat Wak Yati yang

harus Pukat pecahkan.

―Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat mangkok,

hutan menghijau seperti zamrud, sungai mengalir ibarat naga, tak

terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak terbilang.‖ (Liye,

2010:180)

Bagian empat belas menceritakan betapa sayangnya Mamak

pada ke-empat anaknya, Eliana, Pukat, Burlian dan Amelia. Namun

terkadang mereka salah mengartikan sayang mamak pada mereka.

―Dengan menghukummu seperti ini, itu berarti Mamak kau amat

mencintai…..‖

―Mamak benci pada Pukat!‖ Aku memotong kasar kalimat Bapak.

―Tidak seperti yang kau lihat.‖ Bapak menghela nafas.

―Mamak benci pada Pukat!‖

―Oi, kau keliru, Pukat. Dengarkan Bapak, tidak ada seorangpun Mamak

di atas bumi ini yang bisa membenci anaknya sendiri, ‗darah-daging‘-

nya sendiri….. Bukankah kau pandai mengkait-kaitkan banyak hal,

kau juga pandai mengkaitkan banyak penjelasan. Nah, kau artikan

sendiri makna harfilah, ‗darah-daging‘. Setiap anak pernah

dikandung Mamak-nya sembilan bulan. Mual, muntah, nyeri, badab

sakit, semua terasa tidak enak. Melahirkan dengan kondisi siap mati.

Tidak akan pernah ada seorang Mamak yang bisa membenci anaknya

sendiri. Dilahirkan penuh perjuangan.‖ (Liye, 2010:194)

Bagian lima belas menceritakan besarnya cinta dan sayang

Mamak pada Pukat, saat akhirnya Pukat jatuh sakit setelah mendapat

hukuman dari Mamak untuk tidur di beranda rumah. Pukat sakit

selama lima hari, selama itu pula Mamak tidak pernah meninggalkan

Pukat, sekalipun Pukat sedang tidur. Dan dari kejadian itu, pukat sadar

„Tidak akan pernah ada Mamak yang membenci anaknya‟. Yang

pukat tau, Mamak sangat mencintai dan menyayangi Pukat, dan ketiga

saudaranya yang lain.

―Maafkan Pukat, Mak. Sungguh maafkan Pukat.‖

Oi, sepuluh tahun lebih Mamak memasakkan makanan untukku. Sudah

berapa juta butir nasi yang disiapkannya. Berapa ratus ribu gelas air

minum yang dijerangnya. Bertumpuk-tumpuk piring sayur dan lauk

yang boleh jadi sudah setinggi bukit. Penuh kasih-sayang, tanpa

pernah berharap imbalan selain doa agar kami menjadi anak yang

baik. Bagaimana mungkin aku menuduh Mamak benci kepadaku,

tidak lagi sayang. Belum lagi saat kami jatuh sakit, dia mengurus air

kencingku, muntahku, berakku, semuanya, tanpa lalai meninggalkan

kewajiban lain. ―Maafkan Pukat, Mak. Sungguh.‖ Malam itu aku

menyadarinya. (Liye, 2010:205)

Bagian enam belas menceritakan betapa indahnya pagi itu, di

kampung sedang ada renovasi masjid, seluruh warga desa ikut bersuka

cita. Keluarga pukat, dan keluarga-keluarga lainya berbondong-

bondong menuju masjid. Seluruh warga repot membawa makanan

terbaik mereka, untuk dimakan bersama warga yang lain di masjid.

―Ayuk Yati bawa makanannya juga? Aduh, repot sekali.‖

Mamak meletakkan bawaannya, berusaha membantu membawa

rantang-rantang menuruni anak tangga. ―Oh schat, bagaimana tidak.

Kalau semua penduduk kampung membawa makanan, aku juga harus

membawa makanan terbaikku.‖ Wak Yati berjalan dengan tongkat

rotan berpliturnya. (Liye, 2010:209)

Bagian tujuh belas meceritakan jalannya renovasi masjid, semua

berjalan dengan lancar. Sampai pada kejadian ditemukannya empat

kotak misterius di atap masjid yang sedang di renovasi. Empat kotak

harta karun beserta surat-surat yang menceritakan kejadian di masa

itu, empat kotak misterius yang sangat berharga.

Aku menelan ludah melihat hamparan benda-benda itu di atas

tikar. Pak Bin dan Bakwo Dar mengangkat satu kotak lagi dari anak

tangga, perlahan meletakkanya.

―Masih ada di atas??‖

―Habis, Mang!‖ (Liye, 2010:223)

Bagian delapan belas menceritakan tentang cara jual-beli

mamak di pasar, arti jual-beli yang sesungguhnya. Tanpa ada mencuri

timbangan, justru memberikan lebih dan tidak menawar rendah ketika

membeli, arti jual-beli yang diajarkan Bapak dan Mamak pada anak-

anaknya.

―Jual beli itu dihalalkan. Siapa yang menjual dengan baik,

memberikan barang yang benar, tanpa menipu, senang hati

melebihkan timbangan, memberi bonus, tambahan, niscahya dia

mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat.‖

―Tidak mungkin. Bagaimana kita untung berlipat-lipat kalau menjual

lebih murah?‖ Aku protes, tidak bisa diterima oleh nalarku.

―Itu karena kau menghitung keuntungan yang terlihat saja. Oi, rasa

senang yang muncul dari proes kebaikan itu tidak bisa dibeli dengan

uang segunung.‖ Bapak mengangkat tunjukanya ke atas. ―Kalian

masih terlalu kecil untuk mengerti….. Sayangnya, hari ini, esok-esok

lusa akan lebih banyak orang yang sudah dewasa, tahu urusan ini,

tetapi tetap berpura-pura tidak mengerti. Kalian tahu, hal ini juga

berlaku sebaliknya. Barang siapa yang membeli dengan santun,

ringan hati melebihkan bayaran, tidak selalu menawar, niscahya

bukan hanya barang itu yang berhasil dia beli, dia juga sejatinya

telah mendapatkan harga yang lebih murah—―(Liye, 2010:227)

Bagian sembilan belas menceritakan tentang keluarga Kesi,

teman Amelia, adik bungsu Pukat. Ada kabar tidak sedap beberapa

hari terkhir di kampung, kabar burung yang tidak jelas kebenaranya.

Menggunjing.

―Katanya orang-tua Kesi akan bercerai, Mak?‖ Aku memecah

keheningan jalan setapak. Ujung-ujung rumput teki mengenai betis

kami yang basah.

―Kata siapa?‖ Mamak menjawab tidak tertarik.

―Tadi ibu-ibu di pemandian bicara tentang itu.‖

―Oi, Kau seperti tidak ada topik yang lebih baik untuk dibicarakan.‖

Mamak menyergah ketus, melambaikan tangan. (Liye, 2010:249)

Bagian dua puluh masih menceritakan tentang keluarga Kesi,

dan Samsurat kakaknya, kabar burung akan perceraian orang tua kesi

makin melebar kemana-mana. Peringai Samsurat yang memang

mempunyai gangguan jiwa sejak kecil juga menjadikan kabar ini

semakin lezat untuk dibicarakan, mamun tetap saja kabar tersebut

tidak ada benarnya.

Orang tua kesi memang baik-baik saja. Meski dengan takdir

anak sulungnya tidak waras, orang-tua Kesi sejak tiga puluh tahun

silam tetap akur, bahagia, juga hingga hari ini.

Muasal semua gunjingan bermula dari tetangga rumah kiri-

kanannya yang sering mendengarkan Samsurat berteriak-teriak,

lantas juga teriakan orang-tua Kesi yang berusaha mengendalikan

Samsurat, gatal mulut mengartikannya mereka sedang bertengkar.

Maka melesatlah gunjingan itu. Diawali dengan bisik-bisik mereka

hanya bertengkar karena perangai Samsurat, lantas berkembang

menjadi mereka hendak bercerai. (Liye, 2010:268)

Bagian dua puluh satu menceritakan tentang pembukaan hutan

untuk lahan pertanian (menanam padi), pekerjaan membuka hutan

bukan perkara yang mudah, diperlukan tenaga ekstra, kehati-hatian,

dan juga kesabaran. Bapak, Bakwo Dar dan delapan pria dewasa

lainnya siap membuka lahan, tak lupa dibantu Pukat, Burlian, dan

Can.

‗Membuka hutan‘ adalah ritual panjang, tidak selesai dalam

hitungan bulan. Maka demi mendengar kabar baik itu, kami bersiap

atas segala kesenangan sepanjang musim kemarau dan musim

penghujan. Aku belum pernah mengalaminya langsung selama ini,

tetapi aku yakin ini akan seru. (Liye, 2010:278)

Bagian dua puluh dua masih menceritakan tentang panjangnya

ritual membuka hutan. Banyak yang harus dilakukan, membatasi

lahan yang akan dibuka, menebang pohon-pohon, menunggunya

kering, membakar, dan kegiatan panjang lainya. Semua ini dilakukan

untuk mendapatkan lahan pertanian (menanam pagi), sungguh bukan

hal yang mudah untuk mendapatkan sebulir beras.

―Ya Rabb, yang maha pemberi rezeki, ijinkanlah kami

membakar hutan ini! Ijinkan kami merusak sedikit untuk kebaikan

yang lebih banyak.‖

―Ya Rabb, berkahilah semuanya. Amin.‖ Bakwo Dar sudah

menutup doa.(Liye, 2010:299)

Bagian dua puluh tiga menceritakan proses panjang sebulir

beras. Setelah berhasil membuka hutan, kini saatnya memulai bertani

(menanam padi). Mulai dari menebar benih, menanam padi, memberi

pupuk, memanen, menjemur gabah, sampai akhirnya dapat menjadi

nasi. Perjalanan panjang yang mengajarkan banyak hal pada Pukat.

―Bagi kami, petani adalah kehidupan. Proses panjang

menghargai kasih-sayang alam dan lingkungan sekitar, proses

panjang dari rasa syukur kepada yang MahaKuasa. Lihat, padi-padi

ini tumbuh subur, tapi hanya dengan kebaikan Tuhan-lah, esok-lusa

akan muncul bulir-bulir padi yang banyak. Kita tidak pernah bisa

menumbuhkan padi, membuatnya berbuah, kita hanya bisa membantu

prosesnya.‖ Bapak tersenyum melihat aku dan Burlian yang ber-hah

kepedasan. Bapak menjulurkan gelas air.

―Boleh jadi semua padi-padi ini tidak berbuah. Boleh jadi ada

hama menyerangnya. Boleh jadi seluruh kerja keras kita, kalian yang

pernah terperangkap rotan setan, Burlian yang pernah berhari-hari

minta disuapi makan karena nyeri-pegal, terjebak di dalam nyala api,

boleh jadi semuanya sia-sia.‖ (Liye, 2010:313)

Bagian dua puluh empat menceritakan kepergian Wak Yati, wak

Yati terjatuh saat membantu panen padi di ladang, penyakit tua,

beberapa kali Wak Yati dibawa ke rumah sakit. Bertahan empat belas

hari, itupun setiap hari Wak Yati selalu minta pulang, dan saat

diperbolehkan meninggalkan rumah sakit justru takdir berkata lain.

Saat diperjalanan pulang ke rumah, wak Yati telah pulang terlebih

dahulu.

―Syahdan, Nurmas …. Kalian akan mengurus seluruh ladang dan

rumah panggungku.‖ Wak Yati menyeka ujung matanya. Urusan ini

berat sekali untuk Wak Yati, seharusnya dia menyampaikan wasiat ini

dalam situasi yang lebih baik, bukan di atas kereta api yang melaju

kencang siap melewati terowongan. (Liye, 2010;332)

Kisah Pukat berakhir dengan cerita kepulanganya ke

kampung untuk berseru pada Wak Yati bahwa Pukat telah

menemukan arti dari teka-teki terakhir yang Wak Yati berikan.

Harta karun paling berharga di kampung ini adalah anak-anak,

anak-anak kampung. Di tengah kesibukanya di Amsterdam untuk

kuliah mengejar gelar doktoral Pukat menyempatkan pulang ke

kampung, dan mengejutkannya lagi adalah Pukat pulang dengan di

jemput Raju dan Saleha Istrinya.

3. Unsur Intrinsik Novel

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya

sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra

hadir. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur yang (secara

langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan berbagai unsur

intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau

sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang pembaca, unsur-unsur

(cerita) inilah yang akan di jumpai jika kita membaca sebuah novel.

Unsur yang dimaksud adalah penokohan, tema, latar, sudut pandang

penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain. (Nurgiyantoro,

2007:23)

Adapun unsur-unsur intrinsik dalam novel Pukat ini adalah:

a. Tema

Tema dalam novel ini adalah tentang kampung pedalaman

Sumatera yang begitu indah, damai, sederhana, penuh dengan teka-

teki dan begitu menghargai alam. Perkampungan yang menjunjung

tinggi nilai kejujuran, begitu pula keluarga Syahdan, yang turun

temurun menjadi orang yang berpengaruh banyak pada kampung

termasuk ke-empat anaknya, Eliana, Pukat, Burlian dan Amelia.

Pukat anak ke-dua-nya yang cerdas, mampu menghubungkan

banyak hal menjadi salah satu harta yang paling berharga di

kampung.

b. Penokohan

1) Pukat

Pukat merupakan tokoh utama dalam novel ini, Pukat

merupakan anak yang cerdas, mempunyai kemampuan yang

baik dalam membaca situasi.

―Dalam urusan ini ternyata Bapak kau keliru.‖

Komandan tentara itu tersenyum lebar, ―Kau Pukat si anak

yang pintar … tapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak

jenius.‖ (Liye, 2010:32)

2) Eliana

Eliana adalah kakak sulung Pukat, Eliana adalah anak

yang rajin, selalu membantu Mamak menyelesaikan pekerjaan

rumah, sayang terhadap adik-adiknya, namun perangainya

seakan tidak peduli, itu adalah cara Eliana mendidik adik-

adiknya agar terbiasa mandiri.

―Lihat, Ayuk Eli menjemput kita.‖

Puuh, aku mendengus, menepiskan tangan. Tidak mungkin Ayuk

Eli mau menjemput, itu bakal jadi keajaiban dunia ke-8.

Mamak juga tidak mungkin, pasti sibuk mengurus apalah di

rumah. Tetapi siapa yang mau-maunya datang? Karena hanya

kami bertiga yang masih ada di sekolahan, mungkin Bu Bidan

yang menjemput Saleha. Itu lebih masuk akal. (Liye, 2010:56)

3) Burlian

Burlian adalah adik Pukat, anak ketiga Bapak dan Mamak.

Burlian adalah anak yang mempunyai rasa ingin tahu yang

tinggi, terkadang ceroboh dan suka bergurau.

―Aduh bagaimana ini, karcis Burlian tidak ada, Pak.‖ Suara

Burlian mulai mengeras, cemas.

―Kau cari dululah.‖ Bapak menoleh sekilas.

Aku ikut menatap Burlian yang sibuk. Sudah biasa pemandangan

seperti ini, sama halnya saat di stasiun kampung tadi ketika

Burlian memaksa menyimpan sendiri karcis keretanya. Dia

selalu saja sok-tahu dan seperti biasa, ujung-ujungnya justeru

mengacaukan semuanya. (Liye, 2010:5)

4) Mamak

Mamak adalah sosok yang sangat penyayang, rela

melakukan apapun untuk anak-anaknya, mendidik anak-

anaknya dengan tegas, sosok Mamak yang luar biasa.

―Kau terlalu keras pada Pukat.‖

―Tidak. Dia sudah tau aturan mainnya‖

―Oi, urusan ini bukan sekedar aturan main, kesepakatan, sanksi.‖

―Tentu saja. Urusan ini tentang berdisiplin. Anak-anak itu harus

disiplin. Tahu kapan bekerja, tahu kapan bermain. Apa pula

yang dikerjakan dia, setiap hari hanya dihabiskan menonton

televisi. Tidak ada manfaatnya.‖ (Liye, 2010:195)

5) Bapak

Bapak adalah sosok yang bijaksana, sabar, disegani warga

kampung, dan selalu memberikan nasehat baik untuk anak-

anaknya.

―Padahal kita belum bicara yang lebih luas dari itu. Rasa

peduli, kasih-sayang dengan anak-anak di sekitar, keinginan

untuk saling membantu, keinginan untuk membuat hidup lebih

baik. Kita belum bicara tempat kita bekerja, tempat kita

beribadah, tempat kita sekolah, termasuk tempat kita

berbelanja memenuhi kebutuhan hidup.‖ Bapak tersenyum

bijak menatap wajah-wajah kami, yang belum mengerti benar

kemana arah pembicaraan. (Liye, 2010:237)

6) Raju

Raju adalah teman karib Pukat, teman baik yang

mempunyai perangai tidak mau kalah, selalu menjadi yang

terbaik ketika bermain bola air, dan yang pasti selalu menjadi

teman terbaik Pukat sampai kapapun.

―Siapa lagi yang mau bercapai-capai menjemput kau di

bandara selain aku?‖ Raju tergelak, lompat memelukku erat-

erat. ―Kau mau ku terbangkan sekarang juga menuju kampung

kita?‖ (Liye, 2010:343)

7) Lamsari

Lamsari adalah teman sekelas Pukat yang polos, selalu

jujur, dan baik hatinya.

Pak Bin tertawa, melambaikan tangan, ―Kawan kau yang

satu itu tidak akan berani mencuri, Pukat. Perangai yang baik

selalu datang karena pengaruh keluarga, teman dan orang

sekitar. Lamsari punya teman yang baik di sekolah ini. Punya

teladan dari orang-orang tua di sekitarnya. Ah, pemuda itu

tadi dulunya juga anak yang baik, jujur. Mungkin karena keliru

berteman di kota kecamatan, salah bergaul, berubahlah sifat

dan pemahamanya.‖ (Liye, 2010:165)

8) Can

Can adalah teman sekelas Burlian, tetapi juga menjadi

teman bermain Pukat. Perangainya suka bergurau, teman yang

baik, dan suka membantu.

―Sebutkan 100 nama buah yang berakhiran huruf K‖ Can

memecah suara derik serangga, mengajak bermain tebak-

tebakan. Bosan menunggu proses pembakaran dimulai.

―Seratus? Tidak mungkin sebanyak itu.‖ Aku membantah

pertanyaan tebak-tebakan Can, tidak masuk akal.

―Mungkin kau saja yang tidak tahu jawabanya.‖ Can menyeringai.

(Liye, 2010:296)

9) Nek Kiba

Nek kiba adalah guru mengaji di kampung, Nek Kiba

sudah tua, namun semangatnya mengajar anak-anak kampung

mengaji tidak penah surut. Bukan hanya mengaji, Nek Kiba

juga mengajarkan banyak hal pada anak-anak kampung.

Termasuk kejujuran.

―Camkan kalimat ini Amel, orang-orang yang

bersungguh-sungguh jujur, menjaga kehormatannya, dan

selalu berbuat baik kepada orang lain, maka meski hidupnya

tetap sederhana, tetap terlihat biasa-biasa saja, maka dia

sejatinya telah menggenggam seluruh kebahagiaan dunia.

Kejadian celengan ini tidak terlalu luar biasa dibandingkan

dengan orang-orang berhati mulia lainya. Kau tahu Amel,

Mamak kau…. Ya, Mamak kau adalah salah satu pemilik

pengalaman hebat di kampung ini. Atas keteguhan hatinya

menjaga prinsip hidup, atas ketabahanya melewati cobaan, aku

melihat sendiri ketika seluruh kampung bercahaya.‖ (Liye,

2010:164)

10) Wak Yati

Wak Yati adalah kakak perempuan Bapak, Wak Yati

sudah tua, dan dituakan di kampung. Wak Yati menjadi satu-

satunya orang yang bisa berbahasa Belanda di kampung,

pengetahuanya Luas, pandai membuat songket, dan pandai

membuat teka-teki untuk Pukat.

―Ini pasti bahasa belanda, Wak.‖ Mang Dullah

menjulurkan salah satu buku dari kotak, ―Karena di kampung

ini hanya Wak satu-satunya yang bisa bahasa itu, maka kami

memanggil Wak Yati.‖ (Liye, 2010:223)

―Langit tinggi bagai dinding, lembah luas ibarat

mangkok, hutan menghijau seperti zamrud, sungai mengalir

ibarat naga, tak terbilang kekayaan kampung ini. Sungguh tak

terbilang.‖

―Ini teka-teki Wawak yang paling hebat, Pukat. Inilah

teka-teki yang Wak Yati ciptakan sendiri, Bukan dari dongeng-

dongeng tua kakek-nenek kau.‖ Wak Yati tersenyum—meski

aku tidak bisa melihatnya, aku tahu Wak Yati sedang

tersenyum. Suara seraknya bergetar, menahan rasa haru.

(Liye, 2010:334)

11) Pak Bin

Pak Bin adalah guru Pukat di sekolah, Pak Bin

mempunyai pengetahuan yang luas, seperti segala sesuatu

diketahui Pak Bin. Pak Bin guru yang baik, sabar, dan selalu

memberikan PR.

Teman-teman di kelas menepuk dahi masing-masing,

mengeluh. Lamsari bahkan terlihat seperti mau pingsan. Lagi-

lagi PR tambahan—sudah dua, padahal jam pelajaran jauh

dari selesai. Pak Bin tertawa melambaikan tangan, ―Kerjakan

dengan baik. Dan kau Lamsari, sekali lagi Bapak tahu kau

mencontek, Bapak hukum kau piket selama sebulan.‖ (Liye,

2010:78)

c. Alur

Alur yang digunakan dalam novel Pukat ini adalah campuran

(maju-mundur). Hal ini dibuktikan dengan penggunan kata minggu

ini, jaman itu, esok lusa, esok pagi, tahun lalu, dan sebagainya.

Kilau petir menyambar samar, disusul gemerutuk panjang

suara guntur, langit dipenuhi awan hitam, angin kencang

menerpa wajah, membuat anak rambut beriap-riap. Minggu-

minggu ini seharusnya sudah masuk musim penghujan, boleh

jadi sore ini akhirnya hujan turun lebat setelah berbulan-bulan

kemarau mengungkung kampung. Kabar baik bagi seluruh

penduduk, itu artinya benih padi sudah bisa mulai ditabur.

(Liye, 2010:35)

Hari itu, siang itu, gerhana matahari total membungkus

kampung kami saat renovasi masjid akan dimulai. Jaman itu

tidak ada yang memberi kabar lewat televisi hitam-putih punya

Bapak kapan tamu spesial ini akan datang. Tidak ada juga yang

menjelaskan seperti apa rasanya gerhana matahari, kecuali

buku-buku pelajaran yang sadanya. (Liye, 2010:218)

d. Latar

1) Latar Waktu

a) Pagi Hari

Aku sekarang bangun lebih pagi. Di saat Amelia dan

Burlian masih menguap membereskan tempat tidur, aku

sudah bergegas ke rumah Ibu Ahmad. (Liye, 2010:145)

b) Siang Hari

Hari itu, siang itu, gerhana matahari total

membungkus kampung kami saat renovasi masjid akan

dimulai. Jaman itu tidak ada yang memberikan kabar lewat

televisi hitam-putih punya Bapak kapan tamu spesial ini

akan datang. Tidak ada juga yang menjelaskan seperti apa

rasanya gerhana matahari, kecuali buku-buku pelajaran

yang seadanya. (Liye, 2010:218)

c) Sore Hari

Sore harinya.

Klotak-klotak alat tenun terdengar berirama seiring gerakan

tangan Ayuk Eli. Amelia dan Burlian duduk di pojok sambil

bermain congkak. Sementara aku asyik melukis sesuatu di

buku gambar. Kami tidak bertahan lama menonton orang

dewasa bekerja keras di masjid, setelah kepala sakit terus

mendongak, bosan bermain (karena dilarang terus

berkejaraan di sekitar masjid, khawatir terkena jatuhan

genteng, terinjak paku atau tersenggol apalah), kami ke

rumah Wak Yati. Ayuk Eli melanjutkan belajar menenun.

(Liye, 2010:219)

d) Malam Hari

Kami melanjutkan makan malam dengan membahas

soal lain. Burlian dan Amelia berebut bercerita soal

kejadian di sekolah tadi siang – Can dan Mujib ketahuan

meletakkan kotoran ayam di kelas tiga, mereka sedang

bertengkar antar kelas. (Liye, 2010:116)

2) Latar Tempat

a) Gerbong Kereta Api

Burlian menyeringai, menggaruk kepalanya yang

tidak gatal, menoleh kepadaku. Aku yang sedang lamat-

lamat memperhatikan penumpang di seberang bangku tidak

terlalu memperhatikan wajah sebal Burlian. Gerbong

penumpang jaman itu hanya memiliki dua lajur tempat

duduk, memanjang saling berhadap-hadapan dari ujung ke

ujung. Lantas lorong di tengahnya dipenuhi dengan barang

bawaan. (Liye, 2010:2)

b) Sungai

―AWAAS!‖

BUUMM!

―AWAAASS!‖

BUUMM!

Aku dan Burlian yang berenang mengambang di permukaan

sungai menyeka wajah dari cipratan air. Kencang sekali

debum mereka kali ini, sengaja benar menghantamkan

badan ke permukaan air, ingin terlihat paling hebat. Can

dan Lamsari bereng mendekat. (Liye, 2010:36)

c) Dalam Kelas

Hujan turun saat pembelajaran dimulai. Aku menatap

langit gelap dari jendela kelas. Gerimis. Mungkin ada

jutaan bulir air yang jatuh ke bumi. Kaca jendela terlihat

mengembun. (Liye, 2010:47)

d) Rumah Wak Lihan

Tenda belakang rumah Wak Lihan dipenuhi panci-

panci besar. Uap mengepul mengeluarkan aroma lezat,

beberapa ibu-ibu tetangga cekatan mengisi mangkok-

mangkok, mengaduk-aduk masakan, sementara yang lain

menambah kayu bakar, menjaga nyala api tungku tetap

menyala. Kesanalah aku dan Burlian melangkah. (Liye,

2010:18)

e) Warung Ibu Ahmad

Anak-anak berkerumun di depan warung yang

terbuka.

―Memangnya Ibu Ahmad sudah jualan lagi, ya?‖ Lamsari

yang berdiri paling depan bertanya. Melongok-longok

melihat ke dalam. (Liye, 2010:142)

f) Rumah Nek Kiba

Aku yang duduk di sebelah Burlian dan Amelia

menghentikan mainan duri landak – sebagai penunjuk

bacaan Al-Qur‘an. Rumah panggung Nek Kiba dipenuhi

puluhan anak-anak mengaji, hampir semua anak-anak

kampung belajar padanya. Mengingat Nek Kiba sudah

empat puluh tahun mengajar mengaji, maka bisa dikatakan

nyaris semua penduduk kampung bisa membaca huruf Arab

karena dia. (Liye, 2010:155)

g) Rumah Wak Yati

Amelia dan Burlian berlarian menaiki anak tangga

rumah Wak Yati, membuat suara derak papan. Saling sikut,

saling mendahului. Ingus Amelia tercecer jorok, tidak

peduli, menyeka hidungnya yang berlendir-meski lagi pilek,

dia tetap semangat bersaing dengan Burlian (Liye,

2010:171)

h) Ruang Makan

―Oi, apa film kartun kau tadi bisa membuat

kenyang?‖ Mamak sudah berdiri disebelah kursiku.

Aku agak kaget, mendongak.

Apa kau tidak malu berada di meja makan, hah? (Liye,

2010:192)

i) Beranda Rumah

Aku tidak menjawab, membalikkan badan

membelakangi, tidur di kursi rotan beranda rumah. Malam

beranjak larut, langit mendung mengusir bintang-

gemintang, angin lembah berhembus kencang, membuat

udara semakin dingin. Ini untuk yang ketiga kalinya Bapak

menyuruhku masuk. (Liye, 2010:193)

j) Kamar Pukat

―Perutmu seharian tidak tersentuh makanan, Pukat.‖

Aku mendengus dalam hati, bahkan lebih bukankah kemarin

malam Mamak melarangku makan. Aku memutuskan

menatap langit kamar-kamar. (Liye, 2010:200)

k) Masjid

Hidangan mulai dihamparkan. Ada empat tikar besar

dibentangkan di dalam masjid, dikelilingi tetua dan orang

dewasa laki-laki. Empat tikar besar lainnya dibawah

masjid, dikelilingi tetua, Ibu-ibu dan gadis remaja. Lima

tikar lainnya di halaman, dikerubuti tidak jelas oleh

Amelia, Burlian, dan teman-temannya. Saling sikut, saling

berebut. (Liye, 2010:212)

l) Pasar Kalangan

Pagi ini aku dan Burlian menemani Mamak ke pasar

kalangan. Pasar ini istimewa, hanya buka selama empat

jam, sejak pukul enam pagi ini dan itupun hanya seminggu

sekali, setiap hari Kamis, di kota kecamatan. Jangan

bayangkan ada bangunan bertingkat, lantas lapak-lapak

permanen seperti pasar di kota besar, pasar kalangan

hanya lapangan luas, lantas pedagang membawa tikar,

terpal atau alas lainya, sembarang menghamparkan jualan.

(Liye, 2010:231)

m) Ruang Guru

―Nah, Pukat… Ruangan guru sekarang sudah lebih

gelap, meski tetap tidak lebih gelap dibandingkan semalam

saat kau melihat Samsurat di bawah pohon mangga.‖

Petugas itu tersenyum kepadaku. (Liye, 2010:266)

n) Hutan

Seminggu berlalu, saat kami kembali ikut membantu

Bapak, hutan seluas satu hektar itu sudah separuh

terpangkas. Batang pohon bergelimpangan, semak belukar

yang dipotong sebulan lalu mulai layu. (Liye, 2010:291)

o) Ladang

Benih padi tumbuh cepat. Belum puas kami berlarian

di atas tanah hitam-gembur, menangkapi belalang yang

banyak berkeliaran, batang padi sudah tumbuh beberapa

jengkal. Giliran Amelian yang sekarang senag bermain di

ladang, tertawa riang merasakan ujung-ujung daun padi

menyentuh betisnya. Embun pagi yang tersisa membuat

roknya basah. Dan entah dari mana datangnya, capung

warna-warni memenuhi ladang padi. (Liye, 2010:309)

e. Sudut Pandang

Pada novel Pukat, pengarang (Tere Liye) mengunakan sudut

pandang orang pertama, berperan langsung dalam cerita.

Aku yang meski sering sebal dengan tingkah laku Burlian

karena dia memang terbiasa menghilangkan sesuatu--- ikut

membantu mencari. Kasihan juga lama-lama melihat tampangnya.

(Liye, 2010:6)

f. Gaya Bahasa

Gaya bahasa yang sering muncul dalam Novel Pukat adalah

gaya bahasa Personifikasi. Adapun contoh-contohnya adalah

sebagai berikut:

1) Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah belantara

hutan. (Liye, 2010:3)

2) Sore semakin matang, langit semakin gelap. (Liye, 2010:39)

3) Siang ini hujan deras membasuh halaman sekolah. (Liye,

2010:89)

g. Amanat

Amanat dalam novel ini adalah mengajarkan untuk banyak

berfikir, terus belajar, memahami segala yang ada di sekitar.

Menghormati orang yang lebih tua, menyayangi sesama dan

mengeyomi yang lebih muda. Pukat anak yang cerdas, pandai

menghubungkan sebab akibat yang ada di sekitarnya.

B. Biografi Penulis

Darwis atau yang biasa di panggil Tere Liye untuk nama penanya

adalah pria yang lahir di Lahat 39 tahun yang lalu, lebih tepatnya 21 Mei

tahun 1979. Tere Liye yang di kenal sebagai penulis novel ini juga bekerja

sebagai akuntan. Tere Liye mulai menulis novel sejak tahun 2005, karya-

karyanya banyak yang mendapatkan penghargaan best seller. Bahkan

novel Hafalan Shalat Delisa dan Moga Bunda Disayang Allah telah di

angkat ke layar lebar.

Tere Liye adalah alumni dari Fakultas Ekonomi di Universitas

Indonesia, beliau mempunyai seorang istri bernama Riski Amelia dan di

karuniai dua orang anak, Abdullah Pasai dan Fizah Azkia.

Berbeda dengan penulis-penuis yang lain, pembaca akan sulit

mencari biografi Tere Liye dalam novelnya. Ketika penulis-penulis lain

selalu mennyertakan biografi dan foto diri di belakang novelnya, maka

berbeda dengan Tere Liye. Tidak ada satupun novel karya Tere Liye yang

mencantumkan biografi di dalamnya, di bagian belakang novel hanya

tertera cara menghubungi beliau melalui akun facebook dan blog.

Pembaca hanya bisa mendpatkan informasi singkat mengenai kehidupan

Tere Liye dalam laman-laman tertentu di dunia maya.

C. Karakteristik Novel Karya Tere Liye

Setiap penulis pastilah mempunyai karakteristik sendiri-sendiri

dalam setiap novelnya. Novel karya Pidi Baiq pastilah berbeda dengan

novel karya Asma Nadia, novel karya Asma Nadia pastilah berbeda

dengan novel Karya Dee Lestari, novel Karya Dee Lestari akan berbeda

dengan novel krya Habiburrahman. Begitu pula karakteristik penulisan

novel Tere Liye.

Dalam setiap novelnya Tere Liye selalu menyuguhkan hal-hal baru

bagi pembacanya, pembaca seolah-olah berada dalam kejadia-kejadian

dalam novel yang dibacanya. Tere Liye tidak hanya mampu mengolah kata

sedemikian indahnya, namun juga memberikan pemahaman-pemahaman

baru bagi pembaca dan menambah wawasan pembaca.

Dalam setiap novelnya Tere Liye banyak memasukkan unsur-unsur

agama, pemahaman mengenai ibadah, akhlak, kejujuran, dan masih

banyak lagi. Judul-judul novel Tere Liye juga selalu menjadi misteri,

membuat pembaca penasaraan akan isi dari novel tersebut. Novel Tentang

Kamu misalnya, sekilas membaca judulnya yang ada di benak pembaca

adalah novel tentang percintaan. Namun perkiraan itu salah, novel Tentang

Kamu justru berisi tentang sejarah. Itulah salah satu keunikan Tere Liye,

selalu menyuguhkan kejutan dalam setiap karyanya.

D. Karya-karya Tere Liye

Tere Liye merupakan penulis yang cukup mempunyai nama di

Indonesia, karya-karyanya selalu di tunggu para pecinta sastra (Novel),

banyak dari karya-karya Tere Liye yang mendapatkan penghargaan novel

best seller, seperti halnya novel Pukat ini.

Adapun beberapa novel karya Tere Liye yang tersebar di seluruh

Indonesia adalah sebagai berikut:

1) Hafalan Shalat Delisa (Republika, 2005)

2) Kisah Sang Penandai (Mahakata, 2005)

3) Bidadari-Bidadari Syurga (Republika, 2008)

4) Burlian (Republika, 2009)

5) Pukat (Republika, 2010)

6) Eliana (Republika, 2011)

7) Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah (Gramedia Pustaka Utama,

2012)

8) Amelia (Republika, 2013)

9) Daun Yang Jatuh Tak Pernah Mebenci Angin (Gramedia Pustaka

Utama, 2013)

10) Sunset Bersama Rosie (Mahaka, 2013)

11) Bumi (Gramedia Pustaka Utama, 2014)

12) Rindu (Republika, 2014)

13) Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta (Gramedia Pustaka

Utama, 2014)

14) Bulan (Gramedia Pustaka Utama, 2015)

15) Pulang (Republika, 2015)

16) #aboutlove (Gramedia Pustaka Utama, 2015)

17) Matahari (Republika, 2016)

18) Hujan (Gramedia Pustaka Utama, 2016)

19) Tentang Kamu (Republika, 2016)

20) Moga Bunda Disayang Allah (Republika, 2016)

BAB III

DESKRIPSI PEMIKIRAN

A. Gaya Bahasa Personifikasi

Gaya bahasa adalah cara pengungkapakan pikiran melalui bahasa

secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai

bahasa). (Keraf, 1985:13)

Dalam karya-karyanya Tere Liye juga mempunyai bahasa yang khas

yang memperlihatkan kepribadian dirinya sebagai penulis, yang tidak akan di

temui pada karya-karya orang lain, hal tersebut juga terdapat dalam novel

Pukat. Dalam novel ini terdapat banyak gaya bahasa yang digunakan, namun

yang banyak muncul dan mendominasi novel Pukat adalah gaya bahasa

personifikasi.

Gaya bahasa personifikasi sendiri adalah semacam gaya bahasa kiasan

yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak

bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. (Keraf, 1994:140)

Berikut adalah kutipan novel Pukat yang menunjukan gaya bahasa

personifikasi:

1. Meski si ular besi ini sudah menjadi bagian kehidupan kampung, dengan

suara klaksonnya yang tidak pernah alpa, melengkung nyaring setiap

subuh buta dan tengah malam, sejatinya kami dan boleh jadi anak-anak

lain belum enyak yang menaiki kereta api dalam sebuah perjalanan

sungguhan. (Liye, 2010:1)

2. Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah hutan. Atap-atap

rumah yang terlihat kecoklatan dari kejauhan mulai menghilang,

digantikan hamparan hijau yang dibungkus kabut pagi, seperti buntalan

kapas putih, menyenangkan melihatnya. (Liye, 2010:3)

3. Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus

menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit. Matahari

semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye, 2010:9)

4. Selepas lengkungan itu hilang ditelan deru roda, maka saat itu seperti ada

berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi sekitar. Perlahan-

lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat remang. Aku melihat

lenganku yang semakin buram. Dan dalam hitungn sepersekian detik,

cahaya seperti ditelan kesaktian terowongan. (Liye, 2010:15)

5. Splassh, semua gelap. Seperti ada yang menampar lemut perasaanku.

Kami sudah masuk kedalam terowongan. Bagian paling misterius , paling

ditunggu dalam perjalanan ini. (Liye, 201016)

6. Dalam gelapnya gerbong, semua orang menoleh kesana-kemari berusaha

mencari tahu. Sementara laju kereta melambat dengan cepat, suara

mendecit membuat telingga nyilu, percikan kembang api menyembur dari

roda baja menggilas batangan rel. (Liye, 2010:17)

7. ―SEMUANYA DIAM DI TEMPAT!‖ Teriakan itu meningkahi hingar-

bingar, berusaha segera membekukan kekacauan, berusaha menghentikan

dengung lebah dan gerak tangan penumpang yang panik sekaligus

mencari tahu apa yang terjadi. (Liye, 2010:19)

8. Suara letusan senapan kembali merobek langit-langit gelap. Bau mesiu

tercuim pekat. (Liye, 2010:20)

9. Entah apa sasaran tembak itu, suara letusannya menggema sepanjang

terowongan. Mengerikan membayangkan apa yang terjadi, bahkan kali ini

kelepak kelelawar ikut bungkam. (Liye, 2010:23)

10. Klakson kereta tiba-tiba melengkung panjang. Belum hilang gemanya,

kereta berderak kasar, membuat penumpang yang bersitegang terjerabah

jatuh. Sepersekian detik, roda kereta mulai menjejak rel, membuat seluruh

gerbong bergerak. (Liye, 2010:25)

11. Aku dan burlian berlari lebih cepat, dalam situasi ribut seperti ini, takut

benar kehilangan punggung Bapak. Kereta juga meliuk tambah cepat,

melewati tikungan tajam, gerbong bergetar miring. Bapak berteriak

menyuruh kami berpegangan. Aku dan burlian loncat meraih apa saja

yang bisa dipegang. Karung-karung terlempar keluar. Beberap

penumpang terpelanting. Seruan-seruan tertahan. (Liye, 2010:26)

12. Kereta terus menjejak batangan rel, menuruni lembah, melintasi jembatan

panjang. Jikalau tidak dalam situasi perampokan, memandang hamparan

hijau hutan dan aliran bening sungai dengan bingkai jembatan akan

terlihat istimewa. (Liye, 2010:29)

13. Terlepas dari bumbu cerita yang semakin lezat saat kisah ini sambung

meyambung dari satu mulut ke mulut lain, rasa penasaranku atas

terowongan kereta itu sudah berakhir. Ternyata tidak ada bedanya dengan

berada di kamar tertutup tanpa penerangan. Mengingat kampung

kamibelum ada listrik, selalu gelap di malam hari, itu artinya terowongan

itu biasa-biasa saja. (Liye, 2010:33)

14. Kilau petir menyambar samar, disusul gemerutuk panjang suara guntur,

langit dipenuhi awan hitam, angin kencang menerpa wajah, membuat

anak rambut beriap-riap. Minggu-minggu ini seharusnya sudah masuk

musim penghujan, boleh jadi sore ini akhirnya hujan turun lebat setelah

berbulan-bulan kemarau mengungkung kampung. Kabar baik bagi seluruh

penduduk, itu artinya benih padi sudah bisa mulai ditabur. (Liye,

2010:35)

15. Kami tidak terlalu memperhatikan kesibukan di atas langit sana, kami

sedang asyik melompati cadas sungai. Kadang bergantian lebih sering

lompat serempak. Mandi sore yang menyenangkan. (Liye, 2010:35)

16. Meski di luar hujan deras lembali turun membungkus kampung, angin

lembah menambah dingin udara, langit-langit dapur terasa lebih hangat,

meja makan sekarang dipenuhi oleh rajukan-rajukan Ayuk Eli, Burlian

dan Amelia agar Mamak mau bercerita lebih banyak. (Liye, 2010:60)

17. Hujan deras turun membungkus halaman sekolah. Aku tidak semangat

menyambut lonceng pulang, lagi-lagi aku lupa membawa payung. Teman-

teman sibuk membereskan buku, menyandang tas, mengeluarkan payung

warna-warni, melangkah keluar ruangan, lantas beramai-ramai

menerobos hujan. Di depan kelas Burlian sudah menunggu. Menyeringai

menatapku. (Liye, 2010:69)

18. Pak Bin mengeluarkan sebuah kalender besar dari tas kusamnya. Wajah-

wajah terlongok, satu-dua semangat mendekat. Situasi kelas berubah

menjadi lebih hangat meski gerimis di luar menderas. (Liye, 2010:74)

19. Siang ini, hujan deras membasuh halaman sekolah. Aku mengembangkan

payung, Burlian berlari-lari kecil keluar dari kelasnya. Kami harus

bergegas, tadi Mamak menyuruh segera pulang, ada tumpukan karung

jengkol yang harus diurus. (Liye, 2010:89)

20. Pertandingan baru selesai saat langit semakin berat, matahari semakin

pudar. Anak-anak berlarian, berpisah di ujung jalan setapak menuju

kampung. Aku dan raju berjalan bersisihan, ujung rumput teki menyelisik

celana. (Liye, 2010:111)

21. Buaian suara air hujan menerpa genteng terdengar menyenangkan.

Bergelung kemul, sudah nyenyak sejak pukul sembilan. Malam ini televisi

kecil hitam-putih milik Bapak mati, aki-ya soak. Jadi warga yang awalnya

ramai menumpang menonton bergegas pulang. (Liye, 2010:117)

22. Hanya butuh waktu lima menit, sembilan lanting bambu siap di ujung

sungai. Tinggi air sudah sepinggang anak kecil. Hanya karena rumah

penduduk berbentuk panggung saja yang membuat perabot dalam rumah

tetap kering. Pendi dan juhan menatap ke depan, sungai yang kebarnya

hanya dua puluh meter itu sekarang berubah menjadi sungai raksaksa

selebar setidaknya dua ratus meter. Air cokelat sudah menyentuh belakang

kampung, dan boleh jadi sudah menghampar hingga ke ujung lembah.

Cahaya seter tidak berhasil menembus ujungnya. Arus air menderu-deru

dalam gelap. Gelombang bah air membuat miris telinga. (Liye, 2010:122)

23. Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan sekolah.

(Liye, 2010:129)

24. Lonceng berdentang, memutus lamunanku. Waktu ujian matematika habis.

Pak Bin di depan kelas berkata tegas, selesai tidak selesai dikumpulkan,

menarik paksa kertas jawaban Lamsari, yang sebaliknya bersikukuh

mencari-cari alasan—―Sebentar Pak. Sebentar …. Saya lupa menulis

nama.‖ (Liye, 2010:132)

25. Burlian yang memegang kaleng bergegas menggulurkan benang gelasan.

Aku berdiri di sebelahnya, mendongak menatap langit-langit kampung.

Ada sekitar dua puluh layangan di atas sana. Anak-anak dan pemuda

dewasa memenuhi lapangan, juga penduduk kampung yang asyik

menonto, menghabiskan sore. (Liye, 2010:149)

26. Dari kejauhan, terlihat salah-satu layangan putus, terbang menjauh dari

arena duel. Beberapa anak kecil dengan membawa galah bambu

berteriak, berlarian mengejarnya. Aku menyeka peluh di dahi, meski

matahari sudah mulai tumbang di ufuk barat langit sana, lapangan masih

terasa panas. Apalagi tegang menyaksikan Can tarik-ulur layangannya,

gatal tanganku ingin mengambil-alih. (Liye, 2010:149)

27. Langit mendung, kilat petir dsn dusrs geledek kembali. Musih hujan

datang lagi. Tetes air hujan di ujung-ujung genteng, gerombolan sapi

yang basah, bunga merah bogenvil menggelayut, lokomotof kereta yang

tersenggal mendaki bukit—(Liye, 2010:167)

28. Aku tidak menjawab, membalikkan badan membelakangi, tidur di kursi

rotan beranda rumah. Malam beranjak larut, langit mendung mengusir

bintang-gemintang, angin lembah berembus kencang, membuat udara

semakin dingin. Ini untuk yang ke tiga kalinya bapak menyuruh masuk.

(Liye, 2010:193)

29. Gerimis akhirnya turun. Satu butir bulir air menghujam atap genteng,

disusul dengan jutaan bulir air lain. Membuat beranda depan terasa

lembab. (Liye, 2010:194)

30. Terbangun tengah malam, lepas pukul dua. Di luar hujan membungkus

kampung. Mataku mengerjap-ngerjap menatap sekitar. Lampu canting

masih menyala di atas meja, cahaya apinya bergoyang. (Liye, 2010:201)

31. Cahaya lembut matahari menimpa atap masjid, terlihat indah. Aku

menelan ludah, akhirnya masjid ini diperbaiki. Bertahun-tahun penduduk

kampung mengumpulkan uang untuk renovasi, sepersen demi sepersen,

Dua bulan Pak Bin membantu menggambar ulang bentuk masjid,

menghiting biaya material dan peralatan, dan minggu lalu berbagai

material seperti gelondongan tiang, papan, semen, paku, genten dibeli.

Sekarang menumpuk di halaman masjid. (Liye, 2010:210)

32. Ketakutan dengan cepat menyebar di halaman masjid. Lihatlah, di atas

sana, ada bayangan raksaksa yang bersiap menelan matahari. Persis

seperti nampan (Liye, 2010:216)

33. Besar, bentuknya hitam legam, garisnya mulai bersentuhan, pinggiran

matahari sudah mulai ditelannya. Aku meneguk ludah, kakiku gemetar,

menyeramkan sekali. (Liye, 2010:216)

34. Hari itu, siang itu, gerhana matahari total membungkus kampung kami

saat renovasi masjid akan dimulai. Jaman itu idak ada yang memberi

kabar lewat televisi hitam-putih punya Bapak kapan tamu spesial ini akan

datang. Tidak ada juga yang menjelaskan seperti apa rasanya gerhana

matahari, kecuali buku-buku pelajaran yang sadanya. (Liye, 2010:218)

35. Setelah semua kembali terang, raksaksa besar itu pergi dari menelan

matahari kami, satu persatu anak-anak memberanikan diri keluar dari

masjid. Mendongak mengintip matahari. Gerhana itu sudah usai. (Liye,

2010:218)

36. Makan malam itu belanjut, ditingkahi suara sendok. ―Pak, kalau sudah

besar nanti, Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia memecah

kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye, 2010:239)

37. Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut lapangan kota

kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal, menumpahkan separuh

duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan. Minggu lalu Bapak (dan

Mamak) sudah sepakat, sepersepuluh dari uang yang kami peroleh

menjadi bagian kami. Itu berarti lebih banyak majalah bekas yang bisa

kubeli. (Liye, 2010:240)

38. Aku sudah dua kali menyuruh burlian berkeliling pasar kalangan. Survei,

siapa saja yang menjual duku dan berapa harga jual mereka. Oi,

sepertinya hargaku sudah tepat, bagaimana mungkin duku jualan kami

hanya laku sedikit. Hingga matahari mulai terik membakar ubun-ubun,

pasar kalangan mulai sepi pengunjung, beberapa pedagang melipat

kembali barang jualannya, duku yang tersisa di keranjang lebih dari

separuh. Aku menghela nafas kecewa. Sudah siang, mau bagaimana lagi,

menyuruh burlian membereskan terpal. (Liye, 2010:241)

39. Mamak tertawa, mempercepat langkah, matahari sudah semakin tumbang

di ufuk barat. Sebentar lagi adzan magrib. Amelia bersungut-sunggut

dengan tampang seperti kepiting rebus. (Liye, 2010:250)

40. Aku lebih suka musim penghujan. Lebih segar saja rasanya menatap

sekitar. Dan bagi kami anak-anak yang suka bermain bola, bermain di

lapangan becek jauh lebih seru dibnadingkan bermain di lapangan

berdebu dan panas. Musim kemarau juga serba tidak konsisten, siang hari

terasa gerah, keringat mengucur deras, malam harinya justru sebaliknya,

udara terasa dingin menusuk tulang, apalagi angin yang menembus celah-

celah papan, tidak tahan. (Liye, 2010:276)

41. Senja tiba, matahari mulai tumbang di ufuk barat sana. (Liye, 2010:288)

42. Aku kembali menyeka peluh, meski matahari mulai tumbang di ufuk barat

sana, udara musim kemarau tetap terasa gerah. Bapak berjalan di

belakang, memeriksa pekerjaan, seberapa bersih kami membuat batas

dengan hutan. Celaka kalau ada ranting yang bisa menjalarkan api ke

hutan saat proses pembakaran dilakukan. (Liye, 2010:294)

43. Hingga matahari siap menghilang di balik garis kanopi hutan, hingga

Bapak dan Mamak meneriaki kami agar bergegas pulang, ayam jago itu

tidak berhasil ditangkap. ―Besok kita bawa jala ikan saja.‖ Aku

mendesiskan ide. Burlian dan Can mengangguk sepakat. (Liye, 2010:295)

44. Terik matahari membuat gerah, Burlian menyeka peluh. Aku dan Can

sejak tadi sudah membuka kancing atas, membiarkan angin lembah

membasuh badan. Kami datang lebih awal, disuruh menemani Bapak

memeriksa garis pembatas untuk terakhir kalinya. (Liye, 2010:296)

45. Langkah kakiku terhenti. Setelah jatuh bangun, lintang pukang

menyelamatkan diri, kami akhirnya tiba di tepi hutan, hanya tinggal dua

puluh meter lagi dari garis pembatas, dekat saja, tetapi nyala api laksana

benteng tangguh menghadang. Bergemerutuk. Menyala-nyala membuat

pedas seluruh kulit. Asap cokelatnya mengepul seram, memerihkan mata.

(Liye, 2010: 301)

46. Muka Ayuk Eli seketika bersemu merah. Salah-tingkah. Amelia dan

Burlian sudah sibuk saling jawil, berkejaran lagi. Cahaya matahari pagi

lembut menerabas dedaunan, kabut masih mengungkung kanipi hutan.

(Liye, 2010:304)

47. ―LARI BURLIAN PASAI‼‖ Aku berteriak kencang, dan belum habis suara

teriakanku, Burlian sudah melesat ke depan, ikut berteriak. Tubuhnya

laksana terbang saat melompat melewati nyala api, lantas terjatuh

terguling di ujung sana. (Liye, 2010:306)

48. Dan Bapak dengan senang hati menceritakan banyak hak. Terkadang,

tanpa kami sadari seluruh ladang sudah selesai kami kelilingi, matahari

sudah muali tumbang di kaki barat sana, dan cerita itu harus berlanjut

esok hari. (Liye, 2010:318)

49. Gerimis membungkus ladang. Gemerutuk guntur memecah suara tetes air

dan derik jangkrik. Sekali-dua kilat menggurat langit gelap. (Liye,

2010:319)

50. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di

kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya

tidak sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD,

dengan nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di kota

kabupaten. Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku hanya bisa

pelang ke kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil colt yang

tersenggal melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye, 2010:324)

51. Kami terdiam mendengar kalimat-kalimat menusuk Wak Yati. Ayuk Eli

bahkan terlihat menyeka ujung matanya, menatap sedih tubuh tua Wak

Yati yang berontak di atas tempat tidur. Saa dokter keluar dari ruangan,

Ayuk Eli berlarian mengejarnya di lorong bangsal, ―Bisakah…. Bisakah

Wawak kami diijinkan pulang?‖ Dokter menghela nafas, akhirnya

mengangguk. (Liye, 2010:336)

52. Siang yang menyenangkan, gumpalan awan di atas sana membuat jalanan

kota terasa sejuk. Semilir angin memainkan ujung-ujung tudung. Aku

mengeluarkan kepala dari bawah atap dokar, mendongak, rombongan

burung terlihat terbang, warnanya putih melenguh lantang. (Liye,

2010:237)

53. Kereta api gagah mendaki bukut-bukit, menuruni lembah-lembah. Kelok

sungai terlihat elok dari ketinggian, juga air terjun di kejauhan. Mamak

benar, dari sisi mana saja pemandangan di luar sana terlihat hebat.

Pohon-pohon berpilin seperti berlari. Pedalaman Sumareta yang masih

permai. (Liye, 2010:330)

54. Kereta api seperti biasa melenguh panjang. Seperti biasa, masinisnya

tidak lupa memberi sinyal kalau kereta bersiap memasuki terowongan.

Suara klakson kereta yang menahan kelanjutan kalimat Wak Yati, serta

seruan marah Bapak.(Liye, 2010:333)

55. Selepas gaung lenguhan itu hilang ditelan deru kereta, maka saat itu juga

seperti ada berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi sekitar.

Perlahan-lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat remang. Aku

melihat lenganku yang semakin buram. Dan dalam hitungan sepersekian

detik, cahaya seperti ditelan kesaktian terowongan. Splassh. Gulita sudah.

Seperti ada yang menampar lembut perasaanku. Kami sudah masuk

kedalam terowongan. Bagian paling misterius, paling ditunggu dalam

setiap perjalanan kereta. (Liye, 2010:333)

56. Suara roda baja menjejak batangan rel sekarang berbeda. Lebih keras.

Menggema. Meski tidak sesegar sebelumnya, udara terowongan tidak

semenyeramkan yang dibayangkan. Tidak terdengar kelepak kelelawar di

luar sana. Boleh jadi memang ada ribuan di langit-langit terowongan, tapi

suara berisik mereka jelas kalah dengan deru gagah kereta. (Liye,

2010:333)

57. Malam itu hujan deras membasuh kampung. Jalanan becek, beranda

rumah panggung tampias, seluruh lampu canting dan obor dipadamkan.

Seluruh kampung dicekam ketakutan. Tubuh-tubuh meringkuk di kamar,

wajah-wajah pias. Satu saja suara letusan terdengar di luar, bisa

membuat anak-anak dan remaja tanggung terkencing di celana. (Liye,

2010:339)

58. Persis ketika semburat pertama matahari menyentuh dasar hutan,

perampok itu berhasil dikejar. Jumlah mereka tujuh kali lipat, tetapi di

tengah hutan lebat, jumlah tidak penting lagi. (Liye, 2010:340)

59. Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh kampung

saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati terisak lama,

memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa anak-anak Wak

Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak mengapa… anak-anakku

meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau telah melakukan hal yang

benar… mereka-lah harta sejati milik kampung kita. mereka-lah sungguh

harta karun paling

60. berharga kampung kita. (Liye, 2010:341)

B. Nilai Pendidikan Karakter

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat memberikan

wawasan dan nilai pendidikan lebih pada pembacanya. Dalam hal ini

pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan

berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter telah

menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial,

pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. (Harianto,

2013:43)

Pendidikan karakter dewasa ini menjadi poin penting dalam dunia

pendidikan, semua jenjang pendidikan menekankan pendidikan karakter,

terutama pada tingkat dasar (SD/MI). Penekanan pendidikan karakter ini

bahkan mengharuskan pemerintah mengubah kurikulum yang ada menjadi

kurikulum baru dengan segala keunikannya demi mendogkrak nilai pendidikan

karakter pada siswa.

Pendidikan karakter akan sangat ideal ketika ditanamkan sedini

mungkin, mengingat kondisi saat ini yang dapat dikatakan memprihatinkan

untuk anak-anak jenjang pendidikan dasar. Segala kecanggihan tekhnologi

membuat mereka lebih dewasa sebelum waktunya. Maka dalam ranah

pendidikan, hal ini membutuhkan kerjasama dari semua pihak, bukan hanya

guru sebagai pendidik di sekolah saja, tetapi juga semua lapisan masyarakat

untuk dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter untuk semua pihak

terutama anak-anak.

Terdapat delapan belas nilai karakter yang bersumber dari agama,

pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yang terdapat dalam novel

Pukat. Kedelapan belas nilai karakter tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6)

Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa ingin tahu; (10) Semangat

kebangsaan dan nasionalisme; (11) Cinta tanah air; (12) Menghargai prestasi;

(13) Bersahabat dan komunikatif; (14) Cinta damai; (15) Gemar membaca;

(16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli sosial; (18) Tanggung jawab.

(Kemendiknas, 2011:11)

Adapun kutipan nilai pendidikan karakter dalam novel Pukat adalah

sebagai berikut:

1. Religius

a. ―Perhatikan ke depan, anak-anak.‖ Nek Kiba memukulkan rotan

panjang ke lantai papan rumah panggungnya, terdengar lantang di

langit-langit ruangan. Kami yang sibuk membaca Al-Qur‘an,

Juz‘amma, atau patah-patah mengeja a-i-u huruf arab. Separuh lagi

sibuk bermain karet gelang, kartu bergambar atau sekedar permainan

jari tangan mengangkat kepala, menoleh kedepan. Tadi lepas maghrib,

meski sudah selesai menghadap. Tidak seperti lazimnya, Nek Kiba

melarang kami pulang. (Liye, 2010:155)

b. Nek kiba tertatih dengan tongkatnya terlihat riang. Menurut cerita

Ayuk Eli (yang sebelahan shaf dengan Nek Kiba), waktu shalat tadi Nek

Kiba terdengar menangis. Meski lancar, Bakwo Dar—imam shalat,

sempat bertanya kepada Nek Kiba bagaimana shalat itu harus

dilakukan. Dan kami berbaris rapi mengikuti gerakan di depan hingga

salam. (Liye, 2010:219)

c. Tiga bulan lalu, ladang padi Bapak sukses besar. Tidak kurang seratus

karung goni besar hasil panennya. Butuh seminggu lebih untuk

mengani-ani pucuk batang padi, hilir-mudik tetangga bergotong

royong. Dikurangi dengan zakat, jatah untuk tetangga yang selama ini

membantu, hasil panen tetap menyisakan puluhan karung, Bapak

menyimpn separuhnya di gudang, separuhnya lagi dijual ke kota, biaya

melanjutkan sekolahku. (Liye, 2010:324)

d. ―Berjanjilah, Pukat.‖ Wak Yati menunggu janjiku.

Aku meneguk ludah, ―Pukat berjanji Wak.‖

Wak Yati memelukku erat. Mulutnya kemudian pelan membaca shalawat.

(Liye, 2010:334)

2. Jujur

a. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap,

―Ide ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad

agar terus berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja

keperluan, ide ini juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar

saya yang memberikan pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-

kali ke mereka. Insya Allah, tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)

b. ―Memang tidak ada yang melihat kalian, tetapi Allah…. Allah sungguh

melihat kalian.‖ Nek Kiba, guru mengaji kami sengaja mengosongka

jadwal tartil malam itu, dia menceramahi kami panjang lebar tentang

kejujuran. ―Jangan pernah berikan kesempatan niat jahat itu datang.

Sekali-kali jangan. Karena sekali-kali terbiasa, maka kalian dengan

mudah bisa bertingkah lebih jahat lagi.‖ (Liye, 2010:144)

c. ―Tenang, tidak sepersen pun uangnya berkurang. Apa kata Nek Kiba,

‗Kalian jangan pernah mencuri, sesulit apapun hidup dan nafsu dunia

merusak kalian. Kejujuran adalah segalanya‘. Nah kau mau main

layangan bersamaku sekarang? Si Juha menunggu di lapangan

Stasiun.‖ Can menirukan suara berat Nek Kiba, nyengir lebar, lantas

menunjukkan layangan kuningnya. (Liye, 2010:169)

3. Toleransi

Setengah jam berlalu, sisa kawanan itu mulai terhitungdengan

situasi, mereka melarikan diri ke hutan lebat. Dari sepuluh anak yang

diculik delapan diantaranya selamat. Dua meninggal tertembus timah

panas, dan dua-duanya adalah anak Wak Yati. Tidak ada yang tahu,

senapan angin siapa yang telah mengenai anak Wak Yati, yang pasti sejak

saat itulah Bapak bersumpah tidak akan menembak. Dan sejak saat itulah

Wak Yati hidup sendiri.

Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh

kampung saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati

terisak lama, memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa

anak-anak Wak Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak mengapa…

anak-anakku meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau telah

melakukan hal yang benar… mereka-lah harta sejati milik kampung kita.

mereka-lah sungguh harta karun paling berharga kampung kita. (Liye,

2010:341)

4. Disiplin

―Bapak punya pulpen di tas, dua malah. Bapak lihat Lamsari di

sebelahmu juga punya cadangan dua pulpen… Sayang, aturan adalah

aturan, Pukat. Kita dihargai bukan karena kita seram, galak apalagi

berkuasa, kita dihargai karena menegakkan aturan main. Kau sudah tau

sendiri resikonya.‖ Pak Bin menyeringai tipis melambaikan tangan. (Liye,

2010:126)

5. Kerja Keras

Tidak ada lelaki di rumahnya, Raju berubah menjadi ‗Kepala

keluarga‘. Ibunya hanya punya sepetak kecil ladang karet, meski di sadap

setiap hari, getah karetnya tidak mencukupi. Maka Raju ringan tangan

ikut bekerja. Wak Lihan salah satu bos Raju yang paling sering menyuruh-

nyuruh. (Liye, 2010:113)

6. Kreatif

a. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru sajamistarnya, kau beri

tanda senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu

duduk, mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan.

Yang lain menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu.

Sebenarnya aku hanya mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan

mistar panjang milikku, lantas mengantinya dengan karton yang

dipotong mirip mistar, kemudian diberikan garis senti-sentinya. (Liye,

2010:130)

b. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap,

―Ide ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad

agar terus berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja

keperluan, ide ini juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar

saya yang memberikan pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-

kali ke mereka. Insya Allah, tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)

c. ―Bagus kan, Wak?‖ Ayuk Eli mengenakan songket karyanya. Mematut-

matut di depan cermin tua Wak Yati.

―Natuurlijk, tentu saja, ini songket paling bagus yang pernah Wawak

lihat.‖ Wak Yati tersenyum, memperbaiki posisi kain di pinggang Ayuk

Eli. (Liye, 2010:177)

7. Mandiri

―Kalian harusnya mengerti, sejak Ayuk Eli sekolah di kota, tidak

ada lagi yang membantu Mamak mengurus rumah. Mencuci, menyiapkan

makanan, membersihkan rumah, semua dikerjakan sendirian. Belum lagi

Mamak setiap hari harus ke ladang, menyiangi rumput ilalang,

memangkas tunas kopi, dan pekerjaan kampung lainya, seperti sekarang

di rumah Wak Yati. Amel harusnya bisa membantu dengan merapikan

tempat tidur. Burlian bisa membantu dengan tidak menambah beban

pikiran Mamak, selalu menghabiskan sarapan. Mudah, kan (Liye,

2010:185)

8. Demokratis

―Kau punya cita-cita apa, Pukat? Bapak bertanya lagi.

―Pe-ne-li-ti.‖ Aku menjawab malu-malu.

―Oi, binatang apa pula itu?‖

―Kata Pak Bin, itu orang yang tau jawaban semua pertanyaan.‖

Bapak menepuk dahinya, ―Kalau begitu cocok sekali dengan kau, Pukat. Kau

memang selalu tahu jawaban semua pertanyaan. Apa Pak Bin juga bilang

masih berapa tahun lagi kau harus sekolah agar bisa menjadi peneliti

yang hebat?‖

Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali. . . SD, SMP,

SMA, universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum ada

di sini. Harus pergi ke negara jauh sana.‖

―Kalau begitu, semoga kami masih hidup saat kau sudah menjadi peneliti

yang hebat, Pukat. . . . Wak Yati, Bakwo Dar, Pak Bin, terlebih-lebih

Mamak kau, ingin sekali melihat kau menjadi orang.‖ (Liye, 20101:320-

321)

9. Rasa ingin tahu

Aku menyeringai, mengaruk kepala yang tidak gatal. Sepertinya

seru sekali bentuk masjid yang digambar Pak Bin, ada kubah besar dan

menara tingginya. Pak Bin tertawa, menutup pekerjaanya, menunjuk jam

di dinding—sebentar lagi lonceng masuk. (Liye, 2010:166)

10. Semangat kebangsaan dan nasionalisme

a. Lima belas menit kemudian saat kereta tiba di kota kabupaten, seluruh

peron sudah di kepung oleh puluhan petugas dan tentara. Penumpang

diminta turun satu-persatu. Kecemasan bapak terbukti, jika hanya

mengandalkan pemeriksaan lisan, tidak akan mudah membedakan

penumpang dengan gerombolan perampok. Penyamaran mereka

sempurna, dan jumlah enam ratus penumpang melelahkan petugas.

Tetapi mereka sekarang punya senjata pamungkas: aroma bubuk kopi.

(Liye, 2010: 30)

b. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami

melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acan menumpang dokar,

komandan tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok

menepuk bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖

Komandan tentara tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang

pintar… tetapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖

(Liye, 2010:32)

c. ―Setidaknya kita akan menunggu petugas dari kota. Terserah mereka

mau diapakan kotak-kotak ini.‖ Mang Dullah memutuskan, menyuruh

beberapa orang membawa kotak itu ke balai-balai kampung. (Liye,

2010:227)

d. Seminggu kemudian datang rombongan berpakaian rapi dari kota.

Mereka menaikan empat kotak itu ke mobil besar. Bapak sempat

bersikukuh melarang mereka membawanya pergi, mengusulkan mereka

bisa tinggal di kampung meneliti kotak-kotak itu. Usul itu di tolak

mentah-mentah, rombongan itu menyerahkkan surat perintah agar

kotak itu diamankan ke kota atau Bapak akan diancam menghalangi

tugas pemerintah. Bapak kalah posisi, Mang Dullah dan Pak Bin juga

kehilangan argumen. Sejak saat itu, tidak ada lagi yang datang

membawa kabar kemana kotak-kotak itu pergi. (Liye, 2010:229)

11. Cinta tanah air

a. ―Kalau sudah besar Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia

memecah kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye,

2010:239)

b. Dan Bapak dengan senang hati menceritakan banyyak hal. Terkadang,

tanpa kami sadari seluruh ladang sudah selesai dikelilingi, matahari

sudah mulai tumbang di kaki barat sana, dan cerita itu harus berlanjut

esok hari. Setiap kali waktu kami habis, maka Bapak menutupnya

dengan tersenyum, menatap kami lamat-lamat, ―Esok lusa, kalian

sendiri akan berkesempatan ke sana, Pukat, Burlian. Kalian akan

seperti burung yang terbang bebas. Kalian bisa melihat seluruh dunia.

Dan ketika waktu itu tiba, ingatlah selalu kampung kita. orang-orang

yang telah memberikan teladan baik dan budi luhur.‖ (Liye, 2010:318)

12. Menghargai prestasi

a. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami

melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acana menumpang dokar,

komandan tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok

menepuk bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖

Komandan tentara tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang

pintar… tetapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖

(Liye, 2010:32)

b. Kalau soal mengajar sambil bercerita, aku yakin tidak ada yang

mengalahkan kehebatan Pak Bin, apalagi dengan semua keterbatasan

yang dimiliki sekolah kami. (Liye, 2010:75)

c. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru saja mistarnya, kau beri

tanda senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu

duduk, mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan.

Yang lain menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu.

Sebenarnya aku hanya mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan

mistar panjang milikku, lantas mengantinya dengan karton yang

dipotong mirip mistar, kemudian diberikan garis senti-sentinya. (Liye,

2010:130)

d. Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali… SD, SMP,

SMA, universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum

ada di sini. Harus pergi ke negara jauh sana. (Liye, 2010:321)

e. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di

kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya

tidak sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD,

dengan nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di

kota kabupaten. Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku

hanya bisa pelang ke kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil

colt yang tersenggal melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye,

2010:324)

f. Meski aku ingin sekali sekolah di kota provinsi atau bahkan di pulau

sebrang sana, aku tetap bersyukur dengan hanya melanjutkan di kota

kabupaten. (Liye, 2010:324)

13. Bersahabat dan komunikatif

a. ―Bagaimana, lebih baik lompatan siapa?‖ Lamsari bertanya

―Lamsari.‖ Aku menjawab mantap

―Can.‖ Jawab burlian tidak kalah mantap.

Tentu saja urusan ini tidak pernah mudah diputuskan. Mau berapa

kalipun kami ber-awas-awas bum-bum saling memamerkan teknik

lompatan terbaik, penilaian kami tetap saja subyektif, membela teman

masing-masing. (Liye, 2010:36)

b. ―Kakak di belakang, kalau kau jatuh, kakak bisa menangkapmu.‖ Aku

berkata pelan di telinga Burlian, meyakinkannya. ―Ayo Burlian, larilah

secepat kaki kau …Bapak sudah menunggu di ujung batang kayu ini.‖

(Liye, 2010:306)

14. Cinta damai

Aku dan Raju sudah tersenyum caggung, menyeringai salah-

tingkah satu sama lain. Meski lebih mirip seringai kuda, itu jelas seringai

perdamaian. Akhirnya setelah dua bulan tidak saling tegur, kami

berbaikan. (Liye, 2010:110)

15. Gemar membaca

Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut

lapangan kota kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal,

menumpahkan separuh duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan.

Minggu lalu Bapak (dan Mamak) sudah sepakat, sepersepuluh dari uang

yang kami peroleh menjadi bagian kami. Itu berarti lebih banyak majalah

bekas yang bisa kubeli. (Liye, 2010:240)

16. Peduli Lingkungan

Sungguh sebuah kekeliruan jika ada yang menilai penduduk

kampung yang selama ini menyumbang porsi besar kerusakan hutan.

Faktanya, sejak berpuluh-puluh tahun silam hingga sekarang luas ladang

yang ditanami penduduk kampung hanya itu-itu saja. Tidak setiap tahun

mereka membakar hutan. Lebih banyak yang seperti siklus alam, hanya

membuka ulang ladang lama yang tidak diurus bertahun-tahun. (Liye,

2010:277)

17. Peduli sosial

Aku menjulurkan bungkusan plastik. ―Masakan rendang dari

Mamak.‖

―Aduh merepotkan, terima-kasih.‖ Ibu Ahmad tersenyum riang. (Liye,

2010:137)

18. Tanggung jawab

a. ―Oi, sungguhan kita bisa ambil sendiri?‖

―Kau tetap harus bayar. Lihat kaleng itu, kau harus masukkan uangnya

juga.‖ Aku mendelik. (Liye, 2010:143)

b. ―Mak, Burlian mau nasi hangat seperti itu.‖Burlian takut-takut

menunjuk.

―Kalian habiskan dulu nasi ini, baru boleh ambil yang hangat di periuk.‖

―Tapi, Mak, kenapa Amelia boleh langsung mengambil dari periuk?‖

―Karena Amel menghabiskan nasinya.‖ Mamak mendesis. (Liye,

2010:275)

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang telah penulis kumpulkan dalam meneliti

novel Pukat karya Tere Liye dengan teknik baca dan catat, maka penulis

mendapatkan beberapa hal yang terkait dengan gaya bahasa dan nilai

pendidikan karakter yang terdapat dalam novel Pukat. Dalam hal ini gaya

bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas

yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).

Gaya bahasa ini sesuai dengan firman Allah, yaitu Q.S Az-Zukruf,43: 4 :

Artinya: Dan Sesungguhnya Al-Quran itu dalam Induk Al kitab

(Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar Tinggi (nilainya) dan

Amat banyak mengandung hikmah. (Kemenag, 2008:391)

Ayat di atas menjelaskan bahwasannya Al-Quran juga

mengandung banyak keindahan sastra. Selain gaya bahasa penulis juga

meneliti nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Pukat

karya Tere Liye. Nilai pendidikan karakter yang dimaksud adalah

pelajaran mengenai sifat-sifat baik yang dapat dipetik dari novel tersebut,

sehingga dapat diambil pelajaran dari apa yang telah dibaca. Hal serupa

juga terdapat dalam QS. Shaad, 38 :29.

Artinya: Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu

penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan

supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.

(Kemenang, 2008: 363)

Ayat di atas menjelaskan bahwasanya Allah telah menurunkan

Al-Quran agar menjadi bahan belajar untuk manusia, sehingga manusia

dapat menjadi lebih baik dalam segala hal.

Sesuai dengan pengertian di atas maka penulis dapat menuliskan

data sesuai deskripsi pemikiran, yaitu:

A. Gaya Bahasa Personifikasi

Dalam novel Pukat karya Tere Liye setidaknya terdapat lima puluh

sembilan kalimat yang mengandung gaya bahasa personifikasi, yang tersebar

dalam dua puluh empat bagian cerita.

Penggunaan gaya bahasa personifikasi mempunyai fungsi untuk

memperjelas suasana dan memperindah bacaan sehingga dapat menarik minat

pembaca. Berikut adalah kutipan gaya bahasa prsonifikasi dalam novel pukat.

a. Menunjukkan waktu

Penggunaan gaya bahasa personifikasi dalam penunjukan waktu ini

membuat kalimat-kalimat yang Tere Liye menggunakan menjadi lebih

indah dan menarik. Berikut adalah kutipan dalam novel Pukat yang

menunjukkan waktu, baik waktu pagi, siang, sore ataupun malam:

1. Menjelaskan waktu pagi

a. Meski si ular besi ini sudah menjadi bagian kehidupan kampung,

dengan suara klaksonnya yang tidak pernah alpa, melengkung

nyaring setiap subuh buta dan tengah malam, sejatinya kami dan

boleh jadi anak-anak lain belum banyak yang menaiki kereta api

dalam sebuah perjalanan sungguhan. (Liye, 2010:1)

b. Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah hutan. Atap-atap

rumah yang terlihat kecoklatan dari kejauhan mulai menghilang,

digantikan hamparan hijau yang dibungkus kabut pagi, seperti

buntalan kapas putih, menyenangkan melihatnya. (Liye, 2010:3)

c. Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan sekolah.

(Liye, 2010:129)

d. Cahaya lembut matahari menimpa atap masjid, terlihat indah. Aku

menelan ludah, akhirnya masjid ini diperbaiki. Bertahun-tahun

penduduk kampung mengumpulkan uang untuk renovasi, sepersen

demi sepersen, Dua bulan Pak Bin membantu menggambar ulang

bentuk masjid, menghitung biaya material dan peralatan, dan minggu

lalu berbagai material seperti gelondongan tiang, papan, semen,

paku, genteng dibeli. Sekarang menumpuk di halaman masjid. (Liye,

2010:210)

e. Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut lapangan

kota kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal, menumpahkan

separuh duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan. Minggu lalu

Bapak (dan Mamak) sudah sepakat, sepersepuluh dari uang yang

kami peroleh menjadi bagian kami. Itu berarti lebih banyak majalah

bekas yang bisa kubeli. (Liye, 2010:240)

f. Muka Ayuk Eli seketika bersemu merah. Salah-tingkah. Amelia dan

Burlian sudah sibuk saling jawil, berkejaran lagi. Cahaya matahari

pagi lembut menerabas dedaunan, kabut masih mengungkung kanopi

hutan. (Liye, 2010:304)

g. Persis ketika semburat pertama matahari menyentuh dasar hutan,

perampok itu berhasil dikejar. Jumlah mereka tujuh kali lipat, tetapi

di tengah hutan lebat, jumlah tidak penting lagi. (Liye, 2010:340)

2. Menjelaskan waktu siang

Aku sudah dua kali menyuruh burlian berkeliling pasar kalangan.

Survei, siapa saja yang menjual duku dan berapa harga jual mereka. Oi,

sepertinya hargaku sudah tepat, bagaimana mungkin duku jualan kami

hanya laku sedikit. Hingga matahari mulai terik membakar ubun-ubun,

pasar kalangan mulai sepi pengunjung, beberapa pedagang melipat

kembali barang jualannya, duku yang tersisa di keranjang lebih dari

separuh. Aku menghela nafas kecewa. Sudah siang, mau bagaimana lagi,

menyuruh Burlian membereskan terpal. (Liye, 2010:241)

3. Menjelaskan waktu sore

a. Pertandingan baru selesai saat langit semakin berat, matahari semakin

pudar. Anak-anak berlarian, berpisah di ujung jalan setapak menuju

kampung. Aku dan raju berjalan bersisihan, ujung rumput teki

menyelisik celana. (Liye, 2010:111)

b. Burlian yang memegang kaleng bergegas menggulurkan benang

gelasan. Aku berdiri di sebelahnya, mendongak menatap langit-langit

kampung. Ada sekitar dua puluh layangan di atas sana. Anak-anak dan

pemuda dewasa memenuhi lapangan, juga penduduk kampung yang

asyik menonto, menghabiskan sore. (Liye, 2010:149)

c. Dari kejauhan, terlihat salah-satu layangan putus, terbang menjauh

dari arena duel. Beberapa anak kecil dengan membawa galah bambu

berteriak, berlarian mengejarnya. Aku menyeka peluh di dahi, meski

matahari sudah mulai tumbang di ufuk barat langit sana, lapangan

masih terasa panas. Apalagi tegang menyaksikan Can tarik-ulur

layanganya, gatal tanganku ingin mengambil-alih. (Liye, 2010:149)

d. Mamak tertawa, mempercepat langkah, matahari sudah semakin

tumbang di ufuk barat. Sebentar lagi adzan magrib. Amelia bersungut-

sunggut dengan tampang seperti kepiting rebus. (Liye, 2010:250)

e. Senja tiba, matahari mulai tumbang di ufuk barat sana. (Liye,

2010:288)

f. Aku kembali menyeka peluh, meski matahari mulai tumbang di ufuk

barat sana, udara musim kemarau tetap terasa gerah. Bapak berjalan

di belakang, memeriksa pekerjaan, seberapa bersih kami membuat

batas dengan hutan. Celaka kalau ada ranting yang bisa menjalarkan

api ke hutan saat proses pembakaran dilakukan. (Liye, 2010:294)

g. Hingga matahari siap menghilang di balik garis kanopi hutan, hingga

Bapak dan Mamak meneriaki kami agar bergegas pulang, ayam jago

itu tidak berhasil ditangkap. ―Besok kita bawa jala ikan saja.‖ Aku

mendesiskan ide. Burlian dan Can mengangguk sepakat. (Liye,

2010:295)

h. Dan Bapak dengan senang hati menceritakan banyak hak. Terkadang,

tanpa kami sadari seluruh ladang sudah selesai kami kelilingi,

matahari sudah mulai tumbang di kaki barat sana, dan cerita itu harus

berlanjut esok hari. (Liye, 2010:318)

4. Menunjukkan waktu malam

Aku tidak menjawab, membalikkan badan membelakangi, tidur di

kursi rotan beranda rumah. Malam beranjak larut, langit mendung

mengusir bintang-gemintang, angin lembah berhembus kencang, membuat

udara semakin dingin. Ini untuk yang ke tiga kalinya bapak menyuruh

masuk. (Liye, 2010:193)

b. Menunjukkan keadaan

Dalam banyak karya sastra, gaya bahasa personifikasi sering

digunakan dalam peggambaran waktu sehingga kalimatnya menjadi lebih

indah, namun bukan hanya dalam penggambaran waktu, suatu keadaan

juga menjadi lebih berkesan ketika di bumbui dengan gaya bahasa

personifikasi seperti yang dilakukan Tere Liye.

1. Rangkaian gerbong kereta semakin dalam membelah hutan. Atap-atap

rumah yang terlihat kecoklatan dari kejauhan mulai menghilang,

digantikan hamparan hijau yang dibungkus kabut pagi, seperti

buntalan kapas putih, menyenangkan melihatnya. (Liye, 2010:3)

2. Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus

menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit.

Matahari semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye,

2010:9)

3. Selepas lengkungan itu hilang ditelan deru roda, maka saat itu seperti

ada berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi sekitar.

Perlahan-lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat remang. Aku

melihat lenganku yang semakin buram. Dan dalam hitungan

sepersekian detik, cahaya seperti ditelan kesaktian terowongan. (Liye,

2010:15)

4. Splassh, semua gelap. Seperti ada yang menampar lembut perasaanku.

Kami sudah masuk kedalam terowongan. Bagian paling misterius ,

paling ditunggu dalam perjalanan ini. (Liye, 2010:16)

5. Dalam gelapnya gerbong, semua orang menoleh kesana-kemari

berusaha mencari tahu. Sementara laju kereta melambat dengan cepat,

suara mendecit membuat telinga ngilu, percikan kembang api

menyembur dari roda baja menggilas batangan rel. (Liye, 2010:17)

6. ―SEMUANYA DIAM DI TEMPAT!‖ Teriakan itu meningkahi hingar-

bingar, berusaha segera membekukan kekacauan, berusaha

menghentikan dengung lebah dan gerak tangan penumpang yang panik

sekaligus mencari tahu apa yang terjadi. (Liye, 2010:19)

7. Suara letusan senapan kembali merobek langit-langit gelap. Bau mesiu

tercuim pekat. (Liye, 2010:20)

8. Entah apa sasaran tembak itu, suara letusanya menggema sepanjang

terowongan. Mengerikan membayangkan apa yang terjadi, bahkan kali

ini kelepak kelelawar ikut bungkam. (Liye, 2010:23)

9. Klakson kereta tiba-tiba melengkung panjang. Belum hilang gemanya,

kereta berderak kasar, membuat penumpang yang bersitegang

terjerabah jatuh. Sepersekian detik, roda kereta mulai menjejak rel,

membuat seluruh gerbong bergerak. (Liye, 2010:25)

10. Aku dan Burlian berlari lebih cepat, dalam situasi ribut seperti ini,

takut benar kehilangan punggung Bapak. Kereta juga meliuk tambah

cepat, melewati tikungan tajam, gerbong bergerak miring. Bapak

berteriak menyuruh kami berpegangan. Aku dan burlian loncat meraih

apa saja yang bisa dipegang. Karung-karung terlempar keluar.

Beberap penumpang terpelanting. Seruan-seruan tertahan. (Liye,

2010:26)

11. Kereta terus menjejak batangan rel, menuruni lembah, melintasi

jembatan panjang. Jikalau tidak dalam situasi perampokan,

memandang hamparan hijau hutan dan aliran bening sungai dengan

bingkai jembatan akan terlihat istimewa. (Liye, 2010:29)

12. Terlepas dari bumbu cerita yang semakin lezat saat kisah ini sambung

meyambung dari satu mulut ke mulut lain, rasa penasaranku atas

terowongan kereta itu sudah berakhir. Ternyata tidak ada bedanya

dengan berada di kamar tertutup tanpa penerangan. Mengingat

kampung kami belum ada listrik, selalu gelap di malam hari, itu artinya

terowongan itu biasa-biasa saja. (Liye, 2010:33)

13. Kilau petir menyambar samar, disusul gemerutuk panjang suara

guntur, langit dipenuhi awan hitam, angin kencang menerpa wajah,

membuat anak rambut beriap-riap. Minggu-minggu ini seharusnya

sudah masuk musim penghujan, boleh jadi sore ini akhirnya hujan

turun lebat setelah berbulan-bulan kemarau mengungkung kampung.

Kabar baik bagi seluruh penduduk, itu artinya benih padi sudah bisa

mulai ditabur. (Liye, 2010:35)

14. Kami tidak terlalu memperhatikan kesibukan di atas langit sana, kami

sedang asyik melompati cadas sungai. Kadang bergantian lebih sering

lompat serempak. Mandi sore yang menyenangkan. (Liye, 2010:35)

15. Meski di luar hujan deras lembali turun membungkus kampung, angin

lembah menambah dingin udara, langit-langit dapur terasa lebih

hangat, meja makan sekarang dipenuhi oleh rajukan-rajukan Ayuk Eli,

Burlian dan Amelia agar Mamak mau bercerita lebih banyak. (Liye,

2010:60)

16. Hujan deras turun membungkus halaman sekolah. Aku tidak semangat

menyambut lonceng pulang, lagi-lagi aku lupa membawa payung.

Teman-teman sibuk membereskan buku, menyandang tas,

mengeluarkan payung warna-warni, melangkah keluar ruangan, lantas

beramai-ramai menerobos hujan. Di depan kelas Burlian sudah

menunggu. Menyeringai menatapku. (Liye, 2010:69)

17. Pak Bin mengeluarkan sebuah kalender besar dari tas kusamnya.

Wajah-wajah terlongok, satu-dua semangat mendekat. Situasi kelas

berubah menjadi lebih hangat meski gerimis di luar menderas. (Liye,

2010:74)

18. Siang ini, hujan deras membasuh halaman sekolah. Aku

mengembangkan payung, Burlian berlari-lari kecil keluar dari

kelasnya. Kami harus bergegas, tadi Mamak menyuruh segera pulang,

ada tumpukan karung jengkol yang harus di urus. (Liye, 2010:89)

19. Buaian suara air hujan menerpa genteng terdengar menyenangkan.

Bergelung kemul, sudah nyenyak sejak pukul sembilan. Malam ini

televisi kecil hitam-putih milik Bapak mati, aki-ya soak. Jadi warga

yang awalnya ramai menumpang menonton bergegas pulang. (Liye,

2010:117)

20. Hanya butuh waktu lima menit, sembilan lanting bambu siap di ujung

sungai. Tinggi air sudah sepinggang anak kecil. Hanya karena rumah

penduduk berbentuk panggung saja yang membuat perabot dalam

rumah tetap kering. Pendi dan Juhan menatap ke depan, sungai yang

lebarnya hanya dua puluh meter itu sekarang berubah menjadi sungai

raksaksa selebar setidaknya dua ratus meter. Air cokelat sudah

menyentuh belakang kampung, dan boleh jadi sudah menghampar

hingga ke ujung lembah. Cahaya seter tidak berhasil menembus

ujungnya. Arus air menderu-deru dalam gelap. Gelombang bah air

membuat miris telinga. (Liye, 2010:122)

21. Lonteng berdentang, memutus lamunanku. Waktu ujian matematika

habis. Pak Bin di depan kelas berkata tegas, selesai tidak selesai

dikumpulkan, menarik paksa kertas jawaban Lamsari, yang sebaliknya

bersikukuh mencari-cari alasan—―Sebentar Pak. Sebentar …. Saya

lupa menulis nama.‖ (Liye, 2010:132)

22. Langit mendung, kilat petir dan suara geledek kembali. Musih hujan

datang lagi. Tetes air hujan di ujung-ujung genteng, gerombolan sapi

yang basah, bunga merah bogenvil menggelayut, lokomotif kereta yang

tersenggal mendaki bukit—(Liye, 2010:167)

23. Gerimis akhirnya turun. Satu butir bulir air menghujam atap genteng,

disusul dengan jutaan bulir air lain. Membuat beranda depan terasa

lembab. (Liye, 2010:194)

24. Terbangun tengah malam, lepas pukul dua. Di luar hujan membungkus

kampung. Mataku mengerjap-ngerjap menatap sekitar. Lampu canting

masih menyala di atas meja, cahaya apinya bergoyang. (Liye,

2010:201)

25. Ketakutan dengan cepat menyebar di halaman masjid. Lihatlah, di atas

sana, ada bayangan raksaksa yang bersiap menelan matahari. Persis

seperti nampan besar, bentuknya hitam legam, garisnya mulai

bersentuhan, pinggiran matahari sudah mulai ditelannya. Aku meneguk

ludah, kakiku gemetar, menyeramkan sekali. (Liye, 2010:216)

26. Hari itu, siang itu, gerhana matahari total membungkus kampung kami

saat renovasi masjid akan dimulai. Jaman itu tidak ada yang memberi

kabar lewat televisi hitam-putih punya Bapak kapan tamu spesial ini

akan datang. Tidak ada juga yang menjelaskan seperti apa rasanya

gerhana matahari, kecuali buku-buku pelajaran yang seadanya. (Liye,

2010:218)

27. Setelah semua kembali terang, raksaksa besar itu pergi dari menelan

matahari kami, satu persatu anak-anak memberanikan diri keluar dari

masjid. Mendongak mengintip matahari. Gerhana itu sudah usai. (Liye,

2010:218)

28. Makan malam itu belanjut, ditingkahi suara sendok. ―Pak, kalau sudah

besar nanti, Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia memecah

kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye, 2010:239)

29. Aku lebih suka musim penghujan. Lebih segar saja rasanya menatap

sekitar. Dan bagi kami anak-anak yang suka bermain bola, bermain di

lapangan becek jauh lebih seru dibandingkan bermain di lapangan

berdebu dan panas. Musim kemarau juga serba tidak konsisten, siang

hari terasa gerah, keringat mengucur deras, malam harinya justru

sebaliknya, udara terasa dingin menusuk tulang, apalagi angin yang

menembus celah-celah papan, tidak tahan. (Liye, 2010:276)

30. Terik matahari membuat gerah, Burlian menyeka peluh. Aku dan Can

sejak tadi sudah membuka kancing atas, membiarkan angin lembah

membasuh badan. Kami datang lebih awal, disuruh menemani Bapak

memeriksa garis pembatas untuk terakhir kalinya. (Liye, 2010:296)

31. Langkah kakiku terhenti. Setelah jatuh bangun, lintang pukang

menyelamatkan diri, kami akhirnya tiba di tepi hutan, hanya tinggal

dua puluh meter lagi dari garis pembatas, dekat saja, tetapi nyala api

laksana benteng tangguh menghadang. Bergemerutuk. Menyala-nyala

membuat pedas seluruh kulit. Asap cokelatnya mengepul seram,

memerihkan mata. (Liye, 2010: 301)

32. ―LARI BURLIAN PASAI‼‖ Aku berteriak kencang, dan belum habis

suara teriakanku, Burlian sudah melesat ke depan, ikut berteriak.

Tubuhnya laksana terbang saat melompat melewati nyala api, lantas

terjatuh terguling di ujung sana. (Liye, 2010:306)

33. Gerimis membungkus ladang. Gemerutuk guntur memecah suara tetes

air dan derik jangkrik. Sekali-dua kilat menggurat langit gelap. (Liye,

2010:319)

34. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di

kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya

tidak sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD,

dengan nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di

kota kabupaten. Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku

hanya bisa pelang ke kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil

colt yang tersenggal melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye,

2010:324)

35. Kami terdiam mendengar kalimat-kalimat menusuk Wak Yati. Ayuk Eli

bahkan terlihat menyeka ujung matanya, menatap sedih tubuh tua Wak

Yati yang berontak di atas tempat tidur. Saat dokter keluar dari

ruangan, Ayuk Eli berlarian mengejarnya di lorong bangsal,

―Bisakah…. Bisakah Wawak kami diijinkan pulang?‖ Dokter menghela

nafas, akhirnya mengangguk. (Liye, 2010:336)

36. Siang yang menyenangkan, gumpalan awan di atas sana membuat

jalanan kota terasa sejuk. Semilir angin memainkan ujung-ujung

tudung. Aku mengeluarkan kepala dari bawah atap dokar, mendongak,

rombongan burung terlihat terbang, warnanya putih melenguh lantang.

(Liye, 2010:237)

37. Kereta api gagah mendaki bukit-bukit, menuruni lembah-lembah. Kelok

sungai terlihat elok dari ketinggian, juga air terjun di kejauhan.

Mamak benar, dari sisi mana saja pemandangan di luar sana terlihat

hebat. Pohon-pohon berpilin seperti berlari. Pedalaman Sumareta yang

masih permai. (Liye, 2010:330)

38. Kereta api seperti biasa melenguh panjang. Seperti biasa, masinisnya

tidak lupa memberi sinyal kalau kereta bersiap memasuki terowongan.

Suara klakson kereta yang menahan kelanjutan kalimat Wak Yati, serta

seruan marah Bapak.(Liye, 2010:333)

39. Selepas gaung lenguhan itu hilang ditelan deru kereta, maka saat itu

juga seperti ada berlembar-lembar kertas karbon tipis yang menutupi

sekitar. Perlahan-lahan semua benda di sekitarku mulai terlihat

remang. Aku melihat lenganku yang semakin buram. Dan dalam

hitungan sepersekian detik, cahaya seperti ditelan kesaktian

terowongan. Splassh. Gulita sudah. Seperti ada yang menampar lembut

perasaanku. Kami sudah masuk kedalam terowongan. Bagian paling

misterius, paling ditunggu dalam setiap perjalanan kereta. (Liye,

2010:333)

40. Suara roda baja menjejak batangan rel sekarang berbeda. Lebih keras.

Menggema. Meski tidak sesegar sebelumnya, udara terowongan tidak

semenyeramkan yang dibayangkan. Tidak terdengar kelepak kelelawar

di luar sana. Boleh jadi memang ada ribuan di langit-langit

terowongan, tapi suara berisik mereka jelas kalah dengan deru gagah

kereta. (Liye, 2010:333)

41. Malam itu hujan deras membasuh kampung. Jalanan becek, beranda

rumah panggung tampias, seluruh lampu canting dan obor

dipadamkan. Seluruh kampung dicekam ketakutan. Tubuh-tubuh

meringkuk di kamar, wajah-wajah pias. Satu saja suara letusan

terdengar di luar, bisa membuat anak-anak dan remaja tanggung

terkencing di celana. (Liye, 2010:339)

42. Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh

kampung saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati

terisak lama, memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa

anak-anak Wak Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak

mengapa… anak-anakku meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau

telah melakukan hal yang benar… mereka-lah harta sejati milik

kampung kita. mereka-lah sungguh harta karun paling berharga

kampung kita. (Liye, 2010:341)

B. Relevansi Gaya Bahasa Personifikasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari gaya bahasa dapat ditemui dalam

berbagai bacaan, baik itu koran, majalah, novel, atau bacaan yang lainnya.

Dalam dunia pendidikan terutama dalam mata pelajaran bahasa Indonesia,

gaya bahasa menjadi salah satu materi didalamnya. Mulai dari pendidikan

tingkat dasar, menengah atau bahakan pada pendidikan tinggi pada jurusan-

jurusan tertentu.

Dalam dunia pendidikan dasar, baik itu SD ataupun MI materi ini juga

sudah termasuk di dalamnya. Relevansi gaya bahasa personifikasi dalam novel

Pukat pada pendidikan dasar sama seperti fungsi umum gaya bahasa itu sendiri,

yaitu berguna untuk:

a. Memperjelas suasana

Relevansi gaya bahasa personifikasi dapat disampaikan dengan

maksut memperjelas suasana. Tere Liye mengharapkan pembaca dapat

memahami sekaligus merasakan secara tidak langsung (Berimajinasi) suasana

yang terjadi dalam novel.

Berikut salah satu kutipan yang menggunakan gaya bahasa

personifikasi sebagai penjelas suasana:

Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan sekolah.

―Kau tidak jadi sarapan, Kawan?‖

―Warungnya tutup.‖ Lamsari bersungut-sungut.(Liye, 2010:129)

Gaya bahasa tersebut mengambarkan bahwa cahaya matahari pagi

telah menyinari lapangan sekolah.

b. Menarik minat pembaca

Relevansi gaya bahasa personifikasi yang di sampaikan dalam

kutipan novel dapat bermaksut sebagai daya tarik pembaca agar pembaca

menyukai penggunaan bahasa yang digunakan atau dapat dikatakan agar

pembaca tidak bosan dengan bahasa yang digunakan. Penggunaan gaya

bahasa personifikasi yang indah dapat membuat pembaca semakin tenggelam

dalam imajinasi sesuai alur dalam novel.

Hal ini dibuktikan dalam salah satu kutipan, yaitu:

Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus

menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit. Matahari

semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye, 2010:9)

Kalimat yang digunakan untuk mengambarkan laju kereta api

menjadi sangat apik ketika gaya bahasa personifikasi ada di dalamnya, Tere

Liye menggunakan gaya bahasa ini agar menarik minat pembaca.

c. Sebagai contoh gaya bahasa dalam pembelajaran

Relevansi gaya bahasa personifikasi dalam novel Pukat dapat

digunakan sebagai bagian dalam contoh-contoh gaya bahasa personifikasi

dalam pembelajaran bahasa Indonesia di Madrasah Ibtidaiyah. Salah satu

contohnya adalah:

Hujan deras turun membungkus halaman sekolah. Aku tidak

semangat menyambut lonceng pulang, lagi-lagi aku lupa membawa

payung. Teman-teman sibuk membereskan buku, menyandang tas,

mengeluarkan payung warna-warni, melangkah keluar ruangan, lantas

beramai-ramai menerobos hujan. Di depan kelas Burlian sudah

menunggu. Menyeringai menatapku. (Liye, 2010:69)

Gaya bahasa personifikasi tersebut dapat diartikan bahwa hujan deras

telah mengguyur sekolah.

d. Menjadi ciri khas dalam novel

Relevansi gaya bahasa personifikasi dalam novel Pukat adalah gaya

bahasa ini Tere Liye gunakan sebagai kekhasan dalam novelnya, gaya bahasa

personifikasi menjadi andalan Tere Liye untuk mengambarkan cuaca yang

sedang terjadi, dan menggambarkan benda-benda di sekitar yang mempunyai

pergerakan.

Contoh kutipan gaya bahasa personifikasi yang Tere Liye gunakan

untuk menggambarkan benda adalah sebagai berikut:

Lengkung klakson kereta terdengar membahana. Roda bajanya terus

menjejak batangan rel, lokomotif tersenggal melangkahi bukit. Matahari

semakin tinggi, terpaan angin sejuk membasuh wajah. (Liye, 2010:9)

Dalam novel Pukat, Tere Liye sering menggambarkan kereta api

dengan gaya bahasa personifikasi. Walaupun tidak dapat dipungkiri, gaya

bahasa yang satu ini akan sering muncul untuk menggambarkan cuaca. Baik itu

dalam novel Pukat ataupun novel-novel yang lainya.

C. Pendidikan Karakter dan Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari Pada

Novel Pukat

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang dapat memberikan

wawasan dan nilai pendidikan lebih pada pembacanya. Dalam hal ini

pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan

berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter telah

menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial,

pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. (Hariyanto,

2013:43)

Pada umumnya novel adalah suatu karangan yang menceritakan

kehidupan dengan alur yang cukup panjang, keberadaan unsur intrinsik

terutama poin amanah menjadi penguat nilai pendidikan yang di dalamnya

terdapat juga pendidikan karakter. Nilai pendidikan yang tengah hangat mejadi

sorotan didunia pendidikan Indonesia, nilai karakter yang terus digali demi

kebaikan bersama, nilai pendidikan karakter yang bukan hanya didapat di

sekolahan, tapi juga dirumah, di masyarakat, dan dinovel sekalipun.

Terdapat delapan belas nilai karakter yang bersumber dari agama,

pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Kedelapan belas nilai

karakter tersebut adalah sebagai berikut:

(1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6)

Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa ingin tahu; (10) Semangat

kebangsaan dan nasionalisme; (11) Cinta tanah air; (12) Menghargai prestasi;

(13) Bersahabat dan komunikatif; (14) Cinta damai; (15) Gemar membaca;

(16) Peduli Lingkungan; (17) Peduli sosial; (18) Tanggung jawab.

(Kemendiknas, 2011:11)

Dalam novel yang menceritakan kehidupan di sebuah kampung di

pedalaman sumatera yang menjunjung tinggi nilai kejujuran ini kedelapan

belas nilai karakter yang bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan

pendidikan nasional secara tersirat maupun tersurat lengkap berada di

dalamnya. Novel yang tidak hanya menjadi penghilang dahaga bagi para

pecinta sastra, namun juga berisi nilai pendidikan yang luar biasa, memberikan

banyak contoh kehidupan anak-anak sesuai usianya, dengan karakater yang

seharusnya dimiliki, tumbuh dengan segala keterbatasan dan

kesitimewahannya. Berikut kutipan novel Pukat yang berisi nilai pendidikan

karakter:

1. Religius

a. ―Perhatikan ke depan, anak-anak.‖ Nek Kiba memukulkan rotan

panjang ke lantai papan rumah panggungnya, terdengar lantang di

langit-langit ruangan.

Kami yang sibuk membaca Al-Qur‘an, Juz‘amma, atau patah-patah mengeja

a-i-u huruf arab. Separuh lagi sibuk bermain karet gelang, kartu

bergambar atau sekedar permainan jari tangan mengangkat kepala,

menoleh kedepan. Tadi lepas maghrib, meski sudah selesai menghadap.

Tidak seperti lazimnya, Nek Kiba melarang kami pulang. (Liye,

2010:155)

Dalam kutipan ini menceritakan kesibukan anak-anak kampung

belajar mengaji, ada yang sudah dapat membaca Al-Qur‟an, ada yang

masih pada tahap membaca juz‟amma, ataupun yang masih belajar

membaca huruf hijaiyah.

Nilai pendidikan karakter ditinjau dari segi religiusnya adalah

ajakan agar selalu belajar dan belajar. Hal ini juga terdapat dalam ajaran

agama Islam yaitu untuk selalu menuntut ilmu sejak dari buaian Ibu

sampai dengan liang lahat (meninggal).

b. Nek kiba tertatih dengan tongkatnya terlihat riang. Menurut cerita Ayuk

Eli (yang sebelahan saf dengan Nek Kiba), waktu shalat tadi Nek Kiba

terdengar menangis. Meski lancar, Bakwo Dar—imam shalat, sempat

bertanyakepada Nek Kiba bagaimana shalat itu harus dilakukan. Dan

kami berbaris rapimengikuti gerakan di depan hingga salam. (Liye,

2010:219)

Kutipan diatas menceritakan prosesi shalat gerhana yang baru

dilakukan sekali dalam seumur hidup sebagian warga kampug, begitu

pula nek Kiba. Prosesi shalat yang awalnya masih asing bagi sebagian

warga kampung, namun berjalan dengan khimad dan penuh dengan rasa

syukur atas segala yang Allah berikan dan menjadi awal yang baik untuk

perjalanan renovasi masjid.

Nilai religius yang dapat diambil adalah perintah untuk

menjalankan shalat gerhana, baik itu gerhana matahari, ataupun gerhana

bulan, dan berlaku untuk shalat gerhana total dan gerhana sebagian, tanpa

terkecuali.

c. Tiga bulan lalu, ladang padi Bapak sukses besar. Tidak kurang seratus

karung goni besar hasil panennya. Butuh seminggu lebih untuk mengani-

ani pucuk batang padi, hilir-mudik tetangga bergotong royong.

Dikurangi dengan zakat, jatah untuk tetangga yang selama ini

membantu, hasil panen tetap menyisakan puluhan karung, Bapak

menyimpn separuhnya di gudang, separuhnya lagi dijual ke kota, biaya

melanjutkan sekolahku. (Liye, 2010:324)

Kutipan diatas menceritakan kesuksesan ladang padi Bapak,

panen raya yang tidak hanya di nikmati keluarga pukat, namun juga

tetangga sekitar dan oran-orang yang dirasa pantas untuk

mendapatkannya.

Nilai pendidikan karakter dalam ranah religius yang dapat

diambil yaitu perintah Allah untuk berzakat, dalam hal ini adalah zakat

mal. Hasil panen padi yang juga perlu untuk di keluarkan zakatnya.

Perintah untuk zakat ini juga terdapat dalam Q.S Al-Baqarah, 2:43:

Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah

beserta orang-orang yang ruku'. (Kemenang, 2008:7)

d. ―Berjanjilah, Pukat.‖ Wak Yati menunggu janjiku.

Aku meneguk ludah, ―Pukat berjanji Wak.‖

Wak Yati memelukku erat. Mulutnya kemudian pelan membaca syahadad.

(Liye,2010:334)

Kutipan diatas menceritakan kepergian Wak Yati untuk

selamanya, wak Yati yang beberpa hari terakhir harus berbaring di rumah

sakit akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya di gerbong kereta

apai saat perjalanan pulang ke rumah. Lisannya yang berucap syahadat

menjadi kalimat terakhir yang didengar Pukat saat akhirnya semua

menyadari bahwa Wak Yati telah tiada.

Nilai karakter dalam ranah religius yang dapat diambil adalah

perintah agar esok atau lusa saat nyawa akan dicabut maka sebisa

mungkin kalimat yang diucapkan adalah kalimat yang baik, dan

diharapkan yang terakhir terucap adalah kalimat syahadad. Hal ini juga

sebagai penginggat agar terbiasa berucap kalimat tayyibah, karena apa

yang akan terucap nanti ketika sakaratul maut adalah kalimat yang biasa

diucapkan dalam kehidupan sehari-hari.

2. Jujur

a. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap,

―Ide ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad agar

terus berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja keperluan,

ide ini juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar saya yang

memberikan pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali ke

mereka. Insya Allah, tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)

Kutipan diatas menceritakan tentang ide pukat untuk membantu

Ibu Ahmad untuk tetap berjualan dengan membuka warung kejujuran.

Warung yang sangat aneh bagi warga kampung, namun ide aneh Pukat ini

justru memberikan manfaat untuk banyak orang. Selain warung Ibu

Ahmad tetap buka warung ini juga mengajarkan hal yang paling berharga

di dunia untuk seluruh warga kampung.

Pelajaran yang bisa diambil adalah sebuah nilai kejujuran, jujur

merupakan harta yang paling berharga yang dimiliki seseorang, dan jujur

harus di ajarkan sedini mungkin dan dengan cara apapun.

b. ―Memang tidak ada yang melihat kalian, tetapi Allah…. Allah sungguh

melihat kalian.‖ Nek Kiba, guru mengaji kami sengaja mengosongka

jadwal tartil malam itu, dia menceramahi kami panjang lebar tentang

kejujuran. ―Jangan pernah berikan kesempatan niat jahat itu datang.

Sekali-kali jangan. Karena sekali-kali terbiasa, maka kalian dengan

mudah bisa bertingkah lebih jahat lagi.‖ (Liye, 2010:144)

Kutipan diatas menceritakan kelanjutan kejadian yang terjadi

di warung Ibu Ahmad, warung kejujuran yang telah dibuka beberapa

hari itu mengalami hal yang ganjil, ada barang yang hilang. Dalam

pertemuan mengaji Nek Kiba memberikan wejangan tentang

pentingnya sebuah kejujuran, dan nasihat agar kita tidak mencuri.

Pelajaran berharga yang dapat diambil adalah etika untuk

selalu berbuat baik, dalam hal apapun, dimanapun, dan kapanpun.

Karena kebaikan sekecil apapun akan mendapatkan balasanya,

begitupula sebaliknya, ketika melakukan kejahatan maka akan

mendapatkan imbalan dari apa yang dilakukan. Sebagaimana firman

Allah, yaitu Q.S Luqman,31:16 dan Q.S Al-Zalzalah,99:7-8.

Artinya: (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika

ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau

di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya

(membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha

mengetahui. (Kemenang, 2008:329)

Artinya:

7.Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya

Dia akan melihat (balasan)nya.

8. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun,

niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (Kemenang, 2008:481)

c. ―Tenang, tidak sepersen pun uangnya berkurang. Apa kata Nek Kiba,

‗Kalian jangan pernah mencuri, sesulit apapun hidup dan nafsu dunia

merusak kalian. Kejujuran adalah segalanya‘. Nah kau mau main

layangan bersamaku sekarang? Si Juha menunggu di lapangan Stasiun.‖

Can menirukan suara berat Nek Kiba, nyengir lebar, lantas menunjukkan

layangan kuningnya. (Liye, 2010:169)

Masih tentang kejujuran dalam bagian cerita yang sama. Warung

kejujuran Ibu Ahmad benar-benar menjadi pupuk yang baik bagi warga

kampung, terutama anak-anaknya. Kejadian demi kejadian yang terjadi

beberapa hari belakangan juga menjadi hal yang patut untuk di ambil

pelajaran. Kejujuran merupakan harta yang paling berharga pada diri

seseorang, karena ketika kejujuran itu rusak maka dapat dilihat seberapa

buruk perangai seseorang.

3. Toleransi

Setengah jam berlalu, sisa kawanan itu mulai terhitungdengan situasi,

mereka melarikan diri ke hutan lebat. Dari sepuluh anak yang diculik delapan

diantaranya selamat. Dua meninggal tertembus timah panas, dan dua-duanya

adalah anak Wak Yati. Tidak ada yang tahu, senapan angin siapa yang telah

mengenai anak Wak Yati, yang pasti sejak saat itulah Bapak bersumpah tidak

akan menembak. Dan sejak saat itulah Wak Yati hidup sendiri.

Kegembiraan sekaligus kesedihan besar mengungkung seluruh

kampung saat Bapak pulang bersama delapan anak-anak. Wak Yati terisak

lama, memeluk Bapak yang juga menangis tidak bisa membawa anak-anak

Wak Yati dengan selamat, ―Tidak mengapa… tidak mengapa… anak-anakku

meninggal demi yang lain terselamatkan. Kau telah melakukan hal yang

benar… mereka-lah harta sejati milik kampung kita. mereka-lah sungguh harta

karun paling berharga kampung kita. (Liye, 2010:341)

Kutipan diatas menceritakan kejadian kampung di masa lalu, kejadia

ketika Bapak masih perjaka, kejadian yang membuat Bapak bersumpah tidak

akan pernah menembak lagi. Dan kepergian anak-anak Wak Yati juga menjadi

sebuah pelajaran bahwa segala sesuatu telah tergambarkan sesuai takdirnya.

Wak Yati yang tetap berbesar hati menerima keadaan, tidak marah pada Bapak

dan pemuda kampung lainya. Kesabaran yang begitu besar menjadi pelajaran

berharga dalam kutipan novel ini.

4. Disiplin

―Bapak punya pulpen di tas, dua malah. Bapak lihat Lamsari di

sebelahmu juga punya cadangan dua pulpen… Sayang, aturan adalah aturan,

Pukat. Kita dihargai bukan karena kita seram, galak apalagi berkuasa, kita

dihargai karena menegakkan aturan main. Kau sudah tau sendiri resikonya.‖

Pak Bin menyeringai tipis melambaikan tangan. (Liye, 2010:126)

Kutipan cerita diatas menceritakan kejadian saat ujian tengah

berlangsung, Pukat yang saat itu kehabisan pulpen mengahuskanya berlari

keluar kelas untuk mencari pulpen, karena peraturan dalam kelas Pak Bin

adalah tidak boleh saling pinjam meminjam alat tulis ketika ujian tengah

berlangsung.

Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil adalah betapa

karismatiknya guru yang bernama Pak Bin, caranya menanamkan kedisiplinan

pada siswanya sangatlah patut dicontoh. Hal yang sangat sepele “Tidak boleh

saling meminjam alat tulis ketika ujian” peraturan sederhana yang dapat

menjadi benih karakter yang baik bagi siswa-siswanya.

5. Kerja Keras

Tidak ada lelaki di rumahnya, Raju berubah menjadi ‗Kepala

keluarga‘. Ibunya hanya punya sepetak kecil ladang karet, meski di sadap

setiap hari, getah karetnya tidak mencukupi. Maka Raju ringan tangan ikut

bekerja. Wak Lihan salah satu bos Raju yang paling sering menyuruh-nyuruh.

(Liye, 2010:113)

Kutipan diatas menceritakan sosok tangguh Raju, teman karib Pukat.

Anak kelas lima SD yang mau tidak mau harus menjadi tulang punggung

keluarga, bekerja keras demi membantu Ibunya menghidupi keluarga.

Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah kerja keras.

Bagaimanapun kehidupan yang dijalani, sesulit apapun kehidupan, semuanya

akan terasa ringan ketika kita ikhlas dan bersungguh-sungguh. Kerja keras

akan menjadi guru untuk pribadi yang tangguh dan siap menghadapi berbagai

kondisi kehidupan.

6. Kreatif

a. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru sajamistarnya, kau beri tanda

senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu duduk,

mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan. Yang lain

menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu. Sebenarnya aku hanya

mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan mistar panjang milikku,

lantas mengantinya dengan karton yang dipotong mirip mistar, kemudian

diberikan garis senti-sentinya. (Liye, 2010:130)

Kutipan diatas menceritakan tentang kecerdasan Pukat saat

membantu temannya yang membutuhkan penggaris, ide cemerlangnya

membuat semua teman berdecak kagum. Ketika yang lain panik ketika

hendak ulangan matematika tidak membawa penggaris. Maka Pukat dengan

santai menunjukkan cara sederhana membuat penggaris menggunakan

kertas buku.

Pelajaran berharga yang dapat diambil adalah kreatifitas tanpa

batas. Di zaman yang serba moderen ini semua orang dituntut untuk dapat

selalu berinovasi, kalaulah Pukat dapat membuat penggaris dari kertas maka

di zaman milenia ini penerus bangsa harus selalu belajar untuk lebih kreatif.

b. ―Soal itu nanti saya yang urus, Dullah.‖ Pak Bin tersenyum mantap, ―Ide

ini luar biasa. selain memberikan jalan keluar bagi Ibu Ahmad agar terus

berjualan, warung tetap buka, anak-anak bisa belanja keperluan, ide ini

juga sekaligus melatih anak-anak untuk jujur. Biar saya yang memberikan

pengertian itu berkali-kali, berkali-kali, berkali-kali ke mereka. Insya Allah,

tidak akan ada masalah. (Liye, 2010:141)

Kutipan diatas kembali menceritakan tentang kekreatifan Pukat,

benar adanya anak yang satu ini bukan hanya pintar, tapi juga jenius. Demi

membantu Ibu ahmad agar tetap dapat berjualan walaupun Naila sakit dan

demi melihat teman-temannya dapat membeli peralatan sekolah dan jajan di

warung, Pukat memutar otak agar permasalahan ini dapat terselesaikan. Dan

benar saja ide Pukat membuat Pak Bin tersenyum dan berkali-kali

meyakinkan Mang Dullah bahwa ide Pukat sangat bagus.

Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah ajakan agar selalu

kreatif dalam segala keadaan, mampu memanfaatkan peluang dan berfikir

kritis untuk selalu membuat perubahan yang baik.

c. ―Bagus kan, Wak?‖ Ayuk Eli mengenakan songket karyanya. Mematut-

matut di depan cermin tua Wak Yati.

―Natuurlijk, tenti saja, ini songket paling bagus yang pernah Wawak lihat.‖

Wak Yati tersenyum, memperbaiki posisi kain di pinggang Ayuk Eli. (Liye,

2010:177)

Kutipan diatas menceritakan tentang Ayuk Eli yang berhasil

membuat songket setelah belajar dengan Wak Yati. Cantiknya songket

Ayuk Eli membuat Wak Yati tidak bisa untuk tidak memuji hasil Karya

Ayuk Eli.

Pelajaran yang dapat diambil adalah karakter kreatif dari Ayuk Eli,

pemuda yang masih dengan senang hati berlatih membuat songket. Dewasa

ini banyak anak muda, bahkan hampir sebagian besar anaka muda tidak

peduli akan kerajinan daerahnya. Maka para penerus bangsa wajib

mengubah pola pikir anak muda zaman ini untuk dapat mencintai dan

melestarikan apa yang negeri ini miliki, terlebih dapat membuatnya lebih

baik dengan kreatifitas yang kita punya.

7. Mandiri

―Kalian harusnya mengerti, sejak Ayuk Eli selolah di kota, tidak ada

lagi yang membantu Mamak mengurus rumah. Mencuci, menyiapkan

makanan, membersihkan rumah, semua di kerjakan sendirian. Belum lagi

Mamak setiap hari harus ke ladang, menyiangi rumput ilalang, memangkas

tunas kopi, dan pekerjaan kampung lainya, seperti sekarang di rumah Wak

Yati. Amel harusnya bisa membantu dengan merapikan tempat tidur. Burlian

bisa membantu dengan tidak menambah beban pikiran Mamak, selalu

menghabiskan sarapan. Mudah, kan (Liye, 2010:185)

Kutipan diatas menceritakan nasihat Bapak kepada Pukat, Burlian,

dan Amelia agar selalu ringan tangan untuk membantu pekerjaan rumah

Mamak tanpa harus diperintah terlebih dahulu. Dan nasihat agar mereka selalu

mandiri dalam memimpin diri mereka masing-masing.

Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah nasihat Bapak agar anak-

anaknya membantu Mamak, tidak membantah, dan selalu belajar mandiri. Hal

ini juga terdapat dalam firman Allah Q.S Luqman, 31:15:

Artinya: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan

dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka

janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia

dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian

hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah

kamu kerjakan. (Kemenag, 2008:329)

8. Demokrasi

―Kau punya cita-cita apa, Pukat? Bapak bertanya lagi.

―Pe-ne-li-ti.‖ Aku menjawab malu-malu.

―Oi, bin binatang apa pula itu?‖

―Kata Pak Bin, itu orang yang tau jawaban semua pertanyaan.‖

Bapak menepuk dahinya, ―Kalau begitu cocok sekali dengan kau, Pukat. Kau

memang selalu tahu jawaban semua pertanyaan. Apa Pak Bin juga bilang

masih berapa tahun lagi kau harus sekolah agar bisa menjadi peneliti yang

hebat?‖

Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali… SD, SMP, SMA,

universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum ada di sini.

Harus pergi ke negara jauh sana.‖

―Kalau begitu, semoga kami masih hidup masih hidup saat kau sudah menjadi

peneliti yang hebat, Pukat… Wak Yati, Bakwo Dar, Pak Bin, terlebih-lebih

Mamak kau, ingin sekali melihat kalian menjadi orang.‖ (Liye, 20101:320)

Kutipan diatas menceritakan tentang pertanyaan Bapak mengenai cita-

cita Pukat. Cita-citanya ingin menjadi seorang peneliti, pekerjaan yang bahkan

Bapak tidak mengerti apakah peneliti itu. Namun dengan segala

kebijaksanaanya Bapak tetap mendukung cita-cita luar biasa Pukat, sekalipun

anaknya harus belajar sampai kenegeri sebrang yang Bapak juga belum pernah

mengunjunginya.

Pelajaran dapat diambil adalah ketika menjadi seorang Bapak (orang

tua) maka kita harus mendukung segala sesuatu yang dilakukan anak, selama

hal itu adalah kegiatan yang positif. Memberikan kesempatan pada anak untuk

memilih mana yang anak sukai, bukan memaksakan kehendak sebagai orang

tua agar anak menurutinya. Orang tua hanya bertugas mengarahkan ketika anak

membutuhkan bantuan.

Ketika menjadi seorang anak maka harus pandai mengambil hati

orang tua, meyakinkan orang tua bahwa anaknya bisa melakukan sesuatu yang

telah pilih, dan membuktikan secara nyata bahwa bisa melakukannya.

9. Rasa Ingin Tahu

Aku menyeringai, mengaruk kepala yang tidak gatal. Sepertinya seru

sekali bentuk masjid yang digambar Pak Bin, ada kubah besar dan menara

tingginya. Pak Bin tertawa, menutup pekerjaanya, menunjuk jam di dinding—

sebentar lagi lonceng masuk. (Liye, 2010:166)

Kutipan diatas menceritakan rasa ingin tahu Pukat terhadap pekerjaan

gurunya, Pak Bin. Pak Bin tengah sibuk dengan ketas-kertas bergambar dan

segala kerumitannya Pak Bin sedang mengambar sketsa masjid, masjid

kampung yang nantinya akan direnovasi.

Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah cara untuk selalu

memupuk rasa ingin tahu, mencoba segala sesuatu yang baru, mengamati,

memahami dan mencobanya. Selalu kreatif dan inovatif dalam hal-hal yang

positif. Seperti yang dilakukan Pukat, rasa ingin tahunya besar, dengan itu

maka ia secara tidak langsung telah belajar banyak hal, dan esok dia akan

menjadi orang yang berhasil karena rasa ingin tahunya. Allah SWT juga telah

memerintahkan kita untuk selalu belajar, membaca, baik itu membaca secara

langsung ataupun membaca secara tidak langsung, membaca keadaan dan

semisalnya, agar kita peka terhadap segala sesuatu. Hal ini terdapat dala Q.S

Al-Alaq ayat 1-5:

Artinya:

1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Kemenag, 2008:

379)

10. Semangat Kebangsaan dan Nasionalisme

a. Lima belas menit kemudian saat kereta tiba di kota kabupaten, seluruh

peron sudah di kepung oleh puluhan petugas dan tentara. Penumpang

diminta turun satu-persatu. Kecemasan bapak terbukti, jika hanya

mengandalkan pemeriksaan lisan, tidak akan mudah membedakan

penumpang dengan gerombolan perampok. Penyamaran mereka sempurna,

dan jumlah enam ratus penumpang melelahkan petugas. Tetapi mereka

sekarang punya senjata pamungkas: aroma bubuk kopi. (Liye, 2010: 30)

b. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami

melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acan menumpang dokar, komandan

tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok menepuk

bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖ Komandan tentara

tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang pintar… tetapi kau lebih

dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖ (Liye, 2010:32)

c. ―Setidaknya kita akan menunggu petugas dari kota. Terserah mereka mau

diapakan kotak-kotak ini.‖ Mang Dullah memutuskan, menyuruh beberapa

orang membawa kotak itu ke balai-balai kampung. (Liye, 2010:227)

Kutipan diatas menceritkan kejadian di gerbong kereta api saat

pertama kali Pukat dan Burlian naik si Ular Besi, kejadian di gerbong kereta

yang memaksa seluruh harta berharga penumpang kereta api berpindah

tangan kepada perampok. Panik, tegang, jengkel karena hartanya di rampas,

dan segala kecemasan lainya bercampur didalam gerbong. Namun si Jenius

memang selalu punya cara yang tidak dipikirkan orang lain, berkatnya

perampok dapat ditangkap pihak yang berwajib dan harta berhara

penumpang dapa diselamatkan.

Pelajaran yang dapat diambil adalah pelajaran untuk tidak main

hakim sendiri, mempercayakan hal-hal yang berkaitan hukum kepada pihak

yang berwajib, tugas kita adalah membantu. Sehingga sinergi antara

masyarakat dengan penegak hukum dapat harmonis dan selalu berjalan

beriringan.

d. Seminggu kemudian datang rombongan berpakaian rapi dari kota. Mereka

menaikan empat kotak itu ke mobil besar. Bapak sempat bersikukuh

melarang mereka membawanya pergi, mengusulkan mereka bisa tinggal di

kampung meneliti kotak-kotak itu. Usul itu di tolak mentah-mentah,

rombongan itu menyerahkkan surat perintah agar kotak itu diamankan ke

kota atau Bapak akan diancam menghalangi tugas pemerintah. Bapak kalah

posisi, Mang Dullah dan Pak Bin juga kehilangan argumen. Sejak saat itu,

tidak ada lagi yang datang membawa kabar kemana kotak-kotak itu pergi.

(Liye, 2010:229)

Kutipan diatas menceritakan tentang penemuan empat peti

hartakarun berisi emas di atas plapon masjid, saat renovasi masjib

berlangsung warga yang sedang membongkar atap masjid menemukan

empat peti tersebut, namun warga kampung ini memang warga kampung

yang baik, tak sedikitpun emas itu diambil. Justru empat peti tersebut

diserahkan kepada petugas kabupaten.

Sama halnya dengan nilai pendidikan yang dapat diambil seperti

pada kutipan sebelumnya bahka kewajiban masyarakat harus percaya

kepada pemerintah (petugas kabupaten). Sebagai warga negara yang baik

haruslah dapat mengikuti prosedur yang ada, seperti halnya empat peti harta

karun tersebut, itu dapat menjdi prasasti atau semacam peninggalan sejarah

yang dimiliki negara, maka kita harus memberikanya kepada negara. Agama

Islam juga mengajarkan kepada kita agar selalu menghargai pemimpin

(Pemerintah).

11. Cinta Tanah Air

―Kalau sudah besar Amel ingin tinggal di kampung saja.‖ Amelia

memecah kesibukan mengunyah makanan masing-masing. (Liye, 2010:239)

Kutipan diatas menceritakan suasana hangat di rumah Pukat saat

makan malam, hidangan lezat mamak selalu megguh selera, termasuk selera

untuk dapat berbincang panjang mengenai masa depan. Termasuk nasihat

Bapak kepada anak-anaknya untuk selalu berbesar hati, selalu ramah dan

peduli terhadap orang sekitar. Hal yang tidak akan didapatkan di zaman

milenia. Hingga Amel mempunyai keinginan untuk selalu berada di

kampungnya, kampung yang penuh dengan keramah tamahannya, dan

mencintai kampungnya sepenuh hati.

Nilai pendidikan karakter dari kutipan cerita diatas adalah ajakan

untuk selalu mencintai tanah air, sebagaimana pepatah lama mengatakan

sejauh apapun kamu pergi, rumah adalah tempat ternyaman untuk kembali

pulang.

12. Menghargai Prestasi

a. Penumpang satu per satu mulai meninggalkan stasiun. Sebelum kami

melanjutkan perjalanan ke rumah Koh Acan menumpang dokar,

komandan tentara sempat menemui. Dia dengan wajah ramah, jongkok

menepuk bahuku, ―Dalam urusan ini, ternyata Bapakmu keliru.‖

Komandan tentara tersenyum lebar, ―Kau bukan Pukat si anak yang

pintar… tetapi kau lebih dari itu, kau Pukat si anak yang jenius.‖ (Liye,

2010:32)

Kutipan cerita diatas menceritakan tentang kejadian perampokan di

gerbong kereta yang Pukat naiki, dengan menggunakan bubuk kopi yang

akan diberikan kepada Koh Acan kawanan perampok tersebut dapat di

ringkus oleh betugas yang berwenang. Dan semua itu berkat ide cemerlang

Pukat.

Nilai karakter menghargai prestasi yang dapat diambil dari kutipan

cerita diatas selain cerdas dalam mengunakan peluang adalah kebesaran

hati komandan tentara yang bersedia mengapresiasi kerja Pukat, menghargai

kerjanya dengan memberikan pujian.

b. Kalau soal mengajar sambil bercrita, aku yakin tidak ada yang

mengalahkan kehebatan Pak Bin, apalagi dengan semua keterbatasan yang

dimiliki sekolah kami. (Liye, 2010:75)

Kutipan cerita diatas menceritakan tentang kekaguan Pukat pada

sosok guru yang luar bisa, guru yang tidak hanya mentransfer ilmu pada

siswanya tetapi juga mendidiknya menjadi harta karun paling berharga yang

di miliki kampungnya, yang dimiliki negara ini.

Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari menghargai

prestasi selain memberikan pujian adalah berusaha seperti orang yang kita

puji dalam hal kebaikan. Dalam kutipan ini berarti mencoba meneladani

kepribadian Pak Bin, guru yang dengan ikhlas mengajarkan segala hal

kepada muridnya, tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pengetahuannya

yang luas dan hatinya yang juga tak kalah luas.

c. ―Sini, kubantu, apa susahnya tinggal kau tiru sajamistarnya, kau beri tanda

senti-senti di pinggiran buku.‖ Aku gemas menyeret teman itu duduk,

mengeluarkan penggarisnya, lantas membuatkan mistar tiruan. Yang lain

menonton terpesona, tidak pernah terpikir solusi itu. Sebenarnya aku hanya

mencontoh Ayuk Eli, dia pernah mematahkan mistar panjang milikku,

lantas mengantinya dengan karton yang dipotong mirip mistar, kemudian

diberikan garis senti-sentinya. (Liye, 2010:130)

Kutipan diatas menceritakan tentang kecerdasan Pukat saat

membantu temannya yang membutuhkan penggaris, ide cemerlangnya

membuat semua teman berdecak kagum. Ketika yang lain panik ketika

hendak ulangan matematika tidak membawa penggaris. Maka Pukat dengan

santai menunjukkan cara sederhana membuat penggaris menggunakan

kertas buku.

Nilai pendidikan karakter menghargai prestasi dari kutipan diatas

selain memberikan pujian adalah mencontoh apa yang orang tersebut

lakukan, sehingga kita mendpatkan ilmu baru, medapatkan pengalaman

yang baru dan dapat seperti orang yag kita beri pujian (dalam hal positif).

d. Aku mengangguk, ―Pak Bin bilang, sekolahnya lama sekali… SD, SMP,

SMA, universitas, kuliah lagi, kuliah lagi. Sekolah terakhirnya belum ada di

sini. Harus pergi ke negara jauh sana. (Liye, 2010:321)

Kutipan cerita diatan menceritakan kejadian saat Bapak bertanya

apa cita-cita pukat, harus dengan apa Pukat menggapainya, dan dengan

kearifan Bapak dalam membiarkan anaknya memilih. Maka Pukat

mempunyai PR besar untuk terus belajar sampai sekolah yang sangat jauh di

negeri seberang.

Nilai pendidikan karakternya adalah menghargai prestasi dengan

terus belajar, selama masih mampu maka kewajiban kita dalam menghargai

prestasi adalah terus semangat belajar, sebagimana yang diajarkan dalam

agama Islam. Bahwasanya menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki

dan muslim perempuan, dan hal ini berlaku sejak lahir sampai kita

menghembuskan nafas terakhir. Selama itu pula menuntut ilmu hukumnya

wajib.

e. Tiga bulan berlalu, ladang itu sudah ditanam dengan bibit kopi. Di

kampung kami, jarang ladang ditanami padi dua kali, hasil panennya tidak

sebaik yang pertama. Tiga bulan berlalu, aku juga lulus dari SD, dengan

nilai yang baik. Ayuk Eli menemaniku mendaftar sekolah di kota kabupaten.

Dan tidak terasa, tahun ajaran baru dimulia, aku hanya bisa pelang ke

kampung setiap Sabtu petang, menumpang mobil colt yang tersenggal

melintasi bukit, kembali ke kota Ahad sore. (Liye, 2010:324)

f. Meski aku ingin sekali sekolah di kota provinsi atau bahkan di pulau

sebrang sana, aku tetap bersyukur dengan hanya melanjutkan di kota

kabupaten. (Liye, 2010:324)

Kutipan cerita diatas mengambarkan upaya Pukat dalam

menghargai prestasi, terus belajar. Pukat termasuk yang mempunyai

kesempatan untuk melanjutkkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi,

selangkah demi selangkah untuk mewujudkan cita-citanya menjadi peneliti.

Terus bersyukur dan selalu semangat belajar menjadi caranya untuk

menghargai kemampuan yang ia miliki.

13. Bersahabat dan Komunikatif

a. ―Bagaimana, lebih baik lompatan siapa?‖ Lamsari bertanya

―Lamsari.‖ Aku menjawab mantap

―Can.‖ Jawab burlian tidak kalah mantap.

Tentu saja urusan ini tidak pernah mudah diputuskan. Mau berapa kalipun

kami ber-awas-awas bum-bum saling memamerkan teknik lompatan

terbaik, penilaian kami tetap saja subyektif, membela teman masing-

masing. (Liye, 2010:36)

Kutipan cerita diatas bercerita tentang keseruan Pukat bersama

teman-temanya saat bermain air di sungai, bermain bersama, bergurau, saling

memberikan semangat dan bersahabat.

Nilai pendidikan karater yang dapat diambil dari kutipan cerita diatas

adalah pertemanan yang menyenangkan, dunia anak-anak di kampung yang

masih bersatu dengan alam, berkawan dengan lingkungan, sekali dua

bertengkar menjadi hal yang biasa ketika lima menit kemudian mereka sudah

kembali tertawa bersama,saling menjahili dan selalu bersahabat. Dalam

agama islam juga diperintahkan untuk memilih teman yang baik, teman yang

selalu mengajak kita untuk berada di jalan yang benar.

b. ―Kakak di belakang, kalau kau jatuh, kakak bisa menangkapmu.‖ Aku

berkata pelan di telinga Burlian, meyakinkannya. ―Ayo Burlian, larilah

secepat kaki kau …Bapak sudah menunggu di ujung batang kayu ini.‖

(Liye, 2010:306)

Kutipan cerita diatas menceritakan tentang proses pembukaan hutan

yang membawa pelajaran berharga tentang sebulir padi pada Pukat dan

Burlian. Dua kali mereka mengalami kejadian hemat yang sekaligus membuat

Mamak menangis melihat kondisi anaknya. Kejadian pertama saat Pukat.

Burlian dna Can tersejab rotan setan dan yang kedua ini adalah kejadian saat

Pukat, Burlian dan Can terjebak nyala api yang digunakan untuk membakar

lahan. Pukat sebagi kakak berhasil mengambil peran untuk memberikan

semangat dan energi untuk percaya diri pada Burlian dan Can, kejadian yang

tidak akan pernah mereka lupakan, besera bekas-bekas luka bakarnya.

Pelajaran yang dapat diambil dari kutipan cerita diatas adalah belajar

dari sosok Pukat, kakak yang komunikatif, mau melindungi adiknya, rela

mengedepankan keselamatan adiknya daripada dirinya sendiri. Caranya

memberikan semangat yang bagus dan caranya meyakinkkan Burlian dan Can

yang mengagumkan.

14. Cinta Damai

a. Begitulah, pertengkaran kami soal kambing-ayam itu ternyata berbuntut

panjang. Bukan lagi sekedar perkelahian lumrah anak-anak. Walau

Lamsari tidak bosan, setiap hari berkali-kali membujuk kami bermain

bersama lagi, meskipun burlian tertawa mengolok-olok agar berbaikan,

satu bulan berlalu, musim penghujan sudah tiba di penghujungnya, kami

belum menunjukan tanda-tanda akan berdamai. Yang terjadi justeru

sebaliknya, kebencian itu semakin menebal. (Liye, 2010:91)

b. Aku dan Raju sudah tersenyum caggung, menyeringai salah-tingkah satu

sama lain. Meski lebih mirip seringai kuda, itu jelas seringai

perdamaian. Akhirnya setelah dua bulan tidak saling tegur, kami

berbaikan. (Liye, 2010:110)

Kutipan cerita diatas menggambarkan kejadian saat Pukat dan

Raju bertengkat, permasalahan sepele di dunia anak-anak yang akhirnya

membawa mereka belajar arti sahabat yang sesungguhnya. Pukat dan

Raju bertengkar cukup lama, hanya karena sio kelahiran mereka yang

dianggap hewan yang tidak kuat, kambing dan ayam. Keduanya tidak

saling sapa cukup lama, hingga akhirnya naluri anak-anaknya kembali

membuat mereka bersahabat kembali, bahkan sampai mereka

menemukan jalan hidup masing-masing.

Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil adalah sikap maaf-

memaafkan dan mengargai orang lain, sebagaimana ajaran dalam agama

Islam yaitu perintah untuk saling memaafkan dan tidak bermarahan

dengan saudaranya lebih dari tiga hari.

15. Gemar Membaca

Pasar masih sepi, cahaya matahari pagi menimpa lembut lapangan

kota kecamatan. Aku cekatan membentangkan terpal, menumpahkan separuh

duku, membuat tumpukan-tumpukan jualan. Minggu lalu Bapak (dan Mamak)

sudah sepakat, sepersepuluh dari uang yang kami peroleh menjadi bagian

kami. Itu berarti lebih banyak majalah bekas yang bisa kubeli. (Liye,

2010:240)

Kutipan diatas menceritakan kejadian di pasar Kalangan, pasar

dadakan yang hanya ada pada hari kamis, hari itu Pukat dan Burlian menjual

duku di pasar Kalangan. Menggelar daganganya, menawarkan kepada setiap

orang yang lewat didepan lapak mereka, berharap rezeki lebih dapat mereka

bawa pulang, dan untuk membeli majalah bekas. Barang yang tidak pernah

luput dari tangan Pukat ketika pulang dari pasar Kalangan.

Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil adalah harapan Pukat

untuk dapat membeli majalah bekas, kegemaranya membaca membuat dia

begitu bahagia ketika mendapatkan majalah bekas, hanya majalah bekas yang

sering kali ada beberapa halaman di dalamnya yang telah hilang. Majalah

usang yang darinya Pukat berharap mendapatkan ilmu yang lebih.

16. Peduli Lingkungan

Sungguh sebuah kekeliruan jika ada yang menilai penduduk

kampung yang selama ini menyumbang porsi besar kerusakan hutan.

Faktanya, sejak berpuluh-puluh tahun silam hingga sekarang luas ladang

yang ditanami penduduk kampung hanya itu-itu saja. Tidak setiap tahun

mereka membakar hutan. Lebih banyak yang seperti siklus alam, hanya

membuka ulang ladang lama yang tidak diurus bertahun-tahun. (Liye,

2010:277)

Kutipan diatas menggambarkan kehidupan di kampung yang masih

sangat erat hubunganya dengan alam, masyarakat di kampung tidak pernah

merusak hutan, membakar hutan untuk membuka lahan. Tidak, mereka hanya

menggunakan lahan yang ada, membakar lahan yang memang dari tahun ke

tahun lahan itulah yang digunakan. Tidak merusak alam sama sekali.

Dari kutipan mengajarkan untuk selalu mencintai alam sekitar, tidak

merusaknya, dan berusaha untuk melestarikannya. Sebagaimana hal yang

dilakukan warga kampung.

17. Peduli Sosial

Aku menjulurkan bungkusan plastik. ―Masakan rendang dari

Mamak.‖

―Aduh merepotkan, terima-kasih.‖ Ibu Ahmad tersenyum riang. (Liye, 2010:137)

Kutipan diatas menceritakan kejadian saat Nayla sakit, Ibu Ahmad

yang pekerjaan sehari-harinya berjualan di sekolah tidak bisa melakukan

aktifitas seperti biasa, tidak dapat bekerja. Yang artinya mereka juga tidak

mendapatkan uang untuk sekadar membeli makanan, mendengar kabar itu

Mamak meminta Pukat untuk mengantarkan rendang untuk Ibu Ahmad dan

Nayla makan.

Nilai pendidikan yang dapat diambil adalah kepekaan hati untuk

selalu peduli terhadap orang-orang yang ada di sekitar, membantu mereka

yang membutuhkan dan meringanan beban yang mereka rasakan.

Sebagaimana yang dilakukan keluarga Pukat. Karena agama Islam juga

sangat menganjurkan untuk saling tolong menolong dan meringankan beban

saudara sesama muslim, sebagaimana tertera dalam firmannya, yaitu Q.S Al-

Ma‟idah,05:2.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-

syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan

(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id,

dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah

sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila

kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan

janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka

menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat

aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam

(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam

berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,

Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Kemenag, 2008:75)

18. Tanggung Jawab

―Oi, sungguhan kita bisa ambil sendiri?‖

―Kau tetap harus bayar. Lihat kaleng itu, kau harus masukkan uangnya juga.‖

Aku mendelik. (Liye, 2010:143)

Kutipan diatas adalah kejadian saat pertama kali Pukat membuka

warung kejujuran milik Ibu Ahmad, Lamsari yang merasa asin dengan hal

baru tersebut bertanya dengan polosnya kepada Pukat, Lamsari berharap dia

bisa jajan sepuasnya di warung tanpa harus membayar.

Nilai pendidikan karakter yang dapat diambil dari kutipan cerita

diatas adalah pelajaran untuk bertanggung jawab, kapanpun dan dimanapun.

Seperti halnya yang ada di warung kejujuran. Tanggung jawab ketika

membeli adalah menaruk uangnya di kaleng, maka dilihat atau tida dilihat

orang lain harus tetap memasukkan uang, bukan malah mengambil barang

tetapi tidak membayarnya. Perintah untuk selalu bertanggung jawab juga

terdapat dalam Al-Quran, yaitu Q.S Al-Israa‟, 17:36:

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak

mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,

penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

(Kemenag, 2008:228)

Kutipan-kutipan cerita dalam novel Pukat diatas memberikan

gambaran mengenai nilai pendidikan karakter, yang sebenarnya masih banyak

lagi yang dapat temui ketika membaca novel, baik novel Pukat atau novel

yang lainya. Cerita yang secara tidak langsung mengajak untuk selalu berbuat

baik, cerita yang secara tidak langsung menambah wawasan, menambah ilmu

pengetahuan, dan banyak manfaat membaca lainya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Gaya bahasa yang terdapat dalam novel Pukat Karya Tere Liye.

Dalam novel Pukat, Tere Liye menggunakan banyak gaya

bahasa. Dari banyaknya gaya bahasa yang digunakan, gaya bahasa

Personifikasi merupaka gaya bahasa yang paling sering muncul. Ada

setidaknya lima puluh sembilan gaya bahasa personifikasi yang

digunakan dalam novel ini. Beberapa diantaranya adalah:

1. Suara letusan senapan kembali merobek langit-langit gelap. Bau

mesiu tercuim pekat. (Liye, 2010:20)

2. Kami tidak terlalu memperhatikan kesibukan di atas langit sana,

kami sedang asyik melompati cadas sungai. Kadang bergantian

lebih sering lompat serempak. Mandi sore yang menyenangkan.

(Liye, 2010:35)

3. Esok harinya. Cahaya matahari lembut membasuh lapangan

sekolah. (Liye, 2010:129)

2. Nilai pendidikan karakter dalam novel Pukat

Dalam novel Pukat terdapat delapan belas nilai pendidikan

karakter yang sesuai dengan agama, pancasila, budaya dan tujuan

pendidikan nasional. Delapan belas nilai pendidikan karakter beserta isi

dalam kutipan novelnya yaitu:

1. Reigius: Mengaji, zakat, shalat, dan mengucapkan kalimat tayyibah.

2. Jujur: Membayar ketika jajan di warung kejujuran.

3. Toleransi: Menerima pendapat orang lain

4. Disiplin: Menaati peraturan sekolah

5. Kerja keras: Membantu perekonomian keluarga

6. Kreatif: Membuat penggaris dari kertas buku

7. Mandiri: Membersihkan tempat tidur

8. Demokrasi: Bebas memilih cita-cita

9. Rasa ingin tahu: Tidak malu bertanya

10. Semangat kebangsaan dan nasionalisme: Menghargai pemimpin

11. Cinta tanah air: Kemanapun merantau, kampung halaman tetap

menjadi tempat ternyaman untuk pulang

12. Menghargai prestasi: Menuntut ilmu setinggi-tingginya

13. Bersahabat dan komunikatif: Berteman dengan siapa saja.

14. Cinta damai: Saling memaafkan ketika bertengkar

15. Gemar membaca: Rajin membeli buku (majalah)

16. Peduli lingkungan: Menjaga hutan

17. Peduli sosial: Membantu tetangga yang kesusahan

18. Taggung jawab: Menghabiskan makanan yang sudah diambil

3. Relevansi gaya bahasa personifikasi dan pendidikan karakter

dalam kehidupan sehari-hari

1. Relevansi gaya bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada novel Pukat

Dalam kehidupan sehari-hari gaya bahasa personifikasi akan

banyak ditemukan dalam berbagai bacaan, baik itu koran, majalah,

novel dan buku bacaan lainnya. Sebagaimana fungsinya secara umum

gaya bahasa berfungsi sebagai penjelas suasana, menarik minat

pembaca, menjadikan kekhasan dalam novel.

Dalam kehidupan sehari-hari ilmu mengenai gaya bahasa ini

akan ditemukan baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah,

ataupun atas. Sehingga relevansi gaya bahasa personifikasi dalam

novel ini yaitu dapat dijadikan bahan belajar untuk pelajaran dan

materi tertentu dalam pendidikan.

2. Relevansi nilai pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari pada

novel Pukat

Pendidikan karakter dewasa ini menjadi poin penting dalam

pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan karakter

diharapkan dapat membantu menjadikan generasi bangsa menjadi lebih

bermartabat, dan dalam novel ini, pembaca baik anak-anak ataupun

orang dewasa akan mendapatkan banyak contoh nilai karakter yang

baik sesuai dengan kehidupan sehari-hari, terutama dalam dunia anak-

anak.

4. Saran

Setelah melakukan penelitian mengenai gaya bahasa

personifikasi dalam novel Pukat Serial Anak-anak Mamak, maka dapat

diberikan beberapa saran yang dapat digunakan sebagai acuan dalam

dunia pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan, terutama

dalam penanaman karakter yang baik. Maka penulis ingin

menyampaikan sedikit saran untuk perbaikan dan kemajuan bersama,

yaitu:

1. Bagi pendidik dan calon pendidik hendaklah novel ini dapat

menjadi reverensi ketika membutuhkan gaya bahasa personifikasi

atau gaya bahasa yang lain, novel ini juga dapat menjadi juga

menjadi sarana untuk mendidik melalui media tulisan yang

didalamnya terdapat contoh-contoh untuk menanamkan pendidikan

karakter yang baik.

2. Sebagai orang tua dapat menjadikan novel ini sebagai reverensi

dalam mendidik anak, mengajarkan anak kemandirian, kejujuran,

kerja keras, dan masih banyak lagi nilai kehidupan didalamnya.

3. Bagi pembaca baik anak-anak ataupun orang dewasa novel Pukat

menjadi bacaan yang bagus untuk menambah wawasan, dan

memberikan amanat yang bagus bagi pembacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. 2008. Al-Quran dan Terjemah. Semarang: Karya

Putra Utama

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka

Hariyanto, Muhtar. 2013. Konsep Pendidikan Karakter. Jakarta: Remaja

Rosda Karya

Kementrian Pendidikan Nasional. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan

Karakter. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum

Dan Perbukuan

Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: Gramedia

Keraf, Gorys. 1987. Argumentasi Dan Narasi. Jakarta: Gramedia

Liye, Tere. 2010. Pukat Serial Anak-Anak Mamak. Jakarta: Republika

Mudyahardjo, Redja. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar.

Bandung: Remaja Rosdakarya

Muslich, Masnur. 2015. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis

Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press

Pedoman Penyusunan Skripsi IAIN Salatiga 2017

Sari, Risky Permata. 2017. Analisis Gaya Bahasa Personifikasi Dan Nilai

Pendidikan Karakter Dalam Novel Amelia Karya Tere Liye. Salatiga:

IAIN Salatiga

Setiawati, Nopi. 2013. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Novel Pukat

Serial Anak-anak Mamak Karya Tere Liye. Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga

Zed, Mustika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tere_Liye_(Penulis) (diakses pada Kamis, 15

Maret 2018. Pukul 21.16)