analisis faktor inflasi

53
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI DI INDONESIA DAN FILIPINA ( Pendekatan Error Correction Model ) I. Pendahuluan Inflasi merupakan penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat menimbulkan dampak yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target kebijakan pemerintah. Inflasi yang tinggi begitu penting untuk diperhatikan mengingat dampaknya bagi perekonomian yang bisa menimbulkan ketidakstabilan, pertumbuhan ekonomi yang lambat dan pengangguran yang senantiasa meningkat. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya mengendalikan agar stabil begitu penting untuk dilakukan. Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak tahun 1997 sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di kawasan ini. Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Thailand relatif stabil, diatas 7 persen per tahun. Akibat krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi Thailand menurun menjadi -0,4 persen. Hal ini berdampak pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Tahun 1998 Indonesia mengalami "Significant deteronation", laju inflasi meningkat cepat seiring melemahnya nilai tukar rupiah. Sementara itu kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan masyarakat baik domestik maupun internasional meningkat tajam, sehingga

Upload: arya-tyo

Post on 13-Jun-2015

5.583 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

PEREKONOMIAN INDONESIA

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS FAKTOR INFLASI

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INFLASI

DI INDONESIA DAN FILIPINA

( Pendekatan Error Correction Model )

I. Pendahuluan

Inflasi merupakan penyakit ekonomi yang tidak bisa diabaikan, karena dapat

menimbulkan dampak yang sangat luas. Oleh karena itu inflasi sering menjadi target

kebijakan pemerintah. Inflasi yang tinggi begitu penting untuk diperhatikan mengingat

dampaknya bagi perekonomian yang bisa menimbulkan ketidakstabilan, pertumbuhan

ekonomi yang lambat dan pengangguran yang senantiasa meningkat. Berkenaan dengan

hal tersebut, upaya mengendalikan agar stabil begitu penting untuk dilakukan.

Krisis ekonomi yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak tahun 1997

sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi di kawasan ini.

Sebelum krisis, pertumbuhan ekonomi Thailand relatif stabil, diatas 7 persen per tahun.

Akibat krisis ekonomi pertumbuhan ekonomi Thailand menurun menjadi -0,4 persen. Hal

ini berdampak pada negara-negara lain di Asia Tenggara. Tahun 1998 Indonesia

mengalami "Significant deteronation", laju inflasi meningkat cepat seiring melemahnya

nilai tukar rupiah. Sementara itu kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan masyarakat

baik domestik maupun internasional meningkat tajam, sehingga berpengaruh terhadap

perekonomian. Ekonomi Indonesia mengalami penurunan sangat signifikan yaitu sebesar

-13,0 persen (tahun 1998 ).

Page 2: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Tabel 1

Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi di Beberapa Negara ASEAN

Tahun 1992 – 2000 ( Persen )

 

Tahun Indonesia Malaysia Thailand Filipina

Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi Growth Inflasi1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

6,5

7,3

7,5

8,2

7,8

4,7

-13,0

0,8

4,9

4,94

9,77

9,24

8,64

6,47

11,05

77,63

2,01

9,35

7,8

8,3

9,2

9,5

5,6

7,8

-6,4

10,5

7,7

4,70

3,56

3,70

3,4

3,50

2,70

5,30

2,50

1,40

8,1

8,3

8,8

5,7

5,5

-0,4

-8,0

6,5

2,6

4,10

3,30

5,00

5,80

5,90

5,60

8,10

0,70

1,30

0,3

2,1

4,4

4,8

5,7

5,1

-0,6

4,6

4,8

8,90

7,60

9,00

8,10

8,40

6,00

9,70

4,30

6,60

Sumber : Laporan Mingguan Bank Indonesia Beberapa Edisi

Perekonomian Malaysia menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup

tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, namun akibat krisis ekonomi mengalami

penurunan menjadi –6,4 persen. Pertumbuhan ekonomi Filipina sebelum krisis melanda

relatif baik, pada saat krisis terjadi pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan sampai

–0,6 persen (tahun 1998).

Pada saat krisis ekonomi melanda negara-negara ASEAN, tingkat inflasi

mengalami peningkatan. Inflasi yang terjadi di suatu negara sangat dipengaruhi oleh

faktor-faktor domestik dan faktor dari luar negeri. Dari Tabel 1 terlihat laju inflasi di

beberapa negara ASEAN sangat berfluktuasi. Indonesia merupakan negara yang paling

tinggi tingkat inflasinya, dan paling berfluktuatif. Pada tahun 1992 tingkat inflasi

Indonesia sebesar 4,94 persen, dan pada tahun-tahun berikutnya cenderung meningkat.

Page 3: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Pada saat krisis ekonomi serta ketidakstabilan sosial politik pada tahun 1998 inflasi

meningkat tajam sampai 77,63 persen.

Malaysia dengan laju inflasi 4,70 persen pada tahun 1992 dan terus menurun

hingga tahun 1997 yaitu 2,70 persen, tetapi tahun 1998 laju inflasi meningkat menjadi

5,30 persen. Thailand juga mengalami Inflasi yang cukup berfluktuatif dari 4,10 persen

pada tahun 1992 menjadi 8,10 persen pada tahun 1998. Tingkat Inflasi di Filipina relatif

tinggi dibanding negara lainnya di ASEAN. Pada saat krisis ekonomi tahun 1998 laju

inflasi mencapai 9,70 persen.

Bagi Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam upaya

membangun kembali perekonomian, tingkat inflasi yang tinggi harus dihindari sehingga

momentum pembangunan menjadi sehat dan kegairahan dunia usaha yang berada pada

tingkat yang tinggi tetap dapat terpelihara. Namun kesemuanya itu tidaklah mudah dan

memerlukan perhatian yang besar. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi sangat

beragam sehingga perlu diketahui bagaimana perilaku inflasi dalam jangka pendek dan

jangka panjang, sehingga memudahkan pemerintah dalam menerapkan kebijaksanaan

pengendalian inflasi.

Penelitian ini ingin mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dalam

jangka pendek dan jangka pangjang khususnya di negara Indonesia dan Filipina. Hal ini

mengingat tingkat inflasi yang cukup tinggi dan fluktuatif di kedua negara ASEAN ini .

II. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Menganalisis variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat inflasi di Indonesia dan

Filipina dalam jangka pendek dan jangka panjang.

2. Menganalisis seberapa besar pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap tingkat

inflasi di Indonesia dan Filipina dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Page 4: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Kegunaan :

Kajian ini diharapkan menjadi bahan informasi dan masukan bagi pemerintah khususnya

otoritas moneter sebagai bahan pertimbangan dalam upaya memutuskan dan

mengimplementasikan kebijakan di bidang moneter.

 

III. Landasan Teori

1. Teori Inflasi

Menurut A.P. Lehner inflasi adalah keadaan dimana terjadi kelebihan permintaan

(Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan

(Anton H. Gunawan, 1991). Sementara itu Ackley mendefinisikan inflasi sebagai suatu

kenaikan harga yang terus menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam

barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan

dikatakan sebagai inflasi (Iswardono, 1990). Menurut Boediono (1995) inflasi adalah

kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan

harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali bila kenaikan

tersebut meluas kepada atau mengakibatkan kenaikan sebagian besar dari barang-barang

lain. Inflasi diakibatkan oleh :

1. Demand-Pull Inflation

Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total (agregate demand), sedangkan

produksi telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh atau hampir mendekati

kesempatan kerja penuh. Apabila kesempatan kerja penuh (full-employment) telah

tercapai, penambahan permintaan selanjutnya hanyalah akan menaikkan harga saja

(sering disebut dengan inflasi murni).

i. Cost-Push Inflation

Page 5: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Cost push inflation ditandai dengan kenaikan harga serta turunnya produksi. Jadi inflasi

yang dibarengi dengan resesi. Keadaan ini timbul dimulai dengan adanya penurunan

dalam penawaran total (agregate supply) sebagai akibat kenaikan biaya produksi.

Kenaikan produksi akan menaikkan harga dan turunnya produksi. 

1. Teori Permintaan Uang Keynes

a. Permintaan uang untuk tujuan transaksi dan berjaga-jaga

Keynes menyatakan, bahwa permintaan uang kas untuk tujuan transaksi dan

berjaga-jaga tergantung dari pendapatan. Makin tinggi tingkat pendapatan, maka besar

keinginan akan uang kas untuk transaksi dan berjaga-jaga. Seseorang atau masyarakat

yang tingkat pendapatannya tinggi, biasanya melakukan transaksi yang lebih banyak

dibanding seseorang masyarakat yang pendapatannya rendah.

b. Permintaan uang untuk tujuan spekulasi

Permintaan uang untuk tujuan spekulasi, menurut Keynes ditentukan oleh tingkat

bunga. Makin tinggi tingkat suku bunga makin rendah keinginan masyarakat akan uang

kas untuk tujuan tujuan / motifasi spekulasi. Alasannya, pertama apabila tingkat bunga

naik, berarti ongkos memegang uas kas (opportunity cost of holding money) makin

besar / tinggi, sehingga keinginan masyarakat akan uang kas akan makin kecil.

Sebaliknya, makin rendah tingkat bunga makin besar keinginan masyarakat untuk

menyimpan uang kas. Kedua, hipotesa Keynes bahwa masyarakat menganggap akan

adanya tingkat bunga "normal" berdasar pengalaman, terutama pengalaman tingkat bunga

yang baru-baru terjadi.

Menurut Keynes terjadinya inflasi disebabkan oleh permintaan agregat sedangkan

permintaan agregat ini tidak hanya karena ekspansi bank sentral, namun dapat pula

disebabkan oleh pengeluaran investasi baik oleh pemerintah, maupun oleh swasta dan

pengeluaran konsumsi pemerintah yang melebihi penerimaan (defisit anggaran belanja

negara) dalam kondisi full employment. Secara garis besar Keynes menyebutkan bahwa

inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup di luar batas kemampuan ekonominya.

Page 6: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Pertumbuhan jumlah uang beredar yang tinggi sering menjadi penyebab tingginya

tingkat inflasi, naiknya jumlah uang beredar akan menaikkan permintaan agregat

(agregate demand) yang pada akhirnya jika tidak diikuti oleh pertumbuhan di sektor riil

akan menyebabkan naiknya tingkat harga. Hal ini berarti jika pertumbuhan di sektor

moneter yang dicerminkan oleh meningkatnya jumlah uang beredar diikuti dengan

pertumbuhan di sektor riil yang dicerminkan oleh pertumbuhan GDP, maka peristiwa

meningkatnya inflasi bisa diminimalisir.

2. Tingkat Suku Bunga

Menurut Nopirin ( 1996 ) suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh

peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman

atas investasinya. Suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan

membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan.

Suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa

depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi

antara permintaan dan penawaran (Suhaedi, 2000).

Suku bunga dibedakan menjadi dua, suku bunga nominal dan suku bunga riil.

Suku bunga nominal adalah rate yang dapat diamati di pasar. Sedangkan suku bunga riil

adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga

nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.

Tingkat suku bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat

harga, ketika tingkat harga tinggi dimana jumlah uang yang beredar di masyarakat

banyak sehingga konsumsi masyarakat tinggi akan diantisipasi oleh pemerintah dengan

menetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan tingkat suku bunga tinggi yang

diharapkan kemudian adalah berkurangnya jumlah uang beredar sehingga permintaan

agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi.

Page 7: ANALISIS FAKTOR INFLASI

3. Teori Paritas Daya Beli

Teori paritas daya beli pertama kali dikemukakan oleh Gustav Cassell 1922

(Khalwaty, 2000 ) mengandung dua pengertian, yaitu pengertian absolut dan pengertian

relatif. Pengertian absolute mengatakan bahwa kurs keseimbangan di antara mata uang

dalam negeri dan mata uang luar negeri merupakan rasio antara harga absolute luar

negeri dan harga absolute dalam negeri. Sedangkan pengertian relatif menyatakan bahwa

prosentase perubahan kurs keseimbangan di antara mata uang dalam negeri dan mata

uang luar negeri merupakan rasio antara prosentase perubahan harga dalam negeri dan

prosentase perubahan harga luar negeri, sehingga prosentase perubahan kurs tersebut

mencerminkan perbedaan tingkat inflasi di antara dua negara.

Beberapa hal yang perlu ditekankan dari teori paritas daya beli adalah pertama

masalah dasar dari paritas daya beli, yakni proporsionalitas tingkat harga dan nilai tukar

hanya terjadi jika penyebab goncangan yang mengubah tingkat harga dari nilai tukar

merupakan suatu goncangan moneter. Kedua, teori paritas daya beli tersebut tidak kerja

seketika, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga dapat dikatakan bahwa

teori tersebut menunjukkan hubungan keseimbangan jangka panjang antara nilai tukar

dengan tingkat harga.

Nilai mata uang dari suatu negara yang cenderung menurun menunjukkan negara

tersebut mempunyai tingkat inflasi yang tinggi. Inflasi suatu negara lebih tinggi

dibandingkan dengan negara lain berarti harga barang-barang di negara tersebut naik

lebih cepat dari negara lain. Hal ini akan berakibat ekspor akan turun dan impor akan

naik karena harga barang-barang negara bersangkutan lebih mahal bila dibandingkan

dengan barang-barang negara lain. Dengan demikian supply dari mata uang asing akan

turun dan demand akan naik, sehingga nilai mata uang asing akan naik (nilai mata uang

domestik akan turun atau terdepresiasi).

4. Teori Produk Domestik Bruto

Menurut pendekatan produksi, Produk Domestik Bruto ( PDB ) adalah jumlah

nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu

Page 8: ANALISIS FAKTOR INFLASI

negara dalam jangka waktu setahun (Dumairy, 1990). Kesempatan kerja dalam

perekonomian akan menentukan tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat produksi atau

pendapatan nasional yang dihasilkan.

Dalam analisis IS-LM keseimbangan kegiatan perekonomian ditentukan oleh

interaksi keadaan di pasar uang dan pasar barang. Keseimbangan pendapatan nasional

tercapai apabila sifat hubungan diantara suku bunga dengan pendapatan nasional yang

berlaku di pasar barang adalah sama dengan yang berlaku di pasar uang, yaitu bila kurva

IS berpotongan dengan kurva LM. Dalam analisis IS-LM dapat diperhatikan efek

kebijakan pemerintah dalam mempengaruhi kegiatan perekonomian. Kebijakan-

kebijakan pemerintah yang dijalankan yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.

Pendapatan riil masyarakat berpengaruh terhadap tingkat inflasi. Apabila pendapatan riil

masyarakat turun maka inflasi akan meningkat (Sukirno, 2000).

 

IV. Hipotesis

Dengan mendasarkan pada latar belakang, landasan teori dan penelitian-penelitian

sebelumnya hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1) Diduga ada pengaruh positif antara

jumlah uang beredar dan nilai tukar (Exchange Rate) dengan tingkat inflasi. 2) Diduga

ada pengaruh negatif antara Produk Domestik Bruto riil dan tingkat suku bunga dengan

tingkat inflasi.

 

V. Metode Penelitian

1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah laju inflasi sebagai variabel

dependen, sementara jumlah uang beredar, PDB riil, nilai tukar (Exchange Rate), tingkat

suku bunga sebagai variabel independen. Definisi operasional untuk masing-masing

variabel adalah :

Page 9: ANALISIS FAKTOR INFLASI

1. Tingkat Inflasi

Adalah kenaikan harga secara umum dan terus menerus, kenaikan harga harus

meliputi semua macam barang dan jasa. Data menggunakan Indeks Harga Konsumen

yang dinyatakan dalam satuan persen.

2. Jumlah Uang Beredar

Dalam penelitian ini data mengenai jumlah uang beredar diambil dari data uang

dalam arti sempit ( M1 ), dengan satuan milyar rupiah dan milyar peso.

3. Produk Domestik Bruto Riil (PDB Riil)

PDB riil adalah jumlah nilai barang dan jasa akhir berdasarkan harga konstan yang

dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu

setahun, dengan satuan milyar rupiah dan milyar peso .

4. Nilai Tukar (Exchange Rate)

Dalam penelitian ini, nilai tukar yang digunakan adalah nilai tukar masing-masing

negara yaitu dolar AS terhadap rupiah, dan dolar AS terhadap peso.

5. Tingkat Suku Bunga

Variabel tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku

bunga deposito berjalan satu bulan pada bank-bank pemerintah yang dinyatakan

dalam satuan persen.  

a. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan sekunder runtun waktu (time series)

kuartalan yang diperoleh dari berbagai sumber seperti International Financial

Statistic (IFS), statistik ekonomi dan keuangan Indonesia, laporan mingguan dan

laporan bulanan serta laporan tahunan Bank Indonesia, serta indikator ekonomi.

Kurun waktu penelitian dari kuartal I tahun 1990 sampai kuartal IV tahun 2001.

Page 10: ANALISIS FAKTOR INFLASI

b. Metode Analisis

Berdasarkan pada teori dan hipotesis yang diajukan, inflasi (INF) dipengaruhi oleh

jumlah uang beredar (M1), produk domestik bruto (PDB), nilai tukar (ER) dan tingkat

suku bunga (Rt). Model matematisnya adalah :

INFt = f (M1t . PDBt . ERt . Rt) …………………………………………..(1 )

Model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis model dinamis, yaitu

menggunakan Error Correction Model (ECM). Model dinamis ECM yang digunakan

adalah sebagai berikut :

DLINFt  = 0 + 1 DLM1t + 2 DLPDBt + 3 DLERt +4 DRt + 5 BLM1t +

   6 BLPDBt + 7 BLERt + 8BRt + 9 ECT……..……..…..….( 2 )

Sebelum dilakukan estimasi dengan menggunakan ECM, dilakukan sejumlah pengujian

meliputi :

Uji akar-akar unit

Dalam model otoregresif, uji akar-akar unit merupakn sebagai uji stationaritas, karena

pada prinsipnya uji tersebut dimaksudkan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari

model otoregresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam penelitian ini

digunakan uji akar-akar unit yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller (1979 – 1981)

yang menaksir model otoregresif dari masing-masing variabel dengan OLS.

Dxt = a0 + a1 BXt biBi Dxt……………… …( 3 )

Dxt = Co + C1t + C2BXt + diBi Dxt  ( 4 )

Uji Derajat Integrasi

Page 11: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Uji ini dilakukan bila pada uji akar-akar unit data yang diamati ternyata tidak stasioner,

dengan demikian untuk dapat melakukan uji derajat integrasi perlu ditaksir model

otoregresif berikut ini dengan OLS.

D2Xt = C0 + C1 BDxt + f1 B1 D2 X……………………….……( 5 )

D2Xt = g0 + g1T BDXt + hi Bi D2 Xt…………………………..( 6 )

Dimana : D2Xt = Dxt – Dxt-1

BDxt = DXt-1

Pendekatan Kointegrasi

Tujuan utama dari uji kointegrasi adalah untuk mengkaji apakah Residual regresi

stasioner atau tidak. Pengujian ini sangat penting bila dikembangkan sebagai model

dinamis, khususnya Error Correction Model yang mencakup variabel kunci-kunci pada

regresi kointegrasi terkait, hal ini karena Error Correction Model konsisten dengan

konsep kointegrasi atau selanjutnya lebih dikenal dengan Granger Representation Theory

(Insukindro,1993). Pendekatan kointegrasi berkaitan dengan upaya menghindari

terjadinya regresi lancung yang akan mengakibatkan regresi penaksir tidak efisien.  

Uji Asumsi Klasik

a. Uji Multikolinearitas (Multicollinearity Test )

Multikolinearitas adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel bebas diantara satu

dengan yang lainnya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada

tidaknya multikolinearitas adalah dengan melakukan "regresi parsial" .

a. Uji Heterokedastisitas (Heterocedasticity Test)

Salah satu asumsi pokok dalam model regresi linear klasik adalah homokedastisitas atau

varian yang sama. Salah satu metode yang dapat digunakan ada tidaknya

Page 12: ANALISIS FAKTOR INFLASI

heterokedastisitas dalam satu varian error term ( VI ) suatu model regresi adalah metode

Park.

a. Uji Autokorelasi (Autocorelation Test)

Autokorelasi atau korelasi serial diantara error terms pada serangkaian observasi yang

diurutkan menurut runtun waktu (time series ) atau antar ruang (cross section). Salah satu

cara untuk mendeteksi autokorelasi untuk model regresi adalah Breusch-Godfrey Test

atau B-G Test.

a. Uji Linearitas

Asumsi uji ini mengharuskan bahwa parameter model regresi yang digunakan adalah

linear (Gujarati, 1995). Untuk mengetahui apakah spesifikasi model regresi yang kita

gunakan sudah benar atau tidak maka perlu dilakukan uji linearitas.

 

VI. Hasil dan Pembahasan

a. Hasil estimasi tingkat inflasi di Indonesia

Semua data yang akan dianalisis diuji terlebih dahulu apakah stasioner atau tidak

stasioner. Uji stasionaritas yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa semua

variabel stasioner pada derajat intergrasi dua ( lihat lampiran 1 ). Setelah uji stasionaritas,

dilakukan uji kointegrasi, hasilnya adalah pada á = 5% residual

persamaan kointegrasi telah stasioner pada derajat nol, sehingga

variabel-variabel yang diamati mempunyai hubungan jangka panjang.

Hasil uji diagnostik meliputi uji autokorelasi, heteroskedastisitas,

multikolinearitas, dan linearitas atas semua variabel penelitian disimpulkan bahwa model

yang digunakan lolos dari uji asumsi klasik tersebut (lihat lampiran 1). Sehingga model

yang digunakan cukup sahih.

Page 13: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan error

correction model (ECM), diperoleh hasil estimasi tingkat inflasi di Indonesia sebagai

berikut :

Tabel 2

Hasil Estimasi Model ECM Tingkat Inflasi di Indonesia

 

Variabel Indonesia

Koefisien t-statistik Probability

DLMIt 0.447589 5.114126 0.0000

DLPDBt -1.913290 -3.544578 0.0011

DLERt 2.236640 17.49145 0.0000

DRt -0.255959 -2.384847 0.0223

BLMIt -0.054400 -0.226502 0.8221

BLPDBt -1.744339 -8.179323 0.0000

BLERt 0.433415 3.667364 0.0008

BRt -0.688240 -5.214162 0.0000

ECT 0.558540 5.273399 0.0000

C 1.554159 3.374362 0.0017

R-squared 0.935384

Adjusted R2 0.919666

Page 14: ANALISIS FAKTOR INFLASI

DW stat 2.104247

Prob(F-stat) 0.000000

Sumber : data sekunder yang diolah

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada model tersebut

signifikan dan bertanda positif untuk estimasi model ECM tingkat inflasi di Indonesia.

Berdasarkan hasil estimasi model ECM di atas dapat diketahui bahwa dalam jangka

pendek maupun jangka panjang variabel yang digunakan dalam penelitian ini

berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia. Nilai R2 sebesar

0,9353 dapat dikatakan bahwa jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah

cukup baik, sebab hanya sekitar 6,5 persen variasi variabel terikat dipengaruhi oleh

variabel bebas di luar model.

Dengan demikian maka diketahui bahwa estimasi model jangka pendek tingkat

inflasi di Indonesia dapat dirumuskan dalam persamaan berikut :

DLINFt = 1.5542 + 0.4476DLMIt – 1,9133DLPDBt + 2,2366DLERt -

0,2559DLRt

– 0,0544BLMIt – 1,7433BLPDBt + 0,4334BLERt – 0,6882BRt +

0,5585ECT

Sedangkan untuk estimasi jangka panjang persamaannya adalah sebagai berikut :

LINFt = 3,782 + 0,9026LMIt – 2,124LPDBt + 1,776LERt - 0,233LRt

 

 

Pembahasan hasil estimasi variabel yang mempengaruhi inflasi di Indonesia

Page 15: ANALISIS FAKTOR INFLASI

1. Pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat inflasi

di Indonesia

Jumlah uang beredar ternyata mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh

secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun

dalam jangka panjang. Koefisien regresi sebesar 0,4476 dalam persamaan jangka pendek

menunjukkan bahwa dengan naiknya jumlah uang beredar sebesar 1 persen, akan

menaikkan tingkat inflasi sebesar 0,4476 persen. Sedangkan dalam jangka panjang

dimana koefisien regresi sebesar 0,9026 berarti kenaikan jumlah uang beredar sebesar 1

persen akan menaikkan tingkat inflasi sebesar 0,9026 persen.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah uang beredar baik dalam

jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkatkan inflasi. Hasil ini

menegaskan kembali hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Jaka Sriyana (2001),

Sri Suki I (2001), Sri Endang Novita Sari (2001) dan Tajudin Parenta (1983) yang

menyatakan bahwa tingkat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.

2. Pengaruh PDB terhadap tingkat inflasi di Indonesia

PDB riil ternyata mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan

terhadap tingkat inflasi di Indonesia baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Koefisien regresi variabel PDB sebesar –1,1933 dalam jangka pendek, hal ini

menunjukan bahwa dengan naiknya PDB Indonesia sebesar 1 persen akan menurunkan

tingkat inflasi sebesar 1,1933 persen. Dalam jangka panjang koefisien regresi sebesar –

2,124. Hal ini menunjukkan bahwa dengan naiknya PDB sebesar 1 persen akan

menurunkan tingkat inflasi sebesar 2,124 persen.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan PDB dalam jangka pendek

maupun jangka panjang akan menurunkan tingkat inflasi sangat signifikan di Indonesia.

Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah untuk selalu mendorong

pertumbuhan sektor riil, antara lain dengan memberikan kemudahan bagi kalangan dunia

usaha serta iklim yang kondusif supaya pertumbuhan ekonomi selalu meningkat dari

tahun ke tahun.

Page 16: ANALISIS FAKTOR INFLASI

3. Pengaruh nilai tukar terhadap tingkat inflasi di Indonesia

Nilai tukar ternyata mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara

signifikan terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Koefisien regresi nilai tukar rupiah sebesar 2,2366 dalam jangka pendek menunjukan

bahwa dengan naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar 1 persen dalam jangka

pendek, akan menaikkan tingkat inflasi sebesar 2,2366 persen. Sedangkan koefisien

regresi nilai tukar dolar terhadap rupiah dalam jangka panjang sebesar 1,776 berarti

bahwa jika nilai tukar dolar mengalami kenaikan (apresiasi) sebesar 1 persen dalam

jangka panjang, maka inflasi akan naik pula sebesar 1,776 persen.

Hasil penelitian tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Jaka Sriyana (2001) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif

dan signifikan antara nilai tukar terhadap tingkat inflasi. Untuk menjaga kestabilan harga

di dalam negeri, maka otoritas moneter malalui kebijakannya diharapkan dapat menjaga

kestabilan rupiah terhadap dolar dalam batas yang wajar dan aman. Depresiasi nilai

rupiah sangat rentan dampaknya terhadap laju inflasi di Indonesia baik dalam jangka

pendek maupun jangka panjang.

4. Pengaruh tingkat suku bunga terhadap tingkat inflasi di Indonesia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek maupun dalam jangka

panjang terdapat hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan antara tingkat suku

bunga terhadap inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek nilai koefisien tingkat suku

bunga sebesar –0,2566. Hal ini berarti apabila dalam jangka pendek tingkat suku bunga

naik sebesar 1 persen, maka tingkat inflasi Indonesia turun sebesar 0,2566 persen. Nilai

koefisien regresi tingkat suku bunga Indonesia dalam jangka panjang sebesar -0,233. Hal

tersebut berarti bahwa apabila dalam jangka panjang tingkat suku bunga naik sebesar 1

persen, maka tingkat inflasi Indonesia akan mengalami penurunan sebesar -0,233 persen.

Suku bunga merupakan variabel yang paling kecil pengaruhnya terhadap laju inflasi di

Indonesia. Oleh karena itu bagi otoritas moneter kebijakan meningkatkan suku bunga

Page 17: ANALISIS FAKTOR INFLASI

untuk mengendalikan inflasi harus dilakukan dengan sangat hati-hati mengingat efek

samping yang kurang baik terhadap iklim investasi.

a. Hasil estimasi tingkat inflasi di Filipina

Uji stasionaritas yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa pada á = 5%

semua variabel stasioner pada derajat intergrasi satu ( lihat lampiran 2

). Hasil uji kointegrasi, pada á = 5% residual persamaan kointegrasi

telah stasioner pada derajat nol, sehingga variabel-variabel yang

diamati mempunyai hubungan jangka panjang.

Hasil uji diagnostik meliputi uji autokorelasi, heteroskedastisitas,

multikolinearitas, dan linearitas atas semua vriabel penelitian disimpulkan bahwa model

yang digunakan lolos dari uji asumsi klasik tersebut (lihat lampiran 2 ). Sehingga model

yang digunakan cukup sahih.

Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan error

correction model (ECM), hasil estimasi tingkat inflasi di Filipina sebagai berikut :

Tabel 3

Hasil Estimasi Model ECM Tingkat Inflasi Filipina

Page 18: ANALISIS FAKTOR INFLASI

 

Sumber : data sekunder yang diolah

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien ECT pada persamaan tersebut

signifikan dan bertanda positif untuk estimasi model ECM tingkat inflasi di Filipina.

Dengan demikian model ECM sukses dan dapat digunakan untuk mengestimasi fungsi

tingkat inflasi di Filipina selama periode penelitian.

Berdasarkan hasil estimasi dengan ECM di atas dapat diketahui bahwa dalam

jangka pendek maupun jangka panjang variabel yang digunakan dalam penelitian ini

berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi Filipina. Nilai R2 sebesar 0,9578

Variabel Flipina

Koefisien t-statistik Probability

DLMIt 0.128555 2.066404 0.0458

DLPDBt -0.169961 -2.823407 0.0076

DLERt 0.419078 5.330474 0.0000

DRt -0.252438 -7.419776 0.0000

BLMIt -1.186139 -9.483660 0.0000

BLPDBt -0.796418 -6.858851 0.0000

BLERt -0.625406 -8.715276 0.0000

BRt 0.191816 5.734196 0.0000

ECT 0.687111 16.52885 0.0000

C 1.582513 5.563123 0.0000

R-squared 0.957860

Adjusted R2 0.947610

DW stat 1.654643

Prob(F-stat) 0.000000

Page 19: ANALISIS FAKTOR INFLASI

dapat dikatakan bahwa jenis variabel bebas yang dimasukkan dalam model sudah cukup

baik yaitu sebesar 4,3 persen variasi variabel terikat dipengaruhi oleh variabel bebas di

luar model.

Dengan demikian maka diketahui bahwa estimasi model jangka pendek tingkat

inflasi di Filipina dapat dirumuskan dalam persamaan berikut :

DLINFt = 1,5825 + 0,1286DLMIt – 0,1699DLPDBt + 0,4191DNERt –

0,2524DRt

– 1,1861BLMIt –0,7964BLPDBt –0,6254BLERt + 0,1918BRt +0,6871ECT  

 

Sedangkan untuk estimasi jangka panjang persamaannya adalah sebagai berikut :

LINFt = 3,303 - 0,727LMIt - 0,159LPDBt + 0,089LERt + 1,279Rt

 

Pembahasan hasil estimasi variabel yang mempengaruhi inflasi di Filipina

1. Pengaruh jumlah uang beredar terhadap tingkat inflasi di Filipina

Jumlah uang beredar ternyata mempunyai hubungan positif dan berpengaruh

secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Filipina dalam jangka pendek. Koefisien

regresi sebesar 0,1286 dalam persamaan jangka pendek menunjukan bahwa dengan

naiknya jumlah uang beredar sebesar 1 persen, akan menaikkan tingkat inflasi sebesar

0,1286 persen. Sedangkan dalam jangka panjang koefisien regresi sebesar -0,727 berarti

kenaikan jumlah uang beredar riil sebesar 1 persen akan menurunkan tingkat inflasi

sebesar sebesar 0,727 persen.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah uang beredar dalam

jangka pendek akan meningkatkan inflasi. Tetapi dalam jangka panjang peningkatan

jumlah uang beredar akan mengurangi laju inflasi. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di

Page 20: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Indonesia bahwa jumlah uang beredar berdampak positif terhadap inflasi baik dalam

jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

 

2. Pengaruh pendapatan nasional terhadap tingkat inflasi di Filipina

Pendapatan Nasional riil ternyata mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh

secara signifikan terhadap tingkat inflasi di Filipina dalam jangka pendek maupun jangka

panjang. Dalam jangka pendek nilai koefisien regresi PDB sebesar –0,1699, hal ini

menunjukan bahwa dengan naiknya pendapatan nasional sebesar 1 persen akan

menurunkan tingkat inflasi sebesar 0,1699 pesen. Dalam jangka panjang nilai koefisien

regresi PDB sebesar -0,159 hal ini menunjukkan bahwa apabila dalam jangka panjang

pendapatan nasional Filipina naik 1 persen maka inflasi akan turun sebesar 0,159 persen.

Dari hasil kajian empiris ini diharapkan pemerintah Filipina dapat selalu

meningkatkan pertumbuhan ekonominya ( PDB riil ) dalam jangka panjang sehingga

supply barang dan jasa selalu terpenuhi dan laju inflasi bisa terkendali.

3. Pengaruh nilai tukar terhadap tingkat inflasi di Filipina

Nilai tukar ternyata mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara

signifikan terhadap tingkat inflasi dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang.

Koefisien regresi nilai tukar dolar AS terhadap Peso Filipina dalam jangka pendek

sebesar 0,4191, hal ini berarti bahwa jika nilai tukar dolar AS terhadap Peso Filipina

mengalami kenaikan sebesar 1 persen, maka inflasi akan mengalami kenaikan pula

sebesar 0,4191 persen. Sedangkan dalam jangka penjang, koefisien regresi nilai tukar

dolar AS terhadap Peso Filipina sebesar 0,089 berarti bahwa jika nilai tukar mengalami

kenaikan sebesar 1 persen dalam jangka panjang, maka inflasi juga akan meningkat

sebesar 0,089 persen.

Volatilitas nilai peso terhadap dolar AS sangat berpengaruh terhadap laju inflasi,

sehingga otoritas moneter harus mampu menjaga agar nilai peso terhadap dolar AS

terkendali dan cenderung menguat supaya inflasi tetap rendah. 

Page 21: ANALISIS FAKTOR INFLASI

4. Pengaruh tingkat suku bunga terhadap tingkat Inflasi Filipina

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka pendek terdapat hubungan

negatif dan berpengaruh secara signifikan antara tingkat suku bunga terhadap inflasi.

Nilai koefisien tingkat suku bunga sebesar –0,2524 berarti bahwa apabila dalam jangka

pendek tingkat suku bunga naik sebesar 1 persen, maka tingkat inflasi akan turun sebesar

0,2524 persen. Sedangkan dalam jangka panjang tingkat suku bunga ternyata

berhubungan positif dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Filipina. Nilai koefisien

regresi tingkat suku bunga dalam jangka panjang sebesar 1,279. Hal tersebut berarti

bahwa apabila dalam jangka panjang tingkat suku bunga naik sebesar 1 persen, maka

tingkat inflasi tingkat inflasi Filipina akan naik sebesar 1,279 persen.

Dari hasil enpiris ini pengendalian inflasi melalui peningkatan suku bunga hanya

efektif dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang suku bunga diharapkan suku bunga

relatif rendah sehingga bisa mendorong sektor riil dan mengurangi laju inflasi di Filipina.

 

VII. Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Variabel jumlah uang beredar dalam jangka pendek maupun jangka panjang

mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di

Indonesia. Semakin tinggi jumlah uang beredar baik dalam jangka pendek maupun

dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan inflasi. Hasil temuan di Filipina,

dalam jangka pendek variabel jumlah uang beredar mempunyai hubungan positif dan

signifikan terhadap tingkat inflasi, tetapi dalam jangka panjang mempunyai hubungan

yang negatif dan berpengaruh secara signifikan.

Page 22: ANALISIS FAKTOR INFLASI

2. Variabel pendapatan nasional dalam jangka pendek dan jangka panjang mempunyai

hubungan negatif dan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi baik di

Indonesia maupun di Filipina. Hal ini berarti meningkatnya pendapatan nasional akan

menurunkan tingkat inflasi baik di Indonesia maupun di Filipina.

3. Variabel nilai tukar dalam jangka pendek dan jangka panjang mempunyai hubungan

positif dan berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat inflasi baik di Indonesia

maupun di Filipina. Kenaikkan nilai tukar baik dalam jangka pendek maupun dalam

jangka panjang akan menaikkan tingkat inflasi baik di Indonesia maupun di Filipina.

4. Variabel tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang

mempunyai hubungan negative dan signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia.

Berarti Kenaikkan tingkat suku bunga dalam jangka pendek maupun dalam jangka

panjang akan menurunkan tingkat inflasi di Indonesia. Dalam jangka pendek variabel

tingkat suku bunga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap tingkat

inflasi di Filipina, dalam jangka panjang variabel tingkat bunga mempunyai

hubungan yang positif dan berpengaruh secara signifikan.

 

o Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini berdasarkan hasil yang telah

diperoleh adalah :

1. Otoritas moneter di kedua negara harus dapat mengendalikan jumlah uang beredar

dalam batas yang wajar dan aman sesuai dengan kondisi masing-masing negara

apabila menginginkan tingkat inflasi yang rendah atau stabil.

2. Untuk mengerem laju inflasi, maka pemerintah di Indonesia dan Filipina harus

mampu menyediakan barang dan jasa ( PDB ) secara memadai untuk memenuhi

kebutuhan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu meningkat.

3. Pemerintah Indonesia dan Filipina harus dapat menjaga kestabilan nilai tukar mata

uangnya terhadap dolar AS dalam rentang yang aman dan terkendali.

Page 23: ANALISIS FAKTOR INFLASI

4. Tingkat suku bunga sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi peningkatan

inflasi juga harus dikendalikan agar supaya tidak menggangu iklim berinvestasi bagi

para investor.

 

 DAFTAR PUSTAKA

Anang Sukendar, 2000. "Pengujian dan Pemilihan Model Inflasi Dengan Non Nested Test Studi Kasus Perekonomian Indonesia Periode (1969 – 1997)." Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 15, No. 2. BPFE UGM, Yogyakarta.

Anton H. Gunawan, 1991. Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Boediono, 1995, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5 : Ekonomi Moneter. BPFE, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik, Indikator Ekonomi, Beberapa Edisi, Jakarta.

Bank Indonesia, Laporan Mingguan, 1999 / 2000. Jakarta.

Gujarati, Damodar, 1995, Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta.

IMF, International Financial Statistic, 1985, 1990, 1995, 1999.

Insukindro, 1990, "Komponen Koefisien Regresi Jangka Panjang Model Ekonomi : Sebuah Studi Kasus Impor Barang di Indonesia," Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Edisi September, Yogyakarta.

Insukindro, 1992, "Pembentukan Model dalam Penelitian Ekonomi", Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, No. 1 Tahun VII, Yogyakarta.

Insukindro, 1995. Ekonomi Uang dan Bank, Teori Pengalaman di Indonesia, BPFE, Yogyakarta.

_________, 1998, "Sindrum R2 Dalam Analisis Regresi Linier Runtut Waktu, "Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indoensia, Vol. 13 No. 4, BPFE, Yogyakarta.

_________, 1999, "Pemilihan Model Empirik dengan Pendekatan Koreksi Kesalahan," Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, No. 1 Vol. 14, BPFE, Yogyakarta.

_________, 1999, "Pemilihan dan Bentuk Fungsi Model Empirik : Studi Kasus Permintaan Uang Kartal Riil Di Indonesia," Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol. 14 No. 3.

Iswardono Sp, 1989. Uang dan Bank Edisi Ke 3, BPFE UGM Yogyakarta

Page 24: ANALISIS FAKTOR INFLASI

___________, 2001, "Survay Model-Model Inflasi", JEBI No. 1, BPFE, UGM Yogyakarta.

Jaka Sriyana, 2001, "Dampak Ekspansi Fiskal Terhadap Inflasi : Studi Empiris Dengan Pendekatan Error Correction Model," Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 6 No. 2, Yogyakarta.

Kamerschen dan David R, 1984. Money and Banking, 8th South-Western Publishing co. Cinciniati, Ohio.

Mochamad Nazir, 1988, Metode Penelitian, Gladia Indonesia, Jakarta.

Nopirin, 1996, Ekonomi Moneter, Buku I dan II. BPFE-UGM. Yogya.

Sri Endang Novita Sari, 2001. "Penerapan Metode Granger : Analisis Hubungan Jumlah Uang Beredar dengan Tingkat Pendapatan Nasional dan Jumlah Uang Beredar dengan Tingkat Inflasi di Indonesia," Skripsi, Semarang.

Sri Suki I, 2001, "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia," Skripsi, Semarang.

Suhaedi, dkk, 2000. "Suku Bunga Sebagai Salah Satu Indikator Ekspektasi Inflasi. "Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Vol. 2 No. 4. Bank Indonesia, Jakarta.

Sukirno, Sadono, 2000. Makro Ekonomi Modern, Rajawali Pers, Jakarta.

Suparmoko, 1994. Pengantar Ekonomi Makro. BPFE-UGM Yogyakarta.

Tajul Khalwaty, 2000, Inflasi dan Solusinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Thomas, RL, 1996. Modern Econometric An Introduction, Addisson Wesley.

 

 

 

 

 

 

Page 25: ANALISIS FAKTOR INFLASI

LAMPIRAN 1

HASIL ESTIMASI MODEL ECM (INDONESIA)

Dependent Variable: DLINFT

Method: Least Squares

Date: 01/12/02 Time: 21:23

Sample(adjusted): 1990:2 2001:4

Included observations: 47 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.554159 0.460579 3.374362 0.0017

DLMIT 0.447589 0.087520 5.114126 0.0000

DLPDBT -1.913290 0.539779 -3.544578 0.0011

DLERT 2.236640 0.127870 17.49145 0.0000

DRT -0.255959 0.107327 -2.384847 0.0223

BLMIT -0.054400 0.240173 -0.226502 0.8221

BLPDBT -1.744339 0.213262 -8.179323 0.0000

BLERT 0.433415 0.118182 3.667364 0.0008

BRT -0.688240 0.131994 -5.214162 0.0000

ECT 0.558540 0.105916 5.273399 0.0000

R-squared 0.935384Mean dependent var 0.007084

Adjusted R-squared 0.919666S.D. dependent var 0.379147

S.E. of regression 0.107463Akaike info criterion -1.437045

Page 26: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Sum squared resid 0.427284Schwarz criterion -1.043396

Log likelihood 43.77055F-statistic 59.51224

Durbin-Watson stat 2.104247Prob(F-statistic) 0.000000

 

Uji Akar-akar Unit

Uji Akar-akar Unit Variabel Pengamatan :1990 – 2001

 

VARIABEL Indonesia

NILAI DF NILAI ADF

LINFt -1,4509 -2,0245

LMIt -0,3751 -4,6468a

LPDBt -0,0525 -1,6903

LERt -0,3420 -1,8492

Rt -2,3498 -2,3224

Nilai Kritis Mac-Kinnon    DF  ADF

    1% -3,5778 - 4,1678 

    5% -2,9256 - 3,5088

    10% -2,6005 - 3,1840

Keterangan :  a = Signifikan pada = 1%

   b = Signifikan pada = 5%

Page 27: ANALISIS FAKTOR INFLASI

   c = Signifikan pada = 10%

 

 

Uji Derajat Integrasi

Uji Derajat Integrasi Satu Variabel Pengamatan :1990 – 2001

 

VARIABEL Indonesia

NILAI DF NILAI ADF

LINFt -4,289a -4,232a

LMIt -7,971a -7,922a

LPDBt -2,750c -2,671

LERt -4,885a -4,858a

Rt -2,934b -2,879 

Nilai Kritis Mac-Kinnon    DF  ADF

    1% -3,5814 - 4,1728 

    5% -2,9271 - 3,5112

    10% -2,6013 - 3,1854

Keterangan : a = Signifikan pada = 1%

   b = Signifikan pada = 5%

   c = Signifikan pada = 10%

Page 28: ANALISIS FAKTOR INFLASI

  

Uji Derajat Integrasi Dua Variabel Pengamatan :1990 – 2001

 

 

VARIABEL Indonesia

NILAI DF NILAI ADF

LINFt -8,261 a -8,162 a

LMIt -9,960 a -9,838 a

LPDBt -5,366 a -5,352 a

LERt -9,082 a -8,965 a

Rt -6,161 a -6,121 a

Nilai Kritis Mac-Kinnon    DF  ADF

    1% -3,5850 - 4,18781 

    5% -2,9286 - 3,5136

    10% -2,6021 - 3,1868

Keterangan :  a = Signifikan pada = 1%

   b = Signifikan pada = 5%

   c = Signifikan pada = 10%

Uji Kointegrasi

Hasil Uji Kointegrasi

 

Page 29: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Keterangan Nilai t Hitung Nilai t Tabel

CRDW 1,829 0,78

DF -6,2335 4,76

ADF -4,6915 4,15

 

 

 

 

 

Uji Asumsi Klasik

Uji Multikolinearitas

Uji Multikolinearitas Indonesia

No. Model Regresi Nilai R-square1.

 

2.

 

3.

 

4.

 

5.

Model Regresi Utama

Infl = f (M1, PDB,ER,R)

M Model Auxiliary Regression I  M1 = f (PDB,ER, R)

Model Auxiliary Regression II  

PDB = f (M1,ER,R)

Model Auxiliary Regression III 

ER = f (M1,PDB, R)

Model Auxiliary Regression

 

0,9355384

 

0,291845

 

0,517718

 

0,391301

 

Page 30: ANALISIS FAKTOR INFLASI

IV   0.427609

R = f (M1,PDB,ER)

0,427609

 

Uji Heterokedastisitas

Uji Heterokedastisitas Indonesia

 

Variabel  T-Statistik  P-Value  Keputusan

 

C   -0.032964  0.9739  Bebas Heterokedastisitas

DLM1T  -0.082049  0.9351  Bebas Heterokedastisitas

DLPDBT  -0.306189  0.7612  Bebas Heterokedastisitas

DLERT   0.393818  0.6960  Bebas Heterokedastisitas

DRT  -0.231192  0.8184  Bebas Heterokedastisitas

BLM1T  -1.002276  0.3227  Bebas Heterokedastisitas

BLPDBT  -0.085741  0.9421  Bebas Heterokedastisitas

BLERT   0.935329  0.3557  Bebas Heterokedastisitas

BRT  -0.774052  0.4438  Bebas Heterokedastisitas

ECT   0.585377  0.5618  Bebas Heterokedastisitas

  

Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi Indonesia 

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

Page 31: ANALISIS FAKTOR INFLASI

C -0.101938 0.480701 -0.212062 0.8333

DLMIT 0.028728 0.095231 0.301672 0.7646

DLPDBT -0.067183 0.549229 -0.122322 0.9033

DLERT 0.006911 0.128830 0.053644 0.9575

DRT 0.014761 0.109497 0.134810 0.8935

BLMIT 0.131513 0.293510 0.448069 0.6568

BLPDBT 0.160819 0.296012 0.543285 0.5903

BLERT -0.079031 0.155484 -0.508291 0.6144

BRT 0.104294 0.187427 0.556451 0.5813

ECT -0.089273 0.155485 -0.574158 0.5694

RESID(-1) -0.212056 0.269173 -0.787805 0.4360 

Uji Linearitas

 

Uji Linearitas Indonesia

Ramsey RESET Test:

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1.562549 0.450941 3.465087 0.0014

DLMIT 0.503399 0.092401 5.447999 0.0000

DLPDBT -2.137272 0.546376 -3.911723 0.0004

DLERT 2.145901 0.137237 15.63645 0.0000

DRT -0.233434 0.105998 -2.202254 0.0341

Page 32: ANALISIS FAKTOR INFLASI

BLMIT -0.168606 0.245553 -0.686637 0.4967

BLPDBT -1.550194 0.240973 -6.433055 0.0000

BLERT 0.380726 0.120221 3.166895 0.0031

BRT -0.718183 0.130549 -5.501237 0.0000

ECT 0.541625 0.104222 5.196857 0.0000

FITTED^2 0.133308 0.082617 1.613577 0.1154    LAMPIRAN 2

HASIL ESTIMASI MODEL ECM (FILIPINA)

 

Dependent Variable: DLINFT

Method: Least Squares

Date: 01/13/02 Time: 21:00

Sample(adjusted): 1990:2 2001:4

Included observations: 47 after adjusting endpoints

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DLMIT 0.128555 0.062212 2.066404 0.0458

DLPDBT -0.169961 0.060197 -2.823407

0.0076

DLERT 0.419078 0.078619 5.330474 0.0000

DRT -0.252438 0.034022 -7.419776

0.0115

BLMIT -1.186139 0.125072 - 0.0087

Page 33: ANALISIS FAKTOR INFLASI

9.483660

BLPDBT -0.796418 0.116115 -6.858851

0.0230

BLERT -0.625406 0.071760 -8.715276

0.0038

BRT 0.191816 0.033451 5.734196 0.0007

ECT 0.687111 0.041570 16.52885 0.0003

C 1.582513 0.284465 5.563123 0.0000

R-squared 0.957860Mean dependent var

-0.038426

Adjusted R-squared 0.947610S.D. dependent var 0.134468

S.E. of regression 0.030778Akaike info criterion -3.937703

Sum squared resid 0.035051Schwarz criterion -3.544055

Log likelihood 102.5360F-statistic 93.44693

Durbin-Watson stat 1.654643Prob(F-statistic) 0.000000

 

Uji Akar-akar Unit

Uji Akar-akar Unit Variabel Pengamatan :1990 – 2001

 

 

VARIABEL Filipina

NILAI DF NILAI ADF

Page 34: ANALISIS FAKTOR INFLASI

LINFt -1,885 -2,283

LMIt -1,085 3,683

LPDBt -0,438 -6,756a

LERt -0,430 -1,791

Rt -2,339 -2,843

Nilai Kritis Mac-Kinnon    DF  ADF

    1% -3,5778 - 4,1678 

    5% -2,9256 - 3,5088

    10% -2,6005 - 3,1840

Keterangan :  a = Signifikan pada = 1%

   b = Signifikan pada = 5%

   c = Signifikan pada = 10%

  

Uji Derajat Integrasi

Uji Derajat Integrasi Satu Variabel Pengamatan :1990 – 2001

 

VARIABEL Filipina

NILAI DF NILAI ADF

LINFt -4,241a -4,232a

LMIt -6,990a -7,085a

LPDBt -7,481a -7,389a

Page 35: ANALISIS FAKTOR INFLASI

LERt -4,806a -4,921a

LR -6,079a -6,074a

 

Nilai Kritis Mac-Kinnon    DF  ADF

    1% -3,5814 - 4,1728 

    5% -2,9271 - 3,5112

    10% -2,6013 - 3,1854

 

Keterangan :  a = Signifikan pada = 1%

   b = Signifikan pada = 5%

   c = Signifikan pada = 10%

Uji Kointegrasi

Uji Kointegrasi Model Filipina

Keterangan Nilai t Hitung Nilai t Tabel

CRDW 1,7726 0,78

DF 6,0379 4,76

ADF 4,3273 4,15

 

Uji Asumsi Klasik

Uji Multikolinearitas 

Page 36: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Perbandingan R-ssquare Model Utama Dengan Auxiliary Regression Antar Variabel Bebas

 

No Model Regresi Nilai R-square

1. Model Regresi Utama 0.957860

Infl = f (M1, PDB,ER,R)

2. Model Auxiliary Regression I    0.325348  

M1 = f (PDB,ER, R)

3.  Model Auxiliary Regression II    0.292896

PDB = f (M1,ER,R)

4. Model Auxiliary Regression III    0.150178 

ER = f (M1,PDB, R)

5.  Model Auxiliary Regression IV    0.323581

R = f (M1,PDB,ER)

 Uji Heterokedastisitas

Uji Heterokedastisitas Filipina

 

Variabel  T-Statistik  P-Value  Keputusan

 

C   -0.437683  0.6642  Bebas Heterokedastisitas

DLM1T  0.383151  0.7038  Bebas Heterokedastisitas

DLPDBT  -0.515476  0.6093  Bebas Heterokedastisitas

DLERT  0.458433  0.6493  Bebas Heterokedastisitas

DRT  0.007091  0.9944  Bebas Heterokedastisitas

Page 37: ANALISIS FAKTOR INFLASI

BLM1T  0.031653  0.9749  Bebas Heterokedastisitas

BLPDBT  -0.174494  0.8624  Bebas Heterokedastisitas

BLERT  0.375725  0.7093  Bebas Heterokedastisitas

BRT  0.188962  0.8512  Bebas Heterokedastisitas

ECT  0.038499  0.9695  Bebas Heterokedastisitas

 

 

Uji Linearitas

Uji Linearitas Filipina

Ramsey RESET Test:

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DLMIT 0.129798 0.062324 2.082637 0.0444

DLPDBT -0.169643 0.060293 -2.813642 0.0079

DLERT 0.422179 0.078812 5.356760 0.0000

DRT -0.250694 0.034126 -7.346043 0.0000

BLMIT -1.120163 0.143594 -7.800915 0.0000

BLPDBT -0.769402 0.119798 -6.422508 0.0000

BLERT -0.583522 0.084566 -6.900220 0.0000

BRT 0.175810 0.037583 4.677891 0.0000

ECT 0.651269 0.056459 11.53527 0.0000

C 1.552780 0.286664 5.416719 0.0000

FITTED^2 -0.230792 0.245537 -0.939950 0.3535 

Page 38: ANALISIS FAKTOR INFLASI

   Uji Autokorelasi 

Uji Autokorelasi Filipina

Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:

Test Equation:

Dependent Variable: RESID

Method: Least Squares

Date: 08/23/04 Time: 20:38

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DLMIT -0.005270 0.062536 -0.084279 0.9333

DLPDBT -0.024809 0.065663 -0.377819 0.7078

DLERT -0.020948 0.081735 -0.256292 0.7992

DRT -0.014462 0.037298 -0.387750 0.7005

BLMIT 0.024997 0.127952 0.195363 0.8462

BLPDBT -0.066787 0.135781 -0.491876 0.6258

BLERT 0.008709 0.072430 0.120244 0.9050

BRT -0.010484 0.035257 -0.297349 0.7679

ECT 0.005286 0.041991 0.125871 0.9005

C 0.194409 0.350442 0.554754 0.5825

RESID(-1) 0.223917 0.235157 0.952202 0.3473

R-squared 0.024567Mean dependent var -2.93E-16

Page 39: ANALISIS FAKTOR INFLASI

Adjusted R-squared

-0.246387S.D. dependent var 0.027604

S.E. of regression 0.030817Akaike info criterion -3.920024

Sum squared resid

0.034189Schwarz criterion -3.487010

Log likelihood 103.1206F-statistic 0.090669

Durbin-Watson stat

1.897742Prob(F-statistic) 0.999834