analisis faktor-faktor yang mempengaruhi … · obyek retribusi daerah dengan menyesuaikan target...
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH
DI PROVINSI DKI JAKARTA
OLEH ANDIKA BUDI RATWONO
H14103901
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
2
RINGKASAN
ANDIKA BUDI RATWONO. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah di Provinsi DKI Jakarta (dibimbing oleh ALLA ASMARA).
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang mengacu kepada UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah membawa implikasi kepada pemerintahan daerah didalam penyelenggaraan tugas daerahnya yang dibiayai atas beban APBD. Keadaan ini akan semakin memperkuat tekanan kepada keuangan daerah karena dengan pemberlakuan desentralisasi maka peranan dan sumbangan dari pemerintah pusat berkurang. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka didalam pemerintahan daerah diperlukan kesiapan dana yang relatif cukup besar. Salah satu komponen yang diharapkan mampu untuk digali potensinya adalah berasal dari retribusi daerah. Pada tahun 2006, kontribusi yang diberikan oleh retribusi daerah sebagai salah satu komponen penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih rendah hanya sebesar 5,7 persen dari total penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau hanya memberikan kontribusi ketiga terbesar apabila dibandingkan dengan pajak daerah sebesar 82 persen dan komponen lain-lain yang sebesar 9,6 persen. Selain itu dari perkembangan efektivitas total penerimaaan retribusi daerah selama tahun 2003-2006, trendnya cenderung mengalami penurunan. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi daerah di Provinsi DKI Jakarta selama tahun 1986-2006, (2) Menganalisis pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perkembangan penerimaan retribusi daerah di Provinsi DKI Jakarta Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi daerah dan pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perkembangan penerimaan retribusi daerah dengan analisis regresi linear berganda dengan menggunakan metode Ordinary Least Squared (OLS). Software yang digunakan adalah E-Views 4.1.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Peubah yang memberikan pengaruh yang nyata dan berhubungan positif dengan penerimaan retribusi daerah adalah Jumlah Penerbitan Akta dan Catatan Sipil dengan koefisien sebesar 1,80, tingkat inflasi dengan koefisien sebesar 0,26, jumlah rumah sakit dan puskesmas dengan koefisien sebesar 6,53, jumlah pendapatan perkapita dengan koefisien sebesar 0,97 dan jumlah kendaraan bermotor dengan koefisien sebesar 1,74. Sementara itu, kebijakan otonomi daerah berpengaruh nyata namun berhubungan negatif dengan penerimaan retribusi daerah, sedangkan panjang jalan dan jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata dengan penerimaan retribusi daerah. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diberikan beberapa saran. Pertama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendaknya memperbaiki efektivitas terhadap obyek retribusi daerah dengan menyesuaikan target yang dimiliki sesuai dengan potensi dari penerimaan retribusi tersebut. Kedua, perlu dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan untuk meningkatkan upaya pemungutan
3
dan mencari wajib retribusi yang masih belum membayar retribusi daerah. Ekstensifikasi dilakukan dengan mencari sumber-sumber pungutan baru yang masih terkait dengan obyek retribusi tersebut. Obyek retribusi dapat diperluas dengan jenis-jenis jasa pelayanan publik yang akan dipungut. Ketiga, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendaknya lebih bersikap fokus didalam pengelolaan retribusi daerah pada masa otonomi daerah ini, agar dapat tercapai kemandirian keuangan daerah dan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan penerimaan retribusi daerah. Diperlukan adanya kajian dan evaluasi yang komprehensif terhadap efektivitas dan kontribusi dari obyek-obyek retribusi yang ada sebagai bahan pertimbangan didalam penetapan tarif, penambahan obyek retribusi, dan juga penetapan target penerimaan retribusi di Provinsi DKI Jakarta secara berkala sehingga hasil penerimaan yang diperoleh dapat sesuai dengan yang diharapkan.
4
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN RETRIBUSI DAERAH
DI PROVINSI DKI JAKARTA
Oleh :
ANDIKA BUDI RATWONO H14103901
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
5
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Andika Budi Ratwono
Nomor registrasi Pokok : H 14103901
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah di Provinsi DKI Jakarta
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Alla Asmara, S.Pt. M.Si. Nip.132159707
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
6
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN
Bogor, Agustus 2008 Andika Budi Ratwono H14103901
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nganjuk, Jawa Timur, pada tanggal 9 Oktober 1985
sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan Budi Kuncahyo dan Riko
Narami. Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Taman Pagelaran
Bogor (1991-1997), pendidikan menegah pertama di SMP Negeri 4 Bogor (1997-
2000) dan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 5 Bogor (2000-2003).
Pada tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor di Program
Studi Arsitektur Lansekap, Fakultas Pertanian melalui jalur USMI dan kemudian
pada tahun 2005 penulis pindah ke Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian
mengenai ”Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi
Daerah di Provinsi DKI Jakarta”. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak.
8
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah di Provinsi DKI Jakarta”. Retribusi
Daerah merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan berdampak
positif terhadap penerimaan dan pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik ini, khususnya di
Provinsi DKI Jakarta. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu
Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Di atas segalanya, untuk kuasa Illahi Robbi, penulis mengucapkan syukur
atas segala karunia selama perjalanan hidup. Dengan segenap kerendahan hati
yang tulus, pada kesempatan ini izinkanlah penulis menyampaikan penghargaan
dan rasa terima kasih yang mendalam kepada :
1. Ayahanda Dr. Ir. Budi Kuncahyo MS dan Ibunda Riko Narami yang selalu
memberikan doa, semangat, motivasi dengan penuh rasa kasih sayang yang
tak terhingga.
2. Alla Asmara S.Pt. M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingannya dalam penyusunan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik.
3. Dr. Ir. Parullian Hutagaol MS dan Fifi Diana Thamrin SE. M.Si. selaku dosen
penguji utama dan dosen penguji dari komisi pendidikan yang telah banyak
memberikan saran dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini.
4. Seluruh pihak dari Badan Pusat Statistik Jakarta dan Dinas Pendapatan Daerah
DKI Jakarta yang telah membantu pengumpulan data skripsi ini.
5. Mas Dedi Labkom yang telah membantu memberikan sebagian bahan dan
data sehingga sangat membantu buat penyusunan skripsi ini.
9
6. Sahabat penulis (Maya, Ateris Bilada, Saiful Bahri, Bagus, Deni, Adit) yang
selalu siap membantu dalam berbagai hal termasuk dalam pengerjaan skripsi
ini.
7. Buat Popy, atas kebahagiaan yang dulu pernah diberikan dan doanya. Semua
itu tak kan terlupakan.
8. Buat Tika, Uunk, Dyah, dan Rani yang telah mendukung dan memberikan
semangat buat menyelesaikan skripsi ini.
9. Buat Ferdi dan Bang Rusman yang telah membantu dalam memberikan saran
buat penulisan skripsi.
10. Buat teman-teman dikostan orenz dan an-nur, yang telah menyediakan tempat
buat penyusunan skripsi.
11. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu kritik dan saran sangat diharapkan penulis. Semoga skripsi ini dapat diterima
dan bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2008
Andika Budi Ratwono
H14103901
10
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................ iii
DAFTAR TABEL .................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. vii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 9
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 9
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 10
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.............. 11
2.1 Tinjauan Teoritis.... ...................................................................... 11
2.1.1. Retribusi ............................................................................. 11
2.1.2. Dasar Hukum Retribusi ...................................................... 12
2.1.3. Jasa, Subyek dan Obyek Retribusi....................................... 17
2.1.4. Aplikasi Retribusi................................................................ 18
2.1.5. Penetuan Tarif Retribusi………………………………….. 20
2.1.6 Potensi Retribusi………………………………………..... 23
2.1.7 Dasar dan Tujuan Pengenaan Retribusi.............................. 24
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu ................................................... 26
2.3 Kerangka Pemikiran.................................................................... 30
2.4 Hipotesis...................................................................................... 33
III. METODE PENELITIAN ..................................................................... 34
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 34
3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................................... 34
3.3 Metode Analisis Regresi Berganda.......... ...................................... 35
11
IV. GAMBARAN UMUM.......................................................................... 44
4.1 Tinjauan Perekonomian Provinsi DKI Jakarta................................ 44
4.1.1 Produk Domestik Regional Bruto.......................................... 44
4.1.2 Pendapatan Perkapita............................................................. 46
4.1.3 Tingkat Inflasi........................................................................ 47
4.2 Perkembangan dan Kontribusi Penerimaan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah.................................................. 48
4.3 Perkembangan Total Penerimaan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah.......................................................... 51
4.4 Perkembangan dan Efektivitas Dari Obyek Retribusi Daerah.......... 52
4.5 Faktor-Faktor yang Diduga Berpengaruh Terhadap Penerimaan Retribusi Daerah................................................................................ 55
4.5.1 Panjang Jalan............................................................................ 55
4.5.2 Jumlah Kendaraan Bermotor.................................................... 57
4.5.3 Pertumbuhan Penduduk............................................................ 58
V. HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................. 60
5.1. Pendugaan Model Analisis................................................................ 60
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah............................................................................................... 61
VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................... 70
6.1 Kesimpulan....................................................................................... 70
6.2 Saran................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 73
LAMPIRAN................................................................................................... 76
12
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001- 2005......................................................................... 3
1.2 Kontribusi Anggaran dan Penerimaan Terhadap Perekonomian di Provinsi DKI Jakarta dan Nasional Tahun 2005-2006.................. 4
1.3 Kontribusi Penerimaan Komponen Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006................................. 7
1.4 Target dan Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006...................................................... 8
4.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006.......................................................................... 45
4.2 Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006..... 46
4.3 Tingkat Inflasi Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996-2006................ 48
4.4 Perkembangan Penerimaan Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006....................................... 49
4.5 Perkembangan Penerimaan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 1986-2006........................................................................... 51
4.6 Penerimaan Beberapa Obyek Retribusi Daerah di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006................................................................ 54
4.7 Panjang Jalan Provinsi DKI Jakarta Tahun1996-2006................... 56
4.8 Jumlah Kendaraan Bermotor Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996-2006............................................................................ 57
4.9 Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996-2006........................................................................................ 59
5.1 Hasil Analisis Regresi Penerimaan Retribusi Daerah...................... 62
13
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1 Perkembangan Landasan Hukum Pemungutan Retribusi Daerah..... 13
2.2 Beban Lebih (Excess Burden) Retribusi Daerah............................... 19
2.3 Skema Kerangka Pemikiran.............................................................. 32
4.1 Kontribusi Komponen Pendapatan Asli Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006.............................................................................. 50
14
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1 Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta (1986-2006).................................. 76
2 Uji Serial Correlation Retribusi Daerah........................................ 76
3 Uji Heteroskedastisitas Retribusi Daerah..................................... 76
4 Uji Multikolinearitas (Corelation Matrix) Retribusi Daerah........ 77
5 Uji Normalitas Error Term Retribusi Daerah................................ 77
6 Data Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta 1986-2006................................................................ 78
15
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengelolaan keuangan daerah berkaitan erat dengan pelaksanaan
desentralisasi didalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Melalui
pelaksanaan desentralisasi, fungsi pemerintah tertentu dilimpahkan kepada
pemerintahan daerah dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah didalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan essensi kebijakan otonomi daerah
yang bergulir dewasa ini merupakan wujud dari kewenangan dalam bidang
keuangan daerah. Kebijakan otonomi daerah itu dimaksudkan untuk semakin
mendekatkan pemerintahan kepada masyarakatnya agar pelayanan yang diberikan
menjadi semakin baik. Menurut Suparmoko (2002), dengan semakin
mendekatkannya pemerintahan kepada masyarakat diharapkan pemerintah akan
mampu memberikan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
dibanding bila diformulasikan secara sentralistis.
Otonomi daerah dengan berbagai harapan yang terdapat di dalamnya
bukan lagi hanya merupakan suatu retorika belaka namun telah menjadi realita
yang harus ditangani dengan semangat untuk semakin memajukan kehidupan
masing-masing daerah dalam suatu ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah dengan harapan yang ada di dalamnya harus
senantiasa disikapi dengan kerja keras agar semua harapan yang diinginkan
dengan adanya kebijakan otonomi daerah dapat segera terwujud. Efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih
16
memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dengan
pemerintahan daerah, memperhatikan potensi dan keanekaragaman dari daerah
dan memperhatikan adanya peluang dan tantangan persaingan global. Hal tersebut
dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah
disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Jaya (1996) menyatakan otonomi daerah telah membawa implikasi
didalam penyelenggaraan tugas daerah. Pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas
beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sehingga pembiayaan
pembangunan secara bertahap akan menjadi beban terhadap pemerintah daerah.
Keadaan ini akan semakin memperkuat tekanan internal dari keuangan daerah,
karena peranan sumbangan dan bantuan pusat dalam pembiayaan pembangunan
daerah akan semakin kecil. Bantuan pusat dalam pembiayaan pembangunan hanya
akan diberikan untuk menunjang pengeluaran pemerintah, khususnya untuk
belanja pegawai dan program-program pembangunan yang hendak dicapai.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan kesiapan dana
(financial) yang relatif cukup besar, sehingga daerah diharapkan mampu
menggali berbagai potensi untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sumber PAD terdiri dari : (1) pajak daerah, (2) retribusi daerah, (3) bagian lain
BUMD, (4) penerimaan lain-lain PAD yang sah.
Pendapatan asli daerah (PAD) dipandang sebagai salah satu indikator
atau kriteria untuk mengukur kemampuan suatu daerah. Semakin besar kontribusi
yang diberikan PAD terhadap APBD akan menunjukkan semakin besar
17
kemampuan daerah dalam mengelola pembangunan di daerahnya sendiri dan
semakin kecil ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat.
Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001-2006
Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi (persen)
2001 3,64 2002 3,87 2003 5,40 2004 5,70 2005 6,01 2006 6,30
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006.
Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu
pemerintahan daerah dengan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi yang
meningkat. Berdasarkan Tabel 1.1, laju pertumbuhan ekonomi meningkat dari
sebesar 3,64 persen pada tahun 2001, menjadi sebesar 3,87 persen pada tahun
2002. Pada tahun 2005 laju pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan
menjadi sebesar 6,01 persen, Lebih lanjut, pada tahun 2006, laju pertumbuhan
ekonomi juga meningkat menjadi sebesar 6,30 persen. Hal ini mengindikasikan
pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di Provinsi DKI Jakarta. Dengan semakin
tingginya pertumbuhan ekonomi, maka dapat memacu peningkatan aktivitas
perekonomian di Provinsi DKI Jakarta.
Namun demikian, dalam dua tahun terakhir yaitu tahun 2005 dan tahun
2006, peranan anggaran pemerintah DKI Jakarta didalam menopang
perekonomian masih sangat kecil. Secara umum hal ini disebabkan oleh masih
rendahnya kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terhadap
18
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta yakni sebesar 3,09
persen pada tahun 2005 dan sebesar 2,95 persen pada tahun 2006 (Tabel 1.2).
Sebagai perbandingannya, pada periode yang sama kontribusi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) Indonesia sudah mencapai 19,60 persen pada tahun 2005 dan sebesar 20,60
persen pada tahun 2006. Hal ini mengindikasikan bahwa masih rendahnya
kemampuan provinsi DKI Jakarta didalam mendanai kegiatan pembangunannya.
Tabel 1.2. Kontribusi Anggaran dan Penerimaan Terhadap Perekonomian di Provinsi DKI Jakarta dan Nasional (dalam persen)
DKI Jakarta Nasional
Kontribusi 2005 2006
Kontribusi 2005 2006
PAD dalam PDRB 1,74 1,65 PDN dalam PDB 19,30 20,40 APBD dalam PDRB
3,09 2,95 APBN dalam PDB
19,60 20,60
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006 (diolah).
Selain itu, tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI
Jakarta terhadap perkembangan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)
DKI Jakarta selalu berada jauh dibawah tingkat kontribusi Penerimaan Dalam
Negeri (PDN) terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia (Tabel 1.2).
Pada tahun 2005, kontribusi PAD dalam PDRB DKI Jakarta sebesar 1,74 persen,
dan pada tahun 2006 kontribusi PAD dalam PDRB DKI Jakarta menurun menjadi
1,65 persen. Kontribusi Penerimaan Dalam Negeri (PDN) dalam Produk
Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2005 mencapai 19,30 persen,
sementara pada tahun 2006 kontribusi PDN dalam PDB Indonesia mencapai
20,40 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa ada kecenderungan penurunan
kontribusi PAD dalam PDRB di Provinsi DKI Jakarta.
19
Salah satu komponen didalam penerimaan PAD adalah berasal dari
retribusi daerah. Sebagai salah satu komponen sumber PAD, retribusi daerah
berfungsi sebagai dana bebas daerah yang dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran pembangunan daerah (Suparmoko, 2002). Sebagai instrumen
kebijakan fiskal, retribusi daerah mempunyai beberapa kemampuan strategis yang
mencerminkan manfaat dari retribusi itu sendiri didalam membantu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah. Manfaat tersebut adalah (1) retribusi daerah dapat
meningkatkan kemampuan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2)
mendorong laju pertumbuhan ekonomi daerah. Retribusi daerah agar dapat
berfungsi secara efisien dan efektif, maka tidak saja perhitungan secara ekonomis
dan fisik, namun juga harus didukung oleh peningkatan kesadaran dan peran aktif
yang cukup tinggi dari masing-masing orang atau masyarakat sebagai wajib
retribusi atau jasa yang telah diperoleh.
Oleh karena itu, retribusi juga penting didalam pengelolaan keuangan
daerah. Di dalam TAP MPR No. IV/MPR/2000 ditegaskan bahwa “kebijakan
desentralisasi Daerah diarahkan untuk mencapai peningkatan pelayanan publik
dan pengembangan kreativitas Pemda, keselarasan hubungan antara Pusat dan
Daerah serta antar Daerah itu sendiri dalam kewenangan dan keuangan untuk
menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan serta
penciptaan ruang yang lebih luas bagi kemandirian Daerah”. Sebagai
konsekuensi dari pemberian otonomi yang luas, maka sumber-sumber keuangan
telah banyak yang bergeser ke daerah. Hal ini sejalan dengan makna desentralisasi
fiskal yang mengandung pengertian bahwa kepada daerah diberikan :
20
(1) Kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri yang dilakukan
dalam wadah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sumber utamanya adalah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tetap mendasarkan batas
kewajaran.
(2) Didukung dengan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Retribusi dengan demikian merupakan salah satu sumber utama
penerimaan keuangan daerah dalam komponen Pendapatan Asli Daerah. Oleh
karena itu menarik untuk dilakukan penelitian tentang retribusi daerah.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dijelaskan, walaupun laju pertumbuhan
ekonomi di Provinsi DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan, namun
kontribusi yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) cenderung menurun dalam 2 tahun
terakhir, yaitu tahun 2005 dan 2006. Salah satu komponen utama didalam PAD
adalah berasal dari retribusi. Kontribusi yang diberikan oleh retribusi daerah
terhadap PAD di provinsi DKI Jakarta masih rendah. Berdasarkan data yang
ditunjukkan pada Tabel 1.3 menunjukkan bahwa kontribusi retribusi daerah pada
tahun 2006 sebesar Rp. 444,246 milyar atau hanya 5,7 persen dari total
penerimaan PAD yang sebesar Rp. 7812,45 milyar. Apabila dibandingkan dengan
pajak daerah yang sebesar 84 persen dan komponen lain-lain yang sebesar 9,7
persen yang didalamnya itu mencakup pendapatan yang berasal dari dinas-dinas
daerah serta pendapatan-pendapatan lainnya yang diperoleh secara sah oleh
21
pemerintah daerah, seperti jasa giro, penerimaan ganti rugi atas kekayaan daerah,
denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan dinas, penjualan rumah dinas,
penjualan barang bekas, pembinaan dan pengawasan pasar grosir dan atau
pertokoan dan pendapatan lainnya, retribusi daerah hanya memberikan kontribusi
ketiga terbesar dari komponen sumber penerimaan PAD. Padahal menurut makna
dari desentralisasi fiskal, sumber utama dari PAD adalah berasal dari pajak dan
retribusi daerah. Dari fakta tersebut mengindikasikan bahwa penerimaan dari
retribusi daerah masih belum maksimal.
Tabel 1.3. Kontribusi Penerimaan Komponen PAD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2006
Komponen penerimaan
PAD 2006 (Milyar Rp) Persentase Terhadap
PAD (%) Pajak Daerah 6482,649 84,0 Retribusi Daerah 444,246 5,7 Bagian Laba BUMD 131,903 1,6 Lain-lain 753,652
Total 7812,450
9,7
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006 (diolah).
Selain itu dari target dan realisasi retribusi daerah, persentase
efektivitasnya cenderung mengalami penurunan. Walaupun realisasi masih lebih
tinggi daripada target yang diharapkan, tetapi dari efektivitas retribusi,
kecenderungan trendnya mengalami penurunan. Efektivitas retribusi pada tahun
2003 sebesar 110,96 persen dan kemudian pada tahun 2004 mengalami penurunan
menjadi sebesar 110,51 persen. Pada tahun 2005 walaupun mengalami
peningkatan menjadi 112,46 persen, namun hal ini lebih cenderung disebabkan
oleh penurunan target penerimaan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang target penerimaannya selalu
22
meningkat. Target penerimaan pada tahun 2004 sebesar Rp. 382.095.012.000 dan
pada tahun 2005 menurun menjadi sebesar Rp 372.951.235.000 atau mengalami
penurunan sebesar Rp. 9.143.777.000. Lebih lanjut, pada tahun 2006 Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta kembali meningkatkan target penerimaan dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, namun efektivitas retribusi kembali mengalami
penurunan menjadi sebesar 94,01 persen.
Tabel 1.4. Target dan Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003-2006
Tahun Target
(Rp) Realisasi
(Rp) Efektivitas %
(persen)
2003 336.217.834.000 361.967.515.885 110,96
2004 382.095.012.000 422.242.444.223 110,51
2005 372.951.235.000 419.697.138.675 112,46
2006 472.531.996.600 444.246.390.913 94,01
Sumber : DISPENDA DKI Jakarta, 2006.
Kenyataan yang ada, antara potensi yang ada di lapangan dibanding
realisasi penerimaan retribusi terdapat ketimpangan. Ada kecenderungan bahwa
dengan semakin meningkatnya target penerimaan retribusi, maka persentase
efektivitasnya cenderung mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa
potensi dari retribusi perlu digali secara maksimal dan salah satunya melalui
peningkatan kinerja pemungutannya.
Besar kecilnya penerimaan retribusi daerah sangat bergantung kepada
besar kecilnya upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam melakukan
pungutan retribusi daerah. Setiap tahun didalam anggaran pemerintahan daerah,
ditetapkan target penerimaan retribusi daerah yang harus dicapai. Pencapaian
target retribusi daerah akan menjadi salah satu ukuran kinerja keuangan daerah
23
tersebut. Untuk pencapaian secara efektif diperlukan kinerja yang optimal
terhadap penerimaan retribusi daerah. Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan
penelitian, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan retribusi daerah
dan apakah kebijakan otonomi daerah juga berpengaruh terhadap penerimaan
retribusi daerah di Provinsi DKI Jakarta?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukakan
sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi di
Provinsi DKI Jakarta selama tahun 1986-2006.
2. Menganalisis pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap perkembangan
penerimaan retribusi daerah di Provinsi DKI Jakarta.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini diantaranya
adalah memberikan masukan bagi pembuat kebijakan dalam hal pengenaan
pungutan retribusi daerah sehingga dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal searah
dengan tujuan awal yang diharapkan yaitu pencapaian target Pendapatan Asli
Daerah (PAD) secara optimal di Provinsi DKI Jakarta.
Kemudian penelitian ini diharapkan juga dapat membuka wacana
mengenai pentingnya peran masyarakat untuk mendukung optimalisasi retribusi
24
daerah dan potensinya terhadap keuangan daerah dalam rangka peningkatan
pembangunan ekonomi di daerahnya.
Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat
sebagai penambah wawasan tentang retribusi daerah. Selain itu dapat digunakan
juga sebagai bahan masukan untuk penelitian yang terkait dengan hasil penelitian
ini.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian analisis retribusi ini dibatasi menurut ruang lingkup pokok
bahasan dan tahun penelitian. Ruang lingkup pokok bahasan yaitu hanya mengkaji
variabel yang diduga secara umum berpengaruh terhadap penerimaan retribusi
daerah seperti panjang jalan, tingkat inflasi, jumlah rumah sakit dan puskesmas,
jumlah penduduk, jumlah pendapatan perkapita dan jumlah kendaraan bermotor.
Tahun penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
penerimaan retribusi daerah yaitu pada tahun 1986-2006 yang dianggap telah
mewakili masa sebelum dan sesudah otonomi daerah.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Retribusi
Retribusi merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian
atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang
berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah baik
secara langsung maupun tidak langsung (Soetrisno, 1981).
Adapun menurut Davey (1988), jika penyediaan suatu barang/jasa
memberikan manfaat pribadi (private), misalnya telepon atau listrik, maka
retribusi merupakan solusi untuk menutup biaya yang dikeluarkan. Namun jika
manfaat yang diberikan mengandung unsur barang publik (public goods),
misalnya untuk pertanahan, maka pajak merupakan alternatif pembiayaan terbaik.
Retribusi juga merupakan media untuk allocative economy efficiency (efisiensi
ekonomi alokatif). Sinyal harga diberikan retribusi dari penggunaan barang atau
jasa yang disediakan oleh pemerintah. Tanpa harga, permintaan dan penawaran
tidak akan mencapai harga keseimbangan dan akibatnya alokasi sumber daya
tidak akan mencapai efisiensi ekonomi. Dengan harga (retribusi), para pelaku
ekonomi memiliki kebebasan memilih jumlah konsumsi suatu barang/jasa.
Mekanisme harga memainkan peranan dalam pengalokasian sumber daya melalui
pembatasan permintaan untuk menghindari pemborosan konsumsi (over
consumed).
Di dalam penyediaan barang/jasa yang dibiayai oleh pajak atau retribusi
tergantung dari derajat kemanfaatannya barang dan jasa itu sendiri. Semakin dekat
12
kemanfaatan suatu barang dengan private goods, maka pembiayaannya dari
retribusi. Sebaliknya semakin dekat kemanfaatan suatu barang dengan public
goods, maka pembiayaannya dari pajak. Hal ini terkait dengan balas jasa yang
diberikan antara pajak dan retribusi. Keputusan untuk tidak memungut retribusi
atas penyediaan barang/jasa pada hakikatnya berarti keputusan untuk menarik
pajak (Davey, 1988).
2.1.2 Dasar Hukum Retribusi Daerah Berdasarkan Gambar 2.1 menunjukkan bahwa perkembangan retribusi
daerah di Indonesia diawali oleh UU.No.12 Tahun 1957. Pada saat itu jenis
retribusi terbagi secara umum kedalam retribusi bidang kesejahteraan rakyat,
retribusi bidang pembangunan, retribusi bidang ekonomi. Retribusi tersebut
dipungut atas setiap jasa atau pelayanan yang diberikan. Kemudian dilakukan
penyederhanaan pungutan dan penyesuaian terhadap jenis retribusi, maka
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 34 tahun 2000.
Revisi atas UU Nomor 18 tahun 1997 ini dilakukan tidak terlepas dari adanya
keinginan dan keseriusan pemerintah dalam pelaksanaan otonomi daerah dengan
memberikan keleluasaan dan kewenangan bagi daerah untuk mendayagunakan
potensi yang ada. Pendayagunaan potensi tersebut harus tetap dalam batas-batas
kewajaran, yang tolak ukurnya adalah bagaimana memanfaatkan potensi yang
dimiliki tersebut untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan pembangunan
daerah di satu sisi, sedangkan di sisi lain adalah harus mempertimbangkan
13
kemampuan masyarakat untuk menanggung beban pungutan retribusi daerah.
Keleluasaan daerah untuk memanfaatkan potensi keuangannya sendiri tercermin
dari keleluasannya untuk menetapkan jenis retribusi yang potensial didaerah,
sepanjang memenuhi kriteria undang-undang.
Sumber : Dispenda DKI Jakarta, 2007.
Gambar 2.1. Landasan Perkembangan Retribusi Daerah
Retribusi daerah menurut pasal 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1997
adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipasangkan dengan peraturan
perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk penyelenggaraan Pemerintah
Daerah dan Pembangunan Daerah. Menurut cara pengenaan atau pemungutannya,
retribusi dapat dibagi dalam dua golongan yaitu :
RET.BID KESRA RET.BID PEMB RET.BID EKO
ATAS SETIAP JASA PELAYANAN DAPAT DIPUNGUT
RETRIBUSI DAERAH
PENYEDERHANAAN PUNGUTAN PENYESUAIAN JENIS RETRIBUSI
RET.JASA UMUM RET.JASA USAHA RET.PERIZINAN
TERTENTU
ATAS JASA UMUM USAHA/PERIZINA
N TERTENTU DAPAT DIPUNGUT
PERDA
PENYESUAIAN JENSI RETRIBUSI OTONOMI
RET. JASA UMUM RET. JASA RET. PERIZINAN TERTENTU ATAS JASA/ UMUM/PERIZINAN TERTENTU DAPAT DIPUNGUT RETRIBUSI DAERAH
UU NO.12 THN 1957
UU NO.18 THN 1997 PP NO.20 THN 1997
PERDA NO.3 THN 1999
UU NO.34 THN 2000 PP. NO.66 THN 2001
PERDA NO.1 THN 2000
14
a. Retribusi Daerah Langsung
Retribusi daerah langsung yaitu jenis retribusi yang kewajibannya tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada pihak lain. Secara administrasi yang
tergolong dalam retribusi langsung adalah retribusi yang cara pemungutannya
secara berkala atau periodik seperti contohnya retribusi parkir.
b. Retribusi Daerah Tidak Langsung
Retribusi daerah tidak langsung adalah retribusi yang dipungut jika ada
peristiwa seperti penyerahan barang bergerak atau barang tidak bergerak,
sebagai contoh dalam pembuatan akte tanah atau akte kelahiran.
Pungutan retribusi daerah merupakan penghasilan sumber-sumber
keuangan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat daerah yang digunakan
untuk melaksanakan tugas pemerintah dan untuk membiayai pembangunan
daerah. Dalam pungutan retribusi daerah yang dilakukan pemerintah daerah
adanya beberapa ketentuan yang harus mendapat perhatian. Pungutan tersebut
bagi pemerintah daerah paling sedikit harus ditetapkan berdasarkan undang-
undang, maka dalam hal ini pungutan retribusi daerah didasarkan kepada :
a. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 pasal 82, tentang Pemerintahan Daerah
disebut bahwa : pajak dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang
b. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
c. Pasal 5 ayat (2) UUD 1945
d. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 34. Tahun 2000
15
e. Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah
f. Peraturan Daerah
Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 adalah pungutan daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan.
Selanjutnya obyek pada retribusi daerah dibagi dalam tiga golongan
yaitu :
1. Retribusi Jasa Umum
Retribusi ini merupakan jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat
dinikmati oleh pribadi atau badan. Retribusi ini terdiri dari :
a. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan
Sipil
b. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
c. Retribusi Pelayanan Kesehatan
d. Retribusi Pelayanan Kebersihan
e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
f. Retribusi Pasar
g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
h. Retribusi Pemisahan Alat Pemadaman Kebakaran
i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
j. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan
16
2. Retribusi Jasa Usaha
Retribusi ini merupakan jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah
dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan
oleh swasta. Retribusi ini terdiri dari :
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah
b. Retribusi Pasar Grosir dan / atau Pertokoan
c. Retribusi Tempat Pelelangan
d. Retribusi Terminal
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir
f. Retribusi Tempat Penginapan / Pesanggrahan / Villa
g. Retribusi Penyedotan kakus
h. Retribusi Rumah Potongan Hewan
i. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal
j. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
k. Retribusi Penyeberangan di Atas Air
l. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
m. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
3. Retribusi Perizinan Tertentu
Retribusi ini merupakan retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah
daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang
dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas
kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
17
sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan. Retribusi ini terdiri dari :
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol
c. Retribusi Izin Gangguan
d. Retribusi Izin Trayek
Retribusi-retribusi tersebut pada umumnya dikenakan secara spesifik
dalam arti jumlah uang dalam setiap transaksinya atau penggunaan jasa oleh
pemerintah daerah ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Retribusi daerah tidak boleh merupakan rintangan keluar masuknya atau
pengangkutan barang kedalam dan keluar kota.
b. Dalam peraturan retribusi daerah tidak boleh diadakan perbedaan atau
pemberian keistimewaan yang menguntungkan perseorangan, golongan dan
keagamaan (Dispenda Provinsi DKI Jakarta, 2007).
2.1.3 Jasa, Subyek dan Obyek Retribusi
Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan
yang menyebabkan barang, fasilitas atau kemanfaatan lainnya yang dapat
dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Obyek yang dikenakan retribusi adalah
berbagai pelayanan yang diperlukan masyarakat yang dikelompokkan dalam jasa
umum, jasa usaha dan perizinan tertentu, yang secara khusus disediakan atau
diberikan oleh pemerintah daerah. Subyek yang dikenakan retribusi adalah orang
18
pribadi atau badan yang menikmati pelayanan yang merupakan wajib retribusi.
(Dispenda Provinsi DKI Jakarta, 2007).
2.1.4 Aplikasi Retribusi
Dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab, pembiayaan pemerintah dan pembangunan daerah yang berasal dari
retribusi daerah perlu ditingkatkan sehingga kemandirian daerah dalam hal
pembiayaan penyelenggaraan pemerintah di daerah dapat terwujud. Upaya
peningkatan pembiayaan dari sumber tersebut dapat dilakukan dengan
peningkatan kinerja pemungutan, penyempurnaan dan penambahan jenis retribusi,
serta pemberian keleluasaan bagi daerah untuk menggali sumber-sumber
penerimaan dari retribusi. Pemungutan retribusi tidak boleh menimbulkan distorsi
berupa high cost economy, karena distorsi tersebut dapat membawa konsekuensi
bagi penciptaan kesempatan kerja, kesejahteraan tenaga kerja serta arus barang
dan jasa yang nantinya dapat berimbas ke perekonomian nasional.
Adapun pengenaan retribusi daerah yang dapat menimbulkan high cost
economy disebabkan oleh adanya beban lebih (Excess burdens) dari penyediaan
retribusi daerah. Beban lebih retribusi daerah adalah kerugian masyarakat dengan
adanya suatu retribusi daerah yang tidak dapat dikompensasikan karena
pengenaan tarif retribusi yang terlalu tinggi. Misalkan pada obyek retribusi parkir.
Adanya beban lebih menyebabkan kurva penawaran bergeser ke atas sebagaimana
ditunjukkan dalam Gambar 2.2. Titik keseimbangan yang semula berada di titik
C, dengan adanya beban lebih karena tarif retribusi yang terlalu tinggi sehingga
19
berpindah ke titik A dan jumlah pemakaian parkir menjadi berkurang dari OJ1
menjadi OJ2. Penerimaan pemerintah daerah dari pemakaian retribusi parkir
menjadi OJ2BH1 dan penerimaan dari kenaikan tarif sebesar H1BAH2. Dengan
naiknya tarif retribusi dari OH1 ke OH2, konsumen mengurangi pemakaian
menjadi J2J1 sehingga pemerintah daerah kehilangan penerimaan sebesar
J2J1CA.
Tarif A Penawaran retribusi dengan H2 tarif baru H1 B C Penawaran retribusi dengan
tarif awal Permintaan
O J2 J1 Jumlah Pemakaian
Gambar 2.2. Beban Lebih (Excess Burden) Retribusi Daerah
Faktor-faktor produksi yang digunakan untuk membiayai obyek retribusi
sebesar J2J1 mempunyai nilai pasar sebesar J2J1CB. Jadi, nilai dari pemakaian
retribusi yang berkurang sebesar J2J1AC, sehingga terdapat beban lebih dari
retribusi daerah (excess burden) sebesar J2J1AC-J2J1CB atau sebesar segitiga
ABC (Mangkoesoebroto, 2001).
20
2.1.5 Penentuan Tarif Retribusi
Salah satu tugas pokok pemerintah adalah memberikan pelayanan publik
(public service). Pemberian pelayanan publik pada dasarnya dapat dibiayai
melalui dua sumber yaitu (1) pajak, dan (2) retribusi daerah. Jika pelayanan publik
dibiayai dengan pajak, maka setiap wajib pajak harus membayar tanpa
mempedulikan apakah pemakai menikmati secara langsung jasa publik tersebut
atau tidak. Jika pelayanan publik dibiayai melalui retribusi daerah, maka yang
membayar hanyalah mereka yang memanfaatkan jasa pelayanan publik.
Merumuskan harga atau pungutan yang biasa disebut dengan tarif
terhadap fasilitas atau sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah
daerah dapat dilakukan dengan penetapan tarif tertentu. Ada beberapa macam cara
penetapan tarif, diantaranya sebagai berikut :
1) Full Cost Recovery, yaitu dengan menghitung seluruh biaya total yang
dikeluarkan untuk penyediaan suatu layanan publik yang terdiri dari fixed cost
dan variable cost, termasuk didalamnya belanja investasi serta biaya
perhitungan penyusutannya. Setelah diketahui biaya totalnya (TC) kemudian
dibagi dengan jumlah konsumen/pengguna (Q) sehingga dapat diketahui biaya
rata-rata (AC) untuk setiap konsumen. Penghitungan tarif ini disebut juga
sebagai Average Cost Pricing : P = AC =Q
TC …........... (2.1)
2) Marginal Cost Pricing, yaitu penghitungan tarif berdasarkan besarnya
tambahan biaya yang dikeluarkan. Harga tersebut adalah harga yang juga
berlaku dalam pasar persaingan untuk pelayanan tersebut. Marginal Cost
Pricing mengacu pada harga pasar yang paling efisien, karena pada harga
21
tersebut akan memaksimalkan manfaat ekonomi dan penggunaan sumber daya
yang terbaik. Untuk mendapatkan tariff berdasarkan marginal costnya, perlu
dilakukan regresi sederhana untuk mendapatkan persamaan matematisnya.
Dari persamaan tersebut kemudian dapat dihitung besarnya marginal cost.
3) Konsep Biaya Rata-Rata di Masa Datang
Konsep biaya rata-rata di masa datang ini merupakan modifikasi yang tepat
untuk menerapkan konsep biaya marginal (marginal cost pricing). Alasannya,
konsep ini berorientasi ke depan seperti konsep biaya marginal, akan tetapi
karena sifat outputnya yang “lumpy” atau kasar sehingga tidak dapat
dipastikan nilai yang sebenarnya, maka yang paling relevan dalam hal ini
adalah berapakah besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengganti
keberadaan output tersebut setelah umur penggunannya selesai.
Pengelompokkan biaya yang akan digunakan terbagi tiga yaitu : (1) biaya
operasi, (2) biaya pemeliharaan, (3) biaya investasi. Perhitungan biaya modal
bertitik tolak dari perhitungan tentang besarnya penyusutan per periode waktu
(tahun). Secara umum, penerapan konsep ini dapat diformulasikan sebagai
berikut :
Ht = TDt = t
nttt
JT
BKBPBO +++ ++ 11 ............... (2.2)
22
Keterangan :
Ht = Harga obyek retribusi x pada tahun ke-t TDt = Tarif dasar obyek retribusi x pada tahun ke-t
BOt+1 = Biaya operasi obyek retribusi x pada tahun yang akan datang yang dijadikan dasar perhitungan tarif dasar di tahun ke-t
BPt+1 = Biaya pemeliharaan obyek retribusi x pada tahun yang akan datang yang dijadikan dasar perhitungan tarif dasar di tahun ke-t
BKt+n = Biaya investasi obyek retribusi x pada tahun yang akan datang yang dijadikan dasar perhitungan tarif dasar di tahun ke-t
JTt = Jumlah pemakai obyek retribusi x yang digunakan sebagai dasar perhitungan tarif dasar di tahun ke-t
BOt+1 = BOt (1+K) ............... (2.3) BPt+1 = BPt (1+I) ............... (2.4)
BKt+n = n
n
Iinf)1( + ............... (2.5)
Keterangan : BOt = Biaya operasi obyek retribusi x tahun ke-t (sekarang) BPt = Biaya pemeliharaan obyek retribusi x pada tahun ke-t (sekarang) I = Nilai total dari konstruksi (investasi) obyek retribusi x yang
digunakan sekarang n = Umur dari obyek retribusi x K = Tingkat kenaikan dari biaya operasi I = Tingkat kenaikan dari biaya pemeliharaan Inf = Tingkat inflasi sebagai proksi dari biaya oportunitas modal
Selain dari apa yang telah dijelaskan, prinsip-prinsip yang harus
dipertimbangkan dalam penentuan struktur tarif retribusi adalah sebagai berikut :
1. Adequacy principle, yaitu hasil pungutan dari suatu retribusi harus cukup
untuk mendanai kegiatan pemungutan dan penyediaan fasilitas yang hendak
dibiayai oleh retribusi itu sendiri.
2. Stability principle, hasil pungutan retribusi harus menunjukkan perkembangan
sosial yang stabil bagi masyarakat.
23
3. Equity principle, yaitu beban pungutan dari retribusi dirasakan cukup adil oleh
wajib retribusi sehingga dapat dinikmati oleh semua masyarakat tanpa adanya
diskriminasi dalam pelaksanaannya.
4. Economy efficiency principle, yaitu pungutan retribusi akan mampu
mendorong alokasi sumber daya ekonomi yang efisien
5. Cost or administrative principle, yaitu hasil pungutan retribusi jauh lebih besar
dari semua biaya yang dikeluarkan untuk memungutnya.
6. Administrative feasible principle, yaitu intensitas dan ekstensitas pungutan
retribusi sejalan dengan kemampuan administrasi instansi yang
menanganinya.
7. Political acceptability principle, yaitu pungutan retribusi tersebut dapat
diterima atau mendapat dukungan politik yang kuat. (Ekalaya, 2005)
2.1.6 Potensi Retribusi
Definísi potensi adalah kemampuan yang mempunyai kemungkinan
untuk dikembangkan kekuatannya. Dengan demikian, jira pengertian potensi
tersebut dikaitkan dengan potensi retribusi, maka potensi retribusi dapat diartikan
sebagai suatu jumlah retribusi yang dapat diterima atau dipungut dan
kemungkinan dapat dikembangkan. Kemampuan yang dapat dikembangkan ini
sesuai dengan keadaan obyeknya dan diharapkan dapat dipungut dari wajib
retribusi pada waktu tertentu atau sebagai suatu kemampuan maksimal dari dasar
(basis) retribusi itu sendiri untuk dieksploitasi dan kemampuan optimal untuk
mengeksploitasinya (Ekalaya, 2005)
24
Berdasarkan pengertian tersebut, potensi retribusi menggambarkan pula
sejauh mana retribusi tersebut dapat dimanfaatkan agar mencapai hasil
penerimaan retribusi yang maksimal. Selanjutnya, potensi penerimaan retribusi
dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Potensi retribusi yang dihitung berdasarkan banyaknya jumlah tempat usaha
yang dikenai pungutan retribusi, dengan perhitungan bahwa tempat usaha
tersebut dalam kondisi yang baik dan layak untuk digunakan sebagai tempat
usaha yang dapat dikenai pungutan retribusi.
2. Potensi retribusi yang dihitung berdasarkan jumlah tempat usaha yang sedang
dimanfaatkan atau digunakan oleh para pelaku usaha. Dengan demikian,
perhitungan hanya didasarkan pada jumlah tempat usaha yang dipakai,
sedangkan tempat usaha yang tidak dipergunakan tidak termasuk dalam
perhitungan potensi penerimaan retribusi. Didalam literatur ekonomi publik,
potensi retribusi demikian disebut sebagai kapasitas retribusi, sementara
menurut Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Provinsi DKI Jakarta,
potensi penerimaan retribusi tersebut memakai istilah potensi pungut, yang
artinya retribusi yang dapat dipungut berdasarkan realisasi tempat usaha yang
dimanfaatkan (Ekalaya, 2005).
2.1.7 Dasar dan Tujuan Pengenaan Retribusi
Dasar dari retribusi adalah cost recovery. Menurut Soedarsono (1971),
cost recovery berarti bahwa jasa publik harus dibiayai oleh tarif retribusi dengan
penerimaan yang digunakan untuk menutup biaya yang terpakai dan memastikan
25
bahwa jasa itu tersedia untuk setiap orang yang memenuhi syarat. Kebijakan
penutupan kembali biaya meliputi prinsip-prinsip :
a) Keadilan : penerima manfaat dari jasa harus berkontribusi sebesar biaya yang
mereka keluarkan.
b) Efisiensi : pengujian permintaan calon konsumen terhadap jasa diperlukan
guna membantu menentukan jumlah dan kualitas persediaan.
c) Pertanggung jawaban dan standar jasa : penutupan kembali biaya menekankan
pertanggung jawaban dari pemerintah daerah (penyedia jasa) untuk
memastikan jasa sesuai standar konsumen.
Tujuan dari cost recovery ini adalah untuk menciptakan efisiensi alokasi
dari sumberdaya misalnya untuk mengatasi kelebihan permintaan yang sering
terjadi apabila suatu barang tidak dikenakan harga akibat penggunaan barang itu
secara umum. Selain itu dengan adanya cost recovery juga dapat menciptakan
pendekatan berkeadilan untuk membiayai pengeluaran pemerintah melalui
pengenaan retribusi kepada mereka yang menerima manfaat dari jasa publik.
Adapun tujuan dari pengenaan retribusi adalah untuk mengurangi subsidi
pemerintah dalam membiayai satuan pelayanan seperti pelayanan jasa umum, jasa
usaha dan jasa perizinan tertentu. Retribusi juga sebagai penunjang didalam
pemeliharaan infrastruktur daerah dan lingkungan. Setiap infrastruktur
membutuhkan perbaikan dan perawatan yang berkesinambungan agar dapat
dimanfaatkan dalam memberikan pelayanan jasa kepada masyarakat secara
optimal. Selain itu, retribusi juga dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku
usaha dan pengguna jasa karena dengan adanya retribusi maka penggunaan
26
fasilitas menjadi lebih terkontrol. Pelaku usaha dan pengguna jasa dapat tertib
didalam menjalankan usahanya sehingga akan menimbulkan persaingan yang
sehat didalam berbisnis.
2.2 Penelitian-Penelitian Terdahulu
Bagus (1995), melakukan penelitian tentang Retribusi Pasar sebagai
Pendapatan Asli Daerah, dengan studi kasus pasar kabupaten di Kabupaten
Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode analisis yang digunakan
adalah dengan pendekatan menggunakan metode CCER (Cost Of Collection
Efficiensy Ratio). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa retribusi pasar masih
potensial untuk ditingkatkan. Namun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, apabila retribusi dimaksudkan sebagai sumber penerimaan bagi
pemerintah daerah, struktur tarif retribusi perlu dievaluasi agar besarnya dapat
mencerminkan struktur biaya yang sebenarnya. Besarnya tarif yang telah
ditetapkan cenderung terkesan arbitraty, yaitu belum merefleksikan struktur biaya
jasa pengadaan fasilitas pasar. Kedua, bila retribusi pasar dikenakan terhadap
setiap pedagang di pasar sebagai balas jasa kepada pemerintah yang telah
menyediakan fasilitas perdagangan, maka karena ada kenaikan tarif retribusi
pasar, perlu diadakan perbaikan dan penambahan fasilitas di pasar. Ketiga,
pemungutan retribusi terhadap pedagang perlu dibedakan menurut skala usaha.
Tidaklah adil bila pedagang skala usaha kecil dipungut retribusi sama besar
dengan pedagang berskala usaha lebih besar.
27
Sari (2006), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Data Panel
Peranan Retribusi Daerah Dalam APBD Kabupaten dan Kota Se-Indonesia pada
tahun 2001-2003”. Metode yang digunakan adalah secara kuantitatif dengan
ekonometrika. Hasil penelitian menjelaskan bahwa variabel pendapatan perkapita
berhubungan positif dengan penerimaan retribusi baik itu di kota maupun di
kabupaten yang ada di Indonesia. Hal ini karena upaya dalam membiayai
pelayanan publik dari retribusi semakin besar. Selain itu variabel pajak daerah dan
kepadatan penduduk juga secara signifikan berhubungan positif terhadap
penerimaan retribusi. Sementara tingkat inflasi, berhubungan negatif dengan
penerimaan retribusi.
Nuringsih (2006), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis
Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah
Desentralisasi Fiskal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam”. Metodenya dengan
analisis deskriptif dan kauntitatif. Hasil analisis kuantitatif dengan menggunakan
metode analisis inferensial menjelaskan terdapat perbedaan yang cukup signifikan
antara penerimaan pajak dan retribusi daerah sebelum dan sesudah dikeluarkannya
kebijakan desentralisasi fiskal di Nangroe Aceh Darussalam karena perbedaan
efektivitas dan efisisensi dari obyek retribusi yang ada.
Mulyanto (2002), melakukan penelitian tentang “Potensi Pajak dan
Retribusi Daerah di Kawasan Subosuka Wonosraten Propinsi Jawa Tengah”.
Metode analisis secara deskriptif dan menyatakan bahwa dengan adanya Tap
MPR No. XV MPRJ 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, maka setiap
daerah mempunvai kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab terhadap
28
daerahnya untuk melakukan otonomi daerah. Kemudian Tap MPR No.
XV/MPR1998 dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 22/1999 tentang
pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua undang-undang ini pada prinsipnya
mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas desentralisasi, baik yang berkaitan dengan masalah
desentralisasi kewenangan (power sharing) maupun desentralisasi keuangan
(fiscal desentralization).
Kedua undang-undang tersebut memunculkan suatu paradigma baru
tentang pembangunan daerah yang berubah menjadi paradigma daerah
membangun yang didekati dengan prinsip : (i) pelaksanaan otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggung-jawab; (ii) asas keseimbangan pertumbuhan antar
daerah serta antar desa dan kota; (iii) pemberdayaan masyarakat; serta (iv)
pendayagunaan potensi sumberdaya alam dengan berpegang pada kelestarian
lingkungan hidup.
Sementara itu, ada beberapa pihak yang memandang keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah ditentukan oleh jiwa kondisi strategis yang meliputi :
(i) Self Regular Power, dalam arti kemampuan mengatur dan melaksanakan
otonomi daerah demi kepentingan masyarakat di daerahnya. (ii) Self Modyfing
Power, berupa kemampuan menyesuaikan terhadap peraturan yang telah
ditetapkan secara nasional sesuai dengan kondisi daerah termasuk terobosan
inovatif kearah kemajuan dalam menyikapi potensi daerah; (iii) Creating Local
Political Support, dalam arti penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
29
mempunyai legitimasi kuat dengan masyarakatnya, baik hubungan posisi kepala
daerah sebagai Eksekutif maupun DPRD sebagai pemegang kekuasaan Legisatif
(iv) Managing Financial Resource, dalam arti mampu mengembangkan
kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan
guna pembiayaan aktivitas pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat; serta (v) Developing Brain Power, dalam arti membangun SDM yang
handal dan selalu bertumpu pada kapasitas dalam menyelesaikan masalah.
Secara umum, faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, antara lain yaitu
(Kaho,1997) : (1) faktor manusia sebagai subyek penggerak (faktor dinamis)
dalam menyelenggarakan otonomi daerah; (2) faktor keuangan yang merupakan
tulang punggung bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah; (3) faktor
peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi terselenggaranya aktivitas
pemerintahan daerah; serta (4) faktor organisasi dan manajemen yang merupakan
sarana untuk melakukan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara baik,
efisien dan efektif.
Kecenderungan yang sering terjadi dalam penetapan target-target dari
setiap jenis pajak dan retribusi daerah didalam PAD hanya didasarkan pada proses
incremental (peningkatan) sebesar sekian persen dibanding tahun-tahun
sebelumnya, tanpa didasarkan pada potensi yang sebenarnya. Apabila
kesenjangan antara potensi dan realisasi dikatakan sebagai kesenjangan obyektif,
maka upaya pengkajian terhadap potensi PAD perlu untuk terus dilakukan
dengan maksud agar target yang direncanakan didasarkan atas potensi yang benar.
30
Selanjutnya bila target sudah benar, kemudian dikaitkan dengan realisasi yang
terjadi dilapangan mempunyai rasio cakupan (coverage ratio) yang diharapkan
akan terus meningkat dari waktu ke waktu.
Kemudian Yanti (2004), yang meneliti tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bogor. Dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif secara ekonometrika, hasil analisisnya
menjelaskan bahwa Faktor yang paling berpengaruh terhadap penerimaan PAD
Kota Bogor adalah pendapatan per kapita, dummy pemberlakuan otonomi daerah,
jumlah perusahaan, jumlah kamar hotel, jumlah kendaraan bermotor dan laba
perusahaan daerah.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang didasari dengan
diberlakukannya UU. No 32 Tahun 2004 telah membawa implikasi kepada
pemerintahan daerah didalam penyelenggaraan tugas daerahnya yang dibiayai atas
beban APBD. Keadaan ini akan semakin memperkuat tekanan kepada keuangan
daerah karena dengan pemberlakuan desentralisasi maka peranan dan sumbangan
dari pemerintah pusat berkurang. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka didalam
pemerintahan daerah diperlukan kesiapan dana yang relatif cukup besar. Salah
satu komponen yang diharapkan mampu untuk digali potensinya adalah berasal
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sumber PAD sendiri berasal dari Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, Bagian lain BUMD dan Penerimaan lain-lain PAD
yang sah.
31
Berdasarkan permasalahan yang ada, salah satu komponen didalam
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari retribusi masih
belum optimal. Oleh karena itu penulis akan menganalisis tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi penerimaan retribusi sehingga dapat diperoleh tentang
gambaran variable apa saja yang dapat mempengaruhi penerimaan retribusi. Dari
kesemuanya itu diharapkan dapat memberikan optimalisasi penerimaan dari
retribusi daerah sehingga dapat menunjang bagi pembangunan daerah di Provinsi
DKI Jakarta. Adapun skema dari kerangka pemikiran penulis dijelaskan didalam
Gambar 2.3.
Penelitian ini akan mencoba meneliti hubungan dari peubah-peubah
yang diduga berpengaruh terhadap penerimaan retribusi daerah di Provinsi DKI
Jakarta dengan menggunakan variabel panjang jalan, jumlah rumah sakit dan
puskesmas, jumlah penduduk, tingkat inflasi, pendapatan per kapita, dan jumlah
kendaraan bermotor baik itu pada masa sebelum maupun sesudah
diberlakukannya kebijakan otonomi daerah sehingga akan diperoleh gambaran
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan retribusi daerah dan juga
bagaimana pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap penerimaan retribusi
daerah di provinsi DKI Jakarta.
32
UU No. 32 Tahun 2004
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal Tekanan keuangan daerah yang dibiayai atas beban APBD Kesiapan dana pemerintah daerah
Sumber PAD
Pajak Retribusi daerah Bagian dari BUMD Penerimaan lain-lain
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ` Penerimaaan Retri`busi Daerah
Optimalisasi penerimaan Retribusi daerah
Penunjang Pembangunan Daerah Provinsi DKI Jakarta Keterangan = Alur Penelitian = Ruang Lingkup Analisis Penelitian
Gambar 2.3. Skema Kerangka Pemikiran
33
2.4 Hipotesis
Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran yang dijelaskan
sebelumnya, untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
retribusi daerah, penulis mengajukan hipotesis bahwa :
1. Tingkat inflasi diduga berpengaruh negatif terhadap penerimaan retribusi.
2. Panjang Jalan diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi.
3. Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas diduga berpengaruh positif terhadap
penerimaan retribusi.
4. Jumlah Penduduk diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi.
5. Pendapatan perkapita diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan
retribusi.
6) Jumlah kendaraan bermotor diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan
retribusi.
7) Kebijakan otonomi daerah diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan
retribusi.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi DKI Jakarta, dengan pertimbangan
bahwa Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara memiliki potensi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang cukup tinggi. Waktu pengumpulan dan pengolahan data
dilakukan mulai bulan Januari 2008.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data time series.
Data diambil selama periode 1986-2006. Data yang dikumpulkan berupa data
Perkembangan Penerimaan Reribusi Daerah, Realisasi dan Target Retribusi
Daerah, Panjang Jalan, Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas, Jumlah Penduduk
DKI Jakarta, Jumlah Kendaraan Bermotor dan Tingkat Inflasi. Data-data tersebut
diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, Dinas Pendapatan Daerah
(Dispenda) DKI Jakarta, dan instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Referensi studi kepustakaan melalui jurnal, artikel, bahan-bahan
lain dari Perpustakaan LSI yang masih relevan dengan penelitian ini.
35
3.3. Metode Analisis
3.3.1. Analisis Regresi Berganda
Analisis regresi merupakan studi dalam menjelaskan dan mengevaluasi
hubungan antara suatu peubah bebas (independent variable) dengan satu peubah
tak bebas (dependent variable) dengan tujuan untuk mengestimasi atau
meramalkan nilai peubah tak bebas didasarkan pada nilai peubah bebas yang
diketahui (Gujarati, 1999).
Metode regresi linear berganda dapat digunakan untuk melihat pengaruh
beberapa peubah penjelas atau peubah bebas terhadap satu peubah tak bebas.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linear
berganda. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk melihat pengaruh
variabel panjang jalan, jumlah rumah sakit dan puskesmas, jumlah penduduk,
tingkat inflasi, pendapatan per kapita, dan jumlah kendaraan bermotor terhadap
penerimaan retribusi daerah. Selain itu analisis regresi berganda juga digunakan
untuk melihat pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap penerimaan retribusi
daerah di provinsi DKI Jakarta.
Metode ini digunakan karena terdapat data yang memiliki variabel yang
banyak (multivariate) untuk mengukur karakteristik faktor-faktor yang
mempengaruhi penerimaan retribusi daerah termasuk variabel dummy yang
dimasukkan didalam mengetahui pengaruh kebijakan otonomi daerah terhadap
pnerimaan retribusi di Provinsi DKI Jakarta.
Untuk menyatakan kuat tidaknya hubungan linier antara peubah penjelas
dan peubah tak bebas dapat diukur dari koefisisen korelasi ( coefficient
36
correlation) atau R, dan untuk melihat besarnya sumbangan (pengaruh) dari
peubah bebas terhadap perubahan peubah tak bebas dapat dilihat dari koefisien
determinasi (coefficient of determination) atau R2.
Variabel boneka (dummy) adalah variabel yang menjelaskan ada atau
tidak adanya kualitas dengan membentuk variabel buatan yang mengambil nilai 1
atau 0. (Gujarati, 1999).
Pengaruh peubah bebas terhadap total penerimaan retribusi dapat diketahui dari
persamaan regresi berikut :
iiiiiii LnXLnXLnXLnXXLnXLnY 6655443322110 βββββββ ++++++=
iiD εβ ++ 1 ............... (3.1) Keterangan:
Y i = penerimaan retribusi (rupiah) X1i = panjang jalan (meter) X2i = tingkat Inflasi (persen) X3i = jumlah rumah sakit dan puskesmas (unit) X4i = jumlah penduduk (jiwa) X5i = jumlah pendapatan perkapita (rupiah) X6i= jumlah kendaraan bermotor (unit) D1i = 1 untuk setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah = 0 untuk sebelum dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah
Parameter yang digunakan dalam model diatas dapat ditaksir dengan
metode ordinary least squares (OLS), dengan syarat asumsi-asumsi model regresi
linear berganda ini terpenuhi (Gujarati, 1999).
37
3.3.2.1 Penyusunan Persamaan Regresi
Adapun langkah-langkah pokok dalam prosedur ini adalah sebagai
berikut :
1. Menghitung persamaan regresi yang mengandung semua peubah bebas.
2. Menghitung nilai-F parsial untuk setiap peubah bebas, seolah-olah nilai
tersebut merupakan peubah terakhir yang dimasukkan ke dalam persamaan
regresi.
3. Membandingkan nilai-F parsial terendah, misalnya FL, dengan nilai-F bertaraf
nyata tertentu dari tabel, misalnya F0.
a. Jika FL < F0, buang peubah ZL, yang menghasilkan FL, dari persamaan
regresi dan kemudian hitung kembali persamaan regresi tanpa menyertakan
peubah tersebut; kembali ke langkah (2).
b. Jika FL > F0, ambillah persamaan regresi itu.(Gujarati, 1999)
3.3.1.2 Asumsi-Asumsi Regresi Linear Berganda
Penggunaan metode kuadrat terkecil biasa (OLS) dapat dilakukan
apabila asumsi regresi linear klasik terpenuhi. Beberapa asumsi yang harus
dipenuhi oleh persamaan regresi linear berganda ini adalah sebagai berikut :
1. Normalitas, regresi linear klasik mengasumsikan bahwa tiap iε mengikuti
distribusi normal iε ~ N (0, 2σ ).
2. Non autokorelasi antar sisaan, berarti cov ( ),( ji εε = 0, dimana i ≠ j
3. Homoskedastisitas, var (iε ) = 2σ untuk setiap i, i = 1,2,…,n yang artinya
varians dari semua sisaan adalah konstan atau homoskedastik.
38
4. Tidak terjadi multikolinearitas yang artinya tidak terdapat hubungan linear
yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua variabel yang
menjelaskan model regresi.
Untuk mengetahui apakah model persamaan yang digunakan sudah
memenuhi asumsi-asumsi regresi tersebut maka perlu dilakukan pemeriksaan
pada masing-masing asumsi. Pemeriksaan asumsi regresi linear klasik dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Pemeriksaan asumsi kenormalan sisaan
Pemeriksaan kenormalan sisaan bertujuan untuk melihat distribusi sisaan (iε ).
Pemeriksaan kenormalan sisaan dilakukan dengan memeriksa apakah error
term mendekati distribusi normal. Uji ini perlu dilakukan jika jumlah sampel
yang digunakan kurang dari 30 (n < 30). Hipotesisi pengujiannya adalah :
H0 : 0=α , error term terdistribusi normal
H1 : 0≠α , error term tidak terdistribusi normal
Wilayah kritis penolakan H0 adalah Jarque Bera (J-B) > X2df-2 atau probabilitas
(p_value) < α , sedangkan daerah penerimaan adalah Jarque Bera (J-B) < X2df-
2 atau probabilitas (p_value) > α . Jika H0 ditolak maka disimpulkan error
term tidak terdistribusi normal, sedangkan jika H0 diterima maka disimpulkan
bahwa error term terdistribusi normal.
b. Pemeriksaan asumsi non autokorelasi
Autokorelasi dapat diartikan sebagai korelasi sisaan yang satu (iε ) dengan
sisaan lainnya (jε ). Biasanya autokorelasi sering terjadi pada data-data time
series. Penyebab utama terjadinya autokorelasi adalah ada variabel penting
39
yang tidak digunakan dalam model. Pendeteksian autokorelasi dapat dilakukan
dengan melihat probabilitas Obs*R-squared menggunakan statistik Breusch-
Godfrey Serial Correlation LM. Hipotesis dalam uji ini adalah :
H0 : 0=ρ , tidak terdapat auto korelasi
H1 : 0≠ρ , terdapat autokorelasi
Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probabilitas Obs*R-squared <
α sedangkan wilayah penerimaan H0 adalah probabilitas Obs*R-squared>α .
Jika H0 ditolak maka terjadi auto korelasi (positif atau negatif) dalam model.
Sebaliknya jika H0 diterima maka tidak ada auto korelasi dalam model.
c. Pendeteksian asumsi homoskedastisitas artinya pada nilai variabel bebas
berapapun variannya konstan. Jika variannya berbeda-beda atau bervariasi,
berarti terjadi heteroskedastisitas. Pendeteksian heterosekedastisitas dapat
dengan menguji White Heterodescedasity atau Autoregressive Conditonal
Heteroscedasticity (ARCH) test. Hipotesis yang diuji adalah :
H0 : 0=γ , tidak terdapat heteroskedastisitas
H1: 0≠γ , terdapat heteroskedastisitas
Wilayah kritik penolakan H0 adalah Probability Obs*R-squared <α ,
sedangkan wilayah penerimaan H0 adalah Probability Obs*R-squared >α .
Jika H0 ditolak maka varians dari error term untuk setiap pengamatan berbeda
untuk setiap variabel bebas, sebaliknya jika H0 diterima maka varians dari
error term untuk setiap pengamatan sama untuk seluruh variabel bebas.
d. Pendeteksian asumsi non multikolinearitas
40
Multikolinearitas adalah terjadinya hubungan linier yang sempurna atau pasti
antara peubah-peubah bebas. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat
koefisien korelasi antar variabel independen yang terdapat pada matriks
korelasi. Jika terdapat koefisien korelasi yang lebih besar dari 8.0 maka
terdapat gejala multikolinearitas (Gujarati, 1999).
Gujarati (1999) menyatakan bahwa apabila asumsi-asumsi regresi klasik
tersebut terpenuhi, menjadikan teknik analisis dengan menggunakan metode
kuadrat terkecil biasa (OLS) menghasilkan penaksir tak bias linier terbaik (BLUE/
Best Linear Unbiased Estimator).
3.3.1.3 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi merupakan besaran yang lazim digunakan untuk
mengukur kelayakan model (lack of fit test). Koefisien determinasi ini dikenal
dengan besaran R2. Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui proporsi
varians variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel bebas secara bersama-
sama atau secara verbal R2 mengukur proporsi (bagian) atau persentase total
variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi (Gujarati, 1999).
R2 diperoleh dengan rumus :
=
−
−
=
∑
∑
=
=
n
ii
n
i
i
YY
YY
R
1
_2
1
2_^
2
)(SST
SSR …………(3.2)
41
R2 terletak antara 0 dan 1.Jika R2 = 1, berarti suatu kecocokan sempurna.
Jika R2 = 0, berarti tidak ada hubungan antara variabel tak bebas dan variabel
bebas. Semakin besar nilai R2 maka model semakin baik untuk digunakan.
Jika regresi terdiri atas variable bebas yang lebih dari dua, maka
sebaiknya digunakan R2 yang disesuaikan yang diperoleh dari :
( )( )1
1)1(1 22
−−−−−=kn
nRRa ............... (3.3)
dengan k = banyaknya parameter penduga dalam model
n = banyaknya percobaan
3.3.1.4 Pengujian Parameter
Pengujian penduga parameter memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat
keberartian penduga parameter yang digunakan melalui pengujian hipotesis. Jika
hipotesis ditolak maka dapat disimpulkan bahwa penduga parameter tersebut
signifikan atau berarti.
a. Uji-F
Uji F dilakukan untuk mengetahui keberartian model secara berama-sama.
Pengujian Hipotesis :
H0 : 0....21 ==== kβββ , dengan k adalah peubah bebas
Ha : minimal ada 0≠iβ dengan i = 0,1,2,..., Statistik uji yang digunakan dapat
dirumuskan sebagai berikut : )(
( )1−−=
knSSE
kSSRFhit ............... (3.4)
dimana : k adalah banyaknya parameter yang diduga
n adalah banyaknya obeservasi
42
Keputusan :
[ ][ )1−−≤ knkahit FF , maka H0 diterima
[ ][ )1−−> knkahit FF , maka H0 ditolak
Keputusan yang diharapkan adalah tolak H0 yang berarti peubah-peubah
bebas yang dimasukkan ke dalam model secara bersama-sama mempengaruhi
peubah tidak bebas pada tingkat kepercayaan (1- α ) persen. Pengambilan
keputusan dalam output eviews juga dapat dilihat dari tingkat signifikannya <
α yang ditetapkan, maka keputusannya adalah H0 ditolak.
b. Uji t
Uji t dilakukan untuk mengetahui keberartian dari masing-masing
penduga parameter secara parsial, apakah koefisien parsial yang diperoleh
tersebut mempunyai pengaruh atau tidak dengan asumsi bahwa variabel tidak
bebas lainnya konstan.
Hipotesisnya adalah :
H0 : 0=iβ (tidak ada pengaruh dari peubah Xi terhadap Y)
Ha : 0≠iβ (ada pengaruh dari peubah Xi terhadap Y)
Statistik uji yang digunakan diformulasikan sebagai berikut :
)( i
ihit bS
bt = ............... (3.5)
Dimana : bi adalah koefisien regresi ke-i
S(bi) adalah standar error dari koefisien regresi ke-i.
Keputusan yang diambil adalah :
)1(2/ −−≤ knhit tt α , maka H0 diterima
43
)1(2/ −−> knhit tt α , maka H0 ditolak
Keputusan yang diharapkan adalah tolak H0 yang berarti ada pengaruh nyata
peubah-peubah bebas secara individu terhadap peubah tidak bebas pada tingkat
kepercayaan (1-α ) persen.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Tinjauan Perekonomian Provinsi DKI Jakarta
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator yang
digunakan dalam mengkaji dan mengevaluasi perekonomian juga memberikan
gambaran keadaan ekonomi suatu wilayah. PDRB dihitung dalam dua cara, yaitu
atas dasar harga konstan dan harga berlaku. PDRB atas dasar harga berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan
menggunakan harga tiap tahun dan menunjukan pendapatan yang mungkin dapat
dinikmati oleh penduduk suatu daerah. PDRB atas dasar harga konstan adalah
nilai tambah barang dan jasa dengan menggunakan harga pada suatu tahun
tertentu (tahun dasar), dapat digunakan untuk menjelaskan laju pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral dari tahun ke tahun.
4.1.1 Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menjelaskan pendapatan yang
diterima oleh suatu daerah. PDRB yang semakin tinggi menunjukan kinerja
pengelolaan keuangan daerah yang semakin baik. Perkembangan PDRB Provinsi
DKI Jakarta selama tahun 2002-2006 berdasarkan harga berlaku maupun
berdasarkan harga konstan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Perolehan
PDRB berdasarkan harga berlaku meningkat dari Rp. 299.967.605 pada tahun
2002 menjadi Rp. 501.584.807 pada tahun 2006. Perkembangannya dijelaskan
pada Tabel 4.1. Pada tahun 2003, penerimaan PDRB berdasarkan harga berlaku
mencapai Rp. 334.331.300. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku
45
mengalami kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 15,61 persen
atau setara dengan Rp. 501.584.807.
Tabel 4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006
PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku PDRB Atas Dasar Harga
Konstan Tahun
Jumlah (Rp) Pertumbuhan (%)
Jumlah (Rp) Pertumbuhan (%)
2002 299.967.605 - 250.331.157 - 2003 334.331.300 11,46 263.624.242 5,40 2004 375.561.523 12,34 278.524.823 5,70 2005 433.860.253 15,53 295.270.545 6,01 2006 501.584.807 15,61 313.870.301 6,30
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006 (diolah).
Namun demikian, peningkatan tersebut belumlah menggambarkan
peningkatan kinerja perekonomian Provinsi DKI Jakarta secara riil. Dalam PDRB
atas dasar harga berlaku masih terkandung faktor inflasi yang sangat berpengaruh
terhadap daya beli masyarakat secara umum sehingga belum mencerminkan laju
pertumbuhan ekonomi. Untuk melihat kinerja perekonomian secara aktual dapat
diamati dari perkembangan PDRB atas dasar harga konstan dalam hal ini
berdasarkan pada tahun 2000. Selama tahun 2002 hingga tahun 2006 perolehan
PDRB atas dasar harga konstan mengalami peningkatan yaitu dari
Rp.250.331.157 menjadi Rp. 312.700.301 pada tahun 2006. Pertumbuhan PDRB
atas dasar harga konstan mengalami kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 2005
yaitu sebesar 6,01 persen atau setara dengan Rp. 295.270.545.
46
4.1.2 Pendapatan Perkapita
Indikator kesejahteraan masyarakat secara makro dapat dilihat dari
pendapatan perkapitanya. Pendapatan perkapita adalah nilai PDRB dibagi dengan
jumlah penduduk pertengahan tahun. Pendapatan perkapita menunjukan distribusi
pendapatan yang diterima oleh setiap satu orang penduduk. Semakin tinggi
pendapatan perkapita berarti tingkat kesejahteraan penduduk semakin baik,
demikian juga berlaku sebaliknya. Perkembangan pendapatan perkapita di
Provinsi DKI Jakarta selama tahun 2002-2006 dijelaskan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Pendapatan Perkapita Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006
Pendapatan Perkapita Tahun Harga Berlaku (Rp) Harga Konstan (Rp)
2002 35.302.766 29.461.122 2003 39.028.671 30.774.575 2004 43.487.399 32.251.227 2005 49.871.288 33.940.703 2006 57.286.660 35.713.912
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006.
Secara umum pendapatan perkapita, baik berdasarkan harga konstan
maupun berdasarkan harga berlaku selama tahun 2002 hingga tahun 2006
mengalami peningkatan. Pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku yang
mengalami kenaikan signifikan terjadi pada tahun 2006 yaitu dari Rp. 49.871.288
menjadi sebesar Rp. 57.286.660 atau mengalami peningkatan sebesar Rp.
7.415.372. Namun peningkatan pendapatan perkapita berdasarkan harga berlaku
juga belum mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi DKI Jakarta
secara umum karena sama seperti PDRB atas dasar harga berlaku, dalam
pendapatan perkapita atas dasar harga belaku masih terkandung faktor inflasi.
Untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi DKI Jakarta secara riil
47
dapat dilihat dari perolehan pendapatan perkapita berdasarkan harga konstan yang
pertumbuhannya cenderung meningkat dari Rp. 29.461.122 pada tahun 2002
menjadi sebesar Rp. 35.713.912 pada tahun 2006. Ini menunjukan bahwa
pendapatan perkapita penduduk di Provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan
sehingga tingkat kesejahteraan penduduk di provinsi DKI Jakarta semakin baik
dan daya beli masyarakatnya meningkat.
4.1.3 Tingkat Inflasi
Inflasi adalah peningkatan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat
secara rata-rata. Inflasi selain dipengaruhi oleh fenomena antara permintaan dan
penawaran juga dipengaruhi oleh tata niaga dan kelancaran dalam arus lalu lintas
barang dan jasa serta peranan kebijaksanaan pemerintah. Semakin tinggi inflasi di
suatu wilayah maka akan berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi dari
PDRB nominal suatu wilayah.
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa tingkat inflasi di Provinsi
DKI Jakarta secara umum cenderung tinggi. Pada tahun 1996 tingkat inflasi
mencapai 7,25 persen. Lebih lanjut pada tahun 1997 meningkat menjadi sebesar
11,70 persen. Tingkat inflasi tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 74,42
persen akibat terjadinya krisis moneter yang pada saat itu dan menyebabkan
naiknya semua harga barang kebutuhan. Tingkat inflasi terendah selama periode
1996-2006 terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 1,77 persen.
48
Tabel 4.3. Tingkat Inflasi Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996-2006
Tahun Tingkat Inflasi (%) 1996 7,25 1997 11,70 1998 74,42 1999 1,77 2000 10,29 2001 11,52 2002 9,08 2003 5,78 2004 8,87 2005 16,06 2006 15,24
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006.
Dengan semakin tingginya tingkat inflasi akan berpengaruh terhadap
peningkatan anggaran biaya di Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Oleh
karena itu salah satu upaya yang dilakukan untuk membiayai dampak dari inflasi
adalah dengan meningkatkan target maupun besaran tarif retribusi disesuaikan
dengan kenaikan inflasi yang terjadi.
4.2 Perkembangan dan Kontribusi Penerimaan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kewenangan pemerintahan daerah dalam mengoptimalkan pengelolaan
keuangan daerah dan mencari sumber dana bagi pembangunan di daerahnya
tertuang dalam peraturan perundang-undangan No. 32 Tahun 2004 tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Secara garis besar komponen utama dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat dibedakan menjadi empat yaitu yang berasal
dari pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba perusahaan daerah dan lain-lain
PAD yang sah. Berdasarkan Tabel 4.4, perkembangan penerimaan retribusi
daerah terhadap PAD pada tahun 2002-2006 secara nominal cenderung
49
meningkat. Pada tahun 2002 penerimaan retribusi daerah di provinsi DKI Jakarta
sebesar Rp 319,268 milyar. Pada tahun 2003 perkembangan penerimaan retribusi
daerah terhadap PAD menjadi sebesar Rp. 361,967 milyar dan lebih lanjut pada
tahun 2006 menjadi sebesar Rp. 444,246 milyar. Penerimaan retribusi daerah
tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp. 444,246 milyar. Ini
mengindikasikan bahwa perkembangan retribusi daerah secara nominal selama
masa otonomi daerah cenderung mengalami peningkatan.
Namun demikian, kontribusi yang diberikan oleh retribusi terhadap PAD
dari tahun 2002 hingga 2006 berdasarkan Gambar 4.1, trendnya cenderung
menurun. Pada tahun 2002 kontribusi yang diberikan oleh retribusi daerah
terhadap PAD sebesar 7,07 persen. Pada tahun 2003 turun menjadi sebesar 6,88
persen.
Tabel 4.4. Perkembangan Penerimaan Komponen PAD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006 (milyar Rp)
Komponen penerimaan PAD
2002
2003 2004 2005 2006
Pajak Daerah 3966,801 4376,29 5499,292 6519,687 6487,749
Retribusi Daerah 319,268 361,967 422,242 419,697 444,246 Bagian Laba BUMD 43,741 92,996 102,057 103,219 131,903 Lain-lain 223,461 430,613 406,739 542,457 753,652 Total 4509,53 5261,85 6430.33 7585,06 7817,55 Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006 (diolah).
Lebih lanjut, pada tahun 2004 kontribusi yang diberikan oleh retribusi
daerah sebesar 6,57 persen dan pada tahun 2006 kontribusi yang diberikan
retribusi daerah menjadi sebesar 5,68 persen. Adapaun kontribusi terendah dari
penerimaan retribusi daerah terhadap PAD adalah terjadi pada tahun 2005 yaitu
50
sebesar 5,53 persen dan kontribusi tertinggi yang diberikan oleh retribusi daerah
terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 7,07 persen.
0102030405060708090
2002 2003 2004 2005 2006
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Bagian Lain BUMD
Lain-Lain
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 2006 (diolah).
Gambar 4.1. Kontribusi Komponen PAD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006
Adapun perkembangan dan kontribusi penerimaan tertinggi dari
komponen PAD berasal dari pajak daerah. Apabila dibandingkan dengan
perkembangan dari penerimaan retribusi daerah, maka terdapat ketimpangan yang
cukup tinggi antara penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini
mengindikasikan bahwa kecenderungan dari penerimaan retribusi daerah masih
kurang efektif apabila dibandingkan dengan komponen penerimaan PAD dari
pajak daerah. Masih ada potensi dari retribusi daerah yang belum dikelola secara
optimal pada masa otonomi daerah ini. Salah satu yang menjadi kendala didalam
pengelolaan terhadap pungutan retribusi adalah kurangnya kemampuan SDM
selaku pegelola dan pembuat keputusan tentang besarnya tarif terhadap jenis
obyek retribusi yang ada maupun dari subyek retribusi itu sendiri yang kurangnya
kesadaran didalam memanfaatkan dan melakukan pembayaran terhadap berbagai
51
fasilitas yang dijadikan sebagai obyek dari retribusi. Oleh karena itu diperlukan
penanganan yang lebih baik lagi didalam pemungutan maupun penetapan tarif
dari obyek retribusi yang ada.
4.3 Perkembangan Total Penerimaan Retribusi Daerah Sebelum dan Sesudah
Otonomi Daerah
Secara umum, total penerimaan retribusi daerah secara nominal
cenderung meningkat dari masa sebelum sampai sesudah masa otonomi daerah.
Tabel 4.5. Perkembangan Penerimaan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 1986-2006
Tahun Total Penerimaan Retribusi
Nominal (Rp) Persentase Pertumbuhan (%)
1986 139.228.429.485 - 1987 158.680.388.086 13,97 1988 172.243.786.897 8,55 1989 174.749.555.378 1,45 1990 198.595.061.686 13,65 1991 219.980.486.202 10,77 1992 226.585.818.461 3,00 1993 230.256.349.740 1,62 1994 232.099.963.731 0,80 1995 247.857.879.571 6,79 1996 257.001.384.000 3,69 1997 279.330.609.000 8,69 1998 232.548.000.000 -16,75 1999 106.401.700.000 -54,25 2000 133.174.500.000 25,16 2001 240.012.100.000 80,22 2002 301.796.503.662 25,74 2003 361.967.515.885 19,94 2004 422.242.444.223 16,65 2005 419.697.138.675 -0,60 2006 444.246.390.913 5,85
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 1986-2006 (diolah).
Berdasarkan Tabel 4.5, persentase total penerimaan retribusi daerah
secara nominal cenderung meningkat dari tahun 1986 sampai 2006 berkisar antara
52
0,80 persen sampai dengan 80,22 persen walaupun sempat meningkat pada tahun
1999 sebesar 54,22 persen, namun hal ini lebih disebabkan oleh kondisi
perekonomian yang masih belum stabil pasca krisis ekonomi yang terjadi pada
tahun 1998. Peningkatan retribusi secara nominal lebih disebabkan oleh faktor
inflasi sehingga pemerintah menyesuaikannya dengan peningkatan tarif dari
obyek retribusi yang besarannya disesuaikan dengan tingkat inflasi.
4.4 Perkembangan dan Efektivitas dari Obyek Retribusi Daerah
Perkembangan obyek retribusi daerah di Provinsi DKI Jakarta selama
tahun 2002-2006 cenderung berfluktuatif. Hal ini tergantung dari efektivitas
obyek retribusinya. Adapun efektivitas pemungutan, ditentukan oleh rasio antara
realisasi dan target yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan obyek retribusi daerah di Provinsi DKI
Jakarta yang mempunyai efektivitas cenderung meningkat diatas 100 persen
selama tahun 2002-2006 yaitu Retribusi IMB, Retribusi Parkir, Retribusi Pasar,
Retribusi Izin Gangguan dan Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan
Mayat. Sedangkan retribusi yang efektivitasnya cenderung menurun dibawah 100
persen adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan, Retribusi Uji Kendaraan, Retribusi
Tempat Rekreasi, Retribusi Terminal dan Retribusi Izin Trayek. Adapun yang
menjadi kendala terhadap masih rendahnya efektivitas adalah karena terlalu
tingginya target yang ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Retribusi parkir selama perkembangannya pada tahun 2002-2006
mempunyai tingkat efektivitas yang paling tinggi dibandingkan dengan obyek
53
retribusi yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan dari retribusi
parkir dapat terus dimaksimalkan karena efektivitas yang diterima cukup tinggi.
Adapun obyek retribusi yang nilai efektivitasnya paling rendah pada tahun
2006 adalah retribusi izin trayek yaitu sebesar 65,61 persen. Hal ini terjadi karena
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menetapkan targetnya, jauh diatas potensi
yang ada. Ini berbeda apabila dibandingkan dengan perkembangan penerimaan
retribusi izin trayek pada tahun-tahun sebelumnya, yang penerimaannya selalu
diatas 100 persen. Ini mengindikasikan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi DKI
Jakarja perlu mengevaluasi dan mengkaji ulang kembali penetapan target dari
retribusi izin trayek. Lebih lanjut untuk retribusi terminal, retribusi tempat
rekreasi dan retribusi pelayanan kesehatan juga perlu dikaji kembali besaran target
yang telah ditetapkan. Retribusi terminal pada tahun 2006 efektivitasnya sebesar
67,80 persen, retribusi tempat rekreasi sebesar 74,81 persen dan retribusi
pelayanan kesehatan sebesar 75,80 persen.
Namun demikian, efektivitas yang rendah bukan berarti menunjukan
bahwa ketiga retribusi tersebut tidak layak lagi untuk dilanjutkan pemungutannya.
Hal itu karena apabila dibandingkan dengan kontribusi terhadap total penerimaan
retribusi yang diterima, ketiga retribusi tersebut mempunyai kontribusi yang
cukup tinggi.
54
Tabel 4.6. Penerimaan Beberapa Obyek Retribusi Daerah di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002-2006 (milyar Rp)
Nama Obyek
Retribusi Tahun Target Realisasi Efektivitas Kontribusi Realisasi
Terhadap Total Retribusi (persen)
Retribusi
IMB
2002 2003 2004 2005 2006
83,454 103,790 109,290 135,779 159,800
106,070 132,289 152,623 193,074 190,483
127,06 127,45 139,49 142,20 119,20
35.15 29.30 25.12 25.27 23.88
Retribusi Pelayanan Kesehatan
2002 2003 2004 2005 2006
93,841 136,910 163,441 108,553 149,074
89,394 101,350 151,390 98,974
112,916
95,26 74,02 92,62 91,17 75,74
29.62 28.00 35.85 23.58 25.42
Retribusi Parkir
2002 2003 2004 2005 2006
12,602 15,467 14,156 14,414 17,586
28,600 32,000 15,000 20,000 26,950
226,94 206,89 105,96 138,75 153,24
9.48 8.84 3.55 4.77 6.07
Retribusi Uji Kendaraan
2002 2003 2004 2005 2006
13,083 15,433 19,204 21,124 26,720
19,418 20,449 22,279 23,432 23,030
148,42 132,50 116,01 110,92 86,19
6.43 5.65 5.28 5.58 5.18
Retribusi Kebersihan
2002 2003 2004 2005 2006
8,780 9,207 8,950 8,936 6,793
8,740 8,454 9,118
10,704 7,760
99,54 91,82
101,87 119,78 114,23
2.90 2.34 2.16 2.55 1.75
Retribusi Tempat Rekreasi
2002 2003 2004 2005 2006
10,341 13,112 13,815 15,594 18,873
11,306 12,262 13,157 10,837 14,120
109,33 95,23 93,51 69,49 74,81
3.75 3.39 3.12 2.58 3.18
Retribusi Pasar
2002 2003 2004 2005 2006
0,425 0,450 0,519 0,555 1,000
0,420 0,501 0,534 0,572 1,233
98,82 111,33 102,89 103,06 123,30
0.14 0.14 0.13 0.14 0.28
Retribusi Terminal
2002 2003 2004 2005 2006
6,810 6,928 8,177 9,090
10,200
8,335 8,765
10,165 10,516 6,916
122,39 126,51 124,31 115,68 67,80
2.76 2.42 2.41 2.51 1.56
Retribusi Izin Gangguan
2002 2003 2004 2005 2006
1,300 1,400 1,555 2,016 2,800
1,348 1,883 2,374 2,364 3,410
103,69 134,50 152,66 117,26 121,78
0.45 0.52 0.56 0.56 0.77
Retribusi Izin Trayek
2002 2003 2004 2005 2006
15,890 16,166 19,081 21,210 23,800
18,822 19,792 22,925 23,746 15,617
118,45 122,42 120,14 111,95 65,61
6.24 5.47 5.43 5.66 3.52
Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil
2002 2003 2004 2005 2006
2,700 2,949 3,010 2,855 3,000
2,926 2,968 2,524 2,701 5,162
108,37 100,64 83,85 94,60
172,06
0.97 0.82 0.60 0.64 1.16
55
Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
2002 2003 2004 2005 2006
5,000 5,250 5,600 5,900 6,500
5,376 5,768 5,778 6,190 7,388
107,52 109,86 103,17 104,91 113,66
1.78 1.59 1.37 1.47 1.66
Lain-Lain 2002
2003 2004 2005 2006
28,93 9,16
15,30 26,93 46,39
6,84 21,76 20,69 23,35 36,65
22,18 232,14 131,75 84,59 79,01
2.13 5.87 4.77 5.43 8.25
Total Realisasi Penerimaan Retribusi
2002 2003 2004 2005 2006
301.80 361.97 422.24 419.70 444.25
Sumber: DISPENDA Jakarta, 2007 (diolah).
Berdasarkan Tabel 4.6 menunjukkan bahwa kontribusi yang diberikan
oleh ketiga retribusi tersebut selama perkembangannya pada tahun 2002-2006
mencapai diatas 1 persen dari total penerimaan retribusi yaitu untuk retribusi
terminal berkisar antara 1,56 persen hingga 2,76 persen, retribusi tempat rekreasi
berkisar antara 2,58 persen hingga 3,75 persen dan retribusi pelayanan kesehatan
berkisar antara 23,58 persen hingga 35,85 persen. Ini mengindikasikan bahwa
kontribusi yang diberikan oleh ketiga retribusi tersebut mempunyai pengaruh yang
cukup tinggi didalam total penerimaan retribusi di Provinsi DKI Jakarta.
4.5 Faktor-Faktor yang Diduga Berpengaruh Terhadap Penerimaan Retribusi Daerah
4.5.1 Panjang Jalan
Jalan merupakan salah satu prasarana penting di dalam transportasi
darat. Hal ini karena fungsi strategis yang dimilikinya yaitu sebagai penghubung
antar satu daerah dengan daerah lain. Jalan sebagai penghubung antara sentra-
sentra produksi dengan daerah pemasaran, sehingga sangat dirasakan manfaatnya
dalam rangka meningkatkan perekonomian suatu wilayah.
56
Tabel 4.7. Panjang Jalan Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996-2006
Tahun Panjang Jalan (meter) Persentase Peningkatan (%)
1996 6528402 - 1997 6528421 0,00029 1998 6528481 0,00091 1999 6528461 -0,00031 2000 6528439 -0,00033 2001 6528481 0,00064 2002 7636759 16,9760 2003 7616269 -0,26830 2004 7616269 0 2005 7645085 0,37835 2006 6540222 -14,4519
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 1996-2006 (diolah).
Adapun perkembangan panjang jalan di Provinsi DKI Jakarta selama
periode 1996 hingga 2006 secara umum cenderung meningkat namun dengan
persentase yang tidak terlalu besar. Berdasarkan Tabel 4.7, panjang jalan pada
tahun 1996 sebesar 6528402 meter. Lebih lanjut pada tahun 1997 panjang jalan
meningkat menjadi sebesar 6528421 meter atau meningkat sebesar 0,00029
persen. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2002 yaitu sebesar 7636759 meter
dengan peningkatan sebesar 16,98 persen. Sementara itu, penurunan tebesar
terjadi pada tahun 2006. Panjang jalan mengalami penurunan menjadi sebesar
6540222 atau mengalami penurunan 14,45 persen. Salah satu penyebab
menurunnya panjang jalan adalah dengan adanya penggunaan jalan untuk jalur
busway sehingga mengurangi penggunaan jalan secara umum bagi pengguna
jalan.
57
4.5.2 Jumlah Kendaraan Bermotor
Jumlah kendaraan bermotor adalah jumlah kendaraan yang digerakkan
oleh peralatan teknik yang ada pada kendaraan tersebut, biasanya digunakan untuk
angkutan orang atau barang diatas jalan raya selain kendaraan yang berjalan di
atas rel. Kendaraan bermotor yang dicatat adalah semua jenis kendaraan seperti
motor, angkutan umum, mobil penumpang dan mobil angkutan barang.
Kendaraan bermotor TNI/POLRI dan Korps Diplomatik tidak termasuk
didalamnya.
Kendaraan bermotor merupakan sarana penting dari angkutan darat.
Perkembangan yang terjadi pada jumlah kendaraan bermotor secara langsung
memberikan gambaran mengenai kondisi sub sektor angkutan darat. Jumlah
kendaraan bermotor yang cenderung meningkat, merupakan indikator semakin
tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi yang memadai
sejalan dengan mobilitas penduduk yang semakin tinggi.
Tabel 4.8. Jumlah Kendaraan Bermotor Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996-2006
Tahun Jumlah Kendaraan Bemotor Persentase Pertumbuhan (%)
1996 3397748 - 1997 3842661 13,09 1998 3053189 -20,54 1999 3082679 0,96 2000 3259924 5,74 2001 3544723 8,74 2002 4074135 14,94 2003 5627124 38,12 2004 6390919 13,57 2005 7230319 13,13 2006 7967498 10,20
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 1996-2006 (diolah).
58
Perkembangan jumlah kendaraan bermotor di Provinsi DKI Jakarta
selama tahun 1996-2006 ditunjukkan pada Tabel 4.8. Secara umum jumlah
kendaraan bermotor mengalami peningkatan berkisar antara 0,96 persen hingga
38,12 persen walaupun pada tahun 1998 sempat mengalami penurunan sebesar
20,54 persen. Penurunan ini lebih disebabkan oleh gejolak sosial yang terjadi pada
saat itu akibat krisis moneter sehingga menyebabkan banyak kendaraan bermotor
yang mengalami kerusakan.
Adapun persentase peningkatan terbesar jumlah kendaraan bermotor
terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 38,12 persen dan persentase peningkatan
terkecil terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 0,99 persen. Jumlah kendaraan
bermotor yang cenderung meningkat, merupakan indikator semakin tingginya
kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi yang memadai sejalan dengan
mobilitas penduduk yang semakin tinggi.
4.5.3 Pertumbuhan Penduduk
Pembangunan ekonomi tidak akan berlangsung secara
berkesinambungan apabila tidak didukung oleh penduduknya yang memiliki
kemampuan dan semangat kerja yang tinggi, sehingga mampu menggerakkan
aktivitas ekonomi didalam pemanfaatan berbagai sumber daya yang tersedia.
Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi aset bagi suatu wilayah dalam
memacu pembangunan di bidang ekonomi secara lebih cepat, tetapi hal ini bisa
juga mendatangkan masalah yang serius apabila tidak disertai dengan peningkatan
kualitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
59
Perkembangan penduduk dan kepadatan penduduk di DKI Jakarta cukup
tinggi. Hal ini karena posisinya sebagai salah satu pusat pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta dan kepadatan
penduduknya selama periode 1996-2006 ditunjukkan pada Tabel 4.9. Kepadatan
penduduk di DKI Jakarta cenderung tinggi mencapai 11528 jiwa/Km2 pada tahun
1996 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 13648 jiwa/Km2 dengan luas
wilayah yang tetap sebesar 661,52 Km2. Kepadatan penduduk tertinggi terjadi
pada tahun 2005 yaitu sebesar 13665 jiwa/km2.
Tabel 4.9. Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996-2006
Tahun Luas Area
(Km2) Jumlah Penduduk
(Jiwa) Kepadatan Penduduk
(Jiwa/Km2) 1996 661,52 7625794 11528 1997 661,52 7712571 11659 1998 661,52 7818573 11820 1999 661,52 7831520 11839 2000 661,52 7878701 11910 2001 661,52 7423379 11222 2002 661,52 7461472 11279 2003 661,52 7456931 11272 2004 661,52 7471866 11295 2005 661,52 9041605 13668 2006 661,52 8961680 13548
Sumber : BPS Provinsi DKI Jakarta, 1996-2006 (diolah).
Sementara itu kepadatan penduduk terendah terjadi pada tahun 2001
yaitu sebanyak 11222 jiwa/km2. Secara umum kepadatan penduduk di DKI
Jakarta cenderung meningkat selama periode tersebut. Hal ini dapat berpengaruh
terhadap peningkatan aktivitas perekonomian di provinsi DKI Jakarta. Dengan
semakin bertambahnya jumlah penduduk maka dibutuhkan pelayanan publik yang
semakin baik didalam menunjang aktivitas perekonomiannya.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pendugaan Model Analisis
Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan
retribusi daerah di Provinsi DKI Jakarta, maka perlu dilakukan pengujian terhadap
asumsi-asumsi dari metode pendugaan yaitu uji normalitas, uji autokorelasi, uji
heteroskedastisitas dan uji multikolinearitas. Uji Normalitas dilakukan jika sample
yang digunakan kurang dari 30. Oleh karena sample dalam penelitian ini
berjumlah 21, maka pada error term perlu dilakukan uji kenormalan, yang disebut
dengan Jarque-Bera Test. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Lampiran 5, nilai
probabilitas (P-Value) yaitu sebesar 0,986954, sedangkan taraf nyata bernilai
=α 0,05. Oleh karena nilai P-Value (0,98) > α (0,05), maka dengan tingkat
keyakinan 98 persen maka error term terdistribusi normal.
Pengujian autokorelasi dilakukan untuk melihat korelasi sisaan yang satu
( iε ) dengan sisaan lainnya (jε ). Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan
uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Suatu model terbebas dari
masalah autokorelasi jika nilai probabilitas Obs*R-S-quared dari Breusch-Godfrey
Serial Correlation LM-Test lebih besar dari taraf nyata yang digunakan pada
model. Berdasarkan Lampiran 2, Nilai probabilitas Obs*R-Squared dari uji ini
adalah 0,218778 dan nilai tersebut lebih besar dari tingkat signifikansinya yaitu
pada taraf nyata 5 persen. Nilai probabilitas Obs*R-Squared 0,218778 lebih besar
dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa pada persamaan ini tidak terdapat gejala
autokorelasi.
61
Dalam asumsi model regresi linear, nilai variabel bebas berapapun
variannya konstan. Jika variannya berbeda-beda atau bervariasi, berarti terjadi
heteroskedastisitas. Pengujian yang dilakukan untuk menangani masalah
heteroskedastisitas yaitu dengan menggunakan uji white Heteroskedasticity Test.
Persamaan regresi yang ada pada model tidak terdapat gejala heteroskedastisitas,
karena probabilitas Obs*R-Squared memiliki nilai yang lebih tinggi dari tingkat
siginfikansinya. Nilai Obs*R-Squared dari Lampiran 3 yaitu sebesar 0,077641
sedangkan tingkat signifikansinya bernilai 0,05 (α = 5 %). Jadi dapat
disimpulkan bahwa hasil estimasi persamaan penerimaan retribusi daerah tidak
mengandung heteroskedastisitas.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya masalah multikolinearitas dilihat
dari korelasi antara variabel-variabel independen yang menyusun model. Suatu
model dikatakan terbebas dari multikolinearitas jika korelasi antara variabel-
variabelnya tidak lebih dari 0,8. Dalam model penerimaan retribusi daerah
(Lampiran 4) menunjukkan bahwa korelasi diantara variabel tidak lebih dari 0,8
sehingga tidak terjadi masalah multikolinearitas diantara variabel bebas.
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Daerah
Dari model faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi
daerah (Tabel 5.1) menunjukan nilai probabilitas F statistik sebesar 0,000372
yang berarti lebih kecil dari taraf nyata yang dikehendaki yaitu 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa ada variabel-variabel bebas dalam model secara signifikan
berpengaruh terhadap variabel penerimaan retribusi daerah. Disamping itu juga
62
ditunjukan nilai koefisien determinasi adalah sebesar 0,831366 yang berarti
bahwa besarnya variabel penerimaan retribusi daerah yang dapat dijelaskan oleh
variabel panjang jalan, tingkat inflasi, jumlah rumah sakit dan puskesmas, jumlah
penduduk, jumlah pendapatan perkapita, jumlah kendaraan bermotor serta
Dummy Kebijakan Otonomi Daerah adalah sebesar 83,13 persen.
Tabel 5.1. Hasil Analisis Regresi Penerimaan Retribusi Daerah Dependent Variabel : Log_Y
Variable Koefisien t-statistik Probabilitas
C -8,381493 -0,334082 0,7436
LOG_X1 (panjang jalan) -1,257944 -0,855095 0,4080
X2 (tingkat inflasi) 0,284671 2,531380 0,0251
LOG_X3 (jumlah rumah sakit dan puskesmas)
6,852832 2,246950 0,0426
LOG_X4 (jumlah penduduk)
1,960462 1,811778 0,0932
LOG_X5 (jumlah pendapatan perkapita)
1,068993 2,270018 0,0409
LOG_X6 (jumlah kendaraan bermotor)
1,575213 3,373645 0,0050
Dummy (kebijakan otonomi daerah)
-0,509280 -1,518567 0,0428
R-squared 0,831366
F-statistik 9,155709
Peluang (F-stat) 0,000372
Keterangan : Taraf nyata α = 5 persen. Sumber : Lampiran 1.
Dari delapan variabel yang dimasukkan kedalam model menunjukan
bahwa variabel tingkat inflasi, jumlah rumah sakit dan puskesmas, jumlah
pendapatan perkapita, jumlah kendaraan bermotor dan dummy otonomi daerah
berpengaruh nyata terhadap penerimaan retribusi daerah di provinsi DKI Jakarta
dengan taraf nyata 5 persen (α = 5 %). Sementara itu, variabel panjang jalan dan
63
jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata terhadap penerimaan retribusi daerah.
Hasil estimasi ini dapat ditunjukkan pada Lampiran 1 dengan menggunakan Uji t-
statistik. Uji ini dilakukan dengan melihat nilai probabilitas dari masing-masing
variabel bebas tersebut.
Tingkat inflasi (X2) berpengaruh nyata dan berhubungan positif dengan
penerimaan retribusi daerah dengan koefisien sebesar 0,284671. Ini
mengindikasikan bahwa peningkatan sebesar 1 persen dari tingkat inflasi akan
meningkatkan penerimaan retribusi sebesar 0,284 persen dan begitu pula
sebaliknya. Ini berbeda dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa tingkat
inflasi berhubungan negatif dengan penerimaan retribusi. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa tingkat inflasi menyebabkan penerimaan retribusi daerah di
Provinsi DKI Jakarta meningkat. Hal ini terjadi karena pertumbuhan tingkat
inflasi yang ada di DKI Jakarta cukup tinggi, sehingga berpengaruh terhadap
perekonomian di DKI Jakarta. Dengan semakin tingginya tingkat inflasi,
pemerintah DKI Jakarta juga harus menyesuaikan target yang ditetapkan agar
dapat disesuaikan dengan kebutuhan didalam pengelolaan keuangan daerahnya
terutama didalam belanja rutin dan biaya pembangunan. Peningkatan target ini
salah satunya dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta dengan meningkatkan tarif
retribusi yang ada dan disesuaikan dengan harga pasar yang dievaluasi dan
diawasi secara rutin oleh pemerintah DKI Jakarta. Selain itu, bagi masyarakat di
Provinsi DKI Jakarta, dengan adanya inflasi tidak mengurangi aktivitas
perekonomian mereka. Ini ditunjukan oleh pendapatan perkapita di Provinsi DKI
Jakarta yang perkembangannya selalu mengalami peningkatan. Masyarakat tetap
64
menggunakan obyek retribusi yang ada sebagai penunjang didalam aktivitas
perekonomian mereka. Oleh karena itu, hal ini berpengaruh terhadap peningkatan
realisasi penerimaan retribusi yang ada, yang secara nominal dari tahun ke tahun
perkembangannya selalu mengalami peningkatan.
Jumlah rumah sakit dan puskesmas (X3) berpengaruh nyata dan
berhubungan positif dengan penerimaan retribusi daerah. Dengan nilai koefisien
sebesar 6,852832 menunjukkan bahwa peningkatan sebesar 1 persen dari jumlah
rumah sakit dan puskesmas akan meningkatkan penerimaan retribusi sebesar
6,852 persen. Dengan nilai koefisien lebih dari satu, menunjukkan bahwa jumlah
rumah sakit dan puskesmas sangat responsif terhadap penerimaan retribusi daerah.
Ini menunjukan bahwa kebutuhan akan pelayanan kesehatan di Provinsi DKI
Jakarta cukup tinggi sehingga terdapat potensi yang optimal didalam penyediaan
fasilitas dan pelayanan kesehatan dan juga didalam peningkatkan penerimaan
retribusi daerah. Hal ini juga sesuai dengan hipotesis awal. Adapun salah satu
penyebabnya adalah tingginya kepadatan penduduk di DKI Jakarta. Kepadatan ini
berdampak pada tingginya kebutuhan penduduk terhadap penggunaan fasilitas dan
pelayanan kesehatan di Provinsi DKI Jakarta.
Pendapatan perkapita (X5) berpengaruh nyata dan berhubungan positif
dengan penerimaan retribusi daerah dengan koefisien sebesar 1,0689930 Hal ini
menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan terhadap pendapatan perkapita
sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan dari retribusi daerah sebesar
1,068 persen dan begitu pula sebaliknya. Ini sesuai dengan hipotesis awal bahwa
peningkatan pendapatan perkapita akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
65
sehingga akan meningkatkan pengunaan terhadap ketersediaan fasilitas dan jasa
pelayanan dari obyek retribusi yang ada. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat
memberikan pelayanan yang lebih baik dalam penyediaan infrastruktur seiring
dengan peningkatan dari pendapatan per kapita. Peningkatan pendapatan perkapita
mampu meningkatkan konsumsi masyarakat sehingga berpengaruh terhadap
penggunaan berbagai obyek retribusi yang ada. Selain itu, temuan ini juga sesuai
dengan penelitan Sari (2006) yang menyatakan bahwa pendapatan perkapita
berhubungan positif dengan penerimaan retribusi daerah. Hal ini karena upaya
dalam membiayai pelayanan publik dengan retribusi semakin besar seiring
dengan peningkatan kesejahteraan dari masyarakatnya karena peningkatan dari
pendapatan perkapita.
Variabel lain yang mempunyai pengaruh nyata dan positif terhadap
penerimaan retribusi adalah Jumlah Kendaraan Bermotor (X6). Nilai koefisien dari
jumlah kendaraan bermotor adalah sebesar 1,575213 Ini menunjukkan bahwa
ketika terjadi kenaikan jumlah kendaraan bermotor sebesar 1 persen akan
meningkatkan penerimaan retribusi daerah sebesar 1,575 persen. Nilai koefisien
yang lebih dari satu mengindikasikan bahwa penerimaan retribusi daerah sangat
responsif terhadap perubahan jumlah kendaran bermotor. Dugaan tersebut sesuai
dengan data yang ada yang mana penyumbang terbesar dari penerimaan retribusi
adalah dari retribusi uji kendaraan dan retribusi parkir. Kedua retribusi itu
menggunakan kendaraan bermotor sebagai subyek dari retribusinya. Peningkatan
dari jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan mobilitas penduduk dalam
melakukan aktivitas perekonomiannya sehingga dibutuhkan peningkatan
66
pelayanan dan infrastruktur jasa terhadap masyarakat. Oleh karena itu, ini
memberikan indikasi yang baik bagi pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam
menggali potensi dari peningkatan jumlah kendaraan bermotor. Dengan semakin
bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dapat dijadikan pemacu bagi
pemerintahan daerah provinsi DKI Jakarta untuk meningkatkan kualitas dan
pelayanan masyarakat terutama bagi ketersediaan obyek retribusi yang ada,
sehingga penerimaan retribusi dapat dioptimalkan.
Variabel dummy kebijakan otonomi daerah berpengaruh nyata dan
berhubungan negatif dengan penerimaan retribusi daerah. Ini menunjukkan
bahwa dengan adanya kebijakan otonomi daerah justru menurunkan penerimaan
retribusi daerah. Temuan ini berbeda dengan hipotesis awal bahwa kebijakan
otonomi daerah berhubungan positif dengan penerimaan retribusi daerah. Namun
demikian, ini sesuai dengan penelitian Yanti (2004). Ini dikarenakan dengan
adanya kebijakan otonomi daerah, dibutuhkan kesiapan yang handal dari
pemerintahan daerah didalam pengelolaan keuangan daerahnya. Apabila
pemerintah daerah tidak sigap dan cermat didalam menyikapi kebijakan otonomi
daerah, terutama menyangkut efektivitas dan efisiensi dari pengelolaan keuangan
daerah, maka dengan adanya kebijakan otonomi daerah, suatu daerah tidak akan
berhasil didalam meningkatkan penerimaan keuangan daerahnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta didalam mengelola keuangan daerah
pada masa otonomi daerah masih belum maksimal terutama menyangkut
penerimaan dari retribusi daerah. Ini dapat ditunjukan pula oleh target dan
realisasi penerimaan retribusi yang trendnya dari tahun 2003 hingga 2006
67
cenderung mengalami penurunan (Tabel 1.4). Ini mengindikasikan bahwa
pelaksanaan otonomi daerah belum berhasil memberikan dampak yang postif bagi
perkembangan penerimaan dari retribusi daerah.
Adapun faktor penyebabnya sesuai dengan penelitian (Mulyanto, 2002)
karena kurangnya Self Regular Power, yang artinya kemampuan mengatur dan
melaksanakan otonomi daerah demi kepentingan masyarakat di daerahnya dan
Managing Financial Resource, yang artinya kemampuan mengembangkan
kompetensi dalam mengelola secara optimal sumber penghasilan dan keuangan
guna pembiayaan aktivitas pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat. Pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam melakukan self regular
power dan managing financial power masih kurang optimal. Masih ada beberapa
penerimaan dari jenis retribusi yang efektivitasnya masih rendah sepeti retribusi
pelayanan kesehatan, retribusi uji kendaraan, retribusi rekreasi, retribusi terminal
dan retribusi izin trayek. Efektivitas yang rendah ini terjadi karena didalam
penetapan target dari retribusi tidak disesuaikan dengan realisasi dari potensi yang
ada di masyarakat, sehingga realisasi penerimaan retribusi yang ada masih lebih
kecil apabila dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
Sementara itu panjang jalan (X1) mempunyai tanda yang negatif. Hal ini
tidak sesuai dengan hipotesis awal. Ini disebabkan panjang jalan di Provinsi DKI
Jakarta cenderung meningkat, sementara itu luas wilayah di Provinsi DKI Jakarta
cenderung tetap sehingga ini menyebabkan tercapainya kondisi yang optimal dari
ketersediaan jalan di Provinsi DKI Jakarta. Kondisi ini menyebabkan penambahan
jalan, justru akan mengorbankan obyek retribusi yang ada seperti mengurangi
68
lahan parkir, luas pasar dan lain-lain. Hal ini menyebabkan penerimaan retribusi
daerah dari obyek retribusi tersebut menjadi berkurang. Namun demikian,
pengaruh dari panjang jalan tidak secara langsung dan nyata terhadap penerimaan
retribusi daerah. Jalan, derajat kemanfaatannya lebih cenderung berasal dari
barang publik, sementara penerimaan retribusi derajat kemanfataannya lebih
cenderung berasal dari barang private. Hampir semua pihak dapat menggunakan
jalan tanpa adanya batasan. Hanya beberapa ruas jalan tertentu saja yang
dikenakan tarif seperti pada jalan tol. Namun derajat kemanfaatannya itu lebih
kecil dibandingkan dengan derajat kemanfaatan ruas jalan secara keseluruhan di
Provinsi DKI Jakarta yang sebagian jalannya dapat digunakan secara umum oleh
masyarakat sebagai fasilitas publik.
Hal ini sesuai dengan teori dari (Davey, 1988) bahwa suatu penyediaan
barang/jasa yang dibiayai oleh pajak atau retribusi tergantung dari derajat
kemanfaatannya barang dan jasa itu sendiri. Semakin dekat kemanfaatan suatu
barang dan jasa dengan private goods, maka pembiayaannya dari retribusi.
Sebaliknya semakin dekat kemanfaatan suatu barang dan jasa dengan public
goods, maka pembiayaannya dari pajak.
Jumlah penduduk (X4) berhubungan positif namun tidak berpengaruh
nyata dengan penerimaan retribusi daerah. Jumlah penduduk yang tinggi tidak
menjamin akan peningkatan penerimaan terhadap retribusi daerah, karena
kesediaan terhadap pungutan retribusi tidak ditentukan secara langsung oleh
jumlah penduduk yang ada. Penduduk akan membayar retribusi disesuaikan
dengan standar konsumsi yang ada seperti standar didalam penggunaan dari
69
ketersediaan obyek dan fasilitas retribusi. Standar ini disesuaikan dengan
kesejahteraan yang tingkatannya berbeda-beda dari masing-masing penduduk.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya
mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan Retribusi Daerah
di Provinsi DKI Jakarta, maka didapat kesimpulan bahwa :
1. Peubah yang memberikan pengaruh yang nyata dan berhubungan positif
dengan penerimaan retribusi daerah adalah tingkat inflasi, jumlah rumah sakit
dan puskesmas, jumlah pendapatan perkapita dan jumlah kendaraan bermotor.
Sedangkan panjang jalan dan jumlah penduduk tidak berpengaruh nyata
dengan penerimaan retribusi daerah.
2. Kebijakan otonomi daerah berpengaruh nyata namun berhubungan negatif
dengan penerimaan retribusi daerah.
6.2 Saran
Untuk meningkatkan penerimaan retribusi daerah di Provinsi DKI
Jakarta, terdapat beberapa saran yang dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan, yaitu :
1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendaknya memperbaiki efektivitas terhadap
obyek retribusi daerah dengan menyesuaikan target yang dimiliki sesuai
dengan potensi dari penerimaan retribusi tersebut.
2. Perlu dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan untuk
meningkatkan upaya pemungutan dan mencari wajib retribusi yang masih
belum membayar retribusi daerah. Upaya yang dilakukan adalah dengan
mendata setiap wajib retribusi, baik yang berdomisil di Wilayah Daerah
71
Khusus Ibukota Jakarta maupun yang berdomisili di luar wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta dan memiliki obyek retribusi di wilayah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Selain itu, bagi wajib retribusi yang tidak
melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah, perlu
diberikan sanksi yang tegas seperti pidana kurungan atau denda yang dapat
memberikan efek jera bagi pelanggar retribusi. Ekstensifikasi dilakukan
dengan cara mencari sumber-sumber pungutan baru yang masih terkait dengan
obyek retribusi tersebut. Obyek retribusi dapat diperluas dengan jenis-jenis
jasa pelayanan publik yang akan dipungut disesuaikan dengan potensi yang
dimiliki oleh obyek retribusi tersebut.
3. Jumlah rumah sakit dan puskesmas, jumlah kendaraan bermotor, lahan parkir
dan tempat rekreasi merupakan obyek yang dapat diperluas didalam
melakukan pemungutan retribusi daerah karena kontribusi yang diberikan dari
obyek tersebut cukup besar terhadap total penerimaan retribusi daerah di
Provinsi DKI Jakarta. Jumlah rumah sakit dan puskesmas dapat diperluas
obyek retribusinya dengan cara menambah pelayanan kesehatan di puskesmas
dan penyediaan fasilitas/peralatan kesehatan dasar lainnya milik daerah,
penambahan pelayanan kesehatan di rumah sakit umum/khusus milik
pemerintah daerah, penambahan pelayanan mobil ambulance dan penambahan
pelayanan laboratorium kesehatan. Jumlah kendaraan bermotor dapat
diperluas obyek retribusinya dengan cara menambah pelayanan dalam
pengujian kendaraan bermotor agar pelayanan pengurusannya menjadi lebih
cepat. Lahan parkir dapat diperluas obyek retribusinya dengan cara menambah
72
pelayanan perparkiran pada pemakaian tempat parkir di tepi jalan umum,
pemakaian tempat parkir di lingkungan parkir, pemakaian tempat parkir di
gedung parkir, dan perizinan pengelolaan fasilitas parkir untuk umum di luar
badan jalan. Tempat rekreasi dapat diperluas obyek retribusinya dengan cara
peningkatan pelayanan kepariwisataan seperti pelayanan didalam fasilitas
akomodasi milik daerah yang diantaranya adalah pelayanan penginapan Graha
Wisata Kuningan, penginapan Graha Wisata TMII dan pemakaian penginapan
Graha Wisata Ragunan. Peningkatan pelayanan ini dilakukan dengan cara
menambah fasilitas kenyamanan penginapan sehingga pengunjung wisata
dapat tertarik untuk menginap di fasilitas akomodasi milik daerah tersebut.
4. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hendaknya lebih bersikap fokus didalam
pengelolaan retribusi daerah pada masa otonomi daerah ini agar dapat tercapai
kemandirian keuangan daerah dan memberikan dampak yang positif bagi
perkembangan penerimaan retribusi daerah. Diperlukan adanya kajian dan
evaluasi yang komprehensif terhadap efektivitas dan kontribusi dari obyek-
obyek retribusi yang ada sebagai bahan pertimbangan didalam penetapan tarif,
penambahan obyek retribusi, dan juga penetapan target penerimaan retribusi
di Provinsi DKI Jakarta secara berkala, sehingga hasil penerimaan yang
diperoleh dapat sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bagus, Santosa. l995. Retribusi Pasar sebagai Pendapatan Asli Daerah, Studi Kasus Pasar Kabupaten di Sleman, Prisma, Nomor 4 Tahun XXIV, LP3ES Indonesia.
Biro Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Dalam Angka, Tahun 1986-2007, Jakarta.
Davey, 1988. Keuangan Pemerintah Daerah, Penerbit UI Jakarta.
Dinas Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta. Target dan Realisasi Penerimaan Retribusi Daerah DKI Jakarta, Tahun 2002-2007, Jakarta.
Ekalaya, Gumilar. 2005. Analisis Kebijakan Tarif dan Potensi Retribusi Tempat
Penginapan Studi Kasus Graha Wisata Kuningan [tesis]. FE UI, Jakarta.
Gujarati, Damodar. 1999. Ekonometrika Dasar, Erlangga, Jakarta.
Jaya, Eko. 1996. Peraturan Praktis Bagi Penyelenggara Otonomi Daerah,
Penerbit UI Jakarta.
Kaho, Josep Riwu. 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Idenrifikasi Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya), Edisi Pertama, Cetakan Keempat, Penerbit Rajawali Press, Jakarta.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2001. Ekonomi Publik, Edisi Ketiga, Cetakan
Kesepuluh, Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta. Mulyanto. 2002. Potensi Pajak dan Retribusi Daerah di Kawasan Subosuka
Wonosraten Provinsi Jawa Tengah [tesis]. FE UI, Jakarta. Nuringsih. 2006. Analsisi Penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Sebelum dan Sesudah Desentralisasi Fiskal di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) [Tesis]. FE UI, Jakarta.
Sari, Bartiana. 2004, Analisis Data Panel Peranan Retribusi Daerah Dalam APBD Kabupaten Kota Se-Indonesia Tahun 2001-2003 [skripsi]. FE UI, Jakarta.
Soedarsono. 1974. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung.
Soetrisno. 1981. Dasar-Dasar Ilmu Keuangan Negara, BPFE UGM, Yogyakarta.
74
Suparmoko, Muhammad. 2002. Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Edisi Pertama, Penerbit Andi,Yogyakarta.
Yanti. 2004. Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Asli
Daerah Kota Bogor [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
76
Lampiran 1. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta (1986-2006)
Lampiran 2. Hasil Uji Serial Correlation Retribusi Daerah
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.931278 Probability 0.353577 Obs*R-squared 1.512367 Probability 0.218778
Lampiran 3. Hasil Uji Heteroskedastisitas Retribusi Daerah
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic 5.260663 Probability 0.009473 Obs*R-squared 18.17351 Probability 0.077641
Dependent Variable: LOG_Y Method: Least Squares Date: 07/29/08 Time: 21:55 Sample: 1986 2006 Included observations: 21
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -8.381493 25.08810 -0.334082 0.7436 LOG_X1 -1.257944 1.471115 -0.855095 0.4080
X2 0.284671 0.112457 2.531380 0.0251 LOG_X3 6.852832 3.049837 2.246950 0.0426 LOG_X4 1.960462 1.082066 1.811778 0.0932 LOG_X5 1.068993 0.470918 2.270018 0.0409 LOG_X6 1.575213 0.466917 3.373645 0.0050
DI -0.509280 0.335369 -1.518567 0.0428
R-squared 0.831366 Mean dependent var 26.71504 Adjusted R-squared 0.740563 S.D. dependent var 0.593302 S.E. of regression 0.302198 Akaike info criterion 0.726866 Sum squared resid 1.187211 Schwarz criterion 1.124779 Log likelihood 0.367906 F-statistic 9.155709 Durbin-Watson stat 1.541428 Prob(F-statistic) 0.000372
77
Lampiran 4. Hasil Uji Multikolinearitas (Corelation Matrix) Retribusi Daerah
LOG_Y LOG_X1 X2 LOG_X3 LOG_X4 LOG_X5 LOG_X6 DI
LOG_Y 1.00 -0.57 0.04 0.39 -0.52 0.73 -0.10 -0.52
LOG_X1 -0.57 1.00 0.11 -0.11 0.63 -0.52 0.51 0.75
X2 0.04 0.11 1.00 -0.21 0.14 -0.23 -0.05 0.04
LOG_X3 0.39 -0.11 -0.21 1.00 -0.05 0.27 -0.40 -0.49 LOG_X4 -0.52 0.63 0.14 -0.05 1.00 -0.53 0.41 0.47
LOG_X5 0.73 -0.52 -0.23 0.27 -0.53 1.00 -0.12 -0.35
LOG_X6 -0.10 0.51 -0.05 -0.40 0.41 -0.12 1.00 0.74
DI -0.52 0.75 0.04 -0.49 0.47 -0.35 0.74 1.00
Lampiran 5. Hasil Uji Normalitas Error Term Retribusi Daerah
0
1
2
3
4
5
6
-0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4
Series: ResidualsSample 1986 2006Observations 21
Mean -3.57E-15Median -0.010846Maximum 0.459921Minimum -0.560609Std. Dev. 0.243640Skewness -0.042266Kurtosis 3.151227
Jarque-Bera 0.026263Probability 0.986954
78
Lampiran 6. Data Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta 1986-2006
TAHUN Y X1 X2 X3 X4 X5 X6 di
1986 645,472,539,815 5455675 6.23 525 6256543 26735461 3997645 0
1987 675,235,675,592 5757645 9.65 531 6459785 29765423 3856468 0
1988 695,372,561,524 5857255 6.45 546 6976453 35729356 3959875 0
1989 665,712,545,762 5957775 8.78 542 6354675 24675283 3785789 0
1990 690,765,436,516 6057225 7.65 547 7165432 30725463 3857895 0
1991 698,572,543,524 6100765 9.15 555 7357635 35675473 3758765 0
1992 685,792,460,512 6256802 8.95 568 7255726 32897125 3975775 0
1993 640,312,468,750 6424802 9.34 573 7450432 29075647 3875423 0
1994 590,735,459,450 6487952 6.45 580 7625435 26725325 3567925 0
1995 580,735,420,525 6498562 7.67 575 7565230 24675890 3776493 0
1996 565,459,590,759 6528402 7.25 572 7625794 21068143 3397748 0
1997 553,458,706,162 6528421 11.7 541 7712571 22223001 3842661 0
1998 259,424,364,123 6528481 74.42 543 7818573 17117790 3053189 0
1999 116,362,314,086 6528461 1.77 552 7831520 19790207 3082679 0
2000 133,174,500,000 6528439 10.29 536 7578701 20550865 3259924 0
2001 205,859,936,530 6528481 11.52 535 7423379 24852897 3544723 1
2002 235,245,540,309 7636759 9.08 535 7461472 22964472 4074135 1
2003 264,712,239,202 7616269 5.78 543 7456931 22505905 5627154 1
2004 291,161,525,461 7616269 8.87 545 7471866 22239158 6390919 1
2005 262,065,025,710 7645085 16.06 514 9041605 21193070 6430319 1
2006 245,263,838,631 6540222 6.71 531 8961680 19717281 6967498 1 Sumber : BPS, 1986-2006 (diolah).
Keterangan : Y : Penerimaan Retribusi Daerah (Rupiah) (Data Riil Divalidasi Dengan IHK Riil Harga
Konstan Tahun 2000) X1 : Panjang Jalan (Meter) X2 : Tingkat Inflasi (Persen) X3 : Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas (Unit) X4 : Jumlah Penduduk (Jiwa) X5 : Jumlah Pendapatan Per Kapita (Rupiah) (Data Riil Divalidasi Dengan IHK Riil Harga
Konstan Tahun 2000) X6 : Jumlah Kendaraan Bermotor (Unit) Di : Dummy Kebijakan Otonomi Daerah 0=Sebelum Otonomi Daerah 1=Setelah Kebijakan Otonomi Daerah