analisis dan evaluasi hukum tentang pengadilan perikanan
TRANSCRIPT
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
TENTANG
PENGADILAN PERIKANAN
Disusun Oleh Tim Kerja
Di Bawah Pimpinan:
Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
JAKARTA, 2009
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM
TENTANG
PENGADILAN PERIKANAN
Editor:
Ajarotni Nasution, S.H., M.H.
Mugiyati, S.H., M.H.
Sutriya
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
iv
KATA PENGANTAR
Perairan Indonesia memiliki potensi ikan yang sangat besar, namun
belum dapat dimanfaatkan secara optimal mengisi kas negara. Sementara
dunia bisnis perikanan di Indonesia marak dengan pelanggaran tindak
pidana perikanan. Untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya ikan
laut dan mengatasi permasalahan yang ada, perangkat peraturan
perundang-undangan perlu disediakan secara memadai, serta dukungan
kelembagaan peradilan yang baik.
Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
mengatakan bahwa pengadilan perikanan berada pada peradilan umum,
berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang
perikanan sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Mengingat peradilan perikanan ini masih relatif baru,
maka perlu dilakukan analisis dan evaluasi tentang peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan peradilan perikanan.
Berkenaan dengan hal ini, pada tahun anggaran 2007, Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah melakukan Analisis dan
Evaluasi Hukum tentang Pengadilan Perikanan, berkenaan dengan materi
hukum, aparatur penegak hukum, sarana dan prasarana serta budaya
hukum.
Hasil analisis dan evaluasi ini diterbitkan dengan maksud menambah
khazanah informasi hukum, khususnya dalam penyusunan perundang-
undangan. BPHN sebagai Pusat Jaringan Dokumentasi dan Informasi
Hukum Nasional akan menyebarluaskannya ke semua Anggota jaringan
di Pusat dan daerah. Dengan demikian masyarakat akan lebih mudah
mengetahui, memanfaatkan, dan mengembangkan lebih lanjut, oleh
berbagai kalangan untuk berbagai kepentingan, khususnya kalangan
politisi dan kalangan hukum yang bekerja di bidang pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada tim yang dipimpin
oleh Sdr. Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H., yang telah bekerja
v
vi
keras menyusun naskah ini beserta semua pihak yang berperan serta
sehingga buku ini dapat diterbitkan.
Jakarta, September 2009
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional
Prof. Dr. H. Ahmad M. Ramli, S.H., M.H., FCBArb.
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor: G-20.PR.09.03 Tahun 2007 tanggal 8
Januari 2007 dibentuklah Tim Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang
Pengadilan Perikanan (Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan). Adapun maksud dan tujuan diadakannya kegiatan Tim
Analisis dan Evaluasi tentang Pengadilan Perikanan ini adalah untuk
menginventarisir permasalahan/kendala apa yang dihadapi berkaitan
dengan pembentukan pengadilan perikanan ini dan upaya/solusi apa
yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Ide pembentukan pengadilan perikanan dilandasi oleh semangat
mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga peradilan yang
ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum khususnya yang terkait
penegakan hukum pelanggaran perikanan. Amanat dan tujuan
pembentukan Pengadilan Perikanan sebagaimana dalam Undang-undang
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan itu sampai saat ini masih
dihadapkan pada banyak kendala dalam pelaksanaannya, antara lain
kelemahan-kelemahan dalam hukum acara, tidak adanya mekanisme
koordinasi antara PPNS, TNI-AL, dan Kepolisian khususnya pada
tingkat penyidikan, banyaknya hal-hal teknis yang belum diatur
khususnya terkait dengan format pengadilan yang akan dibentuk tersebut,
tidak adanya mekanisme pembinaan dan pengawasan, dan sebagainya
Kami atas nama tim mengucapkan terima kasih kepada Badan
Pembinaan Hukum Nasional atas kepercayaan yang telah diberikan
kepada tim, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh
anggota tim dan pihak-pihak yang telah memberikan bantuan dalam
rangka penyusunan laporan ini.
vii
viii
Kiranya laporan tim ini dapat memenuhi harapan Badan Pembinaan
Hukum Nasional untuk dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam
pengembangan hukum.
Jakarta, Desember 2007
Ketua Tim,
ttd
Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................
DAFTAR ISI .............................................................................
BAB I PENDAHULUAN .....................................................
A. Latar Belakang Masalah .....................................
B. Permasalahan .......................................................
C. Maksud dan Tujuan ............................................
D. Ruang Lingkup ....................................................
E. Metodologi ...........................................................
BAB II KAJIAN HUKUM MATERIIL ..............................
A. Nasional ...............................................................
B. Internasional ........................................................
1. UNCLOS 1982.............................................
2. UN Compliance Agreement 1993 ...............
3. UN Fish Stock Agreement ...........................
4. Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF) 1995 ................................................
5. IPOA on IUU Fishing .................................
BAB III REALITAS EMPIRIS PENGADILAN PERIKAN-
AN ...............................................................................
A. Hukum Materiil ...................................................
1. Izin untuk Mengelola Perikanan .................
2. Pengrusakan Lingkungan.............................
B. Hukum Formil .....................................................
1. UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
2. Tugas Aparat Penyidik di Bidang Perikanan
ix
v
ix
1
1
3
4
4
5
7
7
15
15
25
30
41
46
51
51
51
58
62
71
74
x
3. Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Per-
ikanan ...........................................................
4. Permasalahan Peraturan Perikanan .............
5. Permasalahan Pada Sikap Aparat Penegak
Hukum Dan Fasilitas ...................................
BAB IV ANALISIS ..................................................................
A. Analisis Yuridis ...................................................
1. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan
Perikanan ......................................................
2. Daerah Hukum Pengadilan Perikanan ........
3. Tindak Pidanan Perikanan ...........................
4. Aparat Penegak Hukum...............................
5. Alat Bukti .....................................................
6. Insentif ..........................................................
B. Analisis Empiris ..................................................
1. Perlunya Kepastian Hukum .........................
2. Upaya Pemberantasan Illegal Fishing ........
BAB V PENUTUP ..................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................
B. Saran ....................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................
LAMPIRAN ...............................................................................
75
76
85
87
87
87
88
89
95
101
103
106
106
109
123
123
124
127
131
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Indonesia memiliki laut yang luas yang mengandung sumber
daya yang potensial untuk modal pembangunan. Negara Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri dari pulau besar dan kecil.
Sebagai sebuah negara kepulauan, potensi perikanan laut Indonesia
tersebar pada hampir semua bagian perairan laut yang ada seperti
perairan laut nusantara, perairan laut teritorial, dan perairan laut Zona
Ekonomi Ekslusif (ZEE). Luas perairan laut Indonesia diperkirakan
sebesar 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan
gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508. Perairan Indonesia memiliki
potensi ikan yang diperkirakan sebanyak 6,26 juta ton per tahun yang
dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4,4 juta ton
dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1,86 juta ton dari perairan
ZEEI1.
Potensi tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena
berbagai hal. Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun
telah mengalami berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun
belum dapat memberikan sumbangsih yang signifikan bagi peningkatan
pendapatan negara. Berbagai langkah yang telah diambil oleh pemerintah
seperti peningkatan kualitas SDM perikanan, pemberdayaan nelayan
kecil, pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan,
pengembangan sarana dan prasarana pengawasan, serta penegakan
hukum tampaknya masih belum memberikan hasil yang memuaskan.
Sebaliknya dunia bisnis perikanan di Indonesia (khususnya di
bidang perikanan tangkap) masih banyak diwarnai maraknya pelanggaran
hukum (tindak pidana perikanan), seperti pemalsuan izin kapal ikan
1 Muhammad Ali Yahya, Perikanan Tangkap Indonesia (Suatu Analisa Filosofis dan Kebijakan)., http://
rudyct.250x.com/sem 1_012/ali_yahya.htm, 10 Oktober 2005.
2
yang dilakukan dengan berbagai cara, penggunaan alat tangkap yangtidak ramah lingkungan, transhipment, pelanggaran fishing ground,dan lain-lain.
Lemahnya penegakan hukum di bidang perikanan antara laindisebabkan oleh belum adanya perangkat hukum yang memadai sertadukungan kelembagaan peradilan yang baik. Berbagai persoalan yangdihadapi antara lain keterbatasan SDM yang memiliki pemahaman
tentang kasus-kasus di bidang perikanan, hukum acara yang kurangmendukung proses peradilan yang cepat, serta kurangnya dukungansarana dan prasarana yang memadai.
Untuk itu, pada tahun 2004 telah diundangkan UU No. 31 Tahun2004 Tentang Perikanan (menggantikan UU No. 9 Tahun 1985 TentangPerikanan). Dengan Undang-undang ini dibentuk pengadilan perikananyang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidanadi bidang perikanan. Pengadilan perikanan tersebut berada di lingkungan
peradilan umum. Dengan demikian, daerah hukum pengadilan perikanansesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.UU No. 31 tahun 2004 mengamanatkan agar Pengadilan Perikanansudah dibentuk dan melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal tersebut mulai berlaku. Untukpertama kali pengadilan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara,Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Pembentukan pengadilan perikanan
tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhanyang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ide pembentukan pengadilan perikanan tersebut pada dasarnyadilandasi oleh semangat mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukumkhususnya yang terkait penegakan hukum pelanggaran perikanan. Selainitu dengan semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan di bidangperikanan, maka dibutuhkan lembaga peradilan khusus yang lebih
profesional yang didukung dengan SDM yang menguasai persoalan-persoalan khusus di bidang perikanan. Selama ini penanganan kasus-kasus di bidang perikanan oleh lembaga peradilan umum masih belumoptimal. Dengan kata lain, dibentuknya pengadilan perikanan
dimaksudkan untuk:
3
1. menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara
optimal dan berkelanjutan. Dalam hal ini pelaksanaan penegakan
hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis
dalam rangka menunjang pembangunan perikanan;
2. lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan;
3. melengkapi dan menyempurnakan hukum acara dalam proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
(di samping mengikuti hukum acara dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, juga memuat hukum acara khusus);
4. menjamin hukum materiil dan hukum acara (formil) bersifat lebih
cepat;
5. meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap
tindak pidana di bidang perikanan.
Persoalannya kemudian, amanat dan tujuan pembentukan Pengadilan
Perikanan sebagaimana dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
itu sampai saat ini masih dihadapkan pada banyak kendala dalam
pelaksanaannya, antara lain kelemahan-kelemahan dalam hukum acara,
tidak adanya mekanisme koordinasi antara PPNS, TNI-AL, dan
Kepolisian khususnya pada tingkat penyidikan, banyaknya hal-hal teknis
yang belum diatur khususnya terkait dengan format pengadilan yang
akan dibentuk tersebut, tidak adanya mekanisme pembinaan dan
pengawasan, dan sebagainya. Oleh karena itu BPHN Dep. Hukum
dan HAM memandang perlu untuk melakukan analisis dan evaluasi
hukum mengenai Pengadilan Perikanan.
B. PERMASALAHAN
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini
adalah:
1. Mengingat pembentukan pengadilan khusus perikanan sebagai
suatu hal yang baru, maka perlu diinventarisir permasalahan/kendala
apa yang telah dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi dengan
kehadiran sistem penegakan hukum yang baru ini? Permasalahan
4
tidak menutup kemungkinan terjadi di semua tahapan dalam Sistem
Peradilan Pidana.
2. Upaya/solusi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi
permasalahan tersebut?
C. MAKSUD DAN TUJUAN
Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan Perikanan (UU
No. 31 Tahun 2004) dimaksudkan untuk mengadakan analisis dan
evaluasi tentang peraturan perundang-undangan dan peraturan terkait
lainnya berkenaan dengan pengadilan perikanan. Tujuan pembentukan
Tim Analisis dan Evaluasi hukum Tentang Pengadilan Perikanan ini
adalah:
Untuk mengkaji sejauhmana perkembangan dan permasalahan
hukum di bidang perikanan khususnya tindak pidana perikanan sehingga
perlu dibentuk pengadilan khusus perikanan. Diharapkan dapat
memberikan rekomendasi tentang dasar kebijakan untuk melaksanakan,
memperbaiki, menyusun/menyempurnakan aturan, sistem dan mekanis-
me kerja pengadilan perikanan.
D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup kegiatan ini dibatasi pada segi materi hukumnya,
aparatur penegak hukum, sarana dan prasarana serta budaya hukum.
Segi materi hukum maksudnya adalah melakukan pembahasan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembentukan
pengadilan perikanan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. Segi aparatur hukum meliputi kesiapan
dari aparatur penegak hukum terkait dengan pelaksanaan – law en-
forcement – seperti koordinasi di antara aparat penegak hukum terkait
(PPNS, TNI-AL, dan Kepolisian) dan proses beracara di pengadilan
perikanan. Segi sarana dan prasarana meliputi sarana dan prasarana
yang mendukung kelancaran tugas dari aparat penegak hukum tersebut.
Segi budaya hukum meliputi kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di
masyarakat berkaitan dalam berperkara di pengadilan khususnya
pengadilan perikanan yang akan dibentuk.
5
E. METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam penulisan analisis dan evaluasi
hukum ini adalah yuridis normatif empirik dengan melakukan studi
kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan data baik data primer berupa
peraturan perundang-undangan terkait maupun data sekunder berupa
literatur dari buku-buku, internet, koran, majalah, makalah, hasil-hasil
penelitian dan sebagainya.
6
BAB II
KAJIAN HUKUM MATERIIL
A. NASIONAL
Pengadilan perikanan, sebagaimana pembentukannya diamanatkanoleh UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, merupakan hal barudalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Hal inidikarenakan, pada undang-undang yang terkait dengan pengaturanperikanan sebelumnya, khususnya pada UU No. 9 Tahun 1985 tentangPerikanan dan UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi EksklusifIndonesia tidak mengatur yang berkaitan khusus dengan pengadilanperikanan. Semakin maraknya pelanggaran hukum di bidang perikananserta kurang mendukungnya sistem peradilan yang ada dalam menanganitindak pidana bidang perikanan merupakan salah satu pertimbangandimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai pengadilan perikanandalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Bagi para pelakuperikanan, lamanya sistem peradilan selama ini menyebabkan kerugiandi pihak mereka, karena secara ekonomi, disebabkan tidak beroperasinyakapal mereka untuk melakukan penangkapan ikan. Lebih dari itu,dalam masa penahanan, tidak sedikit kapal-kapal yang ditahan mengalamikerusakan. Berdasarkan hal tersebut, maka di penghujung tahun 2004dikeluarkanlah UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Khususpengaturan tentang pengadilan perikanan tertuang pada Bab XIII,sementara pengaturan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan diBidang Pengadilan Perikanan tertuang pada Bab XIV.
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU No. 31 Tahun 2004 tentangPerikanan, Pengadilan Perikanan berada di peradilan umum, berwenangmemeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanansesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.Kemudian dalam Pasal tersebut diamanatkan bahwa paling lambat 2
(dua) tahun sejak diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan harus sudah terbentuk pengadilan perikanan di 5 (lima)
daerah (Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual).
7
Selanjutnya ketentuan mengenai penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan diatur dalam BAB XIV
Pasal 72 sampai dengan Pasal 83. Dalam sistem pengadilan perikanan
yang tertuang pada UU No. 31 Tahun 2004, penyidikan tindak pidana
di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS), Perwira TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indone-
sia (Pasal 73 ayat 1). Dengan demikian, ada tiga institusi negara yang
berwenang dalam melakukan penyidikan di bidang perikanan. Meski
kata koordinasi susah diterapkan, UU No. 31 Tahun 2004 mengamanat-
kan bahwa penyidik dapat melakukan koordinasi (Pasal 73 ayat 2).
Oleh karena itu, untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak
pidana di bidang perikanan, Menteri Kelautan dan Perikanan dapat
membentuk forum koordinasi (Pasal 73 ayat 3).
Tabel 2.1 Wewenang, Kedudukan, Wilayah Hukum, dan
Pembentukan Pengadilan Perikanan
WEWENANG
Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Tindak pidana di Bidang Perikanan
KEDUDUKAN Berada di Lingkungan Peradilan Umum
PEMBENTUKAN PERTAMA KALI
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Bitung, dan Pengadilan Negeri Tual.
PEMBENTUKAN BERIKUTNYA
Secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden
WILAYAH HUKUM
Sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
MULAI AKTIF
Paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku
Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan, perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum pengadilan perikanan tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.
8
Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan
saat ini telah dibentuk dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dengan tugas utama mengkoor-
dinasikan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.
Menurut PER.13/MEN/2005, Forum Koordinasi Penanganan Tindak
Pidana di Bidang Perikanan menyelenggarakan fungsi, yaitu:
a. Koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan;
b. Identifikasi jenis, modus operandi, volume, dan penyebaran praktik-
praktik tindak pidana di bidang perikanan;
c. Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritas-
kan untuk diproses secara bertahap;
d. Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah
terjadinya tindak pidana di bidang perikanan;
e. Analisis, identifikasi, dan pengukuran signifikansi tindak pidana
di bidang perikanan secara periodik;
f. Perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan
pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan;
g. Perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana
di bidang perikanan;
h. Pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan
tindak pidana di bidang perikanan;
i. Pengkajian dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak
pidana di bidang perikanan secara berkelanjutan.
Adapun susunan anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak
Pidana di Bidang Perikanan, yaitu terdiri dari:
a. Ketua, Menteri Kelautan dan Perikanan
b. Wakil Ketua I, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut
c. Wakil Ketua II, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
d. Sekretaris I merangkap anggota, Direktur Jenderal Pengawasan
dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, DKP.
9
e. Sekretaris II merangkap anggota, Asisten Operasional Kepala Staf
Tentara Indonesia Angkatan Laut Nasional.
f. Anggota:
a) Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung;
b) Kepala Badan Pembinaan Hukum Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
c) Dirjen Imigrasi, Departemen Hukum dan HAM;
d) Dirjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan;
e) Dirjen Bea Cukai, Departemen Keuangan;
f) Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
g) Direktur Hukum dan Peradilan, Mahkamah Agung;
Untuk tahap penuntutan, antara lain disebutkan bahwa penuntutan
dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan
lain dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Penuntut umum
harus memenuhi persyaratan:
a. Berpengalaman sebagai Penuntut Umum sekurangnya 5 tahun;
b. Telah mengikuti Diklat teknis di bidang perikanan;
c. Cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama
menjalankan tugasnya.
Pelaksanaan persyaratan tersebut di atas paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Selanjutnya dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 diatur mengenai mekanisme
pemeriksaan di sidang pengadilan. Pemeriksanan di pengadilan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Hakim pengadilan perikanan
terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc, dengan susunan majelis
hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier.
Hakim karier ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung, sedangkan Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung. Pemeriksaan di sidang
pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa, demikian
pula putusan perkara dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa. Secara
10
lebih jelas proses penegakan hukum di Pengadilan Perikanan dapat
dilihat pada Gambar 2.2.
JAKSA PENUNTUT UMUM:
PENYIDIKAN
� PPNS
� PERWIRA
TNI-AL
� PEJABAT
POLRI
� Pengalaman 5 (lima) tahun;
� Mengikuti DIKLAT di bidang
perikanan;
� Cakap dan integritas moral yang
tinggi
Hakim Pengadilan Perikanan terdiri atas
Hakim Karier dan Hakim ad hoc.
Susunan Majelis Hakim terdiri atas 2
(dua) Hakim ad hoc dan 1 (satu) Hakim
Karier.
FORUM
KOORDINASI
PEMERIKSAAN DI
PENGADILAN
PERIKANAN
PENUNTUTAN
Gambar 2.1 Proses Penegakan Hukum Di Pengadilan Perikanan
Adapun mekanisme penentuan Hakim Ad Hoc tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Seleksi calon hakim ad hoc dilakukan oleh Mahkamah Agung
dari lingkungan perikanan, perguruan tinggi, dan mereka yang
mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan;
2. Hasil seleksi oleh Ketua Mahkamah Agung disampaikan kepada
Presiden untuk di angkat.
11
3. Berdasarkan Keputusan Presiden calon hakim ad hoc mengikuti
diklat yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung.
4. Setelah dinyatakan lulus sebagai calon Hakim ad hoc, Ketua
Mahkamah Agung menetapkan penempatannya (dengan prioritas
sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan) dan sejak penetapan tersebut yang bersangkutan secara
kelembagaan menjadi pegawai MA.
12
Ta
bel
2.2
Bat
as W
aktu
Pem
rose
san
di
Bid
ang
Tin
dak
Pid
ana
Per
ikan
an s
esu
ai U
U N
o.
8 T
ahu
n 1
98
1
ten
tan
g K
UH
AP
dan
UU
No
. 3
1 T
ahu
n 2
00
4 t
enta
ng
Per
ikan
an
Pro
ses
PenahananP
EN
YID
IK
(PP
NS
, P
OL
RI,
TN
I-A
L)
KU
HA
P
aP
alin
g l
ama
20
har
i
aD
ap
at
dip
er-
pan
jan
g
un
tuk
pal
ing
lam
a 4
0
har
i
UU
PE
RIK
AN
AN
aP
alin
g l
ama
20
har
i
aD
ap
at
dip
er-
pan
jan
g u
ntu
k
pal
ing
lam
a
10
har
i
INS
TA
NS
I P
EN
EG
AK
HU
KU
M
PE
NU
NT
UT
UM
UM
KU
HA
P
aP
alin
g l
ama
20
har
i
aD
ap
at
dip
erp
an
jan
g
un
tuk
pal
ing
lam
a 3
0
har
i
UU
PE
RIK
AN
AN
aK
elen
gk
apan
b
erk
as
dar
i P
eny
idik
p
alin
g
lam
a 5
har
i
aP
enel
itia
n b
erk
as p
a-
lin
g l
ama
10
har
i
aP
en
ah
an
an
la
nju
tan
pal
ing
lam
a 1
0 h
ari
aD
ap
at
dip
erp
an
jan
g
un
tuk
pal
ing
lam
a 1
0
har
i
PE
NG
AD
ILA
NN
EG
ER
I
KU
HA
P
aP
alin
g l
ama
30
har
i
aD
apat
d
iper
pan
jan
g
untu
k p
alin
g l
ama
60
har
i
UU
PE
RIK
AN
AN
aP
alin
g l
ama
20
har
i
aD
apat
d
iper
pan
jan
g
untu
k p
alin
g l
ama
10
har
i
PE
NG
AD
ILA
NT
ING
GI
KU
HA
P
aP
alin
g l
ama
30
har
i
aD
apat
d
iper
pan
jan
g
untu
k p
alin
g l
ama
60
har
i
UU
PE
RIK
AN
AN
aP
alin
g l
ama
20
har
i
aD
apat
d
iper
pan
jan
g
untu
k p
alin
g l
ama
10
har
i
MA
HK
AM
AH
AG
UN
G
KU
HA
P
aP
ali
ng
la
ma
5
0
har
i
aD
ap
at
dip
erp
an
-
jan
g u
ntu
k p
alin
g
lam
a 6
0 h
ari
UU
PE
RIK
AN
AN
aP
ali
ng
la
ma
2
0
har
i
aD
ap
at
dip
erp
an
-
jan
g u
ntu
k p
alin
g
lam
a 1
0 h
ari
MA
KS
IMU
M
PE
NA
HA
NA
N
KU
HA
P
aP
EN
YID
IK =
60
aP
U=
50
hr
aP
N=
90
hr
aP
T=
90
hr
aM
A=
11
0 h
r
——
——
—–––––– +
Jmlh
= 4
00
hr
UU
PE
RIK
AN
AN
Ø
PE
NY
IDIK
= 3
0
aP
U=
3
5 h
r
aP
N=
3
0 h
r
aP
T=
3
0 h
r
aM
A=
3
0 h
r
——
——
——
——
+
Jmlh
= 1
55
hr
13
Selanjutnya dalam Pasal 105 UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan diatur pula mengenai insentif. Berdasarkan ketentuan Pasal
tersebut, benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana
di bidang perikanan dilelang untuk Negara dan kepada aparat penegak
hukum yang berhasil menjalankan tugasnya diberikan insentif yang
disisihkan dari hasil lelang. Insentif diberikan kepada mereka yang
berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara, seperti penyidik,
jaksa penuntut umum, majelis hakim, aparat penegak hukum lainnya
dan kelompok/anggota masyarakat. Dana insentif yang berasal dari
dana yang disisihkan dari hasil lelang, dapat diberikan setelah ada
persetujuan dari Jaksa Agung selaku eksekutor dalam pelaksanaan
putusan hakim dan Menteri Keuangan selaku penanggung jawab
anggaran Negara
Tabel 2.3 Ketentuan Pidana
PELAKU
Setiap orang
Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Ahli Penangkapan Ikan, dan Anak Buah Kapal Perikanan
Pemilik Kapal, Pemilik Perusahaan, Penanggung Jawab Perusahaan, dan/atau Operator Kapal Perikanan
Pemilik Perusahaan, Kuasa Pemilik Perusahaan, dan/atau Penanggung Jawab PerusahaanPembudidayaan Ikan
Setiap orang
Setiap orang
Setiap orang
Setiap orang
Setiap orang
14
dan/atau kesehatan manusia
Setiap orang Membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia
6 tahun 1,5 M
Setiap orang Menggunakan obat-obatan dalam pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia
6 tahun 1,5 M
B. INTERNASIONAL
1. UNCLOS 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 atau United Na-
tions Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) merupakankodifikasi dari ketentuan-ketentuan internasional yang telah ada.Dikarenakan Konvensi ini mengatur secara komprehensif danmeliputi hampir seluruh kegiatan di laut, oleh karenanya UNCLOS1982 dianggap sebagai a constitution for the ocean (Agoes, 2004).
Konvensi ini ditandatangani oleh 119 negara, di MontegoBay, Jamaika pada tanggal 10 Desember 1982. Namun demikian,Konvensi ini baru berlaku efektif secara umum pada tanggal 16November 1994, karena Guyana menjadi negara ke-60 yang menjadiperatifikasi UNCLOS pada tanggal 16 November 1993 (Brown,1994). Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal308 ayat (1) UNCLOS yang menyebutkan bahwa Konvensi iniberlaku 12 (dua belas) bulan setelah tanggal pendepositan piagamratifikasi atau aksesi yang ke-60. Oleh Pemerintah Indonesia,UNCLOS diratifikasi pada tanggal 31 Desember 1985 melaluiUndang-Undang No. 17 Tahun 1985, dan baru tercatat di PBBsebagai negara peratifikasi ke-26 pada tanggal 26 Februari 1986.Sampai 8 Februari 2007, UNCLOS 1982 telah diratifikasi oleh153 negara (www.untreaty.un.org).
Sebagai a constitution for the ocean, UNCLOS mengaturkegiatan perikanan secara komprehensif untuk mewujudkanpengelolaan perikanan berkelanjutan, baik di dalam maupun diluar yurisdiksi negara pantai. Aturan-aturan tersebut tertuang padaBab V tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Bab VII tentang
Laut Lepas.
15
Pada Bab V yang mengatur tentang ZEE terdiri dari 21 pasal,di mana 15 pasal di antaranya mengatur masalah perikanan diZEE. Pada ZEE yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil laut,suatu negara pantai (coastal state) mempunyai hak berdaulat atassumber dayanya, baik hayati maupun non-hayati. Konvensi inimenetapkan berbagai aturan untuk konservasi dan pemanfaatansumber daya ikan di ZEE serta hak dan kewajiban negara pantaidalam kaitannya dengan sumber-sumber hayati tersebut. Pasal 61UNCLOS 1982 memuat ketentuan mengenai konservasi sumberdaya hayati, disebutkan bahwa setiap negara pantai harusmenentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allow-
able catch) di ZEE dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik(the best scientific evidence). Hal ini bertujuan untuk memeliharaatau memulihkan populasi sumber daya ikan sesuai dengan hasilmaksimum tangkapan lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY).
Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE diatur padaPasal 62. Disebutkan bahwa, negara pantai harus mengoptimalkanpemanfaatan sumber daya hayati di ZEE. Apabila negara pantaitidak mampu memanfaatkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan,maka negara pantai tersebut dapat memberikan kesempatan padanegara lain untuk memanfaatkan sisa jumlah tangkapan yangdiperbolehkan (surplus) dengan memperhatikan secara khususketentuan Pasal 69 tentang negara tak berpantai dan Pasal 70tentang negara yang secara geografis tidak beruntung, khususnyayang berkaitan dengan negara berkembang. Selain itu, pemberianakses untuk memanfaatkan surplus sumber daya ikan kepada pihakasing harus didahului dengan perjanjian atau menetapkan suatupengaturan dalam memberikan akses atas surplus ikan kepadanegara lain.
Diantha (2002) mengungkapkan bahwa dalam pemberian akseskepada negara lain untuk memanfaatkan surplus, maka negarapantai harus mempertimbangkan berbagai faktor, di antaranya
yaitu:
a. Arti penting dari sumber daya hayati itu bagi perekonomian
nasionalnya.
16
b. Kepentingan nasional lainnya yang bersifat non ekonomi.
c. Ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70.
d. Kebutuhan negara berkembang tertentu yang tercakup dalam
Pasal 69 dan Pasal 70 untuk memanfaatkan surplus.
e. Kebutuhan negara tertentu untuk mengurangi gejala dislokasi
perekonomiannya sehubungan warga negaranya telah secara
tradisional melakukan penangkapan ikan di ZEE negara pantai.
f. Kebutuhan negara tertentu yang nyata-nyata telah melakukan
kegiatan riset dan identifikasi persediaan jenis ikan di ZEE
negara pantai.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat jelas bahwa, akses pihak
asing dalam memanfaatkan surplus sumber daya ikan di suatu
negara pantai tidak diperoleh pihak asing secara otomatis, akan
tetapi tergantung dari perjanjian atau suatu pengaturan yang dapat
dilakukan antara negara pantai dengan negara pihak ketiga (Anwar,
1995). Dengan kata lain, negara pantailah yang menentukan
mungkin atau tidaknya partisipasi pihak asing dalam penangkapan
ikan pada ZEE. Hal ini dikarenakan, akses atas surplus perikanan
bagi pihak asing pengaturannya sangat ditentukan oleh
kebijaksanaan negara pantai yang dapat mempertimbangkan
pentingnya sumber daya alam hayati bersangkutan bagi kepentingan
ekonomi nasional negara pantai. Bahkan, beberapa pakar hukum
seperti Garcia dan Douglas M Jhonson menekankan bahwa
permasalahan pemberian akses kepada pihak asing dalam meman-
faatkan surplus sumber daya ikan bukanlah “hak” (right), melainkan
tidak lebih sebagai “kemurahan hati” (good faith) dari negara
pantai (Diantha, 2002).
Dalam rangka menciptakan kelestarian sumber daya ikan,
UNCLOS 1982 juga mengatur tentang persediaan sumber daya
ikan di ZEE pada Pasal 63. Adapun beberapa aturan penting yang
tertuang pada Pasal 63 UNCLOS 1982, di antaranya yaitu:
a. Perlu adanya koordinasi subregional atau regional mengenai
konservasi dan pengembangan jenis ikan tertentu yang
populasinya ada pada dua atau lebih ZEE negara pantai.
17
b. Perlu adanya koordinasi subregional atau regional mengenai
konservasi atas jenis ikan tertentu yang berada pada suatu
ZEE negara pantai dan sekaligus juga berada di luar ZEE itu,
namun masih dalam jarak yang berdekatan. Koordinasi ini
diadakan antara negara pantai dengan negara-negara yang
menangkap ikan yang sama di luar ZEE negara pantai.
Selanjutnya, pada Pasal 64 sampai Pasal 68 diatur mengenai
jenis-jenis sumber daya ikan, yaitu:
a. Jenis ikan yang bermigrasi jauh (Pasal 64)
Negara pantai dan negara lain yang warga negaranya melakukan
penangkapan ikan di kawasan ikan bermigrasi jauh, harus
bekerja sama secara langsung atau melalui organisasi terkait,
dengan tujuan untuk menjamin konservasi dan meningkatkan
tujuan pemanfaatan optimal jenis ikan tersebut di seluruh
kawasan baik di dalam maupun di luar ZEE. Di kawasan di
mana tidak terdapat organisasi internasional terkait, negara
pantai dan negara lain yang warga negaranya memanfaatkan
jenis ikan tersebut di wilayah itu, harus bekerja sama untuk
membentuk organisasi konservasi dan berperan serta dalam
setiap kegiatan konservasi.
b. Mamalia laut (Pasal 65)
Mengenai konservasi mamalia laut, UNCLOS 1982 memberi
wewenang sepenuhnya kepada negara pantai maupun organisasi
internasional tertentu untuk melakukan konservasi dengan
syarat-syarat ketat.
c. Jenis ikan anadrom (Pasal 66)
Ikan anadrom adalah jenis ikan yang bertelur di sungai dan
tumbuh besar di laut lepas, contohnya salmon. Secara garis
besar, Pasal 66 berisi ketentuan sebagai berikut, yaitu:
(1) Negara pantai yang sungainya dijadikan tempat bertelur
oleh jenis ikan anadrom memiliki kepentingan yang utama
atas jenis ini dan bertanggung jawab atas stok jenis ikan
dimaksud.
18
(2) Negara pantai (negara asal) harus melakukan konservasi
dengan mengeluarkan peraturan tertentu bagi penangkapan
di perairan atau ZEE-nya dan setelah berkonsultasi dengan
negara lain yang memanfaatkan jenis ini, negara asal
dapat menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
bagi negara lain itu.
(3) Oleh negara pantai, penangkapan jenis ikan ini hanya
bisa dilakukan pada bagian sisi darat batas luar ZEE
dengan pertimbangan penangkapan seperti itu tidak sampai
menimbulkan dislokasi ekonomi bagi negara lain. Penang-
kapan pada sisi luar dari batas luar ZEE harus dikonsultasi-
kan dengan negara lain yang berkepentingan dengan tetap
mempertimbangkan kepentingan negara asal ikan tersebut.
(4) Bila jenis ikan anadrom ini bermigrasi jauh melalui sisi
darat batas luar ZEE suatu negara lain, maka negara ini
harus bekerja sama dengan negara asal di bidang
konservasi.
(5) Negara asal dan negara lain yang memanfaatkan jenis
ikan anadrom ini harus membuat peraturan perundang-
undangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 66
UNCLOS 1982, bila perlu melalui wadah organisasi
regional.
d. Jenis ikan katadrom (Pasal 67)
Ikan katadrom adalah jenis ikan yang hidup di air tawar dan
tumbuh besar di laut, contohnya eels. Secara garis besar,
Pasal 67 berisi ketentuan sebagai berikut, yaitu:
(1) Negara pantai di mana sebagian besar siklus kehidupan
jenis ikan katadrom berlangsung pada wilayah perairannya
bertanggung jawab atas pemanfaatan jenis ikan ini, dan
selalu menjamin keluar masuknya ikan yang bermigrasi.
(2) Pemanfaatan jenis ikan ini hanya bisa dilakukan pada
perairan sisi darat batas luar ZEE, dan bila pemanfaatan
dilakukan pada bagian lain sisi darat itu wajib dilakukan
19
sesuai dengan Pasal 67 dan ketentuan lain dari UNCLOS
1982.
(3) Bila jenis ikan katadrom bermigrasi juah melalui ZEE
negara lain, pengelolaan dan pemanfaatannya harus
dilakukan berdasarkan perjanjan antara negara asal dan
negara lain itu dengan mengingat tanggung jawab negara
asal akan kesinambungan stok.
e. Jenis sedenter (Pasal 68)
Ikan sedenter adalah jenis ikan yang dalam keadaan tak
bergerak selalu berada pada atau di bawah dasar laut dan bila
bergerak selalu memerlukan kontak langsung secara fisik
dengan dasar laut atau tanah dibawahnya. Pasal 68
menyebutkan bahwa, “bagian ini tidak berlaku bagi ikan
sedenter sebagaimana diartikan dalam Pasal 77 ayat (4)”.
Maksud pasal ini adalah, segala ketentuan dalam Bab V tentang
ZEE tidak berlaku bagi jenis ikan sedenter karena jenis ini
diatur lebih jauh pada Bab VI tentang landas kontinen.
Ketentuan Bab VI yang terkait langsung dengan keberadaan
jenis ikan sedenter adalah Pasal 77 ayat (2) dan ayat (4).
Pasal 77 ayat (2) menyebutkan bahwa, bila negara pantai
tidak melakukan eksploitasi atas sumber kekayaan alam di
landas kontinen, maka pihak lain tidak dapat melakukan
eksploitasi tanpa seizin negara pantai. Artinya, negara pantai
mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di landas
kontinen secara eksklusif. Sementara Pasal 77 ayat (4)
menegakan bahwa, jenis ikan sedenter merupakan sumber
kekayaan hayati di landas kontinen. Dengan demikian,
pengaturan status jenis ikan sedenter berbeda dengan jenis
ikan lainnya, karena jenis ikan sedenter tidak dapat dimanfaat-
kan oleh negara lain yang berhak atas surplus sumber daya
ikan sebagaimana diatur dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa
UNCLOS mengatur hak dari negara tidak berpantai dan negara
yang secara geografis tidak beruntung dalam kaitan dengan
20
partisipasi negara-negara tersebut secara adil di dalam pengelo-
laan dari bagian surplus ikan dari negara pantai. Hak-hak
kedua negara tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan
keadaan ekonomi dan geografi dari semua negara-negara
bersangkutan dan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan UNCLOS 1982, yang dicantumkan dalam Pasal
61 dan Pasal 62. Pengaturan partisipasi kedua negara ini
dalam memanfaatkan surplus sumber daya ikan negara pantai
diatur pada Pasal 69 dan Pasal 70.
Beberapa ketentuan yang tertuang pada Pasal 69 UNCLOS
1982, di antaranya, yaitu:
a. Negara tak berpantai mempunyai hak untuk berpartisipasi
atas dasar persamaan di dalam eksploitasi dari bagian
yang layak dari sumber daya alam hayati ZEE dari negara
pantai dalam subregional atau regional yang sama dengan
mempertimbangkan keadaan ekonomi dan geografi dari
negara-negara bersangkutan.
b. Partisipasi negara pantai dalam kaitan ini dapat dilakukan
melalui perjanjian bilateral, perjanjian subregional atau
regional.
c. Perjanjian termaksud untuk memperhatikan:
(1) Tidak merugikan masyarakat nelayan atau industri
perikanan negara pantai.
(2) Terdapat kemungkinan berpartisipasinya negara pantai
tersebut dalam sumber daya ikan di ZEE negara
pantai.
(3) Keadaan bahwa negara pantai lainnya atau negara
yang secara geografis kurang beruntung telah berpar-
tisipasi dalam sumber daya ikan ZEE negara pantai
dengan memperhitungkan untuk menghindari
dibebaninya secara khusus suatu negara pantai.
(4) Kebutuhan nutrisi dari masyarakat negara-negara
bersangkutan.
21
d. Pengaturan diterapkan tanpa mengganggu pengaturan yang
sudah ada baik bersifat subregional atau regional, yang
dalam hal tersebut negara pantai diberikan hak sama atau
hak preferensial atas eksploitasi dari sumber daya ikan
di ZEE.
Sementara itu, Pasal 70 memuat beberapa ketentuan, di
antaranya, yaitu:
a. Negara yang secara geografis tak beruntung mempunyai
hak untuk berperan serta atas dasar yang adil dalam
eksploitasi bagian yang layak dari sumber kekayaan hayati
ZEE negara pantai dalam sub-regional atau regional yang
sama dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan
geografi dari negara-negara bersangkutan dan sesuai
dengan Pasal 61 dan Pasal 62.
b. Untuk tujuan Bab ini, “negara yang secara geografis tak
beruntung” berarti negara pantai, termasuk negara yang
berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup,
yang letak geografisnya membuatnya tergantung pada
eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE negara lain di
sub-regional atau regional untuk persediaan ikan yang
memadai bagai keperluan gizi penduduknya atau bagian
dari penduduk itu, dan negara pantai yang tidak dapat
menunjukan ZEE bagi dirinya sendiri.
c. Persyaratan dan cara peran serta harus ditetapkan oleh
negara-negara yang berkepentingan melalui perjanjian
bilateral, perjanjian subregional atau regional dengan
memperhatikan ketentuan berikut ini, yaitu:
(1) Tidak merugikan masyarakat nelayan atau industri
penangkapan ikan negara pantai.
(2) Sejauh mana negara yang secara geografis tak berun-
tung tersebut berperan serta atau berhak untuk berpe-
ran serta berdasarkan perjanjian bilateral, perjanjian
subregional atau regional dalam mengeksploitasi
22
sumber kekayaan hayati di ZEE negara-negara pantai
lainnya.
(3) Sejauh mana negara yang secara geografis tak
beruntung lainnya dan negara tak berpantai berperan
serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati ZEE
negara pantai tersebut dan kebutuhan yang timbul
karenanya untuk menghindari suatu beban khusus
bagi suatu negara pantai.
(4) Kebutuhan gizi masing-masing negara.
d. Bilamana kapasitas tangkap suatu negara pantai mendekati
suatu titik yang memungkinkan negara itu untuk
menangkap seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dari sumber kekayaan hayati di ZEE-nya, maka negara
pantai dan negara yang berkepentingan lainnya harus
bekerja sama untuk menetapkan pengaturan yang adil
atas dasar bilateral, subregional atau regional untuk
memperbolehkan peran serta negara-negara berkembang
yang secara geografis tak beruntung di sub-regional atau
regional dengan berdasarkan persyaratan yang memuaskan
semua pihak.
e. Negara maju yang secara geografis tak beruntung, berhak
untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan
hayati hanya dalam ZEE negara pantai yang maju dalam
sub-regional atau regional yang sama dengan memper-
hatikan sejauhmana negara pantai, dalam memberikan
kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan
sumber kekayan hayati di ZEE-nya, dengan memperhati-
kan kebutuhan untuk memperkecil akibat yang merugikan
bagi masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di negara
yang warga negaranya telah biasa menangkap ikan dalam
zona tersebut.
Kewajiban pihak asing atas diberikannya izin untuk melakukan
penangkapan ikan pada ZEE negara pantai mempunyai kewajiban
untuk mentaati upaya-upaya pemeliharaan lingkungan kelautan
23
dari peraturan perundang-undangan negara pantai. Peraturan
perundang-undangan tersebut meliputi cara-cara pemberian lisensi,
pembayaran fee, renumerasi dalam bentuk lain serta pengaturan
dapat dilakukan dalam kompensasi yang layak serta kemungkinan
pemberian peralatan dan alih teknologi bagi industri perikanan
negara pantai (Anwar, 1995).
Lebih lanjut, Anwar (1995) mengungkapkan bahwa aturan
ini terkait juga dengan pengaturan tentang penetapan spesies ikan
yang dapat ditangkap serta kuota tangkapan dan musim penangkapan
ikan, jenis dan besarnya alat penangkap ikan, jenis dan jumlah
kapal perikanan yang diizinkan. Di samping itu, penentuan umur
dan ukuran ikan yang boleh ditangkap serta informasi yang harus
disediakan oleh kapal perikanan, ketentuan tentang program riset
perikanan serta penempatan dari warga negara pantai pada kapal-
kapal perikanan untuk keperluan training.
Namun demikian, negara pantai dan negara yang secara
geografis kurang beruntung yang memiliki hak atas surplus sumber
daya ikan tersebut tidak dapat mengalihkan haknya kepada negara
ketiga melalui lisensi atau sewa, maupun dengan pendirian usaha
patungan atau dengan cara lain kecuali apabila hal tersebut disetujui
negara pantai (Pasal 72). Bahkan, Pasal 71 menyatakan bahwa
ketentuan yang tertuang dalam Pasal 69 dan Pasal 70 tidak berlaku
apabila suatu negara pantai yang ekonominya sangat bergantung
pada eksploitasi sumber kekayaan hayati di ZEE-nya.
Selain pada Bab V tentang ZEE, pengaturan mengenai
perikanan dituangkan juga pada Bab VI tentang laut lepas,
khususnya pada Bagian 2 tentang konservasi dan pengelolaan
sumber kekayaan hayati di laut lepas. Hak kebebasan menangkap
ikan di laut lepas tertuang pada Pasal 116. Disebutkan bahwa,
semua negara mempunyai hak bagi warga negaranya untuk
melakukan penangkapan ikan di laut lepas, namun harus tunduk
pada kewajibannya berdasarkan perjanjian internasional, serta hak
dan kewajiban maupun kepentingan negara pantai sesuai dengan
Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 64 sampai Pasal 67, dan ketentuan-
24
ketentuan bagian ini. Dengan demikian, setiap kegiatan perikanan
di laut lepas, harus memperhatikan persediaan ikan yang terdapat
di ZEE dua negara pantai atau lebih, baik yang terdapat di dalam
ZEE maupun di dalam suatu daerah di luar serta berdekatan
dengannya. Selain itu, kegiatan perikanan di laut lepas juga harus
memperhatikan kelestarian jenis-jenis ikan, seperti jenis ikan yang
bermigrasi jauh, mamalia laut, ikan anadrom, dan ikan katadrom.
Pada Pasal 117, setiap negara diamanatkan untuk mengambil
tindakan atau Kerja sama dengan negara lain dalam mengambil
tindakan yang berkaitan dengan warga negara masing-masing yang
dianggap perlu untuk konservasi sumber kekayaan hayati di laut
lepas. Sementara kewajiban negara dalam kegiatan perikanan di
laut lepas diatur pada Pasal 118. Disebutkan bahwa, semua negara
mempunyai kewajiban untuk mengambil tindakan atau kerja sama
dengan negara lain dalam melakukan konservasi sumber kekayaan
hayati di laut lepas. Penegasan mengenai pentingnya Kerja sama
negara-negara di laut lepas dalam kegiatan konservasi dan
pengelolaan sumber kekayaan hayati dituangkan dalam Pasal 119,
di mana dalam penetapan jumlah tangkapan yang diperbolehkan
dan menetapkan tindakan lain yang berkaitan dengan konservasi
sumber kekayaan hayati di laut lepas harus direncanakan
berdasarkan bukti ilmiah terbaik serta memelihara populasi jenis
ikan yang ditangkap agar tercipta kelestarian. Selain itu, keberadaan
keterangan ilmiah yang tersedia, statistik tentang penangkapan
dan upaya-upaya penangkapan ikan dan data-data lain yang relevan
dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan
dipertukarkan secara teratur melalui organisasi internasional yang
berwenang, baik organisasi sub-regional, regional maupun glo-
bal.
2. UN Compliance Agreement 1993
Rezim yang melekat dari laut lepas adalah kebebasan
sebagaimana yang tertuang pada Pasal 87 UNCLOS 1982, karena
wilayah ini tidak termasuk dalam yurisdiksi negara manapun.
Oleh karenanya, semua negara mempunyai hak yang sama untuk
25
memanfaatkan sumber daya ikan yang ada di laut lepas. Namun,
UNCLOS 1982 mensyaratkan kewajiban semua negara yang
memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas untuk saling bekerja
sama dalam menciptakan kelestarian sumber daya ikan di laut
lepas.
Dalam rangka menciptakan kelestarian sumber daya ikan di
laut lepas, maka diperlukan aturan khusus. Oleh karenanya, pada
tanggal 24 November 1993 ditetapkan Agreement to Promote Com-
pliance with International Conservation and Management Mea-
sures by Fishing Vessel on the High Seas atau yang dikenal dengan
istilah UN Compliance Agreement 1993. Tujuan ditetapkannya
perjanjian ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar praktik
penangkapan ikan di laut lepas dan menerapkan langkah-langkah
konservasi sumber daya hayati laut dengan meningkatkan peranan
organisasi perikanan multilateral.
Sejak ditetapkan pada tahun 1993 hingga tahun 2005, UN
Compliance Agreement 1993 belum berlaku efektif (entry into
force). Hal ini dikarenakan, baru 18 negara yang melakukan
ratifikasi, padahal yang dibutuhkan 25 negara untuk dapat
berlakunya perjanjian ini, sesuai dengan Pasal 11 UN Compli-
ance Agreement 1993 (Kania, 2005a). Sampai saat ini, Pemerintah
Indonesia belum meratifikasi UN Compliance Agreement 1993.
Perjanjian ini berisikan 16 pasal, adapun materi pokok UN Com-
pliance Agreement 1993 di antara yaitu:
1. Keberlakuan dari perjanjian atau aplikasi (Pasal 2)
Perjanjian ini diberlakukan untuk semua kapal penangkap
ikan yang digunakan di laut lepas, di mana setiap negara
peserta dibolehkan untuk menggunakan kapal yang berbendera
negaranya yang panjang kapalnya kurang dari 24 meter.
2. Tanggung jawab dari negara bendera kapal (Pasal 3)
Setiap negara peserta harus mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan bahwa kapal tersebut tidak terlibat
dalam kegiatan apapun yang merugikan efektivitas dari
26
pelestarian internasional dan aturan-aturan pengelolaan
mengenai penangkapan ikan. Selain itu, kapal yang
diperbolehkan menangkap ikan di laut lepas haruslah terlebih
dahulu mendapatkan pengesahan oleh otoritas yang berwenang
dari negara bendera kapal tersebut. Hal lain yang patut
diperhatikan adalah, kapal-kapal yang telah mendapatkan
pengesahan untuk dapat digunakan di laut lepas, diwajibkan
untuk memberikan informasi kepada pemerintah negara bendera
kapal tentang seluruh kegiatan yang dilakukannya, baik fish-
ing ground maupun hasil tangkapannya. Apabila terjadi
pelanggaran oleh negara bendera kapal di laut lepas, maka
negera peserta memiliki kewajiban untuk melakukan langkah-
langkah hukum, seperti pemberian sanksi berupa dicabutnya
kewenangan atau otoritas untuk menangkap ikan di laut lepas.
3. Pencatatan kapal-kapal nelayan (Pasal 4)
Setiap negara peserta harus membuat catatan atas kapal-kapal
negara benderanya yang berhak berlayar di laut lepas dan
diizinkan untuk membuat ukuran khusus yang mungkin
diperlukan untuk mendukung segala hal yang berkaitan dengan
kapal-kapal penangkap ikan yang masuk dalam catatan.
4. Kerja sama internasional (Pasal 5)
Dalam rangka mewujudkan kelestarian sumber daya,
diatur mengenai Kerja sama internasional dalam hal tukar
menukar informasi, termasuk bukti-bukti nyata yang
berkaitan dengan kegiatan penangkapan yang dilakukan
oleh kapal-kapal penangkap ikan sebagai bahan untuk
memudahkan identifikasi apabila negara bendera kapal
tersebut mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan
internasional. Selain itu, negara peserta dapat melakukan
investigasi dipelabuhannya terhadap kapal negara bendera
lain yang dicurigai melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
berkaitan dengan perusakan lingkungan perairan internasional.
Negara-negara peserta diizinkan apabila diperlukan untuk
membuat persetujuan bersama atau persetujuan Kerja sama
27
menguntungkan secara global, regional, sub-regional atau
bilateral yang bertujuan untuk meningkatkan hasil dari
Perjanjian ini.
5. Pertukaran informasi (Pasal 6)
Setiap negara peserta harus menyediakan informasi tertulis
secara periodik untuk diserahkan ke FAO, yang memuat
informasi kapal-kapal penangkap ikan dengan urutan sebagai
berikut, yaitu:
(1) nama kapal penangkap ikan, nomor registrasi, nama
terdahulu (apabila diketahui), dan pelabuhan tempat
didaftarkannya kapal tersebut;
(2) bendera kapal sebelumnya (apabila ada);
(3) International Radio Call Sign (apabila ada);
(4) nama dan alamat pemilik kapal;
(5) kapan dan di mana kapal dibuat;
(6) jenis kapal;
(7) ukuran panjang kapal.
Dalam pencatatan informasi tersebut, juga negara peserta harus
menyediakan informasi tambahan mengenai kapal-kapal penangkap
ikan, yaitu:
(1) nama dan alamat operator (manajer) atau operator-operator
(manajer-manajer) (apabila ada);
(2) tipe metode penangkapan ikan;
(3) moulded depth;
(4) beam;
(5) grossegister tonnage;
(6) kekuatan mesin kapal.
Selain itu, setiap negara peserta juga harus memberikan
informasi pada pihak FAO mengenai:
(1) hal-hal yang ditambahkan dalam catatan tersebut.
(2) hal-hal yang dihapus dalam catatan tersebut, dengan alasan:
28
· Operator atau pemilik kapal penangkap ikan membatalkan
atau menonaktifkan otorisasi hak berlayarnya.
· Penarikan kembali otorisasi atas suatu kapal penangkap
ikan
· Kapal penangkap ikan tersebut tidak memiliki izin lagi
untuk berlayar.
· Memutuskan, menonaktifkan atau penghapusan atas suatu
kapal penangkap ikan.
· Alasan-alasan lainnya.
6. Kerja sama dengan negara-negara berkembang (Pasal 7)
Negara-negara peserta harus bekerja sama secara global, re-
gional, subregional atau pada tingkat bilateral dengan dukungan
FAO dan organisasi regional atau internasional lain sebagai
penyedia bantuan, termasuk bantuan teknis kepada para pihak
negara berkembang dalam rangka membantu pelaksanaan
kewajiban mereka sesuai Perjanjian ini.
7. Hubungan perjanjian dengan negara-negara yang tidak menjadi
anggota (Pasal 8)
Perjanjian ini juga mengatur hubungan dengan negara yang
bukan anggota atau negara bukan peratifikasi UN Compli-
ance Agreement 1993. Disebutkan bahwa, negara-negara peserta
tidak akan mendorong negara bukan peratifikasi untuk
menerima Perjanjian ini dan akan mendorong negara bukan
peratifikasi manapun untuk mengadopsi peraturan dan hukum
yang konsisten dalam Perjanjian ini. Selain itu, negara-negara
peserta akan bekerja sama dalam cara yang konsisten dan
dengan hukum internasional sesuai dengan Perjanjian ini
dengan kapal penangkap ikan negara bukan peratifikasi yang
berhak berlayar dengan tindakan pengelolaan dan konservasi
internasional. Selain itu juga, negara-negara peserta harus
bertukar informasi antar mereka, baik secara langsung maupun
melalui FAO, yang berkaitan dengan aktivitas bendera kapal
penangkap ikan bukan peratifikasi yang berhak berlayar
menurut tindakan pengelolaan dan konservasi internasional.
29
8. Penyelesaian sengketa (Pasal 9)
Dalam penyelesaian sengketa antar negara peserta, para pihakyang bersengketa dapat melakukan konsultasi di antara negarapeserta itu sendiri mengenai interpretasi atau aplikasi dariketentuan-ketentuan yang ada dalam Perjanjian ini untukmendapatkan solusi yang memuaskan secepat mungkin. Jikasengketa tersebut tidak terpecahkan melalui konsultasi dalamjangka waktu tertentu, maka para pihak harus melakukanperundingan antar mereka sendiri secepat mungkin denganmaksud untuk menyelesaikan masalah melalui jalan negosiasi,inquiry, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian melaluipengadilan/yudisial atau jalan damai lainnya sesuai denganpilihan para pihak. Dan, jika belum tercapai juga kesepakatandalam penyelesaian sengketa, maka sengketa tersebut dapatdiselesaikan melalui Mahkamah Internasional dari Interna-
tional Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) sesuai denganUNCLOS 1982.
3. UN Fish Stock Agreement 1995
Pengelolaan sumber daya ikan yang bermigrasi jauh (highly
migratory) telah diatur pada Pasal 64 UNCLOS 1982. Namunpengaturan tersebut hanya berlaku di zona ekonomi eksklusif, dimana negara pantai mempunyai hak berdaulat secara eksklusifuntuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, melindungi, dan mengaturperikanan diwilayahnya sejauh 200 mil laut. Tidak adanya ketentuanyang mengatur tentang persediaan jenis-jenis ikan yang bermigrasijauh (higly migratory fisheries species/HMS) serta jenis-jenis ikanyang bermigrasi terbatas (straddling fish stock/SFS) laut lepastelah menyebabkan berkurangnya kedua jenis ikan tersebut. Olehkarena itu, Kerja sama pengelolaan perikanan, baik di tingkatsub-regional, regional maupun global, diharapkan menjadi solusidalam mengatasi permasalahan perikanan ini.
Dalam rangka menciptakan tujuan tersebut, maka pada tahun1995 PBB menyusun suatu perjanjian baru untuk mengimplemen-tasikan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu disahkannya
Agreement for the Implementation of the Provision of the UNCLOS
30
of 19 December 1982 relating to the Conservation and Manage-
ment of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks
atau yang dikenal juga dengan sebutan UN Fish Stock Agreement
1995. Perjanjian ini telah berlaku efektif pada tanggal 11 Desember
2001 setelah diratifikasi oleh 30 negara, sesuai dengan Pasal 40.
Negara yang menjadi peratifikasi ke 30 adalah Malta pada tanggal
11 November 2001. Sampai dengan Februari 2007, negara yang
telah meratifikasi UN Fish Stock Agreement 1995 berjumlah 64
negara (www.untreaty.un.org). Sampai saat ini, Pemerintah Indo-
nesia belum meratifikasi UN Fish Stock Agreement 1995. Perjanjian
ini berisikan 13 bab, 50 pasal, dan dua lampiran. Adapun
materi pokok UN Fish Stock Agreement 1995 di antara yaitu:
a. Aplikasi atau keberlakuan dari perjanjian (Pasal 3)
Perjanjian ini berlaku terhadap kegiatan pengelolaan dan
konservasi SFS dan HMFS yang berada jauh di luar wilayah
yurisdiksi nasional suatu negara. Namun demikian, khusus
untuk Pasal 6 dan Pasal 7 dapat diberlakukan untuk pengelolaan
dan konservasi sediaan tersebut di dalam wilayah yurisdiksi
nasional, tunduk pada rejim hukum yang berbeda yang berlaku
di dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dan di wilayah
di luar yurisdiksi nasional.
b. Penerapan prinsip pendekatan kehati-hatian (Pasal 6)
Negara-negara harus melaksanakan pendekatan kehati-hatian
yang berkaitan dengan konservasi, pengelolaan dan
pemanfaatan SFS dan HMFS dalam rangka meningkatkan
stok ikan dan perdagangan ikan dalam rangka melindungi
sumber daya kehidupan laut dan melestarikan lingkungan
laut. Dalam melaksanakan pendekatan kehati-hatian, negara
harus:
(1) Meningkatkan pengambilan keputusan untuk pengelolaan
dan konservasi sumber daya ikan dengan mempertimbang-
kan berbagai informasi ilmiah terbaik yang tersedia dan
melaksanakan teknik untuk mengatasi risiko dan ketidak-
pastian.
31
(2) Menerapkan petunjuk seperti yang telah dijelaskan dalam
Lampiran II dan menetapkan, atas dasar informasi ilmiah
terbaik yang tersedia, titik-titik referensi khusus sediaan
dan tindakan yang dilakukan apabila mereka terlampaui.
(3) Mempertimbangkan, antara lain, ketidakpastian yang
berkaitan dengan ukuran dan produktivitas dari sediaan,
titik referensi, kondisi sediaan dalam kaitan dengan titik
referensi tersebut, tingkat-tingkat dan distribusi pertum-
buhan perikanan dan dampak dari kegiatan perikanan
pada spesies non-target dan berhubungan atau tergantung,
serta kondisi saat ini dan prakiraan lautan, lingkungan,
dan sosial-ekonomi.
(4) Mengembangkan pengumpulan data dan program riset
untuk menilai dampak atas penangkapan pada non-tar-
get, berhubungan atau tergantung, dan lingkungan mereka,
dan menyetujui perencanaan yang diperlukan untuk
menjamin konservasi spesies tersebut dan untuk melin-
dungi habitat yang mendapat perhatian khusus.
c. Kemampuan tindakan pengelolaan dan konservasi (Pasal 7)
Dengan tetap memperhatikan hak berdaulat negara pantai
untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber daya hayati laut pada area wilayah yurisdiksi
nasionalnya, dan hak-hak tiap warga negaranya untuk
melakukan kegiatan penangkapan di laut bebas, maka tiap-
tiap negara berkewajiban untuk:
(1) Berkaitan dengan stok SFS, negara-negara pantai tersebut
dan negara-negara yang warga negaranya melakukan
penangkapan stok ikan dalam wilayah yang berdampingan
dengan laut bebas, haruslah bertemu untuk menyetujui
atas segala tindakan yang diperlukan dalam rangka
pelestarian terhadap stok tersebut.
(2) Berkaitan dengan HMFS, negara pantai yang bersangkutan
dan negara-negara lain yang warga negaranya menangkap
32
jenis ikan tersebut di wilayahnya, haruslah bekerja sama
dalam rangka menjamin terlaksananya konservasi dan
juga mempromosikan tujuan dari pengkonsumsian yang
optimum terhadap stok tersebut di semua wilayah,
termasuk di dalam wilayah yurisdiksi nasionalnya.
Tindakan pengelolaan dan konservasi ditetapkan untuk
laut bebas dan di wilayah yurisdiksi nasional haruslah memiliki
persamaan dalam rangka menjamin dilaksanakannya
pengelolaan dan konservasi terhadap SFS dan HMFS secara
keseluruhan. Pada akhirnya, negara pantai dan negara-negara
yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas memiliki
kewajiban untuk bekerja sama dalam rangka mewujudkan
tindakan pengelolaan dan konservasi SFS dan HMFS. Dalam
menentukan tindakan pengelolaan dan konservasi, negara dapat:
(1) mempertimbangkan tindakan pengelolaan dan konservasi
yang diadopsi dan yang diterapkan sesuai Pasal 61
UNCLOS 1982 menyangkut stok yang sama pada negara
pantai dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional dan
menjamin bahwa tindakan yang diterapkan untuk stok
tersebut pada laut lepas tidak akan mengurangi efektivitas
tindakan tersebut.
(2) mempertimbangkan sebelum menyetujui ditetapkannya
dan digunakannya tindakan di laut lepas sesuai UNCLOS
1982 menyangkut stok yang sama bagi negara pantai
dan negara yang melakukan penangkapan ikan di laut
lepas.
(3) mempertimbangkan sebelum menyetujui ditetapkannya
dan digunakannya tindakan sesuai dengan UNCLOS 1982
menyangkut stok yang sama oleh suatu organisasi
pengelolaan perikanan regional atau sub-regional.
(4) mempertimbangkan kesatuan biologi dan karakteristik
biologi lain dari stok dan hubungan antara distribusi stok,
perikanan dan geografis khusus menyangkut daerah terkait,
33
mencakup jumlah stok dan yang ditangkap dalam area
di bawah yurisdiksi nasional.
(5) mempertimbangkan kepentingan dari masing-masing
negara pantai dan negara yang melakukan penangkapan
di laut lepas.
(6) memastikan bahwa tindakan seperti itu tidak akan mem-
berikan dampak berbahaya pada sumber daya hayati laut
secara keseluruhan.
d. Kerja sama dalam pengelolaan dan konservasi (Pasal 8)
Negara-negara pantai dan negara-negara yang melakukan
penangkapan di laut lepas harus melakukan Kerja sama dalam
pengelolaan dan konservasi SFS dan HMFS, baik secara
langsung maupun melalui organisasi pengelolaan perikanan
regional atau sub-regional. Apabila organisasi pengelolaan
perikanan regional atau sub-regional telah memiliki kewenang-
an untuk menetapkan tindakan pengelolaan dan konservasi
SFS and HMFS, maka negara-negara pantai dan negara-negara
yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas berkewajiban
untuk bekerja sama dengan menjadi anggota dari organisasi
tersebut atau berpartisipasi dalam tindakan pengelolaan dan
konservasi yang telah dibentuk. Oleh karenanya, hanya negara-
negara yang telah menjadi anggota atau negara-negara yang
berpartisipasi dalam pengelolaan dan konservasi dari organisasi
tersebut lah yang dapat memiliki akses terhadap sumber daya
ikan yang telah ditetapkan. Namun demikian, apabila belum
terbentuk organisasi pengelolaan perikanan regional atau sub-
regional dalam pengelolaan dan konservasi SFS dan HMFS
di laut lepas, maka negara-negara pantai dan negara-negara
yang melakukan penangkapan ikan tersebut harus bekerja
sama untuk membentuk suatu organisasi atau pengaturan lain
yang sesuai dengan pengelolaan dan konservasi dan harus
berpartisipasi dalam pengaturan dan organisasi.
e. Pengumpulan dan penyediaan informasi dan Kerja sama dalam
riset ilmiah (Pasal 14)
34
Negara-negara harus menjamin bahwa kapal-kapal penangkap
ikan yang mengibarkan benderanya menyediakan informasi
yang mungkin diperlukan dalam rangka memenuhi kewajiban-
nya di bawah perjanjian ini. Untuk tujuan tersebut, negara-
negara harus sesuai dengan Lampiran I:
(1) Mengumpulkan dan tukar menukar data ilmiah, teknis
dan statistik berkaitan dengan perikanan untuk stok SFS
dan HMFS.
(2) Menjamin bahwa data dikumpulkan secara rinci cukup
untuk penilaian stok yang efektif dan disediakan dengan
cara yang tepat untuk memenuhi persyaratan organisasi
atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional atau
regional.
(3) Mengambil tindakan-tindakan yang memadai untuk
menguji keakuratan data tersebut.
Negara-negara juga harus bekerja sama, baik secara
langsung maupun melalui organisasi pengelolaan perikanan
regional untuk memperkuat kapasitas riset ilmiah dalam bidang
perikanan dan mempromosikan riset ilmiah yang berhubungan
dengan pengelolaan dan konservasi dalam melestarikan SFS
dan HMFS.
f. Kewajiban-kewajiban negara (Pasal 18)
Suatu Negara yang kapal-kapalnya melakukan penangkapan
ikan di laut lepas harus mengambil tindakan-tindakan yang
mungkin diperlukan untuk menjamin bahwa kapal-kapal yang
mengibarkan bendera menerapkan tindakan-tindakan konservasi
dan pengelolaan sub-regional dan regional dan kapal-kapal
tersebut tidak melakukan kegiatan apapun yang mengurangi
efektivitas tindakan-tindakan tersebut (ayat 1).
Suatu Negara harus mengizinkan penggunaan kapal-kapal
yang mengibarkan benderanya untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan di laut lepas hanya apabila dapat melakukan
pengawasan secara efektif tanggung jawabnya berkaitan dengan
35
kapal-kapal tersebut di bawah Konvensi dan perjanjian ini
(Ayat 2).
Tindakan-tindakan yang diambil oleh suatu Negara berkaitan
dengan kapal-kapal yang mengibarkan benderanya, yaitu (3):
(1) Pengawasan kapal-kapal tersebut dilaut lepas melalui
lisensi penangkapan ikan, otorisasi atau izin, sesuai dengan
prosedur yang berlaku yang disetujui pada tingkat sub
regional, regional atau global.
(2) Menetapkan peraturan-peraturan:
· Untuk menerapkan persyaratan-persyaratan dan
kondisi-kondisi bagi lisensi, otorisasi atau izin yang
memadai untuk memenuhi setiap kewajiban sub
regional, regional atau global dari Negara bendera.
· Melarang penangkapan ikan di laut lepas oleh kapal-
kapal yang tidak sepatutnya diberi lisensi atau otorisasi
untuk melakukan penangkapan ikan, atau melakukan
penangkapan ikan di laut lepas.
· Mengharuskan kapal penangkap ikan di laut lepas
untuk membawa surat izin sepanjang waktu.
· Menjamin bahwa kapal-kapal yang mengibarkan
benderanya tidak melakukan penangkapan ikan yang
tidak sah dalam wilayah di bawah yurisdiksi nasional
negara-negara lain.
(3) Pembentukan suatu pencatatan nasional terhadap kapal-
kapal perikanan yang diberikan otorisasi untuk melakukan
penangkapan ikan di laut lepas dan pemberian akses kepada
informasi yang terdapat di dalam pencatatan atas permin-
taan secara langsung dari Negara-negara yang berkepen-
tingan, dengan memperhatikan setiap hukum nasional
dari Negara bendera mengenai pemberian informasi
tersebut.
(4) Persyaratan-persyaratan untuk penandaan kapal ikan dan
alat penangkap ikan untuk identifikasi sesuai dengan
36
keragaman dan sistem penandaan kapal dan alat tangkap
yang diterima secara internasional.
(5) Persyaratan untuk pencatatan dan pelaporan yang tepat
dari posisi kapal, penangkapan spesies target dan non-
target, usaha penangkapan ikan dan data perikanan terkait
lainnya sesuai dengan standar sub-regional, regional dan
global untuk pengumpulan data tersebut.
(6) Persyaratan-persyaratan pengujian penangkapan untuk
spesies target dan non-target melalui sarana seperti pro-
gram peninjauan, skema pemeriksaan, laporan pemuatan,
supervise pengalihan muatan dan pengawasan pendaratan
tangkapan dan statistik pasar.
(7) Pemantauan, pengawasan dan pengamatan terhadap kapal-
kapal sehubungan dengan aktivitas penangkapan ikannya
serta aktivitas lainnya yang berkaitan.
(8) Pengaturan pengalihan muatan di laut lepas untuk
menjamin bahwa efektivitas dari konservasi dan pengelo-
laan tidak rusak.
(9) Pengaturan kegiatan penangkapan ikan untuk menjamin
kesesuaian dengan tindakan-tindakan sub-regional, re-
gional atau global termasuk yang ditujukan untuk mengu-
rangi penangkapan terhadap spesies non-target.
g. Penaatan dan Penegakan Hukum oleh Negara bendera (Pasal
19)
Suatu negara harus menjamin penaatan oleh kapal-kapal yang
mengibarkan benderanya dengan tindakan-tindakan konservasi
dan pengelolaan sub-regional dan regional untuk stok SFS
dan HMFS. Untuk tujuan ini, Negara tersebut harus:
(1) Memberlakukan tindakan-tindakan tersebut tanpa memper-
hatikan di mana pelanggaran-pelanggaran terjadi.
(2) Menyelidiki secara cepat dan menyeluruh setiap pelang-
garan yang diduga terhadap tindakan-tindakan konservasi
37
dan pengelolaan sub-regional atau regional, yang juga
dapat mencakup pemeriksaan fisik terhadap kapal-kapal
tersebut, dan melaporkan dengan cepat kepada Negara
yang diduga melakukan pelanggaran dan organisasi atau
pengaturan sub-regional atau regional yang terkait atas
pelaksanaan dan hasil penyelidikan tersebut.
(3) Mengharuskan setiap kapal yang mengibarkan benderanya
untuk memberikan informasi kepada otoritas penyelidik
mengenai posisi kapal, tangkapan, alat tangkap, operasi
penangkapan ikan, dan kegiatan-kegiatan terkait di wilayah
di mana pelanggaran terjadi.
(4) Apabila memenuhi bahwa bukti yang cukup telah tersedia
berkaitan dengan pelanggaran tersebut, meneruskan kasus
tersebut kepada otoritasnya dengan tujuan hukumnya dan,
apabila memungkinkan, menahan kapal tersebut.
(5) Menjamin bahwa, apabila telah ditetapkan, berdasarkan
hukumnya, suatu kapal telah terlibat di dalam perbuatan
pelanggaran serius mengenai tindakan-tindakan tersebut,
kapal tersebut tidak melakukan operasi penangkapan ikan
di laut lepas hingga suatu waktu di mana seluruh sanksi
telah dijatuhkan oleh negara bendera terhadap pelanggaran
yang telah dilakukan.
Seluruh penyelidikan dan penuntutan hukum harus
dilaksanakan secara cepat. Sanksi-sanksi yang diterapkan
terhadap pelanggaran-pelanggaran harus cukup keras sehingga
efektif dalam menjamin penaatan dan untuk mencegah
pelanggaran-pelanggaran dari manfaat yang bertambah dari
kegiatan tidak sah mereka. Tindakan-tindakan yang diterapkan
terhadap nakhoda-nakhoda dan perwira-perwira lainnya dari
kapal penangkap ikan harus meliputi ketentuan-ketentuan yang
dapat mengizinkan, antara lain, penolakan, pengunduran, atau
penangguhan notorisasi untuk bertindak sebagai nakhoda atau
perwira-perwira pada kapal tersebut.
38
h. Kerja sama internasional dalam penegakan peraturan (Pasal
20)
Bahwa Negara harus bekerja sama, baik secara langsung
maupun melalui organisasi pengaturan penangkapan ikan,
dalam penegakan ketentuan sub-regional dan regional mengenai
pelestarian SFS dan HMFS (Ayat 1).
Apabila Negara bendera mengadakan penyelidikan terhadap
pelanggaran ketentuan pelestarian SFS dan HMFS, maka
Negara tersebut dapat meminta bantuan dari Negara lain di
mana Kerja sama tersebut dapat bermanfaat dalam penyelidikan
(ayat 2).
Negara bendera juga dapat mengadakan penyelidikan secara
langsung, bekerja sama dengan negara lain yang berkepentingan
atau melalui organisasi. Informasi yang dihasilkan dari
penyelidikan tersebut harus tersedia juga bagi Negara-negara
lain yang berkepentingan (ayat 3).
i. Kerja sama sub-regional dan regional dalam penegakan
peraturan (Pasal 21)
Di wilayah laut lepas yang tercakup dalam organisasi
pengaturan penangkapan ikan, Negara peserta yang merupakan
anggota dari organisasi tersebut dapat memeriksa kapal
penangkap ikan yang memasang bendera Negara lain yang
juga merupakan anggota dari organisasi tersebut. Pemeriksaan
tersebut ditujukan untuk menjamin penegakan ketentuan yang
berkaitan dengan pelestarian SFS dan HMFS.
j. Format kerja sama dengan negara berkembang (Pasal 25)
Negara-negara harus bekerja sama, baik secara langsung
maupun melalui organisasi tingkat sub-regional, regional atau
global (ayat 1):
(1) Meningkatkan kemampuan negara-negara berkembang,
khususnya yang kurang berkembang di antara mereka
dan negara-negara pulau kecil yang sedang berkembang,
39
untuk melindungi dan mengelola stok SFS dan HMFS
dan untuk mengembangkan perikanan mereka sendiri untuk
stok tersebut.
(2) Membantu negara-negara berkembang, khususnya yang
kurang berkembang dan negara-negara pulau kecil yang
sedang berkembang, untuk memungkinkan mereka
berpartisipasi dalam perikanan di laut lepas untuk stok
tersebut, termasuk memfasilitasi akses kepada perikanan
tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 5 dan 11.
(3) Untuk memfasilitasi keikutsertaan negara-negara
berkembang pada organisasi dan pengaturan pengelolaan
perikanan sub-regional dan regional.
Kerja sama dengan negara-negara berkembang untuk tujuan-
tujuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal ini harus termasuk
pengadaan bantuan keuangan, bantuan yang berkaitan dengan
pengembangan sumber daya manusia, bantuan teknis, trans-
fer teknologi, termasuk melalui pengaturan joint venture, dan
pemberian nasehat dan jasa-jasa konsultasi (ayat 2).
Bantuan tersebut harus diarahkan secara khusus, kepada yaitu
(ayat 3):
(1) Peningkatan konservasi dan pengelolaan stok SFS dan
HMFS melalui pengumpulan, pelaporan, pengujian, tukar
menukar dan analisa data perikanan dan informasi terkait.
(2) Penilaian stok dan penelitian ilmiah.
(3) Pemantauan, pengawasan, pengamatan, penataan, dan
penegakan hukum, termasuk pelatihan dan pengembangan
kelembagaan pada tingkat daerah, pembangunan dan
pembiayaan program pengamat nasional dan regional dan
akses kepada teknologi dan perlengkapan.
k. Bantuan khusus dalam pelaksanaan Perjanjian (Pasal 26)
Negara-negara harus bekerja sama untuk membentuk dana
khusus untuk membantu negara-negara berkembang dalam
40
pelaksanaan Perjanjian ini, termasuk membantu negara-negara
berkembang untuk menyediakan anggaran yang diperlukan
dalam setiap proses hukum untuk penyelesaian sengketa di
mana mereka menjadi para pihak (ayat 1).
Negara-negara dan organisasi-organisasi internasional harus
membantu negara-negara berkembang dalam mendirikan
organisasi atau pengaturan pengelolaan perikanan sub-regional
atau regional baru, atau dalam memperkuat organisasi-organi-
sasi atau pengaturan-pengaturan yang telah ada, untuk konser-
vasi dan pengelolaan stok SFS dan HMFS (ayat 1).
l. Kewajiban untuk mengatasi secara damai (Pasal 27)
Negara-negara memiliki kewajiban untuk menyelesaikan
sengketa mereka melalui negosiasi, inquiry, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, penyelesaian hukum, melalui lembaga-lembaga atau
pengaturan-pengaturan regional, atau cara-cara damai lainnya
menurut pilihan mereka sendiri.
m. Prosedur penyelesaian sengketa (Pasal 30)
Ketentuan yang berkaitan dengan prosedur penyelesaian
sengketa sebagaimana diatur dalam Bab XV dari UNCLOS
secara otomotis berlaku juga untuk segala persengketaan yang
terjadi antara Negara peserta dari perjanjian ini.
4. CCRF 1995
UN Compliance Agreement 1993 dan UN Fish Stock Agree-
ment 1995 merupakan dua perjanjian yang mengatur tentang
pengelolaan perikanan yang sifatnya mengikat, yang isinya
melingkupi persyaratan yang berhubungan dengan peraturan,
penegakan hukum, dan tanggung jawab negara bendera (flag State)
(Schmidt, 2005). Namun demikian, ternyata masih banyak
negara-negara pantai dan negara-negara yang memiliki ar-
mada perikanan jarak jauh yang belum mengikatkan diri
pada kedua perjanjian internasional tersebut di atas, termasuk
Indonesia. Dengan demikian, kegiatan pengelolaan perikanan
41
yang bertanggung jawab dan berkelanjutan masih menyisakan
permasalahan karena terjadinya kemandegan pelaksanaan
hukum.
Dalam rangka mengatasi kemandegan pelaksanaan kedua
perjanjian internasional tersebut, pada penghujung tahun 1995
FAO telah melahirkan suatu pedoman yang dituangkan ke dalam
dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)
1995 sebagai upaya terobosan terhadap sulitnya mengajak
negara-negara pantai dan negara-negara yang memiliki ar-
mada perikanan jarak jauh untuk mengikatkan diri pada
kedua perjanjian internasional tersebut di atas. Code of Con-
duct for Responsible Fisheries 1995 yang dikeluarkan oleh
Food and Agriculture Organization (FAO) ditetapkan dalam
suatu konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober
1995. CCRF 1995 merupakan buku petunjuk yang sangat
berguna bagi seluruh masyarakat perikanan internasional,
sehingga setiap negara dituntut untuk menyusun kebijakan
perikanan yang berkelanjutan (sustainable fisheries).
Pada Pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa CCRF 1995 dapat
menjadi pedoman bagi stakeholders perikanan dalam menetapkan
kebijakan atau tindakan-tindakan yang berkaitan dengan eksploitasi,
konservasi, pengolahan hasil dan pemasaran sumber daya perikanan.
Hal ini dikarenakan, CCRF 1995 disusun dengan merujuk berbagai
ketentuan-ketentuan internasional yang relevan, seperti UNCLOS
1982, Agenda 21 dan Prinsip-prinsip Deklarasi Rio 1992, serta
kebijakan internasional lainnya.
Secara garis besarnya, CCRF 1995 mengatur enam tema besar
permasalahan perikanan, yaitu pengelolaan perikanan (fisheries
management), operasi perikanan (fisheries operation), pembangunan
budidaya perikanan (aquaculture development), integrasi
pengelolaan perikanan hingga wilayah pesisir (integration of fish-
eries into coastal area management), praktik-praktik perdagangan
dan pasca-panen (post-harvesting practices and trade), dan
penelitian perikanan (fisheries research).
42
Prinsip-prinsip umum CCRF yang harus dijadikan pedoman
dalam setiap aktivitas perikanan sebagaimana yang tertuang pada
Pasal 6, yaitu:
1. Negara dan para pengguna (users) sumber daya hayati harus
melestarikan ekosistem perairan;
2. Pengelolaan perikanan harus mendorong terciptanya pelestarian
kualitas, keragaman, dan kuantitas persediaan sumber daya
yang memadai bagi generasi sekarang dan masa depan, dalam
konteks jaminan ketersediaan pangan, pengentasan kemiskinan,
dan pembangunan berkelanjutan;
3. Negara harus mencegah terjadinya kegiatan penangkapan ikan
yang berlebih (overfishing) dan melampaui kapasitas perikanan;
4. Keputusan tentang pengelolaan dan konservasi sumber daya
perikanan harus didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terbaik
(the best scientific evidence);
5. Negara dan organisasi yang melakukan pengelolaan perikanan,
baik dalam tingkatan regional maupun sub-regional harus
melakukan pendekatan kehati-hatian (precautionary aprroach);
6. Seleksi terhadap penggunaan alat tangkap harus lebih dibangun
dan dilaksanakan;
7. Pemanenan, penanganan, pengolahan dan distribusi ikan dan
produk perikanan harus dilakukan dengan cara-cara tertentu,
sehingga akan menjaga nilai gizi, kualitas dan keamanan
produknya, mengurangi sampah serta meminimalkan dampak
negatif terhadap lingkungan;
8. Semua habitat ikan di laut dan ekosistem air tawar, seperti
hutan basah, hutan mangrove, terumbu karang, danau, rawa,
daerah pemijahan serta daerah pembesaran harus dilindungi
dan direhabilitasi;
9. Negara harus menjamin agar kepentingan sumber daya
perikanan, termasuk kebutuhan akan kelestarian sumber daya,
diperhitungkan dalam berbagai bentuk penggunaan wilayah
43
pesisir dan mengintegrasikannya dalam pengelolaan, perenca-
naan dan pembangunan;
10. Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada
hukum internasional, negara harus menjamin pemenuhan dan
penegakan tindakan pengelolaan dan konservasi serta
mekanisme yang efektif untuk memantau dan mengontrol
aktivitas kapal ikan, termasuk ke dalamnya adalah kerangka
kerja organisasi pengelolaan dan pelestarian perikanan baik
tingkat regional maupun sub-regional;
11. Negara yang mengizinkan kapal-kapal ikan beroperasi diwila-
yahnya harus melakukan pengawasan yang efektif terhadap
aktivitas kapal-kapal tersebut guna menjamin pelaksanaan
CCRF 1995;
12. Sesuai kemampuannya masing-masing dan berdasarkan pada
hukum internasional, perjanjian internasional atau kesepakatan
lainnya, negara harus melakukan Kerja sama di tingkat
sub-regional, regional, dan global dalam organisasi pengelolaan
perikanan untuk mendorong pengelolaan dan konservasi,
menjamin perikanan yang bertanggung jawab, dan menjamin
perlindungan serta pelestarian yang efektif sumber daya hayati
akuatik;
13. Sejauh dimungkinkan oleh hukum nasionalnya, negara harus
menjamin proses pengambilan keputusan yang transparan dan
tepat waktu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
mendesak. Berdasarkan pada ketepatan prosedur, negara harus
memfasilitasi konsultasi dan partisipasi yang efektif dari pihak
industri, pekerja perikanan, organisasi lingkungan dan
organisasi lainnya dalam pembuatan keputusan tentang
pembangunan hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan
pengelolaan perikanan, pembangunan, bantuan dan pinjaman
internasional;
14. Perdagangan internasional pada ikan dan produk perikanan
harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak-hak dan
44
kewajiban-kewajiban yang tercantum pada perjanjian WTOdan perjanjian internasional lainnya yang relevan. Negaraharus menjamin agar kebijakan, program-program serta praktik-parktik mereka yang berkaitan dengan perdagangan ikan dan
produk perikanan tidak menimbulkan hambatan dalamperdagangan, degradasi lingkungan atau dampak sosial yangnegatif, termasuk masalah gizi;
15. Negara harus bekerja sama untuk mencegah terjadinya sengketa.Semua sengketa yang berkaitan dengan praktik dan kegiatanperikanan harus diselesaikan tepat waktu, damai dan Kerjasama, sesuai dengan perjanjian internasional atau kesepakatanantar para pihak. Kalau pun penyelesaian sengketa ditunda,negara yang bertikai harus membuat kesepakatan sementara
yang bersifat praktis, tanpa harus mengabaikan upayapelestarian sengketa secara final;
16. Pengakuan terhadap arti penting pekerja perikanan dan nelayandalam memahami pengelolaan dan pelestarian sumber dayaperikanan, negara harus meningkatkan kesadaran perikananyang bertanggung jawab melalui pelatihan dan pendidikan.Negara harus menjamin pekerja perikanan dan nelayan terlibatdalam penyusunan kebijakan dan proses pelaksanaannya, jugamemfasilitasi pelaksanaan CCRF 1995;
17. Negara harus menjamin fasilitas dan perlengkapan perikananserta semua aktivitas perikanan yang aman, sehat, terbuka,
kondisi kehidupan dan pekerjaan yang adil, serta memenuhistandar internasional yang telah ditetapkan oleh organisasiinternasional yang relevan;
18. Dengan adanya pengakuan terhadap pentingnya sumbangannelayan kecil dalam penyediaan lapangan kerja, pendapatandan keamanan pangan, negara harus melindungi hak pekerjaperikanan dan nelayan, khususnya nelayan yang tergolongnelayan subsistem;
19. Negara harus mempertimbangkan budidaya air, termasuk
budidaya berbasis perikanan, sebagai sarana mendukung
45
diversifikasi pangan dan pendapatan. Namun demikian, negara
harus menjamin penggunaan sumber daya yang bertanggung
jawab, menjaga dampak terhadap lingkungan dan komunitas
masyarakat lokal.
Materi pokok yang berkaitan dengan kegiatan perikanan secara
khusus, tertuang dalam Pasal 7 dan Pasal 8. Pasal 7 yang mengatur
pengelolaan perikanan terbagi dalam 8 bagian, yaitu:
1. Bagian umum.
2. Tujuan pengelolaan.
3. Kerangka kerja dan prosedur pengelolaan.
4. Petunjuk pengumpulan dan pengolahan data.
5. Pendekatan yang bersifat kehati-hatian.
6. Langkah-langkah Pengelolaan.
7. Pelaksanaan
8. Lembaga pembiyaan/institusi keuangan.
Sementara itu, Pasal 8 yang mengatur operasi perikanan, terbagi
ke dalam 11 bagian, yaitu:
1. Kewajiban semua negara.
2. Kewajiban negara bendera kapal.
3. Kewajiban negara pelabuhan.
4. Operasi penangkapan ikan.
5. Selektivitas alat penangkap ikan.
6. Optimisasi energi.
7. Perlindungan lingkungan akuatik.
8. Perlindungan lingkungan atmosfer.
9. Pelabuhan dan pangkalan pendaratan ikan.
10. Penelantaran kerangka bangunan dan material lain.
11. Terumbu karang buatan dan alat bantu pengumpul ikan.
5. IPOA on IUU FISHING
Isu kelestarian sumber daya ikan yang dikaitkan dengan
Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) menjadi
perhatian dunia. Hal ini dikarenakan, dampak negatif yang diakibat-
kan oleh praktik-praktik IUU fishing dalam mewujudkan perikanan
46
yang berkelanjutan, di antaranya adalah (Xue, 2003 dan Balton,
2004):
Pertama, IUU fishing melibatkan wilayah yang luas baik
dalam konteks nasional dan internasional. Di bawah yurisdiksi
nasional oleh nelayan skala kecil dan industri, dan di laut lepas
oleh kapal-kapal perikanan jarak jauh (distant water fisheries
vessels). Pada akhirnya, praktik-praktik IUU fishing akan
mengancam upaya pengelolaan masyarakat, baik nasional maupun
internasional.
Kedua, IUU fishing seringkali menyebabkan menurunnya stok
sumber daya ikan serta hilangnya kesempatan sosial dan ekonomi.
Hal ini dikarenakan, praktik-praktik IUU fishing menyebabkan
pencatatan statistik perikanan tidak akurat, serta ketidakpastian
dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan pembuatan keputusan-
keputusan pengelolaan.
Ketiga, IUU fishing dapat merusak hubungan antara negara-
negara yang bertetangga. Hal ini dikarenakan, pelakunya cenderung
menggunakan batas-batas negara untuk menghindari pelacakan
atau tertangkap dan untuk menghindari konsekuensi hukum. Selain
itu, dampak lain yang disebabkan oleh praktik IUU fishing, yaitu
berkurangnya efektivitas pengelolaan perikanan, hilangnya
peluangnya ekonomi bagi masyarakat nelayan yang mempunyai
izin secara sah, dan berkurangnya ketahanan pangan.
Tindak lanjut dari CCRF 1995 dalam memberantas IUU fish-
ing adalah IPOA to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unre-
ported and Unregulated (IUU) Fishing, di mana negara-negara
anggota FAO dihimbau untuk menuangkan IPOA ini ke dalam
suatu National Plan of Action (NPOA). CCRF 1995 dan IPOA
IUU fishing adalah instrumen pelengkap yang berorientasi pada
pengelolaan. Kedua instrumen ini disusun untuk dipahami dan
dilaksanakan dengan patuh bersama pada peraturan-peraturan yang
relevan dalam hukum internasional. Meskipun terdapat perbedaan
pada fokus dan ruang lingkup, masing-masing instrumen memiliki
tujuan yang sama, yaitu untuk menjamin kelestarian sumber daya
47
ikan dalam jangka panjang. Dengan demikian, CCRF 1995 dan
IPOA IUU merupakan pelengkap ketentuan-ketentuan hukuminternasional yang mengatur pengelolaan perikanan (Carl-Chris-
tian Schmidt, 2005).
Cakupan IUU Fishing yang tertuang dalam IPOA IUU Fish-ing, yaitu:
1. Illegal Fishing mengacu pada kegiatan-kegiatan yang:
· Diselenggarakan oleh kapal nasional atau asing di perairan
di bawah yurisdiksi suatu negara, tanpa izin dari negaratersebut, atau pelanggaran hukum dan peraturan negara
tersebut;
· Diselenggarakan oleh kapal-kapal yang mengibarkan
bendera negaranya yang merupakan bagian dari badanpengelola perikanan yang terkait tetapi melanggar prosedur
konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi
tersebut dan dengan mana sebuah negara terikat, atauperjanjian yang terkait dari hukum internasional yang
berlaku;
· Dalam pelanggaran hukum nasional atau kewajiban
internasional, termasuk yang dilakukan oleh negara-negarayang bekerja sama dalam badan pengelola perikanan yang
terkait.
2. Unreported Fishing mengacu pada kegiatan penangkapan:
· Yang tidak dilaporkan, atau ada kesalahan pelaporan,
kepada kekuasaan setempat, dalam pelanggaran hukum
dan peraturan nasional
· Dilaksanakan di wilayah yang berpengaruh terhadap badan
pengelola perikanan terkait yang tidak dilaporkan atauada kesalahan pelaporan, dalam pelanggaran prosedur
pelaporan dari badan tersebut.
3. Unregulated Fishing mengacu pada kegiatan penangkapan:
· Dalam wilayah kerja badan pengelola perikanan terkait
yang diselenggarakan oleh kapal-kapal tanpa kebangsaan,
48
atau oleh kapal-kapal yang mengibarkan bendera negarabukan anggota badan tersebut, atau oleh badan penang-kapan, dengan cara yang tidak konsisten dengan ataumelanggar konservasi dan prosedur manajemen dari badan
tersebut; atau
· Dalam wilayah atau untuk stok ikan yang terkait di manatidak memiliki prosedur konservasi atau pengelolaan yang
dapat diterapkan dan kegiatan-kegiatan penangkapan yangdiselenggarakan dengan cara yang tidak konsisten dengantanggung jawab negara untuk konservasi sumber dayahidup perikanan di bawah hukum internasional.
Tujuan IPOA IUU Fishing adalah untuk mencegah, mengurangi,dan menghapuskan IUU Fishing dengan memberikan semua negaraprosedur-prosedur yang komprehensif, efektif dan transparan untukmengambil tindakan, termasuk melalui badan-badan pengelola
perikanan regional dan sejenisnya yang dikembangkan berdasarkanhukum internasional. Adapun prinsip-prinsip dan strategi-strategitertuang dalam IPOA IUU Fishing yang harus dipertimbangkanoleh negara-negara berkembang dalam mewujudkan CCRF, yaitu:
1. Partisipasi dan Koordinasi
Agar pelaksanaannya efektif, IPOA harus diterapkan olehsemua negara baik langsung, dalam bentuk Kerja sama dengannegara lain, atau tidak langsung melalui badan pengelolaperikanan regional terkait atau melalui FAO dan badan-badaninternasional sejenisnya. Elemen penting dalam pelaksanaan
yang sukses adalah koordinasi dan konsultasi yang tertutupdan efektif, dan saling berbagi informasi untuk mengurangiinsiden IUU Fishing, di antara negara-negara dan organisasiregional dan global yang terkait. Partisipasi penuh dari pihak-pihak terkait dalam memerangi IUU Fishing, termasuk industri,komunitas nelayan, dan badan-badan non-pemerintahan, harus
terus didorong.
2. Implementasi bertahap
Prosedur untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan
49
IUU Fishing harus berdasarkan pada tahap implementasi awal
yang mungkin dari rencana tindakan nasional, dan tindakan
regional dan global dalam hubungannya dengan IPOA.
3. Pendekatan utuh dan menyeluruh
Prosedur untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan
IUU Fishing harus memperhatikan semua faktor yang
mempengaruhi perikanan tangkap. Dalam melaksanakan
pendekatan tersebut, negara-negara harus memegang prosedur
membangun dalam tanggung jawab primer dari bendera negara
dan menggunakan semua yurisdiksi yang berlaku dalam
hubungannya dengan hukum internasional termasuk prosedur
pelabuhan negara, prosedur negara pantai, prosedur hubungan-
pasar dan prosedur untuk memastikan bahwa bangsanya tidak
memihak IUU Fishing. Negara-negara mendukung untuk
menggunakan semua prosedur ini, dan sejenisnya, dan bekerja
sama dengan tujuan untuk memastikan prosedur-prosedur
tersebut diterapkan dalam cara-cara yang terintegrasi. Rencana
tindakan ini harus memperhatikan semua akibat ekonomi,
sosial, dan lingkungan dari IUU Fishing.
4. Konservasi
Prosedur untuk mencegah, mengurangi, dan menghapuskan
IUU Fishing harus konsisten dengan konservasi dan keter-
sediaan jangka panjang dari stok ikan dan perlindungan
lingkungan.
5. Transparansi
IPOA harus diimplementasikan dalam cara-cara yang transparan
dalam hubungannya dengan Pasal 6.13 Code of Conduct.
6. Non-diskriminasi
IPOA harus dikembangkan dan diterapkan tanpa diskriminasi
dalam bentuk atau dalam fakta terhadap negara atau kapal
ikannya.
50
BAB III
REALITAS EMPIRIS PENGADILAN
PERIKANAN
A. HUKUM MATERIIL
1. Izin Untuk Mengelola Perikanan
1.1. SIUP
SIUP (Surat Izin Usaha Perikanan) meliputi bidang produksi
yaitu:
Penangkapan dan Budidaya Ikan kemudian diikuti oleh
pengangkutan dan pengolahan. Kenyataan dilapangan, ada
kegiatan yang menggabungkan pengangkutan dan pengum-
pulan ikan dari produsen (nelayan dan pembudidaya ikan)
dengan menggunakan kapal.
Kapal tersebut sekaligus sebagai tempat pengolahan, penyim-
panan dan kapal angkut.
SIUP - PENANGKAPAN dan/atau APIPM
SIUP - Penangkapan dan/atau APIPM (Alokasi Penangkapan
Ikan Penanaman Modal). Di dalam SIUP/APIPM tercantum:
Nomor SIUP-APIPM, Alokasi kapal, Fishing Ground,
Pelabuhan Pangkalan, Jenis kapal dan Alat Tangkap.
Alokasi kapal : Mencantumkan berapa kapal yang
digunakan dan apa jenis alat tang-
kapnya.
Fishing Ground : Menyebutkan wilayah pengelolaan
perikanan dan kadang-kadang diten-
tukan batas koordinat.
Pelabuhan Pangkalan: Pelabuhan perikanan atau pelabuhan
umum yang berada disekitar
51
fishing ground dan/atau berdasarkan
pertimbangan lain untuk memper-
oleh kemudahan kelancaran opera-
sional kapal, misalnya: BBM, air
tawar, suku cadang, suplai es, pasar,
dan lain-lain.
Jenis Alat Tangkap : Alat Tangkap yang diizinkan
berdasarkan, daya dukung sumber
daya perikanan yang ada.
SIUP. Diberikan kepada Perorangan atau Perusahaan Swasta
Nasional.
APIPM. Diberikan kepada Perusahaan Penanaman Modal
Nasional (PMDN) dan penanaman modal asing.
SIUP/APIPM, selain mencantumkan kapal penangkap,
dicantumkan juga kapal Angkut, sesuai dengan kebutuhan
pemohon. Di dalam SIUP/APIPM dicantumkan pula Identitas,
Alamat dan Telpon Penanggung jawab, serta jenis kegiatan,
daerah usaha dan masa berlaku SIUP/ APIPM tersebut.
Kewenangan untuk menerbitkan SIUP/APIPM adalah Dirjen
Perikanan Tangkap bagi pemilik SIUP/APIPM yang
menggunakan kapal penagkap > 30 GT serta mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing (TKA). Sedangkan SIUP yang boleh
diterbitkan di daerah adalah : Gubernur, untuk kapal < 30
GT dan tanpa menggunakan TKA, dan Bupati/ Walikota,
untuk kapal yang berukuran < 10 GT - 5 GT .
1.2. SIPI
SIPI (Surat Izin Penangkap Ikan) adalah izin yang diberikan
untuk kapal penangkap ikan.
SIPI diberikan kepada sebuah kapal penangkap berdasarkan
alokasi kapal yang tercantum dalam SIUP di mana penanggung
jawab SIUP ikut bertanggung jawab terhadap kapal yang
memperoleh SIPI tersebut.
52
Kapal yang memperoleh SIPI adalah kapal berbendera Indo-
nesia (KII) dan kapal berbendera Asing (KIA).
SIPI-KII berukuran < 30 GT tanpa TKA diterbitkan oleh
daerah Tingkat I dan II.
SIPI - KIA/KII berukuran > 30 GT dan mengunakan TKA
diterbitkan oleh Pusat.
Di dalam SIPI tercantum:
1 2 3 4 5
No./SIPI SIUP, APIPM Perusahaan Identitas kapal Jenis Alat Tangkap
- Nomor SIPI - masa berlaku SIPI
- No. SIUP/APIPM - Masa berlaku
- Nama Perusahaan - Alamat Perusahaan
- Tempat & Nomor Registrasi - Tanda selar - Nama Panggilan - Asal kapal - Tempat dan Tahun Pembuatan
- Ukuran alat utama - Alat pembantu - Alat bantu penangkapan
6 7 8 9 10
Sepesipikasi kapal No. Transmisi Catatan Tentang
SIPI
Tgl dan No.
Permohonan
Tanda terima pelunasan
SSBP
- Bobot (GT) - HP mesin induk - No. mesin - Bahan kapal - Muatan bersih
- (VMS)
- Tanggal pelunasan - Stiker bar code
53
11 12 13
Daerah Penangkapan
Fishing Ground
Pelabuhan Pangkalan Crew kapal
- Daerah WPP - Daerah terlarang - Waktu penangkapan - Lintang/ Bujur (titik batas)
- P.P. utama - P.P. alternatif
- Indonesia - Asing
- Lintang/Bujur (titik batas)
Komponen yang ada kaitannya dengan kapal penangkap ikan.
1 2 3 4
Kelengkapan utama di kapal
Dokumen dari Perla
Dokomen dari DKP
Dokumen ABK
- Perlengkapan Navigasi - Alat penolong - Alat komunikasi - Peralatan akomodasi - Kunci-2 & suku cadang - Alat-2 pemadam Kebakaran - Jangkar, tali jangkar dan tali tambat - Dapra - Secoci kerja
- SIB/ BA berlayar - Crew List - Kelaikan & Pengawakan ( KII ) - Surat kebangsaan - Surat ukur - Surat kesempurnaan untuk (KIA) - AWS (Sertifikat pemisah air dan Minyak. - Sijil (monsterol)
- SIPI asli - Stiker bar code - Bukti lunas PHP - SLO
- Seamen Book untuk I/A - Dahsus untuk ABK - A - IKTA untuk ABK-A - Ijazah Pwa untuk I/A
5 6 7
Palka Penyimpanan Unit Pembekuan Prosesing Bahan pengawet
- Penyimpanan beku/basah - Penyimpanan kering - Pompa pengatur sirkulasi air - Penyimpanan hidup - Pengatur suhu penyimpanan
- Mesin pembekuan - Mesin proses olahan - Bahan pembungkus - Alat-alat bantu pengolahan
- Garam - ES - Lainnya
1.3. SIKPI (Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan)
SIKPI adalah Izin yang diperlukan untuk kapal angkut:
SIKPI diberikan kepada kapal yang sudah teralokasi pada SIUP
dalam satu armada penangkapan bersama kapal penangkap, tapi
ada juga SIKPI diberikan kepada Perusahaan yang tidak memiliki
SIUP, tapi mengoperasikan kapal khusus untuk mengangkut ikan
dengan memiliki SIUPAL (Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan
Laut).
Di dalam SIKPI tercantum
1 2 3 4 5
No./SIPI SIUP, APIPM Perusahaan Identitas kapal Sepesipikasi kapal
- Nomor SIPI - masa berkaku SIPI
- No. SIUP/APIPM - Masa berlaku
- Nama Perusahaan - Alamat Perusahaan
- Tempat & Nomor Registrasi - Tanda selar - Nama Pangilan - Asal kapal - Tempat dan Tahun pembuatan
- Bobot (GT) - HP mesin induk - No. mesin induk - Bahan kapal - Muatan bersih
54
6 7 8 9 10
No. Transmisi
VMS
Catatan Tentang
SIKPI
Tanggal
Dan Nomor
Permohonan
Tanda terima
pelunasan SSBP
Daerah
Pengumpul
- Tanggal pelunasan - Stiker bar code
11 12 13
Pelabuhan singgah Pelabuhan
Pangkalan
Crew kapal
- Max 20 Pelabuhan - Max 7 Pelabuhan - Indonesia - Asing
Komponen yang ada kaitannya dengan kapal pengangkut ikan.
1 2 3 4
Kelengkapan utama di
kapal
Dokumen dari
Perla
Dokumen dari
DKP
Dokumen
ABK
- Perlengkapan Navigasi - Alat penolong - Alat komunikasi - Peralatan akomodasi - Kunci-2 & suku cadang - Alat-2 pemadam Kebakaran - Jangkar, tali jangkar dan tali tambat - Dapra - Secoci kerja
- SIB/ BA berlayar - Crew List - Kelaikan & Pengawakan ( KII ) - Surat kebangsaan - Surat ukur - Surat kesempurnaan untuk (KIA) - AWS (Sertifikat pemisah air dan Minyak. - Sijil , Monsterol
- SIPI asli - Stiker bar code - Bukti lunas PHP - SLO
- Seamen Book untuk ABK - I/A - Dahsuskim untuk ABK - A - IKTA untuk ABK-A - Ijazah Pwa untuk ABK - I/A
5 6 7
Palka Penyimpanan Unit Pembekuan Prosesing Bahan pengawet
- Penyimpanan beku/basah - Penyimpanan kering - Pompa pengatur sirkulasi air - Penyimpanan hidup - Pengatur suhu penyimpanan
- Mesin pembekuan - Mesin proses olahan - Bahan pembungkus - Alat-alat bantu pengolahan
- Garam - ES - Lainnya
Catatan: Kapal Angkut terbagi atas:
Mengangkut ikan dalam satuan Armada, atau dalam satu manajemen
penangkapan.
Mengangkut ikan dari fishing ground ke pelabuhan pangkalan.
Mengangkut ikan dari pelabuhan satu ke pelabuhan lain di dalam
negeri.
55
Mengangkut ikan dari pelabuhan Indonesia ke negeri tujuan ekspor.
Mengangkut ikan dari hasil pengumpulan (colecting) dari nelayan
di daerah-daerah terpencil ke tempat pemasaran atau tempat
pengolahan.
Kapal Perikanan Asing (KIA)
Kapal perikanan Asing masuk ke wilayah NKRI diperbolehkan
selama kapal tersebut melalui jalur pelayaran yang sudah disepakati
secara Internasional. Hal ini berlaku bagi kapal perikanan yang
tidak memiliki izin.
Untuk kapal penangkap ikan Asing selama berlayar di dalam
wilayah NKRI, alat tangkap ikannya harus tersimpan rapi di dalam
palkah (tidak dalam keadaan stand by).
Kapal perikanan asing, hanya bisa menangkap ikan di perairan
ZEE-I atas izin Pemerintah RI, dalam rangka memenuhi kesepakatan
dalam UNCLOS.
SIPI d/a. SIKPI yang diberikan kepada KIA, harus di bawah
naungan SIUP yang telah dimiliki pemilik kapal.
Dokumen yang harus dimiliki KIA adalah
Penangkapan
Pengangkutan
Dokumen dari
Perhubungan Laut
Dokumen dari
DKP
Dokumen
ABK
1. Monterol 2. Crew list 3. Imigrasian clearance 4. Custom clearance 5. Grostonage Certificate 6. Sea Wordnes Certificate 7. Nationality Certificate 8. Directing Certificate 9. Port Health Certificate 10. Port Clearance (SIB) 11. Sailing Declaration (BA) 12. O W S (Oil Water Saparate)
1. SIPI/SIKPI 2. Bukti bayar PHP 3. Stiker bar code 4. S L O
1. Seamen book 2. Officer Certificate 3. Health Certificate 4. Paspor 5. Dahsuskim
56
Syarat untuk kapal KIA yang telah memiliki SIPI adalah:
o Hanya boleh beroperasi pada ZEE-I tertentu dengan alattangkap tertentu yang tertera di dalam SIPI.
o Masuk ke pelabuhan hanya dibolehkan pada pelabuhan tertentusesuai dengan yang tertera di dalam SIPI. (tidak disebut kecualiEmergensi).
o Di luar Fishing Ground yang tertera dalam SIPI, alat tangkapharus tersimpan rapi di dalam palka.
o Dilarang membawa alat tangkap lain, selain yang diizinkandi dalam SIPI.
o Kapal Angkut dalam satuan Armada atau dalam satuanmanajemen Penangkap hanya mengangkut ikan dari Fishing
Ground ke pelabuhan pangkalan, atau dari pelabuhan pangkalanke negara tujuan ekspor.
SIUP BUDIDAYA IKAN
Kegiatan Budidaya ikan terdiri dari
o Budidaya air tawar, di danau, sungai, kolam dan genanganair lainnya.
o Budidaya air payau, di tambak atau laguna didekat Laut.
o Budidaya laut, di teluk, selat, atau di perairan pantai terbukadan daerah-daerah kosong yang aman dari gelombang danbadai.
Perizinan Budidaya, diterbitkan oleh DKP untuk kegiatan teknisBudidaya dan untuk lokasi Budidaya dikeluarkan oleh PemerintahDaerah, sesuai dengan mekanisme Otonomi Daerah.
SIUP PENGOLAHAN
SIUP - Pengolahan, adalah izin Usaha Perikanan di bidangkegiatan Pengolahan Ikan. Dengan izin ini Pengusaha sudah bolehmelakukan kegiatan pelaksanaan operasional unit pengolahan,pengadaan bahan baku, bahan penolong, bahan pembungkus, gudangpenyimpanan, sarana distribusi dan kolekting (kapal dan kendaraan
darat).
57
2. Pengrusakan Lingkungan
Untuk mempertahankan hidup, manusia terkadang lupa bahwa
apa yang dilakukan adalah diluar kewajaran. Apa lagi kalau
dikerjakan secara serakah, dapat merugikan orang lain dan atau
makhluk lain. Makhluk yang namanya “ ikan “ menurut pengertian
UU No. 31/2004 pasal 1 butir (4) sangat banyak bermanfaat untuk
kehidupan manusia, antara lain sebagai mata pencaharian sehari-
hari setiap orang, pendapatan negara/daerah, sumber makanan
berprotein tinggi, sarana hiburan, bahan baku obat-obatan, bahan
baku kosmetik dan sebagainya. Ikan yang hidup di air, baik di
laut maupun di air payau dan air tawar semuanya mempunyai
nilai bagi kehidupan manusia dan keseimbangan lingkungan.
Menangkap dan membudidayakan ikan di mana saja adalah
hak setiap warga Negara, tetapi hendaknya diatur dengan tatacara
yang baik dalam hukum positif. Pada umumnya prinsip utama
aturan tersebut adalah bagaimana memanfaatkan dan bagaimana
menjaga keseimbangan dan kesinambungan sumber daya dan
lingkungan.
Berdasarkan pengalaman di lapangan bahwa cara-cara tidak
wajar dalam upaya menangkap dan membudidayakan ikan di/dari
alam adalah:
a. Bom ikan
Menggunakan Bom terhadap gerombolan ikan mudah
dilaksanakan. Ikan yang menjadi target mudah diambil karena
sudah mati atau hampir mati. Tapi dampaknya ikan yang
tidak menjadi target, termasuk benih dan makanan alami serta
tempat berlindung ikan ikut mati dan rusak. Sehingga sistem
rantai makanan terputus dan kehidupan di sekitar tempat Bom
menjadi rusak dan merana. Untuk memulihkannya kembali
memerlukan waktu lama dan biaya besar.
b. Racun/tuba ikan
Tuba ikan ada bermacam-macam, tetapi dapat dibagi dalam
dua kelompok besar yaitu:
58
• Makanan yang dicampur racun, baik dari alam atau dari
bahan kimia.
• Ikan yang menjadi target dapat diambil dengan mudah,
tapi yang bukan target dan biota perairan lainnya ikut
mati.
• Racun yang disemprotkan kepada sasaran memudahkan
pelaku untuk memperolehnya. Racun jenis ini mempenga-
ruhi kadar oksigen dilingkungan sekitar, di samping
mempengaruhi fisik ikan sehingga mati atau hampir mati
dan mudah untuk diambil. Dampak dari bius/racun ini
dapat meluas mengikuti arus laut, menyebarkan racun
kemana-mana.
c. Budidaya ikan
Membudidayakan ikan yang menggunakan bahan makan
dan obat perangsang untuk mempercepat pertumbuhan ikan
dan anti penyakit ikan yang dimasukan ke dalam air, dengan
kadar yang tidak tepat dapat membahayakan ikan yang tidak
menjadi target Budidaya serta lingkungan perairan.
Sebagai contoh penambahan pakan buatan yang diramu
dengan menambahkan obat untuk mempercepat pertumbuhan
atau obat untuk menanggulangi jenis penyakit tertentu yang
tidak direkomendasikan. Dampaknya ikan yang menjadi tar-
get bisa cepat besar dan sehat yang bukan target akan mati
sehingga dapat memutuskan rantai makanan secara alami dan
lingkungan menjadi rusak.
d. Alat tangkap yang merusak
Sebenarnya semua alat tangkap ikan yang aktif bila salah
dipergunakan dapat berdampak negatif terhadap lingkungan,
seperti trawl, purse seine, payang dan sebagainya. Alat tangkap
aktif adalah alat yang memaksa ikan supaya tertangkap, bukan
menipu ikan agar tertangkap. Alat tangkap aktif seperti trawl
akan merusak lingkungan apabila dioperasikan pada daerah
59
yang berkarang dan mata jaring yang digunakan terlalu kecil,
sehingga anak-anak ikan yang bukan menjadi target ikut
terambil dan lingkungan menjadi rusak.
Pengrusakan terumbu karang baik yang hidup atau yang
mati sudah otomatis tidak akan terjadi selama yang
mengoperasikan alat tersebut sehat pikiran dan menyayangi
hartanya (alat). Sebab kalau dioperasikan didaerah karang
alatnya akan rusak dan si pemilik akan rugi, sedangkan untuk
membatasi mata jaring sudah diatur oleh aturan yang berlaku.
e. Penyetruman
Penangkapan ikan dengan cara penyetruman di Indone-
sia hanya bersekala kecil (Perorangan) dan efek pengrusakannya
pun terbatas, selama Power yang dipakai hanya berasal dari
batrey (Accu). Akan tetapi akan berdampak buruk kalau
menggunakan strum langsung dari sumber listrik (mesin).
Akibatnya yang bersangkutan bisa fatal dan lingkungan juga
akan ikut rusak. Di samping penangkapan dan pembudidayaan
ikan dengan cara yang membahayakan di atas, ada juga merusak
lingkungan secara langsung atau tidak langsung baik disadari
maupun tidak disadari sebagai berikut :
f. Pengambilan terumbu karang dari laut
Terumbu karang merupakan istana bagi ikan-ikan karang
terutama ikan hias laut. Dengan diambilnya terumbu karang,
rumah dan istana ikan rusak, keseimbangan alam berubah,
rantai makanan putus dan lingkungan rusak. Target pengambilan
terumbu karang adalah :
· Dijual untuk hiasan aquarium.
· Sebagai bahan baku kapur sirih dan bahan bangunan.
· Sebagai cat tembok.
· Pondasi bangunan, jalan dan sebagainya.
g. Pengambilan hutan bakau
a) Manfaat langsung kayu bakau adalah:
60
• Bahan bangunan rumah, jembatan desa, tanggul dan
sebagainya.
• Kulit bakau bisa menjadi bahan pengawet tekstil
atau jaring dan bahan pewarna tekstil.
• Arang kayu bakau bisa jadi bahan baku karbon aktif
dan sebagainya.
b) Dampak lingkungan dari rusaknya hutan bakau adalah:
• Tidak ada lagi akar bakau di tepi pantai yang
merupakan tempat berlindung ikan kecil dari sergapan
predator (rumah dan benteng pertahanan).
• Tidak ada Tempat pemijahan jenis-jenis ikan komersial
tertentu seperti udang, tiram dan sebagainya. (rumah
sakit dan TK) bagi ikan.
• Rusaknya akar bakau sebagai benteng pencegahan
abrasi laut.
• Rimbunan hutan bakau merupakan istana dan hotel
bagi burung-burung laut untuk berpacaran, bertelur,
beristirahat dan sebagainya.
h. Penggundulan hutan
Penggundulan hutan yang berpengaruh langsung ke laut,
danau dan sungai banyak terjadi di beberapa daerah. Penggun-
dulan hutan yang berpengaruh ke lingkungan perairan bisa
terjadi akibat pembukaan lahan untuk pemukiman, perkebunan,
kegiatan budidaya ikan air payau, atau proyek-proyek lainnya.
Dengan adanya penggundulan hutan yang tidak terkendali di
dekat perairan (laut, danau, sungai dan sebagainya) akan
berdampak pada kerusakan lingkungan sebagai berikut:
a) Banjir pada saat musim hujan yang dapat memporakporan-
dakan lingkungan sekitar dapat merusak pemukiman,
kebun, sawah dan ternak.
b) Banjir membawa limbah dan lumpur yang mengandung
polutan masuk ke air akan menutup terumbu karang, dan
61
rumah ikan sehingga rusak, dan lumpur yang terbawa
racun yang membahayakan ikan, makanan ikan dan jasad
renik lainnya.
c) Akibatnya, rantai makanan terputus dan ekosistem
lingkungan rusak.
B. HUKUM FORMIL
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945,
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dan
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat), sementara itu
pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusional tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan tak terbatas). Dari penegasan tersebut, dapat
diartikan bahwa dalam negara Republik Indonesia yang berasaskan
Pancasila, hukum harus dapat menampilkan wibawanya sebagai sarana
untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan serta membangun
seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan. Oleh karena itu, hukum
di Indonesia ditempatkan pada posisi utama, karena pembangunan
terhadap bangsa dan negara harus dilaksanakan berlandaskan dan sesuai
dengan falsafah, nilai, asas dan ketentuan nasional. Segenap segi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat ditentukan
oleh terpeliharanya stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, yang
diharapkan bukan diciptakan melalui penggunaan kekuasaan belaka,
akan tetapi melalui tegaknya hukum.2
Hukum merupakan wadah dan isi dari komponen bangsa, di mana
kekuasaan atas kedaulatannya menjadi dasar bagi kehidupan bangsa
dan negara Republik Indonesia. Oleh karena itu dalam penjelasan
Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa Negara Republik In-
donesia adalah negara yang berdasar atas hukum, eine Rechtstaat, a
State based on law, a State governed by Law.
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar 1945 di atas, memiliki kedaulatan dan yurisdiksi
2 Yusril Ihza Mahendra, Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Majalah Ketahanan Nasional, Edisi
No. 73, 2000.
62
atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka
menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik
untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus
meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang
sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap
memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya
serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.3
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah Negara yang
sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan di mana terdapat
kandungan sumber daya ikan yang sangat tinggi kesuburannya dan
telah dimanfaatkan sejak dulu oleh rakyat Indonesia secara turun-
temurun. Sumber daya ikan yang dipadukan dengan nelayan serta
pembudidaya ikan yang sangat besar jumlahnya, merupakan modal
dasar bagi pembangunan nasional. Hal ini sangat penting artinya dalam
mencapai tujuan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan
Nusantara, maka kegiatan perikanan harus mampu ikut berperan
mewujudkan kekuatan ekonomi sebagai upaya meningkatkan ketahanan
nasional.
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah
bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya
ikan.4
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam
pembangunan perekonomian nasional terutama dalam usaha
meningkatkan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkat-
an taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudidaya
ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan
tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber
daya ikan.5
3 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.4 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.5 Ibid.
63
Sumber daya ikan memang memiliki daya pulih kembali (renew-
able), namun hal itu tidak berarti tak terbatas. Oleh karena itu apabila
pemanfaatannya dilakukan bertentangan dengan kaidah-kaidah penge-
lolaan sumber daya ikan, seperti pemanfaatan melebihi potensi yang
tersedia, atau penggunaan alat yang merusak sumber daya ikan atau
lingkungan, tentu akan berakibat pada kepunahan.
Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, saat ini bidang
perikanan dan kelautan merupakan salah satu sumber devisa negara,
namun dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan yang justru
sangat merugikan negara. Permasalahan yang sering timbul adalah
kegiatan penangkapan ikan secara tidak sah (illegal fishing).
Penangkapan ikan secara tidak sah tersebut dapat mempengaruhi
perolehan hasil tangkapan armada kapal ikan Indonesia dan
perekonomian bangsa. Di sisi lain, banyak tindak pidana ringan atau
berat yang dilakukan oleh pengusaha maupun nelayan Indonesia sendiri.
Kondisi tersebut menuntut perlu adanya pengembangan cara-cara sebagai
upaya mengurangi tingkat pelanggaran khususnya pada pelaksanaan
di lapangan dengan melibatkan partisipasi aktif aparat penegak hukum,
pengusaha perikanan dan nelayan itu sendiri.
Tindak pidana di bidang perikanan yang paling menonjol saat ini
adalah penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal ikan asing. Sepanjang
tahun 1998-1999 diperkirakan kerugian mencapai lebih kurang 4 s.d
5 milliar dolar AS, di mana hasilnya hanya dinikmati oleh sebagian
kecil dari pengusaha perikanan laut terutama nelayan mekanis, sedang
nelayan tradisionil masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Adapun jenis-jenis pelanggarannya sebagai berikut:6
1. Pelanggaran terhadap peraturan penangkapan ikan.
· Pelanggaran karena tidak memiliki izin sama sekali dari
pemerintah.
6 Letkol Laut (P) Aan Kumia, S-, Konsepsi TNI AL Dalam Penegakan Hukum Di Laut Guna Mewujudkan
Pemulihan Ekonomi, Majalah Cakrawala TNI-AL, 2003-07-09 10:43:52.
64
· Pelanggaran terhadap aturan sesuai izin yang telah
diberikan oleh pemerintah.
· Pelanggaran melakukan transfer di tengah laut.
· Pelanggaran ketentuan ABK asing.
2. Pelanggaran terhadap kelestarian lingkungan laut, misalnya
perusakan terhadap karang di laut dan pembuangan sisa bahan
bakar sembarangan. Akibatnya terumbu karang di Indonesia
yang berada dalam kondisi baik tinggal sekitar 30%.
Masalah mekanisme perizinan, pengawasan dan penyelidikan
menjadi salah satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum di laut.
Persoalan perizinan sampai saat ini masih menimbulkan in efisiensi,
hal tersebut terjadi karena masih banyak mata rantai yang harus dilalui
yakni mencapai 22 izin prosedur. Pengawasan merupakan kegiatan
dalam mengawasi kegiatan penangkapan ikan sesuai peraturan dari
pengelolaan sumber daya alam di laut khususnya perikanan. Dari
hasil pengawasan tersebut dapat mengarah kepada suatu penyidikan.
Dengan kegiatan penyidikan dapat diketahui setiap kegiatan kapal-
kapal perikanan, sehingga dapat diketahui telah terjadi atau tidaknya
sebuah pelanggaran. Tetapi dalam pelaksanaan di lapangan ternyata
timbul masalah antara lain belum ada Juklak (Petunjuk Pelaksanaan)
dan prosedur standar dari instansi yang berwenang, yang dapat dijadikan
pegangan oleh para pelaku usaha perikanan.
Bagi TNI AL ada beberapa faktor yang mempengaruhi belum
optimalnya pelaksanaan penegakan hukum di laut:7
1. Eksternal
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi belum dapat
dijangkau oleh SDM.
Polemik kewenangan antara instansi TNI AL, PPNS Perikanan
atau POLRI dalam menangani penegakan hukum di Laut.
7 ibid.
65
2. Internal
a. Keterbatasan kekuatan dan kemampuan operasional unsur-
unsur TNI AL.
b. Perkembangan kondisi ekonomi yang belum pulih mempe-
ngaruhi anggaran pemeliharaan dan kesiapan operasional.
c. Kualitas dan kuantitas personel yang belum mencukupi dalam
rangka pemekaran organisasi TNI AL yang baru.
Sedangkan secara umum beberapa kendala yang menjadi hambatan
dalam upaya penegakan hukum di laut antara lain adalah:
a. Birokrasi sistem perizinan yang terlalu panjang dan sulit,
memicu terjadinya pelanggaran di kalangan pengusaha.
b. Belum adanya kesamaan gerak langkah di antara aparat yang
berwenang dalam penegakan hukum di laut.
c. Keterbatasan sarana dan prasarana aparat penegak hukum di
laut.
d. Masih rendahnya pengetahuan dan kemampuan SDM di bidang
perikanan.
Terancamnya kelestarian sumber daya ikan dapat juga disebabkan
oleh kegiatan-kegiatan lain seperti pelayaran, pertambangan, penempatan
kabel laut, pembuangan sampah industri, penebangan hutan bakau
dan bahkan juga peristiwa alam. Hal tersebut secara potensial dapat
menimbulkan pencemaran dan kerusakan pada lingkungan, sehingga
pembinaan terhadap kelestarian sumber daya ikan merupakan masalah
yang sangat penting dan harus dilaksanakan secara terpadu dan terarah.
Dalam hubungan inilah maka perlu diambil langkah-langkah untuk
mengatur segi-segi kelestarian serta pengawasannya.
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan
yang optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas
perikanan dan peran serta masyarakat dalam pengawasan secara berdaya
guna dan berhasil guna. Dalam rangka menunjang pembangunan
perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan
perikanan, pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan sangat
66
penting dan strategis, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan
secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum
merupakan kondisi yang mutlak diperlukan.
Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang dijadikan sebagai
isu utama dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1985, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 lebih memberikan
kejelasan dan kepastian terhadap masalah penegakan hukum atas tindak
pidana di bidang perikanan, yang mencakup proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan pada pengadilan. Dengan demikian perlu
diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum,
dan hakim dalam menangani kasus tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, aparat penegak hukum
melaksanakan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1991 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, dan juga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang memuat
hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).
Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang
terjadi selama ini, mengalami berbagai hambatan, sehingga diperlukan
suatu metode penegakan hukum yang bersifat spesifik menyangkut
hukum materil dan hukum formil. Untuk menjamin kepastian hukum,
baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan
di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas yang bersifat
lebih cepat prosesnya.8
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan disebutkan bahwa pengawasan perikanan antara
lain mencakup hal-hal sebagai berikut: pengawas penangkapan,
pengawas perbenihan, pengawas budi daya, pengawas hama dan penyakit
ikan, dan pengawas mutu. Pengawasan perikanan tersebut dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan dan non penyidik
pegawai negeri sipil perikanan. Non penyidik pegawai negeri sipil
8 Lihat Penjelasan Undarg-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
67
perikanan adalah pegawai negeri sipil lainnya di bidang perikanan
yang bukan sebagai penyidik. Masyarakat pun harus diikutsertakan
dalam membantu pengawasan perikanan akan tetapi pemerintah tetap
yang berkewajiban mengadakan sarana dan prasarana dalam melakukan
kegiatan pengawasan perikanan tersebut.
Maraknya terjadi tindak pidana pencurian ikan (ilegal fishing)
saat ini menuntut masalah penegakan hukum menjadi signifikan untuk
diperhatikan, termasuk di dalamnya IIlegal Unreported and Unregu-
lated (IUU) Fishing. Setiap tahun Indonesia mengalami kerugian Rp
1-4 miliar dollar AS akibat kegiatan pencurian ikan. Selain kerugian
finansial, kerugian terbesar justru dialami oleh sumber daya perikanan
itu sendiri.
Apabila diakumulasikan keseluruhan hasil tangkapan yang tergolong
dalam IUU Fishing, terlihat jelas bahwa kerugian yang dialami Indo-
nesia sangat signifikan. Berdasarkan hasil penelitian global diperkirakan
IUU Fishing mencapai 30-40% dari hasil tangkapan total. Dalam definisi
kegiatan ilegal pencurian ikan dimasukkan pula kategori hasil tangkapan
yang tidak dilaporkan (unreported), termasuk di dalamnya hasil
tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak
diatur dalam sistem peraturan dan perundang-undangan.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), TNI Angkatan Laut,
POLRI, serta Kejaksaan dalam menyikapi masalah ini sepakat untuk
membersihkan semua kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) di perairan
Indonesia. Sebagai upaya untuk mewujudkan kesepakatan tersebut,
salah satu hal yang sangat penting dilakukan adalah menangkap pelaku/
aktor yang lebih dikenal dengan sebutan cukong besar yang bermain
selama ini, di mana mereka bertindak tak ubahnya seperti cukong
perompakan liar. Hal ini dapat dibuktikan karena selama ini setiap
penangkapan terhadap kapal-kapat pencuri ikan tidak pernah menyentuh
pengusaha nakal yang menjadi aktor utama perbuatan tercela tersebut.
DKP selama ini telah melakukan upaya-upaya pemberantasan tindak
pidana bidang perikanan, akan tetapi kalah ekspose dengan gebrakan
perompakan liar. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan DKP adalah
dengan mempercepat proses hukum terhadap kasus-kasus terkait
68
pencurian ikan yang penanganannya selama ini dinilai sangat lambat.
Selain itu, juga digelar “Operasi Mandiri” yang dilakukan oleh DKP
dengan tujuan menangkap kapal-kapal asing yang melakukan tindakan
pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia. Operasi ini melibatkan
TNI AL dan POLRI. Dengan disahkannya Undang-Undang Perikanan
No. 31 Tahun 2004, membuat kinerja aparat penegak hukum semakin
efektif dan efisien dalam membasmi tindakan pencurian ikan, karena
dalam undang-undang tersebut diatur aparat penyidik tindak pidana di
bidang perikanan yang berwenang melakukan proses hukum. Aparat
yang berwenang dimaksud adalah PPNS Perikanan, Perwira TNI AL
dan Pejabat POLRI. Untuk menangani kasus-kasus peradilannya, DKP
saat ini juga sedang memfokuskan diri pada pembentukan pengadilan
perikanan, di mana perangkatnya adalah mereka yang menguasai ilmu
kelautan dan perikanan. Saat ini dalam proses pembentukan lima
pengadilan perikanan yang masing-masing berada di Jakarta Utara,
Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.9
Berkaitan dengan masalah penyidikan sebagai bagian dari upaya
penegakan hukum di bidang pengawasan sumber daya perikanan, dalam
Pasal 73 Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 disebutkan bahwa
“Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.” Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
penyidik tersebut melakukan koordinasi dalam suatu forum koordinasi
yang dibentuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, kewenangan setara sebagai
penyidik yang diberikan kepada tiga instansi tersebut di atas dapat
menimbulkan konflik yang nantinya akan mengganggu kelancaran
penegakan hukum di bidang perikanan. Konflik yang terjadi disebabkan
oleh berbagai hal antara lain perbedaan kepentingan, kurangnya
koordinasi di lapangan dan lemahnya pemahaman terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan.
9 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
69
Efektifnya pencegahan dan penyidikan tindak kejahatan sangat
tergantung pada tingkat dan kualitas Kerja sama di antara badan penegak
hukum dengan masyarakat yang dilayani, mengingat pada tanggung
jawab privat dengan tanggung jawab publik yang sama besarnya.
Kebijakan penegakan hukum di laut diarahkan pada usaha menekan
serendah mungkin semua bentuk pelanggaran yang mungkin dilakukan.
Dengan rendahnya tingkat pelanggaran dapat dijadikan ukuran atau
barometer bahwa peraturan dan ketentuan yang berlaku telah dipatuhi
dan ditaati dengan baik. Secara langsung hal tersebut menunjukkan
bahwa kualitas sumber daya manusia atau masyarakat nelayan terhadap
hukum dapat dibanggakan dan tentu saja membawa pengaruh yang
baik terhadap aspek ekonomi nasional dengan meningkatnya penerimaan
negara melalui nilai ekspor yang tinggi. Adapun tujuan penegakan
hukum di laut adalah mengurangi dan menghilangkan tingkat kerugian
negara, mendorong pengusaha, pemerintah dan aparat penegak hukum
untuk lebih meningkatkan fungsi pengawasan potensi sumber daya
ikan di laut.
Sementara itu, sasaran penegakan hukum di laut lebih difokuskan
pada usaha pencapaian beberapa kondisi yang ingin dicapai, antara
lain:
1. Terciptanya kerja sama yang baik dalam menangani tindak
pelanggaran hukum di laut antara sesama aparat penegak hukum
baik yang berada di instansi/institusi pusat maupun daerah.
2. Tercapainya kerja sama dan kemitraan dalam pengelolaan sumber
daya alam untuk kepentingan pembangunan nasional.
3. Terpenuhinya jumlah personel penyidik PPNS Perikanan, Perwira
Kepolisian dan TNI AL yang profesional dan keberadaannya tersebar
secara merata di seluruh wilayah perairan Indonesia.
4. Terpenuhinya dukungan unsur operasional di daerah guna
pelaksanaan kegiatan pengamanan terhadap SDA.
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Tanggal 6 Oktober 2004 merupakan momentum penting dalam
sejarah perikanan Indonesia, yakni Undang-Undang Perikanan
70
yang baru telah disahkan. UU Perikanan baru ini merupakan koreksi
terhadap UU Perikanan Nomor 9 Tahun 1985 yang dianggap
tidak cocok lagi dengan perkembangan lingkungan strategis baru,
yaitu globalisasi dan otonomi daerah. Hal ini mengingat UU Nomor
9 Tahun 1985 tersebut disusun pada saat spirit sentralisme dan
modernisme masih dominan, dengan implikasinya negara
(pemerintah pusat) mendominasi sebagian besar urusan perikanan,
khususnya pengelolaan sumber daya perikanan (fisheries man-
agement).
Sentralisme tersebut telah menghasilkan kegagalan pembangun-
an perikanan dan kelautan di masa lalu, seperti banyaknya produk
regulasi yang sulit diterapkan. Sebut saja, penanganan pengeboman
ikan, pembiusan ikan, dan praktik destructive fishing lainnya yang
tak tersentuh.
Hal ini tidak lain karena partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sumber daya perikanan sangat rendah. Begitu pula
muatan prinsip FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries
(CCRF) belum terakomodasi dalam UU Nomor 9 Tahun 1985.
CCRF ini memuat prinsip dan standar dalam menjamin terciptanya
kegiatan perikanan berkelanjutan, baik dalam penangkapan ikan,
budidaya perikanan, pascapanen dan pemasaran, maupun kaitan
antara perikanan dan pengelolaan wilayah pesisir.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi
sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan
perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan
perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berlangsung
secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum
merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan.
Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang dijadikan
sebagai isu utama dalam penerbitan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. Berbeda dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1985, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang
71
mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai
kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani
tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping
mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
juga dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 ini dimuat
hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis).
Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.
Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat
spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil.
Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan,
penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan,
ditentukan jangka waktu secara tegas yang bersifat lebih cepat
prosesnya.10
Undang-Undang Perikanan No. 31 Tahun 2004 yang baru,
membuat kinerja untuk membasmi tindakan pencurian ikan akan
semakin efektif dan efisien karena dalam undang-undang tersebut
diatur aparat yang menjadi penyidik tindak pidana di bidang
perikanan adalah PPNS Perikanan, Perwira TNI AL dan Pejabat
Polri. Untuk menangani kasus-kasus peradilannya, Departemen
Kelautan dan Perikanan juga sedang memfokuskan diri pada
pembentukan pengadilan perikanan di mana perangkat-perangkatnya
nantinya adalah mereka yang menguasai ilmu perikanan.
Aparat Penegak Hukum di Bidang Perikanan, Kedudukan,
Tugas dan Kewajibannya. Aparat penegak hukum di bidang
perikanan adalah Pengawas Perikanan, Perwira TNI-AL dan Pejabat
Polisi Negara RI, yang mempunyai tugas dan kewajiban melakukan
10 Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum dan Masyarakat, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm. 75.
72
pengawasan terhadap tertib pelaksanaan pengelolaan sumber daya
ikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan.
Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan disebutkan bahwa Pengawas Perikanan
melakukan pengawasan penangkapan, perbenihan, budidaya, hama
dan penyakit ikan serta mutu. Pengawasan perikanan tersebut
dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan
(PPNS Perikanan) dan Non Pejabat Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (Non PPNS Perikanan). PPNS Perikanan terdiri dari Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenangan khusus
oleh Undang-undang pada Departemen Kelautan dan Perikanan,
Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab
di bidang perikanan.
Non PPNS Perikanan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil lainnya
yang bukan penyidik dan diberi wewenang untuk membantu
melakukan pengawasan di bidang perikanan pada Departemen
Kelautan dan Perikanan, Dinas Provinsi dan Dinas Kabupaten/
Kota yang bertanggung jawab di bidang perikanan.
Menurut Pasal 67 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan masyarakat dapat diikut sertakan dalam membantu
pengawasan perikanan, misalnya dengan melaporkan kepada aparat
penegak hukum di bidang perikanan apabila ada dugaan telah
terjadi tindak pidana di bidang perikanan.
Sedangkan aparat penegak hukum di bidang perikanan dari
Perwira TNI-AL sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) disebutkan bahwa aparat penegak hukum di bidang
penyidikan di ZEEI adalah Perwira TNI-AL yang ditunjuk oleh
Panglima ABRI, misalnya Komandan Kapal, Panglima Daerah
Angkatan Laut, Komandan Pangkalan dan Komandan Stasiun
Angkatan Laut.
Penegakan hukum di bidang perikanan oleh Perwira TNI-AL
ini adalah dalam rangka melaksanakan hak berdaulat untuk
73
melakukan eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi
sumber daya alam dari dasar laut dan tanah diatasnya. Di samping
itu juga dalam rangka yurisdiksi yang berhubungan dengan
penggunaan pulau-pulau, instalasi dan bangunan laut, penelitian
ilmiah, perlindungan pelestarian lingkungan laut serta hak dan
kewajiban lain berdasarkan konvensi hukum laut yang berlaku.
Penegakan hukum di bidang perikanan oleh Pejabat Polisi
Negara RI sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan
bahwa penegakan hukum oleh anggota Kepolisian Negara RI
memiliki wewenang umum kepolisian dalam pemelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Sesuai dengan peranan negara RI sebagai alat negara dalam
memelihara keamanan, dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat tersebut, maka terhadap tindak pidana di bidang
perikanan secara otomatis berwenang mengabil tindakan hukum
perikanan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Aparat
penegak hukum di bidang perikanan tersebut dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya dapat melakukan koordinasi di dalam suatu
forum koordinasi yang dibentuk oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan.
2. Tugas Aparat Penyidik di Bidang Perikanan
Sebagai upaya penerapan atau penegakan Undang-Undang
Perikanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan, aparat penegak
hukum perikanan mempunyai tugas umum selain tugas yang telah
ditentukan secara khusus oleh instansi masing-masing. Adapun
tugas-tugas umum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
di bidang perikanan baik dari PPNS Perikanan, Perwira TNI-AL
dan Pejabat Polisi Negara RI adalah melakukan pengawasan dan
pengendalian sumber daya ikan yaitu dengan:
74
1) Monitoring yaitu kegiatan untuk mengetahui tingkat potensisumber daya ikan, sehingga diperoleh data yang dapat dijadikanacuan dalam menyusun peraturan pemanfaatan sumber dayaikan. Dalam pelaksanaannya dapat dilaporkan fluktuasi vol-
ume penangkapan yang memuat produksi, pergeseran spesies,musim dan lain-lain, yang kemudian setelah menjadi datadiolah sebagai bahan untuk menentukan potensi yang tersedia.Dengan diketahuinya potensi sumber daya ikan yang tersedia,maka dapat ditetapkan alokasi sumber daya ikan yang dapatditangkap. Data-data tersebut diharapkan dapat dikumpulkan
secara berkelanjutan dengan tertib melalui mekanisme kerjayang jelas.
2) Kontrol yaitu kegiatan pengendalian usaha pemanfaatan sumberdaya ikan dilakukan dengan mengamati telah sesuai atautidaknya kegiatan usaha penangkapan ikan oleh nelayan denganperaturan perizinan yang dimilikinya. Misalnya denganmemeriksa syarat-syarat yang tercantum dalam izin usaha
perikanan, jenis alat tangkap, ukuran mata jaring, jalur/daerahpenangkapan dan lain-lain. Kegiatan tersebut dapat dilakukanpada saat nelayan akan berangkat maupun pada saatmendaratkan hasil tangkapannya.
3) Surveillance yaitu kegiatan pengawasan terhadap ketentuanperaturan pengelolaan sumber daya ikan, yang diikuti denganpemberian sanksi dan enforcement. Tindakan surveillance
merupakan tindak lanjut dari monitoring dan kontrol, yangsasarannya adalah pengamatan penangkapan ikan di lapangandan dilakuan oleh seseorang yang ditunjuk sebagai fisheriesobserver atau memanfaatkan tenaga PPNS Perikanan dibantudengan aparat keamanan, sehingga apabila terjadi pelanggarandapat dilakukan penyidikan secara langsung.
3. Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Perikanan
Dari berbagai tugas yang dilaksanakan oleh aparat penegakhukum di bidang perikanan maka perlunya diuraikan beberapakewajiban yang harus dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
di bidang perikanan antara lain:
75
1) Penangkapan terhadap kapal dan atau orang-orang yang diduga
melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indone-
sia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan
diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut di pelabuhan
di mana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut.
2) Penyerahan kapal dan atau orang-orang tersebut harus dilakukan
secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7
(tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure.
3) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya pelanggaran ketentuan undang-undang.
4) Melakukan panggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka
pelaku pelanggar ketentuan undang-undang.
5) Melakukan penyitaan ikan hasil tangkapan, alat-alat atau surat-
surat yang digunakan dalam melakukan perbuatan melanggar
ketentuan undang-undang.
4. Permasalahan Peraturan Perikanan
Dalam proses penegakan hukum bidang perikanan, pembahasan
awal diarahkan kepada faktor substansi yaitu peraturan-peraturan
atau undang-undangnya. Karena fungsi hukum dalam pergaulan
masyarakat adalah melancarkan proses integrasi,11 maka dari fungsi
hukum tersebut diharapkan usaha penangkapan atau pencarian
ikan di laut dapat terlaksana dengan tertib dan damai.
Peraturan hukum adalah perangkat-perangkat tertulis yang
dibuat oleh pemerintah melalui badan yang berwenang membentuk
peraturan-peraturan tertulis, seperti berturut-turut undang-undang
dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, Peraturan Presiden,
Keputusan Menteri dan peraturan daerah.12 Selama ini ada keraguan
atas proses penegakan hukum khususnya peraturan hukum di bidang
perikanan yang dinilai kurang mengandung sanksi yang jelas dan
tegas.
11 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 85.12 Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
76
Dari keraguan tersebut di atas, dapat kita pahami bahwa
peraturan di bidang perikanan yang ada selama ini sebagian besar
masih merupakan produk pemerintah kolonial Belanda. Demikian
juga halnya dengan peraturan perikanan yang dibentuk setelah
Indonesia merdeka, masih berpedoman kepada peraturan yang
dibentuk pada masa pemerintah kolonial Belanda terutama undang-
undang perikanan Stb. 1927 Nomor 144, yang tidak sepenuhnya
berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia. Peraturan tersebut
di atas diberlakukan atas dasar Pasal II aturan peralihan Undang-
Undang Dasar 1945, di mana hal tersebut merupakan suatu upaya
untuk menghindari kekosongan (state of vacum). Meskipun undang-
undang tersebut diakui dan diterima secara sosiologis dan yuridis
formal, namun dirasakan belum sesuai dengan cita-cita hukum
bangsa Indonesia. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan TAP
MPR Nomor IV/MPR/1978 antara lain menyatakan bahwa:
1. Pembangunan bidang hukum dalam negara hukum ia
didasarkan atas landasan sumber tertib hukum seperti
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pembangunan dan pembinaan bidang hukum diarahkan agar
hukum memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan
pembangunan di segala bidang, sehingga dapatlah diciptakan
ketertiban dan kepastian hukum serta memperlancar
pelaksanaan pembangunan.
Demikianlah cita-cita hukum yang dikehendaki oleh bangsa
Indonesia pada saat ini, yaitu menghendaki agar hukum mampu
menciptakan ketertiban dan kelancaran pembangunan di segala
bidang termasuk bidang perikanan. Oleh karena itu perlu diwujudkan
usaha-usaha untuk meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan
hukum nasional yang antara lain dengan melakukan pembaharuan
hukum di bidang perikanan serta upaya penertiban aparat penegak
hukum sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing.
Pelaksanaan undang-undang perikanan Stb. 1927 Nomor 144,
berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1 Territoriale Zee on
Maritieme Kringen Ordonantie Stb. 1939 Nomor 442, yang
77
menetapkan luas wilayah laut seluas 3 mil, yang kemudian diubah
menjadi 12 mil atas dasar Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun
1960 tentang Perairan Indonesia. Perubahan ini merupakan salah
satu bukti bahwa isi dan jiwa Undang-Undang Perikanan Stb
1927 Nomor 144 tidak lagi sesuai dengan isi dan jiwa Undang-
undang Nomor 4 Prp Tahun 1960, yang juga berarti tidak sesuai
dengan jiwa bangsa Indonesia.
Menyadari kondisi peraturan hukum perikanan seperti di atas,
dan sejalan dengan tujuan pembangunan nasional, khususnya
pembangunan di bidang perikanan yang berasaskan Wawasan
Nusantara, maka dibentuk undang-undang perikanan yang baru
yaitu UU No. 9 Tahun 1985. Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor
46 tentang perikanan dan diundangkan pada tanggal 19 Juni 1985,
yang selanjutnya dalam tesis ini disebut sebagai Undang-Undang
Perikanan Nomor 9 Tahun 1985.
Kemudian sebagaimana ketentuan yang tercantum pada
Pasal 33 UU No. 9 Tahun 1985, maka peraturan-peraturan yang
dibentuk pada zaman pemerintah kolonial Belanda, sepanjang
menyangkut masalah perikanan dinyatakan tidak berlaku. Dengan
berlakunya undang-undang perikanan Nomor 9 Tahun 1985, untuk
sementara dapat disimpulkan bahwa secara yuridis formal dapat
memenuhi cita-cita hukum bangsa Indonesia dan mengisi keko-
songan hukum bidang perikanan. Apabila dilihat dari berat dan
ringannya sanksi yang dicantumkan dalam UU No. 9 Tahun 1985,
telah cukup memadai, jika dibandingkan dengan undang-undang
perikanan Stb. 1927 Nomor 144. Dapat kita lihat contoh dalam
masalah perizinan bagi usaha perikanan, jika terjadi pelanggaran
peraturan yang kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran
30 GT atau lebih dalam UU No. 9 Tahun 1985 dikenakan sanksi
pidana penjara selama-lamanya 5 tahun atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), sementara
jika kegiatannya menggunakan kapal bermotor berukuran kurang
dari 30 GT, pidana penjara selama-lamanya 2 tahun 6 bulan atau
denda sebanyak-banyaknya Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta
rupiah). Lain halnya dengan Undang-Undang Perikanan Stb. 1927
78
Nomor 144, apabila melakukan tindakan pelanggaran peraturan
perikanan dengan tidak menggunakan izin, dikenakan hukuman
kurungan setinggi-tingginya 3 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya lima ratus rupiah (=golden). Dan apabila izin itu tidak
sesuai dengan kendaraan air yang digunakan, atau jika suatu
kendaraan air sudah tidak dapat dipergunakan lagi kemudian tidak
melapor kepada yang menertibkan izin, maka dikenakan hukuman
denda sebanyak-banyaknya seratus rupiah (=golden). Kondisi sanksi
yang demikian itu sudah tidak memadai untuk kepentingan
pembangunan bangsa Indonesia.
Mengenai aparatur penegak hukum telah diatur dalam Pasal
31 UU No. 9 Tahun 1985, dinyatakan bahwa yang berwenang
melakukan penyidikan adalah pejabat penyidik yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia yaitu perwira Tentara
Nasional Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima ABRI.
Demikian pula tentang proses penyelenggaraan penegakan
hukumnya, telah diatur dalam Pasal 31, ayat (4) UU No. 9 Tahun
1985 yang secara tegas menyebutkan bahwa penyidikan dan
kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ini dilaksanakan
dengan memperhatikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan ketentuan
hukum acara pidana lainnya.
Kemudian seiring dengan perkembangan zaman dan tuntutan
kebutuhan akan adanya perlindungan hukum terhadap laut dan
potensi sumber daya ikan yang ada di dalamnya, serta semakin
maraknya tindak pidana pencurian ikan dan pelanggaran-
pelanggaran lainnya di bidang kelautan dan perikanan, sehingga
perlu adanya pembaharuan dari segi peraturan perundang-undangan
yang terkait.
Kebutuhan tersebut kemudian segera ditanggapi serius oleh
pemerintah dengan diundangkannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan. Walaupun rentang waktu dikeluarkannya Undang-
Undang Perikanan yang baru tersebut selama 19 tahun, namun
79
usaha dan keinginan baik pemerintah patut kita dihargai, karena
dalam Undang-undang Perikanan yang baru ini memuat bentuk
perlindungan yang lebih luas dalam pelaksanaannya dibandingkan
dengan Undang-undang Perikanan sebelumnya.
Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang dijadikan
sebagai isu utama dalam penerbitan UU No. 31 Tahun 2004.
Berbeda dengan UU No. 9 Tahun 1985, dalam UU No. 31 Tahun
2004 lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang
mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai
kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani
tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, harus mengikuti
hukum acara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam UU No. 31
Tahun 2004 juga dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan
khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana
di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum
yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum
formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat
penyidikan, penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan di sidang
pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas yang bersifat
lebih cepat prosesnya.13
Menurut pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 mengenai penyidikan
di bidang tindak pidana perikanan adalah sebagai berikut:
(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL,
dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
13 Menteri Kelautan dan Perikanan Targetkan Tekan Praktik Pencurian Ikan 20 Persen Koran Tempo,
Rabu, 25 Mei 2005.
80
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
koordinasi.
(3) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana
di bidang perikanan, Menteri dapat membentuk forum
koordinasi.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b. Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
c. Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka
dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;
d. Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga
dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak
pidana di bidang perikanan;
e. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/
atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka
melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
f. Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
perikanan;
g. Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana
di bidang perikanan;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikananan;
i. Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
j. Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang
digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k. Melakukan penghentian penyidikan; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertang-
gung jawab.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka kita dapat melihat
bahwa koordinasi penyidikan tindak pidana di bidang perikanan
dilakukan antara Departemen Kelautan dan Perikanan, POLRI
81
dan TNI-AL. Namun dalam praktiknya, kewenangan setara yang
diberikan kepada tiga Instansi/institusi tersebut sebagai penyidik
dapat menimbulkan konflik yang sedikit banyak akan mengganggu
kelancaran penegakan hukum di bidang perikanan. Konflik yang
terjadi dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain perbedaan
kepentingan, kurangnya koordinasi di lapangan dan lemahnya
pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan.
Dalam hal melakukan koordinasi kedudukan antar ketiga
lembaga tersebut adalah setara, karena masing-masing lembaga
tersebut memiliki kewenangan yang didasarkan pada kemampuan
pengawasan dan tindakan yang dimiliki ketiga lembaga tersebut.
Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan wilayah
pengelolaan perikanan adalah sebagai berikut:
Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:
o Perairan Indonesia;
o ZEEI; dan
o Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang
potensial di wilayah Republik Indonesia.
Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan,
persyaratan, dan/atau standar internasional yang diterima secara
umum.
Sebagai contoh kita dapat melihat bahwa untuk wilayah
pengelolaan perikanan perairan Indonesia dapat dilakukan koordinasi
antara POLRI dan PPNS Perikanan karena di wilayah tersebut
memerlukan sumber daya manusia dan peralatan yang cukup
lengkap. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki perairan
yang sangat luas, termasuk di antaranya perairan-perairan
82
tersembunyi baik di dalam maupun di luar daratan/pulau. Untuk
hal ini POLRI memiliki keunggulan dalam jumlah personel yang
jauh lebih memadai dibandingkan jumlah personel PPNS Perikanan,
sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila pengawasan terhadap
tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan di wilayah pengelolaan
perikanan tersebut dilakukan dengan berkoordinasi antara dua
lembaga tersebut.
Sementara itu untuk wilayah pengelolaan perikanan ZEEI
(Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) akan lebih baik bila ada
koordinasi antara PPNS Departemen Kelautan dan Perikanan dengan
Perwira TNI-AL, karena dilihat dari segi kemampuan dan keleng-
kapan peralatan pengawasan di wilayah ZEEI yang merupakan
perairan lintas damai laut lepas, maka TNI-AL dalam melaksanakan
peranannya sebagai penegak kedaulatan baik negara maupun hukum
negara di laut memiliki peralatan yang cukup lengkap seperti alat
penginderaan jauh, sistem sonar, kapal perang dan berbagai macam
alat lainnya. Sehingga akan lebih efektif apabila pengawasan di
wilayah pengelolaan perikanan di ZEEI dan laut lepas dilakukan
oleh Perwira TNI-AL dan PPNS Perikanan.
Sedangkan untuk wilayah pengelolaan perikanan di sungai,
danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang diusahakan
sebagai lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah
Republik Indonesia, maka yang paling tepat dalam melakukannya
adalah PPNS Perikanan, karena lembaga tersebut memiliki keahlian,
data dan informasi yang lebih lengkap mengenai seluk beluk
perairan di dalam pulau atau daratan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numbery mengatakan,
pihaknya bekerja sama dengan TNI Angkatan Laut dan menargetkan
dapat menekan praktik pencurian ikan (illegal fishing) sebesar 20
persen hingga akhir tahun ini. Data TNI Angkatan Laut, pada
2005 telah tertangkap 111 kapal ikan yang melakukan penangkapan
ikan ilegal di Laut Arafura, Kepulauan Aru dan Maluku. Dari
seluruh hasil tangkapan, 74 kapal di antaranya telah diproses
hukum dan sisanya dibebaskan karena tidak cukup bukti. Tahun
83
2004 telah ditangkap 287 kapal ikan ilegal dan 120 di antaranya
telah diproses hukum sedangkan sisanya dibebaskan dengan alasan
tidak cukup bukti.
Untuk meminimalisir penangkapan ikan ilegal, Departemen
Kelautan dan Perikanan tidak akan memperpanjang izin penang-
kapan ikan bagi kapal asing. Pada Desember 2005 izin penangkapan
ikan untuk kapal asal Philippina akan berakhir. Demikian juga
dengan Cina dan Thailand yang akan berakhir pada 2007.14 Hal
ini menunjukkan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya
untuk menekan dan meminimalisir tingkat pencurian ikan di wilayah
perairan Indoensia. Upaya tersebut dilakukan dengan menjalin
kerja sama yang sinergis dan terkoordinasi dengan POLRI dan
TNI-AL sebagaimana di amanatkan oleh Undang-undang Nomor
31 Tahun 2004.
Oleh karena itu dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum
di bidang perikanan, diperlukan koordinasi dengan kedudukan
yang setara antara ketiga lembaga yang terkait yaitu Departemen
Kelautan dan Perikanan, POLRI dan TNI-AL. Hal ini dimaksudkan
agar dapat menghilangkan beberapa kendala seperti birokrasi sistem
perizinan yang terlalu panjang dan sulit, pelanggaran dikalangan
pengusaha, belum adanya kesamaan visi dan misi dalam proses
penegakan hukum di laut antara aparat yang berwenang,
keterbatasan sarana dan prasarana aparat penegak hukum di laut,
serta pengetahuan dan Kemampuan SDM perikanan yang masih
perlu ditingkatkan. Dengan adanya koordinasi dan kerja sama
antara ketiga lembaga tersebut, diharapkan akan dapat saling mengisi
kekurangan, keterbatasan dan kendala-kendala di atas, sehingga
penegakan hukum di bidang perikanan di Indonesia dapat ditekan
sampai batas yang paling rendah.
Forum koordinasi sangat diperlukan sebagai upaya untuk
menanggulangi tindak pidana pencurian ikan di perairan Indone-
14 Soerjono Soekanto, Penegak Hukum Faktor Sentral dalam Penegakan Hukum, Kompas, 15 Desember
1983, hlm. 1.
84
sia, sejalan dengan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004, forum
ini dapat dibentuk oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Diharapkan
dengan adanya kerja sama antara Departemen Kelautan dan
Perikanan, TNI-AL dan POLRI terutama dalam proses pengawasan
dan penyidikan, tingkat pencurian ikan di wilayah perairan Indo-
nesia akan dapat menurun secara cepat.
5. Permasalahan Pada Sikap Aparat Penegak Hukum dan Fasilitas
Dalam proses penegakan hukum, fungsi aparat penegak hukum
sangat berperan di samping faktor lain seperti peraturan perundang-
undangan, fasilitas atau sarana, dan warga masyarakat setempat.
Pengertian aparat penegak hukum dalam hal ini adalah terbatas
kepada mereka-mereka yang berkecimpung langsung dalam law
enforcement dan peace maintenance, yaitu mereka-mereka yang
bertugas di bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan
dan pemasyarakatan.15
Aparat penegak hukum pada saat ini dituntut untuk bisa
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan peka terhadap
aspirasi masyarakat. Untuk itu, aparat penegak hukum harus
mempunyai kemampuan tertentu seperti kemampuan berkomunikasi,
keleluasaan bertindak terhadap kasus/masalah tertentu sehingga
mampu menjalankan perannya di tengah masyarakat.
Kondisi yang kurang menguntungkan terhadap keberhasilan
aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya masih dirasakan
pada saat ini. Situasi yang dimaksud di antaranya adalah kurangnya
dukungan fasilitas atau sarana yang dimiliki oleh aparat penegak
hukum itu sendiri, misalnya kapal yang akan digunakan untuk
mengejar para pelaku tindak pidana di bidang perikanan dan sarana
sebagai tempat menyimpan barang bukti.
Kondisi demikian jika dihubungkan dengan konsepsinya Robert
B. Seidman dalam bukunya Law and Development, A General
15 Robert B. Seidman, Law and Development A General Model, diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo
dalam Hukum dan Pembangunan, Suatu Model Umum, Surabaya, PSHP, Unair, 1976, lihat pula Robert B.
Seidman op.cit. hlm. 69-78.
85
Model, yang diringkaskan ke dalam bahasa Indonesia oleh Satjipto
Rahardjo, sebagai Hukum dan Pembangunan Suatu Model Umum,
maka tentang bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat diikuti
pernyataan berikut:16
• Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang
bagaimana seseorang pemegang peran diharapkan bertindak;
• Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang
peran (sebagai respon terhadap peraturan-peraturan yang
berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga-lembaga
pelaksananya, serta dari keseluruhan kompleks kekuatan-
kekuatan sosial, politik, dan lainnya lagi yang bekerja atas
dirinya).
• Tindakan-tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga-
lembaga pelaksana (sebagai respon terhadap peraturan-peraturan
hukum) adalah suatu fungsi dari peraturan-peraturan yang
berlaku dari sanksi-sanksinya, dari keseluruhan kompleks
kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lainnya lagi yang bekerja
atas dirinya.
• Tindakan-tindakan apa yang akan diambil oleh pembuat
undang-undang adalah suatu fungsi dari peraturan-peraturan
yang berlaku bagi tingkah laku mereka, dari sanksi-sanksinya,
dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, ideologi dan
lainnya yang bekerja atas dirinya serta dari umpan balik yang
datang dari para pemegang peran dan birokrasi.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aparat
penegak hukum sebagai bagian birokrasi dalam melaksanakan
tugasnya dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari diri mereka
sendiri maupun kekuatan sosial, politik dan lainnya.
16 Robert B. Seidman, Law and Development A General Model, diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo
dalam Hukum dan Pembangunan, Suatu Model Umum, Surabaya, PSHP, Unair, 1976, lihat pula Robert B.
Seidman op.cit. hlm. 69-78.
86
BAB IV
ANALISIS
A. ANALISIS YURIDIS
Sesuai dengan ruang lingkup penelitian ini, analisis akan difokuskan
pada aspek hukum materil yang terkait dengan pengadilan perikanan.
Aspek-aspek tersebut mencakup antara lain kompetensi pengadilan
perikanan, subjek hukum tindak pidana perikanan, aparat penegak
hukum, alat bukti.
1. Dasar hukum pembentukan pengadilan perikanan
Pembentukan pengadilan perikanan sebagaimana diamanatkan
dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, landasan
hukumnya terdapat dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-
pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 10 UU No. 14 Tahun
1970, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh empat
badan peradilan, yaitu: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama,
(c) Peradilan Militer, dan (d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Selanjutnya pada bagian Penjelasan Pasal tersebut disebutkan
bahwa: “… dalam keempat lingkungan peradilan ini, tidak menutup
kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi)
dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum
dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas,
Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya
dengan undang-undang”.
Selanjutnya dalam Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 di sebutkan
bahwa: “Badan-Badan Peradilan Khusus di samping badan-badan
peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan undang-
undang”. Bahwa yang dimaksud Badan Peradilan Khusus dalam
Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970 adalah badan peradilan yang
kedudukannya sejajar dengan keempat badan peradilan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970. Badan Peradilan
87
Khusus yang dimaksud Pasal 13 berbeda dengan badan peradilan
khusus seperti Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan
Koneksitas, sebagiamana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10
UU No. 14 Tahun 1970, yang kedudukannya berada di dalam
lingkungan peradilan umum.
Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut, maka terdapat
dua alternatif bentuk peradilan yang dimungkinkan oleh UU No.
14 Tahun 1970, yaitu: (1) Peradilan Khusus yang berada dalam
salah satu dari empat badan peradilan sebagaimana diatur dalam
Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970, dan (2) Peradilan Khusus yang
berada di samping dan sejajar dengan keempat badan peradilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU No. 14 Tahun 1970.
Bahwa dalam kaitannya dengan pembentukan Peradilan Khusus
Perikanan, maka Peradilan Perikanan dibentuk dalam lingkungan
Peradilan Umum, dengan pertimbangan pembentukan badan
peradilan khusus yang berada di bawah Peradilan Umum diharapkan
akan lebih memungkinkan bagi terlaksananya asas sederhana, cepat
dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (2)
UU No. 14 Tahun 1970.
Dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, pembentukan
pengadilan perikanan dimuat dalam Pasal 71 (1) yang berbunyi:
“Dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di
bidang perikanan.”
2. Daerah Hukum Pengadilan Perikanan
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (2) s.d. ayat (6) UU
No. 31 Th 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa pengadilan
perikanan berada di lingkungan peradilan umum. Daerah hukum
pengadilan perikanan sesuai dengan daerah hukum pengadilan
negeri yang bersangkutan. Kemudian diamanatkan bahwa paling
lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkannya UU Perikanan harus
sudah terbentuk pengadilan perikanan di 5 (lima) daerah (Jakarta
Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual).
88
Kemudian diatur pula bahwa pembentukan pengadilan
perikanan dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan
yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Berkenaan dengan
ketentuan yang terakhir ini, dapat ditafsirkan bahwa para pembentuk
undang-undang ini sebenarnya menghendaki agar dapat dibentuk
di setiap pengadilan negeri di seluruh Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 106 Undang-Undang Perikanan
dinyatakan bahwa selama belum dibentuk pengadilan perikanan,
perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar
daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (3) tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan
negeri yang berwenang.
Dalam kaitannya dengan kompetensi pengadilan ini, menjadi
persoalan ketika dalam Pasal 71 ayat (4) disebutkan bahwa “daerah
hukum pengadilan perikanan sesuai dengan daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan”, pada saat pengadilan
perikanan ini masih terbatas di lima daerah (Jakarta Utara, Medan,
Pontianak, Bitung dan Tual), maka akan ada dualisme dan
ketidakpastian hukum dalam penanganan tindak pidana perikanan.
Dalam hal ini sudah pasti terdapat perbedaan antara penanganan
perkara tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh Pengadilan
Perikanan, yang aparat, sistem, dan proses penanganannya berbeda
dengan yang dilaksanakan melalui peradilan umum.
3. Tindak Pidana Perikanan
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 204 tentang
Perikanan, terdapat beberapa perkembangan baru berkenaan dengan
aspek hukum materil tindak pidana di bidang perikanan, seperti
perluasan pengertian ikan, subjek hukum, dan alat bukti.
a. Perluasan pengertian ikan
Dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1985 tentang
Perikanan, sumber daya ikan didefinisikan sebagai semua
jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Sedangkan
pengertian ikan itu sendiri tidak dirumuskan. Hal tersebut
89
Wewenang, Kedudukan, Wilayah Hukum,
dan Pembentukan Pengadilan Perikanan
pada akhirnya menimbulkan kesulitan tersendiri dalam
penyusunan dakwaan maupun pembuktian di pengadilan. Oleh
karena itu, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
kemudian dibuatlah rumusan mengenai ikan.
Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa ikan adalah:
“segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di dalam lingkungan perairan”.
Apabila kita perhatikan definisi di atas, jelas bahwa
pengertian ikan tersebut sangat luas cakupannya, karena itu
tidak heran apabila kemudian timbul perdebatan, khususnya
dari kalangan keilmuan yang menurut mereka pengertian
tersebut kurang sahih secara ilmiah. Namun demikian, terlepas
WEWENANG
KEDUDUKAN
PEMBENTUKAN
PERTAMA KALI
PEMBENTUKAN
BERIKUTNYA
WILAYAH HUKUM
Memeriksa, Mengadili, dan
Memutus Tindak pidana di
Bidang Perikanan
Berada di Lingkungan Peradilan
Umum
Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Pontianak,
Pengadilan Negeri Bitung, dan
Pengadilan Negeri Tual.
Secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden
Sesuai dengan daerah hukum
pengadilan negeri yang
bersangkutan.
Selama belum
dibentuk pengadilan
perikanan selain
pengadilan perikanan,
perkara tindak pidana
di bidang perikanan
yang terjadi di luar
daerah hukum
pengadilan perikanan
tetap diperiksa, diadili,
dan diputus oleh
pengadilan negeri yang
berwenang.
90
dari luasnya cakupan definisi tersebut, dengan adanya definisi
ikan ini secara hukum sangat penting, khususnya dalam
memberikan adanya suatu kepastian hukum. Apabila ada
perusakan terumbu karang, penangkapan penyu hijau,
penangkapan ikan paus (mamalia laut), pengrusakan padang
lamun atau hutan bakau, kita sudah tidak dibingungkan lagi
apakah ini termasuk tindak pidana perikanan atau bukan.
b. Subjek hukum tindak pidana perikanan
Perumusan subjek hukum tindak pidana perikanan juga
telah mengalami perubahan dari yang semula dalam Undang-
Undang No. 9 tahun 1985 dalam perumusan tindak pidananya
hanya dirumuskan dengan “barang siapa melakukan ........”,
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 setiap subjek
hukum diurai satu persatu seperti nakhoda, ahli penangkapan,
anak buah kapal, pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan
perikanan, dll.
Penyempurnaan terhadap perumusan subjek hukum dalam
tindak pidana perikanan ini sangat penting, mengingat selama
ini dalam tindak pidana perikanan jeratan hukum hanya bisa
diterapkan pada mereka yang menjadi pelaku lapangan,
sedangkan pemilik perusahaan perikanan sulit sekali untuk
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum.
c. Pertanggungjawaban korporasi
Penyempurnaan terhadap subjek hukum tindak pidana
perikanan juga tidak terlepas dari keinginan pembentuk undang-
undang agar pihak perusahaan (korporasi) dapat pula
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum.
Dalam literatur hukum pidana, penerapan prinsip pertang-
gungjawaban korporasi ini telah mengalami perkembangan
yang demikian pesat sejalan dengan meningkatnya kejahatan
korporasi itu sendiri. Pada awalnya, korporasi belum diakui
sebagai pelaku dari suatu tindak pidana, karenanya tanggung-
jawab atas tindak pidana dibebankan kepada pengurus
91
korporasi. Namun dalam perkembangannya, korporasi mulai
diakui sebagai pelaku tindak pidana, sementara tanggung jawab
atas tindak pidana masih dibebankan kepada pengurusnya,
seperti halnya dianut dalam UU No. 12/Drt/1952 tentang
Senjata Api. Dalam perkembangan terakhir, selain sebagai
pelaku, korporasi juga dapat dituntut pertanggungjawabannya
atas suatu tindak pidana.
Di bidang perikanan, prinsip pertanggungjawaban
korporasi tidak begitu populer dalam penanganan kasus-kasus
tindak pidana perikanan. Meski Undang-undang No.9/1985
tentang Perikanan mengakui adanya “Badan Hukum” (di
samping orang perorangan) sebagai subjek hukum dalam tindak
pidana perikanan, namun UU tersebut tidak mengatur lebih
lanjut kapan suatu badan hukum dikatakan melakukan tindak
pidana, dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindak pidana tersebut. Akibatnya penanganan kasus-kasus
tindak pidana perikanan sulit “dituntaskan”, khususnya yang
melibatkan pihak korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang
diseret ke pengadilan hanya pelaku di lapangan seperti nakhoda
kapal, kepala kamar mesin (KKM), dan anak buah kapal
(ABK), sedangkan pihak-pihak yang berada di belakang mereka
(korporasi) nyaris tidak pernah tersentuh.
Titik terang dari persoalan tersebut sebenarnya mulai
tampak, ketika diaturnya prinsip pertanggungjawaban korporasi
dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan, di mana yang
dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja
mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan tetapi
juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka.
Sayangnya rumusan prinsip pertanggungjawaban korporasi
dalam UU tersebut justru mengalami kemunduran.
Dalam Pasal 101 UU No. 31/2004 disebutkan bahwa:
“dalam hal tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi,
tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
pengurusnya, dan pidana dendanya ditambah sepertiga dari
92
pidana yang dijatuhkan”. Dengan rumusan demikian, meskipun
korporasi diakui sebagai pelaku suatu tindak pidana, akan
tetapi korporasi itu sendiri tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana. Pengaturan demikian akan
menimbulkan banyak kelemahan.
Logikanya, untuk kasus-kasus tertentu di mana keuntungan
yang diperoleh perusahaan sedemikian besar dan/atau kerugian
yang ditanggung masyarakat sedemikian besar, maka pengenaan
pidana penjara/denda “hanya” kepada pihak pengurus korporasi
akan menjadi tidak sebanding. Di samping itu, pengenaan
pidana kepada pengurus korporasi juga tidak cukup memberikan
jaminan bahwa korporasi tersebut tidak melakukan tindakan
serupa di kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak korporasi
juga tidak sedikit yang berlindung di balik korporasi-korporasi
boneka (dummy company) yang sengaja mereka bangun untuk
melindungi korporasi induknya.
Lantas bagaimana prospek penerapan prinsip pertanggung-
jawaban korporasi ini ke depan, khususnya dalam penanganan
tindak pidana perikanan? Tampaknya masih cukup banyak
tantangan yang akan dihadapi. Kelemahan-kelemahan hukum
seperti diuraikan di atas, harus diimbangi dengan upaya
peningkatan kualitas dan kemampuan para penegak hukum
yang akan menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif
untuk melakukan terobosan-terobosan hukum, sehingga
persoalan-persoalan tersebut tidak menjadi batu sandungan
di lapangan. Demikian pula mentalitas dan keberanian para
penegak hukum akan memegang peran penting, khususnya
ketika mereka tidak lagi hanya akan dihadapan dengan pelaku
tindak pidana kelas “teri” (pelaku lapangan), tetapi juga dengan
pelaku tindak pidana kelas “kakap” yang nota bene memiliki
kapasitas – baik duit maupun pengaruh – yang jauh lebih
besar.
93
Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
PELAKU
Setiap orang
Nakhoda atau PemimpinKapal, Ahli Penangkap-
an Ikan, dan Anak BuahKapal Perikanan
Pemilik Kapal, PemilikPerusahaan, Penanggung
Jawab Perusahaan, dan/atau Operator Kapal
PerikananPemilik Perusahaan,
Kuasa Pemilik Perusa-haan, dan/atau Penang-
gung Jawab PerusahaanPembudidayaan Ikan
Setiap orang
Setiap orang
Setiap orang
Setiap orang
Setiap orang
JENIS PELANGGARAN
penangkapan ikan dan/atau pembu-didayaan ikan yang dapat mem-
bahayakan kelestarian sumber daya ikandan lingkungannya
penangkapan ikan yang dapat mem-bahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan lingkungannya
penangkapan ikan yang dapatmembahayakan kelestarian sumber daya
ikan dan lingkungannya
pembudidayaan ikan yang dapat
membahayakan kelestarian sumber dayaikan dan lingkungannya
memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan
ikan dan/atau alat bantu penangkapanikan yang berada di kapal penangkap
ikan yang tidak sesuaiperbuatan yang mengakibatkan pence-
maran dan/atau kerusakan sumber dayaikan dan/atau lingkungannya
membudidayakan ikan yang dapatmembahayakan sumber daya ikan dan/
atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia
membudidayakan ikan hasil rekayasagenetika yang dapat membahayakan
sumber daya ikan dan/atau lingkungansumber daya ikan dan/atau kesehatan
manusiamenggunakan obat-obatan dalam pem-
budidayaan ikan yang dapat membaha-yakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungan sumber daya ikan dan/ataukesehatan manusia
PENJARA
6 tahun
10 tahun
10 tahun
10 tahun
5 tahun
10 tahun
6 tahun
6 tahun
6 tahun
DENDA
1,2 M
1,2 M
2 M
2 M
2 M
2 M
1,5 M
1,5 M
1,5 M
94
4. Aparat Penegak Hukum
Dalam sistem pengadilan perikanan yang tertuang pada UU
No. 31 Tahun 2004, penyidikan tindak pidana di bidang perikanan
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Perwira
TNI AL dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73
ayat 1). Dengan demikian, ada tiga institusi negara yang berwenang
dalam melakukan penyidikan di bidang perikanan.
Meski kata koordinasi susah diterapkan, UU No. 31 Tahun
2004 mengamanatkan bahwa penyidik dapat melakukan koordinasi
(Pasal 73 ayat 2), yaitu melalui suatu forum koordinasi (Pasal 73
ayat 3)17.
a. Tugas penyidik
Sebagai upaya penerapan atau penegakan Undang-Undang
Perikanan terhadap pemanfaatan sumber daya ikan, aparat
penyidik di bidang perikanan mempunyai tugas umum selain
tugas yang telah ditentukan secara khusus oleh instansi masing-
masing. Adapun tugas-tugas umum yang dilaksanakan oleh
penyidik di bidang perikanan baik dari PPNS Perikanan,
Perwira TNI-AL dan Pejabat Polisi Negara RI adalah
melakukan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan
yaitu dengan:
a) Monitoring yaitu kegiatan untuk mengetahui tingkat
potensi sumber daya ikan, sehingga diperoleh data yang
dapat dijadikan acuan dalam menyusun peraturan
pemanfaatan sumber daya ikan. Dalam pelaksanaannya
dapat dilaporkan fluktuasi volume penangkapan yang
memuat produksi, pergeseran spesies, musim dan lain-
lain, yang kemudian setelah menjadi data diolah sebagai
bahan untuk menentukan potensi yang tersedia. Dengan
17 Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan saat ini telah dibentuk dengan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 ttg Forum Koordinasi Penanganan
Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dengan tugas utama mengkoordinasikan kegiatan penyidikan tindak
pidana di bidang perikanan.
95
diketahuinya potensi sumber daya ikan yang tersedia,
maka dapat ditetapkan alokasi sumber daya ikan yang
dapat ditangkap. Data-data tersebut diharapkan dapat
dikumpulkan secara berkelanjutan dengan tertib melalui
mekanisme kerja yang jelas.
b) Kontrol yaitu kegiatan pengendalian usaha pemanfaatan
sumber daya ikan dilakukan dengan mengamati telah
sesuai atau tidaknya kegiatan usaha penangkapan ikan
oleh nelayan dengan peraturan perizinan yang dimilikinya.
Misalnya dengan memeriksa syarat-syarat yang tercantum
dalam izin usaha perikanan, jenis alat tangkap, ukuran
mata jaring, jalur/daerah penangkapan dan lain-lain.
Kegiatan tersebut dapat dilakukan pada saat nelayan akan
berangkat maupun pada saat mendaratkan hasil
tangkapannya.
c) Surveillance yaitu kegiatan pengawasan terhadap ketentuan
peraturan pengelolaan sumber daya ikan, yang diikuti
dengan pemberian sanksi dan enforcement. Tindakan
surveillance merupakan tindak lanjut dari monitoring dan
kontrol, yang sasarannya adalah pengamatan penangkapan
ikan di lapangan dan dilakuan oleh seseorang yang ditunjuk
sebagai fisheries observer atau memanfaatkan tenaga PPNS
Perikanan dibantu dengan aparat keamanan, sehingga
apabila terjadi pelanggaran dapat dilakukan penyidikan
secara langsung.
b. Kewajiban Aparat Penyidik di Bidang Perikanan:
Dari berbagai tugas yang dilaksanakan oleh aparat penyidik
di bidang perikanan maka perlunya diuraikan beberapa
kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain :
a) Penangkapan terhadap kapal dan atau orang-orang yang
diduga melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai
dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut
96
di pelabuhan di mana perkara tersebut dapat diproses
lebih lanjut.
b) Penyerahan kapal dan atau orang-orang tersebut harus
dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi
jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat
keadaan force majeure.
c) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya pelanggaran ketentuan undang-undang.
d) Melakukan panggilan dan pemeriksaan terhadap tersangka
pelaku pelanggar ketentuan undang-undang.
e) Melakukan penyitaan ikan hasil tangkapan, alat-alat atau
surat-surat yang digunakan dalam melakukan perbuatan
melanggar ketentuan undang-undang.
Yang menarik dari pengaturan mengenai kewenangan aparat
penyidik ini adalah munculnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 01 Tahun 2007 tentang Pengadilan Perikanan. Perma ini
ditetapkan dalam rangka memberikan persamaan pemahaman dalam
penerapan UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya
Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan. Namun demikian, terdapat
hal yang perlu dicermati dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut
terutama Bab III (Penyidikan), khususnya Pasal 4. Dalam Pasal
tersebut disebutkan bahwa penyidikan di ZEE Indonesia dilakukan
oleh TNI AL. Penangkapan terhadap kapal atau orang-orang yang
diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah ZEE dapat
dilakukan oleh PPNS Perikanan atau Pejabat Polisi Negara RI
untuk segera diserahkan kepada Penyidik Perwira TNI-AL untuk
diproses lebih lanjut.
Ketentuan tersebut tentunya tidak sejalan dengan UU No. 31
tahun 2004 yang mengakui adanya tiga institusi penyidik di laut.
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan menetapkan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Perikanan, Perwira TNI-AL, dan Pejabat Polisi Negara RI yang
97
merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), yang pada awal mulanya
hanya menempatkan Polisi sebagai penyidik tunggal, lantas
ditambahkan Perwira TNI-AL dalam konteks ZEEI, dan selanjutnya
disempurnakan dengan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 merupakan implementasi dari asas Lex
Specialis Derogat Lexi Generalis dan azas Lex Posteriori Derogat
Lexi Priori.
Kewenangan Penyidik Perikanan di tetapkan dalam Pasal 73
ayat (4) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
yang antara lain kewenangan untuk menghentikan, memeriksa,
menangkap, membawa dan/atau menahan kapal dan/atau orang
yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan.
Kewenangan Penyidik Perikanan tersebut, merupakan kelengkapan
kewenangan dasar penyidikan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indone-
sia (ZEEI).
Wilayah penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, secara
normatif mengacu pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang menetapkan bahwa
Wilayah Pengelolaan Perikanan RI meliputi Perairan Indonesia,
ZEEI dan sungai, danau, waduk dan lainnya.
Dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun
2007 dikhawatirkan terjadi penafsiran yang tidak sebagaimana
mestinya, mengingat kedudukan dan kewenangan PPNS, Pejabat
Polisi Negara RI dan Perwira TNI-AL dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 berkedudukan dan berwenang sama dan
sederajat dalam melakukan penyidikan termasuk pada wilayah
ZEEI. Apabila dianggap bahwa wilayah kerja penyidikan sangat
98
luas, yang paling memungkinkan adalah pembagian wilayah kerja
dan bukan pembagian kewenangan sebagaimana dilakukan melalui
Peraturan Mahkamah Agung tersebut.
Peraturan Mahkamah Agung dalam konstruksi perundangan
dan kebiasaan hukum serta praktik pengadilan selama ini,
dimaksudkan untuk memberikan arahan teknis tentang pelaksanaan
suatu ketentuan undang-undang yang berkaitan dengan proses
teknis persidangan, khususnya apabila undang-undang tersebut
tidak mengatur secara detil dan teknis atas suatu kondisi, tanpa
mengurangi makna muatan materi dalam suatu undang-undang.
Pengaturan dalam Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan atas Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, juga menegaskan bahwa Mahkamah Agung
dapat membuat suatu peraturan perundang-undangan yang diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan sekaligus didasarkan pada asas bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka pengaturan dalam
Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun
2007 perlu dipertanyakan kehadirannya agar dalam praktik
penyelenggaraan penegakan hukum di bidang perikanan, khususnya
dalam praktik peradilan, tidak menimbulkan tafsir baru yang
membingungkan aparat terkait di lapangan.
Pada tahap penuntutan, dalam Pasal 75 disebutkan bahwa
penuntut umum perkara tindak pidana perikanan dilakukan oleh
penutut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau pejabat
yang ditunjuk. Penuntut umum dimaksud harus memenuhi
persyaratan:
a. berpengalaman sebagai penuntut umum sekurangnya lima
tahun;
b. telah mengikuti Diklat teknis di bidang perikanan;
99
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama
menjalankan tugasnya.
Pelaksanaan persyaratan tersebut di atas paling lambat tiga
tahun sejak diundangkannya UU No. 31 Th 2004 tentang Perikanan.
Selanjutnya dalam Pasal 78 diatur mengenai hakim pengadilan
perikanan. Majelis Hakim terdiri atas 2 (dua) Hakim Ad Hoc dan
1 (satu) Hakim Karier. Hakim karier ditetapkan berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan Hakim Ad Hoc
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MA.
Sebagai tindak lanjut dari Pasal telah dibentuk PP No. 24 Tahun
2006 tentang Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian Hakim
Ad Hoc Pengadilan Perikanan.
Adapun mekanisme penentuan Hakim Ad Hoc tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Seleksi calon hakim ad hoc dilakukan oleh MA dari lingkungan
perikanan, perguruan tinggi, dan mereka yang mempunyai
keahlian di bidang hukum perikanan;
b. Hasil seleksi oleh Ketua MA disampaikan kepada Presiden
untuk di angkat;
c. Berdasarkan Keputusan Presiden calon hakim ad hoc mengikuti
diklat yang diselenggarakan oleh MA;
d. Setelah dinyatakan lulus sebagai calon Hakim ad hoc, Ketua
MA menetapkan penempatannya (dengan prioritas sebagaimana
diatur dalam UU Perikanan) dan sejak penetapan tersebut
yang bersangkutan secara kelembagaan menjadi pegawai MA.
Kelembagaan ad hoc pada hakim pengadilan perikanan ini
penting dalam upaya mencari terobosan penegakan hukum di bidang
perikanan. Pada intinya kelembagaan ad hoc penegakan hukum
sebaiknya diarahkan pada:
a. Pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan secara terpadu;
b. Bagaimana mewujudkan kesamaan visi dan tujuan mengenai
criminal justice system;
100
c. Proses penegakan hukum (penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan serta keputusannya) berlangsung
secara efisien dan efektif;
d. Menggunakan pola peradilan yang cepat;
e. Dapat memberikan rasa keadilan hukum dan masyarakat serta
kepastian hukum.
5. Alat bukti
Alat bukti memegang peranan penting, khususnya dalam
mendukung dan mempermudah dalam pembuktian di pengadilan.
Sayangnya dalam Udang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang
Perikanan hal tersebut kurang mendapat perhatian, sehingga masih
mengacu pada KUHAP. Padahal dengan semakin pesatnya kemajuan
teknologi, alat bukti yang diatur dalam KUHAP sudah tidak
memadai lagi. Di bidang perikanan data dan informasi hasil penga-
wasan melalui Vessel Monitoring System (VMS) yang saat ini
sedang digalakkan di Indonesia sebenarnya sangat penting bagi
proses pembuktian. Namun hal itu justru tidak dimasukan sebagai
salah satu alat bukti.
101
Hal / Pengadilan
Dasar Hukum
Pembentukan
Penyelidik
Penyidik
Hakim
Upaya Hukum
Pengadilan Niaga
Dibentuk dengan Keppres
No. 97 Tahun 1999 tentang
Pembentukan Pengadilan
Niaga pada PN Ujung
Pandang, PN. Medan,
PN. Surabaya, PN.
Semarang.
Merujuk pada:
UU No. 14 Tahun 1970
tentang Kekuasaan
Kehakiman
UU No. 14 Tahun 1985
tentang MA UU No. 2
Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum
UU tentang Kepailitan
yang telah diubah dengan
Perpu No.1 Tahun 1998,
sebagimana telah
ditetapkan dengan UU No.
4 Tahun 1998
Polisi
Jaksa
Hakim Niaga (Karier)
Ditambah:
Hakim Pengawas
Eksekutor: Kurator
Langsung Kasasi,
Peninjauan Kembali
Pengadilan HAM
Dibentuk dengan UU
No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan
HAM
Merujuk pada:
UU No. 14 Tahun
1970 tentang Kekua-
saan Kehakiman
UU No. 2 Tahun 1986
tentang Peradilan
Umum
UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM
Komnas HAM
Jaksa Agung /
Kejaksaan
Jaksa Ad Hoc
Hakim HAM (Karier)
Hakim HAM Ad Hoc
Eksekutor: Jaksa
Banding, Kasasi,
Peninjauan Kembali
Pengadilan
Perikanan
Dibentuk dengan
UU No…. Tentang
Pembentukan
Pengadilan Khusus
Perikanan;
Merujuk pada:
UU No. 14 Tahun
1970 tentang
Kekuasaan
Kehakiman
UU No. …tentang
Perikanan
UU No. 2 Tahun
1986 tentang
Peradilan Umum
PPNS
Polisi
TNI AL
Jaksa yang telah
mendapat
pendidikan di
bidang Perikanan
Hakim Karir dan
Hakim ad
hoc
Eksekutor: Jaksa
Langsung Kasasi
Perbandingan Tiga Lembaga Peradilan Khusus
102
6. Insentif
Dalam Pasal 105 UU No. 31 Th 2004 tentang Perikanandiatur mengenai insentif. Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut,benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana dibidang perikanan dilelang untuk Negara dan kepada aparat penegakhukum yang berhasil menjalankan tugasnya diberikan insentifyang disisihkan dari hasil lelang. Insentif diberikan kepada merekayang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan Negara, sepertipenyidik, jaksa penuntut umum, majelis hakim, aparat penegakhukum lainnya dan kelompok/anggota masyarakat.
Dana insentif yang berasal dari dana yang disisihkan darihasil lelang, dapat diberikan setelah ada persetujuan dari JaksaAgung selaku eksekutor dalam pelaksanaan putusan hakim danMenteri Keuangan selaku penanggung jawab anggaran Negara.
Pengaturan mengenai dana insentif ini disatu sisi merupakansuatu terobosan yang sasarannya agar para penegak hukum dibidang perikanan dapat lebih meningkat kinerjanya. Di sampingitu, adanya dana insentif juga diharapkan dapat meminimalisirtimbulnya penyelewengan-penyelewengan di lapangan yang selamaini ditenggarai akibat rendahnya penghasilan dari para penegakhukum.
Di sisi lain, dari kacamata pembangunan budaya hukum, adanyadana insentif ini dapat dilihat sebagai suatu kemunduran, di manaintegritas dan idealisme dari para penegak hukum seolah tergadaikan.Dalam jangka panjang, dikhawatirkan sistem pemberian danainsentif akan melahirkan para penegak hukum yang pamrih,materialistis, dan dangkal integritas dan idealisme.
Selain hal-hal tersebut diatas, ada beberapa pasal yang terkaitdengan pengadilan perikanan yang menarik untuk dikaji, di antaranyayaitu:
1. Pengaturan kegiatan transhipment
Pasal 41 ayat (3) menyebutkan bahwa, “Setiap kapal penangkapikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapandi pelabuhan perikanan yang ditetapkan”.
103
Pasal 41 ayat (4) menyebutkan bahwa, “Setiap orang yangmemiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muatikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan sebagaimanadimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupaperingatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin”.
Pada kedua pasal tersebut di atas, semua kapal ikan dankapal pengangkut ikan wajib mendaratkan hasil tangkapannya dipelabuhan-pelabuhan yang telah ditetapkan. Namun yang menjadipertanyaan adalah, kenapa para pelaku yang tidak melakukanpendaratan ikan di pelabuhan yang telah ditetapkan atau yangdalam bahasa perikanannya adalah “transhipment” hanya diganjardengan sanksi administratif, bukannya sanksi pidana. Hal inidikarenakan, kegiatan transhipment merupakan salah satu yangsedang diperangi oleh dunia internasional, yaitu kegiatan perikananyang tidak dilaporkan (unreported fishing). Dampak yangdisebabkan oleh adanya kegiatan transhipment tidak hanyamerugikan negara secara ekonomi ataupun merugikan secara ekologikarena menyebabkan gejala tangkap lebih (overfishing), akan tetapikegiatan transhipment juga mengganggu data stok ikan, sehinggaakan menyebabkan data yang dilaporkan oleh Pemerintah bisadigolongkan kepada kesalahan data (misreported) atau data yangdilaporkan di bawah angka sebenarnya (underreported). Kalautidak menimbulkan efek jera terhadap para pelanggar, ke depannya,isu illegal, unreprted and unregulated (IUU) fishing bisamengganggu kegiatan perikanan Indonesia, karena sanksi ekonomiberupa embargo terhadap produk perikanan Indonesia akan mungkindikenakan. Isu IUU Fishing menjadi pembicaraan global, karenakegiatan perikanan di satu negara akan berdampak pada kelestarianikan di negara lain. Mengingat, sumber daya ikan bersifat lintasbatas. Dengan demikian, sanksi administratif bagi para pelakutranshipment sudah selayaknya diganti dengan sanksi pidana,sehingga bisa menimbulkan efek jera.
2. Pengaturan penahanan kapal
Pasal 73 ayat (4) butir e menyebutkan bahwa, Penyidik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
104
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b. Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
c. Membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/
atau saksi untuk didengar keterangannya;
d. Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga
dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak
pidana di bidang perikanan;
f. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau
menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak
pidana di bidang perikanan;
g. Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
perikanan;
h. Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di
bidang perikanan;
i. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan tindak pidana di bidang perikanan;
j. Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
k. Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan
dan/atau hasil tindak pidana;
l. Melakukan penghentian penyidikan; dan
m. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
Dari ke-12 wewenang penyidik, ada satu wewenangnya yang
dirasakan oleh nelayan “kurang tepat” diterapkan pada dunia
perikanan, yaitu pada butir e, di mana dilakukannya penahanan
terhadap kapal. Hal ini dikarenakan, proses pengadilan yang
berlarut-larut menyebabkan kapal yang ditahan mengalami
kerusakan. Dengan demikian, harus ada ketentuan yang jelas
terhadap aturan penahanan kapal, sehingga kapal yang ditahan
tidak rusak.
105
B. ANALISIS EMPIRIS
Praktik penangkapan ikan secara illegal fishing di wilayah
perairan Indonesia sudah sampai pada tahap yang sangat
memprihatinkan. Selain telah merugikan negara hampir Rp. 30
triliun per tahun, proses penegakan hukum terhadap pelaku masih
lemah. Masih saja terjadi praktik yang tidak dibenarkan secara
hukum seperti pemberian izin penangkapan bagi awak kapal yang
kasusnya telah disidangkan di pengadilan. Terkait dengan hal
tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi
menampik anggapan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan
tidak melakukan tindakan dan telah gagal menindak para pencuri
ikan. Pada suatu kesempatan Freddy menyatakan: “ ... sampai
sekarang kami sudah menangkap dan menahan sekitar 30 kapal
asing dan lokal yang kepergok mencuri ikan. Kasusnya kini masih
ditangani aparat penegak hukum, sedangkan kebijakan DKP adalah
akan mencabut izin penangkapan bagi kapal-kapal penangkapan
ikan”.18
Dengan diberlakukannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
pemerintah berharap dapat ditekannya angka pelanggaran tindak pidana
perikanan, termasuk illegal fishing. Ini terbukti karena dalam Undang-
Undang Perikanan yang baru tersebut diamanatkan hukum pidana
formil (hukum acara) di mana proses penyelidikan, penuntutan dan
persidangan dengan ketentuan pidana sanksi yang cukup berat. Sanksi
tersebut tidak hanya diterapkan kepada nakhoda dan KKM, namun
juga diterapkan kepada pemilik kapal dan para petugas yang terbukti
terlibat kasus illegal fishing.
1. Perlunya Kepastian Hukum
Diberlakukannya UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
kehadirannya sangat penting dan strategis karena menyangkut
kepastian hukum, dalam konteks menjawab tuntutan masyarakat
perikanan terhadap pembangunan sektor perikanan di masa depan.
1 Kompas, 28 Januari 2005.
106
Beberapa perubahan yang cukup signifikan dalam undang-undang
perikanan yang baru ini, memberikan dampak yang baik bagi
mereka yang membutuhkan perlindungan hukum di sektor
perikanan. Perubahan itu meliputi adanya pengadilan perikanan,
penambahan instansi penyidik, pembatasan waktu penyidikan,
penuntutan dan persidangan, sanksi pidana denda yang diperberat
dari minimal Rp 250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp 20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah).
Apabila semua peraturan di atas diterapkan secara efektif
oleh pengemban tugas penegak hukum di bidang perikanan, akan
memberikan kontribusi terhadap perolehan devisa negara yang
cukup besar, di luar pajak dan gas bumi. Pada sisi lain, tentunya
akan menekan angka pelanggaran terhadap para pelaku pencurian
ikan atau illegal fishing itu sendiri. Memang benar bahwa ada
semacam rasa ketidakadilan bila pemberian sanksi yang hanya
diberlakukan terhadap pelaku di lapangan seperti nakhoda dan
KKM. Ini artinya pemilik kapal, pemilik perusahaan dan operator
kapal, bahkan para pejabat atau petugas yang terbukti membantu
atau turut serta melakukan tindak pidana perikanan juga akan
mendapatkan sanksi yang setimpal, bahkan apabila perlu mereka
harus mengalami nasib yang sama. Konsep ini sejalan dengan
program pemerintah membentuk citra aparatur pemerintah yang
bersih (good governance) serta upaya mendukung pemberantasan
KKN di semua aspek termasuk sektor perikanan.
Kepastian hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
merupakan faktor yang sangat penting guna memberikan rasa
aman dan nyaman bagi para masyarakat luas. Apabila dilihat dari
sudut pandang ekonomi, kepastian hukum juga merupakan salah
satu faktor penting dan merupakan barometer bagi investor baik
asing maupun domestik dalam menanamkan investasinya.
Permasalahan Pengelolaan Perikanan
Ada beberapa permasalahan pengelolaan perikanan yang selama
ini masih terjadi di lapangan, terkait dengan illegal fishing, yaitu:
107
a. Perubahan status kapal asing menjadi kapal berbendera
Indonesia
Status kapal asing yang “berubah” menjadi kapal
berbendera Indonesia dalam melakukan penangkapan ikan di
wilayah perairan Indonesia ternyata memiliki modus oper-
andi yang cukup beragam. Di antaranya dengan cara di mana
pihak asing seolah-olah memiliki utang dengan mitra bisnisnya
di Indonesia dan melalui putusan pengadilan dengan delik
perdata, pihak asing tersebut diharuskan membayar utangnya
dengan cara menggunakan kapal ikan eks charter yang telah
habis izinnya. Cara lainnya di mana kapal ikan eks charter
atau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase
seolah-olah kapal produksi dalam negeri dan lengkap dengan
dokumennya. Ada pula pengusaha perikanan yang melakukan
impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun transaksi
impornya tidak benar-benar terjadi karena tidak ada pembayaran
(fiktif). Bahkan ada pengusaha perikanan yang melakukan
impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan
harga yang dibuat semurah-murahnya di luar kepatutan.
b. Praktik kegiatan transhipment di tengah laut
Praktik kegiatan transhipment di tengah laut adalah
kegiatan melanggar hukum yang dilakukan dengan cara sistem
bongkar muat (loading-unloading) antar kapal di tengah laut.
Menurut peraturan yang ditetapkan, mereka seharusnya
melakukan transhipment di pelabuhan yang telah ditetapkan
sebagai pangkalannya, karena tata cara melakukan kegiatan
transhipment secara jelas telah diatur dalam Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI). Kegiatan transhipment di tengah
laut jelas-jelas merugikan negara, di mana hasil tangkapan
yang seharusnya melalui proses kepabeanan dibawa begitu
saja ke negara pemilik kapal yang melakukan praktik tersebut.
Kegiatan melanggar hukum ini dapat dicegah dengan
meningkatkan koordinasi kerja antar aparat terkait seperti
PPNS Perikanan, TNI-AL, Kepolisian, Bea Cukai dan lainnya.
108
Tentu saja komitmen yang kuat serta adanya keinginan yangbaik (good will) dari aparat sangat diperlukan dalam upayamemberantas praktik transhipment di tengah laut ini.
c. Penggunaan alat tangkap ikan dan daerah penangkapan.
Ketentuan menggunakan alat tangkap dan daerahtangkapan (fishing ground) bagi kapal penangkap ikan diwilayah perairan Indonesia, sudah diatur dalam pengurusandokumen izin penangkapan. Akan tetapi kapal penangkapikan khususnya kapal asing masih menganggap Indonesiamemberikan kebebasan terhadap penggunaan alat tangkapserta wilayah penangkapannya. Usaha untuk menindakpelanggaran terhadap kegiatan ini sebenarnya telah diupayakanoleh pemerintah dengan meningkatkan sistem pengawasanmelalui pemanfaatan teknologi yang disebut dengan MCS(Monitoring, Controlle and Surveillance), di mana perangkattersebut dipasang pada kapal penangkap ikan sehingga melaluisetelit dan gelombang radar kegiatan mereka dapat dipantauoleh aparat terkait. Pada kenyataannya belum semua kapalikan memasang alat tersebut, sehingga pengawasan belumberjalan sebagaimana yang diharapkan. Tentu saja pengawasanterhadap kegiatan penangkap ikan tidak hanya bisa dilakukandengan menggunankan teknologi MCS, Kerja sama dankoordinasi kerja antar aparat yang berwenang, serta komitmenyang kuat untuk menegakkan aturan hukum yang berlakudari aparat sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan upayapencegahan berbagai jenis tindakan pelanggaran.
2. Upaya Pemberantasan Illegal Fishing
Masalah pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia masihmerupakan isu aktual sampai saat ini. Pemerintah semakin dituntutuntuk dapat memberantas praktik yang merugikan negara tersebut.Melalui program kerja yang akurat dan efektif, semua instansiyang terkait bekerja sama dan berkoordinasi secara terpadu.
Departemen Kelautan dan Perikanan salah satu instansi
pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perikanan, harus
109
mengatur kembali prosedur dan tata cara beroperasinya kapal
asing di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Hal
ini dilakukan untuk memudahkan sistem pengawasan yang menjadi
penyebab sulitnya diberantas tindakan pencurian ikan. Disamping
meningkatkan fungsi pengawasan, sistem administrasi pemberian
izin dan prosedur penangkapan ikan di wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia harus diperbaharui dengan
memperhatikan aspek-aspek wawasan nusantara, persatuan dan
kesatuan bangsa, pembangunan nasional, kelestarian lingkungan
dan lain-lainnya.
Dari seluruh rangkaian persoalan maraknya terjadi tindakan
illegal fishing di wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indo-
nesia, masalah yang cukup serius untuk dicarikan pemecahannya
adalah adanya rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan
yang tidak sebanding dengan kemampuan pengawasan yang ada
saat ini. Terbatasnya kemampuan sarana dan armada pengawasan
di laut, lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia, banyaknya
pengusaha yang bermental buruk yang hanya memburu keuntungan
ekonomi semata, merupakan sebagian dari banyaknya faktor
penyebab terjadinya praktik illegal fishing.
Praktik illegal fishing memang harus diberantas lebih serius
lagi, karena kegiatan tersebut tidak hanya menyebabkan kerugian
terhadap perekonomian nasional, tetapi juga kerugian akan
kerusakan ekologi dan sumber daya alam lainnya. Untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, kerja keras pemerintah dan
dukungan dari berbagai pihak seperti masyarakat, nelayan, LSM,
dan pengusaha dan pihak lainnya sangat diharapkan untuk dapat
bekerja sama dan saling mendukung pemecahan masalah ini.
Berdasarkan kesepakatan bersama antara Departemen Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor: 10/KB/Dep.KP/2003, No. Pol.: B/
4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan
dan Perikanan, maka telah tercapai kesepakatan kerja sama dengan
penjelasan sebagai berikut:
110
1. Bahwa wilayah perairan Indonesia memiliki potensi kekayaan
sumber daya alam yang sangat besar sehingga perlu dikelola
secara optimal, berkelanjutan dan bertanggungjawab.
2. Bahwa agar pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan
dan perikanan dapat berdaya guna dan berhasil guna, perlu
pengawasan dan pengendalian.
3. Bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan adalah instansi
yang bertanggungjawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan
tangkap, perikanan budidaya, pengawasan sumber daya
kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas kelembagaan
dan pemasaran pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil,
serta riset kelautan dan perikanan.
4. Bahwa POLRI adalah instansi yang bertanggungjawab dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat serta melindungi kepentingan
nasional.
Kerja sama dalam rangka penegakan hukum di bidang kelautan
dan perikanan antara Departemen Kelautan dan Perikanan serta
POLRI terlaksana dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan dibawah ini:
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209).
2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3299).
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839).
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 2002
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4168).
111
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi
dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002.
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun
2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Dari kerja sama yang telah disepakati tersebut, Departemen
Kelautan dan Perikanan maupun POLRI menyatakan beberapa
hal sebagai berikut:
1. Maksud Kesepakatan Bersama ini adalah sebagai pedoman
bagi aparat Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dalam rangka
penegakan hukum terhadap tindak pidana yang terkait dengan
bidang kelautan dan perikanan.
2. Tujuan Kesepakatan Bersama ini adalah:
a. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama dalam rangka
pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana
yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di
wilayah perairan Indonesia.
b. Memberikan pengamanan dan perlindungan terhadap
masyarakat pesisir, nelayan, dan masyarakat maritim serta
pengguna jasa laut sehingga merasa aman dan nyaman
dalam melaksanakan aktivitasnya.
c. Mengamankan seluruh kebijakan Pemerintah Republik
Indonesia di bidang kelautan dan perikanan.
d. Meningkatkan pengetahuan teknis aparat penegak hukum
kedua instansi di bidang kelautan dan perikanan.
Ruang lingkup kesepakatan bersama ini meliputi:
1. Bidang Pembinaan:
a. Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia pada
112
jajaran DKP dan POLRI dengan menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan.
b. Peningkatan sarana, prasarana dan sistem pengawasan di
bidang kelautan dan perikanan.
c. Peningkatan sistem pengamanan di lingkungan DKP
2. Bidang Operasional:
a. Pelaksanaan sistem jaringan informasi dan komunikasi
dalam rangka penegakan hukum.
b. Pelaksanaan sistem pengawasan di bidang kelautan dan
perikanan.
c. Pelaksanaan penegakan hukum di bidang kelautan dan
perikanan.
d. Koordinasi dalam penyelesaian kasus pelanggaran
ketentuan-ketentuan di bidang kelautan dan perikanan.
3. Dalam rangka mendalami pengetahuan dan pemahaman di
bidang kelautan dan perikanan, Departemen Kelautan dan
Perikanan mengikutsertakan peserta dari POLRI dalam kegiatan
pendidikan dan pelatihan, temuwicara, seminar, maupun
kegiatan ilmiah lainnya yang diselenggarakan oleh Departemen
Kelautan dan Perikanan.
4. Departemen Kelautan dan Perikanan menyiapkan tenaga yang
memiliki keahlian dan pengalaman luas di bidang kelautan
dan perikanan, sebagai pengajar dalam kegiatan pendidikan,
pelatihan, temu wicara maupun kegiatan ilmiah lainnya yang
diselenggarakan oleh POLRI.
5. POLRI menyiapkan tenaga sebagai pengajar atau pembicara
dalam kegiatan pendidikan, pelatihan, temu wicara, maupun
kegiatan ilmiah lainnya yang diselenggarakan oleh Departemen
Kelautan dan Perikanan.
6. Dalam rangka mendorong dan mengembangkan sistem
pengamanan di lingkungan Departemen Kelautan dan
Perikanan, POLRI menyiapkan tenaga pelatih profesional guna
113
melakukan pembinaan dan pelatihan satuan pengamanan yang
dimiliki jajaran Departemen Kelautan dan Perikanan.
7. POLRI membantu piranti lunak dan piranti keras untuk mening-
katkan sarana dan prasarana dalam rangka pelaksanaan sistem
pengawasan.
8. Dalam rangka peningkatan kemampuan Penyidikan Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) di bidang kelautan dan perikanan PARA
PIHAK dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
9. PARA PIHAK akan mendahulukan tindakan preventif dan
persuasif dalam rangka menangani kasus-kasus yang merugikan
atau mengganggu pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan
perikanan, sepanjang permasalahan tersebut tidak atau belum
dikategorikan sebagai tindak pidana.
10. PARA PIHAK saling memberitahukan mengenai informasi
adanya perbuatan atau rencana perbuatan dari pihak tertentu
yang merugikan dan/atau mengganggu pelaksanaan tugas di
bidang kelautan dan perikanan.
11. Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula
disampaikan oleh jajaran Departemen Kelautan dan Perikanan
kepada jajaran POLRI setempat di mana terjadinya tindakan
yang merugikan atau mengganggu pelaksanaan tugas di bidang
kelautan dan perikanan.
12. POLRI segera melakukan koordinasi dengan Departemen
Kelautan dan Perikanan dan segera mengambil tindakan-tindak-
an kepolisian, apabila memperoleh informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6
13. POLRI akan mengambil tindakan terhadap pihak-pihak tertentu
yang melakukan tindak pidana dan/atau mengganggu pelak-
sanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan.
14. Departemen Kelautan dan Perikanan wajib membantu POLRI
dalam rangka melakukan tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2).
114
15. Apabila terjadi tindak pidana di bidang kelautan dan perikanandi mana penyidik POLRI memerlukan penyitaan barang-barangbukti berupa dokumen kelautan dan perikanan, jika diperlukandapat meminta bantuan Departemen Kelautan dan Perikanan.
16. Apabila di dalam suatu tindak pidana bidang kelautan danperikanan diperlukan kesaksian dari pejabat DepartemenKelautan dan Perikanan atau Dinas Kelautan dan Perikanan,
maka pemanggilan sebagai saksi disampaikan kepada yangbersangkutan:
a. Di tingkat Pusat melalui Menteri Kelautan dan Perikanan.
b. Di tingkat Daerah melalui Dinas Kelautan dan PerikananProvinsi, Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
17. Pejabat-pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dapat
menunjuk staf yang membidangi permasalahannya atau apabiladiperlukan dapat memberikan keterangan secara tertulis.
18. Pelaksanaan Kesepakatan Bersama ini akan diatur lebih lanjutdalam suatu Perjanjian Pelaksanaan yang mengatur ruanglingkup kegiatan yang akan dilaksanakan, mekanisme kerja,hak dan kewajiban PARA PIHAK serta hal-hal lain yangdianggap perlu.
19. Untuk melaksanakan Perjanjian Pelaksanaan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), PARA PIHAK akan menunjukwakilnya sesuai dengan kebutuhan, tugas dan fungsi dariPARA PIHAK baik di Pusat maupun di Daerah.
20. Perjanjian Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) disusun selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah
ditandatanganinya kesepakatan bersama ini.
21. Kegiatan-kegiatan dalam kesepakatan bersama ini dilaksanakanbaik di Pusat maupun di Daerah.
22. Setiap Perjanjian Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) merupakan suatu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan
dari kesepakatan bersama ini
115
23. Dukungan pelaksanaan dapat berupa bantuan personel, sarana,
prasarana, fasilitas dan biaya.
24. Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dibebankan
kepada PARA PIHAK secara proporsional yang akan diatur
lebih lanjut dalam Perjanjian Pelaksanaan.
25. PARA PIHAK sepakat untuk bertanggung jawab sepenuhnya
guna melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan pencapaian
tujuan Kesepakatan Bersama ini sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
26. Kesepakatan bersama ini dapat diubah berdasarkan persetujuan
PARA PIHAK.
27. Perubahan dan/atau penambahan terhadap hal-hal yang belum
diatur dalam Kesepakatan Bersama ini, akan diatur dalam
bentuk addendum dan/atau amandemen sesuai dengan kese-
pakatan PARA PIHAK dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Kesepakatan Bersama ini.
28. Apabila terjadi perbedaan dalam penafsiran dan/atau pelaksana-
an Kesepakatan Bersama ini akan diselesaikan secara
musyawarah dan mufakat oleh PARA PIHAK.
29. Kesepakatan Bersama ini berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun terhitung sejak tanggal ditandatanganinya Kesepakatan
Bersama ini dan dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan evaluasi setiap tahun sesuai dengan kesepakatan
PARA PIHAK.
30. Apabila dipandang perlu, Kerja sama ini dapat diperpanjang
atas persetujuan PARA PIHAK dengan melakukan koordinasi
atas rancangan perpanjangan Kesepakatan Bersama ini selam-
bat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya Kesepakatan
Bersama ini.
31. Kesepakatan Bersama ini dapat diakhiri sebelum jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan ketentuan pihak
yang mengakhiri Kesepakatan Bersama wajib memberitahukan
116
maksud tersebut secara tertulis kepada pihak lainnya, selambat-
lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum keinginan diakhirinya
Kesepakatan Bersama ini.
Upaya Pengkoordinasian Lembaga-lembaga Pemerintah dalam
Memberantas Pencurian Ikan. Sebagai upaya pemberantasan tindak
pidana pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, koordinasi antar
lembaga-lembaga pemerintah dan departemen-departemen yang terkait
dengan permasalahan ini sangat diperlukan. Hal ini dilakukan dengan
tujuannya memaksimalkan hasil yang dicapai, sehingga penanganan
tindak pidana pencurian ikan ini tidak terkesan setengah-setengah.
Keterlibatan sejumlah instansi pemerintah dan jajaran yang mempunyai
kepentingan serta kewenangan menunjukkan keseriusan bangsa Indo-
nesia terhadap permasalahan tindak pidana perikanan. Adapun instansi
dan jajaran pemerintah yang harus ikut berperan serta dalam usaha
pencegahan tindakan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menteri Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
a. Mengkoordinasi seluruh instansi terkait dalam rangka
pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
b. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
melaksanakan percepatan pemberantasan penangkapan ikan
secara ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia.
c. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia atas
pelaksanaan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal
secara periodik setiap 3 (tiga) bulan, kecuali pada kasus-
kasus yang mendesak.
2. Menteri Kelautan dan Perikanan
a. Meningkatkan penegakan hukum dan pengawasan perikanan
bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Tentara Nasional Indonesia, dan aparat terkait terhadap pelaku
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
117
melalui kegiatan operasi intelejen, preventif, represif, dan
yustisi.
b. Menindak tegas sesuai dengan kewenangannya terhadap pelaku
penangkapan ikan secara ilegal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
c. Menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan
Penangkapan Ikan secara ilegal di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia.
d. Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang
berjasa dalam kegiatan pemberantasan penangkapan ikan secara
ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indone-
sia.
e. Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan
pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga
terlibat kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.
f. Meningkatkan seleksi dan pengawasan pemberian izin usaha
perikanan yang menjadi kewenangannya.
g. Mencabut izin usaha perikanan yang telah dikeluarkan terhadap
pelaku kegiatan penangkapan ikan secara ilegal.
3. Menteri Keuangan
a. Mengalokasikan biaya melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara pada masing-masing instansi untuk kegiatan
operasional maupun insentif bagi pihak yang berjasa.
b. Menginstruksikan kepada aparat Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai untuk meningkatkan pengawasan atas pelanggaran ekspor
dan impor komoditi perikanan.
4. Menteri Dalam Negeri
Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap peraturan perun-
dang-undangan perikanan di daerah dan mempercepat penyampaian
rekomendasi pencabutan peraturan perundang-undangan di daerah
118
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
5. Menteri Luar Negeri
Menjalin kerja sama dengan komunikasi internasional dalam
memberantas penangkapan secara ilegal di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia.
6. Menteri Perhubungan
a. Meningkatkan pengawasan perizinan yang terkait dengan
pembangunan dan/atau modifikasi kapal perikanan.
b. Menginstruksikan kepada seluruh aparat yang berwenang di
pelabuhan untuk tidak memberikan Surat Izin Berlayar (SIB)
kepada kapal perikanan yang tidak memenuhi ketentuan di
bidang perikanan, meliputi penerapan Log Book dan Surat
Laik Operasional.
c. Menindak tegas perusahaan pengangkutan dan pelayaran yang
mengangkut ikan ilegal sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, termasuk mencabut izin usaha
pelayaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
d. Membina organisasi angkutan dalam rangka mendukung
pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
7. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
a. Meningkatkan pengawasan pemberian izin kemudahan khusus
keimigrasian di bidang perikanan.
b. Sesegera mungkin mengkoordinasikan pengembalian Anak
Buah Kapal warga negara asing ke negara asalnya, yang
bukan sebagai tersangka.
8. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
a. Meningkatkan pengawasan pemberian izin penggunaan tenaga
kerja asing bagi pemberi kerja di bidang perikanan.
119
b. Meningkatkan pengawasan bagi pemberi kerja yang memper-
gunakan tenaga kerja asing di bidang perikanan.
9. Jaksa Agung
a. Melakukan koordinasi dengan aparat penyidik tindak pidana
di bidang perikanan sesuai dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
b. Melakukan tuntutan yang maksimum terhadap pelaku tindak
pidana di bidang perikanan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan peraturan perun-
dang-undangan terkait dengan tindak pidana di bidang
perikanan.
c. Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang
berhubungan dengan penangkapan ikan secara ilegal pada
setiap tahap penanganan, baik pada tahap penyidikan, tahap
penuntutan maupun tahap eksekusi.
10. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
a. Menindak tegas dan melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap para pelaku kegiatan penangkapan ikan secara ilegal
di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
b. Melindungi dan mendampingi PPNS Perikanan dalam
melaksanakan kegiatan koordinasi dan pengawasan dalam
penyidikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik In-
donesia.
c. Menempatkan Petugas Kepolisian Negara Republik Indone-
sia di lokasi rawan terjadinya penangkapan ikan secara ilegal
bersama-sama dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Departemen Kelautan dan Perikanan dan TNI AL.
11. Mahkamah Agung
Menerbitkan Surat Edaran yang ditujukan kepada hakim-hakim
yang menyidangkan perkara perikanan agar bersungguh-sungguh dan
berdedikasi dalam penegakan hukum di bidang perikanan.
120
12. Panglima Tentara Nasional Indonesia
a. Menginstruksi kepada Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Laut untuk menangkap setiap pelaku yang melakukan kegiatan
penangkapan ikan secara ilegal di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia berdasarkan bukti awal yang
cukup dan diproses sesuai dengan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan peraturan perundang-
undangan terkait dengan tindak pidana di bidang perikanan.
b. Menginstruksi kepada Tentara Nasional Indonesia Anngkatan
Laut untuk melakukan operasi di Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia dan Wilayah perbatasan negara
yang rawan terjadinya penangkapan ikan secara ilegal.
c. Melindungi dan mendampingi Pengawasan Perikanan dalam
melaksanakan kegiatan operasi pengawasan perikanan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
13. Para Gubernur
a. Mencabut dan merevisi peraturan Daerah/Keputusan Gubernur
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di
bidang perikanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam
rangka pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal di
wilayah kewenangannya.
c. Mengawasi pemberian izin usaha di bidang perikanan sesuai
dengan kewenangannya dan mencabut izin yang telah
dikeluarkan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
d. Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal
di wilayah kewenangannya melalui operasi preventif dan
represif.
e. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing.
121
f. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penangkapan
ikan secara ilegal di wilayah kewenangannya kepada Menteri
Koordinasi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui
Menteri Dalam Negeri.
14. Bupati/Walikota
a. Mencabut atau merevisi Peraturan Daerah/Keputusan Bupati/
Keputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan.
b. Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Kabupaten/
Kota dalam rangka pemberantasan kegiatan penangkapan ikan
secara ilegal di wilayah kewenanganya melalui operasi preventif
dan represif.
c. Mengawasi pemberian izin usaha di bidang perikanan sesuai
dengan kewenanganya dan mencabut izin yang telah
dikeluarkan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
d. Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit
dokumen usaha perikanan di wilayah kewenangannya.
e. Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi pengawasan
perikanan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
masing-masing.
f. Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penangkapan
ikan secara ilegal di wilayah kewenangannya kepada Menteri
Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan.
122
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Peradilan Perikanan dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum,
dengan pertimbangan pembentukan badan peradilan khusus yang
berada di bawah Peradilan Umum diharapkan akan lebih
memungkinkan bagi terlaksananya asas sederhana, cepat dan biaya
ringan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 4 ayat (2) UU No.
14 Tahun 1970.
2. Di dunia bisnis perikanan Indonesia masih banyak diwarnai
pelanggaran hukum (tindak pidana perikanan), seperti pemalsuan
izin kapal ikan yang dilakukan dengan berbagai cara, penggunaan
alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, transhipment,
pelanggaran fishing ground, dan lain-lain. Lemahnya penegakan
hukum di bidang perikanan antara lain disebabkan oleh belum
adanya perangkat hukum yang memadai serta dukungan
kelembagaan yang belum menerapkan Integrated Criminal Jus-
tice System secara maksimal.
3. Untuk mengatasi krisis ketidakberdayaan lembaga-lembaga
peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum
khususnya yang terkait penegakan hukum pelanggaran perikanan,
maka berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
dibentuklah Pengadilan Perikanan sebagai lembaga peradilan khusus
di bidang perikanan.
4. Jenis-jenis pelanggaran perikanan yang sering terjadi di antaranya
pelanggaran terhadap peraturan penangkapan ikan, pelanggaran
terhadap kelestarian lingkungan laut. Selain itu juga masalah
mekanisme perizinan, pengawasan dan penyelidikan menjadi salah
satu penyebab terjadinya pelanggaran hukum di laut.
123
5. Pasal 41 ayat (3) dan (4) mewajibkan kepada semua kapal ikan
dan kapal pengangkut ikan untuk mendaratkan hasil tangkapannya
di pelabuhan-pelabuhan yang telah ditetapkan (transhipment).
Pelanggaran terhadap hal tersebut hanya berupa sanksi adminis-
tratif sehingga tidak memberikan efek jera. Selain itu Pasal 73
ayat (4) butir e tentang wewenang penyidik yang dirasakan oleh
nelayan “kurang tepat” diterapkan pada dunia perikanan yaitu
dilakukannya penahanan terhadap kapal menyebabkan kapal yang
ditahan mengalami kerusakan karena proses pengadilan yang
berlarut-larut.
6. Pelaksanaan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
masih belum memberikan kepastian hukum yang adil bagi
masyarakat luas. Hal ini dapat dilihat dalam pemberlakuan sanksi
yang hanya diberlakukan terhadap pelaku di lapangan seperti
nakhoda dan KKM. Sementara pemilik kapal, pemilik perusahaan
dan operator kapal, bahkan para pejabat atau petugas yang terbukti
membantu atau turut serta melakukan tindak pidana perikanan
mendapatkan sanksi yang berbeda yang biasanya lebih ringan.
B. SARAN
1. Perlu adanya pengawasan terhadap kegiatan penangkapan ikan
sesuai peraturan dari pengelolaan sumber daya alam di laut
khususnya perikanan. Oleh karena itu perlu didukung dengan
adanya Juklak (Petunjuk Pelaksanaan) dan prosedur standar dari
instansi yang berwenang, yang dapat dijadikan pegangan oleh
para pelaku usaha perikanan.
2. Sanksi administratif bagi para pelaku transhipment sudah selayaknya
diganti dengan sanksi pidana sehingga bisa menimbulkan efek
jera. Selain itu harus ada ketentuan yang jelas terhadap aturan
penahanan kapal, sehingga kapal yang ditahan tidak rusak.
3. Penerapan sanksi agar setimpal baik bagi para pelaku tindak pidana
perikanan di lapangan maupun pemilik kapal, pemilik perusahaan
dan operator kapal, bahkan para pejabat atau petugas yang terbukti
membantu atau turut serta melakukan tindak pidana perikanan
124
sejalan dengan upaya pemerintah untuk membentuk citra aparatur
pemerintah yang bersih (good governance) serta upaya mendukung
pemberantasan KKN di semua aspek termasuk sektor perikanan.
4. Dalam melakukan penegakan hukum di laut perlu adanya kepastian
hukum terkait dengan tindak pidana perikanan. Apabila dilihat
dari sudut pandang ekonomi, kepastian hukum juga merupakan
salah satu faktor penting dan merupakan barometer bagi investor
baik asing maupun domestik dalam menanamkan investasinya.
5. Diperlukan koordinasi yang baik antara para penegak hukum dan
instansi-instansi terkait baik pusat maupun daerah dalam upaya
pemberantasan tindak pidana perikanan.
125
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Etty R. 2004. Sepuluh Tahun Berlakunya Konvensi PBB tentang
Hukum Laut (UNCLOS) 1982: Kewajiban Negara Peserta dan
Implementasinya oleh Indonesia. (Orasi Ilmiah). Universitas
Padjadjaran. Bandung.
Anwar, Chairil. 1995. Horizon Baru Hukum Laut Internasional: Konvensi
Hukum Laut 1982. Jambatan. Jakarta.
Diantha, I Made Pasek. 2002. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Alumni. Bandung.
Dirdjosisworo, Soedjono. Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit CV Rajawali,
Jakarta, 1983.
Letkol Laut (P) Aan Kumia, S-, Konsepsi TNI Al Dalam Penegakan
Hukum Di Laut Guna Mewujudkan Pemulihan Ekonomi, Majalah
Cakrawala TNI-AL, 2003-07-09 10:43:52.
Koran Tempo. 2005. Menteri Kelautan dan Perikanan Targetkan Tekan
Praktik Pencurian Ikan 20 Persen Koran Tempo, Rabu, 25 Mei
2005.
Mahendra, Yusril Ihza. 2000. Pembangunan Sistem Hukum Nasional,
Majalah Ketahanan Nasional, Edisi No. 73, 2000.
Seidman, Robert B., 1976. Law and Development A General Model,
diterjemahkan oleh Satjipto Rahardjo dalam Hukum dan
Pembangunan, Suatu Model Umum, Surabaya, PSHP, Unair, 1976.
Sinar Harapan. 2005. Kesepakatan Bersama TNI AL, Polri, dan
Kejaksaan, DKP Bertekad Bersihkan Praktik Pencurian Ikan, Sinar
Harapan 14 Maret 2005
Soemitro, Ronny Hanitiyo. 1982. Studi Hukum dan Masyarakat, Penerbit
Alumni, Bandung.
Soekanto, Soerjono. 1983. Penegak Hukum Faktor Sentral dalam
Penegakan Hukum, Kompas, 15 Desember 1983.
126
Yahya, Muhammad Ali. 2005. Perikanan Tangkap Indonesia (Suatu
Analisa Filosofis dan Kebijakan)., http://rudyct.250x.com/sem
1_012/ali_yahya.htm, 10 Oktober 2005.
127
128
Susunan Keanggotaan Tim
Analisis dan Evaluasi Hukum
Tentang Pengadilan Perikanan
Ketua : Dr. Rudy Satriyo Mukantardjo, S.H., M.H.
Sekretaris : Nurhayati, S.H.
Anggota : 1. Rusmana, S.H.
2. Akhmad Solihin, Spi.
3. Erwan Munawar, S.H.
4. Ir. Ibrahim Pessiwarissa
5. Kol. Triyono Sambodo, S.H.
6. Chaerijah, S.H., M.H., Ph.D.
7. Dra. Evi Djuniarti, M.H.
8. Melok Karyandani, S.H.
9. Gardjito, S.Sos.
10. Atiah
129
130
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN
TENTANG
PERIKANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa perairan yang berada di bawah kedaulatan dan yurisdiksi
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia serta laut lepas berdasarkan ketentuan internasional,
mengandung sumber daya ikan dan lahan pembudidayaan ikan
yang potensial, merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
yang diamanahkan pada Bangsa Indonesia yang memiliki Falsafah
Hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat Indonesia;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional
berdasarkan Wawasan Nusantara, pengelolaan sumber daya ikan
perlu dilakukan sebaik baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan
dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan, pembudi
daya ikan, dan/atau pihak pihak yang terkait dengan kegiatan
perikanan, serta terbinanya kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya;
c. bahwa Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
yang berlaku hingga sekarang belum menampung semua aspek
pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi
perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi
131
dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dan oleh karena itu
perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang Undang
tentang Perikanan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang Perikanan;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan:
UNDANG UNDANG TENTANG PERIKANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya
mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
132
2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis ikan.
3. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan tempat kehidupan
sumber daya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya.
4. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian
dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
5. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di
perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat
atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal
untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara,
membesarkan), dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya
dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan,
mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
7. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yangterintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan,
konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah
atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati.
8. Konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan,
pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem,
jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan
kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
9. Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang
dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung,
operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan
ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi
perikanan.
133
10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan.
11. Nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
12. Pembudi daya ikan adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan.
13. Pembudi daya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan pembudidayaan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari hari.
14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
15. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
16. Surat izin usaha perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah
izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk
melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi
yang tercantum dalam izin tersebut.
17. Surat izin penangkapan ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah
izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk
melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari SIUP.
18. Surat izin kapal pengangkut ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI,
adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan
untuk melakukan pengangkutan ikan.
19. Laut teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas)
mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
20. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan
kepulauan dan perairan pedalamannya.
21. Zona ekonomi eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI,
adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indone-
sia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah
134
di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua
ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indo-
nesia.
22. Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam
ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan
perairan pedalaman Indonesia.
23. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan
perairan di sekitarnya dengan batas batas tertentu sebagai tempat
kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang
dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh,
dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas
keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
24. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang
perikanan.
25. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Bagian Kedua
Asas dan Tujuan
Pasal 2
Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan,
kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan
kelestarian yang berkelanjutan.
Pasal 3
Pengelolaan perikanan dilaksanakan dengan tujuan:
a. meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya ikan
kecil;
b. meningkatkan penerimaan dan devisa negara;
c. mendorong perluasan dan kesempatan kerja;
d. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan;
135
e. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan;
f. meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah, dan daya saing;
g. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan
ikan;
h. mencapai pemanfataan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan
ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; dan
i. menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan
ikan, dan tata ruang.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 4
Undang Undang ini berlaku untuk:
a. setiap orang, baik warga negara Indonesia maupun warga negara
asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing,
yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
b. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia dan kapal perikanan
berbendera asing, yang melakukan kegiatan perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
c. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di luar wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia; dan
d. setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan, baik sendiri sendiri maupun bersama sama,
dalam bentuk kerja sama dengan pihak asing.
BAB III
WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN
Pasal 5
(1) Wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:
136
a. perairan Indonesia;
b. ZEEI; dan
c. sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang
potensial di wilayah Republik Indonesia.
(2) Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diseleng-
garakan berdasarkan peraturan perundang undangan, persyaratan,
dan/atau standar internasional yang diterima secara umum.
BAB IV
PENGELOLAAN PERIKANAN
Pasal 6
(1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang
optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan.
(2) Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/
atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
Pasal 7
(1) Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya
ikan, Menteri menetapkan:
a. rencana pengelolaan perikanan;
b. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
c. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia;
d. potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
e. potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia;
137
f. jenis,jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan
ikan;
h. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
i. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan
ikan;
j. sistem pemantauan kapal perikanan;
k. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
l. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan
ikan berbasis budi daya;
m. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
n. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan
serta lingkungannya;
o. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta
lingkungannya;
p. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
q. suaka perikanan;
r. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
s. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan,
dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia;
dan
t. jenis ikan yang dilindungi.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan
perikanan wajib mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mengenai:
a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat bantu penangkapan
ikan;
c. daerah, jalur, dan waktu atau musim penangkapan ikan;
d. persyaratan atau standar prosedur operasional penangkapan
ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
138
f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta penangkapan
ikan berbasis budi daya;
h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan
serta lingkungannya;
j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
k. suaka perikanan;
l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
m. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan,
dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Republik Indonesia;
dan
n. jenis ikan yang dilindungi.
(3) Menteri menetapkan potensi dan jumlah tangkapan yang
diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi
nasional yang mengkaji sumber daya ikan.
(4) Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk
oleh Menteri dan beranggotakan para ahli di bidangnya yang
berasal dari lembaga terkait.
(5) Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-
masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan
ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
(6) Dalam rangka mempercepat pembangunan perikanan, pemerintah
membentuk dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional
yang diketuai oleh Presiden, yang anggotanya terdiri atas menteri
terkait, asosiasi perikanan, dan perorangan yang mempunyai
kepedulian terhadap pembangunan perikanan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi dan tata kerja
dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
139
Pasal 8
(1) Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia.
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,
dan anak buah kapal yang melakukan penangkapan ikan dilarang
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau ‘bangunan yang dapat merugikan dan/
atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-
nesia.
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung
jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan
dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/
atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-
nesia.
(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan
pembudidayaan ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan
dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,
alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/
atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-
nesia.
(5) Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan untuk penangkapan ikan dan/
atau pembudidayaan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diperbolehkan hanya untuk penelitian.
140
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 9
Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia:
a. alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan;
b. alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan atau
standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu; dan/atau
c. alat penangkapan ikan yang dilarang.
Pasal 10
(1) Untuk kepentingan kerja sama internasional, Pemerintah:
a. dapat memublikasikan secara berkala hal hal yang berkenaan
dengan langkah konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan;
b. bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara
lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber daya
ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi
tertutup dan wilayah kantong;
c. memberitahukan serta menyampaikan bukti bukti terkait kepada
negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan
yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan
pengelolaan sumber daya ikan.
(2) Pemerintah ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/
lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerja
sama pengelolaan perikanan regional dan internasional.
Pasal 11
(1) Untuk kepentingan kelestarian sumber daya ikan dan pemanfaatan
lahan pembudidayaan ikan, Menteri menetapkan suatu keadaan
141
kritis yang membahayakan atau dapat membahayakan sediaan
ikan, spesies ikan, atau lahan pembudidayaan ikan dalam wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(2) Menteri mengumumkan dan menyebarluaskan langkah-langkah
keadaan kritis,sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-
nesia.
(2) Setiap orang dilarang membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber daya ikan,
dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia.
(3) Setiap orang dilarang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika
yang dapat membahayakan sumber daya ikan, lingkungan sumber
daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
(4) Setiap orang dilarang menggunakan obat obatan dalam pembudi-
dayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan,
lingkungan sumber daya ikan, dan/atau kesehatan manusia di
wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal hal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya
konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika
ikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi ekosistem, konservasi
jenis ikan, dan konservasi genetika ikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
142
Pasal 14
(1) Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma
nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka
pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.
(2) Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan.
(3) Pemerintah mengendalikan pemasukan ikan jenis baru dari luar
negeri dan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjamin kelestarian
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
(4) Setiap orang dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan
sumber daya ikan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian plasma
nutfah sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
Pemerintah mengatur pemasukan dan/atau pengeluaran, jenis calon
induk, induk, dan/atau benih ikan ke dalam dan dari wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
Pasal 16
(1) Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan mengadakan,
mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan
masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau
lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan, pengeluaran,
pengadaan, pengedaran, dan/atau’ pemeliharaan ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Pemerintah mengatur dan mengembangkan penggunaan sarana dan
prasarana pembudidayaan ikan dalam rangka pengembangan pembudida-
yaan ikan.
143
Pasal 18
(1) Pemerintah mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan
pembudidayaan ikan.
(2) Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan
pembudidayaan ikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas air untuk
kepentingan pembudidayaan ikan.
Pasal 19
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan dan standar alat pengangkut,
unit penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit
pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya.
(2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap alat pengangkut, unit
penyimpanan hasil produksi budi daya ikan, dan unit pengelolaan
kesehatan ikan dan lingkungannya.
(3) Pemerintah dan masyarakat melaksanakan pengelolaan kesehatan
ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan standar serta
pengawasan alat pengangkut, unit penyimpanan hasil produksi
budi daya ikan, dan unit pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungannya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
serta pelaksanaan pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 20
(1) Proses pengolahan ikan dan produk perikanan wajib memenuhi
persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu,
dan keamanan hasil perikanan.
(2) Sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terdiri atas subsistem:
a. pengawasan dan pengendalian mutu;
144
b. pengembangan dan penerapan persyaratan atau standar bahan
baku, persyaratan atau standar sanitasi dan teknik penanganan
serta pengolahan, persyaratan atau standar mutu produk,
persyaratan atau standar sarana dan prasarana, serta persyaratan
atau standar metode pengujian; dan
c. sertifikasi.
(3) Setiap orang .yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan
wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan
ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.
(4) Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan
pengolahan ikan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memperoleh
Sertifikat Kelayakan Pengolahan.
(5) Setiap orang yang memenuhi dan menerapkan persyaratan
penerapan sistem jaminan mutu hasil perikanan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), memperoleh Sertifikat Penerapan Pro-
gram Manajemen Mutu Terpadu.
(6) Ikan hasil penangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi
standar mutu dan keamanan hasil perikanan.
(7) Produk hasil pengolahan perikanan harus memenuhi persyaratan
dan/atau standar mutu dan keamanan hasil perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(8) lndustri pengolahan ikan yang tidak diatur dalam Undang-Undang
ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/
atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia
harus melengkapinya dengan sertifikat kesehatan untuk konsumsi
manusia.
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem jaminan mutu dan keamanan
hasil perikanan, sertifikat kelayakan pengolahan, sertifikat penerapan
145
manajemen mutu terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dan
sertifikat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
(1) Setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan
makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan
kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan
penanganan dan pengolahan ikan.
(2) Pemerintah menetapkan bahan baku, bahan tambahan makanan,
bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan
manusia dan/atau lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 24
(1) Pemerintah mendorong peningkatan nilai tambah produk hasil
perikanan.
(2) Pemerintah dapat membatasi ekspor bahan baku industri pengolahan
ikan untuk menjamin ketersediaan bahan baku tersebut di dalam
negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah produk
hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan jaminan
ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan di dalam negeri
serta pembatasan ekspor bahan baku sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
USAHA PERIKANAN
Pasal 25
Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan yang
meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
146
Pasal 26
(1) Setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang
penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan
pemasaran ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia wajib memiliki SIUP.
(2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya ikan
kecil.
Pasal 27
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI.
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing yang dipergunakan untuk
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia wajib memiliki SIPI.
(3) SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
(4) Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan
penangkapan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.
Pasal 28
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia wajib memiliki SIKPI.
(2) SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Usaha perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia hanya boleh dilakukan oleh warga negara Republik
Indonesia atau badan hukum Indonesia.
147
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan
usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyang-
kut kewajiban Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan
internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pemberian surat izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan
hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan
perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya
antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara
bendera kapal.
(2) Perjanjian perikanan yang dibuat antara Pemerintah Republik
Indonesia dan pemerintah negara bendera kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan kewajiban pemerintah
negara bendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan
orang atau badan hukum negara bendera kapal untuk mematuhi
perjanjian perikanan tersebut.
(3) Pemerintah menetapkan pengaturan mengenai pemberian izin usaha
perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang
beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau
pengaturan lainnya antara Pemerintah Republik Indonesia dan
pemerintah negara bendera kapal.
Pasal 31
(1) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk menangkap ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib
dilengkapi SIPI.
(2) Setiap kapal perikanan yang dipergunakan untuk mengangkut ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib
dilengkapi SIKPI.
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan syarat syarat pemberian
SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri.
148
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik In-
donesia yang bukan untuk tujuan komersial diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 34
(1) Kapal perikanan berdasarkan fungsinya meliputi:
a. kapal penangkap ikan;
b. kapal pengangkut ikan;
c. kapal pengolah ikan;
d. kapal latih perikanan;
e. kapal penelitian/ eksplorasi perikanan; dan
f. kapal pendukung operasi penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kapal perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi
kapal perikanan wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.
(2) Pembangunan atau modifikasi kapal perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan, baik di dalam maupun
di luar negeri, setelah mendapat pertimbangan teknis laik berlayar
dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayaran.
Pasal 36
(1) Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia Wajib didaftarkan terlebih
dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia.
(2) Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa:
a. bukti kepemilikan;
149
b. identitas pemilik; dan
c. surat ukur.
(3) Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar
negeri dan sudah terdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai
kapal perikanan Indonesia, selain dilengkapi dengan dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilengkapi pula dengan
surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang diterbitkan
oleh negara asal.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Menteri.
(5) Kapal perikanan yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Pasal 37
Setiap kapal perikanan Indonesia diberi tanda pengenal kapal perikanan
berupa tanda selar, tanda daerahpenangkapan ikan, tanda jalur
penangkapan ikan, dan/atau tand~ alai penangkapan ikan.
Pasal 38
(1) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak memiliki
izin penangkapan ikan selama berada di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia wajib menyimpan alat penangkapan
ikan di dalam palka.
(2) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki
izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan
ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa
alat penangkapan ikan lainnya.
(3) Setiap kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah memiliki
izin penangkapan ikan wajib menyimpan alat penangkapan ikan
di dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan
yang diizinkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia.
150
Pasal 39
Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis
tertentu dimungkinkan menggunakan 2 (dua) jenis alat penangkapan
ikan yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah
operasi penangkapan.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai membangun, mengimpor, memodifikasi
kapal, pendaftaran, pengukuran kapal perikanan, pemberian tanda
pengenal kapal perikanan, serta penggunaan 2 (dua) jenis alat
penangkapan ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 41
(1) Pemerintah menyelenggarakan dan membina pelabuhan perikanan.
(2) Menteri menetapkan:
a. rencana induk pelabuhan perikanan secara nasional;
b. klasifikasi pelabuhan perikanan dan suatu tempat yang
merupakan bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi
wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan;
c. persyaratan dan/atau standar teknis dan akreditasi kompetensi
dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan,
dan pengawasan pelabuhan perikanan;
d. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
e. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.
(3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus
mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang
ditetapkan.
(4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak
melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan
151
yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan
sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau
pencabutan izin.
Pasal 42
(1) Dalam rangka keselamatan pelayaran, ditunjuk syahbandar di
pelabuhan perikanan.
(2) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan
wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang dikeluarkan
oleh syahbandar.
(3) Selain menerbitkan surat izin berlayar, syahbandar di pelabuhan
perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
kewenangan lain, yakni:
a. memeriksa ulang kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal
perikanan; dan
b. memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal
perikanan.
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diangkat oleh Menteri.
Pasal 43
Setiap kapal perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan wajib
memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan.
Pasal 44
(1) Surat izin berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(2) dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan
mendapatkan surat laik operasi.
(2) Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan
oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi
dan kelayakan teknis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan
kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
152
Pasal 45
Dalam hal kapal perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar
pelabuhan perikanan, surat izin berlayar diterbitkan oleh syahbandar
setempat setelah diperoleh surat laik operasi dari pengawas perikanan
yang ditugaskan pada pelabuhan setempat.
BAB VI
SISTEM INFORMASI DAN DATA STATISTIK PERIKANAN
Pasal 46
(1) Pemerintah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan
data statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan,
pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran
data potensi, sarana dan prasarana, produksi, penanganan,
pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang
terkait dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan
pengembangan sistem bisnis perikanan.
(2) Pemerintah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk
menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan.
Pasal 47
(1) Pemerintah membangun jaringan informasi perikanan dengan
lembaga lain, baik di dalam maupun di luar negeri.
(2) Sistem informasi dan data statistik perikanan harus dapat diakses
dengan mudah dan cepat oleh seluruh pengguna data statistik dan
informasi perikanan.
BAB VII
PUNGUTAN PERIKANAN
Pasal 48
(1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber
daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.
153
(2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.
Pasal 49
Setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI
dikenakan pungutan perikanan.
Pasal 50
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal
49 dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian
sumber daya ikan dan lingkungannya.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan perikanan dan penggunaan
pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49,
dan Pasal 50 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN
Pasal 52
Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan peneli-
tian dan pengembangan perikanan untuk menghasilkan pengetahuan
dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha perikanan
agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, dan ramah
lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi/budaya lokal.
Pasal 53
(1) Penelitian dan pengembangan perikanan dapat dilaksanakan oleh
perorangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/
atau lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/
atau swasta.
(2) Perorangan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan/
atau lembaga penelitian dan pengembangan milik pemerintah dan/
154
atau swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
kerja sama dengan:
a. pelaksana penelitian dan pengembangan;
b. pelaku usaha perikanan;
c. asosiasi perikanan; dan/atau
d. lembaga penelitian dan pengembangan milik asing.
Pasal 54
Hasil penelitian bersifat terbuka untuk semua pihak, kecuali hasil
penelitian tertentu yang oleh Pemerintah dinyatakan tidak untuk
dipublikasikan.
Pasal 55
(1) Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia wajib terlebih dahulu
memperoleh izin dari Pemerintah.
(2) Penelitian yang dilakukan oleh orang asing dan/atau badan hukum
asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikutsertakan
peneliti Indonesia.
(3) Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia harus menyerahkan
hasil penelitiannya kepada Pemerintah.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penelitian dan
pengembangan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52, Pasal
53, Pasal 54, dan Pasal 55 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENDIDIKAN, PELATIHAN, DAN PENYULUHAN
PERIKANAN
Pasal 57
(1) Pemerintah menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan penyuluh-
155
an perikanan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya
manusia di bidang perikanan.
(2) Pemerintah menyelenggarakan sekurang kurangnya 1 (satu) satuan
pendidikan dan/atau pelatihan perikanan untuk dikembangkan
menjadi satuan pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf
internasional.
Pasal 58
Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga terkait, baik di tingkat
nasional maupun di tingkat internasional, dalam menyelenggarakan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan perikanan.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan, pelatihan,
dan penyuluhan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan
Pasal 58 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN
PEMBUDI DAYA IKAN KECIL
Pasal 60
(1) Pemerintah memberdayakan nelayan kecil dan pembudi daya ikan
kecil melalui:
a. penyediaan skim kredit bagi nelayan kecil dan pembudi daya
ikan kecil, baik untuk modal usaha maupun biaya operasional
dengan cara yang mudah, bunga pinjaman yang rendah, dan
sesuai dengan kemampuan nelayan kecil dan pembudi daya
ikan kecil;
b. penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi
nelayan kecil serta pembudi daya ikan kecil untuk mening-
katkan pengetahuan dan keterampilan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran ikan; dan
156
c. penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil, kelompok
pembudi daya ikan kecil, dan koperasi perikanan.
(2) Pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh
masyarakat.
Pasal 61
(1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia.
(2) Pembudi daya ikan kecil dapat membudidayakan komoditas ikan
pilihan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indo-
nesia.
(3) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menaati ketentuan konservasi
dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil harus ikut serta menjaga
kelestarian lingkungan perikanan dan keamanan pangan hasil
perikanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil harus mendaftarkan
diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat,
tanpa dikenakan biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistik
serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil.
Pasal 62
Pemerintah menyediakan dan mengusahakan dana untuk memberdayakan
nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil, baik dari sumber dalam
negeri maupun sumber luar negeri, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Pasal 63
Pengusaha perikanan mendorong kemitraan usaha yang saling
menguntungkan dengan kelompok nelayan kecil atau pembudi daya-
ikan kecil dalam kegiatan usaha perikanan.
157
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan nelayan kecil dan
pembudi daya ikan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal
61, Pasal 62, dan Pasal 63 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 65
(1) Penyerahan sebagian urusan perikanan dari Pemerintah kepada
Pemerintah Daerah dan penarikannya kembali ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat menugaskan kepada Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan.
BAB XII
PENGAWASAN PERIKANAN
Pasal 66
(1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan.
(2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan.
(3) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan non penyidik
pegawai negeri sipil perikanan.
Pasal 67
Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan
perikanan.
Pasal 68
Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan.
158
Pasal 69
(1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat
(1), dalam melaksanakan tugas dapat dilengkapi dengan senjata
api dan/atau alat pengaman diri lainnya serta didukung dengan
kapal pengawas perikanan.
(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di
bidang perikanan.
(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa,
membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga
melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.
(4) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat dilengkapi dengan senjata api.
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan perikanan, keikut sertaan
masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan, kapal pengawas
perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri lainnya, yang
digunakan oleh pengawas perikanan dan/atau yang dipasang di atas
kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69 ayat (1), ayat (2),
dan ayat (4), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENGADILAN PERIKANAN
Pasal 71
(1) Dengan Undang Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di
bidang perikanan.
(2) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada
di lingkungan peradilan umum.
159
(3) Untuk pertama kali pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan,
Pontianak, Bitung, dan Tual.
(4) Daerah hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaskud pada
ayat (3) sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang
bersangkutan.
(5) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pal-
ing lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang
ini mulai berlaku, sudah melaksanakan tugas dan fungsinya.
(6) Pembentukan pengadilan perikanan’sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB XIV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN PERIKANAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 72
Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 73
(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil perikanan, Perwira TNI AL, dan
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
koordinasi.
(3) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di
bidang perikanan, Menteri dapat membentuk forum koordinasi.
160
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;
c. membawa dan menghadapkan seorang sebagai tersangka dan/
atau saksi untuk didengar keterangannya;
d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga
dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak
pidana di bidang perikanan;
e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau
menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak
pidana di bidang perikanan;
f. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha
perikanan;
g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di
bidang perikanan;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan tindak pidana di bidang perikanan;
i. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
j. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan
dan/atau hasil tindak pidana;
k. melakukan penghentian penyidikan; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikan kepada
penuntut umum.
(6) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka
paling lama 20 (dua puluh) hari.
(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila
diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh)
hari.
161
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak
menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum
berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
(9) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah
mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Bagian Kedua
Penuntutan
Pasal 74
Penuntutan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan dilakukan
berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 75
(1) Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan
oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung dan/atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang kurangnya
5 (lima) tahun;
b. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang
perikanan; dan
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama
menjalankan tugasnya.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
pelaksanannya harus sudah diterapkan paling lambat 3 (tiga) tahun
terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
162
Pasal 76
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik dalam
waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas
penyidikan.
(2) Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap,
penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara kepada
penyidik yang disertai petunjuk tentang hal hal yang harus
dilengkapi.
(3) Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal
penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas
perkara tersebut kepada penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima)
hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau
apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada
pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
(5) Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut
lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung
sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap,
penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada
pengadilan perikanan.
(6) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang
melakukan penahanan atau penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh)
hari.
(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila
diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang
paling lama 10 (sepuluh) hari.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak
menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum
jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
163
Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Pasal 77
Pemeriksaan di Sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana di
bidang perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku,
kecuali ditentukan lain dalam Undang Undang ini.
Pasal 78
(1) Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim
ad hoc.
(2) Susunan majelis hakim terdiri atas 2 (dua) hakim ad hoc dan 1
(satu) hakim karier.
(3) Hakim karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(4) Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 79
Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilaksanakan tanpa kehadiran
terdakwa.
Pasal 80
(1) Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak tanggal penerimaan pelimpahan perkara dari penuntut umum,
hakim harus sudah menjatuhkan putusan.
(2) Putusan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa.
Pasal 81
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan
berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
164
(2) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum
jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
Pasal 82
(1) Dalam hal putusan pengadilan dimohonkan banding ke pengadilan
tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh pengadilan tinggi.
(2) Untuk kepentigan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan tinggi
berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum
selesai, dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak
menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum
jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
Pasal 83
(1) Dalam hal putusan pengadilan tinggi dimohonkan kasasi ke
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang Mahkamah Agung
berwenang menetapkan penahanan selama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
165
apabila perlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 10
(sepuluh) hari.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3), tidak
menutup kemungkinan terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum
jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan
sudah terpenuhi.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 84
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau
pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan
yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber
daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu
miliar dua ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan,
dan anak buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua
ratus juta rupiah).
(3) Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung
jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan
yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
166
Indonesia melakukan usaha penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara,
dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4) Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan
pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 85
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau
menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan
jika yang berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan
ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan
persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/
atau alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 86
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1),
167
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia membudidayakan ikan yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber
daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika
yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan
sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia menggunakan obat obatan dalam
pembudidayaan ikan yang dapat membahayakan sumber daya ikan
dan/atau lingkungan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 87
(1) Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan
sumber daya ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat
(4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar ru-
piah).
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia mengakibatkan rusaknya plasma
nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan sebagaimana
168
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 88
Setiap orang yang dengan sengaja memasukkan, mengeluarkan,
mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan
masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan
sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
Pasal 89
Setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang
tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan
ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
Pasal 90
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pemasukan atau
pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah
Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk
konsumsi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
Pasal 91
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan bahan baku, bahan
tambahan makanan, bahan penolong dan/atau alat yang, membahayakan
kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan
dan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
169
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,OO (satu miliar lima ratus juta ru-
piah).
Pasal 92
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang
tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling, lama 8 (delapan) tahun dan
denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).
Pasal 93
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan/
atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,OO
(dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memiIiki dan/atau mengoperasikan kapal
penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, yang tidak
memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
Pasal 94
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang
melakukan pengangkutan ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak
memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
170
Pasal 95
Setiap orang yang membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal
perikanan yang tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
Pasal 96
Setiap orang yang mengoperasikan kapal perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan
kapal perikanannya sebagai kapal perikanan Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah).
Pasal 97
(1) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing yang tidak memiliki izin penangkapan ikan, yang selamaberada di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak
menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu)
jenis alat penangkapan ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI
yang membawa alat penangkapan ikan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Nakhoda yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera
asing yang telah memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak
menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka selama berada
di luar daerah penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 ayat (3), dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
171
Pasal 98
Nakhoda yang berlayar tidak memiliki surat izin berlayar kapal perikanan
yang dikeluarkan oleh syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Pasal 99
Setiap orang asing yang melakukan penelitian perikanan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia yang tidak memiliki izin
dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 100
Setiap orang yang melanggar ketentuan yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana denda pal-
ing banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 101
Dalam hat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat
(1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal
91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan
oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap
pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana
yang dijatuhkan.
Pasal 102
Ketentuan tentang pidana penjara dalam Undang Undang ini tidak
berlaku bagi tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf b, kecuali telah ada perjanjian antara Pemerintah
Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan.
Pasal 103
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85,
172
Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94
adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89,
Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan
Pasal 100 adalah pelanggaran.
Pasal 104
(1) Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang yang
ditangkap karena melakukan tindak pidana di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada
keputusan dari pengadilan perikanan dengan menyerahkan sejumlah
uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh
pengadilan perikanan.
(2) Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
negara.
Pasal 105
(1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dilelang untuk negara.
(2) Kepada aparat penegak hukum yang berhasil menjalankan tugasnya
dengan baik dan pihak pihak yang berjasa dalam upaya
penyelamatan kekayaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan insentif yang disisihkan dari hasil lelang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan
perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), perkara
173
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar daerah hukum
pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3)
tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang
berwenang.
Pasal 107
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan bagi
perkara tindak pidana di bidang perikanan yang diperiksa, diadili, dan
diputus oleh pengadilan negeri dilakukan sesuai dengan hukum acara
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 108
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (3) yang masih dalam tahap penyidikan atau penuntutan
tetap diberlakukan hukum acara yang berlaku sebelum berlakunya
Undang Undang ini;
b. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (3) yang sudah diperiksa tetapi belum diputus oleh
pengadilan negeri tetap diperiksa dan diputus oleh pengadilan
negeri yang bersangkutan sesuai dengan hukum acara yang berlaku
sebelum berlakunya Undang Undang ini; dan
c. perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di daerah
hukum pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
71 ayat (3) yang sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri tetapi
belum mulai diperiksa dilimpahkan kepada pengadilan perikanan
yang berwenang.
Pasal 109
Pada saat Undang Undang ini mulai berlaku semua peraturan pelaksanaan
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan
Undang Undang ini.
174
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 110
Pada saat Undang Undang ini mulai berlaku:
a. Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299);
dan
b. ketentuan tentang pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3260) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang
perikanan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 111
Undang Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 200
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
175
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004
NOMOR 118
176
PENJELASAN
ATAS
UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2004
TENTANG
PERIKANAN
UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki
kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta
kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan
sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun
pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan
guna pemanfaatan yang sebesar besarnya bagi kepentingan bangsa
dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber
daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan
perikanan nasional.
Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan
Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona
ekonomi eksklusif Indonesia dan taut lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam
pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan
perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan
taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan
kecil, dan pihak pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap
memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya
ikan.
177
Undang Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak
dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini
dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi
perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan
sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun
perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif,
efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan
secara berhati hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang
berkelanjutan.
Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara
optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas
perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di
bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat
penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan
secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga
pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena
itu, adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak
diperlukan. Dalam Undang Undang ini lebih memberikan kejelasan
dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana
di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara
khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim
dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang
Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus
(lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang
perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan.
Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik
yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk menjamin
178
kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di
tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu
secara tegas, sehingga dalam Undang Undang ini rumusan mengenai
hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.
Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap
tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang Undang ini
diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan
peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka
pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan
tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
Undang Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak
pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang
terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua)
orang hakim ad hoc.
Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang,
maka Undang-Undang ini mengatur hal hal yang berkaitan dengan:
a. pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat,
keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi,
dan kelestarian yang berkelanjutan;
b. pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan
dan keterpaduan pengendaliannya;
c. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
d. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang
berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan
pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;
e. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan
pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan;
f. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana
perikanan serta sistim informasi dan data statistik perikanan;
179
g. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan,
kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;
h. pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi
bagi pembangunan kelautan dan perikanan;
i. pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan
memberdayakan nelayan kecil atau pembudi daya ikan kecil;
j. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona
ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam
bentuk peraturan perundang undangan dengan tetap memperhatikan
persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
k. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada
di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun
laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan
dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional
sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;
l. pengawasan perikanan;
m. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana
di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan,
perwira TNI AL dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;
n. pembentukan pengadilan perikanan; dan
o. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan
nasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang undang ini
merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang
perikanan sebagai pengganti Undang undang Nomor 9 Tahun 1985
tentang Perikanan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
180
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengelolaan perikanan di luar wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia” adalah pengelolaan
perikanan di laut lepas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hukum adat dan/atau kearifan lokal yang dijadikan
pertimbangan dalam pengelolaan perikanan adalah yang tidak
bertentangan dengan hukum nasional.
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “potensi dan alokasi sumber daya
ikan” adalah termasuk juga ikan yang beruaya.
181
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jumlah tangkapan yang
diperbolehkan” adalah banyaknya sumber daya ikan yang
boleh ditangkap di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia dengan tetap memperhatikan
kelestariannya sehingga diperlukan adanya data dan
informasi yang akurat tentang ketersediaan sumber daya
ikan yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah
maupun secara faktual setiap daerah penangkapan. Di
samping itu, pelaksanaan penerapan prinsip jumlah
tangkapan yang diperbolehkan wajib memperhatikan
kewajiban internasional di bidang perikanan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “potensi dan alokasi induk dan
benih ikan tertentu” adalah induk dan benih ikan tertentu
yang ditangkap dari alam.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “ukuran alat penangkapan” adalah
termasuk juga ukuran mata jaring.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “alat bantu penangkapan” adalah
sarana, perlengkapan, atau benda lain yang dipergunakan
untuk membantu dalam rangka efisiensi dan efektivitas
penangkapan ikan, seperti lampu, rumpon, dan terumbu
karang buatan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “waktu atau musim penangkapan”
adalah penetapan pembukaan dan penutupan area atau
musim penangkapan untuk memberi kesempatan bagi
pemulihan sumber daya ikan dan lingkungannya.
182
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Yang dimaksud dengan “sistem pemantauan kapal
perikanan” adalah salah satu bentuk sistem pengawasan
di bidang penangkapan ikan, yang menggunakan peralatan
pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan.
Contoh: sistem pemantauan kapal perikanan (vessel
monitoring system/VM.S)
Huruf k
Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan
dapat dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang
kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian
sumber daya ikan setempat sehingga perlu dipertimbang-
kan agar penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi
dengan lingkungan sumber daya ikan setempat dan/atau
tidak merusak keaslian sumber daya ikan.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan berbasis budi
daya” adalah penangkapan sumber daya ikan yang
berkembang biak dari hasil penebaran kembali.
Huruf m
Sesuai dengan perkembangan teknologi, pembudidayaan
ikan tidak lagi terbatas di kolam atau tambak, tetapi
dilakukan pula di sungai, danau, dan laut. Karena perairan
ini menyangkut kepentingan umum, perlu adanya penetap-
an lokasi dan luas daerah serta cara yang dipergunakan
agar tidak mengganggu kepentingan umum. Di samping
itu, perlu ditetapkan ketentuan yang bertujuan melindungi
pembudidayaan tersebut, misalnya, pencemaran lingkungan
sumber daya ikan.
183
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam
melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya
ikan dan lingkungannya, antara lain, dengan penanaman
atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang
buatan, pembuatan tempat berlindung/berkembang biak
ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan
pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan
saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar perairan.
Huruf p
Cukup jelas
Huruf q
Yang dimaksud dengan “suaka perikanan” adalah kawasan
perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun laut dengan
kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/
berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu, yang
berfungsi sebagai daerah perlindungan.
Huruf r
Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit ikan
bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam
wilayah tertentu terjangkit wabah, dan Menteri menetapkan
langkah langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah
penyakit ikan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Huruf s
Cukup jelas
Huruf t
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
184
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “komisi nasional” adalah kelompok
yang melakukan pengkajian potensi sumber daya ikan yang
terdiri atas pakar, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah
terkait yang mempunyai keahlian di bidang sumber daya ikan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “jenis ikan” adalah:
a. pisces (ikan bersirip);
b. crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya);
c. mollusca (kerang, tiram, cumi cumi, gurita, siput, dan
sebangsanya);
d. coelenterata (ubur ubur dan sebangsanya);
e. echinodermata (tripang, bulu babi, dan sebangsanya);
f. amphibia (kodok dan sebangsanya);
g. reptilia (buaya, penyu, kura kura, biawak, ular air, dan
sebangsanya);
h. mammalia (paus, lumba lumba, pesut, duyung, dan
sebangsanya);
i. algae (rumput laut dan tumbuh tumbuhan lain yang
hidupnya di dalam air); dan
j. biota perairan lainnya yang acta kaitannya dengan jenis
jenis tersebut di atas,
semuanya termasuk bagian bagiannya dan ikan yang
dilindungi.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
185
Pasal 8
Ayat (1)
Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/
atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya tidak saja mematikan ikan secara langsung,
tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan
merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi
kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat dimaksud,
pengembalian ke dalam keadaan semula akan membutuhkan
waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 9
Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya
penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat
merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal
itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan
ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan
terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang
186
sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan
menjadi target penangkapan.
Larangan tersebut dalam huruf a, huruf b, dan huruf c dicantumkan
dalam pemberian perizinan penangkapan dan merupakan satu
kesatuan dengan kapal yang akan digunakan untuk melakukan
penangkapan.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laut lepas yang bersifat tertutup
atau semi tertutup” adalah suatu teluk, lembah laut (ba-
sin), atau laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih,
yang dihubungkan dengan wilayah laut lainnya atau
samudera, oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri
seluruhnya, atau terutama dari laut teritorial dan zona
ekonomi eksklusif dua negara pantai atau lebih.
Yang dimaksud dengan “wilayah kantong (pocket area)”
adalah laut lepas yang dikelilingi oleh zona ekonomi
eksklusif dari beberapa negara, misalnya di utara Papua
terdapat laut lepas yang dibatasi oleh ZEE Indonesia,
ZEE Papua New Guinea, ZEE Palau, dan ZEE Federa-
tion State of Micronesia.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Keanggotaan Pemerintah dalam kerja sama regional dan
internasional dilakukan secara selektif.
Dalam hal tertentu Pemerintah diharapkan proaktif menyepon-
sori pembentukan lembaga regional dan internasional bagi
kemajuan pembangunan perikanan Indonesia.
187
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan kritis” adalah suatu penurunan
serius akibat penangkapan yang berlebihan atas ketersediaan jenis
ikan tertentu, keadaan berjangkitnya wabah penyakit ikan, atau
suatu perubahan besar dari perubahan lingkungan akibat pencemaran
yang, berpengaruh terhadap ketersediaan sumber daya ikan yang
harus ditangani dan memerlukan tindakan segera.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pencemaran sumber daya ikan” adalah
tercampurnya sumber daya ikan dengan makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain akibat perbuatan manusiasehingga sumber daya ikan menjadi kurang, tidak berfungsi
sebagaimana seharusnya, dan/atau berbahaya bagi yang
memanfaatkannya.
Yang dimaksud dengan “kerusakan sumber daya ikan” adalah
terjadinya penurunan potensi sumber daya ikan yang dapat
membahayakan kelestariannya di lokasi perairan tertentu yang
diakibatkan oleh perbuatan seseorang dan/atau badan hukum
yang telah menimbulkan gangguan sedemikan rupa terhadap
keseimbangan biologis atau daur hidup sumber daya ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
188
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Kawasan konservasi yang terkait dengan perikananan tara
lain, adalah terumbu karang, padang lamun, bakau, rawa,
danau, sungai, dan embung yang dianggap penting untuk
dilakukan konservasi. Dalam hal ini Pemerintah dapat melaku-
kan penetapan kawasan konservasi, antara lain, sebagai suaka
alam perairan, taman nasional perairan, taman wisata perairan,
dan/atau suaka perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “plasma nutfah” adalah substansi yang
terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan
sumber atau sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan
dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul
baru.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi plasma nutfah
yang ada agar tidak hilang, punah, atau rusak, di samping
juga untuk melindungi ekosistem yang ada.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ikan jenis baru” adalah ikan yang
bukan asli dan/atau tidak berasal dari alam darat dan laut
Indonesia yang dikenali dan/atau diketahui dimasukkan ke
dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
189
maupun ikan yang berasal dari hasil pemuliaan baik dalam
negeri maupun luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 15
Yang dimaksud dengan “calon induk ikan” adalah ikan hasil seleksi
yang dipersiapkan untuk dijadikan induk.
Yang dimaksud dengan “induk ikan” adalah ikan pada umur dan
ukuran tertentu yang telah dewasa dan digunakan untuk
menghasilkan benih, sedangkan benih ikan adalah ikan dalam
umur, bentuk, dan ukuran tertentu yang belum dewasa.
Untuk tujuan peningkatan produksi melalui perbaikan mutu ikan
dari hasil pembudidayaan, diperlukan jenis dan/atau varietas ikan
baru yang belum terdapat di dalam negeri. Namun, pemasukan
ikan jenis baru dari luar negeri dapat menjadi media pembawa
bagi masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan berbahaya
ke dalam negeri dan/atau dapat menjadi predator atau kompetitor
yang menyebabkan langkanya jenis ikan lokal. Oleh karena itu,
pemasukannya harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Pengaturan pengeluaran jenis calon induk, induk, dan
benih ikan dari wilayah pengelolaan perikanan Republik Indone-
sia dilakukan untuk menjamin pembudidayaan ikan jenis baru
tersebut secara berkelanjutan.
Pasal 16
Ayat (1)
Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi sumber daya
ikan yang dimiliki agar tidak hilang atau punah, terutama
ikan asli Indonesia (indigenous species), juga dimaksudkan
untuk melindungi ekosistem asli alam Indonesia.
190
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Yang dimaksud dengan “sarana pembudidayaan ikan” adalah, antara
lain, pakan ikan, obat ikan, pupuk, dan keramba.
Yang dimaksud dengan “prasarana pembudidayaan ikan” adalah,
antara lain, kolam, tambak, dan saluran tambak.
Dalam mengatur dan mengembangkan sarana dan prasarana
pembudidayaan ikan, Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 18
Ayat (1)
Setiap jenis ikan yang dibudidayakan memerlukan persyaratan
teknis dan tingkat teknologi yang berbeda. Oleh karena itu,
diperlukan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan
ikan sehingga distribusi dan pemanfaatan air dapat dilakukan
secara maksimal, sesuai dengan kebutuhan teknis pembudi-
dayaan ikan serta dapat dihindari penggunaan lahan yang
dapat merugikan pembudidayaan ikan, termasuk ketersediaan
sabuk hijau (greenbelt).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengelolaan kesehatan ikan dan
lingkungannya” adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
menjaga dan memperbaiki keseimbangan antar faktor
lingkungan, ketahanan ikan, serta hama penyakit ikan dengan
melakukan pencegahan, pengobatan, dan pengaturan pemakaian
obat ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
191
Ayat (3)
Pengelolaan kesehatan ikan dan lingkungannya harus dilakukan
secara bersama sama, baik oleh pemerintah maupun pihak
terkait dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama
dalam mengenali hama dan penyakit ikan, identifikasi,
pencegahan, penanggulangan dan pengendalian kesehatan ikan,
serta permasalahan lingkungan pembudidayaan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengolahan ikan” adalah rangkaian
kegiatan dan/atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai
menjadi produk akhir untuk konsumsi manusia.
Yang dimaksud dengan “produk perikanan” adalah setiap
bentuk produk pangan yang berupa ikan utuh atau produkyang mengandung bagian ikan, termasuk produk yang sudah
diolah dengan cara apapun yang berbahan baku utama ikan.
Yang dimaksud dengan “kelayakan pengolahan” adalah suatu
kondisi yang memenuhi prinsip dasar pengolahan, yang
meliputi konstruksi, tata letak, sanitasi, higiene, seleksi bahan
baku, dan teknik pengolahan.
Yang dimaksud dengan “sistem jaminan mutu dan keamanan”
adalah upaya pencegahan yang harus diperhatikan dan
dilakukan sejak praproduksi sampai dengan pendistribusian
untuk menghasilkan hasil perikanan yang bermutu dan aman
bagi kesehatan manusia.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengawasan dan pengendalian
mutu” adalah semua kegiatan menilai, memeriksa,
memantau, mengambil contoh, menguji, melakukan
192
koreksi, memvalidasi, mengaudit, memverifikasi, dan
mengkalibrasi, dalam rangka memberikan jaminan mutu
dan keamanan hasil perikanan.
Huruf b
Standar mutu meliputi, antara lain, ukuran, jumlah, rupa,
spesifikasi produk perikanan, dan hasil pengolahan ikan.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penanganan” adalah suatu rangkaian
kegiatan dan/atau perlakuan terhadap ikan tanpa mengubah
struktur dan bentuk dasar.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Untuk menjamin hak konsumen ikan dan produk perikanan,
produk harus aman, sehat, dan tidak kadaluarsa.
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “sertifikat kesehatan untuk konsumsi
manusia” adalah sertifikat yang dikeluarkan oleh laboratorium
yang ditunjuk oleh pemerintah yang menyatakan bahwa ikan dan
‘hasil perikanan telah memenuhi persyaratan jaminan mutu dan
keamanan untuk konsumsi manusia.
193
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
SIKPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIKPI
asli dan bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan
SIKPI asli.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal ini adalah SIPI asli
dan bukan foto copy dan/atau salinan yang mirip dengan
SIPI asli.
194
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan yang bukan untuk tujuan komersial” adalah kegiatan yang
dilakukan oleh perorangan atau lembaga Pemerintah atau lembaga
swasta dalam rangka pendidikan, penyuluhan, penelitian atau
kegiatan ilmiah lainnya, kesenangan, dan/atau wisata.
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan,
penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru
dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya
dukung sumber daya ikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Pendaftaran kapal perikanan dimuat di dalam buku kapal
perikanan yang dipergunakan untuk memenuhi persyaratan
penerbitan SIPI/SIKPI. Buku kapal perikanan dimaksud bukan
sebagai gros akte pendaftaran kapal yang merupakan
persyaratan untuk menerbitkan Surat Tanda Kebangsaan Kapal
Indonesia, bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera In-
donesia sebagai bendera kebangsaan.
195
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Kapal perikanan yang akan diproses penerbitan surat tanda
kebangsaan terlebih dahulu didaftarkan di dalam buku kapal
perikanan.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “tanda pengenal kapal perikanan” adalah
tanda atau notasi, antara lain, identitas tentang jenis kapal, ukuran
kapal, daerah penangkapan, dan nomor registrasi tempat kapal
tercatat sebagai kapal perikanan.
Pasal 38
Ayat (1)
Kewajiban menyimpan alat penangkapan ikan di dalam palka
diberlakukan bagi setiap kapal perikanan berbendera asing
yang melintasi perairan Indonesia, alur laut kepulauan Indo-
nesia (ALKI), dan ZEEI.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “kapal perikanan dengan ukuran dan jenis
tertentu” adalah kapal yang dipergunakan oleh nelayan kecil.
Pasal 40
Cukup jelas
196
Pasal 41
Ayat (1)
Dalam rangka pengembangan perikanan, Pemerintah
membangun dan membina pelabuhan perikanan yang berfungsi,
antara lain, sebagai tempat tambat-labuh kapal perikanan,
tempat pendaratan ikan, tempat pemasaran dan distribusi ikan,
tempat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan, tempat
pengumpulan data tangkapan, tempat pelaksanaan penyuluhan
serta pengembangan masyarakat nelayan, dan tempat untuk
memperlancar kegiatan operasional kapal perikanan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional
pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja
dan pengoperasian dalam koordinat geografis.
Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan
perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan
kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya
dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang
bersangkutan.
Huruf e
Pihak swasta dapat membangun pelabuhan perikanan atas
persetujuan Menteri.
197
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bongkar muat ikan” adalah termasuk
juga pendaratan ikan.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Syahbandar yang akan diangkat oleh Menteri harus terlebih
dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan kesyahbandaran
yang dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang kesyahbandaraan.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan perikanan
termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya
dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada pelabuhan
perikanan.
Termasuk kapal perikanan yang berlayar tidak dari pelabuhan
perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan
198
tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya wajib
memperoleh SLO dari pengawas perikanan.
Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi kapal perikanan
yang pada daerah tersebut memang tidak ada pelabuhan perikanan
dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan
ini, maka surat izin berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh
syahbandar setempat.
Pasal 46
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan rencana pengembangan sistem
informasi dan data statistik perikanan serta penilaian
kemajuannya, diperlukan data teknik, produksi, pengolahan,
pemasaran ikan, serta sosial ekonomi yang dapat memberikan
gambaran yang benar tentang tingkat pemanfaatan sumber
daya ikan yang tersedia.
Data dan informasi tersebut, antara lain:
a. jenis, jumlah, dan ukuran kapal perikanan;
b. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
c. daerah dan musim penangkapan;
d. jumlah tangkapan atau jumlah hasil pembudidayaan ikan;
e. luas lahan dan daerah pembudidayaan ikan;
f. jumlah nelayan dan pembudi daya ikan;
g. ukuran ikan tangkapan dan musim pemijahan ikan;
h. data ekspor dan impor komoditas perikanan; dan
i. informasi tentang persyaratan tertentu yang berkaitan
dengan standar ekspor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
199
Pasal 48
Ayat (1)
Kepada setiap orang yang berusaha di bidang penangkapan
atau pembudidayaan ikan yang dilakukan di laut atau di perairan
lainnya di dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia dikenakan pungutan perikanan karena mereka ini
telah memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ketentuan mengenai penelitian dan pengembangan dimaksudkan
untuk dapat mengungkapkan segala permasalahan yang mendasar
mengenai sumber daya ikan dan lingkungannya serta teknologi
yang berkaitan dengan perikanan tangkap, budi daya, dan
pengolahan maupun masalah sosial ekonomi perikanan.
Pelaksanaan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya harus ditujukan
untuk memperoleh informasi ilmiah tentang sumber daya ikan
dan lingkungannya serta sosial ekonomi perikanan, perbaikan
teknologi ataupun teknologi baru di bidang perikanan tangkap,
budi daya, dan pengolahan perikanan yang dapat dijadikan dasar
di dalam menyusun kebijakan pengolahan sumber daya ikan dan
pengembangan perikanan.
200
Pasal 53
Ayat (1)
Penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan oleh lembaga
penelitian dan pengembangan milik Pemerintah termasuk juga
penelitian dan pengembangan yang dilaksanakan oleh lembaga
pemerintah nondepartemen, badan usaha milik negara (BUMN),
dan/atau badan usaha milik daerah (BUMD).
Ayat (2)
Dalam kaitan pelaksanaan penelitian dan pengembangan di
bidang perikanan sering dilakukan kerja sama antar negara.
Hal yang demikian dilakukan, antara lain, berhubungan dengan:
a. karakteristik sumber daya ikan yang tidak mengenal batas
administrasi negara;
b. tuntutan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang perikanan;
c. pelaksanaan ketentuan dari perjanjian internasional; dan
d. perkembangan tuntutan konsumen terhadap jaminan
keamanan dan mutu hasil perikanan.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pendidikan dan/atau pelatihan yang bertaraf internasional
201
diselenggarakan oleh instansi Pemerintah yang bertanggung
jawab di bidang perikanan pada semua jenjang, yakni pada
unit pelatihan, sekolah menengah kejuruan, dan perguruan
tinggi, antara lain, sesuai dengan bidang teknologi penangkapan,
budi daya, pengolahan, permesinan, dan penyuluhan.
Pasal 58
Yang dimaksud dengan “lembaga terkait” adalah mencakup lembaga
Pemerintah dan lembaga non Pemerintah.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota di wilayah masing
masing ikut serta memberdayakan nelayan kecil dan pembudi
daya ikan kecil.
Penumbuhkembangan kelompok nelayan kecil, kelompok
pembudi daya-ikan kecil sebagai sarana untuk memudahkan
pemberdayaan melalui kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah mencakup
lembaga swadaya masyarakat.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “komoditas ikan pilihan” adalah jenis
ikan yang tidak dilarang oleh Pemerintah untuk dibudidayakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang
berlaku.
202
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “keamanan pangan hasil perikanan”
adalah kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia, termasuk menggunakan metode penangkapan dan/
atau pembudidayaan yang dapat merusak ekosistem dan
kelestarian lingkungan perikanan.
Ayat (5)
Pendaftaran diri, usaha, dan kegiatan bagi nelayan kecil dan
pembudi daya-ikan kecil selain dilakukan oleh yang
bersangkutan, instansi yang bertanggung jawab di bidang
perikanan juga secara proaktif melakukan pendaftaran dalam
rangka pengumpulan data dan informasi untuk pembinaan
usaha perikanan dan pengelolaan sumberdaya ikan.
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Pengawas perikanan, antara lain:
a. pengawas penangkapan;
203
b. pengawas perbenihan;
c. pengawas budi daya;
d. pengawas hama dan penyakit ikan; dan
e. pengawas mutu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “nonpenyidik pegawai negeri sipil
perikanan” adalah pegawai negeri sipil lainnya di bidang
perikanan yang bukan sebagai penyidik, tetapi diberi
kewenangan untuk melakukan pengawasan.
Pasal 67
Keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan
misalnya dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila
terdapat dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perikanan.
Pasal 68
Dalam rangka pengawasan dan pembinaan, Pemerintah membangun,
menyediakan, dan/atau mengusahakan sarana dan prasarana
pengawasan, yang antara lain:
a. kapal pengawas perikanan;
b. sistem pemantauan kapal perikanan; dan
c. pangkalan/dermaga kapal pengawas perikanan.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kapal pengawas perikanan” adalah
kapal pemerintah yang diberi tanda tanda tertentu untuk
melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang
perikanan.
204
Ayat (3)
Penahanan kapal dilakukan dalam rangka tindakan membawa
kapal ke pelabuhan terdekat dan/atau menunggu proses
selanjutnya yang bersifat sementara.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Koordinasi diperlukan selain untuk kelancaran pelaksanaan
tugas penyidik, juga dimaksudkan untuk memperlancar
komunikasi dan tukar menukar data, informasi, serta hal lain
yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi
penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana perikanan.
Ayat (3)
Sesuai dengan kebutuhan, forum koordinasi untuk penanganan
tindak pidana di bidang perikanan dapat dibentuk di daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
205
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hakim ad hoc” adalah seseorang
yang berasal dari lingkungan perikanan, antara lain, perguruan
tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan,
dan mempunyai keahlian di bidang hukum perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
206
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
207
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
208
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sejumlah uang jaminan yang layak”
adalah penetapan besar uang jaminan yang ditentukan
berdasarkan harga kapal, alat perlengkapan kapal dan hasil
dari kegiatannya, ditambah besarnya jumlah denda maksimum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “benda dan/atau alat”, antara lain,
alat penangkapan ikan, ikan tangkapan, kapal yang digunakan
untuk menangkap ikan dan/atau mengangkut ikan, dan lain-
lain.
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Yang dimaksud dengan “pengadilan negeri yang berwenang” adalah
pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
209
Pasal 111
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4433
210