analisis budaya jawa dalam sistem mata pencaharian hidup

3
Analisis Budaya Jawa dalam Sistem Mata Pencaharian Hidup Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi negara agraris. Tak heran banyak penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani. Masyarakat Jawa termasuk masyarakat yang dikenal pandai dalam bertani dan bercocok tanam. Bahkan, konon bertani dan bercocok tanam telah menjadi budaya yang lekat dalam masyarakat Jawa khususnya jika dilihat dari sistem mata pencaharian hidup sebab sebagian masyarakat Jawa terutama yang tinggal di pedesaan mencari nafkah melalui bertani dan bercocok tanam. Bertani dan bercocok tanam telah menjadi budaya masyarakat Jawa sejak ratusan tahun yang lalu ketika koloni pun belum menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Hasil bertani dan bercocok tanam masyarakat Jawa dikenal baik hingga mancanegara, meski mungkin kini tidak setenar dulu lagi. Budaya bertani dan bercocok tanam sering digambarkan dalam nyanyian, tarian, literatur, maupun karya seni lainnya oleh masyarakat Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa mata pencaharian tersebut menjadi keseharian bagi mayoritas masyarakat. Nuansa kekeluargaan dan kekerabatan sering muncul dalam penggambaran kegiatan bertani dan bercocok tanam dalam karya seni masyarakat Jawa. Anak-anak pun diajarkan pentingnya budaya bertani dan bercocok tanam sebagai identitas masyarakat Jawa dan tak jarang pula lahir pembelajaran mengenai nilai-nilai kehidupan seperti menjaga kelestarian alam melalui keseharian bertani dan bercocok tanam. Ironis, kini sistem mata pencaharian hidup masyarakat Jawa yang didominasi oleh bertani dan bercocok tanam mulai terganti dengan mata pencaharian lain yang tidak menggambarkan identitas masyarakat Jawa seperti sediakala. Dilatarbelakangi oleh kemajuan peradaban dan globalisasi, masyarakat cenderung meninggalkan lahan sawahnya di desa untuk mencari nafkah di kota. Bahkan, tidak jarang pemilik sawah atau kebun menjual lahannya untuk kemudian dijadikan bangunan perkantoran maupun pusat perbelanjaan yang megah sehingga lahan untuk bertani dan bercocok tanam pun berkurang. Tidak hanya lahan dan hasil pertanian saja yang berkurang, mata pencaharian pun berkurang sehingga mendorong petani yang biasanya menggarap sawah beralih ke pekerjaan lain.

Upload: rizacky-hendratama

Post on 02-Jan-2016

109 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Budaya Jawa, Sistem mata pencaharian

TRANSCRIPT

Page 1: Analisis Budaya Jawa Dalam Sistem Mata Pencaharian Hidup

Analisis Budaya Jawa dalam Sistem Mata Pencaharian Hidup

Indonesia sebagai negara beriklim tropis memiliki potensi yang sangat baik untuk menjadi negara agraris. Tak heran banyak penduduknya yang bermata pencaharian sebagai petani. Masyarakat Jawa termasuk masyarakat yang dikenal pandai dalam bertani dan bercocok tanam. Bahkan, konon bertani dan bercocok tanam telah menjadi budaya yang lekat dalam masyarakat Jawa khususnya jika dilihat dari sistem mata pencaharian hidup sebab sebagian masyarakat Jawa terutama yang tinggal di pedesaan mencari nafkah melalui bertani dan bercocok tanam. Bertani dan bercocok tanam telah menjadi budaya masyarakat Jawa sejak ratusan tahun yang lalu ketika koloni pun belum menginjakkan kaki di bumi pertiwi. Hasil bertani dan bercocok tanam masyarakat Jawa dikenal baik hingga mancanegara, meski mungkin kini tidak setenar dulu lagi.

Budaya bertani dan bercocok tanam sering digambarkan dalam nyanyian, tarian, literatur, maupun karya seni lainnya oleh masyarakat Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa mata pencaharian tersebut menjadi keseharian bagi mayoritas masyarakat. Nuansa kekeluargaan dan kekerabatan sering muncul dalam penggambaran kegiatan bertani dan bercocok tanam dalam karya seni masyarakat Jawa. Anak-anak pun diajarkan pentingnya budaya bertani dan bercocok tanam sebagai identitas masyarakat Jawa dan tak jarang pula lahir pembelajaran mengenai nilai-nilai kehidupan seperti menjaga kelestarian alam melalui keseharian bertani dan bercocok tanam.

Ironis, kini sistem mata pencaharian hidup masyarakat Jawa yang didominasi oleh bertani dan bercocok tanam mulai terganti dengan mata pencaharian lain yang tidak menggambarkan identitas masyarakat Jawa seperti sediakala. Dilatarbelakangi oleh kemajuan peradaban dan globalisasi, masyarakat cenderung meninggalkan lahan sawahnya di desa untuk mencari nafkah di kota. Bahkan, tidak jarang pemilik sawah atau kebun menjual lahannya untuk kemudian dijadikan bangunan perkantoran maupun pusat perbelanjaan yang megah sehingga lahan untuk bertani dan bercocok tanam pun berkurang. Tidak hanya lahan dan hasil pertanian saja yang berkurang, mata pencaharian pun berkurang sehingga mendorong petani yang biasanya menggarap sawah beralih ke pekerjaan lain.

Mata pencaharian masyarakat Jawa kini lebih beragam seiring dengan semakin banyaknya masyarakat Jawa yang tinggal di perkotaan serta maraknya unsur-unsur kehidupan perkotaan yang merambah ke masyarakat desa. Banyak yang kini mendalami bidang bisnis dan industri. Sementara bagi mereka yang kurang beruntung lebih memilih untuk bekerja kasar sebagai buruh dan pekerja rumah tangga di perkotaan hingga menjadi TKI di luar negeri. Masyarakat lebih memilih untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar tersebut daripada kembali ke desa dan menggarap lahan pertanian. Di samping karena tuntutan gaya hidup, bidang pertanian juga kini dianggap tidak lagi menjanjikan.

Namun demikian, menjadi pekerja kasar tampaknya masih lebih baik daripada mata pencaharian lain yang sebetulnya tidak etis dilakukan apalagi bagi masyarakat Jawa yang terkenal ramah dan rajin, misalnya menjadi pengemis dan kriminal. Bisa kita lihat sendiri semakin banyak pengemis di seluruh penjuru kota dan desa. Tidak hanya orang tua, tetapi juga anak-anak bahkan orang dewasa dalam usia produktif yang harusnya bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih layak. Demikian pula kriminalitas terjadi semakin sering, yang kadang bukan lagi dilakukan oleh orang dewasa tetapi anak-

Page 2: Analisis Budaya Jawa Dalam Sistem Mata Pencaharian Hidup

anak di bawah umur. Fenomena ini menunjukkan betapa nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa mulai ditinggalkan. Keramahan dan kerajinan tidak lagi ditunjukkan dalam keseharian masyarakat Jawa. Masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam mencari nafkah. Masyarakat menjadi lebih suka melakukan pekerjaan yang ringan tetapi menghasilkan banyak uang dibandingkan melakukan pekerjaan yang berat tetapi hanya menghasilkan uang untuk pemenuhan kebutuhan hidup saja. Masyarakat yang menyadari bahwa melakukan pekerjaan tersebut salah, lebih memilih menjadi pekerja berat asal masih bisa bergaya ala orang kota. Hidup di desa dengan bertani dan bercocok tanam bukanlah pilihan bagi sebagian besar masyarakat Jawa masa kini.

Fenomena-fenomena tersebut bila dikaji lebih lanjut mungkin akan mengarahkan kita kepada pergeseran norma-norma dan nilai-nilai kehidupan sebagai dampak globalisasi dan kemajuan peradaban bangsa. Informasi mengenai dunia luar telah merambah hingga ke pelosok negeri. Masyarakat cenderung ingin hidup dengan cara dan status yang sama seperti kebanyakan masyarakat lainnya yang mereka lihat di televisi, internet, dan media lainnya. Masyarakat cenderung ingin menjadi satu dengan masyarakat lainnya. Ditambah lagi apa yang mereka lihat di televisi mungkin tampak menarik untuk dijadikan panutan gaya hidup. Hal-hal tersebut yang dapat mendorong terjadinya urbanisasi. Masyarakat desa berbondong-bondong datang ke kota untuk menjadi ‘orang kota’. Kehidupan bertani dan bercocok tanam menjadi suatu kegiatan yang membosankan, apalagi sarana dan prasarana pedesaan tidak selengkap di kota demikian pula pemerintah lebih memperhatikan pembangunan di kota daripada mendukung kegiatan bertani dan bercocok tanam yang dulu menjadi identitas masyarakat.

Sayangnya, semangat untuk hidup sebagai ‘orang kota’ tidak disertai dengan modal dan keterampilan yang cukup. Bagi mereka yang tidak sanggup kerja berat karena mental serba instan yang muncul akibat seringnya melihat gaya hidup orang masa kini, mata pencaharian yang tersisa adalah menjadi pengemis atau Kriminal. Semua itu dilakukan agar tetap bisa bertahan hidup di lingkungan yang kompetitif. Semua itu didorong keinginan untuk hidup ala ‘orang kota’. Lagipula, kembali ke desa pun tidak ada harapan untuk hidup lebih baik. Kenyataannya, hidup menjadi gelandangan yang mengemis bisa menghasilkan banyak uang, bahkan mengalahkan gaji pegawai pemerintahan. Pendapatan seorang pengemis di Semarang bisa mencapai angka Rp. 600.000,- per hari.

Melihat fakta di lapangan betapa menggiurkannya hidup sebagai pengemis, tidak heran jika sistem mata pencaharian masyarakat Jawa mulai bergeser ke arah yang lebih buruk. Bertani dan bercocok tanam sebagai mata pencaharian dinilai tidak ideal. Idealisme sistem mata pencaharian masyarakat Jawa yang didasari semangat, kerajinan, kekeluargaan, cinta lingkungan, dan nilai-nilai lainnya tidak lagi dapat dipertahankan. Yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat bertahan hidup dengan gaya hidup yang sesuai keinginan sementara seluruh kebutuhan hidup juga terpenuhi.