analisa resolusi konflik kasus izin pertambangan di lambu

31
Analisa Resolusi Konflik Kasus Izin Pertambangan di Lambu, Bima, NTB dengan IUP Eksplorasi Nomor 188.45/346/004/2010 dan Model Penyelesaian Konflik yang Tepat Untuk Meminimalisir Benih Konflik Terkait Izin Pertambangan di Dompu November 26, 2012 by filsufgaul Konflik Lambu 1. A. Pendahuluan Kabupaten Bima memiliki sejumlah potensi kekayaan sumber daya alam, bahan galian berupa emas, mangan, tembaga hingga pasir besi. Potensi itu menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Bima. Potensi ini tentunya tidak di sia-siakan oleh pemerintah daerah Bima untuk menarik investor guna mengeksplorasi potensi tambang tersebut. Eksplorasi tambang di Bima digadang- gadang mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat, membuka lapangan kerja bagi tenaga pengangguran, dan tentunya akan menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah. Berdasarkan tujuan tersebut, Bupati Bima Ferry Zulkarnain ST. Mengeluarkan 14 Izin

Upload: muhammad-amin-af

Post on 24-Nov-2015

103 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Analisa Resolusi Konflik Kasus Izin Pertambangan di Lambu, Bima, NTB dengan IUP Eksplorasi Nomor 188.45/346/004/2010 dan Model Penyelesaian Konflik yang Tepat Untuk Meminimalisir Benih Konflik Terkait Izin Pertambangan diDompu

November 26, 2012 by filsufgaul

Konflik Lambu1. A. PendahuluanKabupaten Bima memiliki sejumlah potensi kekayaan sumber daya alam, bahan galian berupa emas, mangan, tembaga hingga pasir besi. Potensi itu menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan di Kabupaten Bima. Potensi ini tentunya tidak di sia-siakan oleh pemerintah daerah Bima untuk menarik investor guna mengeksplorasi potensi tambang tersebut. Eksplorasi tambang di Bima digadang-gadang mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat, membuka lapangan kerja bagi tenaga pengangguran, dan tentunya akan menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah. Berdasarkan tujuan tersebut, Bupati Bima Ferry Zulkarnain ST. Mengeluarkan 14 Izin Usaha Penambangan untuk mengeksplorasi potensi tambang di Bima, 14 IUP tersebut di antaranya:[1]1. PT Mineral Nusantara Citra Persada dengan IUP eksplorasi nomor 188.45/346/004/2010, masa berlaku tanggal 28 April 2010 hingga 1 Mei 2015, dengan luas wilayah 14.403 hektare. Meliputi wilayah Kecamatan Madapangga yaitu Desa Campa, Tonda, Mpuri, Rade, Woro. Kemudian Kecamatan Bolo di Desa Tumpu dan Kecamatan Woha di Desa Keli dan Risa. Bahan galian jenis tembaga.

2. PT Indomineral Citra Persada dengan IUP Eksplorasi nomor 188.45/348/004/2010, dengan luas wilayah 30.521 hektare. Berada di Kecamatan Monta, meliputi Desa Baralau, Pela, Tolo Uwi, Wilamaci dan Kecamatan Parado, meliputi Desa Parado Wane dan Lere. Dengan jenis bahan galian tembaga.

3. PT Indomineral Citra Persada, IUP Eksplorasi Tembaga nomor 188.45/347/004/2010, luas wilayah 14.318 hektare, berada di Kecamatan Lambu, meliputi Desa Mangge, Lanta dan Simpasai, serta Kecamatan Langgudu pada desa Waworada.

4. PT Indomining Karya Buana mengantongi tujuh IUP Operasi Produksi, dengan jenis bahan galian berupa mangan dan pasir besi. Untuk mangan berada di wilayah desa Waworada, Karumbu, Rupe Kecamatan Langgudu, Desa Mpuri, Tonda dan Campa, Kecamatan Madapangga, Desa Pela, Kecamatan Monta, Desa Kawuwu, Kecamatan Langgudu, Desa Sambori, Kecamatan Lambitu, Desa Kombo, Kambilo, Maria dan Ntori, Kecamatan Wawo.

5. Sedangkan untuk bahan galian pasir besi diberikan PT Indomining Karya Buana mengantongi IUP di Desa Oi Tui, Tawali dan Tengge, Kecamatan Wera dan Desa Mawu, Nipa, Nangaraba dan Tololai, Kecamatan Ambalawi.

6. PT Jagad Mahesa Karya mengantongi IUP Operasi Produksi bahan galian pasir besi dengan SK Nomor 188.45/345/004/2010 untuk wilayah Desa Sangiang, Oi Tui, Tadewa, Kecamatan Wera dan Desa Mawu, Kecamatan Ambalawi.

7. Untuk bahan galian emas, pemerintah kabupaten keluarkan IUP eksplorasi pada PT Bima Putera Minerals dengan SK Nomor 188.45/344/004/2010, pada wilayah Desa Maria, Pesa dan Kambilo, Kecamatan Wawo.

8. Kemudian untuk biji besi dikeluarkan IUP Eksplorasi 188.45/356/004/2010 pada PT Bima Feroindo, pada wilayah Desa Karampi, Waduruka, Kecamatan Langgudu.

Kenyataannya, kehadiran investor tersebut justru melahirkan reaksi penolakan dari warga setempat. Salah satunya, penolakan dari warga Kecamatan Lambu, terhadap PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) yang melahirkan beberapa peristiwa besar berskala nasional. Mulai dari pembakaran kantor Camat Lambu sekitar Pebruari 2011 lalu, kemudian kasus pendudukan Pelabuhan Sape, hingga jatu korban, dua orang warga meninggal dunia (24 Desember 2011) dan kejadian terakhir, 26 Januari 2012 lalu, pembakaran Kantor Bupati Bima.

Kehadiran kegiatan eksplorasi di Bima memang cenderung mengakibatkan reaksi dari masyarakat sekitar, terutama bagi masyarakat yang terkena langsung dampak penambangan tersebut. Masyarakat seketika dikagetkan hadirnya perusahaan pertambangan yang akan mengelola sumber daya alam di wilayah mereka. Sementara, tidak ada informasi awal dari pemerintah dan instansi teknis, apa kegiatan dari perusahaan itu, apa manfaat yang akan diterima warga dan lainnya. Penolakan warga sebenarnya tidak memiliki dasar yang kuat. Karena perusahaan baru masuk pada tahapan eksplorasi, masih mencari titik-titik potensi yang akan digarap ketika perusahaan mengantongi izin eksploitasi. Yang terjadi di lapangan adalah masyarakat merasa khawatir terhadap dampak-dampak yang akan terjadi jika kegiatan pertambangan tersebut dilakukan. Idealnya masyarakat di sekitar lokasi pertambangan harus lebih awal mengetahui kehadiran perusahaan tambang. Sehingga ketika ada aktifitas pertambangan, warga tidak kaget. Termasuk sebelum izin diberikan pada perusahaan tersebut. Kenyataannya, masyarakat justru dikagetkan dengan adanya aktifitas pertambangan berupa penggalian pencarian potensi.

1. B. Kornologis Konflik LambuWalaupun Bima memiliki potensi sumber daya tambang yang melimpah. Secara Geografis Bima telah dikenal sebagai penghasil bawang dengan kualitas terbaik. Bawang Keta monca saat ini menjadi komoditi unggul nasional, dan bersama bidang usaha pertanian lainnya telah memberikan sumbangan cukup signifikan dalam perekonomian Kabupaten Bima. Selain produksi yang besar, bawang Keta monca dikenal memiliki mutu dan ciri khas sendiri, serta banyak diminati konsumen baik dari Bali, Jawa, Makassar dan Banjarmasin maupun luar negeri, seperti Malaysia dan Singapura. Bahkan sejak 2009 lalu, Kabupaten Bima dijadikan sentra benih bawang merah nasional. Sumbangan perekonomian lainnya berasal dari peternakan terutama sapi dan kambing, serta perikanan.

Produksi bawang merah Kabupaten Bima pada 2009 mencapai 113.542 ton, meningkat 49,41 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagian produksi bawang merah Kabupaten Bima merupakan komoditi ekspor guna memenuhi kebutuhan daerah lainnya utamanya Pulau Lombok (BPS, 2009). Luas lahan untuk pengembangan bawang merah di kabupaten Bima tercatat 13.663 hektare, yang telah dimanfaatkan seluas 6.710 ha tersebar di Sape, Lambu,Wera, Ambalawi, Belo dan Monta.[2] Karena aktivitas mata pencaharian utama inilah yang menjadi alasan warga menolak kegiatan pertambangan. Pertambangan akan membuat susutnya debit air irigasi lahan pertanian, khususnya tanaman bawang merah, mata pencaharian mereka. Selain melindung sumber air, mereka belajar dari potret buruk tambang emas raksasa di Batu Hijau milik Newmont, tetangga di pulau yang sama.

Kecamatan Lambu adalah kecamatan pemekaran dari Kecamatan Sape yang kini menjadi salah satu dari delapan belas kecamatan yang ada di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kecamatan ini memiliki dua belas desa dan terletak di ujung timur Kabupaten Bima. Salah satu desanya adalah Desa Sumi yang merupakan tempat eksplorasi tambang yang di dilakukan oleh PT. Sumber Mineral Nusantara dengan dikantonginya IUP bernomor 188/45/357/004/2010, dan pengoperasiannya dilakukan di lokasi seluas 24. 980 Ha. Aktivitas PT. SMN kehadirannya ternyata tidak diketahui lebih awal oleh sebagian besar masyarakat kecamatan Lambu. Eksistensi mereka mulai dipertanyakan apalagi di dusun Baku Desa Sumi sudah dilakukan penggalian oleh PT tersebut.

Tabel 1. KronologisTanggalPeristiwaKeterangan

Oktober 2010Aksi wargaterjadi bentrok berdarah yang menyebabkan jatuhnya 35 orang korban luka berat dan ringan (amputasi, gegar otak dll) dr warga.

Desember 2010Pertemuan dengan Camat Lambu Warga meminta camat Lambu (Muhaimin, S.Sos) untuk menolak kehadiran PT Sumber Mineral Nusantara.

Camat berjanji akan menyampaikan aspirasi warga kepada Bupati Bima.

8 Januari 2011Demo MassaWarga mempertanyakan janji Camat, warga yang menamai diri Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) kecewa karena camat tidak mau menemui mereka.

31 Januari 2011Demo massa 1500 orang (FRAT) kembali mendatangi kantor camat dan meminta Camat Lambu untuk menandatangani surat pernyataan penolakan adanya penambangan emas yang telah dioperasikan oleh PT. SMN.

Setelah perdebatan alot perwakilan massa diterima oleh Camat, namun camat belu bisa menandatangani pernyataan penolakan tersebut karena harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan Bupati Bima.

9 Februari 2011Sekretaris Camat mengumumkan melalui pengeras suara Mesjid Agung Lambu agar masyarakat tidak melakukan demoSekretaris Camat hampir di amuk massa

10 Februari 2011Demo ke 3, 7000 orang dari 12 Desa massa aksi melakukan long march dari lapangan Sura desa Rato yang jaraknya sekitar dua kilometer hingga sampai ke kantor camat Lambu.

Masa tetap meminta Camat menandatangani Surat Pernyataan Penolakan.

Pengamanan aksi unjuk rasa yang dikawal oleh 250 personil aparat Polres Kota Bima, 60 personil gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil Brimob Polda NTB, kembali memediasi perwakilan dari FRAT dengan pihak Camat.

Camat seakan mengulur-ulur waktu dan menjelaskan bahwa Bupati masih belum bisa ditemui.

Setelah itu aksi masa ricuh, M. Nasir (23) terkena peluru polisi (aksi tambah parah) ditambah ulah preman kecamatan yang membuat situasi memanas.

massa memukul mundur aparat dan melampiaskan kekecewaan terhadap pemerintah dan aparat kepolisian serta preman peliharaan camat dengan merusak dan membakar Satu unit truck Pol PP Camat Lambu, satu unit mobil kijang patroli Pol PP Camat Lambu, satu unit mobil dinas Camat Lambu, satu unit mobil pemadam kebakaran Kota Bima, satu unit mobil avanza, satu unit rumah jabatan Camat Lambu, satu unit kantor Camat Lambu, delapan unit sepeda motor serta sepuluh unit komputer dan ruang aula camat lambu

Pasca kerusuhanPemkab Bima melaporkan kerusakan dan anarkisme rakyat Lambu ke Mapolres Kota Bima Bukannya membuka ruang diskusi, pemkab Bima membuat Laporan ke Mapolresta, dan meminta aparat menindak tegas oknum yang menjadi provokator (5 orang dijadikan tersangka).

Kecematan Lambu pun terus mencekam, intimidasi serta swiping pun terus digelar, hampir diseluruh cabang jalan se-kecamatan Lambu dipenuhi oleh aparat bersenjata lengkap pada pekan pertama pasca pengrusakan

20 Desember 2012Mediasi PertamaDilakukan pertemuan dan dialog di ruangan Camat Sape antara 8 (delapan) orang perwakilan masyarakat Lambu dengan Bupati Bima dan difasilitasi Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) NTB dan rombongan, Kepala Dinas Perhubungan Kominfo Propinsi NTB, Kapolresta Bima, Dandim 1608 Bima, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bima, Kabag Hukum Setda Bima, Camat Sape, Camat Lambu dan Kapolsek Sape

23 Desember 2011Ocupacy Port Sapepemblokiran Pelabuhan Sape oleh warga Lambu hingga dilakukan pembubaran paksa oleh aparat polisi yang menyebabkan tiga nyawa melayang

23 Desember 2011Pencabutan izin sementaraKeputusan Bupati Bima Nomor: 188.45/743/004/2011 tanggal 23 Desember 2011 tentang Penghentian Sementara Ijin Eksplorasi Emas oleh PT. Sumber Mineral Nusantara di Kecamatan Lambu, Sape dan Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima

24 Desember 2011pemblokiran jalan kebupaten penghubung antara Kecamatan Sape, Lambu dan Parado

Desember 2011Rapat konsultasi DPRD BimaBupati tetap bersikukuh tidak akan mencabut SK 188/2010 dikarenakan tidak ada alasan yang mendasar untuk melakukan itu. Bupati berdalih, ada tiga hal yang bisa mencabut SK itu, yakni jika perusahaan pemegang ijin tidak melaksanakan kwajibannya, terlibat masalah pidana dan dinyatakan pailit.

26 Januari 2012Pembakaran Kantor Bupati Bima dengan 20.000 massaPuncak amarah warga pasca 5 hari sebelumnya Bupati bersedia menemui warga, namun hingga hari itu Bupati tak kunjung mau menemui warga

28 Januari 2012Bupati cabut tetap IUP No 188/2010Pencabutan secara tetap IUP No 188/2010 melalui SK 188.45/64/004/2012

1. A. Analisa Resolusi KonflikJika kita coba menganalisa lebih jauh terhadap penyelesaian konflik Lambu ini, terlihat kelambanan Bupati Bima dalam mencabut izin PT SMN sebagai penyebab meluasnya eskalasi konflik. Bupati terlalu lamban mengantisipasi aspirasi masyarakat. Aksi protes itu dianggap sepele. Pasca peristiwa di Pelabuhan Sape Bupati tidak langsung mencabut izin PT SMN. Baru setelah terjadi eskalasi, pembakaran kantor, baru Bupati mencabut izin tersebut. Bupati Bima terkesan sangat tidak peka melihat perkembangan ekskalasi konflik yang kian membesar dari pergerakan warga sejak akhir 2010 lalu.

Jika kita coba menganalisis konflik Lambu ini dari kacamata terori konflik sosial, maka hakikat konflik itu sendiri adalah merupakan perselisihan yang terjadi antara paling tidak oleh dua pihak, di mana kebutuhan keduanya tidak dapat dipenuhi dengan sumber daya yang sama pada saat yang bersamaan. Kondisi ini merupakan suatu kondisi ketidakcocokkan (incompatibility). Posisi kedua pihak juga tidak cocok satu sama lain. Di mana ada bentuk-bentuk kelangkaan yang terjadi di antara kedua pihak tersebut.[1] Selain itu, Menurut Kartono & Gulo (1987), konflik berarti ketidaksepakatan dalam satu pendapat emosi dan tindakan dengan orang lain. Keadaan mental merupakan hasil impuls-impuls, hasrat-hasrat, keinginan-keinginan dan sebagainya yang saling bertentangan, namun bekerja dalam saat yang bersamaan. Konflik biasanya diberi pengertian sebagai satu bentuk perbedaan atau pertentangan ide, pendapat, faham dan kepentingan di antara dua pihak atau lebih. Pertentangan ini bisa berbentuk pertentangan fisik dan non-fisik, yang pada umumnya berkembang dari pertentangan non-fisik menjadi benturan fisik.[2]Dari definisi tersebut di atas sangat jelas bahwa masing-masing pihak yang berkonflik memiliki kepentingan masing-masing, warga yang merasa memiliki kepentingan atas tanah dan masa depan penghidupan mereka yang diperkirakan akan terganggu jika proses penambangan berlangsung, dan di lain sisi kepentingan pemerintah kabupaten Bima yang di gadang-gadang ingin mensejahterakah daerahnya dengan dalih mengeksplorasi bahan tambang yang ada di daerahnya. Sebenarnya niat Bupati Bima ini sah-sah saja karena juga tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2 yang menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika memang tujuan dari diberikannya IUP oleh Bupati tersebut adalah murni untuk kemakmuran rakyat harusnya masyarakat juga diharapkan mendukung keputusan Bupati tersebut.

Ketidak cocokan penggunaan lahan/SDA ini disinyalir karena PemKab tidak pernah melakukan kegiatan sosialisasi kepada warga perihal rencana penambangan di daerah tersebut. Hal inilah yang menimbulkan perspektif masyarakat bahwa ada kemungkinan kepentingan politis dan pribadi dari pengesahan Izin Usaha Penambangan di Lambu tersebut.

Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:[1]1. Konflik tujuan

Konflik tujuan terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif.

1. Konflik peranan

Konflik peranan timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama.

1. Konflik nilai

Konflik nilai dapat muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi.

1. Konflik kebijakan

Konflik kebijakan dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemuka- kan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya.

Dari pembabakan tersebut jelaslah bahwa konflik Lambu merupakan konflik kebijakan yang bersumber dari keputusan sepihak Bupati Bima yang menerbitkan Surat Izin Penambagan No. 188/2010 kepada PT Mineral Nusantara Citra Persada, tanpa terlebih dahulu mengkomunikasikan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat. Konflik kebijakan ini kerap kali terjadi jika pemegang kebijakkan tidak melibatkan stakeholdernya dalam proses pengambilan keputusan. Ini tentunya akan menimbulkan ketidakpuasan dari masyarakat terhadap pemegang kebijakan yang bisa berimplikasi terhadap terjadinya konflik-koflik sosial.

1. 1. Proses Penyelesaian Konflik Resolusi konflik merupakan suatu kondisi di mana pihak-pihak yang berkonflik melakukan suatu perjanjian (agreement)yang dapat memecahkan ketidakcocokkan (incompatibility) utama di antara mereka, menerima keberadaan satu sama lain sebagai dan menghentikan tindakan kekerasan satu sama lain. Ini merupakan suatu kondisi yang selalu muncul setelah konfliknya terjadi. Resolusi konflik ini merupakan suatu upaya perumusan kembali suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapai kesepakatan baru yang lebih diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Wallensteen dalam bukunya Understanding Conflict Resolution: War, Peace and the Global System memberikan beberapa langkah-langkah yang biasanya dilalui dalam resolusi konflik:[2]1. Perjanjian yang dilakukan dalam resolusi konflik ini biasanya merupakan suatu pemahaman resmi, di mana suatu dokumen yang dihasilkan ditandatangani oleh pihak-pihak yang berkonflik dalam kondisi yang serius. Namun, perjanjian ini dapat bersifat lebih informal, yakni terjadi pemahaman yang implisit di antara mereka. Perjanjian yang seperti itu mungkin terjadi dan disimpan dalam sebuah dolumen rahasia, misalnya saja, sebuah perjanjian yang dibuat sebagai prakondisi pengaturan resmi, atau sebagai kesepakatan antar pihak yang berkonflik secara eksplisit.

Pada kasus konflik lambu jelas tidak pernah terjadi agreement antara Pemkab Bima dengan masyarakat. Yang terjadi adalah keputusan untuk menghetikan kegiatan penambangan sementara lewat 188.45/743/004/2011 tanggal 23 Desember 2011 tentang Penghentian Sementara Ijin Eksplorasi Emas oleh PT. Sumber Mineral Nusantara di Kecamatan Lambu, Sape dan Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima. Hal ini tetap tidak disetujui oleh masyarakat karena Karena sifatnya yang sementara maka pada dasarnya tidak ada upaya perumasan kembali atas konflik yang berlangsung. Kondisi ini tak layaknya sebuah penguluran waktu agar bisa menenangkan masyarakat yang kian memanas emosinya. Karena tidak ada kesepakatan, maka dapat dikatakan bahwa resolusi konflik atas dasar pencabutan sementara IUP No 188/2010 juga hanya bersifat sementara atau bisa juga dikatakan tidak terjadi. Yang ada hanyalah sebuah upaya peredaman konflik namun tidak menyelesaikan akar permasalahannya. Warga hanya seakan diberikan kelegaan atas kekhawatiran lahannya di eksploitasi dalam beberapa waktu saja hingga dirasa PemKab menemukan formulasi dan legitimasi yang tepat untuk memutuskan nasib PT Mineral Nusantara Citra Persada.

Hingga pada akhirnya diterbitkan SK 188.45/64/004/2012 yang berarti bahwa IUP 188/2010 dicabut secara tetap oleh Bupati barulah tuntutan masyarakat terpenuhi.

1. Masing-masing pihak yang berkonflik menerima keberadaan masing-masing setelah perjanjian dilakukan merupakan suatu elemen yang penting untuk membedakan antara perjanjian perdamaian (peace agreement)dan perjanjian kapitulasi, namun esensi dari perjanjian ini adalah untuk mengakhiri partisipasi masing-masing pihak dalam konflik.

Dalam kasus ini terlihat pihak-pihak yang berkonflik berupaya untuk keluar dan mengakhiri masing-masing perannya dalam konflik tersebut. Terlihat dengan dikeluarkannya SK 188.45/64/004/2012 Pemerintah Kabupaten Bima ingin konflik dengan masyarakat ini lekas selesai. Dan di sisi masyarakat pasca dikeluarkannya SK tersebut masyarakat mulai menarik dari dari konflik tersebut menuju suatu rekonsiliasi ke depan yang lebih baik untuk mendiskusikan lebih jauh terkait dengan potensi tambang yang harusnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

1. Perumusan penghentian semua tindakan kekerasan yang dilakukan satu sama lain selama konflik berlangsung merupakan hal yang paling penting dalam suatu perjanjian damai. Kesepakatan penghentian tindakan kekerasan biasanya merupakan bagian dari perjanjian damai yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan secara terpisah. Seringkali, penghentian tindakan kekerasan antara pihak yang berkonflik diumumkan pada saat yang sama ketika perjanjian damai dicapai. Dengan demikian, perang telah berakhir dan bahaya terjadinya pembunuhan berkurang.

Pasca keluarnya keputusan pencabutan IUP 188/2010 dengan dikeluarkannya SK 188.45/64/004/2012 pada tanggal 28 Januari 2012 jelas tidak terjadi lagi friksi-friksi yang menimbulkan tindak kekerasan. Pasca pembakaran kantor Bupati Bima yang ada adalah ketegangan karena polisi mencari dan menangkapi beberapa warga yang diduga menjadi provokator dalam aksi pembakaran kantor Bupati Bima.

1. Resolusi konflik tidak selalu identik dengan perdamaian. Ada tumpang tindih antara kedua konsep tersebut. Namun gagasan paling umum tentang kondisi damai adalah ketiadaan atau berakhirnya perang yang terjadi. Perlu ditegaskan bahwa sebuah konflik tidak dapat diakhiri sebelum perjuangan bersenjata juga berakhir. Dengan demikian, perdamaian tidak cukup hanya dengan berakhirnya pertempuran dan peperangan. Resolusi konflik ini lebih kepada definisi atau kondisi damai yang terbatas.

Jika konsep damai di sini adalah tidak terjadinya suatu perang (kontak fisik), maka dapat dikatakan kondisi Lambu terkait dengan konflik izin pertambangan dapat dikatakan kondusif. Belakangan tidak terlihat lagi aksi massa yang menimbulkan kontak fisik karena warga merasa tuntutan mereka telah dipenuhi oleh Bupati.

Menurut Wallase dan Alison, konflik memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan :[1]1. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu.

2. Power bukanlah sekedar barang langka dan terbagi secara tidak merata, power juga bisa merupakan sumber konflik, sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Sebagian menguasai sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali.

3. Ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.

Dari definisi konflik menurut Wallase dan Alison jelas dalam kasus Lambu masing-masing pihak yang berkonflik memiliki kepentingannya masing-masing. Warga yang merasa terancam mata pencahariannya dan khawatir akan nasib tanahnya pasca penambangan akan bersifat reaktif terhadap kegiata penambangan tersebut. Karena kegiatan penambangan aka mematikan mata pencaharian mereka sebagai petani bawang. Warga seakan menyadari betul bahwa kegiatan penambangan sifatnya hanyalah sementara, karena barang tambang adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, berbeda halnya dengan pertanian yang bisa terus diupayakan sepanjang hayat.

Kepentingan ini ternyata bertentangan dengan kepentingan pemerintah Kabupaten Bima yang menghendaki Bima menjadi daerah dengan potensi pertambangan. Hal ini tentunya tidak bisa disalahkan sepenuhnya, mengingat UUD 1945 juga mengisyarakan untuk mengeksplorasi potensi SDA yang ada. Sebagai penentu kebijakan pemberian izin usaha tambang, PemKab Bima seakan memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan nasib Bima ke depan. Di sinilah power berproses menjadi sesuatu yang sifatnya memaksa dan sekehendak hati sendiri tanpa mengindahkan faktor-faktor dan kepentingan lainnya. Aksi sepihak inilah yang menimbulkan reaksi masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat oleh PemKab setempat. Keputusan yang di buat PemKab dirasa tidak mengindahkan kepentingan masyarakat yang sudah sejak lama bergantung mata pencahariannya kepada sektor pertanian.

Merujuk teori konflik Dahrendorf, pada dasarnya sistem sosial terbentuk bukan oleh kerjasama sukarela atau pun oleh konsensus, tetapi oleh ketidakbebasan dan dipaksakan yang bersumber dari adanya distibusi otoritas.[2] Dalam teori konfliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golonganyang berkuasa. Dahrendorf juga menyatakan bahwa, konflik dibedakan menjadi 4 macam:[3]

1. Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role).

2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).

3. Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).

4. Konflik antar satuan nasional (perang saudara).

Karena konflik merupakan bagian kehidupan sosial, maka dapat dikatakan konflik sosial merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar. Dahrendorf (1986), membuat 4 postulat yang menunjukkan keniscayaan itu, yaitu:

1. Setiap masyarakat tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat di mana-mana.

2. Setiap masyarakat memperlihatkan konflik dan pertentangan, konflik terdapat di mana-mana.

3. Setiap unsur dalam masyarakat memeberikan kontribusi terhadap desintegrasi dan perubahan.

4. Setiap masyarakat dicirikan oleh adanya penguasaan sejumlah kecil orang terhadap sejumlah besar lainnya.

Dari postulat tersebut jelas bahwa konflik Lambu adalah proses dari suatu perubahan sosial itu sendiri. Konflik tidak bisa begitu saja dilepaskan dari keseharian masyarakat, tanpa adanya konflik masyarakat tidak akan pernah tau bagaimana memperjuangkan hak dan kepentingannya. Karena pada dasarnya setiap hak dan kepentingan itu harus diperjuangkan. Mungkin jika tidak dengan konflik ini masyarakat Lambu tidak pernah tahu secara detil bagaimana kapitalisme (perusahaan) menguasai aset sumber daya mereka. Dengan adanya konflik ini, mereka (masyarakat) akan belajar bagaimana kelak harus mengelola aset sumber daya yan dimilikinya

Konflik Lambu utamanya peristiwa Port Sape dan pembakaran kantor Bupati Bima yang dilakukan oleh ribuan massa menjadi indikator bahwa setiap unsuur lapisan masyarakat pada dasanya beperan dalam proses perubahan tersebut. Mayoritas masyarakat ini akan terus bergerak menyuarakan aspirasinya kepada pihak-pihak minoritas yang memegang kendali kekuasaan. Sehingga pada hakikatnya, walaupun kekuasaan memiliki legitimasi kekuatan, tetap saja kekuatan massa bisa memberikan perlawanan yang signifikan untuk menandingi kekuatan penguasa tersebut. Konflik pastilah menimbulkan suatu hasil yang bisa menyebabkan suatu perubahan sosial. Hasil dari sebuah konflik dapat berupa berikut:

1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (in-group) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.

2. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.

3. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbul nya rasa dendam, benci, saling curiga dan sebagainya.

4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.

5. Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.

Konflik Lambu adalah pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat Bima. Berbagai macam kerugian materil dan non materil jelas sangat besar jumlahnya. Terjadinya kasus tersebut setidaknya mencerminkan tingkat solidaritas yang tinggi dari para warga dalam menanggapi hal yang sekiranya akan merugikan kehidupan mereka. Harapan terhadap rekonsiliasi kedepan, bahwa masyarakat tidak kehilangan kepercayaan kepada pemerintah kabupaten. Bahwa sekiranya potensi tambang yang terdapat di Lambu memang sejatinya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Lambu sendiri.

1. A. Pola Penanganan Konflik yang Seharusnya DilakukanMenurut Nasikun, pola penyelesaian konflik dapat dilakukan dalam 3 pendekatan, di antaranya:[4]1. Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompokatau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secaradamai melalui perundingan antara pihak yang berperkara. Dalam hal ini, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untukmencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yangsama maupun yang berbeda.

2. Conciliation, Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal:

1. Harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain.

2. Lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian

3. Lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik.

4. Lembaga tersebut harus bersifat demokratis.

konsiliatornantinya memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidakmemihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuatputusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhirmerupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesempatan di antara mereka.

1. Mediation,pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. bahwa mediasi merupakansalah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihakketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis. Sementara itu, pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketadinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur, antara lain :

1. Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan

2. Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalamperundingan

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencaripenyelesaian

4. Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapatditerima pihak pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat.

1. Arbitration, pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara arbitrasi mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak arbitrer.

Beberapa waktu dikabarkan beberapa media di Lombok bahwa pencabutan IUP 188/2010 lewat SK 188.45/64/004/2012adalah suatu bentuk rekonsiliasi. namun kenyataannya hingga saat ini wacana terhadap kelanjutan kegiatan pertambangan di Lambu masih gencar untuk di lakukan. Tentunya proses yang nanti dilakukan akan memperhatikan kebutuhan dan kepentingan warga secara intensif. Dengan diberlakukannya Perda Pengelolaan Tambang Minerba oleh DPRD juga membuka kemungkinan kegiatan penambangan di Lambu bisa terealisasi kembali.

Berdasarkan pilihan solusi yang ditawarkan tersebut jelas bahwa negosiasi adalah cara terbaik untuk meyelesaikan konflik Lambu. Karena pihak Bupati sendirilah yang memegang keputusan akhir untuk mencabut atau tidak mencabut IUP tersebut (masalah utama dalam konflik ini adalah pemberian IUP oleh Bupati). Maka perlu ada pihak lain yang bisa memfasilitasi masyarakat untuk bisa mengajak Bupati duduk bersama dan berunding untuk menghasilkan suatu kesepakatan yang tetap memperhatikan kepentingan masyarakat.

Pasca aksi massa pertama pada Oktober 2010 dan pasca beberapa kali pertemuan dengan Camat Lambu harusnya proses negosiasi ini mulai bisa dijalankan. Negosiator dalam hal ini DPRD Bima dapat melakukan tugasnya sebagai fungsi pengawasan terhadap suatu produk kebijakan dan hak Interpelasi yang melekat kepadanya. Jika di awal Bupati tidak kooperatif dengan permintaan masyarakat, maka masyarakat dapat langsung mengajukan permohonan dipertemukan oleh Bupati melalui DPRD Bima untuk meminta penjelasan langsung terkait keputusan Bupati mengeluarkan IUP 188/2010 itu, dan meminta untuk dicarikan solusi terhadap tuntutan masyarakat tersebut. Dalam kondisi ini, DPRD memiliki kewenangan untuk memanggil Bupati Bima untuk memberi penjelasan terkait keluarnya IUP 188/2010, dan untuk mempertanyakan tanggung jawab Bupati terkait penanganan konflik di bawah kekuasaannya.

Selai negosiasi, sebenarnya proses mediasi juga bisa digencarkan oleh para penegak hukum. Pihak kepolisian harusnya bisa memfasilitasi untuk memdiasikan kedua belah pihak untuk berdiskusi menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini sangat dimungkinkan karena konflik ini sudah melibatkan beberapa tindakan kriminal dari warga seperti pembakaran kantor Camat, pendudukan pelabuhan Sape, dll. Karena tindak kriminalitas inilah penegak hukum dapat masuk berperan dalam memediasi pihak-pihak yang berkonflik agar konflik tidak meluas dan berkepanjangan.

BAB IIKonflik Penambangan Pasir Besi Dompu1. A. Kornologis DompuTanggalPeristiwaKeterangan

7 Feb 2012Gerakan Bersama Pemuda dan Mahasiswa Dompu (GEBPMAD) dengan mendatangi kantor Gubernur NTB.Masa menginginkan di hentikannya kegiatan pertambangan PT Sumbawa Timur Mining (STM) di Kecamatan HUu dan pencabutan SK 118 dan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Kecamatan Pekat

28 Feb 2012Front Rakyat Anti Tambang (FRAT), di kantor camat Kempo Aksi sempat ricuh dengan aparat

Pihak kecamatan berjanji akan memfasilitasi warga untuk menemui bupati Dompu

11 Juli 2012Demo Anti Tambang di Kantor DPRD NTB

Aksi mahasiswa berakhir bentrok dengan aparat.

Mahasiswa meminta PengKab Bima untuk Mengevaluasi Izin Pertambangan

Kasus pertambangan di Dompu selayaknya tidak berbeda dengan di Lambu Bima. Setali tiga uang, karena potensi alam berupa tambang yang sangat potensial di NTB enyebabkan beberapa pemerintah Kabupaten mengeluarkan beberapa izin usaha penambangan dengan dalih untuk meningkatka kesejahteraan masyarakat. Tambang di gadang-gadang akan mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat dan menghasilkan pendapatan bagi daerah.

Ibarat sebuah ekspektasi yang tidak selamanya mulus, izin pertambangan tersebut ternyata berbuntut atas penolakan warga terhadap kegiatan penambangan itu. Bagi warga di Dompu misalnya, eksplorasi tambang pasir besi dapat mengancam ekonomi rakyat. Karena mata pencaharian masyarakat Dompu adalah bertani dan berladang. Kegiatan pertambangan disinyalir akan mengganggu bahkan mengalihfungsikan kegiatan mencari nafkah masyarakat. selain itu, masyarakat Dompu sadar betul bahwa kehadiran tambang pasir besi akan berpotensi membawa bencana lingkungan bagi warga sekitar.

Karena karakteristik Bima dan Dompu kurang lebih sama, sehingga biasanya masyarakat NTB akan berkaca pada saudaranya di wilayah lain dalam penanganan masalah pertambangan seperti ini. Sejak 2011-2012 setidaknya telah terjadi banyak aksi massa terkait penolakan warga terhadap pertambangan pasir besi tersebut, namun hingga saat ini belum ada upaya penyelesaian yang signifikan dari pihak pemerintah kabupaten Dompu itu sendiri.

1. B. Alternatif Penyelesaian KonflikPasca konflik Lambu, DPRD NTB telah menetapkan Perda Pengelolaan Tambang Minerba. Perda ini setidaknya mengatur beberapa hal-hal penting terkait pemberian izin penambangan, pengelolaan, dan pengawasan. Di antaranya sebagai berikut:[1]1. Optimalisasi potensi usaha penambangan lokal, penyelesaian konflik tambang, dan keterbukaan informasi publik atau jaminan transparansi.

2. Mempertegas soal wilayah usaha pertambangan pada setiap tahapan kegiatan, yang sekarang masih dirasakan multitafsir sehingga memicu aksi-aksi massa yang berujung tindakan anarkis. Batas wilayah pertambangan pada setiap tahapan kegiatan harus jelas. Tahapan eksplorasi, misalnya, yang boleh mencakup wilayah mana saja agar tidak melibatkan lokasi permukiman dalam areal wilayah tambang pada tahapan itu. Demikian pula pada tahapan eksploitasi, harus jelas definisi wilayah usaha pertambangannya pada tahapan itu, agar menutup ruang protes pihak-pihak tertentu.

3. permasalahan smelter atau penampungan konsentrat hasil eksploitasi.

4. kewenangan pemerintah provinsi dalam pengawasan lingkungan tambang dan keberlanjutan usaha penambangan, dan kewenangan pemerintah provinsi dalam pemberdayaan warga miskin di lingkar tambang, dan kewenangan pengawasan dana tanggungjawab sosial perusahaan tambang.

Mengacu pada Perda tersebut harusnya Pemerintah Kabupaten dapat menyikapi kasus-kasus konflik yang terjadi di masyarakat selama ini terkait dengan izin usaha penambangan. Namun kenyataan yang ada dilapangan adalah, perda ini lahir setelah banyaknya pemberian izin penambangan yang dinilai bermasalah. Pada kasus-kasus tertentu seperti di Dompu ini, pemberlakuan Perda ini tidak serta merta menyelesaikan masalah yang sudah terlanjur mencuat ke permukaan. Jika sekiranya Pemerintah Kabupaten belum merevisi IUP yang diberikan kepada PT Sumbawa Timur Mining terkait dengan tuntutan masyarakat, maka kemungkinan benih-benih konflik akan memungkinkan terjadi.

Berdasarkan hal tersebut strategi penyelesaian konflik antara masyarakat Dompu dan Pemerintah Kabupaten Dompu dapat berupa Negosiasi yang di motori oleh DPRD setempat. Seperti kita ketahui bahwa DPRD memili beberapa fungsi mendasar seperti:

1. Fungsi legislasi yang diwujudkan dalam membentuk Peraturan Daerah bersama-sama Kepala Daerah.

2. Fungsi anggaran diwujudkan dalam membahas, memberikan persetujuan dan menetapkan APBD bersama Pemerintah Daerah.

3. Fungsi pengawasan diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, Peraturan Perundangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.

Selain memiliki fungsi DPRD juga memiliki hak sebagai berikut:

1. Hak Interpelasi; ialah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara.

2. Hak Angket; ialah pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan Negara, yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3. Hak menyatakan pendapat; ialah hak DPRD untuk menyetakan pendapat terhadap kebijakan kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.

4. Pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Ketika fungsi legislasi telah dilakukan oleh DPRD dengan penerbitan Perda Pengelolaan Minerba tersebut sudah berjalan namun faktanya dilapangan masih terdapat friksi dan benih-benih konflik maka fungsi pengawasan dapat dioptimalkan. Di samping itu DPRD berhak menggunakan hak interpelasinya untuk meminta keterangan lebih jauh terhadap produk kebijakan yang ditetapkan pemerintah daerah, dan lebih jauh dengan cara meminta Bupati dan masyarakat duduk bersama dan melakukan proses negosiasi

Negosiasi adalah diskusi antara dua pihak atau lebih dengan tujuan untuk menyelesaikan suatu perbedaan kepentingan dan berusaha untuk keluar dari konflik sosial. pihak (yang biasa disebut pemberontak atau orang yang berbeda kepentingan) dapat berupa individu, kelompok, organisasi, atau unit politik seperti bangsa. Perbedaan suatu kepentingan sama saja berarti bahwa ada pihak yang memiliki ketidakcocokan preferensi di antara suatu tatanan pilihan yang sudah ada. Pruitt menginterpretasikan negoisasi sebagai:

a process through which agreement may be reached on matters of mutual interest, is essentially the art of persuasion.

Negosiasi merupakan suatu proses untuk meraih tujuan tertentu, dimana di dalamnya melibatkan seni persuasi.

Berbeda dengan Pruitt, fisher & Ury memberikan pengertian pada negoisasi sebagai bentuk integrative bargaining. Atau dapat dikatan lebih lanjut negoisasi sebagai wujud: win-win negotiation where both or all parties involved can end up with equally beneficial or attractive outcomes. Pengertian ini lebih tepat digunakan pada pendekatan problem solving, dimana ada 2 pihak yang memiliki kepentingan dalam proses yang melibatkan satu dengan yang lainnya. Dalam suatu pandangan yang tidak memihak biasanya lebih bersifat integratif, negoisasi mengindikasikan posisi deal yang hendak dituju oleh orang-orang yang berkepentingan di dalamnya. Dengan negosiasi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan akan lebih mudah mendapatkan tujuan dan mewujudkan keinginannya secara kolektif. [2] Beberapa tahap dalam negosiasi di antaranya:

1. Tahap persiapan.

2. Tahap orientasi dan mengatur posisi atau tawaran awal.

3. Tahapan argumentasi atau pemberian konsesi atau tawar menawar.

4. Tahap penutupan; merancang kesepakatan.

Dalam bernegosiasi ada beberapa strategi yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan awal dari diadakannya negosiasi itu sendiri, seperti:

1. Concession making, mengurangi suatu gol (membuat kelonggaran), memintanya, atau menawarkan.

2. Contending, mencoba untuk membujuk pihak lain untuk mengakui atau mencoba untuk melawan upaya-upaya serupa oleh pihak lain.

3. Problem solving, mencoba untuk mencari solusi lain atau mencoba untuk mengadopsi pilihan yang dapat memuaskan kedua belah pihak.

4. Inaction, tidak melakukan apa-apa. Contohnya: menghentikan pertemuan, berbicara hanya berputar-putar dan tidak ada usaha untuk mencapai titik penyelesaian yang pasti.

5. Withdrawal, memutuskan untuk mengakhiri proses negosiasi.

Dalam kasus Dompu ini mungkin strategi Concession making dirasa tepat untuk membantu menyelesaikan konflik pemberian IUP di Dompu tersebut. Hal ini dengan pertimbangan bahwa masing-masing pihak yang berkonflik memiliki kepentingan masing-masing untuk diperjuangkan. Dan oleh karena itu, dalam proses menuju kesepakatan akan ada pihak yang diminta untuk memberikan kelonggaran terhadap tuntutannya. Sebelum mencapai pada tahap pemberian konsesi terlebih dahulu dilakukan mengatur posisi awal dalam hal ini inventarisasi kepentingan masing-masing pihak:

1. Masyarakat

1. Penolakan tambang pasir karena mematikan mata pencaharian (pertanian & perkebunan).

2. Penambangan akan merusak lingkungan.

3. Pemerintah Kabupaten

1. Potensi tambang dapat meningkatkan pendapatan daerah.

2. Kegiatan pertambangan dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Berdasarkan inventarisasi kepentingan pihak-pihak tersebut. Maka proses pengambilan keputusan melalui Concession making dapat dilakukan dengan strategi tawar menawar sebagai berikut:

1. Potensi penambangan dapat dilakukan dengan pemerintah daerah memberikan jaminan bahwa kegiatan penambangan dapat membuka peluang kerja baru yang lebih potensial bagi masyarakat. Namun yang perlu dicermati adalah bahwa pemerintah daerah harus bisa mensosialisasikan dampak positif dari pertambangan sehingga mampu merubah transformasi pola pikir masyarakat dari pertanian ke sektor pertambangan. Jika tahap ini disepakati maka ada kelonggaran dari masyarakat untuk menerima kemungkinan perubahan mata pencaharian dari bertani menjadi bekerja di sektor tambang.

2. Jika terdapat masyarakat yang tidak ingin bergabung dalam sektor pertambangan namun masih berada dalam lingkungan pertambangan maka kewenangan pemerintah provinsi dalam pemberdayaan warga miskin di lingkar tambang. Hal ini bisa memanfaatkan dana CSR perusahaan untuk memberdayakan masyarakat.

3. Pemerintah daerah harus mempertegas batas wilayah pertambangan yang boleh mencakup wilayah mana saja agar tidak melibatkan lokasi permukiman dalam areal wilayah tambang pada tahapan itu.hal ini mengacu pada Perda Pengelolaan

4. Terkait dengan tuntutan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan. Pemerintah Daerah nantinya harus ketat mengawasi kegiatan pertambangan dan pengolahan limbah, lebih jauh dari itu dalam pemberian IUP harus tegas menjelaskan bahwa perusahaan harus menerapkan prinsip pertambangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Tidak mudah memang untuk menghasilkan kesepakatan dengan cara Concession making ini, karena pola pikir dan mata pencaharian masyarakat yang sejak dulu terpatri pada sektor pertanian dan perkebunan. Namun, jika pemerintah daerah mampu memberikan alasan-alasan yang logis terhadap potensi tambang yang dapat mensejahterakan warga dan daerah, maka tidak menutup kemungkinan peralihan itu bisa saja terjadi tanpa ada konflik-konflik yang berarti. Kunci utamanya adalah sosialisasi dan diskusi yang intensif antara pemerintahan Kabupaten dan Masyarakat.

PENUTUP1. A. KesimpulanKonflik adalah bagian dari kehidupan masyarakat, keberadaan konflik menegaskan suatu proses perubahan sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Jika tidak ada konflik tidak ada suatu bentuk pemecahan terhadap suatu permasalahan sosial. Tidak terlepas dari Lambu dan Dompu sebagai salah satu wilayah di NTB. Potensi kedua daerah tersebut dalam pertambangan membeuat para pemangku kebijakan membuat kebijakan untuk mengeluarkan izin pertambangan. Hal ini tentunya tidak salah mengingat dalam amandeman UUD 1945 juga dijelaskan bahwa SDA dikuasi oleh negara dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah Kabupaten sebagai representasi dari masyarakat tentunya memiliki hak dalam menentukan pemberdayaan potensi alam di daerahnya. Ketika suatu daerah memiliki potensi tambang yang besar, maka upaya untuk melakukan eksplorasi terhadap sumber daya tersebut oleh pemerintah sangat dimungkinkan.

Masalah timbul ketika, pembuatan kebijakan terkait pertambangan itu tidak melibatkan masyarakat sebagai subjek yang sejak lama memanfaatkan potensi alam tersebut dalam bentuk lain (pertanian dan perkebunan). Hal ini jika tidak melalui komunikasi dan sosialiasi yang baik tentunya akan menimbulkan benih-benih konflik. Mengubah tatanan kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah Kabupaten harusnya melakukan berbagai macam cara yang intensif untuk melakukan pendekatan terhadap masyarakat, bukan serta merta mengeluarkan kebijakan yang di lain pihak merugikan masyarakat.

Jika yang terjadi di lapangan adalah konflik tengah berlangsung karena masalah tersebut, maka cara penyelesaian konflik yang terbaik adalah melalui negosiasi yang di negosiatori oleh DPRD setempat. Dengan beberapa fungsi dan hak nya DPRD memiliki wewenang untuk mempertemukan kedua belah pihak untuk berdiskusi dan bernegosiasi untuk mencapai suatu kesepakatan bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.

DAFTAR PUSTAKADhrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, Sebuah Analisa-Kritik. Jakarta: CV Rajawali.

Kartono, Gulo. 1987. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.

Konflik Bima Diselesaikan dengan Reformasi Agraria. www.tempo.co.id. Diakses 20 November 2012.

Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Pruitt, Dean G. & Peer J. Carnevale. 1997. Negotiation in Social Conflict. Buckingham: Open Univ Press.

Ritzer, George & Goodman, Douglas J. 2004. Modern Socilogical Theory, 6th edition, terj. Alimandan, Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.

Soetopo, Hendyat. 1999. Manajemen konflik. Malang : Universitas Negeri Malang.

Wallace, Ruth A, Wolf Alison. 1986. Contemporary sociological theory. New York: Prentice-Hall.

Wallensteen, Peter. Understanding Conflict Resolution: War, Peace and the Global System. 2002. London: Sage Publication.