analisa faktor
TRANSCRIPT
PROPOSAL SKRIPSI
“ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENDAPATAN
PADA INDUSTRI KECIL”
Tugas: Metologi Penelitian.
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Nama : JOMPUTRA ARICTOJA
Nim : 108084000042
Prodi : IESP
Konsentrasi: Pembangunan
JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu proses perubahan yang dilakukan secara
terus menerus dan merupakan perbaikan ke arah yang lebih baik. Sedangkan tujuan
pembangunan secara umum adalah menciptakan kemakmuran masyarakat yang adil dan
merata. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan adalah mengenai peningkatan taraf hidup dan
pemerataan pendapatan masyarakat. Usaha-usaha pemerintah telah banyak dilakukan untuk
merealisasikan tujuan tersebut yaitu melaksanakan pembangunan disegala bidang kehidupan
dan menitikberatkan pada pembangunan ekonomi yang didukung oleh bidang-bidang lainnya.
Sebagaimana telah ditetapkan dalam GBHN maka pembangunan ekonomi didalam rangka
pembangunan Nasional Jangka Panjang mempunyai sasaran utama mencapai keseimbangan
antara bidang-bidang pertanian dan bidang industri (Hadi Prayitno, 1987: 51).
Berbicara mengenai industri, tidak hanya ditujukan kepada industri-industri besar dan
menengah saja, tetapi juga diarahkan kepada industri kecil dan industri rumah tangga.
Penggolongan industri kecil selaras dengan arah pemasaran produknya dibagi ke dalam
empat golongan sebagai berikut :
1. Industri kecil yang menghasilkan produk-produk (komponen-komponen bagi industri
besar dan menengah).
2. Industri kecil yang menghasilkan barang-barang jadi untuk pasaran umum.
3. Industri kecil atau lebih tepat lagi kerajinan yang membuat barang-barang yang bercitra
seni, umumnya untuk lingkungan pariwisata.
4. Industri kecil atau lebih tepat lagi industri pedesaan yang memberi jasa dan membuat
barang untuk pasaran terbatas diwilayah pedesaan.
Kondisi Industri Kecil 1993-1998Perusahaan-perusahaan yang tergolong industri kecil di Indonesia (dengan menggunakan
definisi tenaga kerja kurang dari 20 orang) merupakan bagian terbesar dari unit usaha kecil
manufaktur yang ada (lebih dari 99%) dan menyerap hampir 60% tenaga kerja. Lebih dari
90% unit usaha yang tergolong ke dalam IK adalah berupa industri kerajinan dan rumah
tangga (didefinisikan sebagai perusahaan dengan tenaga kerja kurang dari 5 orang) yang
menyerap hampir 40% tenaga kerja sektor manufaktur. Kelompok industri dengan tenaga
kerja 5-19 orang (yaitu IK menurut definisi BPS) memiliki distribusi jumlah tenaga kerja
yang condong pada skala lebih kecil : 67,4% adalah memiliki jumlah tenaga kerja 5-7 orang;
16,3% perusahaan dengan 8-10 tenaga kerja; dan 18,3% perusahaan dengan tenaga kerja 11-
19 orang (BPS, 1995).
Mungkin diantara kita tidak pernah mengira bahwa bangsa Indonesia yang sebelumnya
mengalami pertumbuhan yang pesat, secara tiba-tiba mengalami krisis luar biasa. Akibatnya,
terjadilah kemerosotan ekonomi dan krisis luar biasa dan sudah dapat diduga bidang-bidang
kehidupan lainnya juga ikut terganggu. Para ahli berpendapat bahwa permasalahan terjadi
karena kesalahan pemilihan strategi pembangunan yang hanya memacu pertumbuhan
ekonomi dengan mengandalkan sektor industri manufaktur yang berskala menengah dan
besar saja. Padahal jika kita telusuri lebih lanjut, usaha kecil memegang peranan yang penting
dalam perekonomian terutama dalam negara yang sedang berkembang. Bukan hanya karena
sifatnya yang sangat padat karya sehingga dapat mengurangi permasalahan pengangguran,
tetapi juga sebagai suatu struktur sosial yang dapat berproduksi dengan efektif dan dengan
investasi yang kecil. Selain itu juga, sektor ini tidak terkait dengan hutang luar negeri maupun
bahan baku impor, jadi meskipun terjadi krisis, sektor ini masih tetap bisa bertahan.
Seperti pada industri gula merah di Desa Bades, Kecamatan Pasirian, Kabupaten
Lumajang yang akan peneliti bahas selanjutnya. Dari tahun ke tahun jumlah industri yang ada
semakin meningkat. Pada tahun 1997 jumlah unit usaha yang ada sebanyak 122 unit usaha
menjadi 350 unit usaha pada tahun 2001 dengan tenaga kerja kurang lebih 700 orang
(Sumber: Data Monografi Desa Bades 2001). Hal ini membuktikan bahwa meskipun terjadi
krisis, industri kecil tetap bisa bertahan. Bahkan merupakan salah satu penopang
perekonomian rakyat karena dapat menyerap tenaga kerja sehingga bisa mengatasi
pengangguran di Kabupaten Lumajang pada umumnya dan di Desa Bades, Kecamatan
Pasirian pada khususnya.
Terdapat beberapa alasan kuat yang mendasari resistensi dari keberadaan industri kecil
dan kerajinan rumah tangga dalam perekonomian Indonesia. Alasannya adalah :
1. Sebagian besar populasi industri kecil dan kerajinan rumah tangga berlokasi didaerah
pedesaan, sehingga jika dikaitkan dengan kenyataan tenaga kerja yang semakin
meningkat serta luas tanah garapan pertanian yang relatif berkurang, industri kecil
merupakan jalan keluar.
2. Beberapa jenis kegiatan industri kecil dan rumah tangga banyak menggunakan bahan
baku dari sumber-sumber di lingkungan terdekat (disamping tingkat upah murah) telah
menyebabkan biaya produksi dapat ditekan rendah.
3. Harga jual yang relatif murah serta tingkat pendapatan kelompok “bawah” yang rendah
sesungguhnya merupakan suatu “kondisi terjawab” tersendiri yang memberi peluang
bagi industri kecil dan kerajinan rumah tangga untuk tetap bertahan.
4. Tetap adanya permintaan terhadap beberapa jenis komoditi yang tidak diproduksi secara
masinal (misalnya batik tulis, anyam-anyaman, barang ukiran, dan sebagainya) juga
merupakan salah satu aspek pendukung (Irsan Azhari Saleh,1986:11).
Di sisi lain tampaknya pemerintah telah berusaha untuk terlibat dalam permasalahan
yang dihadapi oleh industri kecil yaitu dengan jalan meningkatkan pembinaan sektor
informal dalam rangka perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan. Akan tetapi
timbul permasalahan kembali karena kebijakan pengembangan industri kecil pada PELITA
VII mempunyai banyak tujuan yang kurang jelas prioritasnya sehingga kebijakan-kebijakan
tersebut seringkali inkonsisten. Bantuan berupa subsidi, jaminan kredit atau penyertaan
modal merupakan intervensi pemerintah dalam perekonomian dan hanya efektif jika
pemerintah mempunyai kemampuan dalam menjalankannya. Kebanyakan bantuan
pemerintah adalah membantu mengkompensasi kelemahan internal perusahaan industri kecil,
sedangkan masalah yang menyangkut lingkungan usaha, seperti persaingan yang tidak sehat
kurang diperhatikan.
Di Desa Bades banyak sekali terdapat tanaman kelapa dan hanya dijual dalam bentuk
kelapa butiran. Akan tetapi ada pengembangan produk kelapa berupa diversifikasi usaha yang
dapat menghasilkan bentuk produk bernilai ekonomi tinggi bagi petani yaitu dengan usaha
pembuatan gula merah kelapa yang telah dilakukan sejak dari dulu dan bersifat turun
temurun. Gula kelapa atau gula merah adalah salah satu bahan pangan pemanis yang cukup
potensial untuk masa yang akan datang, baik sebagai kebutuhan dalam negeri maupun bahan
ekspor. Mengingat impor gula tebu dalam setiap tahun cukup besar, maka gula kelapa ini
juga tampaknya mempunyai potensi dan prospek yang baik sebagai bahan substitusi dari gula
tebu.
Masalah pokok yang dihadapi pengrajin dalam pengembangan usaha gula kelapa di Desa
Bades yaitu sistem usaha yang masih dalam bentuk usaha keluarga dengan teknologi serba
tradisional sehingga produktivitas yang diperoleh masih rendah dan hal ini mempengaruhi
pendapatan yang mereka peroleh. Perluasan skala usaha juga masih dibatasi oleh keterbatasan
sumber daya, dan yang paling penting adalah kebutuhan akan modal.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan diatas maka penulis tertarik untuk mengamati masalah
pendapatan pengrajin industri kecil dan mengkaji lebih dalam lagi tentang : “Analisa
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Pengrajin Pada Industri Kecil” .
Permasalahan
Dari latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dapat ditarik adanya beberapa
permasalahan yang akan dibahas dan diteliti lebih lanjut. Masalah-masalah tersebut antara
lain :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pendapatan industri kecil?
2. Seberapa besar pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap tingkat pendapatan industri
kecil?
3. Bagaimana kehidupan sosial ekonomi para pelaku industri kecil?
1.2 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan industri kecil.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap tingkat
pendapatan pada industri kecil.
3. Untuk mengetahui kehidupan sosial pelaku industri kecil.
1.3 Kegunaan Penelitian
1. Sebagai sumbangan pemikiran dan informasi bagi pembuat kebijaksanaan terutama
pemerintah.
2. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap pihak industri kecil dalam menyikapi fenomena
mengenai pendapatan mereka, agar dapat lebih ditingkatkan lagi
3. Sebagai masukan untuk penelitian selanjutnya baik dari segi pandangan maupun
pengetahuan yang berhubungan dengan masalah industri kecil.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Pengertian Industri Kecil
Atribut ‘kecil’ pada industri kecil memiliki arti yang berbeda dalam berbagai konteks dan
lembaga yang menggunakannya, dan hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan interpretasi
bagi yang mencoba mengadopsi kebijakan atau pengalaman negara lain dalam
pengembangan industri kecil. BPS di Indonesia menggunakan kriteria perusahaan dengan
jumlah tenaga kerja 1-4 orang sebagai industri kerajinan dan rumah tangga, perusahaan
dengan tenaga kerja 5-19 orang sebagai industri kecil, perusahaan dengan tenaga kerja 20-99
orang sebagai industri sedang atau menengah, dan perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari
100 orang sebagai industri besar. Deperindag mendefinisikan industri kecil berdasarkan asset
dan kepemilikan, yaitu perusahaan yang memiliki asset sampai Rp. 600 juta di luar tanah dan
bangunan yang ditempatinya dan dimiliki oleh warga negara Indonesia (BAPIK,1994) .
Undang-undang Usaha Kecil no. 9 tahun 1995 yang digunakan oleh Departemen Koperasi,
menetapkan kriteria usaha kecil sebagai usaha yang memiliki kekayaan bersih maksimum Rp.
200 juta di luar tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.
1 miliar dan dimiliki oleh warga negara Indonesia.
2.1.1 Kriteria Kelompok Industri Kecil
Industri kecil merupakan salah satu usaha yang termasuk dalam sektor informal. Dimana
sektor informal itu sendiri belum mempunyai definisi secara pasti. Sedangkan ciri-ciri dari
sektor informal seperti yang dijelaskan oleh Payaman J. Simanjuntak (1985: 98-99) adalah
sebagai berikut: Pertama, kegiatan usaha umumnya sederhana, tidak terlalu tergantung pada
kerjasama banyak orang dan sistem pembagian kerja yang ketat, sehingga dapat dilakukan
oleh semua orang yang berminat maupun kerjasama dengan beberapa orang. Kedua, skala
usaha relatif kecil, baik modal usaha maupun omset penjualan, umumnya kecil. Ketiga, usaha
sektor informal umumnya tidak mempunyai ijin usaha seperti pada Firma atau Perusahaan
Terbatas. Keempat, untuk bekerja disektor informal lebih mudah daripada bekerja disektor
formal. Seseorang bisa memulai dan melakukan sendiri usaha informal maupun bergabung
dengan orang lain, misalnya karena persahabatan atau karena adanya hubungan keluarga.
Kelima, tingkat penghasilan disektor informal umumnya rendah walaupun tingkat
keuntungan kadang-kadang cukup tinggi, akan tetapi karena omset penjualan relatif kecil,
keuntungan absolut umumnya menjadi kecil. Keenam, keterkaitan sektor informal dengan
usaha-usaha lain sangat kecil. Hal ini disebabkan karena kebanyakan usaha-usaha sektor
informal berfungsi sebagai produsen yang menyalurkan barang langsung ke konsumen
sehingga sangat mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi pada konsumen. Ketujuh,
usaha sektor informal beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, tukang sepatu, serta usaha-
usaha rumah tangga seperti pembuatan tempe, dan termasuk juga usaha pengolahan gula
merah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Berdasarkan eksistensi dinamisnya industri kecil dan kerajinan rumah tangga
Indonesia dapat dibagi kedalam tiga kelompok kategori yaitu : Yang pertama, industri lokal
adalah kelompok industri yang menggantungkan hidupnya pada pasar setempat yang terbatas
serta lokasinya relatif tersebar. Skala usaha umumnya kecil dan mencerminkan pola
pengusahaan yang bersifat subsisten. Selain itu target pemasarannya sangat terbatas sehingga
menyebabkan kelompok ini menggunakan sarana transportasi yang sederhana (misalnya :
sepeda, gerobak, dan pikulan). Peran pedagang perantara kurang menonjol pada kelompok
industri lokal karena pemasaran hasil produksinya ditangani sendiri. Kegiatan industri lokal
pada dasarnya merupakan aktivitas sambilan. Dibeberapa tempat kegiatan industri lokal ini
bahkan kurang memiliki nilai ekonomis dan semata-mata hanya untuk membantu kegiatan
utama. Namun sebaliknya, lambat laun industri lokal ini menampakkan prospek tumbuh yang
semakin baik, karena usaha ini semakin mampu menciptakan kekuatan bertahan secara
permanen dalam proses perkembangan selanjutnya. Yang kedua, industri sentra adalah
kelompok industri yang mempunyai skala kecil, tetapi membentuk suatu pengelompokan atau
kawasan produksi yang terdiri dari kumpulan unit usaha yang menghasilkan barang sejenis.
Target pemasaran umumnya menjangkau pasar yang lebih luas daripada kategori yang
pertama, sehingga peranan pedagang perantara atau pedagang pengumpul menjadi cukup
menonjol. Pertumbuhan industri ini sangat dipengaruhi oleh terkonsentrasinya bahan mentah
bagi suatu produksi di daerah-daerah tertentu. Sementara keahlian dan keterampilan tertentu
memang telah dipunyai oleh kelompok tertentu bagi terciptanya sentra-sentra industri kecil
itu. Yang ketiga, yaitu industri mandiri yang pada dasarnya merupakan kelompok industri
yang masih mempunyai sifat-sifat industri kecil, namun telah mampu mengadaptasi teknologi
produksi yang cukup canggih. Pemasaran hasil produksi kelompok ini relatif tidak tergantung
kepada peranan pedagang perantara (Irsan Azhari Saleh, 1986: 51-52).
2.2 Teori Produksi
2.2.1 Fungsi Produksi
Dalam membicarakan mengenai teori produksi menurut Ari Sudarman (1992 :124) hal
yang selalu mendapat tekanan adalah jumlah output yang selalu tergantung atau merupakan
fungsi dari faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Hubungan antara
output yang dihasilkan dan faktor-faktor produksi yang digunakan sering dinyatakan dalam
suatu fungsi produksi (production function).
Sedangkan Soekartawi (1994: 15-16) mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan
fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang
dijelaskan biasanya berupa output dan variabel yang menjelaskan biasanya berupa input.
Fungsi produksi ini penting untuk mengetahui hubungan antara faktor produksi (input) dan
produksi (output) secara langsung dan hubungan tersebut dapat lebih mudah dimengerti.
Secara matematis, hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Y = f (X1, X2,…….,Xi,……Xn)
Dengan fungsi produksi seperti tersebut, maka hubungan Y dan X dapat diketahui dan
sekaligus hubungan X1…..Xn dan X lainnya dapat diketahui.
Proses produksi pada umumnya membutuhkan berbagai macam jenis faktor produksi.
Faktor –faktor produksi tersebut dapat diklasifikasikan manjadi faktor produksi tenaga kerja,
modal, dan bahan mentah. Dalam setiap proses produksi, ketiga faktor produksi tersebut
dikombinasikan dalam jumlah dan kualitas yang tertentu. Untuk lebih mudah, maka faktor
produksi dibagi menjadi dua macam, yaitu faktor produksi tetap dan faktor produksi variabel.
Faktor produksi tetap adalah faktor produksi dimana jumlah yang digunakan dalam proses
produksi tidak dapat diubah secara cepat, bila pasar menghendaki perubahan jumlah output.
Misalnya gedung, mesin-mesin, dan tenaga pimpinan perusahaan dapat disebutkan sebagi
contoh faktor produksi yang bersifat tetap. Faktor-faktor produksi ini tidak dapat ditambah
atau dikurangi jumlahnya dalam waktu relatif singkat. Sedangkan faktor produksi variabel
adalah faktor produksi dimana jumlahnya dapat diubah-ubah dalam waktu yang relatif
singkat sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan. Misalnya faktor produksi tenaga kerja,
bahan mentah dapat diklasifikasikan sebagai faktor produksi ini.
Sedangkan pembagian faktor produksi berdasarkan kurun waktu produksi dibagi
menjadi dua macam yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Kurun waktu jangka pendek
adalah menunjukkan kurun waktu dimana salah satu faktor produksi atau lebih bersifat tetap.
Jadi, dalam kurun waktu ini output dapat diubah jumlahnya dengan jalan mengubah faktor
produksi variabel yang digunakan dan dengan peralatan mesin yang ada. Yang dimaksud
dengan jangka panjang adalah kurun waktu dimana semua faktor produksi adalah bersifat
TPL
Input tenaga kerja per periode
MPL, APL
APL
MPL
Input tenaga kerja per periodeL***L**L*
variabel. Ini berarti dalam jangka panjang, perubahan output dapat dilakukan dengan cara
mengubah faktor produksi dalam tingkat kombinasi yang seoptimal mungkin. Dalam jangka
pendek produsen dapat memperbesar output dengan jalan menambah jam kerja per ahri dan
pada tingkat skala perusahaan yang ada, teetapi dalam jangka panjang, mungkin akan lebih
ekonomis baginya bila ia menambah skala perusahaan dan tidak perlu manambah jam kerja.
2.2.2 Produktivitas Fisik Marginal Yang Semakin Menurun
Produktivitas fisik marginal suatu input tergantung pada berapa banyak input itu
digunakan. Misalnya, tenaga kerja tidak dapat ditambahkan secara tidak terbatas pada
sebidang tanah (sementara jumlah peralatan, pupuk, dan lain-lain dipertahankan tetap) tanpa
akhirnya menunjukkan suatu kerusakan pada produktivitasnya. Hal ini dapat dilihat pada
Gambar 2.1 berikut ini :
Gambar 2.1 Deviasi Kurva-kurva Produk Marjinal dan Produk
Rata-rata Tenaga Kerja dari Kurva Produk Total
a. Kurva Total Tenaga Kerja
b. Kurva Produk Marjinal dan Rata-rata Untuk Tenaga Kerja
Kuantias per periode
Untuk sejumlah kecil L, output naik dengan cepat kalau L ditambah. Tetapi, karena
input-input lainnya tetap konstan, akhirnya kemampuan tenaga kerja tambahan untuk
menghasilkan output tambahan mulai merosot. Akhirnya pada L*** output mencapai tingkat
maksimumnya. Setiap tenaga kerja tambahan yang ditambahkan melampaui titik ini akan
mengurangi output. Sesudah L*** para pekerja tambahan justru akan menyebabkan output
total mulai menurun.
Produk fisik marjinal tenaga kerja adalah kemiringan kurva TPL. Kemiringan kurva TPL
hanya memperlihatkan bagaimana output bertambah kalau tenaga kerja tambahan ditambah.
Kurva produk marjinal (MPL) pada gambar menunjukkan bahwa MPL mencapai maksimum di
L* dan menurun karena ditambahkan tenaga kerja tambahan melampaui titik ini. Hal ini
merupakan pencerminan asumsi produk marjinal tenaga kerja yang semakin menurun. MPL
sama dengan O pada titik L*** tambahan input tenaga kerja selanjutnya akan menurunkan
output. Produksi tidak akan berlangsung setelah melampaui titik L*** karena dengan
menggunakan tenaga kerja lebih banyak akan menghasilkan output yang lebih sedikit untuk
perusahaan yang berganti.
Dengan menarik serangkaian garis penghubung melalui titik awal ke berbagai titik pada
kurva produk total (TPL), dapat dibuat kurva produk rata-rata tenaga kerja (APL). Dari gambar
2.1 dapat dilihat bahwa produktivitas marjinal dan rata-rata dari tenaga kerja adalah sama
pada L**. Untuk tingkat input tenaga kerja ini garis penghubung melalui titik awal tepat
menyinggung kurva TPL. Karena itu produk marjinal dan rata-rata tenaga kerja adalah sama.
Demikian pula pada L**, produk rata-rata tenaga kerja berada pada nilai maksimumnya.
Untuk tingkat-tingkat input tenaga kerja lebih kecil dari L**, produk marjinal tenaga kerja
(MPL) melebihi produk rata-ratanya (APL). Akibatnya penambahan satu pekerja lagi akan
menaikkan produktivitas rata-rata seluruh pekerja karena tambahan pada output dengan
mempekerjakan pekerja tambahan ini emlebihi output yang diproduksi oleh rata-rata pekerja
sebelumnya.
2.3 Budget Line dan Alokasi Waktu
Barang konsumsi yang dapat dinikmati oleh suatu keluarga sebanding dengan
pendapatan keluarga yang bersangkutan dan ini sebanding dengan jumlah waktu yang
disediakan untuk bekerja. Waktu yang tersedia perhari bagi tiap-tiap keluarga sudah tetap,
yaitu jumlah angkatan kerja dalam keluarga itu dikalikan 24 jam. Dari jumlah waktu tersebut
keluarga yang bersangkutan harus menyediakan waktu untuk keperluan tidur, makan, dan
lain-lain yang bersifat personal. Sisanya dipakai untuk bekerja dan untuk waktu senggang.
Jadi pada dasarnya setiap penambahan barang konsumsi berarti juga mengurangi jumlah
waktu yang dapat dipergunakan untuk waktu senggang. Kenaikan tingkat upah berarti
pertambahan pendapatan. Dengan status ekonomi lebih tinggi, seseorang cenderung untuk
meningkatkan konsumsi dan menikmati waktu senggang lebih banyak, yang berarti
mengurangi jam kerja (income effect). Dipihak lain kenaikan tingkat upah juga berarti harga
waktu menjadi lebih mahal. Nilai waktu yang lebih tinggi mendorong keluarga
mensubstitusikan waktu senggangnya untuk lebih banyak bekerja menambah konsumsi
barang. Penambahan waktu bekerja tersebut dinamakan substitution effect dari kenaikan
tingkat upah (Payaman Simanjuntak ,1985 :52-54). Dalam gambar 2.2 berikut ini
menjelaskan waktu yang tersedia buat keluarga untuk keperluan bekerja dan waktu
senggang :
Gambar 2.2 Budget Line
Misalkan waktu yang tersedia buat keluarga untuk bekerja dan waktu senggang adalah
OH. Sedangkan pendapatannya adalah OA=HB. Bila seluruh waktu yang tersedia OH
digunakan untuk waktu senggang maka pendapatan keluarga tersebut hanya OA=HB, dan
tingkat utility keluarga tersebut hanya mencapai U1.. Tetapi bila keluarga yang bersangkutan
menggunakan seluruh waktu yang tersedia untuk bekerja sehingga waktu senggangnya = 0,
maka jumlah barang konsumsinya adalah OC dengan tingkat utility U2. Tingkat utility
maksimum dapat dicapai bila fungsi utility (U3) dan menyinggung Budget Line. Budget Line
merupakan tempat kedudukan titik-titik yang mencerminkan kombinasi jumlah barang
konsumsi dan waktu senggang sehingga jumlah waktu yang dipergunakan tetap. Dalam
gambar 2.2 OD menunjukkan jumlah waktu yang dipergunakan keluarga untuk waktu
senggang, sedangkan HD merupakan waktu yang dipergunakan untuk bekerja. Waktu
senggang diukur dari titik O ke H dan waktu bekerja diukur dari H ke O. Dengan bekerja
sebanyak HD jam, keluarga yang bersangkutan memperoleh upah senilai barang konsumsi
AF. Jumlah barang konsumsi keluarga adalah jumlah barang senilai hasil kerja ditambah
barang senilai pendapatan diluar hasil kerja.
OF = OA + AF
Waktu senggang
U1
U3U2
D H
BA
F
C
Barang konsumsi, upah
O
E
Nilai barang konsumsi yang dapat dibeli dari hasil kerja satu jam dinamakan tingkat upah
yang dicerminkan dengan kecenderungan (slope) budget line. Semakin tinggi tingkat upah
semakin besar slope dari budget line.
2.4 Teori Human Capital
Pendidikan dan Latihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan
sumber daya manusia. Pendidikan dan latihan tidak saja menambah pengetahuan, akan tetapi
juga meningkatkan keterampilan bekerja, dengan demikian meningkatkan produktivitas kerja.
Pendidikan dan latihan dipandang sebagai investasi yang imbalannya dapat diperoleh
beberapa tahun kemudian dalam bentuk pertambahan hasil kerja yang tercermin dalam
tingkat upah. Hal ini sesuai dengan prinsip investasi dibidang usaha yaitu mengorbankan
konsumsi pada saat investasi dilakukan untuk memperoleh tingkat konsumsi yang lebih
tinggi beberapa waktu kemudian. Hal ini juga dilakukan dalam investasi di bidang sumber
daya manusia. Yang dikorbankan adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan
memperoleh penghasilan selama proses investasi. Investasi yang demikian dinamakan human
capital. Asumsi dasar dari teori human capital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan
penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti,
disatu pihak, meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, akan tetapi,
dipihak lain, menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti sekolah
tersebut. Perbedaan tingkat pendapatan tersebut tidak saja disebabkan oleh perbedaan tingkat
pendidikan, tetapi juga oleh beberapa faktor lain seperti pengalaman kerja, keahlian, sektor
usaha, jenis usaha, lokasi, dan lain-lain. Namun diamati dalam kondisi yang sama, tingkat
pendapatan ternyata berbeda menurut tingkat pendidikan.
Latihan adalah salah satu aspek human capital. Latihan bisa dilakukan didalam dan diluar
pekerjaan. Pada umumnya latihan yang dilakukan diluar pekerjaan bersifat formal dan
dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan pegawai baik secara horisontal maupun
vertikal. Peningkatan secara horisontal berarti memperluas aspek-aspek atau jenis pekerjaan
yang diketahui. Peningkatan secara vertikal berarti memperdalam pengetahuan mengenai
suatu bidang tertentu. Melihat hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat
produktivitas seseorang juga berbanding lurus dengan jumlah dan lamanya latihan formal
yang diperoleh. Sedangkan latihan didalam pekerjaan juga meningkatkan produktivitas kerja
seseorang dan biasanya diukur dalam bentuk pengalaman kerja. Masa kerja seseorang tidak
mudah dicatat melalui survey, oleh sebab itu tingkat umur sering dianggap sebagai indikator
masa kerja dengan asumsi bahwa masa kerja adalah umur pada tahun yang berlaku dikurangi
umur pada saat mulai bekerja.
2.5 Penelitian Terdahulu
Pada umumnya produk utama yang dihasilkan dari tanaman kelapa di Indonesai hingga
sekarang masih tertuju dalam bentuk produk kelapa butiran, kopra, dan minyak kelapa.
Apabila petani hanya mengusahakan kelapa secara monokultur pada tingkat produktivitas
yang rendah, maka pendapatan yang diperoleh dalam bentuk produk ini tidak mampu
menjamin kehidupan petani secara layak. Sasaran pokok kebijakan pengembangan tanaman
kelapa di Indonesia adalah untuk mengimbangi antara laju pertumbuhan produksi dan
konsumsi kelapa secara nasional, sedangkan sasaran lainnya adalah untuk meningkatkan
pendapatan serta membuka lapangan kerja di pedesaan. Untuk mewujudkan sasaran yang
kedua ini telah diupayakan pengembangan produk kelapa berupa diversifikasi usaha yang
dapat menghasilkan bentuk produk bernilai ekonomi tinggi. (Jurnal terlampir)
Kerangka Pemikiran
Dari tinjauan teoritis diatas dapat dijelaskan kerangka pemikiran sebagai berikut :
1. Modal
Pada industri kecil gula merah, faktor modal memiliki peranan yang sangat penting dalam
kegiatan produksi, dapat dikatakan bahwa modal merupakan faktor utama yang harus diberi
perhatian lebih. Adapun modal yang dimaksud adalah modal tetap dan modal tidak tetap.
Modal tetap adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membeli barang-barang yang tidak
habis dalam satu kali proses produksi dan biasanya digunakan dalam jangka waktu yang
panjang/lebih dari satu tahun, misalnya membeli alat-alat yang digunakan untuk memasak,
alat-alat untuk menderes, dan lain-lain. Sedangkan modal tidak tetap yaitu biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk membeli bahan-bahan yang habis dalam satu kali proses produksi atau
jangka waktunya pendek atau kurang dari satu tahun, misalnya untuk membeli obat
pengawet, bahan bakar/sekam, dan lain-lain.
Kenaikan modal dalam skala yang lebih besar akan mendorong kenaikan produktivitas
dan output. Jadi modal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pendapatan.
MODAL
TENAGA KERJA
JAM KERJA
PENGALAMAN KERJA
PENDAPATAN INDUSTRI KECIL
2. Tenaga Kerja
Faktor tenaga kerja merupakan faktor yang juga mempengaruhi pendapatan. Penggunaan
tenaga kerja yang efisien, baik jumlah maupun kualitas diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan pengrajin. Dalam hal ini
adalah tenaga kerja yang dibayar maupun yang tidak dibayar. Makin banyak jumlah anggota
keluarga yang terlibat dalam usaha gula merah, cenderung makin banyak pula jumlah pohon
yang dapat disadap sehingga gula yang dihasilkan juga semakin banyak.
3. Jam Kerja
Jam kerja erat kaitannya dengan tingkat pendapatan. Pendapatan seseorang dalam sektor
informal ditentukan oleh pencurahan waktu kerja untuk berproduksi dalam setiap harinya.
Karena tingkat upah dalam industri kecil bukan tingkat upah target, melainkan ditentukan
oleh barang dan jasa yang dihasilkan. Oleh karena itu tingkat pendapatan juga dipengaruhi
oleh jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh pengrajin dalam setiap harinya untuk
memproduksi gula merah.
4. Pengalaman Kerja
Yang dimaksud dengan pengalaman kerja adalah lamanya seseorang dalam
bekerja/menjalankan usaha. Ada asumsi yang mengatakan bahwa semakin lama seseorang
menekuni usaha tersebut maka keahlian yang mereka miliki semakin tinggi, sehingga akan
dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatannya.
2.7 Hipotesa
Hipotesa dapat didefinisikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian
yang kebenarannya harus terus diuji secara empiris. Berdasarkan permasalahan diatas, teori-
teori yang telah ada serta tujuan penulis maka hipotesa yang dapat dikemukakan adalah :
“Diduga bahwa modal, tenaga kerja, jam kerja, , dan pengalaman kerja adalah faktor-
faktor yang mempengaruhi pendapatani industri kecil.”
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Desa Bades, Kec. Pasirian, Kab. Lumajang.
Pemilihan Desa Bades sebagai lokasi penelitian ditetapkan secara sengaja, atas dasar
pertimbangan bahwa Desa Bades merupakan salah satu desa di wilayah Kec Pasirian, Kab.
Lumajang sebagai desa potensial penghasil gula merah (kelapa) karena banyak tersedianya
bahan baku berupa pohon kelapa yang merupakan input utama pembuatan produksi gula
merah
Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan yang
diterima oleh pekerja pada industri kecil. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi
pendapatan pekerja antara lain: modal, tenaga kerja, jam kerja, banyaknya nira, dan
pengalaman kerja. Hal ini akan diteliti lebih lanjut oleh penyusun.
3.2 Deskripsi Data
3.2.1 Jenis Data
Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan dan observasi secara langsung
terhadap obyek yang diteliti atau dengan kata lain data ini dikumpulkan langsung dari
responden yang diteliti dan diolah sendiri oleh organisasi atau pihak yang menerbitkannya.
Data ini adalah sumber utama penelitian yang akan dilakukan. Kelayakan penelitian ini
tergantung pada pengolahan data primer yang akan diperoleh setelah pengisian kuisioner oleh
pihak-pihak yang dipilih secara acak.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak yang bukan pengolahnya. Pada
penelitian ini, data sekunder bertujuan untuk melengkapi informasi yang akan disajikan pada
penyusunan skripsi. Data ini diperoleh dari literatur-literatur yang ada serta badan-badan
terkait yang sesuai dengan tema penelitian.
3.2.2 Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Metode wawancara yaitu dengan mengadakan wawancara langsung dengan responden
untuk mendapatkan data-data yang dimaksud dengan berpedoman pada daftar pertanyaan
yang telah dipersiapkan dalam bentuk kuisioner.
2. Metode Observasi yaitu dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada obyek
penelitian, dalam hal ini adalah pengrajin gula merah di Desa Bades, Kec. Pasirian, Kab.
Lumajang.
3. Metode Kepustakaan , yaitu dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dan
menunjang baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian ini.
3.2.3 Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari satu-satuan atau individu-individu yang menjadi
subyek penelitian. Dalam penelitian ini populasi terdiri dari semua pengrajin pada industri
kecil pengolahan gula merah yang ada di Desa Bades, Kec Pasirian, Kab Lumajang.
Sampel adalah sebagian anggota (elemen) dari suatu populasi yang akan dijadikan
subyek penelitian. Sedangkan sampling adalah proses pengambilan sampel dari suatu
populasi. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sampel dengan tehnik non random
probability sampling dimana tidak semua individu dalam populasi mempunyai kesempatan
yang sama untuk dipilih menjadi sampel. Metode ini dilakukan karena banyak populasi yang
tersebar di enam dusun dan tidak merata. Pada dasarnya dalam menentukan ukuran sampel
tidak ada standar baku. Sampel yang baik adalah sampel yang dapat mencerminkan
karakteristik populasi. Mengenai besarnya sampel yang diambil, pada umumnya orang
berpendapat bahwa tiga puluh subyek penelitian merupakan batas antara sampel kecil dan
sampel besar. Tiga puluh atau kurang bisa dikatakan sebagai sampel kecil sedangkan lebih
besar dari tiga puluh merupakan sampel besar (Suharsimi Arikunto, 1990 : 124). Penentuan
sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan purposive sampling yaitu sampel dipilih
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Sedangkan pertimbangan yang diambil itu
berdasarkan tujuan penelitian. Berdasarkan hal diatas, maka peneliti mengambil sebanyak 50
orang pengrajin dari populasi sebanyak 350 pengrajin. Sedangkan cara pengambilan
responden sebagai sampel penelitian adalah Quota Sampling yaitu jumlah subyek yang akan
diteliti ditetapkan terlebih dahulu, tidak dipersoalkan bagaimana peneliti memperoleh
responden pada tiap-tiap jenisnya sehingga kuota yang diinginkan terpenuhi. Selain itu juga
dengan mempertimbangkan waktu, biaya, dan tenaga yang ada.
3.3 Definisi Variabel
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua variabel
yaitu variabel terikat dan variabel bebas :
a. Variabel Terikat
Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah Y, yang menunjukkan tingkat pendapatan
responden per bulan dari usaha gula merah. Pendapatan (Y) merupakan selisih antara total
penerimaan dan total biaya yang dikeluarkan tiap bulan. Mengingat usaha ini masih
bersifat tradisional, maka komponen biaya hanya dihitung biaya yang dibayarkan , sedangkan
modal keluarga berupa tenaga kerja keluarga dan bahan lainnya yang tidak dibayarkan/dibeli
dianggap sebagai pendapatan petani.
b. Variabel Bebas
Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian adalah :
1. Modal (X1), yaitu semua biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi gula merah yang
terdiri dari modal tetap dan modal tidak tetap yang dinyatakan dalam satuan rupiah.
2. Tenaga Kerja (X2), yaitu semua tenaga kerja yang terlibat langsung dalam kegiatan proses
produksi baik yang diberi upah maupun tidak diberi upah dan dinyatakan dengan satuan
orang.
3. Jam Kerja (X3), yaitu jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh tenaga kerja setiap harinya
dalam satu bulan untuk membuat gula merah dan dinyatakan dengan satuan jam.
4. Pengalaman Kerja (X4), yaitu lamanya waktu yang sudah dijalani seseorang dalam
usahanya sebagai pengrajin dan dinyatakan dalam satuan tahun.
3.4 Metode Analisa
Metode analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Linear Berganda,
yaitu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang terjadi antara variabel independent
dengan variabel dependent. Model dasar yang dipakai adalah model persamaan regresi linear
berganda, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y = f (X1, X2, X3, X4)
Dimana :
Y = Pendapatan Pengrajin
X1 = Modal
X2 = Tenaga Kerja
X3 = Jam Kerja
X4 = Pengalaman Kerja
Sehingga dapat dituliskan persamaan regresinya :
Y = 0 + 1 X1 + 2X2 + 3X3 + 4X4 + e
Dimana :
0 = penaksir/konstanta
1, 2, 3, 4, 5 = masing-masing penaksir dari X1, X2, X3, dan X4.
e = residual
3.5 Uji Statistik
Uji statistik ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan ada tidaknya korelasi antara
variabel bebas dengan variabel terikat. Dari hasil regresi berganda akan diketahui besarnya
koefisien masing-masing variabel. Dari besarnya koefisien akan dilihat adanya hubungan dari
variabel-variabel bebas, baik secara terpisah maupun bersama-sama terhadap variabel terikat.
Untuk melakukan uji atas hipotesa, dilakukan dengan cara :
3.5.1 Uji Statistik Parsial (t-test)
Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas
secara individual terhadap variabel terikat. Hipotesis nol dan hipotesis alternatif yang akan
diuji pada uji statistik t adalah sebagai berikut ( Imam Ghozali,2001: 40) :
H0 = Variabel bebas secara individual tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
H1 = Variabel bebas secara individual berpengaruh signifikan terhadap variabel terikat.
Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan nilai t hitung
dengan nilai t tabel. Nilai t hitung dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
t hit =
b−BSb
Nilai t tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi () dan derajat bebas
sebesar n-k- (dimana n jumlah observasi, k jumlah variabel bebas). Adapun ketentuan
dari uji ini adalah :
H0 akan ditolak jika nilai t-hitung t-tabel
H0 akan diterima jika nilai t-hitung t-tabel
3.5.2 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh kemampuan model
dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilai koefisien determinasi adalah diantara nol
dan satu. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabel-variabel bebas dalam menjelaskan
variasi variabel terikat amat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
bebas memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi
variabel terikat. Secara umum koefisien determinasi untuk data silang (crossection) relatif
rendah karena adanya variasi yang besar antara masing-masing pengamatan, sedangkan untuk
data runtun waktu (time series) biasanya mempunyai nilai koefisien determinasi yang tinggi
(Imam Ghozali, 2001: 42).
3.5.3 Uji Statistik Simultan (F-Test)
Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas yang
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel
terikat( Imam Ghozali, 2001: 41). Hipotesis nol dan hipotesis alternatif yang akan diuji pada
uji statistik F adalah sebagai berikut :
H0 = Variabel bebas secara bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhada variabel
terikat.
H1 = Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap variabel
terikat.
Sedangkan hipotesis diterima atau ditolak dengan cara membandingkan nilai F hitung
dengan nilai F tabel. Nilai F hitung dapat diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
Fhit =
R2/ ( k−1 )(1−R2 )/ (n−k )
Nilai F tabel dapat dilihat dengan mengetahui tingkat signifikansi () dan derajat bebas
sebesar n-k- (dimana n jumlah observasi, k = jumlah variabel bebas). Adapun ketentuan
untuk menerima atau menolak adalah sebagai berikut :
H0 akan ditolak jika nilai F hitung F tabel
H0 akan diterima jika nilai F hitung F tabel
3.6 Asumsi-asumsi Klasik
Dalam model regresi klasik, untuk memperoleh nilai pemerkira yang tidak bias dan
efisien dari persamaan regresi linear berganda dengan metode kuadrat terkecil biasa
(Ordinary Least Square, OLS), maka dalam menganalisa data haruslah dipenuhi asumsi-
asumsi klasik. Asumsi-asumsi klasik tersebut antara lain :
3.6.1 Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya
korelasi linear yang sempurna antara variabel-variabel bebas (Imam Ghozali, 2001 : 56).
Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Untuk
mengetahui ada atau tidaknya multikolinearitas didalam model regresi adalah sebagai
berikut :
1. Nilai R2 yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi
secara individual variabel-variabel bebas banyak yang tidak signifikan mempengaruhi
variabel terikat.
2. Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel bebas. Jika antar variabel bebas ada
korelasi yang cukup tinggi (umumnya diatas 0,90), maka hal ini merupakan indikasi
adanya multikolinearitas. Tidak adanya korelasi yang tinggi antar variabel bebas tidak
berarti bebas dari multikolinearitas. Multikolinearitas dapat disebabkan karena adanya
efek kombinasi dua atau lebih variabel bebas.
3. Multikolinearitas dapat juga dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) variance
inflation factor (VIF). Tolerance mengukur variabilitas variabel bebas yang terpilih
yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai tolerance yang rendah
sama dengan nilai VIF tinggi dan menunjukkan adanya kolonieritas yang tinggi. Nilai
cutoff yang umum dipakai adalah nilai tolerance 0,10 atau sama dengan nilai VIF diatas
10.
Tidakan perbaikan bila terdapat multikolinearitas adalah sebagai berikut :
1. Menggunakan informasi sebelumnya.
2. Mengkombinasikan data crossection dan data time series.
3. Meninggalkan variabel yang sangat berkorelasi
4. Mendapatkan tambahan atau data baru.
3.6.2 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada
korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1
(sebelumnya) (Imam Ghozali, 2001: 60). Autokorelasi muncul karena observasi yang
berurutan sepanjang waktu berkaitan satu sama lain. Ada beberapa cara yang digunakan
untuk mendeteksi ada atau tidaknya korelasi, salah satunya yaitu dengan uji Durbin-Watson
(DW-test). Hipotesis yang akan diuji adalah :
H0 = tidak ada autokorelasi ( = 0)
H1 = ada autokorelasi (0)
Sedangkan pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi :
Bila nilai DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka koefisien
autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi.
Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound (dl), maka koefisien
autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.
Bila nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih kecil
daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
Bila nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW terletak
antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
Secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1. Durbin-Watson
3.6.3 Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika
variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut
Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas. Model regresi yang baik
adalah yang Homoskedastisitas atau tidak terjadi Heteroskedastisitas. Kebanyakan data
crossection mengandung situasi Heteroskedastisitas karena data ini menghimpun data yang
mewakili berbagai ukuran (kecil, sedang, dan besar). Berikut ini cara untuk mendeteksi ada
atau tidaknya heteroskedastisitas (Imam Ghozali, 2001: 70) :
a. Melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat (ZPRED) dengan residualnya
(SRESID). Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada
tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot antara SRESID dan ZPRED dimana sumbu Y
adalah Y yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual (Y prediksi – Y sesungguhnya)
yang telah di studentized.
Dasar analisanya adalah :
0 dl du 2 4-du 4-dl 4
Menolak H0,
bukti autokorelasi positif
Daerah keragu-raguan
Menerima H0 atau H0* atau kedua-duanya
Daerah keragu-raguan
Menolak H0*,
bukti autokorelasi negatif
Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur
(bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi
heteroskedastisitas.
Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan di bawah angka 0 pada
sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
3.6.4 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan
variabel bebas, keduanya mempunyai distribusi normal ataukah tidak. Model regresi yang
baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah
distribusi data normal atau tidak dapat dilakukan dengan cara (Imam Ghozali, 2001: 76) :
a. Analisa Grafik, yaitu dengan melihat normal probability plot yang membandingkan
distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari distribusi
normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data akan
dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang
menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Pada prinsipnya normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada
sumbu diagonal dari grafik. Dasar pengambilan keputusannya adalah :
Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal
menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas.
Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal
tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas.