vol. 10 no. 1 issn 1411-6340 (print) peningkatan perilaku
Post on 31-Oct-2021
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
66
Peningkatan Perilaku Keselamatan Melalui Budaya
Keselamatan pada Operator Swasta Bus Transjakarta
Dian Mardi Safitri1, Winnie Septiani2, Audinia Angraeni3, Samy Natsir Alwinny4 Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti
Jln. Kyai Tapa No. 1 Jakarta 11440 1dianm@trisakti.ac.id
(Makalah: Diterima Februari 2020, direvisi Maret 2020, dipublikasikan Maret 2020)
Intisari— Investigasi kecelakaan yang dilakukan oleh pihak internal operator swasta Transjakarta menunjukkan bahwa hampir semua
kecelakaan diakibatkan oleh human error (pengemudi). Faktor utama terjadinya kecelakaan diduga adalah mengabaikan prosedur
keselamatan yang ditentukan, tidak pekanya pengemudi terhadap kondisi berbahaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memodelkan
hubungan safety culture, safety behavior, dan safety knowledge, dan merancang rekomendasi peningkatan safety behavior melalui
faktor safety culture dan safety knowledge. Pembangunan model hipotesis dilakukan dengan studi literatur. Pengujian model
dilakukan dengan teknik analisis multivariat yaitu structural equation modeling-partial least square. Hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa hubungan antara safety culture dengan safety behavior positif. Demikian pula dengan hubungan antara safety
culture dan safety knowledge. Sedangkan hubungan safety knowledge dengan safety behavior ternyata berpengaruh negatif. Hasil dari
pengujian model hipotesis akan digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi strategi peningkatan safety behavior. Rekomendasi
yang berkaitan dengan indikator safety culture diantaranya adalah Perancangan sistem penilaian kinerja sebagai dasar pemetaan
kualitas kinerja sumber daya manusia dan pemberlakuan sistem reward and punishment, pemberlakuan dasar perhitungan gaji
menggunakan rupiah per jam kerja untuk menurunkan kecenderungan pelanggaran batas kecepatan kendaraan, membentuk media
dan forum komunikasi yang memiliki standar prosedur yang lebih jelas, termasuk dengan pencatatan umpan balik atas informasi dari
kedua belah pihak, perancangan display yang ergonomis sebagai media penyampaian pesan yang berkaitan dengan keselamatan.
merancang media dan prosedur yang lebih jelas untuk penyampaian keluhan dan saran dari pengemudi untuk manajemen,
perancangan survei untuk menilai apakah budaya keterbukaan manajemen telah terbangun baik di organisasi. adaptasi prinsip
continuous improvement perancangan strategi peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan yang berkelanjutan. Sedangkan
rekomendasi perbaikan yang berkaitan dengan indikator safety knowledge adalah dengan melengkapi dan memperkaya materi
pelatihan untuk pengemudi dengan materi risiko penyakit akibat kerja, definisi penyakit akibat kerja, materi mengenai cara
menghindari penyakit akibat kerja dalam program pelatihan untuk membangun awareness para pengemudi, dan materi mengenai
kesalahan postur sebagai faktor risiko pada keselamatan, materi mengenai beban psikologis pengemudi.
Kata kunci— Safety behavior, safety culture, safety knowledge, bus rapid transit.
Abstract— Accident investigation conducted by internal parties of the Transjakarta operator private company that almost all accidents are
caused by human error (driver). The main factor in the alleged accident is ignoring the specified safety procedures, not the driver's sensitivity
to dangerous conditions. The purpose of this study is to model the relationship between safety culture, safety behavior, and safety knowledge,
and design recommendations for improving safety behavior through safety culture and safety knowledge factors. Development of a
hypothetical model is carried out with literature studies. Model testing is done by multivariate analysis technique that is structural equation
modeling least square. The results of hypothesis testing indicate that the relationship between culture safety and safety behavior is positive.
Similarly, the relationship between safety culture and safety knowledge. While the relationship of safety knowledge with safety behavior
turned out to have a negative effect. The results of testing the hypothesis model will be used as the basis for preparing recommendations for
strategies to improve safety behavior. Recommendations relating to safety culture indicators include the design of performance appraisal
systems as a basis for mapping the quality of human resource performance and the implementation of a reward and punishment system,
basic application of salary calculation using rupiah per working hour to reduce the tendency of vehicle speed limits, establish media and
communication forums who have clearer standard procedures, including by recording feedback on information from both parties, the design
of displays is ergonomic as a medium for delivering messages related to safety. designing the media and clearer procedures for submitting
complaints and suggestions from drivers to management, designing surveys to assess whether the culture of openness of management has
been built well in the organization. continuous improvement principle adaptation design strategies to improve service quality and sustainable
safety. While recommendations for improvements relating to safety Knowledge indicators are to equip and enrich training materials for
drivers with material on the risk of occupational diseases, definitions of work-related diseases, materials on how to avoid work-related
illnesses in training programs to build driver awareness, and material about errors posture as a risk factor for safety, material regarding the
driver's psychological burden.. Keywords— Safety behavior, safety culture, safety knowledge, bus rapid transit.
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
67
I. PENDAHULUAN
Objek penelitian ini adalah pengemudi bus Transjakarta
yang dikelola oleh PT Mayasari Bakti.Transjakarta Busway
adalah salah layanan transportasi umum berbasis jalan raya
yang mengadopsi sistem bus rapid transit di Jakarta. Dalam
peroperasiannya, Transjakarta Busway dijalankan oleh
berbagai perusahaan baik BUMD (Unit Swakelola PT
Transportasi Jakarta), BUMN (seperti PPD dan DAMRI)
maupun swasta. PT Mayasari Bakti adalah salah satu operator
Transjakarta Busway yang berstatus swasta yang memiliki
jumlah pengemudi dan armada yang terbesar dibandingkan
operator swasta lainnya. Saat ini beberapa operator swasta juga
mengoperasikan layanan Transjakarta seperti PT Pahala
Kencana, PT. Steady Safe, dan Trans Swadaya.
Pelanggaran lalu lintas yang terjadi khususnya di DKI
Jakarta mengalami peningkatan 15,47% pada tahun 2016-2017
menurut Polda Metro Jaya. Pelanggaran lalu lintas ini sudah
dianggap menjadi kebiasaaan pengguna jalan, terlebih bagi
pengemudi bus kota yang dituntut memiliki aksesabilitas yang
tinggi bagi penggunanya. Pelanggaran ini tidak jarang
menimbulkan kecelakaan. Kecelakaan lalu lintas terjadi karena
adanya faktor unsafe behavior dan unsafe condition.
Pelanggaran lalu lintas yang terjadi khususnya di DKI Jakarta
mengalami peningkatan 15,47% pada tahun 2016-2017 menurut
Polda Metro Jaya. Pelanggaran lalu lintas ini sudah dianggap menjadi
kebiasaaan pengguna jalan, terlebih bagi pengemudi bus kota yang
dituntut memiliki aksesabilitas yang tinggi bagi penggunanya.
Pelanggaran ini tidak jarang menimbulkan kecelakaan. Kecelakaan
lalu lintas terjadi karena adanya faktor unsafe behavior dan unsafe
condition. Beberapa penelitian telah mengukapkan bahwa faktor
perilaku manusia yang menjadi penyumbang kecelakaan yaitu antara
80-85% [1]. Hal tersebut diperkuat dengan investigasi yang dilakukan
oleh pihak internal perusahaan PT. Mayasari Bakti bahwa hampir
semua kecelakaan diakibatkan oleh human error (pengemudi).
Menurut [2] faktor utama terjadinya kecelakaan adalah mengabaikan
prosedur keselamatan yang ditentukan, tidak pekanya terhadap
kondisi berbahaya sehingga tidak adanya tindakan, dan kurangnya alat
pendukung keselamatan. Hal ini didukung oleh [3] yang menyatakan
bahwa perilaku keselamatan (safety behavior) berpengaruh positif
terhadap kecelakaan.
Kecelakaan dapat dicegah dengan cara mempromosikan
budaya keselamatan ditempat kerja didukung dengan kebijakan
yang ada. Budaya keselamatan (safety culture) adalah cara
penanganan keselamatan yang terjadi di tempat kerja yang
sering mencerminkan persepsi, nilai, sikap, dan kepercayaan
oleh organisasi dan individu dengan kaitannya terhadap
keselamatan. Budaya keselamatan menurut Advisory
Committee on Safety of Nuclear Installation (ACSNI) adalah
bagian dari sikap (attitude), keyakinan (belief), dan tata nilai
(norm) organisasi pada keselamatan dan kesehatan kerja.
Budaya keselamatan merupakan interelasi dari tiga elemen,
yaitu organisasi, pekerja, dan pekerjaan. Hal ini menunjukkan
bahwa budaya keselamatan harus dilaksanakan oleh seluruh
sumber daya yang ada yang saling bekerjasama.
Faktor penentu budaya keselamatan dibagi menjadi 3 bagian
meliputi karakteristik organisasi, fasilitas teknik atau sumber,
dan karakteristik karyawan. Dalam karakteristik organisasi
meliputi kepimpinan, komitmen, komunikasi dan pelatihan.
Sedangkan pada karakteristik karyawan meliputi sikap,
pengetahuan, kesadaran risiko dan persepsi. Pada fasilitas teknik
atau sumber meliputi peralatan dan fasilitas [4]
Penelitian ini memiliki dua tujuan yaitu untuk memodelkan
hubungan safety culture, safety behavior, dan safety knowledge
dan memberikan rekomendasi safety behavior melalui faktor
safety culture dan safety knowledge. Yang kedua adalah
memberikan rekomendasi peningkatan variabel safety untuk
meningkatkan perilaku keselamatan pengemudi BRT pada
operator swasta. Penelitian ini akan memberikan manfaat pada
operator swasta bus Transjakarta melalui rekomendasi
peningkatan safety behavior. Dengan peningkatan safety
behavior, diharapkan kinerja pengemudi bus akan lebih baik
dan peluang terjadinya kecelakan karena faktor perilaku
pengemudi dapat diturunkan.
II. STUDI LITERATUR
Sebagai bagian dari studi pendahuluan dari pelaksanaan dari
keseluruhan roadmap penelitian, pada penelitian ini variabel
keselamatan yang dilibatkan dalam penelitian dibatasi pada
safety culture, safety knowledge dan safety behavior. Artikel
ilmiah yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian
didapakan dari sumber database daring seperti Science Direct,
Proquest, dan Emerald. Kriteria artikel yang digunakan adalah
yang dipublikasikan dan 5 sampai dengan 10 tahun terakhir,
atau publikasi dengan tahun publikasi yang lebih tua dengan
pertimbangan kesesuaian kata kunci dan kontribusi penelitian
dalam penelitian.
Safety Culture atau budaya keselamatan diawali dari
laporan kecelakaan oleh Internasional Atomic Energy
Authority (IAEA) pada tahun 1991 membahas kecelakaan
Chernobyl selanjutnya dibuat metode pengukuran budaya
keselamatan yang merupakan sebagian dari budaya organisasi.
Budaya keselamatan sebagai aspek–aspek dari budaya
organisasi yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku terkait
dengan peningkatan atau penurunan risiko. “Budaya
keselamatan suatu organisasi adalah produk dari nilai-nilai
individu & kelompok, sikap, kompetensi dan pola perilaku
yang menentukan komitmen, dan gaya serta kecakapan
terhadap program K3 organisasi. Budaya keselamatan
dipengaruhi oleh organisasi, individu, dan lingkungan kerja.
Organisasi dengan budaya keselamatan positif ditandai
dengan komunikasi yang didirikan dari saling percaya, oleh
persepsi bersama tentang pentingnya keselamatan, dan dengan
keyakinan tentang keberhasilan langkahlangkah
pencegahan.”[5] . Safety Culture Enactment Questionnaire
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
68
(SCEQ) adalah kuesioner yang digunakan dalam pengukuran
budaya keselamatan dimana terdapat 3 dimensi dari kuesioner
tersebut yang terdiri dari 21 pernyataan terbagi menjadi
dimensi keputusan strategis menjamin keselamatan, praktik
human resource keamanan berkendara, dan kegiatan sehari-hari
dan perilaku yang mendukung keselamatan. Pada setiap
bagiannya mewakili unsur iklim keselamatan, perilaku, dan
kinerja [6]. TABEL 1 menyajikan indikator variabel Safety
Culture yang digunakan dalam penelitian ini.
TABEL 1
INDIKATOR VARIABEL SAFETY CULTURE
Kode Indikator
SCUL1.1 Manajemen dalam pengambilan keputusan bertindak sesuai
prosedur / SOP pekerjaan yang diterapkan
SCUL1.2 Manajemen menerapkan jadwal waktu kerja dan waktu
istirahat dengan baik
SCUL1.3 Manajemen melibatkan pengemudi dalam membuat prosedur
SCUL1.4 Manajemen membuat prosedur agar tidak membiarkan
pengemudi melakukan pelanggaran
SCUL1.5 Manajemen membantu menyelesaikan konflik yang dilakukan
pengemudi dengan penumpang apabila terjadi permasalahan
SCUL2.1 Manajemen mempekerjakan pengemudi sesuai dengan
keterampilan dan kemampuan mengendarai.
SCUL2.2 Manajemen memberikan pembekalan guna meningkatkan
kinerja Setiap pengemudi.
SCUL2.3 Manajemen memberikan aspresiasi penghargaan dalam bentuk
(karyawan teladan bulan ini, kenaikan jabatan) yang menurut
mereka bekerja keras dalam menjaga keselamatan selama
berkendara
SCUL2.4 Manajemen memperhatikan dan mengawasi cara dalam proses
Membayarkan upah kepada pengemudi
SCUL2.5 Manajemen memperlakukan pengemudi sebagai ujung tombak
dalam perusahaan.
SCUL2.6 Manajemen melakukan evaluasi pekerja para pengemudi
secara rutin/ berkala.
SCUL2.7 Manajemen memberi tanggungan penyediaan bahan bakar
kendaraan sebelum pengoperasian bis.
SCUL2.8 Manajemen atau atasan mampu membentuk kerjasama melalui
komunikasi 2 arah yang baik.
SCUL3.1 Manajemen mempublikasi atau menempatkan tanda (poster,
simbol) mengenai keselamatan berkendara yang ditempatkan
pada armada bus maupun di pool.
SCUL3.2 Manajemen mendengarkan keluhan serta saran perbaikan
pengemudi selama diadakannya pertemun dan segera
menindaklanjutkan.
SCUL3.3 Manajemen telah mengikuti dan mentaati aturan keselamatan
yang telah di tetapkan oleh regulator.
SCUL3.4 Manajemen menjalin kerjasama dengan para kontraktor untuk
kelancaran operasional armada (contoh perawatan dan
perbaikan, penyediaan ban, dan pencucian armada bus)
SCUL3.5 Kami saling berkomunikasi antar pengemudi guna bertukar
informasi keselamatan.
SCUL3.6 Atasan menunjukkan perilaku keterbukaan serta kepercayaan
dalam menghargai pendapat pengemudi.
SCUL3.7 Manajemen mendengar dan menerima masukan serta
menghargai saran dari penumpang guna menjaga keselamatan
penumpang.
SCUL3.8 Manajemen melakukan usaha berkelanjutan dalam
meningkatkan pelayanan dan keselamatan pengemudi dan
penumpang.
Safety knowledge adalah pemahaman pekerja terhadap
prosedur operasi keselamatan ketika melihat adanya potensi
bahaya, materi pelatihan dan instruksi keselamatan [7].
Pengetahuan dan pemahaman mengenai keselamatan ini
memiliki hubungan dan pengaruh terhadap motivasi
keselamatan [8]. Pengetahuan adalah hasil penginderaan
manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui
indera yang dimilikinya seperti mata, hidung, telinga, dan
sebagainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online
pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan
dengan hal mata pelajaran. Pengetahuan seseorang tentang
suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan
aspek negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap
seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang
diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin positif
terhadap objek tertentu. Menurut teori World Health
Organization (WHO), salah satu bentuk objek kesehatan dapat
dijabarkan oleh pengetahuan berasal dari pengalaman sendiri.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui melalui alat
indera manusia berupa informasi, ide yang diperoleh secara
formal dan informal. Tabel 2 menunjukkan indikator variabel
safety knowledge berdasarkan penelitian [9].
TABEL 2
INDIKATOR VARIABEL SAFETY KNOWLEDGE
Kode Indikator
SK1 Pemahaman terhadap risiko penyakit akibat kerja dan cara
menghindarinya
SK2 Pemahaman terhadap risiko kecelakaan lalu lintas dan cara
menghindarinya
SK3 Pemahaman pada penyakit akibat kerja yang dialami
pengemudi dapat mengakibatkan kecelakaan
SK4 Pemahaman terhadap peluang perbaikan untuk menghindari
risiko penyakit akibat kerja
SK5 Pemahaman pada kesalahan postur sebagai faktor risiko pada
keselamatan
SK6 Pemahaman bahwa beban psikologis pengemudi akan
berdampak pada keselamatan
Perilaku keselamatan mencakup perilaku pekerja untuk mengikuti
prosedur kerja standar, menggunakan peralatan pelindung pribadi, dan
selalu menghindari risiko pelanggaran keselamatan. Banyak faktor
yang mempengaruhi perilaku keselamatan pengemudi. Penelitian
sebelumnya tentang perilaku mengemudi di Indonesia menyimpulkan
bahwa kepuasan kerja adalah salah satu faktor yang memiliki
pengaruh signifikan terhadap perilaku mengemudi [10].
Pelanggaran terhadap keselamatan yang dilakukan oleh pekerja
maupun manajer dapat disebabkan oleh kurangnya
pengetahuan dan motivasi [11]. Perilaku tidak aman dalam
penelitian ini dikelompokkan menjadi dua berdasarkan
pengelompokan yang dilakukan oleh [12], yaitu error dan
violation. Error diklasifikasikan menjadi skill-based error,
decision error, dan perceptual error. Sedangkan violation
diklasifikasikan menjadi routine violation dan exceptional
violation [12]. Tabel 3 menyajikan indikator variabel safety
behavior berdasarkan penelitian [10].
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
69
TABEL 3
INDIKATOR VARIABEL SAFETY BEHAVIOR
Kode Indikator
SB1 Kepatuhan pengemudi pada prosedur safety
SB10 Kepastian tersedianya alat keselamatan
SB2 Pengemudi terbiasa dengan pengggunaan alat safety
SB3 Pengemudi memenuhi syarat pengetahuan dan keterampilan
SB4 Pengemudi berhati-hati saat berkendara
SB5 Kepastian pengemudi pada kondisi kendaraan
SB6 Komitmen untuk mengecek dokumen dan SOP
SB7 Kepatuhan pada rambu lalu lintas
SB8 Kemauan untuk melaporkan temuan yang mengarah pada
kondisi tidak aman
SB9 Kesadaran pada pengkondisian suhu kabin untuk mendukung
konsetrasi kerja
III. METODOLOGI PENELITIAN
Penentuan variabel penelitian pada kajian ini dilakukan
dengan studi literatur dan wawancara dengan narasumber.
Penentuan variabel penelitian pada kajian ini dilakukan dengan
studi literatur dan wawancara dengan narasumber. Tahapan
pertama dalam studi literatur ini adalah pengumpulan artikel
dari jurnal internasional melalui situs web Science Direct,
Proquest, Emerald Insight dan Springer. Identifikasi variabel
penelitian dari artikel yang didapat akan didokumentasikan
untuk kemudian ditelaah untuk menentukan variabel yang
paling sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan.
Kelemahan penelitian dan agenda lanjut yang tersirat maupun
yang tersirat dalam artikel-artikel tersebut akan dianalisis untuk
memukan peluang perbaikan dan kebaruan dari penelitian yang
akan dilaksanakan.
Untuk mengkonfirmasi kesesuaian variabel penelitian yang
digunakan dalam penelitian, pendapat ahli akan digali melalui
wawancara. Kriteria ahli yang akan dijadikan narasumber
adalah Operator pelayanan transportasi publik jalan raya,
diwakili oleh Manajer Operasional PT Mayasari Bakti, peneliti
di bidang transportasi umum/transportasi kota/transportasi
berkelanjutan dan transportasi publik.
Model awal penelitian berupa model teoretis yang juga
berupa model hipotesis. Dimana hubungan antar variabel laten
dibentuk berdasarkan studi literatur. Ringkasan dari hasil studi
literatur mengenai hubungan antar variabel laten ditampilkan
dalam matriks di Tabel 4.
TABEL 4
MATRIKS HUBUNGAN ANTAR VARIABEL LATEN BERDASARKAN LITERATUR
Safety Culture Safety
Knowledge
Safety Behavior
Safety Culture [13] [14], [15]
Safety
Knowledge
[16]
Safety Behavior
Berdasarkan matriks hubungan antar variabel laten tersebut,
maka terbentuklah model awal penelitian yaitu seperti pada
Gambar 1. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung
(observasi), wawancara dan kuesioner. Data ini dengan
melakukan metode pengumpulan dengan 3 cara, yaitu
Observasi; Metode ini dilakukan dengan mengamati
permasalahan dan meninjau secara langsung, yaitu melihat
kondisi objek penelitian, Wawancara Langsung; metode ini
dilakukan dengan cara berinterksi langsung dan melakukan
wawancara kepada para karyawan perusahaan dan pengemudi
bus, Kuesioner; metode ini dilakukan untuk memperoleh data
primer dari para responden dengan berisi daftar pertanyaan
yang disebarkan kepada para responden dengan tujuan khusus
untuk memperoleh data mengenai variabel-variabel laten yang
terdiri dari 21 butir pertanyaan safety culture, 7 butir
pertanyaan safety knowledge, dan 10 butir pertanyaan safety
behavior, dan dengan skala likert 1 hingga 5, dimana 1
menyatakan sangat tidak penting, 2 Tidak penting, 3 ragu-ragu,
4 setuju, dan 5 menyatakan sangat penting.
Gambar 1 Model Awal Penelitian
Pengambilan data kuesioner dan wawancara dilakukan pada
bulan November 2018 sampai dengan Maret 2019. Responden
penelitian untuk pengujian Hipotesis dalam penelitian ini
adalah pengemudi bus Transjakarta di PT Mayasari Bakti.
Manajer Operasional Divisi Transjakarta PT Mayasari Bakti
menjadi responden untuk wawancara dan mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan kebijakan perusahaan pada operasi bus
Transjakarta.
Pengolahan data dilakukan setelah keseluruhan
pengumpulan data. Pengolahan penelitan lapangan dilakukan
dengan menggunakan teknik statistik multivariat Stuctural
Equation Modeling (SEM), dengan pendekatan Partial least
square (PLS-SEM). Metode ini berbasis SEM varians guna
menguji hipotesis apakah berhubungan saling mempengaruhi.
Penggunaan metode PLS-SEM tidak memerlukan banyak
asumsi normalitas data dan tidak ada syarat jumlah sampel.
PLS menggunakan metode bootstraping atau penggandaan
secara acak. Oleh karenanya asumsi normalitas tidak akan
menjadi masalah bagi PLS. Selain terkait dengan normalitas
data, dengan dilakukannya bootstraping maka PLS tidak
mensyaratkan jumlah minimum sample. Penelitian yang
memiliki sampel kecil dapat tetap menggunakan PLS.
Selanjutnya menganalisis data hasil dari bab sebelumnya.
Analisis pengolahan data dengan maksud untuk menganalisis
faktor safety culture dan safety knowledge yang berpengaruh
pada safety behavior.
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
70
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penjelasan studi literatur terdahulu dan matriks
hubungan antar variabel pada Tabel 1, dapat disusun hipotesis
penelitian yang diajukan sebagai berikut:
1. Hipotesis Pengaruh Safety Culture Terhadap Safety
Knowledge
H0: Tidak terdapat hubungan pengaruh antara safety culture
dengan safety knowledge pada pengemudi PT. Mayasari
Bakti.
H1: Terdapat hubungan pengaruh antara safety culture
dengan safety knowledge pada pengemudi PT. Mayasari
Bakti.
2. Hipotesis Pengaruh Safety Culture Terhadap Safety
Behavior
H0: Tidak terdapat hubungan pengaruh antara variabel
safety culture dengan safety behavior pada pengemudi PT.
Mayasari Bakti.
H2: Terdapat hubungan pengaruh antara variabel safety
culture dengan safety behavior pada pengemudi PT.
Mayasari Bakti.
3. Hipotesis Pengaruh Safety Behavior Terhadap Safety
Knowledge
H0: Tidak terdapat hubungan pengaruh antara variabel
safety knowledge dengan safety behavior pada pengemudi
PT. Mayasari Bakti.
H3: Terdapat hubungan pengaruh antara variabel safety
knowledge dengan safety behavior pada pengemudi PT.
Mayasari Bakti.
Gambar 1 menunjukkan model hipotesis yang dibangun dari
studi literatur. Pembangunan model terstruktur yang
menggambarkan hubungan antar variabel dilakukan dengan
metode Structural Equation Modelling (SEM). SEM digunakan
sebagai teknik confirmatory untuk menguji pengaruh hubungan
antar variabel [17]. Masing-masing variabel latent akan dicari
variabel konstruknya berdasarkan studi literatur. Kemudian
akan dimodelkan berdasarkan penelitian yang sudah pernah
dilakukan. Variabel konstruk yang ditetapkan untuk menilai
satu variabel latent akan diwujudkan sebagai pertanyaan dalam
kuesioner, dimana setiap butir pertanyaan akan mewakili
pengukuran terhadap satu variabel latent tertentu. Responden
dari kuesioner ini adalah pengemudi bus di PT. Mayasari Bakti.
Gambar 2 Model Hipotesis Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah pengemudi bus regular PT.
Mayasari Bakti pada depo Cijantung. Total jumlah pengemudi
bus pada depo Cijantung pada data sebanyak 650 orang dan
untuk sampel penelitian dalam ukuran sampel untuk PLS-SEM
minimal 30-50 atau sampel besar diatas 200. Metode
pengambilan sampel menggunakan teknik sampel
nonprobability yaitu pengambilan sampel convenience
(accidental sampling) dimana prosedur dalam pemilihan
sampling berasal dari responden yang paling mudah untuk
dapat ditemui dan didapat [17]. Tabel 5 menyajikan demografi
responden penelitian.
TABEL 5
DEMOGRAFI RESPONDEN PENGEMUDI BUS TRANSJAKARTA PT MAYASARI
BAKTI
Faktor Demografi Rata-rata
Rata-rata Usia 42.1tahun
Kidal 1%
Memiliki Kebiasaan Merokok 60%
Memiliki Kebiasaan Minum Alkohol 1%
Memiliki Permasalahan kesehatan, terutama
penyakit degeneratif
9%
Rata-rata Masa Kerja di PT Mayasari Bakti 3.59 tahun
Rata-rata Lamanya Pengalaman kerja sebagai
pengemudi bus umum
11,86 tahun
Rata-rata Berat Badan 70,34 kg
Rata-rata tinggi badan pengemudi 168,07 cm
Rata-rata Jumlah Jam Kerja/Minggu 48,59 jam
Dalam membuat model penelitian, yang pertama dilakukan
adalah dengan melakukan studi literatur untuk menentukan
variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Variabel laten
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu safety culture, safety
knowledge, dan safety behavior. Faktor pada safety culture
yang digunakan iklim keselamatan, kinerja keselamatan dan
perilaku. Faktor pada safety knowledge yang digunakan
informasi dan pengalaman. Faktor safety behavior yang
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
71
digunakan faktor dasar dan faktor pendukung. Variabel
manifest adalah variabel yang mengukur secara langsung pada
variabel laten berupa pertanyaan yang dijadikan indikator pada
variabel laten.
Instrumen penelitian ini adalah berupa kuesioner. Item
pertanyaan dalam kuesioner disusun berdasarkan temuan
indikator pengukuran variabel laten pada proses studi literatur.
Pilot Study dilakukan secara bertahap. Tahapan pertama adalah
untuk menguji validitas konstruk, apakah butir pertanyaan
dalam instrument penelitian dapat dipahami oleh responden.
Responden dalam pilot studi tahap pertama ini adalah peneliti
transportasi, peneliti keselamatan dan kesehatan kerja,
supervisor operasional PT Mayasari Bakti.
Beberapa masukan yang didapatkan dari tahapan ini
dipertimbangkan dalam penyusunan kuesioner penelitian.
Indikator yang mengukur safety culture dalam penelitian ini
diadaptasi dari Safety Culture Enactment Questionnaire
(SCEQ) [6]. Rancangan awal kuesioner diujicobakan dalam
sebuah pilot test kepada 10 calon responden untuk mengatahui
apakah kalimat pertanyaan dalam kuesioner dapat dipahami
oleh responden.
Tahap awal pada evaluasi model dalam PLS-SEM adalah
model pengukuran atau disebut outer model. Model
pengukuran (Outer Model) mendefinisikan bagaimana
hubungan antara indikator dengan konstruk atau variabelnya
[18]. Pada penelitian ini berarti menguji hubungan antara
indikator yaitu item – item pertanyaan yang sudah valid dan
reliabel dengan variabel laten yaitu Safety Climate, Safety
Motivation dan Safety Knowledge. Dalam tahap evaluasi model
pengukuran reflektif, terdapat 3 tahap yaitu Validitas
Konvergen. dan Validitas Diskriminan dan Reliabilitas.
Convergent validity merupakan korelasi antara skor indikator
refleksif dengan skor variabel latennya yang dihitung dengan
PLS. Untuk hal ini loading 0,5 sampai 0,6 dianggap cukup,
dalam penelitian ini batas nilai outer loading ditetapkan sebesar
0,5.
Nilai outer loading untuk semua indikator di atas 0.5. Hal
ini telah memenuhi syarat discrimant validity [17]. Nilai outer
loading menunjukkan korelasi indikator pada variabel laten
yang diukurnya. Nilai outer loading di atas 0.5 berarti bahwa
setiap item test/indikator dapat digunakan sebagai alat ukur
variabel laten. Selain dilihat dari nilai faktor loading,
convergent validity juga dapat dilihat dari nilai Average
Variance Extracted (AVE)[17]. AVE adalah rata-rata
keseluruhan dari faktor loading kuadrat. AVE berusaha
mengukur jumlah varian yang diambil dari komponen variabel
laten pada indikatornya terhadap jumlah kesalahan dalam
pengukuran. Nilai AVE setidaknya sebesar 0,5. Nilai ini
memggambarkan validitas konvergen yang memadai yang
mempunyai arti bahwa satu variabel laten mampu menjelaskan
lebih dari setengah varian dari indikator–indikatornya. Pada
Tabel 6 berisi nilai AVE pada model pengukuran.
TABEL 6
CONSTRUCT RELIABILITY
Variabel Laten Average Variance Extracted (AVE)
SAFETY_BEHAVIOR 0.782
SAFETY_CULTURE 0.53
SAFETY_KNOWLEDGE 0.837
Dalam tahap selanjutnya adalah tahapan pengujian validitas
diskriminan. Pada tahap ini akan dilihat sejauh mana konstruk
benar-benar berbeda dari konstruk lainnya. Validitas
diskriminan ini menggunakan dua kriteria yaitu Fornell -
Larcker dan Cross Loadings. Kriteria Fornell - Larcker yaitu
membandingkan nilai square root of average variance
extracted (AVE) setiap konstruk dengan korelasi antar
konstruk lainnya dalam model. Validitas diskrimininan
didapatkan dengan menggunakan kriteria Fornell-Larcker. Jika
square root of average variance extracted (AVE) konstruk
lebih besar dari korelasi dengan seluruh konstruk lainnya maka
dikatakan memiliki discriminant validity yang baik.
Direkomendasikan nilai pengukuran harus lebih besar dari 0.50.
Dapat dilihat pada Tabel 5 merupakan hasil validitas
diskriminan dengan kriteria Fornell-Larcker.
Dari hasil pengujian validitas diskriminan dengan kriteria
Fornell-Larcker, dapat dilihat bahwa seluruh nilai dari akar
AVE, setiap variabel sudah lebih besar dari korelasi variabel
laten. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model pengukuran
sudah dapat dikatakan valid. Kriteria kedua yang digunakan
untuk menguji discriminant validity adalah Cross Loadings.
‘loading’ untuk masing – masing indikator diharapkan lebih
tinggi dari ‘cross-loading’ nya masing-masing. Jika kriteria
Fornell – Larcker menilai validitas disrkiminan pada tataran
konstruk (variabel laten), maka ‘cross loading’ memungkinkan
pada tataran indikator. Dari hasil pengujian validitas
diskriminan dengan kriteria. Cross Loading dapat dilihat
‘loading’ untuk masing – masing indikator lebih tinggi dari
‘cross-loading’nya masing-masing. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa model pengukuran sudah dapat dikatakan
valid. TABEL 7
DISCRIMINANT VALIDITY: FORNELL-LARKER CRITERIA
Variabel Laten Safety
Behavior
Safety
Culture
Safety
Knowledge
SAFETY_BEHAVIOR 0.884
SAFETY_CULTURE 0.926 0.728
SAFETY_KNOWLEDGE 0.395 0.459 0.915
Apabila suatu model sudah memenuhi syarat validitas
diskriminan, maka pengukuran terhadap reliabilitas dapat
dilakukan. Untuk memastikan bahwa tidak ada masalah terkait
pengukuran maka langkah selanjutnya dalam evaluasi outer
model adalah menguji reliabilitas dari model. Parameter uji
reliabilitas dilakukan dengan menggunakan indikator
Cronbach Alpha dan Composite Reliability. Nilai kedua
indikator ini mencerminkan reliabilitas semua indikator dalam
model. Besaran minimal untuk nilai Cronbach Alpha adalah 0,7
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
72
dan untuk Composite Reliability adalah 0,8. TABEL 8
menunjukkan nilai Cronbach Alpha dan Composite Reliability
pada model pengukuran.
Tabel 8 menunjukkan bahwa seluruh konstruk sudah
memenuhi syarat, memiliki nilai Cronbach’s Alpha di atas 0,7
dan nilai composite reliability di atas 0,7. Oleh karena itu tidak
ditemukan permasalahan reliabilitas pada model yang dibentuk,
atau menandakan bahwa seluruh indikator layak untuk menjadi
indikator masing–masing konstruk. Jadi berdasarkan 3 kriteria
pada evaluasi pengujian model pengukuran (Outer Model) ini
dapat dikatakan bahwa model pengukuran yang dikembangkan
dalam penelitian ini memiliki validitas dan reliabilitas yang
baik. TABEL 8
CRONBACH’S ALPHA DAN COMPOSITE RELIABILITY
Cronbach's
Alpha
Composite Reliability
SAFETY_BEHAVIOR 0.973 0.973
SAFETY_CULTURE 0.96 0.959
SAFETY_KNOWLEDGE 0.973 0.973
Setelah uji kualitas model pengukuran selesai dilakukan dan
model pengukuran dinyatakan valid dan reliabel. Pada
pengujian ini menggunakan teknik Bootstrapping yang ada
pada menu di software SmartPLS. Pengujian ini dilakukan
untuk mengetahui pengaruh antara indikator dengan variabel
laten. Hubungan ini dapat dilihat dari nilai yang ada pada Tabel
6 dan Gambar 2.
Kriteria pada pengujian ini adalah: (1) jika koefesien atau
arah hubungan variabel (ditunjukkan oleh nilai original sample)
sejalan atau positif dengan yang dihipotesiskan, dan (2) jika
nilai t-statistik (hasil Bootstrapping) > t-tabel (dilihat pada
tabel distribusi t dengan derajat kepercayaan (α) = 0,05 dan
probability value (p-value) kurang dari 0,05 atau 5%. Apabila
kriteria terpenuhi maka dapat dikatakan konstruk endogen
berpengaruh terhadap konstruk eksogen. Berikut Tabel 9 dan
Gambar 3 merupakan hasil dari uji hipotesis dengan teknik
Bootstrapping.
TABEL 9
PATH COEFFICIENT, T STATISTICS, DAN P VALUES
Hipotesis Path
Coefficient
T
Statistics
P
Values
Signifikansi
Safety_culture ->
safety_behavior
0.944 6.377 0 ***
Safety_culture ->
safety_knowledge
0.459 2.35 0.019 ***
Safety_knowledge ->
safety_behavior
-0.038 0.238 0.812
Nilai path coefficient indikator menunjukkan hubungan
pengaruh yang positif. Sebaliknya, jika nilai path coefficient-
nya bernilai negative, maka hubungan anr terhadap variabelnya
yang memiliki nilai diatas 0 maka variabel konstruk dikatakan
memiliki pengaruh yang negatif. Hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa hubungan antara safety culture dengan
safety behavior positif. Demikian pula dengan hubungan antara
safety culture dan safety knowledge. Sedangkan hubungan
safety knowledge dengan safety behavior ternyata berpengaruh
negatif.
Temuan dari penelitian ini adalah mengenai tidak
terbuktinya hipotesis adanya hubungan pengaruh antara safety
knowledge dan safety behavior pada kasus pengemudi bus
Transjakarta di operator swasta. Nilai path coefficient
menunjukkan nilai negatif. Artinya, pada responden
pengemudi bus Transjakarta, peningkatan safety knowledge
justru akan menurunkan safety behavior. Tetapi hubungannya
tidak signifikan. Fenomena ini memerlukan analisis lebih
dalam. Diduga, pengaruh langsung antar kedua variabel ini
memang tidak langsung, melainkan memerlukan variabel
safety lainnya untuk menjembatani pengaruh tersebut. Perilaku
manusia dipengaruhi oleh banyak sekali variabel motivasi,
kesadaran, partisipasi dan lainnya. Faktor pengetahuan adalah
salah satunya saja. Perlu kajian khusus mengenai perilaku
manusia dan penambahan variabel keselamatan lainnya untuk
dapat menjelaskan bagaimana perilaku keselamatan ini
terbentuk. Ini merupakan celah perbaikan penelitian di masa
yang akan datang.
Gambar 3 Path Model dengan Hasil Uji Hipotesis
Nilai T Statistics pada indikator terhadap variabelnya
masing-masing memiliki nilai lebih dari nilai t tabel (> 1,984).
Nilai P Value pada setiap indikator terhadap variabelnya
masing-masing memiliki nilai kurang dari 0,05 atau 5%. Hal itu
menandakan kemungkinan atau resiko kesalahan dari hasil
pengujian ini adalah dibawah 5%. Hasil ini menandakan semua
indikator penelitian memiliki pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan nilai T Statistics, hasil pengujian hipotesis
menunjukkan hasil signifikansi yang sama dengan nilai P Value.
Evaluasi model akan dilakukan dengan menggunakan kriteria
keselarasan (goodness of fit) yang mengindikasikan seberapa
baik model yang dibangun menghasilkan matriks kovarians
antara item-item indikator [19]. Koefisien determinasi atau
hubungan kedekatan model ditunjukkan dengan nilai R². Untuk
mengetahui seberapa besar kemampuan variabel independen
(variabel bebas) menjelaskan variabel dependen (variabel
terikat) dapat dilihat dengan melihat R2 Adjusted. Nilai R² dapat
dikatakan kuat jika memiliki nilai > 0,75, jika R² > 0,5
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
73
dikatakan sedang, dan R² > 0,25 dikatakan lemah [19]. Berikut
ini Tabel 10 menunjukkan nilai koefisien determinasi R2.
TABEL 10
KOEFISIEN DETERMINASI R2
Variabel Laten R2
SAFETY_BEHAVIOR 0.859
SAFETY_KNOWLEDGE 0.21
Perhitungan kesesuaian prediktif tidak cukup hanya dilihat
dari nilai R² saja. Untuk mendapatkan nilai Q² digunakan teknik
penggunaan sampel kembali (blindfolding). Q² yang
merepresentasikan hasil pengukuran dari seberapa baik
variabel terukur direkonstruksi oleh model dan estimasi
parameternya. Nilai Q² > 0 menunjukkan model memiliki
predictive relevance; sedangkan jika nilai Q² ≤ 0 menunjukkan
model kurang memiliki predictive relevance. Tabel 11
merupakan nilai Q² yang didapat dari teknik blindfolding
dengan Smart PLS 3.0.
TABEL 11
NILAI Q²
Variabel Konstruk Q²
SAFETY_BEHAVIOR 0.58
SAFETY_KNOWLEDGE 0.167
Hasil dari dilakukan teknik blindfolding terlihat
menunjukkan bahwa semua variabel laten dalam model
memiliki nilai Q² di atas 0. Artinya variabel pada model dapat
dikatakan memiliki relevansi prediktif masing – masing
konstruk tersebut. Tahap pengujian model hipotesis yang
terakhir adalah menguji model fit dengan mencari nilai
Goodness of Fit (GoF). Selain Q2 ada pula perhitungan
kesesuaian spesifikasi model yang diistilahkan sebagai indeks
Goodness of Fit (GoF). Pada PLS-SEM, GoF berperan sebagai
ukuran performansi baik untuk model pengukuran (outer model)
dan model struktural (inner model) dengan fokus pada prediksi
keseluruhan performansi model. Berbeda dengan CBSEM,
untuk nilai GoF pada PLS-SEM harus dicari dengan
menggunakan rumus [20]:
𝐺𝑂𝐹 = √𝑅2̅̅̅̅ 𝑥 𝐴𝑉𝐸 = √0.534 𝑥 0.716 = 0.618
Menurut [19], nilai GoF kecil = 0,1, GoF sedang = 0,25 dan
GoF besar = 0,38. Dari perhitungan diatas nilai GoF pada
penelitian ini adalah 0,618 prediksi keseluruhan perfomansi
model adalah baik. Dari pengujian R2, Q2 dan GoF terlihat
bahwa model yang dibentuk adalah cukup kuat. Sehingga
model hipotesis dapat dikatakan sudah baik dan sesuai untuk
fenomena hubungan antar variabel yang sedang diteliti.
V. IMPLIKASI MANAJERIAL
Peningkatan safety culture akan didasarkan pada nilai outer
loading indikator safety culture. Prioritas pertama diberikan
pada indikator yang memilili nilai outer loading terbesar.
Urutan nilai outer loading dari yang terbesar ditunjukkan
seperti pada Tabel 12. Urutan prioritas ini dapat diubah dengan
menggunakan perhitungan bobot yang diperoleh dari metode
expert judgement. Namun dalam penelitian ini tidak dilakukan
pembobotan, melainkan akan diberikan rekomendasi untuk
semua indikator dimensi budaya keselamatan yang memenuhi
syarat validitas dan reliabilitas.
TABEL 12
URUTAN PRIORITAS PENINGKATAN INDIKATOR SAFETY CULTRE
BERDASARKAN NILAI OUTER LOADINGNYA
No Dimensi Indikator Outer
Loading
1 Keputusan
strategis
menjamin
keselamatan
SCUL1.2 Manajemen menerapkan
jadwal waktu kerja dan
waktu istirahat dengan
baik
0.874
2 SCUL1.5 Manajemen membantu
menyelesaikan konflik yang dilakukan
pengemudi dengan
penumpang apabila
terjadi permasalahan
0.794
3 SCUL1.4 Manajemen membuat
prosedur agar tidak
membiarkan pengemudi
melakukan pelanggaran
0.775
4 SCUL1.1 Manajemen dalam
pengambilan keputusan bertindak sesuai
prosedur / SOP pekerjaan yang
diterapkan
0.768
5 SCUL1.3 Manajemen melibatkan
pengemudi dalam
membuat prosedur
0.667
6 Praktik human
resource
keselamatan
berkendara
SCUL2.7 Manajemen memberi
tanggungan penyediaan
bahan bakar kendaraan sebelum pengoperasian
bis.
0.809
7 SCUL2.5 Manajemen
memperlakukan
pengemudi sebagai
ujung tombak dalam
perusahaan.
0.764
8 SCUL2.1 Manajemen
mempekerjakan pengemudi sesuai
dengan keterampilan
dan kemampuan mengendarai.
0.711
9 SCUL2.6 Manajemen melakukan
evaluasi pekerja para
pengemudi secara rutin/
berkala.
0.672
10 SCUL2.2 Manajemen memberikan
pembekalan guna
meningkatkan kinerja Setiap pengemudi.
0.669
11 SCUL2.8 Manajemen atau atasan
mampu membentuk
kerjasama melalui
komunikasi 2 arah yang
baik.
0.695
12 SCUL2.3 Manajemen memberikan
aspresiasi penghargaan
dalam bentuk (karyawan
teladan bulan ini,
0.632
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
74
No Dimensi Indikator Outer
Loading
kenaikan jabatan) yang
menurut mereka bekerja
keras dalam menjaga
keselamatan selama
berkendara
13 SCUL2.4 Manajemen
memperhatikan dan
mengawasi cara dalam
proses pembayaran
upah kepada pengemudi
0.61
14 Kegiatan
sehari-hari dan
perilaku yang
mendukung
keselamatan
SCUL3.3 Manajemen telah
mengikuti dan mentaati
aturan keselamatan yang telah di tetapkan
oleh regulator.
0.827
15 SCUL3.4 Manajemen menjalin
kerjasama dengan para
kontraktor untuk
kelancaran operasional
armada (contoh
perawatan dan perbaikan,
penyediaan ban, dan
pencucian armada bus)
0.812
16 SCUL3.1 Manajemen
mempublikasi atau
menempatkan tanda
(poster, simbol)
mengenai keselamatan berkendara yang
ditempatkan pada armada
bus maupun di pool.
0.798
17 SCUL3.8 Manajemen melakukan
usaha berkelanjutan
dalam meningkatkan
pelayanan dan
keselamatan pengemudi
dan penumpang.
0.757
18 SCUL3.7 Manajemen mendengar
dan menerima masukan serta menghargai saran
dari penumpang guna
menjaga keselamatan penumpang.
0.703
19 SCUL3.5 Kami saling
berkomunikasi antar
pengemudi guna
bertukar informasi
keselamatan.
0.664
20 SCUL3.2 Manajemen
mendengarkan keluhan
serta saran perbaikan
pengemudi selama
diadakannya pertemuan
dan segera
menindaklanjutkan.
0.617
21 SCUL3.6 Atasan menunjukkan
perilaku keterbukaan
serta kepercayaan dalam
menghargai pendapat
pengemudi.
0.584
Pada dimensi keputusan strategis yang menjamin
keselamatan, urutan prioritas perbaikan adalah pengaturan
jadwal kerja dan istirahat yang baik, adanya bantuan
penyelesaian konflik ketika terjadi permasalahan yang
berkaitan dengan keselamatan, pembuatan SOP mengenai
pencegahan pelanggaran keselamatan, pengambilan keputusan
berdasarkan SOP yang telah ditetapkan, dan pelibatan
pengemudi pada pembuatan dan penetapan SOP pencegahan
pelanggaran keselamatan.
Pada dimensi praktik human resource mengenai keselamatan,
urutan prioritas perbaikannya adalah kepastian penyediaan
bahan bakar, perlakuan manajemen terhadap pengemudi
sebagai ujung tombak pelayanan, kesesuaian pemberian tugas
sesuai dengan kemampuan dan keterampilan, evaluasi kinerja
secara berkala, pemberian pembekalan peningkatan kinerja,
pembentukan kerjasama dan komunikasi dua arah, pemberian
penghargaan kepada pengemudi yang berprestasi, dan
kepastian dalam pemberian upah kepada pengemudi.
Terakhir, urutan prioritas perbaikan budaya safety pada
dimensi perlaku dan kegiatan sehari-hari yang mendukung
keselamatan adalah mentaati aturan keselamatan yang telah di
tetapkan oleh regulator, menjalin kerjasama dengan para
kontraktor untuk kelancaran operasional armada (contoh
perawatan dan perbaikan, penyediaan ban, dan pencucian
armada bus), mempublikasi atau menempatkan tanda (poster,
simbol) mengenai keselamatan berkendara yang ditempatkan
pada armada bus maupun di pool, melakukan usaha
berkelanjutan dalam meningkatkan pelayanan dan keselamatan
pengemudi dan penumpang, menerima masukan serta
menghargai saran dari penumpang guna menjaga keselamatan
penumpang, saling berkomunikasi antar pengemudi guna
bertukar informasi keselamatan, mendengarkan keluhan serta
saran perbaikan pengemudi selama diadakannya pertemuan dan
segera menindaklanjutinya, dan menunjukkan perilaku
keterbukaan serta kepercayaan dalam menghargai pendapat
pengemudi.
Berikut ini pada Tabel 13 dituliskan rekomendasi praktis
untuk manajemen untuk peningkatan dimensi budaya
keselamatan melalui masing-masing indikatornya. Beberapa
rekomendasi diberikan referensi teoretis sebagai acuan dan
contoh kasusnya. Rekomendasi belum diberikan secara teknis.
Ini merupakan keterbatasan penelitian ini, dan sebagai future
research agenda perlu dilakukan perancangan standar
operation procedure (SOP) khusus untuk peningkatan budaya
keselamatan bus rapid transit.
TABEL 13
REKOMENDASI PRAKTIS PENINGKATAN BUDAYA KESELAMATAN
Dimensi Indikator Budaya
Keselamatan
Rekomendasi Praktis Referensi
Keputusan
strategis
menjamin
keselamatan
Manajemen
menerapkan jadwal
waktu kerja dan
waktu istirahat
dengan baik
Melakukan perancangan
shiftwork dengan
mempertimbangkan kapasitas
fisiologi dan psikologis
pengemudi
[21]
Manajemen
membantu
menyelesaikan
konflik yang
dilakukan pengemudi
dengan penumpang
apabila terjadi
permasalahan
Penyelesaian persoalan yang
berkaitan dengan kejadian
kecelakaan ditangani oleh
Divisi Kecelakaan Lalu Lintas
operator berkerja sama
dengan regulator dan pihak
kepolisian
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
75
Dimensi Indikator Budaya
Keselamatan
Rekomendasi Praktis Referensi
Manajemen membuat
prosedur agar tidak
membiarkan
pengemudi melakukan
pelanggaran
Perlunya mitigasi kecelakaan
yang dimulai dari organisasi
untuk pencegahan
pelanggaran keselamatan
[9]
Manajemen dalam
pengambilan
keputusan bertindak
sesuai prosedur /
SOP pekerjaan yang
diterapkan
Penetapan dan penggunaan
SOP mitigasi kecelakaan
Manajemen
melibatkan
pengemudi dalam
membuat prosedur
Dibentuk forum komunikasi
yang menjembatani
komunikasi antara pengemudi
dan manajemen
Praktik
human
resource
keselamatan
berkendara
Manajemen memberi
tanggungan
penyediaan bahan
bakar kendaraan sebelum
pengoperasian bis.
Manajemen harus memastikan
ketersediaan bahan bakar
sebelum kendaraan
beroperasi. Hal ini adalah
persyaraan satu armada
memiliki status Siap Guna
Operasi.
Manajemen
memperlakukan
pengemudi sebagai
ujung tombak dalam
perusahaan.
Manajemen harus
menunjukkan sikap bahwa
pengemudi adalah mitra
perusahaan yang
bertanggungjawab pada
keselamatan operasi
Manajemen
mempekerjakan pengemudi sesuai
dengan keterampilan
dan kemampuan mengendarai.
Kompetensi umum dan
khusus pengemudi mutlak
harus dipenuhi. Daam hal ini
proses rekrutmen pengemudi
adalah kunci utamanya.
Manajemen
melakukan evaluasi
pekerja para
pengemudi secara
rutin/ berkala.
Penilaian kinerja secara rutin
harus dilakukan mengingat ini
adalah salah satu indikator
motivasi pengemudi untuk
berperilaku selamat
[9]
Manajemen
memberikan
pembekalan guna
meningkatkan
kinerja Setiap
pengemudi.
Pelatihan untuk pengemudi
perlu mengikuti standar
pelatihan yang ditetapkan
oleh regulator
[22]
Manajemen atau
atasan mampu
membentuk
kerjasama melalui
komunikasi 2 arah yang baik.
Dibentuk forum komunikasi
yang menjembatani
komunikasi antara pengemudi
dan manajemen
Manajemen
memberikan aspresiasi
penghargaan dalam
bentuk (karyawan
teladan bulan ini,
kenaikan jabatan)
yang menurut mereka bekerja keras dalam
menjaga keselamatan
selama berkendara
Penilaian kinerja secara rutin
harus dilakukan mengingat ini
adalah salah satu indikator
motivasi pengemudi untuk
berperilaku selamat
[9]
Manajemen
memperhatikan dan
mengawasi cara dalam
proses pembayaran
upah kepada
pengemudi
Kebijakan perhitungan
penggajian berdasarkan jam
kerja harus diadaptasi oleh
operator swasta
Dimensi Indikator Budaya
Keselamatan
Rekomendasi Praktis Referensi
Kegiatan
sehari-hari
dan
perilaku
yang
mendukung
keselamatan
Manajemen telah
mengikuti dan
mentaati aturan
keselamatan yang
telah di tetapkan oleh
regulator.
Perlu implementasi
pelaksanaan Peraturan
Menteri Perhubungan no 85
tahun 2008
[22]
Manajemen menjalin
kerjasama dengan
para kontraktor
untuk kelancaran
operasional armada (contoh perawatan dan
perbaikan, penyediaan
ban, dan pencucian
armada bus)
Kerjasama dengan
manufacturer bus telah
dilakukan terutama untuk
pelatihan pengemudi dalam
pengenalan armada.
Manajemen
mempublikasi atau
menempatkan tanda
(poster, simbol)
mengenai
keselamatan berkendara yang
ditempatkan pada
armada bus maupun di
pool.
Perancangan display
keselamatan dapat dilakukan
dengan prinsip ergonomi
kognitif.
[23]
Manajemen
melakukan usaha
berkelanjutan dalam
meningkatkan
pelayanan dan
keselamatan pengemudi dan
penumpang.
Menerapkan siklus Plan-Do-
Check-Action dalam
peningkatan budaya
keselamatan
Manajemen
mendengar dan
menerima masukan serta menghargai
saran dari penumpang
guna menjaga
keselamatan penumpang.
Menyediakan media
komunikasi dua arah dengan
pengguna jasa. Media ini
telah ada yaitu berupa call
center Transjakarta yang
terpusat. Masukan dari
penumpang sebaiknya
ditanggapi dan
ditindaklanjuti. Customer
Relationship Management
perlu dibangun.
Kami saling
berkomunikasi antar
pengemudi guna
bertukar informasi
keselamatan.
Dibentuk forum komunikasi
yang menjembatani
komunikasi antara pengemudi
Manajemen
mendengarkan
keluhan serta saran
perbaikan
pengemudi selama
diadakannya
pertemuan dan segera
menindaklanjutkan.
Tanggapan dan penanganan
atas permasalahan yang
disampaikan pengemudi
dicatat dengan jelas dalam
sebuah jurnal atau log book
Kebijakan perusahaan yang
berkaitan dengan hal ini
didokumentasikan dalam
sebuah database atau
knowledge management
sistem sebagai referensi untuk
masalah serupa yang terjadi di
masa yang akan datang.
Atasan menunjukkan
perilaku
keterbukaan serta
kepercayaan dalam
menghargai pendapat
pengemudi.
Mengingat bahwa operasi Transjakarta dilayani oleh
banyak operator bus, ada fakta bahwa terdapat perbedaan
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
76
dalam penerapan strategi safety sebagai indikator variabel
safety culture pada PT Mayasari Bakti sebagai operator swasta
dengan Unit Swakelola PT Transportasi Jakarta sebagai
operator sekaligus regulator layanan bus Transjakarta. Dasar
penggajian pengemudi Transjakarta yang dikelola oleh PT
Transportasi Jakarta dihitung berdasarkan jam kerja. Dasar ini
ditetapkan dengan mempertimbangkan keselamatan.
Menurut catatan Divisi Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas
(Divisi Laka) PT Transportasi Jakarta, kecelakaan banyak
terjadi pada saat menjelang berakhirnya waktu shift kerja di
lokasi sekitar halte akhir atau halte tujuan. Hasil investigasi
kecelakaan menunjukkan bahwa perilaku pengemudi
cenderung melanggar batas kecepatan pada situasi ini karena
ingin segera mengakhiri shift kerja. Inilah yang disiasati
regulator dengan memberlakukan kebijakan penggajian atas
dasar jam kerja untuk meminimasi kecenderungan melanggar
batas kecepatan di akhir shift. Akan tetapi operator belum
mengadaptasi sistem perhitungan upah per jam ini. Hal ini
memunculkan dugaan bahwa perilaku pengemudi Transjakarta
PT Mayasari Bakti berbeda dengan perilaku pengemudi
Transjakarta di Unit Swakelola PT Transportasi Jakarta. Selain
perbedaan sistem penggajian, program pelatihan untuk
pengemudi juga berbeda.
Masing-masing operator bus Transjakarta memiliki
tanggung jawab untuk merancang sendiri program pelaihan
untuk pengemudinya. Rancangan program pelatihan ini dapat
diatur fleksibel sesuai dengan kebutuhan masing-masing
operator. Namun demikian, perlu dikaji untuk keseragaman
program dan materi pelatihan pengemudi di semua operator bus
Transjakarta agar seluruh pengemudi bus Transjakarta
memiliki knowledge yang sama.
Rekomendasi yang berkaitan dengan indikator safety
culture diantaranya adalah perancangan sistem penilaian
kinerja sebagai dasar pemetaan kualitas kinerja sumber daya
manusia dan pemberlakuan sistem reward and punishment,
perusahaan perlu mempertimbangkan pemberlakuan dasar
perhitungan gaji menggunakan rupiah per jam kerja untuk
menurunkan kecenderungan pelanggaran batas kecepatan
kendaraan, perusahaan perlu membentuk media dan forum
komunikasi yang memiliki standar prosedur yang lebih jelas,
termasuk dengan pencatatan umpan balik atas informasi dari
kedua belah pihak. Untuk membangun awareness keselamatan,
diperlukan perancangan display yang ergonomis sebagai media
penyampaian pesan yang berkaitan dengan keselamatan.
Display visual dan auditory atau display dengan bentuk lain
dapat dipertimbangkan untuk hal ini untuk melengkapi sistem
peringatan real time yang difasilitasi oleh pusat pengendali
operasi terpusat dari PT Transportasi Jakarta.
Untuk memperbaiki komunikasi dua arah antara perusahaan
dengan para pengemudi, perusahaan perlu merancang media
dan prosedur yang lebih jelas untuk penyampaian keluhan dan
saran dari pengemudi untuk manajemen. Perancangan survei
untuk menilai apakah budaya keterbukaan manajemen telah
terbangun baik di organisasi. Hal ini diperlukan untuk
peningkatan budaya keselamatan yang lebih baik. Seperti
diketahui, bahwa keterbukaan saluran komunikasi yang baik
adalah sangat penting dalam peningkatan keselamatan. Untuk
semua upaya peerbaikan, perusahaan perlu mengadaptasi
prinsip continuous improvement perancangan strategi
peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan yang
berkelanjutan.
Keselamatan adalah salah satu indikator kualitas pelayanan
pada penyedia jasa transportasi, sehingga semua upaya
peningkatan kualitas yang berhubungan dengan keselamatan
harus bersifat berkelanjutan. Penyusunan rekomendasi
perbaikan pada indikator safety knowledge dilakukan dengan
mempertimbangkan indikator variabel safety knowledge yang
valid sesuai dengan hasil pengujian outer model. Evidence
yang berkaitan dengan masing-masing indikator variabel
diidentifikasi dengan teknik observasi di lapangan dan
wawancara.
Wawancara dengan pengemudi dan manajer opersional PT
Mayasari Bakti dilakukan untuk keperluan mencari evidence
ini. Pada penelitian ini ternyata dari enam indikator safety
knowledge yang diteliti, hanya satu indikator pengetahuan yang
dimiliki oleh pengemudi. Rekomendasi yang diberikan
berkaitan dengan peningkatan safety knowledge ini diantaranya
adalah penambahan materi pelatihan yaitu materi mengenai
risiko penyakit akibat kerja dalam program pelatihan untuk
membangun awareness para pengemudi, Materi mengenai
definisi penyakit akibat kerja dalam program pelatihan untuk
membangun awareness para pengemudi. Materi mengenai cara
menghindari penyakit akibat kerja dalam program pelatihan
untuk membangun awareness para pengemudi. Materi
mengenai kesalahan postur sebagai faktor risiko pada
keselamatan dan materi mengenai beban psikologis pengemudi
akan berdampak pada keselamatan, namun belum tahu
bagaimana cara meminimasinya.
VI. KESIMPULAN
Pengujian model hipotesis hubungan antara safety culture
dan safety knowledge terhadap safety behavior pengemudi bus
Transjakarta di PT Mayasari Bakti menunjukkan hasil bahwa
hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa hubungan antara
safety culture dengan safety behavior positif. Hipotesis
mengenai adanya hubungan antara safety culture dan safety
knowledge juga terbukti positif dan signifikan dalam penelitian
ini. Secara teori, pengetahuan safety yang cukup akan membuat
pengemudi menjadi lebih baik perilakunya, terutama yang
berhubungan dengan peningkatan keselamatan. Namun
ternyata dalam penelitian ini hubungan safety knowledge
dengan safety behavior ternyata berpengaruh negatif dan
hubungannya tidak signifikan. Artinya, pada kasus di PT
Mayasari Bakti ini, semakin baik pengetahuan mengenai
keselamatan, justru mengakibatkan menurunnya perilaku
keselamatan pengemudinya. Tidak terbuktinya hipotesis
tersebut memberikan peluang untuk penyusunan agenda
penelitian lanjut (future research agenda) mengenai temuan ini.
Diperlukan pengembangan model hipotesis yang lebih lengkap
yang mempertimbangkan variabel safety lain yang mungkin
Jurnal Teknik Industri ISSN 2622-5131 (Online)
Vol. 10 No. 1 ISSN 1411-6340 (Print)
77
menjadi jembatan antara hubungan safety knowledge dan safety
behavior pada pengemudi Transjakarta di PT Mayasari Bakti.
Rekomendasi yang berkaitan dengan indikator safety
culture diantaranya adalah perancangan sistem penilaian
kinerja sebagai dasar pemetaan kualitas kinerja sumber daya
manusia dan pemberlakuan sistem reward and punishment,
perusahaan perlu mempertimbangkan pemberlakuan dasar
perhitungan gaji menggunakan rupiah per jam kerja untuk
menurunkan kecenderungan pelanggaran batas kecepatan
kendaraan, perusahaan perlu membentuk media dan forum
komunikasi yang memiliki standar prosedur yang lebih jelas,
termasuk dengan pencatatan umpan balik atas informasi dari
kedua belah pihak.
Untuk membangun awareness keselamatan, diperlukan
perancangan display yang ergonomis sebagai media
penyampaian pesan yang berkaitan dengan keselamatan.
Display visual dan auditory atau display dengan bentuk lain
dapat dipertimbangkan untuk hal ini untuk melengkapi sistem
peringatan real time yang difasilitasi oleh pusat pengendali
operasi terpusat dari PT Transportasi Jakarta.
Untuk memperbaiki komunikasi dua arah antara perusahaan
dengan para pengemudi, perusahaan perlu merancang media
dan prosedur yang lebih jelas untuk penyampaian keluhan dan
saran dari pengemudi untuk manajemen. Perancangan survei
untuk menilai apakah budaya keterbukaan manajemen telah
terbangun baik di organisasi. Hal ini diperlukan untuk
peningkatan budaya keselamatan yang lebih baik.
Untuk semua upaya perbaikan, perusahaan perlu
mengadaptasi prinsip continuous improvement perancangan
strategi peningkatan kualitas pelayanan dan keselamatan yang
berkelanjutan. Keselamatan adalah salah satu indikator kualitas
pelayanan pada penyedia jasa transportasi, sehingga semua
upaya peningkatan kualitas yang berhubungan dengan
keselamatan harus bersifat berkelanjutan.
Rekomendasi yang diberikan berkaitan dengan peningkatan
safety knowledge ini diantaranya adalah penambahan materi
pelatihan yaitu Materi mengenai risiko penyakit akibat kerja
dalam program pelatihan untuk membangun awareness para
pengemudi, definisi penyakit akibat kerja dalam program
pelatihan untuk membangun awareness para pengemudi. cara
menghindari penyakit akibat kerja dalam program pelatihan
untuk membangun awareness para pengemudi., kesalahan
postur sebagai faktor risiko pada keselamatan dan beban
psikologis pengemudi akan berdampak pada keselamatan.
VII. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini seluruhnya dilaksanakan atas biaya dari Universitas
Trisakti pada tahun 2018-2019. Peneliti mengucapkan terimakasih atas dukungan secara khusus dari Fakultas Teknologi Industri
Unversitas Trisakti dan Universitas Trisakti.
VIII. REFERENSI [1] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, “Statistik Transportasi
DKI Jakarta 2015,” Jakarta, 2015.
[2] B. S. Dhillon, Transportation Systems Reliability and Safety. 2011.
[3] A. Neal and M. A. Griffin, “A study of the lagged relationships
among safety climate, safety motivation, safety behavior, and
accidents at the individual and group levels.,” J. Appl. Psychol., vol.
91, no. 4, pp. 946–953, 2006.
[4] G. Vierendeels, G. Reniers, K. van Nunen, and K. Ponnet, “An
integrative conceptual framework for safety culture: The Egg
Aggregated Model (TEAM) of safety culture,” Saf. Sci., vol. 103, no.
September 2017, pp. 323–339, 2018.
[5] A. I. Glendon and N. A. Stanton, “Perspectives on safety culture,”
Saf. Sci., vol. 34, no. 1–3, pp. 193–214, 2000.
[6] B. L. de Castro, F. J. Gracia, I. Tomás, and J. M. Peiró, “The Safety
Culture Enactment Questionnaire (SCEQ): Theoretical model and
empirical validation,” Accid. Anal. Prev., vol. 103, no. April, pp. 44–
55, 2017.
[7] L. Jiang and T. M. Probst, “Transformational and passive leadership
as cross-level moderators of the relationships between safety
knowledge, safety motivation, and safety participation,” J. Safety
Res., vol. 57, pp. 27–32, 2016.
[8] A. Hedlund, M. Åteg, I. M. Andersson, and G. Rosén, “Assessing
motivation for work environment improvements: Internal
consistency, reliability and factorial structure,” J. Safety Res., vol. 41,
no. 2, pp. 145–151, 2010.
[9] D. M. Safitri, I. Surjandari, and R. J. Sumabrata, “Assessing factors
affecting safety violations of bus rapid transit drivers in the Greater
Jakarta Area,” Saf. Sci., vol. 125, no. January, 2020.
[10] H. C. Ho and D. L. Widaningrum, “Car drivers with higher perceived
safety tend to drive their vehicles with higher risk , a unique
phenomenon on the roads in Jakarta , Indonesia,” in Proceedings of
the 2016 International Conference on Industrial Engineering and
Operations Management, 2016, pp. 3223–3230.
[11] P. Mitropoulos, T. S. Abdelhamid, and G. A. Howell, “System Model
of Construction Accident Causation,” J. Constr. Eng. Manag., vol.
131, no. 1, pp. 3–14, 2005.
[12] T. Proctor, R., Van Zandt, Human Factors in Simple and Complex
Systems 2nd edition. London: CRC Press, 1994.
[13] I. Hejduk and P. Tomczyk, “Young Workers??? Occupational Safety
Knowledge Creation and Habits,” Procedia Manuf., vol. 3, no. Ahfe,
pp. 395–401, 2015.
[14] J. . Taylor, Safety Culture: Assessing and Changing the Behaviour of
Organisations. .
[15] A. R. Wills, B. Watson, and H. C. Biggs, “Comparing safety climate
factors as predictors of work-related driving behavior,” J. Safety Res.,
vol. 37, no. 4, pp. 375–383, 2006.
[16] M. N. Vinodkumar and M. Bhasi, “Safety management practices and
safety behaviour: Assessing the mediating role of safety knowledge
and motivation,” Accid. Anal. Prev., vol. 42, no. 6, pp. 2082–2093,
2010.
[17] J. F. Hair, G. T. M. Hult, C. M. Ringle, and M. Sarstedt, A Primer on
Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM).
California: SAGE Publications, Inc, 2014.
[18] F. Monecke, A. and Leisch, “semPLS : Structural Equation Modeling
Using Partial Least Squares,” J. Stat. Softw., vol. 48, no. 3, pp. 1–32,
2012.
[19] M. Tenenhaus, S. Amato, and V. E. Vinzi, “A global Goodness–of–
Fit index for PLS structural equation modelling,” in Proceedings of
the XLII SIS Scientific Meeting, 2004, pp. 739–742.
[20] M. Tenenhaus, V. E. Vinzi, Y. M. Chatelin, and C. Lauro, “PLS path
modeling,” Comput. Stat. Data Anal., vol. 48, no. 1, pp. 159–205,
2005.
[21] N. Azmi, D. M. Safitri, P. Astuti, and R. P. Purba, “Analisa Beban
Kerja melalui Pendekatan Fisiologis pada Pengemudi Bis
Transjakarta,” in National Conference of Industrial Engineering
2017, 2017.
[22] “Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM85
Tahun 2018 Tentang Sistem Manajemen Keselamatan Perusahaan
Angkutan Umum.” 2018.
[23] D. M. Safitri, A. Malinda, N. Azmi, and P. Astuti, “Warning Display
Design for The Transjakarta Bus Cockpit to Minimize The Driver’s
Error Behavior,” in Proceeding 8th International Seminar on
Industrial Engineering and Management, 2015, pp. 23–27.
top related