eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/47892/2/thesisrevisi.docx · web viewpadi mulai tegak...
Post on 12-Mar-2018
290 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang selalu berusaha
merefleksikan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berusaha berhubungan dengan orang lain
dan berkomunikasi, hingga akhirnya menjadi bagian suatu kelompok masyarakat.
Hubungan komunikasi dan sosial yang terjalin antarmanusia ini kemudian
membentuk sebuah masyarakat budaya. Hingga pada akhirnya, suatu masyarakat
budaya akan memiliki ciri khas masing – masing yang membedakannya dengan
masyarakat budaya yang lain.
Bahasa merupakan refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat
penggunanya. Lebih lanjut lagi, bahasa adalah salah satu sarana penting bagi
manusia untuk berkomunikasi dan berbudaya dalam suatu kelompok masyarakat.
Oleh karena setiap budaya selalu memiliki ciri khas masing – masing yang
membedakannya dengan budaya lain, maka bahasa yang digunakannya pun relatif
akan berbeda. Purwoko (2008b), dengan merujuk pada Hymes, menyatakan
bahwa bahasa merupakan petunjuk yang sifatnya simbolis terhadap budaya. Ini
bermakna bahwa kajian terhadap suatu bahasa akan bisa menuntun ke kebudayaan
para pengguna bahasa tersebut.
Setiap budaya mengandung pemaknaan masing – masing berdasar
konvensi masyarakat budayanya, demikian pula dengan bahasa. Sebagaimana
Casson (1981) menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem makna simbolis,
2
begitu pula dengan kebudayaan. Lebih lanjut lagi ia menyatakan bahwa bahasa
adalah sistem tanda (simbol) yang berfungsi untuk mengkomunikasikan makna
dari satu konsep ke konsep lainnya. Demikian pula halnya dengan kebudayaan
yang merupakan simbol – simbol di mana di dalamnya terjadi hubungan antara
bentuk yang menandai dan makna yang ditandai.
Dari paparan di atas, tampaklah bahwa bahasa merupakan media budaya
bagi manusia. Dan oleh karenanya, bahasa berkaitan sangat erat dengan
kebudayaan. Keterkaitan ini menggelitik ahli budaya/antropolog untuk lebih
mengkaji tentang bahasa sebagai aspek kebudayaan, dan para linguis untuk lebih
memperhatikan kebudayaan para penutur bahasa sebagai faktor penentu
penggunaan bahasa. Dari pemikiran tersebut lahirlah ilmu interdisipliner antara
ilmu kebudayaan dan ilmu bahasa yang disebut sebagai linguistik antropologi.
Linguistik antropologi, atau kerap disebut juga linguistik kebudayaan
atau etnolinguistik, berfokus pada kajian bahasa untuk meyingkap budaya khas
masyarakat pengguna bahasa. Kekhasan budaya berkaitan dengan ciri khas
kelokalan suatu masyarakat. Berdasar pemikiran bahwa penelitian bahasa dapat
dimanfaatkan untuk mengungkap budaya masyarakat penggunanya tersebut, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian di bidang bahasa yang digunakan
masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, dan
hubungannya dengan budaya masyarakat tersebut.
1.2 Rumusan Permasalahan
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan dan
keanekaragaman suku bangsa, bahasa, seni, dan budaya. Bahasa Jawa merupakan
3
salah satu bahasa daerah di Indonesia yang memiliki banyak ragam dialek,
termasuk dialek ‘ngapak’ yang memiliki banyak penutur di wilayah Kebumen,
Banyumas, Brebes, hingga Pemalang. Dialek ini memiliki kekhasan dalam
pengucapan vokal a yang tetap dibaca /a/, dan tidak menggunakan pengucapan
vokal a yang dibaca /o/ pada bahasa Jawa standar Solo dan Yogya. Selain itu,
pengucapan bunyi ultima bila berakhiran fonem [g] atau [k] maka akan dibaca
jelas dengan bunyi /g/ dan /k/ yang tidak diucapkan demikian dalam bahasa Jawa
standar Yogya dan Solo. Kekhasan dialek ngapak juga kian beragam di setiap
daerah. Untuk kata yang bermakna ‘kenapa’ dalam bahasa Indonesia, dialek
‘ngapak’ memiliki beberapa kata yang khas digunakan di daerah yang berbeda,
yaitu: ‘kepriwe’ di Banyumas, ‘kepriben’ di Tegal, Pemalang dan Brebes, sedang
di Bumiayu dan Sirampog (wilayah kabupaten Brebes) menggunakan kata
‘keprimen’, sedang kata ‘kepriben’ digunakan untuk menanyakan suatu hal yang
memuat makna emosi yang tinggi.
Wilayah kabupaten Brebes merupakan wilayah yang berbatasan dengan
wilayah Jawa Barat. Oleh karena itu, sebagian masyarakatnya berbahasa Sunda
dan sebagian lainnya berbahasa Jawa dengan dialek ‘ngapak’. Interaksi dengan
bahasa dan budaya Sunda ini agaknya sedikit banyak juga mempengaruhi bahasa
yang digunakan di wilayah kabupaten Brebes. Salah satu wilayah yang
terpengaruh bahasa dan budaya Sunda ini, yang diakibatkan oleh interaksi
langsung dengan masyarakat Sunda, adalah wilayah kecamatan Bumiayu,
Sirampog, Banjar Harjo, Ketanggungan, dan Losari. Banyak kosakata Sunda yang
juga digunakan sehari – hari oleh masyarakat di wilayah tersebut, misal: singkong
4
yang biasa disebut ‘telo’ atau ‘pohung’ dalam bahasa Jawa standar, maka di
wilayah ini disebut dengan ‘bodin’. Berdasar penelitian awal mengenai kosakata
khas di wilayah Sirampog yang telah peneliti lakukan sebelumnya, peneliti dpaat
menyimpulkan bahwa banyak kosakata khas yang terdapat di wilayah kecamatan
Sirampog yang jauh berbeda baik bentuk, makna, maupun penggunaannya dengan
bahasa Jawa Solo/Yogya.
Saat ini isu pencemaran dan pemanasan global menjadi perbincangan
pokok di berbagai bidang. Kondisi iklim yang berubah – ubah secara ekstrim dan
anomali cuaca yang tidak teratur serta tidak dapat diprediksi lagi menyebabkan
para petani sulit melakukan kegiatan bertani dengan metode yang biasa
diterapkan. Hal ini berakibat hasil yang dicapai petani menjadi kurang maksimal.
Permasalahan ini terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia.
Indonesia merupakan negara agraris, sehingga sebagian masyarakatnya
bermata pencaharian di bidang pertanian. Beras merupakan sumber makanan
pokok sebagian masyarakat Indonesia, sehingga pertanian di Indonesia
didominasi oleh pertanian padi. Sekitar tahun 1980 – an, Indonesia berhasil
mencapai prestasi swa – sembada beras dan mampu mencukupi kebutuhan beras
dalam negeri, bahkan mampu mengekspor beras ke negara lain. Namun demikian,
akhir – akhir ini Indonesia mengalami keadaan yang cukup memprihatinkan.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini banyak terjadi kelaparan di berbagai daerah di
Indonesia, semakin banyak masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi nasi aking
yang seharusnya tidak layak untuk dikonsumsi, banyak masyarakat yang beralih
5
mengkonsumsi gaplek karena tidak mampu membeli beras, dan berbagai
permasalahan pangan lainnya.
Kenyataan ini menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain: Mengapa
Indonesia yang tanahnya subur bisa mengalami keadaan seperti ini? Mengapa
Indonesia harus mengimpor beras, padahal sebelumnya merupakan negara
pengekspor beras? Bagaimana sebenarnya budaya pertanian di Indonesia saat ini
sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat? Apakah
masyarakat Indonesia sudah semakin enggan bertani sehingga harus impor ke
negara lain? Fakta lain menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Sirampog
memiliki (dan menggunakan) bahasa yang begitu kaya dan unik (perbatasan
bahasa Jawa dan bahasa Sunda). Mungkinkah dengan kekayaan bahasa tersebut
maka budaya pertaniannya juga kaya dan unik serta memiliki karakter khas
tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain? Bagaimanakah kekayaan lingual
masyarakat di Kecamatan Sirampog, khususnya di bidang pertanian padi?
Mungkinkah masyarakat di Kecamatan Sirampog dengan kekayaan lingualnya
tersebut memiliki kekhasan budaya yang menjadi ciri kelokalannya? Pertanyaan –
pertanyaan ini membuat penulis semakin tertarik untuk mencari jawabannya
melalui penelitian bahasa dan hubungannya dengan budaya dan kearifan lokal
masyarakat.
Secara umum padi memerlukan waktu tumbuh ± 100 (seratus) hari atau
sekitar 3,5 bulan sejak masa tanam hingga panen. Pasca panen petani biasanya
memerlukan sekitar 3 minggu untuk pengolahan tanah dan penyemaian benih
padi. Pola tanam seperti ini biasanya terdapat di areal sawah yang memiliki irigasi
6
teknis yang menjadi sumber air untuk mengairi sawah. Sedang para petani yang
bertani di sawah tadah hujan secara umum hanya dapat panen 1 kali dalam
setahun, dan sisa waktunya akan digunakan untuk menanam tanaman lading,
seperti jagung, ketela, dan sebagainya.
Wilayah Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah
merupakan wilayah yang sangat subur. Wilayah ini terletak di lereng gunung
Selamet. Iklim sejuk dan kondisi sumber perairan yang lancar dan jernih dari
berbagai mata air dan sungai membuat wilayah ini memiliki kekayaan di bidang
pertanian, baik pertanian padi, sayur mayur (sawi hijau, sawi putih, daun bawang,
kacang panjang, buncis, bawang merah, bawang putih, cabai, dan lain
sebagainya), palawija (kentang, ubi, ketela, dan lain – lain). Lahan pertanian,
termasuk sawah, di Kecamatan Sirampog termasuk lahan pertanian tadah hujan
karena hanya mengandalkan air sungai dan mata air kecil yang berasal dari curah
hujan, sehingga debit airnya hanya tergantung curah hujan yang turun di wilayah
tersebut. Meski lahan pertanian miring dan rawan longsor, namun metode
terasering dan teknik pertanian yang digunakan mampu mempertahankan
produktivitas pertanian di wilayah ini hingga meskipun letaknya sangat jauh dari
ibukota kabupaten Kecamatan Sirampog menjadi salah satu wilayah unggulan dan
paling berpotensi di Kabupaten Brebes [website resmi Pemkab Brebes].
Demikian pula dengan budaya padi di wilayah tersebut, sawah tadah hujan yang
lazimnya hanya bisa panen setahun 1 – 2 kali, namun di Kecamatan Sirampog
padi dapat dipanen 3 kali dalam 1 tahun atau 13 (tiga belas) bulan. Kemajuan di
bidang pertanian yang dimiliki Kecamatan sirampog ini tentunya tidak terlepas
7
dari kearifan yang dimiliki masyarakat Kecamatan Sirampog ini. Sebagaimana
telah dibahas sebelumnya bahwa kecamatan Sirampog merupakan wilayah yang
berada di wilayah Jawa Tengah dan berbatasan langsung dengan wilayah Jawa
Barat. Lebih lanjut lagi, bahasa yang digunakan oleh masyarakat di wilayah
Kecamatan Sirampog adalah bahasa Jawa, dialek ‘ngapak’. Namun demikian,
pada kenyataannya, banyak kosakata di wilayah tersebut yang merupakan bahasa
Sunda, misal: bodin (ketela pohon). Oleh karena itu, bahasa Jawa dialek ‘ngapak’
yang digunakan di Sirampog agak berbeda dengan dialek ‘ngapak’ yang
digunakan di daerah Tegal atau Banyumas. Oleh karena kekayaan kosakata yang
dimiliki wilayah inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kekayaan khasanah lingual, terutama kosakata atau leksikon, dan
kaitannya dengan budaya dan kearifan lokal. Dengan kata lain, kearifan lokal dan
budaya pertanian yang tercermin melalui kekayaan lingual, metafora maupun
ungkapan budaya yang ada di wilayah Kecamatan Sirampog menjadi bahasan
pokok dalam penelitian di tesis ini.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian mengenai leksikal pertanian yang ada di komunitas
masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini bertujuan
untuk mendeskripsikan konsep budaya dan kearifan lokal di ranah pertanian yang
ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut melalui kekayaan lingual, ungkapan
maupun metafora yang terdapat di wilayah tersebut.
8
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian studi Penelitian ini bermanfaat secara
teoritis maupun praktis. Teoritis dalam dimensi keilmuan, dan manfaat praktis
dalam ranah sosial kemasyarakatan.
Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk:
1) Memperkaya kajian linguistik antropologi dan kaitannya dengan kearifan
lokal,
2) Menambah wacana pada kajian antropologi inguistik dan etnolinguistik
termasuk kajian ekolinguistik,
3) mengetahui kekhasan budaya dan kearifan lokal suatu masyarakat melalui
kajian leksikal khas masyarakat budaya tersebut.
Sedang manfaat praktis penelitian ini adalah untuk:
1) menjadi salah satu wacana acuan terhadap kebijakan pemerintah dalam
upaya pelestarian budaya tradisional untuk meningkatkan produktivitas
suatu daerah,
2) menguak hakikat pertanian Indonesia secara alami agar rakyat Indonesia
kembali ke alam dan bertani dengan ramah lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya,
3) menjadi alternatif pendekatan multikultural dalam pengambilan kebijakan
pemerintah agar Indonesia kaya dengan bahan pangan dan menjadi negara
swasembada beras tanpa mengimpor beras dari negara lain.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
9
Penelitian ini berjudul “Kearifan Lokal Pertanian Masyarakat Kecamatan
Sirampog Kabupaten Brebes Melalui Khazanah Lingual Khas (Sebuah Kajian
Linguistik Antropologi)” yang berfokus pada kajian budaya yang berupaya
menemukan kearifan lokal masyarakat setempat, terutama di bidang pertanian,
melalui leksikon – leksikon yang berhubungan dengan pertanian padi di
Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan
kajian linguistik antropologi yang diterapkan untuk mendeskripsikan nilai – nlai
budaya dan kearifan lokal yang ada di Kecamatan Sirampog melalui penelitian
leksikon khas masyarakat di wilayah penelitian dalam bidang pertanian, terutama
pertanian padi.
1.5 Metode dan Langkah Kerja Penelitian
Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Desa Mendala, Desa
Plompong, dan Desa Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi
Jawa Tengah. Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes Jawa
Tengah Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah
Kabupaten Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Wilayah
penelitian meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3 kali dalam
satu tahun. Wilayah Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Desa
Buniwah, Dawuhan, Igirklanceng, Kaligiri, Kaliloka, Batursari, Benda, Manggis,
Mendala, Mlayang, Plompong, Sridadi, dan Wanareja. Desa Benda, Desa
Plompong dan Desa Mendala merupakan wilayah yang paling produktif di bidang
pertanian padi. Ketiga desa tersebut yang masih mengalami panen sebanyak 3 kali
10
dalam 1 tahun, atau lebih tepatnya 3 kali dalam 13 bulan karena dihitung dengan
masa pengolahan tanah sebelum tanam padi berikutnya.
Objek penelitian ini meliputi dua sumber, yaitu sumber data lisan dan
sumber data tertulis. Data lisan diperoleh dari pelaku pertanian, baik pemilik
maupun petani penggarap pertanian, para pekerja, dan dari tokoh – tokoh
masyarakat yang mengetahui metode dan teknik pertanian khas di wilayah
penelitian. Sedang data tertulis diperoleh dari dokumen – dokumen yang dimiliki
oleh pihak pemerintah di wilayah objek penelitian.
Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian linguistic partisipatif dan non partisipatif, yaitu: teknik pengamatan,
simak libat cakap, pancing, catat dan simak bebas libat cakap, sebagaimana
diajukan oleh Sudaryanto (1993) sekaligus menggunakan metode etnografi
(Spradley, 1979).
Lebih lanjut lagi, penelitian ini menggunakan teknik wawancara
mendalam dan teknik rekam. Teknik ini dilakukan untuk mendukung keabsahan
data yang diperoleh dalam penelitian. Setelah teknik simak libat cakap, catat,
wawancara dan teknik rekam dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan teknik
catat (ketik computer) dalam membuat transkrip rekaman.
Data penelitian yang telah diperoleh diolah menggunakan teknik
deskriptif kualitatif, padan referensial (semantis), dan teknik inferensial
(triangulasi data). Pemilihan teknik ini karena penelitian ini tidak
menggantungkan pada kuantitas data penelitian, melainkan pada deskripsi dan
interpretasi data secara mendalam. Lebih spesifik lagi data yang diperoleh akan
11
diolah menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian antropologi,
yaitu analisis mengenai bentuk dan makna (semantis) yang digunakan untuk
mengungkap pola – pola kebudayaan di wilayah objek penelitian, sekaligus untuk
mendeskripsikan makna serta nilai – nilai budaya kearifan lokal masyarakat objek
penelitian. Metode deskripsi digunakan karena peneliti berupaya mengungkap
sesuatu secara apa adanya.
Hasil penelitian akan disajikan dengan metode informal (Sudaryanto,
1993). Metode ini tidak menggunakan angka ataupun rumus – rumus matematis
seperti yang diharuskan pada metode penyajian data formal. Penggunaan metode
penyajian informal dipilih karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif yang berusaha menjelaskan kenyataan yang ada di wilayah penelitian
melalui kata – kata. Penjelasan lebih dalam mengenai metode penelitian ini akan
dibahas dalam bab III tentang metode penelitian.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini berlandaskan pada teori linguistik yaitu kajian linguistik
antropologi. Kajian linguistik antropologi dimanfaatkan untuk mempolakan
kerangka budaya dan nilai – nilai lokal yang bermuara pada unsur – unsur
kearifan lokal dari masyarakat di wilayah penelitian. Linguistik antropologi pada
hakikatnya berfokus pada kajian untuk mengungkap hakikat bahasa yang terdiri
atas bentuk dan makna di balik bentuk yang ada tersebut. Oleh karenanya, kajian
semantik juga dijadikan teori dasar sekaligus pijakan dalam pengolahan data
penelitian. Kajian semantik digunakan untuk mendeskripsikan makna leksikon
khas yang ada di wilayah penelitian.
12
Sapir dan whorf (1921/1949) mengajukan teori relativitas bahasa. Teori
ini menyatakan bahwa di balik sifat kesemestaan bahasa, ada fenomena bahasa
yang khas yang hanya di miliki oleh bahasa – bahasa tertentu dan tidak dimiliki
oleh bahasa lain. Kekhasan ini terjadi karena perbedaan kekhasan budaya
masyarakat pengguna suatu bahasa tersebut. Dengan merujuk pada sifat relativitas
bahasa ini, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa bahasa yang dimiliki oleh
suatu masyarakat akan mencerminkan pandangan hidup (budaya) masyarakat
penggunanya. Jadi, bahasa dapat diibaratkan sebagai cermin budaya masyarakat
penggunanya (Fernandes, 2008).
Kebudayaan secara umum tercermin dalam tiga hal yaitu, perilaku, pola
pikir/ideologi, dan artefak. Ketiganya mencerminkan kelokalan atau kekhasan
budaya masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Dengan
demikian, kearifan lokal merupakan salah satu cerminan budaya yang memuat
ketiga unsur budaya tersebut (Koentjaraningrat, 1983).
Secara singkat, penelitian ini berpijak pada pemikiran bahwa bahasa
merupakan salah satu unsur penting dari budaya. Budaya akan mencerminkan
kekhasan masyarakat pelakunya. Oleh karena itu, budaya suatu masyarakat akan
mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya. Dengan demikian, penelitian bahasa
suatu masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mengungkap budaya sekaligus
13
kearifan lokal masyarakat tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai landasan
teori dalam penelitian ini akan dibahas pada Bab Tinjauan Pustaka.
1.7 Definisi Operasional
Berikut akan dijelaskan beberapa definisi operasional yang digunakan
untuk keperluan penulisan tesis ini.
1) Linguistik
Ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah. Istilah ini
muncul pertama kali pada tahun 1808 dalam majalah ilmiah yang
disunting oleh Johann Severin Vater dan Friedrich Justin Bertuch.
(Kridalaksana, 2001: 128).
2) Kebudayaan
Sebuah pengetahuan bersama yang dimiliki, tumbuh dan
berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan kemudian
pengetahuan tersebut secara sosial diwariskan dari satu generasi ke
generasi berikutnya (Koentjaraningrat, 1992: 1).
3) Antropologi
Ilmu yang mempelajari tentang makhluk manusia atau anthropos
(Koentjaraningrat, 1992: 1)
4) Linguistik Antropologi
Linguistik antropologi merupakan salah satu cabang linguistik
yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk
mengamati bagai mana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat
dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005: 81).
14
5) Performansi
Keterampilan berbahasa seseorang yang ditunjukkan melalui
kemampuan nyata berupa ujaran yang dihasilkan, misalnya berbicara,
mendengar, menulis, dan lain sebagainya. (Kridalaksana: 2001)
6) Kompetensi
Kemampuan berbahasa yang bersifat abstrak, berada di dalam otak
dan/atau pikiran manusia. (Kridalaksana: 2001)
7) Ikon, Indeks, Simbol
Ketiga istilah ini merupakan klasifikasi tanda yang diajukan oleh
Peirce (1965). Icon merupakan suatu tanda yang menunjukkan adanya
kedekatan dan kemiripan yang tampak jelas antara bentuk dan makna
yang digambarkan oleh tanda tersebut. Indeks adalah suatu tanda yang
digunakan untuk mengidentifikasi suatu objek, bukan karena kesamaan
atau analoginya, akan tetapi karena beberapa hubungan spasial maupun
temporal dengan objek yang diacunya. Sedang simbol merupakan tanda
yang memiliki hubungan dengan yang ditandainya sebagai suatu
konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun – temurun
dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan fisik maupun
kesamaan kontekstual. (Foley: 1997)
8) Partisipasi
Budaya merupakan suatu sistem partisipasi. Dengan demikian,
budaya selalu menuntut partisipasi aktif dan perilaku komunikatif para
pelaku budaya tersebut. (Foley: 1997)
15
9) Etik dan Emik
Istilah ini mengacu pada teori fonetik (bunyi/bentuk) dan fonemik
(pembeda makna) yang diajukan oleh Kenneth L. Pike, seorang linguis
aliran tagmemik. Etik merupakan kajian makna yang diperoleh dari
pandangan orang di luar komunitas budaya tersebut. Emik, sebaliknya,
merupakan nilai – nilai makna yang diperoleh melalui pandangan orang
yang berada dalam komunitas budaya tersebut (Kridalaksana, 2001: 52).
10) Etnografi
Etnografi berasal dari dua kata, yaitu: etno yang berarti suku
bangsa atau etnis dan grafi (graph) yang bermakna catatan atau tulisan.
Jadi etnografi merupakan tulisan atau catatan tentang kehidupan dan
kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat,
kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa, dan seterusnya . (Troike: 1982).
11) Kearifan lokal (local wisdom)
Pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat
lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan
mereka (Irianto, 2009).
12) Kecerdasan lokal (local genious)
Identitas/kepribadian budaya suatu etnik atau suku bangsa yang
menyebabkan komunitas tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Irianto, 2009).
16
13) Pengetahuan lokal (local/folk knowledge)
Suatu pengetahuan lokal yang diperoleh dari pengalaman adaptasi
secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan secara turun temurun
serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan
menciptakan keserasian lingkungan. (Irianto, 2009).
14) Persepsi
Cara pandang terhadap sesuatu atau cara mengutarakan
pemahaman hasil olahan daya pikir. Persepsi berkaitan dengan faktor –
fakor eksternal yang direspons melalui panca indera, daya ingat dan
daya jiwa (Marliany dalam Siswadi, 2010).
15) Sikap
Sikap berkaitan dengan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan
baik positif maupun negatif terhadap suatu objek (Sobur dalam Siswadi,
2010).
16) Perilaku
Proses interaksi antara kepribadian dan lingkungan yang
mengandung rangsangan (stimulus), kemudian ditanggapi dalam bentuk
respon. (Marliany dalam Siswadi, 2010).
1.8 Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri atas 5 (lima) bab dan masing – masing bab akan dibagi
lagi menjadi sub – sub bab sesuai dengan keperluan penulisan. Berikut merupakan
garis besar dari setiap bab:
17
Bab I (satu) merupakan pendahuluan. Bab ini dibagi menjadi 8 (delapan)
sub bab yang membahas: latar belakang penulisan tesis, rumusan permasalahan,
tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan langkah kerja
penelitian, landasan teori, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
Bab II (dua) merupakan tinjauan pustaka. Bab ini tersusun atas 3 (tiga)
sub bab, yang masing – masing sub bab akan membahas beberapa pokok bahasan.
Sub bab A (pertama) akan membicarakan mengenai penelitian – penelitian
sebelumnya. Sub bab B (kedua) akan membahas tentang linguistik antropologi.
Sub bab ini dibagi lagi menjadi beberapa pokok bahasan, yaitu: pengertian, bahasa
dan budaya, ruang lingkup, dan pendekatan dalam penelitian linguistik
antropologi.
Bab III (tiga) berisi tentang metode yang digunakan dalam penelitian di
tesis ini. Bab ini dibagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu: gambaran lokasi
penelitian (yang berisi sejarah, keadaan demografi, keadaan monografi dan situasi
kebahasaan di wilayah penelitian), sasaran penelitian, subjek dan objek penelitian,
asumsi penelitian dan metode penelitian; yang membahas metode penyediaan
data, metode pengolahan data dan metode penyajian hasil analisis data.
Bab IV (keempat) merupakan bab pembahasan hasil penelitian. Bab ini
terbagi atas 6 (enam) sub bab, yaitu: kajian terhadap kekayaan leksikon tentang
pertanian padi di wilayah pertanian, deskripsi budaya pertanian padi di wilayah
penelitian, kategori semantis leksikon khas pertanian padi di wilayah penelitian,
analisis indeksikalitas, kearifan lokal masyarakat, dan upaya pelestarian kearifan
lokal yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah penelitian.
18
Bab V (kelima) merupakan penutup tesis ini. Bab ini berisi dua sub bab,
yaitu: sub bab simpulan dan sub bab saran. Setelah bab V (kelima), akan
disertakan daftar pustaka yang dijadikan rujukan saat penulisan tesis ini, dan
lampiran – lampiran yang diperlukan untuk mendukung reliabilitas dan validitas
penelitian ini.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian – penelitian Sebelumnya
Sebelum abad XX, para ahli linguistik menyatakan kemungkinan adanya
hubungan antara bahasa dan budaya. Bahkan, Thomas Jefferson, presiden
Amerika yang ketiga (berkuasa pada 1801-1809), menganjurkan agar para ahli
linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian dengan tujuan
untuk mengungkap budaya dan tradisi mereka. Hingga akhirnya seorang tokoh
antropolog Amerika kelahiran Jerman, Franz Boas (1858 – 1942), berhasil
melakukan beberapa penelitian mengenai budaya dan bahasa masyarakat Eskimo
yang disajikan dalam karyanya On Alternating Sounds pada tahun 1888. Karya
brilian Boas yang menjadikannya pelopor linguistik antropologi adalah kajian
filologi bahasa Indian Amerika yang terangkum apik dalam bukunya Handbook of
American Indian Languages (1911/1941). Buku ini berisi tentang uraian lengkap
di bidang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk
mengungkapkan makna dari bahasa – bahasa Indian Amerika. Penelitian –
penelitian Boas ini berhasil mengungkap wilayah kajian yang lebih luas di bidang
linguistik dan dapat membuka kemungkinan dilakukannya penelitian yang
mengkaji hubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran. Peneliti lain yang
mengkaji hubungan bahasa, budaya dan pikiran antara kain Sapir – Whorf
(1921/1956), Hymes (1964), dan seterusnya. Berikut ini akan dibahas beberapa
penelitian bahasa yang berhubungan dengan budaya dan kearifan lokal.
20
Pertama, Ni Wayan Sartini menulis artikel berjudul Menggali Kearifan
Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati. Tulisan ini dimuat di jurnal Filsafat
Universitas Gadjah Mada pada halaman 111–120 yang terbit bulan Agustus 2004,
Jilid 37, Nomor 2. Tulisan Sartini berisi pemikiran – pemikiran filsafati yang
menjelaskan tentang pentingnya eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya
bangsa. Sartini juga berpendapat bahwa perlu ada upaya – upaya kritis terhadap
eksistensi kekayaan luhur bangsa itu terkait dengan adanya perubahan budaya.
Lebih lanjut lagi, Sartini memberikan pelbagai pemikirannya mengenai konsep,
contoh, dan kemungkinan perubahan kearifan lokal sebagai pengaruh lintas
budaya dan globalisasi.
Kedua, Dwi Haryanti dan Agus Budi Wahyudi, dari Universitas
Muhammadiyah Surakarta menulis artikel berjudul Ungkapan Etnis Petani Jawa
di Desa Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten: Kajian Etnolinguistik.
Artikel ini dimuat dalam Kajian Linguistik dan Sastra (yang diterbitkan oleh
Fakultas Ilmu Budaya Universitas gadjah Mada), Volume 19, No.1, Juni 2007, di
halaman 35–50. Tulisan Haryanti dan Wahyudi tersebut merupakan laporan hasil
penelitian mereka di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Subjek
dalam penelitian mereka adalah para petani di tujuh desa di wilayah Kecamatan
Klaten, sedang objek penelitiannya adalah ungkapan para petani di wilayah
tersebut. Metode penelitian yang digunakan kedua peneliti ini adalah metode
deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan simak catat untuk
memperoleh data. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan
metode analisis etnografi yang diajukan Spradley dan metode padan referensial.
21
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan para petani di Kecamatan
Cawas terdiri atas dua bentuk, yaitu: satuan lingual kata dan frasa. Satuan lingual
kata yang diperoleh dalam penelitian tersebut berjumlah 170 kata, 10 ungkapan
berbentuk kata majemuk, dan 73 ungkapan berupa frasa. Lebih lanjut lagi, kedua
peneliti tersebut menjelaskan maksud atau makna berbagai ungkapan tersebut
yang terangkum dalam 8 (delapan) budaya pertanian.
Ketiga, Inyo Yos Fernandes menulis hasil penelitiannya di jurnal terbitan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, yaitu: Kajian Linguistik dan
Sastra Volume 20, No. 2, terbit bulan Desember 2008, pada halaman 166 – 177.
Tulisannya yang berjudul Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa
sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada
Masyarakat Petani dan Nelayan ini merupakan laporan hasil penelitiannya
tentang pertanian dan nelayan tradisional di Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Timur. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji dan
mendalami serta memahami pengetahuan tradisional yang mengutamakan
ekologi, hubungan serasi yang terjalin antarmanusia, manusia dengan Pencipta,
dan manusia dengan alam. Inti penelitian Fernandes ini adalah tentang manusia
dan nilai – nilai kemanusiaan (humanity values). Subjek penelitian Fernandes ini
adalah para petani dan nelayan, sedang objek penelitiannya adalah ungkapan dan
kategori linguistik bahasa Jawa yang dihasilkan oleh masyarakat di daerah
penelitian. Sampel penelitian Fernandes terdiri atas para petani di desa Wonosari
(daerah perbukitan Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur), desa Kemuning Sari
(Jember, Jawa Timur), dan para petani di desa Petung Kriyana (Pekalongan, Jawa
22
Tengah). Selain itu, Fernandes memilih para nelayan di desa Puger (Jember, Jawa
Timur), dan para nelayan di desa Kemadang (Gunung KIdul, DIY). Lebih lanjut
lagi, Fernandes menggunakan metode etnografi dan metode ethno – science dalam
kerangka kerja etnolinguistik.
Dalam laporan penelitiannya, Fernandes menyatakan bahwa berdasar
ekspresi dan kategori linguistik bahasa Jawa, masih ada sebuah mitos yang
diyakini oleh para petani Jawa yang ditunjukkan dalam upacara ritual sebelum
masa tanam padi. Upacara ini merupakan refleksi rasa syukur kepada Tuhan,
dalam hal ini ‘Dewi Sri’. Lebih lanjut lagi, Fernandes menyatakan bahwa kearifan
lokal masyarakat Jawa, khususnya di Jawa tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,
dan Jawa Timur dapat diketahui melalui ranah bahasa yang diperlihatkan melalui
kategori dan ekspresi linguistiknya, dan dengan keanekaragaman bentuk bahasa
yang dapat diamati. Fernandes menutup laporan penelitiannya dengan sebuah
simpulan bahwa pola pikir dan pandangan hidup petani dan nelayan yang tampak
dan terekam dalam makna yang terjalin secara tersirat maupun tersurat (dalam
ekspresi dan kategori linguistik) dapat digunakan untuk mengklarifikasi
kemampuan pemilik budaya akan sistem pengetahuan (kognisi) yang terekam
dalam bahasa sebagai bagian integral dari kebudayaan.
2.2 Perihal Linguistik Antropologi
2.2.1 Pengertian
Linguistik merupakan ilmu yang dinamis dan terus bermetamorfose.
Dikatakan demikian karena linguistik, sebagai ilmu, terus berkembang dan
bercabang menjadi berbagai macam ilmu, sebagai misal psikolinguistik
23
sosiolinguistik, linguistik antropologi, pragmatik, analisis wacana, dan seterusnya.
Sebagaimana Koentjaraningrat (1983) menyatakan bahwa linguistik merupakan
salah satu dari pelbagai ilmu sosial dasar yang dapat terus berkembang dan
menghasilkan banyak ilmu turunannya. Kajian ilmu linguistik dan kaitannya
dengan budaya (yang bersifat anakronik) melahirkan ilmu linguistik antropologi
atau linguistik kebudayaan. Boas telah mempelopori kajian linguistik kebudayaan
sejak tahun 1888. Tokoh linguistik budaya yang lain adalah Sapir dan Whorf
(1921/1956), Hymes (1964), dan sebagainya. Saat ini, hasil kajian Boas menjadi
acuan bagi perkembangan linguistik antropologi, baik dalam bidang linguistik
struktural maupun dalam studi kognisi manusia.
Pengertian linguistik antropologi berikut diajukan oleh Foley (1997: 3)
sebagai berikut:
Anthropological linguistics is that sub – field of linguistics which is
concerned with the place of language in its wider social and cultural
context, its role in forging and sustaining cultural practices and social
structures.
Foley memandang bahwa linguistik antropologi adalah sub ilmu
linguistik yang berfokus pada kajian bahasa dalam konteks sosial dan budaya.
Selain William A. Foley, seorang ilmuwan linguistik budaya adalah Duranti
dengan karyanya Linguistic Anthropology (1997); ia mendefinisikan ilmu
antropologi linguistik dengan singkat sebagai berikut: “Linguistic anthropology
will be presented as the study of language as cultural resource and speaking as a
cultural practice” (Duranti, 1997:2). Dari pernyataan tersebut tampak bahwa
Duranti mengacu pada pengertian antropologi linguistik yang dikutipnya dari
24
Hymes sebagai berikut: Linguistic anthropology is a study of speech and
language within the context of anthropology. (Hymes, 1963 dalam Duranti, 1997).
Dengan demikian, baik Foley, Duranti maupun Hymes memandang bahwa
linguistik antropologi merupakan kajian bahasa sebagai sumber budaya dan
tuturan sebagai praktik budaya.
Definisi lain diajukan oleh Lauder (2005:81) yang menyatakan bahwa
linguistik antropologi merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah
hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa
itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Ilmu
linguistik antropologi terkadang disebut sebagai antropologi linguistik dan
etnolinguistik yang menelaah bahasa bukan hanya dari struktur semata, tapi lebih
pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Dari pelbagai
definisi linguistik antropologi tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu linguistik
antropologi atau yang lazim dikenal juga sebagai linguistik kebudayaan
merupakan suatu ilmu yang mengkaji kaitan antara bahasa dan budaya.
2.2.2 Bahasa dan Budaya
Kebudayaan (culture), secara etimologi, berasal dari bahasa Latin
cultura, yang memiliki akar kata colere, yang bermakna berkembang tumbuh.
Dari akar kata colere tersebut, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa
kebudayaan adalah sebuah pengetahuan bersama yang dimiliki, tumbuh dan
berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan kemudian pengetahuan
tersebut secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Keterkaitan antara bahasa dan budaya oleh Hymes (1966), dengan
25
merujuk tulisan Sapir (dalam Hymes 1964:128), dijelaskan sebagai berikut:
People who enact different cultures do to some extent experience
distinct communicative system, not merely the same natural
communicative condition with different customs affixed. Cultural
values and beliefs are in part constitutive of linguistic reality.
(Sapir dalam Hymes, 1964:128)
Pendapat berikutnya diajukan oleh Mc Quown (1978) dalam Nyadnya
(2009) yang menyatakan bahwa bahasa adalah instrumen utama manusia dalam
mengintegrasikan dirinya baik secara internal maupun eksternal sebagai individu
yang berfungsi dan berpartisipasi aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh Kridalaksana (1998) yang mengungkapkan bahwa
kajian tentang bahasa selalu menempatkan kajian itu dalam hubungannya dengan
kehidupan manusia. Oleh karena itu, bahasa tidak hanya bermanfaat sebagai
sarana komunikasi seorang individu dan/atau suatu kelompok untuk
mengungkapkan ide, pikiran, perasaan, pendapat, harapan, keluhan, dan
sebagainya kepada individu atau kelompok lain, akan tetapi bahasa juga dapat
berfungsi merepresentasikan masyarakat penuturnya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bahasa suatu masyarakat dapat menyingkap perilaku
berbahasa, identitas, kehidupan, hingga pelestarian budaya masyarakat
penuturnya.
Roman Jakobson, seorang linguis penting dari aliran Praha, memberikan
gagasan mengenai fungsi bahasa. Jakobson, dalam Samsuri (1988: 30),
mengatakan bahwa ada enam faktor bahasa yang sejajar kedudukannya dengan
enam fungsi bahasa. Enam faktor bahasa menurut Jakobson dipandang dari sudut
26
pembicara, pendengar, konteks, pesan, hubungan, dan kode. Jakobson
menambahkan bahwa fungsi bahasa ada enam, yaitu: fungsi ekspresif, konatif,
denotatif, fatik, metalinguistik, dan puitik.
1) Fungsi ekspresif
Fungsi ini memungkinkan bahasa dimanfaatkan untuk
menyampaikan ekspresi emosi, keinginan atau perasaan
penutur.
2) Fungsi konatif
Sebagai alat komunikasi, di sini bahasa digunakan untuk
mempengaruhi orang lain, baik secara emosional, perasaan
maupun tingkah lakunya. Oleh karenanya, orientasi bahasa
dalam fungsi ini adalah pada penerima pesan. Selain itu, bahasa
juga dapat bermanfaat untuk memberikan keterangan,
mengundang, memerintah, memberi pesan, mengingatkan,
bahkan mengancam.
3) Fungsi denotatif (informasional)
Sebagai media komunikasi, bahasa dapat digunakan untuk
menyampaikan suatu informasi. Oleh karena itu, fokus utama
fungsi ini terdapat pada makna bahasa yang sangat dekat
dengan hubungannya dengan dunia (obyek) di luar bahasa itu
sendiri.
4) Fungsi fatik (interaksional)
Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai saluran. Artinya,
27
bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan
dan mengakhiri suatu hubungan komunikasi antara penutur
dengan mitra tuturnya.
5) Fungsi metalinguistik
Bahasa dapat berfungsi sebagai media untuk menyatakan
sesuatu tentang bahasa. Oleh karena itu, fokus fungsi ini pada
kode.
6) Fungsi puitik;
Fungsi ini berorientasi pada kode dan makna secara simultan.
Kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat
memfasilitasi makna yang disampaikan penutur, sedang bentuk
dari fungsi ini adalah unsur – unsur seni, seperti rima, ritme,
metafora, dan lain sebagainya.
Malinowski, (dalam Fernandes, 2008), menyatakan bahwa bahasa
merupakan suatu anasir kebudayaan yang mampu berperan untuk memenuhi
kebutuhan sekunder manusia. Sebagaimana kita ketahui, kebutuhan manusia
terbagi menjadi dua, yaitu kebutuhan primer (pangan, sandang, papan) dan
kebutuhan sekunder (bersosialisasi, berekspresi, berbudaya, dan seterusnya).
Lebih lanjut lagi, aktivitas berbudaya merupakan salah satu kebutuhan naluri
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Pendapat selaras
dengan yang Boas yang menyatakan bahwa semua bahasa mampu menjadi alat
untuk mengungkapkan gagasan, terlepas dari perbedaan kategori formal. Dan oleh
karenanya, bahasa merefleksikan perbedaan budaya. Sebagai contoh, hasil
28
penelitian Boas pada tahun 1888 menunjukkan bahwa masyarakat Eskimo yang
tempat tinggalnya dan lingkungan di sekelilingnya merupakan wilayah bersalju
memiliki beberapa kosa kata untuk mengacu ke salju, antara lain: aput mengacu
pada salju yang berada di atas tanah; qana mengacu pada salju yang turun;
piqsirpoq mengacu pada salju yang mencair, dan qimuqsuq mengacu pada cairan
salju (Sampson, 1980: 86). Fakta ini berlainan dengan leksikon yang merujuk
pada salju di masyarakat Inggris atau Amerika yang berbahasa Inggris. Meski
wilayah Eropa dan Amerika juga memiliki pengalaman dengan salju, namun
kehadiran salju tidak menjadi dominasi di kehidupan sehari – hari mereka. Oleh
karena itu, bahasa Inggris hanya memiliki satu leksikon untuk salju yaitu “snow”.
Dengan demikian, dapat diambil suatu simpulan bahwa persepsi dan pola pikir
masyarakat Eskimo terhadap sekelilingnya mempengaruhi bahasa yang mereka
produksi.
Danesi dan Perron (1999), dengan merujuk pada Peirce (1965), menyebut
manusia sebagai homo culturalis, yang bermakna manusia adalah makhluk yang
selalu ingin memahami makna dari apa yang dijumpainya (meaning – seeking
creature). Pemikiran Peirce ini tampak selaras dengan pendapat Koentjaraningrat
(1992 [1967]) yang menyatakan bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh manusia,
dan tumbuh bersamaan dengan tumbuh kembang kehidupan manusia.
Koentjaraningrat menambahkan bahwa pengertian ini akan lebih mudah dipahami
dengan menggunakan istilah kerangka kebudayaan yang terdiri atas dua aspek,
yaitu: (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan, sebagaimana tampak dalam
Gambar 2.1. berikut ini:
29
Kerangka kebudayaan
Wujud kebudayaan Isi kebudayaan
Gambar 2.1. Kerangka kebudayaan
Lebih lanjut lagi, Koentjaraningrat (1987: 9) menjelaskan bahwa wujud
kebudayaan berupa wujud gagasan atau sistem budaya yang bersifat abstrak,
perilaku atau sistem sosial yang bersifat konkret, dan wujud fisik atau benda fisik
budaya yang bersifat sangat konkret; berikut adalah wujud kebudayaan menurut
Koentjaraningrat (1987: 5):
1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide – ide,
gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan, dan sebagainya
(pikiran/ideel/abstrak),
2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat (perilaku/kebiasaan),
3) wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia
(konkret, dapat dilihat dan diraba).
Sedang isi kebudayaan terdiri atas 7 (tujuh) unsur atau komponen. Berikut
merupakan isi kebudayaan yang diajukan oleh Koentjaraningrat (1992: 7), terdiri
atas 7 (tujuh) komponen yaitu :
1) sistem religi,
2) sistem kemasyarakatan,
3) sistem peralatan,
30
4) sistem mata pencaharian hidup,
5) sistem bahasa,
6) sistem pengetahuan, dan
7) seni.
Bahasa, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, merupakan salah satu
dari 7 unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1992: 7). Hymes dalam Purwoko
(2008a: 4) menyatakan bahwa bahasa adalah penuntun simbolis suatu budaya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan aspek penting
dalam budaya. Eratnya hubungan bahasa dan budaya ini bahkan dinyatakan oleh
Bassnet (1992) dengan ungkapan “language is the heart within the body of
culture”, yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut: “bahasa adalah
jantung di dalam budaya sebagai raganya”. Dari beberapa definisi kebudayaan dan
uraian mengenai ciri – ciri budaya tersebut, tampaklah bahwa bahasa memegang
peranan penting sebagai sarana transmisi budaya dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Begitu pentingnya penyelidikan tentang bahasa untuk mengungkap
kebudayaan suatu suku bangsa dan/atau masyarakat tertentu menyebabkan banyak
ahli antropologi yang melibatkan penyelidikan bahasa dalam penelitiannya.
Kaitan erat bahasa dan budaya ini telah banyak diteliti oleh para ahli
budaya maupun bahasa yang dipelopori oleh Boas, seorang figur sentral dalam
tradisi antropologi Amerika dan linguistik antropologi (Foley, 1997: 194). Kiprah
Boas diteruskan oleh murid – muridnya Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf.
Pendapat keduanya sebenarnya melanjutkan pemikiran – pemikiran Boas yang
kemudian dikenal sebagai hipotesis Sapir – Whorf. Sapir dan Whorf menyatakan
31
bahwa terdapat hubungan antara bahasa dengan pikiran dan telah melahirkan
konsep yang lebih populer dengan teori relativitas bahasa (linguistic relativity).
Teori relativitas bahasa atau yang disebut sebagai hipotesis Sapir – Whorf ini pada
prinsipnya menjelaskan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat bahasa
ditentukan oleh struktur bahasanya dan kategori semantis yang ada dalam bahasa
tersebut dan yang diwarisi bersama kebudayaannya (Kridalaksana, 2001: 187).
Pada awalnya, perhatian hipotesis ini tertuju pada hubungan antara bahasa dan
cara pandang dunia dari penuturnya dan yang kebanyakan terlihat dalam tata
bahasa (gramatikanya). Selain itu, dapat pula diamati melalui pemakaian kosa
katanya. Gagasan Sapir yang terkenal yaitu tentang analisis kosakata suatu bahasa
yang diungkapkan Sapir (1949) dalam Foley (1997: 198) berikut ini:
This brings us to the nature of language as a symbolic system, a method of referring to all possible types of experience. The natural or, at any rate, the naïve thing is to assume that when we wish to communicate a certain idea or impression, we make something like a rough and rapid inventory of the objective elements and relations involved in it, that such an inventory or analysis is quite inevitable, and that our linguistic task consists merely of finding of the particular words and groupings of words that correspond to the terms of the objective analysis.
Gagasan mengenai analisis kosakata ini juga dinyatakan oleh Whorf
sebagaimana Foley (1997: 200) menggambarkannya sebagai berikut: “Semantic
organization is the central Principle of Linguistic Relativity, because it is really in
alternative meanings or interpretations that diverse languages differ”. Dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip pokok dari relativitas bahasa
adalah organisasi semantik, hal ini disebabkan bahwa dalam makna – makna dan
interpretasi – interpretasi alternatif itulah bahasa tampak benar – benar berbeda.
32
Organisasi semantik akan terlihat jelas komponen – komponennya dalam analisis
kosakata. Hal ini karena setiap leksikon atau kosakata memiliki komponen
semantiknya masing – masing.
Gagasan mengenai analisis kosakata yang diungkapkan oleh Sapir dan
Whorf ini diikuti banyak linguis untuk turut melakukan penelitian kosakata untuk
menguak lingkungan fisik dan sosial serta nilai budaya di tempat para penutur
suatu bahasa berdiam. Sebagaimana Sartini (2009) menyatakan bahwa gagasan
Sapir – Whorf mengenai analisis kosakata ini dapat dimanfaatkan untuk menguak
lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu bahasa berdiam serta hubungan
antara kosakata dan nilai budaya yang bersifat multidireksional. Gagasan Sapir –
Whorf ini menguatkan kembali teori relativitas bahasa yang mereka ajukan
sebelumnya. Sapir – Whorf, dalam konsep relativitas bahasa, menyatakan bahwa
cara pandang suatu etnik terhadap dunia di sekitarnya dapat diamati melalui
bahasanya. Dengan demikian, bila suatu etnik berbeda bahasa dengan etnik lain,
dapat dipastikan bahwa etnik – etnik tersebut memiliki budaya yang berbeda.
Sebagaimana yang dinyatakan (Sapir [1929], 1949b:162, dalam Duranti, 1997:60)
sebagai berikut: “No two languages ever sufficiently similar to be considered as
representing the same social reality. The worlds in which different societies live
are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached”
(tidak ada dua bahasa apapun yang dianggap cukup sama saat merepresentasikan
realitas sosial yang sama).
Gagasan mengenai analisis kosakata ini juga diungkapkan oleh
Fernandes (2008) yang menyatakan bahwa kategori dan ekspresi linguistik
33
khususnya tutur lisan yang masih hidup di kalangan suatu komunitas akan selalu
mengandung cara pandang dan pola pikir kolektif yang dihasilkan melalui
komunikasi masyarakat etnik seperti yang terekam dan diolah melalui sistem tata
bahasanya. Ia menambahkan bahwa wacana budaya msyarakat penutur suatu
bahasa tertentu dapat terbentuk melalui kajian mengenai relasi antar unit lingual
yang berupa kosakata (leksikon) yang ditemukan dalam bahasa tersebut. Di
samping itu, pola pikir masyarakat penutur bahasa terebut juga akan tampak
melalui leksikon maupun sistem tata bahasa di dalam mitos atau lagu khas yang
terdapat dalam masyarakat tersebut, baik yang tersirat maupun tersurat.
Pada hakikatnya linguistik antropologi merupakan penyelidikan terhadap
makna – makna dalam praktik – praktik linguistik yang tercakup dalam lingkup
praktik budaya (Foley, 1997:5). Dalam kaitannya antara budaya dan bahasa, Foley
(1997:7) berpendapat bahwa dalam proses pengungkapan makna sebenarnya
meliputi pengungkapan hubungan sejarah bahasa dan sekaligus praktik – praktik
budaya. Hal ini dikarenakan bahasa memuat banyak kata dan ungkapan yang
menunjukkan khasanah makna dan praktik – praktik linguistik konvensional
sekaligus hubungan masyarakat budaya saat ini dengan masyarakat budaya
sebelumnya. Pendapat lain diajukan oleh Geertz (1973) dalam Foley (1997:16)
yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem makna dari suatu
masyarakat yang ditunjukkan dan diungkapkan melalui simbol – simbol dan
melalui perilaku yang terlihat sebagai tindakan simbolis.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelidikan mengenai
makna untuk mengungkap budaya suatu masyarakat amatlah penting untuk
34
dilakukan, mengingat bahwa praktik – praktik budaya mengandung muatan
makna.
2.2.3 Ruang Lingkup
Kajian linguistik antropologi berfokus pada tiga objek utama,
performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), partisipasi
(participation) (Duranti, 1997:14–20). Berbicara mengenai ketiga fokus kajian
tersebut, paparan berikut berusaha mengulas ketiga objek linguistik antropologi
ini.
1) Performansi
Linguistik antropologi berfokus pada kajian performansi.
Kajian performansi sendiri tidak bisa dipisahkan dengan apa yang
disebut dengan kompetensi. Purwoko (2009) menyatakan bahwa
kompetensi linguistik seorang penutur asli suatu bahasa akan
tercermin melalui pengetahuan tentang tiga macam kaidah
penggunaan bahasa (‘tata bahasa’, ‘tata krama’, ‘tata interaksi’).
Dengan merujuk pada Hymes (1984), Purwoko (2009), menambahkan
bahwa setiap penutur bahasa memiliki rentang kompetensi (range of
competence); yang terdiri atas dua jenis, yaitu: short range dan long
range competencies. Short range competence (rentang kompetensi
pendek) dinyatakan Purwoko (2009) sebagai potensi atau kapasitas
seorang penutur bahasa sejak lahir (innate capacity). Sedang long
range competence (rentang kompetensi panjang) berkaitan dengan
sosialisasi dan dinamika sosial, yang berkenaan dengan language
35
usage (kaidah bahasa) dan language use (penggunaan bahasa),
sepanjang hidup seorang penutur bahasa.
Bahasa sebagai media komunikasi dan media bagi manusia
untuk berbudaya menjadi objek penelitian bila bahasa tersebut telah
diujarkan. Hal ini dikarenakan bahwa sebaik apapun pengetahuan atau
kompetensi seorang penutur, pengetahuan itu tidak akan dipahami
oleh orang lain bila tidak ditampilkan atau diujarkan (performed)
(Purwoko, 2009: 106). Purwoko (2009) menambahkan bahwa
linguistic performance yang tampak dalam ucapan seseorang menjadi
sangat krusial bagi pengamat linguistik, termasuk linguistik budaya.
Dari penjelasan tersebut, kita dapat ambil kesimpulan bahwa dalam
produksi ujaran suatu bahasa, performansi sama penting atau bahkan
lebih penting daripada kompetensi untuk diamati oleh peneliti
(Purwoko, 2009).
2) Indeksikalitas
Sebelum berbicara mengenai indeksikalitas, terlebih dahulu
akan dibahas mengenai konsep tanda. Berikut ini adalah konsep tanda
yang diajukan oleh Guiraud (1971/1978: 22):
A sign is a stimulus – that is, a perceptible substance – the mental image of which is associated in our minds with that of another stimulus. The function of the former is to evoke the latter with a view to communication.
Guriaud menambahkan bahwa ‘a sign is always marked by
an intention of communicating something meaningful’. Meskipun
demikian, intention ini mungkin tidak disadari oleh pemilik tanda
36
tersebut.
Tanda selalu berdasar hubungan konvensional (yang
mungkin lebih lemah atau lebih kuat) antara signifier dan signified.
Oleh karena itu, ada dua tipe utama hubungan, yaitu apakah hubungan
antara signifier dan signified itu motivated atau unmotivated (arbitrer).
Motivasi merupakan hubungan alami antara signifier dan signified.
Motivasi melepaskan tanda dari konvensi. Guiraud menyatakan
hubungan antara motivasi dan konvensi sebagai berikut:
The weaker the motivation, the more constraining the convention has to be; and in extreme cases it alone is able to ensure the efficacy of a sign in which there is no perceptible relation between signifier and signified. The sign is then said to be non – motivated and arbitrary (Guiraud, 1971/1978:26)
Saussure (1916) menyatakan bahwa tanda terdiri atas dua
aspek yaitu : a signifier (penanda) dan a signified (Petanda), dimana
hubungan antara keduanya memerlukan persetujuan atau konvensi
implisit dari para penggunanya. Kant (1798/1974) dalam Duranti
(1997:17) membedakan tanda menjadi dua, yaitu tanda arbitrer dan
tanda alami (natural). Tanda linguistik, misal huruf - huruf yang
mewakili bunyi linguistik; kata; dan seterusnya, merupakan salah satu
tanda arbitrer yang berdasar atas konvensi budaya suatu komunitas.
Sedang adanya asap yang menandai adanya api merupakan suatu
tanda atau fenomena alamiah (Kant [1974] dalam Duranti, 1997:17).
Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep tanda yang diajukan
oleh Saussure (1916).
37
Peirce (1965) dalam Foley (1997) membedakan tanda
linguistik menjadi tiga, yang masing – masing tergantung pada kadar
motivasinya, yaitu: icon, index, dan symbol. Foley (1997) menjelaskan
bahwa tanda linguistik (baik yang berupa icon, index, maupun symbol)
memiliki dua kutub: bentuk fisik (signifier) dan makna (signified).
Foley menjelaskan bahwa icon merupakan suatu tanda dimana ada
kedekatan dan kemiripan yang tampak jelas antara bentuk dan makna
yang digambarkan oleh tanda tersebut. Sebagai contoh; gambar laki –
laki atau perempuan di atas toilet merupakan representasi visual yang
disederhanakan untuk menunjukkan mana yang toilet laki – laki dan
toilet perempuan. Gambar ikonik itu sendiri berdasar konvensi
masyarakat penggunanya, yang bisa saja tidak akan dipahami oleh
orang asing, contoh: oleh suku pedalaman Papua. Senada dengan
Foley, Duranti (1997:205) menambahkan bahwa ikon adalah tanda –
tanda yang digunakan untuk menggambarkan karakter suatu benda
yang mirip dengan referent yang diwakilinya. Aspek – aspek
ikonisitas bunyi bahasa dapat berupa bahasa khusus atau universal,
kata–kata onamatopoik adalah contoh dari ikon. Contoh, bunyi kucing
di Indonesia ‘meong’, di Inggris/Amerika di tirukan dengan bunyi
‘meow’. Pada dasarnya bunyi–bunyi itu diupayakan menyerupai bunyi
aslinya.
Index dijelaskan Foley (1997) sebagai suatu tanda yang
memiliki makna yang diinterpretasikan dari konteks ujarannya.
38
Sedang Duranti (1997) menjelaskan indeks sebagai suatu tanda yang
digunakan untuk mengidentifikasi suatu objek, bukan karena
kesamaan atau analoginya, akan tetapi karena beberapa hubungan
spasial maupun temporal dengan objek yang diacunya (Duranti,
1997:207). Indeks terdiri atas dua jenis yaitu tanda non – linguistik
dan tanda linguistik. Index dapat berupa pemilihan bahasa untuk
menunjukkan solidaritas atau perbedaan sosial. Contoh index non
linguistik adalah adanya awan hitam menunjukkan akan adanya hujan
(Foley, 1997:26), sedang contoh index yang linguistik adalah
pemilihan penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah formal dan
bahasa daerah pada ranah informal. contoh lain dari index linguistis
adalah penggunaan kata ganti orang kedua yang membedakan antara
tu dan vous (bahasa Perancis); kamu dan anda (bahasa Indonesia);
sampéyan, njenengan, kowé/ko, dan rika (bahasa Jawa); antum dan
anta (bahasa Arab).
Simbol merupakan tanda yang tidak memiliki motivasi dan
bersifat arbitrer. Oleh karena itu, simbol sebagai unmotivated sign
memiliki hubungan antara tanda dengan yang ditandainya sebagai
suatu konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun –
temurun dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan
fisik maupun kontekstual. Dengan kata lain, perbedaan penggunaan
atau pemilihan simbol ini bersifat arbitrer dan ditentukan oleh
konvensi budaya dari generasi ke generasi (Saussure, 1916; dalam
39
Foley, 1997). Sebagai misal, di beberapa wilayah di Jawa, kain
segitiga berwarna merah, kuning, putih, atau hitam yang dipasang (di
ujung gang/jalan) menandakan ada kematian di daerah tersebut. Akan
tetapi bendera kuning yang banyak dikibarkan saat masa kampanye
menandakan golongan partai tertentu. Konsep ini tentunya akan
berlainan dengan masyarakat budaya lain. Lebih lanjut lagi, konsep
simbol sangat sesuai dengan konsep tanda yang diajukan oleh
Saussure, dimana tanda dinyatakan memiliki hubungan yang arbitrer
antara bentuk dan maknanya. Grammar (aturan tata bahasa) juga
merupakan konvensi masyarakat, meski peraturannya terkadang
sangat ketat, namun dari aturan grammar tersebut tampaklah
bagaimana bentuk budaya masyarakat penggunanya. Sebagai contoh:
penggunaan tense dalam bahasa Inggris menunjukkan bahwa
masyarakat penggunanya memiliki disiplin waktu. Lain halnya dengan
tata bahasa Indonesia yang sistem waktunya tidak ketat maka di
Indonesia mengenal budaya jam karet. Contoh lain yang menunjukkan
tingginya konvensi masyarakat dalam pembentukan bahasa adalah
kata tree dalam bahasa Inggris, ‘pohon’ dalam bahasa Indonesia, dan
arbre merujuk pada sebuah bentuk yang sama yaitu makhluk hidup
yang memiliki akar, daun, batang, bunga, buah, dan seterusnya.
Bentuk yang sama dengan berbagai penamaan yang berbeda ini jelas
menunjukkan kuatnya konvensi masyarakat pengguna bahasa tersebut.
Penggunaan bahasa dipenuhi dengan ekspresi linguistik yang
40
berkaitan dengan aspek – aspek konteks sosiokultural. Ekspresi –
ekspresi linguistik khas ini berfungsi sebagai indeksikalitas bagi
berbagai aspek sosiokultural itu berhubungan dengan sistem atau
aturan (tata bahasa), karena apabila tidak ada sistem maka nilai – nilai
budaya masyarakat tersebut tidak dapat diketahui (Duranti (1997).
Oleh sebab itu, indeksikalitas menjadi salah satu fokus dalam kajian
linguistik antropologi.
3) Partisipasi
Linguistik antropologi memandang bahwa pembicara
(speakers) merupakan pelaku sosial. Budaya membutuhkan adanya
partisipasi, sebagaimana Duranti (1997:46) menyatakan bahwa
budaya merupakan suatu sistem partisipasi. Pemikiran ini memandang
bahwa budaya merupakan suatu sistem praktik–praktik kebiasaan dan
didasarkan pada asumsi bahwa setiap tindakan di dunia, termasuk
komunikasi verbal, memiliki kualitas sosial, kolektif dan partisipatori
dari para pelaku budaya. Duranti (1997:21) menambahkan pentingnya
kegiatan partisipasi dalam penelitian budaya sebagaimana dalam
kutipan berikut: “One of the reasons to explore the notion of
participation in the study of cultural practices has been the
differentiation that characterizes any community or group of people”
Dari penjelasan – penjelasan tersebut dapat dilihat kaitan erat
antara performansi, indeksikalitas, dan partisipasi. Dengan melakukan
kegiatan partisipasi dalam kajian budaya dan bahasa, maka akan dapat
41
menemukan data linguistik yang merupakan hasil performansi para
penutur bahasa. Dalam data linguistik itulah (biasanya) terdapat
indeksikalitas yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kekhasan
sosiokultural suatu komunitas bahasa (Duranti, 1997:19–22).
2.2.4 Pendekatan
Para peneliti linguistik antropologi banyak menggunakan
berbagai pendekatan penelitian untuk mengungkap budaya dari objek
penelitiannya. Ada lima pendekatan diungkapkan oleh Ola (2010)
sebagai berikut:
a. Pendekatan struktural
b. Pendekatan semiotik
c. Pendekatan hermeneutik dan fenomenologi
d. Pendekatan etik vs emik
e. Pendekatan etnografi dan wacana
Dalam penelitian linguistik antropologi, pada dasarnya
kelima pendekatan tersebut terkait satu sama lain. Berikut ini akan
dijelaskan kelima pendekatan penelitian linguistik antropologi tersebut
masing – masing.
Ad.a Pendekatan struktural merupakan pendekatan penelitian
linguistik antropologi dengan menggunakan analisis bentuk,
makna dan fungsi bahasa untuk mengungkapkan budaya. (Ola,
2010).
Ad.b Pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang dimanfaatkan
42
untuk penelitian linguistik antropologi yang berhubungan
dengan simbol – simbol budaya yang digunakan oleh suatu
masyarakat budaya, baik simbol verbal maupun non verbal.
(Ola, 2010).
Ad.c Pendekatan hermeneutika dan fenomenologi, menurut tulisan
Putri (2007, memiliki tiga komponen pokok, yaitu: adanya
pesan yang disampaikan (biasanya dalam bentuk teks), ada
sekelompok penerima pesan yang asing dengan pesan tersebut,
dan adanya perantara yang menjembatani kedua pihak tersebut.
Hermeneutika mengenal dua aliran pokok, yaitu aliran romantik
dan fenomenologi. Aliran romantik berfokus pada konsepsi
bahasa dan penafsirannya, sedang aliran fenomenologi berfokus
pada kontradiksi yang memandang fenomena sebagai teks yang
mengundang pertanyaan yang kemudian diinterpretasikan.
Ad.d Pendekatan Etik dan Emik merupakan kajian budaya melalui
makna bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat budaya.
Menurut Duranti (1997), etik merupakan kajian makna yang
diperoleh dari pandangan orang di luar komunitas budaya
tersebut. Emik, sebaliknya, merupakan nilai – nilai makna yang
diperoleh melalui pandangan orang yang berada dalam
komunitas budaya tersebut. Penelitian linguistik antropologi
mikro (semantis) secara umum menggunakan pendekatan emik,
sedang penelitian makro (non makna) menggunakan pendekatan
43
etik. Pendekatan ini memiliki prinsip bahwa yang paling
mengenal budaya suatu kelompok etnik adalah kelompok etnik
itu sendiri. Akan tetapi, terkadang pemilik budaya tidak tuntas
dalam menjelaskan isi budaya yang dimilikinya tersebut. Oleh
karena itu, pendekatan etik dan emik diperlukan sinergi dan
berkonfigurasi agar menghasilkan penelitian yang menyeluruh
dan objektif. Untuk menjembatani kedua pandangan ini, maka
penelitian observasi – partisipasi sangatlah diperlukan agar hasil
penelitian lebih objektif (Duranti, 1997).
Ad.e Pendekatan etnografi merupakan pendekatan yang berhubungan
dengan pemakaian bahasa dalam konteks. Pendekatan etnografi
memandang bahasa sebagai bagian dari ekspresi budaya. Sedang
pendekatan wacana menyatakan bahwa pemakaian bahasa
merupakan bentuk wacana. Brown dan Yule (1996) menyatakan
bahwa pemakaian bahasa selalu melibatkan pertimbangan –
pertimbangan kontekstual, baik konteks linguistik maupun
konteks non linguistik, yang didalamnya termasuk konteks
sosial budaya.
Dalam penelitian ini, secara umum peneliti menggunakan kolaborasi
kelima pendekatan tersebut. Hal ini dilakukan karena kelima pendekatan tersebut
saling berkaitan satu sama lain. Pendekatan etnografi juga dilakukan karena
pendekatan ini memiliki dua karakteristik yang dapat digunakan untuk
penyelidikikan mendalam mengenai budaya dan bahasa. Kedua jenis pendekatan
44
etnografi ini yaitu etnografi deskriptif (konvensional, interpretatif) dan etnografi
kritikal (kritis, emansipatif) seperti diungkap oleh (Poerwandari dalam
Mudjiyanto, 2010). Fokus kajian kedua jenis etnografi ini sama – sama mengenai
praktek – praktek sosial dalam kaitannya dengan sistem dan budaya makro
(Poerwandari, 2001; dalam Mudjiyanto, 2010). Penelitian mengenai budaya
pertanian suatu kelompok masyarakat ini berfokus pada etnografis deskriptif yang
berusaha mengungkap pola, tipologi dan kategori pertanian yang ada di wilayah
penelitian. Oleh karenanya, penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan
laporan etnografi yang merupakan thick description. Geertz (1973) dalam
Mudjiyanto (2010) menyatakan bahwa deskripsi yang padat diperlukan untuk
menarik kesimpulan yang luas dan sedalam – dalamnya dari fakta – fakta yang
kecil, namun memiliki struktur yang sangat padat. Oleh karenanya, deskripsi yang
padat akan mampu melampaui hal – hal faktual yang bersifat analitis dan teoritis
mengenai suatu komunitas atau kelompok. Lebih lanjut lagi, melalui analisis,
etnografi deskriptif dapat mengungkap pola, tipologi dan kategori; sedang
etnografi kritis berusaha mengungkap faktor – faktor sosial makro dan asumsi –
asumsi tersembunyi dari komunitas tersebut.
Metode etnografi, menurut Duranti (1997: 84 – 100), merupakan metode
yang menggunakan pendekatan observasi – partisipatori dan kerja sama dengan
para penutur asli. Lebih lanjut lagi, Duranti mengungkapkan bahwa metode
etnografi komunikasi mampu melihat variabilitas komunikasi suatu komunitas,
dan memiliki kelebihan untuk mengungkap jenis identitas yang digunakan
bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas tersebut tercipta dalam
45
komunikasi di suatu komunitas budaya. Identitas itu sendiri pada hakekatnya
merupakan perasaan anggota budaya tentang diri mereka sebagai komunitas. Oleh
karena itu, metode etnografi dapat dimanfaatkan untuk penelitian budaya melalui
kajian bahasa masyarakat budaya itu.
Pendekatan etnografi dimaksudkan untuk memperoleh kata – kata (gloss)
interpretasi lokal dari bahan penelitian hasil komunikasi yang direkam para
peneliti saat penelitian. Teknik observasi – partisipasi, dan wawancara mendalam
sangat diperlukan untuk memperkaya data penelitian. Lebih lanjut lagi, Spradley
(1980) mengajukan beberapa langkah etnografi yang disebut sebagai alur maju
bertahap (Developmental Research Sequences). Langkah – langkah tersebut terdiri
atas dua belas langkah, yaitu:
1) menetapkan informan,
2) mewawancarai informan,
3) membuat catatan etnografis,
4) mengajukan pertanyaan deskriptif,
5) menganalisis hasil wawancara,
6) membuat analisis domain,
7) mengajukan pertanyaan struktural,
8) membuat analisis taksonomik,
9) mengajukan pertanyaan kontras,
10) membuat analisis komponen,
11) menemukan tema-tema budaya,
12) menulis laporan etnografi.
46
Dari 12 langkah dalam metode etnografis di atas tampak jelas pentingnya
data bahasa (tuturan lisan) dalam penelitian linguistik antropologi. Hal ini
diperkuat pendapat yang dikemukakan oleh Shopen (1979) dalam Purwoko
(2008) yang menyatakan bahwa data bahasa berbentuk tuturan lisan, terutama
data bahasa yang berupa rekaman dari penutur aktual sangatlah penting dalam
penelitian bahasa dan budaya. Ia menjelaskan bahwa data rekaman dari penutur
aktual jauh lebih realistis, kaya dan komplit. Oleh karenanya, banyak ahli bahasa
berkesimpulan bahwa penggunaan bahasa tidak bisa dipisahkan dari maksud dan
perilaku penutur pada interaksi yang bersifat aktual. Purwoko (2008a) dengan
merujuk pada (Gregersen, 1972:92, cf. Hymes 1964, 1970, 1972, 1972a,
Conquergood 1991) menambahkan:
Dan kini gagasan semacam itu saat ini menjadi titik tolak penting bagi
para ahli yang melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa
dengan metode etnografi komunikasi, karena mereka semakin percaya
bahwa, ketika berbicara, para penutur diwajibkan untuk menghasilkan
tidak hanya ujaran, yang menurut tata bahasa, bisa dipahami,
melainkan juga, ujaran, yang menurut norma budaya, bisa diterima
oleh lawan bicara dan semua pihak yang terlibat dalam komunikasi
(Purwoko, 2008a: 6).
2.3 Kearifan Lokal
2.3.1 Pengertian dan Konsep
Secara umum, kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang
hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam
kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang
sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Local
47
wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan – gagasan
setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Irianto (2009), kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai
kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau
kecerdasan setempat (local genious). Sedang Irianto (2009: 1) mendefinisikan
kearifan lokal sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di
dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada
komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas
itu berada. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa
lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi
menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal
pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antar generasi. Nilai-
nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi penyeleksian
budaya asing sekaligus sebagai media pembentukan karakter dan identitas etnik.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius, yang mula
pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara
panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain
Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity,
identitas/kepribadian budaya suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang
menyebabkan etnis tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing
sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Berikut
merupakan ciri-ciri local genious:
48
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke
dalam budaya asli
4. Mempunyai kemampuan mengendalikan
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Sedang menurut Atmaja dalam Hadi (2009:27), kearifan lokal
mempunyai ciri–ciri, sebagai berikut:
1. Memberikan pedoman bagi manusia agar bisa menyelaraskan
hubungan antar komponen yang membangun diri individu yakni
tubuh, roh, akal budi, rasa dan hasrat.
2. Memberikan pedoman dalam menyelesaikan masalah untuk
menghindarkan konflik
3. Sebagai elemen lintas warga, agama dan kepercayaan.
4. Sebagai warna kebersamaan dan identitas bagi komunitas
penganutnya.
Local genious, juga disebut cultural identity, adalah identitas/kepribadian
budaya suatu etnik atau suku bangsa yang menyebabkan komunitas tersebut
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan
sendiri (Irianto, 2009). Sedang Soedaryono (2010) menyatakan bahwa local
genious merupakan karya kreatif yang dihasilkan oleh masyarakat lokal yang
salah satunya berupa artefak. Sedang kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan
kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan
jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh
di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal
adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan
49
situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka (lihat Irianto, 2009). Sedang Soedaryono (2010)
menyatakan bahwa local wisdom atau kearifan lokal merupakan ajaran – ajaran
sistem nilai, yang merupakan proses budaya, yang menjadi acuan manusia
berperilaku dalam masyarakat itu.
2.3.2 Ruang Lingkup
Nilai – nilai kearifan lokal pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari nilai
– nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia, sehingga nilai – nilai kearifan
lokal ini dijalankan tidak semata – mata untuk menjaga keharmonisan hubungan
antar sesama manusia, manusia dengan lingkungan nya, tetapi juga sebagai
bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Purba (2005:152-153) menyatakan
bahwa pengetahuan kearifan lingkungan atau kearifan lokal dapat dikategorikan
sebagai kearifan lingkungan dan etika lingkungan. Kearifan lingkungan adalah
suatu pengetahuan lokal (folk knowledge) yang diperoleh dari pengalaman
adaptasi secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan secara turun temurun
serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan menciptakan
keserasian lingkungan. Pengetahuan kearifan lingkungan diwujudkan dalam
bentuk ideasional (norma, nilai, mitologi, atau cerita rakyat, dan lain – lain).
Aktivitas sosial (interaksi sosial, upacara adat/keagamaan, pola permukiman, dan
lain – lain) dan material (peralatan dan teknologi).
Etika lingkungan mengacu pada pilihan baik dan buruk, pilihan yang
50
bersifat individual dan holistik. Etika mengacu pada tindakan – tindakan yang
didasarkan pada moralitas. Menurut Keraf (2002:143 – 160) etika lingkungan
mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut:
a) prinsip sikap hormat terhadap alam (respect to nature),
b) prinsip tanggung jawab (responsibility to nature),
c) prinsip solidaritas kosmik (cosmic solidarity),
d) prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for
nature),
f) prinsip tidak merugikan orang lain (no harm),
g) prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam,
h) prinsip keadilan,
i) prinsip demokrasi, dan
j) prinsip integritas moral.
Kearifan tradisional (Lampe: 2009) adalah salah satu warisan budaya
yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun temurun dilaksanakan oleh
masyarakat yang bersangkutan, di mana kearifan tradisional tersebut umumnya
berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam (hutan,
tanah, dan air) secara berkelanjutan. Dalam perspektif pengelolaan lingkungan
hidup, keberadaan kearifan lokal menjadi semakin penting dan harus
diselamatkan, karena sangat membantu mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan, walaupun menurut Witoelar (2008:1) kekayaan budaya kearifan yang
pro lingkungan ini semakin terancam hilang oleh gaya hidup yang materialis –
hedonis yang konsumtif dan mengejar kesenangan semata. Lampe (2009:2)
51
menambahkan bahwa kearifan tradisional banyak yang telah ditinggalkan dan
diganti dengan perhitungan ekonomi tanpa memperhitungkan pelestarian fungsi
lingkungan hidup, sehingga menyebabkan semakin rusaknya hutan, hilangnya
mata air, dan lain – lain.
Kearifan lokal berkaitan dengan persepsi, sikap dan perilaku. Berikut ini
penjelasan mengenai ketiga konsepsi tersebut:
1) Persepsi
Persepsi, dalam bahasa Inggris perception, merupakan cara
pandang terhadap sesuatu atau mengutarakan pemahaman hasil olahan
daya pikir, artinya persepsi berkaitan dengan faktor – fakor eksternal
yang direspons melalui panca indera, daya ingat dan daya jiwa
(Marliany dalam Siswadi, 2010). Dalam arti luas, persepsi
mengandung pergertian bagaimana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu. Di sini, dengan pengetahuan yang ada dalam
dirinya yang terpengaruh oleh budaya yang telah mendarah daging di
pikirannya, manusia berusaha mengakui sesuatu, mengingkarinya,
memahami, mengaitkan, memutuskan dan menarik simpulan atas
sesuatu.
2) Sikap
Sikap berkaitan dengan suatu bentuk evaluasi atau reaksi
perasaan baik positif maupun negatif terhadap suatu objek. (Sobur
dalam Siswadi, 2010). Sobur (dalam Siswadi, 2010) menambahkan
bahwa sikap memiliki ciri khas antara lain:
52
a). Mempunyai objek tertentu (dapat berupa orang, perilaku,
konsep, situasi, benda, dan sebagainya)
b). Mengandung penilaian (positif atau negatif)
3) Perilaku
Perilaku merupakan proses interaksi antara kepribadian dan
lingkungan yang mengandung rangsangan (stimulus), kemudian
ditanggapi dalam bentuk respon. Respon terhadap stimulus inilah
yang merupakan suatu perilaku (Marliany, 2004). Perilaku ini
dipengaruhi oleh persepsi, sikap dan kepribadian serta pengalaman
seseorang. Perilaku seseorang terhadap lingkungan pada dasarnya
terdapat 2 (dua) pola, yaitu:
a) Perilaku ramah lingkungan
b) Perilaku tidak ramah lingkungan
Kearifan lokal, pada dasarnya, menghendaki perilaku suatu masyarakat yang
ramah terhadap lingkungan sekitarnya (Rohadi, 2010).
2.4 Budaya dan Kearifan Lokal
Kebudayaan secara umum tercermin dalam tiga hal, yaitu: perilaku, pola
pikir/ideologi, dan artefak (Koentjaraningrat, 1983). Ketiganya mencerminkan
kelokalan atau kekhasan budaya masyarakat budayanya. Kearifan lokal
merupakan salah satu cerminan budaya yang memuat ketiga unsur budaya
tersebut. Kearifan lokal memuat baik perilaku, etika, pola pikir (persepsi) dan
sikap, serta segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar masyarakat lokal
tersebut (artefak). Keterkaitan antara kearifan lokal dan budaya masyarakat
53
tersebut sedemikian erat, sehingga suatu kajian mengenai kebudayaan suatu
komunitas dapat dimanfaatkan untuk mengungkap kearifan lokal yang ada dan
hidup di dalam komunitas budaya tersebut.
54
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
3.1.1 Wilayah Geografis Kecamatan Sirampog
Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Desa Manggis dan Desa
Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.
Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah,
Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah Kabupaten
Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Bagian barat wilayah
Kecamatan ini merupakan dataran rendah (seperti Desa Benda, Kaliloka dan
Manggis). Di bagian timur merupakan dataran tinggi dan pegunungan, seperti
Desa Mendala, Sridadi, Kaligiri, Dawuhan, Batursari, Igir Klanceng dan
Sawangan. Sirampog merupakan produsen sayuran untuk daerah Bumiayu,
Tonjong, dan Ajibarang. Penghasil sayuran utama berada di daerah dataran tinggi.
Sirampog juga terdapat mata air Kaligiri yang menyuplai air ke Kabupaten
Brebes, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal. Penduduk Sirampog kebanyakan
adalah petani sayuran di dataran tinggi, serta petani padi di dataran rendah.
Wilayah penelitian meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3
kali dalam satu tahun. Berdasar survai awal yang telah peneliti lakukan, wilayah
Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Batursari, Benda, Buniwah,
Dawuhan, Igirklanceng, Kaligiri, Kaliloka, Manggis, Mendala, Mlayang,
Plompong, Sridadi, dan Wanareja. Desa Benda, Desa Plompong dan Desa
Manggis merupakan wilayah desa yang masih mengalami panen sebanyak 3 kali
55
dalam 1 tahun, atau lebih tepatnya 3 kali dalam 13 bulan karena dihitung dengan
masa pengolahan tanah sebelum tanam padi berikutnya. Ketiga desa tersebut
berlokasi di sekitar tempat tinggal peneliti sehingga bukan tidak mungkin jika
jumlah wilayah desa yang panen sebanyak 3 kali dalam setahun akan bertambah
dengan dilakukan penelitian secara intensif.
Gambar 3.1 Peta Kecamatan Sirampog dalam Wilayah Kabupaten Brebes
Gambar 3.2 Kantor Camat Sirampog
56
Berikut ini merupakan tabel mengenai penggunaan lahan di wilayah
kecamatan Sirampog dalam Hektare (Ha) berdasar data statistik dalam buku
Kecamatan Sirampog Dalam Angka (2009).
Tabel 3.1 Luas dan Penggunaan Lahan Wilayah Kecamatan Sirampog
Desa Sawah
Lahan bukan sawah
Pekara
ngan/
bangun
an
Tegalan/
kebun
Tambak/
Kolam
Hutan
negara
Perkebunan
Negara/
swasta
Lain
- lainJumlah
Wanareja 5.2 25.86 68.48 0 420.1 1.2 4.82 526.7
Igirklanceng- 23.70 89.51 0 544.5 0 5.3
663.
1
Dawuhan-
23
.63214.19 0
1204.
60
6.6
41449
Batursari-
2
6.53109.20 0 242.9 0 5.85 384.5
Kaligiri77.3 25.79 12.78 0 131.7 8.7 3.92
2
60.2
Sridadi 215.5 31.41 82.46 0.03 423.5 28.27 14.3 795.5
Plompong194.96
5
6.18171.77 0.21 120.1 59.39
6.
63609.2
Benda235 40.75 69.82 0.37 0 5.83
13
.65
3
65.4
Kaliloka 206.9 27.04 11.40 0.22 0 3.08 4.7 253.3
Manggis 213.7 42.48 100.91 0 0 31.4 4 392.5
Mlayang 132.3 23.72 103.93 0 0 37.5 4.68 302.1
57
Mendala 232.9 49.35 73.30 0 0 23.2 12.37 391.1
Buniwah 229.5 44.58 22.96 0 0 8.8 6.1 311.9
Jumlah 1743.2 441.02 1130.7 0.83 3087.4 207.37 92.96 6703.5
Untuk menggambarkan kondisi objek wilayah penelitian, peneliti akan
berusaha mendeskripsikan secara menyeluruh mengenai sejarah desa wilayah
penelitian, keadaan monografi dan demografi wilayah penelitian, deskripsi
penduduk wilayah penelitian berdasarkan tingkat pendidikan, berdasarkan mata
pencaharian, dan situasi kebahasaan wilayah penelitian.
3.1.2 Sejarah Nama Sirampog
Sirampog, atau yang sering disebut juga dengan cirampog, memiliki
legenda mengenai asal usul nama Kecamatan tersebut. Berdasar hasil wawancara
dan informasi dari para informan maupun para warga di Kecamatan Sirampog,
diketahui bahwa penamaan “Sirampog” berasal dari sebuah cerita nyata yang
terjadi di masa lalu di daerah tersebut. Konon, pada jaman dahulu kala wilayah
Kecamatan Sirampog adalah wilayah yang rawan perampokan dan perampasan di
jalan - jalan. Selain itu, banyak terjadi pencurian dirumah-rumah penduduk. Pada
suatu ketika ada sekelompok pencuri yang hendak merampok di sebuah rumah
penduduk. Mereka mencoba masuk rumah tersebut dengan menggali terowongan
yang akan tembus di rumah yang dirampoknya itu. Singkat cerita, kawanan
pencuri itu selesai menggali dan berhasil tembus ke rumah yang akan dicurinya
tersebut. Ketika mereka berniat masuk rumah tersebut di dini hari, mereka
58
menyusuri terowongan yang mereka buat dan saat kepala pencuri pertama mulai
muncul di lubang terowongan di rumah yang akan dicurinya tersebut, seorang
wanita lanjut usia, penghuni rumah tersebut, memergoki kedatangan mereka. Dia
kemudian siap menghadang kawanan pencuri tersebut, dan kemudian langsung
memukuli kepala para pencuri yang muncul di lubang di rumahnya itu sambil
berteriak, “kiya rampoke kena, kiye si rampoke wis kecekel, tulung tulung, kiye si
rampoke kena, ana rampok, kiye rampoke wis kena”. Setelah kejadian tersebut,
wilayah itu menjadi buah bibir di berbagai daerah sekitarnya dan terkenal karena
berhasil menangkap perampok yang meresahkan warga. Akhirnya lambat laun,
daerah tersebut dikenal dengan nama “Sirampog”
3.1.3 Sejarah Nama Desa Mendala
Nama Desa Mendala berasal dari dua kata, yaitu ‘maenda’ yang
bermakna kambing dan ‘la’ yang berarti segala. Secara filosofis, desa ‘Mendala’
bermakna bahwa di desa tersebut segala sesuatu pengetahuan dalam kehidupan
penduduk desa tersebut diawali dengan pengenalan kasih saying dan kepedulian
terhadap hewan kambing. Konon ceritanya pada zaman dahulu kala, wilayah Desa
Mendala masih merupakan hutan belantara, sampai akhirnya seorang kyai dari
Cirebon, bernama Kyai Iskak datang ke tempat tersebut untuk menyebarkan
ajaran Islam dan sekaligus membuka hutan di daerah itu menjadi perkampungan.
Seiring waktu beliau juga memeperkenalkan kepada para penduduk cara beternak
kambing dengan maksud agar nantinya para penduduk yang telah beragama akan
mampu merawat kambing dan nantinya mau memberikan (menyumbangkan)
kambingnya untuk memenuhi kebutuhan syiar agama, khususnya pada saat hari
59
raya Idul Adha (Idul kurban). Oleh karena itu, desa tersebut akhirnya terkenal
dengan ternak kambingnya dan berhasil menjadi penghasil kambing untuk
keperluan desa tersebut dan desa – desa di sekitarnya.
3.1.3 Sejarah Nama Desa Plompong
Gambar 3.3 Kantor Kepala Desa Plompong
Nama Desa Plompong berasal dari dua versi cerita yang sama-sama
diyakini kebenarannya oleh para warganya. Versi pertama sering diceritakan oleh
para warga desa Plompong yang sudah lanjut usia (± 60 tahun). Mereka meyakini
bahwa pada zaman dahulu kala, wilayah desa Plompong masih berupa hutan dan
belum ada pemukiman penduduk. Daerah kosong tanpa penghuni tersebut banyak
ditumbuhi pohon yang bernama ‘pohon lompong’, yaitu sejenis pohon petai cina.
60
Oleh karena itu, daerah tersebut di sebut desa Plompong. Hingga kini, masih
banyak pohon petai cina di pinggir jalan di desa Plompong.
Versi kedua banyak diceritakan oleh para warga desa dan tokoh desa
yang berusia 40 – 50 tahun. Mereka menyatakan bahwa pada awalnya desa
mereka di sebut dengan desa ‘Telaga Sari’ karena ada telaga yang sangat besar
dan bisa mengairi seluruh sawah di desa mereka. Saat ini, telaga tersebut hanya
tinggal berukuran ± 100 m2, bertempat di dusun Cirendu, wilayah Desa
Plompong. Mereka meyakini bahwa pada zaman dahulu kala, saat Indonesia
masih dijajah oleh Belanda, para pemimpin desa sering dikumpulkan di balai
kawedanan. Desa Plompong termasuk wilayah kawedanan Bumiayu. Konon
ceritanya, setiap pertemuan para pemimpin desa di balai kawedanan Bumiayu,
pemimpin Desa Plompong hanya bengong dan mulutnya selalu ‘melompong’.
Akhirnya, pemimpin Desa Plompong dijadikan bahan ledekan dan dipanggil
‘mlompong’. Karena itulah lambat laun wilayah desa ‘Telaga sari’ ini di sebut
dengan desa ‘Plompong’.
3.1.4 Sejarah Nama Desa Benda
Desa Benda, menurut para informan dan para tokoh desa, berasal dari
kata ‘banda’ yang bermakna harta benda. Konon cerita, dulu desa tersebut
merupakan wilayah bekas aliran sungai keruh. Oleh karena itu, banyak tanah di
desa itu mengandung bebatuan besar, hingga warga desanya tidak bisa membuat
sumur untuk keperluan sehari – hari mereka. Kemudian, suatu hari ada
rombongan kerajaan Sunda yang sedang perang gerilya melewati daerah tersebut
dan mengatakan bahwa mereka sedang singgah di desa yang penuh dengan
61
‘banda’. Mereka meyakini bahwa desa tersebut mengandung ‘banda’ yang tidak
ternilai harganya. Akhirnya, lambat laun desa tersebut dinamai dengan desa
‘Benda’.
3.1.5 Keadaan Demografi
Secara umum, masyarakat di Kecamatan Sirampog masih mencerminkan
masyarakat berkebudayaan Jawa, yang masih menjalani berbagai adat dan budaya
Jawa, seperti: gotong royong, tenggang rasa, saling menolong, dan sebagainya.
Masyarakat Kecamatan Sirampog mayoritas beragama Islam taat dan sehingga
sudah tidak banyak lagi orang yang melakukan ritual atau adat Jawa seperti
sedekah bumi, membuat sesajen, dan sebagainya.
3.1.6 Keadaan Monografi
Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes Jawa Tengah
Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah Kabupaten
Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Wilayah penelitian
meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3 kali dalam satu
tahun. Wilayah Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Desa Buniwah,
Dawuhan, Igirklanceng, Kaligiri, Kaliloka, Batursari, Benda, Manggis, Mendala,
Mlayang, Plompong, Sridadi, dan Wanareja. Desa Benda, Desa Plompong dan
Desa Mendala merupakan wilayah yang paling produktif di bidang pertanian padi.
a) Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Masyarakat Desa Mendala merupakan masyarakat yang sangat
menghargai pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal. Di desa
62
Mendala sendiri terdapat 2 (dua) TK swasta yaitu TK ABA di Dusun Karang
Pucung, dan TK Pertiwi di Dusun Kalijeruk; 3 (tiga) SDN yaitu SDN Mendala I
di Dusun Karang Pucung, SDN Mendala II di Dusun Sabrang, dan Madrasah
Maarif NU di Dusun Karang Anyar. Sekolah informal berupa TPQ (Taman
Pendidikan Al-Quran) diadakan setiap sore ± pukul 16.00 – 17.30 di semua dusun
di Desa Mendala. Selain itu kegiatan pembelajaran mengaji atau belajar membaca
Al Qur’an banyak diselenggarakan di masjid – masjid maupun mushola di seluruh
wilayah Desa Mendala setiap bada Maghrib. Desa Mendala juga telah memiliki 3
(tiga) sekolah setingkat SMP yaitu, MTs Muhammadiyah di Kalijeruk, MTs
Maarif NU di Dusun Karang Anyar. Sekolah menengah atas (SMA) ada 1 (satu),
yaitu: SMA Negeri I Sirampog. Sedang sekolah setingkat SMA ada 1 (satu), yaitu
SMK Muhammadiyah I Sirampog (jurusan Otomotif, Komputer dan Menjahit) di
Dusun Kalijeruk.
Di desa Plompong sendiri terdapat 3 (tiga) TK swasta yaitu TK ABA di
Dusun Krajan, TK ABA di Dusun Ciku, dan Raudhotul Athfal di Dusun Gunung
Sumping; 3 (tiga) SDN yaitu SDN Plompong I di Dusun Krajan, SDN Plompong
II di Dusun Ciku, dan SDN Gunung Sumping di Dusun Gunung Sumping. Selain
itu, terdapat 2 (dua) madrasah (setingkat SD), yaitu Madrasah Ibtidaiyah
Alfalahiyah di Dusun Krajan dan Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatussibyan di Dusun
Gunung Sumping. Sekolah informal berupa TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran)
diadakan setiap sore ± pukul 16.00 – 17.30 di semua dusun di Desa Plompong.
Selain itu kegiatan pembelajaran mengaji atau belajar membaca Al Qur’an banyak
diselenggarakan di masjid – masjid maupun mushola di seluruh wilayah Desa
63
Plompong setiap bada Maghrib. Desa Plompong juga telah memiliki 3 (tiga)
sekolah setingkat SMP yaitu, MTs Muhammadiyah di Dusun Krajan, MTs Maarif
NU di Dusun Karang Mangu, dan MTs Salafiyah di Dusun Karang Mangu.
Sekolah setingkat SMA ada 4 (empat), yaitu: MA Muhammadiyah dan SMK
Muhammadiyah (jurusan Otomotif dan Menjahit) di Dusun Krajan; dan MA
Maarif NU dan SMK Maarif NU (jurusan Otomotif dan Menjahit) di Dusun
Karang Mangu. Pendidikan informal juga diadakan melalui pendidikan
berasrama, yaitu pondok pesantren. Desa Plompong memiliki 2 (dua) pondok
pesantren, yaitu: Pondok Pesantren Hj. Maemanah di Dusun Krajan dan Pondok
Pesantren Kyai Ikyas di Dusun Karang Mangu.
Seperti halnya Masyarakat di desa Mendala dan desa Plompong,
masyarakat di desa Benda termasuk masyarakat yang sangat menyadari
pentingnya pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Di desa
Benda sendiri terdapat 2 (dua) TK swasta yaitu TK AlHikmah 1 di Dusun Karang
Mulya, dan TK AlHikmah 2 di Dusun Karang Tengah; 3 (tiga) SDN yaitu SDN
Benda I di Dusun Karang Mulya, SDN Benda II di Dusun Jetak, dan SDN Benda
III di Dusun Kratagan. Selain itu, terdapat 3 (tiga) madrasah (setingkat SD), yaitu
Madrasah AlHikmah I di Dusun Karang Mulya, Madrasah AlHikmah II di Dusun
Kratagan, dan Madrasah Maarif NU di Dusun Karang Mulya. Sekolah informal
berupa TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) diadakan setiap sore ± pukul 16.00 –
17.30 di semua dusun di Desa Benda. TPQ di Desa Benda sendiri berjumlah 7
(tujuh) buah. Selain itu kegiatan pembelajaran mengaji atau belajar membaca Al
Qur’an banyak diselenggarakan di masjid – masjid maupun mushola dan di
64
pondok pesantren di seluruh wilayah Desa Benda setiap bada Maghrib. Desa
Benda juga telah memiliki 6 (enam) sekolah setingkat SMP. Sekolah setingkat
SMA ada 7 (tujuh), yaitu: sebuah SMA AlHikmah I, 5 (lima) Madrasah Aliyah
(MA), dan 2 (dua) SMK, yaitu: SMK ALHikmah I (jurusan Otomotif,
Elektronika, Permesinan, Gambar Bangunan), dan SMK AlHikmah II (jurusan
Sekretaris, Komputer Jaringan, Menjahit/Tata Busana, Tata Rias). Pendidikan
informal juga diadakan melalui pendidikan berasrama, yaitu pondok pesantren.
Desa Benda memiliki 2 (dua) pondok pesantren besar yang sudah terkenal di
Indonesia, yaitu: Pondok Pesantren Al Hikmah I pimpinan Kyai Haji Masruri dan
Pondok Pesantren Jetak pimpinan Kyai Haji Ali.
b) Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat Desa Mendala, Plompong, dan
Benda adalah bekerja di bidang pertanian. Ketiga wilayah desa tersebut tidak
memiliki irigasi teknis, namun ada pengairan ½ teknis dengan membuat saluran
air dari sumber mata air Kaligiri, Kubang, dan sungai - sungai yang bisa
dimanfaatkan untuk pengairan sawah. Selain pertanian, masyarakat desa Mendala,
Plompong, dan Benda juga memiliki peternakan ayam buras/ayam kampung,
angsa dan peternakan bebek. Di samping peternakan unggas, terdapat beberapa
peternak sapi/lembu, kerbau, kambing, domba, dan kelinci. Selain itu, sebanyak
357 orang di desa Mendala mencari nafkah dengan berdagang, karena telah ada
sebuah pasar, yaitu di Dusun Kalijeruk. Jumlah peternak besar di desa Plompong
(sapi, kerbau, kambing, dan domba) sebanyak 75 orang dan peternak kecil (ayam,
itik, bebek, dan kelinci) sebanyak 250 orang. Jumlah peternak di desa Benda
65
adalah sebanyak 17 orang peternak besar (sapi, kerbau, kambing, dan domba) dan
691 orang peternak kecil (ayam, itik, bebek, dan kelinci).
Sebagai akibat perkembangan teknologi dan informasi, kini semakin
banyak masyarakat Kecamatan Sirampog, terutama pria dan banyak generasi
muda (baik putra maupun putri) yang melakukan urbanisasi dengan mengadu
nasib untuk bekerja di luar wilayah Desa Benda, misal di Surabaya, Bandung,
Yogyakarta, Bogor, Bekasi, Lampung maupun Jakarta.
3.1.7 Keadaan Monografi
a) Desa Mendala
Desa Mendala terletak di ketinggian ± 700 m di atas permukaan laut
dengan suhu udara maksimal 280C. Desa ini berbatasan dengan Kabupaten Tegal
di sebelah utara, Desa Kaligiri di sebelah timur, Desa Sridadi dan Mlayang di
sebelah selatan, dan Desa Buniwah di sebelah barat. Luas wilayah Desa Mendala
adalah 391, 065 Ha. Desa mendala berhasil meraih predikat sebagai desa
swasembada dengan skor tinggi pada tahun 1998. Lahan pertanian padi (sawah) di
Desa mendala ini seluas 210 Ha (pengairan ½ teknis) dan 22,72 Ha sawah dengan
pengairan sederhana. Luas tanaman tegalan sebesar 79,52 Ha, tanah pekarangan
66,75 Ha dan sisa lahan merupakan pemukiman penduduk, hutan, perkebunan,
tanah basah, dan ladang dengan berbagai macam sayuran (kol, kubis, sawi, dan
lain – lain). Jumlah penduduk Desa Mendala adalah ± 5.772 orang (yang tercatat
di data kependudukan Kecamatan Sirampog dalam Angka 2009 yang diterbitkan
pada bulan Agustus 2010). Dari jumlah penduduk tersebut, sebanyak 1.137 orang
66
merupakan petani (pemilik lahan), dan 1.435 orang merupakan petani penggarap
dan buruh tani.
Desa Mendala merupakan suatu desa setingkat kelurahan di Kecamatan
Sirampog, Kabupaten Brebes. Desa ini terdiri atas 4 kelompok Rukun Warga,
yang terdiri atas 12 Dusun, yaitu Dusun Kubang Bogo, Dusun Padanama, Dusun
Kalijeruk, Dusun Igirbohong, Dusun Karang Pucung, Dusun Karang Anyar,
Dusun Munggasari, Dusun Karang Salam, Dusun Krajan, Dusun Sabrang, Dusun
Babakan, dan Dusun Cupang Bungur. Selain itu desa ini secara keseluruhan
terdiri atas 25 rukun tetangga dengan jumlah perangkat desa sebanyak 18 orang
dan jumlah anggota BPD sebanyak 11 orang. Karena desa ini dipimpin oleh
kepala desa yang mekanisme pemerintahannya dipilih melalui pemilihan secara
langsung sehingga kepala desa dan perangkatnya memperoleh tanah bengkok desa
sebagai penghasilannya.
Desa ini berjarak ± 1 – 8 km dari pusat Kecamatan Sirampog dengan
akses jalan kelas 2 yang lumayan baik dan jalan provinsi yang mengubungkan
Kecamatan Sirampog dan Kecamatan Bumiayu.
Fasilitas listrik dari Negara telah sampai di desa ini pada tahun 1995.
Masuknya fasilitas penerangan ini merupakan salah satu faktor penting atas
perkembangan dan kemajuan desa, serta perubahan budaya dan sikap hidup
masyarakat Desa Mendala.
b) Desa plompong
Desa Plompong terletak di ketinggian ± 600 m di atas permukaan laut
dengan suhu udara maksimal 320C. Desa ini berbatasan dengan Desa Melayang di
67
sebelah utara, Desa Wanareja di sebelah timur, Desa Cilibur di sebelah selatan,
dan Desa Adisana di sebelah barat. Luas wilayah Desa Plompong adalah 600, 224
Ha. 176,05 Ha dari luas wilayah Desa Plompong tersebut merupakan lahan
pertanian padi (sawah). Luas tanaman jagung sebesar 40 Ha, dan sisa lahan
merupakan pemukiman penduduk, hutan, perkebunan, tanah basah, dan ladang
dengan berbagai macam tanaman (kedelai, kacang, kunyit, kapulaga, dan lain –
lain). Jumlah penduduk Desa Plompong adalah ± 7.956 orang (yang tercatat di
data kependudukan Kecamatan Sirampog dalam Angka 2009 yang diterbitkan
pada bulan Agustus 2010). Dari jumlah penduduk tersebut, sebanyak 1.861 orang
merupakan petani (pemilik lahan), dan 1.904 orang merupakan petani penggarap
dan buruh tani.
Desa Plompong merupakan suatu desa setingkat kelurahan di Kecamatan
Sirampog, Kabupaten Brebes. Desa ini terdiri atas delapan Rukun Warga (dusun)
yaitu Dusun Krajan, Dusun Kedung Benter, Dusun Karang Mangu, Dusun
Cirendu, Dusun Legok Kenang/Karang Kemiri, Dusun Karang Gedang, Dusun
Ciku, dan Dusun Gunung Sumping. Selain itu desa ini secara keseluruhan terdiri
atas 48 rukun tetangga dengan jumlah pamong sebanyak 12 orang dan jumlah
anggota BPD sebanyak 11 orang. Karena desa ini dipimpin oleh kepala desa yang
mekanisme pemerintahannya dipilih melalui pemilihan secara langsung sehingga
kepala desa memperoleh tanah bengkok desa sebagai penghasilannya.
Desa ini berjarak ± 15km dari Kecamatan Sirampog dengan akses jalan
kelas 3 yang rusak parah dan bergelombang. Desa ini dipisahkan sebuah sungai
besar, yaitu Sungai Keruh. Saat ini pondasi jembatan Sungai Keruh rusak parah,
68
dan hanya bisa dilewati oleh sepeda motor [berita terbaru baca Suara Merdeka,
edisi Minggu, 14 Agustus 2011]. Bila jembatan ini putus, maka akses ke Desa
Plompong akan putus total dan desa ini menjadi terisolir dari daerah lainnya.
Gambar 3.4 Jembatan Sungai Keruh
Fasilitas listrik dari Negara telah sampai di desa ini pada tahun 1998.
Masuknya fasilitas penerangan ini merupakan salah satu faktor penting atas
perkembangan dan kemajuan desa, serta perubahan budaya dan sikap hidup
masyarakat Desa Plompong.
c) Desa Benda
Desa Benda terletak di ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut
dengan suhu udara maksimal 320C. Desa ini berbatasan dengan Desa Kali Jurang
(Kecamatan Tonjong) di sebelah utara, Desa Penggarutan (Kecamatan Bumiayu)
69
di sebelah timur, Desa Manggis di sebelah selatan, dan Desa Kali Gadung di
sebelah barat. Luas wilayah Desa Benda adalah 365,425 Ha. Sebesar 587 Ha dari
luas wilayah Desa Benda tersebut merupakan lahan pertanian padi (sawah). Luas
tanaman ubi kayu sebesar 2 Ha, dan sisa lahan merupakan pemukiman penduduk,
hutan, perkebunan, tanah basah, dan ladang dengan berbagai macam tanaman
(kacang panjang, singkong, dan lain – lain). Jumlah penduduk Desa Benda adalah
± 8.855 orang (yang tercatat di data kependudukan Kecamatan Sirampog dalam
Angka 2009 yang diterbitkan pada bulan Agustus 2010). Dari jumlah penduduk
tersebut, sebanyak 1.842 orang merupakan petani (pemilik lahan), dan 3.035
orang merupakan petani penggarap dan buruh tani.
Desa Benda merupakan suatu desa setingkat kelurahan di Kecamatan
Sirampog, Kabupaten Brebes. Desa ini terdiri atas delapan Rukun Warga (dusun)
yaitu Dusun Karang Mulya I, Dusun Karang Mulya II, Dusun benda I, Dusun
Benda II, Dusun Bula Kungu, Dusun Jetak, Dusun Kratagan, dan Dusun Karang
Tengah. Selain itu desa ini secara keseluruhan terdiri atas 27 rukun tetangga
dengan jumlah pamong sebanyak 17 orang dan jumlah anggota BPD sebanyak 11
orang. Karena desa ini dipimpin oleh kepala desa yang mekanisme
pemerintahannya dipilih melalui pemilihan secara langsung sehingga kepala desa
dan perangkat desanya memperoleh tanah bengkok desa sebagai penghasilannya.
70
Gambar 3.5 Kantor Kepala Desa Benda
Desa ini berjarak ± 10 km dari Kecamatan Sirampog dengan akses jalan
kelas 2 yang kondisinya agak kurang baik. Fasilitas listrik dari negara telah
sampai di desa ini pada tahun 1995. Masuknya fasilitas penerangan ini merupakan
salah satu faktor penting atas perkembangan dan kemajuan desa, serta perubahan
budaya dan sikap hidup masyarakat Desa Benda.
3.1.8 Situasi Kebahasaan
Masyarakat di Kecamatan Sirampog merupakan cermin masyarakat Jawa
yang ramah dan masih memiliki tepa selira dan budaya gotong royong ‘sambatan’
yang masih kental dalam kehidupan sehari – hari mereka. Suasana kental
pedesaan yang masih akrab sangat terasa di desa ini. Bukan hanya lingkungan
fisik, kultur yang ada pun masih lekat dengan kehidupan desa. Dengan bahasa
pengantar bahasa Jawa tulen, dengan dialek ngapak dan termasuk masyarakat
diglosik yang memiliki bahasa pengantar sehari – hari yaitu bahasa Jawa ngoko
(dialek ngapak) dan bahasa Jawa Kromo (ngoko alus), dan bahasa Indonesia
(dengan para santri) dalam ranah formal. Selain itu, tampak banyak akulturasi
bahasa Sunda di kosakata yang digunakan sehari - hari.
3.2 Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Deskripsi
kuantitatif hanya digunakan untuk memberi gambaran jumlah kata khas yang
71
diperoleh dalam penelitian, akan tetapi secara garis besar pengolahan maupun
analisa data menggunakan deskripsi kulitatif yang tidak berfokus pada jumlah
atau perhitungan angka – angka. Subjek penelitian adalah orang yang akan bisa
dimintai informasi atau orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian.
Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah para petani, baik pemilik sawah,
penggarap maupun buruh tani di Desa Mendala, Desa Plompong, dan Desa
Benda. Sedang objek dari penelitian ini adalah leksikon, baik yang berupa kata
maupun frasa, yang berhubungan dengan pertanian padi di wilayah Kecamatan
Sirampog.
3.3 Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, seorang peneliti harus menggunakan metode
yang relevan dan dapat diandalkan dengan harapan penelitian berhasil
mendapatkan suatu fakta yang tidak terbantahkan kebenarannya. Berikut akan
dibahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
3.4.1 Metode Penyediaan Data
3.4.1.1 Observasi Partisipatori
Dalam memperoleh data, peneliti menggunakan teknik
observasi partisipatori. Kegiatan observasi partisipatori ini dilakukan untuk
melihat penggunaan bahasa secara nyata (real) dalam komunikasi
masyarakat di ranah pertanian. Teknik observasi dilakukan dengan cara
peneliti melakukan pengamatan langsung ke objek penelitian di lapangan,
yaitu sawah, sungai, sumber mata air, air terjun, dan seluruh aspek yang
berhubungan dengan pertanian padi. Teknik observasi partisipatori
72
dilakukan dengan cara mengamati dan ikut terlibat langsung dalam
kagiatan – kegiatan pertanian padi, misal: kegiatan panen, menanam,
mencangkul, membajak, dan lain sebagainya. Peneliti, lebih lanjut lagi,
mengobservasi tidak hanya kegiatan pertanian, tetapi juga seluruh situasi
sosial di objek penelitian yang sedang diamati. Sebagaimana Spradley
(1980) menyatakan bahwa sebuah objek penelitian yang sedang
diobservasi sebenarnya berisi situasi sosial. Situasi sosial tersebut terdiri
atas 3 (tiga) komponen, yaitu:
a. Tempat (place) terjadi interaksi dalam situasi sosial yang
sedang berlangsung,
b. Pelaku (actor) yang sedang memainkan peran – peran tertentu
dalam situasi sosial tersebut,
c. Kegiatan (activity) yang dilakukan di tempat dan oleh pelaku di
dalam suatu situasi sosial yang sedang berlangsung.
Bungin (2008) menambahkan bahwa tiga komponen dalam
situasi sosial yang diajukan oleh Spradley (1980) tersebut dapat diperluas,
yaitu:
a. Ruang (space), dalam arti tempat terjadinya situasi sosial
secara fisik;
b. Pelaku (actor, yaitu semua orang yang terlibat dalam suatu
situasi sosial;
c. Kegiatan (activity) yang dilakukan orang – orang dalam
situasi sosial;
73
d. Benda – benda (object) yang terdapat di tempat terjadinya
situasi sosial;
e. Tindakan (act) atau perbuatan yang dilakukan dan terjadi
dalam suatu situasi sosial;
f. Rangkaian peristiwa (event) yang terjadi di suatu situasi
sosial;
g. Urutan waktu (time) terjadinya suatu situasi sosial;
h. Tujuan (goal) yang ingin dicapai dalam suatu situasi sosial;
i. Perasaan (feeling) yang dirasakan dan diekspresikan oleh
orang – orang dalam suatu situasi sosial.
Untuk mendukung keabsahan data penelitian, peneliti
membawa beberapa alat pendukung penelitian, antara lain: kamera, buku
catatan, bolpoin, dan telepon genggam untuk merekam.
3.4.1.2 Wawancara Mendalam
Selain teknik observasi partisipatori, peneliti juga melakukan
teknik wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan dalam rangka
memperdalam dan memperkaya informasi dan interpretasi data, uji silang
keabsahan data, dan uji silang pemaknaan leksikon khas pertanian padi
yang telah diperoleh pada kegiatan observasi partisipatori. Langkah ini
dilakukan dengan merujuk pada pendekatan etik – emik dalam penelitian
linguistik antropologi. Dalam melakukan kegiatan wawancara mendalam,
peneliti menggunakan beberapa instrumen pendukung penelitian, antara
lain: buku catatan, bolpoin, kamera, dan telepon genggam untuk merekam.
74
3.4.2 Metode Pengolahan Data
3.4.2.1 Deskriptif Kualitatif
Data yang telah diperoleh melalui kegiatan obervasi
partisipatori dan wawancara mendalam, yang berupa rekaman, di olah
sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memilah – milah leksikon dan
frasa yang berhubungan dengan pertanian padi. Setelah seluruh leksikon
dan frasa berhasil dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai medan
maknanya, peneliti membuat interpretasi data untuk mendeskripsikan
budaya dan kearifan lokal masyarakat di wilayah penelitian.
3.4.2.2 Padan Referensial
Metode padan referensial (mengacu istilah Sudaryanto, 1993)
digunakan untuk menginterpretasi dan mencari makna yang tepat untuk
seluruh data yang berupa leksikon maupun frasa yang telah diperoleh.
Proses ini penting untuk dilakukan karena data yang diperoleh berupa
bahasa Jawa (dialek Ngapak campuran Banyumas – Tegal), yang tidak
semua orang (di Indonesia) bisa mengerti dan memahaminya. Metode
padan referensial juga penting dilakukan dalam rangka mengetahui
komponen semantik setiap leksikon dan frasa, sehingga peneliti kemudian
75
dapat mengelompokkan leksikon dan frasa tersebut sesuai dengan medan
maknanya.
3.4.2.3. Inferensial
Setelah seluruh data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis
dengan proses pemaknaan referensial, penulisan transkripsi fonetis, dan
deskripsi kualitatif, selanjutnya peneliti melakukan langkah berikutnya
yaitu inferensial (Krippendorf, 1990), dan triangulasi seluruh data yang
diperoleh dalam penelitian. Data observasi partisipatori, wawancara
mendalam, dan observasi non partisipatori dimanfaatkan untuk membuat
triangulasi data. Langkah ini dilakukan untuk mengkaji indeksikalitas,
mengambil konten dan simpulan budaya, serta kearifan lokal yang ada di
wilayah penelitian, Kecamatan Sirampog.
3.4.3 Metode Penyajian Hasil Penelitian
Dalam menyajikan hasil penelitian, peneliti menggunakan
metode informal, artinya penyajian dalam tesis ini berupa kata – kata dan
tidak menggunakan rumus ataupun bentuk matematis lainnya. Metode ini
dipilih karena penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang lebih
mementingkan interpretasi data yang kaya dan mendalam, dan tidak berfokus
pada kuantitas data.
76
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasar penelitian yang telah dilaksanakan dengan menggunakan
metode pengamatan, wawancara mendalam, partisipasi, dan bantuan informan,
peneliti memperoleh data kosakata khas di wilayah penelitian. Sebagaimana
dinyatakan oleh Duranti (1997), masyarakat budaya memiliki kompetensi dan
performansi. Hal ini tampak dari kompetensi kebahasaan, yang secara tidak
langsung menunjukkan budaya masyarakat tersebut, yang tercermin dalam
performansi masyarakat tersebut yaitu bahasa yang mereka produksi dalam
kehidupan nyata. Mayoritas masyarakat kecamatan Sirampog, memiliki
kompetensi kebahasaan multi lingual. Kompetensi kebahasaan yang merupakan
innate capacity sejak manusia lahir tersebut tampak jelas dari performansi
masyarakat kecamatan Sirampog yang menguasai beberapa bahasa sekaligus,
yaitu bahasa Jawa ngoko dengan dialek ngapak, bahasa Jawa ngoko alus, bahasa
Indonesia, dan sebagian kecil generasi muda yang bisa berbahasa Arab dan
Inggris.
Melalui kajian mendalam dari kosakata khas pertanian padi yang peneliti
peroleh melalui kegiatan partisipasi maupun non partisipasi, peneliti dapat
77
mengungkap pola umum pertanian yang ada di wilayah penelitian. Pola pertanian
di Kecamatan Sirampog yaitu: pengolahan lahan, persiapan benih, persemaian,
penanaman, perawatan, pemupukan, pembasmian hama, pemanenan, pengolahan
hasil panen. Dari bahasan mengenai pola pertanian yang ada di wilayah
Kecamatan Sirampog, peneliti menemukan banyak leksikon khas mengenai
pertanian. Lebih lanjut lagi dari pola pertanian, leksikon khas, dan pelbagai
kekayaan alam dan budaya masyarakat Kecamatan Sirampog, peneliti berusaha
mengungkap khasanah kearifan lokal yang masih terkandung dalam budaya
pertanian di wilayah penelitian tersebut.
4.1 Kajian Leksikal di Bidang Pertanian Padi
Dari hasil penelitian dengan melakukan wawancara mendalam dan teknik
observasi partisipasi diperoleh 241 leksikon dan frasa dan sebuah lagu yang
berkaitan dengan pertanian di masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten
Brebes, provinsi Jawa Tengah. Berikut adalah kata maupun frasa tersebut yang
disajikan dalam 10 (sepuluh) tabel daftar Leksikon (transkripsi fonetik berdasar
Marsono, 1989):
Tabel 4.1 Daftar Leksikon Kegiatan Pertanian Padi
No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna
1 mbakar dami /mbɑkɑr dami/ membakar jerami
2 ngleméng /ȠlǝmeȠ/ membalik tanah dan jerami
3 malik /malik/ Membalik
4 anglér /aȠlεr/ meratakan tanah
5 ngebak /Ƞǝbak/ mencangkul sawah
78
6 ngiléni /Ƞilεni/ memeriksa saluran air
7 mbanyuni /mbanyuni/ mengairi sawah
8 ngeléb /Ƞǝlεb/ mengaliri seluruh sawah
9 mili /mili/ mengalir
10 macul /macՍl/ mencangkul
11 mluku /mluku/ membajak sawah
12 ngluku /Ƞluku/ membajak sawah
13 numpak /numpak/ naik
14 ngarit /Ƞarit/ menyabit
15 nampingi /nampiȠi/ merapikan tembok samping sawah
16 némbok /nembϽk/ membuat pematang sawah
17 numangi /numaȠi/ membuat pematang sawah
18 ngekum /Ƞǝñkum/ merendam
19 nglerem /Ƞlǝrǝm/ mengeram benih setelah direndam
20 nipuk /nipՍk/ mengeram benih padi
21 nyabet /ñabǝt/ mencambuk
22 ndhudhuhi /nḍʰuḍʰuhi/ merapikan dan membersihkan
pematang sawah
23 didhudhuhi /ḍʰiḍʰuḍʰuhi/ pematang sawah dibersihkan dan
dirapikan
24 gepuk /gǝpՍk/ bekerja di sawah
25 nyebar /ñǝbar/ menyebar/menyemai
26 mbubut /mbubut/ mencabut
27 tandur /tandʰur/ kegiatan menanam
28 nandur /nandʰՍr/ menanam
29 dikirim /ḍʰikirim/ mengirim/mengantar
30 matun / matՍn/ membersihkan gulma
79
31 nggombrang /ŋgƆmbraŋ/ merapikan pematang sawah
32 nggarem /ŋgarǝm/ memupuk
33 ngrabuk /ŋrabՍk/ memupuk
34 nyemprot /ñǝbar/ menyemprot
35 derep /dʰǝrǝp/ memanen padi dengan ani – ani
36 mbabad /mbabadʰ/ memanen padi dengan sabit
37 nyonggah /ñƆŋgah/ membawa hasil panen dari sawah ke
rumah pemilik atau penggarap sawah
atau ke tempat penggilingan padi
38 mbawon /mbawon/ upah panen
39 ngéles /ŋelǝs/ merontokkan gabah dari jerami
dengan kaki
40 ngrontog /ŋrontogʰ/ merontokkan gabah dari jerami mesin
perontok
41 nggiser /ŋgisǝr/ menggiling gabah menjadi beras
dengan mesin penggiling padi
42 nebas /nǝbas/ membeli padi sistem ijon
43 ditebasna /ḍʰitǝbasna/ membeli padi dengan sistem ijon
44 ngaron /ŋarƆn/ menanak nasi setengah matang dengan
panci sebelum menggunakan dandang
45 adang /adʰaŋ/ menanak nasi
46 liwet /liwǝt/ menanak nasi
47 ngetim /ŋǝtim/ menanak nasi
48 marung geni /marՍŋ/ kegiatan menyalakan api
49 dhitapéni /ḍʰitapεnI/ ditampi
50 napeni /napεni/ menampi/membersihkan beras dari
kotoran
51 malakutunu /malakutunu/ makan bersama di sawah
80
52 ngrokok /ŋrƆkƆk/ merokok
53 udud /udʰudʰ/ merokok
54 nglinting /ŋlintʰiŋ/ melinting rokok
55 ngirim /ŋirIm/ mengantar makanan ke sawah
56 angon bébék /aŋƆn bebek/ menggembala bebek
57 dinténi /dʰInteni/ ditunggu/diawasi
58 ditumpaki /dʰItumpaki/ dinaiki
59 dicancang /dʰIҫancaŋ/ diikat
60 tani /tanI/ bekerja di sawah
61 mbadhog /mbaḍʰɔg/ makan
62 panén /panεn/ panen
63 nglabuh /ŋlabՍh/ persiapan benih
64 mépe /mεpε/ menjemur
65 dipépé/dipé [ḍʰipεpε/ḍʰipε] dijemur
66 ngelér /ŋǝlεr/ menyebar/meratakan
67 mupul /mupul/ mengangkat/mengambil jemuran
68 mesusi /mǝsusi/ mencuci beras
69 dipesusi /ḍʰipǝsusi/ dicuci (beras)
70 gawe pinihan /gawε pinihan/ membuat benih
Tabel 4.2 Daftar Leksikon Tentang Padi
No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna
1 winih /winih/ benih
2 pari dhuwur /pari ḍʰuwur/ padi yang tinggi (raja lele)
3 pari ir /pari I r/ padi jenis ir
4 pari sadani /pari saḍʰani/ padi jenis cisadane
5 pari ciliwung /pari ҫiliwuŋ/ padi jenis ciliwung (persilangan ir dan
81
cisadane)
6 pari ketan /pari kǝtan/ padi ketan
7 pari raja lélé /pari rajʰa lele/ padi raja lele
8 beras temen /bǝras tǝmǝn/ beras yang telah dicuci, direndam dan
dibuat setengah kering untuk diolah
menjadi tepung beras
9 gabah /gʰabʰah/ gabah (padi yang masih berkulit)
10 dhedhek wadag /ḍʰǝḍʰǝk waḍʰagʰ/ kulit padi
11 dhedhek lembut /ḍʰǝḍʰǝk lǝmbՍt/ dedak
12 merang /mǝraŋ/ kulit padi
13 beras /bʰǝras/ beras
14 intip /Intip/ nasi yang melekat di dasar panci saat
menanak nasi
15 karon /karɔn/ nasi setengah matang
16 dami /dʰami/ jerami
17 godhong /gʰoḍʰoŋ/ daun
18 menir /mǝnir/ potongan padi kecil – kecil, biasanya
tampak jelas saat beras ditampi.
dimanfaatkan untuk anak ayam.
19 sepocong /sǝpɔҫɔŋ/ satu ikat padi dan diikat dengan kulit
batang pohon pisang
20 sebengket /sǝbǝŋkǝt/ satu ikat benih padi segenggam tangan
21 glepung / gʰlǝpՍŋ/ tepung beras
Tabel 4.3 Daftar Leksikon Pertumbuhan Padi
No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna
1 thukul /tʰukul/ tumbuh bertunas
2 oyod /ɔýod/ akar
82
3 lilir /lIlIr/ padi mulai tumbuh dan beradaptasi di
sawah
4 byah /byah/ padi mulai tegak berdiri dan tumbuh
subur dan menghijau lebat daunnya
5 mapak /mapak/ tinggi padi sudah rata dan berisi susu
6 ndheluk /nḍʰǝluk/ merunduk
7 emping kuning /ǝmpiŋ kunIŋ/ tidak ada isinya
8 wayah panén /wayah panεn/ waktu panen
9 pariné lemu /parine lǝmu/ padinya gemuk
10 gabug /gʰabʰugʰ/ puso/tidak berisi
11 kopong /kɔpɔŋ/ kosong/tidak ada isinya
Tabel 4.4 Daftar Leksikon Tumbuhan di Sawah (selain padi)
No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna
1 wit cécék /wit ҫεҫεk/ pohon nangka (di pinggir
sawah/perbatasan sawah dan
kebun/ladang)
2 gori /gʰorI/ nangka muda
3 jagung /jʰagʰuŋ/ jagung
4 bodin /bʰodʰin/ singkong
5 sluweg /sluwǝgʰ/ ubi jalar tidak berasa
6 uwi /uwi/ ubi jalar kuning
7 boléd /bolεdʰ/ ubi jalar merah
8 angkrik /aŋkrik/ tanaman umbi – umbian dapat
dimakan
9 gembili /gʰǝmbʰili/ tanaman umbi – umbian dapat
dimakan
10 busil /bʰusil/ keladi kecil
11 ganyong /gʰañɔŋ/ keladi besar
83
12 kedhelé /kǝḍʰǝlε/ kedelai
13 lembayung /lǝmbʰaýuŋ/ daun kacang panjang
14 kacang /kaҫaŋ/ kacang panjang
15 kara /kara/ kacang kara berwarna coklat
16 kara gabél /kara gʰabʰεl/ kacang kara berwarna hitam dan besar
17 semanggén /sǝmaŋgεn/ tanaman air
18 kapri /kapri/ kacang kapri
19 benguk /bʰǝŋuk/ kacang koro ebesar asam jawa
20 cemongkak /ҫǝmɔŋkak/ buah mirip terong kecil (+- ukuran
kelereng) warna hijau
21 wéwéan /wewean/ genjer daun lancip
22 géndhot /gʰεnḍʰɔt/ genjer daun bundar lebar
23 suket /sukǝt/ rumput
24 genjer /gʰεnjεr/ genjer
Tabel 4.5 Daftar Leksikon Hewan di Sawah
No Leksikon Transkripsi
Fonetik
Makna
1 wereng /wǝrǝŋ/ wereng
2 walang /walaŋ/ belalang
3 lembing /lǝmbʰiŋ/ belalang sangit
4 kraca buntek /kraҫa bʰuntǝk/ keong hitam lancip
5 kraca lancip /kraҫa lanҫip/ keong hitam bulat
6 écé /εҫε/ kerang sungai
7 lenggarangan /lǝŋgaraŋan/ musang
8 kuwuk /kuwuk/ musang kecil
9 walang sangit /walaŋ saŋit/ belalang sangit
84
10 tikus /tikՍs/ tikus
11 uler /Սlǝr/ ulat
12 manuk /manՍk/ burung
13 anggang – anggang /aŋgaŋ - aŋgaŋ/ binatang serangga air
14 kebo /kǝbo/ kerbau
15 ula welang /ula wǝlaŋ/ ular belang hitam putih
16 iwak blenduk /iwak blǝnḍʰՍk/ ikan kecil, perut buncit
17 cicik melik /ҫiҫik mǝlik/ ikan – ikan kecil dan lincah bergerak
18 luwak /lՍwak/ musang berbulu halus seperti kelinci
19 blacan /blaҫan/ musang mukanya seperti tikus
20 welut /wǝlՍt/ belut
Tabel 4.6 Daftar Leksikon Makanan dan Rokok Untuk Petani di
Sawah
No Leksikon Transkripsi
Fonetik
Makna
1 kiriman /kiriman/ antaran makanan untuk petani
2 ponggol /pɔŋgɔl/ nasi
3 lawuh /lawՍh/ Lauk
4 jangan /aŋan/ sayuran yang dimasak
5 janganan / aŋanan/ sayur – mayor
6 cekelan /ҫǝkǝlan/ Pegangan
7 batiré /batire/ Temannya
8 goréngan /gorεŋan/ tahu atau tempe atau dage yang digoreng
dengan tepung
9 rempéyék /rǝmpeyek/ gorengan dari adonan tepung yang dicampur
air, kacang tanah cacah, dan bumbu;
digoreng tipis - tipis
10 krupuk /krupuk/ Kerupuk
11 karag /karag/ kerupuk dari nasi sisa ditambah bumbu dan
ragi khusus, dibuat dengan menumbuk
dengan alu dan lumpang, digiling, dijemur,
85
kemudian digoreng
12 jléthot /lεtʰɔtʰ/ krupuk dari singkong
13 dodol /dʰodʰol/ Jenang
14 lolos /lɔlɔs/ jenang setengah matang, masih lembek sekali
15 dhagé /ḍʰagε/ sisa ampas tahu, difermentasi, dibentuk
seperti tempe
16 randem /randʰǝm/ gorengan dari ampas tahu segar yang dibalut
adonan tepung
17 sambel kothok /sambǝl kɔtʰɔk/
sambal terbuat dari cabai rawit, garam dan
terasi, dihaluskan dan digoreng, diberi kuah
banyak sampai bau harum
18 jaya /jʰaýa/ merek rokok gudang garam djaja
19 jarum /jʰarum/ merek rokok djarum super
20 filter /pʰiltǝr/ merek rokok gudang garam filter
21 mbako /mbʰakʰɔ/ Tembakau
22 menyan /mǝñan/ Kemenyan
23 papir /pʰapʰir/ kertas rokok
24 cengkéh /ҫǝŋkεh/ Cengkih
25 korék jrés /kɔrεk jʰrεs/ korek batang kemasan
26 korék gas /kɔrεk gas/ korek gas
27 rokok /rɔkɔk/ rokok modern/pabrik
28 lintingan /lintiŋan/ rokok tradisional dari tembakau yang diberi
cengkih dan kemenyan dan digulung dengan
kertas khusus rokok
Tabel 4.7 Daftar Leksikon Musim dalam Pertanian Padi
No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna
1 mangsan rendheng /maŋsan rǝḍʰǝŋ/ musim penghujan
2 mangsan terang /maŋsan tǝraŋ/ musim kemarau
3 mangsan pekolih /maŋsan pǝkɔlih/ musim banyak hasil panennya
4 mangsan tikus /maŋsan tikՍs/ musim tikus
5 mangsan udan /maŋsan udʰan/ musim penghujan
6 mangsan angin /maŋsan aŋin/ musim angin
7 mangsan gabug /maŋsan gʰabugʰ/ musim puso
8 mangsan paceklik /maŋsan paҫǝklik/ musim paceklik (hasil panen
sedikit)
9 mangsan goyang /maŋsan gɔýaŋ/ musim puso
86
Tabel 4.8 Daftar Leksikon Alat Pertanian Padi
No Leksikon Transkripsi
Fonetik
Makna
1 sabet /sabǝt/ Cambuk
2 pacul /pʰaҫՍl/ Cangkul
3 wluku /wluku/ alat meratakan sawah
4 luku /luku/ alat membajak sawah/mendorong tanah dari
kayu besar yang ditarik oleh kerbau
5 garu /gʰaru/ alat membajak sawah/membalik tanah
(seperti garpu besar di bawah luku)
6 arit /arit/ Sabit
7 traktor /traktɔr/ Traktor
8 kandhi /kanḍʰi/ karung beras warna putih
9 rinjing /rinjʰiŋ/ keranjang silinder tinggi
10 jlebug /jʰlǝbug/ keranjang kubus tanpa tutup besar
11 dhunek /ḍʰunǝk/ keranjang silinder pendek
12 tumbu /tumbʰu/ keranjang kubus tanpa tutup kecil
13 rantam /rantam/ Rantang
14 kala /kala/ orang – orangan sawah
15 ani – ani /ani – ani/ ani – ani (alat pertanian tradisional)
16 alu /alu/ alat penumbuk
17 lumpang /lՍmpaŋ/ Lesung
18 tampah /tampah/ alat untuk menampi beras, bundar, dari
anyaman bamboo
19 deklit /dǝklit/ semacam lembaran karpet terbuat dari
‘kandhi’ yang digunting menjadi lembaran
dan disatukan dengan dijahit (untuk
87
menjemur gabah)
20 capon /ҫǝpɔn/ -tempat nasi
-alat untuk mencuci beras
21 klaras /klaras/ daun pisang yang telah kering
22 korék jrés /kɔrεk jʰrεs/ korek batang kemasan
23 korék gas /kɔrεk gas/ korek gas
Tabel 4.9 Daftar Leksikon Alam Berhubungan dengan Pertanian
Padi
No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna
1 sawah /sawah/ Sawah
2 kebon /kǝbɔn/ Kebun
3 petarangan /pǝtaraŋan/ halaman samping dan belakang rumah
4 ruwab /ruwab/ kotor sekali
5 ranggon /raŋgɔn/ kandang binatang
6 wangan /waŋan/ sungai agak besar
7 kali /kali/ sungai
8 curug /ҫurug/ air terjun
9 kubang /kՍbaŋ/ bendungan kecil alami (ada mata
airnya)
10 bak /bak/ bendungan kecil, buatan manusia
11 tolér /tɔler/ selang air
12 tuk /tuk/ mata air
13 balong /balɔŋ/ kolam ikan
14 galengan / galǝŋan/ pematang sawah
15 tampingan /tampiŋan/ tembok samping sawah
16 pring /priŋ/ bamboo
Tabel 4.10 Daftar Leksikon Nomina dan Adjektiva Berhubungan
dengan Pertanian Padi
No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna
1 mayoret /mayɔrεt/ pemimpin barisan bebek yang akan
digembala
2 sungu /suŋu/ tanduk
88
3 larik /larik/ baris
4 bawon /bawɔn/ upah buruh panen
5 buruh /buruh/ pekerja tani
6 wong tandur /wɔŋ tandʰur/ pekerja tanam padi
7 wong macul /wɔŋ maҫul pekerja mengolah tanah
8 wong matun /wɔŋ matՍn/ pekerja membersihkan hama tanaman
9 kilan /kilan/ ukuran satu jengkal
10 klengked /kilan/ lambat
11 klengkad –
klengked
/klǝŋkadʰ klǝŋkǝdʰ/ sifat suka menunda – nunda dan
lambat dalam bekerja
12 ketuwan/
ketuwanen
/
kǝtuwan/kǝtuwanǝn/
terlalu tua
13 léng /lεŋ/ lubang kecil di tanah
14 rong /rɔŋ/ lubang agak besar di tanah
15 kemaruk /kǝmarՍk/ rakus
16 bagi – bagi karo
kancané
/bagi – bagi karɔ kanҫane/
berbagi/ingat dengan teman
17 kentheng /kǝntʰǝŋ/ kuat
18 gelis /gǝlis/ cepat
19 bantermén /bantǝrmǝn/ cepat sekali
20 munjung /munjʰuŋ/ menggunung/ukuran penuh (tidak
rata), bahkan melebihi dan biasanya
puncaknya menyerupai kerucut
Berikut di bawah ini adalah lagu khas pertanian di wilayah penelitian:
(notasi 1 = do)
6 – 6 5 4 – 6
Ana wong macul
Wedangé kopi
6 – 6 5 – 4 – 6
89
Lagi sarapan
Gulané jawa
6 – 6 – 5 4 – 7 – 7
Lawuéh janganan
Krupuké kur siji
6 – 5 4 – 5 – 3
Kacang lenjaran
Rokoké jaya
Terjemahan dari lagu tersebut secara bebas adalah seperti berikut ini:
“Ada orang bekerja di sawah, dia sedang sarapan.
Lauknya sayur tumis kacang panjang.
Minumnya kopi, gulanya gula merah.
Kerupuknya hanya satu, rokoknya merk gudang garam djaja”
Dari kajian mengenai Leksikon khas pertanian di wilayah Kecamatan
Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah tersebut tampak jelas bahwa
lagu tersebut memiliki segenap fungsi bahasa, yaitu: fungsi komunikatif/konatif,
ekspresif, informasional/denitatif, metalinguistik, dan puitik. Dalam kaitan dengan
fungsi komunikatif dan informasional, lagu tersebut mengungkapkan adanya
kegiatan pertanian di sawah yaitu mengolah sawah. Lebih lanjut lagi dijelaskan
bahwa para pekerja di sawah sangat diperhatikan oleh para pemilik lahan dengan
menyajikan makanan dengan penuh pertimbangan kecukupan gizi. Dalam fungsi
ekspresif, tampak bahwa ada pengungkapan makna kepedulian antar sesama
90
manusia. Meski para buruh tani adalah pekerja, para pemilik lahan tetap
memperhatikan kebutuhan jasmani, yang terungkap dari makanan yang bergizi
dan memenuhi syarat empat sehat lima sempurna, serta kebutuhan rohani dengan
menyajikan kerupuk serta rokok. Sebagaimana adanya pengetahuan umum yang
mengungkapkan bahwa masyarakat Jawa banyak beranggapan makan tidak
lengkap tanpa kerupuk. Meski rokok merupakan hal yang menimbulkan banyak
kerugian (jasmani terutama), namun di lain pihak banyak orang beranggapan
bahwa rokok dapat menenangkan jiwa mereka. Berkenaan dengan fungsi
metalinguistik, tampak adanya pengkodean bahasa yang ditunjukkan melalui
pilihan – pilihan kata – kata khas masyarakat di desa, antara lain: ‘janganan
kacang lenjaran’. Lagu tersebut tidak menggunakan kata – kata lain, misal sayur
Cap Jay atau sayur lain yang tidak dikenal masyarakat di wilayah tersebut, hal ini
barangkali disebabkan bahwa sayuran kacang panjang mudah didapat dan biasa
dikonsumsi oleh masyarakat di desa tersebut. Bahasa juga berfungsi puitik, hal ini
tecermin dari penggunaan rima di suku ultima setiap baris lagu tersebut. Ada
pengulangan bunyi akhir sebagamana penggunaan rima pada lagu atau pusi lama,
misal: pantun, gurindam, maupun syair. Selain itu, dalam lagu ‘dolanan’ bertema
pertanian di atas, tersirat ekspresi budaya pertanian di masyarakat Kecamatan
Sirampog. Dalam sub bab berikut ini akan dibahas mengenai budaya pertanian,
terutama pertanian padi di wilayah penelitian.
4.2 Budaya Pertanian
Secara umum, masyarakat Kecamatan Sirampog baik yang
91
bermatapencaharian sebagai petani pemilik lahan, petani penggarap/buruh tani,
maupun masyarakat bukan petani mengetahui budaya pertanian di wilayahnya.
Hal ini tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: bahwa pertanian
merupakan kegiatan budaya lokal yang telah diturunkan dari generasi ke generasi;
pertanian merupakan mata pencaharian pokok bagi masyarakat Kecamatan
Sirampog; wilayah alam yang berupa pegunungan, hutan, sungai – sungai dan
banyak mata air di lingkungan ini mendukung budaya pertanian di wilayah
Kecamatan Sirampog.
Melalui kajian Leksikon di bidang pertanian yang telah di bahas pada bab
sebelumnya, berikut akan dijelaskan satu persatu budaya pertanian di Kecamatan
Sirampog, kabupaten Brebes, provinsi Jawa Tengah.
4.2.1 Budaya Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah, terutama lahan pertanian sawah, di Kecamatan
Sirampog diawali dengan pembakaran jerami, kemudian pencangkulan,
pembajakan dan pengairan sawah. Masyarakat Kecamatan Sirampog
mengenal beberapa Leksikon lokal dalam proses pengolahan sawah. Di
bawah ini merupakan langkah – langkah pengolahan sawah pasca panen
hingga lahan siap ditanami padi lagi. Biasanya 1 minggu setelah panen,
para petani akan mengolah jerami yang masih tersisa dengan cara dibakar
atau langsung dibenamkan di lahan pertanian. Para petani di Kecamatan
Sirampog biasanya memanfaatkan jerami padi yang diambil saat panen
untuk makanan sapi. Apabila jerami masih tersisa, para petani akan
membakar jerami itu (mbakar dami) atau membenamkan jerami tersebut
92
saat mencangkuli (macul) sawah (nglemeng). Setelah sawah dicangkul,
petani akan melakukan kegiatan mengolah tanah (nglabuh). Proses
perataan tanah ini ada dua tahap, yaitu malik/ngebak dan angler yang
terdiri atas dua macam kegiatan yaitu macul dan mluku/ngluku. Malik
adalah kegiatan membalik tanah dengan cangkul. Cara mencangkulnya
masih kasar, yang penting tanah dibalik agar lapisan tanah di atas menjadi
di bawah. Sedang ngebak merupakan kegiatan membalik tanah dengan
bajak (garu). Menurut beberapa informan, kegiatan ini sangat penting agar
kesuburan tanah terjaga dan tanah tidak jenuh. Dengan dibaliknya tanah,
maka tanah yang berhumus (subur) berada di bagian atas, dan yang sudah
kurang subur di bagian bawah sehingga diharapkan akan pulih lagi
kesuburannya.
Tahap malik/ngebak biasanya dilanjutkan dengan tahapan angler.
Angler yaitu kegiatan meratakan tanah sehingga tanah siap ditanami padi
kembali. Kegiatan Angler ada dua macam. Perbedaan ini tergantung alat
yang digunakan saat melakukan angler. Kegiatan angler yang pertama
yaitu mencangkul (macul), meratakan tanah dengan alat cangkul (pacul);
dan yang kedua yaitu mluku/ngluku yang merupakan kegiatan meratakan
sawah dengan bajak yang di bagian bawah mata bajaknya dipasang
semacam garpu besar terbuat dari besi dengan panjang lebih kurang 1 m
(wluku). Perbedaan macul saat angler dan macul saat ngebak/malik
adalah sebagai berikut: macul saat ngebak/malik tidak membutuhkan
aliran air. Sedang macul saat angler membutuhkan aliran air. Dengan
93
demikian, bila saat malik, kondisi tanah apa adanya, sedang bila angler
petani akan ngiléni sawahnya agar lembab atau lunak dan akan
mempermudah proses perataan tanah. Cara angler yang kedua yaitu
mluku/ngluku. Kegiatan mluku/ngluku dilakukan dengan cara
menggunakan wluku yang ditarik oleh kerbau. Posisi garu, semacam kayu
besar yang berfungsi mendorong tanah sawah ke depan, diletakkan
disebelah kanan dan kiri kerbau dan dibawah garu dipasang garpu besar
khusus untuk meratakan tanah. Petani akan duduk dibagian belakang
wluku sambil membawa cambuk (pecut) sambil berteriak ‘wooooo’ atau
‘heeeeemmmmm’ untuk menyemangati kerbaunya. Kegiatan ini dilakukan
hingga tanah rata permukaannya dan lembut teksturnya sehingga akan
memudahkan dalam kegiatan menanam padi. Kegiatan mluku ini juga
membutuhkan air yang banyak, sehingga kondisi tanah harus lembek dan
sawah biasanya diusahakan agar tergenang air. Jadi, tanah di
balik/dicangkul, kemudian diolah lagi dengan mencangkul lagi atau
membajaknya agar tanah rata dan siap untuk ditanami. Setelah tanah di
angler sawah akan didiamkan selama lebih kurang 10 hari, sambil
menunggu bibit padi siap ditanam.
Ketika proses mencangkul, biasanya para petani juga akan
merapikan pematang sawah (galengan) dan tembok samping sawah
(tampingan). Hal ini dilakukan karena kontur tanah di wilayah penelitian
merupakan wilayah lereng gunung Slamet dan perbukitan. Oleh karena itu,
sawah – sawah dan perkebunan di wilayah ini kebanyakan berupa
94
terasering/sengkedan. Dengan demikian, tembok di sawah – sawah di
wilayah Kecamatan Sirampog biasanya tinggi – tinggi. Rata – rata
tingginya 1 – 1.5 m. Saat padi tumbuh hingga panen, biasanya banyak
gulma dan rumput serta terjadi kerusakan di tembok – tembok sawah.
Perlu diketahui, mayoritas tanah di wilayah Kecamatan sirampog
merupakan wilayah yang tanahnya sangat labil. Bahkan pada tahun 1999
terjadi longsor hebat, hingga rumah nenek peneliti beserta kampungnya
longsor dan lenyap. Saat ini wilayah tersebut menjadi lahan serupa
kawah/kolam yang sangat luas. Karena tembok – tembok sawah banyak
ditumbuhi rumput/gulma dan banyak yang longsor, sehingga perlu
dilakukan kegiatan merapikan tembok – tembok sawah yang disebut
dengan nampingi.
Selain merapikan tembok samping sawah, petani juga merapikan
pematang sawah (galengan). Kegiatan merapikan ‘galengan’ ini ada dua
langkah, yaitu nduduhi dan nembok. Nduduhi adalah menghilangkan
rumput – rumput yang tumbuh liar di galengan dengan menggunakan
sabit (arit). Setelah rumput – rumput di galengan selesai diduduhi, para
petani melakukan kegiatan nembok. Kata nembok ini sangat menarik
perhatian peneliti, karena bila ditilik dari asal katanya, nembok berasal
dari kata tembok. Tembok dalam pengetahuan umum, merupakan dinding
yang biasanya berukuran tinggi antara 2 – 3 meter. Sehingga semestinya
kata nembok bermakna membuat tembok yang tinggi. Akan tetapi, kata
nembok di ranah pertanian di Kecamatan Sirampog bermakna membuat
95
pematang sawah (galengan) dengan alat cangkul. Pematang sawah
biasanya tingginya berkisar 15 - 30 cm dari permukaan lahan yang
ditanami padi. Jadi, sepertinya kata nampingi lebih tepat untuk kegiatan
membuat pematang sawah dan kata nembok untuk kegiatan membuat
tembok sawah yang tinggi. Namun demikian, kosakata tersebut adalah
khas budaya pertanian masyarakat di Kecamatan Sirampog.
Para petani di Kecamatan Sirampog mengenal istilah ngiléni.
Kegiatan ini meliputi hampir seluruh kegiatan tanam padi dari pengolahan
sawah hingga masa panen. Saat pengolahan sawah, biasanya para petani
akan melakukan kegiatan ngiléni. Ngiléni bermakna mengaliri sawah
dengan air. Caranya adalah, para petani ke sungai (kali) atau ke sungai
kecil (kalen). Kemudian air diperbesar alirannya dari bagian atas/hulu,
sehingga aliran kalen lancar dan kemudian aliran ditutup dan dialirkan ke
sawahnya. Air hanya dialirkan di sawah bagian paling atas, kemudian
beberapa galengan akan dibuka lebih kurang berlebar 20 – 30 cm agar air
dari lahan bagian atas bisa mengalir ke lahan yang lebih rendah. Setelah
air dirasa cukup rata di seluruh lahan sawah, maka aliran ke sawahnya di
tutup dan dialirkan lagi ke kalen. Hal ini dilakukan agar sawahnya tidak
terlalu banyak mengandung air, serta agar orang lain dapat bergantian
mengaliri sawahnya. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah subuh hingga
pukul 06.30 – 07.00. Di wilayah Kecamatan Sirampog, kegiatan ngiléni
dan berbagi air ini biasanya juga dikerjakan secara bergotong royong dan
bergantian dengan nuansa kebersamaan. Meskipun demikian,
96
sepengetahuan peneliti, ketika peneliti masih duduk di Sekolah Menengah
Pertama dan Sekolah Menengah Umum pernah beberapa kali terjadi
pertengkaran antar petani dengan petani lain karena seorang petani tidak
mau bersama – sama berbagi air dan mau menang sendiri. Namun
demikian, ketika penelitian ini dilakukan tidak ditemukan kejadian seperti
itu dan para informan pun mengatakan bahwa sekarang pembagian air
sudah rata karena ada pengurus Kelompok Usaha Tani yang mengatur
pembagian air di setiap dusun di Kecamatan Sirampog.
97
Gambar 4.1 Kegiatan mluku di Desa Mendala
4.2.2 Budaya Persiapan Benih
Setelah padi dipanen dan diolah menjadi gabah, para petani di
Kecamatan Sirampog melakukan perendaman (ngekum) dan pengeraman
(nipuk). Hasil penelitian mengungkap bahwa saat sungai – sungai yang
berlebar antara 2-3 m (yang biasa disebut wangan dengan kedalaman air
di musim kemarau rata – rata setinggi betis orang dewasa, dan kedalaman
air saat musim hujan hingga paha orang dewasa, namun saat banjir dapat
mencapai pinggang orang dewasa) masih lancar dan debit airnya masih
tinggi. Para petani biasa merendam (ngekum) gabah yang akan digunakan
sebagai benih caranya adalah sebagai berikut: gabah dimasukkan ke dalam
karung beras (yang disebut kandhi), kemudian kandhi diikat dengan tali
plastik (rafia) atau ujung kandhi hanya diikat dengan simpul mati kuat –
kuat. Setelah itu, kandhi berisi gabah tersebut dibawa ke sungai dan
ditaruh sedemikian rupa sehingga posisi kandhi tersebut terendam
seluruhnya di air. Ujung kandhi yang disimpul biasanya diletakkan di atas
tanah/batu yang agak besar di pinggir sungai dan ditindih dengan batu
besar agar tidak terbawa arus sungai. Cara lain adalah mengikat ujung
kandhi tersebut ke batang pepohonan yang banyak tumbuh di sepanjang
sungai. Bagian bawah kandhi yang terendam di sungai juga biasanya
ditopang beberapa batu besar (kira – kira sebesar kantung plastik
98
berukuran 2-3kg), dan di atas kandhi juga diletakkan 2 – 3 batu.
Peletakkan batu – batu tersebut diatur sedemikian rupa agar kandhi tidak
bergerak – gerak dan tidak terbawa arus air sungai. Perendaman ini
dilakukan selama ± 3 hari 3 malam.
Cara perendaman semacam ini sudah sangat jarang dilakukan oleh
para petani di wilayah Kecamatan Sirampog. Penyebabnya antara lain,
debit air dan lebar wangan semakin berkurang. Sebagaimana pengalaman
peneliti yang kaget dengan kenyataan di lapangan. Saat peneliti kecil
(hingga SMP kelas 1), setiap pagi saat sekolah libur, biasanya peneliti
bermain dan mandi bersama – sama kawan sebaya yang jumlahnya bisa
mencapai 15 – 20 orang. Saat itu, banyak ibu – ibu dan gadis – gadis
remaja yang mencuci di atas batu – batu dipinggir sungai dan membilas
cuciannya dengan air sungai. Batu – batu tersebut berukuran sebesar
kerbau hingga sebesar truk. Ada sebuah batu yang sangat besar namun
bentuknya menyerupai binatang gajah dan kodok, sehingga batu tersebut
disebut sebagai batu gajah dan batu kodok. Batu – batu tersebut begitu
besar dan tinggi, sehingga biasa dipanjat oleh puluhan anak – anak dan
dijadikan arena bermain terutama di pagi dan sore hari di bulan puasa.
Kebiasaan ini masih berlanjut hingga sekarang. Namun mirisnya, saat ini
wangan – wangan menjadi sempit sekali dengan lebar antara 1 – 1.5 m,
dan kedalaman airnya hanya setinggi sebetis orang dewasa pada saat
musim hujan, dan sangat sedikit saat musim kemarau. Agaknya
penebangan areal hutan pinus di bukit – bukit dan di gunung – gunung
99
menjadi penyebab utama berkurangnya fungsi sungai ini.
Setelah proses perendaman dilakukan, para petani masyarakat
Kecamatan Sirampog melakukan kegiatan pengeraman atau yang disebut
dengan nipuk atau ngelerem. Kegiatan nipuk dilakukan dengan menaruh
gabah yang telah direndam ke dalam rinjing atau dhunek atau jlebug.
Rinjing adalah alat yang terbuat dari bambu semacam keranjang, dengan
anyaman rapat dan memiliki 4 kaki. Rinjing berbentuk silinder dan bisa
memuat maksimal 15 kg beras. Dhunek semacam rinjing berukuran kecil,
akan tetapi kaki dhunek tidak sepanjang kaki rinjing, dan hanya memuat
maksimal 10 kg beras. Yang terakhir adalah jlebug atau tumbu. Jlebug
atau tumbu merupakan alat yang terbuat dari anyaman bambu rapat,
berbentuk persegi dengan ukuran dari ± 30 x 30 x 50 cm hingga yang
berukuran paling besar yaitu ± 80 x 80 x 50 cm. Jlebug lebih sering
digunakan untuk mengangkut gabah atau beras. Namun, beberapa petani
yang lahannya luas dan membutuhkan benih dalam jumlah banyak
biasanya menggunakan jlebug untuk melakukan proses nipuk. Proses
nipuk dilakukan selama ± 2 hari dua malam hingga 3 hari 3 malam sampai
tumbuh (thukul) akarnya.
4.2.3 Budaya Persemaian
Kegiatan persemaian benih padi dilakukan setelah benih siap
ditanam. Kegiatan persemaian ini dikenal dengan istilah nyebar. Nyebar
biasanya dilakukan hanya oleh 1 orang yaitu petani pemilik lahan atau
petani yang menggarap lahan tersebut. Tidak ada ritual khusus dalam
100
kegiatan persemaian. Para petani, karena masyarakat Kecamatan Sirampog
mayoritas beragama Islam, biasanya mengucapkan Basmallah dan/atau
membaca surat Alfatihah saat akan melakukan persemaian. Setelah
kegiatan menyemai benih padi (nyebar), petani akan menjaga bila lahan
yang disemai itu selalu dalam keadaan basah, tidak tenggelam oleh air,
tetapi basah/lembab/mengandung cukup air. Petani akan merawat
persemaiannya dengan cara ngiléni setiap pagi dan sore, serta pemupukan
dilakukan ketika benih padi mulai tumbuh (thukul) setelah berusia sekitar
7 hari. Petani merawat pembenihan ini dengan telaten hingga padi siap
tanam. Bibit padi yang baik adalah yang berusia 20 – 22 hari, karena kalau
terlalu lama maka padi akan terlalu tua (ketuwan/ketuwanen) dan ini tidak
bagus untuk pertumbuhan padi.
101
Gambar 4.2 Kegiatan Pertumbuhan Benih Padi di Desa Plompong
4.2.4 Budaya Penanaman
Menurut hasil penelitian dan informasi dari para informan, benih
padi yang paling baik untuk ditanam adalah benih yang berusia 21 hari.
Kemudian para petani melakukan kegiatan pengambilan benih yang biasa
disebut mbubut winih atau ngarit winih atau winihe diarit. Setelah benih
padi diambil dan dikelompokkan menjadi ikatan – ikatan bengketan, para
petani akan melakukan kegiatan tanam padi (tandur). Leksikon tandur
memiliki makna yang mengacu pada kegiatan menanam tumbuhan atau
pohon dengan jenis apapun. Akan tetapi, di wilayah Kecamatan Sirampog,
apabila ada orang mengatakan tandur maka referent yang dituju biasanya
mengacu pada kegiatan menanam padi. Kegiatan tandur umumnya
dilakukan oleh para wanita yang bekerja sebagai buruh tani. Meskipun
demikian, biasanya pemilik lahan atau petani penggarap telah memiliki
buruh tandur langganan. Sehingga, para pekerja tandur biasanya sama di
tiap – tiap masa menanam, kecuali yang bersangkutan sedang tidak bisa
bekerja atau sedang berhalangan.
Kegiatan tandur biasanya dilakukan mulai pukul 06.30 – 11.00
atau hingga selesai. Seorang pekerja “tandur akan nandur dengan berjalan
102
mundur, tangan kanan menancapkan bibit padi dan tangan kiri memegang
sebengket atau sepocong benih padi. Setiap pekerja akan nandur 3 – 4
baris (larik), dan setiap tancapan bibit biasanya berisi 3 – 5 pohon padi.
Jarak antara 1 pohon padi dengan pohon lainnya sekitar 15 – 20 cm.
Biasanya para buruh tandur hanya berdasar kira – kira saja. Biasanya 1,5
jengkal (kilan/ukuran bentang jari kelingking hingga ibu jari).
Jumlah buruh tandur tidak pasti, akan tetapi biasanya berdasar luas
lahan yang dimiliki oleh petani. Ukuran satu bau (700dm2) membutuhkan
10 – 12 pekerja tandur. Para buruh tandur rata – rata memperoleh uang
sebesar Rp 8.000 – Rp 10.000,- untuk bekerja selama 5 jam (pukul 06.00 –
11.00) dan jumlah ini akan ditambah sesuai dengan lama waktu tandur
buruh tersebut. Selain mendapatkan uang, para buruh tandur akan
mendapat makanan (dikirim) yang dibungkus daun pisang atau
dimasukkan dalam rantang (rantam). Makanan bagi para buruh tandur
sama dengan buruh macul atau ngluku yaitu nasi ditambah sayur (oseng
kacang, buncis, criwis, kobis, atau yang lainnya) dengan satu lauk (tempe,
tahu, peda [sejenis ikan asin], kerupuk, gorengan dage, atau randem, atau
¼ telur dadar). Hanya saja jumlah nasi bagi buruh wanita biasanya tidak
sebanyak bagi buruh pria, karena kebanyakan tidak habis sehingga para
pemilik lahan takut mubadzir. Orang yang ditugaskan untuk ngirim
biasanya adalah anak (usia 8 – 15 tahun) dari pemilik lahan atau orang
suruhan pemilik lahan atau terkadang salah satu buruh akan berhenti
sejenak untuk mengambil makanan kiriman di rumah pemilik lahan.
103
Biasanya yang ditugaskan mengambil makanan ini adalah buruh pria atau
buruh yang paling dipercayai oleh pemilik lahan. Bila telah dikirim oleh
pemilik sawah, maka para buruh tani akan makan bila semua buruh telah
berkumpul. Setelah selesai makan, biasanya para buruh laki – laki akan
ngrokok bila pemilik sawah memberi rokok kemasan. Namun mereka
akan menyebutnya sebagai udud atau nglinthing bila pemilik sawah
memberi mbako, papir dan menyan. Mereka akan menyalakan rokok
dengan korek jres atau korek gas tergantung pada pemberian pemilik
sawah. Setelah makan dan beristirahat selama ± 30 menit sekitar pukul
08.30 - 09.00, para buruh akan kembali bekerja hingga ± pukul 11.00.
Penanaman padi yang baik untuk satu lahan sawah adalah dengan
penanaman serentak dalam 1 hari. Sehingga, untuk memperoleh hasil
tumbuh kembang padi yang baik, para pemilik lahan yang lahannya luas
akan mengupayakan penanaman hanya dilakukan 1 hari dengan
memekerjakan banyak buruh, dan para buruh tani pun diminta mulai
menanam setelah subuh atau sekitar pukul 05.00 di pagi hari. Apabila
penanaman tidak dapat dilakukan dalam satu hari dikhawatirkan bibit
dipersemaian menjadi terlalu tua, sehingga hasil padi pun tidak maksimal.
Saat padi ditanam kondisi sawah sebaiknya basah dan mengandung
banyak air. Oleh karena itu, biasanya petani akan ngeleb sawahnya.
Ngeleb adalah kegiatan ngiléni sawah hingga sawah berair dan tanah di
sawah tergenang air hingga setinggi jari telunjuk. Hal ini untuk
memudahkan penanaman. Setelah kegiatan tandur selesai maka debit di
104
sawah dikurangi hingga beberapa bagian tanah di sawah ada yang terlihat,
tetapi sawah tetap basah dan mengandung banyak air. Oleh karena itu,
petani akan teratur ngiléni sawah setiap habis subuh hingga pukul 06.00
dan sekitar jam 04.30 sore hingga menjelang maghrib.
Gambar 4.3 Kegiatan Tanam Padi di Desa Benda
4.2.5 Budaya Perawatan
Masyarakat petani di wilayah Kecamatan Sirampog memiliki
budaya perawatan pertanian yang sangat telaten. Para petani terbiasa
ngiléni sawahnya agar tidak kekurangan air setiap pagi dan sore.
Kemudian budaya perawatan khas masyarakat Kecamatan Sirampog
adalah matun dan nggombrang. Matun adalah kegiatan mencabut rumput
dan gulma (tanaman pengganggu) yang tumbuh baik di sawah maupun di
105
pematang sawah. Biasanya buruh matun yang dipekerjakan sama dengan
buruh tandur. Gaji buruh matun sama dengan gaji tandur dan juga
mendapat kiriman. Biasanya tumbuhan pengganggu yang banyak tumbuh
adalah rumput liar, genjer (di wilayah penelitian lebih sering disebut
dengan gendot, berdaun bundar dan lebar, bisa dimakan), wewean (genjer
yang berdaun lancip, tidak biasa dimakan), tumbuhan pacar air, dan
pelbagai tumbuhan liar yang biasanya kecil – kecil dan pendek – pendek.
Matun biasanya dilakukan setelah padi berumur 30 hari (1 bulan).
Kegiatan berikutnya adalah nggombrang; yakni: kegiatan merapikan
pematang dan tembok samping di sawah. Kegiatan ini dilakukan dengan
menggunakan pacul.
4.2.6 Budaya Pemupukan
Berdasar pengamatan dan wawancara mendalam dengan para
informan, diketahui bahwa Para petani di Kecamatan Sirampog mayoritas
menggunakan pupuk modern dan tidak menggunakan pupuk kandang
(rabuk). Mereka memupuk (nggarem), bukan ngrabuk, rata – rata 2 – 3
kali dari masa persemaian hingga panen. Nggarem adalah kegiatan
pemupukan lahan pertanian, dalam hal ini sawah. Mayoritas petani di
wilayah penelitian memupuk menggunakan pupuk atau garam urea dan
ZA, atau yang lebih sering mereka sebut sebagai garem abang dan garem
putih. Garem abang merujuk pada pupuk KCL, sedang garem
putih/garem biasa merujuk pada pupuk urea atau ZA. Pupuk urea
biasanya digunakan dengan tujuan agar tanaman memiliki daun yang hijau
106
dan lebat. Sedang pupuk ZA dimanfaatkan untuk memperkuat akar padi.
Para petani padi di wilayah penelitian melakukan kegiatan
pemupukan sebanyak dua sampai tiga kali. Akan tetapi rata – rata petani
hanya memupuk dua kali. Berdasar hasil wawancara mendalam dengan
para petani yang masih tradisional, mayoritas dari mereka memupuk padi
sebanyak dua kali, yaitu pada saat padi berumur 2 minggu dan berumur
1.5 bulan (6 minggu) dengan menggunakan pupuk Urea dan TSP. Sedang
pupuk KCL jarang digunakan karena mahal harganya. Para petani yang
telah mengikuti penyuluhan di kelompok tani dan para petani yang juga
merangkap sebagai ketua atau pengurus kelompok usaha tani menyatakan
bahwa pemupukan sebaiknya dilakukan sebanyak tiga kali. Pemupukan
pertama dilakukan dengan menggunakan pupuk TSP 1 hari sebelum benih
disemai di lahan, berikutnya ketika benih padi berumur 15 hari. Tanaman
padi juga akan diberi pupuk ZA/Urea saat berumur 10 hari dan dengan
pupuk ZA, Urea, dan KCL saat berumur 36 hari. Para petani yang
mengikuti penyuluhan kelompok usaha tani disarankan menggunakan
pupuk berimbang agar hasil panen lebih maksimal. Pupuk berimbang ini
tersusun atas campuran beberapa jenis pupuk yang memiliki komposisi
yaitu ZA 2.5 Kw, Urea 2 Kw, dan KCL 50 kg per hektar sawah.
Penggunaan pupuk berimbang akan menghasilkan padi sebanyak 7 – 8 ton
gabah per hektar sawah. Hasil ini ± 2 kali lebih banyak bila dibandingkan
dengan penggunaan teknik pemupukan tradisional yang masih dilakukan
oleh mayoritas petani di wilayah penelitian.
107
Para petani di wilayah penelitian hampir seluruhnya melakukan
kegiatan pemupukan saat sore hari atau setelah sholat ashar atau sekitar
pukul 16.00 dan seterusnya. Pemilihan waktu pemupukan di sore hari ini
bertujuan agar pupuk tidak menguap oleh sinar matahari, sehingga pupuk
diharapkan dapat terserap maksimal oleh sawah. Dalam kegiatan nggarem
para petani biasanya menggunakan ember seukuran 3 – 5 galon. Bubuk
pupuk dimasukkan ke dalam ember, kemudian dengan menggunakan
tangan telanjang (tanpa pelindung), petani menggenggam pupuk dan
menyebar pupuk ke permukaan tanaman padi. Penyebaran pupuk
dilakukan dengan cara mengayunkan tangan dari depan dada, dan
menghentakkan pupuk dengan tenaga (keras) sehingga pupuk dapat
tersebar dengan baik dan mencapai jarak hingga 2 – 3 meter. Kegiatan ini
dilakukan 2 – 3 kali di atas areal padi yang sama, setalah itu petani akan
berpindah ke areal di sebelahnya, demikian seterusnya hingga kegiatan
pemupukan selesai.
Saat pemupukan dilakukan biasanya para petani tidak akan
mengaliri sawahnya dengan air. Kondisi sawah harus dalam keadaan
lembab, tetapi tidak tergenang air. Kondisi tanah seperti ini dimaksudkan
agar pupuk terserap dengan baik, dan tidak hanyut oleh air.
4.2.7 Budaya Pertumbuhan Padi
Para petani di Kecamatan Sirampog terlihat sangat telaten merawat
dan memperhatikan tumbuh kembang tanaman padinya. Ketika padi baru
disemai, petani akan setia menunggui persemaian padi di siang hari, untuk
108
mencegah burung – burung memakan biji padi yang baru disemai. Setelah
padi berumur ± 5 – 7 hari di persemaian, padi akan thukul atau temukul.
Padi mulai tumbuh dan muncul daun – daun kecil berukuran sekitar 1 – 2
cm setelah 10 hari dan siap ditanam setelah berumur 20 hari. Setelah padi
ditanam dan berumur ± 30 hari, padi akan mengalami lilir. Dalam masa
lilir, padi akan tampak menghijau setinggi ± 20 – 25 cm dan tampak
tumbuh dengan baik serta sudah beradaptasi dengan lahan tumbuhnya.
Masa lilir juga akan terjadi setelah padi ditandur dan berumur 4 – 5
minggu. Sekitar umur 60 hari, padi akan memasuki masa mapak. Dalam
fase ini, padi tampak menghijau dan segar, yang menandakan padi telah
beradaptasi dan tumbuh dengan baik di sawah. Ketika padi terlihat tumbuh
dengan tinggi yang sama dan calon bulir padi mulai tumbuh (keluar) atau
disebut dengan metu, fase ini disebut dengan byah, yang terjadi saat usia
padi ± 75 hari. Saat padi berusia 80 hari, padi berada dalam masa
pertumbuhan dimana bulir padi mulai merunduk dan berisi cairan
semacam susu putih kental, yang disebut dengan ndeluk. Saat bulir padi
tampak menguning dan isinya mulai keras, fase ini biasa disebut dengan
emping kuning. Ini terjadi saat padi berusia ± 90 - 95 hari. Padi akan
memasuki masa panen (wayah panen) saat berusia ± 100 hari.
109
Gambar 4.4. Kegiatan Pertumbuhan Padi
4.2.8 Budaya Pembasmian Hama
Hama adalah salah satu musuh utama petani. Berdasar pengamatan
dan wawancara mendalam dengan para informan di wilayah penelitian
ditemukan bahwa terdapat banyak hama di sawah, baik hewan, antara lain:
wereng, walang, lembing, walang sangit, tikus, kraca lancip, ece,
anggang – anggang, kraca buntek; maupun tumbuh – tumbuhan, seperti
gendot, wewean, semanggen, suket, genjer.
Wereng, lembing, dan walang sangit merupakan hama yang
menyerang padi saat padi dalam masa byah. Saat biji padi baru mulai
berisi cairan putih semacam susu, hama ini akan menghisap isi padi
tersebut. Oleh sebab itu, padi menjadi tidak berisi (gabug). Walang adalah
hama padi yang akan memakan daun padi, terutama yang masih muda.
Sedang tikus adalah hama yang menyerang tanaman padi dengan cara
mematahkan batang padi. Ini merupakan kodrat tikus sebagai binatang
pengerat. Tikus mematahkan batang padi (dami) dengan tujuan mengasah
giginya. Sawah yang diserang hama tikus biasanya akan tampak berlobang
(kroak) di bagian tengah, sedang tumbuhan padi di bagian sekeliling
sawah akan tampak utuh/tinggi. Kraca lancip dan kraca buntek adalah
110
hewan yang hidup di air sawah namun akan memakan daun padi. Kraca
lancip dapat ditemukan di sawah maupun sungai (wangan, kalen), tapi
tidak ada di sungai besar (kali keruh, kali behet). Sedang kraca buntek
hanya dapat ditemukan di sawah. Binatang lain yang biasanya ada di air
sawah maupun air sungai adalah ece dan anggang – anggang. Namun
demikian, kedua hewan ini tidak mengganggu aktivitas pertumbuhan padi
ecara langsung. Hewan ini baru akan mengganggu pertumbuhan padi bila
jumlahnya terlalu banyak, karena akan mengurangi ruang tumbuh padi.
Untuk membasmi hama atau binatang yang berada di permukaan
tanah, petani akan melakukan kegiatan nyemprot. Petani biasanya
menggunakan alat penyemprot hama yang terbuat dari alumunium yang
biasa dijual di toko peralatan pertanian. Alat ini digunakan dengan cara
digendong di punggung, tangan kanan petani akan mengarahkan selang
semprotan ke area yang dituju, sedang tangan kiri akan memompa alat
semprot dengan melakukan kegiatan naik – turun pada gagang pompa alat
semprot hama. Alat ini berisi cairan insektisida atau pestisida. Dalam
membasmi hama binatang di tanah, kraca lancip, kraca buntek, ece;
petani akan mengambil hama – hama tersebut dengan mengambil satu
persatu binatang tersebut saat kegiatan matun. Hama kraca buntek
biasanya akan dipisah dengan hama lain karena hewan ini bisa
dikonsumsi, dimasak semacam bumbu rendang, dan dipercaya dapat
menyembuhkan penyakit kuning/liver. Untuk hama tanaman; semanggen,
genjer, suket, gendot, wewean; petani akan mencabuti tumbuhan tersebut
111
(matun). Matun dilakukan 2 kali yaitu saat padi berumur 20 – 25 hari dan
saat berusia ± 50 hari. Saat matun, tanaman gendot biasanya dipisah
dengan tumbuhan lain. Bila tumbuhan lain akan dibuang dan dijadikan
pematang sawah, maka tumbuhan gendot akan dibawa pulang dan
dimasak (oseng – oseng /tumis), serta dijadikan lauk.
Para petani di wilayah penelitian akan membiarkan hama anggang
– anggang dan tikus. Anggang – anggang oleh para petani dianggap tidak
mengganggu. Sedang untuk membasmi hama tikus, para petani hanya
mengandalkan racun tikus dan perangkap tikus yang diletakkan di
beberapa tempat di sawah. Akan tetapi untuk sawah yang dekat
pemukiman penduduk, para petani hanya memasang perangkap dan tidak
menggunakan racun, karena takut racun tersebut akan dimakan oleh ayam
atau kucing dan menyebabkan kematian hewan tersebut. Oleh karena itu,
sikap pasrah dan berdoa kepada sang Pencipta adalah perbuatan yang
dilakukan mayoritas petani saat menghadapi bencana hama tikus.
112
Gambar 4.5 Hama semanggén di antara Tumbuhan Padi
4.2.9 Budaya Pemanenan
Setelah padi memasuki wayah panen, petani di wilayah penelitian
akan melakukan kegiatan panen. Saat panen para petani saat ini lebih
banyak menggunakan sabit (arit) dan kegiatan panen dengan
menggunakan sabit ini disebut dengan mbabad. Para petani lebih suka
menggunakan arit daripada ani – ani. Alasannya adalah panen akan lebih
cepat dan lebih praktis. Kegiatan panen menggunakan ani – ani yang
disebut dengan derep sudah sangat jarang dilakukan, karena para petani,
terutama buruh tani, merasa penggunaan ani – ani memakan waktu lama.
Meskipun demikian, banyak petani pemilik lahan menyatakan bahwa
mereka lebih suka bila kegiatan panen menggunakan ani – ani karena
kegiatan panen menjadi lebih hati - hati dan tidak banyak bulir padi yang
jatuh (ambrol). Akan tetapi, para petani pemilik lahan tidak bisa memaksa
para buruh tani untuk menggunakan ani – ani waktu panen. Saat ini, para
petani pemilik lahan hanya mewajibkan kegiatan panen menggunakan ani
– ani bila padi yang ditanam adalah padi jenis padi ketan atau padi raja
lele.
Para petani biasanya akan memanen padinya di pagi hari mulai
pukul 8 hingga selesai. Tidak semua buruh tani boleh ikut memanen suatu
lahan yang sedang panen, karena biasanya suatu sawah akan dipanen oleh
para buruh panen biasanya akan sama dengan buruh tandur dan matun.
113
Perilaku demikian selalu dilakukan dengan alasan agar para buruh tani
bersedia untuk ikut kegiatan tandur dan matun lagi di sawah yang sama.
Kekhawatiran para petani pemilik lahan maupun petani penggarap cukup
beralasan, karena biasanya para buruh tandur dan matun sering lebih
memilih ikut memanen padi daripada tandur dan matun. Kecuali para
buruh tani yang sudah jadi langganan atau dipercaya bertahun – tahun.
Saat kegiatan panen (mbabad), para petani pemilik lahan atau
petani penggarap akan mengawasi para buruh panen. Biasanya mereka
akan mengajak keluarganya untuk turut serta memanen padi. Selain itu,
saat mengawasi kegiatan panen, mereka juga akan selalu mengingatkan
agar setiap buruh ingat dan berbagi dengan temannya. Kejadian ini terjadi
saat peneliti sedang melakukan observasi di sawah Ibu Renny di desa
Plompong. Petani penggarap sawah tersebut, Bapak Syuaib, mengawasi
kegiatan panen dan berulang kali berteriak: “Wis Nap, wis, ko tah wis
akeh ikih rah. Melasi batire, bagi – bagi karo batire. Wis ko liren bae. é
bae – ngéles bae. Wis mbabade!” (sudah Nap, sudah, kamu kan
sudahdapat banyak. Kasihan temanmu, bagi – bagi dengan teman. Sudah
kamu istirahat saja. Ngéles saja - ngéles saja. Sudah potong padinya.!”).
ketika peneliti menanyakan hal ini, Pak Syuaib menjelaskan bahwa Ibu
Napisah (salah satu buruh panen) terkenal sangat cekatan (gelismen atau
bantermen atau kenthengmen) bila ikut panen, sehingga buruh panen lain
akan memperoleh hasil sedikit, sedang dia dapat banyak. Oleh karena tahu
tabiat Napisah ini, Pak Syuaib harus mengingatkan dan melarang buruh
114
panen ini untuk mbabad lagi.
Setelah kegiatan mbabad selesai, para buruh panen akan
melakukan ngéles (menginjak – injak padi dengan gerakan kaki memutar
agar bulir padi lepas dari jerami) padi. Namun demikian, bila padi
termasuk padi yang gampang rontok, maka buruh panen tidak akan
melakukan ngéles, tetapi mereka akan nggepyok atau nggebugi jerami
padi untuk memisahkan gabah dengan jerami padi. Selain itu, bila padi
yang ditanam adalah padi jenis pari ketan, pari raja lele, atau jenis padi
lain yang susah di éles atau dapat menimbulkan gatal di kulit, maka para
petani akan melakukan ngrontog. Kegiatan ngrontog dilakukan dengan
menggunakan alat perontok padi yang disebut rontog. Kegiatan
merontokkan bulir padi dari jeraminya ini, baik ngéles maupun ngrontog
biasanya dilakukan di areal sawah. Saat para buruh tani sedang ngéles atau
ngrontog, biasanya banyak para pencari dami yang menunggui dan
membantu para buruh tani melakukan ngéles atau ngrontog. Mereka
bersedia membantu karena mereka membutuhkan jerami untuk pakan sapi
– sapi mereka.
Kegiatan yang dilakukan para buruh panen setelah selesai mbabad
dan ngéles atau ngrontog, mereka akan memasukkan gabah yang mereka
peroleh ke rumah pemilik lahan atau ke rumah petani penggarap atau ke
tempat penggilingan padi giseran, tergantung permintaan petani
(penggarap atau pemilik lahan). Setelah itu, padi yang mereka peroleh
akan ditimbang atau dihitung jumlahnya dengan rantang (rantam). Upah
115
yang buruh panen peroleh disebut bawon. Bawon yang diperoleh
sebanyak 1:10. Ada dua budaya dalam bawon yaitu, setiap 10 rantang
gabah munjung, setiap buruh panen akan memperoleh 1 rantang
munjung; dan/atau setiap 10kg gabah, maka buruh panen akan mendapat
1kg gabah. Orang yang bertugas untuk mbawon (mengukur hasil panen
dan memberi bawon), adalah para pemilik lahan (bila dia
menggarap/mengurus sawahnya sendiri) atau petani penggarap. Meski ada
ukuran atau aturan pasti dalam pemberian upah buruh panen, para petani,
baik pemilik lahan atau petani penggarap sering memberi tambahan
(imbuh) pada para buruh panen dengan berbagai macam alasan, misalnya
kasihan, berbagi rezeki, mengangap para buruh panen telah berjasa, dan
sebagainya. Kegiatan panen hingga pembagian upah untuk buruh panen ini
biasanya akan selesai sekitar pukul 3 sore. Akan tetapi, lamanya waktu
panen hingga selesai juga tergantung dari luas sawah dan banyak buruh
panen yang ikut serta dalam panen.
116
Gambar 4.6 Kegiatan Panen Padi di Desa Plompong
4.2.10 Budaya Pengolahan Hasil Panen
Setelah seluruh kegiatan panen selesai, gabah akan dimasukkan
dalam kandhi atau karung dan biasanya disimpan di giseran atau di
rumah petani. Bila disimpan di rumah petani, maka gabah akan diletakkan
di ruang tamu. Ruang tamu di wilayah penelitian biasanya luas dan dibagi
menjadi dua bagian. Separuh ruang akan diisi dengan meja dan kursi untuk
tamu atau untuk berbincang – bincang dengan anggota keluarga di pagi
atau di sore hari. Sedang setengah bagian ruang tamu biasanya dibiarkan
kosong, sebagai tempat bermain anak – anak kecil. Bagian ruang tamu
yang kosong inilah yang berfungsi untuk menyimpan gabah hasil panen.
Penyimpanan di ruang tamu, bukan di ruang belakang atau ruang tengah
ini, dapat menyiratkan dua hal: yang pertama, para petani akan mudah
dalam mengeluarkan dan memasukkan kembali gabahnya saat akan dan
setelah menjemurnya; yang kedua, jumlah hasil panen yang banyak akan
membanggakan hati petani dan mereka akan merasa puas dan senang bila
saat duduk – duduk dengan keluarganya di pagi atau sore hari, sambil
menikmati makanan kecil (médang), mereka akan memandangi hasil
panennya.
117
Gabah yang disimpan ini akan dijemur (dipépé) dari pukul 7 pagi
(petani ngelér gabah) hingga pukul 2 (petani mupul gabah) atau bila cuaca
mendung. Gabah dijemur setiap hari sampai gabah kering dan siap digiling
menjadi beras. Petani akan menjemur (mépé) padinya dengan alas deklit di
depan rumahnya, di pinggir jalan, atau di halaman giseran. Gabah akan
diawasi oleh para petani dengan telaten sambil memegang galah panjang
yang terbuat dari bambu kuning muda, untuk mengusir ayam atau burung
yang akan memakan gabah mereka. Petani juga akan membawa semacam
sekop, yang terbuat dari bambu panjang dan agak besar, di bagian bawah
bambu dipasang lempengan kayu ukuran ± 30 x 100 cm secara horizontal,
yang digunakan untuk membalik gabah agar keringnya merata. Cara
mengangkat gabah saat selesai dijemur setiap harinya adalah dengan
mengumpulkan gabah ke tengah deklit dan empat ujung deklit dilipat
sedemikian rupa hingga menutupi gabah dan kemudian, di bagian atas
lipatan deklit itu akan ditindih beberapa batu besar. Cara ini biasanya
dilakukan saat musim kemarau. Para petani biasanya tidak akan
memasukkan gabahnya ke dalam rumah dan mereka tidak khawatir
gabahnya akan dicuri. Di musim hujan, petani akan memasukkan gabah ke
dalam rumah langsung setelah deklit dilipat dengan gabah di dalam
lipatannya, dan siap untuk dijemur lagi keseokan harinya.
Gabah yang telah kering dan siap digiling akan dimasukkan ke
dalam kandhi. Para petani yang sawahnya lua dan hasil panennya banyak
akan menggiling (nggiser) setengah hasil panennya untuk dijual. Sedang
118
sisanya untuk kebutuhan makan sehari – hari, yang akan digiling
(dhigiser) gabahnya sedikit demi sedikit (biasanya per kandhi). Saat
nggiser, para petani biasanya akan menampung dhedhek wadhag atau
merang (kulit padi) dan dedaknya (dhedhek lembut). Petani
memanfaatkan dhehek wadhag sebagai pelengkap bahan bakar tungku
dapur (pawon) dan sebagai bahan bakar untuk membuat bata merah.
Dhedhek lembut dimanfaatkan petani untuk memberi makan ayam,
terutama anak ayam (pitik). Petani biasanya menggiling padinya di
penggilingan padi dengan biaya sebesar Rp 350 – 500,- per kg beras atau 4
kaleng susu dengan berat 380gr (± 1 kg) per 10 kg beras dan Rp1.500,- per
kg dhedhek lembut. Sedang untuk dhedhek wadhag gratis, tetapi petani
atau orang atau anak yang disuruh untuk menggiling gabah harus
menunggu kulit padi keluar dari pipa pengeluaran merang di belakang
penggilingan padi dan biasanya akan berebutan dengan banyak anak yang
juga mencari kulit padi ini.
Sebelum memanfaatkan beras, baik mengolahnya menjadi nasi
atau saat akan menghadiri kenduri pernikahan atau sunatan (kondangan),
masyarakat di Kecamatan Sirampog akan mengukur beras sesuai
kebutuhan. Masyarakat di wilayah penelitian biasanya mengukur beras
dengan kaleng susu. 1 kaleng susu setara dengan ¼ kg beras. Sebelum
dimasak, beras akan ditapéni (ditampi) terlebih dahulu untuk
menghilangkan kulit padi yang tersisa. Saat napéni (menampi) beras,
masyarakat akan memilah beras dan mengambil batu atau gabah yang ada
119
tercampur dalam beras. Mereka juga akan memisahkan menir (potongan
kecil beras) dan ditaruh di rantang atau wadah lain untuk pakan anak ayam
atau burung (terutama burung dara, karena banyak masyarakat yang
memeliharanya). Setelah ditapéni beras akan dicuci (dipesusi) dengan
menggunakan cepon (semacam dhunek tanpa kaki). Masyarakat
cenderung lebih menyukai mencuci beras di bawah air mengalir.
Masyarakat banyak yang sudah tahu bahwa mencuci beras di bawah air
mengalir akan membuat vitamin dalam beras banyak yang hilang. Namun
demikian, mereka tetap mencuci memakai cara ini dengan alasan agar
bersih dan kurang mantap bila mencuci beras dengan baskom atau wadah
tanpa lubang.
Beras yang telah dicuci akan dimasak dengan cara dikaron
kemudian didang atau diadang (dipindahkan ke dandang
[langseng/dangdang] hingga matang atau tanak (tanek). Bila masyarakat
ingin membuat tepung beras, maka mereka akan menampi beras terlebih
dahulu, kemudian mencucinya, dan merendam beras selama 2 – 3 jam.
Setelah itu, beras akan diratakan (dilér) di atas jarik (tapih) yang digelar
dan diangin – anginkan hingga setengah kering. Setelah itu, masyarakat
akan membawa beras ini (beras temen) ke tempat penggilingan beras
menjadi tepung beras (gʰlǝpՍŋ).
120
Gambar 4.7 Kegiatan Menjemur Gabah di Desa Benda
Demikianlah budaya pertanian padi di Kecamatan Sirampog, kabupaten
Brebes, provinsi Jawa Tengah.
4.3 Kategori Semantik Leksikon Khas Pertanian Padi
Berdasar kegiatan observasi partisipatori dan wawancara mendalam,
peneliti menemukan beberapa leksikon yang sepintas memiliki makna sama
namun sebenarnya memiliki kategori semantik yang berbeda.
1) udud, ngrokok, nglinthing
Tiga leksikon tersebut memiliki makna ‘merokok’ dalam
bahasa Indonesia. Namun demikian, masing – masing leksikon
memiliki kategori semantik yang berbeda satu sama lain. Leksikon
udud bermakna ‘merokok jenis rokok apapun, baik itu rokok buatan
pabrik dengan berbagai merk maupun rokok yang diracik sendiri
dengan komposisi menyan, dan tembakau dan kemudian digulung
atau dilinthing dengan kertas rokok (papir)’. Leksikon ngrokok
121
bermakna ‘kegiatan merokok dengan menghisap rokok buatan pabrik
dengan berbagai merk’. Sedang leksikon nglinthing bermakna
‘kegiatan merokok dengan menghisap rokok racikan sendiri
(linthingan).
Berdasar komponen makna yang dikandung masing – masing
leksikon tersebut, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa leksikon
udud berperan sebagai superordinat bagi subordinatnya, yaitu:
leksikon ngrokok dan nglinthing.
2) nglabuh, malik, angler, mluku/ngluku, macul, ngebak,
Leksikon nglabuh memiliki makna ‘mengolah tanah atau
mempersiapkan tanah agar siap saat masa tanam padi. Malik
bermakna membalik tanah dengan menggunakan alat pacul. Sedang
ngebak bermakna membalik tanah sawah dengan alat garu (bajak).
Lain halnya dengan angler yang bermakna kegiatan meratakan tanah.
Kegiatan angler ini meliputi dua kegiatan yaitu macul dan
mluku/ngluku. Macul bermakna mencangkul atau membalik tanah di
sawah dengan menggunakan alat pacul. Sedang mluku atau ngluku
bermakna meratakan tanah dengan mendorong tanah ke depan
menggunakan alat luku. Penggunaan bunyi nasal /m-/ pada kata
mluku dan /ŋ/ pada kata nglabuh dan ngluku menunjukkan bahwa
kegiatan tersebut melingkupi atau mencakup apa yang dikenainya,
dalam hal ini kegiatan tersebut mencakup tanah di sawah sebagai
objek kegiatan.
122
Leksikon mluku/ngluku dan ngebak tampak merupakan
sebuah sinonimi, namun demikian ada komponen makna yang
membedakan keduanya. Kegiatan mluku/ngluku dilakukan dengan
kondisi tanah sawah mengandung banyak air, sedang kegiatan ngebak
dilakukan dengan kondisi tanah tidak begitu basah, hanya
mengandung sedikit air. Selain itu, kegiatan mluku/ngluku dilakukan
dengan menggunakan alat luku, sejenis kayu besar yang ditarik oleh
kerbau dan dinaiki oleh petani di bagian belakang luku. Kegiatan ini
dilakukan hingga tanah benar – benar rata dan siap ditanami benih
padi. Kegiatan ngebak juga dilakukan dengan menggunakan alat
luku, akan tetapi pada kegiatan ngebak, alat luku akan diberi alat
tambahan yaitu garu (bajak). Garu merupakan alat semacam garpu
besar, terbuat dari besi yang berfungsi untuk membalik tanah agar
tanah di bagian bawah berpindah menjadi di bagian atas. Kegiatan
ini dimaksudkan agar tanah yang ditanami berganti dan tidak jenuh.
Dengan demikian, sirkulasi kesuburan tanah terus terjaga.
Demikian pula dengan leksikon macul dan malik, kedua kata
ini tampak sebagai sebuah sinonimi. Namun demikian, kedua kata
tersebut memiliki makna yang sepintas tidak tampak jelas
perbedaannya. Kata macul pada kegiatan malik dan macul pada
kegiatan angler mengacu pada kegiatan mengolah tanah sawah
dengan alat cangkul. Perbedaan mendasar dua kata tersebut adalah
kegiatan macul saat ngebak dilakukan pada tanah sawah dengan
123
kondisi tanah dialiri atau digenangi air, sedang kegiatan macul saat
kegiatan malik dilakukan dengan alat cangkul namun tanah di sawah
tidak digenangi atau dialiri air (kondisi tanah apa adanya seperti
kondisi pasca panen).
Berdasar komponen makna yang dimiliki oleh leksikon
malik, mluku/ngluku, angler, macul, dan ngebak. maka dapat
disimpulkan bahwa seluruh kata tersebut berada pada medan makna
yang sama. Lebih lanjut lagi, kata nglabuh merupakan superordinat
bagi seluruh kata tersebut. Hal ini terlihat dari makna seluruh
leksikon yang semuanya memiliki komponen makna kegiatan
pengolahan tanah sawah sebelum tanah tersebut ditanami padi.
Komponen yang membedakan adalah pada alat yang digunakan
masing – masing kegiatan tersebut. Berikut ini merupakan diagram
pohon bagi seluruh leksikon tersebut.
nglabuh
malik angler
ngebak macul macul mluku/ngluku
Gambar 4.8 Kategori Semantik Leksikon Pengolahan Tanah
3) ndhudhuhi, didhudhuhi
124
Dua leksikon di atas memiliki akar kata sama yaitu
‘dhudhuh’ yang dalam kehidupan sehari – hari tidak pernah
digunakan masyarakat Kecamatan Sirampog dan tidak memiliki
makna bila berdiri sendiri. Kata ‘ndhudhuhi’ merupakan bentuk aktif
yang bermakna merapikan pematang sawah, sedang ‘didhudhuhi’
merupakan bentuk pasif yang bermakna dirapikan. Kata – kata
tersebut hanya muncul diranah pertanian padi. Masyarakat
Kecamatan Sirampog sendiri biasanya menggunakan kata ‘beres’ dan
‘bersih’ untuk merujuk ke suatu keadaan yang rapi. Perbedaan yang
jelas terlihat adalah bahwa leksikon ‘ndhudhuhi’ digunakan bila
petani akan merapikan pematang sawahnya sendiri, sedang leksikon
‘didhudhuhi’ digunakan saat petani menggunakannya dalam tindak
tutur direktif (menyuruh orang lain).
Penggunaan jenis leksikon seperti ini tidak hanya ditemui
pada kedua kata tersebut, namun ditemukan pada beberapa data
lainnya, antara lain:
a. mépé dan dipépé
b. mesusi dan dipesusi
c. napéni dan ditapéni
4) numangi, nembok, nampingi
Leksikon numangi bermakna membuat pematang sawah, baik
nembok (membuat pematang sawah/galengan) maupun membuat
tembok sawah yang tinggi (nampingi). Sebagaimana telah dijelaskan
125
pada sub bab budaya pengolahan tanah sebelumnya, nembok
bermakna membuat pematang sawah, sedang nampingi bermakna
membuat dinding sawah yang tinggi. Dinding sawah tinggi ini dibuat
untuk mensiasati kontur tanah yang berbukit, sehingga perlu dibuat
terasering. Berdasar perbedaan komponen makna tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa ketiga leksikon tersebut memiliki medan
makna yang sama, namun leksikon numangi berperan sebagai
subordinat nembok dan nampingi.
Berikut ini merupakan gambar diagram pohon ketiga
leksikon tersebut:
numangi
nembok nampingi
komponen makna: + verba + verba
+ membuat dinding sawah + membuat dinding sawah
- tinggi + tinggi
Gambar 4.9. Diagram Pohon dan Analisis Komponen Makna
numangi, nembok, nampingi
5) mbanyuni, ngiléni, ngeléb
Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab budaya pertanian
sebelumnya, leksikon ngeléb bermakna mengaliri sawah hingga
126
airnya tergenanga, sedang ngiléni bermakna mengaliri sawah hingga
seluruh tanah di sawah basah atau lembab, namun tidak sampai
digenangi air. Leksikon mbanyuni memiliki makna mengairi sawah,
baik itu ngiléni maupun ngeléb. Oleh karena itu, dapat diambil
kesimpulan bahwa leksikon ngiléni dan ngeléb berada pada medan
makna yang sama yaitu mbanyuni. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa mbanyuni merupakan superordinat bagi leksikon ngiléni dan
ngeléb sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.3 berikut ini.
mbanyuni
ngiléni ngeléb
komponen makna: + verba + verba
+ mengairi sawah + mengairi sawah
- air tergenang (hanya mengalir) + air hingga
tergenang di sawah
Gambar 4.10. Diagram Pohon dan Analisis Komponen Makna
mbanyuni, ngiléni, ngeléb
6) gawé pinihan, ngekum, nipuk, nglerem
Leksikon gawé pinihan bermakna membuat atau
mempersiapkan benih padi. kegiatan ini meliputi kegiatan ngekum,
yang dilanjutkan dengan kegiatan nipuk dan nglerem. Ngekum
127
bermakna merendam benih padi di dalam air dengan alat baskom atau
ember besar sebagai tempatnya. Sedang nipuk dan nglerem bermakna
memeram benih padi yang telah direndam selama satu hari satu
malam hingga akar padi mulai tumbuh. Berdasar komponen makna
yang dimiliki oleh kata nipuk dan nglerem, maka dapat diambil suatu
simpulan bahwa kedua kata tersebut merupakan sinonimi. Berikut ini
adalah gambar posisi ke empat kata tersebut.
gawé pinihan
ngekum
nipuk nglerem
Gambar 4.11 Diagram Pohon dan Analisis Komponen Makna gawé
pinihan, ngekum, nipuk, nglerem
7) nggarem, ngrabuk
Nggarem dan ngrabuk pada dasarnya memiliki makna yang
hampir sama, yaitu: memupuk. Meskipun demikian, ada perbedaan
komponen makna yang sangat jelas digunakan oleh masyarakat
Kecamatan Sirampog, sebagai berikut:
Komponen semantik Leksikon
nggarem ngrabuk
128
memupuk (verba) + +
pupuk tradisional - +
pupuk buatan - +
Gambar 4.12 Analisis Komponen Makna nggarem, ngrabuk
Kedua kata tersebut juga memiliki persamaan komponen
makna pada bunyi nasal (ŋ). Bunyi ini mencirikan kegiatan yang
mencakup atau meraih sesuatu mendekati pembicara. Demikian pula
dengan kegiatan nggarem dan ngrabuk, kedua kata ini menunjukkan
kegiatan petani mengambil (menyendok) pupuk dengan
menggunakan tangan (kanan) nya untuk kemudian disebarkan di atas
permukaan sawah.
8) lilir
Pada leksikon lilir, tampak bahwa terjadi pergeseran
komponen makna. Pada umumnya (bahasa Jawa), leksikon lilir
bermakna ‘terbangun dari tidur’ (mangunsuwito, 2002: 138). Tidur
umumnya dilakukan oleh makhluk hidup, terutama manusia dan
hewan. Namun demikian, kata lilir juga digunakan pada ranah
pertanian untuk merujuk pada fase dimana padi mulai masuk tahap
tumbuh menghijau.
Berikut ini merupakan analisis pergeseran komponen makna
kata lilir:
129
Komponen semantik Leksikon
lilir (ranah umum) lilir (ranah pertanian)
verba + +
faktor kesengajaan - +
Gambar 4.13 Analisis Komponen Makna lilir
9) panen, mbabad, derep
Para petani di Kecamatan Sirampog mengenal leksikon
panen, mbabad, dan derep untuk mengacu pada kegiatan memetik
padi yang telah masak. Leksikon panen mengacu pada kegiatan
‘memanen padi baik dengan alat arit maupun ani – ani’. Sedang
leksikon mbabad dan derep memiliki perbedaan komponen makna
pada hal alat yang digunakan untuk memanen padi. Pada leksikon
mbabad, terdapat komponen makna alat arit. Oleh karena itu, ketika
petani atau masyarakat pada umumnya mendengar kata ini, mereka
akan langsung mengacu pada kegiatan panen dengan menggunakan
alat sabit. Hal ini berbeda dengan kata derep. Kata ini memiliki
komponen makna alat ani – ani. Sehingga orang yang mendengar
kata ini, baik petani atau bukan petani, akan langsung mengacu pada
kegiatan panen dengan menggunakan alat ani – ani.
10) dhedhek, dhedhek lembut, dhedhek wadhag
Kata dhedhek mengacu pada sisa olahan gabah menjadi beras
saat diproses di tempat penggilingan padi (giseran). Meskipun
130
demikian, masyarakat di Kecamatan Sirampog biasanya akan
menanyakan lebih lanjut mengenai jenis dhedhek. Hal ini disebabkan
bahwa mereka membagi dhedhek ke dalam dua jenis, yaitu dhedhek
lembut (dhedhak untuk pakan ternak ayam atau bebek) dan dhedhek
wadhag (kulit padi atau merang atau sekam untuk mempermudah
pembakaran di tungku/pawon). Oleh karena itu, dhedhek memiliki
sub ordinat, yaitu dhedhek lembut dan dhedhek wadhag.
11) mangsan goyang, mangsan gabug
Dengan melihat makna kedua leksikon tersebut pada tabel
4.7., sekilas dapat diambil suatu simpulan bahwa kedua leksikon
tersebut memiliki makna yang sama atau bersifat sinonimi. Namun
demikian, kedua kata tersebut tidak dapat saling menggantikan posisi
satu sama lain. Mangsan goyang mengacu pada musim puso yang
disebabkan oleh cuaca, sedang mangsan gabug mengacu pada musim
puso yang disebabkan oleh hama, misal: wereng, walang sangit, dan
lain sebagainya (transkrip rekaman data I.1.19).
12) semenit
Leksikon menit ditemukan pada Kamus Bahasa Jawa: Jawa
– Indonesia (Mangunsuwito, 2002: 151). Kata ini merupakan bentuk
kromo ngoko yang bermakna ‘sudah sangat jauh berjalan atau
berlari’. Tampaknya telah terjadi perubahan atau pergeseran makna
yang sangat jauh dari makna asalnya pada kata ini. Berdasar
wawancara (data I.1.13), maka dapat disimpulkan bahwa kata semenit
131
ini bermakna ‘sedikit’. Dalam Bahasa Indonesia (biasanya ranah
informal), kata semenit bermakna ‘satu menit’. ‘Satu menit’
merupakan durasi waktu yang tidak terlalu lama atau hanya sebentar.
Jadi, kemungkinan besar terjadi serapan Bahasa Indonesia yang
kemudian masyarakat menginterpretasikannya selain untuk jumlah
waktu 1 menit, tetapi juga untuk menunjukkan sesuatu yang
berjumlah sedikit.
Berdasar analisis semantik pada leksikon khas pertanian padi tersebut,
maka dapat diambil suatu simpulan, bahwa pada dasarnya penggunaan bahasa
dapat mencerminkan pola pikir dan budaya para penuturnya. Pada dasarnya
masyarakat di Kecamatan Sirampog memiliki pola pikir dan budaya yang detail
(terperinci), teliti, dan suka melakukan kegiatan yang tersusun atas serangkaian
langkah. Hal ini tampak dari berbagai penggunaan kata yang memiliki sub ordinat
dan beberapa kata yang menunjukkan kegiatan yang memiliki pola urutan yang
harus diikuti dengan baik sebagaimana telah dijelaskan di sub bab sebelumnya
mengenai analisis semantik.
4.4 Kajian Indeksikalitas
Kajian bahasa, dalam kaitannya dengan makna dan budaya, selalu
berfokus pada tiga hal yaitu: kompetensi dan performansi, indeksikalitas, dan
partisipasi. Kompetensi dan performansi dari masyarakat di wilayah kecamatan
Sirampog telah tampak dalam penjelasan sub bab kosakata khas, budaya dan
132
kajian makna bahasa di bidang pertanian padi. Kajian berikutnya adalah mengenai
indeksikalitas. Indeksikalitas berkaitan dengan bahasan mengenai konsep ikon,
indeks dan simbol. Pada dasarnya tidak ada satu tanda pun yang murni ikon,
indeks, ataupun hanya simbol. Terkadang banyak tanda yang merupakan ikonik
namun juga bersifat simbolik atau bahkan indeksikal. Berikut akan dibahas satu
persatu mengenai ketiga konsep indeksikalitas tersebut.
4.4.1 Ikon
Ikon merupakan suatu penanda yang memiliki kemiripan dengan
petandanya. Dengan kata lain, ikon merupakan suatu tanda yang menyerupai apa
yang ditandainya, bersifat arbitrer, namun mengandung motivasi tinggi dari para
penggunanya. Oleh karenanya, hanya masyarakat penggunanya yang memahami
makna dari tanda tersebut dan masyarakat bahasa lain tidak akan memahami
(salah persepsi) makna tanda tersebut sebagaimana pemahaman masyarakat
pemilik tanda itu. Berdasar penelitian di wilayah kecamatan Sirampog, dapat
disimpulkan bahwa banyak sekali tanda – tanda ikonik yang terdapat di ranah
pertanian, khususnya ranah pertanian padi. Berikut ini beberapa kosakata di ranah
pertanian padi di wilayah kecamatan Sirampog yang bersifat ikonik:
a. Tampah vs Tamping
Tampah mengacu pada alat untuk mengayak beras atau gabah.
Tampah berbentuk bulat dan lebar serta pipih. Bila dilihat dari bunyi
dan bentuk organ wicara b
b. Macul
133
Leksikon tandur sangat kental digunakan di ranah pertanian
masyarakat Jawa. Sebagaimana diperoleh Haryanti dan Budi (2007)
di Klaten, Jawa Tengah, dan Fernandes (2008) yang juga menemukan
kata tandur di wilayah Pekalongan, dan Jawa Timur. Menurut makna
katanya, leksikon tandur kemungkinan berasal dari dua akar kata
yaitu: tanem dan mundur. Jadi leksikon tandur dapat dimaknai
menanam sambil berjalan mundur. Merunut makna tersebut, tampak
jelas aspek ikonisitas leksikon tandur ini karena menyerupai dengan
realitas di luar kebahasaan itu sendiri.
c. Nggepyok
Frasa pari dhuwur memiliki makna suatu jenis padi yang tinggi.
Dhuwur dalam bahasa Indonesia berarti tinggi. Pemilihan kata
dhuwur memuat motivasi tinggi dari masyarakat penggunanya. Hal
ini bersifat sangat ikonik karena leksikon dhuwur merujuk pada jenis
padi yang tumbuh lebih tinggi dan masa tanamnya lebih lama dari
jenis padi lainnya. Padi yang disebut pari dhuwur ini biasanya padi
yang berjenis raja lele, pari ketan, dan sebagainya.
d. Ngeleb
Ngeleb bermakna kegiatan mengairi sawah hingga seluruh lahan
tergenang oleh air dan tidak ada permukaan tanah terlihat. Leksikon
ngeleb bersifat sangat ikonis yang merujuk pada keadaan suatu benda
yang tertelan dan terlingkupi oleh benda lain yang menyelimutinya.
Sebagaimana tampak serupa dengan cara pengucapan suku ultima
134
leksikon ini, yaitu /leb/ yang diakhiri oleh fonem bilabial /b/ yang
diakhiri dengan menutupkan kedua bibir, sehingga seluruh bagian
organ wicara akan tertutup sempurna.
e. Tuk
Leksikon mbabad merupakan salah satu leksikon yang bersifat
ikonik. Hal ini tercermin dari makna mbabad yang berarti memanen
padi menggunakan sabit. Leksikon mbabad merujuk pada kemiripan
dari apa yang kegiatan memotong menggunakan sabit tidak akan
dilakukan cara memotong batang padi satu persatu. Akan tetapi,
dalam mbabad petani akan mengumpulkan padi dengan genggaman
tangan dan kemudian memotongnya dengan cara sedemikian rupa
menggunakan sabit hingga semua batang padi terpotong habis.
Kajian mengenai beberapa leksikon yang bersifat ikonik tersebut
mencerminkan kemiripan atau kesamaan sifat atau ciri antara petanda dengan
penanda-nya.
4.4.2 Indeks
Indeks merupakan suatu penanda yang memiliki mewakili eksistensi dari
apa yang ditandainya. Dengan kata lain, indeks dapat dimaknai sebagai pemarkah
atau penunjuk dari apa yang ditandainya. Berdasar penelitian yang telah
dilakukan, berikut merupakan beberapa contoh indeks yang ditemukan di ranah
pertanian padi.
a. Ndeluk
Leksikon ndeluk menjadi suatu indeks atau pemarkah keadaan padi
135
yang mulai merunduk karena mulai berisi bulir padi/beras. Pemilihan
leksikon ndeluk memiliki motivasi tinggi karena masyarakat berusaha
menunjukkan keadaan padi yang merunduk bukan ‘ndelak’ yang
bermakna mendongak.
b. Emping kuning
Frasa emping kuning mernjadi indeks atau pemarkah pertumbuhan
padi dalam fase mulai berisi bulir padi yang penuh dan berisi. Bila
pada fase ndeluk, daun padi masih berwarna hijau dan isi padi masih
berupa cairan putih kental semacam susu, maka pada fase ini padi
mulai menguning dan bulirannya mulai keras.
c. Nyemprot
Leksikon nyemprot merupakan suatu penanda untuk memarkahi
kegiatan pembasmian hama yang dilakukan dengan cara menyemprot
tanaman padi menggunakan cairan insektisida. Leksikon ini termasuk
indeks karena setiap anggota masyarakat bahasa di wilayah penelitian
saat mendengar leksikon nyemprot di ranah pertanian padi akan
langsung memahami bahwa nyemprot bermakna membasmi hama,
bukan sekedar menyiramkan air ke tanaman.
d. Derep
Leksikon derep merupakan leksikon unik pemarkah kegiatan
memanen menggunakan alat khusus, yaitu: ani – ani, yang
penggunaannya kian langka di wilayah penelitian. Sebagaimana telah
disebutkan pada sub bab sebelumnya, asyarakat di wilayah
136
kecamatan Sirampog semakin jarang ani – ani untuk panen dengan
alasan kepraktisan dan penghematan waktu dan tenaga untuk
memanen.
e. Nglerem
Berdasar bentuk akar katanya, nglerem memiliki medan makna
dengan kata ‘anggrem’ (mengerami), dan ‘ngerem’ yang bermakna
menyimpan buah yang belum matang di tempat beras agar matang.
Ketiga leksikon bersufiks –rem tersebut menjadi pemarkah suatu
kegiatan menyelimuti benda agar tumbuh ke daur hidup selanjutnya.
Sebagaimana leksikon nglerem bermakna menyimpan atau memeram
benih padi (gabah), setelah direndam dengan air, selama sehari
semalam hingga tumbuh akarnya (thukul). Demikian juga dengan
leksikon ‘anggrem’ yang menjadi pemarkah suatu kegiatan dimana
ayam betina mengerami telurnya hingga menetas dan menjadi fase
hidup selanjutnya dari daur hidup ayam, yaitu anak ayam. Pemakaian
fonem suffiks bilabial /-rem/, penutupan organ wicara dengan
sempurna saat kedua bibir menyatu pada fonem /-m/, pada tiap suku
ultima dari leksikon – leksikon tersebut menjadi indeks nyata bahwa
kegiatan tersebut dilakukan dengan menyelimuti atau menutupi rapat
– rapat dan mengkondisikan benda yang diselimuti menjadi hangat,
sehingga memungkinkan bagi benda tersebut untuk tumbuh dan
bermetamorfose menuju tahapan kehidupan selanjutnya. Dari uraian
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan suatu bahasa
137
(penanda) dapat digunakan untuk menjadi pemarkah atau indeks bagi
petanda-nya.
4.4.3 Simbol
Simbol merupakan tanda yang tidak memiliki motivasi dan bersifat
arbitrer. Oleh karena itu, hubungan antara tanda dengan yang ditandai oleh simbol
merupakan hasil suatu konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun –
temurun dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan fisik maupun
kesamaan kontekstual. Dengan kata lain, perbedaan penggunaan atau pemilihan
simbol ini bersifat arbitrer dan ditentukan oleh konvensi budaya dari generasi ke
generasi (Saussure, 1916; dalam Foley, 1997).
a. Matun
Leksikon matun yang bermakna membersihkan rumput – rumput atau
gulma tanaman padi di sawah. Leksikon ini penggunaannya sangat
khusus di ranah pertanian padi. Sehingga, saat petani membersihkan
rumput di kebun pun tidak digunakan kata matun. Penggunaan kata
matun seperti ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa
dengan makna dan fungsi yang sama. Bila ditilik dari kata terdekat
dengan matun, di daerah penelitian terdapat kata waton. Akan tetapi
kata ini bermakna pojok atau sudut. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan leksikon matun ini merupakan suatu
hal yang merupakan konvensi masyarakat Jawa yang diturunkan dari
generasi ke generasi , tanpa motivasi dan tendensi apapun mengapa
memilih kata matun dan bukan kata yang lain.
138
b. Nipuk
Leksikon nipuk yang bermakna memeram gabah yang sudah
direndam selama satu hari satu malam merupakan hal yang khas di
kecamatan Sirampog, terutama di wilayah desa Mendala dan desa
Plompong. Hal ini tercermin dari tidak adanya penggunaan kata
nipuk di wilayah desa Benda. Untuk mengacu pada kata nipuk,
masyarakat desa Benda memilih kata nglerem yang juga digunakan di
desa Plompong dan desa Mendala. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa kata nipuk merupakan suatu simbol yang khas penggunaannya
bagi masyarakat wilayah kecamatan Sirampog, terutama di desa
Plompong dan desa Mendala, dan mungkin di desa lainnya di wilayah
kecamatan Sirampog. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor
geografis, dimana desa Benda merupakan desa yang terdekat dengan
wilayah perkotaan dan merupakan desa terluar di kecamatan
Sirampog.
c. Alap – alap
Leksikon alap – alap yang mengacu pada orang – orangan sawah. Di
wilayah Jawa biasanya alap-alap mengacu pada burung sejenis elang.
Namun demikian, di wilayah kecamatan Sirampog leksikon ini
mengandung dua makna, bila dalam ranah pertanian padi, maka alap-
alap bermakna orang – orangan sawah. Sedang dalam ranah umum,
alap – alap juga mengacu pada burung sejenis elang. Penggunaan
leksikon alap-alap untuk merujuk pada orang – orangan sawah di
139
wilayah penelitian agaknya merupakan suatu simbol yang bersumber
dari kesepakatan masyarakat. Akan tetapi, terlihat dari kesamaan
fungsi dan karakteristiknya, leksikon ini juga memiliki sifat ikonik
karena biasanya saat ada burung alap – alap terbang maka burung –
burung kecil akan terbang menghindar. Demikian juga, orang –
orangan sawah juga memiliki fungsi yang hampir sama, yaitu:
menakuti tikus atau lenggarangan karena bentuknya yang
menyerupai manusia dan bila ada angin bertiup maka tali – tali yang
dipasang kaleng – kaleng bekas, yang bergelantungan di tangan –
tangan orang – orangan sawah akan berbunyi nyaring dan akan
mengusir burung – burung pemakan biji padi.
d. Ani – ani
Leksikon ani-ani adalah suatu leksikon khas pertanian padi dan
sebagian masyarakat Jawa atau Melayu menggunakan kata ini untuk
merujuk pada alat tradisional yang digunakan petani padi untuk
memanen padi. Pemilihan kata unik ini agaknya merupakan suatu
konvensi masyarakat yang telah berlangsung turun – temurun dan
dalam kurun waktu yang sangat lama. Karena sifatnya yang tidak
memiliki makna ikonik maupun indeksikal inilah, maka leksikon ani-
ani menjadi suatu kata yang bersifat simbolik yang tidak memuat
motivasi apapun dari para penggunanya.
e. Nggaru, nggaru dan angler
Penggunaan ketiga kata berikut ini sangat unik dan sangat
140
berlainan dengan daerah lain. Sebagaimana penelitian Fernandez
(2008) dan yang juga menemukan ketiga leksikon tersebut. Sebagai
satuan lingual terkecil, leksikon mluku, angler dan nggaru memiliki
hubungan dalam medan makna yaitu pengolahan sawah. Menurut
hasil penelitian Fernandez (2008), mluku bermakna cara pengolahan
lahan dengan menggukan luku (sejenis alat untuk membajak dengan
ditarik oleh kerbau). Dari kata dasar nomina luku dan dilekati prefix
berupa morfem nasal (m-) menjadi verba mluku.kegiatan ini biasa
dilakukan pada lahan yang diairi. Lebih lanjut lagi, angler bermakna
cara pengolahan tanah dengan alat pacul, sedang nggaru bermakna
cara mengolah tanah dengan menggunakan garu. Garu adalah alat
pertanian yang berbentuk seperti sisir yang terbuat dari besi dan
diberi tonggak sebagai alat untuk memegang. Selain itu, Fernandez
(2008) menambahkan bahwa menurut ranah budaya petani di Jawa
Tengah (Pekalongan), DIY (Gunung Kidul), dan di Jawa Timur
(Malang dan Jember), ketiga leksikon tersebut memiliki hubungan
makna sebagai kategoris semantic, yaitu: nggaru merupakan super
ordinat/hipernim dari hiponim mluku dan angler.
Haryanti dan Wahyudi (2007), dalam penelitiannya yang
mencakup wilayah objek penelitian di Desa Japanan, Kabupaten
Cawas, Klaten, Jawa Tengah, juga menemukan ketiga leksikon
tersebut meski tidak dijelaskan mendetail sebagaimana Fernandez
(2008). Haryanti dan Wahyudi (2007) mengkaji ketiga leksikon
141
tersebut di bahasan tentang nggarap sawah. Lebih lanjut lagi,
Haryanti dan Wahyudi (2007) mengungkap bahwa dalam menggarap
sawah petani menggunakan pacul, luku, dan garu. Lebih lanjut lagi,
dalam penelitian tersebut, ada satu satuan lingual unik yang tidak
peneliti temukan di wilayah kecamatan Sirampog, yaitu: ngenyek –
ngenyek (menginjak – injak sawah).
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa penggunaan
leksikon ngluku, nggaru dan angler, sedikit berbeda dengan hasil dua
penelitian tersebut. Bila dalam penelitian Fernandez (2008), nggaru
merupakan hipernim dari mluku dan angler. Di kecamatan Sirampog,
leksikon angler merupakan hipernim dari macul dan ngluku. Angler
merupakan pengolahan tanah yang bisa dilakukan dengan macul
(mencangkul) atau ngluku (membajak sawah dengan alat luku). Lebih
lanjut lagi, bila Fernandez (2008) menemukan leksikon mluku,
sedang peneliti menemukan kata ngluku. Meski akar kata kedua
satuan lingual ini sama, yaitu luku, namun pembentukan ke bentuk
verba memiliki perbedaan. Dalam penelitian Fernandez (2008),
pembentukan nomina luku menjadi verba mluku dengan prefiks (m-).
Di lain pihak, peneliti menemukan perbedaan pembentukan nomina
luku menjadi ngluku dengan penambahan prefiks (ng-). Meskipun
Fernandez (2008) menyatakan bahwa afiks nasal, seperti (m-), (ng-),
dan seterusnya, memiliki fungsi sebagai pembentuk verba, namun hal
ini tetap menunjukkan bahwa penggunaan bahasa memiliki kekhasan
142
masing – masing, dan semuanya tergantung dari konvensi masyarakat
penuturnya masing – masing.
Kajian indeksikalitas yang berisi bahasan tentang ikon, indeks
dan simbol pada dasarnya tidak bisa dipisahkan secara ketat. Terlebih mengenai
masalah kebahasaan. Bahasa pada dasarnya merupakan tanda yang bersifat
simbolik. Hal ini dikarenakan bahwa pemilihan suatu kata yang memiliki makna
tertentu merupakan suatu hal yang bersifat arbitrer, semena – mena dan sangat
memiliki kadar motivasi sangat rendah, serta bersifat sangat konvensional.
Pemilihan suatu kata, sebagai contoh: kata ‘ngluku’,’ani – ani’, ‘nggombrangi’
dan lain – lain, bersifat sangat arbitrer atau manasuka. Pemilihan suatu kata dan
bukan kata yang lain, bersifat sangat bebas dan berdasar kesepakatan yang
dilakukan tanpa sadar atau berdasar konvensi masyarakat yang diturunkan dari
generasi ke generasi secara terus menerus digunakan dalam kurun waktu yang
lama dan dalam suatu wilayah kebahasaan.
4.5 Kearifan Lokal Pertanian Padi
Berikut merupakan tabel berisi kegiatan pertanian dan kategorisasi
modernitas atau tradisionalitas budaya pertanian. Pengkategorian ini dimaksudkan
sebagai salah satu indikator kearifan lokal masyarakat di wilayah penelitian.
Tabel 4.11 Kategorisasi Kegiatan Pertanian
No Kegiatan Alat/cara
143
1 mencangkul dan merapikan sawah tradisional
2 meratakan tanah sawah tradisional
3 Persemaian tradisional
4 Penanaman tradisional
5 perawatan padi tradisional
6 penanggulangan hama 1 tradisional
modern
7 Pemupukan modern
8 penanggulangan hama 2 tradisional
modern
9 Pertumbuhan tradisional
10 Pemanenan tradisional
11 pengolahan pasca panen tradisional
modern
Dari tabel tersebut, tampak bahwa mayoritas kegiatan pertanian masih
dilakukan secara tradisional. Indikatornya adalah cara atau metode bertani dan alat
pertanian yang digunakan masih tradisional, dan tidak tersentuh oleh modernitas.
Pengaruh kemajuan teknologi hanya terlihat dari bahan pupuk yang sudah
menggunakan pupuk buatan, bukan rabuk lagi, dan dalam kegiatan pembasmian
hama yang menggunakan insektisida atau bahan kimia buatan pabrik. Sikap dan
perilaku masyarakat di Kecamatan Sirampog yang masih menggunakan metode
dan teknik bertani secara tradisional ini menggambarkan bahwa ada upaya ‘tak
sadar’ yang dilakukan masyarakat untuk melestarikan nilai – nilai dan budaya
serta potensi kelokalan yang ada di daerah mereka.
Berdasar hasil observasi dan wawancara mendalam yang telah dilakukan
144
dalam penelitian ini, sangat terasa sekali nilai – nilai kearifan lokal yang terdapat
dan dimiliki oleh masyarakat Kecamatan Sirampog. Nilai – nilai kearifan lokal
yang ada di Kecamatan Sirampog akan digambarkan dalam sub – sub bahasan
berikut ini.
4.4.1 Persepsi Masyarakat
Masyarakat di wilayah penelitian memandang bahwa kegiatan
pertanian padi adalah sumber pokok mata pencaharian mereka. Hasil
observasi dan wawancara menggambarkan bahwa pertanian merupakan
kegiatan yang sangat penting di Kecamatan Sirampog. Kegiatan bertani ini
dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Sirampog, bahkan oleh orang –
orang yang sebenarnya telah memiliki pekerjaan lain, seperti sebagai PNS,
guru, sopir, dan lain sebagainya. Masyarakat yang telah memiliki
pekerjaan biasanya akan bertani dengan sistem paroan atau bagi hasil
dengan petani penggarap. Namun demikian, banyak juga dari mereka yang
turut aktif menggarap sawahnya di sore hari setelah pekerjaannya selesai.
Biasanya mereka akan juga memekerjakan buruh tani.
Kegiatan pertanian, menurut pendapat mayoritas masyarakat
kecamatah Sirampog, merupakan pekerjaan yang berat tapi terkadang
hasilnya tidak sebanding dengan usaha mereka. Sebagaimana diungkapkan
oleh informan Khumaedi yang berkata bahwa “Tani kuwe abot mba.
Hasile secuil. Sing penting bisa nggo mangan nggal dina karo nggo
nyekolahna anak. Kadang ya ngger mangsan tikus apa mangsan gabug,
ya pada mumet wong tani tah mba. Tapi, ngger ora tandur ya ora panen,
145
terus keluargane pan mangan apa, bocah – bocah ndesih ora pada bisa
sekola maning belih?” (data transkrip I.2.50). Dari kalimat yang
diungkapkan oleh informan tersebut tampak bahwa kegiatan bertani di
mata masyarakat Kecamatan Sirampog bukan merupakan mata
pencaharian yang tidak begitu menjanjikan. Namun demikian, mereka
berpandangan bahwa pertanian tetap sangat penting untuk menghidupi
keluarga sehari – hari dan untuk membiayai pendidikan anak – anak
mereka.
4.4.2 Alam sebagai Sumber Pengetahuan dan Kearifan Masyarakat
Kekayaan alam di Kecamatan Sirampog telah menjadi sumber
penting bagi pengetahuan masyarakatnya. Wilayah Kecamatan Sirampog
yang memiliki kontur tanah di lereng gunung Selamet dan berbukit – bukit
serta mudah longsor, menyebabkan masyarakat harus berupaya
mempertahankan kelestarian lahan yang juga menjadi tempat hidup
mereka dengan menanam pepohonan. Masyarakat petani di wilayah
Kecamatan Sirampog, dengan pengetahuan bahwa lahan pertanian yang
berbukit – bukit ini, membuat undhak – undhakan atau terasering untuk
mensiasati kontur tanah yang tidak rata tersebut.
Pertanian di wilayah Kecamatan Sirampog merupakan pertanian
yang hanya mengandalkan air hujan, karena tidak ada satupun bendungan
atau sistem irigasi. Oleh karena itu, para petani di Kecamatan Sirampog
selalu aktif ngiléni sawahnya. Ngiléni secara leksikal memiliki bentuk
dasar verba mili yang bermakna mengalir, terutama yang berkaitan dengan
146
air. Jadi, ngiléni bermakna membuat air mengalir. Para petani di wilayah
penelitian selalu melakukan kegiatan ini, sekaligus memperhitungkan
aliran air yang masuk ke sawah mereka, sejak masa pengolahan tanah
hingga panen. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan dengan rutin, maka
besar kemungkinan kebutuhan air di sawah mereka tidak akan tercukupi
dengan baik. Dan bila ini terjadi, maka dapat dipastikan hasil panen padi
mereka juga tidak akan maksimal, bahkan mungkin akan gagal.
Dari penjelasan pada dua tersebut terlihat bahwa alam dapat
menjadi sumber budaya dan pengetahuan bagi masyarakat pemilik
kebudayaan tersebut.
4.4.3 Sikap Arif Masyarakat dalam Kegiatan Pertanian Padi
Berdasar hasil observasi dan wawancara mendalam, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa masyarakat di Kecamatan Sirampog bersikap dan
berperilaku sedemikian arif dalam melakukan kegiatan pertanian. Dari
analisis semantis terhadap seluruh Leksikon, yang ditemukan dalam
penelitian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di wilayah Kecamatan
Sirampog memiliki karakter atau nilai – nilai sebagai berikut:
1) Kegigihan dan Kesabaran
Nilai kegigihan dan kesabaran ini terwujud dalam beberapa Leksikon
pertanian yang merujuk pada kegiatan pertananian yang membutuhkan
ketelatenan dan kesabaran. Kegiatan ngiléni dan nunggoni pari
misalnya. Kegiatan ngiléni tidak cukup hanya mengaliri air ke sawah.
147
Namun, petani perlu merunut air dari kali atau wanganhingga dapat
mengalir ke sawahnya. Tidak jarang petani harus mencangkul bagian –
bagian kalen dan membersihkannya dari rumput atau tanaman liar agar
aliran air tidak terhambat. Contoh lain adalah kegiatan nunggoni pari
yang dilakukan saat benih padi baru disemai dan saat padi hasil panen
sedang dijemur. Nunggoni pari yang bermakna menunggui padi ini
memerlukan waktu lama dan menghabiskan tenaga. Namun demikian,
para petani melakukan kegiatan ini tanpa mengeluh.
2) Kerajinan dan Kerapian
Nilai ini sangat terasa saat para petani sedang melakukan kegiatan
pengolahan tanah. Kegiatan nampingi berasal dari kata tampingan
atau dalam bahasa Indonesia bermakna tembok atau dinding samping.
Leksikon nampingi ini merujuk pada kegiatan merapikan dinding
samping sawah dengan pacul. Sawah adalah lahan yang akan ditanami
lagi, jadi bila tanah di sawah diolah lagi adalah hal yang wajar. Namun
dinding samping tidak ditanami padi, jadi sebenarnya tidak
berpengaruh banyak pada pertumbuhan padi yang ditanam berikutnya.
Akan tetapi, para petani di wilayah penelitian juga merapikan dinding
samping sawah dengan begitu rapi dan teraturnya, serta memperbaiki
bila ada dinding yang longsor, hingga sawah menjadi sedap dipandang
dan tidak terlihat kotor dan tidak rapi. Perilaku ini mengindikasikan
bahwa masyarakat di Kecamatan Sirampog memiliki sikap yang
mengandung nilai – nilai kerapian dan kerajinan.
148
3) Religiusitas
Mayoritas masyarakat di wilayah Kecamatan Sirampog beragama
Islam. Namun demikian, sebagian besar masyarakat masih terpengaruh
ajaran Hindu/Budha atau kejawen. Hal ini tampak dari adanya budaya
matang puluh (peringatan empat puluh hari kematian), nyatus
(peringatan seratus hari kematian), nyewu (peringatan seribu hari
kematian), dan lain sebagainya yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran
Islam. Kentalnya nuansa agamis (Islami) di wilayah ini sangat terasa
dari banyaknya masjid atau surau dan dapat pula terlihat dari mayoritas
kaum perempuan yang memakai jilbab atau penutup kepala. Dalam
budaya pertanian pun, ternyata nilai rasa keyakinan kepada Tuhan sang
pencipta masih sangat kental. Hal ini tampak dari pernyataan hampir
seluruh informan saat peneliti menanyakan mengenai metode
pemberantasan tikus sebagai berikut: “Ngger tikus tah ya kadang
ngger sawahe adoh sing desa tah ya, kadang – kadang dipasangi ya,
Mba. Tapi sing sering tah ngger sawahe kenang tikus ya wis pasrah
bae karo sing gawe urip mba. Paribasane kuwe ya, lagi dicoba lah
kaya kuwe Mba. Mengko ngger dewek tetap sregep ibadah ya ndesih
ditulung ding gusti Allah Mba. Bakale neng ilang dewek tikus tah.
Wis ora sah dapak – apakna” (data transkrip I.5.18). Dari pernyataan
tersebut tampak jelas bahwa para petani di Kecamatan Sirampog
memilih ikhlas dan pasrah dengan serangan hama tikus. Mereka
percaya dan yakin bahwa hama tikus adalah cobaan dari yang maha
149
pencipta dan akan hilang dengan sendirinya bila mereka tetap
beribadah dan memohon ampunan pada yang Maha Kuasa. Sikap ini
mengandung nilai – nilai religiusitas yang tinggi yang dimiliki oleh
masyarakat di Kecamatan Sirampog. Keyakinan bahwa apa yang ada
berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan serta kepercayaan
bahwa apapun yang mereka hadapi sekarang adalah kehendak dari
Tuhan membuat mereka dapat bertindak lebih legawa dan bijaksana,
serta sabar dan ikhlas.
4) Kebersamaan
Nilai – nilai kebersamaan merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki
oleh masyarakat di negara Indonesia, termasuk masyarakat di wilayah
Kecamatan Sirampog. Masyarakat di Kecamatan Sirampog juga
memiliki nilai – nilai kebersamaan dan gotong royong. Nilai gotong –
royong tampak jelas saat kegiatan ngiléni. Beberapa petani yang
sawahnya berdekatan sering melakukan kegiatan ini bersama – sama,
sehingga pekerjaan ini dapat selesai lebih cepat dan lebih ringan.
Selain ngiléni, nilai kebersamaan yang dimiliki oleh masyarakat di
Kecamatan Sirampog terlihat ketika peneliti sedang melakukan
kegiatan observasi partisipatori pada beberapa kegiatan panen.
Beberapa informan, yang merupakan pemilik lahan ataupun petani
penggarap akan sibuk mengingatkan para buruh panen agar jangan
terlalu serakah dan meminta mereka untuk memberi kesempatan agar
buruh panen lainnya mendapat hasil panen juga. Sikap ini sangat
150
terlihat dari salah satu informan, Bapak Syuaib, yang berulang kali
mengatakan: “wis Nap wis. Ko tah sing wingi ikih rah. Wis melasi
nggo batire. Bagi – bagi rah karo batire”(data transkrip I.4.17)
5) Kepedulian
Peduli pada sesama merupakan karakter lokal khas yang sangat
jelas terasa di kehidupan sehari – hari masyarakat. Saat peneliti
sedang melaksanakan penelitian, tidak jarang ditemukan orang yang
mampir ke rumah tetangga dan meminta bumbu dapur atau teh atau
gula pasir, dan lain sebagainya. Perilaku ini sudah semakin langka di
saat kehidupan kian individualis. Namun demikian, masyarakat di
wilayah penelitian masih terbiasa dengan budaya ini.
Sikap peduli masyarakat akan sangat terasa pada lagu tradisional
khas pertanian [lihat lirik lagu di sub bab 4.1.] di wilayah Kecamatan
Sirampog. Peneliti pertama kali mengenal lagu ini sejak masih
belajar di sekolah dasar. Pertama kali yang mengajarkan lagu ini
adalah kakek peneliti yang meninggal pada tahun 1995. Saat itu
banyak anak – anak seusia peneliti yang juga menyanyikan lagu ini.
Ketika peneliti melakukan penelitian, penduduk yang beruia 25
tahun ke atas masih menganal lagu ini, namun banyak anak SD yang
sudah tidak mengenal lagu ini. Akan tetapi saat peneliti menanyakan
ke beberapa siswa SMA, masih banyak dari mereka yang mengenal
lagu ini. Namun demikian, dua baris terakhir lagu ini telah diubah
mereka dan menjadi lelucon, yaitu sebagai berikut: ... Sing adol es
151
lilin; pilake amba (yang jual es mambo, pitaknya lebar). Dengan
tetap berpegang pada versi asli dari lagu ini, peneliti melihat adanya
sifat kepedulian yang besar yang dimiliki masyarakat Kecamatan
Sirampog. Para petani akan memberi makan para pekerja atau buruh
tani di sawah dengan menu yang lengkap dan memperhatikan
kebutuhan gizi mereka. Makanan tersebut terdiri atas karbohidrat
(nasi), protein dan vitamin (sayuran lawueh janganan kacang
lenjaran), air (wedange kopi), kebutuhan glukosa untuk tenaga
(gulane jawa), protein (tempe atau tahu atau ikan asin; dalam lagu
krupuke kur siji), dan penutup berupa rokok (rokoke djaya).
Masyarakat, meski untuk buruh atau pekerjanya, berusaha
memanusiakan dan memperhatikan kebutuhan dasarnya, yaitu
pangan. Pemberian makanan yang lengkap ini, menurut beberapa
informan, juga bertujuan agar para buruh tani lebih kentheng atau
bersemangat dalam bekerja.
Selain kepedulian pada sesama manusia, masyarakat juga peduli
dengan binatang. Sikap ini sangat jelas terlihat dari penanganan dan
persepsi mereka pada serangan hama tikus. Para petani yang jauh
dari pemukiman penduduk terkadang memasang perangkap berupa
racun tikus yang dicampur makanan. Akan tetapi, petani yang
sawahnya dekat dengan pemukiman tidak akan melakukan hal ini,
karena takut akan racun itu termakan oleh ayam atau kucing
peliharaan mereka; sebagaimana penuturan seorang informan, Bapak
152
Sawab, berikut: “Ngger tikus kuwe kadang ngger sawahe adoh
sing desa tah ya kadang pada dipasangi endrim dicampur sega apa
peda. Tapi ngger sawahe perek desa tah ya dijorna lah. Ora wani
masangi. Mbokan mengko dipangan ding ayam apa ding kucing
sih. Ndesih melasi rah. Ya belih?” (data transkrip I.5.18).
6) Kebersihan
Masyarakat petani di wilayah penelitian juga mempunyai
perilaku hidup yang menghargai kebersihan. Sikap ini tampak dari
salah satu kegiatan pertanian yaitu nggombrang. Kegiatan
merapikan dan membersihkan pematang sawah saat padi berusia ±
50 – 60 hari. Meski rerumputan di pematang sawah tidak begitu
berpengaruh pada pertumbuhan padi, akan tetapi para petani juga
membersihkan dan merapikan pematang sawahnya agar sedap
dipandang dan agar memudahkan mereka saat melakukan ngiléni
atau kegiatan perawatan tanaman padi lainnya.
4.4.4 Perilaku Arif dalam Kegiatan Pertanian Padi
Kearifan lokal masyarakat di wilayah Kecamatan Sirampog pada
dasarnya merupakan serangkaian nilai – nilai, etika dan moral yang
digunakan sebagai pedoman sikap dan perilaku masyarakat dalam
melakukan kegiatan pertanian padi. Masyarakat berusaha memelihara,
melestarikan, melindungi, mempertahankan dan menjaga kekayaan
pertanian padi mereka dengan selalu berusaha mempertahankan,
melestarikan dan melestarikan budaya pertanian mereka. Selain itu
153
masyarakat juga bersama – sama selalu berusaha melindungi kekayaan
alam di sekitar mereka yang diyakini sebagai pendukung utama kelancaran
kegiatan pertanian.
Perilaku arif ini terlihat dari sikap para petani yang lebih suka
menggunakan pacul dan wluku untuk meratakan tanah dibanding
menggunakan traktor sebagaimana disampaikan oleh informan Bapak
Kaad sebagai berikut “lah ning ken eta ya anu lah penak nganggo pacul.
Mengko terus diluku. Ngger nggo mesin tah melasi lemahe. Mbokan
ketibanan solar sih mba, malah dadi ora apik tanahe nggo nandur. Teli
ning sawah perek kali keruh kan akeh watune rah, mesine mengko
malah rusak” (data transkrip I.1.21). Dari pernyataan yang diungkapkan
salah satu petani di Kecamatan Sirampog tersebut dapat diketahui bahwa
masyarakat di Kecamatan Sirampog memiliki kearifan terhadap
lingkungan. Meski perkembangan teknologi telah menjangkau daerah
mereka, namun mereka tetap bertahan dengan menggunakan pacul dan
wluku dengan pertimbangan bahwa penggunaan traktor ditakutkan akan
mencemari lahan pertanian mereka. Dan oleh karenanya, sawah mereka
malah menjadi tidak subur karena adanya kemungkinan tercemar oleh
cairan solar yang tercecer atau bocor. Dari fakta tersebut tergambar dengan
jelaslah kearifan lokal masyarakat di wilayah penelitian, bahwasanya sikap
dan perilaku masyarakat yang berupaya melestarikan potensi kelokalannya
dapat memungkinkan bertahannya kebudayaan mereka di tengah kemajuan
zaman.
154
4.6 Upaya – Upaya Pelestarian Kearifan Lokal Pertanian
Kegiatan pertanian telah menjadi satu potensi unggul yang dimiliki
Kecamatan Sirampog. Berdasar hasil observasi partisipatori maupun wawancara
mendalam, serta pemanfaatan sumber data tertulis yang dimiliki pemerintah
Kecamatan Sirampog, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ada upaya –
upaya pelestarian kearifan lokal, terutama di bidang pertanian, yang dilakukan
oleh warga masyarakat maupun oleh pihak pemerintah.
4.6.1 Peran Aktif Masyarakat
Berikut ini merupakan beberapa kegiatan sebagai wujud upaya
pelestarian budaya pertanian di Kecamatan Sirampog:
1) Pendidikan dan penanaman sikap suka pertanian pada generasi muda
Berdasar wawancara mendalam dengan beberapa informan,
penulis menyimpulkan bahwa masyarakat di Kecamatan Sirampog
menyadari bahwa saat ini pengaruh globalisasi dan perkembangan
zaman telah menyebabkan para generasi muda di daerah mereka
enggan bertani. Banyak generasi muda memilih bekerja di kota –
kota besar (urbanisasi) karena menganggap kota besar lebih
menjanjikan pekerjaan dengan penghasilan yang besar pula.
Kenyataan ini mengakibatkan banyak desa yang kekurangan tenaga
buruh tani untuk mencangkul di sawah. Oleh karena itu, banyak
petani berusaha memberikan pengertian dan pengetahuan tentang arti
pentingnya kegiatan pertanian bagi kehidupan mereka, sebagaimana
informan Nazarudin Latief dan Khumaedi yang merasa prihatin
155
dengan kondisi ini, sehingga mereka lebih memilih bertani di desa
karena sering dinasehati oleh ayahnya (saat ayahnya masih hidup).
2) Perilaku warga untuk tidak membuang sampah di sungai
Warga masyarakat sepakat untuk tidak membuang sampah
di pinggir atau bahkan di aliran sungai. Di setiap sungai di
Kecamatan Sirampog tidak ditemui tulisan berupa larangan untuk
membuang sampah atau pengumuman secara lisan oleh para tokoh
desa, namun tampaknya masyarakat di Kecamatan Sirampog
menyadari tindakan membuang sampah akan menghalangi aliran
sungai yang nantinya akan mengaliri sawah mereka. Selain itu,
sampah bisa mencemari air sungai. Padahal, banyak warga yang
masih menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci. Oleh
karena itu, warga ‘sepakat’ untuk tidak membuang sampah di
pinggir atau di aliran sungai. Tindakan ini secara tidak langsung
merupakan kegiatan pelestarian kearifan lokal budaya pertanian
masyarakat Kecamatan Sirampog.
3) Perilaku warga yang melarang kegiatan memancing ikan di sungai
dengan menggunakan racun
Racun yang digunakan untuk menangkap ikan di sungai
dapat berpengaruh buruk pada air sungai. Air sungai adalah sumber
utama pengairan sawah masyarakat, sehingga bila air sungai
156
tercemar masyarakat percaya padinya akan menjadi tercemar dan
tidak sehat. Berpedoman pengetahuan ini, maka biasanya para warga
atau petani yang melihat seseorang menangkap ikan dengan
menyebar racun, dia akan menegur dan akan melarangnya dengan
tegas. Selain itu, di setiap pertemuan Gapoktan, para tokoh
masyarakat selalu mengingatkan bahaya penggunaan racun saat
menangkap ikan. Penanaman kesadaran akan bahaya racun saat
menangkap ikan ini membuat warga masyarakat peduli dan tegas
mengingatkan dan menegur orang yang tertangkap basah
menggunakan racun untuk menangkap ikan.
4) Perilaku warga untuk bersama – sama menjaga sumber air
Kecamatan Sirampog memiliki banyak sumber air, seperti
sungai (besar maupun kecil), mata air, dan air terjun. Untuk menjaga
kelestarian sumber air dan untuk mencegah longsor, para warga
selalu dihimbau oleh para tokoh masyarakat untuk tidak menebang
pohon besar di sekitar sumber air. Hal ini dikarenakan pengetahuan
yang mereka miliki bila pohon adalah pengikat tanah agar tidak
longsor. Tanah yang longsor akan merusak aliran sumber air. Selain
itu, pohon juga berfungsi mengikat air hujan. Air hujan yang diserap
oleh pohon inilah yang akan menjadi sumber air yang mengalir
melalui mata air. Pentingnya pohon – pohon di sekitar sumber air ini
membuat warga tidak berani menebang pohon – pohon tersebut.
Perilaku ini secara langsung turut berpengaruh pada upaya
157
pelestarian kearifan lokal pertanian masyarakat di Kecamatan
Sirampog.
Gambar 4.8 Kedung (mata air) di Desa Plompong
158
Gambar 4.9 Curug Putri (Air Terjun) di Desa Mendala
4.6.2 Peran Aktif Pemerintah
1) Membentuk Gapoktan Tani Jaya di Setiap Desa
Dalam upaya melestarikan budaya pertanian di wilayahnya,
pemerintah Kecamatan Sirampog membentuk Gabungan Kelompok
Tani di setiap desa. Badan ini membawahi Kelompok Usaha Tani di
dusun – dusun. Badan ini berfungsi untuk memberi penyuluhan dan
mengkoordinir semua petani, melalui Kelompok Usaha Tani, serta
memberi informasi positif guna meningkatkan produktivitas
pertanian padi di wilayah Kecamatan Sirampog. Pertemuan
Gapoktan biasanya diadakan setiap hari Jumat, bada dzuhur, di
minggu terakhir. Selain itu, Gapoktan memberi akses bantuan pupuk
dan benih dengan harga murah dan dapat dikredit atau dibayar
setelah panen. Pembentukan Gapoktan secara nyata turut berperan
serta dalam melestarikan budaya pertanian di Kecamatan Sirampog.
159
Gambar 4.10 Gapoktan Tani Jaya di Desa Benda
2) Membentuk KUT di setiap dusun
Untuk mempermudah koordinasi dan memudahkan akses
informasi terbaru tentang pertanian, pemerintah di setiap desa di
Kecamatan Sirampog membentuk Kelompok Usaha Tani di setiap
dusun. Kelompok ini kemudian digabung menjadi satu, yaitu
Gabungan Kelompok Tani. Tugas ketua KUT adalah memberikan
informasi tentang pertemuan yang diadakan Gapoktan atau oleh
Kecamatan. Berikut ini adalah daftar nama KUT dan nama ketua
KUT di setiap dusun di Desa Mendala, Plompong, dan Benda.
Tabel 4.12 Daftar KUT di Desa Mendala, Plompong, dan Benda
No Nama KUT Desa (Dusun/Ketua)
Mendala Plompong Benda
1 Rindu Tani Kubang Bogo/Mahmudin Krajan/K.H. Mahroni Karang Mulya 1/Mastur
2 Lubuk Tani 1 Padanama/Supendi Krajan/Nazaruddin Latief Karang Mulya 2/Tabri
160
3 Lubuk Tani 2 Kalijeruk/Dirin Karang Mangu/A. Manaf Benda 1/Rohani
4 Sri Mulya Igirbohong/Bejo Utomo Karang Kemiri/Rohani Benda 2/Nur Aziz
5 Dewi Ratih Karang Pucung/Suhemi Legok Kenang/H.M Amin Karang Tengah/Maskuri
6 Karang Mulya Munggasari/A. Muiz Karang Gedang/Sulemi Bula Kungu/H. Fatoni
7 Aneka Tani Karang Salam/Junaedi Pring Jajar/Marzuki Jetak/Fatoni
8 Sri Utami Krajan/Zaenuddin Pucung Lancar/Ropii Kratagan/Khumaedi
9 Dewi Sri Sabrang/Turkiyono Cirendu/Satori -
10 Karang Gizi Karang Anyar/Kapul Gunung Sumping/Sahir -
11 Giri Mulya Babakan/Wahyudi Luwung/Nuridin -
12 Sri Makmur Cupang Bungur/Supardi - -
3) Membentuk Balai Pelaksana Penyuluhan (BPP) di setiap Kecamatan
Pemerintah Kabupaten Brebes benar – benar menyadari
potensi pertanian di wilayahnya. Hal ini, salah satunya, tampak dari
dibentuknya Balai Pelaksana Penyuluhan (BPP) di setiap
Kecamatan, termasuk di Kecamatan Sirampog. Balai ini berfungsi
untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan serta menjadi pusat
penelitian bagi pengembangan bibit unggul. Program bimbingan dan
penyuluhan biasanya di desa – desa bertepatan dengan jadwal
pertemuan Gapoktan.
161
Gambar 4.11 Bupati Agung W. di Kecamatan Sirampog (peresmian
PNPM dan Sunatan Massal)
Gambar 4.12 Kantor BPP di Desa Benda
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasar hasil penelitian, peneliti dapat mengambil suatu simpulan
bahwa wilayah Kecamatan Sirampog memiliki khasanah lingual yang sangat kaya
162
di bidang pertanian. Hasil penelitian juga menggambarkan bahwa baik masyarakat
di wilayah Kecamatan Sirampog maupun pemerintah (di tingkat Kecamatan
maupun kabupaten) aktif berperan dalam melestarikan budaya lokal mereka,
termasuk budaya pertanian sejak masa pengolahan tanah hingga pengolahan hasil
panen. Selain itu, dalam penelitian ditemukan bahwa masyarakat di Kecamatan
Sirampog memiliki karakter khas dan masih mempertahankan prinsip – prinsip
lokal mereka yaitu kegigihan dan kesabaran, kerajinan dan kerapian, religiusitas,
kebersamaan, kepedulian, dan kebersihan. Sikap dan perilaku ini juga terlihat
dalam budaya pertanian padi. Sikap ramah dan arif masyarakat terhadap
lingkungan sangat tampak dari metode pertanian yang tetap mempertahankan
budaya pertanian tradisional yang tidak mencemari alam. Penelitian ini juga
membuktikan bahwa bahasa memiliki fungsi ekspresif (Jakobson), hal ini tampak
dari nilai – nilai budaya yang ada di wilayah penelitian yang terungkap melalui
bahasa masyarakatnya. Selain itu, bahasa juga memiliki bentuk dan makna,
dibalik bentuk yang ada, yang digunakan dalam komunikasi sehari – hari para
pengguna bahasa tersebut, terdapat makna – makna yang tersembunyi yang
merupakan hasil konvensi masyarakat bahasa tersebut.
5.2 Saran
Indonesia adalah negara agraris dengan kekayaan alam luar biasa. Oleh
karena itu, pemerintah dan pihak berwenang hendaknya memberi kesempatan dan
menghimbau masyarakat untuk kembali ke sektor pertanian dan mengurangi
urbanisasi agar tidak ada lagi impor beras dan kelaparan. Penelitian ini mengkaji
163
hubungan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan kearifan lokal pertanian
masyarakat di Kecamatan Sirampog. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan untuk
menggali makna – makna metaforis ungkapan di bidang pertanian, kajian
ekolinguistik, sosiolinguistik (misal: pemilihan dan sikap bahasa masyarakat
Kecamatan Sirampog di ranah pertanian), linguistik diakronis untuk melihat asal –
usul bahasa yang digunakan masyarakat di Kecamatan Sirampog dan kajian
dialektologis yang berkaitan dengan perbedaan fonetik, semantik, onomasiologis,
semasiologis maupun perbedaan fonologis bahasa Jawa yang digunakan di
wilayah Kecamatan Sirampog dengan bahasa Jawa standar (Yogya/Solo).
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
164
Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius). Jakarta: Pustaka
Jaya.
Basnett, S. 1992. Translation Studies. London/New York: Methuen.
Boas, F. 1966 (1911). Introduction to the Handbook of American Indian
Languages. Lincoln: University of Nebraska Press.
Brown, Gillian dan George Yule. 1986. Discourse Analysis. London: Cambridge
University Press.
Bungin, M. Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial LAinnya. Jakarta: Kencana.
Conquergood, Dwight. 1991. “Rethinking Ethnography: Towards Critical
Cultural Politics” dalam Communication Monographs.
Danesi, M. and P. Perron. 1999. Analyzing Cultures. Bloomington/Indianapolis:
Indiana University Press.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge : Cambridge
University Press.
Fernandes, Inyo Yos. 2008. Kategori dan Ekspresi Linguistik Dalam Bahasa Jawa
dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2. Yogyakarta: FIB
Universitas Gadjah Mada.
Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. Oxford: Blackwell.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.
Gregersen, Joseph H. 1972. Introduction to Anthropological Linguistics. New
York: Random House.
165
Guiraud, Pierre. 1971 (1975). La Semiologie (Translated by George Gross entitled
Semiology) London/Henley/Boston: Routledge & Kegan Paul.
Gunarwan, Asim. 2003. Realisasi Tindak Tutur Pengancam Muka di Kalangan
Orang Jawa: Cerminan Nilai Budaya? dalam Kumpulan Karya
Ilmiah Para ar dalam eminar Internasional Budaya, Bahasa dan astra
Fakultas Satra UNDIP – UNIMUS. Semarang: Fakultas Satra
Universitas Diponegoro.
Hadi, Sudharto P. 2009. Manusia dan Lingkungan. Semarang: Badan penerbit
UNDIP.
Handoko, Marliany. 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta:
Kanisius.
Haryati, Dwi, dan Agus Budi W. 2007. Ungkapan Etnis petani Jawa di Desa
Japanan Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten: Kajian
Etnolinguistik dalam Kajian Linguistik dan Sastra Vol. 19 No. 1.
Yogyakarta: FIB Universitas Gadjah Mada.
Hoed, Benny H. 2003. Memandang Fenomena Budaya dengan Kacamata
Semiotik dalam Kumpulan Karya Ilmiah Para ar dalam eminar
Internasional Budaya, Bahasa dan astra Fakultas Satra UNDIP –
UNIMUS. Semarang: Fakultas Satra Universitas Diponegoro..
Hymes, Dell. 1964. Language in Culture and Society A Reader in Linguistics and
Anthropology. New York: Harper and Row.
Hymes. 1966. Two Types of Linguistic Relativity in William Bright, ed.,
Sociolinguistic. The Hague: Mouton.
166
Hymes, Dell. 1972. Reinventing Anthropology. New York: Vintage Books.
Irianto, Agus Maladi. 2009. Mahasiswa dan kearifan Lokal dalam Makalah
Diskusi pada Sarasehan Kearifan Lokal Propinsi Jawa Tengah 29
Januari 2009. Semarang: Badan kesbangpol dan Linmas Propinsi
Jawa Tengah.
Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan Hidup.Jakarta: Penerbit Kompas.
Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT
Gramedia.
Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
______________. 1987. Kebudayaan, mentalita dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
______________. 1992. Beberapa Pokok Antropologi sosial. Jakarta: Dian
Rakyat.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. 1998. Linguistik dan Ilmu Pengetahuan Budaya dalam
Linguistika Jurnal Program Magister (S2) Linguistik Universitas
Udayana Edisi IX 9 September 1998. Denpasar: Universitas
Udayana.
Kridalaksana, Harimurti. 2001 (Edisi Ketiga). Kamus Linguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Krippendoff, Klaus. 2004. Content Analysis: An Introduction to its Methodology
(2nd Edition). Thousands Oaks, CA: Sage.
167
Lampe, Musni. 2009. Kearifan Tradisonal Lingkungan, Belajar dari kasus
Komunitas – Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional. dalam
http://www.scibd.com/doc/16149372/kearifan-tradisional yang
diunduh pada 4 Oktober 2010, pukul 16.30 WIB.
Mangunsuwito, S.A. 2002. KAMUS BAHASA JAWA: Jawa – Indonesia. Bandung:
CV. Yrama Widya.
Marsono. 1989. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mc Quown, Norman. 1978. Linguistics and Anthropology dalam Archibald A Hill
(ed) Linguistics. USA: Voice of America Forum Series.
Ola, Simon Sabon. 2010. Pendekatan dalam penelitian Linguistik Kebudayaan.
FKIP Universitas Nusa Cendana.
Purba, Jonny. 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Purwoko, J. Herudjati. 2009. “Dar, ada film bagus di bioskop Rahayu”:
KALIMAT DAN UJARAN DALAM TRI – TATA dalam Subagyo, P.
Ari dan Sudartomo Macaryus (Editor) PENEROKA HAKIKAT
BAHASA. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
__________________. 2008a. Jawa Ngoko: Ekspresi Komunikasi Arus Bawah.
Jakarta: Indeks.
__________________. 2008b. Wacana Komunikasi. Jakarta: Indeks.
Putri, Vegitya Ramadhani. 2007. Fenomenologi, Hermeunika dan Positivisme
dalam http://veggy.wetpaint.com/page/Fenomenologi+
Hermeneutika+dan+Positivisme yang diunduh pada 27 Mei 2011
168
pukul 08.03 WIB.
Rohadi, Tasdiyanto. 2010. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sampson, Geoffrey. 1980. Schools of Linguistics. Stanford, CA: Standford
University Press.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdiknas Dirjen
Dikti Proyek Pengembangan Lembaga pendidikan Tenaga
Kependidikan
Sartini, Ni Wayan. 2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara (Sebuah Kajian
Filsafati) dalam Jurnal Filsafat UGM. Yogyakarta: Penerbit UGM.
Sartini, Ni Wayan. 2009. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat
Ungkapan (Bebasan, saloka dan Paribasa) dalam Jurnal Ilmiah
Bahasa dan Sastra Vol. V No. 1 April Tahun 2009 Universitas
Sumatera Utara.
Sapir, Edward. 1921. Language : An Introduction to the Study of Speech. New
York: Harcourt, Brace and World.
Sapir, Edward. 1949. Selected Writings. Berkeley: University of California Press.
Saussure, Ferdinand de. 1916. Cours de Linguistique generale. Paris: Payot.
Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford : Basil
Blackwell.
Shopen, Timothy (ed). 1979. Language and Their Speakers. Cambridge:
Winthrop.
Siswadi. 2010. KEARIFAN LOKAL DALAM MELESTARIKAN MATA AIR (Studi
169
Kasus DI Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal).
Tesis tidak dipublikasikan. Program Magister Ilmu Lingkungan
Program Pasca sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
Spradley, James. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart &
Winston.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Witoelar, Rahmat. 2008. Kearifan Lokal Terhadap Lingkungan Terancam
Tereliminasi dalam www.beritabumi.or.id. [diunduh pada 15
Oktober 2010].
Whorf, B. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin
Lee Whorf. Cambridge, MA: The massachussetts Institute of
Technology Press.
Yadnya, Ida Bagus Putra. 2004. “Menuju Linguistik Kebudayaan sebagai Ilmu:
Sebuah Perspektif Filsafat Ilmu”, dalam I Wayan Bawa dan I Wayan
Cika, Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar: Penerbit
Universitas Udayana.
top related