eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/47892/2/thesisrevisi.docx · web viewpadi mulai tegak...

260
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang selalu berusaha merefleksikan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berusaha berhubungan dengan orang lain dan berkomunikasi, hingga akhirnya menjadi bagian suatu kelompok masyarakat. Hubungan komunikasi dan sosial yang terjalin antarmanusia ini kemudian membentuk sebuah masyarakat budaya. Hingga pada akhirnya, suatu masyarakat budaya akan memiliki ciri khas masing – masing yang membedakannya dengan masyarakat budaya yang lain. Bahasa merupakan refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat penggunanya. Lebih lanjut lagi, bahasa adalah salah satu sarana penting bagi manusia untuk berkomunikasi dan berbudaya dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena setiap budaya selalu memiliki

Upload: ngokhanh

Post on 12-Mar-2018

290 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang selalu berusaha

merefleksikan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berusaha berhubungan dengan orang lain

dan berkomunikasi, hingga akhirnya menjadi bagian suatu kelompok masyarakat.

Hubungan komunikasi dan sosial yang terjalin antarmanusia ini kemudian

membentuk sebuah masyarakat budaya. Hingga pada akhirnya, suatu masyarakat

budaya akan memiliki ciri khas masing – masing yang membedakannya dengan

masyarakat budaya yang lain.

Bahasa merupakan refleksi dari seluruh kebudayaan masyarakat

penggunanya. Lebih lanjut lagi, bahasa adalah salah satu sarana penting bagi

manusia untuk berkomunikasi dan berbudaya dalam suatu kelompok masyarakat.

Oleh karena setiap budaya selalu memiliki ciri khas masing – masing yang

membedakannya dengan budaya lain, maka bahasa yang digunakannya pun relatif

akan berbeda. Purwoko (2008b), dengan merujuk pada Hymes, menyatakan

bahwa bahasa merupakan petunjuk yang sifatnya simbolis terhadap budaya. Ini

bermakna bahwa kajian terhadap suatu bahasa akan bisa menuntun ke kebudayaan

para pengguna bahasa tersebut.

Setiap budaya mengandung pemaknaan masing – masing berdasar

konvensi masyarakat budayanya, demikian pula dengan bahasa. Sebagaimana

Casson (1981) menyatakan bahwa bahasa merupakan sistem makna simbolis,

2

begitu pula dengan kebudayaan. Lebih lanjut lagi ia menyatakan bahwa bahasa

adalah sistem tanda (simbol) yang berfungsi untuk mengkomunikasikan makna

dari satu konsep ke konsep lainnya. Demikian pula halnya dengan kebudayaan

yang merupakan simbol – simbol di mana di dalamnya terjadi hubungan antara

bentuk yang menandai dan makna yang ditandai.

Dari paparan di atas, tampaklah bahwa bahasa merupakan media budaya

bagi manusia. Dan oleh karenanya, bahasa berkaitan sangat erat dengan

kebudayaan. Keterkaitan ini menggelitik ahli budaya/antropolog untuk lebih

mengkaji tentang bahasa sebagai aspek kebudayaan, dan para linguis untuk lebih

memperhatikan kebudayaan para penutur bahasa sebagai faktor penentu

penggunaan bahasa. Dari pemikiran tersebut lahirlah ilmu interdisipliner antara

ilmu kebudayaan dan ilmu bahasa yang disebut sebagai linguistik antropologi.

Linguistik antropologi, atau kerap disebut juga linguistik kebudayaan

atau etnolinguistik, berfokus pada kajian bahasa untuk meyingkap budaya khas

masyarakat pengguna bahasa. Kekhasan budaya berkaitan dengan ciri khas

kelokalan suatu masyarakat. Berdasar pemikiran bahwa penelitian bahasa dapat

dimanfaatkan untuk mengungkap budaya masyarakat penggunanya tersebut, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian di bidang bahasa yang digunakan

masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah, dan

hubungannya dengan budaya masyarakat tersebut.

1.2 Rumusan Permasalahan

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan dan

keanekaragaman suku bangsa, bahasa, seni, dan budaya. Bahasa Jawa merupakan

3

salah satu bahasa daerah di Indonesia yang memiliki banyak ragam dialek,

termasuk dialek ‘ngapak’ yang memiliki banyak penutur di wilayah Kebumen,

Banyumas, Brebes, hingga Pemalang. Dialek ini memiliki kekhasan dalam

pengucapan vokal a yang tetap dibaca /a/, dan tidak menggunakan pengucapan

vokal a yang dibaca /o/ pada bahasa Jawa standar Solo dan Yogya. Selain itu,

pengucapan bunyi ultima bila berakhiran fonem [g] atau [k] maka akan dibaca

jelas dengan bunyi /g/ dan /k/ yang tidak diucapkan demikian dalam bahasa Jawa

standar Yogya dan Solo. Kekhasan dialek ngapak juga kian beragam di setiap

daerah. Untuk kata yang bermakna ‘kenapa’ dalam bahasa Indonesia, dialek

‘ngapak’ memiliki beberapa kata yang khas digunakan di daerah yang berbeda,

yaitu: ‘kepriwe’ di Banyumas, ‘kepriben’ di Tegal, Pemalang dan Brebes, sedang

di Bumiayu dan Sirampog (wilayah kabupaten Brebes) menggunakan kata

‘keprimen’, sedang kata ‘kepriben’ digunakan untuk menanyakan suatu hal yang

memuat makna emosi yang tinggi.

Wilayah kabupaten Brebes merupakan wilayah yang berbatasan dengan

wilayah Jawa Barat. Oleh karena itu, sebagian masyarakatnya berbahasa Sunda

dan sebagian lainnya berbahasa Jawa dengan dialek ‘ngapak’. Interaksi dengan

bahasa dan budaya Sunda ini agaknya sedikit banyak juga mempengaruhi bahasa

yang digunakan di wilayah kabupaten Brebes. Salah satu wilayah yang

terpengaruh bahasa dan budaya Sunda ini, yang diakibatkan oleh interaksi

langsung dengan masyarakat Sunda, adalah wilayah kecamatan Bumiayu,

Sirampog, Banjar Harjo, Ketanggungan, dan Losari. Banyak kosakata Sunda yang

juga digunakan sehari – hari oleh masyarakat di wilayah tersebut, misal: singkong

4

yang biasa disebut ‘telo’ atau ‘pohung’ dalam bahasa Jawa standar, maka di

wilayah ini disebut dengan ‘bodin’. Berdasar penelitian awal mengenai kosakata

khas di wilayah Sirampog yang telah peneliti lakukan sebelumnya, peneliti dpaat

menyimpulkan bahwa banyak kosakata khas yang terdapat di wilayah kecamatan

Sirampog yang jauh berbeda baik bentuk, makna, maupun penggunaannya dengan

bahasa Jawa Solo/Yogya.

Saat ini isu pencemaran dan pemanasan global menjadi perbincangan

pokok di berbagai bidang. Kondisi iklim yang berubah – ubah secara ekstrim dan

anomali cuaca yang tidak teratur serta tidak dapat diprediksi lagi menyebabkan

para petani sulit melakukan kegiatan bertani dengan metode yang biasa

diterapkan. Hal ini berakibat hasil yang dicapai petani menjadi kurang maksimal.

Permasalahan ini terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia.

Indonesia merupakan negara agraris, sehingga sebagian masyarakatnya

bermata pencaharian di bidang pertanian. Beras merupakan sumber makanan

pokok sebagian masyarakat Indonesia, sehingga pertanian di Indonesia

didominasi oleh pertanian padi. Sekitar tahun 1980 – an, Indonesia berhasil

mencapai prestasi swa – sembada beras dan mampu mencukupi kebutuhan beras

dalam negeri, bahkan mampu mengekspor beras ke negara lain. Namun demikian,

akhir – akhir ini Indonesia mengalami keadaan yang cukup memprihatinkan.

Sebagaimana kita ketahui, saat ini banyak terjadi kelaparan di berbagai daerah di

Indonesia, semakin banyak masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi nasi aking

yang seharusnya tidak layak untuk dikonsumsi, banyak masyarakat yang beralih

5

mengkonsumsi gaplek karena tidak mampu membeli beras, dan berbagai

permasalahan pangan lainnya.

Kenyataan ini menimbulkan banyak pertanyaan, antara lain: Mengapa

Indonesia yang tanahnya subur bisa mengalami keadaan seperti ini? Mengapa

Indonesia harus mengimpor beras, padahal sebelumnya merupakan negara

pengekspor beras? Bagaimana sebenarnya budaya pertanian di Indonesia saat ini

sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan masyarakat? Apakah

masyarakat Indonesia sudah semakin enggan bertani sehingga harus impor ke

negara lain? Fakta lain menunjukkan bahwa masyarakat Kecamatan Sirampog

memiliki (dan menggunakan) bahasa yang begitu kaya dan unik (perbatasan

bahasa Jawa dan bahasa Sunda). Mungkinkah dengan kekayaan bahasa tersebut

maka budaya pertaniannya juga kaya dan unik serta memiliki karakter khas

tersendiri yang tidak dimiliki daerah lain? Bagaimanakah kekayaan lingual

masyarakat di Kecamatan Sirampog, khususnya di bidang pertanian padi?

Mungkinkah masyarakat di Kecamatan Sirampog dengan kekayaan lingualnya

tersebut memiliki kekhasan budaya yang menjadi ciri kelokalannya? Pertanyaan –

pertanyaan ini membuat penulis semakin tertarik untuk mencari jawabannya

melalui penelitian bahasa dan hubungannya dengan budaya dan kearifan lokal

masyarakat.

Secara umum padi memerlukan waktu tumbuh ± 100 (seratus) hari atau

sekitar 3,5 bulan sejak masa tanam hingga panen. Pasca panen petani biasanya

memerlukan sekitar 3 minggu untuk pengolahan tanah dan penyemaian benih

padi. Pola tanam seperti ini biasanya terdapat di areal sawah yang memiliki irigasi

6

teknis yang menjadi sumber air untuk mengairi sawah. Sedang para petani yang

bertani di sawah tadah hujan secara umum hanya dapat panen 1 kali dalam

setahun, dan sisa waktunya akan digunakan untuk menanam tanaman lading,

seperti jagung, ketela, dan sebagainya.

Wilayah Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah

merupakan wilayah yang sangat subur. Wilayah ini terletak di lereng gunung

Selamet. Iklim sejuk dan kondisi sumber perairan yang lancar dan jernih dari

berbagai mata air dan sungai membuat wilayah ini memiliki kekayaan di bidang

pertanian, baik pertanian padi, sayur mayur (sawi hijau, sawi putih, daun bawang,

kacang panjang, buncis, bawang merah, bawang putih, cabai, dan lain

sebagainya), palawija (kentang, ubi, ketela, dan lain – lain). Lahan pertanian,

termasuk sawah, di Kecamatan Sirampog termasuk lahan pertanian tadah hujan

karena hanya mengandalkan air sungai dan mata air kecil yang berasal dari curah

hujan, sehingga debit airnya hanya tergantung curah hujan yang turun di wilayah

tersebut. Meski lahan pertanian miring dan rawan longsor, namun metode

terasering dan teknik pertanian yang digunakan mampu mempertahankan

produktivitas pertanian di wilayah ini hingga meskipun letaknya sangat jauh dari

ibukota kabupaten Kecamatan Sirampog menjadi salah satu wilayah unggulan dan

paling berpotensi di Kabupaten Brebes [website resmi Pemkab Brebes].

Demikian pula dengan budaya padi di wilayah tersebut, sawah tadah hujan yang

lazimnya hanya bisa panen setahun 1 – 2 kali, namun di Kecamatan Sirampog

padi dapat dipanen 3 kali dalam 1 tahun atau 13 (tiga belas) bulan. Kemajuan di

bidang pertanian yang dimiliki Kecamatan sirampog ini tentunya tidak terlepas

7

dari kearifan yang dimiliki masyarakat Kecamatan Sirampog ini. Sebagaimana

telah dibahas sebelumnya bahwa kecamatan Sirampog merupakan wilayah yang

berada di wilayah Jawa Tengah dan berbatasan langsung dengan wilayah Jawa

Barat. Lebih lanjut lagi, bahasa yang digunakan oleh masyarakat di wilayah

Kecamatan Sirampog adalah bahasa Jawa, dialek ‘ngapak’. Namun demikian,

pada kenyataannya, banyak kosakata di wilayah tersebut yang merupakan bahasa

Sunda, misal: bodin (ketela pohon). Oleh karena itu, bahasa Jawa dialek ‘ngapak’

yang digunakan di Sirampog agak berbeda dengan dialek ‘ngapak’ yang

digunakan di daerah Tegal atau Banyumas. Oleh karena kekayaan kosakata yang

dimiliki wilayah inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai kekayaan khasanah lingual, terutama kosakata atau leksikon, dan

kaitannya dengan budaya dan kearifan lokal. Dengan kata lain, kearifan lokal dan

budaya pertanian yang tercermin melalui kekayaan lingual, metafora maupun

ungkapan budaya yang ada di wilayah Kecamatan Sirampog menjadi bahasan

pokok dalam penelitian di tesis ini.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai leksikal pertanian yang ada di komunitas

masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah ini bertujuan

untuk mendeskripsikan konsep budaya dan kearifan lokal di ranah pertanian yang

ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut melalui kekayaan lingual, ungkapan

maupun metafora yang terdapat di wilayah tersebut.

8

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian studi Penelitian ini bermanfaat secara

teoritis maupun praktis. Teoritis dalam dimensi keilmuan, dan manfaat praktis

dalam ranah sosial kemasyarakatan.

Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk:

1) Memperkaya kajian linguistik antropologi dan kaitannya dengan kearifan

lokal,

2) Menambah wacana pada kajian antropologi inguistik dan etnolinguistik

termasuk kajian ekolinguistik,

3) mengetahui kekhasan budaya dan kearifan lokal suatu masyarakat melalui

kajian leksikal khas masyarakat budaya tersebut.

Sedang manfaat praktis penelitian ini adalah untuk:

1) menjadi salah satu wacana acuan terhadap kebijakan pemerintah dalam

upaya pelestarian budaya tradisional untuk meningkatkan produktivitas

suatu daerah,

2) menguak hakikat pertanian Indonesia secara alami agar rakyat Indonesia

kembali ke alam dan bertani dengan ramah lingkungan untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya,

3) menjadi alternatif pendekatan multikultural dalam pengambilan kebijakan

pemerintah agar Indonesia kaya dengan bahan pangan dan menjadi negara

swasembada beras tanpa mengimpor beras dari negara lain.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

9

Penelitian ini berjudul “Kearifan Lokal Pertanian Masyarakat Kecamatan

Sirampog Kabupaten Brebes Melalui Khazanah Lingual Khas (Sebuah Kajian

Linguistik Antropologi)” yang berfokus pada kajian budaya yang berupaya

menemukan kearifan lokal masyarakat setempat, terutama di bidang pertanian,

melalui leksikon – leksikon yang berhubungan dengan pertanian padi di

Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan

kajian linguistik antropologi yang diterapkan untuk mendeskripsikan nilai – nlai

budaya dan kearifan lokal yang ada di Kecamatan Sirampog melalui penelitian

leksikon khas masyarakat di wilayah penelitian dalam bidang pertanian, terutama

pertanian padi.

1.5 Metode dan Langkah Kerja Penelitian

Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Desa Mendala, Desa

Plompong, dan Desa Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi

Jawa Tengah. Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes Jawa

Tengah Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah

Kabupaten Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Wilayah

penelitian meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3 kali dalam

satu tahun. Wilayah Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Desa

Buniwah, Dawuhan, Igirklanceng, Kaligiri, Kaliloka, Batursari, Benda, Manggis,

Mendala, Mlayang, Plompong, Sridadi, dan Wanareja. Desa Benda, Desa

Plompong dan Desa Mendala merupakan wilayah yang paling produktif di bidang

pertanian padi. Ketiga desa tersebut yang masih mengalami panen sebanyak 3 kali

10

dalam 1 tahun, atau lebih tepatnya 3 kali dalam 13 bulan karena dihitung dengan

masa pengolahan tanah sebelum tanam padi berikutnya.

Objek penelitian ini meliputi dua sumber, yaitu sumber data lisan dan

sumber data tertulis. Data lisan diperoleh dari pelaku pertanian, baik pemilik

maupun petani penggarap pertanian, para pekerja, dan dari tokoh – tokoh

masyarakat yang mengetahui metode dan teknik pertanian khas di wilayah

penelitian. Sedang data tertulis diperoleh dari dokumen – dokumen yang dimiliki

oleh pihak pemerintah di wilayah objek penelitian.

Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode

penelitian linguistic partisipatif dan non partisipatif, yaitu: teknik pengamatan,

simak libat cakap, pancing, catat dan simak bebas libat cakap, sebagaimana

diajukan oleh Sudaryanto (1993) sekaligus menggunakan metode etnografi

(Spradley, 1979).

Lebih lanjut lagi, penelitian ini menggunakan teknik wawancara

mendalam dan teknik rekam. Teknik ini dilakukan untuk mendukung keabsahan

data yang diperoleh dalam penelitian. Setelah teknik simak libat cakap, catat,

wawancara dan teknik rekam dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan teknik

catat (ketik computer) dalam membuat transkrip rekaman.

Data penelitian yang telah diperoleh diolah menggunakan teknik

deskriptif kualitatif, padan referensial (semantis), dan teknik inferensial

(triangulasi data). Pemilihan teknik ini karena penelitian ini tidak

menggantungkan pada kuantitas data penelitian, melainkan pada deskripsi dan

interpretasi data secara mendalam. Lebih spesifik lagi data yang diperoleh akan

11

diolah menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian antropologi,

yaitu analisis mengenai bentuk dan makna (semantis) yang digunakan untuk

mengungkap pola – pola kebudayaan di wilayah objek penelitian, sekaligus untuk

mendeskripsikan makna serta nilai – nilai budaya kearifan lokal masyarakat objek

penelitian. Metode deskripsi digunakan karena peneliti berupaya mengungkap

sesuatu secara apa adanya.

Hasil penelitian akan disajikan dengan metode informal (Sudaryanto,

1993). Metode ini tidak menggunakan angka ataupun rumus – rumus matematis

seperti yang diharuskan pada metode penyajian data formal. Penggunaan metode

penyajian informal dipilih karena penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

kualitatif yang berusaha menjelaskan kenyataan yang ada di wilayah penelitian

melalui kata – kata. Penjelasan lebih dalam mengenai metode penelitian ini akan

dibahas dalam bab III tentang metode penelitian.

1.6 Landasan Teori

Penelitian ini berlandaskan pada teori linguistik yaitu kajian linguistik

antropologi. Kajian linguistik antropologi dimanfaatkan untuk mempolakan

kerangka budaya dan nilai – nilai lokal yang bermuara pada unsur – unsur

kearifan lokal dari masyarakat di wilayah penelitian. Linguistik antropologi pada

hakikatnya berfokus pada kajian untuk mengungkap hakikat bahasa yang terdiri

atas bentuk dan makna di balik bentuk yang ada tersebut. Oleh karenanya, kajian

semantik juga dijadikan teori dasar sekaligus pijakan dalam pengolahan data

penelitian. Kajian semantik digunakan untuk mendeskripsikan makna leksikon

khas yang ada di wilayah penelitian.

12

Sapir dan whorf (1921/1949) mengajukan teori relativitas bahasa. Teori

ini menyatakan bahwa di balik sifat kesemestaan bahasa, ada fenomena bahasa

yang khas yang hanya di miliki oleh bahasa – bahasa tertentu dan tidak dimiliki

oleh bahasa lain. Kekhasan ini terjadi karena perbedaan kekhasan budaya

masyarakat pengguna suatu bahasa tersebut. Dengan merujuk pada sifat relativitas

bahasa ini, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa bahasa yang dimiliki oleh

suatu masyarakat akan mencerminkan pandangan hidup (budaya) masyarakat

penggunanya. Jadi, bahasa dapat diibaratkan sebagai cermin budaya masyarakat

penggunanya (Fernandes, 2008).

Kebudayaan secara umum tercermin dalam tiga hal yaitu, perilaku, pola

pikir/ideologi, dan artefak. Ketiganya mencerminkan kelokalan atau kekhasan

budaya masyarakatnya. Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang

hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam

kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang

sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Dengan

demikian, kearifan lokal merupakan salah satu cerminan budaya yang memuat

ketiga unsur budaya tersebut (Koentjaraningrat, 1983).

Secara singkat, penelitian ini berpijak pada pemikiran bahwa bahasa

merupakan salah satu unsur penting dari budaya. Budaya akan mencerminkan

kekhasan masyarakat pelakunya. Oleh karena itu, budaya suatu masyarakat akan

mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya. Dengan demikian, penelitian bahasa

suatu masyarakat dapat dimanfaatkan untuk mengungkap budaya sekaligus

13

kearifan lokal masyarakat tersebut. Penjelasan lebih lanjut mengenai landasan

teori dalam penelitian ini akan dibahas pada Bab Tinjauan Pustaka.

1.7 Definisi Operasional

Berikut akan dijelaskan beberapa definisi operasional yang digunakan

untuk keperluan penulisan tesis ini.

1) Linguistik

Ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah. Istilah ini

muncul pertama kali pada tahun 1808 dalam majalah ilmiah yang

disunting oleh Johann Severin Vater dan Friedrich Justin Bertuch.

(Kridalaksana, 2001: 128).

2) Kebudayaan

Sebuah pengetahuan bersama yang dimiliki, tumbuh dan

berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan kemudian

pengetahuan tersebut secara sosial diwariskan dari satu generasi ke

generasi berikutnya (Koentjaraningrat, 1992: 1).

3) Antropologi

Ilmu yang mempelajari tentang makhluk manusia atau anthropos

(Koentjaraningrat, 1992: 1)

4) Linguistik Antropologi

Linguistik antropologi merupakan salah satu cabang linguistik

yang menelaah hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk

mengamati bagai mana bahasa itu digunakan sehari-hari sebagai alat

dalam tindakan bermasyarakat (Lauder, 2005: 81).

14

5) Performansi

Keterampilan berbahasa seseorang yang ditunjukkan melalui

kemampuan nyata berupa ujaran yang dihasilkan, misalnya berbicara,

mendengar, menulis, dan lain sebagainya. (Kridalaksana: 2001)

6) Kompetensi

Kemampuan berbahasa yang bersifat abstrak, berada di dalam otak

dan/atau pikiran manusia. (Kridalaksana: 2001)

7) Ikon, Indeks, Simbol

Ketiga istilah ini merupakan klasifikasi tanda yang diajukan oleh

Peirce (1965). Icon merupakan suatu tanda yang menunjukkan adanya

kedekatan dan kemiripan yang tampak jelas antara bentuk dan makna

yang digambarkan oleh tanda tersebut. Indeks adalah suatu tanda yang

digunakan untuk mengidentifikasi suatu objek, bukan karena kesamaan

atau analoginya, akan tetapi karena beberapa hubungan spasial maupun

temporal dengan objek yang diacunya. Sedang simbol merupakan tanda

yang memiliki hubungan dengan yang ditandainya sebagai suatu

konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun – temurun

dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan fisik maupun

kesamaan kontekstual. (Foley: 1997)

8) Partisipasi

Budaya merupakan suatu sistem partisipasi. Dengan demikian,

budaya selalu menuntut partisipasi aktif dan perilaku komunikatif para

pelaku budaya tersebut. (Foley: 1997)

15

9) Etik dan Emik

Istilah ini mengacu pada teori fonetik (bunyi/bentuk) dan fonemik

(pembeda makna) yang diajukan oleh Kenneth L. Pike, seorang linguis

aliran tagmemik. Etik merupakan kajian makna yang diperoleh dari

pandangan orang di luar komunitas budaya tersebut. Emik, sebaliknya,

merupakan nilai – nilai makna yang diperoleh melalui pandangan orang

yang berada dalam komunitas budaya tersebut (Kridalaksana, 2001: 52).

10) Etnografi

Etnografi berasal dari dua kata, yaitu: etno yang berarti suku

bangsa atau etnis dan grafi (graph) yang bermakna catatan atau tulisan.

Jadi etnografi merupakan tulisan atau catatan tentang kehidupan dan

kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat,

kebiasaan, hukum, seni, religi, bahasa, dan seterusnya . (Troike: 1982).

11) Kearifan lokal (local wisdom)

Pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi

kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat

lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan

mereka (Irianto, 2009).

12) Kecerdasan lokal (local genious)

Identitas/kepribadian budaya suatu etnik atau suku bangsa yang

menyebabkan komunitas tersebut mampu menyerap dan mengolah

kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Irianto, 2009).

16

13) Pengetahuan lokal (local/folk knowledge)

Suatu pengetahuan lokal yang diperoleh dari pengalaman adaptasi

secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan secara turun temurun

serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan

menciptakan keserasian lingkungan. (Irianto, 2009).

14) Persepsi

Cara pandang terhadap sesuatu atau cara mengutarakan

pemahaman hasil olahan daya pikir. Persepsi berkaitan dengan faktor –

fakor eksternal yang direspons melalui panca indera, daya ingat dan

daya jiwa (Marliany dalam Siswadi, 2010).

15) Sikap

Sikap berkaitan dengan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan

baik positif maupun negatif terhadap suatu objek (Sobur dalam Siswadi,

2010).

16) Perilaku

Proses interaksi antara kepribadian dan lingkungan yang

mengandung rangsangan (stimulus), kemudian ditanggapi dalam bentuk

respon. (Marliany dalam Siswadi, 2010).

1.8 Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri atas 5 (lima) bab dan masing – masing bab akan dibagi

lagi menjadi sub – sub bab sesuai dengan keperluan penulisan. Berikut merupakan

garis besar dari setiap bab:

17

Bab I (satu) merupakan pendahuluan. Bab ini dibagi menjadi 8 (delapan)

sub bab yang membahas: latar belakang penulisan tesis, rumusan permasalahan,

tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan langkah kerja

penelitian, landasan teori, definisi operasional, dan sistematika penulisan.

Bab II (dua) merupakan tinjauan pustaka. Bab ini tersusun atas 3 (tiga)

sub bab, yang masing – masing sub bab akan membahas beberapa pokok bahasan.

Sub bab A (pertama) akan membicarakan mengenai penelitian – penelitian

sebelumnya. Sub bab B (kedua) akan membahas tentang linguistik antropologi.

Sub bab ini dibagi lagi menjadi beberapa pokok bahasan, yaitu: pengertian, bahasa

dan budaya, ruang lingkup, dan pendekatan dalam penelitian linguistik

antropologi.

Bab III (tiga) berisi tentang metode yang digunakan dalam penelitian di

tesis ini. Bab ini dibagi lagi menjadi beberapa sub bab, yaitu: gambaran lokasi

penelitian (yang berisi sejarah, keadaan demografi, keadaan monografi dan situasi

kebahasaan di wilayah penelitian), sasaran penelitian, subjek dan objek penelitian,

asumsi penelitian dan metode penelitian; yang membahas metode penyediaan

data, metode pengolahan data dan metode penyajian hasil analisis data.

Bab IV (keempat) merupakan bab pembahasan hasil penelitian. Bab ini

terbagi atas 6 (enam) sub bab, yaitu: kajian terhadap kekayaan leksikon tentang

pertanian padi di wilayah pertanian, deskripsi budaya pertanian padi di wilayah

penelitian, kategori semantis leksikon khas pertanian padi di wilayah penelitian,

analisis indeksikalitas, kearifan lokal masyarakat, dan upaya pelestarian kearifan

lokal yang dilakukan oleh masyarakat di wilayah penelitian.

18

Bab V (kelima) merupakan penutup tesis ini. Bab ini berisi dua sub bab,

yaitu: sub bab simpulan dan sub bab saran. Setelah bab V (kelima), akan

disertakan daftar pustaka yang dijadikan rujukan saat penulisan tesis ini, dan

lampiran – lampiran yang diperlukan untuk mendukung reliabilitas dan validitas

penelitian ini.

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian – penelitian Sebelumnya

Sebelum abad XX, para ahli linguistik menyatakan kemungkinan adanya

hubungan antara bahasa dan budaya. Bahkan, Thomas Jefferson, presiden

Amerika yang ketiga (berkuasa pada 1801-1809), menganjurkan agar para ahli

linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian dengan tujuan

untuk mengungkap budaya dan tradisi mereka. Hingga akhirnya seorang tokoh

antropolog Amerika kelahiran Jerman, Franz Boas (1858 – 1942), berhasil

melakukan beberapa penelitian mengenai budaya dan bahasa masyarakat Eskimo

yang disajikan dalam karyanya On Alternating Sounds pada tahun 1888. Karya

brilian Boas yang menjadikannya pelopor linguistik antropologi adalah kajian

filologi bahasa Indian Amerika yang terangkum apik dalam bukunya Handbook of

American Indian Languages (1911/1941). Buku ini berisi tentang uraian lengkap

di bidang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk

mengungkapkan makna dari bahasa – bahasa Indian Amerika. Penelitian –

penelitian Boas ini berhasil mengungkap wilayah kajian yang lebih luas di bidang

linguistik dan dapat membuka kemungkinan dilakukannya penelitian yang

mengkaji hubungan antara bahasa, budaya, dan pikiran. Peneliti lain yang

mengkaji hubungan bahasa, budaya dan pikiran antara kain Sapir – Whorf

(1921/1956), Hymes (1964), dan seterusnya. Berikut ini akan dibahas beberapa

penelitian bahasa yang berhubungan dengan budaya dan kearifan lokal.

20

Pertama, Ni Wayan Sartini menulis artikel berjudul Menggali Kearifan

Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati. Tulisan ini dimuat di jurnal Filsafat

Universitas Gadjah Mada pada halaman 111–120 yang terbit bulan Agustus 2004,

Jilid 37, Nomor 2. Tulisan Sartini berisi pemikiran – pemikiran filsafati yang

menjelaskan tentang pentingnya eksplorasi terhadap kekayaan luhur budaya

bangsa. Sartini juga berpendapat bahwa perlu ada upaya – upaya kritis terhadap

eksistensi kekayaan luhur bangsa itu terkait dengan adanya perubahan budaya.

Lebih lanjut lagi, Sartini memberikan pelbagai pemikirannya mengenai konsep,

contoh, dan kemungkinan perubahan kearifan lokal sebagai pengaruh lintas

budaya dan globalisasi.

Kedua, Dwi Haryanti dan Agus Budi Wahyudi, dari Universitas

Muhammadiyah Surakarta menulis artikel berjudul Ungkapan Etnis Petani Jawa

di Desa Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten: Kajian Etnolinguistik.

Artikel ini dimuat dalam Kajian Linguistik dan Sastra (yang diterbitkan oleh

Fakultas Ilmu Budaya Universitas gadjah Mada), Volume 19, No.1, Juni 2007, di

halaman 35–50. Tulisan Haryanti dan Wahyudi tersebut merupakan laporan hasil

penelitian mereka di Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Subjek

dalam penelitian mereka adalah para petani di tujuh desa di wilayah Kecamatan

Klaten, sedang objek penelitiannya adalah ungkapan para petani di wilayah

tersebut. Metode penelitian yang digunakan kedua peneliti ini adalah metode

deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan simak catat untuk

memperoleh data. Data yang telah diperoleh dianalisis dengan menggunakan

metode analisis etnografi yang diajukan Spradley dan metode padan referensial.

21

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ungkapan para petani di Kecamatan

Cawas terdiri atas dua bentuk, yaitu: satuan lingual kata dan frasa. Satuan lingual

kata yang diperoleh dalam penelitian tersebut berjumlah 170 kata, 10 ungkapan

berbentuk kata majemuk, dan 73 ungkapan berupa frasa. Lebih lanjut lagi, kedua

peneliti tersebut menjelaskan maksud atau makna berbagai ungkapan tersebut

yang terangkum dalam 8 (delapan) budaya pertanian.

Ketiga, Inyo Yos Fernandes menulis hasil penelitiannya di jurnal terbitan

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, yaitu: Kajian Linguistik dan

Sastra Volume 20, No. 2, terbit bulan Desember 2008, pada halaman 166 – 177.

Tulisannya yang berjudul Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa

sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada

Masyarakat Petani dan Nelayan ini merupakan laporan hasil penelitiannya

tentang pertanian dan nelayan tradisional di Jawa Tengah, Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Jawa Timur. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji dan

mendalami serta memahami pengetahuan tradisional yang mengutamakan

ekologi, hubungan serasi yang terjalin antarmanusia, manusia dengan Pencipta,

dan manusia dengan alam. Inti penelitian Fernandes ini adalah tentang manusia

dan nilai – nilai kemanusiaan (humanity values). Subjek penelitian Fernandes ini

adalah para petani dan nelayan, sedang objek penelitiannya adalah ungkapan dan

kategori linguistik bahasa Jawa yang dihasilkan oleh masyarakat di daerah

penelitian. Sampel penelitian Fernandes terdiri atas para petani di desa Wonosari

(daerah perbukitan Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur), desa Kemuning Sari

(Jember, Jawa Timur), dan para petani di desa Petung Kriyana (Pekalongan, Jawa

22

Tengah). Selain itu, Fernandes memilih para nelayan di desa Puger (Jember, Jawa

Timur), dan para nelayan di desa Kemadang (Gunung KIdul, DIY). Lebih lanjut

lagi, Fernandes menggunakan metode etnografi dan metode ethno – science dalam

kerangka kerja etnolinguistik.

Dalam laporan penelitiannya, Fernandes menyatakan bahwa berdasar

ekspresi dan kategori linguistik bahasa Jawa, masih ada sebuah mitos yang

diyakini oleh para petani Jawa yang ditunjukkan dalam upacara ritual sebelum

masa tanam padi. Upacara ini merupakan refleksi rasa syukur kepada Tuhan,

dalam hal ini ‘Dewi Sri’. Lebih lanjut lagi, Fernandes menyatakan bahwa kearifan

lokal masyarakat Jawa, khususnya di Jawa tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,

dan Jawa Timur dapat diketahui melalui ranah bahasa yang diperlihatkan melalui

kategori dan ekspresi linguistiknya, dan dengan keanekaragaman bentuk bahasa

yang dapat diamati. Fernandes menutup laporan penelitiannya dengan sebuah

simpulan bahwa pola pikir dan pandangan hidup petani dan nelayan yang tampak

dan terekam dalam makna yang terjalin secara tersirat maupun tersurat (dalam

ekspresi dan kategori linguistik) dapat digunakan untuk mengklarifikasi

kemampuan pemilik budaya akan sistem pengetahuan (kognisi) yang terekam

dalam bahasa sebagai bagian integral dari kebudayaan.

2.2 Perihal Linguistik Antropologi

2.2.1 Pengertian

Linguistik merupakan ilmu yang dinamis dan terus bermetamorfose.

Dikatakan demikian karena linguistik, sebagai ilmu, terus berkembang dan

bercabang menjadi berbagai macam ilmu, sebagai misal psikolinguistik

23

sosiolinguistik, linguistik antropologi, pragmatik, analisis wacana, dan seterusnya.

Sebagaimana Koentjaraningrat (1983) menyatakan bahwa linguistik merupakan

salah satu dari pelbagai ilmu sosial dasar yang dapat terus berkembang dan

menghasilkan banyak ilmu turunannya. Kajian ilmu linguistik dan kaitannya

dengan budaya (yang bersifat anakronik) melahirkan ilmu linguistik antropologi

atau linguistik kebudayaan. Boas telah mempelopori kajian linguistik kebudayaan

sejak tahun 1888. Tokoh linguistik budaya yang lain adalah Sapir dan Whorf

(1921/1956), Hymes (1964), dan sebagainya. Saat ini, hasil kajian Boas menjadi

acuan bagi perkembangan linguistik antropologi, baik dalam bidang linguistik

struktural maupun dalam studi kognisi manusia.

Pengertian linguistik antropologi berikut diajukan oleh Foley (1997: 3)

sebagai berikut:

Anthropological linguistics is that sub – field of linguistics which is

concerned with the place of language in its wider social and cultural

context, its role in forging and sustaining cultural practices and social

structures.

Foley memandang bahwa linguistik antropologi adalah sub ilmu

linguistik yang berfokus pada kajian bahasa dalam konteks sosial dan budaya.

Selain William A. Foley, seorang ilmuwan linguistik budaya adalah Duranti

dengan karyanya Linguistic Anthropology (1997); ia mendefinisikan ilmu

antropologi linguistik dengan singkat sebagai berikut: “Linguistic anthropology

will be presented as the study of language as cultural resource and speaking as a

cultural practice” (Duranti, 1997:2). Dari pernyataan tersebut tampak bahwa

Duranti mengacu pada pengertian antropologi linguistik yang dikutipnya dari

24

Hymes sebagai berikut: Linguistic anthropology is a study of speech and

language within the context of anthropology. (Hymes, 1963 dalam Duranti, 1997).

Dengan demikian, baik Foley, Duranti maupun Hymes memandang bahwa

linguistik antropologi merupakan kajian bahasa sebagai sumber budaya dan

tuturan sebagai praktik budaya.

Definisi lain diajukan oleh Lauder (2005:81) yang menyatakan bahwa

linguistik antropologi merupakan salah satu cabang linguistik yang menelaah

hubungan antara bahasa dan budaya terutama untuk mengamati bagaimana bahasa

itu digunakan sehari-hari sebagai alat dalam tindakan bermasyarakat. Ilmu

linguistik antropologi terkadang disebut sebagai antropologi linguistik dan

etnolinguistik yang menelaah bahasa bukan hanya dari struktur semata, tapi lebih

pada fungsi dan pemakaiannya dalam konteks situasi sosial budaya. Dari pelbagai

definisi linguistik antropologi tersebut dapat disimpulkan bahwa ilmu linguistik

antropologi atau yang lazim dikenal juga sebagai linguistik kebudayaan

merupakan suatu ilmu yang mengkaji kaitan antara bahasa dan budaya.

2.2.2 Bahasa dan Budaya

Kebudayaan (culture), secara etimologi, berasal dari bahasa Latin

cultura, yang memiliki akar kata colere, yang bermakna berkembang tumbuh.

Dari akar kata colere tersebut, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa

kebudayaan adalah sebuah pengetahuan bersama yang dimiliki, tumbuh dan

berkembang dalam suatu kelompok masyarakat dan kemudian pengetahuan

tersebut secara sosial diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Keterkaitan antara bahasa dan budaya oleh Hymes (1966), dengan

25

merujuk tulisan Sapir (dalam Hymes 1964:128), dijelaskan sebagai berikut:

People who enact different cultures do to some extent experience

distinct communicative system, not merely the same natural

communicative condition with different customs affixed. Cultural

values and beliefs are in part constitutive of linguistic reality.

(Sapir dalam Hymes, 1964:128)

Pendapat berikutnya diajukan oleh Mc Quown (1978) dalam Nyadnya

(2009) yang menyatakan bahwa bahasa adalah instrumen utama manusia dalam

mengintegrasikan dirinya baik secara internal maupun eksternal sebagai individu

yang berfungsi dan berpartisipasi aktif dalam kelompok atau masyarakat manusia.

Pendapat ini dikuatkan oleh Kridalaksana (1998) yang mengungkapkan bahwa

kajian tentang bahasa selalu menempatkan kajian itu dalam hubungannya dengan

kehidupan manusia. Oleh karena itu, bahasa tidak hanya bermanfaat sebagai

sarana komunikasi seorang individu dan/atau suatu kelompok untuk

mengungkapkan ide, pikiran, perasaan, pendapat, harapan, keluhan, dan

sebagainya kepada individu atau kelompok lain, akan tetapi bahasa juga dapat

berfungsi merepresentasikan masyarakat penuturnya. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa bahasa suatu masyarakat dapat menyingkap perilaku

berbahasa, identitas, kehidupan, hingga pelestarian budaya masyarakat

penuturnya.

Roman Jakobson, seorang linguis penting dari aliran Praha, memberikan

gagasan mengenai fungsi bahasa. Jakobson, dalam Samsuri (1988: 30),

mengatakan bahwa ada enam faktor bahasa yang sejajar kedudukannya dengan

enam fungsi bahasa. Enam faktor bahasa menurut Jakobson dipandang dari sudut

26

pembicara, pendengar, konteks, pesan, hubungan, dan kode. Jakobson

menambahkan bahwa fungsi bahasa ada enam, yaitu: fungsi ekspresif, konatif,

denotatif, fatik, metalinguistik, dan puitik.

1) Fungsi ekspresif

Fungsi ini memungkinkan bahasa dimanfaatkan untuk

menyampaikan ekspresi emosi, keinginan atau perasaan

penutur.

2) Fungsi konatif

Sebagai alat komunikasi, di sini bahasa digunakan untuk

mempengaruhi orang lain, baik secara emosional, perasaan

maupun tingkah lakunya. Oleh karenanya, orientasi bahasa

dalam fungsi ini adalah pada penerima pesan. Selain itu, bahasa

juga dapat bermanfaat untuk memberikan keterangan,

mengundang, memerintah, memberi pesan, mengingatkan,

bahkan mengancam.

3) Fungsi denotatif (informasional)

Sebagai media komunikasi, bahasa dapat digunakan untuk

menyampaikan suatu informasi. Oleh karena itu, fokus utama

fungsi ini terdapat pada makna bahasa yang sangat dekat

dengan hubungannya dengan dunia (obyek) di luar bahasa itu

sendiri.

4) Fungsi fatik (interaksional)

Dalam hal ini, bahasa berfungsi sebagai saluran. Artinya,

27

bahasa digunakan untuk mengungkapkan, mempertahankan

dan mengakhiri suatu hubungan komunikasi antara penutur

dengan mitra tuturnya.

5) Fungsi metalinguistik

Bahasa dapat berfungsi sebagai media untuk menyatakan

sesuatu tentang bahasa. Oleh karena itu, fokus fungsi ini pada

kode.

6) Fungsi puitik;

Fungsi ini berorientasi pada kode dan makna secara simultan.

Kode kebahasaan dipilih secara khusus agar dapat

memfasilitasi makna yang disampaikan penutur, sedang bentuk

dari fungsi ini adalah unsur – unsur seni, seperti rima, ritme,

metafora, dan lain sebagainya.

Malinowski, (dalam Fernandes, 2008), menyatakan bahwa bahasa

merupakan suatu anasir kebudayaan yang mampu berperan untuk memenuhi

kebutuhan sekunder manusia. Sebagaimana kita ketahui, kebutuhan manusia

terbagi menjadi dua, yaitu kebutuhan primer (pangan, sandang, papan) dan

kebutuhan sekunder (bersosialisasi, berekspresi, berbudaya, dan seterusnya).

Lebih lanjut lagi, aktivitas berbudaya merupakan salah satu kebutuhan naluri

manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Pendapat selaras

dengan yang Boas yang menyatakan bahwa semua bahasa mampu menjadi alat

untuk mengungkapkan gagasan, terlepas dari perbedaan kategori formal. Dan oleh

karenanya, bahasa merefleksikan perbedaan budaya. Sebagai contoh, hasil

28

penelitian Boas pada tahun 1888 menunjukkan bahwa masyarakat Eskimo yang

tempat tinggalnya dan lingkungan di sekelilingnya merupakan wilayah bersalju

memiliki beberapa kosa kata untuk mengacu ke salju, antara lain: aput mengacu

pada salju yang berada di atas tanah; qana mengacu pada salju yang turun;

piqsirpoq mengacu pada salju yang mencair, dan qimuqsuq mengacu pada cairan

salju (Sampson, 1980: 86). Fakta ini berlainan dengan leksikon yang merujuk

pada salju di masyarakat Inggris atau Amerika yang berbahasa Inggris. Meski

wilayah Eropa dan Amerika juga memiliki pengalaman dengan salju, namun

kehadiran salju tidak menjadi dominasi di kehidupan sehari – hari mereka. Oleh

karena itu, bahasa Inggris hanya memiliki satu leksikon untuk salju yaitu “snow”.

Dengan demikian, dapat diambil suatu simpulan bahwa persepsi dan pola pikir

masyarakat Eskimo terhadap sekelilingnya mempengaruhi bahasa yang mereka

produksi.

Danesi dan Perron (1999), dengan merujuk pada Peirce (1965), menyebut

manusia sebagai homo culturalis, yang bermakna manusia adalah makhluk yang

selalu ingin memahami makna dari apa yang dijumpainya (meaning – seeking

creature). Pemikiran Peirce ini tampak selaras dengan pendapat Koentjaraningrat

(1992 [1967]) yang menyatakan bahwa kebudayaan hanya dimiliki oleh manusia,

dan tumbuh bersamaan dengan tumbuh kembang kehidupan manusia.

Koentjaraningrat menambahkan bahwa pengertian ini akan lebih mudah dipahami

dengan menggunakan istilah kerangka kebudayaan yang terdiri atas dua aspek,

yaitu: (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan, sebagaimana tampak dalam

Gambar 2.1. berikut ini:

29

Kerangka kebudayaan

Wujud kebudayaan Isi kebudayaan

Gambar 2.1. Kerangka kebudayaan

Lebih lanjut lagi, Koentjaraningrat (1987: 9) menjelaskan bahwa wujud

kebudayaan berupa wujud gagasan atau sistem budaya yang bersifat abstrak,

perilaku atau sistem sosial yang bersifat konkret, dan wujud fisik atau benda fisik

budaya yang bersifat sangat konkret; berikut adalah wujud kebudayaan menurut

Koentjaraningrat (1987: 5):

1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide – ide,

gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan, dan sebagainya

(pikiran/ideel/abstrak),

2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat (perilaku/kebiasaan),

3) wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia

(konkret, dapat dilihat dan diraba).

Sedang isi kebudayaan terdiri atas 7 (tujuh) unsur atau komponen. Berikut

merupakan isi kebudayaan yang diajukan oleh Koentjaraningrat (1992: 7), terdiri

atas 7 (tujuh) komponen yaitu :

1) sistem religi,

2) sistem kemasyarakatan,

3) sistem peralatan,

30

4) sistem mata pencaharian hidup,

5) sistem bahasa,

6) sistem pengetahuan, dan

7) seni.

Bahasa, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, merupakan salah satu

dari 7 unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1992: 7). Hymes dalam Purwoko

(2008a: 4) menyatakan bahwa bahasa adalah penuntun simbolis suatu budaya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan aspek penting

dalam budaya. Eratnya hubungan bahasa dan budaya ini bahkan dinyatakan oleh

Bassnet (1992) dengan ungkapan “language is the heart within the body of

culture”, yang terjemahannya lebih kurang sebagai berikut: “bahasa adalah

jantung di dalam budaya sebagai raganya”. Dari beberapa definisi kebudayaan dan

uraian mengenai ciri – ciri budaya tersebut, tampaklah bahwa bahasa memegang

peranan penting sebagai sarana transmisi budaya dari suatu generasi ke generasi

berikutnya. Begitu pentingnya penyelidikan tentang bahasa untuk mengungkap

kebudayaan suatu suku bangsa dan/atau masyarakat tertentu menyebabkan banyak

ahli antropologi yang melibatkan penyelidikan bahasa dalam penelitiannya.

Kaitan erat bahasa dan budaya ini telah banyak diteliti oleh para ahli

budaya maupun bahasa yang dipelopori oleh Boas, seorang figur sentral dalam

tradisi antropologi Amerika dan linguistik antropologi (Foley, 1997: 194). Kiprah

Boas diteruskan oleh murid – muridnya Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf.

Pendapat keduanya sebenarnya melanjutkan pemikiran – pemikiran Boas yang

kemudian dikenal sebagai hipotesis Sapir – Whorf. Sapir dan Whorf menyatakan

31

bahwa terdapat hubungan antara bahasa dengan pikiran dan telah melahirkan

konsep yang lebih populer dengan teori relativitas bahasa (linguistic relativity).

Teori relativitas bahasa atau yang disebut sebagai hipotesis Sapir – Whorf ini pada

prinsipnya menjelaskan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat bahasa

ditentukan oleh struktur bahasanya dan kategori semantis yang ada dalam bahasa

tersebut dan yang diwarisi bersama kebudayaannya (Kridalaksana, 2001: 187).

Pada awalnya, perhatian hipotesis ini tertuju pada hubungan antara bahasa dan

cara pandang dunia dari penuturnya dan yang kebanyakan terlihat dalam tata

bahasa (gramatikanya). Selain itu, dapat pula diamati melalui pemakaian kosa

katanya. Gagasan Sapir yang terkenal yaitu tentang analisis kosakata suatu bahasa

yang diungkapkan Sapir (1949) dalam Foley (1997: 198) berikut ini:

This brings us to the nature of language as a symbolic system, a method of referring to all possible types of experience. The natural or, at any rate, the naïve thing is to assume that when we wish to communicate a certain idea or impression, we make something like a rough and rapid inventory of the objective elements and relations involved in it, that such an inventory or analysis is quite inevitable, and that our linguistic task consists merely of finding of the particular words and groupings of words that correspond to the terms of the objective analysis.

Gagasan mengenai analisis kosakata ini juga dinyatakan oleh Whorf

sebagaimana Foley (1997: 200) menggambarkannya sebagai berikut: “Semantic

organization is the central Principle of Linguistic Relativity, because it is really in

alternative meanings or interpretations that diverse languages differ”. Dari

pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip pokok dari relativitas bahasa

adalah organisasi semantik, hal ini disebabkan bahwa dalam makna – makna dan

interpretasi – interpretasi alternatif itulah bahasa tampak benar – benar berbeda.

32

Organisasi semantik akan terlihat jelas komponen – komponennya dalam analisis

kosakata. Hal ini karena setiap leksikon atau kosakata memiliki komponen

semantiknya masing – masing.

Gagasan mengenai analisis kosakata yang diungkapkan oleh Sapir dan

Whorf ini diikuti banyak linguis untuk turut melakukan penelitian kosakata untuk

menguak lingkungan fisik dan sosial serta nilai budaya di tempat para penutur

suatu bahasa berdiam. Sebagaimana Sartini (2009) menyatakan bahwa gagasan

Sapir – Whorf mengenai analisis kosakata ini dapat dimanfaatkan untuk menguak

lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu bahasa berdiam serta hubungan

antara kosakata dan nilai budaya yang bersifat multidireksional. Gagasan Sapir –

Whorf ini menguatkan kembali teori relativitas bahasa yang mereka ajukan

sebelumnya. Sapir – Whorf, dalam konsep relativitas bahasa, menyatakan bahwa

cara pandang suatu etnik terhadap dunia di sekitarnya dapat diamati melalui

bahasanya. Dengan demikian, bila suatu etnik berbeda bahasa dengan etnik lain,

dapat dipastikan bahwa etnik – etnik tersebut memiliki budaya yang berbeda.

Sebagaimana yang dinyatakan (Sapir [1929], 1949b:162, dalam Duranti, 1997:60)

sebagai berikut: “No two languages ever sufficiently similar to be considered as

representing the same social reality. The worlds in which different societies live

are distinct worlds, not merely the same world with different labels attached”

(tidak ada dua bahasa apapun yang dianggap cukup sama saat merepresentasikan

realitas sosial yang sama).

Gagasan mengenai analisis kosakata ini juga diungkapkan oleh

Fernandes (2008) yang menyatakan bahwa kategori dan ekspresi linguistik

33

khususnya tutur lisan yang masih hidup di kalangan suatu komunitas akan selalu

mengandung cara pandang dan pola pikir kolektif yang dihasilkan melalui

komunikasi masyarakat etnik seperti yang terekam dan diolah melalui sistem tata

bahasanya. Ia menambahkan bahwa wacana budaya msyarakat penutur suatu

bahasa tertentu dapat terbentuk melalui kajian mengenai relasi antar unit lingual

yang berupa kosakata (leksikon) yang ditemukan dalam bahasa tersebut. Di

samping itu, pola pikir masyarakat penutur bahasa terebut juga akan tampak

melalui leksikon maupun sistem tata bahasa di dalam mitos atau lagu khas yang

terdapat dalam masyarakat tersebut, baik yang tersirat maupun tersurat.

Pada hakikatnya linguistik antropologi merupakan penyelidikan terhadap

makna – makna dalam praktik – praktik linguistik yang tercakup dalam lingkup

praktik budaya (Foley, 1997:5). Dalam kaitannya antara budaya dan bahasa, Foley

(1997:7) berpendapat bahwa dalam proses pengungkapan makna sebenarnya

meliputi pengungkapan hubungan sejarah bahasa dan sekaligus praktik – praktik

budaya. Hal ini dikarenakan bahasa memuat banyak kata dan ungkapan yang

menunjukkan khasanah makna dan praktik – praktik linguistik konvensional

sekaligus hubungan masyarakat budaya saat ini dengan masyarakat budaya

sebelumnya. Pendapat lain diajukan oleh Geertz (1973) dalam Foley (1997:16)

yang menyatakan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem makna dari suatu

masyarakat yang ditunjukkan dan diungkapkan melalui simbol – simbol dan

melalui perilaku yang terlihat sebagai tindakan simbolis.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelidikan mengenai

makna untuk mengungkap budaya suatu masyarakat amatlah penting untuk

34

dilakukan, mengingat bahwa praktik – praktik budaya mengandung muatan

makna.

2.2.3 Ruang Lingkup

Kajian linguistik antropologi berfokus pada tiga objek utama,

performansi (performance), indeksikalitas (indexicality), partisipasi

(participation) (Duranti, 1997:14–20). Berbicara mengenai ketiga fokus kajian

tersebut, paparan berikut berusaha mengulas ketiga objek linguistik antropologi

ini.

1) Performansi

Linguistik antropologi berfokus pada kajian performansi.

Kajian performansi sendiri tidak bisa dipisahkan dengan apa yang

disebut dengan kompetensi. Purwoko (2009) menyatakan bahwa

kompetensi linguistik seorang penutur asli suatu bahasa akan

tercermin melalui pengetahuan tentang tiga macam kaidah

penggunaan bahasa (‘tata bahasa’, ‘tata krama’, ‘tata interaksi’).

Dengan merujuk pada Hymes (1984), Purwoko (2009), menambahkan

bahwa setiap penutur bahasa memiliki rentang kompetensi (range of

competence); yang terdiri atas dua jenis, yaitu: short range dan long

range competencies. Short range competence (rentang kompetensi

pendek) dinyatakan Purwoko (2009) sebagai potensi atau kapasitas

seorang penutur bahasa sejak lahir (innate capacity). Sedang long

range competence (rentang kompetensi panjang) berkaitan dengan

sosialisasi dan dinamika sosial, yang berkenaan dengan language

35

usage (kaidah bahasa) dan language use (penggunaan bahasa),

sepanjang hidup seorang penutur bahasa.

Bahasa sebagai media komunikasi dan media bagi manusia

untuk berbudaya menjadi objek penelitian bila bahasa tersebut telah

diujarkan. Hal ini dikarenakan bahwa sebaik apapun pengetahuan atau

kompetensi seorang penutur, pengetahuan itu tidak akan dipahami

oleh orang lain bila tidak ditampilkan atau diujarkan (performed)

(Purwoko, 2009: 106). Purwoko (2009) menambahkan bahwa

linguistic performance yang tampak dalam ucapan seseorang menjadi

sangat krusial bagi pengamat linguistik, termasuk linguistik budaya.

Dari penjelasan tersebut, kita dapat ambil kesimpulan bahwa dalam

produksi ujaran suatu bahasa, performansi sama penting atau bahkan

lebih penting daripada kompetensi untuk diamati oleh peneliti

(Purwoko, 2009).

2) Indeksikalitas

Sebelum berbicara mengenai indeksikalitas, terlebih dahulu

akan dibahas mengenai konsep tanda. Berikut ini adalah konsep tanda

yang diajukan oleh Guiraud (1971/1978: 22):

A sign is a stimulus – that is, a perceptible substance – the mental image of which is associated in our minds with that of another stimulus. The function of the former is to evoke the latter with a view to communication.

Guriaud menambahkan bahwa ‘a sign is always marked by

an intention of communicating something meaningful’. Meskipun

demikian, intention ini mungkin tidak disadari oleh pemilik tanda

36

tersebut.

Tanda selalu berdasar hubungan konvensional (yang

mungkin lebih lemah atau lebih kuat) antara signifier dan signified.

Oleh karena itu, ada dua tipe utama hubungan, yaitu apakah hubungan

antara signifier dan signified itu motivated atau unmotivated (arbitrer).

Motivasi merupakan hubungan alami antara signifier dan signified.

Motivasi melepaskan tanda dari konvensi. Guiraud menyatakan

hubungan antara motivasi dan konvensi sebagai berikut:

The weaker the motivation, the more constraining the convention has to be; and in extreme cases it alone is able to ensure the efficacy of a sign in which there is no perceptible relation between signifier and signified. The sign is then said to be non – motivated and arbitrary (Guiraud, 1971/1978:26)

Saussure (1916) menyatakan bahwa tanda terdiri atas dua

aspek yaitu : a signifier (penanda) dan a signified (Petanda), dimana

hubungan antara keduanya memerlukan persetujuan atau konvensi

implisit dari para penggunanya. Kant (1798/1974) dalam Duranti

(1997:17) membedakan tanda menjadi dua, yaitu tanda arbitrer dan

tanda alami (natural). Tanda linguistik, misal huruf - huruf yang

mewakili bunyi linguistik; kata; dan seterusnya, merupakan salah satu

tanda arbitrer yang berdasar atas konvensi budaya suatu komunitas.

Sedang adanya asap yang menandai adanya api merupakan suatu

tanda atau fenomena alamiah (Kant [1974] dalam Duranti, 1997:17).

Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep tanda yang diajukan

oleh Saussure (1916).

37

Peirce (1965) dalam Foley (1997) membedakan tanda

linguistik menjadi tiga, yang masing – masing tergantung pada kadar

motivasinya, yaitu: icon, index, dan symbol. Foley (1997) menjelaskan

bahwa tanda linguistik (baik yang berupa icon, index, maupun symbol)

memiliki dua kutub: bentuk fisik (signifier) dan makna (signified).

Foley menjelaskan bahwa icon merupakan suatu tanda dimana ada

kedekatan dan kemiripan yang tampak jelas antara bentuk dan makna

yang digambarkan oleh tanda tersebut. Sebagai contoh; gambar laki –

laki atau perempuan di atas toilet merupakan representasi visual yang

disederhanakan untuk menunjukkan mana yang toilet laki – laki dan

toilet perempuan. Gambar ikonik itu sendiri berdasar konvensi

masyarakat penggunanya, yang bisa saja tidak akan dipahami oleh

orang asing, contoh: oleh suku pedalaman Papua. Senada dengan

Foley, Duranti (1997:205) menambahkan bahwa ikon adalah tanda –

tanda yang digunakan untuk menggambarkan karakter suatu benda

yang mirip dengan referent yang diwakilinya. Aspek – aspek

ikonisitas bunyi bahasa dapat berupa bahasa khusus atau universal,

kata–kata onamatopoik adalah contoh dari ikon. Contoh, bunyi kucing

di Indonesia ‘meong’, di Inggris/Amerika di tirukan dengan bunyi

‘meow’. Pada dasarnya bunyi–bunyi itu diupayakan menyerupai bunyi

aslinya.

Index dijelaskan Foley (1997) sebagai suatu tanda yang

memiliki makna yang diinterpretasikan dari konteks ujarannya.

38

Sedang Duranti (1997) menjelaskan indeks sebagai suatu tanda yang

digunakan untuk mengidentifikasi suatu objek, bukan karena

kesamaan atau analoginya, akan tetapi karena beberapa hubungan

spasial maupun temporal dengan objek yang diacunya (Duranti,

1997:207). Indeks terdiri atas dua jenis yaitu tanda non – linguistik

dan tanda linguistik. Index dapat berupa pemilihan bahasa untuk

menunjukkan solidaritas atau perbedaan sosial. Contoh index non

linguistik adalah adanya awan hitam menunjukkan akan adanya hujan

(Foley, 1997:26), sedang contoh index yang linguistik adalah

pemilihan penggunaan bahasa Indonesia dalam ranah formal dan

bahasa daerah pada ranah informal. contoh lain dari index linguistis

adalah penggunaan kata ganti orang kedua yang membedakan antara

tu dan vous (bahasa Perancis); kamu dan anda (bahasa Indonesia);

sampéyan, njenengan, kowé/ko, dan rika (bahasa Jawa); antum dan

anta (bahasa Arab).

Simbol merupakan tanda yang tidak memiliki motivasi dan

bersifat arbitrer. Oleh karena itu, simbol sebagai unmotivated sign

memiliki hubungan antara tanda dengan yang ditandainya sebagai

suatu konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun –

temurun dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan

fisik maupun kontekstual. Dengan kata lain, perbedaan penggunaan

atau pemilihan simbol ini bersifat arbitrer dan ditentukan oleh

konvensi budaya dari generasi ke generasi (Saussure, 1916; dalam

39

Foley, 1997). Sebagai misal, di beberapa wilayah di Jawa, kain

segitiga berwarna merah, kuning, putih, atau hitam yang dipasang (di

ujung gang/jalan) menandakan ada kematian di daerah tersebut. Akan

tetapi bendera kuning yang banyak dikibarkan saat masa kampanye

menandakan golongan partai tertentu. Konsep ini tentunya akan

berlainan dengan masyarakat budaya lain. Lebih lanjut lagi, konsep

simbol sangat sesuai dengan konsep tanda yang diajukan oleh

Saussure, dimana tanda dinyatakan memiliki hubungan yang arbitrer

antara bentuk dan maknanya. Grammar (aturan tata bahasa) juga

merupakan konvensi masyarakat, meski peraturannya terkadang

sangat ketat, namun dari aturan grammar tersebut tampaklah

bagaimana bentuk budaya masyarakat penggunanya. Sebagai contoh:

penggunaan tense dalam bahasa Inggris menunjukkan bahwa

masyarakat penggunanya memiliki disiplin waktu. Lain halnya dengan

tata bahasa Indonesia yang sistem waktunya tidak ketat maka di

Indonesia mengenal budaya jam karet. Contoh lain yang menunjukkan

tingginya konvensi masyarakat dalam pembentukan bahasa adalah

kata tree dalam bahasa Inggris, ‘pohon’ dalam bahasa Indonesia, dan

arbre merujuk pada sebuah bentuk yang sama yaitu makhluk hidup

yang memiliki akar, daun, batang, bunga, buah, dan seterusnya.

Bentuk yang sama dengan berbagai penamaan yang berbeda ini jelas

menunjukkan kuatnya konvensi masyarakat pengguna bahasa tersebut.

Penggunaan bahasa dipenuhi dengan ekspresi linguistik yang

40

berkaitan dengan aspek – aspek konteks sosiokultural. Ekspresi –

ekspresi linguistik khas ini berfungsi sebagai indeksikalitas bagi

berbagai aspek sosiokultural itu berhubungan dengan sistem atau

aturan (tata bahasa), karena apabila tidak ada sistem maka nilai – nilai

budaya masyarakat tersebut tidak dapat diketahui (Duranti (1997).

Oleh sebab itu, indeksikalitas menjadi salah satu fokus dalam kajian

linguistik antropologi.

3) Partisipasi

Linguistik antropologi memandang bahwa pembicara

(speakers) merupakan pelaku sosial. Budaya membutuhkan adanya

partisipasi, sebagaimana Duranti (1997:46) menyatakan bahwa

budaya merupakan suatu sistem partisipasi. Pemikiran ini memandang

bahwa budaya merupakan suatu sistem praktik–praktik kebiasaan dan

didasarkan pada asumsi bahwa setiap tindakan di dunia, termasuk

komunikasi verbal, memiliki kualitas sosial, kolektif dan partisipatori

dari para pelaku budaya. Duranti (1997:21) menambahkan pentingnya

kegiatan partisipasi dalam penelitian budaya sebagaimana dalam

kutipan berikut: “One of the reasons to explore the notion of

participation in the study of cultural practices has been the

differentiation that characterizes any community or group of people”

Dari penjelasan – penjelasan tersebut dapat dilihat kaitan erat

antara performansi, indeksikalitas, dan partisipasi. Dengan melakukan

kegiatan partisipasi dalam kajian budaya dan bahasa, maka akan dapat

41

menemukan data linguistik yang merupakan hasil performansi para

penutur bahasa. Dalam data linguistik itulah (biasanya) terdapat

indeksikalitas yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kekhasan

sosiokultural suatu komunitas bahasa (Duranti, 1997:19–22).

2.2.4 Pendekatan

Para peneliti linguistik antropologi banyak menggunakan

berbagai pendekatan penelitian untuk mengungkap budaya dari objek

penelitiannya. Ada lima pendekatan diungkapkan oleh Ola (2010)

sebagai berikut:

a. Pendekatan struktural

b. Pendekatan semiotik

c. Pendekatan hermeneutik dan fenomenologi

d. Pendekatan etik vs emik

e. Pendekatan etnografi dan wacana

Dalam penelitian linguistik antropologi, pada dasarnya

kelima pendekatan tersebut terkait satu sama lain. Berikut ini akan

dijelaskan kelima pendekatan penelitian linguistik antropologi tersebut

masing – masing.

Ad.a Pendekatan struktural merupakan pendekatan penelitian

linguistik antropologi dengan menggunakan analisis bentuk,

makna dan fungsi bahasa untuk mengungkapkan budaya. (Ola,

2010).

Ad.b Pendekatan semiotik merupakan pendekatan yang dimanfaatkan

42

untuk penelitian linguistik antropologi yang berhubungan

dengan simbol – simbol budaya yang digunakan oleh suatu

masyarakat budaya, baik simbol verbal maupun non verbal.

(Ola, 2010).

Ad.c Pendekatan hermeneutika dan fenomenologi, menurut tulisan

Putri (2007, memiliki tiga komponen pokok, yaitu: adanya

pesan yang disampaikan (biasanya dalam bentuk teks), ada

sekelompok penerima pesan yang asing dengan pesan tersebut,

dan adanya perantara yang menjembatani kedua pihak tersebut.

Hermeneutika mengenal dua aliran pokok, yaitu aliran romantik

dan fenomenologi. Aliran romantik berfokus pada konsepsi

bahasa dan penafsirannya, sedang aliran fenomenologi berfokus

pada kontradiksi yang memandang fenomena sebagai teks yang

mengundang pertanyaan yang kemudian diinterpretasikan.

Ad.d Pendekatan Etik dan Emik merupakan kajian budaya melalui

makna bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat budaya.

Menurut Duranti (1997), etik merupakan kajian makna yang

diperoleh dari pandangan orang di luar komunitas budaya

tersebut. Emik, sebaliknya, merupakan nilai – nilai makna yang

diperoleh melalui pandangan orang yang berada dalam

komunitas budaya tersebut. Penelitian linguistik antropologi

mikro (semantis) secara umum menggunakan pendekatan emik,

sedang penelitian makro (non makna) menggunakan pendekatan

43

etik. Pendekatan ini memiliki prinsip bahwa yang paling

mengenal budaya suatu kelompok etnik adalah kelompok etnik

itu sendiri. Akan tetapi, terkadang pemilik budaya tidak tuntas

dalam menjelaskan isi budaya yang dimilikinya tersebut. Oleh

karena itu, pendekatan etik dan emik diperlukan sinergi dan

berkonfigurasi agar menghasilkan penelitian yang menyeluruh

dan objektif. Untuk menjembatani kedua pandangan ini, maka

penelitian observasi – partisipasi sangatlah diperlukan agar hasil

penelitian lebih objektif (Duranti, 1997).

Ad.e Pendekatan etnografi merupakan pendekatan yang berhubungan

dengan pemakaian bahasa dalam konteks. Pendekatan etnografi

memandang bahasa sebagai bagian dari ekspresi budaya. Sedang

pendekatan wacana menyatakan bahwa pemakaian bahasa

merupakan bentuk wacana. Brown dan Yule (1996) menyatakan

bahwa pemakaian bahasa selalu melibatkan pertimbangan –

pertimbangan kontekstual, baik konteks linguistik maupun

konteks non linguistik, yang didalamnya termasuk konteks

sosial budaya.

Dalam penelitian ini, secara umum peneliti menggunakan kolaborasi

kelima pendekatan tersebut. Hal ini dilakukan karena kelima pendekatan tersebut

saling berkaitan satu sama lain. Pendekatan etnografi juga dilakukan karena

pendekatan ini memiliki dua karakteristik yang dapat digunakan untuk

penyelidikikan mendalam mengenai budaya dan bahasa. Kedua jenis pendekatan

44

etnografi ini yaitu etnografi deskriptif (konvensional, interpretatif) dan etnografi

kritikal (kritis, emansipatif) seperti diungkap oleh (Poerwandari dalam

Mudjiyanto, 2010). Fokus kajian kedua jenis etnografi ini sama – sama mengenai

praktek – praktek sosial dalam kaitannya dengan sistem dan budaya makro

(Poerwandari, 2001; dalam Mudjiyanto, 2010). Penelitian mengenai budaya

pertanian suatu kelompok masyarakat ini berfokus pada etnografis deskriptif yang

berusaha mengungkap pola, tipologi dan kategori pertanian yang ada di wilayah

penelitian. Oleh karenanya, penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan

laporan etnografi yang merupakan thick description. Geertz (1973) dalam

Mudjiyanto (2010) menyatakan bahwa deskripsi yang padat diperlukan untuk

menarik kesimpulan yang luas dan sedalam – dalamnya dari fakta – fakta yang

kecil, namun memiliki struktur yang sangat padat. Oleh karenanya, deskripsi yang

padat akan mampu melampaui hal – hal faktual yang bersifat analitis dan teoritis

mengenai suatu komunitas atau kelompok. Lebih lanjut lagi, melalui analisis,

etnografi deskriptif dapat mengungkap pola, tipologi dan kategori; sedang

etnografi kritis berusaha mengungkap faktor – faktor sosial makro dan asumsi –

asumsi tersembunyi dari komunitas tersebut.

Metode etnografi, menurut Duranti (1997: 84 – 100), merupakan metode

yang menggunakan pendekatan observasi – partisipatori dan kerja sama dengan

para penutur asli. Lebih lanjut lagi, Duranti mengungkapkan bahwa metode

etnografi komunikasi mampu melihat variabilitas komunikasi suatu komunitas,

dan memiliki kelebihan untuk mengungkap jenis identitas yang digunakan

bersama oleh anggota komunitas budaya. Identitas tersebut tercipta dalam

45

komunikasi di suatu komunitas budaya. Identitas itu sendiri pada hakekatnya

merupakan perasaan anggota budaya tentang diri mereka sebagai komunitas. Oleh

karena itu, metode etnografi dapat dimanfaatkan untuk penelitian budaya melalui

kajian bahasa masyarakat budaya itu.

Pendekatan etnografi dimaksudkan untuk memperoleh kata – kata (gloss)

interpretasi lokal dari bahan penelitian hasil komunikasi yang direkam para

peneliti saat penelitian. Teknik observasi – partisipasi, dan wawancara mendalam

sangat diperlukan untuk memperkaya data penelitian. Lebih lanjut lagi, Spradley

(1980) mengajukan beberapa langkah etnografi yang disebut sebagai alur maju

bertahap (Developmental Research Sequences). Langkah – langkah tersebut terdiri

atas dua belas langkah, yaitu:

1) menetapkan informan,

2) mewawancarai informan,

3) membuat catatan etnografis,

4) mengajukan pertanyaan deskriptif,

5) menganalisis hasil wawancara,

6) membuat analisis domain,

7) mengajukan pertanyaan struktural,

8) membuat analisis taksonomik,

9) mengajukan pertanyaan kontras,

10) membuat analisis komponen,

11) menemukan tema-tema budaya,

12) menulis laporan etnografi.

46

Dari 12 langkah dalam metode etnografis di atas tampak jelas pentingnya

data bahasa (tuturan lisan) dalam penelitian linguistik antropologi. Hal ini

diperkuat pendapat yang dikemukakan oleh Shopen (1979) dalam Purwoko

(2008) yang menyatakan bahwa data bahasa berbentuk tuturan lisan, terutama

data bahasa yang berupa rekaman dari penutur aktual sangatlah penting dalam

penelitian bahasa dan budaya. Ia menjelaskan bahwa data rekaman dari penutur

aktual jauh lebih realistis, kaya dan komplit. Oleh karenanya, banyak ahli bahasa

berkesimpulan bahwa penggunaan bahasa tidak bisa dipisahkan dari maksud dan

perilaku penutur pada interaksi yang bersifat aktual. Purwoko (2008a) dengan

merujuk pada (Gregersen, 1972:92, cf. Hymes 1964, 1970, 1972, 1972a,

Conquergood 1991) menambahkan:

Dan kini gagasan semacam itu saat ini menjadi titik tolak penting bagi

para ahli yang melakukan penelitian tentang penggunaan bahasa

dengan metode etnografi komunikasi, karena mereka semakin percaya

bahwa, ketika berbicara, para penutur diwajibkan untuk menghasilkan

tidak hanya ujaran, yang menurut tata bahasa, bisa dipahami,

melainkan juga, ujaran, yang menurut norma budaya, bisa diterima

oleh lawan bicara dan semua pihak yang terlibat dalam komunikasi

(Purwoko, 2008a: 6).

2.3 Kearifan Lokal

2.3.1 Pengertian dan Konsep

Secara umum, kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang

hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam

kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang

sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan. Local

47

wisdom (kearifan lokal/setempat): dapat dipahami sebagai gagasan – gagasan

setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang

tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Menurut Irianto (2009), kearifan lokal sering dikonsepsikan sebagai

kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau

kecerdasan setempat (local genious). Sedang Irianto (2009: 1) mendefinisikan

kearifan lokal sebagai sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di

dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada

komunitas itu daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas

itu berada. Kearifan lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan masa

lalu dan masa sekarang, generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi

menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Pada gilirannya, kearifan lokal

pun dapat dijadikan semacam simpul perekat dan pemersatu antar generasi. Nilai-

nilai kearifan lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi penyeleksian

budaya asing sekaligus sebagai media pembentukan karakter dan identitas etnik.

Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius, yang mula

pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara

panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain

Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity,

identitas/kepribadian budaya suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang

menyebabkan etnis tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing

sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Berikut

merupakan ciri-ciri local genious:

48

1. Mampu bertahan terhadap budaya luar

2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke

dalam budaya asli

4. Mempunyai kemampuan mengendalikan

5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Sedang menurut Atmaja dalam Hadi (2009:27), kearifan lokal

mempunyai ciri–ciri, sebagai berikut:

1. Memberikan pedoman bagi manusia agar bisa menyelaraskan

hubungan antar komponen yang membangun diri individu yakni

tubuh, roh, akal budi, rasa dan hasrat.

2. Memberikan pedoman dalam menyelesaikan masalah untuk

menghindarkan konflik

3. Sebagai elemen lintas warga, agama dan kepercayaan.

4. Sebagai warna kebersamaan dan identitas bagi komunitas

penganutnya.

Local genious, juga disebut cultural identity, adalah identitas/kepribadian

budaya suatu etnik atau suku bangsa yang menyebabkan komunitas tersebut

mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan

sendiri (Irianto, 2009). Sedang Soedaryono (2010) menyatakan bahwa local

genious merupakan karya kreatif yang dihasilkan oleh masyarakat lokal yang

salah satunya berupa artefak. Sedang kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan

kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan

jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh

di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal

adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan

49

situasional yang bersifat lokal. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu

pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang

dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam

pemenuhan kebutuhan mereka (lihat Irianto, 2009). Sedang Soedaryono (2010)

menyatakan bahwa local wisdom atau kearifan lokal merupakan ajaran – ajaran

sistem nilai, yang merupakan proses budaya, yang menjadi acuan manusia

berperilaku dalam masyarakat itu.

2.3.2 Ruang Lingkup

Nilai – nilai kearifan lokal pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari nilai

– nilai religi yang dianut masyarakat Indonesia, sehingga nilai – nilai kearifan

lokal ini dijalankan tidak semata – mata untuk menjaga keharmonisan hubungan

antar sesama manusia, manusia dengan lingkungan nya, tetapi juga sebagai

bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta. Purba (2005:152-153) menyatakan

bahwa pengetahuan kearifan lingkungan atau kearifan lokal dapat dikategorikan

sebagai kearifan lingkungan dan etika lingkungan. Kearifan lingkungan adalah

suatu pengetahuan lokal (folk knowledge) yang diperoleh dari pengalaman

adaptasi secara aktif pada lingkungannya yang diwariskan secara turun temurun

serta terbukti efektif dalam melestarikan fungsi lingkungan dan menciptakan

keserasian lingkungan. Pengetahuan kearifan lingkungan diwujudkan dalam

bentuk ideasional (norma, nilai, mitologi, atau cerita rakyat, dan lain – lain).

Aktivitas sosial (interaksi sosial, upacara adat/keagamaan, pola permukiman, dan

lain – lain) dan material (peralatan dan teknologi).

Etika lingkungan mengacu pada pilihan baik dan buruk, pilihan yang

50

bersifat individual dan holistik. Etika mengacu pada tindakan – tindakan yang

didasarkan pada moralitas. Menurut Keraf (2002:143 – 160) etika lingkungan

mempunyai prinsip – prinsip sebagai berikut:

a) prinsip sikap hormat terhadap alam (respect to nature),

b) prinsip tanggung jawab (responsibility to nature),

c) prinsip solidaritas kosmik (cosmic solidarity),

d) prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for

nature),

f) prinsip tidak merugikan orang lain (no harm),

g) prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam,

h) prinsip keadilan,

i) prinsip demokrasi, dan

j) prinsip integritas moral.

Kearifan tradisional (Lampe: 2009) adalah salah satu warisan budaya

yang ada di masyarakat (tradisional) dan secara turun temurun dilaksanakan oleh

masyarakat yang bersangkutan, di mana kearifan tradisional tersebut umumnya

berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam (hutan,

tanah, dan air) secara berkelanjutan. Dalam perspektif pengelolaan lingkungan

hidup, keberadaan kearifan lokal menjadi semakin penting dan harus

diselamatkan, karena sangat membantu mencegah terjadinya kerusakan

lingkungan, walaupun menurut Witoelar (2008:1) kekayaan budaya kearifan yang

pro lingkungan ini semakin terancam hilang oleh gaya hidup yang materialis –

hedonis yang konsumtif dan mengejar kesenangan semata. Lampe (2009:2)

51

menambahkan bahwa kearifan tradisional banyak yang telah ditinggalkan dan

diganti dengan perhitungan ekonomi tanpa memperhitungkan pelestarian fungsi

lingkungan hidup, sehingga menyebabkan semakin rusaknya hutan, hilangnya

mata air, dan lain – lain.

Kearifan lokal berkaitan dengan persepsi, sikap dan perilaku. Berikut ini

penjelasan mengenai ketiga konsepsi tersebut:

1) Persepsi

Persepsi, dalam bahasa Inggris perception, merupakan cara

pandang terhadap sesuatu atau mengutarakan pemahaman hasil olahan

daya pikir, artinya persepsi berkaitan dengan faktor – fakor eksternal

yang direspons melalui panca indera, daya ingat dan daya jiwa

(Marliany dalam Siswadi, 2010). Dalam arti luas, persepsi

mengandung pergertian bagaimana seseorang memandang atau

mengartikan sesuatu. Di sini, dengan pengetahuan yang ada dalam

dirinya yang terpengaruh oleh budaya yang telah mendarah daging di

pikirannya, manusia berusaha mengakui sesuatu, mengingkarinya,

memahami, mengaitkan, memutuskan dan menarik simpulan atas

sesuatu.

2) Sikap

Sikap berkaitan dengan suatu bentuk evaluasi atau reaksi

perasaan baik positif maupun negatif terhadap suatu objek. (Sobur

dalam Siswadi, 2010). Sobur (dalam Siswadi, 2010) menambahkan

bahwa sikap memiliki ciri khas antara lain:

52

a). Mempunyai objek tertentu (dapat berupa orang, perilaku,

konsep, situasi, benda, dan sebagainya)

b). Mengandung penilaian (positif atau negatif)

3) Perilaku

Perilaku merupakan proses interaksi antara kepribadian dan

lingkungan yang mengandung rangsangan (stimulus), kemudian

ditanggapi dalam bentuk respon. Respon terhadap stimulus inilah

yang merupakan suatu perilaku (Marliany, 2004). Perilaku ini

dipengaruhi oleh persepsi, sikap dan kepribadian serta pengalaman

seseorang. Perilaku seseorang terhadap lingkungan pada dasarnya

terdapat 2 (dua) pola, yaitu:

a) Perilaku ramah lingkungan

b) Perilaku tidak ramah lingkungan

Kearifan lokal, pada dasarnya, menghendaki perilaku suatu masyarakat yang

ramah terhadap lingkungan sekitarnya (Rohadi, 2010).

2.4 Budaya dan Kearifan Lokal

Kebudayaan secara umum tercermin dalam tiga hal, yaitu: perilaku, pola

pikir/ideologi, dan artefak (Koentjaraningrat, 1983). Ketiganya mencerminkan

kelokalan atau kekhasan budaya masyarakat budayanya. Kearifan lokal

merupakan salah satu cerminan budaya yang memuat ketiga unsur budaya

tersebut. Kearifan lokal memuat baik perilaku, etika, pola pikir (persepsi) dan

sikap, serta segala sesuatu yang berada di lingkungan sekitar masyarakat lokal

tersebut (artefak). Keterkaitan antara kearifan lokal dan budaya masyarakat

53

tersebut sedemikian erat, sehingga suatu kajian mengenai kebudayaan suatu

komunitas dapat dimanfaatkan untuk mengungkap kearifan lokal yang ada dan

hidup di dalam komunitas budaya tersebut.

54

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

3.1.1 Wilayah Geografis Kecamatan Sirampog

Penelitian ini secara umum dilaksanakan di Desa Manggis dan Desa

Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah.

Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah,

Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah Kabupaten

Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Bagian barat wilayah

Kecamatan ini merupakan dataran rendah (seperti Desa Benda, Kaliloka dan

Manggis). Di bagian timur merupakan dataran tinggi dan pegunungan, seperti

Desa Mendala, Sridadi, Kaligiri, Dawuhan, Batursari, Igir Klanceng dan

Sawangan. Sirampog merupakan produsen sayuran untuk daerah Bumiayu,

Tonjong, dan Ajibarang. Penghasil sayuran utama berada di daerah dataran tinggi.

Sirampog juga terdapat mata air Kaligiri yang menyuplai air ke Kabupaten

Brebes, Kabupaten Tegal dan Kota Tegal. Penduduk Sirampog kebanyakan

adalah petani sayuran di dataran tinggi, serta petani padi di dataran rendah.

Wilayah penelitian meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3

kali dalam satu tahun. Berdasar survai awal yang telah peneliti lakukan, wilayah

Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Batursari, Benda, Buniwah,

Dawuhan, Igirklanceng, Kaligiri, Kaliloka, Manggis, Mendala, Mlayang,

Plompong, Sridadi, dan Wanareja. Desa Benda, Desa Plompong dan Desa

Manggis merupakan wilayah desa yang masih mengalami panen sebanyak 3 kali

55

dalam 1 tahun, atau lebih tepatnya 3 kali dalam 13 bulan karena dihitung dengan

masa pengolahan tanah sebelum tanam padi berikutnya. Ketiga desa tersebut

berlokasi di sekitar tempat tinggal peneliti sehingga bukan tidak mungkin jika

jumlah wilayah desa yang panen sebanyak 3 kali dalam setahun akan bertambah

dengan dilakukan penelitian secara intensif.

Gambar 3.1 Peta Kecamatan Sirampog dalam Wilayah Kabupaten Brebes

Gambar 3.2 Kantor Camat Sirampog

56

Berikut ini merupakan tabel mengenai penggunaan lahan di wilayah

kecamatan Sirampog dalam Hektare (Ha) berdasar data statistik dalam buku

Kecamatan Sirampog Dalam Angka (2009).

Tabel 3.1 Luas dan Penggunaan Lahan Wilayah Kecamatan Sirampog

Desa Sawah

Lahan bukan sawah

Pekara

ngan/

bangun

an

Tegalan/

kebun

Tambak/

Kolam

Hutan

negara

Perkebunan

Negara/

swasta

Lain

- lainJumlah

Wanareja 5.2 25.86 68.48 0 420.1 1.2 4.82 526.7

Igirklanceng- 23.70 89.51 0 544.5 0 5.3

663.

1

Dawuhan-

23

.63214.19 0

1204.

60

6.6

41449

Batursari-

2

6.53109.20 0 242.9 0 5.85 384.5

Kaligiri77.3 25.79 12.78 0 131.7 8.7 3.92

2

60.2

Sridadi 215.5 31.41 82.46 0.03 423.5 28.27 14.3 795.5

Plompong194.96

5

6.18171.77 0.21 120.1 59.39

6.

63609.2

Benda235 40.75 69.82 0.37 0 5.83

13

.65

3

65.4

Kaliloka 206.9 27.04 11.40 0.22 0 3.08 4.7 253.3

Manggis 213.7 42.48 100.91 0 0 31.4 4 392.5

Mlayang 132.3 23.72 103.93 0 0 37.5 4.68 302.1

57

Mendala 232.9 49.35 73.30 0 0 23.2 12.37 391.1

Buniwah 229.5 44.58 22.96 0 0 8.8 6.1 311.9

Jumlah 1743.2 441.02 1130.7 0.83 3087.4 207.37 92.96 6703.5

Untuk menggambarkan kondisi objek wilayah penelitian, peneliti akan

berusaha mendeskripsikan secara menyeluruh mengenai sejarah desa wilayah

penelitian, keadaan monografi dan demografi wilayah penelitian, deskripsi

penduduk wilayah penelitian berdasarkan tingkat pendidikan, berdasarkan mata

pencaharian, dan situasi kebahasaan wilayah penelitian.

3.1.2 Sejarah Nama Sirampog

Sirampog, atau yang sering disebut juga dengan cirampog, memiliki

legenda mengenai asal usul nama Kecamatan tersebut. Berdasar hasil wawancara

dan informasi dari para informan maupun para warga di Kecamatan Sirampog,

diketahui bahwa penamaan “Sirampog” berasal dari sebuah cerita nyata yang

terjadi di masa lalu di daerah tersebut. Konon, pada jaman dahulu kala wilayah

Kecamatan Sirampog adalah wilayah yang rawan perampokan dan perampasan di

jalan - jalan. Selain itu, banyak terjadi pencurian dirumah-rumah penduduk. Pada

suatu ketika ada sekelompok pencuri yang hendak merampok di sebuah rumah

penduduk. Mereka mencoba masuk rumah tersebut dengan menggali terowongan

yang akan tembus di rumah yang dirampoknya itu. Singkat cerita, kawanan

pencuri itu selesai menggali dan berhasil tembus ke rumah yang akan dicurinya

tersebut. Ketika mereka berniat masuk rumah tersebut di dini hari, mereka

58

menyusuri terowongan yang mereka buat dan saat kepala pencuri pertama mulai

muncul di lubang terowongan di rumah yang akan dicurinya tersebut, seorang

wanita lanjut usia, penghuni rumah tersebut, memergoki kedatangan mereka. Dia

kemudian siap menghadang kawanan pencuri tersebut, dan kemudian langsung

memukuli kepala para pencuri yang muncul di lubang di rumahnya itu sambil

berteriak, “kiya rampoke kena, kiye si rampoke wis kecekel, tulung tulung, kiye si

rampoke kena, ana rampok, kiye rampoke wis kena”. Setelah kejadian tersebut,

wilayah itu menjadi buah bibir di berbagai daerah sekitarnya dan terkenal karena

berhasil menangkap perampok yang meresahkan warga. Akhirnya lambat laun,

daerah tersebut dikenal dengan nama “Sirampog”

3.1.3 Sejarah Nama Desa Mendala

Nama Desa Mendala berasal dari dua kata, yaitu ‘maenda’ yang

bermakna kambing dan ‘la’ yang berarti segala. Secara filosofis, desa ‘Mendala’

bermakna bahwa di desa tersebut segala sesuatu pengetahuan dalam kehidupan

penduduk desa tersebut diawali dengan pengenalan kasih saying dan kepedulian

terhadap hewan kambing. Konon ceritanya pada zaman dahulu kala, wilayah Desa

Mendala masih merupakan hutan belantara, sampai akhirnya seorang kyai dari

Cirebon, bernama Kyai Iskak datang ke tempat tersebut untuk menyebarkan

ajaran Islam dan sekaligus membuka hutan di daerah itu menjadi perkampungan.

Seiring waktu beliau juga memeperkenalkan kepada para penduduk cara beternak

kambing dengan maksud agar nantinya para penduduk yang telah beragama akan

mampu merawat kambing dan nantinya mau memberikan (menyumbangkan)

kambingnya untuk memenuhi kebutuhan syiar agama, khususnya pada saat hari

59

raya Idul Adha (Idul kurban). Oleh karena itu, desa tersebut akhirnya terkenal

dengan ternak kambingnya dan berhasil menjadi penghasil kambing untuk

keperluan desa tersebut dan desa – desa di sekitarnya.

3.1.3 Sejarah Nama Desa Plompong

Gambar 3.3 Kantor Kepala Desa Plompong

Nama Desa Plompong berasal dari dua versi cerita yang sama-sama

diyakini kebenarannya oleh para warganya. Versi pertama sering diceritakan oleh

para warga desa Plompong yang sudah lanjut usia (± 60 tahun). Mereka meyakini

bahwa pada zaman dahulu kala, wilayah desa Plompong masih berupa hutan dan

belum ada pemukiman penduduk. Daerah kosong tanpa penghuni tersebut banyak

ditumbuhi pohon yang bernama ‘pohon lompong’, yaitu sejenis pohon petai cina.

60

Oleh karena itu, daerah tersebut di sebut desa Plompong. Hingga kini, masih

banyak pohon petai cina di pinggir jalan di desa Plompong.

Versi kedua banyak diceritakan oleh para warga desa dan tokoh desa

yang berusia 40 – 50 tahun. Mereka menyatakan bahwa pada awalnya desa

mereka di sebut dengan desa ‘Telaga Sari’ karena ada telaga yang sangat besar

dan bisa mengairi seluruh sawah di desa mereka. Saat ini, telaga tersebut hanya

tinggal berukuran ± 100 m2, bertempat di dusun Cirendu, wilayah Desa

Plompong. Mereka meyakini bahwa pada zaman dahulu kala, saat Indonesia

masih dijajah oleh Belanda, para pemimpin desa sering dikumpulkan di balai

kawedanan. Desa Plompong termasuk wilayah kawedanan Bumiayu. Konon

ceritanya, setiap pertemuan para pemimpin desa di balai kawedanan Bumiayu,

pemimpin Desa Plompong hanya bengong dan mulutnya selalu ‘melompong’.

Akhirnya, pemimpin Desa Plompong dijadikan bahan ledekan dan dipanggil

‘mlompong’. Karena itulah lambat laun wilayah desa ‘Telaga sari’ ini di sebut

dengan desa ‘Plompong’.

3.1.4 Sejarah Nama Desa Benda

Desa Benda, menurut para informan dan para tokoh desa, berasal dari

kata ‘banda’ yang bermakna harta benda. Konon cerita, dulu desa tersebut

merupakan wilayah bekas aliran sungai keruh. Oleh karena itu, banyak tanah di

desa itu mengandung bebatuan besar, hingga warga desanya tidak bisa membuat

sumur untuk keperluan sehari – hari mereka. Kemudian, suatu hari ada

rombongan kerajaan Sunda yang sedang perang gerilya melewati daerah tersebut

dan mengatakan bahwa mereka sedang singgah di desa yang penuh dengan

61

‘banda’. Mereka meyakini bahwa desa tersebut mengandung ‘banda’ yang tidak

ternilai harganya. Akhirnya, lambat laun desa tersebut dinamai dengan desa

‘Benda’.

3.1.5 Keadaan Demografi

Secara umum, masyarakat di Kecamatan Sirampog masih mencerminkan

masyarakat berkebudayaan Jawa, yang masih menjalani berbagai adat dan budaya

Jawa, seperti: gotong royong, tenggang rasa, saling menolong, dan sebagainya.

Masyarakat Kecamatan Sirampog mayoritas beragama Islam taat dan sehingga

sudah tidak banyak lagi orang yang melakukan ritual atau adat Jawa seperti

sedekah bumi, membuat sesajen, dan sebagainya.

3.1.6 Keadaan Monografi

Sirampog adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Brebes Jawa Tengah

Indonesia. Kecamatan Sirampog terletak di ujung tenggara wilayah Kabupaten

Brebes, dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tegal. Wilayah penelitian

meliputi seluruh dusun yang masih mengalami panen padi 3 kali dalam satu

tahun. Wilayah Kecamatan Sirampog terdiri atas 13 desa, yaitu: Desa Buniwah,

Dawuhan, Igirklanceng, Kaligiri, Kaliloka, Batursari, Benda, Manggis, Mendala,

Mlayang, Plompong, Sridadi, dan Wanareja. Desa Benda, Desa Plompong dan

Desa Mendala merupakan wilayah yang paling produktif di bidang pertanian padi.

a) Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Masyarakat Desa Mendala merupakan masyarakat yang sangat

menghargai pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal. Di desa

62

Mendala sendiri terdapat 2 (dua) TK swasta yaitu TK ABA di Dusun Karang

Pucung, dan TK Pertiwi di Dusun Kalijeruk; 3 (tiga) SDN yaitu SDN Mendala I

di Dusun Karang Pucung, SDN Mendala II di Dusun Sabrang, dan Madrasah

Maarif NU di Dusun Karang Anyar. Sekolah informal berupa TPQ (Taman

Pendidikan Al-Quran) diadakan setiap sore ± pukul 16.00 – 17.30 di semua dusun

di Desa Mendala. Selain itu kegiatan pembelajaran mengaji atau belajar membaca

Al Qur’an banyak diselenggarakan di masjid – masjid maupun mushola di seluruh

wilayah Desa Mendala setiap bada Maghrib. Desa Mendala juga telah memiliki 3

(tiga) sekolah setingkat SMP yaitu, MTs Muhammadiyah di Kalijeruk, MTs

Maarif NU di Dusun Karang Anyar. Sekolah menengah atas (SMA) ada 1 (satu),

yaitu: SMA Negeri I Sirampog. Sedang sekolah setingkat SMA ada 1 (satu), yaitu

SMK Muhammadiyah I Sirampog (jurusan Otomotif, Komputer dan Menjahit) di

Dusun Kalijeruk.

Di desa Plompong sendiri terdapat 3 (tiga) TK swasta yaitu TK ABA di

Dusun Krajan, TK ABA di Dusun Ciku, dan Raudhotul Athfal di Dusun Gunung

Sumping; 3 (tiga) SDN yaitu SDN Plompong I di Dusun Krajan, SDN Plompong

II di Dusun Ciku, dan SDN Gunung Sumping di Dusun Gunung Sumping. Selain

itu, terdapat 2 (dua) madrasah (setingkat SD), yaitu Madrasah Ibtidaiyah

Alfalahiyah di Dusun Krajan dan Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatussibyan di Dusun

Gunung Sumping. Sekolah informal berupa TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran)

diadakan setiap sore ± pukul 16.00 – 17.30 di semua dusun di Desa Plompong.

Selain itu kegiatan pembelajaran mengaji atau belajar membaca Al Qur’an banyak

diselenggarakan di masjid – masjid maupun mushola di seluruh wilayah Desa

63

Plompong setiap bada Maghrib. Desa Plompong juga telah memiliki 3 (tiga)

sekolah setingkat SMP yaitu, MTs Muhammadiyah di Dusun Krajan, MTs Maarif

NU di Dusun Karang Mangu, dan MTs Salafiyah di Dusun Karang Mangu.

Sekolah setingkat SMA ada 4 (empat), yaitu: MA Muhammadiyah dan SMK

Muhammadiyah (jurusan Otomotif dan Menjahit) di Dusun Krajan; dan MA

Maarif NU dan SMK Maarif NU (jurusan Otomotif dan Menjahit) di Dusun

Karang Mangu. Pendidikan informal juga diadakan melalui pendidikan

berasrama, yaitu pondok pesantren. Desa Plompong memiliki 2 (dua) pondok

pesantren, yaitu: Pondok Pesantren Hj. Maemanah di Dusun Krajan dan Pondok

Pesantren Kyai Ikyas di Dusun Karang Mangu.

Seperti halnya Masyarakat di desa Mendala dan desa Plompong,

masyarakat di desa Benda termasuk masyarakat yang sangat menyadari

pentingnya pendidikan, baik pendidikan formal maupun non formal. Di desa

Benda sendiri terdapat 2 (dua) TK swasta yaitu TK AlHikmah 1 di Dusun Karang

Mulya, dan TK AlHikmah 2 di Dusun Karang Tengah; 3 (tiga) SDN yaitu SDN

Benda I di Dusun Karang Mulya, SDN Benda II di Dusun Jetak, dan SDN Benda

III di Dusun Kratagan. Selain itu, terdapat 3 (tiga) madrasah (setingkat SD), yaitu

Madrasah AlHikmah I di Dusun Karang Mulya, Madrasah AlHikmah II di Dusun

Kratagan, dan Madrasah Maarif NU di Dusun Karang Mulya. Sekolah informal

berupa TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran) diadakan setiap sore ± pukul 16.00 –

17.30 di semua dusun di Desa Benda. TPQ di Desa Benda sendiri berjumlah 7

(tujuh) buah. Selain itu kegiatan pembelajaran mengaji atau belajar membaca Al

Qur’an banyak diselenggarakan di masjid – masjid maupun mushola dan di

64

pondok pesantren di seluruh wilayah Desa Benda setiap bada Maghrib. Desa

Benda juga telah memiliki 6 (enam) sekolah setingkat SMP. Sekolah setingkat

SMA ada 7 (tujuh), yaitu: sebuah SMA AlHikmah I, 5 (lima) Madrasah Aliyah

(MA), dan 2 (dua) SMK, yaitu: SMK ALHikmah I (jurusan Otomotif,

Elektronika, Permesinan, Gambar Bangunan), dan SMK AlHikmah II (jurusan

Sekretaris, Komputer Jaringan, Menjahit/Tata Busana, Tata Rias). Pendidikan

informal juga diadakan melalui pendidikan berasrama, yaitu pondok pesantren.

Desa Benda memiliki 2 (dua) pondok pesantren besar yang sudah terkenal di

Indonesia, yaitu: Pondok Pesantren Al Hikmah I pimpinan Kyai Haji Masruri dan

Pondok Pesantren Jetak pimpinan Kyai Haji Ali.

b) Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama masyarakat Desa Mendala, Plompong, dan

Benda adalah bekerja di bidang pertanian. Ketiga wilayah desa tersebut tidak

memiliki irigasi teknis, namun ada pengairan ½ teknis dengan membuat saluran

air dari sumber mata air Kaligiri, Kubang, dan sungai - sungai yang bisa

dimanfaatkan untuk pengairan sawah. Selain pertanian, masyarakat desa Mendala,

Plompong, dan Benda juga memiliki peternakan ayam buras/ayam kampung,

angsa dan peternakan bebek. Di samping peternakan unggas, terdapat beberapa

peternak sapi/lembu, kerbau, kambing, domba, dan kelinci. Selain itu, sebanyak

357 orang di desa Mendala mencari nafkah dengan berdagang, karena telah ada

sebuah pasar, yaitu di Dusun Kalijeruk. Jumlah peternak besar di desa Plompong

(sapi, kerbau, kambing, dan domba) sebanyak 75 orang dan peternak kecil (ayam,

itik, bebek, dan kelinci) sebanyak 250 orang. Jumlah peternak di desa Benda

65

adalah sebanyak 17 orang peternak besar (sapi, kerbau, kambing, dan domba) dan

691 orang peternak kecil (ayam, itik, bebek, dan kelinci).

Sebagai akibat perkembangan teknologi dan informasi, kini semakin

banyak masyarakat Kecamatan Sirampog, terutama pria dan banyak generasi

muda (baik putra maupun putri) yang melakukan urbanisasi dengan mengadu

nasib untuk bekerja di luar wilayah Desa Benda, misal di Surabaya, Bandung,

Yogyakarta, Bogor, Bekasi, Lampung maupun Jakarta.

3.1.7 Keadaan Monografi

a) Desa Mendala

Desa Mendala terletak di ketinggian ± 700 m di atas permukaan laut

dengan suhu udara maksimal 280C. Desa ini berbatasan dengan Kabupaten Tegal

di sebelah utara, Desa Kaligiri di sebelah timur, Desa Sridadi dan Mlayang di

sebelah selatan, dan Desa Buniwah di sebelah barat. Luas wilayah Desa Mendala

adalah 391, 065 Ha. Desa mendala berhasil meraih predikat sebagai desa

swasembada dengan skor tinggi pada tahun 1998. Lahan pertanian padi (sawah) di

Desa mendala ini seluas 210 Ha (pengairan ½ teknis) dan 22,72 Ha sawah dengan

pengairan sederhana. Luas tanaman tegalan sebesar 79,52 Ha, tanah pekarangan

66,75 Ha dan sisa lahan merupakan pemukiman penduduk, hutan, perkebunan,

tanah basah, dan ladang dengan berbagai macam sayuran (kol, kubis, sawi, dan

lain – lain). Jumlah penduduk Desa Mendala adalah ± 5.772 orang (yang tercatat

di data kependudukan Kecamatan Sirampog dalam Angka 2009 yang diterbitkan

pada bulan Agustus 2010). Dari jumlah penduduk tersebut, sebanyak 1.137 orang

66

merupakan petani (pemilik lahan), dan 1.435 orang merupakan petani penggarap

dan buruh tani.

Desa Mendala merupakan suatu desa setingkat kelurahan di Kecamatan

Sirampog, Kabupaten Brebes. Desa ini terdiri atas 4 kelompok Rukun Warga,

yang terdiri atas 12 Dusun, yaitu Dusun Kubang Bogo, Dusun Padanama, Dusun

Kalijeruk, Dusun Igirbohong, Dusun Karang Pucung, Dusun Karang Anyar,

Dusun Munggasari, Dusun Karang Salam, Dusun Krajan, Dusun Sabrang, Dusun

Babakan, dan Dusun Cupang Bungur. Selain itu desa ini secara keseluruhan

terdiri atas 25 rukun tetangga dengan jumlah perangkat desa sebanyak 18 orang

dan jumlah anggota BPD sebanyak 11 orang. Karena desa ini dipimpin oleh

kepala desa yang mekanisme pemerintahannya dipilih melalui pemilihan secara

langsung sehingga kepala desa dan perangkatnya memperoleh tanah bengkok desa

sebagai penghasilannya.

Desa ini berjarak ± 1 – 8 km dari pusat Kecamatan Sirampog dengan

akses jalan kelas 2 yang lumayan baik dan jalan provinsi yang mengubungkan

Kecamatan Sirampog dan Kecamatan Bumiayu.

Fasilitas listrik dari Negara telah sampai di desa ini pada tahun 1995.

Masuknya fasilitas penerangan ini merupakan salah satu faktor penting atas

perkembangan dan kemajuan desa, serta perubahan budaya dan sikap hidup

masyarakat Desa Mendala.

b) Desa plompong

Desa Plompong terletak di ketinggian ± 600 m di atas permukaan laut

dengan suhu udara maksimal 320C. Desa ini berbatasan dengan Desa Melayang di

67

sebelah utara, Desa Wanareja di sebelah timur, Desa Cilibur di sebelah selatan,

dan Desa Adisana di sebelah barat. Luas wilayah Desa Plompong adalah 600, 224

Ha. 176,05 Ha dari luas wilayah Desa Plompong tersebut merupakan lahan

pertanian padi (sawah). Luas tanaman jagung sebesar 40 Ha, dan sisa lahan

merupakan pemukiman penduduk, hutan, perkebunan, tanah basah, dan ladang

dengan berbagai macam tanaman (kedelai, kacang, kunyit, kapulaga, dan lain –

lain). Jumlah penduduk Desa Plompong adalah ± 7.956 orang (yang tercatat di

data kependudukan Kecamatan Sirampog dalam Angka 2009 yang diterbitkan

pada bulan Agustus 2010). Dari jumlah penduduk tersebut, sebanyak 1.861 orang

merupakan petani (pemilik lahan), dan 1.904 orang merupakan petani penggarap

dan buruh tani.

Desa Plompong merupakan suatu desa setingkat kelurahan di Kecamatan

Sirampog, Kabupaten Brebes. Desa ini terdiri atas delapan Rukun Warga (dusun)

yaitu Dusun Krajan, Dusun Kedung Benter, Dusun Karang Mangu, Dusun

Cirendu, Dusun Legok Kenang/Karang Kemiri, Dusun Karang Gedang, Dusun

Ciku, dan Dusun Gunung Sumping. Selain itu desa ini secara keseluruhan terdiri

atas 48 rukun tetangga dengan jumlah pamong sebanyak 12 orang dan jumlah

anggota BPD sebanyak 11 orang. Karena desa ini dipimpin oleh kepala desa yang

mekanisme pemerintahannya dipilih melalui pemilihan secara langsung sehingga

kepala desa memperoleh tanah bengkok desa sebagai penghasilannya.

Desa ini berjarak ± 15km dari Kecamatan Sirampog dengan akses jalan

kelas 3 yang rusak parah dan bergelombang. Desa ini dipisahkan sebuah sungai

besar, yaitu Sungai Keruh. Saat ini pondasi jembatan Sungai Keruh rusak parah,

68

dan hanya bisa dilewati oleh sepeda motor [berita terbaru baca Suara Merdeka,

edisi Minggu, 14 Agustus 2011]. Bila jembatan ini putus, maka akses ke Desa

Plompong akan putus total dan desa ini menjadi terisolir dari daerah lainnya.

Gambar 3.4 Jembatan Sungai Keruh

Fasilitas listrik dari Negara telah sampai di desa ini pada tahun 1998.

Masuknya fasilitas penerangan ini merupakan salah satu faktor penting atas

perkembangan dan kemajuan desa, serta perubahan budaya dan sikap hidup

masyarakat Desa Plompong.

c) Desa Benda

Desa Benda terletak di ketinggian ± 500 m di atas permukaan laut

dengan suhu udara maksimal 320C. Desa ini berbatasan dengan Desa Kali Jurang

(Kecamatan Tonjong) di sebelah utara, Desa Penggarutan (Kecamatan Bumiayu)

69

di sebelah timur, Desa Manggis di sebelah selatan, dan Desa Kali Gadung di

sebelah barat. Luas wilayah Desa Benda adalah 365,425 Ha. Sebesar 587 Ha dari

luas wilayah Desa Benda tersebut merupakan lahan pertanian padi (sawah). Luas

tanaman ubi kayu sebesar 2 Ha, dan sisa lahan merupakan pemukiman penduduk,

hutan, perkebunan, tanah basah, dan ladang dengan berbagai macam tanaman

(kacang panjang, singkong, dan lain – lain). Jumlah penduduk Desa Benda adalah

± 8.855 orang (yang tercatat di data kependudukan Kecamatan Sirampog dalam

Angka 2009 yang diterbitkan pada bulan Agustus 2010). Dari jumlah penduduk

tersebut, sebanyak 1.842 orang merupakan petani (pemilik lahan), dan 3.035

orang merupakan petani penggarap dan buruh tani.

Desa Benda merupakan suatu desa setingkat kelurahan di Kecamatan

Sirampog, Kabupaten Brebes. Desa ini terdiri atas delapan Rukun Warga (dusun)

yaitu Dusun Karang Mulya I, Dusun Karang Mulya II, Dusun benda I, Dusun

Benda II, Dusun Bula Kungu, Dusun Jetak, Dusun Kratagan, dan Dusun Karang

Tengah. Selain itu desa ini secara keseluruhan terdiri atas 27 rukun tetangga

dengan jumlah pamong sebanyak 17 orang dan jumlah anggota BPD sebanyak 11

orang. Karena desa ini dipimpin oleh kepala desa yang mekanisme

pemerintahannya dipilih melalui pemilihan secara langsung sehingga kepala desa

dan perangkat desanya memperoleh tanah bengkok desa sebagai penghasilannya.

70

Gambar 3.5 Kantor Kepala Desa Benda

Desa ini berjarak ± 10 km dari Kecamatan Sirampog dengan akses jalan

kelas 2 yang kondisinya agak kurang baik. Fasilitas listrik dari negara telah

sampai di desa ini pada tahun 1995. Masuknya fasilitas penerangan ini merupakan

salah satu faktor penting atas perkembangan dan kemajuan desa, serta perubahan

budaya dan sikap hidup masyarakat Desa Benda.

3.1.8 Situasi Kebahasaan

Masyarakat di Kecamatan Sirampog merupakan cermin masyarakat Jawa

yang ramah dan masih memiliki tepa selira dan budaya gotong royong ‘sambatan’

yang masih kental dalam kehidupan sehari – hari mereka. Suasana kental

pedesaan yang masih akrab sangat terasa di desa ini. Bukan hanya lingkungan

fisik, kultur yang ada pun masih lekat dengan kehidupan desa. Dengan bahasa

pengantar bahasa Jawa tulen, dengan dialek ngapak dan termasuk masyarakat

diglosik yang memiliki bahasa pengantar sehari – hari yaitu bahasa Jawa ngoko

(dialek ngapak) dan bahasa Jawa Kromo (ngoko alus), dan bahasa Indonesia

(dengan para santri) dalam ranah formal. Selain itu, tampak banyak akulturasi

bahasa Sunda di kosakata yang digunakan sehari - hari.

3.2 Subjek dan Objek Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Deskripsi

kuantitatif hanya digunakan untuk memberi gambaran jumlah kata khas yang

71

diperoleh dalam penelitian, akan tetapi secara garis besar pengolahan maupun

analisa data menggunakan deskripsi kulitatif yang tidak berfokus pada jumlah

atau perhitungan angka – angka. Subjek penelitian adalah orang yang akan bisa

dimintai informasi atau orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian.

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah para petani, baik pemilik sawah,

penggarap maupun buruh tani di Desa Mendala, Desa Plompong, dan Desa

Benda. Sedang objek dari penelitian ini adalah leksikon, baik yang berupa kata

maupun frasa, yang berhubungan dengan pertanian padi di wilayah Kecamatan

Sirampog.

3.3 Metode Penelitian

Dalam suatu penelitian, seorang peneliti harus menggunakan metode

yang relevan dan dapat diandalkan dengan harapan penelitian berhasil

mendapatkan suatu fakta yang tidak terbantahkan kebenarannya. Berikut akan

dibahas mengenai metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.

3.4.1 Metode Penyediaan Data

3.4.1.1 Observasi Partisipatori

Dalam memperoleh data, peneliti menggunakan teknik

observasi partisipatori. Kegiatan observasi partisipatori ini dilakukan untuk

melihat penggunaan bahasa secara nyata (real) dalam komunikasi

masyarakat di ranah pertanian. Teknik observasi dilakukan dengan cara

peneliti melakukan pengamatan langsung ke objek penelitian di lapangan,

yaitu sawah, sungai, sumber mata air, air terjun, dan seluruh aspek yang

berhubungan dengan pertanian padi. Teknik observasi partisipatori

72

dilakukan dengan cara mengamati dan ikut terlibat langsung dalam

kagiatan – kegiatan pertanian padi, misal: kegiatan panen, menanam,

mencangkul, membajak, dan lain sebagainya. Peneliti, lebih lanjut lagi,

mengobservasi tidak hanya kegiatan pertanian, tetapi juga seluruh situasi

sosial di objek penelitian yang sedang diamati. Sebagaimana Spradley

(1980) menyatakan bahwa sebuah objek penelitian yang sedang

diobservasi sebenarnya berisi situasi sosial. Situasi sosial tersebut terdiri

atas 3 (tiga) komponen, yaitu:

a. Tempat (place) terjadi interaksi dalam situasi sosial yang

sedang berlangsung,

b. Pelaku (actor) yang sedang memainkan peran – peran tertentu

dalam situasi sosial tersebut,

c. Kegiatan (activity) yang dilakukan di tempat dan oleh pelaku di

dalam suatu situasi sosial yang sedang berlangsung.

Bungin (2008) menambahkan bahwa tiga komponen dalam

situasi sosial yang diajukan oleh Spradley (1980) tersebut dapat diperluas,

yaitu:

a. Ruang (space), dalam arti tempat terjadinya situasi sosial

secara fisik;

b. Pelaku (actor, yaitu semua orang yang terlibat dalam suatu

situasi sosial;

c. Kegiatan (activity) yang dilakukan orang – orang dalam

situasi sosial;

73

d. Benda – benda (object) yang terdapat di tempat terjadinya

situasi sosial;

e. Tindakan (act) atau perbuatan yang dilakukan dan terjadi

dalam suatu situasi sosial;

f. Rangkaian peristiwa (event) yang terjadi di suatu situasi

sosial;

g. Urutan waktu (time) terjadinya suatu situasi sosial;

h. Tujuan (goal) yang ingin dicapai dalam suatu situasi sosial;

i. Perasaan (feeling) yang dirasakan dan diekspresikan oleh

orang – orang dalam suatu situasi sosial.

Untuk mendukung keabsahan data penelitian, peneliti

membawa beberapa alat pendukung penelitian, antara lain: kamera, buku

catatan, bolpoin, dan telepon genggam untuk merekam.

3.4.1.2 Wawancara Mendalam

Selain teknik observasi partisipatori, peneliti juga melakukan

teknik wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan dalam rangka

memperdalam dan memperkaya informasi dan interpretasi data, uji silang

keabsahan data, dan uji silang pemaknaan leksikon khas pertanian padi

yang telah diperoleh pada kegiatan observasi partisipatori. Langkah ini

dilakukan dengan merujuk pada pendekatan etik – emik dalam penelitian

linguistik antropologi. Dalam melakukan kegiatan wawancara mendalam,

peneliti menggunakan beberapa instrumen pendukung penelitian, antara

lain: buku catatan, bolpoin, kamera, dan telepon genggam untuk merekam.

74

3.4.2 Metode Pengolahan Data

3.4.2.1 Deskriptif Kualitatif

Data yang telah diperoleh melalui kegiatan obervasi

partisipatori dan wawancara mendalam, yang berupa rekaman, di olah

sedemikian rupa sehingga peneliti dapat memilah – milah leksikon dan

frasa yang berhubungan dengan pertanian padi. Setelah seluruh leksikon

dan frasa berhasil dikumpulkan dan dikelompokkan sesuai medan

maknanya, peneliti membuat interpretasi data untuk mendeskripsikan

budaya dan kearifan lokal masyarakat di wilayah penelitian.

3.4.2.2 Padan Referensial

Metode padan referensial (mengacu istilah Sudaryanto, 1993)

digunakan untuk menginterpretasi dan mencari makna yang tepat untuk

seluruh data yang berupa leksikon maupun frasa yang telah diperoleh.

Proses ini penting untuk dilakukan karena data yang diperoleh berupa

bahasa Jawa (dialek Ngapak campuran Banyumas – Tegal), yang tidak

semua orang (di Indonesia) bisa mengerti dan memahaminya. Metode

padan referensial juga penting dilakukan dalam rangka mengetahui

komponen semantik setiap leksikon dan frasa, sehingga peneliti kemudian

75

dapat mengelompokkan leksikon dan frasa tersebut sesuai dengan medan

maknanya.

3.4.2.3. Inferensial

Setelah seluruh data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis

dengan proses pemaknaan referensial, penulisan transkripsi fonetis, dan

deskripsi kualitatif, selanjutnya peneliti melakukan langkah berikutnya

yaitu inferensial (Krippendorf, 1990), dan triangulasi seluruh data yang

diperoleh dalam penelitian. Data observasi partisipatori, wawancara

mendalam, dan observasi non partisipatori dimanfaatkan untuk membuat

triangulasi data. Langkah ini dilakukan untuk mengkaji indeksikalitas,

mengambil konten dan simpulan budaya, serta kearifan lokal yang ada di

wilayah penelitian, Kecamatan Sirampog.

3.4.3 Metode Penyajian Hasil Penelitian

Dalam menyajikan hasil penelitian, peneliti menggunakan

metode informal, artinya penyajian dalam tesis ini berupa kata – kata dan

tidak menggunakan rumus ataupun bentuk matematis lainnya. Metode ini

dipilih karena penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang lebih

mementingkan interpretasi data yang kaya dan mendalam, dan tidak berfokus

pada kuantitas data.

76

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasar penelitian yang telah dilaksanakan dengan menggunakan

metode pengamatan, wawancara mendalam, partisipasi, dan bantuan informan,

peneliti memperoleh data kosakata khas di wilayah penelitian. Sebagaimana

dinyatakan oleh Duranti (1997), masyarakat budaya memiliki kompetensi dan

performansi. Hal ini tampak dari kompetensi kebahasaan, yang secara tidak

langsung menunjukkan budaya masyarakat tersebut, yang tercermin dalam

performansi masyarakat tersebut yaitu bahasa yang mereka produksi dalam

kehidupan nyata. Mayoritas masyarakat kecamatan Sirampog, memiliki

kompetensi kebahasaan multi lingual. Kompetensi kebahasaan yang merupakan

innate capacity sejak manusia lahir tersebut tampak jelas dari performansi

masyarakat kecamatan Sirampog yang menguasai beberapa bahasa sekaligus,

yaitu bahasa Jawa ngoko dengan dialek ngapak, bahasa Jawa ngoko alus, bahasa

Indonesia, dan sebagian kecil generasi muda yang bisa berbahasa Arab dan

Inggris.

Melalui kajian mendalam dari kosakata khas pertanian padi yang peneliti

peroleh melalui kegiatan partisipasi maupun non partisipasi, peneliti dapat

77

mengungkap pola umum pertanian yang ada di wilayah penelitian. Pola pertanian

di Kecamatan Sirampog yaitu: pengolahan lahan, persiapan benih, persemaian,

penanaman, perawatan, pemupukan, pembasmian hama, pemanenan, pengolahan

hasil panen. Dari bahasan mengenai pola pertanian yang ada di wilayah

Kecamatan Sirampog, peneliti menemukan banyak leksikon khas mengenai

pertanian. Lebih lanjut lagi dari pola pertanian, leksikon khas, dan pelbagai

kekayaan alam dan budaya masyarakat Kecamatan Sirampog, peneliti berusaha

mengungkap khasanah kearifan lokal yang masih terkandung dalam budaya

pertanian di wilayah penelitian tersebut.

4.1 Kajian Leksikal di Bidang Pertanian Padi

Dari hasil penelitian dengan melakukan wawancara mendalam dan teknik

observasi partisipasi diperoleh 241 leksikon dan frasa dan sebuah lagu yang

berkaitan dengan pertanian di masyarakat Kecamatan Sirampog, Kabupaten

Brebes, provinsi Jawa Tengah. Berikut adalah kata maupun frasa tersebut yang

disajikan dalam 10 (sepuluh) tabel daftar Leksikon (transkripsi fonetik berdasar

Marsono, 1989):

Tabel 4.1 Daftar Leksikon Kegiatan Pertanian Padi

No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna

1 mbakar dami /mbɑkɑr dami/ membakar jerami

2 ngleméng /ȠlǝmeȠ/ membalik tanah dan jerami

3 malik /malik/ Membalik

4 anglér /aȠlεr/ meratakan tanah

5 ngebak /Ƞǝbak/ mencangkul sawah

78

6 ngiléni /Ƞilεni/ memeriksa saluran air

7 mbanyuni /mbanyuni/ mengairi sawah

8 ngeléb /Ƞǝlεb/ mengaliri seluruh sawah

9 mili /mili/ mengalir

10 macul /macՍl/ mencangkul

11 mluku /mluku/ membajak sawah

12 ngluku /Ƞluku/ membajak sawah

13 numpak /numpak/ naik

14 ngarit /Ƞarit/ menyabit

15 nampingi /nampiȠi/ merapikan tembok samping sawah

16 némbok /nembϽk/ membuat pematang sawah

17 numangi /numaȠi/ membuat pematang sawah

18 ngekum /Ƞǝñkum/ merendam

19 nglerem /Ƞlǝrǝm/ mengeram benih setelah direndam

20 nipuk /nipՍk/ mengeram benih padi

21 nyabet /ñabǝt/ mencambuk

22 ndhudhuhi /nḍʰuḍʰuhi/ merapikan dan membersihkan

pematang sawah

23 didhudhuhi /ḍʰiḍʰuḍʰuhi/ pematang sawah dibersihkan dan

dirapikan

24 gepuk /gǝpՍk/ bekerja di sawah

25 nyebar /ñǝbar/ menyebar/menyemai

26 mbubut /mbubut/ mencabut

27 tandur /tandʰur/ kegiatan menanam

28 nandur /nandʰՍr/ menanam

29 dikirim /ḍʰikirim/ mengirim/mengantar

30 matun / matՍn/ membersihkan gulma

79

31 nggombrang /ŋgƆmbraŋ/ merapikan pematang sawah

32 nggarem /ŋgarǝm/ memupuk

33 ngrabuk /ŋrabՍk/ memupuk

34 nyemprot /ñǝbar/ menyemprot

35 derep /dʰǝrǝp/ memanen padi dengan ani – ani

36 mbabad /mbabadʰ/ memanen padi dengan sabit

37 nyonggah /ñƆŋgah/ membawa hasil panen dari sawah ke

rumah pemilik atau penggarap sawah

atau ke tempat penggilingan padi

38 mbawon /mbawon/ upah panen

39 ngéles /ŋelǝs/ merontokkan gabah dari jerami

dengan kaki

40 ngrontog /ŋrontogʰ/ merontokkan gabah dari jerami mesin

perontok

41 nggiser /ŋgisǝr/ menggiling gabah menjadi beras

dengan mesin penggiling padi

42 nebas /nǝbas/ membeli padi sistem ijon

43 ditebasna /ḍʰitǝbasna/ membeli padi dengan sistem ijon

44 ngaron /ŋarƆn/ menanak nasi setengah matang dengan

panci sebelum menggunakan dandang

45 adang /adʰaŋ/ menanak nasi

46 liwet /liwǝt/ menanak nasi

47 ngetim /ŋǝtim/ menanak nasi

48 marung geni /marՍŋ/ kegiatan menyalakan api

49 dhitapéni /ḍʰitapεnI/ ditampi

50 napeni /napεni/ menampi/membersihkan beras dari

kotoran

51 malakutunu /malakutunu/ makan bersama di sawah

80

52 ngrokok /ŋrƆkƆk/ merokok

53 udud /udʰudʰ/ merokok

54 nglinting /ŋlintʰiŋ/ melinting rokok

55 ngirim /ŋirIm/ mengantar makanan ke sawah

56 angon bébék /aŋƆn bebek/ menggembala bebek

57 dinténi /dʰInteni/ ditunggu/diawasi

58 ditumpaki /dʰItumpaki/ dinaiki

59 dicancang /dʰIҫancaŋ/ diikat

60 tani /tanI/ bekerja di sawah

61 mbadhog /mbaḍʰɔg/ makan

62 panén /panεn/ panen

63 nglabuh /ŋlabՍh/ persiapan benih

64 mépe /mεpε/ menjemur

65 dipépé/dipé [ḍʰipεpε/ḍʰipε] dijemur

66 ngelér /ŋǝlεr/ menyebar/meratakan

67 mupul /mupul/ mengangkat/mengambil jemuran

68 mesusi /mǝsusi/ mencuci beras

69 dipesusi /ḍʰipǝsusi/ dicuci (beras)

70 gawe pinihan /gawε pinihan/ membuat benih

Tabel 4.2 Daftar Leksikon Tentang Padi

No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna

1 winih /winih/ benih

2 pari dhuwur /pari ḍʰuwur/ padi yang tinggi (raja lele)

3 pari ir /pari I r/ padi jenis ir

4 pari sadani /pari saḍʰani/ padi jenis cisadane

5 pari ciliwung /pari ҫiliwuŋ/ padi jenis ciliwung (persilangan ir dan

81

cisadane)

6 pari ketan /pari kǝtan/ padi ketan

7 pari raja lélé /pari rajʰa lele/ padi raja lele

8 beras temen /bǝras tǝmǝn/ beras yang telah dicuci, direndam dan

dibuat setengah kering untuk diolah

menjadi tepung beras

9 gabah /gʰabʰah/ gabah (padi yang masih berkulit)

10 dhedhek wadag /ḍʰǝḍʰǝk waḍʰagʰ/ kulit padi

11 dhedhek lembut /ḍʰǝḍʰǝk lǝmbՍt/ dedak

12 merang /mǝraŋ/ kulit padi

13 beras /bʰǝras/ beras

14 intip /Intip/ nasi yang melekat di dasar panci saat

menanak nasi

15 karon /karɔn/ nasi setengah matang

16 dami /dʰami/ jerami

17 godhong /gʰoḍʰoŋ/ daun

18 menir /mǝnir/ potongan padi kecil – kecil, biasanya

tampak jelas saat beras ditampi.

dimanfaatkan untuk anak ayam.

19 sepocong /sǝpɔҫɔŋ/ satu ikat padi dan diikat dengan kulit

batang pohon pisang

20 sebengket /sǝbǝŋkǝt/ satu ikat benih padi segenggam tangan

21 glepung / gʰlǝpՍŋ/ tepung beras

Tabel 4.3 Daftar Leksikon Pertumbuhan Padi

No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna

1 thukul /tʰukul/ tumbuh bertunas

2 oyod /ɔýod/ akar

82

3 lilir /lIlIr/ padi mulai tumbuh dan beradaptasi di

sawah

4 byah /byah/ padi mulai tegak berdiri dan tumbuh

subur dan menghijau lebat daunnya

5 mapak /mapak/ tinggi padi sudah rata dan berisi susu

6 ndheluk /nḍʰǝluk/ merunduk

7 emping kuning /ǝmpiŋ kunIŋ/ tidak ada isinya

8 wayah panén /wayah panεn/ waktu panen

9 pariné lemu /parine lǝmu/ padinya gemuk

10 gabug /gʰabʰugʰ/ puso/tidak berisi

11 kopong /kɔpɔŋ/ kosong/tidak ada isinya

Tabel 4.4 Daftar Leksikon Tumbuhan di Sawah (selain padi)

No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna

1 wit cécék /wit ҫεҫεk/ pohon nangka (di pinggir

sawah/perbatasan sawah dan

kebun/ladang)

2 gori /gʰorI/ nangka muda

3 jagung /jʰagʰuŋ/ jagung

4 bodin /bʰodʰin/ singkong

5 sluweg /sluwǝgʰ/ ubi jalar tidak berasa

6 uwi /uwi/ ubi jalar kuning

7 boléd /bolεdʰ/ ubi jalar merah

8 angkrik /aŋkrik/ tanaman umbi – umbian dapat

dimakan

9 gembili /gʰǝmbʰili/ tanaman umbi – umbian dapat

dimakan

10 busil /bʰusil/ keladi kecil

11 ganyong /gʰañɔŋ/ keladi besar

83

12 kedhelé /kǝḍʰǝlε/ kedelai

13 lembayung /lǝmbʰaýuŋ/ daun kacang panjang

14 kacang /kaҫaŋ/ kacang panjang

15 kara /kara/ kacang kara berwarna coklat

16 kara gabél /kara gʰabʰεl/ kacang kara berwarna hitam dan besar

17 semanggén /sǝmaŋgεn/ tanaman air

18 kapri /kapri/ kacang kapri

19 benguk /bʰǝŋuk/ kacang koro ebesar asam jawa

20 cemongkak /ҫǝmɔŋkak/ buah mirip terong kecil (+- ukuran

kelereng) warna hijau

21 wéwéan /wewean/ genjer daun lancip

22 géndhot /gʰεnḍʰɔt/ genjer daun bundar lebar

23 suket /sukǝt/ rumput

24 genjer /gʰεnjεr/ genjer

Tabel 4.5 Daftar Leksikon Hewan di Sawah

No Leksikon Transkripsi

Fonetik

Makna

1 wereng /wǝrǝŋ/ wereng

2 walang /walaŋ/ belalang

3 lembing /lǝmbʰiŋ/ belalang sangit

4 kraca buntek /kraҫa bʰuntǝk/ keong hitam lancip

5 kraca lancip /kraҫa lanҫip/ keong hitam bulat

6 écé /εҫε/ kerang sungai

7 lenggarangan /lǝŋgaraŋan/ musang

8 kuwuk /kuwuk/ musang kecil

9 walang sangit /walaŋ saŋit/ belalang sangit

84

10 tikus /tikՍs/ tikus

11 uler /Սlǝr/ ulat

12 manuk /manՍk/ burung

13 anggang – anggang /aŋgaŋ - aŋgaŋ/ binatang serangga air

14 kebo /kǝbo/ kerbau

15 ula welang /ula wǝlaŋ/ ular belang hitam putih

16 iwak blenduk /iwak blǝnḍʰՍk/ ikan kecil, perut buncit

17 cicik melik /ҫiҫik mǝlik/ ikan – ikan kecil dan lincah bergerak

18 luwak /lՍwak/ musang berbulu halus seperti kelinci

19 blacan /blaҫan/ musang mukanya seperti tikus

20 welut /wǝlՍt/ belut

Tabel 4.6 Daftar Leksikon Makanan dan Rokok Untuk Petani di

Sawah

No Leksikon Transkripsi

Fonetik

Makna

1 kiriman /kiriman/ antaran makanan untuk petani

2 ponggol /pɔŋgɔl/ nasi

3 lawuh /lawՍh/ Lauk

4 jangan /aŋan/ sayuran yang dimasak

5 janganan / aŋanan/ sayur – mayor

6 cekelan /ҫǝkǝlan/ Pegangan

7 batiré /batire/ Temannya

8 goréngan /gorεŋan/ tahu atau tempe atau dage yang digoreng

dengan tepung

9 rempéyék /rǝmpeyek/ gorengan dari adonan tepung yang dicampur

air, kacang tanah cacah, dan bumbu;

digoreng tipis - tipis

10 krupuk /krupuk/ Kerupuk

11 karag /karag/ kerupuk dari nasi sisa ditambah bumbu dan

ragi khusus, dibuat dengan menumbuk

dengan alu dan lumpang, digiling, dijemur,

85

kemudian digoreng

12 jléthot /lεtʰɔtʰ/ krupuk dari singkong

13 dodol /dʰodʰol/ Jenang

14 lolos /lɔlɔs/ jenang setengah matang, masih lembek sekali

15 dhagé /ḍʰagε/ sisa ampas tahu, difermentasi, dibentuk

seperti tempe

16 randem /randʰǝm/ gorengan dari ampas tahu segar yang dibalut

adonan tepung

17 sambel kothok /sambǝl kɔtʰɔk/

sambal terbuat dari cabai rawit, garam dan

terasi, dihaluskan dan digoreng, diberi kuah

banyak sampai bau harum

18 jaya /jʰaýa/ merek rokok gudang garam djaja

19 jarum /jʰarum/ merek rokok djarum super

20 filter /pʰiltǝr/ merek rokok gudang garam filter

21 mbako /mbʰakʰɔ/ Tembakau

22 menyan /mǝñan/ Kemenyan

23 papir /pʰapʰir/ kertas rokok

24 cengkéh /ҫǝŋkεh/ Cengkih

25 korék jrés /kɔrεk jʰrεs/ korek batang kemasan

26 korék gas /kɔrεk gas/ korek gas

27 rokok /rɔkɔk/ rokok modern/pabrik

28 lintingan /lintiŋan/ rokok tradisional dari tembakau yang diberi

cengkih dan kemenyan dan digulung dengan

kertas khusus rokok

Tabel 4.7 Daftar Leksikon Musim dalam Pertanian Padi

No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna

1 mangsan rendheng /maŋsan rǝḍʰǝŋ/ musim penghujan

2 mangsan terang /maŋsan tǝraŋ/ musim kemarau

3 mangsan pekolih /maŋsan pǝkɔlih/ musim banyak hasil panennya

4 mangsan tikus /maŋsan tikՍs/ musim tikus

5 mangsan udan /maŋsan udʰan/ musim penghujan

6 mangsan angin /maŋsan aŋin/ musim angin

7 mangsan gabug /maŋsan gʰabugʰ/ musim puso

8 mangsan paceklik /maŋsan paҫǝklik/ musim paceklik (hasil panen

sedikit)

9 mangsan goyang /maŋsan gɔýaŋ/ musim puso

86

Tabel 4.8 Daftar Leksikon Alat Pertanian Padi

No Leksikon Transkripsi

Fonetik

Makna

1 sabet /sabǝt/ Cambuk

2 pacul /pʰaҫՍl/ Cangkul

3 wluku /wluku/ alat meratakan sawah

4 luku /luku/ alat membajak sawah/mendorong tanah dari

kayu besar yang ditarik oleh kerbau

5 garu /gʰaru/ alat membajak sawah/membalik tanah

(seperti garpu besar di bawah luku)

6 arit /arit/ Sabit

7 traktor /traktɔr/ Traktor

8 kandhi /kanḍʰi/ karung beras warna putih

9 rinjing /rinjʰiŋ/ keranjang silinder tinggi

10 jlebug /jʰlǝbug/ keranjang kubus tanpa tutup besar

11 dhunek /ḍʰunǝk/ keranjang silinder pendek

12 tumbu /tumbʰu/ keranjang kubus tanpa tutup kecil

13 rantam /rantam/ Rantang

14 kala /kala/ orang – orangan sawah

15 ani – ani /ani – ani/ ani – ani (alat pertanian tradisional)

16 alu /alu/ alat penumbuk

17 lumpang /lՍmpaŋ/ Lesung

18 tampah /tampah/ alat untuk menampi beras, bundar, dari

anyaman bamboo

19 deklit /dǝklit/ semacam lembaran karpet terbuat dari

‘kandhi’ yang digunting menjadi lembaran

dan disatukan dengan dijahit (untuk

87

menjemur gabah)

20 capon /ҫǝpɔn/ -tempat nasi

-alat untuk mencuci beras

21 klaras /klaras/ daun pisang yang telah kering

22 korék jrés /kɔrεk jʰrεs/ korek batang kemasan

23 korék gas /kɔrεk gas/ korek gas

Tabel 4.9 Daftar Leksikon Alam Berhubungan dengan Pertanian

Padi

No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna

1 sawah /sawah/ Sawah

2 kebon /kǝbɔn/ Kebun

3 petarangan /pǝtaraŋan/ halaman samping dan belakang rumah

4 ruwab /ruwab/ kotor sekali

5 ranggon /raŋgɔn/ kandang binatang

6 wangan /waŋan/ sungai agak besar

7 kali /kali/ sungai

8 curug /ҫurug/ air terjun

9 kubang /kՍbaŋ/ bendungan kecil alami (ada mata

airnya)

10 bak /bak/ bendungan kecil, buatan manusia

11 tolér /tɔler/ selang air

12 tuk /tuk/ mata air

13 balong /balɔŋ/ kolam ikan

14 galengan / galǝŋan/ pematang sawah

15 tampingan /tampiŋan/ tembok samping sawah

16 pring /priŋ/ bamboo

Tabel 4.10 Daftar Leksikon Nomina dan Adjektiva Berhubungan

dengan Pertanian Padi

No Leksikon Transkripsi Fonetik Makna

1 mayoret /mayɔrεt/ pemimpin barisan bebek yang akan

digembala

2 sungu /suŋu/ tanduk

88

3 larik /larik/ baris

4 bawon /bawɔn/ upah buruh panen

5 buruh /buruh/ pekerja tani

6 wong tandur /wɔŋ tandʰur/ pekerja tanam padi

7 wong macul /wɔŋ maҫul pekerja mengolah tanah

8 wong matun /wɔŋ matՍn/ pekerja membersihkan hama tanaman

9 kilan /kilan/ ukuran satu jengkal

10 klengked /kilan/ lambat

11 klengkad –

klengked

/klǝŋkadʰ klǝŋkǝdʰ/ sifat suka menunda – nunda dan

lambat dalam bekerja

12 ketuwan/

ketuwanen

/

kǝtuwan/kǝtuwanǝn/

terlalu tua

13 léng /lεŋ/ lubang kecil di tanah

14 rong /rɔŋ/ lubang agak besar di tanah

15 kemaruk /kǝmarՍk/ rakus

16 bagi – bagi karo

kancané

/bagi – bagi karɔ kanҫane/

berbagi/ingat dengan teman

17 kentheng /kǝntʰǝŋ/ kuat

18 gelis /gǝlis/ cepat

19 bantermén /bantǝrmǝn/ cepat sekali

20 munjung /munjʰuŋ/ menggunung/ukuran penuh (tidak

rata), bahkan melebihi dan biasanya

puncaknya menyerupai kerucut

Berikut di bawah ini adalah lagu khas pertanian di wilayah penelitian:

(notasi 1 = do)

6 – 6 5 4 – 6

Ana wong macul

Wedangé kopi

6 – 6 5 – 4 – 6

89

Lagi sarapan

Gulané jawa

6 – 6 – 5 4 – 7 – 7

Lawuéh janganan

Krupuké kur siji

6 – 5 4 – 5 – 3

Kacang lenjaran

Rokoké jaya

Terjemahan dari lagu tersebut secara bebas adalah seperti berikut ini:

“Ada orang bekerja di sawah, dia sedang sarapan.

Lauknya sayur tumis kacang panjang.

Minumnya kopi, gulanya gula merah.

Kerupuknya hanya satu, rokoknya merk gudang garam djaja”

Dari kajian mengenai Leksikon khas pertanian di wilayah Kecamatan

Sirampog, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah tersebut tampak jelas bahwa

lagu tersebut memiliki segenap fungsi bahasa, yaitu: fungsi komunikatif/konatif,

ekspresif, informasional/denitatif, metalinguistik, dan puitik. Dalam kaitan dengan

fungsi komunikatif dan informasional, lagu tersebut mengungkapkan adanya

kegiatan pertanian di sawah yaitu mengolah sawah. Lebih lanjut lagi dijelaskan

bahwa para pekerja di sawah sangat diperhatikan oleh para pemilik lahan dengan

menyajikan makanan dengan penuh pertimbangan kecukupan gizi. Dalam fungsi

ekspresif, tampak bahwa ada pengungkapan makna kepedulian antar sesama

90

manusia. Meski para buruh tani adalah pekerja, para pemilik lahan tetap

memperhatikan kebutuhan jasmani, yang terungkap dari makanan yang bergizi

dan memenuhi syarat empat sehat lima sempurna, serta kebutuhan rohani dengan

menyajikan kerupuk serta rokok. Sebagaimana adanya pengetahuan umum yang

mengungkapkan bahwa masyarakat Jawa banyak beranggapan makan tidak

lengkap tanpa kerupuk. Meski rokok merupakan hal yang menimbulkan banyak

kerugian (jasmani terutama), namun di lain pihak banyak orang beranggapan

bahwa rokok dapat menenangkan jiwa mereka. Berkenaan dengan fungsi

metalinguistik, tampak adanya pengkodean bahasa yang ditunjukkan melalui

pilihan – pilihan kata – kata khas masyarakat di desa, antara lain: ‘janganan

kacang lenjaran’. Lagu tersebut tidak menggunakan kata – kata lain, misal sayur

Cap Jay atau sayur lain yang tidak dikenal masyarakat di wilayah tersebut, hal ini

barangkali disebabkan bahwa sayuran kacang panjang mudah didapat dan biasa

dikonsumsi oleh masyarakat di desa tersebut. Bahasa juga berfungsi puitik, hal ini

tecermin dari penggunaan rima di suku ultima setiap baris lagu tersebut. Ada

pengulangan bunyi akhir sebagamana penggunaan rima pada lagu atau pusi lama,

misal: pantun, gurindam, maupun syair. Selain itu, dalam lagu ‘dolanan’ bertema

pertanian di atas, tersirat ekspresi budaya pertanian di masyarakat Kecamatan

Sirampog. Dalam sub bab berikut ini akan dibahas mengenai budaya pertanian,

terutama pertanian padi di wilayah penelitian.

4.2 Budaya Pertanian

Secara umum, masyarakat Kecamatan Sirampog baik yang

91

bermatapencaharian sebagai petani pemilik lahan, petani penggarap/buruh tani,

maupun masyarakat bukan petani mengetahui budaya pertanian di wilayahnya.

Hal ini tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: bahwa pertanian

merupakan kegiatan budaya lokal yang telah diturunkan dari generasi ke generasi;

pertanian merupakan mata pencaharian pokok bagi masyarakat Kecamatan

Sirampog; wilayah alam yang berupa pegunungan, hutan, sungai – sungai dan

banyak mata air di lingkungan ini mendukung budaya pertanian di wilayah

Kecamatan Sirampog.

Melalui kajian Leksikon di bidang pertanian yang telah di bahas pada bab

sebelumnya, berikut akan dijelaskan satu persatu budaya pertanian di Kecamatan

Sirampog, kabupaten Brebes, provinsi Jawa Tengah.

4.2.1 Budaya Pengolahan Tanah

Pengolahan tanah, terutama lahan pertanian sawah, di Kecamatan

Sirampog diawali dengan pembakaran jerami, kemudian pencangkulan,

pembajakan dan pengairan sawah. Masyarakat Kecamatan Sirampog

mengenal beberapa Leksikon lokal dalam proses pengolahan sawah. Di

bawah ini merupakan langkah – langkah pengolahan sawah pasca panen

hingga lahan siap ditanami padi lagi. Biasanya 1 minggu setelah panen,

para petani akan mengolah jerami yang masih tersisa dengan cara dibakar

atau langsung dibenamkan di lahan pertanian. Para petani di Kecamatan

Sirampog biasanya memanfaatkan jerami padi yang diambil saat panen

untuk makanan sapi. Apabila jerami masih tersisa, para petani akan

membakar jerami itu (mbakar dami) atau membenamkan jerami tersebut

92

saat mencangkuli (macul) sawah (nglemeng). Setelah sawah dicangkul,

petani akan melakukan kegiatan mengolah tanah (nglabuh). Proses

perataan tanah ini ada dua tahap, yaitu malik/ngebak dan angler yang

terdiri atas dua macam kegiatan yaitu macul dan mluku/ngluku. Malik

adalah kegiatan membalik tanah dengan cangkul. Cara mencangkulnya

masih kasar, yang penting tanah dibalik agar lapisan tanah di atas menjadi

di bawah. Sedang ngebak merupakan kegiatan membalik tanah dengan

bajak (garu). Menurut beberapa informan, kegiatan ini sangat penting agar

kesuburan tanah terjaga dan tanah tidak jenuh. Dengan dibaliknya tanah,

maka tanah yang berhumus (subur) berada di bagian atas, dan yang sudah

kurang subur di bagian bawah sehingga diharapkan akan pulih lagi

kesuburannya.

Tahap malik/ngebak biasanya dilanjutkan dengan tahapan angler.

Angler yaitu kegiatan meratakan tanah sehingga tanah siap ditanami padi

kembali. Kegiatan Angler ada dua macam. Perbedaan ini tergantung alat

yang digunakan saat melakukan angler. Kegiatan angler yang pertama

yaitu mencangkul (macul), meratakan tanah dengan alat cangkul (pacul);

dan yang kedua yaitu mluku/ngluku yang merupakan kegiatan meratakan

sawah dengan bajak yang di bagian bawah mata bajaknya dipasang

semacam garpu besar terbuat dari besi dengan panjang lebih kurang 1 m

(wluku). Perbedaan macul saat angler dan macul saat ngebak/malik

adalah sebagai berikut: macul saat ngebak/malik tidak membutuhkan

aliran air. Sedang macul saat angler membutuhkan aliran air. Dengan

93

demikian, bila saat malik, kondisi tanah apa adanya, sedang bila angler

petani akan ngiléni sawahnya agar lembab atau lunak dan akan

mempermudah proses perataan tanah. Cara angler yang kedua yaitu

mluku/ngluku. Kegiatan mluku/ngluku dilakukan dengan cara

menggunakan wluku yang ditarik oleh kerbau. Posisi garu, semacam kayu

besar yang berfungsi mendorong tanah sawah ke depan, diletakkan

disebelah kanan dan kiri kerbau dan dibawah garu dipasang garpu besar

khusus untuk meratakan tanah. Petani akan duduk dibagian belakang

wluku sambil membawa cambuk (pecut) sambil berteriak ‘wooooo’ atau

‘heeeeemmmmm’ untuk menyemangati kerbaunya. Kegiatan ini dilakukan

hingga tanah rata permukaannya dan lembut teksturnya sehingga akan

memudahkan dalam kegiatan menanam padi. Kegiatan mluku ini juga

membutuhkan air yang banyak, sehingga kondisi tanah harus lembek dan

sawah biasanya diusahakan agar tergenang air. Jadi, tanah di

balik/dicangkul, kemudian diolah lagi dengan mencangkul lagi atau

membajaknya agar tanah rata dan siap untuk ditanami. Setelah tanah di

angler sawah akan didiamkan selama lebih kurang 10 hari, sambil

menunggu bibit padi siap ditanam.

Ketika proses mencangkul, biasanya para petani juga akan

merapikan pematang sawah (galengan) dan tembok samping sawah

(tampingan). Hal ini dilakukan karena kontur tanah di wilayah penelitian

merupakan wilayah lereng gunung Slamet dan perbukitan. Oleh karena itu,

sawah – sawah dan perkebunan di wilayah ini kebanyakan berupa

94

terasering/sengkedan. Dengan demikian, tembok di sawah – sawah di

wilayah Kecamatan Sirampog biasanya tinggi – tinggi. Rata – rata

tingginya 1 – 1.5 m. Saat padi tumbuh hingga panen, biasanya banyak

gulma dan rumput serta terjadi kerusakan di tembok – tembok sawah.

Perlu diketahui, mayoritas tanah di wilayah Kecamatan sirampog

merupakan wilayah yang tanahnya sangat labil. Bahkan pada tahun 1999

terjadi longsor hebat, hingga rumah nenek peneliti beserta kampungnya

longsor dan lenyap. Saat ini wilayah tersebut menjadi lahan serupa

kawah/kolam yang sangat luas. Karena tembok – tembok sawah banyak

ditumbuhi rumput/gulma dan banyak yang longsor, sehingga perlu

dilakukan kegiatan merapikan tembok – tembok sawah yang disebut

dengan nampingi.

Selain merapikan tembok samping sawah, petani juga merapikan

pematang sawah (galengan). Kegiatan merapikan ‘galengan’ ini ada dua

langkah, yaitu nduduhi dan nembok. Nduduhi adalah menghilangkan

rumput – rumput yang tumbuh liar di galengan dengan menggunakan

sabit (arit). Setelah rumput – rumput di galengan selesai diduduhi, para

petani melakukan kegiatan nembok. Kata nembok ini sangat menarik

perhatian peneliti, karena bila ditilik dari asal katanya, nembok berasal

dari kata tembok. Tembok dalam pengetahuan umum, merupakan dinding

yang biasanya berukuran tinggi antara 2 – 3 meter. Sehingga semestinya

kata nembok bermakna membuat tembok yang tinggi. Akan tetapi, kata

nembok di ranah pertanian di Kecamatan Sirampog bermakna membuat

95

pematang sawah (galengan) dengan alat cangkul. Pematang sawah

biasanya tingginya berkisar 15 - 30 cm dari permukaan lahan yang

ditanami padi. Jadi, sepertinya kata nampingi lebih tepat untuk kegiatan

membuat pematang sawah dan kata nembok untuk kegiatan membuat

tembok sawah yang tinggi. Namun demikian, kosakata tersebut adalah

khas budaya pertanian masyarakat di Kecamatan Sirampog.

Para petani di Kecamatan Sirampog mengenal istilah ngiléni.

Kegiatan ini meliputi hampir seluruh kegiatan tanam padi dari pengolahan

sawah hingga masa panen. Saat pengolahan sawah, biasanya para petani

akan melakukan kegiatan ngiléni. Ngiléni bermakna mengaliri sawah

dengan air. Caranya adalah, para petani ke sungai (kali) atau ke sungai

kecil (kalen). Kemudian air diperbesar alirannya dari bagian atas/hulu,

sehingga aliran kalen lancar dan kemudian aliran ditutup dan dialirkan ke

sawahnya. Air hanya dialirkan di sawah bagian paling atas, kemudian

beberapa galengan akan dibuka lebih kurang berlebar 20 – 30 cm agar air

dari lahan bagian atas bisa mengalir ke lahan yang lebih rendah. Setelah

air dirasa cukup rata di seluruh lahan sawah, maka aliran ke sawahnya di

tutup dan dialirkan lagi ke kalen. Hal ini dilakukan agar sawahnya tidak

terlalu banyak mengandung air, serta agar orang lain dapat bergantian

mengaliri sawahnya. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah subuh hingga

pukul 06.30 – 07.00. Di wilayah Kecamatan Sirampog, kegiatan ngiléni

dan berbagi air ini biasanya juga dikerjakan secara bergotong royong dan

bergantian dengan nuansa kebersamaan. Meskipun demikian,

96

sepengetahuan peneliti, ketika peneliti masih duduk di Sekolah Menengah

Pertama dan Sekolah Menengah Umum pernah beberapa kali terjadi

pertengkaran antar petani dengan petani lain karena seorang petani tidak

mau bersama – sama berbagi air dan mau menang sendiri. Namun

demikian, ketika penelitian ini dilakukan tidak ditemukan kejadian seperti

itu dan para informan pun mengatakan bahwa sekarang pembagian air

sudah rata karena ada pengurus Kelompok Usaha Tani yang mengatur

pembagian air di setiap dusun di Kecamatan Sirampog.

97

Gambar 4.1 Kegiatan mluku di Desa Mendala

4.2.2 Budaya Persiapan Benih

Setelah padi dipanen dan diolah menjadi gabah, para petani di

Kecamatan Sirampog melakukan perendaman (ngekum) dan pengeraman

(nipuk). Hasil penelitian mengungkap bahwa saat sungai – sungai yang

berlebar antara 2-3 m (yang biasa disebut wangan dengan kedalaman air

di musim kemarau rata – rata setinggi betis orang dewasa, dan kedalaman

air saat musim hujan hingga paha orang dewasa, namun saat banjir dapat

mencapai pinggang orang dewasa) masih lancar dan debit airnya masih

tinggi. Para petani biasa merendam (ngekum) gabah yang akan digunakan

sebagai benih caranya adalah sebagai berikut: gabah dimasukkan ke dalam

karung beras (yang disebut kandhi), kemudian kandhi diikat dengan tali

plastik (rafia) atau ujung kandhi hanya diikat dengan simpul mati kuat –

kuat. Setelah itu, kandhi berisi gabah tersebut dibawa ke sungai dan

ditaruh sedemikian rupa sehingga posisi kandhi tersebut terendam

seluruhnya di air. Ujung kandhi yang disimpul biasanya diletakkan di atas

tanah/batu yang agak besar di pinggir sungai dan ditindih dengan batu

besar agar tidak terbawa arus sungai. Cara lain adalah mengikat ujung

kandhi tersebut ke batang pepohonan yang banyak tumbuh di sepanjang

sungai. Bagian bawah kandhi yang terendam di sungai juga biasanya

ditopang beberapa batu besar (kira – kira sebesar kantung plastik

98

berukuran 2-3kg), dan di atas kandhi juga diletakkan 2 – 3 batu.

Peletakkan batu – batu tersebut diatur sedemikian rupa agar kandhi tidak

bergerak – gerak dan tidak terbawa arus air sungai. Perendaman ini

dilakukan selama ± 3 hari 3 malam.

Cara perendaman semacam ini sudah sangat jarang dilakukan oleh

para petani di wilayah Kecamatan Sirampog. Penyebabnya antara lain,

debit air dan lebar wangan semakin berkurang. Sebagaimana pengalaman

peneliti yang kaget dengan kenyataan di lapangan. Saat peneliti kecil

(hingga SMP kelas 1), setiap pagi saat sekolah libur, biasanya peneliti

bermain dan mandi bersama – sama kawan sebaya yang jumlahnya bisa

mencapai 15 – 20 orang. Saat itu, banyak ibu – ibu dan gadis – gadis

remaja yang mencuci di atas batu – batu dipinggir sungai dan membilas

cuciannya dengan air sungai. Batu – batu tersebut berukuran sebesar

kerbau hingga sebesar truk. Ada sebuah batu yang sangat besar namun

bentuknya menyerupai binatang gajah dan kodok, sehingga batu tersebut

disebut sebagai batu gajah dan batu kodok. Batu – batu tersebut begitu

besar dan tinggi, sehingga biasa dipanjat oleh puluhan anak – anak dan

dijadikan arena bermain terutama di pagi dan sore hari di bulan puasa.

Kebiasaan ini masih berlanjut hingga sekarang. Namun mirisnya, saat ini

wangan – wangan menjadi sempit sekali dengan lebar antara 1 – 1.5 m,

dan kedalaman airnya hanya setinggi sebetis orang dewasa pada saat

musim hujan, dan sangat sedikit saat musim kemarau. Agaknya

penebangan areal hutan pinus di bukit – bukit dan di gunung – gunung

99

menjadi penyebab utama berkurangnya fungsi sungai ini.

Setelah proses perendaman dilakukan, para petani masyarakat

Kecamatan Sirampog melakukan kegiatan pengeraman atau yang disebut

dengan nipuk atau ngelerem. Kegiatan nipuk dilakukan dengan menaruh

gabah yang telah direndam ke dalam rinjing atau dhunek atau jlebug.

Rinjing adalah alat yang terbuat dari bambu semacam keranjang, dengan

anyaman rapat dan memiliki 4 kaki. Rinjing berbentuk silinder dan bisa

memuat maksimal 15 kg beras. Dhunek semacam rinjing berukuran kecil,

akan tetapi kaki dhunek tidak sepanjang kaki rinjing, dan hanya memuat

maksimal 10 kg beras. Yang terakhir adalah jlebug atau tumbu. Jlebug

atau tumbu merupakan alat yang terbuat dari anyaman bambu rapat,

berbentuk persegi dengan ukuran dari ± 30 x 30 x 50 cm hingga yang

berukuran paling besar yaitu ± 80 x 80 x 50 cm. Jlebug lebih sering

digunakan untuk mengangkut gabah atau beras. Namun, beberapa petani

yang lahannya luas dan membutuhkan benih dalam jumlah banyak

biasanya menggunakan jlebug untuk melakukan proses nipuk. Proses

nipuk dilakukan selama ± 2 hari dua malam hingga 3 hari 3 malam sampai

tumbuh (thukul) akarnya.

4.2.3 Budaya Persemaian

Kegiatan persemaian benih padi dilakukan setelah benih siap

ditanam. Kegiatan persemaian ini dikenal dengan istilah nyebar. Nyebar

biasanya dilakukan hanya oleh 1 orang yaitu petani pemilik lahan atau

petani yang menggarap lahan tersebut. Tidak ada ritual khusus dalam

100

kegiatan persemaian. Para petani, karena masyarakat Kecamatan Sirampog

mayoritas beragama Islam, biasanya mengucapkan Basmallah dan/atau

membaca surat Alfatihah saat akan melakukan persemaian. Setelah

kegiatan menyemai benih padi (nyebar), petani akan menjaga bila lahan

yang disemai itu selalu dalam keadaan basah, tidak tenggelam oleh air,

tetapi basah/lembab/mengandung cukup air. Petani akan merawat

persemaiannya dengan cara ngiléni setiap pagi dan sore, serta pemupukan

dilakukan ketika benih padi mulai tumbuh (thukul) setelah berusia sekitar

7 hari. Petani merawat pembenihan ini dengan telaten hingga padi siap

tanam. Bibit padi yang baik adalah yang berusia 20 – 22 hari, karena kalau

terlalu lama maka padi akan terlalu tua (ketuwan/ketuwanen) dan ini tidak

bagus untuk pertumbuhan padi.

101

Gambar 4.2 Kegiatan Pertumbuhan Benih Padi di Desa Plompong

4.2.4 Budaya Penanaman

Menurut hasil penelitian dan informasi dari para informan, benih

padi yang paling baik untuk ditanam adalah benih yang berusia 21 hari.

Kemudian para petani melakukan kegiatan pengambilan benih yang biasa

disebut mbubut winih atau ngarit winih atau winihe diarit. Setelah benih

padi diambil dan dikelompokkan menjadi ikatan – ikatan bengketan, para

petani akan melakukan kegiatan tanam padi (tandur). Leksikon tandur

memiliki makna yang mengacu pada kegiatan menanam tumbuhan atau

pohon dengan jenis apapun. Akan tetapi, di wilayah Kecamatan Sirampog,

apabila ada orang mengatakan tandur maka referent yang dituju biasanya

mengacu pada kegiatan menanam padi. Kegiatan tandur umumnya

dilakukan oleh para wanita yang bekerja sebagai buruh tani. Meskipun

demikian, biasanya pemilik lahan atau petani penggarap telah memiliki

buruh tandur langganan. Sehingga, para pekerja tandur biasanya sama di

tiap – tiap masa menanam, kecuali yang bersangkutan sedang tidak bisa

bekerja atau sedang berhalangan.

Kegiatan tandur biasanya dilakukan mulai pukul 06.30 – 11.00

atau hingga selesai. Seorang pekerja “tandur akan nandur dengan berjalan

102

mundur, tangan kanan menancapkan bibit padi dan tangan kiri memegang

sebengket atau sepocong benih padi. Setiap pekerja akan nandur 3 – 4

baris (larik), dan setiap tancapan bibit biasanya berisi 3 – 5 pohon padi.

Jarak antara 1 pohon padi dengan pohon lainnya sekitar 15 – 20 cm.

Biasanya para buruh tandur hanya berdasar kira – kira saja. Biasanya 1,5

jengkal (kilan/ukuran bentang jari kelingking hingga ibu jari).

Jumlah buruh tandur tidak pasti, akan tetapi biasanya berdasar luas

lahan yang dimiliki oleh petani. Ukuran satu bau (700dm2) membutuhkan

10 – 12 pekerja tandur. Para buruh tandur rata – rata memperoleh uang

sebesar Rp 8.000 – Rp 10.000,- untuk bekerja selama 5 jam (pukul 06.00 –

11.00) dan jumlah ini akan ditambah sesuai dengan lama waktu tandur

buruh tersebut. Selain mendapatkan uang, para buruh tandur akan

mendapat makanan (dikirim) yang dibungkus daun pisang atau

dimasukkan dalam rantang (rantam). Makanan bagi para buruh tandur

sama dengan buruh macul atau ngluku yaitu nasi ditambah sayur (oseng

kacang, buncis, criwis, kobis, atau yang lainnya) dengan satu lauk (tempe,

tahu, peda [sejenis ikan asin], kerupuk, gorengan dage, atau randem, atau

¼ telur dadar). Hanya saja jumlah nasi bagi buruh wanita biasanya tidak

sebanyak bagi buruh pria, karena kebanyakan tidak habis sehingga para

pemilik lahan takut mubadzir. Orang yang ditugaskan untuk ngirim

biasanya adalah anak (usia 8 – 15 tahun) dari pemilik lahan atau orang

suruhan pemilik lahan atau terkadang salah satu buruh akan berhenti

sejenak untuk mengambil makanan kiriman di rumah pemilik lahan.

103

Biasanya yang ditugaskan mengambil makanan ini adalah buruh pria atau

buruh yang paling dipercayai oleh pemilik lahan. Bila telah dikirim oleh

pemilik sawah, maka para buruh tani akan makan bila semua buruh telah

berkumpul. Setelah selesai makan, biasanya para buruh laki – laki akan

ngrokok bila pemilik sawah memberi rokok kemasan. Namun mereka

akan menyebutnya sebagai udud atau nglinthing bila pemilik sawah

memberi mbako, papir dan menyan. Mereka akan menyalakan rokok

dengan korek jres atau korek gas tergantung pada pemberian pemilik

sawah. Setelah makan dan beristirahat selama ± 30 menit sekitar pukul

08.30 - 09.00, para buruh akan kembali bekerja hingga ± pukul 11.00.

Penanaman padi yang baik untuk satu lahan sawah adalah dengan

penanaman serentak dalam 1 hari. Sehingga, untuk memperoleh hasil

tumbuh kembang padi yang baik, para pemilik lahan yang lahannya luas

akan mengupayakan penanaman hanya dilakukan 1 hari dengan

memekerjakan banyak buruh, dan para buruh tani pun diminta mulai

menanam setelah subuh atau sekitar pukul 05.00 di pagi hari. Apabila

penanaman tidak dapat dilakukan dalam satu hari dikhawatirkan bibit

dipersemaian menjadi terlalu tua, sehingga hasil padi pun tidak maksimal.

Saat padi ditanam kondisi sawah sebaiknya basah dan mengandung

banyak air. Oleh karena itu, biasanya petani akan ngeleb sawahnya.

Ngeleb adalah kegiatan ngiléni sawah hingga sawah berair dan tanah di

sawah tergenang air hingga setinggi jari telunjuk. Hal ini untuk

memudahkan penanaman. Setelah kegiatan tandur selesai maka debit di

104

sawah dikurangi hingga beberapa bagian tanah di sawah ada yang terlihat,

tetapi sawah tetap basah dan mengandung banyak air. Oleh karena itu,

petani akan teratur ngiléni sawah setiap habis subuh hingga pukul 06.00

dan sekitar jam 04.30 sore hingga menjelang maghrib.

Gambar 4.3 Kegiatan Tanam Padi di Desa Benda

4.2.5 Budaya Perawatan

Masyarakat petani di wilayah Kecamatan Sirampog memiliki

budaya perawatan pertanian yang sangat telaten. Para petani terbiasa

ngiléni sawahnya agar tidak kekurangan air setiap pagi dan sore.

Kemudian budaya perawatan khas masyarakat Kecamatan Sirampog

adalah matun dan nggombrang. Matun adalah kegiatan mencabut rumput

dan gulma (tanaman pengganggu) yang tumbuh baik di sawah maupun di

105

pematang sawah. Biasanya buruh matun yang dipekerjakan sama dengan

buruh tandur. Gaji buruh matun sama dengan gaji tandur dan juga

mendapat kiriman. Biasanya tumbuhan pengganggu yang banyak tumbuh

adalah rumput liar, genjer (di wilayah penelitian lebih sering disebut

dengan gendot, berdaun bundar dan lebar, bisa dimakan), wewean (genjer

yang berdaun lancip, tidak biasa dimakan), tumbuhan pacar air, dan

pelbagai tumbuhan liar yang biasanya kecil – kecil dan pendek – pendek.

Matun biasanya dilakukan setelah padi berumur 30 hari (1 bulan).

Kegiatan berikutnya adalah nggombrang; yakni: kegiatan merapikan

pematang dan tembok samping di sawah. Kegiatan ini dilakukan dengan

menggunakan pacul.

4.2.6 Budaya Pemupukan

Berdasar pengamatan dan wawancara mendalam dengan para

informan, diketahui bahwa Para petani di Kecamatan Sirampog mayoritas

menggunakan pupuk modern dan tidak menggunakan pupuk kandang

(rabuk). Mereka memupuk (nggarem), bukan ngrabuk, rata – rata 2 – 3

kali dari masa persemaian hingga panen. Nggarem adalah kegiatan

pemupukan lahan pertanian, dalam hal ini sawah. Mayoritas petani di

wilayah penelitian memupuk menggunakan pupuk atau garam urea dan

ZA, atau yang lebih sering mereka sebut sebagai garem abang dan garem

putih. Garem abang merujuk pada pupuk KCL, sedang garem

putih/garem biasa merujuk pada pupuk urea atau ZA. Pupuk urea

biasanya digunakan dengan tujuan agar tanaman memiliki daun yang hijau

106

dan lebat. Sedang pupuk ZA dimanfaatkan untuk memperkuat akar padi.

Para petani padi di wilayah penelitian melakukan kegiatan

pemupukan sebanyak dua sampai tiga kali. Akan tetapi rata – rata petani

hanya memupuk dua kali. Berdasar hasil wawancara mendalam dengan

para petani yang masih tradisional, mayoritas dari mereka memupuk padi

sebanyak dua kali, yaitu pada saat padi berumur 2 minggu dan berumur

1.5 bulan (6 minggu) dengan menggunakan pupuk Urea dan TSP. Sedang

pupuk KCL jarang digunakan karena mahal harganya. Para petani yang

telah mengikuti penyuluhan di kelompok tani dan para petani yang juga

merangkap sebagai ketua atau pengurus kelompok usaha tani menyatakan

bahwa pemupukan sebaiknya dilakukan sebanyak tiga kali. Pemupukan

pertama dilakukan dengan menggunakan pupuk TSP 1 hari sebelum benih

disemai di lahan, berikutnya ketika benih padi berumur 15 hari. Tanaman

padi juga akan diberi pupuk ZA/Urea saat berumur 10 hari dan dengan

pupuk ZA, Urea, dan KCL saat berumur 36 hari. Para petani yang

mengikuti penyuluhan kelompok usaha tani disarankan menggunakan

pupuk berimbang agar hasil panen lebih maksimal. Pupuk berimbang ini

tersusun atas campuran beberapa jenis pupuk yang memiliki komposisi

yaitu ZA 2.5 Kw, Urea 2 Kw, dan KCL 50 kg per hektar sawah.

Penggunaan pupuk berimbang akan menghasilkan padi sebanyak 7 – 8 ton

gabah per hektar sawah. Hasil ini ± 2 kali lebih banyak bila dibandingkan

dengan penggunaan teknik pemupukan tradisional yang masih dilakukan

oleh mayoritas petani di wilayah penelitian.

107

Para petani di wilayah penelitian hampir seluruhnya melakukan

kegiatan pemupukan saat sore hari atau setelah sholat ashar atau sekitar

pukul 16.00 dan seterusnya. Pemilihan waktu pemupukan di sore hari ini

bertujuan agar pupuk tidak menguap oleh sinar matahari, sehingga pupuk

diharapkan dapat terserap maksimal oleh sawah. Dalam kegiatan nggarem

para petani biasanya menggunakan ember seukuran 3 – 5 galon. Bubuk

pupuk dimasukkan ke dalam ember, kemudian dengan menggunakan

tangan telanjang (tanpa pelindung), petani menggenggam pupuk dan

menyebar pupuk ke permukaan tanaman padi. Penyebaran pupuk

dilakukan dengan cara mengayunkan tangan dari depan dada, dan

menghentakkan pupuk dengan tenaga (keras) sehingga pupuk dapat

tersebar dengan baik dan mencapai jarak hingga 2 – 3 meter. Kegiatan ini

dilakukan 2 – 3 kali di atas areal padi yang sama, setalah itu petani akan

berpindah ke areal di sebelahnya, demikian seterusnya hingga kegiatan

pemupukan selesai.

Saat pemupukan dilakukan biasanya para petani tidak akan

mengaliri sawahnya dengan air. Kondisi sawah harus dalam keadaan

lembab, tetapi tidak tergenang air. Kondisi tanah seperti ini dimaksudkan

agar pupuk terserap dengan baik, dan tidak hanyut oleh air.

4.2.7 Budaya Pertumbuhan Padi

Para petani di Kecamatan Sirampog terlihat sangat telaten merawat

dan memperhatikan tumbuh kembang tanaman padinya. Ketika padi baru

disemai, petani akan setia menunggui persemaian padi di siang hari, untuk

108

mencegah burung – burung memakan biji padi yang baru disemai. Setelah

padi berumur ± 5 – 7 hari di persemaian, padi akan thukul atau temukul.

Padi mulai tumbuh dan muncul daun – daun kecil berukuran sekitar 1 – 2

cm setelah 10 hari dan siap ditanam setelah berumur 20 hari. Setelah padi

ditanam dan berumur ± 30 hari, padi akan mengalami lilir. Dalam masa

lilir, padi akan tampak menghijau setinggi ± 20 – 25 cm dan tampak

tumbuh dengan baik serta sudah beradaptasi dengan lahan tumbuhnya.

Masa lilir juga akan terjadi setelah padi ditandur dan berumur 4 – 5

minggu. Sekitar umur 60 hari, padi akan memasuki masa mapak. Dalam

fase ini, padi tampak menghijau dan segar, yang menandakan padi telah

beradaptasi dan tumbuh dengan baik di sawah. Ketika padi terlihat tumbuh

dengan tinggi yang sama dan calon bulir padi mulai tumbuh (keluar) atau

disebut dengan metu, fase ini disebut dengan byah, yang terjadi saat usia

padi ± 75 hari. Saat padi berusia 80 hari, padi berada dalam masa

pertumbuhan dimana bulir padi mulai merunduk dan berisi cairan

semacam susu putih kental, yang disebut dengan ndeluk. Saat bulir padi

tampak menguning dan isinya mulai keras, fase ini biasa disebut dengan

emping kuning. Ini terjadi saat padi berusia ± 90 - 95 hari. Padi akan

memasuki masa panen (wayah panen) saat berusia ± 100 hari.

109

Gambar 4.4. Kegiatan Pertumbuhan Padi

4.2.8 Budaya Pembasmian Hama

Hama adalah salah satu musuh utama petani. Berdasar pengamatan

dan wawancara mendalam dengan para informan di wilayah penelitian

ditemukan bahwa terdapat banyak hama di sawah, baik hewan, antara lain:

wereng, walang, lembing, walang sangit, tikus, kraca lancip, ece,

anggang – anggang, kraca buntek; maupun tumbuh – tumbuhan, seperti

gendot, wewean, semanggen, suket, genjer.

Wereng, lembing, dan walang sangit merupakan hama yang

menyerang padi saat padi dalam masa byah. Saat biji padi baru mulai

berisi cairan putih semacam susu, hama ini akan menghisap isi padi

tersebut. Oleh sebab itu, padi menjadi tidak berisi (gabug). Walang adalah

hama padi yang akan memakan daun padi, terutama yang masih muda.

Sedang tikus adalah hama yang menyerang tanaman padi dengan cara

mematahkan batang padi. Ini merupakan kodrat tikus sebagai binatang

pengerat. Tikus mematahkan batang padi (dami) dengan tujuan mengasah

giginya. Sawah yang diserang hama tikus biasanya akan tampak berlobang

(kroak) di bagian tengah, sedang tumbuhan padi di bagian sekeliling

sawah akan tampak utuh/tinggi. Kraca lancip dan kraca buntek adalah

110

hewan yang hidup di air sawah namun akan memakan daun padi. Kraca

lancip dapat ditemukan di sawah maupun sungai (wangan, kalen), tapi

tidak ada di sungai besar (kali keruh, kali behet). Sedang kraca buntek

hanya dapat ditemukan di sawah. Binatang lain yang biasanya ada di air

sawah maupun air sungai adalah ece dan anggang – anggang. Namun

demikian, kedua hewan ini tidak mengganggu aktivitas pertumbuhan padi

ecara langsung. Hewan ini baru akan mengganggu pertumbuhan padi bila

jumlahnya terlalu banyak, karena akan mengurangi ruang tumbuh padi.

Untuk membasmi hama atau binatang yang berada di permukaan

tanah, petani akan melakukan kegiatan nyemprot. Petani biasanya

menggunakan alat penyemprot hama yang terbuat dari alumunium yang

biasa dijual di toko peralatan pertanian. Alat ini digunakan dengan cara

digendong di punggung, tangan kanan petani akan mengarahkan selang

semprotan ke area yang dituju, sedang tangan kiri akan memompa alat

semprot dengan melakukan kegiatan naik – turun pada gagang pompa alat

semprot hama. Alat ini berisi cairan insektisida atau pestisida. Dalam

membasmi hama binatang di tanah, kraca lancip, kraca buntek, ece;

petani akan mengambil hama – hama tersebut dengan mengambil satu

persatu binatang tersebut saat kegiatan matun. Hama kraca buntek

biasanya akan dipisah dengan hama lain karena hewan ini bisa

dikonsumsi, dimasak semacam bumbu rendang, dan dipercaya dapat

menyembuhkan penyakit kuning/liver. Untuk hama tanaman; semanggen,

genjer, suket, gendot, wewean; petani akan mencabuti tumbuhan tersebut

111

(matun). Matun dilakukan 2 kali yaitu saat padi berumur 20 – 25 hari dan

saat berusia ± 50 hari. Saat matun, tanaman gendot biasanya dipisah

dengan tumbuhan lain. Bila tumbuhan lain akan dibuang dan dijadikan

pematang sawah, maka tumbuhan gendot akan dibawa pulang dan

dimasak (oseng – oseng /tumis), serta dijadikan lauk.

Para petani di wilayah penelitian akan membiarkan hama anggang

– anggang dan tikus. Anggang – anggang oleh para petani dianggap tidak

mengganggu. Sedang untuk membasmi hama tikus, para petani hanya

mengandalkan racun tikus dan perangkap tikus yang diletakkan di

beberapa tempat di sawah. Akan tetapi untuk sawah yang dekat

pemukiman penduduk, para petani hanya memasang perangkap dan tidak

menggunakan racun, karena takut racun tersebut akan dimakan oleh ayam

atau kucing dan menyebabkan kematian hewan tersebut. Oleh karena itu,

sikap pasrah dan berdoa kepada sang Pencipta adalah perbuatan yang

dilakukan mayoritas petani saat menghadapi bencana hama tikus.

112

Gambar 4.5 Hama semanggén di antara Tumbuhan Padi

4.2.9 Budaya Pemanenan

Setelah padi memasuki wayah panen, petani di wilayah penelitian

akan melakukan kegiatan panen. Saat panen para petani saat ini lebih

banyak menggunakan sabit (arit) dan kegiatan panen dengan

menggunakan sabit ini disebut dengan mbabad. Para petani lebih suka

menggunakan arit daripada ani – ani. Alasannya adalah panen akan lebih

cepat dan lebih praktis. Kegiatan panen menggunakan ani – ani yang

disebut dengan derep sudah sangat jarang dilakukan, karena para petani,

terutama buruh tani, merasa penggunaan ani – ani memakan waktu lama.

Meskipun demikian, banyak petani pemilik lahan menyatakan bahwa

mereka lebih suka bila kegiatan panen menggunakan ani – ani karena

kegiatan panen menjadi lebih hati - hati dan tidak banyak bulir padi yang

jatuh (ambrol). Akan tetapi, para petani pemilik lahan tidak bisa memaksa

para buruh tani untuk menggunakan ani – ani waktu panen. Saat ini, para

petani pemilik lahan hanya mewajibkan kegiatan panen menggunakan ani

– ani bila padi yang ditanam adalah padi jenis padi ketan atau padi raja

lele.

Para petani biasanya akan memanen padinya di pagi hari mulai

pukul 8 hingga selesai. Tidak semua buruh tani boleh ikut memanen suatu

lahan yang sedang panen, karena biasanya suatu sawah akan dipanen oleh

para buruh panen biasanya akan sama dengan buruh tandur dan matun.

113

Perilaku demikian selalu dilakukan dengan alasan agar para buruh tani

bersedia untuk ikut kegiatan tandur dan matun lagi di sawah yang sama.

Kekhawatiran para petani pemilik lahan maupun petani penggarap cukup

beralasan, karena biasanya para buruh tandur dan matun sering lebih

memilih ikut memanen padi daripada tandur dan matun. Kecuali para

buruh tani yang sudah jadi langganan atau dipercaya bertahun – tahun.

Saat kegiatan panen (mbabad), para petani pemilik lahan atau

petani penggarap akan mengawasi para buruh panen. Biasanya mereka

akan mengajak keluarganya untuk turut serta memanen padi. Selain itu,

saat mengawasi kegiatan panen, mereka juga akan selalu mengingatkan

agar setiap buruh ingat dan berbagi dengan temannya. Kejadian ini terjadi

saat peneliti sedang melakukan observasi di sawah Ibu Renny di desa

Plompong. Petani penggarap sawah tersebut, Bapak Syuaib, mengawasi

kegiatan panen dan berulang kali berteriak: “Wis Nap, wis, ko tah wis

akeh ikih rah. Melasi batire, bagi – bagi karo batire. Wis ko liren bae. é

bae – ngéles bae. Wis mbabade!” (sudah Nap, sudah, kamu kan

sudahdapat banyak. Kasihan temanmu, bagi – bagi dengan teman. Sudah

kamu istirahat saja. Ngéles saja - ngéles saja. Sudah potong padinya.!”).

ketika peneliti menanyakan hal ini, Pak Syuaib menjelaskan bahwa Ibu

Napisah (salah satu buruh panen) terkenal sangat cekatan (gelismen atau

bantermen atau kenthengmen) bila ikut panen, sehingga buruh panen lain

akan memperoleh hasil sedikit, sedang dia dapat banyak. Oleh karena tahu

tabiat Napisah ini, Pak Syuaib harus mengingatkan dan melarang buruh

114

panen ini untuk mbabad lagi.

Setelah kegiatan mbabad selesai, para buruh panen akan

melakukan ngéles (menginjak – injak padi dengan gerakan kaki memutar

agar bulir padi lepas dari jerami) padi. Namun demikian, bila padi

termasuk padi yang gampang rontok, maka buruh panen tidak akan

melakukan ngéles, tetapi mereka akan nggepyok atau nggebugi jerami

padi untuk memisahkan gabah dengan jerami padi. Selain itu, bila padi

yang ditanam adalah padi jenis pari ketan, pari raja lele, atau jenis padi

lain yang susah di éles atau dapat menimbulkan gatal di kulit, maka para

petani akan melakukan ngrontog. Kegiatan ngrontog dilakukan dengan

menggunakan alat perontok padi yang disebut rontog. Kegiatan

merontokkan bulir padi dari jeraminya ini, baik ngéles maupun ngrontog

biasanya dilakukan di areal sawah. Saat para buruh tani sedang ngéles atau

ngrontog, biasanya banyak para pencari dami yang menunggui dan

membantu para buruh tani melakukan ngéles atau ngrontog. Mereka

bersedia membantu karena mereka membutuhkan jerami untuk pakan sapi

– sapi mereka.

Kegiatan yang dilakukan para buruh panen setelah selesai mbabad

dan ngéles atau ngrontog, mereka akan memasukkan gabah yang mereka

peroleh ke rumah pemilik lahan atau ke rumah petani penggarap atau ke

tempat penggilingan padi giseran, tergantung permintaan petani

(penggarap atau pemilik lahan). Setelah itu, padi yang mereka peroleh

akan ditimbang atau dihitung jumlahnya dengan rantang (rantam). Upah

115

yang buruh panen peroleh disebut bawon. Bawon yang diperoleh

sebanyak 1:10. Ada dua budaya dalam bawon yaitu, setiap 10 rantang

gabah munjung, setiap buruh panen akan memperoleh 1 rantang

munjung; dan/atau setiap 10kg gabah, maka buruh panen akan mendapat

1kg gabah. Orang yang bertugas untuk mbawon (mengukur hasil panen

dan memberi bawon), adalah para pemilik lahan (bila dia

menggarap/mengurus sawahnya sendiri) atau petani penggarap. Meski ada

ukuran atau aturan pasti dalam pemberian upah buruh panen, para petani,

baik pemilik lahan atau petani penggarap sering memberi tambahan

(imbuh) pada para buruh panen dengan berbagai macam alasan, misalnya

kasihan, berbagi rezeki, mengangap para buruh panen telah berjasa, dan

sebagainya. Kegiatan panen hingga pembagian upah untuk buruh panen ini

biasanya akan selesai sekitar pukul 3 sore. Akan tetapi, lamanya waktu

panen hingga selesai juga tergantung dari luas sawah dan banyak buruh

panen yang ikut serta dalam panen.

116

Gambar 4.6 Kegiatan Panen Padi di Desa Plompong

4.2.10 Budaya Pengolahan Hasil Panen

Setelah seluruh kegiatan panen selesai, gabah akan dimasukkan

dalam kandhi atau karung dan biasanya disimpan di giseran atau di

rumah petani. Bila disimpan di rumah petani, maka gabah akan diletakkan

di ruang tamu. Ruang tamu di wilayah penelitian biasanya luas dan dibagi

menjadi dua bagian. Separuh ruang akan diisi dengan meja dan kursi untuk

tamu atau untuk berbincang – bincang dengan anggota keluarga di pagi

atau di sore hari. Sedang setengah bagian ruang tamu biasanya dibiarkan

kosong, sebagai tempat bermain anak – anak kecil. Bagian ruang tamu

yang kosong inilah yang berfungsi untuk menyimpan gabah hasil panen.

Penyimpanan di ruang tamu, bukan di ruang belakang atau ruang tengah

ini, dapat menyiratkan dua hal: yang pertama, para petani akan mudah

dalam mengeluarkan dan memasukkan kembali gabahnya saat akan dan

setelah menjemurnya; yang kedua, jumlah hasil panen yang banyak akan

membanggakan hati petani dan mereka akan merasa puas dan senang bila

saat duduk – duduk dengan keluarganya di pagi atau sore hari, sambil

menikmati makanan kecil (médang), mereka akan memandangi hasil

panennya.

117

Gabah yang disimpan ini akan dijemur (dipépé) dari pukul 7 pagi

(petani ngelér gabah) hingga pukul 2 (petani mupul gabah) atau bila cuaca

mendung. Gabah dijemur setiap hari sampai gabah kering dan siap digiling

menjadi beras. Petani akan menjemur (mépé) padinya dengan alas deklit di

depan rumahnya, di pinggir jalan, atau di halaman giseran. Gabah akan

diawasi oleh para petani dengan telaten sambil memegang galah panjang

yang terbuat dari bambu kuning muda, untuk mengusir ayam atau burung

yang akan memakan gabah mereka. Petani juga akan membawa semacam

sekop, yang terbuat dari bambu panjang dan agak besar, di bagian bawah

bambu dipasang lempengan kayu ukuran ± 30 x 100 cm secara horizontal,

yang digunakan untuk membalik gabah agar keringnya merata. Cara

mengangkat gabah saat selesai dijemur setiap harinya adalah dengan

mengumpulkan gabah ke tengah deklit dan empat ujung deklit dilipat

sedemikian rupa hingga menutupi gabah dan kemudian, di bagian atas

lipatan deklit itu akan ditindih beberapa batu besar. Cara ini biasanya

dilakukan saat musim kemarau. Para petani biasanya tidak akan

memasukkan gabahnya ke dalam rumah dan mereka tidak khawatir

gabahnya akan dicuri. Di musim hujan, petani akan memasukkan gabah ke

dalam rumah langsung setelah deklit dilipat dengan gabah di dalam

lipatannya, dan siap untuk dijemur lagi keseokan harinya.

Gabah yang telah kering dan siap digiling akan dimasukkan ke

dalam kandhi. Para petani yang sawahnya lua dan hasil panennya banyak

akan menggiling (nggiser) setengah hasil panennya untuk dijual. Sedang

118

sisanya untuk kebutuhan makan sehari – hari, yang akan digiling

(dhigiser) gabahnya sedikit demi sedikit (biasanya per kandhi). Saat

nggiser, para petani biasanya akan menampung dhedhek wadhag atau

merang (kulit padi) dan dedaknya (dhedhek lembut). Petani

memanfaatkan dhehek wadhag sebagai pelengkap bahan bakar tungku

dapur (pawon) dan sebagai bahan bakar untuk membuat bata merah.

Dhedhek lembut dimanfaatkan petani untuk memberi makan ayam,

terutama anak ayam (pitik). Petani biasanya menggiling padinya di

penggilingan padi dengan biaya sebesar Rp 350 – 500,- per kg beras atau 4

kaleng susu dengan berat 380gr (± 1 kg) per 10 kg beras dan Rp1.500,- per

kg dhedhek lembut. Sedang untuk dhedhek wadhag gratis, tetapi petani

atau orang atau anak yang disuruh untuk menggiling gabah harus

menunggu kulit padi keluar dari pipa pengeluaran merang di belakang

penggilingan padi dan biasanya akan berebutan dengan banyak anak yang

juga mencari kulit padi ini.

Sebelum memanfaatkan beras, baik mengolahnya menjadi nasi

atau saat akan menghadiri kenduri pernikahan atau sunatan (kondangan),

masyarakat di Kecamatan Sirampog akan mengukur beras sesuai

kebutuhan. Masyarakat di wilayah penelitian biasanya mengukur beras

dengan kaleng susu. 1 kaleng susu setara dengan ¼ kg beras. Sebelum

dimasak, beras akan ditapéni (ditampi) terlebih dahulu untuk

menghilangkan kulit padi yang tersisa. Saat napéni (menampi) beras,

masyarakat akan memilah beras dan mengambil batu atau gabah yang ada

119

tercampur dalam beras. Mereka juga akan memisahkan menir (potongan

kecil beras) dan ditaruh di rantang atau wadah lain untuk pakan anak ayam

atau burung (terutama burung dara, karena banyak masyarakat yang

memeliharanya). Setelah ditapéni beras akan dicuci (dipesusi) dengan

menggunakan cepon (semacam dhunek tanpa kaki). Masyarakat

cenderung lebih menyukai mencuci beras di bawah air mengalir.

Masyarakat banyak yang sudah tahu bahwa mencuci beras di bawah air

mengalir akan membuat vitamin dalam beras banyak yang hilang. Namun

demikian, mereka tetap mencuci memakai cara ini dengan alasan agar

bersih dan kurang mantap bila mencuci beras dengan baskom atau wadah

tanpa lubang.

Beras yang telah dicuci akan dimasak dengan cara dikaron

kemudian didang atau diadang (dipindahkan ke dandang

[langseng/dangdang] hingga matang atau tanak (tanek). Bila masyarakat

ingin membuat tepung beras, maka mereka akan menampi beras terlebih

dahulu, kemudian mencucinya, dan merendam beras selama 2 – 3 jam.

Setelah itu, beras akan diratakan (dilér) di atas jarik (tapih) yang digelar

dan diangin – anginkan hingga setengah kering. Setelah itu, masyarakat

akan membawa beras ini (beras temen) ke tempat penggilingan beras

menjadi tepung beras (gʰlǝpՍŋ).

120

Gambar 4.7 Kegiatan Menjemur Gabah di Desa Benda

Demikianlah budaya pertanian padi di Kecamatan Sirampog, kabupaten

Brebes, provinsi Jawa Tengah.

4.3 Kategori Semantik Leksikon Khas Pertanian Padi

Berdasar kegiatan observasi partisipatori dan wawancara mendalam,

peneliti menemukan beberapa leksikon yang sepintas memiliki makna sama

namun sebenarnya memiliki kategori semantik yang berbeda.

1) udud, ngrokok, nglinthing

Tiga leksikon tersebut memiliki makna ‘merokok’ dalam

bahasa Indonesia. Namun demikian, masing – masing leksikon

memiliki kategori semantik yang berbeda satu sama lain. Leksikon

udud bermakna ‘merokok jenis rokok apapun, baik itu rokok buatan

pabrik dengan berbagai merk maupun rokok yang diracik sendiri

dengan komposisi menyan, dan tembakau dan kemudian digulung

atau dilinthing dengan kertas rokok (papir)’. Leksikon ngrokok

121

bermakna ‘kegiatan merokok dengan menghisap rokok buatan pabrik

dengan berbagai merk’. Sedang leksikon nglinthing bermakna

‘kegiatan merokok dengan menghisap rokok racikan sendiri

(linthingan).

Berdasar komponen makna yang dikandung masing – masing

leksikon tersebut, maka dapat diambil suatu simpulan bahwa leksikon

udud berperan sebagai superordinat bagi subordinatnya, yaitu:

leksikon ngrokok dan nglinthing.

2) nglabuh, malik, angler, mluku/ngluku, macul, ngebak,

Leksikon nglabuh memiliki makna ‘mengolah tanah atau

mempersiapkan tanah agar siap saat masa tanam padi. Malik

bermakna membalik tanah dengan menggunakan alat pacul. Sedang

ngebak bermakna membalik tanah sawah dengan alat garu (bajak).

Lain halnya dengan angler yang bermakna kegiatan meratakan tanah.

Kegiatan angler ini meliputi dua kegiatan yaitu macul dan

mluku/ngluku. Macul bermakna mencangkul atau membalik tanah di

sawah dengan menggunakan alat pacul. Sedang mluku atau ngluku

bermakna meratakan tanah dengan mendorong tanah ke depan

menggunakan alat luku. Penggunaan bunyi nasal /m-/ pada kata

mluku dan /ŋ/ pada kata nglabuh dan ngluku menunjukkan bahwa

kegiatan tersebut melingkupi atau mencakup apa yang dikenainya,

dalam hal ini kegiatan tersebut mencakup tanah di sawah sebagai

objek kegiatan.

122

Leksikon mluku/ngluku dan ngebak tampak merupakan

sebuah sinonimi, namun demikian ada komponen makna yang

membedakan keduanya. Kegiatan mluku/ngluku dilakukan dengan

kondisi tanah sawah mengandung banyak air, sedang kegiatan ngebak

dilakukan dengan kondisi tanah tidak begitu basah, hanya

mengandung sedikit air. Selain itu, kegiatan mluku/ngluku dilakukan

dengan menggunakan alat luku, sejenis kayu besar yang ditarik oleh

kerbau dan dinaiki oleh petani di bagian belakang luku. Kegiatan ini

dilakukan hingga tanah benar – benar rata dan siap ditanami benih

padi. Kegiatan ngebak juga dilakukan dengan menggunakan alat

luku, akan tetapi pada kegiatan ngebak, alat luku akan diberi alat

tambahan yaitu garu (bajak). Garu merupakan alat semacam garpu

besar, terbuat dari besi yang berfungsi untuk membalik tanah agar

tanah di bagian bawah berpindah menjadi di bagian atas. Kegiatan

ini dimaksudkan agar tanah yang ditanami berganti dan tidak jenuh.

Dengan demikian, sirkulasi kesuburan tanah terus terjaga.

Demikian pula dengan leksikon macul dan malik, kedua kata

ini tampak sebagai sebuah sinonimi. Namun demikian, kedua kata

tersebut memiliki makna yang sepintas tidak tampak jelas

perbedaannya. Kata macul pada kegiatan malik dan macul pada

kegiatan angler mengacu pada kegiatan mengolah tanah sawah

dengan alat cangkul. Perbedaan mendasar dua kata tersebut adalah

kegiatan macul saat ngebak dilakukan pada tanah sawah dengan

123

kondisi tanah dialiri atau digenangi air, sedang kegiatan macul saat

kegiatan malik dilakukan dengan alat cangkul namun tanah di sawah

tidak digenangi atau dialiri air (kondisi tanah apa adanya seperti

kondisi pasca panen).

Berdasar komponen makna yang dimiliki oleh leksikon

malik, mluku/ngluku, angler, macul, dan ngebak. maka dapat

disimpulkan bahwa seluruh kata tersebut berada pada medan makna

yang sama. Lebih lanjut lagi, kata nglabuh merupakan superordinat

bagi seluruh kata tersebut. Hal ini terlihat dari makna seluruh

leksikon yang semuanya memiliki komponen makna kegiatan

pengolahan tanah sawah sebelum tanah tersebut ditanami padi.

Komponen yang membedakan adalah pada alat yang digunakan

masing – masing kegiatan tersebut. Berikut ini merupakan diagram

pohon bagi seluruh leksikon tersebut.

nglabuh

malik angler

ngebak macul macul mluku/ngluku

Gambar 4.8 Kategori Semantik Leksikon Pengolahan Tanah

3) ndhudhuhi, didhudhuhi

124

Dua leksikon di atas memiliki akar kata sama yaitu

‘dhudhuh’ yang dalam kehidupan sehari – hari tidak pernah

digunakan masyarakat Kecamatan Sirampog dan tidak memiliki

makna bila berdiri sendiri. Kata ‘ndhudhuhi’ merupakan bentuk aktif

yang bermakna merapikan pematang sawah, sedang ‘didhudhuhi’

merupakan bentuk pasif yang bermakna dirapikan. Kata – kata

tersebut hanya muncul diranah pertanian padi. Masyarakat

Kecamatan Sirampog sendiri biasanya menggunakan kata ‘beres’ dan

‘bersih’ untuk merujuk ke suatu keadaan yang rapi. Perbedaan yang

jelas terlihat adalah bahwa leksikon ‘ndhudhuhi’ digunakan bila

petani akan merapikan pematang sawahnya sendiri, sedang leksikon

‘didhudhuhi’ digunakan saat petani menggunakannya dalam tindak

tutur direktif (menyuruh orang lain).

Penggunaan jenis leksikon seperti ini tidak hanya ditemui

pada kedua kata tersebut, namun ditemukan pada beberapa data

lainnya, antara lain:

a. mépé dan dipépé

b. mesusi dan dipesusi

c. napéni dan ditapéni

4) numangi, nembok, nampingi

Leksikon numangi bermakna membuat pematang sawah, baik

nembok (membuat pematang sawah/galengan) maupun membuat

tembok sawah yang tinggi (nampingi). Sebagaimana telah dijelaskan

125

pada sub bab budaya pengolahan tanah sebelumnya, nembok

bermakna membuat pematang sawah, sedang nampingi bermakna

membuat dinding sawah yang tinggi. Dinding sawah tinggi ini dibuat

untuk mensiasati kontur tanah yang berbukit, sehingga perlu dibuat

terasering. Berdasar perbedaan komponen makna tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa ketiga leksikon tersebut memiliki medan

makna yang sama, namun leksikon numangi berperan sebagai

subordinat nembok dan nampingi.

Berikut ini merupakan gambar diagram pohon ketiga

leksikon tersebut:

numangi

nembok nampingi

komponen makna: + verba + verba

+ membuat dinding sawah + membuat dinding sawah

- tinggi + tinggi

Gambar 4.9. Diagram Pohon dan Analisis Komponen Makna

numangi, nembok, nampingi

5) mbanyuni, ngiléni, ngeléb

Sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab budaya pertanian

sebelumnya, leksikon ngeléb bermakna mengaliri sawah hingga

126

airnya tergenanga, sedang ngiléni bermakna mengaliri sawah hingga

seluruh tanah di sawah basah atau lembab, namun tidak sampai

digenangi air. Leksikon mbanyuni memiliki makna mengairi sawah,

baik itu ngiléni maupun ngeléb. Oleh karena itu, dapat diambil

kesimpulan bahwa leksikon ngiléni dan ngeléb berada pada medan

makna yang sama yaitu mbanyuni. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa mbanyuni merupakan superordinat bagi leksikon ngiléni dan

ngeléb sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.3 berikut ini.

mbanyuni

ngiléni ngeléb

komponen makna: + verba + verba

+ mengairi sawah + mengairi sawah

- air tergenang (hanya mengalir) + air hingga

tergenang di sawah

Gambar 4.10. Diagram Pohon dan Analisis Komponen Makna

mbanyuni, ngiléni, ngeléb

6) gawé pinihan, ngekum, nipuk, nglerem

Leksikon gawé pinihan bermakna membuat atau

mempersiapkan benih padi. kegiatan ini meliputi kegiatan ngekum,

yang dilanjutkan dengan kegiatan nipuk dan nglerem. Ngekum

127

bermakna merendam benih padi di dalam air dengan alat baskom atau

ember besar sebagai tempatnya. Sedang nipuk dan nglerem bermakna

memeram benih padi yang telah direndam selama satu hari satu

malam hingga akar padi mulai tumbuh. Berdasar komponen makna

yang dimiliki oleh kata nipuk dan nglerem, maka dapat diambil suatu

simpulan bahwa kedua kata tersebut merupakan sinonimi. Berikut ini

adalah gambar posisi ke empat kata tersebut.

gawé pinihan

ngekum

nipuk nglerem

Gambar 4.11 Diagram Pohon dan Analisis Komponen Makna gawé

pinihan, ngekum, nipuk, nglerem

7) nggarem, ngrabuk

Nggarem dan ngrabuk pada dasarnya memiliki makna yang

hampir sama, yaitu: memupuk. Meskipun demikian, ada perbedaan

komponen makna yang sangat jelas digunakan oleh masyarakat

Kecamatan Sirampog, sebagai berikut:

Komponen semantik Leksikon

nggarem ngrabuk

128

memupuk (verba) + +

pupuk tradisional - +

pupuk buatan - +

Gambar 4.12 Analisis Komponen Makna nggarem, ngrabuk

Kedua kata tersebut juga memiliki persamaan komponen

makna pada bunyi nasal (ŋ). Bunyi ini mencirikan kegiatan yang

mencakup atau meraih sesuatu mendekati pembicara. Demikian pula

dengan kegiatan nggarem dan ngrabuk, kedua kata ini menunjukkan

kegiatan petani mengambil (menyendok) pupuk dengan

menggunakan tangan (kanan) nya untuk kemudian disebarkan di atas

permukaan sawah.

8) lilir

Pada leksikon lilir, tampak bahwa terjadi pergeseran

komponen makna. Pada umumnya (bahasa Jawa), leksikon lilir

bermakna ‘terbangun dari tidur’ (mangunsuwito, 2002: 138). Tidur

umumnya dilakukan oleh makhluk hidup, terutama manusia dan

hewan. Namun demikian, kata lilir juga digunakan pada ranah

pertanian untuk merujuk pada fase dimana padi mulai masuk tahap

tumbuh menghijau.

Berikut ini merupakan analisis pergeseran komponen makna

kata lilir:

129

Komponen semantik Leksikon

lilir (ranah umum) lilir (ranah pertanian)

verba + +

faktor kesengajaan - +

Gambar 4.13 Analisis Komponen Makna lilir

9) panen, mbabad, derep

Para petani di Kecamatan Sirampog mengenal leksikon

panen, mbabad, dan derep untuk mengacu pada kegiatan memetik

padi yang telah masak. Leksikon panen mengacu pada kegiatan

‘memanen padi baik dengan alat arit maupun ani – ani’. Sedang

leksikon mbabad dan derep memiliki perbedaan komponen makna

pada hal alat yang digunakan untuk memanen padi. Pada leksikon

mbabad, terdapat komponen makna alat arit. Oleh karena itu, ketika

petani atau masyarakat pada umumnya mendengar kata ini, mereka

akan langsung mengacu pada kegiatan panen dengan menggunakan

alat sabit. Hal ini berbeda dengan kata derep. Kata ini memiliki

komponen makna alat ani – ani. Sehingga orang yang mendengar

kata ini, baik petani atau bukan petani, akan langsung mengacu pada

kegiatan panen dengan menggunakan alat ani – ani.

10) dhedhek, dhedhek lembut, dhedhek wadhag

Kata dhedhek mengacu pada sisa olahan gabah menjadi beras

saat diproses di tempat penggilingan padi (giseran). Meskipun

130

demikian, masyarakat di Kecamatan Sirampog biasanya akan

menanyakan lebih lanjut mengenai jenis dhedhek. Hal ini disebabkan

bahwa mereka membagi dhedhek ke dalam dua jenis, yaitu dhedhek

lembut (dhedhak untuk pakan ternak ayam atau bebek) dan dhedhek

wadhag (kulit padi atau merang atau sekam untuk mempermudah

pembakaran di tungku/pawon). Oleh karena itu, dhedhek memiliki

sub ordinat, yaitu dhedhek lembut dan dhedhek wadhag.

11) mangsan goyang, mangsan gabug

Dengan melihat makna kedua leksikon tersebut pada tabel

4.7., sekilas dapat diambil suatu simpulan bahwa kedua leksikon

tersebut memiliki makna yang sama atau bersifat sinonimi. Namun

demikian, kedua kata tersebut tidak dapat saling menggantikan posisi

satu sama lain. Mangsan goyang mengacu pada musim puso yang

disebabkan oleh cuaca, sedang mangsan gabug mengacu pada musim

puso yang disebabkan oleh hama, misal: wereng, walang sangit, dan

lain sebagainya (transkrip rekaman data I.1.19).

12) semenit

Leksikon menit ditemukan pada Kamus Bahasa Jawa: Jawa

– Indonesia (Mangunsuwito, 2002: 151). Kata ini merupakan bentuk

kromo ngoko yang bermakna ‘sudah sangat jauh berjalan atau

berlari’. Tampaknya telah terjadi perubahan atau pergeseran makna

yang sangat jauh dari makna asalnya pada kata ini. Berdasar

wawancara (data I.1.13), maka dapat disimpulkan bahwa kata semenit

131

ini bermakna ‘sedikit’. Dalam Bahasa Indonesia (biasanya ranah

informal), kata semenit bermakna ‘satu menit’. ‘Satu menit’

merupakan durasi waktu yang tidak terlalu lama atau hanya sebentar.

Jadi, kemungkinan besar terjadi serapan Bahasa Indonesia yang

kemudian masyarakat menginterpretasikannya selain untuk jumlah

waktu 1 menit, tetapi juga untuk menunjukkan sesuatu yang

berjumlah sedikit.

Berdasar analisis semantik pada leksikon khas pertanian padi tersebut,

maka dapat diambil suatu simpulan, bahwa pada dasarnya penggunaan bahasa

dapat mencerminkan pola pikir dan budaya para penuturnya. Pada dasarnya

masyarakat di Kecamatan Sirampog memiliki pola pikir dan budaya yang detail

(terperinci), teliti, dan suka melakukan kegiatan yang tersusun atas serangkaian

langkah. Hal ini tampak dari berbagai penggunaan kata yang memiliki sub ordinat

dan beberapa kata yang menunjukkan kegiatan yang memiliki pola urutan yang

harus diikuti dengan baik sebagaimana telah dijelaskan di sub bab sebelumnya

mengenai analisis semantik.

4.4 Kajian Indeksikalitas

Kajian bahasa, dalam kaitannya dengan makna dan budaya, selalu

berfokus pada tiga hal yaitu: kompetensi dan performansi, indeksikalitas, dan

partisipasi. Kompetensi dan performansi dari masyarakat di wilayah kecamatan

Sirampog telah tampak dalam penjelasan sub bab kosakata khas, budaya dan

132

kajian makna bahasa di bidang pertanian padi. Kajian berikutnya adalah mengenai

indeksikalitas. Indeksikalitas berkaitan dengan bahasan mengenai konsep ikon,

indeks dan simbol. Pada dasarnya tidak ada satu tanda pun yang murni ikon,

indeks, ataupun hanya simbol. Terkadang banyak tanda yang merupakan ikonik

namun juga bersifat simbolik atau bahkan indeksikal. Berikut akan dibahas satu

persatu mengenai ketiga konsep indeksikalitas tersebut.

4.4.1 Ikon

Ikon merupakan suatu penanda yang memiliki kemiripan dengan

petandanya. Dengan kata lain, ikon merupakan suatu tanda yang menyerupai apa

yang ditandainya, bersifat arbitrer, namun mengandung motivasi tinggi dari para

penggunanya. Oleh karenanya, hanya masyarakat penggunanya yang memahami

makna dari tanda tersebut dan masyarakat bahasa lain tidak akan memahami

(salah persepsi) makna tanda tersebut sebagaimana pemahaman masyarakat

pemilik tanda itu. Berdasar penelitian di wilayah kecamatan Sirampog, dapat

disimpulkan bahwa banyak sekali tanda – tanda ikonik yang terdapat di ranah

pertanian, khususnya ranah pertanian padi. Berikut ini beberapa kosakata di ranah

pertanian padi di wilayah kecamatan Sirampog yang bersifat ikonik:

a. Tampah vs Tamping

Tampah mengacu pada alat untuk mengayak beras atau gabah.

Tampah berbentuk bulat dan lebar serta pipih. Bila dilihat dari bunyi

dan bentuk organ wicara b

b. Macul

133

Leksikon tandur sangat kental digunakan di ranah pertanian

masyarakat Jawa. Sebagaimana diperoleh Haryanti dan Budi (2007)

di Klaten, Jawa Tengah, dan Fernandes (2008) yang juga menemukan

kata tandur di wilayah Pekalongan, dan Jawa Timur. Menurut makna

katanya, leksikon tandur kemungkinan berasal dari dua akar kata

yaitu: tanem dan mundur. Jadi leksikon tandur dapat dimaknai

menanam sambil berjalan mundur. Merunut makna tersebut, tampak

jelas aspek ikonisitas leksikon tandur ini karena menyerupai dengan

realitas di luar kebahasaan itu sendiri.

c. Nggepyok

Frasa pari dhuwur memiliki makna suatu jenis padi yang tinggi.

Dhuwur dalam bahasa Indonesia berarti tinggi. Pemilihan kata

dhuwur memuat motivasi tinggi dari masyarakat penggunanya. Hal

ini bersifat sangat ikonik karena leksikon dhuwur merujuk pada jenis

padi yang tumbuh lebih tinggi dan masa tanamnya lebih lama dari

jenis padi lainnya. Padi yang disebut pari dhuwur ini biasanya padi

yang berjenis raja lele, pari ketan, dan sebagainya.

d. Ngeleb

Ngeleb bermakna kegiatan mengairi sawah hingga seluruh lahan

tergenang oleh air dan tidak ada permukaan tanah terlihat. Leksikon

ngeleb bersifat sangat ikonis yang merujuk pada keadaan suatu benda

yang tertelan dan terlingkupi oleh benda lain yang menyelimutinya.

Sebagaimana tampak serupa dengan cara pengucapan suku ultima

134

leksikon ini, yaitu /leb/ yang diakhiri oleh fonem bilabial /b/ yang

diakhiri dengan menutupkan kedua bibir, sehingga seluruh bagian

organ wicara akan tertutup sempurna.

e. Tuk

Leksikon mbabad merupakan salah satu leksikon yang bersifat

ikonik. Hal ini tercermin dari makna mbabad yang berarti memanen

padi menggunakan sabit. Leksikon mbabad merujuk pada kemiripan

dari apa yang kegiatan memotong menggunakan sabit tidak akan

dilakukan cara memotong batang padi satu persatu. Akan tetapi,

dalam mbabad petani akan mengumpulkan padi dengan genggaman

tangan dan kemudian memotongnya dengan cara sedemikian rupa

menggunakan sabit hingga semua batang padi terpotong habis.

Kajian mengenai beberapa leksikon yang bersifat ikonik tersebut

mencerminkan kemiripan atau kesamaan sifat atau ciri antara petanda dengan

penanda-nya.

4.4.2 Indeks

Indeks merupakan suatu penanda yang memiliki mewakili eksistensi dari

apa yang ditandainya. Dengan kata lain, indeks dapat dimaknai sebagai pemarkah

atau penunjuk dari apa yang ditandainya. Berdasar penelitian yang telah

dilakukan, berikut merupakan beberapa contoh indeks yang ditemukan di ranah

pertanian padi.

a. Ndeluk

Leksikon ndeluk menjadi suatu indeks atau pemarkah keadaan padi

135

yang mulai merunduk karena mulai berisi bulir padi/beras. Pemilihan

leksikon ndeluk memiliki motivasi tinggi karena masyarakat berusaha

menunjukkan keadaan padi yang merunduk bukan ‘ndelak’ yang

bermakna mendongak.

b. Emping kuning

Frasa emping kuning mernjadi indeks atau pemarkah pertumbuhan

padi dalam fase mulai berisi bulir padi yang penuh dan berisi. Bila

pada fase ndeluk, daun padi masih berwarna hijau dan isi padi masih

berupa cairan putih kental semacam susu, maka pada fase ini padi

mulai menguning dan bulirannya mulai keras.

c. Nyemprot

Leksikon nyemprot merupakan suatu penanda untuk memarkahi

kegiatan pembasmian hama yang dilakukan dengan cara menyemprot

tanaman padi menggunakan cairan insektisida. Leksikon ini termasuk

indeks karena setiap anggota masyarakat bahasa di wilayah penelitian

saat mendengar leksikon nyemprot di ranah pertanian padi akan

langsung memahami bahwa nyemprot bermakna membasmi hama,

bukan sekedar menyiramkan air ke tanaman.

d. Derep

Leksikon derep merupakan leksikon unik pemarkah kegiatan

memanen menggunakan alat khusus, yaitu: ani – ani, yang

penggunaannya kian langka di wilayah penelitian. Sebagaimana telah

disebutkan pada sub bab sebelumnya, asyarakat di wilayah

136

kecamatan Sirampog semakin jarang ani – ani untuk panen dengan

alasan kepraktisan dan penghematan waktu dan tenaga untuk

memanen.

e. Nglerem

Berdasar bentuk akar katanya, nglerem memiliki medan makna

dengan kata ‘anggrem’ (mengerami), dan ‘ngerem’ yang bermakna

menyimpan buah yang belum matang di tempat beras agar matang.

Ketiga leksikon bersufiks –rem tersebut menjadi pemarkah suatu

kegiatan menyelimuti benda agar tumbuh ke daur hidup selanjutnya.

Sebagaimana leksikon nglerem bermakna menyimpan atau memeram

benih padi (gabah), setelah direndam dengan air, selama sehari

semalam hingga tumbuh akarnya (thukul). Demikian juga dengan

leksikon ‘anggrem’ yang menjadi pemarkah suatu kegiatan dimana

ayam betina mengerami telurnya hingga menetas dan menjadi fase

hidup selanjutnya dari daur hidup ayam, yaitu anak ayam. Pemakaian

fonem suffiks bilabial /-rem/, penutupan organ wicara dengan

sempurna saat kedua bibir menyatu pada fonem /-m/, pada tiap suku

ultima dari leksikon – leksikon tersebut menjadi indeks nyata bahwa

kegiatan tersebut dilakukan dengan menyelimuti atau menutupi rapat

– rapat dan mengkondisikan benda yang diselimuti menjadi hangat,

sehingga memungkinkan bagi benda tersebut untuk tumbuh dan

bermetamorfose menuju tahapan kehidupan selanjutnya. Dari uraian

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan suatu bahasa

137

(penanda) dapat digunakan untuk menjadi pemarkah atau indeks bagi

petanda-nya.

4.4.3 Simbol

Simbol merupakan tanda yang tidak memiliki motivasi dan bersifat

arbitrer. Oleh karena itu, hubungan antara tanda dengan yang ditandai oleh simbol

merupakan hasil suatu konvensi atau kesepakatan yang diwariskan secara turun –

temurun dalam suatu masyarakat budaya, bukan karena kesamaan fisik maupun

kesamaan kontekstual. Dengan kata lain, perbedaan penggunaan atau pemilihan

simbol ini bersifat arbitrer dan ditentukan oleh konvensi budaya dari generasi ke

generasi (Saussure, 1916; dalam Foley, 1997).

a. Matun

Leksikon matun yang bermakna membersihkan rumput – rumput atau

gulma tanaman padi di sawah. Leksikon ini penggunaannya sangat

khusus di ranah pertanian padi. Sehingga, saat petani membersihkan

rumput di kebun pun tidak digunakan kata matun. Penggunaan kata

matun seperti ini digunakan oleh sebagian besar masyarakat Jawa

dengan makna dan fungsi yang sama. Bila ditilik dari kata terdekat

dengan matun, di daerah penelitian terdapat kata waton. Akan tetapi

kata ini bermakna pojok atau sudut. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa penggunaan leksikon matun ini merupakan suatu

hal yang merupakan konvensi masyarakat Jawa yang diturunkan dari

generasi ke generasi , tanpa motivasi dan tendensi apapun mengapa

memilih kata matun dan bukan kata yang lain.

138

b. Nipuk

Leksikon nipuk yang bermakna memeram gabah yang sudah

direndam selama satu hari satu malam merupakan hal yang khas di

kecamatan Sirampog, terutama di wilayah desa Mendala dan desa

Plompong. Hal ini tercermin dari tidak adanya penggunaan kata

nipuk di wilayah desa Benda. Untuk mengacu pada kata nipuk,

masyarakat desa Benda memilih kata nglerem yang juga digunakan di

desa Plompong dan desa Mendala. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa kata nipuk merupakan suatu simbol yang khas penggunaannya

bagi masyarakat wilayah kecamatan Sirampog, terutama di desa

Plompong dan desa Mendala, dan mungkin di desa lainnya di wilayah

kecamatan Sirampog. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor

geografis, dimana desa Benda merupakan desa yang terdekat dengan

wilayah perkotaan dan merupakan desa terluar di kecamatan

Sirampog.

c. Alap – alap

Leksikon alap – alap yang mengacu pada orang – orangan sawah. Di

wilayah Jawa biasanya alap-alap mengacu pada burung sejenis elang.

Namun demikian, di wilayah kecamatan Sirampog leksikon ini

mengandung dua makna, bila dalam ranah pertanian padi, maka alap-

alap bermakna orang – orangan sawah. Sedang dalam ranah umum,

alap – alap juga mengacu pada burung sejenis elang. Penggunaan

leksikon alap-alap untuk merujuk pada orang – orangan sawah di

139

wilayah penelitian agaknya merupakan suatu simbol yang bersumber

dari kesepakatan masyarakat. Akan tetapi, terlihat dari kesamaan

fungsi dan karakteristiknya, leksikon ini juga memiliki sifat ikonik

karena biasanya saat ada burung alap – alap terbang maka burung –

burung kecil akan terbang menghindar. Demikian juga, orang –

orangan sawah juga memiliki fungsi yang hampir sama, yaitu:

menakuti tikus atau lenggarangan karena bentuknya yang

menyerupai manusia dan bila ada angin bertiup maka tali – tali yang

dipasang kaleng – kaleng bekas, yang bergelantungan di tangan –

tangan orang – orangan sawah akan berbunyi nyaring dan akan

mengusir burung – burung pemakan biji padi.

d. Ani – ani

Leksikon ani-ani adalah suatu leksikon khas pertanian padi dan

sebagian masyarakat Jawa atau Melayu menggunakan kata ini untuk

merujuk pada alat tradisional yang digunakan petani padi untuk

memanen padi. Pemilihan kata unik ini agaknya merupakan suatu

konvensi masyarakat yang telah berlangsung turun – temurun dan

dalam kurun waktu yang sangat lama. Karena sifatnya yang tidak

memiliki makna ikonik maupun indeksikal inilah, maka leksikon ani-

ani menjadi suatu kata yang bersifat simbolik yang tidak memuat

motivasi apapun dari para penggunanya.

e. Nggaru, nggaru dan angler

Penggunaan ketiga kata berikut ini sangat unik dan sangat

140

berlainan dengan daerah lain. Sebagaimana penelitian Fernandez

(2008) dan yang juga menemukan ketiga leksikon tersebut. Sebagai

satuan lingual terkecil, leksikon mluku, angler dan nggaru memiliki

hubungan dalam medan makna yaitu pengolahan sawah. Menurut

hasil penelitian Fernandez (2008), mluku bermakna cara pengolahan

lahan dengan menggukan luku (sejenis alat untuk membajak dengan

ditarik oleh kerbau). Dari kata dasar nomina luku dan dilekati prefix

berupa morfem nasal (m-) menjadi verba mluku.kegiatan ini biasa

dilakukan pada lahan yang diairi. Lebih lanjut lagi, angler bermakna

cara pengolahan tanah dengan alat pacul, sedang nggaru bermakna

cara mengolah tanah dengan menggunakan garu. Garu adalah alat

pertanian yang berbentuk seperti sisir yang terbuat dari besi dan

diberi tonggak sebagai alat untuk memegang. Selain itu, Fernandez

(2008) menambahkan bahwa menurut ranah budaya petani di Jawa

Tengah (Pekalongan), DIY (Gunung Kidul), dan di Jawa Timur

(Malang dan Jember), ketiga leksikon tersebut memiliki hubungan

makna sebagai kategoris semantic, yaitu: nggaru merupakan super

ordinat/hipernim dari hiponim mluku dan angler.

Haryanti dan Wahyudi (2007), dalam penelitiannya yang

mencakup wilayah objek penelitian di Desa Japanan, Kabupaten

Cawas, Klaten, Jawa Tengah, juga menemukan ketiga leksikon

tersebut meski tidak dijelaskan mendetail sebagaimana Fernandez

(2008). Haryanti dan Wahyudi (2007) mengkaji ketiga leksikon

141

tersebut di bahasan tentang nggarap sawah. Lebih lanjut lagi,

Haryanti dan Wahyudi (2007) mengungkap bahwa dalam menggarap

sawah petani menggunakan pacul, luku, dan garu. Lebih lanjut lagi,

dalam penelitian tersebut, ada satu satuan lingual unik yang tidak

peneliti temukan di wilayah kecamatan Sirampog, yaitu: ngenyek –

ngenyek (menginjak – injak sawah).

Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa penggunaan

leksikon ngluku, nggaru dan angler, sedikit berbeda dengan hasil dua

penelitian tersebut. Bila dalam penelitian Fernandez (2008), nggaru

merupakan hipernim dari mluku dan angler. Di kecamatan Sirampog,

leksikon angler merupakan hipernim dari macul dan ngluku. Angler

merupakan pengolahan tanah yang bisa dilakukan dengan macul

(mencangkul) atau ngluku (membajak sawah dengan alat luku). Lebih

lanjut lagi, bila Fernandez (2008) menemukan leksikon mluku,

sedang peneliti menemukan kata ngluku. Meski akar kata kedua

satuan lingual ini sama, yaitu luku, namun pembentukan ke bentuk

verba memiliki perbedaan. Dalam penelitian Fernandez (2008),

pembentukan nomina luku menjadi verba mluku dengan prefiks (m-).

Di lain pihak, peneliti menemukan perbedaan pembentukan nomina

luku menjadi ngluku dengan penambahan prefiks (ng-). Meskipun

Fernandez (2008) menyatakan bahwa afiks nasal, seperti (m-), (ng-),

dan seterusnya, memiliki fungsi sebagai pembentuk verba, namun hal

ini tetap menunjukkan bahwa penggunaan bahasa memiliki kekhasan

142

masing – masing, dan semuanya tergantung dari konvensi masyarakat

penuturnya masing – masing.

Kajian indeksikalitas yang berisi bahasan tentang ikon, indeks

dan simbol pada dasarnya tidak bisa dipisahkan secara ketat. Terlebih mengenai

masalah kebahasaan. Bahasa pada dasarnya merupakan tanda yang bersifat

simbolik. Hal ini dikarenakan bahwa pemilihan suatu kata yang memiliki makna

tertentu merupakan suatu hal yang bersifat arbitrer, semena – mena dan sangat

memiliki kadar motivasi sangat rendah, serta bersifat sangat konvensional.

Pemilihan suatu kata, sebagai contoh: kata ‘ngluku’,’ani – ani’, ‘nggombrangi’

dan lain – lain, bersifat sangat arbitrer atau manasuka. Pemilihan suatu kata dan

bukan kata yang lain, bersifat sangat bebas dan berdasar kesepakatan yang

dilakukan tanpa sadar atau berdasar konvensi masyarakat yang diturunkan dari

generasi ke generasi secara terus menerus digunakan dalam kurun waktu yang

lama dan dalam suatu wilayah kebahasaan.

4.5 Kearifan Lokal Pertanian Padi

Berikut merupakan tabel berisi kegiatan pertanian dan kategorisasi

modernitas atau tradisionalitas budaya pertanian. Pengkategorian ini dimaksudkan

sebagai salah satu indikator kearifan lokal masyarakat di wilayah penelitian.

Tabel 4.11 Kategorisasi Kegiatan Pertanian

No Kegiatan Alat/cara

143

1 mencangkul dan merapikan sawah tradisional

2 meratakan tanah sawah tradisional

3 Persemaian tradisional

4 Penanaman tradisional

5 perawatan padi tradisional

6 penanggulangan hama 1 tradisional

modern

7 Pemupukan modern

8 penanggulangan hama 2 tradisional

modern

9 Pertumbuhan tradisional

10 Pemanenan tradisional

11 pengolahan pasca panen tradisional

modern

Dari tabel tersebut, tampak bahwa mayoritas kegiatan pertanian masih

dilakukan secara tradisional. Indikatornya adalah cara atau metode bertani dan alat

pertanian yang digunakan masih tradisional, dan tidak tersentuh oleh modernitas.

Pengaruh kemajuan teknologi hanya terlihat dari bahan pupuk yang sudah

menggunakan pupuk buatan, bukan rabuk lagi, dan dalam kegiatan pembasmian

hama yang menggunakan insektisida atau bahan kimia buatan pabrik. Sikap dan

perilaku masyarakat di Kecamatan Sirampog yang masih menggunakan metode

dan teknik bertani secara tradisional ini menggambarkan bahwa ada upaya ‘tak

sadar’ yang dilakukan masyarakat untuk melestarikan nilai – nilai dan budaya

serta potensi kelokalan yang ada di daerah mereka.

Berdasar hasil observasi dan wawancara mendalam yang telah dilakukan

144

dalam penelitian ini, sangat terasa sekali nilai – nilai kearifan lokal yang terdapat

dan dimiliki oleh masyarakat Kecamatan Sirampog. Nilai – nilai kearifan lokal

yang ada di Kecamatan Sirampog akan digambarkan dalam sub – sub bahasan

berikut ini.

4.4.1 Persepsi Masyarakat

Masyarakat di wilayah penelitian memandang bahwa kegiatan

pertanian padi adalah sumber pokok mata pencaharian mereka. Hasil

observasi dan wawancara menggambarkan bahwa pertanian merupakan

kegiatan yang sangat penting di Kecamatan Sirampog. Kegiatan bertani ini

dilakukan oleh hampir seluruh masyarakat Sirampog, bahkan oleh orang –

orang yang sebenarnya telah memiliki pekerjaan lain, seperti sebagai PNS,

guru, sopir, dan lain sebagainya. Masyarakat yang telah memiliki

pekerjaan biasanya akan bertani dengan sistem paroan atau bagi hasil

dengan petani penggarap. Namun demikian, banyak juga dari mereka yang

turut aktif menggarap sawahnya di sore hari setelah pekerjaannya selesai.

Biasanya mereka akan juga memekerjakan buruh tani.

Kegiatan pertanian, menurut pendapat mayoritas masyarakat

kecamatah Sirampog, merupakan pekerjaan yang berat tapi terkadang

hasilnya tidak sebanding dengan usaha mereka. Sebagaimana diungkapkan

oleh informan Khumaedi yang berkata bahwa “Tani kuwe abot mba.

Hasile secuil. Sing penting bisa nggo mangan nggal dina karo nggo

nyekolahna anak. Kadang ya ngger mangsan tikus apa mangsan gabug,

ya pada mumet wong tani tah mba. Tapi, ngger ora tandur ya ora panen,

145

terus keluargane pan mangan apa, bocah – bocah ndesih ora pada bisa

sekola maning belih?” (data transkrip I.2.50). Dari kalimat yang

diungkapkan oleh informan tersebut tampak bahwa kegiatan bertani di

mata masyarakat Kecamatan Sirampog bukan merupakan mata

pencaharian yang tidak begitu menjanjikan. Namun demikian, mereka

berpandangan bahwa pertanian tetap sangat penting untuk menghidupi

keluarga sehari – hari dan untuk membiayai pendidikan anak – anak

mereka.

4.4.2 Alam sebagai Sumber Pengetahuan dan Kearifan Masyarakat

Kekayaan alam di Kecamatan Sirampog telah menjadi sumber

penting bagi pengetahuan masyarakatnya. Wilayah Kecamatan Sirampog

yang memiliki kontur tanah di lereng gunung Selamet dan berbukit – bukit

serta mudah longsor, menyebabkan masyarakat harus berupaya

mempertahankan kelestarian lahan yang juga menjadi tempat hidup

mereka dengan menanam pepohonan. Masyarakat petani di wilayah

Kecamatan Sirampog, dengan pengetahuan bahwa lahan pertanian yang

berbukit – bukit ini, membuat undhak – undhakan atau terasering untuk

mensiasati kontur tanah yang tidak rata tersebut.

Pertanian di wilayah Kecamatan Sirampog merupakan pertanian

yang hanya mengandalkan air hujan, karena tidak ada satupun bendungan

atau sistem irigasi. Oleh karena itu, para petani di Kecamatan Sirampog

selalu aktif ngiléni sawahnya. Ngiléni secara leksikal memiliki bentuk

dasar verba mili yang bermakna mengalir, terutama yang berkaitan dengan

146

air. Jadi, ngiléni bermakna membuat air mengalir. Para petani di wilayah

penelitian selalu melakukan kegiatan ini, sekaligus memperhitungkan

aliran air yang masuk ke sawah mereka, sejak masa pengolahan tanah

hingga panen. Apabila kegiatan ini tidak dilakukan dengan rutin, maka

besar kemungkinan kebutuhan air di sawah mereka tidak akan tercukupi

dengan baik. Dan bila ini terjadi, maka dapat dipastikan hasil panen padi

mereka juga tidak akan maksimal, bahkan mungkin akan gagal.

Dari penjelasan pada dua tersebut terlihat bahwa alam dapat

menjadi sumber budaya dan pengetahuan bagi masyarakat pemilik

kebudayaan tersebut.

4.4.3 Sikap Arif Masyarakat dalam Kegiatan Pertanian Padi

Berdasar hasil observasi dan wawancara mendalam, peneliti dapat

menyimpulkan bahwa masyarakat di Kecamatan Sirampog bersikap dan

berperilaku sedemikian arif dalam melakukan kegiatan pertanian. Dari

analisis semantis terhadap seluruh Leksikon, yang ditemukan dalam

penelitian, dapat disimpulkan bahwa masyarakat di wilayah Kecamatan

Sirampog memiliki karakter atau nilai – nilai sebagai berikut:

1) Kegigihan dan Kesabaran

Nilai kegigihan dan kesabaran ini terwujud dalam beberapa Leksikon

pertanian yang merujuk pada kegiatan pertananian yang membutuhkan

ketelatenan dan kesabaran. Kegiatan ngiléni dan nunggoni pari

misalnya. Kegiatan ngiléni tidak cukup hanya mengaliri air ke sawah.

147

Namun, petani perlu merunut air dari kali atau wanganhingga dapat

mengalir ke sawahnya. Tidak jarang petani harus mencangkul bagian –

bagian kalen dan membersihkannya dari rumput atau tanaman liar agar

aliran air tidak terhambat. Contoh lain adalah kegiatan nunggoni pari

yang dilakukan saat benih padi baru disemai dan saat padi hasil panen

sedang dijemur. Nunggoni pari yang bermakna menunggui padi ini

memerlukan waktu lama dan menghabiskan tenaga. Namun demikian,

para petani melakukan kegiatan ini tanpa mengeluh.

2) Kerajinan dan Kerapian

Nilai ini sangat terasa saat para petani sedang melakukan kegiatan

pengolahan tanah. Kegiatan nampingi berasal dari kata tampingan

atau dalam bahasa Indonesia bermakna tembok atau dinding samping.

Leksikon nampingi ini merujuk pada kegiatan merapikan dinding

samping sawah dengan pacul. Sawah adalah lahan yang akan ditanami

lagi, jadi bila tanah di sawah diolah lagi adalah hal yang wajar. Namun

dinding samping tidak ditanami padi, jadi sebenarnya tidak

berpengaruh banyak pada pertumbuhan padi yang ditanam berikutnya.

Akan tetapi, para petani di wilayah penelitian juga merapikan dinding

samping sawah dengan begitu rapi dan teraturnya, serta memperbaiki

bila ada dinding yang longsor, hingga sawah menjadi sedap dipandang

dan tidak terlihat kotor dan tidak rapi. Perilaku ini mengindikasikan

bahwa masyarakat di Kecamatan Sirampog memiliki sikap yang

mengandung nilai – nilai kerapian dan kerajinan.

148

3) Religiusitas

Mayoritas masyarakat di wilayah Kecamatan Sirampog beragama

Islam. Namun demikian, sebagian besar masyarakat masih terpengaruh

ajaran Hindu/Budha atau kejawen. Hal ini tampak dari adanya budaya

matang puluh (peringatan empat puluh hari kematian), nyatus

(peringatan seratus hari kematian), nyewu (peringatan seribu hari

kematian), dan lain sebagainya yang sebenarnya tidak ada dalam ajaran

Islam. Kentalnya nuansa agamis (Islami) di wilayah ini sangat terasa

dari banyaknya masjid atau surau dan dapat pula terlihat dari mayoritas

kaum perempuan yang memakai jilbab atau penutup kepala. Dalam

budaya pertanian pun, ternyata nilai rasa keyakinan kepada Tuhan sang

pencipta masih sangat kental. Hal ini tampak dari pernyataan hampir

seluruh informan saat peneliti menanyakan mengenai metode

pemberantasan tikus sebagai berikut: “Ngger tikus tah ya kadang

ngger sawahe adoh sing desa tah ya, kadang – kadang dipasangi ya,

Mba. Tapi sing sering tah ngger sawahe kenang tikus ya wis pasrah

bae karo sing gawe urip mba. Paribasane kuwe ya, lagi dicoba lah

kaya kuwe Mba. Mengko ngger dewek tetap sregep ibadah ya ndesih

ditulung ding gusti Allah Mba. Bakale neng ilang dewek tikus tah.

Wis ora sah dapak – apakna” (data transkrip I.5.18). Dari pernyataan

tersebut tampak jelas bahwa para petani di Kecamatan Sirampog

memilih ikhlas dan pasrah dengan serangan hama tikus. Mereka

percaya dan yakin bahwa hama tikus adalah cobaan dari yang maha

149

pencipta dan akan hilang dengan sendirinya bila mereka tetap

beribadah dan memohon ampunan pada yang Maha Kuasa. Sikap ini

mengandung nilai – nilai religiusitas yang tinggi yang dimiliki oleh

masyarakat di Kecamatan Sirampog. Keyakinan bahwa apa yang ada

berasal dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan serta kepercayaan

bahwa apapun yang mereka hadapi sekarang adalah kehendak dari

Tuhan membuat mereka dapat bertindak lebih legawa dan bijaksana,

serta sabar dan ikhlas.

4) Kebersamaan

Nilai – nilai kebersamaan merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki

oleh masyarakat di negara Indonesia, termasuk masyarakat di wilayah

Kecamatan Sirampog. Masyarakat di Kecamatan Sirampog juga

memiliki nilai – nilai kebersamaan dan gotong royong. Nilai gotong –

royong tampak jelas saat kegiatan ngiléni. Beberapa petani yang

sawahnya berdekatan sering melakukan kegiatan ini bersama – sama,

sehingga pekerjaan ini dapat selesai lebih cepat dan lebih ringan.

Selain ngiléni, nilai kebersamaan yang dimiliki oleh masyarakat di

Kecamatan Sirampog terlihat ketika peneliti sedang melakukan

kegiatan observasi partisipatori pada beberapa kegiatan panen.

Beberapa informan, yang merupakan pemilik lahan ataupun petani

penggarap akan sibuk mengingatkan para buruh panen agar jangan

terlalu serakah dan meminta mereka untuk memberi kesempatan agar

buruh panen lainnya mendapat hasil panen juga. Sikap ini sangat

150

terlihat dari salah satu informan, Bapak Syuaib, yang berulang kali

mengatakan: “wis Nap wis. Ko tah sing wingi ikih rah. Wis melasi

nggo batire. Bagi – bagi rah karo batire”(data transkrip I.4.17)

5) Kepedulian

Peduli pada sesama merupakan karakter lokal khas yang sangat

jelas terasa di kehidupan sehari – hari masyarakat. Saat peneliti

sedang melaksanakan penelitian, tidak jarang ditemukan orang yang

mampir ke rumah tetangga dan meminta bumbu dapur atau teh atau

gula pasir, dan lain sebagainya. Perilaku ini sudah semakin langka di

saat kehidupan kian individualis. Namun demikian, masyarakat di

wilayah penelitian masih terbiasa dengan budaya ini.

Sikap peduli masyarakat akan sangat terasa pada lagu tradisional

khas pertanian [lihat lirik lagu di sub bab 4.1.] di wilayah Kecamatan

Sirampog. Peneliti pertama kali mengenal lagu ini sejak masih

belajar di sekolah dasar. Pertama kali yang mengajarkan lagu ini

adalah kakek peneliti yang meninggal pada tahun 1995. Saat itu

banyak anak – anak seusia peneliti yang juga menyanyikan lagu ini.

Ketika peneliti melakukan penelitian, penduduk yang beruia 25

tahun ke atas masih menganal lagu ini, namun banyak anak SD yang

sudah tidak mengenal lagu ini. Akan tetapi saat peneliti menanyakan

ke beberapa siswa SMA, masih banyak dari mereka yang mengenal

lagu ini. Namun demikian, dua baris terakhir lagu ini telah diubah

mereka dan menjadi lelucon, yaitu sebagai berikut: ... Sing adol es

151

lilin; pilake amba (yang jual es mambo, pitaknya lebar). Dengan

tetap berpegang pada versi asli dari lagu ini, peneliti melihat adanya

sifat kepedulian yang besar yang dimiliki masyarakat Kecamatan

Sirampog. Para petani akan memberi makan para pekerja atau buruh

tani di sawah dengan menu yang lengkap dan memperhatikan

kebutuhan gizi mereka. Makanan tersebut terdiri atas karbohidrat

(nasi), protein dan vitamin (sayuran lawueh janganan kacang

lenjaran), air (wedange kopi), kebutuhan glukosa untuk tenaga

(gulane jawa), protein (tempe atau tahu atau ikan asin; dalam lagu

krupuke kur siji), dan penutup berupa rokok (rokoke djaya).

Masyarakat, meski untuk buruh atau pekerjanya, berusaha

memanusiakan dan memperhatikan kebutuhan dasarnya, yaitu

pangan. Pemberian makanan yang lengkap ini, menurut beberapa

informan, juga bertujuan agar para buruh tani lebih kentheng atau

bersemangat dalam bekerja.

Selain kepedulian pada sesama manusia, masyarakat juga peduli

dengan binatang. Sikap ini sangat jelas terlihat dari penanganan dan

persepsi mereka pada serangan hama tikus. Para petani yang jauh

dari pemukiman penduduk terkadang memasang perangkap berupa

racun tikus yang dicampur makanan. Akan tetapi, petani yang

sawahnya dekat dengan pemukiman tidak akan melakukan hal ini,

karena takut akan racun itu termakan oleh ayam atau kucing

peliharaan mereka; sebagaimana penuturan seorang informan, Bapak

152

Sawab, berikut: “Ngger tikus kuwe kadang ngger sawahe adoh

sing desa tah ya kadang pada dipasangi endrim dicampur sega apa

peda. Tapi ngger sawahe perek desa tah ya dijorna lah. Ora wani

masangi. Mbokan mengko dipangan ding ayam apa ding kucing

sih. Ndesih melasi rah. Ya belih?” (data transkrip I.5.18).

6) Kebersihan

Masyarakat petani di wilayah penelitian juga mempunyai

perilaku hidup yang menghargai kebersihan. Sikap ini tampak dari

salah satu kegiatan pertanian yaitu nggombrang. Kegiatan

merapikan dan membersihkan pematang sawah saat padi berusia ±

50 – 60 hari. Meski rerumputan di pematang sawah tidak begitu

berpengaruh pada pertumbuhan padi, akan tetapi para petani juga

membersihkan dan merapikan pematang sawahnya agar sedap

dipandang dan agar memudahkan mereka saat melakukan ngiléni

atau kegiatan perawatan tanaman padi lainnya.

4.4.4 Perilaku Arif dalam Kegiatan Pertanian Padi

Kearifan lokal masyarakat di wilayah Kecamatan Sirampog pada

dasarnya merupakan serangkaian nilai – nilai, etika dan moral yang

digunakan sebagai pedoman sikap dan perilaku masyarakat dalam

melakukan kegiatan pertanian padi. Masyarakat berusaha memelihara,

melestarikan, melindungi, mempertahankan dan menjaga kekayaan

pertanian padi mereka dengan selalu berusaha mempertahankan,

melestarikan dan melestarikan budaya pertanian mereka. Selain itu

153

masyarakat juga bersama – sama selalu berusaha melindungi kekayaan

alam di sekitar mereka yang diyakini sebagai pendukung utama kelancaran

kegiatan pertanian.

Perilaku arif ini terlihat dari sikap para petani yang lebih suka

menggunakan pacul dan wluku untuk meratakan tanah dibanding

menggunakan traktor sebagaimana disampaikan oleh informan Bapak

Kaad sebagai berikut “lah ning ken eta ya anu lah penak nganggo pacul.

Mengko terus diluku. Ngger nggo mesin tah melasi lemahe. Mbokan

ketibanan solar sih mba, malah dadi ora apik tanahe nggo nandur. Teli

ning sawah perek kali keruh kan akeh watune rah, mesine mengko

malah rusak” (data transkrip I.1.21). Dari pernyataan yang diungkapkan

salah satu petani di Kecamatan Sirampog tersebut dapat diketahui bahwa

masyarakat di Kecamatan Sirampog memiliki kearifan terhadap

lingkungan. Meski perkembangan teknologi telah menjangkau daerah

mereka, namun mereka tetap bertahan dengan menggunakan pacul dan

wluku dengan pertimbangan bahwa penggunaan traktor ditakutkan akan

mencemari lahan pertanian mereka. Dan oleh karenanya, sawah mereka

malah menjadi tidak subur karena adanya kemungkinan tercemar oleh

cairan solar yang tercecer atau bocor. Dari fakta tersebut tergambar dengan

jelaslah kearifan lokal masyarakat di wilayah penelitian, bahwasanya sikap

dan perilaku masyarakat yang berupaya melestarikan potensi kelokalannya

dapat memungkinkan bertahannya kebudayaan mereka di tengah kemajuan

zaman.

154

4.6 Upaya – Upaya Pelestarian Kearifan Lokal Pertanian

Kegiatan pertanian telah menjadi satu potensi unggul yang dimiliki

Kecamatan Sirampog. Berdasar hasil observasi partisipatori maupun wawancara

mendalam, serta pemanfaatan sumber data tertulis yang dimiliki pemerintah

Kecamatan Sirampog, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ada upaya –

upaya pelestarian kearifan lokal, terutama di bidang pertanian, yang dilakukan

oleh warga masyarakat maupun oleh pihak pemerintah.

4.6.1 Peran Aktif Masyarakat

Berikut ini merupakan beberapa kegiatan sebagai wujud upaya

pelestarian budaya pertanian di Kecamatan Sirampog:

1) Pendidikan dan penanaman sikap suka pertanian pada generasi muda

Berdasar wawancara mendalam dengan beberapa informan,

penulis menyimpulkan bahwa masyarakat di Kecamatan Sirampog

menyadari bahwa saat ini pengaruh globalisasi dan perkembangan

zaman telah menyebabkan para generasi muda di daerah mereka

enggan bertani. Banyak generasi muda memilih bekerja di kota –

kota besar (urbanisasi) karena menganggap kota besar lebih

menjanjikan pekerjaan dengan penghasilan yang besar pula.

Kenyataan ini mengakibatkan banyak desa yang kekurangan tenaga

buruh tani untuk mencangkul di sawah. Oleh karena itu, banyak

petani berusaha memberikan pengertian dan pengetahuan tentang arti

pentingnya kegiatan pertanian bagi kehidupan mereka, sebagaimana

informan Nazarudin Latief dan Khumaedi yang merasa prihatin

155

dengan kondisi ini, sehingga mereka lebih memilih bertani di desa

karena sering dinasehati oleh ayahnya (saat ayahnya masih hidup).

2) Perilaku warga untuk tidak membuang sampah di sungai

Warga masyarakat sepakat untuk tidak membuang sampah

di pinggir atau bahkan di aliran sungai. Di setiap sungai di

Kecamatan Sirampog tidak ditemui tulisan berupa larangan untuk

membuang sampah atau pengumuman secara lisan oleh para tokoh

desa, namun tampaknya masyarakat di Kecamatan Sirampog

menyadari tindakan membuang sampah akan menghalangi aliran

sungai yang nantinya akan mengaliri sawah mereka. Selain itu,

sampah bisa mencemari air sungai. Padahal, banyak warga yang

masih menggunakan air sungai untuk mandi dan mencuci. Oleh

karena itu, warga ‘sepakat’ untuk tidak membuang sampah di

pinggir atau di aliran sungai. Tindakan ini secara tidak langsung

merupakan kegiatan pelestarian kearifan lokal budaya pertanian

masyarakat Kecamatan Sirampog.

3) Perilaku warga yang melarang kegiatan memancing ikan di sungai

dengan menggunakan racun

Racun yang digunakan untuk menangkap ikan di sungai

dapat berpengaruh buruk pada air sungai. Air sungai adalah sumber

utama pengairan sawah masyarakat, sehingga bila air sungai

156

tercemar masyarakat percaya padinya akan menjadi tercemar dan

tidak sehat. Berpedoman pengetahuan ini, maka biasanya para warga

atau petani yang melihat seseorang menangkap ikan dengan

menyebar racun, dia akan menegur dan akan melarangnya dengan

tegas. Selain itu, di setiap pertemuan Gapoktan, para tokoh

masyarakat selalu mengingatkan bahaya penggunaan racun saat

menangkap ikan. Penanaman kesadaran akan bahaya racun saat

menangkap ikan ini membuat warga masyarakat peduli dan tegas

mengingatkan dan menegur orang yang tertangkap basah

menggunakan racun untuk menangkap ikan.

4) Perilaku warga untuk bersama – sama menjaga sumber air

Kecamatan Sirampog memiliki banyak sumber air, seperti

sungai (besar maupun kecil), mata air, dan air terjun. Untuk menjaga

kelestarian sumber air dan untuk mencegah longsor, para warga

selalu dihimbau oleh para tokoh masyarakat untuk tidak menebang

pohon besar di sekitar sumber air. Hal ini dikarenakan pengetahuan

yang mereka miliki bila pohon adalah pengikat tanah agar tidak

longsor. Tanah yang longsor akan merusak aliran sumber air. Selain

itu, pohon juga berfungsi mengikat air hujan. Air hujan yang diserap

oleh pohon inilah yang akan menjadi sumber air yang mengalir

melalui mata air. Pentingnya pohon – pohon di sekitar sumber air ini

membuat warga tidak berani menebang pohon – pohon tersebut.

Perilaku ini secara langsung turut berpengaruh pada upaya

157

pelestarian kearifan lokal pertanian masyarakat di Kecamatan

Sirampog.

Gambar 4.8 Kedung (mata air) di Desa Plompong

158

Gambar 4.9 Curug Putri (Air Terjun) di Desa Mendala

4.6.2 Peran Aktif Pemerintah

1) Membentuk Gapoktan Tani Jaya di Setiap Desa

Dalam upaya melestarikan budaya pertanian di wilayahnya,

pemerintah Kecamatan Sirampog membentuk Gabungan Kelompok

Tani di setiap desa. Badan ini membawahi Kelompok Usaha Tani di

dusun – dusun. Badan ini berfungsi untuk memberi penyuluhan dan

mengkoordinir semua petani, melalui Kelompok Usaha Tani, serta

memberi informasi positif guna meningkatkan produktivitas

pertanian padi di wilayah Kecamatan Sirampog. Pertemuan

Gapoktan biasanya diadakan setiap hari Jumat, bada dzuhur, di

minggu terakhir. Selain itu, Gapoktan memberi akses bantuan pupuk

dan benih dengan harga murah dan dapat dikredit atau dibayar

setelah panen. Pembentukan Gapoktan secara nyata turut berperan

serta dalam melestarikan budaya pertanian di Kecamatan Sirampog.

159

Gambar 4.10 Gapoktan Tani Jaya di Desa Benda

2) Membentuk KUT di setiap dusun

Untuk mempermudah koordinasi dan memudahkan akses

informasi terbaru tentang pertanian, pemerintah di setiap desa di

Kecamatan Sirampog membentuk Kelompok Usaha Tani di setiap

dusun. Kelompok ini kemudian digabung menjadi satu, yaitu

Gabungan Kelompok Tani. Tugas ketua KUT adalah memberikan

informasi tentang pertemuan yang diadakan Gapoktan atau oleh

Kecamatan. Berikut ini adalah daftar nama KUT dan nama ketua

KUT di setiap dusun di Desa Mendala, Plompong, dan Benda.

Tabel 4.12 Daftar KUT di Desa Mendala, Plompong, dan Benda

No Nama KUT Desa (Dusun/Ketua)

Mendala Plompong Benda

1 Rindu Tani Kubang Bogo/Mahmudin Krajan/K.H. Mahroni Karang Mulya 1/Mastur

2 Lubuk Tani 1 Padanama/Supendi Krajan/Nazaruddin Latief Karang Mulya 2/Tabri

160

3 Lubuk Tani 2 Kalijeruk/Dirin Karang Mangu/A. Manaf Benda 1/Rohani

4 Sri Mulya Igirbohong/Bejo Utomo Karang Kemiri/Rohani Benda 2/Nur Aziz

5 Dewi Ratih Karang Pucung/Suhemi Legok Kenang/H.M Amin Karang Tengah/Maskuri

6 Karang Mulya Munggasari/A. Muiz Karang Gedang/Sulemi Bula Kungu/H. Fatoni

7 Aneka Tani Karang Salam/Junaedi Pring Jajar/Marzuki Jetak/Fatoni

8 Sri Utami Krajan/Zaenuddin Pucung Lancar/Ropii Kratagan/Khumaedi

9 Dewi Sri Sabrang/Turkiyono Cirendu/Satori -

10 Karang Gizi Karang Anyar/Kapul Gunung Sumping/Sahir -

11 Giri Mulya Babakan/Wahyudi Luwung/Nuridin -

12 Sri Makmur Cupang Bungur/Supardi - -

3) Membentuk Balai Pelaksana Penyuluhan (BPP) di setiap Kecamatan

Pemerintah Kabupaten Brebes benar – benar menyadari

potensi pertanian di wilayahnya. Hal ini, salah satunya, tampak dari

dibentuknya Balai Pelaksana Penyuluhan (BPP) di setiap

Kecamatan, termasuk di Kecamatan Sirampog. Balai ini berfungsi

untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan serta menjadi pusat

penelitian bagi pengembangan bibit unggul. Program bimbingan dan

penyuluhan biasanya di desa – desa bertepatan dengan jadwal

pertemuan Gapoktan.

161

Gambar 4.11 Bupati Agung W. di Kecamatan Sirampog (peresmian

PNPM dan Sunatan Massal)

Gambar 4.12 Kantor BPP di Desa Benda

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasar hasil penelitian, peneliti dapat mengambil suatu simpulan

bahwa wilayah Kecamatan Sirampog memiliki khasanah lingual yang sangat kaya

162

di bidang pertanian. Hasil penelitian juga menggambarkan bahwa baik masyarakat

di wilayah Kecamatan Sirampog maupun pemerintah (di tingkat Kecamatan

maupun kabupaten) aktif berperan dalam melestarikan budaya lokal mereka,

termasuk budaya pertanian sejak masa pengolahan tanah hingga pengolahan hasil

panen. Selain itu, dalam penelitian ditemukan bahwa masyarakat di Kecamatan

Sirampog memiliki karakter khas dan masih mempertahankan prinsip – prinsip

lokal mereka yaitu kegigihan dan kesabaran, kerajinan dan kerapian, religiusitas,

kebersamaan, kepedulian, dan kebersihan. Sikap dan perilaku ini juga terlihat

dalam budaya pertanian padi. Sikap ramah dan arif masyarakat terhadap

lingkungan sangat tampak dari metode pertanian yang tetap mempertahankan

budaya pertanian tradisional yang tidak mencemari alam. Penelitian ini juga

membuktikan bahwa bahasa memiliki fungsi ekspresif (Jakobson), hal ini tampak

dari nilai – nilai budaya yang ada di wilayah penelitian yang terungkap melalui

bahasa masyarakatnya. Selain itu, bahasa juga memiliki bentuk dan makna,

dibalik bentuk yang ada, yang digunakan dalam komunikasi sehari – hari para

pengguna bahasa tersebut, terdapat makna – makna yang tersembunyi yang

merupakan hasil konvensi masyarakat bahasa tersebut.

5.2 Saran

Indonesia adalah negara agraris dengan kekayaan alam luar biasa. Oleh

karena itu, pemerintah dan pihak berwenang hendaknya memberi kesempatan dan

menghimbau masyarakat untuk kembali ke sektor pertanian dan mengurangi

urbanisasi agar tidak ada lagi impor beras dan kelaparan. Penelitian ini mengkaji

163

hubungan bahasa dan budaya dalam kaitannya dengan kearifan lokal pertanian

masyarakat di Kecamatan Sirampog. Penelitian selanjutnya dapat dilakukan untuk

menggali makna – makna metaforis ungkapan di bidang pertanian, kajian

ekolinguistik, sosiolinguistik (misal: pemilihan dan sikap bahasa masyarakat

Kecamatan Sirampog di ranah pertanian), linguistik diakronis untuk melihat asal –

usul bahasa yang digunakan masyarakat di Kecamatan Sirampog dan kajian

dialektologis yang berkaitan dengan perbedaan fonetik, semantik, onomasiologis,

semasiologis maupun perbedaan fonologis bahasa Jawa yang digunakan di

wilayah Kecamatan Sirampog dengan bahasa Jawa standar (Yogya/Solo).

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1979. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

164

Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius). Jakarta: Pustaka

Jaya.

Basnett, S. 1992. Translation Studies. London/New York: Methuen.

Boas, F. 1966 (1911). Introduction to the Handbook of American Indian

Languages. Lincoln: University of Nebraska Press.

Brown, Gillian dan George Yule. 1986. Discourse Analysis. London: Cambridge

University Press.

Bungin, M. Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial LAinnya. Jakarta: Kencana.

Conquergood, Dwight. 1991. “Rethinking Ethnography: Towards Critical

Cultural Politics” dalam Communication Monographs.

Danesi, M. and P. Perron. 1999. Analyzing Cultures. Bloomington/Indianapolis:

Indiana University Press.

Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge : Cambridge

University Press.

Fernandes, Inyo Yos. 2008. Kategori dan Ekspresi Linguistik Dalam Bahasa Jawa

dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2. Yogyakarta: FIB

Universitas Gadjah Mada.

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics. Oxford: Blackwell.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Gregersen, Joseph H. 1972. Introduction to Anthropological Linguistics. New

York: Random House.

165

Guiraud, Pierre. 1971 (1975). La Semiologie (Translated by George Gross entitled

Semiology) London/Henley/Boston: Routledge & Kegan Paul.

Gunarwan, Asim. 2003. Realisasi Tindak Tutur Pengancam Muka di Kalangan

Orang Jawa: Cerminan Nilai Budaya? dalam Kumpulan Karya

Ilmiah Para ar dalam eminar Internasional Budaya, Bahasa dan astra

Fakultas Satra UNDIP – UNIMUS. Semarang: Fakultas Satra

Universitas Diponegoro.

Hadi, Sudharto P. 2009. Manusia dan Lingkungan. Semarang: Badan penerbit

UNDIP.

Handoko, Marliany. 1992. Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta:

Kanisius.

Haryati, Dwi, dan Agus Budi W. 2007. Ungkapan Etnis petani Jawa di Desa

Japanan Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten: Kajian

Etnolinguistik dalam Kajian Linguistik dan Sastra Vol. 19 No. 1.

Yogyakarta: FIB Universitas Gadjah Mada.

Hoed, Benny H. 2003. Memandang Fenomena Budaya dengan Kacamata

Semiotik dalam Kumpulan Karya Ilmiah Para ar dalam eminar

Internasional Budaya, Bahasa dan astra Fakultas Satra UNDIP –

UNIMUS. Semarang: Fakultas Satra Universitas Diponegoro..

Hymes, Dell. 1964. Language in Culture and Society A Reader in Linguistics and

Anthropology. New York: Harper and Row.

Hymes. 1966. Two Types of Linguistic Relativity in William Bright, ed.,

Sociolinguistic. The Hague: Mouton.

166

Hymes, Dell. 1972. Reinventing Anthropology. New York: Vintage Books.

Irianto, Agus Maladi. 2009. Mahasiswa dan kearifan Lokal dalam Makalah

Diskusi pada Sarasehan Kearifan Lokal Propinsi Jawa Tengah 29

Januari 2009. Semarang: Badan kesbangpol dan Linmas Propinsi

Jawa Tengah.

Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan Hidup.Jakarta: Penerbit Kompas.

Koentjaraningrat. 1981. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT

Gramedia.

Koentjaraningrat. 1983. Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

______________. 1987. Kebudayaan, mentalita dan Pembangunan. Jakarta: PT

Gramedia.

______________. 1992. Beberapa Pokok Antropologi sosial. Jakarta: Dian

Rakyat.

Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kridalaksana, Harimurti. 1998. Linguistik dan Ilmu Pengetahuan Budaya dalam

Linguistika Jurnal Program Magister (S2) Linguistik Universitas

Udayana Edisi IX 9 September 1998. Denpasar: Universitas

Udayana.

Kridalaksana, Harimurti. 2001 (Edisi Ketiga). Kamus Linguistik. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Krippendoff, Klaus. 2004. Content Analysis: An Introduction to its Methodology

(2nd Edition). Thousands Oaks, CA: Sage.

167

Lampe, Musni. 2009. Kearifan Tradisonal Lingkungan, Belajar dari kasus

Komunitas – Komunitas Petani dan Nelayan Tradisional. dalam

http://www.scibd.com/doc/16149372/kearifan-tradisional yang

diunduh pada 4 Oktober 2010, pukul 16.30 WIB.

Mangunsuwito, S.A. 2002. KAMUS BAHASA JAWA: Jawa – Indonesia. Bandung:

CV. Yrama Widya.

Marsono. 1989. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mc Quown, Norman. 1978. Linguistics and Anthropology dalam Archibald A Hill

(ed) Linguistics. USA: Voice of America Forum Series.

Ola, Simon Sabon. 2010. Pendekatan dalam penelitian Linguistik Kebudayaan.

FKIP Universitas Nusa Cendana.

Purba, Jonny. 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Purwoko, J. Herudjati. 2009. “Dar, ada film bagus di bioskop Rahayu”:

KALIMAT DAN UJARAN DALAM TRI – TATA dalam Subagyo, P.

Ari dan Sudartomo Macaryus (Editor) PENEROKA HAKIKAT

BAHASA. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.

__________________. 2008a. Jawa Ngoko: Ekspresi Komunikasi Arus Bawah.

Jakarta: Indeks.

__________________. 2008b. Wacana Komunikasi. Jakarta: Indeks.

Putri, Vegitya Ramadhani. 2007. Fenomenologi, Hermeunika dan Positivisme

dalam http://veggy.wetpaint.com/page/Fenomenologi+

Hermeneutika+dan+Positivisme yang diunduh pada 27 Mei 2011

168

pukul 08.03 WIB.

Rohadi, Tasdiyanto. 2010. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sampson, Geoffrey. 1980. Schools of Linguistics. Stanford, CA: Standford

University Press.

Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdiknas Dirjen

Dikti Proyek Pengembangan Lembaga pendidikan Tenaga

Kependidikan

Sartini, Ni Wayan. 2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara (Sebuah Kajian

Filsafati) dalam Jurnal Filsafat UGM. Yogyakarta: Penerbit UGM.

Sartini, Ni Wayan. 2009. Menggali Nilai Kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat

Ungkapan (Bebasan, saloka dan Paribasa) dalam Jurnal Ilmiah

Bahasa dan Sastra Vol. V No. 1 April Tahun 2009 Universitas

Sumatera Utara.

Sapir, Edward. 1921. Language : An Introduction to the Study of Speech. New

York: Harcourt, Brace and World.

Sapir, Edward. 1949. Selected Writings. Berkeley: University of California Press.

Saussure, Ferdinand de. 1916. Cours de Linguistique generale. Paris: Payot.

Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford : Basil

Blackwell.

Shopen, Timothy (ed). 1979. Language and Their Speakers. Cambridge:

Winthrop.

Siswadi. 2010. KEARIFAN LOKAL DALAM MELESTARIKAN MATA AIR (Studi

169

Kasus DI Desa Purwogondo, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal).

Tesis tidak dipublikasikan. Program Magister Ilmu Lingkungan

Program Pasca sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

Spradley, James. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart &

Winston.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Witoelar, Rahmat. 2008. Kearifan Lokal Terhadap Lingkungan Terancam

Tereliminasi dalam www.beritabumi.or.id. [diunduh pada 15

Oktober 2010].

Whorf, B. 1956. Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin

Lee Whorf. Cambridge, MA: The massachussetts Institute of

Technology Press.

Yadnya, Ida Bagus Putra. 2004. “Menuju Linguistik Kebudayaan sebagai Ilmu:

Sebuah Perspektif Filsafat Ilmu”, dalam I Wayan Bawa dan I Wayan

Cika, Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Denpasar: Penerbit

Universitas Udayana.