v. hasil dan pembahasan (tabel 2). jika dibandingkan dengan hutan konservasi lainnya, nilai indeks...
Post on 09-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Vegetasi
5.1.1. Kondisi Habitat Daerah Aliran Sungai
Analisis vegetasi dilakukan pada tiga lokasi dengan arah transek tegak
lurus terhadap Hulu Sungai Plangai dengan total panjang transek sepanjang 2 km.
Pemilihan Hulu Sungai Plangai sebagai lokasi transek didasarkan pada banyaknya
jejak tapir yang ditemukan di sekitar sungai dibandingkan dengan sungai lainnya
seperti Sungai Lengayang. Hulu sungai Plangai yang menjadi lokasi pengamatan
merupakan sumber air tetap yang dapat digunakan tapir karena sungai tersebut
mengalir sepanjang tahun tanpa dipengaruhi musim. Pengaruh musim terhadap
hulu sungai Plangai yaitu pada jumlah debit air. Aliran air hulu sungai Plangai
pada tiga lokasi pengamatan mengalir tenang (tidak deras) dengan kedalaman
sungai berkisar 10-50cm seperti terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Kondisi hulu sungai Plangai.
Hasil analisis vegetasi ditemukan sebanyak 50 jenis vegetasi (Lampiran 1)
baik berupa semai, pancang, tiang, maupun pohon yang mana pada masing-
masing tingkat vegetasi tersebut memiliki jumlah jenis yang berbeda seperti
terlihat pada Gambar 13.
b
s
m
(
8
P
p
d
s
m
s
m
j
P
k
b
k
s
Rakh
bagi tapir be
struktur ve
menunjukan
(Syzigium sp
81,75 ind/ha
Pada tingka
paling tingg
ditemukan d
Tapir
semai dan
makan tapir
sungai. Ber
memiliki ke
jenis ini jug
Pada tingkat
kerapatan se
banyak ditem
Kean
keanekaraga
seluruh tingk
0
10
20
30
40
50
60
Gam
hmat (1999)
erupa rimbun
getasi yang
n pada daera
p.) memilik
a dan lebih
at tiang, jeni
gi dengan
dengan nilai
r termasuk j
pancang seb
r menyukai
dasarkan ha
erapatan pali
a yang palin
t pancang je
ebesar 904 i
mukan denga
nekaragaman
aman Shano
kat vegetasi
21
Semai
mbar 13 Diag
menyatakan
nan pohon y
g lebih rap
ah pinggiran
i kerapatan
banyak dit
is Jambu-jam
nilai kerapa
frekuensi se
jenis satwa
bagai pakan
daerah yang
asil analisis
ing tinggi de
ng banyak d
enis Plangeh
ind/ha dan j
an nilai frek
n jenis v
on-Wiener,
di lokasi pe
37
Pancang
gram jumlah
n bahwa ted
yang berdaun
pat dan be
n sungai (rip
paling tingg
emukan den
mbu (Syzigi
atan sebesa
ebesar 0,51.
browser da
n. Dalam k
g dekat deng
vegetasi p
engan nilai k
ditemukan de
memiliki ke
enis Jambu-
kuensi sebesa
vegetasi d
dimana nil
enelitian ber
28
Tiang
h jenis veget
duhan (therm
n lebar dan
eragam. Ha
parian), jeni
gi dengan n
ngan nilai fr
ium sp.) jug
ar 104 ind/h
an menyukai
kemudahan b
gan perairan
ada tingkat
kerapatan se
engan nilai f
erapatan pal
-jambu (Syzi
ar 0,63.
ditunjukan
lai indeks k
rada pada ki
32
Pohon
asi.
mal cover) y
semak beluk
asil analisis
s pohon Jam
nilai kerapat
frekuensi seb
ga memiliki
ha dan leb
i vegetasi pa
bergerak da
n seperti da
semai, jen
ebesar 4850
frekuensi seb
ing tinggi de
igium sp.) y
oleh nila
keanekaraga
isaran angka
50
Total
30
yang cocok
kar dengan
s vegetasi
mbu-jambu
tan sebesar
besar 0,56.
i kerapatan
bih banyak
ada tingkat
an mencari
erah aliran
is Plangeh
ind/ha dan
besar 0,50.
engan nilai
yang paling
ai indeks
aman pada
a 1,93–2,27
31
(Tabel 2). Jika dibandingkan dengan hutan konservasi lainnya, nilai indeks
keanekaragaman yang diperoleh tergolong sedang. Lestari (2006) memperoleh
nilai indeks keanekaragaman vegetasi di Taman Nasional Way Kambas sebesar
2,18 hingga 3,27. Menurut Soerianegara (1996), keanekaragaman jenis di suatu
daerah tidak hanya dipengaruhi oleh banyaknya jenis saja melainkan juga
dipengaruhi oleh banyaknya individu dari setiap jenis tersebut. Disamping itu,
hingga saat ini belum diketahui mengenai ukuran tinggi rendahnya indeks
keanekaragaman di suatu daerah. Namun di Indonesia, berdasarkan perhitungan
pada berbagai tipe hutan diketahui bahwa nilai indeks keanekaragaman Shanon-
Wiener sebesar >3,5 menunjukan keanekaragaman vegetasi tinggi.
Seluruh vegetasi juga tidak menyebar secara merata ditunjukan dengan
nilai indeks kemerataan yang tidak terlalu tinggi. Nilai indeks kemerataan yang
semakin mendekati nilai 1 menunjukan penyebaran vegetasi yang semakin
merata.
Tabel 2 Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan daerah aliran sungai
Rendahnya keanekaragaman dan kemerataaan vegetasi daerah aliran
sungai pada lokasi penelitian dapat dipengaruhi oleh letak plot contoh yang berada
ketinggian 1300–1600 mdpl dan termasuk dalam kelas hutan hujan pegunungan
bawah. Keanekaragaman jenis vegetasi sangat dipengaruhi oleh faktor ketinggian
dan iklim pada suatu wilayah karena setiap vegetasi memiliki tingkat adaptasi
yang berbeda tergantung pada berbagai hal diantaranya dua faktor tersebut.
Semakin jauh dari tepi sungai maka tingkat elevasi juga semakin tinggi dan
kondisi lantai hutan semakin ditutupi oleh lumut-lumutan. Lumut tersebut tidak
hanya menutupi lantai hutan namun juga menutupi batang tiang dan pohon.
Kondisi lumut yang cukup tebal pada lantai hutan memberikan persaingan dalam
memperoleh tempat untuk tumbuh terhadap anakan pohon (semai) dan tumbuhan
bawah.
No. Tingkat Indeks Keanekaragaman (H’)
Indeks Kemerataan (E)
1 Semai 1,93 0,63 2 Pancang 2,20 0,61 3 Tiang 2,27 0,68 4 Pohon 2,27 0,66
32
5.1.2. Kondisi Habitat Tiap Transek
Pengambilan data vegetasi dilakukan pada tiga lokasi yang berbeda
dengan panjang masing-masing transek adalah 700 meter untuk Jalur 1, 600 meter
untuk Jalur 2, dan 700 meter untuk Jalur 3. Masing-masing transek memiliki nilai
indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, dan indeks kekayaan jenis yang
berbeda seperti dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataan tiap transek
No Transek Tingkat Indeks
Keanekaragaman(H’)
Indeks Kekayaan
(DMg)
Indeks Kemerataan
(E)
Jumlah Temuan
PerjumpaanTapir
Bentuk Temuan
PerjumpaanTapir
1. Jalur 1
Semai 1,44 2,08 0,58
3 Kotoran (2) Tapak (1)
Pancang 1,51 1,91 0,61
Tiang 1,51 2,06 0,63
Pohon 1,42 2,06 0,54
2. Jalur 2
Semai 1,45 2,48 0,55
2 Tapak (2) Pancang 1,47 3,56 0,52 Tiang 1,66 2,54 0,65 Pohon 1,78 2,83 0,61
3. Jalur 3
Semai 1,88 2,59 0,71
4 Kotoran (2) Tapak(2)
Pancang 2,47 4,90 0,75
Tiang 2,54 4,97 0,80
Pohon 2,44 4,71 0,73
Indeks kesamaan jenis vegetasi dan dendogram menunjukan seberapa
kesamaan antar komunitas vegetasi antar transek (Tabel 4 dan Gambar 14).
Tabel 4 Indeks kesamaan jenis vegetasi tiap transek
Transek 1 Transek 2 Transek 3 Transek 1 1 0,46 0,38 Transek 2 1 0,38 Transek 3 1
33
Gambar 14 Dendrogram kesamaan jenis vegetasi antar jalur.
Transek 1 dan transek 2 memiliki nilai indeks kesamaan tertinggi sebesar
0,46 artinya kedua transek tersebut memiliki kesamaan komunitas jenis vegetasi
tertinggi dibandingkan terhadap transek 3. Hal ini dapat terjadi karena jarak antar
transek 1 dan transek 2 cukup dekat yaitu hanya berkisar antara 100 meter hingga
200 meter memotong hulu sungai Plangai dengan arah yang berlawanan.
Meskipun demikian, perbedaan nilai indeks kesamaan vegetasi tidak bernilai
cukup besar karena kondisi habitat ketiga transek tersebut sama yaitu mewakili
satu tipe habitat hutan hujan pegunungan bawah yang belum terganggu. Dilihat
dari nilai indeks keanekaragaman, indeks kekayaan, dan indeks kemerataan dari
transek 1 hingga transek 3 menunjukan peningkatan nilai indeks. Begitu juga
dengan penemuan tapir secara tidak langsung berupa tapak dan kotoran
menunjukan penambahan tingkat pertemuan yaitu 3 temuan pada transek 1 , 2
temuan pada transek 2, dan 4 temuan pada transek 3.
Pada seluruh jalur, jarak antara tepi sungai dan punggungan gunung cukup
dekat sehingga pada jarak 100 hingga 300 meter dari tepi sungai pada seluruh
transek telah ditemukan jalur satwa pada punggungan gunung. Jalur satwa
tersebut diindikasi sebagai jalur satwa aktif terlihat dari bukaan jalur akibat
pergerakan/perpindahan satwa. Jalur tersebut cukup lurus mengikuti punggungan
gunung dan memiliki kelerengan curam pada kiri kanannya. Tapir termasuk satwa
yang menggunakan jalur tesebut karena ditemukan tapak dan kotoran tapir pada
jalur-jalur satwa tersebut. Menurut Rakhmat (1999), dalam melakukan gerak
berpindah, tapir cenderung berjalan lurus dalam jalan utamanya namun apabila
dalam perjalananya tapir menemukan tumbuhan pakannya maka aktivitas gerak
berpindah akan diselingi dengan aktivitas makan.
0,3 0,4 0,5
Jalur 1
Jalur 2
Jalur 3
0,38 0,46
34
Berbeda dengan jalur pada punggungan gunung, pada jarak 100 hingga
300 meter dari tepi sungai tidak ditemukan jalur satwa yang tetap. Tumbuhan
bawah dan semai juga terlihat lebih rapat. Mekipun demikian tetap ditemukan
temuan tapak dan kotoran tapir dan satwa lainnya dengan pola yang tidak
beraturan. Jenis pohon yang tumbuh pada daerah ini juga lebih beragam
dibandingkan dengan daerah punggungan gunung yang cenderung lebih
mengelompok dan didominasi pada jenis tertentu saja.
5.2. Komponen dalam Pemodelan Kesesuaian Habitat Tapir
5.2.1. Ketinggian Tempat
Tapir ditemukan diberbagai ketinggian pada semua habitat dari dataran
rendah yaitu pada hutan payau dengan ketinggian 50 m dpl hingga hutan dataran
tinggi dengan ketinggian 2.400 m dpl (Holden et al. 2003). Santiapillai dan
Ramono (1990) mengatakan bahwa tapir dapat ditemukan pada berbagai tipe
hutan Sumatera seperti hutan rawa, hutan dataran rendah, hutan perbukitan, dan
hutan pegunungan bawah.
Hasil analisis peta diketahui lokasi penelitian berada pada ketinggian 545–
2.011 m dpl. Oleh karena itu berdasarkan ketinggian tempat, lokasi penelitian
dibedakan menjadi tiga tipe hutan yaitu tipe hutan dataran rendah dan perbukitan
(lowland and hill forest) dengan ketinggian 0-600 m dpl, hutan pegunungan
bawah (sub-montana forest) dengan ketinggian 600-1.500 m dpl dan hutan
pegunungan (montana forest) dengan ketinggian >1.500 m dpl. Luas masing-
masing tipe hutan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Luas tiap kelas ketinggian
No Kelas Ketinggian (m pdl) Tipe Hutan Luas (Ha) 1 0 - 600 Dataran rendah dan perbukitan 41,58 2 600 – 1.500 Pegunungan bawah 20.918,43 3 >1.500 Pegunungan 6.222,33
Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian
terhadap ketinggian tempat, tapir lebih banyak ditemukan pada hutan pegunungan
bawah (35 jejak) dan hutan pegunungan (36 jejak). Hal ini dikarenakan lokasi
penelitian lebih didominasi oleh kedua tipe hutan tersebut dibandingkan dengan
35
hutan dataran rendah dan hutan perbukitan. Kondisi hutan dataran rendah dan
perbukitan pada lokasi penelitian umumnya telah banyak berubah fungsi menjadi
lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman manusia. Peta ketinggian pada
lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 15.
5.2.2. Kemiringan Lereng
Jaya (2002) mendefinisikan kemiringan lereng atau slope merupakan
ukuran kemiringan dari suatu permukaan yang dapat dinyatakan dalam derajat
atau persen. Menurut Novarino et al. (2005), tapir lebih menyukai daerah yang
datar dan basah dibandingkan dengan daerah yang kering dan memiliki topografi
dan kemiringan yang curam.
Pengelompokan kelas kemiringan lereng didasarkan pada tabel kriteria
penetapan hutan lindung menurut SK Menteri Pertanian No.
837/Kpts/Um/II/1980. Luas masing-masing kelas kemiringan lereng dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6 Luas tiap kelas kemiringan lereng
No Kemiringan Lereng (%) Kategori Kelas Kemiringan Lereng Luas (Ha)
1 0 - 8 Datar 458,19 2 8 – 15 Landai 1.501,47 3 15 – 25 Agak Curam 4.692,06 4 25 – 40 Curam 10.571,47 5 >40 Sangat Curam 9.958,95
Hasil identifikasi jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian terhadap
kemiringan lereng, tapir lebih banyak ditemukan pada daerah yang agak curam
(19 jejak). Temuan tapir juga banyak ditemukan pada daerah curam (17 jejak),
sangat curam (17 jejak), dan landai (15 jejak). Temuan jejak tapir sangat sedikit
ditemukan pada kelerengan datar (3 jejak) karena pada lokasi penelitian sangat
sedikit daerah yang kemiringan lerengnya datar.
Peta kemiringan lereng pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar
16.
38
5.2.3. Jarak dengan Sungai
TNKS mempunyai peran hidrologi yang penting dalam menyediakan air
untuk wilayah sekitarnya karena TNKS cukup banyak dialiri oleh sungai-sungai
besar. Terdapat beberapa sungai besar yang mengalir pada lokasi penelitian,
diantaranya Sungai Lengayang, Sungai Plangai dan Sungai Belantik. Sungai-
sungai besar di daerah ini lebih kenal dengan sebutan “batang” sehingga
sebutannya menjadi Batang Lengayang, Batang Plangai, dan Batang Belantik.
Selain dialiri oleh sungai besar, lokasi penelitian juga banyak dialiri oleh anak-
anak sungai (sungai kecil) yang mengalir sepanjang tahun.
Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup. Alikodra (1990)
menyebutkan salah satu faktor pembatas yang sangat penting bagi kehiudpan
satwaliar adalah air. Berdasarkan penelitian Rakhmat (1999) tapir lebih sering
menggunakan air sungai untuk keperluan sebagai air minum dan mandi meskipun
kebutuhan akan air juga didapat oleh tapir dari vegetasi pakannya terutama dari
pucuk daun dan ranting muda. Dari segi ketergantungan terhadap air, tapir
dikategorikan sebagai binatang water dependent species, artinya binatang yang
memerlukan air untuk penghancuran makannya dan memerlukan air setiap hari
untuk berkubang/mandi
Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan sungai dibagi
menjadi 5 kelas dengan jarak antar kelas sebesar 250 m. Luas masing-masing
kelas jarak dengan sungai dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas tiap kelas jarak dengan sungai
No Jarak dengan Sungai (m) Luas (Ha) 1 0 - 250 19.168,74 2 250 – 500 6.899,94 3 500 – 750 971,73 4 750 – 1.000 129,42 5 >1.000 12,51
Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian
terhadap jarak dengan sungai, hampir seluruh jejak (68 jejak) berada di jarak 0–
500 m dari sungai yaitu 31 jejak pada jarak 0-250 m dan 37 jejak pada jarak 250-
500 m. Hanya 1 jejak yang berada pada jarak 500–750 m dan 2 jejak yang berada
39
pada jarak 750–1.000 m. Tidak ditemukan jejak tapir yang berada pada jarak lebih
dari 1.000 m. Peta jarak dengan sungai dapat dilihat pada Gambar 17.
5.2.4. Jarak dengan Jalan
Menurut Pinard et al. (1996) diacu dalam Meijaard et al. (2007) jalan,
jalan sarad, dan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain memberikan
dampak terhadap satwaliar selain dampaknya terhadap habitat, dengan isu
utamanya adalah berkurangnya konektivitas hutan, penurunan luas habitat, dan
peningkatan aksesibilitas yang meningkatkan tekanan perburuan, serta
menghambat regenerasi hutan. Rakmat (1999) mengatakan bahwa pembukaan
jalan makin memberikan kemudahan bagi peladang berpindah untuk membuka
ladangnya yang akan memutuskan jalur jelajah tapir dan mengancam
kelangsungan hidup tapir karena tapir dianggap sebagai perusak ladang/hama.
Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan jalan dibagi
menjadi 5 kelas dengan jarak antar kelas sebesar 500 m. Luas masing-masing
kelas jarak dengan jalan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Luas tiap kelas jarak dengan jalan
No Jarak dengan Jalan (m) Luas (Ha) 1 0 - 500 100,98 2 500 – 1.000 176,49 3 1.000 – 1.500 275,04 4 1.500 – 2.000 469,17 5 >2.000 26.160,66
Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian
terhadap jarak dengan jalan, seluruh jejak berada di jarak lebih dari 2.000 m dari
jalan. Jalan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu berupa jalan raya aspal yang
biasa digunakan oleh manusia sebagai akses transportasi. Kondisi jarak jalan
dengan kawasan hutan memang cukup jauh karena jalan tidak berbatasan
langsung dengan hutan. Pada kiri dan kanan jalan lebih didominasi dengan
persawahan, perkebunan, dan lahan terbangun. Namun terdapat jalan yang telah
masuk dalam kawasan TNKS dan terdapat bukaan lahan pada kiri kanan jalan
tersebut. Peta jarak dengan jalan dapat dilihat pada Gambar 18.
42
5.2.5. Jarak dengan Tepi Hutan
Berdasarkan hasil identifikasi dan klasifikasi Citra Landsat TM tahun
2008 pada wilayah lokasi penelitian dan sekitarnya, diperoleh 7 jenis penutupan
lahan berupa hutan, kebun, semak, ladang, sawah, lahan terbuka, dan badan air.
Tutupan lahan berupa hutan mendominasi tutupan lahan pada lokasi penelitian
seperti dapat dilihat pada Gambar 19. Meskipun demikian terdapat semak, kebun
dan lahan terbuka pada daerah yang seharusnya berupa hutan dan masuk dalam
kawasan TNKS. Semak dan lahan terbuka dapat terjadi akibat proses alami
contohnya seperti akibat tumbangnya pohon dan proses erosi akibat kemiringan
lereng yang sangat curam sehingga pada daerah tersebut didominasi oleh semak.
Namun faktor gangguan manusia akibat pembukaan lahan hutan lebih besar
pengaruhnya dilihat dari bukaan lahan hutan pada daerah tepi-tepi hutan yang
berubah fungsi menjadi kebun.
Menurut Rakhmat (1999), tekanan terhadap habitat dan kelangsungan
hidup tapir oleh kegiatan manusia berupa kegiatan perkebunan dan perladangan
merupakan ancaman yang sangat serius karena tapir dianggap sebagai satwa hama
yang merusak tanaman. Ketika dalam pola jelajahnya (90-100 hari) tapir kembali
ke tempat semula yang keadaannya telah berubah fungsi menjadi kebun atau
ladang, maka tapir akan cenderung merusak tanaman. Karena hal ini tapir lebih
dianggap sebagai hama dan kelangsungan hidupnya akan terancam karena pihak
pemilik perkebunan atau peladang akan berusaha untuk memusnahkan tapir
dengan berbagai cara termasuk meracun dan menembak. Menurut Santiapilai dan
Ramono (1990), terdapat beberapa catatan yang menunjukan keberadaan tapir di
kebun sawit, selain itu tapir juga terlihat melintasi pemukiman penduduk ataupun
pemukiman petugas di HPH.
Pada penelitian kali ini, pembagian kelas jarak dengan tepi hutan dibagi
menjadi 5 kelas dengan jarak antar kelas sebesar 250 m. Luas masing-masing
kelas jarak dengan jalan dapat dilihat pada Tabel 9.
44
Tabel 9 Luas tiap kelas jarak dengan tepi hutan
No Jarak dengan Tepi Hutan (m) Luas (Ha) 1 0 - 250 4.913,46 2 250 – 500 2.982,96 3 500 – 750 2.522,43 4 750 – 1.000 2.584,17 5 >1.000 14.179,32
Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian
terhadap jarak dengan tepi hutan, sebanyak 27 titik berada di jarak lebih dari
1.000 m dan jejak lainnya tersebar dengan jumlah jejak lebih sedikit pada masing-
masing kelas yaitu 14 jejak pada jarak 0–250 m, 15 jejak pada jarak 250–500 m, 6
jejak pada jarak 500–750 m, dan 9 jejak pada jarak 750–1.000 m. Peta jarak
dengan tepi hutan dapat dilihat pada Gambar 20.
5.2.6. Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Indeks vegetasi digunakan untuk mengukur biomassa atau intensitas
vegetasi di permukaan bumi dengan pengukuran kuantitatif berdasarkan digital
number dari data penginderaan jauh (Tampubulon et al. 2009). Salah satu metode
umum yang digunakan untuk menghitung indeks vegetasi adalah NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index). Nilai NDVI menggambarkan
penutupan vegetasi di atas permukaan tanah dengan nilai kecerahan yang berbeda-
beda diperoleh dari penerimaan gelombang elektromagnetik merah (red) dan infra
merah dekat (near IR). Nilai NDVI -1–0 menunjukan tutupan lahan berupa badan
air (air ataupun es), nilai 0–0,1 menunjukan tanah terbuka, dan nilai >0,1
menunjukan vegetasi (Anonim 2002).
Tapir merupakan satwa yang memerlukan biomassa vegetasi tinggi dilihat
dari kebutuhannya akan kerapatan tajuk untuk bernaung dan ketersediaan
tumbuhan bawah, semai, dan pancang untuk pakannya. Hasil analisis regresi
antara NDVI dan kerapatan vegetasi diperoleh persamaan sebagai berikut:
Y = 0,629 + (1,24x10-7)X
Keterangan : Y = NDVI
X = Kerapatan total vegetasi (ind/ha)
46
Nilai probabilitas yang diperoleh dari persamaan tersebut bernilai >0,05
yakni sebesar 0,933 dengan demikian model persamaan tidak signifikan sehingga
model tidak dapat diterima. Nilai koefisien korelasi (r) yang dihasilkan analisis
regresi sebesar 0,033. Hal ini menunjukan bahwa kerapatan vegetasi memiliki
hubungan korelasi yang positif namun tidak kuat terhadap nilai NDVI. Lemahnya
keeratan hubungan antara kerapatan vegetasi dan nilai NDVI juga ditunjukan oleh
nilai koefisien determinan (R square) yang sangat kecil yaitu bernilai 0,1%.
Semakin kecil nilai koefisien determinan maka data semakin menyebar menjauhi
garis linier seperti terlihat pada Gambar 21. Lemahnya keeratan hubungan antara
kerapatan vegetasi dan nilai NDVI dapat terjadi karena nilai NDVI yang
dihasilkan dari analisis peta dipengaruhi oleh faktor lain salah satunya faktor
kemiringan lereng. Kemiringan lereng dapat menyebabkan perbedaan digital
number yang diterima oleh satelit khususnya untuk penerimaan gelombang
elektromagnetik merah (red) dan infra merah dekat (near infrared).
Gambar 21 Diagram pencar nilai yang diamati antara kerapatan vegetasi dan nilai NDVI.
Dengan demikian pada penelitian kali ini, pembagian kelas nilai NDVI
dibagi menjadi 3 kelas dengan luas masing-masing kelas nilai NDVI dapat dilihat
pada Tabel 10.
Kerapatan total vegetasi30000.0025000.0020000.0015000.0010000.005000.00
0.68
0.66
0.64
0.62
0.60
0.58
NDVI
47
Tabel 10 Luas tiap kelas nilai NDVI
No Nilai NDVI Luas (Ha) 1 -1 - 0,25 291,33 2 0,25 – 0,5 823,75 3 0,5 – 1 26.065,26
Hasil identifikasi 71 jejak tapir yang ditemukan di lokasi penelitian
terhadap nilai NDVI, sebanyak 64 jejak berada di rentang nilai NDVI 0,5–1.
Hanya 6 jejak yang berada direntang 0,25–0,5 dan hanya 1 jejak yang mempunyai
nilai kurang dari 0,25. Peta nilai NDVI dapat dilihat pada Gambar 22.
5.3. Model Kesesuaian Habitat
Penentuan bobot untuk mendapatkan model kesesuaian habitat tapir
diperoleh dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal
Component Analysis / PCA) berdasarkan hasil analisis spasial 71 jejak tapir
terhadap 6 variabel habitat tapir yang diteliti meliputi ketinggian, kemiringan
lereng, jarak dengan sungai, jarak dengan jalan, jarak dengan tepi hutan, dan nilai
NDVI (Lampiran 3). PCA akan menghasilkan komponen utama sesuai dengan
jumlah variabel yang digunakan namun banyaknya komponen utama yang
dijelaskan tergantung pada jumlah keragaman kumulatif yang dapat dijelaskan.
Menurut Timm (1975) diacu dalam Paraira (1999), jumlah komponen utama yang
dapat digunakan dianggap cukup mewakili jika keragaman kumulatifnya
mencapai 70%-80%.
Dari hasil PCA diperoleh 6 komponen utama dengan keragaman total
seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Komponen utama yang dapat digunakan yaitu
3 komponen utama pertama dengan nilai keragaman kumulatif mencapai
72,924%.
Tabel 11 Total keragaman yang dijelaskan
Komponen Akar Ciri
Total % Keragaman % Kumulatif 1 2,015 33,583 33,583 2 1,233 20,552 54,135 3 1,127 18,790 72,924
49
Komponen Akar Ciri
Total % Keragaman % Kumulatif 4 0,717 11,951 84,876 5 0,523 8,710 93,586 6 0,385 6,414 100,000
Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk menetapkan bobot
masing-masing variabel. Keeratan hubungan antara keenam variabel habitat
dengan komponen utama dapat dilihat dari vektor ciri dari PCA yang disajikan
dalam Tabel 12.
Tabel 12 Vektor ciri PCA
Variabel Komponen Utama
1 2 3 Ketinggian -0,260 0,697 -0,503 Kemiringan Lereng 0,582 0,342 0,403 Jarak dengan Sungai 0,542 0,573 0,281 Jarak dengan Jalan 0,846 -0,105 0,032 Jarak dengan Tepi Hutan 0,630 -0,509 -0,357 Nilai NDVI -0,451 -0,179 0,710
Bobot masing-masing variabel untuk mendapatkan model kesesuaian
habitat tapir diperoleh dari nilai vektor ciri PCA masing-masing variabel yang
mempunyai nilai positif tertinggi terhadap komponen utama yang dihasilkan.
Hasil diatas menunjukan bahwa variabel kemiringan lereng, jarak dengan jalan,
dan jarak dengan tepi hutan mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap
komponen utama pertama. Sedangkan variabel ketinggian dan jarak dengan
sungai mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua. Dan
terakhir variabel nilai NDVI mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap
komponen utama ketiga. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing
variabel kesesuaian habitat dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Bobot masing-masing variabel
No Variabel Nilai bobot 1 Kemiringan Lereng 2,015 2 Jarak dengan Jalan 2,015 3 Jarak dengan Tepi Hutan 2,015 4 Ketinggian 1,233 5 Jarak dengan Sungai 1,233 6 Nilai NDVI 1,127
50
Dari nilai bobot tersebut maka dapat diketahui model Kesesuian Habitat
Tapir dengan persamaan sebagai berikut :
Y = (1,233 x Fk1) + (2,015 x Fk2) + (1,233 x Fk3) + (2,015 x Fk4) + (2,015 x
Fk5) + (1,127 x Fk6)
Keterangan : Y = Kesesuaian Habitat Tapir
Fk1 = Faktor Ketinggian
Fk2 = Faktor Kemiringan Lereng
Fk3 = Faktor Jarak dengan Sungai
Fk4 = Faktor Jarak dengan Jalan
Fk5 = Faktor Jarak dengan Tepi Hutan
Fk6 = Faktor nilai NDVI
5.4. Peta Kesesuaian Habitat Tapir
Untuk menghitung nilai Kelas Kesesuaian Habitat Tapir dengan
menggunakan model persamaan di atas, dilakukan proses tumpang tindih
(overlay) terhadap masing-masing variabel habitat yang digunakan. Sebelum
melakukan proses tersebut, terlebih dahulu dilakukan proses pengkelasan (class)
yaitu pengkelasan tiap variabel habitat untuk dilakukan pengharkatan
(scoring/skor) tiap kelas dari masing-masing variabel. Dimana nilai skor dari tiap
kelas dalam satu variabel berbeda antara satu dengan yang lain seperti dapat
dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14 Skor tiap variabel
Variabel Kelas Skor
Ketinggian (mdpl) 0 - 600 3 600 – 1.500 2 >1.500 1
Kelerengan (%)
0 – 8 5 8 – 15 4 15 – 25 3 25 – 40 2 >40 1
Jarak dengan sungai (m)
0 - 250 5 250 - 500 4 500 - 750 3 750 – 1.000 2 1.000 – 1.250 1
51
Variabel Kelas Skor
Jarak dengan jalan (m)
>2000 5 1.500 – 2.000 4 1.000 – 1.500 3 500 – 1.000 2 0 - 500 1
Jarak dengan tepi hutan (m)
>1.000 5 750 – 1.000 4 500 - 750 3 250 - 500 2 0 - 250 1
Nilai NDVI > 0,5 3 0,25 – 0,5 2 -1 – 0,25 1
Hasil analisis spasial dengan metode pembobotan, pengkelasan (class),
pengharkatan/skoring (scoring), dan tumpang tindih (overlay) menghasilkan nilai
piksel terendah adalah 16,824 dan tertinggi 43,47. Dengan standar deviasi sebesar
4,265; rata-rata sebesar 32,557 dan median sebesar 33,621. Untuk menentukan
kelas kesesuaian habitat tapir terlebih dahulu dicari nilai selang antar kelas
kesesuaian, yaitu dengan membagi rata selisih antara nilai piksel tertinggi dan
nilai piksel terendah dengan jumlah kelas kesesuian habitat. Dalam penelitian kali
ini, kelas kesesuaian habitat tapir dibagi menjadi tiga kelas yaitu kesesuaian
rendah, kesesuaian sedang, dan kesesuaian tinggi. Nilai skor dan luas masing-
masing kelas kesesuaian habitat tapir dapat dilihat pada Tabel 15. Dan peta
kesesuaian habitat tapir dapat dilihat pada Gambar 22.
Selang 43,47 16,824
3 8,882
Tabel 15 Skor dan luas tiap kelas kesesuaian habitat
Kelas Skor Luas (Ha) Persentase Kesesuaian rendah 16,824 – 25,706 1.979,73 7,28% Kesesuaian sedang 25,706 – 34,588 15.638,76 57,54% Kesesuaian tinggi > 34,588 9.563,85 35,18%
Daerah kelas kesesuaian rendah didominasi oleh kelas ketinggian 600-
1.500 m dpl berupa hutan pegunungan bawah, kemiringan lereng yang sangat
curam (>40%), jarak dari sungai 0-250 m, jarak dari jalan lebih dari 2.000 m,
jarak dari tepi hutan 0–250 m, dan nilai NDVI lebih dari 0,5. Daerah kelas
53
kesesuaian sedang didominasi oleh kelas ketinggian 600-1.500 m dpl berupa hutan
pegunungan bawah, kemiringan lereng yang sangat curam (>40%), jarak dari sungai 0-
250 m, jarak dari jalan lebih dari 2.000 m, jarak dari tepi hutan lebih dari 2.000 m, dan
nilai NDVI lebih dari 0,5. Daerah kelas kesesuaian tinggi didominasi oleh kelas
ketinggian 600-1.500 m dpl berupa hutan pegunungan bawah, kemiringan lereng yang
curam (25-40%), jarak dari sungai 0-250 m, seluruhnya berada pada jarak dari jalan
lebih dari 2.000 m, jarak dari tepi hutan lebih dari 2.000 m, dan nilai NDVI lebih dari
0,5.
Dilihat dari peta kesesuaian habitat tapir yang dihasilkan, batas kawasan TNKS
termasuk pada daerah kesesuaian sedang. Hal ini menunjukan daearah tersebut memiliki
potensi sebagai daerah yang sesuai untuk wilayah jelajah tapir meskipun ketika
pengamatan tidak ditemukan jejak tapir pada daerah tersebut. Bentuk tutupan lahan
pada daerah batas kawasan TNKS lebih banyak berupa kebun dan semak. Hal ini akan
mengancam kelestarian tapir mengingat tapir dianggap sebagai satwa hama oleh
masyarakat.
5.5. Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk menerima model yang telah dibangun dengan
tingkat kepercayaan tinggi (lebih dari 85%) pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi.
Validasi model kesesuaian habitat tapir menggunakan 35 jejak tapir pada saat survei
lokasi penelitian. Nilai validasi diperoleh dengan membagi banyaknya jejak tapir pada
suatu kelas kesesuaian terhadap total jejak tapir yang ditemukan. Hasil validasi tiap
kelas kesesuaian habitat tapir dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Validasi tiap kelas kesesuaian habitat tapir
Kelas Kesesuaian Jumlah Jejak Tapir Validasi (%) Kesesuaian rendah 0 0 Kesesuaian sedang 20 57,14 Kesesuaian tinggi 15 42,86
Hasil validasi menunjukan model kesesuaian habitat tapir dapat diterima 100%
pada kelas kesesuaian sedang dan tinggi. Artinya model yang dibangun cukup
representatif untuk menunjukan daerah kesesuaian habitat tapir dengan kelas kesesuaian
sedang dan kesesuaian tinggi. Namun demikian, dilihat dari tingginya nilai validasi
54
pada kelas kesesuaian sedang dibandingkan pada kelas kesesuaian tinggi menunjukan
model yang dibangun belum memberikan hasil yang optimal, artinya terdapat
komponen habitat lain yang mempengaruhi kesesuaian habitat tapir selain dari enam
komponen habitat yang digunakan untuk membangun model. Hal ini dapat disebabkan
karena komponen habitat yang digunakan dalam membangun model belum mewakili
komponen habitat yang sensitif sangat diperlukan oleh tapir karena komponen habitat
yang digunakan dalam membangun model lebih banyak berupa komponen abiotik yang
bersifat struktural seperti faktor ketinggian, kemiringan lereng, jarak dari jalan, dan
jarak dari tepi hutan.
Kesesuaian habitat tapir dipengaruhi oleh komponen habitat biotik yang bersifat
fungsional seperti ketersediaan pakan, sesapan (salt lick), teduhan, dan lindungan.
Faktor jarak dengan sungai dan nilai NDVI belum cukup mewakili komponen habitat
biotik yang bersifat fungsional dalam membangun model kesesuaian habitat tapir.
Kebutuhan tapir akan pakan, teduhan, dan lindungan belum dapat diwakili oleh nilai
NDVI karena nilai NDVI yang dihasilkan pada penelitian kali ini sangat dipengaruhi
oleh kemiringan lereng dan kurang sesuai diterapkan untuk daerah penelitian yang
kemiringan lerengnya sangat bervariasi. Ditjen PHKA (Inpress) mengatakan bahwa
faktor penting yang sangat berperan bagi kelestarian tapir adalah keberadaan sesapan
untuk memenuhi kebutuhan unsur mikro bagi tapir dan dalam memenuhi kebutuhannya
tersebut tapir terkadang melakukan perjalanan yang jauh. Untuk membangun model
kesesuaian habitat tapir dengan tingkat kesesuaian tinggi, maka sangat diperlukan
informasi spasial mengenai pakan, teduhan, lindungan, dan keberadaan sesapan. Namun
untuk memperoleh informasi tersebut dibutuhkan waktu pengamatan yang cukup lama.
top related