uveitis
Post on 30-Dec-2015
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Radang uvea atau uveitis adalah istilah umum untuk peradangan jaringan
uvea. Uveitis dapat terjadi pada satu atau semua bagian jaringan uvea. Uveitis
adalah peradangan pada jaringan uvea akibat infeksi, trauma, neoplasia, atau
proses autoimun. Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior
dari uvea, yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis1-3.
Penyebab uveitis posterior terbagi atas penyebab infeksi dan noninfeksi.
Kebanyakan kasus uveitis posterior bersamaan dengan salah satu bentuk penyakit
sistemik. Penyebab uveitis posterior seringkali dapat ditegakkan berdasarkan
morfologi lesi, cara onset dan perjalanan penyakit atau hubungannya dengan
penyakit sistemik. Pertimbangan lain adalah umur pasien dan apakah timbulnya
unilateral atau bilateral.
Pada uveitis posterior, retina hampir selalu terinfeksi secara sekunder. Ini
dikenal sebagai koriorenitis. Pada uveitis posterior umumnya lebih sering terjadi
uveitis jenis granulomatosa. Onset uveitis posterior bisa akut dan mendadak atau
lambat tanpa gejala, tapi biasanya berkembang menjadi proses granulomatosa
kronis2,4.
Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan. Morbiditas akibat
uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior sehingga menimbulkan
peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada nervus optikus. Selain itu,
dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid. Oleh karena itu, diperlukan
1
penanganan uveitis yang meliputi anamnesis yang komprehensif, pemeriksaan
fisik dan oftalmologis yang menyeluruh, pemeriksaan penunjang dan penanganan
yang tepat5,6.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Uvea1,2
Uvea merupakan lapisan vaskuler berpigmen dari dinding bola mata yang
terletak antara kornesklera dan neuroepitelium. Uvea terdiri dari tiga bagian, yaitu
iris, badan siliaris, dan koroid.
Gambar 1. Anatomi Uvea
Koroid merupakan bagian posterior dari uvea yang terletak antara retina
dan sklera. Terdapat tiga lapisan vaskuler koroid, yaitu vaskuler besar, sedang,
dan kecil. Pada bagian interna koroid dibatasi oleh membran Bruch, sedangkan di
bagian luar terdapat suprakoroidal.
3
Gambar 2 Lapisan Koroid
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang
berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus
arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri
siliaris anterior dan arteri siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari
arteri siliaris posterior longus dan brevis.
2.2 Definisi1-3
Uveitis posterior merupakan salah satu klasifikasi uveitis berdasarkan
anatomis. Uveitis posterior adalah radang uvea bagian posterior yang biasanya
disertai dengan keradangan jaringan disekitarnya. Inflamasi ini terletak dibagian
uvea di belakang dengan batas basis vitreus. Jika mengenai retina disebut retinitis
dan jika mengenai vitreous disebut vitritis.
4
Gambar 3. Klasifikasi Uveitis secara Anatomi
2.3 Insidensi2,4,7
Insiden uveitis di Amerika Serikat dan di seluruh dunia diperkirakan
sebesar 15 kasus/100.000 penduduk dengan perbandingan yang sama antara laki-
laki dan perempuan. Toxoplasma dianggap sebagai penyebab 30-50% uveitis
posterior. Syamsoe pada penelitiannya dalam periode Januari 1981 – Maret 1982
terhadap 144 penderita uveitis menemukan 8 (5,56%) kasus disebabkan oleh
toksoplasmosis. Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia
70 tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua
umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia.
2.4 Etiologi2
Penyebab dari uveitis posterior dapat dibagi atas dari penyakit infeksi
(uveitis granulomatosa) dan non infeksi (uveitis non granulomatosa).
1. Penyakit infeksi (uveitis granulomatosa)
5
virus : virus sitomegalo, herpes simpleks, herpes zoster, rubella, rubeola,
HIV, virus Epstein-Barr, virus coxsackie.
bakteri : Mycobacterium tuberculosis, brucellosis, sifilis sporadik dan
endemik, Nocardia, Neisseria meningitides, Mycobacterium avium-
intracellulare, Yersinia, dan Borrelia.
fungus : Candidia, Histoplasma, Cryptococcus, dan Aspergillus.
parasit : Toxoplasma, Toxocara, Cysticercus, dan Onchocerca.
2. penyakit non infeksi (uveitis non granulomatosa)
autoimun : penyakit Behcet, Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada, poliarteritis
nodosa, ofthalmia simpatis, vaskulitis retina.
keganasan : sarkoma sel retikulum, melanoma maligna, leukemia, lesi
metastatik.
etiologi tak diketahui : sarkoidosis, koroiditis geografik, epiteliopati pigmen
plakoid multifokal akut, retinopati “birdshot”, epiteliopati pigmen retina.
2.5 Patofisiologi6
Pada stadium awal terjadi kongestif dan infiltrasi dari sel-sel radang
seperti PMN, limfosit, dan fibrin pada koroid dan retina yang terkena. PMN lebih
banyak berperan pada uveitis jenis granulomatosa sampai terjadinya supurasi.
Sebaliknya pada uveitis non granulomatosa limfosit lebih dominan. Apabila
inflamasi berlanjut, lamina vitrea akan robek sehingga lekosit pada retina akan
menginvasi rongga vitreum yang menyebabkan timbulnya proses supurasi di
dalamnya. Pada uveitis granulomatosa kronis tampak sel mononuclear, sel
6
epiteloid, dan giant cell sebagai nodul granulomatosa yang tipikal. Kemudian
eksudat menghilang dengan disertai atrofi dan melekatnya lapisan koroid dan
retina yang terkena. Eksudat dapat menjadi jaringan parut. Keluarnya granula
pigmen akibat nekrosis atau atrofi dari kromatofor dan sel epitelia pigmen akan
difagositosis oleh makrofag dan akan terkonsentrasi pada tepi lesi.
Gambar 4. Uveitis Posterior
Sel-sel radang pada humor vitreus, lesi berwarna putih atau putih
kekuningan pada retina dan atau koriod, eksudat pada retina, vaskulitis retina dan
edema nervus optikus dapat ditemukan pada uveitis posterior.
2.6 Gejala Klinis2,4-6
Gejala Uveitis Posterior antara lain :
a. Penurunan ketajaman penglihatan, dapat terjadi pada semua jenis uveitis
posterior.
b. Injeksi mata—kemerahan mata tidak terjadi bila hanya segmen posterior yang
terkena, jadi gejala ini jarang pada toksoplasmosis dan tidak ada pada
histoplasmosis.
c. Rasa sakit pada mata terdapat pada pasien dengan sindrom nekrosis retina
akut, sifilis, infeksi bakteri endogen, skleritis posterior, dan pada kondisi-
kondisi yang mengenai nervus optikus. Pasien toksoplasmosis, toksokariasis,
7
dan retinitis sitomegalovirus yang tidak disertai glaukoma umumnya tanpa
rasa sakit pada mata. Penyakit segmen posterior noninfeksi lain yang khas
tidak sakit adalah epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut, koroiditis
geografik, dan Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada.
Tanda yang penting untuk diagnosis uveitis posterior adalah :2
a. Hipopion—Uveitis posterior dengan hipopion misalnya pada leukemia,
penyakit Behcet, sifilis, toksokariasis, dan infeksi bakteri endogen.
b. Pembentukan granuloma—Jenis granulomatosa biasanya pada uveitis
granulomatosa anterior yang juga mengenai retina posterior dan koroid,
sarkoidosis, tuberkulosis, toksoplasmosis, sifilis, Sindroma Vogt-Koyanagi-
Harada, dan oftalmia simpatis. Sebaliknya, jenis non granulomatosa dapat
menyertai penyakit Behcet, epiteliopati pigmen plakoid multifokal akut,
bruselosis, sarkoma sel retikulum, dan sindrom nekrosis retina akut.
c. Glaukoma yang terjadi sekunder mungkin terjadi pada pasien nekrosis retina
akut, toksoplasmosis, tuberkulosis, atau sarkoidosis.
d. Vitritis—Peradangan korpus vitreum dapat menyertai uveitis posterior.
Peradangan dalam vitreum berasal dari fokus-fokus radang di segmen
posterior mata. Vitritis tidak terjadi pada koroiditis geografik atau
histoplasmosis. Peradangan ringan terjadi pada pasien sarcoma sel retikulum,
infeksi virus sitomegalo, rubella, dan beberapa kasus toksoplasmosis dengan
fokus-fokus infeksi kecil pada retina. Sebaliknya, peradangan berat dengan
banyak sel dan eksudat terdapat pada tuberkulosis, toksokariasis, sifilis,
8
penyakit Behcet, nokardiosis, toksoplasmosis, dan pada pasien endoftalmitis
bakteri atau kandida endogen.
e. Morfologi dan lokasi lesi—Toksoplasmosis adalah contoh khas yang
menimbulkan retinitis dengan peradangan koroid di dekatnya. Infeksi virus
sitomegalo, herpes, rubella, dan rubeolla umumnya mengenai retina secara
primer dan lebih banyak menyebabkan retinitis daripada koroiditis. Pada
pasien tuberkulosis, koroid merupakan sasaran utama proses granulomatosa,
yang juga mengenai retina. Koroiditis geografik terutama mengenai koroid
dengan sedikit atau tanpa merusak retina dan pasien tidak menderita pasien
sistemik. Sebaliknya, koroid terlibat secara primer pada oftalmia simpatis dan
penyakit Lyme. Ciri morfologiknya dapat berupa lesi geografik, lesi punctata,
nodul Dalen-Fuchs.
f. Vaskulitis.
g. Hemoragik retina.
h. Parut lama.
2.7 Komplikasi5,6
Komplikasi yang dapat terjadi adalah :
a. Dapat mengenai daerah sekitar koroid, misalnya retina, vitreus humour,
badan siliar, iris, nervus optikus, dan sklera.
b. Sinekia posterior.
c. Edema makula sistoid.
d. Vaskular dan optik atropi.
9
e. Traction retinal detachment.
f. Uveitis posterior dapat menyebabkan katarak sisi posterior.
2.8 Diagnosis Banding3
Diagnosis banding dari uveitis posterior antara lain:
1. Penyakit degenerasi retina
Biasanya disertai miopia tinggi
Bersifat slowly progressive dan menetap
Tidak bisa diobati
2. Kekeruhan badan kaca karena penyakit lain
Biasanya ada penyakit sistemik
Ultrasonografi jelas terlihat
Diresorbsi spontan 6 bulan
3. Ablasio retina
Progresif, USG jelas terlihat
Bila regmatogenus ditemukan sobekan retina
Satu-satunya tindakan hanya operasi
2.9 Terapi3,4,8
Terapi uveitis posterior tergantung dari penyebabnya. Pada prinsipnya
pengobatan ditujukan untuk mempertahankan penglihatan sentral,
mempertahankan lapang pandang, mencegah atau mengobati perubahan-
10
perubahan struktur mata yang terjadi seperti katarak, glaukoma sekunder, sinekia
posterior, kekeruhan badan kaca, ablasi retina dan sebagainya.
Ada empat kelompok obat yang digunakan dalam terapi uveitis, yaitu
midriatikum, steroid, sitotoksik, dan siklosporin. Sedangkan uveitis akibat infeksi
harus diterapi dengan antibakteri atau antivirus yang sesuai. Midriatikum
berfungsi untuk memudahkan follow up keberhasilan pengobatan. Atropin tidak
diberikan lebih dari 1-2 minggu.
Indikasi operasi pada pasien dengan uveitis mencakup rehabilitasi visual,
biopsi diagnostik (hasil penemuan dari biopsi menyebabkan adanya perubahan
pada rencana pengobatan), dan pengeluaran Opacities media untuk memonitor
segmen posterior. Apabila timbul perubahan struktur pada mata (katarak, glukoma
sekunder) maka terapi terbaik adalah dengan operasi.
Vitrektomi berfungsi untuk menentukan diagnosis dan pengobatan.
Indikasi vitrektomi adalah peradangan intraokular yang tidak sembuh pada
pengobatan, dugaan adanya keganasan dan infeksi pada mata. Uveitis posterior
berkaitan dengan kekeruhan vitreus yang tidak dapat disembuhkan dengan obat-
obatan. Dengan adanya vaskulitis dan oklusi vaskular pada pars planitis, penyakit
Behcet dan sarkoidosis neovaskularisasi retina atau pada diskus optikus (pada
pasien uveitis) menyebabkan timbulnya perdarahan pada vitreus. Vitrektomi
merupakan salah satu pilihan untuk situasi tersebut.
11
2.10 Prognosis6
Prognosis pasien tergantung pada lokasi dan luasnya eksudasi dan atrofi
daerah lesi. Lesi yang kecil tetapi jika mengenai daerah makula lutea akan
berpengaruh pada fungsi penglihatan. Sebaliknya lesi yang meluas sepanjang
fundus tidak mempengaruhi penglihatan apabila tidak mengenai area makula.
12
BAB III
PENUTUP
Uveitis posterior merupakan peradangan pada bagian posterior dari uvea,
yaitu pada lapisan koroid, sehingga sering disebut koroiditis. Keluhan utama
adalah penglihatan kabur dan floaters akibat sel radang. Penurunan visus dapat
mulai dari ringan sampai berat. Pengobatan tergantung dari penyebabnya. Mulai
dari pemberian kortikosteroid sampai dengan tindakan pembedahan.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Melinda. Uveitis. Pekanbaru: Fakultas Kedokteran Riau, 2009.
2. Shock JP. Lensa. Dalam: Vaughan D, Asbury T. Oftalmologi Umum (General Opthalmology). Alih bahasa: Ilyas S. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000.
3. Soewono W, Eddyanto. Uveitis Posterior dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi bagian Ilmu Penyakit Mata. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga, 2006.
4. Ilyas S, Mailangkay, Taim H, Saman R, Simarmata M et al. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran Edisi ke 2. Jakarta: Sagung Seto, 2002.
5. Ilyas R. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009.
6. Allen. J. H., May’s manual of the disease of the eye, Robert E. Kriger Pubhlising Company New York 1968, hal 124-149.
7. Robert HJ. Uveitis. 2005; (online), (http://www.emedicine.com/oph/topic581.htm diakses 14 Juli 2010).
8. Anonymous. Uveitis. 2006; (online), (http://www.stlukeseye.com/conditions/uveitis.asp diakses 14 Juli 2010).
14
top related