ustadz felix siauw fatwa golput haram, isyarat gagalnya demokrasi
Post on 18-Jan-2015
70 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Add Comment Analisis, Pemilu, Propaganda Kamis, 27 Maret 2014
Ustadz Felix Siauw : Fatwa Golput Haram, IsyaratGagalnya Demokrasi
Oleh Ustadz Felix Siauw
Fatwa #Golput #Haram: Isyarat Gagalnya #Demokrasi
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat dikejutkan dengan fatwa baru MUI hasil ijtima ulama di Padang Panjang awal
tahun 2009, yaitu 2 fatwa yang muncul ke permukaan, yaitu fatwa haramnya rokok (dengan beberapa catatan)
dan fatwa haramnya golput (golongan putih) atau golongan yang tidak menggunakan hak pilihnya ketika proses
pemilihan umum. Dikutip dari naskahnya, fatwa itu berbunyi sebagai berikut:
Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-
syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud
kemashlahatan dalam masyarakat.
Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh),
mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak
memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Selanjutnya fatwa ini diikuti dengan dua rekomendasi, yakni: (1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan
wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar; (2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu
meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak
masyarakat terpenuhi.
Di masyarakat dan kalangan politik pun muncul pro dan kontra ataskeputusan, ini. Nah, to the point, sampai saat ini
saya juga belum mendapatkan detail dalil yang dipakai oleh MUI untuk menelurkan fatwa ini, tetapi kita akan sedikit
membahas, seperti apa indikasi yang ditunjukkan oleh fatwa ini.
Pertama, kita harus memahami terlebih dahulu, bahwa pemilu itu sendiri ada 2 jenis, yaitu pemilu legislatif dan
pemilu pemimpin. Pemilu legislatif dalam Islam adalah akad wakalah, atau akad perwakilan, yang mempunyai 4
rukun yaitu adanya: yang mewakilkan, wakilnya, perkara yang diwakilkan, dan ucapan (redaksi) perwakilan. Jika
semua rukunnya dipenuhi maka akad perwakilannya sah, apabila salah satunya tidak dipenuhi, maka akadnya
menjadi tidak sah (bathil).
Yang menjadi masalah, dalam memilih wakil rakyat yang akan duduk di kursi legislatif, akad perwakilan ini menjadi
bathil, karena ada satu rukun yang bermasalah, yaitu rukun “perkara yang diwakilkan”. Ketika kita mewakilkan
kepada wakil rakat, maka wakil rakyat itu nantinya akan melakukan tugasnya atas perwakilan dari kita, apa saja
tugas wakil rakyat: (1)fungsi legislasi (membuat hukum), (2)fungsi anggaran, dan (3)fungsi mengoreksi penguasa.
Dalam pandangan Islam,hak membuat hukum hanyalah milik Allah semata, sehingga tidak diperbolehkan bagi
manusia untuk melakukan fungsi itu
Sesungguhnya hukum itu hanyalah hak Allah (TQS Yusuf [12]: 40)
Singkatnya, ketika kita memilih wakil rakyat, sesungguhnya kita sedang memberikan perwakilan pada mereka untuk
melakukan dosa yangsangat besar, yaitu membuat hukum bagi manusia, atau menjadi tandingan Allah sebagai satu-
satunya yang layak untuk membuat hukum. Ini perkara yang sangat bathil
Dan siapa yang tidak berhukum dengan aturan yang telah diturunkan oleh Allah, maka itulah orang-orang yang kafir
(TQS al-Maaidah [5]: 44)
Adapun pemilihan pemimpin, maka ini adalah perkara yang wajib didalam Islam, dan Islam mengharuskan adanya
pemimpin bagi jama’ah kaum muslim. Dan sangatlah tegas, di dalam Islam, pemimpin yang dimaksud adalah
pemimpin yang ta’at pada Allah dan Rasul-Nya serta memimpin dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) diantara kalian, dan bila
kalian berselisih tentang segala sesuatu,maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (as-Sunnah), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hal seperti itu lebih utama dan lebih baik akibatnya
(TQS an-Nisaa [4]: 59)
dan pemimpin ini pun telah dibatasi oleh rasulullah baik jumlahnya maupun sistemnya, pemimpin yang dimaksud
wajib untuk mengadakan dan mengangkatnya disini adalah khalifah yang satu untuk seluruh kaum muslim,
sebagaimana yang dimaksud dalam hadits rasulullah saw.
Dulu Bani Israil diurus urusannya (tasusu) oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, Nabi yang lain
menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku dan akan ada para khalifah, yang berjumlah banyak”
Para sahabat bertanya “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. Bersabda: “Penuhilah baiat
yang pertama saja dan yang pertama saja (satu khalifah suntuk seluruh kaum muslim), dan berikanlah kepada
mereka hak mereka (ketaatan). Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang
mereka urus (HR. Bukhari)
Sehingga dapat kita fahami, dalam dalil-dalil diatas dan masih banyak lagi dalil yang lainnya,maka pemimpin yang
dimaksud dalam Islam adalah pemimpin yang satu untuk seluruh muslim, menerapkan al-Qur’an dan as-Sunnah
dalam suatu bingkai sistem kepemimpinan yang dinamakan khilafah. Inilah yang wajib untuk diadakan dan
diperjuangkan.
Fakta yang terjadi saat ini, pemimpin yang dipilih dalam sistem sekuler (sistem yang dipakai hampir di seluruh dunia,
termasuk negeri kita), adalah pemimpin yang akan menerapkan hukum sekuler, yaitu thaghut pengganti hukum
Allah. Fungsi pemimpin dalam sistem tidak ubahnya seperti masinis yang menjalankan keretanya, rel dan tujuannya
takkan pernah berubah walau pemimpinnya soleh. Atau mudahnya, ketika kita memilih pemimpin untuk menerapkan
sistem thaghut ini, maka sesungguhnya kita telah berkontribusi pada setiap penyelewengan syariah yang dilakukan
oleh pemimpin.
Bila MUI lalu menyampaikan bahwa #haramgolput selama masih ada pemimpin yang amanah, pertanyaan kita,
adakah pemimpin yang amanah yang mau memperjuangkan syari’at Islam?! jangankan memperjuangkan, adakah
yang terbuka dengan jelas mengatakan keinginannya untuk mengambil amanah dari Allah untuk memperjuangkan
syari’at Islam?! Padahal dengan jelas amanah yang dimaksud dalam al-Qur’an yaitu menjadi pengelola di bumi
dengan apa yang Allah berikan yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanatkepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia (TQS
al-Ahzab [33]: 72)
Berdasarkan semua dalil diatas, jika pemimpin ini adalah pemimpin yang tidak menerapkan Islam (al-Qur’an dan as-
Sunnah), dan tidak menggunakan bingkai sistem khilafah untuk seluruh kaum muslim, maka bukan seperti ini
pemimpin yang diwajibkan oleh Islam untuk mengangkatnya.
Kedua, fatwa golput ini setidaknya menunjukkan beberapa indikasi, yaitu :
a) tekanan yang besar kepada pihak MUI untuk merealisasikan fatwa golput ini, sehingga fatwa dikeluarkan tanpa
melihat dasar hukum dan kondisi tempat berlakunya fatwa. Ilustrasinya begini, ada seseorang yang berada di
diskotik dimana pemimpinnya adalah DJ, kemudian ketika terjadi protes kepada DJ lantas ada orang lain yang
menyerukan “taat pada pemimpin adalah wajib!”. Sama seperti kondisi saat ini, hukum dan dalil Islam diterapkan
pada kondisi dan dasar sekuler.
(b) indikasi bahwa demokrasi telah gagal mengatur dan mengelola ummat, ummat semakin menyadari, bahwa pemilu
lima tahunan ini dan pemilu apapun bentuknya adalah sebuah siasat untuk memperdaya dan seolah-olah bertindak
atas nama ummat, pemilu hanya digunakan untuk mendapatkan legitimasi dari ummat, padahal ummatlah yang
paling dirugikan dengan semua keputusan yang diatasnamakan ummat. Demokrasi sesungguhnya hanyalah sebuah
slogan persamaan, slogan yang seolah menaruh ummat pada posisi utama, dan ummat sudah menyadari bahwa
demokrasi tidak lebih adalah propaganda yang hanya ada ketika kampanye saja.
(c) golput juga menunjukkan suatu pertanda keputusasaan elit politik yang tidak pernah melakukan proses edukasi
kepada masyarakat, sehingga ini termasuk langkah panik mereka. yaitu menggunakan kekuasaan dan persuasi
agama, yang lucunya agama itu selalu mereka kesampingkan ketika beraktivitas di parlemen. buruknya kinerja partai
politik, parlemen dan pemerintah harusnya yang menjadi perhatian, bukan ummat Islam yang golput, karena
golputnya ummat adalah karena korban buruknya kinerja partai, parlemen dan pemerintah
Maka sesungguhnya tidak ada tempat berharap bagi kaum muslim kecuali kepada sistem yang Allah turunkan yaitu
sistem Islam yang berbasis pada ak-Qur’an dan as-Sunnah. Marilah tetap pada perjuangan semula, menegakkan
kepemimpinan Islam yang menerapkan Islam, yang bangga kepada Islam dan mencintai ummat Islam sebagaimana
ummat Islam mencintai mereka. Maka ini tidak akan didapat, kecuali dalam bingkai daulah khilafah rasyidah.
wallahu a’lam bi ash-shawab
find me on @felixsiauw
www.felixsiauw.com
[www.bringislam.web.id]
top related