uasi ilmu sastra
Post on 01-Jul-2015
66 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
KOLONIALISME DALAM NOVEL JEJAK LANGKAH KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
(Kajian Poskolonial)
1. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana banyak karya seni, sastra tidak lahir dalam sebuah
kevakuman, sastra adalah seni kreatif yang dihasilkan oleh seorang pengarang
yang bersumber dari kehidupan pribadi pengarang sendiri maupun bersumber dari
lingkungan masyarakat sekitar, kemudian diolah melalui proses imajinasi.
Dalam penciptaan karya sastra, pengarang merekam gejala-gejala sosial
yang terjadi dalam masyarakat yang menjadi inspirasi lahirnya suatu karya sastra.
Segala fenomena dan permasalahan dalam masyarakat dijadikan objek dalam
dunia sastra. Luxemburg (1989:23) mengungkapkan bahwa karya sastra dapat
dipandang sebagai gejala sosial. Ia merupakan cermin kehidupan, hal itu berarti
bahwa sastra dapat menggambarkan kenyataan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, jadi lingkungan sosial yang terdapat di sekeliling pengarang sangat
memengaruhi lahirnya suatu karya sastra. Pengarang mengadakan pengamatan
pada suatu masyarakat dan mengidentifikasi segala fenomena yang terjadi di
dalamnya, kemudian dijadikan objek suatu karya sastra. Segala peristiwa terutama
peristiwa-peristiwa penting dan momen-momen bersejarah yang telah terjadi
dalam suatu masyarakat merupakan hal yang menarik untuk diangkat menjadi
karya sastra, pengarang menjadikan sejarah sebagai inspirasi dalam pembuatan
karya sastra.
Sepanjang perjalanan sejarah, bangsa Indonesia merupakan salah satu
negara yang pernah mengalami penjajahan selama 3,5 abad, bangsa Indonesia
tidak mungkin lepas dari konstruksi kolonial, imperalisme, dan kolonialisme
Belanda yang pernah terjadi di Indonesia. Imperalisme telah meninggalkan kisah
dan fakta yang menyedihkan. Imperialisme tidak hanya memposisikan wilayah
jajahan sebagai suatu wilayah tempat terbukanya peluang bagi eksploitasi sumber
ekonomi, melainkan juga sebuah dunia sosial dalam kultur asing yang berbeda
dari dunia sosial yang terjajah.
2
Tidak semua bangsa terjajah menerima secara pasif kondisi kolonial
tersebut. Mereka melakukan semacam perlawanan terhadap bentuk-bentuk
kolonial. Para golongan terdidik juga tergerak merumuskan dan juga
memperjuangkan terciptanya masyarakat yang memiliki identitas dan budaya
nasional sebagai alat pemersatu untuk membedakan identitas muka dengan bangsa
Barat.
Selama ini, hubungan antara penjajah-terjajah atau bekas jajahan adalah
hubungan yang hegemonik, penjajah sebagai keluarga superior dibandingkan
dengan pihak terjajah yang inferior. Hubungan penjajah dan terjajah yang bersifat
hegemonik, maka muncullah yang disebut dominasi dan subordinasi, dari pola
hubungan tersebut muncullah gambaran yang tidak menyenangkan mengenai
pihak terjajah sebagai kelompok masyarakat Bar-bar tidak beradab, bodoh, aneh,
mistis dan tidak rasional (Gandhi:2001)
Sesuai dengan berbagai pendapat yang telah dijelaskan, maka dapat
disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kolonial tidak hanya berupa penindasan, tetapi
juga berupa dominasi terhadap kehidupan sosial terjajah dan budaya bangsa
terjajah, karena adanya berbagai bentuk kolonial yang dilakukan bangsa Eropa
terhadap bangsa pribumi, maka bangsa pribumi dilaksanakan dengan
merencanakan berbagai ide nasionalis, dan membentuk gerakan-gerakan
kebangsaan, agar terwujud suatu bangsa yang bersatu dan berdaulat.
Karya Pramoedya terbesar yang merupakan tetralogi karya baru, meliputi
Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, dan Rumah Kaca
merupakan latar belakang realitas sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Tetralogi Pramoedya ini pernah dilarang beredar sehubungan dengan keterlibatan
pengarangnya dalam organisasi LEKRA yang dianggap sebagai perpanjangan
tangan PKI. Pelarangan tersebut pada dasarnya dikarenakan adanya penilaian
sepihak dari pemerintah pada waktu itu, kemungkinan besar mereka tidak pernah
membaca secara sungguh-sungguh apa yang ditulis Pramoedya dalam novel-
novelnya.
Novel Jejak Langkah merupakan novel ke dua dari tetralogi Pramoedya.
Novel ini pertamakali diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra pada tahun 1985.
3
Alasan dipergunakannya novel tersebut karena novel ini benar-benar mewakili
imajinasi Pramoedya yang sesungguhnya tentang fenomena penindasan,
pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan perjuangan pergerakan nasional rakyat
pribumi untuk menentang fenomena penindasan dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusi tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Kurniawan (2002:1) hal lain
yang khas dan senantiasa menjadi prioritas kepengarangannya, Pramoedya
seringkali melatarbelakangi karyanya dengan realitas sejarah. Pramoedya banyak
mengambil latar belakang masa sebelum PD II terutama kehidupan di sekitar kota
Blora tempat ia tinggal sewaktu kecil, serta masa-masa seputar revolusi
kemerdekaan.
Novel ini menggambarkan sebuah kurun sejarah, hubungan antar
manusianya dan perjuangan pergerakan nasional yang terjadi pada abad itu, maka
dari itu pemilihan novel ini dirasa tepat, karena didalamnya terdapat
penggambaran yang menonjol mengenai berbagai bentuk kolonial, rasa
nasionalisme dan perjuangan pergerakan.
Novel Jejak Langkah menggambarkan perjuangan serta revolusi novel ini
menggunakan latar sejarah pergerakan nasional di zaman penjajahan Belanda.
Tokoh Utama yakni Minke merupakan perwujudan dari Tirto Adhisoerja, seorang
pelopor pergerakan nasional di Indonesia, seorang inisiator kebangkitan kesadaran
nasional.
Minke merupakan seorang pribumi yang beruntung, dia berkesempatan
memperoleh pendidikan di Eropa dan mempunyai pergaulan yang luas dengan
golongan bangsa Belanda dan Indo Eropa, kemudian dia jatuh cinta dengan
seorang wanita Tiong Hoa yang bernama Ang San Mai, dia merupakan seorang
wanita pejuang Tiong Hoa dan dia juga mendorong Minke untuk segera
mendirikan organisasi perjuangan seperti yang dilakukan oleh bangsa Tiong Hoa
pada saat itu.
Novel Jejak Langkah lebih menekankan tentang gambaran sejarah
kolonialisme Belanda terhadap pribumi pergerakan nasional, serta awal
tumbuhnya organisasi modern di Indonesia seperti: Boedi Oetomo, serta
gambaran bentuk-bentuk penindasan bangsa Eropa terhadap bangsa pribumi.
4
Novel Jejak Langkah ini menarik untuk diteliti karena menampakkan
adanya semangat nasionalisme bangsa pribumi yang melawan bentuk-bentuk
kolonial bangsa Eropa baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya.
2. Fokus Penelitian
Adapun fenomena yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
kolonialisme yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta
Toer. Fokus pada penelitian ini adalah “Bagaimana bentuk kolonialisme dalam
novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer?”
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan bentuk kolonialisme dalam
novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.
4. Kajian Teori
4.1 Poskolonial
Kelahiran teori poskolonial di awali oleh penemuan Edward Said tentang
Orientalisme. Said dalam Ratna (2008:27) mengatakan bahwa orientalisme adalah
suatu cara, metode, bahkan sebagai ilmu dengan sendirinya dilakukan secara
sistematis dan diciptakan secara disengaja untuk memahami dunia Timur atas
dasar pemikiran dunia Barat. Poskolonial sebagai teori bertugas untuk
membongkar maksud-maksud yang tersembunyi dalam pemikiran barat mengenai
dunia Timur, karena orientalisme dianggap sebagai varian dari kolonialisme,
namun lebih berbahaya karena merupakan bentuk dari kolonial dalam ranah teks
yang dihasilkan orang-orang orientalis seperti pengajar, peneliti, sastrawan,
novelis, dan penyair. Orientalisme dianggap sebagai kolonialisme karena dalam
teks-teks tersebut terdapat pemikiran bahwa Barat ialah ‘superior’ daripada
Timur.
Poskolonialisme dapat dipahami sebagai pendekatan kritis dalam
memahami efek-efek kolonialisme yang terus ada didalam teks-teks
(Foulcher,2008:3). Ciri khas poskolonialisme dibandingkan dengan teori-teori
5
postmodernisme yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks
yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium Eropa, khususnya
Indonesia (Ratna, 2007:220).
Manneke Budiman (Foulcher:2008) mengemukakan bahwa
poskolonialisme secara longgar dipahami sebagai suatu kajian tentang bagaimana
sastra mengungkapkan ‘jejak-jejak’ kolonialisme dan konfrontasi ‘ras-ras, bangsa-
bangsa, dan kebudayaan-kebudayaan’ yang terjadi dalam lingkup ‘hubungan
kekuasaan yang tak setara’ sebagai dampak dari kolonialisasi Eropa atas bangsa-
bangsa di dunia ketiga. Jejak-jejak yang terdapat dalam sebuah karya sastra
tersebut dapat diketahui melalui sikap pribumi dalam menyikapi budaya-budaya
yang telah ditularkan oleh bangsa Eropa. Secara tidak langsung dengan
mempelajari budaya Eropa yang melekat di dalam diri pribumi, maka jejak-jejak
kebudayaan yang ditinggalkan oleh bangsa Eropa dapat terlihat. Disitulah teori
poskolonial berusaha untuk mengungkapkan.bagaimana kebudayaan itu dipakai.
Istilah poskolonialisme merupakan refleksi rekonstruksi hal-hal yang
bersifat dikotomi antara dunia Barat dan dunia Timur atau penjajah dan terjajah,
itu berarti poskolonial dapat digunakan untuk mengungkapkan semua aspek
budaya yang pernah dilakukan oleh ekspansi bangsa Eropa.
Lebih lanjut An-Nabhani (2001:33) berpendapat bahwa ketika muncul
ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menguasai negeri, maka akan
timbul cikal bakal ikatan untuk mempertahankan negerinya. Penguasa kolonial
menggunakan ideologi untuk memerintah rakyat, sedangkan rakyat merasa
bertentangan dengan ideologi tersebut, oleh sebab itu, rakyat adalah yang dikuasai
juga menggunakan ideologinya sebagai wujud perlawanan terhadap penguasa.
4.2 Kolonialisme
Kolonialisme berasal dari bahasa latin colonia, berarti pertanian,
pemukiman, dengan kata lain penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta
penduduk asli oleh penduduk pendatang (Sutrisno, 2008:9), jika dikaitkan dengan
bangsa Indonesia, maka kolonialisme yang terjadi ialah kolonialisme yang
dilakukan oleh bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia selama 3,5 abad,
6
melalui kolonialisme itu terjadi sebuah kisah tentang pembuatan dunia historis,
atau bisa juga kita berpendapat merupakan suatu cara penduniaan dunia seperti
Eropa (Gandhi:2007) atau dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk kolonial dari
bangsa Eropa yang menjadi sebuah bentuk poskolonial dalam diri pribumi.
Kolonialisme yang terlahir sebagai akibat dari ketidak seimbangan antara
pedagang dengan pribumi menyebabkan terjadinya penanaman kultur atau budaya
baru yang dibawa oleh pendatang. Reaksi yang timbul dari dalam diri pribumi
itulah merupakan sebuah bentuk poskolonial. Gandhi (2007:21) juga mengatakan
bahwa kolonialisme menjajah pikiran sebagai pelengkap penjajahan tubuh dan ia
melepas kuasa kekuasaan dalam masyarakat tejajah untuk mengubah berbagai
prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya.
Kartodirjo (dalam ratna, 2008: 11) mengatakan bahwa kolonialisme dipicu
oleh faktor penguasaan ekonomi dengan tidak menutup kemungkinan adanya
faktor lain seperti politik, agama, dan petualangan. Ia juga mengatakan (dalam
ratna, 2008; 23) bahwa liberalisme, humanisme, dan kristianisme ikut serta
membentuk kolonialisme di Indonesia.
Ratna (2008:15-20) mengatakan bahwa diskriminasi merupakan salah satu
ciri kolonialisme. Sekaligus mewarnai kehidupan masyarakat Indonesia, selain
dalam bidang pendidikan juga terjadi dalam pembagian kerja dan pergaulan
sehari-hari pada umumnya dalam bidang pemerintahan. Penduduk pribumi hanya
bisa menduduki jabatan-jabatan terendah implikasinya pada giliranya menyangkut
perbedaan upah. Dalam pergaulan sehari-hari ada perbedaan yang sangat besar
antara kelompok kulit putih dan sawo matang, seperti perbedaan tempat tinggal,
perkumpulan-perkumpulan seperti olah raga, taman hiburan dan kelompok sosial
lainnya, konotasi negatif dari kata kolonialisme timbul sesudah terjadi hegemoni,
sekaligus eksploitasi salah satu negara terhadap wilayah lainnya.
Faranzt Fanon (dalam Sutrisno dan Putranto, 2004:13) kolonialisme
banyak diartikan sebagai penonmanusiawian (dehumanizatio) rakyat di daerah
koloni orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan seperti manusia, ttetapi lebih
sebagai benda.
7
Loomba (2003:8) mengungkapkan bahwa kolonialisme menjajah pikiran
sebagai pelengkap penjajahan tubuh dunia melepas kuasa kekuasaan dalam
masyarakat terjajah untuk mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk
sekali dan selamanya. Dalam proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi
konsep tentang Barat modern dari sebuah entitas geografis dan temporal kesubuah
kategori psikologis. Barat saat ini ada dimana-mana, di Barat dan di luar Barat,
dalam berbagai struktur dan dalam berbagai struktur dan dalam seluruh pikiran.
Jadi kolonialisme merupakan penaklukan dan penguasaan atas tanah dan
harta benda rakyat lain dengan cara menindas dan memperlakukan orang-orang
yang dijajah sebagai benda. Kolonialisme tidak hanya melakukan penindasan
terhadap fisik saja tapi juga telah melakukan penjajahan terhadap kehidupan
sosial, ekonomi, pikiran, jiwa, budaya. Kolonialisme telah menggunakan strategi-
strategi dan metode-metode untuk menguasai.
5. Pembahasan
5.1 Bentuk Kolonialisme dalam Novel Jejak Langkah
Sejak awal kedatangan kolonial Belanda di bumi Hindia, mereka sudah
mempunyai gambaran tentang bangsa pribumi. Jadi mereka dapat mudah
menguasai dan menaklukkan bangsa pribumi. Bangsa pribumi digambarkan
sebagai manusia bodoh, primitif dan terbelakang, oleh karena itu bangsa pribumi
dianggap sebagai benda.
Berbagai upaya dilakukan oleh bangsa Belanda untuk dapat memusnahkan
bangsa Hindia. Bangsa penjajah menganggap bahwa bangsa pribumi dianggap
sebagai benda, bangsa pribumi selalu diperlakukan secara nonmanusiawi.
Kolonialisme tidak hanya melakukan penindasan terhadap fisik saja seperti
adanya kontak senjata, peperangan, pengusiran, dan tindakan kekerasan lainnya.
Oleh karena itu, analisis pada pembahasan ini mengulas bentuk-bentuk
kolonialisme ras, hukum dan kolonialisme terhadap hak wanita.
8
5.2.1 Bentuk Kolonialisme Ras
Bangsa Barat selalu merasa bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada
bangsa pribumi, apapun yang menyangkut tentang diri pribumi, selalu dianggap
hina oleh bangsa Belanda, sehingga pribumi selalu dibedakan dalam semua segi
kehidupan.
“Tersinggung juga, Hati sudah mulai tidak enak, kata-kata seperti itu tidak patut ditujukan kepadaku. Belum lagi mulai belajar sudah hendak dikeping-keping.”“Jawa kan?”Semakin menyakitkan. Melihat aku tak menjawab dan menatapnya dengan pandang menantang, ia tak bertanya lagi” (JL.hal.8)
Dengan adanya, “Jawa kan?” yang dilontarkan oleh seorang bangsa Eropa
merupakan suatu bentuk pembedaan ras, pribumi, selalu dipandang dengan mata
terpicing, selalu dianggap rendah.
Adanya pembedaan ras juga dibuktikan adanya peraturan yang terdapat
pada sekolah dokter. Peraturan tentang cara berpakaian yang harus sesuai dengan
suku bangsanya.
“Dimana-mana memang ada tata tertib. Mengapa yang disini begini menyakitkan? Sebagai orang Jawa. Sebagai siwa harus berpakaian Jawa: daster, baju tutup, kain batik dan cakar ayam! Tak boleh beralas kaki (JL:hal 8)
Peraturan tersebut merupakan bentuk klasifikasi berdasarkan ras, karena
dalam suatu lembaga pendidikan, seharusnya tidak membedakan siswanya dan
seharusnya semua siswa dari bangsa manapun mendapat perlakuan yang sama.
Adanya perlakuan tersebut merupakan salah satu bentuk merendahkan martabat
bangsa pribumi. Minke sebagai seorang pribumi yang berpikiran modern merasa
dirinya sangat direndahkan dengan adanya peraturan tersebut, pembedaan tersebut
membuat dirinya merasa dalam ketidakadilan.
“Belum lagi sempat mengambil sikap, seorang berpawakan besar, mengamat-amati kopor coklat tua dari kaleng cekung dan cembung itu, berteriak dalam Belanda Indo:“Lihat ini! Hanya anak dusun busuk berkopor lebih busuk semacam ini ”
9
“Rupa-rupanya, ia yang bersepatu dalam asrama ini, tentu bukan Sunda, Jawa, Madura atau Bali, juga bukan Melayu. Mungkin memang peranakan Eropa” (JL: hal 9-10)
Bangsa Eropa selalu menganggap kedudukannya lebih tinggi daripada
pribumi, jadi dia merasa mempunyai hak untuk melakukan penghinaan dan
merendahkan harga diri bangsa pribumi. Naun tidak hanya golongan bangsa
Eropa saja yang menganggap dirinya lebih unggul daripada bangsa pribumi, tapi
juga bangsa Tionghoa, merasa dirinya mempunyai kedudukan lebih tinggi
daripada pribumi.
Suatu bangunan mewah yang bernama kamarbola De Harmonie
merupakan tempat bangsa Eropa berkumpul. Hampir tidak pernah ada pribumi
yang memasuki kamarbola De Harmonie sebagai tamu. Bangunan itu mempunyai
suatu peraturan bahwa pribumi dilarang memasuki ruangan itu.
“Dan aku sebagai pengurus kamarbola ini, mewakili semua anggota mengutuk Tuan karena telah membawa seorang pribumi masuk ke sini. Tuan sendiri tahu aturan itu (JL:hal 37)“Dan protokol yang menganggap dirinya bijaksana itu menatap aku dengan pandangan menuding; kau orang yang tak pernah diundang, resmi atau tidak, kau pribumi busuk, sudah merusak acara yang semestinya indah” (JL: hal 36)
Bangsa pribumi tidak pantas memasuki kamarbola De Harmonie, pribumi
dianggap sebagai bangsa berkedudukan rendah yang selalu membuat ricuh dan
tidak pantas berkumpul dengan bangsa Eropa yang mempunyai martabat dan
kedudukan tinggi. Pembedaan ras terlihat jelas sekali yaitu adanya peraturan
bangsa pribumi tidak boleh memasuki kamrbola De Harmonie dan semua anggota
yang kesemuanya merupakan bangsa Eropa mengutuk hadirnya Minke dalam
acara tersebut. Bangsa pribumi yang sudah masuk kamarbola De Harmonie,
biasanya hanya sebagai jongos atau kuli. Bangsa Eropa merasa kedudukannya
lebih tinggi daripada bangsa pribumi dapat dilihat dari Si protokol, yang merasa
dirinya bijaksana dan menganggap Minke sebagai manusia busuk.
Pada dasarnya ras yang berbeda merupakan sebagai pelengkap hidup,
namun jika ras tersebut dibedakan dan salah asatu ras merasa lebih unggul dari ras
yang lain dan melakukan penghinaan atas ras tersebut merupakan salah satu
10
bentuk kolonialisme. Hal ini sesuai dengan pendapat Sutrisno dan Putranto
(2004:129) bahwa ras merupakan klarifikasi sosial atas dasar keturunan dengan
ciri-ciri tertentu seperti warna kulit, tekstur tubuh, bahasa dan lain sebagainya.
Sedangkan Rasisme adalah salah satu persoalan yang terkait erat dalam wacana
kolonialisme. Kolonisasi Barat atas dunia Timur menyimpan sebuah ism tentang
keunggulan bangsa Eropa.
5.2.2 Bentuk Kolonialisme Hukum
Setiap manusi terikat dengan hukum dimanapun dia berada dan tanpa
terkecuali, oleh karena itu tidak ada manusia yang kebal terhadap hukum. Bangsa
Belanda merupakan bangsa yang lebih unggul dan modern dalam segala hal.
Kebanyakan mereka mengerti tentang hukum tidak seperti bangsa pribumi yang
kebanyakan dari mereka yang awam hukum. Kebutaan bangsa pribumi terhadap
hukum ini menjadi suatu obyek bagi bangsa Belanda untuk melakukan
kolonialisme, karena dengan pengetahuan mereka tentang hukum, maka mereka
mempunyai alasan untuk memperkuat posisinya tinggal di bumi Hindia dan
memperoleh kejayaan. Hukum yang ada sebenarnya telah disalahgunakan untuk
kepentingan pribadi bangsa Eropa tanpa memperhatikan kesejahteraan bangsa
pribumi.
“Memang ada banyak teori tentang hukum, setidak-tidaknya hukumlah yang membuat Eropa jaya sampai sekarang. Tetapi begitu orang Eropa keluar dari benuanya, banyak kala mereka lupa pendidikan rumah dan hukum yang membesarkannya” (JL: hal 428)
Bangsa Eropa yangberada di negeri Hindia kebanyakan memahami
hukum, namun untuk kepentingan kolonial, mereka melupakan aturan-aturan
hukum sebenarnya dan melakukan pembenaran atas semua tindakannya yang
melanggar hukum, karena berambisi untuk mendapatkan kejayaan di bumi
Hindia, maka mereka bertindak sesuka hati untuk membodohi bangsa pribumi
yang tidak mengetahui hukum, mereka bebas menghukum bangsa pribumi yang
melakukan perjuangan untuk memperjuangkan hidupnya. Bangsa Belanda bebas
mempbuat peraturan yang mengikat dan menyengsarakan bangsa pribumi.
11
“Koran-koran mengatakan antara lain: kejahilan, kejahatan, dan kebiadaban, yang terjadi dalam landscap sudah tak dapat ditanggung lebih lama lagi oleh Gubermen Hindia Belanda yang mewakili peradaban Eropa dan Kristen. Aturan Hindia Belanda harus jadi aturan mereka, yang mengikat penduduk dan pemukanya pada Hindia Belanda”
Belanda membuat peraturan-peraturan yang mengikat bangsa pribumi,
bangsa Belanda bisa mengendalikan bangsa pribumi, jika bangsa pribumi ada
yang melanggar peraturan tersebut, maka akan mendapatkan sanksi yang tidak
ringan. Namun seringkali Belanda melanggar semua aturan yang mereka buat
sendiri, karena merasa kedudukannya lebih tinggi daripada pribumi, maka bangsa
pribumi banyak tidak mengerti tentang hukum, maka bangsa Eropa mampu
bertindak sewenang-wenang termasuk melanggar hukum itu sendiri. Pada
dasarnya pejabat pemerintah Belanda sering melakukan sesuatu di luar ketentuan
hukum.
“Tentang hukum, Tuanlah yang lebih mengetahui. Rasanya-rasanya suatu kejanggalan: Belanda sendiri yang membikin hukum itu, dan Belanda sendiri yang menerjangnya. Kan itu bukan sekedar lelucon mahal” (JL: hal 430)
Bentuk adari perlakuan di luar hukum oleh pejabat Belanda adalah
pembuangan terhadap pribumi yang dianggap berbahaya bagi keberadaan Belanda
di bumi Hindia.
“Hendrik, mungkinkah seorang kontrolir bisa membuang orang tanpa melalui saluran hukum?”“kan itu sudah terjadi, bukan hanya di Hindia, juga dinegeri jajahan lainnya. Memang bukan satu-satunya”“Minke, menurut hukum satu-satunya orang yang boleh berbuat sewenang-wenang berdasarkan hak yang ada padanya adalah Gubermen Jenderal (JL: hal 421)
Seorang Gubernur Jenderal mampu melakukan sesuatu yang berada di luar
hukum, mereka mempunyai hak untuk berbuat sewenang-wenang terhadap
siapapun. Gubernur mempunyai kekuatan melaksanakan hukum, tapi dia juga
mempunyai kekuatan melakukan sesuatu di luar hukum. De Knijpers T.A.I dan
De Zweep, merupakan kelompok yang bertugas menghacurkan organisasi pribumi
yaitu SDI, ternyata mereka mempunyai hubungan kerjasama dengan pemerintah
12
Belanda sehingga kerjasama antar kelompok-kelompok tersebut dengan
pemerintah Belanda merupakan sebuah bentuk perlakuan di luar hukum.
“Sandiman pernah memperingatkan aku, pengemanan tidak lain dari seorang komisaris polisi Batavia-centrum. Bila itu benar, tentu tidak lain dari dia yang tahu – Pengemanan itu- bahwa aku sedang bersama dengannya waktu penembakan itu terjadi. Dan bila benar peringatan Sandiman , jelas ada hubungan mesra antara pihak kepolisian dengan De Knijpers, T.A.I maupun De Zweep. Jadi selain Gubermen mempunyai kekuatan yang katanya melaksanakan hukum, juga mempunyai kekuatan di luar hukum (JL: hal 440)
Gebermen tidak mau menindak De Knijpers yang telah melanggar hukum
dengan melakukan kerusuhan dan perkelahian terhadap pribumi. Sikap Gubermen
tersebut merupakan salah satu bentuk kolonialisme hukum, karena gubermen telah
melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri. Gubermen tidak mau menindak
perbuatan anarkis yang dilakukan oleh De Knijpers, karena De Knijpers
merupakan kelompok yang bekerjasama dengannya dalam menghancurkan
organisasi pribumi dan menghambat kemajuan bangsa pribumi.
Adanya pengusiran dan pengucilan yang dilakukan bangsa Belanda
terhadap petani gula tidak pernah diproses melalui hukum, karena pemerintah
menganggap bangsa pribumi pantas menerima perlakuan tersebut dan bangsa
pribumi tidak pantas untuk dibela.
“Lagi pula” kataku lagi “sepanjang kuketahui”-moga-moga saja tidak keliru polisi tidak pernah melakukan pengusutan terhadap pengucilan dan pengusiran yang dilakukan oleh pabrik gula”. (JL: hal 36)
Polisi sebagai penegak hukum seharusnya melaksanakan dan menindak
seseorang yang melakukan kejahatan dan yang telah melanggar hukum, namun
polisi tidak pernah melakukan pengusutan terhadap petani yang telah diusir dan
dikucilkan terhadap bangsa pribumi dan tidak ingin mengusut tentang kasus yang
menyangkut kekejaman Belanda terhadap petani gula, karena hal tersebut akan
merugikan kepentingan Belanda dalam memperoleh keuntungan.
“Ya dagang yang berpolitik, dan politik yang berdagang, dwi tunggal yang bikin sengsara bangsa-bangsa jajahan, Tuan Hadji, kalo Tuan pernah dengar tentang politik ethiek itulah dia isinya, yang jadi sasaran politik
13
itu adalah pribumi, dan pribumi tetap hidup dalam kapiran dalam kemiskinan. (JL:hal 306)
Adanya politik ethiek tidak membawa perubahan terhadap kesejahteraan
pribumi, pada kenyataannya pribumi semakin tertindas, terutama kekejaman
terhadap petani gula yang selalu dirugikan dan ditindas oleh Belanda. Belanda
tidak pernah memperhatikan kesejahteraan pribumi, politik etik hanyalah omong
kosong belaka karena kolonialisme tetap merajalela di Hindia.
Gambaran bangsa Eropa tentang pribumi sebagai makhluk jahat,jahil dan
biadab membuat bangsa Belanda mempunyai alasan untuk mengambil alih hukum
yang sudah ada di Hindia, seperti yang diungkapkan oleh Lomba (2003: 76)
kolonialisme memperluas kontak antara orang-orang Eropa dengan non Eropa
menimbulkan banjir besar. Gambaran-gambaran dan gagasan-gagasan menjadi
satu bentuk yang tidak perbah terjadi sebelumnya. Orang-orang Eropa yang
bepergian ke luar negara mereka membawa gambaran-gambaran tertentu yang
sudah ada tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka temui.
5.2.3 Bentuk Kolonialisme Budaya
Sebagai bangsa yang mengalami penjajahan panjang dan hidup
berdampingan dengan bangsa Belanda merupakan salah satu faktor bangsa
pribumi untuk dapat mncerna, mengenyam, mengagumi segala bentuk budaya
bangsa penjajah. Hal itu merupakan suatu bentuk kolonialisme budaya yang
disebarkan secara halus atau secara ideologis, sedangkan pribumi tidak sadar
bahwa dia telah mengalami kolonialisme.
“Meninggalkan daerah pelabuhan, tren seperti tersasar di daerah rawa-rawa, di sana-sini, di rimba, semak, dan hutan belukar, udara baru, reruntuhan dedauanan membusuk, monyet-monyet bergelantungan pada dahan-dahan, tak gentar mendengar lonceng kuningan ...... (JL:hal 2)“Dahulu sepanjang Ciliwung berdiri sederetan tak putus-putusnya rumah-rumah mewah, kata orang sebagaian besar telah jadi toko..... (JL:hal 4-5)
Pada kutipan di atas, gaya berpakaian Minke sama seperti bangsa Belanda
dan pemikirannya ingin mnjadi manusia modern dan melepaskan segala adat dan
budaya yang selama ini dia rasa membelenggu dirinya menjadi manusia modern,
14
itulah keinginan Minke. Hal itu tidak hanya terjadi pada Minke saja, tetapi juga
pada Abdul Muis, seorang pegawai yang bekerja di kantor orang Benlanda, karena
kekagumannya pada budaya, berpakaian, dan gaya hidup bangsa Belanda yang
modern, maka dia melakukan peniruan terhadap budaya bangsa Belanda.
Kolonialisme budaya juga dialami oleh para siswa pribumi sekolah dokter, di saat
waktu senggang atau hari libur, mereka melepaskan pakaian adatnya dan berganti
dengan pakaian eropa agar mereka dapat mencari wanita-wanita atau Nyai-nyai
dengan merdeka.
“Setiap siswa membutuhkan satu keluarga. Di sana dia dapat melepas pakaian kebangsaan dan berganti pakaian eropa, jadi sinyo. Dengan pakaian eropa orang dapat bebas” (JL:hal 345)
Kolonialisme budaya yang terjadi pada siswa pribumi sekolah dokter
merupakan peniruan terhadap budaya berpakaian bangsa Belanda dan gaya hidup
bebas yang selalu dilakukan bangsa Eropa. Semua itu merupakan klolonialisme
yang sengaja ditanamkan oleh bangsa Belanda, sedangkan pribumi tidak
menyadari bahwa hal itu merupakan bentuk kolonialisme yang terjadi pada
dirinya.
top related