uang kembalian dari pelaku usaha yang tidak …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/sekar dhatu indri...
Post on 08-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
UANG KEMBALIAN DARI PELAKU USAHA YANG TIDAK SESUAI
DENGAN HAK KONSUMEN DI SPBU OVIS PURWOKERTO
(Tinjauan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen)
SKRIPSI
Oleh :
Sekar Dhatu Indri Hapsari
E1A007343
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
2
UANG KEMBALIAN DARI PELAKU USAHA YANG TIDAK SESUAI
DENGAN HAK KONSUMEN DI SPBU OVIS PURWOKERTO
(Tinjauan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Sekar Dhatu Indri Hapsari
E1A007343
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
iii
LEMBAR PENGESAHAN
UANG KEMBALIAN DARI PELAKU USAHA YANG TIDAK SESUAI
DENGAN HAK KONSUMEN DI SPBU OVIS PURWOKERTO
(Tinjauan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen)
Oleh :
SEKAR DHATU INDRI HAPSARINIM. E1A007343
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Isi dan Format telah
Diterima dan disetujui
Pada tanggal Februari 2013
Pembimbing I
Hj. Rochani Urip Salami, S.H.,M.S.NIP. 19520603 198003 2 001
Pembimbing II
I Ketut Karmi Nurjaya, S.H.,M.Hum.NIP. 19610520 198703 1 002
Penguji
Suyadi, S.H.,M.H.NIP. 19611010 198703 1 001
Mengetahui,Dekaan Fakultas Hukum,
UNSOED
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum.NIP. 19640923 198901 1 001
iv
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sekar Dhatu Indri Hapsari
NIM : E1A007343
Menyatakan bahwa Skripsi yang brjudul :
UANG KEMBALIAN DARI PELAKU USAHA YANG TIDAK SESUAI
DENGAN HAK KONSUMEN DI SPBU OVIS PURWOKERTO
(Tinjauan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen)
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri, tidak menjiplak hasil
karya orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Bila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, Februari 2013
SEKAR DHATU INDRI HAPSARI
NIM. E1A007343
v
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, setelah
melalui proses yang cukup panjang, akhirnya skripsi dengan judul: “UANG
KEMBALIAN DARI PELAKU USAHA YANG TIDAK SESUAI DENGAN
HAK KONSUMEN DI SPBU OVIS PURWOKERTO (Tinjauan Yuridis
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen)” telah terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.
Sebagai manusia yang masih harus banyak belajar, penulis sadar bahwa
penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan, baik
secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh karenanya, dengan segala
hormat, penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan masukan dan motivasi untuk tetap
berproses dalam perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini;
Bapak Edi Waluyo, S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan
atas segala kosultasi dan masukan yang baik mengenai judul skripsi yang
diambil;
Ibu Hj. Rochani Urip Salami, S.H., M.S. selaku Pembimbing I Skripsi atas
segala wawasan, saran, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada
vi
penulis, sehingga penulis dapat selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir
lebih baik;
Bapak I Ketut Karmi Nurjaya, S.H.,M.Hum. selaku Pembimbing II Skripsi
atas konsultasi, saran, masukan, dan nasihatnya yang telah diberikan kepada
penulis selama ini, sehingga dapat menyelesaikan skripi ini;
Bapak Suyadi, S.H.,M.Hum. selaku penguji skripsi atas segala diskusi dan
masukannya untuk skripsi ini;
Seluruh dosen, staf dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto;
Kedua orang tua, bapak Agus Sularno dan ibu Ellia Nuryati yang tidak
pernah henti-hentinya mendoakan kelancaran dan kesuksesan penulis selama
ini;
Bapak Andiyanto Setyoadi selaku Pimpinan Pelaksana PT. Satria
Tirtamasgasindo beserta staf yang telah memberikan ijin untuk melakukan
penelitian dan atas informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini;
Pihak- pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca
maupun pihak lain yang membutuhkan, Amien….
Purwokerto, Februari 2013
Penulis
vii
ABSTRAK
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumentelah memberikan kekuatan hukum bahwa konsumen mempunyai kedudukanyang sama dengan pelaku usaha, serta untuk menumbuhkan kesadaran konsumenakan haknya terhadap pelaku usaha yang bertindak sewenang-wenang dan jugamenumbuhkan kesadaran akan kewajiban pelaku usaha. Permasalahan yangdiajukan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana perlindungan hukumterhadap konsumen yang uang kembaliannya tidak sesuai dengan hak konsumenberdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang PerlindunganKonsumen. Berkaitan dengan hak konsumen untuk menerima uang kembalian,manakala uangnya lebih dari yang semestinya digunakan untuk membayar diSPBU Ovis, adakalanya terjadi peristiwa yang tidak semestinya, dimana parapetugas yang melayani pernah tidak mengembalikan sisa uang yang semestinyaditerima oleh pihak konsumen. Tindakan ini tentu saja dapat dikategorikansebagai tindakan yang membuat konsumen merasa tidak nyaman.
Adapun metode penelitian yaitu yuridis normatif yaitu denganpengambilan data dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencariinformasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun literatur yang berkaitandengan penelitian, dimana hal ini bertujuan untuk mengetahui perlindunganhukum terhadap konsumen yang uang kembaliannya tidak sesuai dengan hakkonsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentangPerlindungan Konsumen.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah SPBU Ovis Purwokerto bertanggungjawab dalam memberikan uang kembalian yang tidak diberikan oleh operator danmelakukan tindakan tegas berupa pemecatan terhadap operator yangbersangkutan.
Kata Kunci : Uang Kembalian, Hak Konsumen, SPBU
viii
ABSTRACT
Law no. 8 of 1999 on Consumer Protection has given the force of law that theconsumer has an equal footing with businesses, as well as to raise consumerawareness of their rights against businesses that acted arbitrarily and also raiseawareness of liability businesses. The problems posed in the writing of this paperis how consumer protection laws against the change does not comply withconsumer rights Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection. With regard to theright of consumers to accept the change, when the money more than necessary isused to pay at the pump Ovis, sometimes events happen that should not, in whichthe officers who serve've not return the remaining money should be received bythe consumer. This course can be categorized as an action that makes consumersfeel uncomfortable.
The research method is that the normative data retrieval and data collection isdone by searching for information based on the documents and literature related tothe research, which it aims to determine the legal protection of consumers that thechange does not comply with consumer rights Act Law No. 8 of 1999 onConsumer Protection.
The conclusion of this study is the pump Ovis Navan responsible for providing hischange is not given by the operator and vigorous action in the form of dismissal ofthe operators concerned.
Keywords: Cash back, Consumer Rights, the pump
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ............................................................................ iv
PRAKATA................................................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................... vii
ABSTRACT................................................................................................. viii
DAFTAR ISI................................................................................................ ix
LAMPIRAN................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ....................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian............................................................................ 7
D. Kegunaan Penelitian ....................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 9
A. Perlindungan Konsumen................................................................ 9
1. Pengertian Perlindungan Konsumen ...................................... 9
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen............................ 14
3. Hak dan Kewajiban Konsumen............................................... 17
B. Pelaku Usaha ................................................................................... 19
1. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha.......................................... 19
2. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Pelaku Usaha ........................... 22
3. Tanggung Jawab Pelaku Usaha............................................... 25
x
C. Perjanjian ........................................................................................ 34
1. Pengertian Perjanjian............................................................... 34
2. Asas-Asas Perjanjian ................................................................ 38
3. Jenis-Jenis Perjanjian............................................................... 40
4. Perjanjian Jual Beli .................................................................. 46
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................... 52
BAB V PENUTUP....................................................................................... 74
Simpulan .......................................................................................... 74
Daftar Pustaka
xi
Daftar Lampiran
1. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari PT. Satria
Tirtamasgasindo Purwokerto
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Uang adalah alat tukar yang sah untuk melakukan transaksi baik barang
maupun jasa, dalam peradaban masyarakat modern saat ini. Dalam Agama Islam,
jual-beli atau muamalah mensyaratkan adanya “akad” sebagai salah satu syarat
sah-nya jual beli. Si penjual ikhlas melepas barang dagangannya dengan harga
tertentu, sedang pembeli pun ikhlas menebus barang yang dibutuhkannya dengan
harga tersebut. Misalnya sebuah sandal jepit dijual dengan harga Rp. 10.000,- dan
pembeli setuju membelinya dengan harga itu, maka sah-lah jual beli itu. Bahkan
seandainya barang yang sama dijual dengan harga Rp. 15.000,- sepanjang pembeli
setuju, maka tak jadi masalah.
Dalam sistem hukum barat (sebagaimana diatur dalam KUHPerdata),
dalam hubungannya dengan jual-beli dikonotasikan sebagai suatu perjajian,
dimana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan barang/jasa yang
diinginkan oleh pembeli (yang dalam hal ini bertindak sebagai konsumen) dan
pihak lain menyanggupi untuk membayarnya, namun dengan syarat adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak dengan dasar asas itikad baik. Ketentuan
tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Bahwa perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik.
2
Pembeli dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, sebagaimana
diatur dalam Undang-undang nomor 8 tahun 1999 adalah bertindak sebagai
konsumen. Konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi sebagaimana
diatur dalam Undang-undang tersebut. Mengingat betapa pentingnya hak-hak
konsumen, sehingga melahirkan persepsi bahwa hak-hak konsumen merupakan
Generasi Keempat Hak Asasi Manusia yang merupakan kata kunci dalam
konsepsi hak asasi dalam perkembangan umat manusia di masa yang akan datang.
Dimana persoalan hak asasi manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks
hubungan kekuasan yang bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-
hubungan kekuasaan yang bersifat horisontal, antar kelompok masyarakat, antara
golongan rakyat atau masyarakat, dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di
suatu negara dengan kelompok masyarakat di negara lain.
Menurut Sulistyowati :
Hak konsumen dalam artian yang luas ini dapat disebut sebagai dimensibaru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi darikemungkinan penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang dalamhubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsendengan konsumennnya.1
Akan tetapi kondisi itu juga dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha
dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen dalam posisi yang lemah.
Kelemahan konsumen yang telah kita kenali yaitu lemah dari segi pendidikan.
Konsumen berada pada posisi yang tidak mempunyai kekuatan dibandingkan
pelaku usaha, maka dari itu hak-hak konsumen harus dilindungi dari tindakan
pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, maka dalam hal ini diperlukan
1Sulistyowati; 1992, Akses Kepada Perlindungan Konsumen Sebagai Salah Satu Aspek
Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, hal 22
3
adanya norma-norma hukum yang diharapkan dapat memberikan perlindungan
hukum secara khusus bagi konsumen.
Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum.
Maka dari itu di dalam perlindungan konsumen juga terdapat aspek-aspek hukum.
Adapun hal-hal yang dilindungi tidak hanya berkaitan dengan fisik saja, tetapi
lebih kepada hak-haknya yang bersifat abstrak.
Selain memperoleh hak, sebagai Balance, konsumen juga memiliki
kewajiban yang tercantum dalam Pasal 5 UUPK, disebutkan bahwa kewajiban
konsumen adalah sebagai berikut :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut;
Pasal 1 angka 1 sampai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-undang nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa :
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
4
2. konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Berdasarkan pengertian konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1
maka jelaslah maksud dari perlindungan konsumen adalah untuk melindungi
konsumen dari tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya
demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.
Sebagai wujud perlindungan konsumen, maka jika sampai terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak konsumen oleh pelaku usaha, maka pihak
konsumen dapat mengadukannya kepada lembaga yang berwenang, hal ini
sebagaimana tercantum dalam Undang UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (1) :
Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan
umum.
Sebagai salah satu indikator pembangunan dan perkembangan
perekonomian nasional pada era globalisasi saat ini, maka berdirilah SPBU
5
(Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) di berbagai daerah. Bagi masyarakat atau
konsumen, kondisi yang demikian mempunyai manfaat karena kebutuhan
konsumen akan bahan bakar dapat dipenuhi secara mudah.
Ira Oemar dalam tulisannya mengungkapkan bahwa :
kini, dalam peradaban masyarakat modern, dimana pembayaran tidakhanya dilakukan dengan uang tunai, tetapi bisa menggunakan kartu debitdan kartu kredit, seringkali harga barang yang ditawarkan tidak bisadikonversi dengan nilai nominal mata uang yang tersedia. Sebut saja hargayang berakhiran Rp. 999,- Umumnya supermarket besar atau hypermarketbersaing dengan mengklaim mereka menjual barang dengan hargatermurah. Bahkan berani menggaransi jika ditemukan barang yang sama ditoko lain dengan harga lebih murah, mereka bersedia mengganti 2x lipatdari harga yang ditawarkan. Akibatnya, harga yang ditetapkan punberakhiran Rp. 99,-, Rp 10,-, Rp. 5,- dll, yang penting bisa dianggap lebihmurah.2
Pemilik SPBU dikategorikan sebagai pelaku usaha, dan pembeli sebagai
konsumen. Dalam interaksi jual beli antara SPBU dengan konsumen, dapat
dikatakan sebagai salah satu perjanjian jual beli, sekalipun perjanjian jual beli
secara tidak tertulis, yang mana pelaku usaha atau penjual mengikatkan diri
dengan pihak pembeli.
Masing-masing diantaranya mempunyai hak dan kewajiban. Hak dari
pelaku usaha adalah menerima uang atau pembayaran seharga bahan bakar
(bensin) yang telah dijual, kewajibannya adalah memberikan bensin yang dibeli
oleh pembeli dan memberikan semua yang menjadi haknya pembeli. Sedangkan
hak dari konsumen adalah mendapatkan bensin yang diinginkan, dan
kewajibannya adalah membayar sesuai dengan nominal yang tertera di layar
monitor.
2Ira Oemar dalam tulisannya yang berjudul "Trend Pembayaran Modern dan Penetapan
Harga oleh Produsen" Redaksi Kompas, 4 Juni 2012
6
Berkaitan dengan hak konsumen untuk menerima uang kembalian,
manakala uangnya lebih dari yang semestinya digunakan untuk membayar di
SPBU Ovis, adakalanya terjadi peristiwa yang tidak semestinya, dimana para
petugas yang melayani pernah tidak mengembalikan sisa uang yang semestinya
diterima oleh pihak konsumen, dan ini dialami oleh beberapa konsumen.
Jumlahnya memang tidak besar, namun tindakan ini tentu saja dapat dikatagorikan
sebagai tindakan yang membuat konsumen merasa tidak nyaman. Langkah yang
diambil oleh pihak SPBU adalah dengan memberi sanksi tegas kepada petugas
yang bersangkutan.
Sehubungan dengan masalah uang kembalian, Sulistyowatimengungkapkan bahwa :
uang kembalian dengan akhiran Rp 50,- dianggap tidak perlu dibayarkan.Sedangkan kembalian Rp. 100,- dan kelipatannya diganti dengan permen.Permen yang diberikan pun bukan atas pilihan konsumen. Jadi, padadasarnya dalam kasus kembalian diganti permen, mengabaikan prinsip"kesepakatan" antara pembeli dan penjual. Pertama : pembeli tak pernahberniat membeli permen, kedua : belum tentu permen yang dijadikansebagai "alat tukar" adalah permen yang disukai pembeli. Selain itu,benarkah harga nominal permen itu memang mewakili uang Rp. 100,-yang jelas, permen-permen itu untuk selanjutnya tak punya daya beli dantak berfungsi sebagai nilai tukar.3
Berdasarkan apa yang diungkapkan Sulistyowati di atas, dapat
disimpulkan bahwa bisa saja petugas SPBU sengaja melakukan hal itu atau yang
bersangkutan menganggap bahwa konsumen tidak mempermasalahkan mengingat
jumlah uang hanya berkisar Rp. 50,- sampai Rp. 200,-, namun mengingat ini
dilakukan berkali-kali, tentu saja akhirnya konsumen merasa haknya tidak
diberikan sebagaimana seharusnya.
3Sulistyowati, Uang Kembalian diganti Permen realita Jaman Sekarang, Redaksi
Kompasiana tanggal 22-09-2012
7
Berdasarkan fakta inilah, maka penulis tertarik untuk mengkaji
permasalahan tersebut dan membahas lebih dalam mengenai “Uang Kembalian
Dari Pelaku Usaha Yang Tidak Sesuai Dengan Hak Konsumen di SPBU Ovis
Purwokerto (Tinjauan Yuridis Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas maka dapat ditarik
perumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang uang
kembaliannya tidak sesuai dengan hak konsumen berdasarkan Undang-
Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya penelitian ini adalah:
Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen yang uang
kembaliannya tidak sesuai dengan hak konsumen berdasarkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Penelitian secara Teoretis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum dagang pada umumnya dan mengenai
perlindungan konsumen terhadap pengembalian uang kembalian yang
sesuai dengan hak konsumen pada khususnya.
2. Kegunaan Penelitian secara Praktis:
8
Untuk mengetahui sejauh mana penerapan hukun yang dilakukan oleh
pelaku usaha dalam tanggung jawabnya memberikan uang kembalian yang
sesuai dengan hak konsumen.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Setiap manusia pada dasarnya adalah bertindak sebagai konsumen. Ia
menjadi konsumen di mulai sejak lahir sampai meninggal dunia, bahkan untuk
kondisi tertentu bayi yang masih dalam kandungan pun sudah menjadi konsumen
yaitu konsumen yang berkaitan dengan kesehatan, yang diserap melalui jaringan
yang ada didalam kandungan. Pengertian masyarakat umum saat ini bahwa
konsumen itu adalah pembeli, pengguna jasa layanan, atau pada pokoknya
pemakai suatu jenis produk yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.
Dalam bukunya, Celina mengungkapkan bahwa :
Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun
berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apa pun pasti menjadi
konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu.4
Tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undnag nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, istilah Konsumen mempunyai definisi sebagai
berikut:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
4Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen,Jakarta: Sinar Grafika,2009,
Hal.5
10
A.Z. Nasution dalam bukunya menjelaskan bahwa :
Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-
Amerika), atau consument atau konsument (Belanda).5
Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo :
Di Amerika Serikat pengertian konsumen meliputi “korban produk yang
cacat” yang bukan hanya pembeli tetapi “pemakai”, bahkan korban yang
bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.6
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan usaha tidak sehat memberikan definisi konsumen sebagai berikut :
Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa,
baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.
Batasan ini mirip dan garis besar maknanya diambil alih oleh UUPK.
Dalam penjelasan resmi Undang-undang nomor 8 tahun 1999 menentukan
dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir yang artinya tujuan penggunaan barang dan atau jasabukan untuk untuk dijual kembali, sehingga mempunyai tujuan yang nonkomersil, seperti untuk kepentingan pribadi atau rumah tangga. Sedangkankonsumen antara, yaitu konsumen yang menggunakan barang atau jasauntuk kepentingan dijual kembali atau komersil.7
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo mengungkapkan bahwa :
Dalam kedudukannya sebagai konsumen antara (derived/intermediateconsumer), yang bersangkutan tidak dapat menuntut pelaku usahaberdasarkan UUPK, lain halnya apabila seorang pemenang undian,walaupun setelah menerima hadiah undian kemudian yang bersangkutan
5A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta: PT.Diadit
Media, 2006, Hal. 216
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, RajagrafindoPersada, Jakarta, 2004, Hal. 7
7Suyadi, Diktat Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen, (Fakultas Hukum UNSOED,
Purwokerto, 2000), Hal. 3
11
menjual kembali hadiah tersebut, kedudukannya tetap tetap sebagaikonsumen akhir (end consumer).8
A.Z. Nasution menegaskan dalam bukunya bahwa :
Makhluk lain dalam pengertian konsumen antara lain hewan dan atau
makhluk hidup lainnya yang dikonsumsi atau berada di sekitar konsumen.
Ia dapat berbentuk hewan ternak peliharaan seperti sapi, ayam, kambing,
kucing, dan sebagainya.9
Di Negara Spanyol, pengertian konsumen didefinisikan secara lebih luas,
yaitu: Konsumen diartikan tidak hanya individu atau orang, tapi juga suatu
Perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang
menarik disini, Konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli
sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.
Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semuaorang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsuumsi barang danatau jasa. Jadi yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen(consumer transaction) berupa peralihan barang dan atau jasa, termasukperalihan kenikmatan dalam menggunakannya.10.
Sedangkan pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 adalah
Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah memberikan cukup
kejelasan. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
8Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., Hal. 7-8
9A.Z. Nasution, op. cit., Hal. 33
10Celina Tri Siwi Kristiyanti, op. cit., Hal. 33
12
kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen.11 Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen
dan menemukan kaidah hukum konsumen dalam berbagai peraturan perundangan
yang berlaku di Indonesia tidaklah mudah, hal ini dikarenakan tidak dipakainya
istilah konsumen dalam peraturan perundang-undangangan tersebut walaupun
ditemukan sebagian dari subyek-subyek hukum yang memenuhi kriteria
konsumen.
Terdapat berbagai pengertian mengenai konsumen walaupun tidak terdapat
perbedaan yang mencolok antara satu pendapat dengan pendapatlainnya
Konsumen sebagai peng-Indonesia-an istilah asing (Inggris) yaitu consumer,
secara harfiah dalam kamus-kamus diartikan sebagai "seseorang atau sesuatu
perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu"; atau
"sesuatu atau seseorang yang mengunakan suatu persediaan atau sejumlah
barang". ada juga yang mengartikan " setiap orang yang menggunakan barang
atau jasa".
Dari pengertian di atas terlihat bahwa ada pembedaan antara konsumen
sebagai orang alami atau pribadi kodrati dengan konsumen sebagai perusahan atau
badan hukum pembedaan ini penting untuk membedakan apakah konsumen
11Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. cit., Hal. 1.
13
tersebut menggunakan barang tersebut untuk dirinya sendiri atau untuk tujuan
komersial (dijual, diproduksi lagi).
Sidharta (2000) menjelaskan bahwa :
“perlindungan konsumen adalah salah satu masalah yang cukup mendasar(substansial) dalam konstelasi pembangunan nasional di sebuah negara,termasuk Indonesia. Hal tersebut memerlukan satu pengaturan yang saratdengan perhatian dari berbagai stratifikasi sosial (lapisan masyarakat),sebagaimana upaya perlindungan konsumen di Indonesia pada dewasa ini,antara lain hendak meletakkan prinsip konsumen sebagai pemakaiperlindungan hukum. Di Amerika Serikat pengertian konsumen meliputikorban produk yang cacat yang bukan hanya meliputi pembeli, tetapi jugakorban yang bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukanpemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan pemakai.12
Az Nasution didalam bukunya memberikan batasan tentang konsumen
pada umumnya adalah : “setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa yang
digunakan untuk tujuan tertentu”. Konsumen masih dibedakan lagi antara
konsumen dengan konsumen akhir. Menurutnya yang dimaksud dengan
konsumen antara adalah : “Setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa untuk
dipergunakan dengan tujuan membuat barang dan jasa lain atau untuk
diperdagangkan (tujuan komersial).13
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “konsumen”
sebagai definisi yuridis formal ditemukan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Perlindungan Konsumen
menyatakan, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdaganggkan
12Sidharta, 2000; Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, hal 12
13AZ Nasution, 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : PT.
Daya Widya, hal 23
14
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Didalam suatu peraturan, hal yang paling penting dalam terbentuknya
suatu peraturan adalah Asas. Asas dapat berarti dasar, landasan, fundamen, prinsip
dan jiwa atau cita-cita. Asas adalah suatu dalil umum yang dinyatakan dalam
istilah umum dengan tidak menyebutkan secara khusus cara pelaksanaannya. Asas
dapat juga disebut pengertian-pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak
berpikir tentang sesuatu
Asas Hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum
yang terdiri dari pengertian-pengertian atau nilai-nilai yang menjadi titik tolak
berpikir tentang hukum. Kecuali itu Asas Hukum dapat disebut landasan atau
alasan bagi terbentuknya suatu peraturan hukum atau merupakan suatu ratio legis
dari suatu peraturan hukum yang menilai nilai-nilai, jiwa, cita-cita sosial atau
perundangan etis yang ingin diwujudkan. Karena itu Asas Hukum merupakan
jantung atau jembatan suatu peraturan-peraturan hukum dan hukum positif dengan
cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.
Asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkrit
melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari
peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap system hukum
yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat
umum dalam peraturan konkrit tersebut.14
14Sudikno Mertokusumo, 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet. Kedua,
Yogyakarta: Liberty, hal 6
15
Adapun Asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 2 adalah ;
a. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalampenyelenggaraan perlindungan ini harus memberikan manfaatsebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secarakeseluruhan,
b. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secaramaksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelakuusaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannyasecara adil,
c. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingankonsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupunspiritual,
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminanatas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarnpenggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yangdikonsumsi atau digunakan;
e. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumenmentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraanperlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Disamping asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah tujuan.
Tujuan adalah sasaran. Tujuan adalah cita-cita. Tujuan lebih dari hanya sekedar
mimpi yang terwujud. Tujuan adalah pernyataan yang jelas. Tidak akan ada apa
yang bakal terjadi dengan sebuah keajaiban tanpa sebuah tujuan yang jelas. Tidak
akan ada langkah maju yang segera diambil tanpa menetapkan tujuan yang tegas.
Dan tujuan dalam hukum adalah untuk menjamin kepastian hukum dalam
masyarakat yang bersendikan pada keadilan.
Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Pasal 3 tujuan dari Perlindungan ini adalah ;
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumenuntuk melindungi diri,
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan caramenghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
16
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukandan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsurkepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untukmendapatkan informasi,
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnyaperlindungan ini sehingga tumbuh sikap yang jujur danbertanggungjawab dalam berusaha,
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjaminkelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen menurut AZ Nasution
adalah tingkat kesadaran akan haknya memang masih sangat rendah. Hal ini
terkait dengan faktor rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu Undang-
Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimaksudkan dapat
menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen
melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting
karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha.15
Berdasarkan kondisi yang dipaparkan di atas, untuk sampai kepada hakikat
dari perlindungan konsumen yang ideal, tidak saja memerlukan upaya
pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat
melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif, tetapi
perlu juga tentang peraturan pelaksanaan, pembinaan aparat, pranata dan
perangkat-perangkat yudikatif, administratif dan edukatif serta sarana dan
prasarana lainnya, agar nantinya undang-undang tersebut dapat diterapkan secara
efektif dimasyarakat.
15Az Nasution, ibid, hal 30
17
3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan oleh hukum
atau suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum baik pribadi maupun umum.
Maka dapat diartikan bahwa hak adalah sesuatu yang patut atau layak diterima.
Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya dikemukakan
dulu apa pengertian hak itu. Sudikno Martokusumo dalam bukunya Mengenal
Hukum, Suatu Pengantar, menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak
adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan itu sendiri
berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.
Janus Sidabalok dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di
Indonesiamenyebutkan ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya,
yakni ;
1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kitalahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. Hak ini tidakboleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib menjaminpemenuhannya.
2. Hak yang lahir dari hukum, Yaitu hak yang diberikan oleh negarakepada warga negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum.
3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini didasarkan padaperjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain.
AZ Nazution (2000) dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen di
Indonesia menyebutkan ada tiga macam hak berdasarkan sumber pemenuhannya,
yakni ;
1. Hak manusia karena kodratnya, yakni hak yang kita peroleh begitu kitalahir, seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernapas. Hak ini tidakboleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib menjaminpemenuhannya.
18
2. Hak yang lahir dari hukum, Yaitu hak yang diberikan oleh negarakepada warga negaranya. Hak ini juga disebut sebagai hak hukum.Contohnya hak untuk memberi suara dalam Pemilu.
3. Hak yang lahir dari hubungan kontraktual. Hak ini didasarkan padaperjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan orang yang lain.Contohnya pada peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerimabarang. Sedangkan hak penjual adalah menerima uang.16
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Hak Konsumen diatur didalam Pasal 4, yakni ;
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalammengkonsumsi barang dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barangdan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi sertajaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi danjaminan barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasayang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upayapenyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai denganperjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya
Hak tersebut di atas pada intinya adalah untuk meraih kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen. Sebab masalah tersebut merupakan hal
yang paling utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang
penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, tidak aman atau membahayakan
keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk diedarkan dalam masyarakat. Juga
untuk menjamin bahwa suatu barang dan/atau jasa yang dikehendakinya
berdasarkan atas keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terdapat
16Nasution AZ, ibid, hal 55
19
penyimpangan yang merugikan, konsumen berhak untuk di dengar, memperoleh
advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
Hak-hak konsumen yang tersebut di atas berguna untuk melindungi
kepentingan konsumen, sebagaimana tercantum dalam tujuan dari perlindungan
konsumen yaitu mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen. Sehingga
diharapkan konsumen menyadari akan hak-haknya dan pelaku usaha diharuskan
untuk memerhatikan apa saja perbuatan-perbuatan usaha yang dilarang menurut
Undang-Undang Perlindungan Konsumen sehingga tidak ada lagi pelanggaran
hak-hak konsumen.
Selain ada hak, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban
adalah suatu beban atau tanggungan yang bersifat kontraktual. Dengan kata lain
kewajiban adalah sesuatu yang sepatutnya diberikan. Kewajiban konsumen sesuai
dengan Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian;b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa konsumen secara
patut;
B. Pelaku Usaha
1. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
memberi pengertian tentang pelaku usaha ;
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yangberbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
20
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum NegaraRepublik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjianmenyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Penjelasaan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menjelaskan:
Artinya, pelaku usaha yang diikat oleh undang-undang ini adalah para
pengusaha yang berada di Indonesia, melakukan usaha di Indonesia.
Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,
korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
Ketentuan di atas dapat kita jabarkan ke dalam beberapa syarat, yakni ;
1. Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:a. Orang perorangan, yakni setiap individu yang melakukan
kegiatan usahanya secara seorang diri.b. Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara
bersamasama melakukan kegiatan usaha. Badan usahaselanjutnya dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni ;Badan Hukum dan Bukan Badan Hukum
2. Badan usaha tersebut harus memenuhi salah satu kriteria ini:a. Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara RIb. Melakukan kegiatan di wilayah hukun Negara Republik
Indonesia3. Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.4. Di dalam berbagai bidang ekonomi. Bukan hanya pada bidang
produksi.
Dengan demikian jelas bahwa pengertian pelaku usaha menurut Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sangat luas. Yang
dimaksud dengan pelaku usaha bukan hanya produsen, melainkan hingga pihak
terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen,
distributor dan pengecer (konsumen perantara).
21
Berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen hak pelaku usaha adalah sebagai berikut:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatanmengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yangdiperdagangkan.
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumenyang beritikad tidak baik.
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalampenyelesaian hukum sengketa konsumen.
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwakerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yangdiperdagangkan.
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undanganlain-nya.
Hak pelaku usaha di atas juga disertai oleh kewajiban bagi pelaku usaha.
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah ;
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasanpenggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur sertatidak diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ataudiperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ataujasa yang berlaku;
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ataumencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ataugaransi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugianakibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasayang diperdagangkan;
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barangdan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai denganperjanjian.
Dilihat dari uraian di atas, jelas bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi
22
konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian
pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku
usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen lebih spesifik. Karena di dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pelaku usaha selain harus
melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan
iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
2. Bentuk-Bentuk Pelanggaran Pelaku Usaha
Dalam upaya untuk melindungi hak-hak konsumen terhadap pelanggaran
yang dilakukan pelaku usaha, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, pada prinsipnya telah mengklasifikasi bentuk-bentuk
pelanggaran tersebut kedalam 3 kelompok yang dijabarkan dalam Bab IV Pasal 8
sampai dengan Pasal 17, yakni :
1. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9-16)
3. larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat
(1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni
pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang ;
1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkandan ketentuan peraturan perundang-undangan;
23
2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlahdalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiketbarang tersebut;
3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalamhitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuransebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barangdan/atau jasa tersebut;
5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalamlabel atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasatersebut;
7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktupenggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimanapernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuatnama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturanpakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelakuusaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurutketentuan harus di pasang/dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barangdalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat
atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
Selanjutnya mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam
kegiatan pemasaran. Ketentuan ini diatur di Pasal 9 sampai dengan 16.
24
Dalam Pasal 9 pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah
;
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyaisponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa
lain;j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpaketerangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Kemudian pada Pasal 10 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam
menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan tentang ;
1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;5. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11 mengatur tentang penjualan yang dilakukan melalui cara
obral/lelang. Sedangkan Pasal 12 menentukan bahwa pelaku usaha dilarang
menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
25
dengan harga atau tarif khususdalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha
tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan
jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Disini ditegaskan bahwa pelaku usaha harus memiliki itikad baik dalam
menjalankan usahanya. Pasal 13 juga mengatur hal serupa, yaitu pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupabarang dan/atau jasa lain
secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
Sedang yang berkaitan dengan undian,pelarangannya diatur di Pasal 14.
Pada Pasal 15 ditentukan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat
menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Pasal
terakhir berkaitan dengan perbuatan yang dilarang dalam kegiatan pemasaran
adalah Pasal 16 yang mengatur penawaran melalui pesanan.
3. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting
dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak
konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus
bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada
pihak-pihak terkait.
Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan
dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan
26
pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar
hak konsumen.
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut:17
1) Kesalahan (liability based on fault);
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau
liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum
pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya
Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh.
Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung-
jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.
Mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu
a. adanya perbuatan;
b. adanya unsur kesalahan;
c. adanya kerugian yang diderita;
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga
berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku
kesalahan (lihat Pasal 1367 KUH Perdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas
vicarious liability dan corporate liability.
2) praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);
17Tri Siwi, Celina. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hal 92
27
Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktiin Ivukum
pengangkutankhususnya, dikenal empat variasi:
a. Pengangkut dapat membebaskan diti dari tanggung jawab kalau iadapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luarkekuasaannya.
b. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapatmembuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untukmenghindari timbulnya keragian.
c. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapatmembuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.
d. Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkanoleh kesalahan/kelalaian.
3) praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability);
Prinsip ini kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu
bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat
terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat
dibenarkan.
4) tanggung jawab mutlak (strict liability);
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict abitity) sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula
para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.
5) pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul
eksonerasi perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 19 yaitu:
28
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi ataskerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibatmengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan ataudiperdagangkan.
2) Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantianbarang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatankesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)hari setelah tanggal transaksi.
4) Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinanadanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjutmengenai adanya unsur kesalahan.
5) Ketentuan angka 1 dan 2 tersebut tidak berlaku apabila pelaku usahadapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahankonsumen.
Pembentukan Perlindungan Konsumen pada dasarnya antara lain
dimaksudkan memberikan tempat yang seimbang antara pelaku usaha dengan
konsumen. Masalah keseimbangan ini secara tegas dinyatakan dalam perjanjian
terhadap perlindungan konsumen. Sekalipun dalam berbagai peraturan perundang-
undangan seolah mengatur dan/atau melindungi konsumen, tetapi pada
kenyataannya pemanfaatannya mengandung kendala tertentu yang menyulitkan
konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mencoba untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan konsumen tersebut di atas.
Meskipun demikian pada pelaksanaan di lapangan, konsumen belum secara
maksimal memperoleh perlindungan hukum secara adil.
Perlindungan hukum konsumen yang diberikan dalam UU No. 8 Tahun
1999 memberikan perlindungan kepada konsumen dengan adanya ketentuan yang
mengatur tentang:
1. Hak dan Kewajiban dari para pihak
29
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 memberikan perlindungan terhadap
konsumen dengan adanya ketentuan yang mengatur tentang apa saja hak hak
sebagai konsumen berikut dengan kewajibannya. Hak-hak dan kewajiban
konsumen diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hak-
hak dan kewajiban konsumen ini telah dijelaskan dalam subbab sebelumnya.
2. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Sesuai dengan UU No.8 Tahun 1999, perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha telah diatur dalam Pasal 8. Ketentuan tentang perbuatan yang dilarang
sebagai seorang pelaku usaha telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Dengan
adanya ketentuan ini, maka Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini telah
melindungi konsumen dari pelaku usaha yang beritikad buruk.
3. Klausula baku
Setelah adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka
perlindungan konsumen dari penyalahgunaan keadaan semakin membaik karena
berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dilarang memuat
klausula-klausula baku tertentu dalam perjanjian antara konsumen dengan pelaku
usaha. Adapun isi dari Pasal tersebut yaitu:
a. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
1) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
2) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen;
30
3) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
4) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran;
5) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
6) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
7) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen.
b. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
31
c. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
d. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini.
e. Pembatasan atau larangan untuk memuat klausula-klausula baku
tertentu dalam perjanjian tersebut, dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang memiliki
kedudukan lebih kuat, yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.
4. Tanggung jawab hukum
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen maka
dalam hal melindungi konsumen dari perbuatan pelaku usaha yang melanggar
hak-hak konsumen telah diatur dalam Pasal 19 yang berisi tentang tanggung
jawab sebagai pelaku usaha. Secara umum tuntutan ganti kerugian atas kerugian
yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa
kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan
yang telah disebutkan yang secara garis besarnya hanya ada dua kategori, yaitu
ganti kerugian yang berdasarkan atas wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian
yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum. Ganti kerugian yang diperoleh
karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama
atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi utama atau
kewajiban jaminan/ garansi dalam perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi ini dapat
32
terjadi apabila tidak memenuhi prestasi sama sekali, terlambat dalam memenuhi
prestasi, berprestasi tidak sebagaimana mestinya.
Sedangkan tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum berbeda
dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perikatan yang lahir dari
perjanjian (karena terjadinya wanprestasi) dan akibat dari pelanggaran terhadap
larangan undang-undang.
Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus
merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk
dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur seperti adanya
perbuatan melanggar hukum, adanya kerugian, adanya hubungan kausalitas antara
perbuatan melanggar hukum dengan kerugian, dan adanya kesalahan.
5. Penyelesaian sengketa
Dalam hal perlindungan konsumen apabila terjadi suatu sengketa, dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah diatur mengenai penyelesaian
sengketa yang terdapat dalam Pasal 45. Dalam Pasal ini disebutkan sebagai
berikut:
a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.
b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
33
c. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana
diatur dalam Undang-undang.
d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau
oleh para pihak.
6. Sanksi
Adapun perlindungan terhadap konsumen dalam hal pemberian sanksi
dalam dunia bisnis terhadap pihak yang melakukan pelanggaran yang
menyebabkan kerugian biasanya adalah sanksi administratif. Adapun sanksi
administratif yang dikenakan adalah berupa ganti kerugian sebesar kerugian yang
dialami.
Namun hal itu harus ditinjau terlebih dahulu mengenai sengketa yang
terjadi. Sebab dalam dunia bisnis tidak menutup kemungkinan adanya sanksi
pidana. Hal ini dapat terjadi apabila adanya,pelanggaran hukum atas larangan
yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Dalam hal ini maka selain pelaku usaha harus mengganti kerugian
konsumen (sanksi administratif ), pelaku usaha juga harus menanggung sanksi
pidana dimana telah diatur dalam Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha yang melakukan pelanggran
terhadap Pasal 8 ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau
34
jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Dalam hal ini yang
berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran adalah menteri.
C. Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian yang
memiliki makna, yaitu:
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh
dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut
dalam persetujuan itu.
Berkaitan dengan Perjanjian, J. Satrio mengungkapkan dalam bukunya
bahwa:
Persetujuan adalah suatu perbuatan atau tindakan hukum dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih
atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.18
Perjanjian atau dalam bahasa hukum umumnya dinamakan overeenkomst,
diatur dalam Buku III Bab II Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUHPerdata. Pengertian
mengenai perjanjian itu sendiri diatur di dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yaitu:
Suatu Persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut Abdulkadir Muhammad, dalam bukunya :
18J. Sario, Hukum Perikatan (Perjanjian pada umumnya), Citra Aditya Bakti, Bandung,
1992, Hal. 20
35
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan
harta kekayaan.19
Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang
lain, ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau
lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan
perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subyek hukum tersebut. Satu pihak
merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan
pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditur).
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (consensus);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity);
3. Suatu hal tertentu (a certain subject matter);
4. Suatu sebab yang halal (legal cause).
Dua syarat yang pertama adalah syarat subjektif, yaitu mengenai orang-
orang atau subjek yang mengadakan perjanjian, dimana apabila salah satu syarat
subyektif (kesepakatan atau kecakapan) tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut
“dapat dibatalkan” atau perjanjian tidak sah. Sedangkan dua syarat yang kedua
merupakan syarat objektif, yaitu syarat mengenai objek yang diperjanjikan.
Apabila salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi (suatu hal tertentu atau suatu
19Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, Hal. 78.
36
sebab yang halal), maka perjanjian tersebut “batal demi hukum”, artinya bahwa
sejak awal perjanjian tersebut dianggap tidak ada.
Berikut mengenai penjelasan terhadap syarat-syarat tersebut:
1. Kesepakatan
J. Satrio mengungkapkan bahwa :
Suatu syarat yang logis, karena dalam perjanjian setidak-tidaknya ada duaorang yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yangsaling mengisi. Orang dikatakan telah memberikanpersetujuannya/sepakatnya (toestemming), kalau orang memangmenghendaki apa yang disepakati. Dengan demikian, sepakat sebenarnyamerupakan pertemuan antara dua kehendak, di mana kehendak orang yangsatu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain.20
Kehendak seseorang baru nyata bagi pihak lain kalau kehendak tersebut
dinyatakan atau diutarakan, jadi perlu ada pernyataan kehendak. Pernyataan
kehendak tersebut harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbul nya
hubungan hukum.
2. Kecakapan
Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja
terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah
tidak cakap menurut hukum. Cakap adalah mereka yang telah berumur 21 tahun,
atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah menikah (Pasal 330
KUHPerdata).
Sementara itu, dalam Pasal 1330 KUHPerdata, ditentukan bahwa tidak
cakap membuat suatu perjanjian adalah:
a. Orang yang belum dewasa;b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
20J.Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian : Buku I), PT.Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, Hal. 128
37
c. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3. Hal Tertentu
Obyek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan, bisa merupakan suatu perilaku tertentu, memberikan sesuatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Syarat bahwa obyek perjanjian
(prestasi) itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk
menetapkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak.
Sehingga jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian dapat
dipergunakan sebagai bukti. Perjanjian tanpa “suatu hal tertentu” adalah batal
demi hukum.
Selanjutnya, dalam Pasal 1334 KUHPerdata ditentukan bahwa barang-
barang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat menjadi obyek suatu
perjanjian. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangannya si
berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang.
Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau
ditetapkan.
4. Sebab yang Halal
Suatu hal tertentu merupakan pokok dari perjanjian, atau merupakan
prestasi yang dipenuhi dalam suatu perjanjian. Disamping itu, pokok dari
perjanjian isinya harus halal (tidak terlarang), sebab isi perjanjian itulah yang akan
dilaksanakan.
38
Dengan kata lain, kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama para pihak.
Tujuan perjanjian tak sama dengan isi perjanjian. Isi dari suatu perjanjian di
samping harus jelas dan tertentu juga tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sesuai dengan Pasal 1337
KUHPerdata yang berbunyi :
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
2. Asas-Asas Perjanjian
Hukum perjanjian memiliki asas-asas umum yang merupakan prinsip dan
harus diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, baik pihak-pihak
dalam perjanjian itu, pihak ketiga atau pelaksana dan aparat hukum termasuk pula
didalamnya hakim yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang berkaitan
dengan masalah perjanjian.
Menurut Satjipto Rahardjo, disebutkan bahwa :
Asas hukum bukan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisadipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Olehkarena itu untuk memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknyatidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya sajamelainkan harus menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya. Asashukum inilah yang memberi makna etis kepada peraturan-peraturanhukum serta tata hukum.21
Beberapa asas dalam perjanjian adalah sebagai berikut:
1. Asas Konsensualisme
Asas konsesual ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata yang mensyaratkan adanya sepakat tanpa menyebutkan adanya
formalitas tertentu atau perbuatan lain untuk sahnya perjanjian. Terhadap asas
21Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, Hal. 87
39
konsensual ini adalah untuk lahirnya atau adanya perjanjian cukup ada suatu kata
sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatatn
hukum lain, atau perjanjian lahir sejak tercapainya sepakat antara para pihak
mengenai pokok-pokok perjanjian. Dengan adanya kesepakatan antara kedua
belah pihak, perjanjian tersebut memiliki hubungan dan akibat hukum, sehingga
pada saat itu timbul hak dan kewajiban diantara para pihak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu
perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang maupun
belum diatur dalam undang-undang. Di dalam KUHPerdata, asas kebebasan
berkontrak lazimnya disimpulkan dari kalimat Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata
yang berbunyi :
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Subekti, dalam bukunya mengungkapkan bahwa :
Dengan menekankan pada perkataan “semua” maka Pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kitadiperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja atautentang apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yangmembuatnya.22
3. Asas Mengikatnya Kontrak/Perjanjian (Pacta Sun Servanda)
Dalam bukunya Subekti :
Asas pacta sun servanda ini merupakan asas dalam perjanjian yangberhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuatsecara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuatseperti undang-undang, maksudnya adalah bahwa perjanjian yang dibuat
22Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, 1987, Hal. 45
40
secara sah oleh para pihak akan mengikat mereka seperti undang-undang.Asas ini dalam suatu perjanjian juga memiliki maksud untuk mendapatkankepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjiantersebut.23
Menurut Subekti, dalam bukunya juga mengungkapkan bahwa :
Tujuan asas pacta sun servanda adalah untuk memberikan perlindungan
kepada para pembeli bahwa mereka tak perlu khawatir akan hak-haknya
karena perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.24
4. Asas Iktikad Baik
Asas iktikad baik ini merupakan salah satu asas yang dikenal dalam
hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat
3 KUHPerdata yang berbunyi :
Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Asas iktikad baik ini dapat dibedakan antara iktikad baik yang subjektif
dan iktikad baik yang objektif. Iktikad baik dalam artian subjektif dapat diartikan
sebagai kejujuran seorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu apa
yang terletak pada sikap bathin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum,
sedangkan iktikad baik dalam pengertian yang objektif dimaksudkan bahwa
pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-
apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.
3. Jenis-jenis Perjanjian
J. Satrio dalam bukunya mengungkapkan bahwa :
23Ibid., hal. 19-20
24Ibid., hal. 20
41
Secara garis besar, KUHPerdata mengklarifikasikan perjanjian kedalamempat kelompok besar berdasarkan akibat hukum yang muncul, ditinjaudari sistematika hukum, yaitu perjanjian kekeluargaan (familierechttelijkeovereenkomst), perjanjian kebendaan (zakenrechttelijke overeenkomst),perjanjian obligatoir (obligatoirerechttelijke overeenkomst), dan perjanjianyang bersifat hukum acara (prosesrechttelijke overeenkomst).25
Dari keempat jenis perjanjian, hanya perjanjian obligatoir yang erat
dengan tulisan ini. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian obligatoir
adalah perjanjian yang hanya menimbulkan hak dan kewajiban bagi para
pihak yang membuat perjanjian.26
Perjanjian obligatoir itu sendiri masih dibedakan menjadi beberapa
kategori yaitu :
1. Perjanjian Konsensuil, Riil dan Formil
J. Satrio juga mengungkapkan dalam bukunya bahwa :
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana adanya kata sepakat antara
para pihak saja, sudah cukup untuk timbulnya suatu perjanjian. Perjanjian
menurut KUHPerdata pada umumnya bersifat konsensuil, kecuali
beberapa perjanjian tertentu, yang bersifat riil atau formil.27
Sedangkan dalam perjanjian riil, sepakat saja belum cukup untuk lahirnya
perjanjian, perlu diiringi oleh suatu tindakan nyata. Jadi dalam hal ini, perjanjian
baru terjadi, jika ketika kesepakatan tercapai dan segera setelahnya benda yang
menjadi pokok perjanjian diserahkan.
25J.Satrio, Hukum Perikatan, op. cit., Hal. 45
26Ibid., Hal.24
27Ibid., Hal. 41
42
Suatu tindakan nyata yang disyaratkan tersebut karena sifat dari
perjanjiannya sendiri yang masih memerlukan tindak lanjut dari salah satu pihak
dalam perjanjian, agar menjadikan perjanjiannya sah.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang disamping kata sepakat,
adakalanya undang-undang mensyaratkan penuangan perjanjian dalam suatu
bentuk atau disertai dengan formalitas tertentu. Contohnya pada perjanjian kawin.
2. Perjanjian cuma-cuma dan Perjanjian atas beban
Undang-undang dalam Pasal 1314 KUHPerdata membedakan antara
perjanjian yang dibuat dengan cuma-cuma dan perjanjian atas beban, dan
memberikan perumusan mengenai perjanjian cuma-cuma sebagai berikut :
Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain
tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
J. satrio mengungkpakan mengenai perjanjian cuma-Cuma ini sebagai
berikut:
Kata “memberi keuntungan” sebenarnya lebih tepat jika diganti dengankata “prestasi”. Karena apakah “prestasi” tersebut pada akhirnyamenguntungkan atau tidak, tidak menjadi soal. Sedangkan pada pihakyang lain, terhadap prestasi yang satu tidak ada kewajiban apa-apa.Contohnya pinjam pakai cuma-cuma, pinjam mengganti cuma-cuma, danpenitipan barang cuma-cuma.28
Perjanjian atas beban, menurut Pasal 1314 ayat 3 KUHPerdata adalah :
Suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan
masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu.
28Ibid., Hal. 23
43
Para sarjana memberikan perumusan lain yaitu dalam bukunya J.Satrio:
Perjanjian atas beban adalah dimana terhadap prestasi yang satu selalu ada
kontra prestasi dipihak lain, dan kontra prestasinya bukan semata-mata
merupakan pembatasan atas prestasi yang satu atau hanya sekadar
menerima kembali prestasinya sendiri. Yang dimaksud :
a. “Terhadap yang satu” adalah bahwa prestasi yang satu mempunyai
hubungan dengan prestasi yang lain.
b. “Kontra prestasinya bukan semata-mata merupakan pembatasan atas
prestasi yang satu”, seperti dalam hibah bersyarat dimana yang satu
memberikan hibah (prestasi) asal si penerima hibah memberikan
sesuatu kepada si pemberi hibah : di sini tetap ada perjanjian atas
beban.
c. “Kontra prestasinya bukan sekadar menerima kembali prestasinya
sendiri”, seperti pada pinjam pakai dimana kontra prestasinya adalah
sekedar mengembalikan apa yang dipinjam dan tak lain adalah
prestasinya pihak yang lain itu sendiri.29
3. Perjanjian Sepihak dan Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada
satu pihak saja terhadap pihak lawan janjinya, sedang pada pihak lain
hanya ada hak saja. Contohnya : hibah, perjanjian kuasa tanpa upah,
29Ibid., Hal. 33
44
perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam mengganti cuma-
cuma.30
Sementara Perjanjian timbal balik seringkali disebut juga perjanjian
bilateral, dan sebenarnya dapat juga disebut sebagai perjanjian dua pihak.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-
kewajiban, dan karenanya hak juga, kepada kedua belah pihak, dan hak serta
kewajiban itu mempunyai hubungan yang satu denganyang lainnya.
Yang dimaksud dengan “mempunyai hubungan antara yang satu denganyang lain” adalah, bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjiantersebut, yang satu mempunyai hak, maka pihak yang lain di sanaberkedudukan sebagai pihak yang memikul kewajiban. Jadi pembedaandisini didasarkan atas perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut,apakah mengikat satu pihak saja atau mengikat kedua belah pihak. Contoh: perjanjian timbal-balik, jual-beli, sewa-menyewa, dan tukar-menukar.31
4. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Pasal 1319 KUHPerdata menyatakan :
Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak
terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan
umum yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu.
Berdasarkan ketentuan tersebut dikenal adanya dua kelompok perjanjian,
yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu nama khusus, disebut
perjanjian bernama (nominaatcontracten) dan perjanjian yang dalam undang-
undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, yang disebut perjanjian tak
bernama (innominaatcontracten).
a. Perjanjian Bernama
30Ibid., Hal. 35
31Ibid., Hal. 37
45
Yang dinamakan dengan perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian
yang diberikan nama dan pengaturan secara khusus dalam Bab V sampai dengan
Bab XIX KUHPerdata, yaitu perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa,
perjanjian untuk melakukan pekerjaan, persekutuan, hibah, penitipan barang,
pinjam-pakai, pinjam-meminjam, perjanjian bunga tetap atau bunga abadi,
perjanjian untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan, dan perdamaian.
Sedangkan didalam KUHDagang seperti perjanjian wesel, perjanjian
pengangkutan, dan perjanjian asuransi.
b. Perjanjian Tak Bernama
J. Satrio menjelaskan mengenai perjanjian tak bernama sebagai berikut :
Di luar perjanjian bernama, seperti dengan dianutnya asas kebebasanberkontrak didalam KUHPerdata, terdapat bermacam-macam perjanjianlain, yang banyak sekali, yang secara teoritis tidak terbatas variasinya.Didalam kehidupan sehari-hari, banyak sekali ditutup perjanjian-perjanjian, dengan variasi yang tidak terbayangkan banyaknya dan adadiantaranya yang oleh masyarakat diberi nama tertentu.32
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum mendapatkan
pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang.
c. Maksud Pembedaan Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Pembedaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1319 KUHPerdata
dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa ada perjanjian-perjanjian yang tak hanya
tunduk pada Ketentuan Umum tentang perjanjian, yaitu Bab I, II, dan IV, tetapi
terhadapnya berlaku pula ketentuan-ketentuan khusus yang mungkin menyimpang
dari Ketentuan Umum. Dengan demikian, asas umumnya adalah bahwa Ketentuan
32J. Satrio, Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian : Buku I), op, cit., Hal.
149
46
Umum yaitu Bab I, II, dan IV Buku III KUHPerdata berlaku untuk semua
perjanjian, baik bernama maupun tidak bernama, sepanjang undang-undang dalam
perjanjian bernama tak memberikan pengaturan tersendiri yang menyimpang dari
ketentuan umum. Disini berlaku asas umum yaitu Lex Specialis Derogat Lex
Generalis.
J. Satrio memberikan pedoman cara membedakan suatu perjanjian itu
bernama atau tidak, yaitu :
Bahwa dalam menetapkan apakah suatu perjanjian tertentu termasuk
dalam perjanjian bernama atau tidak caranya adalah dengan melihat
apakah semua unsur-unsur pokok perjanjian yang bersangkutan memenuhi
unsur-unsur pokok peranjian bernama atau tidak.33
4. Perjanjian Jual Beli
Pengertian jual beli diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang
mendefinisikannya sebagai berikut :
Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Subekti mengartikan jual-beli dalam bukunya Aneka Perjanjian yaitu,
Jual-beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yangsatu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar hargayang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak miliktersebut.34
33Ibid., Hal. 150
34R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 1.
47
Dalam KUHPerdata terdapat beberapa Pasal yang dapat dikaitkan dengan
pengaturan perjanjian jual beli. Jual-beli dalam KUHPerdata diatur dalam Buku
III Bab V KUHPerdata Pasal 1457 s/d Pasal 1472.
Berdasarkan Pasal 1458 KUHPerdata, Jual-beli itu dianggap telah terjadi
antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang itu mencapai sepakat
tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum
diserahkan, maupun harganya belum dibayar.
Pasal 1460 KUHPerdata menyebutkan:
Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan,
maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak
menuntut harganya.
Mengenai ketentuan uang panjar, Pasal 1464 KUHPerdata mengatur
demikian:
Jika pembelian dibuat dengan memberi uang panjar tak dapatlah satu
pihak meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau
mengembalikan uang panjarnya.
Pasal 1465 KUHPerdata mengatur mengenai ketentuan harga beli, yaitu
sebagai berikut:
Harga beli harus ditetapkan oleh kedua belah pihak.Harga beli namun itu
dapat diserahkan kepada perkiraan seorang pihak ketiga.Jika pihak ketiga
ini tidak suka atau tidak mampu membuat perkiraan tersebut, maka
tidaklah terjadi suatu pembelian.
48
Pasal 1466 KUHPerdata menentukan, bahwa :
Biaya akta-akta jual-beli dan lain-lain biaya tambahan dipikul oleh si
pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya.
Perjanjian jual-beli merupakan jenis perjanjian timbal balik yang
melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Kedua belah pihak yang
membuat perjanjian jual-beli masing-masing memiliki hak dan kewajiban untuk
melaksanakan isi perjanjian yang mereka buat.
Menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, memberi pengertian
mengenai jual beli yaitu :
Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatdirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yanglain untuk membayar harga yang telah dijanjikan, oleh pihak yang satu(pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barangyang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain,membayar harga yang telah disetujuinya meskipun tiada disebutkan dalamsalah satu Pasal undang-undang, namun sudah semestinya bahwa “harga”ini harus berupa sejumlah uang, karena bila tidak demikian dan harga ituberupa barang, maka bukan lagi jual beli yang terjadi, tetapi tukar menukaratau barter.35
35Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1979, Hal. 79.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
yuridis normatif, yaitu peneliti mengkonsepsikan hukum sebagai sistem
normatif yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan
hukum masyarakat.36
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lembaga atau instansi yang terkait, yaitu PT.
Satria Tirtamasgasindo (SPBU Ovis).
3. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang akan dipakai adalah deskrptif, yaitumenggambarkan keadaan, obyek atau peristiwa juga keyakinan tertentuakan diambil kesimpulan-kesimpulan dari obyek persoalan yang dikaitkandengan teori-teori hukum dan obyek hukum positif yang menyangkutpermasalahannya.37
4. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan yang bersifat mengikat terdiri dari :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
36Soerjono Soekanto, 2007. Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo, Jakarta, hal
1437
Soemitro, 1990. R. H., Metodologi Penelitian Hukum Jurimetri. Jakarta: Ghalia
Indonesia, hal 14
50
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
b. Bahan Hukum Sekunder
Data yang diperoleh secara tidak langsung melalui dokumentasi dan buku-
buku yang terkait dengan topik penelitian, data ini digunakan sebagai
pendukung/pelengkap data primer.
c. Bahan Hukum Tersier
Data yang diperoleh secara tidak langsung dan digunakan untuk
melengkapi data primer dan data sekunder apabila diperlukan seperti yang
berupa kamus hukum.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Data Sekunder
Data yang diperoleh dengan cara studi pustaka yaitu mengumpulkan
bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan,
literatur dan dokumen yang ada relevansinya dengan permasalahan
yang diteliti yang dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas
Hukum Universitas Jendral Soedirman.
b. Data Primer
Data yang diperoleh dari wawancara dengan pihak yang bidang
kerjanya terkait dengan masalah yang diteliti di PT. Satria
Tirtamasgasindo Purwokerto.
6. Medode Penyajian Data
51
Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini akan disajikan
dalam bentuk uraian secara sistematis, logos, dan rasional. Dalam arti
keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang
lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti,
sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh didasarkan pada norma
hukum atau kaidah-kaidah hukum serta doktrin yang relevan dengan
pokok permasalahan.
7. Metode Analisis Data
` Bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara normatif kualitatif.
Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan
hukum yang ada sehingga merupakan norma hukum positif. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif yang dilakukan dengan
cara memahami dan merangkai bahan hukum yang telah dikumpulkan
dan disusun secara sistematis, sehingga tidak menggunakan rumus-
rumus atau angka-angka.
52
BAB IV
HASIL DAN ANALISIS
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SBPU Ovis (PT.Satria
Tirtamasgasindo), maka diperoleh data sebagai berikut :
1. Dasar hukum pendirian SPBU Ovis Purwokerto :
Surat Izin Usaha Perdagangan Menengah Nomor:
00659/11.07/PM.3/III/2008
Surat Izin Membaangun Bangunan Nomor: 503/299/KPPI/2007
Tanda Daftar Perusahaan Perseroan Terbatas Nomor: 11.07.1.47.00181
Nomor Pokok Wajib Pajak: 01.551.293.2.521.000
Kartu Izin Gangguan / Izin Tempat Usaha Nomor: 503/298/KPPI/II/2007
Prosedur Perijinan Pendirian SPBU Ovis Purwokerto
Dokumen Perijinan Pendirian SPBU Ovis Purwokerto adalah dengan:
a. Persetujuan Bupati Banyumas;
b. Fotocopy KTP;
c. Akte Pendirian Perusahaan;
d. Izin Gangguan;
e. Izin Membangun Bangunan
f. Fotocopy kontrak dengan Pertamina/Badan Usaha;
g. Rekomendasi dari Pertamina;
h. Peta Lokasi dan Rencanan Pembangunan;
53
i. Kapasitas penyimpanan;
j. Peralatan dan Fasilitas;
k. Dokumen Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan;
l. Keterangan Lainnya.
Syarat dan kelengkapan dokumen pembuatan SIUP :
c. Fotocopy KTP Pemilik/ penanggung jawab yang masih berlaku;
d. Fotocopy NPWP;
e. Fotocopy surat ijin dari pemerintah kota bagi kegiatan perdagangan
yang dipersyaratkan berdasarkan ketentuan Undang-undang
Gangguan (HO);
f. Surat Asli Keterangan Domisili perusahaan dari kelurahan;
g. Neraca awal Perusahaan;
h. Fotocopy status kepemilikan tempat usaha.
Syarat-syarat kelengkapan dokumen pembuatan TDP :
a. Surat permohonan;
b. Fotocopy akta Pendirian Perusahaan;
c. Fotocopy Keputusan pengesahan sebagai badan hukum;
d. Fotocopy KTP Dirut atau Penanggung jawab yang masih berlaku;
e. Fotocopy ijin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan
itu yang diterbitkan oleh instansi terkait.
Tanda Daftar Perusahaan hapus apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Perusahaan menghentikan segala kegiatan usahanya;
b. Perusahaan berhenti pada waktu akte pendiriannya kadaluarsa;
54
c. Perusahaan dihentikan segala kegiatan usahanya berdasarkan suatu
putusan Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap.
2. Pendirian Perusahaan.
Perusahaan PT. Satria Tirtamasgasindo menurut SIUP (Surat Ijin Usaha
Perdagangan) Nomor : 00659/11.07/PM.3/III/2008 merupakan Perusahaan
berbentuk Perseroan Terbatas (P.T) Perusahaan PT. Satria
Tirtamasgasindo atau yang sering kita kenal sebagai SPBU Ovis yang
terletak di jalan Overste Isdiman merupakan perusahaan yang didirikan
oleh Bapak Bambang Eko Suratmoko, SH pada tahun 2007. Perusahaan
yang beralamat di Jl. Overste Isdiman No. 11, Kelurahan Purwokerto Lor
Rt. 04 Rw. 03, Kecamatan Purwokerto Timur, Kabupaten Banyumas ini,
mempekerjakan sekitar 42 pegawai.
Sejak awal Perusahaan ini berkomitmen untuk bergerak dibidang
perdagangan besar bahan bakar gas, cair, dan padat, serta produk sejenis.
Pemilik perusahaan ini, selain memiliki usaha di Purwokerto, juga
memiliki beberapa perusahaan yang bergerak di bidang yang lain,
sehingga pemilik tidak sendirian dalam mengelola perusahaan, pemilik
dibantu oleh staf.
3. Para Pihak dalam Jual Beli
a. Pihak penjual dalam hal ini adalah SPBU Ovis Purwokerto (PT.
Satria Tirtamasgasindo) yang merupakan penjual atau pelaku usaha
55
untuk melakukan transaksi jual beli terhadap barang-barang yang
diperdagangkan.
b. Pihak pembeli yang disebut juga sebagai konsumen dalam hal ini,
adalah setiap orang yang melakukan transaksi atau pembelian barang
(BBM) dari SPBU Ovis Purwokerto. Secara umum pembeli disini
adalah bermacam-macam status atau umurnya, baik yang muda atau
setara dengan anak-anak sekolah, dewasa atau setara dengan pekerja
kantor atau mahasiswa, maupun yang sudah tua. Pembeli di SPBU
Ovis Purwokerto pun selain untuk konsumsi kendaraan pribadinya,
banyak juga yang membeli untuk mereka jual kembali.
4. Kegiatan Usaha.
Kegiatan usaha dari SPBU Ovis yang berkaitan dengan perdagangan
bahan bakar pun beragam yaitu diantaranya menjual:
3.1 Bahan bakar non subsidi
a. Pertamax
b. Pertamina dek
3.2 Bahan bakar subsidi
a Premium
b Bio Solar
3.3 Oli
3.4 Cairan pendingin radiator (pelumas)
5. Kontrak Jual Beli.
56
Kontrak penjualan merupakan perjanjian yang dibuat antara SPBU dan
pembeli atau dalam hal ini juga disebut sebagai konsumen.
Perusahaan PT. Satria Tirtamasgasindo di dalam melakukan transaksi jual
beli menggunakan sebuah kontrak penjualan berupa nota. Nota berfungsi sebagai
alat bukti perjanjian jual beli maupun sebagai perjanjian pesanan. Nota di dalam
kontrak penjualan berfungsi sebagai bukti adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak dalam transaksi jual beli maupun dalam perjanjian pesanan. Alat bukti yang
dimaksud adalah sebagai bukti penyerahan jumlah BBM yang dijual yang
sekaligus mencantumkankewajiban yang harus dibayar oleh konsumen.
Berikut ini adalah isi dari nota bukti transaksi yang diedarkan oleh PT.
Satria Tirtamasgasindo :
a. Tanggal
Tanggal yang tercantum adalah tanggal berlangsungnya transaksi jual
beli.
b. Nomor pompa
Nomor Pompa adalah nomor tempat pengisian BBM, pompa bensin
berfungsi untuk mengukur banyaknya BBM yang dikeluarkan, serta
terdapat indikator yang tercantum di layar yang menunjukan banyak
nya BBM yang dikeluarkan serta biaya yang harus dibayar oleh
konsumen.
c. Nomor selang
Nomor tempat pengisian BBM.
d. Nomor nota
57
e. Jenis BBM
Jenis BBM yang dibeli oleh konsumen, baik berupa bensin, bio solar,
pertamax, dll akan tercantum di nota pembelian.
f. Liter
Banyaknya jumlah BBM yang dibeli konsumen dalam ukuran liter.
g. Harga/liter
Harga per liter dari jumlah BBM yang dibeli konsumen.
h. Total
Total harga yang harus dibayarkan oleh konsumen.
i. Operator
Operator adalah petugas pengisi BBM.
Selain isi dari nota, terdapat logo yang berisi tulisan “PASTI PAS”, logo
tersebut membuktikan bahwa pengisian Bahan bakar pada SPBU Ovis selalu
mulai dari nol dan pengisiannya selalu sesuai dengan apa yang konsumen
inginkan.
6. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha :
Hak pelaku usaha :
1. Menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan;
2. Menentukan besarnya nilai yang harus dibayarkan oleh konsumen;
3. Memperoleh identitas dari konsumen atau pembeli.
Kewajiban pelaku usaha :
1. Memberikan pelayanan terbaik;
58
Yang dimaksud pelayanan terbaik yang diberikan di sini adalah operator
selalu berusaha memenuhi yang diinginkan oleh konsumen, baik dalam hal
jumlah pesanan maupun pelayanan yang ramah dan dalam hal
pengembalian uang selalu berusaha menyiapkan uang pecahan Rp.100,-
jika sewaktu-waktu dibutuhkan, dan pimpinan perusahaan menempelkan
di setiap sudut mengenai uang kembalian sebagai berikut: “bila terdapat
karyawan kami memberikan uang kembalian tidak sesuai dengan angka
transaksi mohon hubungi 0811279620”, sebagai bukti bahwa pelayanan
yang diberikan oleh PT. Satria Tirtamasgasindo adalah terbaik dalam hal
melindungi hak-hak konsumen.
2. Menyimpan file bukti pembayaran atas kerjasama antar perusahaan;
File bukti pembayaran adalah untuk konsumen-konsumen yang membuat
kerjasama dengan perusahaan PT. Satria Tirtamasgasindo mengenai
pembayaran yang dilakukan per bulan
3. Memberikan bahan bakar sesuai dengan kesepakatan;
Dengan memberikan bahan bakar yang dipesan atau diminta oleh
konsumen.
4. Mengedarkan nota bukti transaksi;
Dengan memberikan nota bukti transaksi setiap kali dibutuhkan oleh
konsumen.
5. Memberikan ganti rugi.
Selama melakukan transaksi, apabila terjadi kerugian yang diderita oleh
konsumen, pihak perusahaan memberikan ganti rugi sepenuhnya.
59
7. Hak dan Kewajiban Konsumen :
Hak Konsumen :
1. Mendapatkan pelayanan terbaik;
2. Memperoleh file bukti pembayaran atas kerjasama antar perusahaan;
3. Mendapatkan bahan bakar sesuai dengan kesepakatan;
4. Memperoleh nota bukti transaksi;
5. Mendapatkan ganti rugi;
6. Menerima uang pengembalian dari sisa yang dibayarkan.
Kewajiban Konsumen :
1 Membayar BBM sesuai dengan yang tertera pada layar monitor;
2 Memberikan fotocopy identitas asli jika diminta oleh petugas.
8. Tanggung jawab SPBU Ovis sebagai pelaku usaha terhadap
konsumen jika tidak mengembalikan uang kembalian yang tidak
sesuai dengan hak konsumen.
Berdasarkan hasil dari wawancara dengan pihak PT. Satria
Tirtamasgasindo, pelaku usaha selalu berusaha memberikan pelayanan terbaik
bagi konsumen.
Terbaik disini yaitu: memberikan bahan bakar sesuai pesanan atau
permintaan, barang-barang yang dijual pun memiliki kualitas terbaik asli dari
produk pertamina.
60
Apabila terbukti ada kesalahan dalam hal pemberian uang kembalian yang
tidak sesuai dengan hak pembeli (konsumen) yang letak kesalahannya ada pada
karyawan yang lagsung berhubungan atau yang mengisi bahan bakar tersebut,
maka pihak SPBU dengan tegas memberikan sanksi pemecatan.
Kasus tersebut pernah terjadi ketika ada konsumen yang tidak mendapat
uang kembalian yang menjadi haknya senilai Rp.200,- lalu konsumen tersebut
melapor melalui “suara konsumen” yang nomor telfonnya tertera di sudut SPBU,
dan keesokan harinya pihak SPBU meminta maaf pada pihak konsumen serta
langsung memberhentikan petugas pengisian bahan bakar tersebut dengan tidak
hormat.
B. Analisis
Tanggung jawab SPBU Ovis (PT. Satria Tirtamasgasindo) sebagai pelaku
usaha terhadap konsumen jika tidak mengembalikan uang kembalian yang tidak
sesuai dengan hak konsumen.
Istilah konsumen sebagai definisi yuridis formal terdapat pada Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
menyatakan :
Konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Penjelasan resmi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa di dalam kepustakaan ekonomi
61
dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses
produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini
adalah konsumen akhir.
Shidarta dalam bukunya menjelaskan mengenai konsomen yaitu :
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para ahlihukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakaiproduksi terakhir dari benda dan/atau jasa. Rumusan tersebut, menjadikanHondius memiliki pemikiran untuk membedakan antara konsumen bukanpemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir.Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkankonsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakaiterakhir.38
Luasnya pengertian konsumen dilukiskan secara sederhana oleh mantanPresiden Amerika Serikat, John F. Kennedy dengan mengatakan,“Costumers by definition include us all.” Pengertian yang dilukiskansecara sederhana tersebut, menimbulkan istilah lain yang agak dekatdengan konsumen adalah “pembeli” (koper). Istilah pembeli ini dapatdilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.39
Berdasarkan data nomor 3, mengenai pihak pembeli di SPBU Ovis
Purwokerto, apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan didukung dengan pendapat
Hondius, serta John F. Kennedy, maka dapat dideskripsikan bahwa setiap orang
yang melakukan transaksi atau pembelian barang (BBM) di SPBU Ovis
Purwokerto yang secara umum pembelinya bermacam-macam dari mulai remaja
sampai yang tua disebut sebagai konsumen karena merupakan pemakai barang
yang didapat secara sah dan menggunakan barang untuk kegunaan kendaraan
38Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo,Jakarta, 2000, Hal. 3
39Ibid., Hal. 2
62
pribadinya, namun konsumen di SPBU Ovis Purwokerto juga ada beberapa yang
merupakan konsumen antara, yaitu konsumen yang menggunakan barang yang
dibelinya untuk kepentingan komersil atau dijual kembali.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen disebutkan mengenai arti dari pelaku usaha,
yaitu :
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baikyang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikandan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum NegaraRepublik Indonesia, baik sendiri maupun bersama melalui perjanjianpenyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Berdasarkan data sekunder nomor 3 jika dihubungkan dengan Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
maka SPBU Ovis Purwokerto dalam penelitian ini termasuk sebagai pihak pelaku
usaha dimana pelaku usaha ini berkedudukan sebagai penjual. Penjual
berdasarkan data tersebut di atas adalah SPBU Ovis Purwokerto karena
merupakan badan hukum yang didirikan dan melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia.
Pasal 2 UUPK mengenai asas dan tujuan hukum perlindungan konsumen :
Perlindungan konsumen berasaskan manfaaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak-hak
konsumen yang tercantum dalam Pasal 4 yaitu :
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalammengkonsumsi barang dan atau jasa;
63
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barangdan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi sertajaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisibarang dan atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan ataujasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upayapenyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pembinaan konsumen;g. Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;h. Hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang, dan atau jasa yang diterima tidak sesuaidengan perjanjian atau sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan Perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan hak-hak yang telah dikemukakan di atas, seluruh hak di atas
adalah penting guna melindungi konsumen atas produkyang dikonsumsinya.
Gunawan Widjaja Ahmad Yani dalam bukunya mengutip empat hak dasar
konsumen yang dikemukakan oleh mantan Presiden amerika Serikat, John F.
Kennedy yang meliputi :
a. The right to safe products;
b. The right to be informed about products;
c. The right to definite choices in selecting products;
d. The right to be heard regarding consumer interests.40
Kemudian dalam bukunya Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo
menambahkan mengenai keempat hak dasar konsumen tersebut, ditambahkan oleh
IOCU (Internasional Organization of Consumers Union) / Organisasi Konsumen
sedunia, keempat hak dasar konsumen lainnya yaitu :
40Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, Hal. 27
64
1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
2. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.41
Berdasarkan hasil penelitian pada nomor 4 mengenai kegiatan usaha yang
dilakukan oleh PT. Satria Tirtamasgasindo yaitu menjual bermacam-macam bahan
bakar, apabila dikaitkan dengan Pasal 2 UUPK mengenai asas dan tujuan hukum
perlindungan konsumen, Pasal 4 UUPK mengenai hak konsumen agar tidak
diperlakukan secara diskriminatif, maka dapat dideskripsikan bahwa usaha yang
dilakukan oleh PT. Satria Tirtamasgasindo dalam hal penjualan bahan bakar
minyak telah memenuhi asas keseimbangan dan hak konsumen.
Menurut Pasal 2 UUPK mengenai asas dan tujuan hukum perlindungan
konsumen, Pasal 4 UUPK huruf (g) mengenai hak konsumen agar tidak
diperlakukan secara diskriminatif, pendapat John F. Kennedy mengenai hak
konsumen, dan IOCU mengenai hak konsumen. Hal ini dapat dibuktikan dengan
memberikan informasi yang jelas kepada konsumen agar dapat menentukan
pilihannya. Informasi diberikan sama atau tidak diskriminatif kepada semua
konsumen.
Dari hasil penelitian nomor 4 tentang kegiatan usaha dapat dianalisa
bahwa pengertian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang
mendefinisikannya sebagai berikut :
41Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, op. cit., Hal. 39
65
Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Pasal di atas dapat kita simpulkan bahwa setiap transaksi jual beli selalu
menimbulkan hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha serta
melahirkan hak dan kewajiban, baik bagi konsumen maupun bagi pelaku usaha,
keduanya harus seimbang.
Mengenai hak dan kewajiban tersebut di atas sesuai dengan hasil
penelitian nomor 6 dan nomor 7 harus harus saling menghormati dan menghargai
hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan Pasal 2 UUPK mengenai asas
dan tujuan hukum perlindungan konsumen.
Semua konsumen harus mendapat informasi yang sama (tidak
diskriminatif), baik bagi konsumen terinformasi yang sama maupun bagi
konsumen yang tidak terinformasi sesuai dengan Pasal 4 UUPK huruf c tentang
hak atas informasi yang benar. Peran informasi sangat penting, karena hal ini
merupakan salah satu faktor penentu dalam penetapan pilihan konsumen terhadap
produk yang dibutuhkannya.
Agar perjanjian sah, perjanjian harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sah perjanjian :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
66
Pasal 1338 KUHPerdata menetukan bahwa :
1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengansepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang olehundang-undang dinyatakan cukup untuk itu;
3. Persetujuan-persetujuann harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan, bahwa:
Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang.
Dari ketentuan tersebut mengartikan bahwa sumber perikatan adalah
perjanjian dan undang-undang. Pada penelitian ini, perikatan dilahirkan oleh suatu
perjanjian, dimana wujud dari transaksi konsumen tersebut adalah perjanjian jual
beli. Jual beli dalam hukum perdata merupakan perjanjian timbal balik yang
mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban pada kedua belah pihak.
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan :
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Data nomor 5 mengenai kontrak jual beli yang merupakan perjanjian yang
dibuat antara pelaku usaha dan pembeli (konsumen). PT. Satria Tirtamasgasindo
dalam melakukan transaksi jual beli menggunakan sebuah kontrak penjualan
berupa nota atau bukti pembayaran. Nota berfungsi sebagai perjanjian jual beli
maupun sebagai perjanjian pesanan. Nota di dalam kontrak penjualan berfungsi
sebagai bukti adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam transaksi jual
beli maupun dalam perjanjian pesanan apabila dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata ayat (1) dan Pasal 1338 KUHPerdata ayat (1) maka
67
dapat disimpulkan bahwa PT. Satria Tirtamasgasindo dalam melaksanakan
transaksi jual beli telah memenuhi syarat sah perjanjian, hal ini dibuktikan dengan
mengeluarkan nota penjualan sebagai bukti adanya kesepakatan dan kecakapan
dari para pihak yang mengikatkan dirinya untuk membuat suatu perjanjian
berdasarkan hal tertentu yang objek perjanjiannya berupa bahan bakar dan sebab
yang halal dalam arti objek perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum
atau dilarang oleh Undang-undang.
Kaitan dengan sebab yang halal, suatu hal tertentu merupakan pokok dari
perjanjian, atau merupakan prestasi yang dipenuhi dalam suatu perjanjian.
Disamping itu, pokok dari perjanjian isinya harus halal (tidak terlarang), sebab isi
perjanjian itulah yang akan dilaksanakan. Sesuai dengan Pasal 1337 KUHPerdata
yang berbunyi :
Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
Artian objek tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang tersebut di
atas adalah Undang-undang yang mengatur tentang Perlindungan Konsumen yaitu
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 (UUPK), sehingga dapat diasumsikan bahwa
produk yang dijadikan sebagai objek tidak boleh bertentangan dengan Undang-
undang Perlindungan Konsumen.
Pelaku usaha yaitu PT. Satria Tirtamasgasindo dan konsumen dapat
membuat perjanjian yang ditunjukan dalam bentuk nota. Kemudian baik pelaku
usaha dan konsumen terikat oleh perjanjian tersebut, artinya apabila salah satu
pihak wanprestasi maka harus bertanggung jawab. Selanjutnya semua perjanjian
68
yang dibuat harus berdasarkan atas itikad baik, asas iktikad baik ini merupakan
salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad
baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata yang berbunyi :
Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Pasal 16 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menentukan mengenai larangan pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa melalui pesanan, antara lain :
1. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian
dengan yang dijanjikan;
2. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 7 UUPK yang menentukan kewajiban pelaku usaha sebagai berikut :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau
mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau
garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan;
69
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa
yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang
dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
Pasal 10 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menentukan :
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat membuat pernyataan yang tidak benar atau
atau menyesatkan mengenai :
1. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa ;
2. Penggunaan suatu barang dan/atau jasa;
3. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa;
4. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
5. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Ketentuan tersebut di atas, diharapkan Pelaku Usaha bersikap jujur dalam
menyampaikan informasi mengenai produknya, hal ini ditujukan untuk
kepentingan pelaku usaha dan konsumen dalam menentukan pilihannya.
Tanggung jawab pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 19 UUPK :
70
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan;
2) Ganti rugi sebagaimana diatur pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku;
3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi;
4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 UUPK ayat (1) dan ayat
(2) mengenai bentuk tanggung jawab pelaku usaha tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Gunawan Widjaja,dalam bukunya menyebutkan mengenai resolusi PBB
nomor 39/248 tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for
Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang
perlu dilindungi, yang meliputi :
71
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya;
b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai
kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi
lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi
tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.42
Data hasil penelitian nomor 8 mengenai tanggung jawab PT. Satria
Tirtamasgasindo jika tidak memberikan uang kembalian yang tidak sesuai dengan
hak konsumen (data nomor 7), apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 7
Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 mengenai
kewajiban pelaku usaha, Pasal 10 UUPK mengenai aturan dalam menawarkan
barang dan/jasa, Pasal 16 UUPK mengenai larangan dalam menawarkan barang
dan/atau jasa, Pasal 19 UUPK mengenai bentuk tanggung jawab pelaku usaha,
resolusi PBB nomor 39/248 tahun 1985 mengenai kepentingan konsumen yang
perlu dilindungi, kontrak penjualan yang merupakan perjanjian yang dibuat antara
pelaku usaha dan pembeli (konsumen), dimana PT. Satria Tirtamasgasindo dalam
42Gunawan Widjaja Ahmad Yani, Ibid., Hal. 27-28
72
melakukan transaksi jual beli menggunakan sebuah kontrak penjualan berupa
nota. Nota berfungsi sebagai perjanjian jual beli maupun sebagai perjanjian
pesanan. Nota didalam kontrak penjualan juga berfungsi sebagai adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak dalam transaksi jual beli maupun dalam
perjanjian pesanan, dan hasil wawancara bahwa pihak PT. Satria Tirtamasgasindo
selaku pelaku usaha selalu menyediakan nota jika konsumen membutuhkan.
Dalam Pasal 1866 KUHPerdata menentukan mengenai alat bukti sebagai
berikut :
Alat-alat bukti terdiri atas:a. Bukti tulisan;b. Bukti dengan saksi-saksi;c. Persangkaan-persangkaan;d. Pengakuan;e. Sumpah.
Segala sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkandalam bab-bab yang berikut.
Dari ketentuan Pasal tersebut di atas, jika dikaitkan dengan nota yang
diedarkan oleh PT. Satria Tirtamasgasindo dalam melakukan transaksi jual-
belinya yang menggunakan sebuah nota, maka dapat disimpulkan bahwa dari nota
yang diperoleh konsumen PT. Satria Tirtamasgasindo tersebut dapat dijadikan
sebuah alat bukti, jika terjadi kesalahan dalam melakukan transaksi.
PT. Satria Tirtamasgasindo selaku pelaku usaha berusaha selalu
memberikan pelayanan terbaik bagi konsumen dengan cara mengganti kerugian,
maka dapat dideskripsikan bahwa sebagai pelaku usaha, PT.Satria
Tirtamasgasindo selalu mengutamakan kepentingan konsumen sebagai bentuk
penerapan dari kewajibannya, antara lain seperti beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya, memperlakukan konsumen secara adil tanpa membedakan
73
status didalam masyarakat, disamping itu perusahaan berusaha mengganti
kerugian konsumen mengenai uang kembalian, perusahaan secara tegas selalu
mengingatkan kepada operator (staf yang langsung berhubungan dengan
konsumen) bahwa uang kembalian itu adalah hak konsumen.
Pasal 7 UUPK mengenai kewajiban Pelaku Usaha, Pasal 19 UUPK
mengenai bentuk tanggung jawab pelaku usaha, resolusi PBB nomor 39/248 tahun
1985 mengenai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, semua telah
dipenuhi oleh PT.Satria Tirtamasgasindo.
Berdasarkan kewajiban-kewajiban tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa PT. Satria Tirtamasgasindo dalam memenuhi kewajibannya telah
melaksanakan tanggung jawabnya secara baik, dan dalam penyelesaian masalah
mengenai uang kembalian, pihak perusahaan menjadi penanggung atas kesalahan
operator, dimana operator yang memang terbukti tidak mengembalikan uang
kembalian yang menjadi hak konsumen langsung dipecat oleh perusahaan.
74
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas dapat disimpulkan :
Tanggung jawab SPBU Ovis Purwokerto mengenai uang kembalian yang
tidak sesuai dengan hak konsumen sebagai berikut :
PT. Satria Tirtamasgasindo bertanggung jawab atas kelalaian operator
dalam hal tidak memberikan uang kembalian yang menjadi hak
konsumen/pembeli. Hak konsumen tersebut sesuai dengan yang diatur dalam
ketentuan Pasal 4 UUPK mengenai hak konsumen. Tanggung jawab tersebut
dengan memberi uang kembalian yang tidak diberikan oleh operator dan
melakukan tindakan tegas berupa pemecatan kepada operator yang bersangkutan.
Penggantian kerugian yang diberikan oleh PT. Satria Tirtamasgasindo tersebut,
telah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 UUPK mengenai kewajiban Pelaku usaha
dan Pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha.
B. Saran
Sebaiknya PT. Satria Tirtamasgasindo selaku pelaku usaha lebih
meningkatkan pengawasan terhadap operator mengenai uang kembalian yang
harus sesuai dengan apa yang menjadi hak konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Mertokusumo Sudikno, 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Muhammad Abdulkadir. 1990. Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Nasution, A.Z., 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, PT.
Daya Widya, Jakarta.
Nasution, A.Z. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar,
PT.Diadit Media, Jakarta.
Rahardjo Satjipto. 1986. Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Satrio, J. 1992. Hukum Perikatan (Perjanjian pada umumnya), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Satrio, J. 2001. Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian : Buku
I), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta.
Soemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2007. Penelitian Hukum Normatif, PT Raja Grafindo, Jakarta.
Subekti, R. 1987. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sulistyowati; 1992, Akses Kepada Perlindungan Konsumen Sebagai Salah Satu
Aspek Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta.
Suyadi. 2000. Diktat Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen, Fakultas
Hukum UNSOED, Purwokerto.
Tri Siwi, Celina. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.
Yani Ahmad, Gunawan Widjaja. 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yodo Sutarman, Miru Ahmadi. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen,
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Jurnal / Makalah / Artikel / Website
Oemar Ira. 4 Juni, 2012. Trend Pembayaran Modern dan Penetapan Harga oleh
Produsen. Kompas.
Sulistyowati. 22 September, 2012. Uang Kembalian diganti Permen Realita
Jaman Sekarang. Redaksi Kompasiana.
Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
top related