tugas · web viewmakalah hukum lingkungan kelas c dosen pengampu : dr. i gusti ayu krh , s.h, m.m....
Post on 08-Mar-2019
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
- 25 Desember 2006-
TUGASMAKALAH
HUKUM LINGKUNGANKELAS C
Dosen Pengampu : Dr. I Gusti Ayu KRH , S.H, M.M.
ANTARA PENDAPATAN ASLI DAERAH
DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN
(Tinjauan kasus expor dan pencurian pasir skala besardi Propinsi Riau)
OLEH :
ARIF MAULANANIM. E0005103
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SEBELAS MARET
SOLO
2006
Makalah Hukum Lingkungan
1
- 25 Desember 2006-
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bukti Ketergantungan bangsa Indonesia kepada alam dapat dilihat
dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) yang besar-besaran tanpa
melihat kelanjutan fungsinya. Era Sentralisasi Pemerintahan exploitasi yang
tidak berwawasan lingkungan hidup masih terbatas pada pemanfaatan
wilayah-wilayah strategis saja, namun dewasa ini Era otonomi daerah yang
diterapkan di Indonesia memperuncing permasalahan pengelolaan
lingkungan hidup, khusunya pemanfataan SDA di daerah dimana masing-
masing daerah berlomba-lomba mengexploitasi kekayaan alam masing-
masing.
Otonomi Daerah dan Prioritas Pembangunan
Sebagian besar diskusi yang berlangsung mengenai prospek
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah, tertuju pada masalah
perimbangan anggaran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sepertinya ada asumsi bahwa dengan memiliki anggaran belanja yang besar
maka pemerintah daerah akan mampu mengelola pelaksanaan otoda.
Seiring dengan asumsi ini, maka daerah yang diuntungkan adalah hanya
daerah yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Kondisi ini
dipertegas dengan gencarnya pemerintah daerah berpikir keras untuk
mendapat penopang pembangunan daerahnya. Salah satunya melalui
Pendapatan Asli Daerah (PAD) .Sehingga PAD menjadi akronim yang
populer di tengah maraknya diskusi Otonomi Daerah. Metode yang paling
populer di Indonesia untuk pemasukan PAD adalah dengan mengekploitasi
sumber daya alam yang ada. Mungkin tidak menjadi problem pelik bagi
daerah yang ketersediaan sumber daya alamnya berlimpah. Tetapi
sebaliknya banyak daerah yang merasa ketersediaan potensi sumber daya
alamnya yang sedikit seakan-akan tidak berdaya menghadapi otoda.
Makalah Hukum Lingkungan
2
- 25 Desember 2006-
Pendekatan yang kedua paling mudah adalah meningkatkan PAD melalui
Pajak dan Retribusi Daerah.
Propinsi Riau sebagai salah satu daerah otonomi di Indonesia dewasa
ini perlu mendapatkan perhatian khusus, hal ini terkait dengan adanya
kegiatan expor pasir berskala besar yang dilakukan ke negara tetangga
Singapura, kegiatan perdagangan pasir dilaksanakan propinsi ini sejak tahun
70-an dan mencapai puncaknya pada dekade 80-an. (Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional ) menyatakan bahwa Indonesia belum
kehilangan satu pulau pun dari kegiatan ini. Namun, melihat bahwa kegiatan
menjual tanah air ini masih terus berlangsung dan semakin bertambah
intensitasnya, kekhawatiran tersebut bukan tidak mungkin terjadi.
. Tidak seperti ekspor daerah otonomi lain yang memperoleh PAD dari
penjualan hasil alam seperti hasil pertanian, peternakan atau hasil laut.
Propinsi Riau extrim memilih pasir sebagai komoditas expor yang
menguntungkan.
Penambangan pasir memang dianggap memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi Riau .
Triliunan rupiah dihasilkan dari kegiatan ini. Terlepas dari maraknya aksi
pencurian yang terjadi akibat sulitnya menentukan batas konsesi,
penambangan pasir laut/darat telah menjadi primadona bagi Pendapatan
Asli Daerah setempat.
Hampir 84% komoditi yang diekspor oleh Propinsi Riau adalah pasir
laut. Dua persen lainnya pasir darat dan sisanya komoditi lain. Saat ini,
hampir seluruh wilayah perairan empat kabupaten di Propinsi Riau sudah
dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga Juni 2002, tercatat 67
perusahaan yang telah mengantongi izin eksploitasi. Sementara itu, 300
perusahaan lainnya sudah memiliki izin eksplorasi. Belum lagi, bila satu
perusahaan memiliki lebih dari satu konsesi, seperti PT Equator Reka Cipta
dengan 14 konsesinya.
Makalah Hukum Lingkungan
3
- 25 Desember 2006-
Bisnis ini juga melibatkan begitu banyak orang berpengaruh di negeri
ini. Dari mulai Habibie, Ricardo Gelael, Taufik Kiemas hingga MS Zulkarnen,
mantan direktur Walhi. Tidak heran, mengingat ada begitu banyak uang yang
mengalir di dalamnya.
Untuk dapat melaksanakan kegiatan penambangan pengusaha harus
memperoleh izin pertambangan dengan memenuhi persyaratan usaha yang
ditentukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau (melalui Bupati dan Badan
Pengawas Daerah (BPD) Riau. Sebagaimana diketahui, ketika izin konsesi
didapatkan, pengusaha terlebih dahulu harus menyetorkan sejumlah uang
sebagai jaminan kesungguhan sebesar US$ 5 per hektar ke BPD Riau.
Ditambah iuran eksplorasi sebesar Rp. 20.000 per hektarnya dan iuran
daerah Rp. 25 ribu/ha. Ini belum lagi ditambah dengan biaya pengembangan
masyarakat (Community Development), sebagai kompensasi terhadap
nelayan tradisional yang besarnya mencapai 300-400 juta untuk setiap
konsesi dan dana penelitian AMDAL sebesar 200 juta.
Pungutan yang besar sebagai salah satu faktor yang mengakibatkan
banyaknya kecurangan yang dilakukan pihak pengusaha, dengan
mengambil pasir secara brutal tanpa memperhaitan mekanisme yang ada.
Hal ini dilakukan demi meraih uang kompensasi dari pungutan-pungutan
yang sedemikian besar.
Dalam proses penambangan pasir, Angka menyatakan bahwa dalam
satu kali kegiatannya tiap kapal mampu menyedot sekitar 60 ribu m3 dan
dalam satu hari setiap kapalnya bisa bolak-balik lima kali lebih dari lokasi
penambangan ke lokasi reklamasi. Artinya, 300 ribu meter kubik tersedot
setiap harinya untuk satu kapal. Bila dikali 10 kapal (minimal) yang
beroperasi, maka setiap harinya 3 juta m3. Setahun, berarti 750 juta m3 untuk
masa kerja aktif 250 hari. Jika dikalikan selama 5 tahun (aktivitas
penambangan paling marak) total 1,25 milyar m3 pasir Riau tersedot dan
pindah ke Singapura. Kalau bibir pantai sebelah timur Sumatera di timbun
Makalah Hukum Lingkungan
4
- 25 Desember 2006-
selebar 500 meter dengan kedalaman 10 meter, pasir itu bisa dipakai untuk
menutup pantai dari Lampung hingga Aceh.
Dengan jumlah yang sedemikian fantastis, Negeri Singapura
bertambah luas. Pada tahun 1991, luas daratan Singapura hanya 633 km2.
Sepuluh tahun kemudian, luasnya sudah menjadi 760 km2, bertambah 20%.
Penambahan pasir ini berkat andil Propinsi Riau dengan pasirnya. Bisa jadi,
suatu saat sebuah pulau yang dulunya milik Propinsi Riau akan diklaim
menjadi milik Singapura. Hal ini dimungkinkan mengingat dalam konvensi
hukum laut disebutkan bahwa wilayah laut dihitung berdasarkan coastal base
line atau titik-titik terluar dari suatu wilayah. Bila pasir terus diekspor dan
daratan Singapura bertambah, otomatis batas teritorialnya pun meluas.
Melihat latar belakang diatas kiranya dapat memberikan sedikit
gambaran awal mengenai demikian parahnya kasus penjualan pasir sampai
pencuriannya di Propinsi Riau. Sebab permasalahan diatas apabila dinalar
secara logika akan memberikan dampak kerusakan lingkungan yang luar
biasa tidak hanya bagi Sumber Daya Alam (SDA) yang diexploitasi,
masyarakat setempat tak pelak bila terus dibiarkan kedaulatan negara
Indonesia akan segera terkena imbasnya. . :
B. RUMUSAN MASALAH
Untuk memaparkan deskripsi mengenai kondisi diatas penulis
menentukan permasalahan yang hendak dicari jawabannya dalam makalah
ini yaitu :
1. Bagaimana sejarah munculnya kegiatan penjualan pasir skala besar
ke Singapura di Propinsi Riau ?
2. Faktor yang menyebabkan munculnya kasus pencurian pasir di
Propinsi Riau yang muncul seiring expor pasir ke Singapura ?
3. Akibat yang muncul dari kegiatan tersebut ?
Makalah Hukum Lingkungan
5
- 25 Desember 2006-
BAB IIPEMBAHASAN
Sejarah penjualan pasir skala besar ke Singapura di Propinsi Riau
Pasir Laut
Semua berawal dari keinginan Negeri Singa (Singapura) untuk
memperluas daratannya, dan rencana reklamasi dibarengi tender seharga
S$ 55,9 per m3 pun digelar. Tercatat, ada empat kontraktor sebagai
pemenang tender, yaitu Hyundai, Links Island/SLM Holding, Samsung, dan
Toa Corporation. Keempat perusahaan tersebut, kemudian menyerahkan
urusan pengangkutan dan pembelian pasir kepada sejumlah perusahaan
kapal keruk yang akan bertanggung jawab untuk membawa pasir dari lokasi
penambangan sampai dengan ke lokasi reklamasi.
Negara-negara pemilik kapal di antaranya Rusia, Belgia, Belanda,
Jepang, dan Korea. Keempat perusahaan pemenang tender itu tadi membeli
pasir dari kapal keruk seharga S$ 3,94/m3. Perusahaan kapal keruk
kemudian membeli pasir dari pemegang kuasa pertambangan dengan harga
jual di lokasi penimbunan (fee on board) sebesar S$ 1,75 /m3 (per Agustus
2002). Harga ini bersifat fluktuatif, tergantung negosiasi antara pembeli
(buyer) dan penjual (seller).
Pun bila kita melihat peta yang dikeluarkan Dinas Pertambangan, di
mana tidak ada sejengkal pun laut yang bebas dari kepemilikan kuasa
pertambangan. Semuanya untuk memenuhi proyek reklamasi yang akan
dilakukan oleh Singapura, yang dialokasikan untuk menimbun kawasan
industri, wisata, lahan pertanian, dan pusat penelitian perikanan. Proyek
tersebut tersebar di Pasir Panjang, Phase 2, Changi Bay, Western Islands,
North Eastern Islands, Tuas Reclamation, Punggol Reclamation, dan
Sentosa Islands, dengan kebutuhan yang bervariasi, dari mulai 10 juta
m3 (Sentosa Island) sampai 900 juta meter kubik (Westerns Islands). Total
kebutuhan untuk seluruh proyek tersebut, diperkirakan mencapai 1,8 miliar
Makalah Hukum Lingkungan
6
- 25 Desember 2006-
m3 dan diperkirakan keseluruhan proyek tersebut akan selesai pada tahun
2010.
Potensi Kebutuhan Pasir Laut Singapura
No Nama Proyek Luas (Juta m3) Status
1 Pasir Panjang Tahap II 150 Berlangsung pada tahun 2003
2 Pantai Changi 300 Berlangsung pada tahun 2003
3 Kepulauan Barat 900 Berlangsung pada tahun 2010
4 Pulau Jurong 200 Berlangsung pada tahun 2010
5 Kepulauan Timur Laut 200 Tender pada tahun 2005
6 Reklamasi Tuas 40 Tender pada tahun 2005
7 Reklamasi Punggol 10 Tender pada tahun 2005
8 Pulau Sentosa 15 Tender pada tahun 2005
Pasir tanah
Pulau-pulau, khususnya pulau kecil di Kepulauan Riau, selama ini
menjadi sasaran empuk penambangan pasir darat. Sebagai contoh, Pulau
Kundur atau Pulau Moro di Kabupaten Karimun. Di peta Indonesia, kedua
pulau itu hampir tidak terlihat.
Karena kondisi yang terpencil itulah, pengawasan pun menjadi lemah.
Pasir darat selama ini tidak hanya dijual antarpulau, melainkan juga diekspor
ke Singapura. Akibat eksploitasi pasir darat itu, lahan bekas penambangan
berubah menjadi danau atau empang. Bahkan, ada pula pulau yang sudah
hampir hilang ditelan laut.
Munculnya kasus pencurian pasir berskala besar di Propinsi Riau seiring expor pasir ke Singapura Kecurangan pembayaran pajak ekspor.
Tercatat, ada 6 anggota DPRD Riau yang memiliki kuasa
pertambangan, yaitu Chaidir, Ketua DPRD Riau, Thamrin Nasution, Sharizal
LZ, Badarawi Madjid, Fachruddin, Abdul Kadir, dan anak seorang Gubernur
Makalah Hukum Lingkungan
7
- 25 Desember 2006-
Riau yang sedang berkuasa saat itu, Indra Mukhlis Adnan. Ini belum
ditambah dengan kuasa pertambangan yang dimiliki pejabat pusat, termasuk
klannya Habibie, mantan orang nomor wahid di Indonesia. Walaupun
demikian, menurut data Bea dan Cukai Riau, dari sekian banyak kuasa
pertambangan yang ada, baru enam perusahaan yang menyetorkan pajak
ekspornya. Nilainya pun tidak seimbang.
Pada periode April – Desember 2000, ekspor pasir ini seharusnya
bernilai S$ 14 juta atau 14 juta trilyun, tetapi pajak ekspor yang diterima
pemerintah Cuma 18,2 miliar. Pada semester pertama 2001, nilai ekspor
pasir melonjak menjadi sebesar 47 trilyun, tetapi pajaknya Cuma 73,4 miliar.
Jelas, banyak sekali pengusaha yang curang dan tidak membayar pajak
ekspor.
Keterlibatan Militer
Anggota DPR RI periode 1999 – 2004, Priyo Budi Santoso,
menyatakan bahwa angkatan laut (AL), Kepolisian, dan Bea Cukai terlibat
dalam bisnis pencurian pasir laut. Indikatornya bisa dilihat dari Berita Acara
Klarifikasi tahun 2001, di mana tercatat jumlah produksi hanya 47,3 juta m3
atau senilai Rp. 114,127 miliar. Padahal, kebutuhan Singapura periode 2000-
2005 mencapai 1,268 trilyun m3 atau setara dengan Rp. 40,730 trilyun.
Otomatis, seharusnya jumlah pasir yang telah ditambang mencapai 253,6
juta m3. Alasan bahwa sebagian kebutuhan Singapura dipenuhi oleh
Malaysia, sangat tidak masuk akal, karena aktivitas di Malaysia hanya
berlangsung sebentar dan saat ini pun tidak ada lagi. Berbagai aspek yang
mendorong terjadinya tindak pencurian ini bisa jadi akibat :
Kacaunya perijinan yang ada.
Setelah otonomi diberlakukan pada 1 Januari 2001, Gubernur Riau,
Saleh Djasit, Bupati Karimun, Haji Muhammad Sani, dan Bupati Kepri, Huzrin
Hood, saling berlomba mengeluarkan izin konsesi tanpa mengacu pada
konsesi yang telah ada. Hingga April 2001, ketiganya telah mengeluarkan
Makalah Hukum Lingkungan
8
- 25 Desember 2006-
lebih dari 300 izin eksplorasi konsesi pertambangan. Akibatnya, bisa
dibayangkan. Tidak adanya koordinasi dan sempitnya ruang mengakibatkan
satu konsesi menindih konsesi yang lain. Inilah satu masalah mendasar dari
proses perizinan yang bisa menjadi bom waktu pemicu konflik antara
pengusaha lawan pengusaha yang lain. Tapi, jangan khawatir, konflik
tersebut sebetulnya tidak akan terjadi jika pengusaha jual beli tanah air ini
mengikuti aturan main yang telah ditetapkan dalam proses pembuatan
Amdal. Sebagaimana diketahui, di dalam Amdal telah disyaratkan untuk
membuat tanda batas dari pelampung yang diberi warna. Tujuannya agar
masing-masing konsesi dapat dikenali. Bila aturan ini dituruti, kekhawatiran
munculnya konflik bisa diabaikan. Yang justru membuat cemas adalah
bahwa para pengusaha tersebut, telah melakukan pencurian sumberdaya
alam, secara besar-besaran, dengan cara menambang di tempat yang bukan
menjadi konsesinya, mengingat sulitnya menentukan batas antara satu
dengan yang lain. Bila ini yang terjadi, tentu saja negara berada pada posisi
yang dirugikan. Laut memang tidak memiliki tanda alam. Itu sebabnya, untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih, dokumen Amdal mewajibkan adanya
pelampung sebagai batas konsesi. Inilah celah yang digunakan untuk
melakukan pencurian. Dengan tidak meletakkan pelampung (baca:
pembatas), mereka semakin leluasa mengeruk keuntungan.
Pelanggaran Aturan
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen
Perdagangan Diah Maulida mengatakan, dari hasil kunjungan tim bersama
antar-instansi terkait terungkap, telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
kewajiban pemegang surat izin pertambangan daerah (SIPD) atau kuasa
penambangan untuk penambangan pasir, tanah, dan bahan galian golongan
C lain.
Kecurangan yang terjadi dalam proses penyusunan AMDAL..
Demo nelayan tradisional, juga, sekali lagi membuktikan Seharusnya, di
dalam penyusunan AMDAL tersebut, masyarakat dilibatkan sebagai salah
Makalah Hukum Lingkungan
9
- 25 Desember 2006-
satu stakeholder yang selama ini dekat dengan lokasi konsesi dan sekaligus
berhubungan erat dengan konsesi yang ada. Dengan adanya demo ini, fakta
bahwa proses penyusunan AMDAL begitu dangkal dan bobrok, bukan lagi
sekedar isapan jempol.
Fakta bercerita bahwa masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam
pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan yang berkenaan dengan hajat hidup mereka
sehari-hari tidak disosilisasikan sehingga peran serta masyarakat dalam
pengawasan / kontrol tidak dapat terwujud. Inilah sebab utama munculnya
pencurian tanpa diketahui dan dapat dilaporkan oleh masyarakat.
Begitu banyaknya pungutan yang harus dilalui
Hal yang juga mendorong mereka untuk melakukan ini adalah, salah
satunya, begitu banyaknya pungutan yang harus dilalui, baik ketika masa
eksplorasi maupun eksploitasi. Hal tersebut diakui sendiri oleh salah seorang
pengurus Asosiasi Pengusaha Penambangan pasir Laut. Bahkan, sumber
dari AP3L tersebut mengaku bahwa dalam setahunnya, terjadi illegal sand
mining sebesar 35 juta m3. Entah dari mana angka ini didapat. Namun, hal ini
bisa dijadikan sebagai petunjuk bahwa pencurian tanah air begitu menggila.
Pengusaha memang mendapat banyak keuntungan dari konsesinya, dengan
harga jual S$ 1,75/m3 (Agustus, 2002) di lokasi reklamasi. Namun, dengan
banyaknya pungutan, keuntungan tersebut mungkin belum mencukupi untuk
menutup pungutan-pungutan liar lainnya. Belum lagi kekhawatiran konsesi
yang dimiliki berisikan lumpur, sebagaimana konsesi seorang tokoh Riau, Dr
Tabrani Rab, yang berisi lumpur, sehingga berbalik dan mulai menyerang
seluruh aktivitas penambangan tersebut, dengan alasan merusak lingkungan
dan merugikan masyarakat nelayan.
Sebagaimana diketahui, ketika izin konsesi didapatkan, pengusaha
terlebih dahulu harus menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan
kesungguhan sebesar US$ 5 per hektar ke BPD Riau. Ditambah iuran
Makalah Hukum Lingkungan
10
- 25 Desember 2006-
eksplorasi sebesar Rp. 20.000 per hektarnya dan iuran daerah Rp. 25
ribu/ha. Ini belum lagi ditambah dengan biaya pengembangan masyarakat
(Community Development), sebagai kompensasi terhadap nelayan
tradisional yang besarnya mencapai 300-400 juta untuk setiap konsesi dan
dana penelitian AMDAL sebesar 200 juta. Jadi, seandainya seorang
pengusaha mendapatkan konsesi, katakanlah 4.000 hektar, maka ia harus
menyetorkan:
Tabel 1. Pungutan Pra Penambangan
No Kewajiban Pengusaha* Jumlah
1 Jaminan Kesungguhan Rp. 200.000.000,-
2 Proses AMDAL Rp. 200.000.000,-
3 Iuran Eksplorasi Rp. 80.000.000,-
4 Iuran Daerah/Tahun Masa Eksplorasi Rp. 100.000.000,-
5 Kompensasi CD Rp. 300.000.000,-
6 Iuran Daerah/Tahun1 Rp. 100.000.000,-
Total Rp. 980.000.000,-
1Dibayar di muka untuk tahun pertama masa eksploitasi.
*Dikembalikan apabila selesai/habis masa konsesi.
Setelah semua proses dilalui, barulah pemilik konsesi mengontak
pemilik kapal yang umumnya dimiliki oleh perusahaan asing. Tercatat
beberapa pemain berada di sini, di antaranya dari Jepang, Korea, Belanda,
Belgia, Rusia, dan beberapa perusahaan dengan nama asing. Namun,
berbendera Panama. Dan apabila terdapat warga asing sebagai ABK-nya,
maka harus ada izin dari Angkatan Laut dan Departemen Luar Negeri
(Deplu). Untuk ini, pengusaha ditarik sumbangan sukarela yang besarnya
bervariasi. Konon, sumbangan di Angkatan Laut mencapai S$ 10 sen/hektar
atau bila mengacu pada luasan yang ada, berarti sebesar S$ 40.000/thn. Hal
di atas belum lagi selesai. Ketika operasi, setoran yang harus dibayar adalah:
Makalah Hukum Lingkungan
11
- 25 Desember 2006-
No Komposisi Harga/m3 Pasir Laut
1 Iuran Produksi ke Pemerintah Pusat 10% S$ 0.175
2 Iuran Produksi ke Pemerintah Daerah 25% S$ 0,438
3 Biaya Transportasi1 S$ 0,2
4 Biaya Keruk S$ 0,33
5 Biaya Pengembangan Masyarakat S$ 0,10
6 Pajak Ekspor Barang S$ 0,35
-- Total Sementara S$ 1,693
7 Margin Keuntungan Sementara S$ 0,057
8 Pajak CnF Pemerintah Pusat 25% S$ 0,01425
9 Pajak CnF Pemerintah Daerah 50% S$ 0,0285
-- Total Margin Keuntungan S$ 0,01425
1Untuk jarak rata-rata20 mil.*1 m3: US$ 1,75.
Harga Per Agustus 2002. Bila S$ 1 = Rp. 5600, maka keuntungan
yang diterima oleh si pemilik konsesi mencapai Rp. 79,8/m3. Kalau dalam
seharinya satu buah kapal mampu menyedot sekitar 200 ribu m3 (tergantung
jarak), maka keuntungan dari pengusaha tersebut menjadi 12amper Rp
15.960.000/hari. Dalam setahun, dengan masa kerja efektif 250 hari, maka
keuntungan menjadi 12amper Rp. 4 milyar, kotor. Belum dipotong dengan
biaya administrasi dan sebagainya, termasuk berbagai macam pungutan
siluman. Sebuah angka yang fantastis untuk jual beli tanah air. Bayangkan,
kalau ia memiliki banyak konsesi. Bayangkan pula, kalau ia menyedot tidak
sampai 1 mil dari bibir pantai, sebagaimana yang sering dilakukan.
Bayangkan pula, kalau nilai tukar dollar Singapore turun seperti sekarang ini
yang hanya mencapai Rp. 5.100.
Satu-satunya pilihan untuk menaikkan margin keuntungan bagi
pemilik kapal keruk dan pelaksana proyek reklamasi adalah mencuri. Kapal
keruk beroperasi tidak berdasarkan kuasa pertambangan. Pihak Singapura
Makalah Hukum Lingkungan
12
- 25 Desember 2006-
dengan senang hati akan menghargainya sebesar 1 S$ per m3. Kalau saja
setiap kapal berukuran sedang mampu mengeruk sekitar 200 ribu m3, berarti
keuntungan yang diterima pemilik kapal mencapai S$ 100 ribu, setelah
dipotong ongkos angkut dan ongkos keruk, dari satu kapal. Bebas dari biaya
setoran, dan lain-lain.
Tentu saja, Pemerintah Singapura menutup mata dengan
mendasarkan pada 13amper13t bahwa seluruh kontrak reklamasi telah
diserahkan pada pihak swasta dan pemerintah tidak ikut campur dari mana
swasta akan melakukan pengadaan pasir tersebut, sebagaimana yang diakui
oleh Ajiv Shingh, Konsulat Singapura di Riau. Otomatis, dengan cara ini
Negeri Singa tersebut menjauhkan diri dari pertanggungjawaban terhadap
setiap ton pasir yang dicuri dari Riau. Secara otomatis, bila kasus ini dibawa
ke pengadilan, maka pemerintah Singapura telah memposisikan dirinya
sebagai yang tak tersentuh, the Untouchable.
Akibat yang muncul
Penambangan pasir laut menimbulkan kerusakan lingkungan yang
serius. Hal yang paling gampang dideteksi adalah
a. Hilangnya sebuah pulau karang di alur pelayaran
antara Selat Panjang - Tanjung Balai Karimun. Seorang masyarakat
yang seringkali menggunakan jasa transportasi laut tersebut,
mengaku bahwa setahun yang lalu pulau tersebut masih ditumbuhi
oleh dua tiga pohon keras dan ilalang. Dan sekarang, pulau tersebut
hampir tidak terlihat lagi, khususnya pada saat titik terendah pasang
surut laut. Dijalur pelayaran yang sama pula, kita bisa menyaksikan
puluhan kapal pengeruk beroperasi setiap harinya. Berjejer seperti
noktah hitam di pinggir laingit.
b. Kondisi tersebut bertambah parah dengan keruhnya perairan laut
sekitar maupun bau busuk yang terkadang menyengat. Tidak lagi
bisa kita lihat birunya air dan harumnya udara laut. Semua berganti
Makalah Hukum Lingkungan
13
- 25 Desember 2006-
dengan warna keruh dan bau busuk yang cukup menyengat. Ini
terjadi hampir di seluruh perairan Kepulauan Riau, khususnya di
mana kapal keruk melakukan aktivitas. Metode pengambilan pasir
terbagi dua.
Pertama, dengan melakukan pengerukan sebagaimana halnya
buldozer melalulantakkan apa yang dilaluinya. Kedua, adalah
dengan menggunakan pipa penyedot dengan kekuatan yang besar.
Ia akan menyedot apapun yang ada di ujung pipa tersebut. Namun,
walaupun metode kedua berbeda, namun hasil yang ditimbulkan
tetap saja sama. Pasir yang ada akan tersedot habis ke atas dan
sesampainya di atas dipisahkan. Pasir masuk ke bak penampungan
dan lumpur dibuang kembali ke laut. Yang patut dicermati, adalah
pasir yang tersedot tersebut kemudian meninggalkan lubang.
Berdasarkan efek gravitasi kemudian pasir yang di atasnya akan
menutup kembali lubang tersebut. Biasanya, secara alami, pasir
yang ada memang akan mengisi kekosongan tersebut. Namun, ini
terjadi secara alami sehingga perpindahan pasir dari satu tempat
mengisi tempat yang lain tidak akan terlalu terasa perubahannya.
Namun, apabila proses yang terjadi merupakan sebuah percepatan,
maka hasilnya akan berbeda. Pasir yang di atasnya, secara
otomatis, turut menyedot dan membuat pantai menjadi curam. Akibat
lebih jauh, gerusan ombak dengan leluasa menghajar apa yang ada
di pinggir pantai. Bisa dibayangkan, proses pemindahan pasir yang
terjadi, secara drastis, dari hari ke hari, bulan, dan dari tahun ke
tahun. Proses ini mengalami percepatan yang maha dahsyat dalam
kurun waktu 2 tahun terakhir ini
c. Di sejumlah tempat, abrasi pantai yang terjadi sudah mencapai 35
meter. Bahkan, abrasi juga sudah menelan sebuah pulau, yang
dikenal dengan nama Pulau Karang, tempat di mana nelayan
biasanya berteduh dari hembusan angin yang terkadang tidak
bersahabat. Di Desa Parit, Kecamatan Karimun, abrasi pantai
Makalah Hukum Lingkungan
14
- 25 Desember 2006-
sudah berada di tepi rumah salah seorang nelayan. Abrasi sejauh 24
meter tersebut, bisa dilihat pada titik N 00º57 310.10 E 103º2601.90.
Kemudian pada titik N 00º55023.50 E 103º28019.90, di mana abrasi
dan lumpur yang ditinggalkan kapal keruk turut mengancam usaha
budidaya rumput laut yang diusahakan warga. Demikian juga halnya,
di Desa Lubuk Puding.
Di Pulau Buru, abrasi pantai juga terjadi pada titik N
00º52032.00 E 103º31040.50 sejauh 17 m. Abrasi juga menghantam
dan menghabiskan tiga baris perkebunan kelapa milik masyarakat
di Lubuk Puding. Masih banyak lagi lokasi di mana abrasi telah
menggerus pantai yang ada. Inilah bukti tak terbantahkan bahwa ada
penyusutan pulau yang tengah terjadi di Karimun. Seperti yang telah
dikatakan, bahwa abrasi pantai telah mengalami percepatan dalam
2-3 tahun belakangan ini. Tingginya aktivitas penambangan pasir
dianggap menjadi penyebab dari kondisi tersebut. Belum adanya
penelitian yang menyeluruh terhadap berbagai dampak yang
ditimbulkan dari penambangan pasir, khususnya terhadap
lingkungan, membuat hubungan sebab akibat ini bersifat asumsi.
Akan tetapi, berdasarkan laporan langsung dari nelayan setempat
dan berdasarkan logika berpikir, hal ini bisa diketengahkan dalam
melakukan penilaian hubungan sebab akibat yang terjadi dari suatu
aktivitas penambangan pasir dan percepatan abrasi yang terjadi.
d. Kerusakan lingkungan bukan saja terjadi pada pantai, akibat abrasi.
Lumpur yang ikut tersedot dan dimuntahkan kembali ke laut
merupakan penyebab utama keruhnya perairan di Karimun. Berbagai
jasad renik yang ikut tersedot, secara otomatis, ikut menjadi
penyebab munculnya bau busuk yang mengganggu. Dalam kondisi
perairan yang sedemikian rupa, pertanyaan yang muncul, adakah
kehidupan yang mampu bertahan di dalamnya. Tidak ada satupun
dan ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan
nelayan. Bila sebelum maraknya penambangan, seorang nelayan
Makalah Hukum Lingkungan
15
- 25 Desember 2006-
mampu membawa pulang 30 kg-50 kg udang sehari, kini untuk waktu
yang sama, jumlah tangkapannya menjadi 5 kg-15 kg. Dengan
catatan, hal itu bersifat untung-untungan. Keruhnya perairan sekitar
juga, secara otomatis, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
karang yang ada.
e. Sulitnya sinar matahari menembus kedalaman laut tertentu
menyulitkan karang dalam melakukan aktivitas fotosintesis sehingga
menghambat pertumbuhan karang tersebut. Penyedotan pasir juga
menyebabkan hilangnya sejumlah padang lamun di samping
menghancurkan karang-karang yang ada. Hilangnya sejumlah
padang lamun dan terumbu karang, secara pasti, turut menjadi
penyebab beremigrasinya sejumlah ikan tangkapan nelayan ke lain
tempat. Tentu saja, tidak ada yang suka untuk tinggal dan menetap
di kondisi perairan yang sedemikian kotor dan berbau. Belum lagi
polusi suara yang ditimbulkan oleh kapal-kapal pengeruk tersebut.
f. Seorang nelayan mengaku pernah melakukan penyelaman sedalam
lebih dari 7 meter dan masih mendengar dengan jelas kebisingan
yang ditimbulkan oleh kapal pengeruk yang berjarak sejauh 500
meter dari lokasi penyelaman. Hal yang paling mengerikan daripada
itu semua adalah kekhawatiran musnahnya sejumlah pulau kecil
yang bertebaran di perairan Karimun. Aktivitas jual beli tanah air
tersebut, dituding sebagai salah satu faktor utama yang
mempercepat proses tersebut. Ketakutan tersebut bukannya tidak
beralasan. Ada sejumlah bukti yang bisa diketengahkan di sini, di
mana ada beberapa pulau yang nyaris hilang selain pulau yang
memang sudah hilang sama sekali. Lepas pantai Desa Moro, ada
sebuah pulau karang yang dulunya dijadikan nelayan untuk tempat
berteduh manakala badai datang menerpa. Pulau tersebut ditumbuhi
oleh beberapa tetumbuhan keras dan ilalang dengan kontour tanah
yang meninggi pada bagian tengahnya, sehingga dapat digunakan
sebagai tempat untuk beristirahat barang sejenak dan untuk
melindungi diri dari amukan angin yang datang tanpa terduga,
Makalah Hukum Lingkungan
16
- 25 Desember 2006-
mengingat letaknya di selat yang cukup sempit. Tapi, kini itu semua
tiada lagi, yang tinggal di pulau tersebut hanya tunggul kayu yang
mencuat ke atas. Tidak ada lagi tanah di mana bisa ditambatkan
perahu, tidak ada lagi!
Yang patut disayangkan, pemerintah sepertinya menutup mata dengan
berbagai kondisi yang ada. Walaupun diakui bahwa, untuk meyakini proses
abrasi dan keruhnya perairan sekitar akibat penambangan pasir diperlukan
sebuah perangkat yang bisa menilai indikator dan parameter yang
dimaksud, namun, menjalani fungsi sebagai fasilitator, seharusnya
pemerintah tanggap dengan maraknya demo dari para nelayan tradisional,
akibat terusiknya area di mana selama ini mereka menggantungkan periuk
nasi keluarganya.
Tabel 3. Data Kerusakan Lingkungan Desa/Kecamatan
No Koordinat Keterangan
1Pulau Tulang, Desa
Tulang, Kecamatan Karimun
Tidak diambil, pasir pantai menjadi lumpur,
air laut keruh, padang lamun hilang, dan terumbu
karang mengalami kerusakan.
2Pulau Setunak, Desa
Tulang, Kecamatan Karimun
Tidak diambil, banyak pohon kelapa yang
tumbang, pasir pantai menjadi lumpur, air laut keruh,
padang lamun hilang, dan terumbu karang
mengalami kerusakan.
3
Dusun Parit I, Desa Parit,
Kecamatan Karimun (N 00º 570
31.10 E 103º 260 01.90)
Abrasi pantai sejauh 12 meter, dihitung dari
rumah Pak Kadir ke titik pasang tertinggi, pohon
kelapa tumbang 2 baris, dan pantai menjadi landai.
Tidak ada beda antara pantai dengan daratan.
Permukaan air laut naik setinggi 30 cm dari biasanya.
4
Dusun parit IV, Desa
Parit, Kecamatan Karimun (N 00º
550 15.20 E 103º 280 39.50)
Abrasi pantai sejauh 12,7 m, air menjadi
keruh, lumpur melekat di rumput laut milik penduduk.
5
Dusun Sukamulya, Desa
Lubuk Puding, Kecamatan
Karimun.
Tidak diambil, pada tahun 2000, pantai
masih landai dan sekarang telah menjadi curam.
Apabila pasang, maka air naik ke rumah penduduk.
Makalah Hukum Lingkungan
17
- 25 Desember 2006-
6
Dusun Lubuk Puding,
Kecamatan Karimun (N 00º 520
04.7 E 103º 310 23,40)
Abrasi pantai sejauh 15 m.
7
Dusun Teluk Dalam,
Desa Lubuk Puding, Kecamatan
Puding, Kecamatan Karimun (N
00º 520 05.00 E 103º 31023.40)
Abrasi pantai sejauh 14,3 m, yang
mengakibatkan 3 baris pohon kelapa penduduk
tumbang.
Tabel 4. Data Kerusakan Lingkungan Desa/Kecamatan
No Koordinat Keterangan
1
Dusun Air Hitam,
Desa Lubuk Puding,
Kecamatan Karimun (N 00º
520 32.00 E 103º 310 40.50)
Dulunya tunggul bakau tidak muncul ke
permukaan karena tertutup pasir dan lumpur. Saat ini,
pantai menjadi lebih curam. Mulai bulan Juli tahun 2001, air
pasang masuk ke dalam rumah penduduk. Sejak setahun
yang lalu, air pasang mencapai sepinggang orang dewasa.
Dulunya hanya sampai selutut. Ini terjadi di rumah-rumah
yang dekat pantai.
2
Pantai Lubuk
Puding, Kecamatan
Karimun (N 00º 530 14.2 E
103º 31019.10)
Abrasi pantai sejauh 109,5 m.
3
Desa Sawang,
Kecamatan Kundur (48N
0316587 UTM 0082514)
Di depan pantai ada sebuah pulau yang dulunya
tinggi dengan jarak dari garis pantai 6-7 meter. Saat ini,
pulau tersebut hampir hilang dan jarak ke pantai mencapai
25-35 meter. Berkurangnya unggas laut. Ombak yang
dulunya jernih sekarang membawa lumpur dan keruh
sekali. Kelapa banyak yang tumbang dan air pasang
mencapai ke daratan dan rumah penduduk. Bebatuan yang
ada di pantai mulai turun.
4
Kelurahan Tanjung
Balai Karimun (48 N
0316587 UTM 0082514)
Ikan dan udang banyak berkurang, sedangkan
ombak semakin besar. Pasir di pantai mulai turun ke laut.
Terumbu karang hancur dan bisa dilihat karang kecil yang
hancur dan terbawa ombak ke pantai.
Makalah Hukum Lingkungan
18
- 25 Desember 2006-
Inilah sebagian data kerusakan yang bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Tentu saja hubungan secara ilmiah antara kerusakan yang
terjadi dengan aktivitas penambangan pasir tersebut belum pernah dilakukan
dan kalaupun ingin dilakukan akan memakan biaya yang cukup besar.
Fakta bahwa penambangan pasir ini berdampak serius terhadap
lingkungan sebetulnya bisa dibuktikan dengan citra landsat dengan metode
series, di mana kita akan memperbandingkan luasan pulau yang ada pada
tahun 1995, 1998, 2000, dan 2002. Dari citra landsat itulah, analisa dapat
dilakukan dan sejumlah kerusakan tersebut dapat dikenali dari mana asal
muasalnya dan bagaimana ke depannya nanti apabila penyebab kerusakan
tersebut dibiarkan.
Satu hal yang pasti, bila abrasi ini tidak segera dihentikan, dalam
waktu 5-10 tahun yang akan datang, Pemerintah Daerah Karimun dan
Propinsi Riau harus membangun barier di sekeliling Pulau Karimun, sebagai
pemecah ombak dan untuk menahan laju abrasi yang sedang terjadi. Berapa
biaya yang harus dikeluarkan apabila Pemerintah Daerah Kabupaten
Karimun tidak ingin kehilangan pulau-pulaunya dan bagaimana
perbandingannya antara membangun barier di masa yang akan datang
dengan keuntungan yang didapat pada saat ini hampir 100 milyar untuk
menutupi area sepanjang 500 meter dengan kedalaman laut antara 10-20
meter. Sungguh tidak dapat dihitung kerugian yang harus dikeluarkan di
masa yang akan datang bila dibanding dengan keuntungan yang didapat di
masa kini.
Penambanagan Pasir darat juga menimbulkan akibat diantaranya :
Pasir darat selama ini tidak hanya dijual antarpulau, melainkan
juga diekspor ke Singapura. Akibat eksploitasi pasir darat itu,
lahan bekas penambangan berubah menjadi danau atau
empang. Bahkan, ada pula pulau yang sudah hampir hilang
ditelan laut.
Makalah Hukum Lingkungan
19
- 25 Desember 2006-
Dari pengamatan udara itu, terlihat beberapa alat gali
(shovel) yang masih bekerja menambang pasir darat dan
tanah. Di samping itu, ditemukan tiga pulau kecil di
sekitarnya yang habis atau 20amper habis, yang
kemungkinan ditambang, dan rata dengan permukaan laut.
pola aliran massa air di pesisir dan laut yang ditentukan
terutama oleh pasang surut dan arus musiman dapat
merusak ekosistem yang ada karena tidak adanya pohon-
pohon bakau atau sejenis sebagai pelindung pesisir
pantai. Hilangnya hutan bakau tersebut, antara lain,
sebagai akibat banyaknya pembuatan dermaga
pendaratan tongkang pengangkut pasir darat, tanah, dan
bahan galian golongan C lainnya di pesisir pantai dan
gundulnya pohon-pohon di daratan.
Makalah Hukum Lingkungan
20
- 25 Desember 2006-
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berbagai permasalahan tersebut di atas, sedikit banyak turut
mengganggu rasa dan karsa terhadap keadilan. Ada sebuah proses yang
hilang di mana masyarakat yang memiliki ketergantungan terhadap kondisi
Sumber Daya Alam (SDA) sekitar, tidak lagi dipandang oleh para pembuat
kebijakan.
Paradigma pembangunan yang mengandalkan dan mengedepankan
nilai keuntungan jangka pendek, membuat para pembuat kebijakan
khususnya pemerintah daerah (Kabupaten ) Propinsi Riau menafikan
keberadaan dan ketergantungan masyarakat setempat terhadap lingkungan
mata pencahariannya. Yang terjadi kemudian, bahkan, sebuah proses
pembodohan secara sistematis, yang tujuannya untuk meredam gejolak-
gejolak penolakan yang telah dan akan timbul dari masyarakat.
Paradigma pembangunan tersebut juga telah meluluhlantakkan
sejumlah potensi sumberdaya alam lainnya, seperti terumbu karang, padang
lamun, dan keanekragaman hayati laut linnya , di samping turut menjadi
penyebab terjadinya proses percepatan abrasi pantai.
SARAN
o pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan ekologis tidak boleh
hanya untuk kesejahteraan generasi sekarang, melainkan juga untuk
kesejahteraan generasi mendatang. Oleh karena itu, kelestarian
sumber daya alam dan lingkungan harus tetap diperhatikan.
Makalah Hukum Lingkungan
21
- 25 Desember 2006-
o Perlunya segera dibentuk aturabn baru revisi UU No. 27 Tahun 1997
yang mengatur secara jelas kewenagan daerah dalam pemanfaatan
SDA
o Pemerintah kabupaten jangan lagi memperpanjang penambangan
yang merusak lingkungan
o
o Pemerintah pusat harus berupaya membuat kebijakan yang mengatur
masalah eksploitasi pasir darat. Kebijakan itu tentu tidak hanya terkait
dengan perdagangan, seperti ekspor pasir darat, melainkan juga
kebijakan di hulu, seperti izin penambangan dan pengawasan
terhadap penambangan yang dilakukan.
o Agar dihentikannya seluruh aktivitas penambangan pasir, mengingat
bahwa hingga hari ini belum ditemukan satu pun metode
penambangan pasir yang ramah lingkungan dan tidak merugikan
hidup dan kehidupan masyarakat nelayan tradisional setempat,
o Agar diterbitkannya kebijakan yang diikuti tindakan nyata dalam upaya
merehabilitasi kerusakan lingkungan yang terjadi, proses rehabilitasi
perlu dilakukan terhadap lahan-lahan bekas galian. Bagaimana
mengawasi orang yang memiliki izin mengambil pasir. Bagaimana
memastikan bahwa pasir yang diambil sesuai dengan volume yang
diizinkan atau diperbolehkan untuk dieksploitasi. Pengawasan di
tingkat lapangan akan berhasil jika aparat-aparat pemerintah daerah
bersih dan tidak ikut terlibat.
o Adanya rasa kemanusiaan (sense of humanity) dari Pemerintah
Daerah, Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Singapura, dengan cara
mengganti kerugian yang ditimbulkan selama ini, yang secara
langsung, telah memberikan dampak bagi kesejahteraan komunitas
masyarakat nelayan tradisional setempat, dengan cara-cara yang
Makalah Hukum Lingkungan
22
- 25 Desember 2006-
mendidik dengan meningkatkan kemampuan mereka dalam
mengelola dan mengusahakan sumberdaya alam yang berkelanjutan.
o Sesegera mungkin mencari dan mengupayakan alternatif Pendapatan
Asli Daerah (PAD)yang spesifik dan sesuai dengan nilai-nilai
kehidupan masyarakat nelayan setempat, dan
o Mendorong terciptanya sebuah upaya Mekanisme Konsultasi Publik,
sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang lebih partisipatif.
Makalah Hukum Lingkungan
23
- 25 Desember 2006-
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Koesnadi, Hardjosoemantri. 2005 .Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
KoranKompas, Jumat, 11 Agustus 2006
Situs Internet
http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/040910_ Blunder Berikut Dari Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Serakah
http://su.wikipedia.org/wiki/Riau
http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/040910_rtrwpriau_li
http://kawasan.bappenas.go.id/k_perbatasan/data_batas/bukurinci_kepri.pdf.
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/PKN/Makalah/INTEGRASI_ASPEK_LINGKUNGAN_DAN_EKONOMI%20_Dr_Dodik.pdf.
Makalah Hukum Lingkungan
24
top related