tugas klp pjn
Post on 05-Dec-2015
49 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah
negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin adanya kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan
keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum ini dapat
dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang memerlukan
adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban
seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian
hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran
dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris1.
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik
dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun
yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian
peristiwa atau perbuatan hukum itu dilakukan. 2
1 Biro Humas dan HLN. Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, (www.wawasanhukum.blogspot.com, 3 Juli 2007).2 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/5374/1/09E01963.pdf
1
Notaris bertindak sebagai pelayan masyarakat sebagai pejabat
yang diangkat oleh pemerintah yang memperoleh kewenangan secara
atributif dari Negara untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam
hubungan hukum yang terjadi antara mereka yang digunakan sebagai alat
bukti akan dokumen-dokumen legal yang sah yang memiliki kekuatan
pembuktian yang sempurna. Dalam pelayanannya Notaris terikat pada
Peraturan Jabatan dan kode etik profesi sebagai notaris.
Pengaturan mengenai notaris di Indonesia pada awalnya mengacu
pada ketentuan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Staatsblad
1860 Nomor 3) atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yang merupakan
aturan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan peraturan
perundang-undangan lain yang merupakan peraturan perundang-
undangan nasional dibidang notaris.
Sesuai perkembangan zaman, Instruksi untuk para notaris
mengalami beberapa kali perubahan, antara lain :
1822, Instructie voor de Notarissen : notaris adalah Pejabat umum
(publiek ambtenaar) yang bertugas untuk membuat akte-2 dan
kontrak-kontrak.
Stb. 1860 No.3 “Reglement op het notarisambt” : Peraturan Jabatan
Notaris.
Ordonantie 16 September Tahun 1931 tentang Honorarium
Notaris.
2
Undang-Undang No. 33 – 1954, tentang Wakil Notaris dan Wakil
Notaris Sementara
Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang perubahan atas
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang MA
Undang-Undang No.8 Th.2004 tentang perubahan atas UU No.2
Th.1986 ttg Peradilan Umum
PP No.11 Th.1949 tentang Sumpah/janji Jabatan Notaris
Undang-Undang No. 30 Tahun.2004 tentang Jabatan Notaris,
Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 30 Tahun.2004 tentang Jabatan Notaris3
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004
tentang jabatan notaris.4 Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Pejabat Umum
merupakan suatu jabatan yang disandang atau diberikan kepada mereka
yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam pembuatan akta otentik.
Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya diberikan kewenangan untuk
membuat akta otentik. Oleh karena itu Notaris sudah pasti Pejabat Umum,
tapi Pejabat Umum belum tentu Notaris, karena Pejabat Umum dapat
disandang pula oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat
Lelang.
3 http://ichanklaida.blogspot.co.id/2011/03/peraturan-jabatan-notaris.html4 http://www.jimlyschool.com/read/analisis/384/notaris-openbare-amtbtenaren-syafran-sofyan/
3
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut diatas,
maka penulis tertarik untuk meneliti, membahas dan mengkaji
permasalahan tersebut diatas dalam bentuk sebuah makalah berjudul:
“Notaris Sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Umum Lainnya”.
I.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis
mencoba merumuskan dan mengkaji permasalahan dalam penelitian ini.
Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kedudukan jabatan notaris sebagai pejabat umum dan
pejabat umum lainnya ditinjau dari perundangan dan peraturan
terkait yang ada di Indonesia?
i.3 METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode yuridis
normatif, yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang seutuhnya
mengenai suatu hal enurut pandangan manusia yang diteliti dengan
merujuk pada ketentuan-ketentuan hukum yang terkait.
4
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PENGERTIAN
Jabatan Notaris sesungguhnya menjadi bagian penting dari negara
Indonesia yang menganut prinsip Negara hukum (Ps.1 ay.3 UUD NRI Th
1945)5. Dengan prinsip ini, Negara menjamin adanya kepastian hukum,
ketertiban dan perlindungan hukum, melalui alat bukti yang menentukan
dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam
masyarakat. Salah satu jaminan atas kepastian hukum yang memberikan
perlindungan hukum adalah alat bukti yang terkuat dan terpenuh, dan
mempunyai peranan penting berupa “akta otentik”.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud UU 30/2004
tentang jabatan notaris. Ps 1868 BW : suatu akta otentik ialah suatu akta
yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh/dihadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
Pasal 1870 & 1871 KUHPer : Akta otentik adalah alat pembuktian
yang sempurna bagi kedua pihak & AW,sekalian org yang mendapat
haknya dari akta tsb memberikan kpd pihak-pihak suatu pembuktian yang
mutlak.
Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah,formil dan materil:
1. Kekuatan pembuktian lahiriah; akta itu sendiri mempunyai kekuatan
untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik,krn
5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
5
kehadirannya,kelahirannya sesuai /ditentukan dg per-uu-an yang
mengaturnya;
2. Kekuatan pembuktian formil; apa yang dinyatakan dalam akta tsb
adl benar.
3. Kekuatan pembuktian materil;memberikan kepastian thd
peristiwa,apa yang diterangkan dalam akta itu benar.
Pejabat Umum merupakan suatu jabatan yang disandang atau
diberikan kepada mereka yang diberi wewenang oleh aturan hukum dalam
pembuatan akta otentik. Notaris sebagai Pejabat Umum kepadanya
diberikan kewenangan untuk membuat akta otentik. Oleh karena itu
Notaris sudah pasti Pejabat Umum, tapi Pejabat Umum belum tentu
Notaris, karena Pejabat Umum dapat disandang pula oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Lelang.
Dalam Pasal 1 huruf a disebutkan bahwa Notaris : de ambtenaar. Jika
ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan
rujukan untuk memberikan pengertian yang sama terhadap ketentuan
Pasal 1 angka 1 UUJN yang menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya ,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) UUJN. Maka
Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UUJN harus dibaca
sebagai Pejabat Publik atau Notaris sebagai Pejabat Publik yang
berwenang untuk membuat akta otentik sesuai Pasal 15 ayat (1) UUJN
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2)
6
dan (3) UUJN dan untuk melayani kepentingan masyarakat, Profesi
Notaris adalah menjalankan sebagian tugas negara, khususnya yang
berkaitan dengan keperdataan, yang dilindungi oleh UU.
Istilah Pejabat Umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 PJN dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa:De Notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift blijken zal, daarvan de dagtekenig te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschrif akten en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is.
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan
grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan tidak dikecualikan.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan
nomor 009-014/PUU-111/2005, tanggal 13 September 2005
mengistilahkan Pejabat Umum sebagai Public Official.
Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat dalam Art. 1 dalam
Regelement op het Notaris Ambt in Indonesia (Ord. Van Jan. 1860)
S.1860-3, diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh G.H.S.Lumban
Tobing, op.cit., hlm. V. Istilah Openbare Amtbtenaren yang terdapat
7
dalam Pasal 1868 BW diterjemahkan menjadi Pejabat Umum tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain). Pasal 1868
KUH Perdata menyebutkan : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, di tempat dimana akta
itu dibuat. Pasal 1 angka (1) UUJN menyebutkan : Notaris adalah Pejabat
Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut
Kamus Hukum salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat. Dengan
demikian Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai tugas
yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare
Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik.
Khusus berkaitan dengan Openbare Ambtenaren yang
diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat yang
diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan
publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada Notaris. Aturan hukum
sebagaimana tersebut di atas yang mengatur keberadaan Notaris tidak
memberikan batasan atau definisi mengenai Pejabat Umum, karena
sekarang ini yang diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum bukan hanya
Notaris saja, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi kualifikasi
sebagai Pejabat Umum, Pejabat Lelang. Pemberian kualifikasi sebagai
Pejabat Umum kepada pejabat lain istilah Openbare diterjemahkan
sebagai Umum.
8
II.2 Notaris Sebagai Pejabat Umum Dan Pejabat Umum Lainnya Ditinjau
dari Perundangan/Peraturan yang Ada di Indonesia
NOTARIS adalah PEJABAT UMUM
Definisi Otentik yang termuat dalam pasal 1 Peraturan Jabatan
Notaris (PJN), menyatakan bahwa Notaris adalah “ Pejabat Umum yang
satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu
peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya,
menyimpan asli aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan
kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu
peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
atau orang lain “.6
Dari definisi tersebut diatas, dapat kita temukan beberapa unsur ,
antara lain :
a. Bahwa Notaris adalah PEJABAT UMUM.
b. Yang satu-satunya berwenang membuat AKTA OTENTIK.
c. Mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki oleh yang
berkepentingan.
d. Menjamin kepastian tanggalnya.
e. Menyimpan aktanya.
6 http://lembagaketerampilanhukum.blogspot.co.id/2012/06/bahan-pendidikan-profesi-notaris.html
9
f. Memberikan Grosse, salinan dan kutipannya.
g. Kesemuanya itu sebegitu jauh pembuatan akta itu oleh satu
peraturan umum tidak pula ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.
Yang dimaksud dengan Pejabat Umum disini bukanlah Pegawai
Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.Seorang menjadi pejabat umum
apabila ia diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi
wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu,
karena itu ia ikut serta melaksanakan kewibawaan (gezag) dari
pemerintah.
Dalam jabatan notaris tersimpul suatu sifat atau ciri khas yang
membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat,
sekalipun untuk menjalankan jabatan-jabatan lainnya kadang-kadang
diperlukan juga pengangkatan atau izin dari pemerintah; misal :
Pengacara, Dokter yang mana sifat dari pengangkatan itu sesungguhnya
pemberian izin atau pemberian wewenang yang merupakan lisensi untuk
menjalankan sesuatu jabatan dan tidak mempunyai sifat sebagai Pejabat
Umum, karena mereka tidak melaksanakan sesuatu kekuasaan yang
bersumber pada kewibawaan (gesag) dari pemerintah. Mereka orang-
orang swasta yang hanya terikat pada peraturan-peraturan mengenai
jabatannya dan selanjutnya mereka bebas dalam menjalankan profesinya,
boleh memilih sendiri tempat dimana mereka bekerja, tidak terikat
10
peraturan cuti dan peraturan Administrasi yang ketat berhubungan dengan
pekerjaannya.7
Pemberian kualifikasi Notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan
dengan wewenang Notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa
Notaris berwenang membuat akta otentik, sepanjang pembuatan akta-
akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau
orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain,
seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai
Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum
saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan
kedudukan mereka tetap dalam jabatannya seperti semula sebagai
Pegawai Negeri.
Berdasarkan pengertian di atas, bahwa Notaris berwenang
membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut
aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta otentik. Notaris sebagai
Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam
ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Berkaitan
dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan tindakan di luar
wewenang yang telah ditentukan, maka akta Notaris tersebut tidak
mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable).
Pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di
luar wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke
Pengadilan Negeri. Berdasarkan wewenang yang ada pada Notaris
7 Suhrawardi K. Lubis,S.H., Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 34
11
sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian
dari akta Notaris, maka ada 2 (dua) pemahaman, yaitu :
a. Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan
para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan
hukum yang berlaku.
b. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah
dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau
menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak
yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib
membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum
yang berlaku. Kekuatan pembuktian akta Notaris ini berhubungan
dengan sifat publik dari jabatan Notaris. Sepanjang suatu akta
notaris tidak dapat dibuktikan ketidak benarannya maka akta
tersebut merupakan akta otentik yang memuat keterangan yang
sebenarnya dari para pihak dengan didukung oleh dokumen-
dokumen yang sah dan saksi-saksi yang dapat dipertanggung
jawabkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dengan konstruksi pemahaman seperti di atas, maka
ketentuan Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dapat diterapkan kepada Notaris dalam menjalankan tugas
jabatannya. Sepanjang pelaksanaan tugas jabatan tersebut sesuai
dengan tata cara yang sudah ditentukan dalam UUJN, hal ini
12
sebagai perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya atau merupakan suatu bentuk imunitas terhadap
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai aturan hukum
yang berlaku.
Notaris sebagai pejabat publik, dalam pengertian mempunyai
wewenang dengan pengecualian. Dengan mengkategorikan Notaris
sebagai pejabat publik. Dalam hal ini publik yang bermakna hukum, bukan
publik sebagai khalayak umum. Notaris sebagai pejabat publik produk
akhirnya yaitu akta otentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata
terutama dalam hukum pembuktian.
Akta otentik mempunyai arti yang lebih penting daripada sebagai alat
bukti, bila terjadi sengketa maka akta otentik dapat digunakan sebagai
pedoman bagi para pihak yang bersengketa. Peran Notaris diperlukan di
Indonesia karena dilatar belakangi oleh Pasal 1866 KUH Perdata yang
menyatakan alat-alat bukti terdiri atas :
1. bukti tulisan;
2. bukti dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan;
5. sumpah.
Pembuktian tertinggi adalah bukti tulisan. Bukti tertulis ini dapat berupa
akta otentik maupun akta di bawah tangan dan yang berwenang dan yang
dapat membuat akta otentik adalah Notaris. Untuk itulah negara
13
menyediakan lembaga yang bisa membuat akta otentik. Negara
mendelegasikan tugas itu kepada Notaris seperti tertera pada Pasal 1868
KUH Perdata jo S. 1860/3 mengenai adanya Pejabat Umum, yaitu pejabat
yang diangkat oleh negara untuk membantu masyarakat dalam
pembuatan akta otentik. Dalam hal ini pejabat yang dimaksud adalah
Notaris dan lambang yang digunakan sebagai cap para Notaris adalah
lambang negara. Notaris adalah Pejabat Umum, hal ini dapat juga dilihat
di dalam pasal 1 angka 1 UUJN. Notaris Dalam Memberikan Pelayanan
Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi.8
Berdasarkan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan, oleh karena itu apapun alasannya, tidak perlu
dipersoalkan, karena pilihan menentukan sesuatu yang terbaik untuk
dijalankan dalam pekerjaan seseorang adalah hak setiap warga negara
dan semua akan kembali kepada yang menjalaninya.
Namun bagi orang (subyek) yang menduduki jabatan Notaris dan atau
PPAT, yang duduk sebagai anggota legislatif tersebut perlu mandapat
perhatian khusus dalam kaitannya dengan jabatan Notaris sebagai
Pejabat Umum berdasarkan Undang-Undang. Pasal 17 huruf d Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN)
menyatakan “Notaris dilarang merangkap sebagai Pejabat Negara”.
Dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
8 Ibid, hlm 35
14
Kepegawaian, Pasal 11 ayat (1), menyatakan bahwa Pejabat Negara
terdiri atas :
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggot Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada
Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada
semua Badan Peradilan;
e. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung;
f. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksaan Keuangan;
g. Menteri dan jabatan yang setingkat Menteri;
h. Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang
berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa
Penuh;
i. Gubernur dan Wakil Gubernur;
j. Bupati/Walikota, dan Wakil Bupati/Wakil Walikota;
k. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN) juga mengatur untuk notaris sebagai Pejabat Negara, bahwa jika
seorang Notaris akan diangkat sebagai Pejabat Negara maka wajib
mengambil cuti selama memangku jabatan sebagai peajabat negara
(Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UUJN), dan wajib mengangkat Notaris
Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan setelah tidak lagi
15
memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka Notaris dapat
melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal 11 ayat (3) – (6)
UUJN). Ketentuan tersebut sesuai dengan karakter jabatan notaris yaitu
harus berkesinambungan selama notaris masih dalam masa jabatannya.
Dengan demikian serta merta seorang Pejabat Umum atau Pejabat
Publik dilarang untuk merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara. Bahwa
jika melanggar ketentuan tersebut (artinya tidak mengambil cuti) akan
dijatuhi Sanksi Administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 85 UUJN.
Hal yang sama juga diatur pula dalam Pasal 30 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1999 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dalam ayat (1)
huruf c berbunyi “PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi lain-lain
jabatan yang dilarang peraturan perundang-undangan”. Kemudian dalam
ayat (2) disebutkan bahwa PPAT yang merangkap jabatan tersebut wajib
mengajukan permohonan berhenti kepada kepala BPN. Selanjutnya
menurut ayat (3) jika masa jabatan telah berakhir dapat mengajukan
permohonan kembali sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
ketentuan Pejabat Umum atau Pejabat Publik yang menjadi anggota
legislatif tersebut lebih tegas lagi jika ditinjau dari Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
16
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk Dewan Perwakilan Daerah
disebutkan dalam Pasal 12 huruf l bahwa “bersedia untuk tidak berpraktek
sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaris, pejabat pembuat
akta tanah (PPAT), dan melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa
yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang
dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan
hak sebagai anggota DPD sesuai peraturan perundang-undangan”.
Selanjutnya untuk anggota DPRD Kota/Kabupaten/Propinsi dan Pusat
dalam Pasal 50 ayat (1) huruf l disebutkan bahwa “bersedia untuk tidak
berpraktek sebagai akuntan publik, advokad/pengacara, notaries, pejabat
pembuat akta tanah (PPAT), dan melakukan pekerjaan penyedia barang
dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan
lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
kabupaten/Kota sesuai peraturan perundang-undangan”.
Aturan hukum yang mengatur kedudukan Pejabat Umum yang menjadi
anggota legislatif tersebut secara substansi sangat berbeda yaitu
berdasarkan Pasal 11 ayat (1) dan (2) UUJN, untuk Notaris wajib
mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan
setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka
Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatannya sebagai Notaris (Pasal
11 ayat (3) – (6) UUJN), sedangkan untuk PPAT berdasarkan Pasal 30
ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006, bahwa
17
yang bersangkutan wajib berhenti, dan jika masa jabatannya berakhir
dapat mengajukan permohonan kembali sesuai aturan hukum yang
berlaku, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008,Pejabat Umum dilarang
berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai Pejabat
Umum.
Jika menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2), untuk Notaris wajib
mengangkat Notaris Pengganti yang akan menerima protokolnya, dan
setelah tidak lagi memangku jabatan sebagai Pejabat Negara, maka
Notaris dapat melanjutkan lagi tugas jabatanya sebagai Notaris (Pasal 11
ayat (3) – (6) UUJN) maka dapat dikategorikan bahwa Notaris yang
bersangkutan masih berpraktek, meskipun jabatannya dan namanya
dipakai oleh Notaris Pengganti.
Akan tetapi menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 tahun
2006 wajib berhenti dan berdasarkan Pasal 12 huruf l dan 50 ayat (1)
huruf l Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang
berpraktek atau dilarang menjalankan tugas jabatannya sebagai
Notaris/PPAT sama sekali, artinya jika Notaris/PPAT menjadi anggota
legislatif tersebut dengan memakai Notaris/PPAT Pengganti masih
dikategorikan “praktek” atau menjalankan tugas jabatannya, maka
menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang
Nomor 10 tahun 2008 dilarang praktek, dengan kata lain Notaris/PPAT
yang menduduki jabatan negara bukan lagi harus cuti tapi harus
18
mengundurkan diri atau berhenti tetap sebagai Notaris/PPAT dan
menyerahkan protokolnya kepada Notaris/PPAT lain dan menurunkan
papan namanya dan menutup kantornya. Maka konsekuensi hukumnya,
jika setelah melaksanakan tugas sebagai anggota legislatif dan akan
kembali praktek sebagai Notaris/PPAT, maka kepada orang yang
bersangkutan akan dikategorikan sebagai Notaris/PPAT baru yang harus
menempuh prosedur pengangkatan sebagai Notaris/PPAT baru artinya
tidak diperlukan keistimewaan apapun pada dirinya atau perlakuan khusus
kepada yang bersangkutan.
Secara normatif kedua aturan sebagaimana terurai diatas tidak
sejalan, yaitu menurut Pasal 11 ayat (1) dan (2) juncto ayat (3) – (6) UUJN
cukup cuti saja, dan setelah selesai cuti dapat mengambil kembali Surat
Keputusan (SK-nya) untuk kembali menjalani tugas sebagai Notaris,
menurut Pasal 30 Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 wajib
berhenti, sedangkan menurut Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf
l Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Notaris/PPAT dilarang
berpraktek. Hal tersebut membingungkan dalam penerapannya apakah
harus tunduk kepada Pasal 12 huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008? mengingat Jabatan Notaris
/PPAT di atur dengan Undang-Undang tersendiri sebagaimana tersebut
diatas. Namun mengacu kepada Pasal 4 UUJN dan Pasal 34 ayat (1)
mengenai sumpah/janji sebelum menjalankan Jabatan Notaris/PPAT
19
yaitu akan patuh dan setia kepada Undang-Undang serta peraturan
perundang-undangan lainnya, maka wajib dipatuhi.
Dengan menggunakan Asas Prefensi Hukum, dalam hal ini Pasal 12
huruf l dan Pasal 50 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 harus ditempatkan sebagai aturan yang khusus (lex specialis), yang
mengatur secara khusus mengenai persyaratan Pejabat Umum sebagai
anggota legislatif, maka Pejabat Umum yang terpilih sebagai anggota
legislatif wajib berhenti tetap atau mengundurkan diri sebagai Pejabat
Umum dan jika setelah melaksanakan tugas sebagai anggota legislatif
dan akan kembali praktek sebagai Pejabat Umum, maka kepada orang
yang bersangkutan harus menempuh prosedur pengangkatan sebagai
Pejabat Umum yang baru berdasarkan Undang-undang.
Pejabat Umum Lainnya
Pejabat Umum mempunyai kedudukan yang tidak sama
dengan Pegawai Negeri. karena ada perbedaan antara Pejabat Umum
dan Pegawai Negeri biasa yang diatur dalam perundang-undangan
Pegawai Negeri. Meskipun Pegawai Negeri sebagai pejabat juga
mempunyai tugas untuk melayani umum tetapi bukan pejabat umum
dalam arti pasal 1868 BW, yang berhak membuat akta otentik, kecuali
Akta Kelahiran, Akta Perkawinan dan Kematian dibuat oleh pegawai
Pemerintah Daerah, yang disamping tugasnya sebagai Pegawai Negeri
juga sebagai Pejabat umum dalam arti pasal 1868 BW, peraturan dan
perundang-undangan mengenai pegawai negeri tidak berlaku untuk
20
Notaris dan segala sesuatu mengenai profesi notaris diatur dalam
peraturan tersendiri, notaris tidak menerima gaji atau pensiun dan tidak
ada suatu perhubungan kerja dengan pemerintah.
Pejabat Umum adalah Pejabat yang diangkat dan diberhentikan
oleh kekuasaan umum (negara diwakili oleh Pemerintah), dan diberi
wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu,
karena itu ia turut melaksanakan kewibawaan Pemerintah.
Notaris disebut pejabat umum karena Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh Negara (dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah melalui
Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
kenotariatan, untuk kabinet sekarang ini Menteri Hukum dan Ham),
Notaris menjalankan tugas Negara, akta yang dibuatnya merupakan
dokumen Negara. Jadi tugas utama Notaris yaitu membuat akta-akta
otentik guna melayani (atas permintaan) masyarakat.
Yang membedakan Notaris dengan Pejabat lainnya dalam
masyarakat, karena meskipun Pejabat lain juga diangkat oleh Pemerintah
ataupun mendapat izin dari Pemerintah, tapi sifat pengangkatannya itu
hanyalah merupakan pemberian izin atau lisensi untuk menjalankan
sesuatu jabatan, tidak langsung merupakan pengemban jabatan Negara.
Contohnya, Advokat, Dokter Umum, Akuntan Publik dan lain sebagainya.
Mereka menjalankan pekerjaan bebas, tidak mempunyai sifat seperti
Pejabat Umum, karena pekerjaan yang dilakukannya tidak bersumber dari
kekuasaan Pemerintah. Mereka adalah orang-orang swasta yang hanya
21
terikat kepada peraturan-peraturan mengenai jabatan, dan selanjutnya
mereka bebas melakukan profesinya. Mereka boleh memilih sendiri
dimana mereka akan bekerja, tidak terikat kepada peraturan cuti dan
peraturan administrasi yang erat dengan pekerjaannya.
22
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Notaris adalah Pejabat Umum yang dimaksud Pasal 1868
KUH Perdata, yang kehadirannya sangat dibutuhkan sebagai konsekuensi
logis dari meningkat dan berkembangnya kegiatan dalam bidang hukum
perdata serta transaksi dalam dunia perniagaan yang memerlukan bukti
otentik, dalam melaksanakan tugas pekerjaan yang menjadi wewenang
dan tanggung jawabnya wajib memenuhi formalitas-formalitas yang telah
ditentukan dalam undang-undang sebagaimana diatur dalam PJN dan
juga dalam Kode Etik Notaris.
Notaris disebut pejabat umum karena Notaris diangkat dan
diberhentikan oleh Negara (dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah melalui
Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang
kenotariatan, untuk kabinet sekarang ini Menteri Hukum dan Ham),
Notaris menjalankan tugas Negara, akta yang dibuatnya merupakan
dokumen Negara. Notaris sebagai Pejabat Umum memiliki kewenangan
tertentu. Kewenangan Notaris adalah kewenangan yang diperoleh secara
Atribusi, yakni memberian kewenangan yang baru kepada suatu jabatan
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum.
23
top related