tudang sipulung - opac - universitas indonesia librarylib.ui.ac.id/file?file=digital/136820-t 23398...
Post on 14-Sep-2018
217 Views
Preview:
TRANSCRIPT
32
Bab 2
BUDAYA POLITIK BUGIS MAKASSAR
2.1 Tudang Sipulung sebagai Budaya Politik Tradisional Bugis Makassar
Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri dari ide,
pengetahuan, adat istiadat, mitos, yang dikenal dan diakui oleh sebagian besar suatu
masyarakat18
. Budaya politik merupakan hal yang bernilai dan berdampak terhadap
pelaksanaan suatu sistem politik. Pemahaman terhadap suatu budaya politik, dapat
menjadi titik awal dalam menganalisis kehidupan sistem politik suatu kelompok,
negara, atau bangsa, yang kemudian dapat memberi kontribusi dalam menganalisis
dan mengembangkan suatu kehidupan demokrasi.
Pemahaman tentang budaya politik merupakan konsep yang menghubungkan
antara nilai-nilai, sikap, dan kepercayaan yang dianut bersama dengan relasi
kekuasaan. Hubungan elemen-elemen ini berdampak terhadap suatu sistem politik
dan realisasinya. Budaya politik secara luas dapat dipahami sebagai sistem
kepercayaan yang dimiliki bersama (a shared system of beliefs) terhadap suatu
pemerintahan, dan peran warganegara dalam pemerintahan tersebut19
.
Jadi, secara spesifik, konsepsi budaya politik mengacu kepada bagaimana
masyarakat memandang aspek-aspek politik, pemerintahan maupun dirinya sendiri,
yang mencakup:
18
Widjaya (1998), Op. cit., hal. 250 19
Lihat di http://en.www.wikipedia.org/wiki/political_culture (dipunggah 30 Juli 2007)
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
33
• hubungan antara pemerintah dan masyarakat,
• hak-hak dan tanggung jawab masyarakat,
• kewajiban-kewajiban pemerintah, dan
• batas-batas otoritas pemerintah.
Dalam konteks Sulawesi Selatan, wacana budaya politik pada dasarnya dapat
dipahami dari wacana budaya politik Bugis Makassar sebagai nilai-nilai yang
mendasari wacana budaya politik tersebut. Nilai-nilai budaya politik tersebut
merupakan kelanjutan dari berbagai gagasan dan aktivitas politik kerajaan-kerajaan di
daerah Bugis Makassar dari dahulu sampai sekarang, yang nilai-nilai dan aktivitasnya
dapat ditelusuri dari periode La Galigo (Pelras, 2006: 394)20
, periode Tomanurung21
,
periode masuknya Islam22
, dan periode sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Untuk memahami wujud wacana budaya politik Sulawesi Selatan (Bugis
Makassar), dapat dilakukan melalui kajian tradisi lisan dan sastra lisan, yang antara
lain berupa nyayian rakyat, puisi rakyat, mitos, legenda dan fabel. Selain itu, dapat
juga dilakukan kajian terhadap pemikiran-pemikiran para To Acca (cerdik
cendikiawan) di Sulawesi Selatan seperti Kajaolaliddo dari Bone, Nene’ Mallomo
20
La Galigo merupakan epos/mitos/teks sejarah yang bercerita tentang periode awal asal mula
masyarakat Bugis, dan kondisi sosio-kultural masyarakat Bugis khususnya pada sekitar abad ke-11
hingga abad ke-13. Sebagian ahli menganggap naskah La Galigo adalah mitos belaka, dan sebahagian
lagi menganggapnya sebagai suatu kebenaran sejarah, termasuk antropolog Prancis, Christian Pelras,
yang banyak menggunakan naskah La Galigo sebagai sumber sejarah untuk merekonstruksi sejarah
Bugis. 21
Pelras (2006), Ibid, hal. 394. Periode Tomanurung adalah periode yang dianggap menandai muncul
dan berkembangnya berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan yang berlangsung dari abad ke-14 hingga
ke abad ke-16. 22
Periode proses Islamisasi di Sulawesi Selatan oleh banyak ahli sejarah dianggap mulai berlangsung
pada abad ke-16
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
34
dari Sidrap, MaccaE Ri Luwu dari Luwu, La Waniaga Arung Bila dari Soppeng, dst.
Sedangkan kajian terhadap wujud aktivitas budaya politik Bugis Makassar dapat
meliputi kajian aktivitas-aktivitas interaksi antara berbagai kekuatan politik. Kajian
berwujud artefak budaya dapat melalui telaah benda-benda dan simbol-simbol politik,
misalnya bendera, lambang, senjata dan lain-lain (Ibrahim, 2003: 161).
Selain itu, kajian terhadap nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam
Perjanjian antara To Manurung23 dengan Para Pemimpin Kaum di daerah-daerah
Bone, Gowa, Soppeng, dan lain-lain, dapat pula dijadikan rujukan sebagai sumber
nilai demokrasi masyarakat Bugis Makassar. Berbagai ungkapan dalam perjanjian-
perjanjian itu menunjukkan nilai-nilai dasar yang diutamakan, dan menjadi pedoman
di dalam penyelenggaraan kekuasaan dan pemerintahan di kerajaan serta menjadi
dasar-dasar hukum dalam setiap pengambilan keputusan negara/kerajaan.
Dari ranah kesusastraan Bugis Makassar, jenis Pappaseng, yang merupakan
himpunan pesan-pesan dan wasiat-wasiat dari orang-orang arif/bijaksana masa lalu,
dan Sastra Paseng, yang dikemas dalam bentuk literer, merupakan sumber informasi
yang kaya untuk mengkaji nilai-nilai dasar yang menjadi pegangan dalam budaya
politik Bugis Makassar24
.
Dari wujud pemikiran-pemikiran, mitos-mitos, nyanyian rakyat, cerita rakyat,
simbol-simbol, perjanjian-perjanjian, karya-karya sastra, nasehat, dan berbagai nilai
23
Menurut kepercayaan tradisional masyarakat Bugis Makassar, To Manurung berarti manusia
jelmaan dewa yang turun dari langit untuk menjadi cikal bakal pemimpin (raja) di daerah-daerah Bugis
Makassar, namun sebelum menjadi cikal bakal raja, mereka harus mengadakan perjanjian terlebih
dahulu dengan pemimpin-pemimpin kampung (anang) perihal berlangsungnya secara harmonis
praktek penyelenggaran kehidupan sosial politik di tanah Bugis Makassar. 24
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 161
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
35
dan praktik budaya politik lainnya, yang merupakan sumber-sumber nilai budaya
politik Bugis Makassar, maka hal inilah yang merupakan cerminan dari nilai-nilai
fundamental, yaitu Ade’ (adat), yang menggerakkan seluruh aspek roda kehidupan
masyarakat Bugis Makassar dalam berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan budaya
politik, sosial, maupun ekonomi masyarakatnya. Dengan kata lain, nilai-nilai Ade’ lah
yang menjadi pusat dan penggerak seluruh aspek kehidupan masyarakat Bugis
Makassar termasuk di dalam kehidupan budaya politiknya, yang kemudian terwujud
dalam gagasan-gagasan, artefak-artefak, dan praktik-praktik budaya masyarakat.
Pemahaman mengenai konsepsi ruang publik Bugis Makassar, tidak dapat
dilepaskan sepenuhnya dari konteks nilai-nilai tradisional yang masih dianut dan
diakui oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan sampai sekarang. Nilai-nilai
adat yang menjadi landasan hukum dan filosofis kehidupan tersebut adalah Ade’
(adat). Ade’, bagi sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan, merupakan
kepribadian kebudayaan (Rahim, 1985: 122), karena adatlah yang menjadi penggerak
kehidupan suatu masyarakat. Hal senada disampaikan pula oleh Mattulada, bahwa
adat itu itulah yang memberikan bentuknya dalam wujud watak masyarakat dan
kebudayaan serta orang-orang yang menjadi pendukungnya (Mattulada, 1975: 315).
S.H. Alatas menyatakan bahwa antara individu dan masyarakat tidaklah
terpisah melainkan berkaitan erat satu sama lain. Setiap individu dalam
pertumbuhannya (dapat) dibentuk oleh masyarakatnya dimana ia lahir. Sebaliknya,
setiap individu sepanjang kehidupannya (dapat) juga memberikan kontribusi-
kontribusi untuk mewarnai kehidupan masyarakatnya. Kedua-duanya bukanlah hal
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
36
yang bertentangan, melainkan saling mengisi. Secara luas, manusia adalah
masyarakatnya. Tidak ada watak manusia yang terpisah dari masyarakatnya. Individu
dan masyarakatnya adalah dua sisi dari tingkah laku yang saling melengkapi dan
mencakupi25
.
Referensi tentang sistem nilai-nilai masyarakat (adat istiadat) Bugis Makassar,
dapat ditemukan dalam naskah-naskah klasik Lontara’ Bugis Makassar. Mattulada
misalnya, yang mengkaji dan mengangkat Lontara’ La Toa (Nenek Moyang) sebagai
disertasinya, menjelaskan bahwa keseluruhan sistem norma dan aturan adat Bugis
Makassar tersebut disebut Panngadereng (sistem adat-istiadat/ adat normatif).
Panngadereng ini dapat diartikan sebagai keseluruhan norma yang meliputi
bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesamanya dan terhadap pranata
sosialnya secara timbal balik, dan yang menyebabkan adanya gerak (dinamis)
masyarakat26
. Dengan kata lain, dalam konteks budaya politik, lontara’ La Toa
menjelaskan bagaimana orang seharusnya bertingkah laku, bagaimana seorang
penguasa memperlakukan rakyatnya, dan sebaliknya, serta bagaimana rakyat
memperlakukan sesamanya, berdasarkan prinsip-prinsip sistem adat istiadat atau
sistem normatif Panngadereng (Abdullah, 1985: 17-18).
Sistem Panngadereng ini terdiri atas lima unsur pokok yang terjalin satu sama
lain sebagai satu kesatuan organis dalam alam pikiran masyarakat Bugis Makassar,
25
Rahim (1985), Op.cit., hal. 123 26
Mattulada, (1974), Loc. cit., hal. 30
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
37
yang memberi dasar sentimen kewargamasyarakatan dan rasa harga diri27
. Nilai
sistem Panngadereng ini semua dilandasi nilai Siri’ (Hamid, 2005)28
. Kelima unsur
pokok sistem adat istiadat tersebut adalah Ade, Bicara, Rapang, Wari’ dan Sara’.
Kelima unsur pokok di atas terjalin satu sama lain dan menjadi landasan hidup dan
kehidupan masyarakat baik antar sesama maupun terhadap pranata sosialnya secara
timbal balik, termasuk juga menyangkut persoalan budaya politik dan ruang publik
masyarakat Bugis Makassar.
Kelima unsur-unsur adat normatif Bugis Makassar yang dimaksud adalah
Ade’ Bicara, Rapang, Wari’ dan Sara’, merupakan unsur yang saling mengisi satu
sama lain dalam menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat. Jika Ade’ (adat)
berfungsi preventif dalam pergaulan hidup untuk menjaga kelangsungan masyarakat
dan kebudayaan, Bicara (pertimbangan atau penafsiran ilmu hukum) berfungsi
represif untuk mengembalikan sesuatu pada tempatnya, Rapang (hukum perdata)
berfungsi untuk stabilisator untuk kesinambungan pola peradaban, maka Wari
memberikan peranannya dalam mappallaiseng yaitu mengatur kompetisi masing-
masing, sehingga tak terjadi saling bentrokan. Wari (hukum pewarisan) memberikan
ukuran keserasian dalam perjalanan hidup kemasyarakatan.
Dengan kata lain, Ade’ memberikan tuntunan hidup, Bicara memulihkan
ketidakwajaran kepada kewajaran, Rapang mempertahankan pola untuk
kelanjutannya, dan Wari memberikan keseimbangan antara oposisi-oposisi yang
27
Mattulada, (1974), Ibid, hal. 30 28
Beragam perspektif mengenai konsep Siri’ ini, namun semuanya ahli budaya Sulawesi Selatan
sepakat menganggapnya sebagai nilai harga diri dan kehormatan yang teguh.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
38
terjadi dalam masyarakat. Sedangkan Sara’ yang berasal dari hukum-hukum agama
Islam, menjadi pelengkap dari ke 4 hukum adat Bugis Makassar di atas. Menurut
Latoa (dalam Mattulada, 1985: 382) bahwa sebelum Islam, ada empat unsur
Pangngadereng (sistem adat normatif) yang berlaku di masyarakat, dan setelah
masuknya Islam di Sulawesi Selatan, Sara’ menjadi unsur penggenap kelima
Panngadereng sehingga menjadi Ade, Bicara, Rapang, Wari, dan Sara’.
Dengan datangnya Islam dan diterimanya Sara’ ke dalam Panngadereng,
maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya yang tumbuh dari aspek-aspek
Panngadereng, memperoleh pengisian dengan warna yang lebih tegas, bahwa Sara’
menjadi padu sebagai aspek Panngadereng. Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan
Sara’ sebagai bagian dari Panngadereng dianggap tidak mengubah nilai-nilai,
kaidah-kaidah kemasyarakatan, dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa
Islam pada awal kedatangannya hanyalah menyangkut persoalan-persoalan ibadah
yang tidak mengubah pranata-pranata kehidupan sosial budaya masyarakat, sehingga
terjadi kesesuaian antara nilai-nilai Panngadereng sebelum Islam, dengan nilai-nilai
Islam tersebut, sebab nilai-nilai yang dikandung Panngadereng seperti diantaranya
nilai-nilai kejujuran, kebenaran, keikhlasan, dan keadilan, yang bermuara pada
prinsip Siri’ (harga diri/rasa malu), dianggap sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa
Islam, sehingga bagi masyarakat Bugis Makassar, Islam itu identik dengan
kebudayaan Bugis Makassar29
.
29
Mattulada (1985), Ibid., hal 382-383
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
39
Menurut Zainal Abidin dalam Lontara’ Wajo, disebutkan sifat-sifat yang
terkandung dalam setiap adat, yaitu “bicara yang jujur, prilaku yang benar, tindakan
yang sah, perbuatan yang patut, pabbatang yang tangguh, kebajikan yang meluas.
Pabbatang itu, merupakan sandaran bagi orang lemah yang jujur, namun juga
menjadi halangan bagi orang kuat yang curang, ia juga menjadi pagar bagi negeri
terhadap orang yang berbuat sewenang-wenang”30
.
Sifat-sifat jujur, benar, sah, patut, tangguh, dan baik, adalah nilai-nilai yang
tampil dalam pengertian di atas. Nilai-nilai ini kemudian akan nyata peranan dan
realisasinya dalam setiap pelaksanaan setiap adat dan menjadi “roh” yang
menghidupi persoalan budaya politik Bugis Makassar.
Pada budaya politik tradisional Bugis Makassar, dikenal istilah tudang
sipulung yang secara harfiah berarti “duduk bersama”, namun secara konseptual
merupakan ruang bagi publik (rakyat) untuk menyuarakan kepentingan-
kepentingannya dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi.
Jika melihat esensi tudang sipulung, maka konsepsi Tudang Sipulung ini lah yang
kemudian disinyalir dan dianggap oleh Habermas sebagai ruang publik otentik yang
dapat memediasi antara kepentingan publik dengan pemerintah (penguasa).
Seorang pallontara’ (penafsir lontara’), Andi Baharuddin menjelaskan
dengan bahasa Bugis31
bahwa:
30
Rahim (1985), Op.cit, hal. 126 31
Lihat penelitian AB. Takko & Mukhlis, “Hak Asasi Manusia dalam Budaya Bugis Makassar” dalam
Laporan Penelitian Rutin Unhas (Makassar: Lembaga Penelitian Unhas, 2001) hal. 24
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
40
“naiya riasenge tudang sipulung, iyanaritu mallari ade-e napogau toriolota’.
Tudang maddepu-deppungeng, tudang mallewo-lewoang nasibawai akkatta
maelo sipatanggareng nenniya maelo mala ada assimaturuseng”.
“yang dimaksud dengan tudang sipulung yaitu tradisi yang sering dilakukan
orang dahulu (tetua kita). Duduk bersama-sama, berkumpul dengan tujuan
hendak bermusyawarah untuk mufakat”.
Pemaparan tersebut di atas mengindikasikan bahwa tradisi tudang sipulung
telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Bugis Makassar sebagai ruang bersama
untuk bermusyawarah dan bermufakat dalam rangka mencari solusi atas persoalan
yang tengah dihadapi masyarakat.
Menurut Anwar Ibrahim, semua persoalan kehidupan masyarakat dapat di-
tudang sipulung-kan. Pelaksanaan suatu tudang sipulung dapat bersifat resmi maupun
tidak resmi. Mulai dari tingkat paling kecil, dalam keluarga, antar keluarga, dalam
kampung/negeri (wanua), antar kampung/negeri, dalam kerajaan, hingga antar
kerajaan32
.
Tudang Sipulung yang sifatnya tidak resmi biasanya dilakukan dalam
lingkungan keluarga atau antar keluarga, yang membicarakan persoalan-persoalan
keluarga seperti perkawinan, lamaran, dsb. Sedangkan hal yang menyangkut
persoalan bermasyarakat atau keputusan keputusan penting dalam suatu kampung
antar kampung, atau kerajaan, biasanya dilaksanakan secara resmi yang dipimpin
oleh seorang Matoa (yang dituakan menurut adat) sebagai pemimpin (raja) suatu
kampung/negeri (wanua).
32
Hasil wawancara dengan Anwar Ibrahim pada tanggal Juni 2007 pukul 16.00 WIT di Unhas.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
41
Tudang Sipulung yang dilaksanakan dalam suatu kampung disebut tudang
wanua (duduk bersama dalam suatu kampung) yang dihadiri oleh seluruh masyarakat
dan para penghulu-penghulu adat (pakketenni ade’)33
. Ruang publik tradisional Bugis
Makassar tudang sipulung atau tudang wanua ini berlangsung secara demokratis.
Pimpinan tudang sipulung, yakni arung Matoa (ketua adat) berkewajiban meminta
pendapat kepada peserta tudang sipulung. Peserta yang dimintai pendapat,
berkewajiban mengemukakan pendapatnya walaupun pendapatnya tersebut sama
dengan peserta lain atau telah dikemukakan terlebih dahulu oleh peserta sebelumnya.
Apabila seorang peserta tidak setuju atas suatu hal, maka ia harus mengungkapkan
secara langsung dalam musyawarah tersebut, ketidaksetujuannya dengan
mengemukakan alasan yang dapat diterima (rasional).
Keputusan yang diambil dalam tudang sipulung tersebut, harus berdasarkan
prinsip massolo’ pao (mengalir bersama), yang artinya bahwa keputusan yang akan
dicapai dalam “duduk bersama” (musyawarah) tersebut merupakan keputusan atas
kehendak bersama dan untuk kepentingan bersama, yang diibaratkan bagaikan air
yang mengalir bersama-sama. Artinya, kehendak penguasa (pemerintah kerajaan) dan
kehendak rakyat haruslah beriringan dalam menemukan titik temu yang berdasarkan
kepentingan bersama.
Jadi, konsepsi ruang publik politis sebagai perwujudan prinsip-prinsip
demokrasi, sebenarnya telah ada dan telah dilaksanakan sejak berlangsungnya masa-
masa kerajaan di Sulawesi Selatan sejak abad ke-14, yang menjadi sarana
33
Hasil wawancara dengan Mukhlis Hadrawi pada tanggal Juli 2007 pukul 12.30 Wita di Unhas.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
42
bermusyawarah bagi masyarakat untuk memperoleh kata mufakat atas pertikaian atau
permasalahan yang tengah dihadapi, hanya konteks dan perwujudannya
(pelaksanaannya) saja yang berbeda dengan konsep demokrasi ideal yang dikenal saat
ini karena konsep demokrasi ala Bugis Makassar ini berlangsung pada masa
berlangsungnya kerajaan-kerajaan di wilayah Bugis Makassar.
Di antara kerajaan-kerajaan Bugis Makassar yang terdapat di Sulawesi
Selatan, kerajaan Wajo memiliki sistem budaya politik yang berbeda dengan kerajaan
Bugis Makassar lainnya. Terbentuknya kerajaan Wajo, bukan melalui perantara To
Manurung atau keturunannya, seperti yang terjadi pada beberapa kerajaan Bugis
Makassar lainnya seperti, diantaranya di Bone, Luwu, Makassar, Soppeng, dan
Bacukiki, melainkan melalui pelacakan calon bakal raja pada setiap daerah di Wajo,
yang disebut dengan istilah mangngelle pasa’ (turun ke pasar)34
. Istilah ini berarti
turun ke lapangan mencari calon bakal raja di setiap pelosok-pelosok daerah. Jadi,
siapa pun boleh menjadi raja asal melalui melalui mekanisme yang sah, termasuk
orang biasa (bukan bangsawan). Bahkan orang luar Wajo pun dapat dicalonkan
menjadi raja asal memenuhi kriteria seperti jujur, bijaksana, budiman, dan
mempunyai sifat-sifat yang baik. Dengan demikian, yang menjadi raja di kerajaan
Wajo, bukanlah dari keturunan bangsawan, melainkan dari kalangan rakyat biasa.
Mekanisme pemilihan raja ini, pertama-tama, melalui tudang sipulung yang
dihadiri oleh 6 pembesar negeri (semacam kepala daerah) yang disebut petta
ennengnge (enam pembesar daerah), para penghulu adat, dan masyarakat. Dari proses
34
Wawancara dengan Mukhlis Hadrawi, Ibid.,
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
43
tudang sipulung itulah kemudian melahirkan seorang raja di Wajo. Jadi, pada masa
kerajaan Wajo, tidak dikenal istilah putra mahkota sebagai pewaris kerajaan,
melainkan putra kerajaan (calon raja) yang berasal dari masyarakat biasa (bawah)
sehingga di daerah Wajo, di kenal istilah Mara’deka To Wajo-E, Ade’nami
Napapuang, yang artinya “Merdeka Orang Wajo, Adatlah yang menjadi Tuan (raja)”.
Adat di sini dalam pengertian normatif, yaitu sebagai sistem norma-norma dan nilai-
nilai yang mendasari dan mengatur prilaku budaya politik masyarakat. Hal ini berarti
bahwa adatlah di atas segalanya yang paling patut dihormati dan dijunjung tinggi
masyarakat, atau menjadi hukum tertinggi bagi pelaksanaan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara pada kerajaan Wajo.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tudang sipulung merupakan ruang
publik tradisional bagi masyarakat Bugis Makassar untuk menyampaikan aspirasinya
terhadap persoalan-persoalan penyelengaraan pemerintahan, dan mencari kesepakatan
(kehendak bersama) terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Masyarakat
datang berkumpul bersama mendiskusikan dan memperdebatkan secara rasional suatu
permasalahan guna mendapatkan win-win solution, dengan tetap menghormati dan
menjunjung tinggi nilai-nilai pangngadereng (sistem adat).
Semua keputusan tudang sipulung yang menyangkut persoalan adat, tidak
boleh diubah apalagi dibatalkan. Pemimpin bersama rakyat telah sepakat
menjadikannya sebagai keputusan yang tetap (Ade’). Jadi, ketetapan adat tersebut
mengandung kesucian, keluhuran, dan kesakralan. Mengubah atau
menyelewengkannya berarti pelanggaran secara langsung terhadap nilai-nilai yang
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
44
membentuknya, merusak kemaslahatan bersama, memandang rendah keilmuan,
mencurangi kejujuran, dan menghancurkan semangat demokrasi.
Dalam lontara’ dijelaskan bahwa ketika kerajaan-kerajan mulai bermunculan
di Sulawesi Selatan pada sekitar abad ke-14, To Manurung mengadakan tudang
sipulung dengan para pemimpin kaum untuk membuat perjanjian mengenai dasar-
dasar penyelenggaraan keseluruhan aktivitas politik pemerintahan dan kenegaraan
Bugis Makassar. Di dalam perjanjian tersebut dimufakati batas-batas hak, wewenang,
tanggung jawab, dan kewajiban raja dan rakyat. Penetapan status, fungsi, dan peran
masing-masing. Hal ini dengan jelas menunjukkan sistem budaya politik yang dianut
dengan memilih dan menetapkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi35
.
Secara konstitusional hal itu ditegaskan dengan ungkapan:
“rusa’ taro-arung, tenrusa’ taro ade’
rusa’ taro ade’, tenrusa’ taro anang,
rusa’ taro anang, tenrusa taro to-maega”
(batal ketetapan raja, tak batal ketetapan adat
batal ketetapan adat, tak batal ketetapan kaum,
batal ketetapan kaum, tak batal ketetapan rakyat)
Perjanjian tersebut menandakan bahwa kehendak umumlah (volonté generale)
yang menjadi ketetapan tertinggi dalam memutuskan suatu perkara. Hal ini berarti
bahwa esensi ruang publik politis yaitu demokrasi sebagai pemerintahan rakyat, telah
terumuskan dan tercermin dalam Perjanjian Tomanurung dengan Pemimpin Kaum
tersebut. Perjanjian ini merupakan suatu bentuk Du Contract Social (kontrak sosial)
antara penguasa dan rakyat terhadap proses penyelenggaraan aktifitas politik dan
35
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 167
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
45
pemerintahan, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh filsuf Prancis, Jean-Jacques
Rousseau, pada abad ke-18 di Eropa.
Pada salah satu Sastra Paseng yang berbentuk puisi, dikemukakakan nilai-
nilai dasar yang menjadi dasar bagi ruang kultural Bugis Makassar36
, yaitu:
Sadda mappabati ada
Ada mappabati gauk
Gauk mappanessa tau
Temmetto nawa-nawa majak
Tellessuk ada-ada belle
Temmakatuna ri padanna tau
Tekkalupa ri apolEngenna
Suara (hati nurani) menjelmakan kata-kata
Kata-kata menjelmakan perbuatan
Perbuatan menjelaskan hakikat manusia
Tidak ada keinginan (maksud) jahat
Tidak ada kata-kata bohong
Tidak dianggap hina sesama manusia
Tidak lupa pada asal penciptaannya/asal muasalnya
Dalam Sastra Paseng lainnya, disebutkan sejumlah nilai utama (kondisi-
kondisi) yang juga dijadikan pegangan dalam ruang publik politis tradisional
masyarakat Bugis Makassar37
, nilai-nilai utama tersebut adalah:
Upasengko makkatenning ri lima-E akkatenningeng:
Mammulanna, riada tongengng-E
Madduanna, rilempuk-E
Matellunna, rigettengng-E
Maeppakna, sipakatau-E
Mallimanna, mappasona-E ri dewata seuwa-E
Nigi-nigi makkatenning ri lima-E akkatenning,
Salewangengngi lolangenna
Ri lino lettu ri esso ri monri
36
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 162 37
Anwar Ibrahim, Ibid., 162
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
46
Nasehat untuk bersandar pada lima pegangan
Pertama, pada kata-kata yang benar (perkataan yang jujur)
Kedua, pada perbuatan yang lurus (perbuatan yang tidak curang)
Ketiga, pada keteguhan/ketegasan (keteguhan pada keyakinan yang benar)
Empat, saling menghargai (sesama manusia)
Lima, berserah diri/bertawakkal kepada Sang Pencipta
Barangsiapa yang bersandar pada lima pegangan tersebut,
Maka kelak akan selamat di dunia hingga di hari kemudian (di akhirat)
Di dalam kedua Sastra Paseng tersebut ditemukan lima nilai dasar utama yang
disebut sebagai lima akkatenningeng (lima pengangan). Kelima nilai pegangan
tersebut merupakan nilai dasar yang sifatnya primer di dalam ruang publik politis
tradisional masyarakat Bugis Makassar. Penyelewengan terhadap nilai-nilai tersebut
mengakibatkan seseorang dianggap kehilangan nilai dasar kemanusiaannya atau
terdegradasi, turun martabatnya menjadi binatang (olok-kolo’)
Kelima nilai dasar yang primer tersebut akan diuraikan satu persatu, dan
kemudian akan dihubungkan dengan kondisi-kondisi ruang publik (politik) ideal yang
ada dalam konsepsi tudang sipulung yang dilandasi nilai-nilai dalam sistem nilai adat
normatif masyarakat Bugis Makassar.
Pertama, nilai dasar ada tongeng (perkataan jujur). Nilai dasar ini
mencerminkan kondisi pertama yang ada dalam suatu ruang publik (tradisional) harus
berlandaskan pada nilai-nilai kejujuran. Misalnya, peserta yang terlibat dalam suatu
tudang sipulung memberikan pandangan-pandangannya dalam bentuk informasi atau
argumentasi “yang benar (jujur)”. Informasi atau argumentasi yang diberikan
bukanlah suatu rekayasa yang dibaliknya tersembunyi kepentingan-kepentingan
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
47
tertentu, sehingga tudang sipulung yang berlangsung “betul-betul” untuk mencari
jalan keluar atas suatu permasalahan untuk kepentingan bersama.
Kedua, nilai dasar lempuk (perbuatan lurus/jujur). Nilai dasar ini berhubungan
dengan sikap atau perbuatan yang benar (lurus). Dalam pengertian ini, seorang
peserta dalam suatu musyawarah tidak memiliki sifat dan prilaku yang curang/tipu
muslihat. Dengan demikian, suatu ruang publik harus “steril” dari perbuatan curang,
tipu menipu, “main belakang” sehingga kondisi yang tercipta adalah kondisi yang fair
dalam suatu tudang sipulung.
Ketiga, nilai dasar getteng (keteguhan/ketegasan). Nilai dasar yang ketiga ini
menerangkan bahwa suatu ucapan, sikap, atau perbuatan harus bersandarkan
(berpegang teguh) pada keyakinan yang benar/objektif (nilai-nilai kebenaran/adat)
sehingga kondisi ruang publik yang tercipta benar-benar mencerminkan kondisi
objektif (yang sebenarnya), tidak subjektif, tidak memihak, atau berat sebelah.
Keempat, nilai dasar sipakatau (saling memanusiakan/menghargai). Nilai
dasar ini memiliki dimensi sosial yang mengindikasikan adanya interaksi yang
bersifat egaliter dalam suatu ruang publik. Hal ini menunjukkan hubungan yang
saling menghargai dan saling menghormati antar peserta dalam suatu ruang publik,
yang mana setiap peserta memiliki kesempatan/akses yang sama untuk
mengemukakan pandangan-pandangannya tentang suatu permasalahan tanpa ada
paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
48
Kelima, nilai dasar mappesona ri Pawinruk sewua-E (berserah diri kepada
Sang Pencipta. Nilai ini berdimensi religius dan transendental yang mempedomani
setiap aktivitas budaya politik, sehingga timbul keasadaran akan “pertanggung
jawaban” setiap individu kepada Sang Penciptanya dalam setiap aktivitas budaya
politiknya. Dengan adanya kesadaran vertikal tersebut, maka komunikasi yang terjadi
dalam suatu ruang publik akan selalu bersandarkan pada nilai-nilai kejujuran dan
kebenaran.
Jadi, pelaksanaan tudang sipulung sebagai sebuah ruang publik tradisional
bagi kehendak rakyat, harus dilandasi oleh kondisi-kondisi komunikasi ideal atau
nilai-nilai lima akkatenningeng (lima pegangan) sebagai sumber nilai normatif
tradisional masyarakat Bugis Makassar, dan dihormati oleh semua unsur yang terlibat
dalam tudang sipulung agar keputusan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan
kehendak bersama dan bermanfaat bagi semua pihak.
Nilai-nilai utama yaitu ada tongeng (perkataan jujur), lempu’ (perbuatan
lurus/jujur), getteng (keteguhan pada kebenaran), sipakatau (saling menghargai),
mappesona ri Pawinruk seuwa-E (berserah diri pada Sang Pencipta) harus menjadi
prasyarat bagi sebuah ruang publik (politis) agar proses komunikasi yang berlangsung
dapat terjalin secara rasional, fair, kritis, sehat dan demokratis. Hal-hal inilah yang
dimaksudkan Habermas sebagai ciri ruang publik otentik yang muncul di Eropa pada
sekitar abad ke 17, yang ternyata kondisi-kondisi ruang publik otentik tersebut ada
dan diterapkan dalam kehidupan budaya politik tradisional masyarakat Bugis
Makassar, sejak ratusan tahun silam yang dimulai sekitar abad ke-14.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
49
2.2 Proses Pergeseran Nilai-Nilai Budaya Politik Bugis Makassar
Akhir abad ke-18 ditandai dengan makin membesarnya pengaruh kekuasaan
Belanda di Sulawesi Selatan. Di dalam realitasnya, pemerintah kolonial Belanda
menggunakan konsep kekuasaan yang berarti keberkuasaan dan kepenguasaan, yaitu
dengan penggunaan kekuatan (macht), penumpukan kekuatan (machtsvorming), dan
pendayagunaan kekuatan (machtsaanwending), serta penguasaan sumber-sumber
mata pencaharian dan ekonomi38
. Konsep semacam itu, kemudian perlahan-lahan
mempengaruhi konsep kekuasaan budaya politik Bugis Makassar. Apalagi dengan
adanya ketentuan yang dikeluarkan pemerintah Belanda bahwa pengangkatan raja-
raja yang ditetapkan oleh Dewan Adat harus dengan “sepengetahuan” penguasa
Belanda sehingga aktifitas tudang sipulung sebagai ruang kultural demokratis Bugis
Makassar dalam melahirkan keputusan bersama (opini publik), terpaksa harus tunduk
pada kekuasaan kolonial Belanda.
Terjadilah pertarungan nilai, antara nilai yang sifatnya moral religius, nilai-
dasar budaya politik Bugis Makassar, dengan nilai yang watak dasarnya memberikan
apresiasi yang tinggi pada nilai kekuasaan dan nilai ekonomi, yang dikembangkan
oleh penguasa kolonial Belanda. Di dalam pertarungan nilai-nilai tersebut, nilai
moralistik religius, tergeser oleh nilai kekuasaan yang bermakna kepenguasaan, dan
nilai ekonomi yang pragmatik. Sejumlah penguasa Bumiputera mulai memupuk,
menumpuk dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri, melupakan
kepentingan rakyat. Otomatis, isi perjanjian antara Tomanurung dengan Pemimpin-
38
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 171
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
50
Pemimpin Kaum menjadi terabaikan, yang juga berarti telah terjadinya pergeseran
nilai-nilai kultural tudang sipulung dan sistem norma-norma Panngadereng sebagai
basis budaya politik Bugis Makassar.
Kekecewaan dan ketidakpuasan rakyat, terutama atas tingkah-laku para
penguasa Belanda dan penguasa Bumiputera nampak semakin jelas, yang disertai
dengan harapan munculnya tokoh/penolong seperti tercermin pada pemujaan
terhadap tokoh imajiner dalam cerita sinrilik I Tolok Daeng Magassing, atau harapan
munculnya tokoh Sang Ratu Adil. Kekecewaan semacam itu memungkinkan
munculnya apa yang disebut Mattulada sebagai gerakan Messiah, seperti gerakan
Batara Gowa I Sangkilang dan gerakan Karaeng Data di Gowa, yang dengan cepat
memperoleh dukungan luas dari rakyat, terutama rakyat pegunungan. Di bawah
pimpinan I Sangkilang dan kemudian Karaeng Data, rakyat mengangkat senjata
melawan raja Gowa dan Belanda, sesuatu yang melanggar perjanjian Tomanurung
dengan Pemimpin Kaum. Pertarungan nilai-nilai budaya politik semacam itu, terjadi
juga di kerajaan-kerajaan Bone, Soppeng, Luwu, dan lain-lain, yang berlanjut terus
hingga awal abad ke-20. Tatanan norma-norma Panngadereng, yang terdiri atas Ade’,
Bicara, Rapang, Wari’, dan Sara’ yang merupakan penerjemahan nilai-nilai dasar
budaya politik Bugis Makassar, perlahan-lahan semakin luntur akibat pertarungan39
.
Pada awal masa kemerdekaan, kemerdekaan Republik Indonesia yang
diproklamasikan Soekarno dan Hatta disambut gembira oleh rakyat dan raja-raja di
Sulawesi Selatan. Misalnya Arumpone Andi Mappanyukki, dan Datu Luwu Andi
39
Anwar Ibrahim (2003), Ibid., hal. 172
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
51
Djemma, serta raja-raja lainnya di Sulawesi Selatan, dengan sukarela meleburkan
kerajaannya ke dalam republik, menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia.
Realitas ini menimbulkan konsekuensi pada kontinuitas nilai-nilai budaya politik
Bugis Makassar. Memudarnya nilai-nilai pada abad ke-19 dan awal abad ke-20,
sesungguhnya merupakan awal terjadinya pergeseran nilai-nilai dasar budaya politik
di Sulawesi Selatan, yang terus berproses dan makin tampak jelas setelah
kemerdekaan.
Tatanan Panngadereng yang mengatur norma-norma ruang-ruang kultural
tudang sipulung Bugis Makassar mengalami disfungsi. Secara yuridis formal
Panngadereng digantikan oleh UUD RI dengan berbagai aturan hukum dan undang-
undangnya, yang di dalam praktek pengamalannya, sesungguhnya tidak atau kurang
mengakomodasi nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar. Selanjutnya, nilai-
nilai dasar budaya politik Bugis Makassar yang dijabarkan dan diterjemahkan di
dalam Panngadereng, menjadi kehilangan sarana aktualisasi, yang kemudian
mengakibatkan makin memudarnya perwujudan nilai-nilai tersebut di dalam aktivitas
kehidupan sosial kemasyarakatan dan kenegaraan. Terjadilah krisis nilai. Nilai-nilai
lama cenderung ditinggalkan sedang nilai-nilai baru belum mampu diraih.
Gegap-gempita anjuran faham nasionalisme yang integralistik disertai hujatan
dan nistaan terhadap upaya pengembangan budaya lokal dengan istilah yang
(dianggap) berkonotasi negatif, provinsialisme dan daerahisme, mengakibatkan
menurunnya upaya dan aktivitas pemeliharaan nilai-nilai dasar budaya politik Bugis
Makassar. Hal ini berakibat lanjut, antara Pancasila yang menjadi nilai-nilai dasar
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
52
budaya politik Indonesia dengan nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar di
Sulawesi Selatan, tidak dapat menyatu dan tidak dapat saling menyelarasi, apalagi
saling memperkaya. Tampaknya logis bila nilai-nilai dasar budaya politik Bugis
Makassar cenderung tidak dapat memberikan sumbangan yang berarti untuk mengisi
dan memperkaya nilai-nilai dasar Pancasila. Hal itu terjadi bukan lantaran adanya
pertentangan antara kedua jenis nilai-dasar tersebut, melainkan terutama disebabkan
oleh faktor realitas politik di Indonesia yang “sentralistik” dan “seba-pusat”, serta
adanya kenyataan bahwa tokoh-tokoh pemimpin dan pelaku politik baik di dalam
maupun di luar pemerintahan, serta tokoh-tokoh panutan masyarakat cenderung
melakukan penyelewengan nilai-nilai Pancasila di dalam pengamalannya. Realitas
tersebut adalah pencerminan dari aktivitas budaya politik di tingkat pusat yang
kemudian “ramai-ramai” ditiru di tingkat daerah.
Pada satu sisi, disfungsi tatanan pranata-pranata sosial seperti tudang sipulung
dan norma-norma Panngadereng cenderung mengakibatkan masyarakat kehilangan
pegangan, pada sisi lain, terutama pada awal pasca-kemerdekaan, pengenalan apalagi
pengamalan dan penghayatan norma-norma kehidupan berpolitik, bernegara, dan
berpemerintahan yang berdasar Pancasila dan UUD RI, belum mampu tercapai oleh
pengetahuan politik masyarakat, serta realitas adanya kecenderungan Pancasila
menjadi sekedar hiasan bibir dan pemanis wacana politik di dalam kehidupan politik.
Realitas tersebut ternyata lebih mempertajam krisis nilai-nilai dan norma-norma
kehidupan budaya politik di Sulawesi Selatan.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
53
Pada zaman Orde Lama, pemimpin-pemimpin Indonesia cenderung
menempatkan Pancasila sebatas “alat-pemersatu-bangsa”, yang ironiknya disertai
anggapan bahwa bila bangsa telah bersatu, Pancasila dapat diganti dengan ideologi
lain. Pada zaman kekuasaan Orde Baru, dengan seruan dan wacana politik “membela
dan mempertahankan” Pancasila, kemudian digalakkan dengan Penataran Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4). Ironiknya butir-butir nilai
yang diindoktrinasikan di dalam penataran, tidak disertai contoh-teladan
pengamalannya dari pemimpin-pemimpin politik negara, dan dari para penganjur,
termasuk dari para penatar P4. Selain itu, aktifitas masyarakat di wilayah-wilayah
publik, lebih banyak dibubarkan atau dikontrol dibawah todongan senjata dengan
dalih menjaga stabilitas nasional. Dengan demikian, nilai-nilai Panngadereng tidak
lagi menjadi pedoman arah dan orientasi di dalam kehidupan berdemokrasi/berpolitik
di masyarakat, sehingga terjadilah semacam krisis nilai-nilai moral di dalam budaya
politik Sulawesi Selatan dewasa ini.
Demikian pula pada masa reformasi, nilai-nilai aktifitas budaya politik belum
menunjukkan perubahan yang berarti. Setelah terlepas dari Orde Baru (negara), dan
beralih pada kekuasaan liberalisme, ketidaksambungan nilai-nilai budaya politik
Bugis Makassar dalam konteks kekinian justeru semakin jauh. Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada beberapa daerah di Sulawesi Selatan, masih
diwarnai desas-desus politik adanya ketidakjujuran dan politik uang (money politic),
memberi isyarat diskontinuitas nilai-nilai dasar budaya politik Bugis Makassar
dengan nilai-nilai budaya politik di Sulawesi Selatan dewasa ini.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
54
2.3 Warung Kopi sebagai Budaya Politik Kontemporer di Makassar pada
Era Liberalisasi Media.
Ketika angin reformasi berhembus kencang pada segala sendi-sendi
kehidupan di Indonesia, harapan akan kehidupan yang demokratis mulai terbersit di
ruang-ruang publik. Reformasi 1998 telah menyingkap “awan gelap” yang selama 32
tahun menyelimuti ruang publik di Indonesia. Angin reformasi telah membawa
desakan liberalisasi yang kuat kepada pemerintah baru (pasca Orde baru) untuk lebih
jauh menerapkan kebebasan, termasuk membebaskan ruang-ruang publik dari kontrol
pemerintah. Namun ketika kekuatan negara telah berakhir, dan digantikan oleh
kekuatan pasar, keberadaan ruang publik bukannya terbebas dari kontrol, malah
kembali berada dibawah kontrol yang lain, yaitu kontrol kekuatan pasar. Kekuatan
dan logika pasar inilah kemudian banyak mengooptasi keberadaan ruang-ruang
publik kontemporer di tanah air dewasa ini.
Di Makassar, khususnya pasca reformasi, ruang-ruang publik kontemporer
banyak muncul dalam wujud warung-warung kopi. Warung-warung kopi yang
dahulunya hanya dihitung jari, saat ini menjamur, menjadi tempat berinteraksi dan
berdiskusi, ketimbang menjadi (sekadar) tempat minum kopi40
. Persoalan-persoalan
sosial kemasyarakatan tidak lagi melulu dibicarakan di kampus-kampus atau di
ruang-ruang seminar, tapi telah berpindah ke warung-warung kopi dimana orang tak
perlu bersikap formal untuk membicarakan hal-hal yang serius. Berdiskusi dan
mengobrol di warung kopi, telah menjadi trend dan gaya hidup warga kota Makassar.
40
Lihat di http: www.fajar.co.id/news.php?newsid=30769 (dipunggah 15 Juni 2007)
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
55
Dengan demikan, warung-warung kopi ini telah membuka dan memediasi
ruang-ruang perbincangan bagi publik untuk membicarakan berbagai aspek sosial ke
masyarakatan dalam kehidupan bermasyarakat maupun jalannya proses
penyelenggaraan pemerintahan di Sulawesi Selatan pada umumnya dan di Makassar
pada khususnya. Dengan kata lain, keberadaan warung-warung kopi ini di Makassar
telah menjadi ruang publik politis bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya
terhadap proses sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat kota Makassar.
Keberadaan ruang-ruang publik politis ini (warung-warung kopi), tidak lagi
sekadar tempat minum secangkir kopi atau kongkow-kongkow, namun telah menjadi
tempat berinteraksinya segala gagasan, informasi, dan kepentingan, bahkan menjadi
ajang debat publik dan “pertarungan ideologis” untuk mendapatkan penerimaan atas
publik. Ruang publik ala warung kopi telah menjadi lahan “bebas dan subur” bagi
segala kepentingan baik kepentingan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik yang
melibatkan aktor-aktor (agents) dari berbagai lapisan masyarakat, seperti di
antaranya: politikus, cendekiawan, LSM, pejabat pemerintah, praktisi hukum,
wartawan, atau pengusaha.
Tercatat beberapa warung kopi yang sering menjadi tempat kongkow-kongkow
dan diskusi bagi warga Makassar, di antaranya warung kopi Phoenam, Daeng Sija,
Daeng Anas, Mappanyukki, Sipakarennu, Kopi Dottoro’, Kopi Ogi, Kafe Turbo,
Kafe Rally, Kopi Zone, Kopi Tiam, Tongsang, Tujuh Samudra, dan Short Tune
(liputan Tribun Timur, Senin, 19 Pebruari 2007).
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
56
Suatu hal yang perlu dicermati dalam maraknya perbincangan publik di ruang
publik warung kopi di Makassar adalah peranan media massa, dalam hal ini stasiun
radio, dalam memediasi talkshow tersebut. Media massa pun kemudian berlomba-
lomba mengadakan talkshow. Pembicaraan publik yang dahulunya banyak
berlandaskan pada budaya politik tradisional tudang sipulung, kini tergantikan oleh
diskusi-diskusi ala warung kopi yang berdasarkan pada mediasi media massa dan
representasi tokoh-tokoh publik. Fenomena media massa dan representasi tokoh
publik di warung kopi, telah menjadi gambaran kondisi budaya politik kontemporer
Makassar saat ini sehingga ruang-ruang yang seharusnya menjadi milik publik ini pun
banyak didefinisikan oleh media massa sebagai akibat dari era liberalisasi media.
Melihat keberadaan media massa dalam memediasi diskusi di ruang-ruang
publik, misalnya di warung-warung kopi, di dalam era liberalisasi industri media
yang berada pada rejim fundamentalisme pasar, maka terdapat tendensi yang dapat
memunculkan sejumlah ancaman terhadap kebebasan pers dan kepentingan ruang
publik di Makassar pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya41
.
Pertama, sejalan dengan bertambahnya jumlah industri media massa dan
persaingan di antara mereka, maka keberadaan dan tingkah laku industri media massa
akan semakin ditentukan oleh kepentingan akumulasi modal, yang merupakan bentuk
dari konstitusi rejim dogmatisme pasar, yang akan menentukan siapa dan apa yang
dipinggirkan oleh media massa. Selain menyingkirkan pelaku pasar yang tidak
memiliki kemampuan modal yang cukup, kepentingan akumulasi modal juga
41
Dedy N Hidayat, Op.cit., hal. 7-14
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
57
berpotensi mengooptasi industri media agar tidak memberitakan isu-isu yang
bertentangan dengan kepentingan akumulasi modal. Industri media massa juga akan
cenderung menampilkan nilai-nilai yang menonjolkan kompetisi, dan hak untuk
mengakumulasi modal sebebas-bebasnya, sebagai fenomena yang “wajar dan alami”.
Pada saat bersamaan, industri media massa akan mengabaikan eksistensi
ketimpangan sosial ekonomi serta ketimpangan dalam kompetisi yang disebabkan
oleh kesenjangan sosial ekonomi, seolah-olah itu semua merupakan realitas alami dan
wajar, dan suatu konsekuensi logis dari suatu dinamika pasar, yang karenanya itu
juga tidak dianggap memiliki nilai berita untuk diolah.
Logika regulasi pasar, yang antara lain menonjolkan the logic of accumulation
and exclusion, juga akan mendikte agar isu-isu permasalahan sosial tertentu, seperti
tunawisma, anak jalanan, kemiskinan, pengangguran, kelompok minoritas, dan juga
isu-isu lain yang berkaitan dengan kekerasan, pemerkosaan, pertumpahan darah
ataupun tidak menyangkut kepentingan kelompok mayoritas konsumen yang berdaya
beli, maka hal tersebut akan dikategorikan sebagai isu yang tidak mengandung nilai
berita dan tidak berpotensi untuk diolah menjadi komoditas informasi.
Secara umum, media juga cenderung meliput masalah kemiskinan dari sudut
(angle) dan fokus keterkejutan pihak yang menyaksikan suatu drama tragis, bukan
dari sisi kaum miskin itu sendiri. Industri media massa baru akan mengolahnya
sebagai komoditas bila isu-isu tadi telah menjadi bagian dari sebagai suatu kerusuhan
sosial, amuk massa, atau peningkatan kriminalitas yang mengganggu keamanan dan
kenyamanan sosial mayoritas kelompok kelas menengah, yang nota bene adalah
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
58
konsumen utama industri pers, yang memiliki daya beli atau sumber daya serta
peluang yang lebih besar ke media, untuk mengeluhkan ketidaknyamanan yang
mereka alami.
Kedua, kaidah akumulasi modal juga akan membuat biaya akses ke media
menjadi mahal, hanya terjangkau oleh kelompok atau individu tertentu. Bagi
kelompok yang tidak memiliki sumber daya berupa kekuatan politik atau kemampuan
ekonomi, maka peluang untuk memperoleh akses ke media guna menyuarakan isu
kepentingan mereka, akan semakin berkurang dan diperkecil oleh kepentingan
industri media massa itu sendiri yang hanya mau menampilkan isu dan peristiwa yang
memiliki nilai jual, atau memiliki bobot politik yang menyangkut kepentingan politik
besar. Dari segi ini, kerusuhan, aksi massa, pemogokan buruh dan sebagainya, bisa
dilihat (hanya) sebagai strategi “kehumasan” kelompok publik tertentu agar
memperoleh akses ke media atau untuk meningkatkan nilai berita isu permasalahan
mereka.
Di lain pihak, kelompok atau individu yang memiliki sumber daya lebih besar
akan mampu melakukan manajemen isu atau usaha pembentukan opini publik untuk
menyampaikan kepentingan mereka, dengan membeli jam tayang, melakukan
rekayasa public relations yang tertib dan berbudaya, seperti jumpa pers, seminar,
talkshow, yang dimediasi oleh media massa.
Ketiga, kaidah dan logika mekanisme pasar jelas juga berpotensi besar dalam
meminggirkan institusi media lain yang tidak mampu mematuhi aturan logika modal
dan pasar. Media alternatif yang menyuarakan kepentingan publik atau menempatkan
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
59
diri sebagai dialog politik, dengan tanpa memperhatikan selera pasar atau konsumen,
tentunya hanya memiliki daya dan harapan hidup yang lebih rendah.
Keempat, media dalam suatu pasar liberal turut pula berperan dalam
melanggengkan atau mereproduksi struktur sosial yang bercirikan ketimpangan antar
kelas ekonomi. Hal tersebut dilakukan tidak hanya melalui orientasi isi media yang
menyajikan ketimpangan semacam itu sebagai sebuah realitas yang wajar dan alami,
melainkan juga melalui segmentasi penyediaan informasi antar strata sosial di
masyarakat. Segmentasi semacam ini akan berpotensi menciptakan jurang sosial antar
elemen masyarakat. Hal ini jelas tidak menunjang kematangan kehidupan demokrasi,
yang antara lain membutuhkan adanya kesetaraan kualitas informasi yang diberikan
kepada publik, agar publik dapat memperoleh kesetaraan dalam setiap wacana publik.
Dengan demikian, dalam sebuah kepentingan pasar yang liberal, regulasi
pasar akan menciptakan dominasi kekuatan pasar dalam mendefinisikan apa yang
menjadi “kepentingan publik” atau “selera publik”. Kaidah-kaidah ataupun tuntutan
struktural pasar itu sendiri yang akan menentukan apa yang menjadi fokus isu publik.
Isu-isu sosial seperti tunawisma, anak jalanan, kesejahteraan buruh, tuntutan
kelompok minoritas, dan seterusnya, akan selalu berpeluang kecil untuk diangkat dan
didefinisikan oleh media sebagai isu-isu yang menyangkut kepentingan publik. Sebab
isu-isu semacam itu, menurut ideologi yang melekat pada struktur media itu sendiri,
dianggap tidak memiliki nilai berita, nilai tukar, atau tidak berpotensi untuk diolah
menjadi suatu komoditas berita.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
60
2.4 Ruang Publik Phoenam Makassar sebagai Representasi Budaya Politik
Kontemporer di Makassar
2.4.1 Sekelumit Mengenai Phoenam: Persinggahan dari Selatan
Warung kopi Phoenam yang telah berdiri sejak 60 tahun silam, pertama kali
didirikan pada masa awal-awal kemerdekaan yaitu tepatnya pada 194642
. Warung
kopi ini didirikan oleh dua bersaudara, Liong Thay Hiong dan Liong Thay San, di
jalan Nusantara No.59 Makassar. Liong Thay San yang bersekolah di Amerika
memutuskan kembali ke Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1950. Selanjutnya,
Liong Thay Hiong lah yang melanjutkan bisnis warung kopi tersebut dan diwariskan
kepada keturunan-keturunannya. Menurut penuturan Albert Liongady, putra dari
Liong Thay Hiong, ia mengelola warung kopi Phoenam sejak 1972.
Nama Phoenam sendiri berasal dari kata “Phoenam” yang berarti
persinggahan dari selatan. Nama tersebut diberikan Liong Thay San untuk
mengenang asal nenek moyang mereka berasal dari selatan (Cina Selatan). Sekarang
ini, warung kopi Phoenam dikelola oleh Albert Liongady dan anak-anaknya. Pada
awal mulanya, warung kopi Phoenam terletak di jalan Nusantara No.59. Daerah ini
adalah daerah pelabuhan Makassar. Karena tergusur oleh perluasan pelabuhan,
warung kopi Phoenam kemudian pindah ke jalan Jampea, dan membuka cabang lagi
di Panakukang Mas, dan di Mal Diamond Panakukang. Warung kopi Phoenam
Jampea dikelola Albert Liongady sendiri bersama anak dan istrinya, sedangkan
Phoenam di Boulevard dan di Mal Diamond, ditangani oleh putra dan menantunya.
42
Hasil wawancara dengan Albert Liongady pada tanggal 17 Maret 2007 pukul 14.30 WIT
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
61
Peralatan yang digunakan dan cara memasak kopi Phoenam masih terbilang
tradisional. Kopi yang dipakai berasal dari Tana Toraja yang merupakan paduan kopi
arabika dan robusta yang digiling tanpa menggunakan mesin. Kopi digiling, diracik
secara manual dan berulang-ulang ala kopi tarik yang menghasilkan ramuan kopi
yang berbusa dan aroma kopi Toraja yang khas. Ciri dan aroma khas kopi warung
kopi Phoenam tersebut lah yang menimbulkan kesan tersendiri bagi para penggemar
dan penikmat kopi buatan Phoenam.
Dalam rangka melebarkan usahanya, warung kopi Phoenam membuka cabang
di Jakarta, Mamuju, Parepare, dan Palu. Untuk cabang di Jakarta, Albert Liongady
dibantu oleh saudaranya Hendra Liongady. Albert baru membuka cabang Phoenam di
Jakarta pada 1997. Pertama kali dibuka di Plaza Mandiri jalan Gatot Soebroto,
bertambah kemudian di jalan Wahid Hasyim, Menteng. Sedangkan untuk di Mamuju
dan Palu, warung kopi Phoenam dikelola dalam bentuk bisnis waralaba (franchise).
Pertengahan 2003, warung kopi Phoenam bekerjasama dengan radio
Mercurius FM Makassar menggelar talkshow yang diberi nama “Obrolan Warung
Kopi Phoenam”, yang membahas persoalan seputar publik Makassar secara khusus
dan persoalan politik di Indonesia secara umum. Dengan kerjasama tersebut, maka
semakin menguatkan posisi Phoenam sebagai ruang publik yang memiliki brand
yang merintis ruang-ruang perbincangan dan perdebatan ala warung kopi di
Makassar di era liberalisasi media.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
62
2.4.2 Ruang Publik Phoenam Makassar: Trend Setter Budaya Politik
Kontemporer di Makassar
Keberadaan warung kopi di Makassar sebenarnya bukan merupakan hal yang
baru. Warung-warung kopi telah ada sejak jaman kolonial. Namun pasca reformasi
1998, fenomena warung kopi ini telah menjadi sesuatu yang baru dalam
perkembangan budaya politik di Makassar, terutama setelah maraknya talkshow yang
diadakan di warung-warung kopi. Warung kopi pun telah menjadi ruang publik
politis bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya terhadap jalannya proses
pemerintahan di kota Makassar.
Salah satu ruang publik yang menarik di Makassar adalah ruang publik
Phoenam. Keberadaan ruang publik Phoenam, bukan sekadar tempat minum kopi
atau kongkow-kongkow, namun telah menjadi ruang berinteraksinya informasi dan
kepentingan, bahkan menjadi ajang debat publik dan “pertarungan ideologis” untuk
mendapatkan penerimaan atas publik. Ruang publik Phoenam telah menjadi ruang
bagi berbagai lapisan masyarakat, seperti di antaranya: politikus, intelektual, LSM,
pejabat pemerintah, wartawan, dan pengusaha. Di samping talkshow yang diadakan
secara intens dan reguler, ruang publik Phoenam menjadi ruang berinteraksinya para
pengambil kebijakan dan tokoh-tokoh publik sehingga menjadi ruang pertarungan
politis bagi kelompok yang berkepentingan dengan publik. Para pemburu berita
menjadikan ruang publik Phoenam sebagai sumber pemberitaan untuk diliput
dimedianya. Demikian pula para tokoh publik, politisi, memanfaatkan ruang publik
Phoenam untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada masyarakat luas.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
63
Dengan demikian, kehadiran ruang publik Phoenam telah menjadi trendsetter
ruang publik kontemporer di Makassar. Keberadaan ruang publik Phoenam telah
memicu munculnya ruang-ruang publik baru. Ruang-ruang publik baru tersebut
bukan saja sebagai kompetitor Phoenam dalam menggelar acara talkshow serupa tapi
juga menjadi saingan “bisnis ruang publik” bagi Phoenam di Makassar. Dengan
demikian, keberadaan Phoenam sebagai usaha bisnis dan sekaligus ruang publik di
Makassar, maka keberadaannya pun tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari
persaingan yang terjadi di antara warung-warung kopi lainnya yang ada di Makassar.
Bagi Phoenam, maraknya fenomena warung kopi di Makassar merupakan
motivasi bagi Phoenam untuk selalu menjaga dan meningkatkan kualitas produk dan
pelayanannya. Bukan hanya mempertahankan produk dan pelayanan, Phoenam pun
melebarkan sayap dan membuka cabang di beberapa tempat di Makassar. Selain itu,
talkshow yang dilaksanakan di ruang publik Phoenam yang merupakan hasil kerja
sama dengan Mercurius FM, adalah strategi yang efektif dalam merebut publik di
Makassar. Namun demikian, bukan berarti Phoenam tidak memiliki saingan dalam
membuka “ruang publik politis” dan usaha warung kopi di Makassar, tercatat
beberapa ruang publik (warung-warung kopi) yang sering menjadi tempat tukar
pikiran, tukar pendapat dan tukar kepentingan di Makassar, yang sekaligus juga
menjadi kompetitor Phoenam yaitu di antaranya warung kopi Phoenam, Daeng Sija,
Daeng Anas, Mappanyukki, Sipakarennu, Kopi Dottoro’, Kopi Ogi, Kafe Turbo,
Kafe Rally, Kopi Zone, Kopi Tiam, Tongsang, Tujuh Samudra, Tenar, dan Short
Tune.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
64
Pertarungan wacana tidak saja berlangsung antar warung kopi, stasiun radio,
media cetak, tokoh publik, namun juga para pengunjung (misalnya politisi, tim
sukses) warung kopi. Para tim sukses pasangan Pilkada menjadikan ruang-ruang
publik sebagai ajang sosialisasi untuk menjual figur-figur jagoannya di ruang-ruang
publik di Makassar. Hal ini menunjukkan bahwa ruang-ruang publik yang ada di
Makassar menjadi “rebutan” para politisi dalam rangka menarik simpatisan
konsumen demi kepentingan partai politiknya atau kandidatnya masing-masing.
Andi Faisal. Ruang publik ..., FIB UI., 2008.
top related