trauma laring
Post on 09-Aug-2015
258 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
2.5.1 Definisi
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu kerusakan
yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya. Hal ini
menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil
suara terganggu, sehingga dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.2
2.5.2 Epidemiologi
Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan pasien, 1
dari 14.000-42.000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari keseluruhan kejadian trauma
tumpul.2 Jarangnya trauma ini ditemukan kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang
terlindungi oleh organ di sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan
mandibula yang tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi
dari leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada anak-anak dimana laring pada anak-anak
lebih superior dan sifatnya yang masih elastis. Insiden trauma laring pada pengendara
kendaraan bermotor juga semakin berkurang disebabkan oleh karena penggunaan sabuk
pengaman dan pengaman berkemudi lainnya. Kurang dari 50% dari keseluruhan trauma
laring diperkirakan adalah hasil dari trauma krikoid.1,2
Wanita cenderung memiliki leher yang lebih panjang dan jenjang, membuat mereka
lebih rawan untuk terkena trauma laring, khususnya trauma supraglottik. Namun secara
keseluruhan pria lebih sering ditemukan mendapatkan trauma ini (77%:23 %), hal ini
dikarenakan aktivitas yang digeluti kaum pria jauh lebih berbahaya seperti olahraga ekstrim
dan perkelahian. Pada kelompok umur yang lebih tua, trauma laring sering berkaitan dengan
proses penuaan seperti telah terjadinya kalsifikasi pada tulang-tulang mereka.1,2
2.5.3 Patofisiologi
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak, trauma
inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring akibat trauma tumpul
semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem pengaman kendaraan
(automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga
persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan
tembak kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.1,2,3
Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau trauma tajam
terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu sebagai berikut:
Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea
dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri subklavia,
arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus torasikus,
kelenjar tiroid dan medula spinalis.
Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini
berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis interna,
laring, hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula spinalis.
Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri
karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula
spinalis.1,3
Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada setiap
cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang, secara
khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.2
1) Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung
menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas bawah. Daerah yang
terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis
pada daerah yang terkena.1,2
2) Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh
hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada.
Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian membentur kemudi, handle bars
atau dashboard. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor
dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan
terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.1,2
Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring,
sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea atau
laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea tertekan di antara
manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada dapat menyebabkan robekan
vertikal pada trakea pars membranosa atau bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.2,3
Gambar 2.3 Mekanisme trauma tumpul1
Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma
akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan
intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran
trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak.
Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat
tarikan paru yang mendadak.1,2,3
3) Trauma Tajam
Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak
akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit,
pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin
meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding
trauma tusuk.1,3
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea
merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang
mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga
bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran
nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu
sendiri.1,3
4) Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan
kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat diakibatkan oleh
intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan
mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya
karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan
rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang
mengalami trauma saat trakeostomi.1,2
Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada
kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam menggunakan
benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan pada usia dewasa,
biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan menelan larutan alkali
ataupun hidrokarbon.1,2
2.5.4. Diagnosis
Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung
mekanisme traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma
laring adalah mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal,
emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress
pernafasan dan hemoptisis.3
1) Gejala Klinis
Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah sesak
nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan
suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas. Tanda
lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring adalah adanya kebocoran udara
atau suara mendesis pada tempat trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat
dilihat langsung di tempat luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit
leher yang mengembang pada saat batuk.1,3
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat hantaman
benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan penonjolan
tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi, diskontinuitas, nyeri tekan pada daerah
laring, emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal.2
Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan indikasi
operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis walaupun ringan
memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dapat dibagi menjadi 5 grup,
sebagai berikut :
Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur
Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada expose
tulang rawan, fraktur nondisplaced.
Grup III : Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan.
Fraktur displaced pada CT Scan.
Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan.
Grup V : Terputusnya laring komplit.1,2
2) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma leher yang
mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul ataupun yang
sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat terlihat adanya bayangan udara
terperangkap di prevertebra dan leher bagian dalam atau peninggian/elevasi tulang hyoid
pada kasus separasi krikotrakea.1,3
Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak luka,
luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna menjamin jalan
nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus. Tindakan panendoscopy dan
arteriografi disarankan dilakukan pada trauma tembus leher dengan kondisi pasien yang
stabil. Tindakan tersebut di atas selain efektif juga sensitifitasnya tinggi untuk menghindari
eksplorasi yang berlebihan.1,2,3
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras, computed
tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah berperan banyak
dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan angka eksplorasi bedah
karena mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT diindikasikan pada pasien dengan
kecurigaan trauma laring hanya dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien
yang hanya menunjukkan satu gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan
midline displaced yang minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini
sangat menguntungkan pasien karena jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan
fonasi jangka panjang. CT kurang berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan seperti
pada kartilago yang terekspose atau displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.1,2
2.5.5 Penatalaksanaan
Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis atau
paramedis harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma laring,
luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan seksama. Pada prinsipnya,
penatalaksanaan trauma harus sistematis dimulai dari penilaian dan pengamanan jalan nafas
agar tetap adekuat.1,2
1) Manajemen Jalan Nafas
a. Trakeostomi
Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea
untuk mengatasi asfiksi apabila ada gangguan pertukaran udara pernapasan. Trakeostomi
diindikasikan untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas, melindungi trakea serta
cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya discharge bronkus, serta penanganan
terhadap penyakit (keadaan) yang mengakibatkan insufisiensi respirasi.5,6
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran
nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah
trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi
aspirasi darah. Pada trauma tumpul, tindakan pengamanan jalan nafas dengan trakeostomi
lebih cenderung dipilih dibanding dengan orotracheal tube maupun krikotiroidotomi.
Tindakan trakeostomi akan menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50
persennya. Sehingga, pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk
bernafas dan meningkatkan ventilasi alveolar. Menurut lamanya pemasangan, trakeostomi
dibagi menjadi:
1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan trakeostomi permanen. Kartilage
trakea diarahkan ke permukaan kulit dan dilekatkan pada leher. Rigiditas cartilage
mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga tidak diperlukan trakeostomy tube
(canule).
2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan trakeostomi temporer. Trakea
dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat obstruksi. Digunakan
trakeostomi tube (canule) terbuat dari metal atau Non metal (terutama pada
penderita yang sedang mendapat radiasi dan selama pelaksanaan MRI scanning).1,5,6
Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat
pembuluh darah yang cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Indikasi
untuk melakukan eksplorasi ialah :
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema subkutis yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
e. Paralisis bilateral pita suara.5
b. Montgomery T-Tube
Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya dalam
pembedahan di bagian kepala dan leher. T-tube awalnya diperkenalkan pada pertengahan
tahun 1960 dan digunakan untuk menyokong trakea setelah tindakan laryngotracheoplasty.
Alat ini memiliki 2 cabang, cabang utama yang lebih panjang dimasukkan dalam trakea,
sedangkan cabang yang lebih pendek diproyeksi melalui stoma trakeostomi. Saat ini, T-tube
dipergunakan pada pasien dengan cidera trakeal akut, penyokong trakea pasca rekonstruksi,
maupun sebagai pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Diameter
eksternal T-tube berukuran mulai dari 4,5 – 16 mm, sedangkan diameter internal dan
ketebalannya bervariasi. Alat ini terbuat dari bahan silicon sehingga dapat mengurangi
pembentukan mucus yang berlebihan.7,8,9
Gambar 2.4 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube.
(B) Montgomery T-tube.7
Setelah pemasangan dilaksanakan, edukasi terhadap pasien dan keluarga harus
diperhatikan terutama mengenai perawatan T-tube untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Salah satu langkah sederhana dalam perawatan T-tube adalah dengan melakukan irigasi
mempergunakan 2-3 ml larutan normal saline 2-3 kali sehari serta menjaga bagian eksternal
dari T-tube tetap bersih. Nebulizer dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan
3 kali sehari untuk membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret
yang sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang
diperoleh dengan pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat dilihat pada
table berikut: 7,8
Tabel 2.1 Perbedaan T-tube dan trakeostomi.9
Penggunaan Montgomery T-tube masih terbilang jarang. Bahkan tidak sedikit
anestesiologis kesulitan dalam hal manajemen general anestesi pada pasien dengan operasi
laring yang mempergunakan T-tube. Metode standar dalam pemasangan T-tube adalah
dengan mempergunakan curved haemostatic forceps dan diletakkan intratrakeal melalui
trakeostomi. Kesalahan dalam meletakkan atau memasang T-tube dapat mengakibatkan
hilangnya kontrol terhadap jalan nafas pasien. Pada kasus tersebut, T-tube harus dilepaskan
dan dipasang ulang dengan seksama di posisi yang tepat.7,8,9
c. Laryngeal Mask Airway (LMA)
Laryngeal mask airway (LMA) atau dikenal pula dengan sebutan sungkup laring,
merupakan suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon
pada pipa trakhea. Tangkai pipa LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat
dipergunakan, yaitu:
1. LMA standar dengan satu pipa napas.
2. LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang
ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.10
Gambar 2.5 Laryngeal mask airway (LMA)9
LMA dipergunakan selama operasi trauma laring yang sedang berlangsung untuk
menjaga jalan napas pasien tetap adekuat. LMA dikenal karena kemudahan dalam
pemasangannya serta kemungkinan terjadinya trauma trakea sangat rendah. Dibandingkan
dengan endotrakeal tube (ETT), LMA memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat
mengurangi insiden spasme laring, batuk-batuk, serta suara serak pasca operasi.10
Pemilihan ukuran LMA sangat penting untuk diperhatikan mengingat perbedaan dari
sisi anatomis pada pasien anak-anak dan dewasa. Berikut adalah tabel pemilihan ukuran
LMA berdasarkan usia dan estimasi berat badan:
Ukuran Usia Berat badan (kg)1.0 Neonatus < 31.3 Bayi 3 – 102.0 Anak kecil 10-202.3 Anak 20 – 303.0 Dewasa kecil 30 – 404.0 Dewasa normal 40 – 605.0 Dewasa besar > 60
Penggunaan LMA sebelum pemasangan Montgomery T-tube dapat menjadi solusi bagi
anestesiologis untuk tetap menjaga jalan nafas pasien tetap adekuat selama proses
pemasangan berlangsung. Selain itu, manajemen jalan nafas dengan LMA tidak mengganggu
proses rekonstruksi. Sehingga, meskipun dalam proses pemasangan T-tube terjadi kesulitan
ataupun keterlambatan (delay), keselamatan pasien tidak terancam.1,10
2). Terapi Bedah
Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur endoskopik
dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam merencanakan sebuah
eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan, trakeostomi harus dilakukan
dalam keadaan pasien sadar dan menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan.
Biasanya, insisi trakeal dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah
cincin ketiga dan keempat lebih disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena
pada posisi ini, membantu mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring.1,2
Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi membran
krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang hyoid di superior dan
ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu memperlihatkan cidera pada saraf,
vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang
dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa
fraktur pada kartilago laring yang terlihat.2,3
Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cideranya. Bisa dengan midline tirotomi,
ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila kartilago tiroid telah
terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam. Pemeriksaan endolaring kemudian
dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan
mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0.
Menyambung kembali kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas
suara.1,2,3
Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk meminimalisir fibrosis dan
mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup, maka dapat dipergunakan kulit atau
membran mukosa sebagai graft.1
3). Terapi Medikamentosa Lainnya
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif dan harus
diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian kortikosteroid
mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya edema laring pada
fase akut. Jika edema jalan nafas cukup berat, dapat diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus
intravena. Pemberian kortikosteroid juga bertujuan untuk mengurangi atau mencegah
penambahan edema yang terjadi akibat manipulasi saat operasi.1,2,3
Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana fraktur kartilago
dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu robekan mukosa dapat
divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk mengurangi resiko infeksi lokal dan
perikondritis yang bisa memperlambat penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas.
Penggunaan obat-obatan anti refluks sepeti antagonis reseptor H-2 dan PPI, dapat membantu
mengurangi jaringan granulasi dan stenosis trakea.1,2
top related