trauma laring

16
2.5.1 Definisi Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian. 2 2.5.2 Epidemiologi Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan pasien, 1 dari 14.000-42.000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari keseluruhan kejadian trauma tumpul. 2 Jarangnya trauma ini ditemukan kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada anak-anak dimana laring pada anak-anak lebih superior dan sifatnya yang masih elastis. Insiden trauma laring pada pengendara kendaraan bermotor juga semakin berkurang disebabkan oleh karena penggunaan sabuk pengaman dan pengaman berkemudi lainnya. Kurang dari 50% dari keseluruhan trauma laring diperkirakan adalah hasil dari trauma krikoid. 1,2 Wanita cenderung memiliki leher yang lebih panjang dan jenjang, membuat mereka lebih rawan untuk terkena trauma laring, khususnya trauma supraglottik. Namun secara keseluruhan pria lebih sering ditemukan mendapatkan trauma ini (77%:23 %), hal ini dikarenakan aktivitas yang digeluti kaum

Upload: cahyo-wisnugroho

Post on 09-Aug-2015

258 views

Category:

Documents


41 download

DESCRIPTION

THT

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Laring

2.5.1 Definisi

Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu kerusakan

yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya. Hal ini

menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil

suara terganggu, sehingga dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.2

2.5.2 Epidemiologi

Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan pasien, 1

dari 14.000-42.000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari keseluruhan kejadian trauma

tumpul.2 Jarangnya trauma ini ditemukan kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang

terlindungi oleh organ di sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan

mandibula yang tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi

dari leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada anak-anak dimana laring pada anak-anak

lebih superior dan sifatnya yang masih elastis. Insiden trauma laring pada pengendara

kendaraan bermotor juga semakin berkurang disebabkan oleh karena penggunaan sabuk

pengaman dan pengaman berkemudi lainnya. Kurang dari 50% dari keseluruhan trauma

laring diperkirakan adalah hasil dari trauma krikoid.1,2

Wanita cenderung memiliki leher yang lebih panjang dan jenjang, membuat mereka

lebih rawan untuk terkena trauma laring, khususnya trauma supraglottik. Namun secara

keseluruhan pria lebih sering ditemukan mendapatkan trauma ini (77%:23 %), hal ini

dikarenakan aktivitas yang digeluti kaum pria jauh lebih berbahaya seperti olahraga ekstrim

dan perkelahian. Pada kelompok umur yang lebih tua, trauma laring sering berkaitan dengan

proses penuaan seperti telah terjadinya kalsifikasi pada tulang-tulang mereka.1,2

2.5.3 Patofisiologi

Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak, trauma

inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring akibat trauma tumpul

semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem pengaman kendaraan

(automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga

persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan

tembak kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.1,2,3

Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau trauma tajam

terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu sebagai berikut:

Page 2: Trauma Laring

Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea

dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri subklavia,

arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus torasikus,

kelenjar tiroid dan medula spinalis.

Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini

berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis interna,

laring, hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula spinalis.

Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri

karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula

spinalis.1,3

Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada setiap

cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang, secara

khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.2

1) Trauma Inhalasi

Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung

menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas bawah. Daerah yang

terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis

pada daerah yang terkena.1,2

2) Trauma Tumpul

Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh

hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada.

Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian membentur kemudi, handle bars

atau dashboard. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor

dimana korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan

terhimpit di antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.1,2

Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring,

sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea atau

laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea tertekan di antara

manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada dapat menyebabkan robekan

vertikal pada trakea pars membranosa atau bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.2,3

Page 3: Trauma Laring

Gambar 2.3 Mekanisme trauma tumpul1

Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma

akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan

intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran

trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak.

Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat

tarikan paru yang mendadak.1,2,3

3) Trauma Tajam

Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak

akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit,

pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin

meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding

trauma tusuk.1,3

Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea

merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang

mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga

bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran

nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu

sendiri.1,3

4) Penyebab Lain

Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan

kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat diakibatkan oleh

intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan

mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya

karena inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan

Page 4: Trauma Laring

rendah. Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang

mengalami trauma saat trakeostomi.1,2

Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada

kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam menggunakan

benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan pada usia dewasa,

biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan menelan larutan alkali

ataupun hidrokarbon.1,2

2.5.4. Diagnosis

Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung

mekanisme traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma

laring adalah mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal,

emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress

pernafasan dan hemoptisis.3

1) Gejala Klinis

Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah sesak

nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan

suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas. Tanda

lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring adalah adanya kebocoran udara

atau suara mendesis pada tempat trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat

dilihat langsung di tempat luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit

leher yang mengembang pada saat batuk.1,3

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat hantaman

benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan penonjolan

tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi, diskontinuitas, nyeri tekan pada daerah

laring, emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal.2

Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan indikasi

operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis walaupun ringan

memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dapat dibagi menjadi 5 grup,

sebagai berikut :

Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur

Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada expose

tulang rawan, fraktur nondisplaced.

Grup III : Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan.

Fraktur displaced pada CT Scan.

Page 5: Trauma Laring

Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan.

Grup V : Terputusnya laring komplit.1,2

2) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma leher yang

mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul ataupun yang

sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat terlihat adanya bayangan udara

terperangkap di prevertebra dan leher bagian dalam atau peninggian/elevasi tulang hyoid

pada kasus separasi krikotrakea.1,3

Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak luka,

luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna menjamin jalan

nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus. Tindakan panendoscopy dan

arteriografi disarankan dilakukan pada trauma tembus leher dengan kondisi pasien yang

stabil. Tindakan tersebut di atas selain efektif juga sensitifitasnya tinggi untuk menghindari

eksplorasi yang berlebihan.1,2,3

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras, computed

tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah berperan banyak

dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan angka eksplorasi bedah

karena mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT diindikasikan pada pasien dengan

kecurigaan trauma laring hanya dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien

yang hanya menunjukkan satu gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan

midline displaced yang minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini

sangat menguntungkan pasien karena jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan

fonasi jangka panjang. CT kurang berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan seperti

pada kartilago yang terekspose atau displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.1,2

2.5.5 Penatalaksanaan

Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis atau

paramedis harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma laring,

luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan seksama. Pada prinsipnya,

penatalaksanaan trauma harus sistematis dimulai dari penilaian dan pengamanan jalan nafas

agar tetap adekuat.1,2

1) Manajemen Jalan Nafas

a. Trakeostomi

Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea

untuk mengatasi asfiksi apabila ada gangguan pertukaran udara pernapasan. Trakeostomi

Page 6: Trauma Laring

diindikasikan untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas, melindungi trakea serta

cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya discharge bronkus, serta penanganan

terhadap penyakit (keadaan) yang mengakibatkan insufisiensi respirasi.5,6

Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran

nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah

trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi

aspirasi darah. Pada trauma tumpul, tindakan pengamanan jalan nafas dengan trakeostomi

lebih cenderung dipilih dibanding dengan orotracheal tube maupun krikotiroidotomi.

Tindakan trakeostomi akan menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50

persennya. Sehingga, pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk

bernafas dan meningkatkan ventilasi alveolar. Menurut lamanya pemasangan, trakeostomi

dibagi menjadi:

1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan trakeostomi permanen. Kartilage

trakea diarahkan ke permukaan kulit dan dilekatkan pada leher. Rigiditas cartilage

mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga tidak diperlukan trakeostomy tube

(canule).

2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan trakeostomi temporer. Trakea

dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat obstruksi. Digunakan

trakeostomi tube (canule) terbuat dari metal atau Non metal (terutama pada

penderita yang sedang mendapat radiasi dan selama pelaksanaan MRI scanning).1,5,6

Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat

pembuluh darah yang cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Indikasi

untuk melakukan eksplorasi ialah :

a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.

b. Emfisema subkutis yang progresif.

c. Laserasi mukosa yang luas.

d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.

e. Paralisis bilateral pita suara.5

b. Montgomery T-Tube

Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya dalam

pembedahan di bagian kepala dan leher. T-tube awalnya diperkenalkan pada pertengahan

tahun 1960 dan digunakan untuk menyokong trakea setelah tindakan laryngotracheoplasty.

Alat ini memiliki 2 cabang, cabang utama yang lebih panjang dimasukkan dalam trakea,

Page 7: Trauma Laring

sedangkan cabang yang lebih pendek diproyeksi melalui stoma trakeostomi. Saat ini, T-tube

dipergunakan pada pasien dengan cidera trakeal akut, penyokong trakea pasca rekonstruksi,

maupun sebagai pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Diameter

eksternal T-tube berukuran mulai dari 4,5 – 16 mm, sedangkan diameter internal dan

ketebalannya bervariasi. Alat ini terbuat dari bahan silicon sehingga dapat mengurangi

pembentukan mucus yang berlebihan.7,8,9

Gambar 2.4 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube.

(B) Montgomery T-tube.7

Setelah pemasangan dilaksanakan, edukasi terhadap pasien dan keluarga harus

diperhatikan terutama mengenai perawatan T-tube untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Salah satu langkah sederhana dalam perawatan T-tube adalah dengan melakukan irigasi

mempergunakan 2-3 ml larutan normal saline 2-3 kali sehari serta menjaga bagian eksternal

dari T-tube tetap bersih. Nebulizer dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan

3 kali sehari untuk membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret

yang sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang

diperoleh dengan pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat dilihat pada

table berikut: 7,8

Page 8: Trauma Laring

Tabel 2.1 Perbedaan T-tube dan trakeostomi.9

Penggunaan Montgomery T-tube masih terbilang jarang. Bahkan tidak sedikit

anestesiologis kesulitan dalam hal manajemen general anestesi pada pasien dengan operasi

laring yang mempergunakan T-tube. Metode standar dalam pemasangan T-tube adalah

dengan mempergunakan curved haemostatic forceps dan diletakkan intratrakeal melalui

trakeostomi. Kesalahan dalam meletakkan atau memasang T-tube dapat mengakibatkan

hilangnya kontrol terhadap jalan nafas pasien. Pada kasus tersebut, T-tube harus dilepaskan

dan dipasang ulang dengan seksama di posisi yang tepat.7,8,9

c. Laryngeal Mask Airway (LMA)

Laryngeal mask airway (LMA) atau dikenal pula dengan sebutan sungkup laring,

merupakan suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa besar berlubang

dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon

pada pipa trakhea. Tangkai pipa LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek

dengan spiral untuk menjaga supaya lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat

dipergunakan, yaitu:

1. LMA standar dengan satu pipa napas.

2. LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang

ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.10

Page 9: Trauma Laring

Gambar 2.5 Laryngeal mask airway (LMA)9

LMA dipergunakan selama operasi trauma laring yang sedang berlangsung untuk

menjaga jalan napas pasien tetap adekuat. LMA dikenal karena kemudahan dalam

pemasangannya serta kemungkinan terjadinya trauma trakea sangat rendah. Dibandingkan

dengan endotrakeal tube (ETT), LMA memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat

mengurangi insiden spasme laring, batuk-batuk, serta suara serak pasca operasi.10

Pemilihan ukuran LMA sangat penting untuk diperhatikan mengingat perbedaan dari

sisi anatomis pada pasien anak-anak dan dewasa. Berikut adalah tabel pemilihan ukuran

LMA berdasarkan usia dan estimasi berat badan:

Ukuran Usia Berat badan (kg)1.0 Neonatus < 31.3 Bayi 3 – 102.0 Anak kecil 10-202.3 Anak 20 – 303.0 Dewasa kecil 30 – 404.0 Dewasa normal 40 – 605.0 Dewasa besar > 60

Penggunaan LMA sebelum pemasangan Montgomery T-tube dapat menjadi solusi bagi

anestesiologis untuk tetap menjaga jalan nafas pasien tetap adekuat selama proses

pemasangan berlangsung. Selain itu, manajemen jalan nafas dengan LMA tidak mengganggu

proses rekonstruksi. Sehingga, meskipun dalam proses pemasangan T-tube terjadi kesulitan

ataupun keterlambatan (delay), keselamatan pasien tidak terancam.1,10

2). Terapi Bedah

Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur endoskopik

dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam merencanakan sebuah

eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan, trakeostomi harus dilakukan

dalam keadaan pasien sadar dan menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan.

Page 10: Trauma Laring

Biasanya, insisi trakeal dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah

cincin ketiga dan keempat lebih disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena

pada posisi ini, membantu mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring.1,2

Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi membran

krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang hyoid di superior dan

ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu memperlihatkan cidera pada saraf,

vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang

dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa

fraktur pada kartilago laring yang terlihat.2,3

Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cideranya. Bisa dengan midline tirotomi,

ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila kartilago tiroid telah

terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam. Pemeriksaan endolaring kemudian

dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan

mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0.

Menyambung kembali kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas

suara.1,2,3

Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki

laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk meminimalisir fibrosis dan

mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup, maka dapat dipergunakan kulit atau

membran mukosa sebagai graft.1

3). Terapi Medikamentosa Lainnya

Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif dan harus

diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian kortikosteroid

mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya edema laring pada

fase akut. Jika edema jalan nafas cukup berat, dapat diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus

intravena. Pemberian kortikosteroid juga bertujuan untuk mengurangi atau mencegah

penambahan edema yang terjadi akibat manipulasi saat operasi.1,2,3

Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana fraktur kartilago

dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu robekan mukosa dapat

divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk mengurangi resiko infeksi lokal dan

perikondritis yang bisa memperlambat penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas.

Penggunaan obat-obatan anti refluks sepeti antagonis reseptor H-2 dan PPI, dapat membantu

mengurangi jaringan granulasi dan stenosis trakea.1,2