tindakan hukum tata usaha negara terkait dikeluarkannya
Post on 19-Dec-2016
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum, sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 (UUD
1945), yang menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, yang artinya
bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak
berdasarkan atas kekuasaan.
Tujuan dari negara hukum menurut Immanuel Kant adalah menjamin kedudukan
hukum dalam masyarakat, kemudian Kant berpendapat bahwa suatu negara agar
dapat dikatakan sebagai negara hukum, sedapatnya memiliki dua unsur pokok yaitu1,
1. Adanya jaminan hak-hak asasi manusia;
2. Adanya pemisahan kekuasaan
Menurut Abdul Latif, negara hukum pada prinsipnya mengandung unsur-unsur2;
1. Pemerintahan dilakukan berdasarkan Undang-Undang (asas legalitas) di mana
kekuasaan dan wewenang yang dimiliki pemerintah hanya semata-mata
ditentukan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang;
1 Pide, Andi Mustari, 1999, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta
h. 47
2 Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan
Daerah, UII Press, Yogyakarta, h. 20
2
2. Dalam negara itu hak-hak dasar manusia diakui dan dihormati oleh penguasa
yang bersangkutan;
3. Kekuasaan pemerintah dalam negara itu tidak dipusatkan dalam satu tangan,
tetapi harus diberi kepada lembaga-lembaga kenegaraan di mana yang satu
melakukan pengawasan terhadap yang lain sehingga tercipta suatu
keseimbangan kekuasaan antara lembaga-lembaga kenegaraan tersebut;
4. Perbuatan pemerintah yang dilakukan oleh aparatur kekuasaan pemerintah
dimungkinkan untuk dapat diajukan kepada pengadilan yang tidak memihak
yang diberi wewenang menilai apakah perbuatan pemerintahan tersebut
bersifat melawan hukum atau tidak.
Pemerintah sebagai unsur penting dalam negara hukum, memiliki fungsi
kekuasaan, dimana menurut Van Hollenhoven membagi fungsi kekuasaan ke dalam 4
fungsi atau yang biasa disebut sebagai catur praja3, yaitu:
1. Regeling (pengaturan) yaitu suatu tugas perundangan untuk mendapatkan
atau memperoleh seluruh hasil legislatif dalam arti material. Adapun hasil
dari fungsi pengaturan ini tidaklah Undang-Undang dalam arti formil (yang
dibuat oleh presiden dan DPR), melainkan Undang-Undang dalam arti
materiil yaitu setiap peraturan dan ketetapan yang dibuat oleh pemerintah
mempunyai daya ikat terhadap semua atau sebagian penduduk wilayah dari
suatu negara;
3 Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Jilid II, Sekretaris Jenderal dan
Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 14 (Selanjutnya disebut Asshiddiqie, Jimly I )
3
2. Bestuur (pemerintahan) yaitu Dalam negara yang modern fungsi bestuur
yaitu mempunyai tugas yang sangat luas, tidak hanya terbatas pada
pelaksanan Undang-Undang saja. Pemerintah banyak mencampuri urusan
kehidupan masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya maupun
politik;
3. Rechstpraak (peradilan) yaitu fungsi pengawasan yang represif sifatnya yang
berarti fungsi ini melaksanakan yang konkrit, supaya perselisihan tersebut
dapat diselesaikan berdasarkan peraturan hukum dengan seadil-adilnya;
4. Politie yaitu fungsi untuk menjaga ketertiban dalam masyarakat (sosial
order) dan peri kehidupan bernegara.
Didalam fungsi kekuasaan pemerintah yang bersifat Pemerintahan (Bestuur),
diwujudkan dalam tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat publik yaitu
membuat peraturan yang bersifat umum dan abstrak (Regeling) dan membuat
peraturan yang bersifat individu dan konkrit (Beschikking)
Tindakan hukum Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan tertulis yang
bersifat umum dan abstrak yang biasanya disebut sebagai Regeling dapat berbentuk
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, baik itu diwujudkan
bersama dengan Legislatif, ataupun oleh pemerintah sendiri.
Tindakan hukum Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan tertulis yang
bersifat individu dan konkrit atau biasa disebut sebagai Keputusan Tata Usaha Negara
(Beschikking). Pengertian Beschikking sebagaimana dirumuskan didalam Pasal 1 ayat
9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
4
No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha
Negara mengatakan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat Konkrit, Individual, dan Final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata”.
Maka dari rumusan Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara tentang Peradilan tata Usaha Negara dapat ditarik menjadi beberapa
unsur-unsur dalam Beschikking yaitu:
1.Penetapan Tertulis
2.Dikeluarkan Oleh Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara
3.Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
4.Bersifat Konkrit, Individual Dan Final
5.Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku
6.Akibat Hukum Bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata.
Terkait dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara, dalam tesis ini penulis
mencoba menfokuskan kepada adanya suatu produk peraturan yang dikeluarkan oleh
menteri atau pejabat setingkat menteri, sebagai tindakan hukum Tata Usaha Negara
seperti Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008,
Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada
5
Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan Warga Masyarakat. (selanjutnya disebut Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah)
Dasar hukum dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Yang memberikan perintah
dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan
bersama yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri. yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut dalam bentuk suatu
Keputusan Bersama.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berisikan 7 point yaitu :
1. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk
tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari
agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;
2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku
beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan
yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran
faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad SAW.
6
3. Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana
dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan, termasuk organisasi
dan badan hukumnya.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk
menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan
ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan
dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
6. Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk
melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan
pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
7. Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan
Dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah untuk
memberikan penjelasan terhadap 7 point diatas maka Sekretaris Jenderal Departemen
Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Politik Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris
Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal
7
Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. Se/Sj/1322/2008, No.
Se/B-1065/D/Dsp.4/08/2008, No: Se/119/921.D.III/2008 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008; No. Kep-033/A/JA/6/2008; No. 199
tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Dalam Surat Edaran memberikan penjelasan terhadap point-point yang ada pada
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu:
1. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut memberikan
penjelasan mengenai yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan
atau mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau
perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik
yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan
rumah ibadat dan bangunan lainnya.
2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut menjelaskan
tentang:
a. Peringatan dan perintah ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mengaku
beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengaku
beragama Islam tidaklah termasuk objek yang diberi peringatan atau
perintah.
8
b. Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan
penyebaran penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan
yang menyimpang. Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang
adalah faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah
Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pengertian kegiatan yang
menyimpang adalah kegiatan melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran
adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW.
Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian,
pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun
tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media
elektronik yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran
faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi
Muhammad SAW. termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk
dihentikan.
3. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran memberikan
penjelasan Sanksi yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah
sanksi pidana yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Jo Pasal 3 Undang-Undang No. 1 /PNPS/
tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
dan/atau Pasal 156a KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal lima
tahun penjara. Disamping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi
Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenakan sanksi berupa
9
pembubaran organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
4. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan
bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak
melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),
dengan tujuan untuk melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam
rangka memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan
ketertiban kehidupan bermasyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar
masyarakat mematuhi hukum dengan tidak melakukan tindakan anarkis
seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan perbuatan melawan hukum
lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya.
5. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan
bahwa warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main
hakim sendiri, berbuat anarkis dan bertindak sewenang-wenang terhadap
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan, antara lain sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 tentang penyebaran kebencian dan
permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau
10
barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan,
Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang
perusakan barang, dan peraturan lainnya.
Jika dilihat baik dari tujuh point Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dan
penjelasan point kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kelima Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah dari Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen
Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan
Politik Departemen Dalam Negeri No: Se/Sj/1322/2008, No: Se/B-
1065/D/Dsp.4/08/2008, No: Se/119/921.D.III/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia No. 3 tahun 2008; No. Kep-033/A/JA/6/2008; No. 199 tahun
2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka penulis
melihat terdapat 2 ruang lingkup pengaturan yaitu berisikan peringatan dan perintah
kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) maka ini dapat disebut tindakan pemerintah yang bersifat individu, kemudian
dalam keputusan ini juga memberikan peringatan dan perintah juga di tunjukkan
kepada warga masyarakat, sehingga dapat dianggap sebagai tindakan pemerintah
bersifat mengatur secara umum.
Jika Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dikaitkan berdasarkan
pengkategorian norma hukum dalam kaitannya tindakan hukum pemerintah
11
berdasarkan alamat yang dituju (addressat), dimana dalam pengertian norma hukum
berdasarkan alamat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Norma hukum umum yaitu norma hukum tersebut ditunjukkan kepada orang
banyak atau kepada orang-orang yang tidak tertentu; dan
2. Norma hukum individu yaitu norma hukum yang dialamatkan (addressat)
kepada seseorang atau orang-orang yang telah ditentukan.
Maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah adanya ketidakjelasan dalam
menentukan alamat yang dituju, sebab di dalam Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah, satu sisinya berbentuk norma hukum individu karena ditujukan kepada
organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sedangkan disisi yang lain berbentuk
norma hukum umum karena ditujukan untuk warga masyarakat dan jemaah
Ahmadiyah.
Sehingga Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah akan membuat suatu
kebingungan dalam menentukan bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara, apakah
bentuk Keputusan Bersama diatas digolongkan sebagai Peraturan (Regeling) yang
bersifat umum dan abstrak, atau digolongkan sebagai bentuk Keputusan atau
Ketetapan (Beschikking) yang bersifat individu dan konkrit atau tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang lainnya.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang menimbulkan ketidakjelasan
dalam bentuk tindakan Hukum Tata Usaha Negara dapat menimbulkan norma konflik
antara Keputusan Bersama Tentang Ahmadiyah dengan Undang-Undang pemberi
kewenangan yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
12
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, sehingga dapat melihat
keabsahan dari dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, sehingga
dapat melakukan suatu upaya hukum terhadap Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah yang dilakukan oleh seseorang dalam artian individu atau sebuah badan
hukum.
Dengan latar belakang yang disampaikan oleh penulis diatas, maka penulis
menulis penelitian tesis ini dengan judul TINDAKAN HUKUM TATA USAHA
NEGARA TERKAIT DIKELUARKANNYA KEPUTUSAN BERSAMA
MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH
AHMADIYAH.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri
dalam Negeri No. 199 tahun 2008?
2. Bagaimanakah keabsahan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa
Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 Tahun 2008
dikaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama?
13
3. Bagaimanakah upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri
Dalam Negeri No. 199 tahun 2008?
1.3 Ruang Lingkup masalah
Ruang lingkup dalam pembahasan penulisan ini tentang bentuk tindakan hukum
Tata Usaha Negara mulai dari tindakan Tata Usaha Negara, tindakan nyata Tata
Usaha Negara, tindakan hukum Tata Usaha Negara, tindakan hukum publik Tata
Usaha Negara, tindakan hukum publik bersegi satu dan bersegi dua dari Tata Usaha
Negara dan bentuk keputusan tertulis Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa
Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008, dalam
konteks Beschikking, Regeling, Besluit Van Algemene Strekking, Het Plan,
Beleidsregel.
Keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-
03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008, yang dilihat dari Aspek
kewenangan, aspek prosedur, aspek substansialnya. Kemudian Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3
tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199
tahun 2008 dilihat dalam perspektif Pancasila baik dilihat berdasarkan kedudukannya
serta dari nilai-nilai Pancasila. kemudian Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
14
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa
Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 dilihat
kedudukannya dari Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Upaya hukum yang dilakukan yang berkaitan dengan dikeluarkannya Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam
Negeri No. 199 tahun 2008, apakah dapat digugat ke Peradilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTUN), Mahkamah Agung (MA), atau Mahkamah Konstitusi (MK).
1.4 Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum atau
menambah khazanah pengetahuan di dalam konsentrasi hukum pemerintahan,
mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah serta penyelesaian sengketa terhadap dikeluarkannya Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai bentuk tindakan hukum
Tata Usaha Negara terutama bentuk dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
di dalam tindakan Tata Usaha Negara.
15
2. Untuk mengetahui dimana kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
di dalam di dalam hierarki Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-
Undang serta keabsahan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung
No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 di kaitkan
dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
3. Untuk mengetahui serta memahami tentang upaya hukum terkait dikeluarkannya
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis
yakni, memberikan sumbangan pemikiran untuk kepentingan akademis dan
pengembangan ilmu hukum terutama pada konsentrasi pemerintahan, mengenai
bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara serta keabsahan Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah Sedangkan secara praktis hasil penelitian ini diharapkan
memperoleh manfaat sebagai berikut :
1. Bagi penulis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan
pemahaman mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara dari suatu
Keputusan Bersama Menteri di Indonesia, kedudukan dari Keputusan
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam di dalam hierarki Peraturan
Perundang-undangan dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
16
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa
Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008
di kaitkan dengan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta
mekanisme upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini akan dapat memberikan sumbangan dan
masukan serta pengetahuan yang lebih mendalam dalam kategori tindakan
Tata Usaha Negara.
3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
wawasan serta kepastian tentang bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara
dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, letak kedududkan serta
keabsahan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam di dalam
hierarki Peraturan Perundang-undangan serta menentukan upaya hukum
terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
1.6 Orisinalitas Penelitian
Telaah mengenai Keputusan Bersama Menteri yang terkait dengan kebebasan
beragama dan Hak asasi manusia, dalam kaitannya dengan orisinalitas penelitian.
Penulis melakukan beberapa penelusuran memlalui situs internet, namun dalam
penelusuran melalui situs Program S2 Ilmu Hukum Unud4, penulis tidak menemukan
4 Universitas Udayana, 2010, Program S2 Ilmu Hukum Unud:
http://programs2ilmuhukumunud.blogspot.com/, Diakses pada, 14 Oktober 2010.
17
judul tesis yang berkaitan dengan judul penelitian tesis milik penulis, kemudian
penulis melakukan pencarian di internet terkait dengan originalitas judul tesis,
ternyata terdapat penelitian yang juga mengangkat mengenai mengenai Keputusan
Bersama mengenai Ahmadiyah, yaitu :
1. Desi ratna Ningrum5 (Fakultas Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia) dalam
skripsi yang berjudul Kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri
Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tentang
Peringatan dan Perintah Kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Menurut
Undang-Undang No. 10 tahun 2004. mengenai dua masalah pokok yakni Surat
Keputusan Berasama (SKB) dapat menjadi sumber hukum dalam sistem hukum
di Indonesia dan kedudukan Surat Keputusan Berasama (SKB) tentang Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam sistem Peraturan Perundang-undangan
menurut Undang-Undang No. 10 tahun 2004 dengan menggunakan metode
penelitian normatif.
2. Bayu Dwi Anggono6, (Fakultas Hukum Program magister kekhususan Hukum
Tata Negara Universitas Indonesia) dalam tesis yang berjudul Keputusan
5 Ningrum, Desi ratna , 2009, Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ,:
http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000678/uii-skripsi-04410173-desi%20ratna%20ningrum-
04410173-DESI%20RATNA%20NINGRUM-5198215752-bab%201.pdf, Diakses 10
September2012.
6 Anggono, Bayu Dwi, 2009, Keputusan Bersama Menteri dalam perundang-Undangan Republik
Indonesia,
:http://www.google.co.id/search?q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%29+Menteri+
Agama%2C+Jaksa+Agung%2C+Dan+Menteri+Dalam+Negeri+Republik+Indonesia+tentang+peringa
tan+dan+perintah+kepada+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-
Undang+Nomor+10+Tahun+2004&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-
US:official&client=firefox-a#sclient=psy-ab&hl=id&client=firefox-a&hs=VEV&rls=org.mozilla:en-
18
Bersama Menteri dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia. dengan 3
permasalahan yang diteliti yaitu Keputusan Bersama Menteri merupakan
Perundang-undangan, kemudian letak keputusan Bersama Menteri dalam
hierarki Peraturan Perundang-undangan, dan bagaimana cara untuk menguji
legalitas Keputusan Bersama Menteri, dengan metode penelitian yuridis
normatif.
3. Agung Ali Fahmi (Fakultas Hukum Program Magister Hukum Kenegaraan
Universitas Indonesia) dalam tesis yang berjudul Implementasi Kebebasan
Beragama Menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945,
dengan pokok permasalahan, Implementasi Regulasi Kebebasan Beragama di
Indonesia dan Peran Pemerintah Dalam menjaga Kerukunan Beragama.
4. Novie Soegiharti (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen
Kriminologi Program Pascasarjana) dalam tesis yang berjudul Kajian Hegemoni
Gramsci Tentang Reaksi Sosial Formal terhadap kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan di Indonesia (studi kasus SKB Tiga Menteri tentang Pelarangan
Ahmadiyah) dengan permasalahan pokok aspek historis kebebasan beragama
dan Ahmadiyah di Indonesia dan analisis SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah,
dan analisis Hegemoni Gramsci.
US%3Aofficial&source=hp&q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%29+tentang+Jem
aat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-
Undang+Nomor+10+Tahun+2004&pbx=1&oq=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28SKB%
29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-
Undang+Nomor+10+Tahun+2004&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=s&gs_upl=19665l22250l0l24214l8l0l0l
0l0l0l0l0ll0l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=b7730b97b1285ed7&biw=1280&bih=863, Diakses
pada 10 Oktober 2010.
19
5. Moh Zakki7 (Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang), dalam
skripsi yang berjudul Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang
Pembubaran Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan sebagai Hak Konstitusional Rakyat, dengan pokok pembahasan
yaitu, Keberadaan Kelompok Ahmadiyah Di Tinjau Dari Prinsip Hak Kebebasan
Beragama Dan Berkeyakinan Sebagai Hak Konstitusuonal Rakyat, Isi
(Substansi) Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pembubaran ajaran
Ahmadiyah Ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Sebagai
Hak Konstitusional Rakyat, dan Kekuatan Hukum Surat keputusan Bersama
(SKB) tentang Pembubaran Ajaran Ahmadiyah Ditinjau Dari Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan.
6. Errie Darmawan (Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan) dalam skripsi
yang berjudul Implementasi Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 Undang-
Undang dasar 1945 tentang Kebebasan Beragama
Dari penelitian tersebut diatas dapat dilihat bahwa walaupun objek yang yang
diteliti ada beberapa memiliki kesamaan dengan penelitian ini, yakni Keputusan
Bersama Menteri, namun fokus maupun lingkup masalah yang diteliti jauh berbeda,
karena fokus penelitian yang akan penulis kaji adalah mengenai bentuk tindakan
hukum Tata Usaha Negara.
7 Zakki, Moh, 2010, Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang Pembubaran
Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sebagai Hak
Konstitusional Rakyat http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/366/jiptummpp-gdl-s1-2010-mohzakki05-
18260-PENDAHUL-N.pdf, 26 Oktober 2011.
20
1.7 Landasan Teoritis
1.7.1 Konsep Tindakan Pemerintah
Pemerintah dalam melaksanakan fungsinya, pemerintah melakukan tindakan-
tindakan pemerintahan atau Tata Usaha Negara, tindakan Pemerintah yang dengan
istilahnnya “Bestuurshandelingen”.
Tindakan pemerintah atau Tata Usaha Negara dapat berupa tindakan nyata dari
pemerintah (Feitelijk Handelingen) maupun tindakan hukum dari pemerintah
(Rechtshandelingen), tindakan nyata pemerintah merupakan zijn handelingen
waarmee niet wordt beoogd juridische gevolgen in het leven te roepen8 atau
tindakannya yang tidak dimaksudkan untuk menciptakan konsekuensi hukum dalam
kehidupan dan tidak terdapat hubungan langsung dengan kewenangannya, sedangkan
perbuatan hukum pemerintah merupakan suatu perbuatan pemerintah yang dapat
menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur dari tindakan hukum pemerintah adalah
dilakukan oleh aparat pemerintah, dimana tindakan tersebut dilaksanakann dalam
menjalankan fungsi pemerintahan yang menimbulkan akibat-akibat hukum, dengan
prakarsa dan tanggung jawab sendiri, yang didasari atas Peraturan Perundang-
undangan.
Tindakan hukum pemerintah atau Tata Usaha Negara dibagi menjadi dua, yaitu
dan Tindakan hukum Privat Tindakan Hukum Publik Tata Usaha Negara. Tindakan
hukum privat merupakan tindakan yang mengatur hubungan pemerintah atau Taata
8 Ballegooij, G. A. C. M. Van, et.al, 2008, Bestuursrecht in het Awb-Tijperk, zesde, geheel
herziene druk, Kluwer,Oegstgeet, Nederland, h.64
21
Usaha Negara dengan swasta atau disebut hubungan horizontal, sedangkan tindakan
hukum publik pemerintah atau Tata Usaha Negara mengatur hubungan antara
pemerintah dan pemerintahdan orang pribadi atau disebut hubungan vertikal.
Tindakan hukum publik pemerintah atau tata Usaha Negara dibagi lagi menjadi
tindakan hukum publik bersegi satu dan tindakan hukum publik bersegi dua.
Tindakan hukum publik bersegi satu yaitu adanya satu kehendak pemerintah atau
Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan hukum publik, sedangkan tindakan
bersegi dua merupakan adanya dua kehendak yaitu kehendak pemerintah atau Tata
Usaha Negara dengan pihak lain dalam melakukan tindakan hukum publik
Maka dilihat dari penguraian di atas, akan menunjukkan suatu sketsa tindakan
Tata Usaha Negara:
22
Konsep tindakan pemerintah pemerintah sangat berperan penting dalam tesis ini,
karena tesis ini membahas tentang tindakan hukum Tata Usaha Negara dari
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sehingga keberadaan atau posisi dari
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat diketahui.
Tindakan Tata Usaha Negara/ Tindakan Pemerintah
(Bestuurshandelingen)
Tindakan nyata Tata Usaha
Negara/ Tindakan nyata
Pemerintah
(Feitelijke Handelingen)
Tindakan hukum Tata Usaha
Negara/ Tindakan Hukum
Pemerintah
(Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Privat Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Privat Pemerintah
(Privaatrehtelijke
Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Publik Pemerintah
(Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Publik Pemerintah yang
bersegi satu
(Eenzijdige Publiekrechtelijke
Handeling)
Tindakan hukum Publik Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Publik Pemerintah yang
bersegi dua
(Meerzijdige
Publiekrechtelijke Handeling)
23
1.7.2 Teori Negara Hukum
Dalam prinsip Negara hukum, segala sesuatu perbuatan negara harus
berdasarkan atas hukum bukan berdasarkan atas kekuasaan. Dalam perkembangan
mengenai negara hukum, adanya upaya untuk menghilangkan batasan pengertian
negara hukum antara Rechtstaat dan The Rule of Law. berdasarkan konteks sejarah
dan konteks Politik, Brian Tamanaha mencoba memformulasikan sebuah teori
alternatif baru dalam The Rule of Law, dimana Brian Tamanaha menawarkan
pemisahan kedalam dua kategori dasar, yang dikenal dengan teori sebagai Versi
”formal” dan versi “Substantif”, yang kedua-duanya masing-masing memiliki tiga
bentuk yang berbeda-beda9.
Alternative Rule of Law Formulations
Thinner to Thicker
FORMAL VERSIONS:
1. Rule by Law 2. Formal Legality 3. Democracy + Legality
-law as an instrument -general, prospective, -consent determines
of government action clear, certain content of law,
SUBSTANTIVE VERSIONS:
4. Individual Rights 5. Right of Dignity & 6. Social Welfare
-property, contract, /or Justice -substantive equality
Privacy, autonomy welfare, preservation of
Community
9 Tamanaha, Brian Z, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge University
Press, United.Kingdom, h. 91.
24
Menurut Brian Z. Tamanaha Alternative Rule of Law Formulations10
adalah
merupakan formulasi teori alternatif yang akan ber-elaborasi kedalam perkembangan
daripada dari Thinner( tipis) menuju Thicker (tebal), yang artinya bergerak dari
formulasi dengan persyaratan yang lebih sedikit untuk persyaratan yang lebih besar
(moving from formulations with fewer requirements to more requirements). Secara
umum, setiap formulasi berikutnya menggabungkan aspek utama dari sebelumnya
formulasi, membuat mereka semakin kumulatif.
Sedangkan dalam bukunya I Dewa Atmaja, menyebutkan11
The Thin theory Rule
of law, lebih mendekati pengertian negara hukum dalam artian sempit, yang
menekankan pada aspek formal atau instrumental dari Rule of Law, dan ciri
utamannya berfungsinya system hukum tertulis atau Undang-Undang secara efektif,
dan netral dari aspek moralitas politik. Sedangkan The Thick theory Rule of Law,
disebut juga konsep negara hukum Substantif, yang intinnya suatu negara disamping
harus memenuhi elemen-elemen dasar suatu negara hukum formal juga
menekankanpada elemen-elemen moralitas politik.
Konsepsi Formal dari The Rule of law adalah untuk mengatasi cara di mana
hukum harus diundangkan (oleh yang berwenang), dari kejelasan norma, karena hal
tersebut sudah dianggap cukup jelas untuk menuntun perilaku seseorang, serta waktu
kapan norma itu berlaku. Kemudian konsepsi formal dari The Rule of Law tidak
berusaha untuk mendatangkan hukuman atas isi sebenarnya dari hukum itu sendiri.
10 Ibid
11
Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia sesudah
Perubahan UUD 1945,Setara Press, Malang, h.161
25
Mereka tidak peduli dengan apakah hukum itu dalam arti hukum baik atau hukum
yang buruk, asalkan ajaran formal dari The Rule of Law itu mereka penuhi.
Sedangkan Mereka yang mendukung konsepsi substantif dari Rule of Law
berusaha untuk melampaui batas tersebut. Mereka menerima bahwa aturan hukum
memiliki atribut formal yang disebutkan di atas, tetapi mereka ingin mengambil
ajaran lebih lanjut.
Maka Dasar perbedaan dapat disimpulkan sebagai berikut: teori formal fokus
pada sumber yang tepat dan bentuk legalitas, sementara teori-teori substantif
juga mencakup persyaratan tentang isi hukum (biasanya yang
harus menjunjung tinggi moralitas dengan keadilan atau prinsip moral). Sedangkan
perbedaannya informatif, tidak harus diambil sebagai ketat - versi resmi memiliki
implikasi substantif dan versi substantif menggabungkan persyaratan formal resmi12
.
Dari formulasi diatas, Tamanaha berpendapat bahwa prinsip negara hukum The
Rule of Law, sedikitnya memiliki enam bentuk, yaitu meliputi sebagai berikut13
:
No Bentuk Keterangan
1 Rule By Law Hukum hanya difungsikan sebagai instrumen dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Hukum hanya dimaknai
dan difungsikan sebagai instrument kekuasaan belaka.
Derajat kepastian dan prediktibilitasnya sangat tinggi,
12 Ibid. h. 92
13 Jafar, Wahyu, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum:Sebuah Catatan atas
Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 5, Jakarta, h. 163
26
sehingga sangat disukai oleh para pelaku kekuasaan,
baik kekuasaan politik maupun ekonomi The Rule of
Law dalam tafsir kaum liberal
2 Formal Legality Dalam bentuk ini Negara hukum dicirikan memiliki
beberapa sifat yang meliputi: prinsip propektivitas dan
tak boleh retroaktif, berlaku umum-mengikat semua
orang, jelas publik, dan relative stabil. Dalam pengertian
ini pediktibilas hukum sangat diutamakan
3 Democracy and
Legality
Demokrasi yang dinamis yang diimbangi oleh hukum
yang menjamin kepastian hukum. Namun demikian,
sebagai a procedural mode of legitimation, demokrasi
juga mengandung keterbatasan-keterbatasan yang
serupa dengan formal legality, sehingga bias juga
memunculkan praktik-praktik buruk kekuasaan-
otoritarian.
4 Individual Rights Adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak milik,
kontrak pribadi, dan otonomi seseorang
5 Rights of Dignity Jaminan terhadap martabat seseorang, termasuk jaminan
atas hak atas keadilan.
6 Social Welfare Persamaan yang sifatnya mendasar dan hakiki, jaminan
kesejahteraan, dan terjaganya-terpeliharanya seseoang
27
dalam komunitas
Dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, bahwa “negara Indonesia adalah negara
hukum. Sehingga rumusan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 tidak membedakan lagi antara
istilah Rechtstaat dan The Rule of Law. Konsep negara hukum Indonesia menerima
prinsip kepastian hukum yang menjadi hal utama dalam konsepsi Rechtsstaat,
sekaligus juga menerima prinsip rasa keadilan dalam The Rule of Law14
.”
Dalam kaitannya dengan penelitian ini yang dapat dijadikan acuan untuk
menjawab permasalahan bentuk Tindakan hukum tata Usaha Negara terkait
dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dengan menggunakan
perkembangan konsep negara hukum yaitu konsep negara hukum modern, yang
bukan lagi membedakan antara konsep Rechtsstaat maupun The Rule of Law, karena
segala tindakan hukum Tata Usaha Negara yang dilakukan oleh pemerintah harus
berdasarkan pada prinsip negara hukum modern, yang didalamnya berisikan kepastian
hukum, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan menjamin untuk
melindungi dan membina semua pemeluk agama tanpa diskriminasi karena kuantitas
pemeluknya terutama terkait dengan isi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
14
MD Moh. Mahfud, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Orasi ilmiah
didepan Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2011.
28
1.7.3 Teori Hierarki (Stufenbau Theory)
Teori Hierarki merupakan teori yang mengenai sistem hukum yang
diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan
sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang
mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai
hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial15
. Norma yang menentukan
pembuatan norma lain adalah superior, sedangkan norma yang dibuat inferior.
Pembuatan yang ditentukan oleh norma yang lebih tinggi menjadi alasan validitas
keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan. Seperti yang diungkapkan oleh
Kelsen “The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the
norm–the lower one-is determined by another-the higher-the creation of which of
determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a highest,
the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order,
constitutes its unity16
.
Maka norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum
yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus
berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut
Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit
(abstrak), Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila.
15 Asshiddiqie, Jimly, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang Hukum,Cet I,
Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 110
16
Kelsen, Hans, 2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders Wedberg, Harvard
University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA, h. 124
29
Teori Hans Kelsen mengenai hierarki norma hukum ini diilhami oleh Adolf
Merkl dengan menggunakan teori das doppelte rech stanilitz, yaitu norma hukum
memiliki dua wajah, yang dengan pengertiannya:
1. Norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma yang ada
diatasnya
2. Norma hukum ke bawah, ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi
norma yang dibawahnya
Sehingga norma tersebut mempunyai masa berlaku (rechkracht) yang relatif
karena masa berlakunya suatu norma itu tergantung pada norma hukum yang
diatasnya, sehungga apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau
dihapus, maka norma-norma hukum yang berada dibawahnya tercabut atau terhapus
pula17
.
Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma
hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah
seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu
Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan theorie von stufenufbau der
rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:18
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz);
17 Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta. h. 25
18
Atamimi, A, Hamid S, , 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h. 287
30
3. Undang-Undang formal (Formell Gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnung En Autonome
Satzung).
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan
konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suatu negara. Posisi
hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya
suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu
negara.19
Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma
dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai
Staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental
negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi
berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.20
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya
dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia.
Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan
teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:21
1.Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945).
19 Ibid
20
Ibid. h. 359
21
Ibid. Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
31
2.Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3.Formell gesetz: Undang-Undang.
4.Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, dalam Pasal 7 menyebutkan jenis
dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
b.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini untuk menjawab tentang letak atau posisi
dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam Peraturan Perundang-
undangan dan apakah Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai Verordnung
En Autonome Satzung bertentangan atau tidak dengan dengan Peraturan Perundang-
undangan diatasnya yang sebagai Formell Gesetz.
32
1.7.4 Teori Kewenangan
Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
kajian hukum tata Negara dan hukum administrasi. Karena kewenangan atau
wewenang merupakan dasar atau keabsahan tolak ukur bagi pemerintah untuk
melakukan suatu tindakan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Maka
wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh Undang-Undang yang
berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum22
.
Istilah wewenang atau kewenangan digunakan dalam istilah bahasa Belanda
yaitu “bevoegdheid”, yang oleh Philipus M. Hadjion wewenang (bevoegdheid)
dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtmacht)23
. Sedangkan pengertian
kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki pengertian yang sama
dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu24
.
Menurut F.P.C.L. Tonner dalam bukunya Ridwan HR berpendapat
Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevad als het vermogen om positief
recht vast te srellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen
overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap
sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat
diciptakan hubungan hukum antara pemerintahan dengan waga negara25
.
22 Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, h.154
23
Hadjon, Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 tahun XII, September-
Desember, h. 1 (Selanjutnya disebut Hadjon, Philipus I)
24
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1170
25
HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h. 100
33
Kemudian Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud dalam bukunya Irfan
Fachruddin adalah Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van
bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het
bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan
aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintah oleh subjek hukum publik dalam hukum publik)26
Adapun macam-macam kewenangan atau wewenang, berdasarkan bagaimana
cara memperolehnya, kewenangan atau wewenang diperoleh melalui 3 cara yaitu
a. Atribusi;
b. Delegasi; dan
c. Mandat.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu untuk menjawab segi kewenanngan
yang diberikan oleh Undang-Undang dalam hal ini Undang-Undang No. 1 /PNPS/
tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama kepada
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri untuk membuat suatu
keputusan yang berisikan peringatan dan perintah untuk setiap orang yang
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sehingga dapat menentukan posisi dari
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Peraturan Perundang-undangan
berdasarkan segi kewenangan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
26 Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah,
Alumni, Bandung, h. 4
34
1.7.5 Teori Kehendak (Wilstheorie)
Kehendak merupakan dorongan hati untuk melakukan sesuatu, tanpa
dipengaruhi oleh nilai-nilai baik atau buruk. Dorongan ini bersifat murni dari dalam
diri, tanpa melibatkan atau terpengaruh orang. Teori kehendak (wilstheorie) di
kembangkan Sarjana Hukum Von Hippel dan Simon. Menurut teori ini Sengaja
adalah kehendak yang di arahkan pada terbentuknya perbuatan seperti yang terumus
dalam undang-undang (de op verwerkerijking der wettelijke omsschrijving gerichte
wil27
). Menurut teori ini kesengajaan ditekankan kepada apa yang dikehendaki pada
waktu berbuat Dalam teori kehendak menunjukkan adanya suatu kuasa terhadap
pemegang hak yang jelas dan memiliki kewenangan untuk menggunakannya atau
melepaskannya.28
Dalam kaitannya dengan Tindakan Hukum Tata Usaha Negara,
beberapa ahli seperti Paul Scolten, Sybengan, Van Praag, Meyers yang menggunakan
Teori Kehendak (Wilstheorie) sebagai titik tolak untuk tidak menerima/membenarkan
adanya perbuatan hukum publik yang bersegi dua karena menurut teori ini perbuatan
mengeluarkan atau memberhentikan suatu peraturan, dalam hal ini hanya ada satu
kehendak yang menonjol yakni kehendak pemerintah.
Maka dalam kaitannya dengan tesis ini, Teori Kehendak memberikan landasan
atau jawaban terhadap letak instrument hukum atau keputusan hukum dari Pejabat
27
Keputusan Mahkamah Agung, No. 70/PID.B/2012/PN.WKB tentang Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri Waikabubak No.70 / Pid.B/2012/PN.Wkb tertanggal 21 Juni 2012
28
Edmundson, William A, 2004, An Introduction To Rights, Cambridge Ubiversity Press, New
York, h.121-122 dalam Iskandar, Pranoto, 2012, Hukum Ham Internasional:Sebuah Pengantar
Kontekstual, IMR Prees, Cianjur, 29
35
Tata Usaha didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara terkait diterbitkannya
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian
Adapun dalam penelitian yang digunakan dalam proposal penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofis,
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup, dan materi, konsisten, penjelasan
umum, dan pasal demi pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu Undang-
Undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan
atau imlementasi, sehingga penelitian hukum normatif sering disebut “penelitian
hukum dokmatik” atau” penelitian hukum teoritis” (dogmatic or theoretical law
reseach)29
.
Penelitian ini bermaksud menganalisis permasalahan hukum yang berpedoman
pada landasan hukum, serta pandangan-pandangan dari para ahli hukum yang terkait
dengan permasalahan penelitian ini, yang mana penelitian ini meneliti tentang
kepastian hukum dalam suatu keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal
ini Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
29 Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 101-102
36
1.8.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan sebagai langkah-langkah pemecahan masalah
(problem solution30
) dalam tesis ini adalah dengan menggunakan pendekatan
Perundang-undangan (statue approach), pendekatan analitis sejarah hukum
(approach of Historical analysis), dan pendekatan analitis konsep hukum (approach
of legal concdeptual analysis).
Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) dilakukan dengan mengkaji
dengan menelaah Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas, khususnya Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang memberikan
kewenangan terhadap Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
Pendekatan analitis Sejarah (approach of Historical analysis) dalam pendekatan
analitis Sejarah ini penulis ingin menganalisis sejarah terbentuknya Undang-Undang
No. 1 /PNPS/ tahun 1965, serta sejarah terbentuknya Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah. Kemudian pendekatan analisis konsep hukum (approach of legal
conceptual analysis) yaitu beranjak dari Peraturan Perundang-undangan maupun
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum,
sehingga dapat menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang
30 Ibid. h. 112
37
dihadapi31
. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini, digunakan untuk
mengkaji lebih mendalam mengenai bentuk tindakan hukum Tata Usaha Negara
dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum dari penelitian proposal ini berasal dari penelitian
kepustakaan (Library Research), yang mana bahan hukum yang dipergunakan adalah
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder32
serta bahan hukum tersier. Bahan
hukum primer yang terdiri dari asas dan kaidah hukum yang ditemukan dalam
berbagai Peraturan Perundang-undangan yang terkait dengan topik kajian, yaitu UUD
1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Undang-
Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Undang–Undang No. 8 tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan, Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Undang-Undang Republik
31 Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h. 93
32
Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi
Magister Ilmu Hukum, Denpasar, h. 12
38
Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Jo Undang-Undang No. 8
tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.
3 tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, Undang-Undang No. 12 tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Undang-
Undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementrerian Negara, Undang-Undang No. 51
tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan, Peraturan Pemerintah No. 18 tahun
1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan, Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia
Jo Peraturan Presiden No. 62 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 10 tahun
2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia
Jo Peraturan Presiden No. 63 tahun 2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian
Negara Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang
Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara, Keputusan Presiden No. 86
Tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/puu-vii/2009 tentang Pencegahan
39
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri No. 1 tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan
Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3
tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199
tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat,
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15
Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan
Masyarakat (PAKEM), Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 tahun 2003
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri, Peraturan Menteri
Agama Republik Indonesia No. 3 tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Agama, Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Kep-
115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal
Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan
Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. se/sj/1322/2008, No. se/b-
1065/d/dsp.4/08/2008, No. se/119/921.d.iii/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No. 199 tahun 2008
40
Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat
Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum (text book) yang terkait
dengan penelitian ini, isinya mempunyai nilai tetap yang pada umumnya merupakan
bahan pustaka yang paling umum dibidang hukum Tata negara, Hukum Administrasi
Negara terutama yang berkaitan dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara.
Bahan hukum tersier terdiri dari, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau
pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus ensiklopedia hukum,
internet dengan menyebut nama situsnya yang terkain dengan penelitian ini.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara menginventarisasi,
mempelajari, dengan mengoleksi dan mengumpulkan bahan-bahan hukum, kemudian
dilakukan identifikasi terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara
pencatatan atau pengutipan dengan sistem kartu (Card System), yakni dengan
melakukan pencatatan mengenai hal-hal yang dianggap penting dan berguna bagi
penelitian yang dilakukan, kemudian dilakukan kualifikasi data dan hukum33
.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan
yaitu kartu kutipan yang dipergunakan untuk mencatat atau mengutip data beserta
33 Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20, Alumni,
Badung, h. 50
41
sumber darimana data tersebut diperoleh (nama/pengarang, judul buku/artikel,
halaman dan sebagainya34
.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam menganalisis bahan hukum ini, bahan-bahan hukum yang digunakan
dalam penelitian ini kemudian diolah dan dianalisis secara deskripsi untuk
menguraikan suatu bahan hukum yang telah dikumpulkan baik berupa Peraturan
Perundang-undangan maupun pendapat para sarjana yang terkait dengan pokok
permasalahan dalam penelitian ini, kemudian diinterprestasikan dengan
menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal,
historis, sistimatis, teleologis, kontektual, dan lain-lain yang ada kaitannya dengan
permasalahan dalam penelitian ini. Selanjutnya di evaluasi untuk memberikan
penilaian berupa tepat dan atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,
sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan
rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder, kemudian dilanjutkan dengan argumentasi sebagai hasil
akhir untuk mendapatkan sebuah kesimpulan atas permasalahan yang dibahas.
34 Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 53
42
BAB II
TINJAUAN UMUM KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI
AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG
NO. KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199
TAHUN 2008 TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH
KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA
PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN
WARGA MASYARAKAT
2.1 Tugas Dan Fungsi Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia
Berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 tentang kementerian negara, di dalam ayat 1
menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, kemudian ayat 2
mengatakan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, ayat 3
mengatakan menteri membidangi urusan tertentu, dalam pemerintahan, dan dalam
ayat 4 menyatakan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara
diatur dalam Undang-Undang.
Hal tersebut berarti menteri-menteri merupakan pembantu Presiden yang
menjalankan tugasnya sesuai dengan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan, dan
43
bertanggung jawab kepada Presiden, namun menteri-menteri negara tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Negara.
Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian adalah perangkat
pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, seperti yang
tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 2008
tentang Kementrerian Negara.
Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan yaitu terdiri
atas:
a. Urusan pemerintahan yang nomenklatur Kementeriannya secara tegas disebutkan
dalam UUD 1945, seperti urusan luar negeri, dalam negeri, pertahanan. Yang
mana fungsi Kementrian negara dalam hal ini adalah perumusan, penetapan, dan
pelaksanaan kebijakan di bidangnya, pengelolaan barang milik/kekayaan negara
yang menjadi tanggung jawabnya, pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya, dan pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
b. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945,
seperti urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia,
pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri,
perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi,
informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan,
dan perikanan. Adapun fungsi Kementerian negara dalam hal ini meliputi,
perumusan, penetapan, dan pelaksanaan, kebijakan di bidangnya, pengelolaan
barang milik/kekayaan negara yang, menjadi tanggung jawabnya, pengawasan
44
atas pelaksanaan tugas dibidangnya, pelaksanaan bimbingan teknis dan supervise
atas pelaksanaan urusan Kementerian didaerah dan pelaksanaan kegiatan teknis
yang berskala nasional.
c. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi
program pemerintah, seperti: perencanaan pembangunan nasional, aparatur
negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik negara, pertanahan,
kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi,
koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan,
pemuda, olahraga, perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah
tertinggal.adapun fungsi Kementerian negara dalam hal ini meliputi, perumusan
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan
Dan Organisasi Kementerian Negara dan penetapan kebijakan di bidangnya,
koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya; pengelolaan
barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan pengawasan
atas pelaksanaan tugas di bidangnya.
Berdasarkan, yang dimana dalam Pasal 1 menyebutkan “Dengan Peraturan
Presiden ini dibentuk Kementerian Negara, yang selanjutnya disebut dengan
Kementerian sebagai berikut:
1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian; 3. Kementerian Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat; 4. Kementerian Sekretariat Negara; 5. Kementerian Dalam
Negeri; 6. Kementerian Luar Negeri; 7. Kementerian Pertahanan; 8. Kementerian
45
Hukum dan Hak Asasi Manusia; 9. Kementerian Keuangan; 10. Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral; 11. Kementerian Perindustrian; 12. Kementerian
Perdagangan; 13. Kementerian Pertanian; 14. Kementerian Kehutanan; 15.
Kementerian Perhubungan; 16. Kementerian Kelautan dan Perikanan 17.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 18. Kementerian Pekerjaan Umum; 19.
Kementerian Kesehatan; 20. Kementerian Pendidikan Nasional; 21. Kementerian
Sosial; 22. Kementerian Agama; 23. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; 24.
Kementerian Komunikasi dan Informatika; 25. Kementerian Riset dan Teknologi; 26.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 27. Kementerian Lingkungan
Hidup; 28. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 29.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 30.
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal; 31. Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional; 32. Kementerian Badan Usaha Milik Negara; 33.
Kementerian Perumahan Rakyat; dan 34. Kementerian Pemuda dan Olah Raga.
Dengan disebutkannya Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri
pada Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 tahun 2009 tentang
Pembentukan Dan Organisasi Kementerian Negara yaitu Kementerian Dalam Negeri
pada point 5 dan Kementerian Agama pada point 22 .
Kementerian Agama memiliki tugas membantu Presiden dalam
menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang keagamaan. Adapun
fungsi Departemen Agama menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang agama
46
berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia. No. 10 tahun 2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama yaitu :
1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang keagamaan;
2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agama;
3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;
4. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Agama di daerah;
5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional; dan
6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah
Kementerian Dalam Negeri memiliki tugas dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan dalam negeri untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan
pemerintahannya. Adapun fungsi dari Kementerian Dalam Negeri menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 41 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Dalam Negeri antara lain :
1. perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidang pemerintahan
dalam negeri;
2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara;
3. pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidang pemerintahan dalam negeri; dan
pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.
Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada Peraturan Perundang-undangan
47
dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, dan Jaksa Agung diamgkat dan
diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Fungsi dan
kewenangan Kejaksanaa berdasarkan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia meliputi:
1. Tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang pidana, antara lain:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Tugas dan wewenang kejaksaan di bidang perdata dan Tata Usaha Negara,
Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut
menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
48
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Dalam Pasal 33 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia juga menyatakan Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan
membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta
badan negara atau instansi lainnya
2.2 Dasar Hukum Diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008,
Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199
Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,
Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan
Warga Masyarakat
Negara Indonesia merupakan negara yang menggunakan konsep negara hukum,
maka segala perbuatan pemerintah haruslah berdasarkan hukum, begitu juga produk
hukum yang diterbitkan oleh pemerintah haruslah memiliki dasar hukum dari
pembentukan produk hukum yang diterbitkan oleh pemerintah tersebut.
Oleh sebab itu produk hukum yang di bentuk oleh pemerintah yang paling
rendah harus berpegangan pada produk hukum pemerintah/negara yang lebih tinggi,
dan kaidah hukum yang tertinggi. Seperti halnya Keputusan Bersama tentang
49
Ahmadiyah yang diterbitkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia haruslah memiliki dasar hukum yang jelas agar tidak
bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan atau Undang-Undang yang ada
di atasnya.
Bahwa didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah haruslah menjamin
kebebasan untuk memeluk agama dan beribadat serta menyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninnya, serta memberikan
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat kepada warga
masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI), sesuai dengan Pasal 28 E UUD 1945 yang menyatakan :
1) Setiap orang bebas, memeluk agama dan beribadat menutur agamannya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali;
2) Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya;
3) Setiap orang bebas atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat.
Keputusan Besama tentang Ahmadiyah harus menjamin adanya pemberian hak
untuk hidup, untuk tidak disiksa, merdeka pikiran hati nurani, beragama, untuk tidak
diperbudak, diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
50
keadaan apapun kepada warga masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Seperti yang diatur dalam Pasal 28 I
ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan :
1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi du hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu.
3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin,
diatur, dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah harus menjamin adanya sikap
menghormati hak asasi manusia, serta adannya pembatasan yang ditetapkan dalam
Undang-Undang yang bertujuan menciptakan ketertiban kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, serta adanya jaminan pengakuan serta penghormatan atas
51
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis sesuai dengan Pasal 28 J UUD 1945 yang menyatakan:
1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada
pmbatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-
mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalamsuatu masyarakat demokratis.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah juga mengakui bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan adanya jaminan kemerdekaan untuk
memeluk dan beribadat menurut agamannya masing-masing bagi warga masyarakat
dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI), sebagaimana Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan:
1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamannya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamannya dan
kepercayaannya itu.
Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi Barang siapa di
muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau merandahkan
52
terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap
bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya
karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan
menurut hukum tata negara35
. Serta dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang berbunyi dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan :
a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, menyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agaman yang dianut di Indonesia;
b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama manapun juga,
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa36
.
Hal tersebut dijadikan sebagai dasar acuan oleh Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun
2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun
2008 apabila terjadi pelanggaran terhadap isi dari peringatan dan perintah dari
keputusan ini baik itu dari Ahmadiyah maupun warga masyarakat akan dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
35 Hamzah, Andi, 2005, KUHP & KUHAP, Cet 12, PT Rineka Cipta, Jakarta, h. 63
36
Ibid
53
Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang dijadikan dasar dalam
pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang diterbitkan oleh Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Undang–Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
dijadikan sebagai dasar hukum oleh Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
mengenai ketentuan-ketentuan dalam organisasi kemasyarakatan yang berhubungan
dengan organisasi keorganisasian kemasyarakatan khususnya mengenai organisasi
Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa isi dari Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah tidak boleh bertentangan atau melanggar hak asasi manusia seseorang
atau siapapun juga.
Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan, yang mengenai bidang ketertiban umum dan kesejahteraan umum,
memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk turut menyelenggarakan kegiatan
yang salah satunya berisikan pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara, dan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama,
sehingga Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
dijadikan sebagai dasar hukum dalam ikut sertanya Jaksa Agung dalam menerbitkan
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang berkenaan dengan kewenangan dari
Kejaksaan.
54
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah Jo Undang-Undang No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Menjadi Undang-Undang dijadikan sebagai landasan hukum oleh Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah mengenai batasan-batasan dari kewenangan pemerintah
daerah dalam menangani masalah Ahmadiyah.
Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik, menunjukkan bahwa pemerintah sangat konsisten dengan
perlindungan hak-hak sipil dan politik, maka dari itu Undang-Undang No. 12 Tahun
2005 Tentang Pengesahan Konvenan Internasional dijadikan landasan dasar hukum
dalam penerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak boleh melanggar dari
Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-
Hak Sipil dan Politik.
Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai acuan bagi Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia berdasarkan
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai pelaksanaa dalam memberikan
peringatan dan perintah kepada organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Jo
Peraturan Presiden No. 62 tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
55
No. 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagai menimbang
didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai tertib administrasi agar
jelas kedudukan, fungsi Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia, di Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah,
Peraturan Presiden No. 10 tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I
Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 63 tahun 2005
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 10. tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik Indonesia, sebagai
menimbang dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai tertib
administrasi agar jelas kedudukan, fungsi Ekselon I Kementerian Agama, Jaksa
Agung, dan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, di dalam Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah.
Keputusan Presiden No. 86 tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah dalam hal batasan tata kerja kejaksaan menyangkut penyelesaian
masalah Amadiyah.
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun
1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri
Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia sebagai menimbang dalam Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah, mengenai petunjuk-petunjuk tentang tata cara
56
pelaksanaan penyiaran agama, dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di
Indonesia khususnya mengenai Ahmadiyah.
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP004/J.A/01/1994 tanggal
15 Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran
Kepercayaan Masyarakat (PAKEM), sebagai menimbang di dalam Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No 3 tahun 2008, yang mengenai Pembentukan Tim Koordinasi
Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyangkut penyelesaian
masalah Ahmadiyah.
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No. KEP-115/J.A/10/1999 tanggal
20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai menimbang dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, mengenai
tata kerja Kejaksaan didalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
dalam menyelesaikan masalah Ahmadiyah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 tahun 2003 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Dalam Negeri, sebagai menimbang Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah sebagai acuan dalam menentukan tata kerja Departemen Dalam
Negeri dalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama sebagai menimbang Keputusan
57
Bersama tentang Ahmadiyah sebagai acuan dalam menentukan tata kerja Departemen
Agama dalam pembentukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah.
2.3 Kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri
Dalam menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa
Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun
2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,
Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan
Warga Masyarakat
Dalam setiap perbuatan pemerintah guna menyelenggarakan pemerintahan dan
tugas negara perlu adanya suatu legitimasi untuk mengesahkan setiap perbuatan
pemerintah. Dengan kata lain setiap keputusan pemerintah dalam hal ini menteri
harus didasarkan pada kewenangan yang jelas yang telah diatur, dimana wewenang
tersebut telah ditetapkan oleh aturan hukum yang terlebih dahulu ada37
.
Secara teori cara memperoleh kewenangan terdapat 3 cara yakni:
1. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan
hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki
oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan
kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini
37 Sutarman, 2007, Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan Penegakan Hukum
Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga., h. 110
58
menunjuk pada kewenangan asli atas dasar Konstitusi (UUD) atau Peraturan
Perundang-undangan.
2. Delegasi adalah wewenang yang bersumber dari pelimpahan suatu organ
pemerintahan kepada organ pemerintah yang lain dengan dasar Peraturan
Perundang-undangan
3. Mandat adalah wewenang yang bersumber dari proses atau prosedur
pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat yang
lebih rendah.
Dalam kaitan dengan Atribusi, Delegasi, dan Mandat, J.G. Brouwer dan A.E.
Schilder, mengatakan38
:
a. with atribution, power is granted to an administrative authority by an
independent legislative body. The power is initial (originair), which is to say
that is not derived from a previously existing power. The legislative body
creates independent and previously non existent powers and assigns them to
an authority. (dengan atribution, kekuasaan diberikan kepada otoritas
administratif oleh badan legislatif independen. Daya awal (asli), yang
mengatakan bahwa tidak berasal dari kekuatan yang sudah ada sebelumnya.
Badan legislatif menciptakan kekuatan ada independen dan sebelumnya tidak
dan memberikan mereka otoritas)
38 Brouwer, J.G. dan Schilder,1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars Aeguilibri,
Nijmegen, h. 16-1
59
b. Delegation is a transfer of an acquired atribution of power from one
administrative authority to another, so that the delegate (the body that the
acquired the power) can exercise power in its own name. (Delegasi adalah
transfer dari atribution diperoleh kekuasaan dari satu kewenangan
administratif yang lain, sehingga delegate (tubuh yang mengakuisisi
kekuasaan) dapat menjalankan kekuasaan atas namanya sendiri)
c. With mandate, there is not transfer, but the mandate giver (mandans) assigns
power to the body (mandataris) to make decision or take action in its name.(
Dengan mandat, tidak ada pengalihan, tetapi pemberi mandat (Mandans)
memberikan kekuatan untuk tubuh (mandataris) untuk membuat keputusan
atau mengambil tindakan dalam namanya)
Kemudian H.D Van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefinisikan Atribusi,
Delegasi dan Mandate sebagai sumber wewenang, sebagai berikut;39
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegdheid door een weigever aan een
bestuursorgaan. (pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-
Undang kepada organ pemerintahan)
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een
ander. (pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan
kepada organ pemerintahan lainnya);
39 Konijnenbelt, H. D. Konijnenbelt Van Wijk/Willem, 1988, Hoofdstukken van Administratief
Recht, Culemborg, Uitgeverij LEMMA BV, h. 56 dalam H.R, Ridwan Op. Cit, h. 102
60
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door
een ander. (ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan
oleh organ lain atas namanya).
Menurut Wim Voermans40
, atribusi adalah penciptaan dan penugasan yang
sebelumnya ada di otoritas publik kepada pemerintah. Kemudian kewenangan atribusi
adalah tindakan utama penciptaan yang entah dari mana, suatu kekuatan itu baru itu
diciptakan dan ditugaskan, maka dari itu kewenangan Atribusi diberikan oleh
legislator.
Adapun tiga karakteristik yang lain dari Atribusi, yaitu41
a. de attribuerende instantie oefent niet zelf de bevoegdheid uit die ze
attribueert. Zo oefent de grondwetgever of wetgever zelf niet de bevoegdheid
tot burgerlijke of strafrechtspraak uit, maar geeft daarvoor slechts de
bevoegdheid;
b. dat de attribuerende instantie onder omstandigheden zijn de bevoegdheid tot
attributie, bijvoorbeeld ter detaillering van de constitutie, over kunnen dragen
aan een andere instantie;
c. dat attributie een limitatief karakter draagt, dat wil zeggen dat
overheidsbevoegdheden slechts rechtens kunnen bestaan krachtens
toekenning of erkenning ervan door de constitutie.
40
Voermans, Wim, 2004, Toedeling Van Bevoegdheid, Meijers Instituut, Leiden, Nederland. h 19
41
Ibid
61
Delegasi merupakan bentuk lain dari atribusi, namun si pemberi kewenangan
tetap bertanggung jawab sendiri. Dalam pendelegasian dapat terjadi pada tingkat
pemerintahan yang sama, akan tetapi dapat juga dilimpahkan ke pemerintahan lain
yang terkait42
.
Sedangkan Mandat menurut Wim Voermans, sering disebutkan dalam satu
napas dengan atribusi dan delegasi, sehingga Wim Voermans menganggap mandate
bukanlah bentuk pelimpahan asli. Yang artinya diman si pemberi mandat tetap
bertanggung jawab43
.
Dalam menentukan jenis dari kewenangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah, hal tersebut dapt dilihat melalui aturan hukum yang menetapkan
kewenangan tersebut.
Di dalam Pasal 17 UUD 1945 memberikan kewenangan kepada menteri untuk
membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri, dikarenakan setiap menteri
negara merupakan pembantu-pembantu Presiden yang membidangi urusan tertentu
pemerintahan. Hal tersebut sebagai mana dengan Menteri Agama dan Kementerian
Dalam Negeri yang juga merupakan pembantu Presiden yang membidangi urusan
agama dan urusan dalam negeri, sehingga Kementerian Agama dan Kementerian
Dalam Negeri mendapatkan kewenangan mengeluarkan suatu Keputusan berdasarkan
kewenangan Pasal 17 UUD 1945.
42 Ibid. h 39
43
Ibid, h 2
62
Kewenangan Jaksa Agung untuk ikut serta membentuk Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah bersumber pada Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan. Di dalam undang-undang ini kejaksaan memiliki kewenangan untuk turut
menyelenggarakan pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama
di bidang ketertiban dan ketentraman umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30
ayat 3 Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan yang menyatakan”
dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan
kegiatan:
a. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
e. Mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic Kriminal.
Namun tugas dan kewenangan Kejaksaan dalam Undang-Undang No. 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan bersifat prevensif dan/atau edukatif sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan. Sehingga tugas dan kewenangan dari Jaksa Agung hanyalah
mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta
koordinasi dengan instansi terkait, dimana dalam hal Ahmadiyah Kejaksaan bekerja
sama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri
63
Dalam Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana dalam Pasal 2 ayat 1 yang
berbunyi ”Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah
dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan
bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri”.
Dengan adanya Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, kewenanngan Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam menerbitan Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan Atribusi yang merupakan
toekenning van en bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een bestuursorgaan,
yang artinya bahwa Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat Undang-Undang kepada organ pemerintahan44
.
Kewenangan atribusi dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(attributie van wetgevingsbevoegdheid), adalah bentuk kewenangan yang didasarkan
atau diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu
lembaga negara/pemerintahan. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat
keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada Undang-Undang dalam arti
materiel. Atribusi ini dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh
wewenang pemerintahan. Kewenangan tersebut terus menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas
44 HR, Ridwan, Op Cit, h. 104-105
64
yang diberikan. Di dalam kewenangan atribusi terdapat tiga (3) karakteristik dari
atribusi, yaitu :
1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-
undangan.
2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh Konstitusi, Undang-Undang atau
Peraturan Daerah kepada suatu organ.
3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan bersangkutan.
Maka kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan
atribusi dapat dilihat dari ketiga point karakteristik diatas yaitu
1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-
undangan. yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
menerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-
03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang
Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat..
2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh konstitusi, undang-undang atau
Peraturan Daerah kepada suatu organ. Yaitu dilihat dari Pasal 17 UUD 1945
memberikan kewenangan kepada para menteri negara selaku pembantu
Presiden untuk membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri,
65
kemudian Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
memberikan kewenangan kepada jaksa agung untuk ikut serta dalam
menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana kewenangan
tersebut untuk pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama di bidang ketertiban dan ketentraman umum serta
bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta koordinasi dengan
instansi terkait. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang
berbunyi Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi
perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam
suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri.
3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Yakni Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab atas diterbitkannya
serta dalam pelaksanaan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008,
Jaksa Agung No. KEep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199
tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota,
dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat.
66
BAB III
BENTUK TINDAKAN TATA USAHA NEGARA DARI
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG,
DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3
TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008,
MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 TENTANG
PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT,
ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT
AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA
MASYARAKAT
3.1 Jenis-Jenis Tindakan Tata Usaha Negara
Dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
melalui pejabat atau badan Tata Usaha Negara melakukan beberapa jenis perbuatan
atau tindakan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah sebagai subyek hukum
atau sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban. Pemerintah melakukan suatu
Perbuatan atau tindakan Tata Usaha Negara atau tindakan-tindakan pemerintah
(Bestuurshandelingen), dapat dibagi menjadi dua yaitu tindakan nyata Tata Usaha
Negara atau tindakan Tata Usaha Negara berdasarkan fakta (Feitelijk Handelingen)
dan tindakan hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen). tindakan nyata Tata
Usaha Negara atau tindakan Tata Usaha Negara berdasarkan fakta (Feitelijk
67
Handelingen ) yaitu tindakannya yang tidak dimaksudkan untuk menciptakan
konsekuensi hukum dalam kehidupan dan tidak terdapat hubungan langsung dengan
kewenangannya, sedangkan perbuatan hukum pemerintah/ Tata Usaha Negara adalah
suatu perbuatan pemerintah yang dapat menimbulkan akibat hukum. Unsur-unsur dari
tindakan hukum pemerintah adalah dilakukan oleh aparat pemerintah, dimana
tindakan tersebut dilaksanakann dalam menjalankan fungsi pemerintahan yang
menimbulkan akibat-akibat hukum, dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri,
yang didasari atas Peraturan Perundang-undangan..
Didalam tindakan hukum yang dilakukan oleh Tata Usaha Negara dalam hal ini
pemerintah terdapat beberapa unsur, menurut Muchsan unsur-unsur perbuatan atau
tindakan hukum pemerintah atau tindakan hukum tata Usaha Negara adalah sebagai
berikut :
1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (bestuurorganen)
dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
2. Perbuatan tersebut di laksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah;
3. Perbuatan tersebut di maksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi;
4. Perbuatan yang bersangkutan di lakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan Negara dan rakyat45
.
45 Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h, 18-19
68
Didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara dikategorikan menjadi dua
golongan, yakni tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat
(Privaatrehtelijke Rechtshandelingen), dan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
bersifat hukum publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen). tindakan hukum Tata
Usaha Negara yang bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen)
merupakan tindakan yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
akibatnya berada dalam lapangan hukum perdata, sebagai contoh dapat dilihat pada
Pasal 1548 KUH Perdata mengenai hubungan sewa menyewa antara pemerintah
dengan pihak swasta, kemudian Pasal 1547 KUH Perdata mengenai penjualan tanah
eigendom. Sedangkan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum
publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen) merupakan tindakan yang dilakukan
oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang akibatnya berada dalam lapangan
hukum publik. Berkenaan dengan tindakan hukum publik Tata Usaha Negara,
terdapat dua bentuk dari tindakan hukum publik Tata Usaha Negara, yang menurut
Utrecht yaitu sebagai tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi satu
(eenzijdige publiekrechtelijke handelingen) dan tindakan hukum publik Tata Usaha
Negara bersegi dua (meerzijdige publiekrechtelijke handelingen). Tindakan hukum
publik Tata Usaha Negara bersegi satu merupakan kehendak sepihak dari pemerintah
saja, sedangkan tindakan hukum publik Tata Usaha Negara bersegi dua merupakan
adanya dua kehendak atau kemauan yang terikat, misalnya perjanjian kontrak kerja
dengan pemerintah atau kortverband contract (perjanjian kerja yang berlaku jangka
69
pendek yang dilakukan antara swasta sebagai pekerja dengan pemerintah sebagai
pihak yang memberikan pekerjaan).
3.1.1 Skema Jenis-Jenis Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Tindakan Tata Usaha Negara/ Tindakan Pemerintah
(Bestuurshandelingen)
Tindakan nyata Tata Usaha
Negara/ Tindakan nyata
Pemerintah (Feitelijke
Handelingen)
Tindakan hukum Tata Usaha
Negara/ Tindakan Hukum
Pemerintah
(Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Privat Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Privat Pemerintah
(Privaatrehtelijke
Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Publik Pemerintah
(Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen)
Tindakan hukum Publik Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Publik Pemerintah yang
bersegi satu (eenzijdige
publiekrechtelijke
handelingen)
Tindakan hukum Publik Tata
Usaha Negara/ Tindakan
Publik Pemerintah yang
bersegi dua (meerzijdige
publiekrechtelijke
handelingen)
70
3.2 Bentuk-Bentuk Keputusan Tertulis Tindakan Hukum Publik Tata Usaha
Negara
Sebuah produk pengambilan sebuah putusan tertulis yang dilakukan oleh organ
atau pejabat Tata Usaha Negara pada dasarnya merupakan sebuah aturan hukum yang
mengikat subyek-subyek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa
larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere)46
.
Subyek hukum yang terkena tersebut menurut pada sifat perumusan subyek hukum,
jika subyek yang terkena akibat keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh organisasi
negara yang bersifat konkrit dan individu, maka norma atau kaedah hukum yang
terkandung di dalam keputusan tertulis tersebut merupakan norma hukum yang
bersifat individu–konkrit (individual congkret norm), tetapi apabila subyek
hukumnya bersifat umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkrit, maka norma
hukum yang terkandung di dalam keputusan tertulis tersebut disebut norma hukum
yang bersifat abstrak dan umum (abstract and general norm)47
.
Bentuk putusan tertulis Menurut Jimly Assiddiqie pada dasarnya terdapat tiga
bentuk pengambilan keputusan yaitu48
:
1. Pengaturan menghasilkan peraturan (regels). Hasil pengaturan tersebut sudah
seharusnya tidak disebut dengan istilah lain kecuali “Peraturan”
46 Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 7
(Selanjutnya disebut Asshiddiqie, II)
47
Ibid
48
Ibid, h. 8
71
2. Penetapan menghasilkan ketetapan atau keputusan (Beschikkings). Hasil
kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan Administrasi ini sebaiknnya
hanya dimungkinkan untuk disebut “Keputusan atau Ketetapan”, bukan
dengan istilah lain, seperti misalnya kebiasaan dilingkungan pengadilan yang
menggunakan istilah yang dipakai sebaiknya, bukan penetapan tetapi
“Ketetapan” yang sepadan dengan istilah “Keputusan”. Sedangkan Penetapan
dalam bentuk “gerund”atau kata benda kegiatannya, bukan sebutan untuk
hasilnya, dan;
3. Penghakiman atau pengadilan menghasilkan putusan (vonis). Istilah ini
sebenarnya tidak jelas bagaimana bentuknya. Jika kata putusan dianggap
benar secara gramatikal, maka harusnya dapat disepadankan dengan “tetapan”
yang berasal dari kata “tetap”, dan ”aturan” yang berasal dari kata “atur”.
Namun karena istilah ini sudah diterima umum dalam praktik, telah menjadi
konvensi bahwa keputusan judisial hakim atas perkara yang diadili disebut
putusan.
Dalam kaitannya dengan pengambilan sebuah putusan hukum tertulis yang
dilakukan oleh organ atau pejabat Tata Usaha Negara di dalam tindakan hukum
publik pemerintah atau Tata Usaha Negara, bagi penulis putusan hukum yang
dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara didasari atas Teori Kewenangan dan
Teori Kehendak, karena adanya suatu kewenangan yang diberikan kepada pejabat
pemerintah atau pejabat Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu keputusan
tertulis, sedangkan teori kehendak dilihat dari kehendak yang ada dalam keputusan
72
tertulis, apakah hanya terdapat kehendak tunggal dari pejabat pemerintah/ Tata Usaha
Negara atau terdapat kehendak dari pihak lain diluar kehendak pejabat pemerintah
/Tata Usaha Negara dalam mengeluarkan suatu keputusan tertulis. Sehingga bagi
penulis menggunakan teori kewenangan dan teori kehendak untuk memperkuat
dikeluarkannya keputusan hukum tertulis dalam tindakan publik Tata Usaha Negara.
Adapun bentuk-bentuk dari putusan tertulis tersebut antara lain :
1. Regeling (Keputusan yang bersifat Umum, Abstrak dan Mengatur)49
;
2. Beschikking (Keputusan atau Penetapan);
3. Besluiten Van Algemene Strekking (Keputusan yang Berentang Umum);
4. Het Plan ( Perencanaan);
5. Pseude-wetgeving/ Beleidsregel (Peraturan Perundang-undangan Semu/
Peraturan Kebijakan;
Untuk lebih memahami bentuk-bentuk dari putusan tertulis diatas, akan sangat
membantu bila dikaitkan dengan struktur norma hukum Administrasi/ Tata Usaha
Negara sebagai norma pemerintahan. Berdasarkan konsep dari Van Wijk dan
Konijnenbelt tentang kategori-kategori norma hukum Administrasi/ Tata Usaha
Negara yaitu sebagai berikut50
:
1. Algemeen-Abstract (Norma yang bersifat Umum-Abstrak)
2. Algemeen-Concreet (Norma yang bersifat Umum-Konkrit)
3. Individueel-Abstract (Norma yang bersifat Individu-Abstrak)
49 Ibid h.7
50
Hadjon, Philipus M., dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet 11,Gajah Mada
University Press, Jogjakarta 125
73
4. Individueel-Concreet (Norma yang bersifat Individu-Konkrit)
Philippus M Hadjon membuat suatu skema untuk dapat mengetahui kualifikasi
dari norma hukum administrasi yang berdasarkan pada alamat yang ditujukan
(Addressat) dan hal yang diatur atau perbuatannya:
Skema Norma Hukum Administrasi/ Tata Hukum Negara51
:
Umum a Abstrak
b c
Individu d Konkrit
3.2.1 Regeling (Keputusan yang Bersifat Umum, Abstrak dan Mengatur)
Regeling yang merupakan bentuk putusan tertulis tindakan hukum Publik Tata
Usaha Negara yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang memiliki
norma-norma hukum yang sifatnya mengatur dengan isi norma yang bersifat umum
dan abstrak (general and abstract norms) dituangkan dalam bentuk tertulis tertentu
yang disebut sebagai Peraturan Perundang-undangan52
.
Menurut Bagir Manan yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan
adalah setiap putusan tertulis yang dibuat dan ditetapkan serta dikeluarkan oleh
51 Ibid.
52
Ibid. h.19
untuk siapa Apa dan bagaimana
74
lembaga dan/atau pejabat negara yang mempunyai atau menjalankan fungsi legislatif
sesuai dengan tata cara yang berlaku53
.
Kewenangan untuk mengatur atau membuat aturan (Regeling) merupakan
kehendak dari pemerintah bersama dengan lembaga legislatif. Namun pemerintah
sendiri dapat membuat suatu peraturan yang mengikat secara umum, apabila badan
legislatif telah memberikan kewenangannya kepada pemerintah dalam suatu Undang-
Undang.
Unsur-unsur yang termuat dalam Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai
berikut54
:
1. Peraturan Perundang-undangan berbentuk “keputusan tertulis”. Karena
merupakan keputusan tertulis, maka Peraturan Perundang-undangan sebagai
kaidah hukum lazim disebut hukum (geschreven recht, written law)
2. Peraturan Perundang-undangan dibentuk oleh Pejabat atau lingkungan jabatan
(badan, organ) yang mempunyai wewenang yang membuat ”Peraturan” yang
berlaku umum atau mengikat umum (algemeen)
3. Peraturan Perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan
harus selalu mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan
bahwa Peraturan Perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa
konkrit atau individu tertentu. Karena dimaksud sebagai ketentuan yang tidak
53 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, 1987, Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan
Hukum Nasional, Armico, Bandung, h. 13 dalam Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Yang Baik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 38
54
Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung, h. 125
75
berlaku pada peristiwa konkrit tertentu atau individu tertentu, maka lebih tepat
disebut sebagai sesuatu yang mengikat secara (bersifat) umum dari mengikat
umum.
Menurut Jimly yang mengacu pada Halbury,s Law of England,edisi tiga, vol, 36
di dalam Peraturan Perundang-undangan terdapat 4 katgori peraturan tertulis yaitu55
:
1. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat umum, yaitu berlaku umum bagi
siapa saja dan bersifat abstrak karena tidak menunjukkan kepada hal, atau
peristiwa, atau kasus konkrit yang sudah ada sebelum peraturan ditetapkan;
2. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan
subyek yang diaturnya, yaitu hanya berlaku bagi subyek hukum tertentu;
3. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan
wilayah berlakunya, yaitu hanya berlaku di dalam wilayah lokal tertentu;
4. Peraturan Perundang-undangan yang bersifat khusus karena kekhususan daya
ikat materinya, yaitu hanya berlaku internal.
3.2.2 Beschikking (Keputusan atau Penetapan yang bersifat Konkrit, Individual
Dan Final)
Beschikking (keputusan atau penetapan) yang merupakan tindakan hukum Publik
Tata Usaha Negara dibagi lagi yaitu Interne Beschikking dan Eksterne Beschikking.
Interne Beschikking atau disebut dengan keputusan intern merupakan keputusan yang
dibuat untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan antar organ pemerintah,
sedangkan Eksterne Beschikking atau keputusan ekstern merupakan keputusan yang
55 Asshiddiqie, Jimly III, Op Cit, h.13
76
dibuat untuk menyelenggarakan atau mengatur hubungan hukum antara pemerintah
dengan pihak lain atau antara dua atau lebih alat negara56
.
Istilah Beschikking diperkenalkan di negeri Belanda oleh Vollenhoven dan C.W.
Van Der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D, Van
Wijk/Willemkonijnenbelt, dianggap sebagai “de vader van het modern
beschikkingsbegrip, (bapak dari konsep Beschikking yang modern)57
. Namun di
Indonesia istilah Beshikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Ada yang
menerjemahkan istilah Beshikking ini dengan “ketetapan”, seperti E.Utercht58
, Bagir
Manan,59
Sjachran Basah, dan lain lain, dan dengan “keputusan” seperti WF. Prins
dan SF. Marbun,60
dan lain lain.
Menurut Pasal 1 ayat 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan
kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Beschikking (keputusan atau penetapan)
merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisikan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individu, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
56
Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keempat,
Universitas Padjajaran, Bandung, h.70
57
F.C.M.A. Michiels, 1987, De Arob-Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., „s-Gravenhage, h. 23
dalam Dalam HR. Ridwan, Op.Cit, h 140
58
Utrecht, E, Op.Cit, h. 97
59
Manan, Bagir, 1985, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat
Daerah , LPPM Unisba, Bandung, h. 30
60
Marbun, SF. Op.Cit. h. 126.
77
Unsur-unsur Beschikking (keputusan atau penetapan) berdasarkan Pasal 1 ayat 9
Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yaitu
1. Penetapan Tertulis
Penetapan tertulis maksudnya adalah cukup ada hitam diatas putih karena
menurut penjelasan atas pasal tersebut adalah form tidak penting dan bahkan
nota atau memo saja sudah memenuhi sebagai ketetapan tertulis61
. Ketika
pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkrit dan pemerintah memiliki
motivasi dan keinginan untuk menyelesaikan peristiwa tersebut, pemerintah
diberi wewenang untuk mengambil tindakan hukum sepihak dalam bentuk
ketetapan yang merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam
bentuk tertulis.
2. Dikeluarkan Oleh Badan Atau Pejabat Tata Usaha Negara
Pengertian badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1
ayat 8 Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa “Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”.
61 Hadjon, Philipus M., dkk, Op.Cit. h.138
78
Penjelasan atas Pasal 1 angka 8 menyatakan Badan atau Pejabat di pusat dan
di daerah yang melakukan kegiatan eksekutif.
3. Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata
Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
4. Bersifat Konkrit, Individual Dan Final
Bersifat konkrit, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha
Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan,
umpamanya keputusan mengenai sumah si A, Izin usaha bagi si B,
pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.
Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan
untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang
dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu
disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan
dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena
keputusan tersebut.
Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau
instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu
hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan
79
pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan
Administrasi Kepegawaian Negara.
5. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku
Bahwa keputusan itu harus didasarkan pada kewenangan dari pejabat tata
usaha negara, sedangkan kewenangan pejabat tersebut tentunya bersumber
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau dengan kata lain
bahwa keputusan itu berfungsi untuk melaksanakan peraturan yang bersifat
umum. jadi harus ada peraturan yang menjadi dasarnya.
6. Akibat Hukum Bagi Seseorang Atau Badan Hukum Perdata.
Elemen terakhir yaitu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata membawa konsekuensi bahwa penggugat haruslah seseorang
atau badan hukum perdata. Badan atau pejabat tertentu tidak mungkin menjadi
penggugat terhadap badan atau pejabat lainnya.
Namun didalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang perubahan
Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara tentang Peradilan Tata Usaha Negara menjelaskan secara tegas
pembatasan terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara, yang karena sifat dan
maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata
Usaha Negara menurut Undang-Undang ini :
a) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Perbuatan Hukum Perdata
80
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata,
umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang dilakukan
antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan
hukum perdata
b) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Merupakan Pengaturan Yang Bersifat
Umum
Yang dimaksud dengan "pengaturan yang bersifat umum" ialah pengaturan
yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan
yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang.
c) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Masih Memerlukan Persetujuan
Yang dimaksud dengan "Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
memerlukan persetujuan" ialah keputusan yang untuk dapat berlaku masih
memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain. Dalam kerangka
pengawasan administratif yang bersifat preventif dan keseragaman
kebijaksanaan sering kali peraturan yang menjadi dasar keputusan menentukan
bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara diperlukan
persetujuan instansi atasan lebih dahulu. Adakalanya peraturan dasar
menentukan bahwa persetujuan instansi lain itu diperlukan karena instansi lain
tersebut akan terlibat dalam akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh
keputusan itu. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan tetapi sudah
menimbulkan kerugian dapat digugat di Pengadilan Negeri.
81
d) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Dikeluarkan Berdasarkan Ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau Peraturan Perundang-undangan Lain yang Bersifat Hukum Pidana.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana ialah umapanya dalam perkara lalu lintas di mana terdakwa
dipidana dengan suatu pidana bersyarat, yang mewajibkannya memikul biaya
perawatan si korban selama dirawat di rumah sakit. Karena kewajiban itu
merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana, maka jaksa yang menurut
Pasal 14 huruf d Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditunjuk mengawasi
dipenuhi atau tidaknya syarat yang dijatuhkan dalam pidana itu, lalu
mengeluarkan perintah kepada terpidana agar segera mengirimkan bukti
pembayaran biaya perawatan tersebut kepadanya. Keputusan Tata Usaha
Negara berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
ialah umpamanya kalau penuntut umum mengeluarkan surat perintah penahanan
terhadap tersangka.
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana ialah umpamanya perintah jaksa
ekonomi untuk melakukan penyitaan barang-barang terdakwa dalam perkara
tindak pidana ekonomi. Penilaian dari segi penerapan hukumnya terhadap
ketiga macam Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dilakukan hanya
oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum.
82
e) Keputusan Tata Usaha Negara Yang Dikeluarkan Atas Dasar Hasil Pemeriksaan
Badan Peradilan Berdasarkan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Yang
Berlaku;
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud pada huruf ini umpamanya:
1. Keputusan Direktur Jenderal Agraria yang mengeluarkan sertifikat tanah
atas nama seseorang yang didasarkan atas pertimbangan putusan
Pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang
menjelaskan bahwa tanah sengketa tersebut merupakan tanah negara dan
tidak berstatus tanah warisan yang diperebutkan oleh para pihak.
2. keputusan serupa angka 1, tetapi didasarkan atas amar putusan Pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Keputusan pemecatan seorang notaris oleh Menteri Kehakiman, setelah
menerima usul Ketua Pengadilan Negeri atas dasar kewenangannya
menurut ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No. 2 tahun 1986 tentang
Peradilan Umum.
f) Keputusan Tata Usaha Negara Mengenai Keputusan Tata Usaha Negara
Mengenai Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
g) Keputusan Panitia Pemilihan, Baik di Pusat Maupun di Daerah, Mengenai Hasil
Pemilihan Umum.
Didalam mengeluarkan keputusan yang merupakan tindakan Tata Usaha Negara
bersegi satu dapat dikategorikan lagi menjadi tiga, yaitu sebagai berikut:
83
a. sepihak konkrit individual
contoh: keputusan tentang pengangkatan/pemberhentian seseorang sebagai
pegawai negeri sipil, keputusan tentang pengangkatan seseorang dalam suatu
jabatan publik, penetapan pajak seseorang.
b. sepihak konkrit umum
contoh: keputusan presiden tentang kenaikan gaji PNS, keputusan menteri
tenaga kerja tentang upah minimum, dsb.
c. lebih dari satu badan/pejabat Tata Usaha Negara, konkrit-umum
contoh: Keputusan Bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,
Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian dan perdagangan No. 1905
K/34/MeM/2001, No. 426/KMK.01/2001, dan No. 233/MPP/Kep/7/2001
tentang Ketentuan Import Pelumas.
3.2.3 Besluiten Van Algemene Strekking (Keputusan Yang Berentang Umum)
Besluiten Van Algemene Strekking termasuk keputusan yang bersifat umum yang
dibuat oleh pemerintah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang bersifat
mandiri, dalam artian hanya dibentuk oleh pemerintah tanpa keterlibtan Dewan
Perwakilan Rakyat62
.
Keputusan Yang Berentang Umum (Besluiten Van Algemene Strekking)
mengandung pengertian yang lebih luas daripada pengertian Peraturan Perundang-
undangan (Algemeen Verbindende Voorschrift), juga mencakup keputusan-keputusan
yang bukan Peraturan Perundang-undangan, karena tidak mengikat secara umum dan
62 HR. Ridwan, Op Cit, h 138
84
bukan pula penetapan (Beschikking) karena akibat-akibatnnya tidak bersifat konkret-
individu63
.
Menurut Johanes Usfunan Besluiten Van Algemene Strekking atau Keputusan
Tata Usaha Negara Yang Berentang Umum ini merupakan produk badan/pejabat Tata
Usaha Negara yang mengikat secara umum (algemene bindend), yang berarti bahwa
keputusan yang demikian mengikat masyarakat secara keseluruhan atau kelompok
orang tertentu dan yang bagi mereka yang terkena putusan tersebut tak dapat berbuat
kecuali mematuhinnya64
.
Prof. Johanes Usfunan berpendapat bahwa Besluiten Van Algemene Srekking
dapat digolongkan kedalam keputusan yang bersifat keputusan umum-konkrit65
.
Keputusan bersifat umum merupakan produk badan atau pejabat Tata Usaha Negara
yang bertujuan mengatur kepentingan dan ketertiban masyarakat.
Dalam penjelasan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-Undang No.9 tahun 2004 tentang perubahan
Peradilan Tata Usaha Negara, yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan
adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh
badan perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah, serta semua keputusan adan atau pejabat tata usaha Negara, baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan pejabat Tata Usaha Negara
63 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana. Op Cit, h. 164
64
Usfunan , Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan, Jakarta.
h.119
65
Ibid 121-122
85
dan atau badan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah yang juga bersifat
secara umum. Selain itu Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan Peraturan Perundang-
undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara
umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Maka dari hal tersebut keputusan dari badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum (Besluit Van Algemene Strekking)
termasuk ke dalam Peraturan Perundang-undangan (Algemeen Verbindende
Voorscriften).
Bentuk Keputusan Tata Usaha Negara yang berentang umum atau Besluit Van
Algemene Strekking demikian tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan
dalam arti Beschickkingsdaad Van De Administratie tetapi diklasifikasikan dalam
perbuatan tata usaha di bidang pembuatan peraturan (Regelend Daad Van De
Administratie) hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Philipus M.
Hadjhon yang mengatakan, bentuk keputusan Tata Usaha Negara demikian tidak
merupakan bagian dari perbuatan keputusan (dalam arti Beschickkingsdaad Van De
Administratie), tetapi termasuk perbuatan tata Usaha Negara di bidang pembuatan
Peraturan (Regelend Daad Van De Administratie)66
. Pengaturan yang bersifat umum
(Besluit Van Algemene Strekking) seperti halnya dengan Peraturan Perundang-
undangan lainnya, dimana Keputusan hukum dari Tata Usaha Negara yang
66 Hadjon, Philipus M. Op.Cit, h. 151
86
merupakan keputusan hukum yang bersifat umum dapat pula dijadikan salah satu
dasar hukum bagi dikeluarkannya suatu keputusan (dalam arti Beschikking)67
.
Menurut A.D Belinfante terdapat beberapa jenis penetapan yang merupakan
Besluiten van algemene Srekking68
yaitu:
a) Norma Konkrit;
b) Rencana:
c) Perundang-Undangan Semu
Menurut Stroink, yang termasuk dalam Besluiten Van Algemene Srekking
adalah69
:
a. Keputusan Pengesahan (Goedkeuing), pembatalan (Vernietiging) suatu
Peraturan Perundang-Undangan
b. Norma Konkrit
c. Perencanaan
Sedangkan menurut Indroharto yang termasuk Besluiten Van Algemene Srekking
dari70
:
a. Norma konkrit:
b.Rencana:
c. Perundang-Undangan Semu
67 Ibid
68
Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, 1983, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha
Negara, Binacipta, Jakarta h.34-87
69
Stroink, Steenbeek, F.A.M-J.G., 1985, Inleiding in het Staats en Administratief Recht, Samson,
Alphen aan de Rijn, h105 dalam Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit
70
Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Pustaka Sinar Harapan, h 196.
87
d.Keputusan Bersama
Dari jenis-jenis yang disebutkan diatas akan diuraikan menjadi 5 jenis dari
Besluiten Van Algemene Srekking yaitu:
a. Norma Konkrit,
Norma Konkret merupakan produk dari tindakan Tata Usaha Negara yang
bertujuan memberi suatu isi yang konkrit dari ketentuan Peraturan Perundang-
undangan sehingga dapat dilaksanakan dengan praktis. menurut Belinfante71
, Norma
Konkrit adalah suatu tindakan Tata Usaha Negara, tetapi isinya bersifat konkrit dan
pelaksanaannya praktis diterapkan untuk waktu dan tempat tertentu. Namun menurut
Balifante keputusan ini bukanlah Beschikking yang ditunjukkan kepada orang-orang
tertentu tetapi ditunjukkan pada semua orang.
A.D Belinfante menambahkan pengkonkritan peraturan yang bersifat umum
yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara tersebut dinamakan
norma konkrit72
. Norma konkret merupakan norma yang bersifat umum yang
mengatur suatu peristiwa tertentu atau beberapa peristiwa tertentu73
.
Menurut Attamimi Norma konkrit diartikan sebagai Norma yang sifatnya
pengaturannya lebih bersifat umum tentang beberapa peristiwa tertentu atau suatu
peristiwa tertentu atau suatu peristiwa tertentu tetapi bukan norma yang berbentuk
penetapan (Beschikking)74
71 Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, Op.Cit,h 50
72
Ibid ,h. 51
73
Attamimi, A. Hamid S., Loc Cit h. 316-317
74
Ibid
88
b. Keputusan Pengesahan (goedkeuing), pembatalan (vernietiging) suatu Peraturan
Perundang-undangan.
Bahwa bentuk putusan Keputusan Pengesahan (goedkeuing), pembatalan
(vernietiging) suatu Peraturan Perundang-undangan ini tidak dapat dimasukkan
sebagai ketetapan karena pengesahan atau pembatalan tersebut mengandung yang
secara langsung mengakibatkan suatu Peraturan Perundang-undangan berlaku
(pengesahan) atau menjadi tidak berlaku (pembatalan). Dalam sistem Perundang-
undangan di Indonesia keputusan pengesahan dan pembatalan berlaku untuk
Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah.
c. Keputusan Bersama
Keputusan Bersama sejak Tahun 1966 menjadi cara yang popular dalam
mengatasi masalah, khususnya dalam penegakan hukum yang bersifat lintas sektoral.
Sehingga dalam pelaksanaan urusan pemerintah, kerap kali menyangkut urusan yang
lebih dari satu badan atau pejabat Tata Usaha Negara. yang berarti dalam
pelaksanaannya pemerintah dapat atau harus melibatkan dua atau lebih badan atau
pejabat Tata Usaha Negara yang terkait dengan melakukan kerjasama atau koordinasi
untuk mencegah terjadinya tumpang tindih, kekakuan, atau urusan yang tidak
ditangani.
3.2.4 Het Plan (Rencana atau Perencanaan)
Rencana atau perencanaan (Het Plan) tidak hanya merupakan jenis dari
Besluiten Van Algemene Srekking, namun juga termasuk bentuk putusan tertulis dari
tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara.
89
Menurut A.D Belinfante rencana merupakan keseluruhan tindakan yang saling
berkaitan dari Tata Usaha Negara yang mengupayakan terlaksananya keadaan
tertentu yang tertib75
.
Indroharto yang mengkutip Den Haan dan Fernhout mengenai bentuk-bentuk
rencana yaitu76
1. Rencana yang Informative yaitu kumpulan prognosa yang meramalkan apa
yang terjadi pada masa mendatang. Rencana semacam ini tidak menimbulkan
akibat hukum bagi warga masyarakat.
2. Rencana yang Indikatif yaitu kumpulan rencana-rencana kebijaksanaan ,
misalnya nota mengenai struktur perkembangan dan pembaharuan pendidikan
dasar. Rencana ini tidak menimbulkan akibat hukum secara langsung, tetapi
merupakan kerangka kebijaksanaan untuk tindakan-tindakan hukum maupun
tindakan material oleh pemerintah.
3. Rencana yang bersifat Normatif yaitu mengandung norma yang mengikat
baik bagi pemerintah maupun warga masyarakat. misalnya rencana tata ruang
(Bestemmingsplan), yang menurut berbagai keputakaan mengandung
beberapa karakter77
:
a. Perencanaan merupakan Ketetapan (Beschikking)
75 Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan. Op Cit. h. 75
76
Indroharto. Op Cit, h 207
77
Stroink, Steenbeek F.A.M-J.G. Op.Cit, h 106 dalam Manan Bagir dan Magnar Kuntana , Op
Cit,137 dan 165
90
b. Perencanaan, sebagian merupakan ketetapan (Beschikking) dan sebagian
merupakan peraturan (Regeling).
c. Perencanaan merupakan suatu bentuk hukum tersendiri (een rechtfigur sui
generis).
d. Perencanaan adalah suatu bentuk peraturan (Regeling)
3.2.5 Pseude-wetgeving/ Beleidsregel (Peraturan Perundang-undangan Semu/
Peraturan Kebijakan
Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau dikenal dengan istilah
Beleidsregel (Peraturan Kebijakan). yang mana Beleidsregel (Peraturan Kebijakan)
tidak hanya merupakan jenis dari Besluiten Van Algemene Srekking, Beleidsregel
(Peraturan Kebijakan) juga termasuk bentuk putusan tertulis dari tindakan hukum
Publik Tata Usaha Negara.
Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan
Kebijakan) disebut sebagai peraturan kebijaksanaan karena Perundang-undangan
Semu pada dasarnya memuat suatu garis kebijaksanaan yang ditetapkan sendiri oleh
administrasi78
. Peraturan Kebijaksanaan bukan Peraturan Perundang-undangan yang
sebenarnya, karena badan atau pejabat yang mengeluarkan peraturan kebijaksanaan
tersebut tidak memiliki kewenangan pembuatan peraturan (wetgevende bevoegdheid).
78.Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan. Op Cit. h. 84
91
Namun peraturan kebijakan merupakan sarana hukum Tata Usaha Negara yang
bertujuan mendinamisir keberlakuan Peraturan Perundang-undangan79
.
Dalam prakteknya peraturan kebijakan dapat dirumuskan dalam beberapa bentuk
yaitu, Keputusan, instruksi, edaran, pengumuman80
. Seperti pendapat Phillipus M.
Hadjon bahwa produk semacam peraturan kebijaksanaan tidak terlepas dari
penggunaan Freies ermessen, yaitu badan atau pejabat tata Usaha Negara yang
bersangkutan merumuskan kebijaksanaannya itu dalam berbagai bentuk” jurisdische
regel”, seperti peraturan, pedoman, pengumuman, dan surat edaran dan
pengumuman kebijaksanaan81
. Suatu Perundang-undangan Semu (pseude-
wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan Kebijakan) pada hakekatnya merupakan
produk dari perbuatan Tata Usaha Negara yang bertujuan menampakkan keluar
suatu kebijakan tertulis (naar buiten gebracht schriftelijk beleid) namun tanpa
disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat Tata Usaha
Negara yneg menciptakan pereaturan kebijakan tersebut82
.
Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan
Kebijakan) tidak mengikat secara langsung namun mempunyai relevansi hukum.
Perundang-undangan Semu (pseude-wetgeving) atau Beleidsregel (Peraturan
Kebijakan) memberikan peluang bagaimana suatu badan atau organ Tata Usaha
Negara menjalankan kewenangan pemerintahan (Beschikkingbevoegheid).
79 Marzuki, Laica, 1996, Peraturan Kebijaksanaa (Beleidsregel) serta FungsinyaSelaku sarana
Hukum Pemerintahan, makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi
Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang 26-31 agustus 1996. h. 9
80
Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana, Op Cit 171
81
Hadjon, Phillipus. M. , dkk, Op Cit, h. 84
82
Ibid
92
Pembentukan peraturan kebijakan diperlukan dalam rangka menjamin ketaatan
asasan tindakan Tata Usaha Negara dan untuk setiap peristiwa yang mengandung
persamaan, kepastian hukum dan tindakan-tindakan dapat dipercaya karena
didasarkan pada peraturan yang sudah ditentukan83
.
Menurut Van Wijk, ada dua bentuk utama peraturan kebijakan:
1. Peraturan kebijakan yang dibuat dan berlaku bagi pembuat peraturan
kebijakan itu sendiri
2. Peraturan kebijakan yang dibuat dan berlaku bagi badan atau pejabat
administrasi yang menjadi bawahan pembuat peraturan kebijakan84
.
Van Kreveld mengatakan sebagaimana dikutip oleh Safri Nugraha dkk, walau
didasarkan pada azas Freies ermessen, Beleidsregel ini harus memenuhi syarat-syarat
tertentu untuk kemudian dapat berlaku. Syarat-syarat tersebut antara lain85
:
1. Tidak dapat bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung wewenang
diskresioner yang dijabarkannya;
2. Tidak dapat bertentang dengan nalar sehat;
3. Harus dipersiapkan dengan cermat, kalau perlu meminta advis teknis dari
instansi yang berwenang, rembukan dengan para pihak yang terkait dan
mempertimbangkan alternatif yang ada;
83 Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit, h.137 dan h.169
84
Wijk/Konijnenbelt, Van, 1984, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga,s‟Gravenhagen,h
243 dalam Manan, Bagir dan Magnar, Kuntana ,Op Cit. h 170
85
Nugraha, Safri, dkk. 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, h. 93
93
4. Isi kebijakan harus jelas memuat hak dan kewajiban warga masyarakat yang
terkena dan ada kepastian tindakan yang akan dilakukan oleh instansi yang
bersangkutan (kepastian hukum formal);
5. Pertimbangan tidak harus rinci, asalkan jelas tujuan dan dasar pertimbangannya;
6. Harus memenuhi syarat kepastian hukum materiil, artinya hak yang telah
diperoleh dari warga yang terkena harus dihormati, kemudian harapan yang telah
ditimbulkan jangan sampai diingkari.
94
3.2.6 Skema Bentuk-Bentuk Keputusan Tertulis Tindakan Hukum Publik Tata
Usaha Negara :
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara
dengan bentuk (Regeling)
Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan
Publik Pemerintah (eenzijdige publiekrechtelijke
handeling)
Berdasarkan pada
teori kehendak (wilstheorie) dan teori Kewenangan
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara
dengan bentuk
Keputusan atau
Penetapan (Beschikking)
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara
dengan bentuk Keputusan yang
Berentang Umum (Besluiten Van
Algemene Strekking)
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara
dan/atau Besluiten Van
Algemene Strekking
jenis Perencanaan
(Het Plan)
Bentuk Putusan Tata Usaha Negara
dan/atau Besluiten Van
Algemene Strekking jenis
Peraturan Perundang-undangan
semu/ Peraturan Kebijakan (Pseude-
wetgeving/ Beleidsregel)
Besluiten Van Algemene Strekking
Jenis Norma kongkret
Besluiten Van Algemene Strekking
Jenis
Keputusan Pengesahan
(goedkeuing), pembatalan
(vernietiging) suatu Peraturan
Perundang-undangan
Besluiten Van Algemene Strekking
Jenis
Keputusan Bersama
95
3.2.7 Skema letak keputusan tertulis tata Usaha Negara di dalam Norma
Hukum Administrasi/ Tata Hukum Negara:
Umum Regeling, Het Plan, Abstrak
Besluiten Van Algemene Strekking,,Pseude-wetgeving/ Beleidsregel,het Plan
Individu Het Plan,Beschikking Konkrit
Regeling (Umum –Abstrak)
Besluiten Van Algemene Strekking antara (Umum-Konkrit)
Pseude-wetgeving/Beleidsregel (Umum-Konkrit)
Beschikking (Individual –Kongkrit)
Het Plan (Umum–Abstrak, Umum-Konkrit, Individual-Abstrak,
Individual–Konkrit)
untuk siapa/ alamat
yang ditujukan
(Addressatnya)
Apa dan bagaimana/ hal
yang diatur atau
perbuatannya
Norma
96
3.3 Bentuk Tindakan Tata Usaha Negara Dari Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3
Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri
No. 199 Tahun 2008
Dalam melaksanakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah
melalui pejabat atau badan Tata Usaha Negara melakukan beberapa jenis perbuatan
atau tindakan untuk menjalankan tugasnya. Pemerintah adalah sebagai subyek hukum
atau sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban.
Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, pemerintah
dalam hal ini Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri melakukan
tindakan Tata Usaha Negara (Bestuurshandelingen), namun Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah bukan merupakan tindakan nyata Tata Usaha Negara ( Feitelijke
Handelingen) sebab Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menimbulkan akibat-
akibat hukum berupa dikenai sanksi, seperti yang tetulis dalam Point ketiga dan
kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana point ketiga Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah berbunyi “Penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan
dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA
dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan,
termasuk organisasi dan badan hukumnya‟, dan point kelima Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah berbunyi “Warga masyarakat yang tidak mengindahkan
peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum
97
KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah masuk kedalam tindakan
hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen).
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat melalui Unsur-unsur dari
tindakan hukum Tata Usaha Negara (Rechtshandelingen) yaitu:
1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintah (Bestuurorganen)
dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri. Bahwa perbuatan dalam
menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilakukan ialah Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam Negeri selaku alat perlengkapan
pemerintah (Bestuurorganen) dengan kewenangan atribusi yaitu tanggung jawab
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri);
2. Perbuatan tersebut di laksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintah
(bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah ini dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai pemerintahan);
3. Perbuatan tersebut di maksudkan sebagai sarana untuk menumbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi. (bahwa penerbitan Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah dapat manimbulkan akibat hukum berupa pembatasan
aktivitas yang dilakukan oleh organisasi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI);
4. Perbuatan yang bersangkutan di lakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat. (bahwa penerbitan Keputusan Bersama tentang
98
Ahmadiyah dalam rangka untuk untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat
beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat);
Didalam tindakan hukum Tata Usaha Negara dikategorikan menjadi dua
golongan, yakni tindakan hukum Tata Usaha Negara yang bersifat hukum privat
(Privaatrehtelijke Rechtshandelingen), dan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
bersifat hukum publik (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen). Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah bukan merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
bersifat hukum privat (Privaatrehtelijke Rechtshandelingen) karena Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah tidak berada pada ranah privat, melainkan pada ranah
Publik, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang bersifat hukum publik karena didalamnya mengatur tentang
warga masyarakat (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen)
Kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah di dalam Tindakan hukum
publik Tata Usaha Negara (Publiekrechtelijke Rechtshandelingen), berdasarkan asas
legalitas (Due Proses Of law) seperti diungkapkan oleh Jimly Assiddiqie dalam 13
prinsip pokok negara hukum modern86
, dijadikan sebagai dasar dalam
menyelenggarakan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum, sehingga
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, sebagai subyek hukum
yang mewakili institusi yaitu sebagai pejabat pemerintah atau badan hukum dalam
86 Assiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Kontemporer, dalam orasi ilmiah pada Wisuda
Sarjana Fakultas HukumUniversitas Sriwijaya, Palembang.
99
mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, harus berdasarkan
kewenangan dan Peraturan Perundang-undangan.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, dapat dikatakan sebagai sebagai tindakan
hukum publik Tata Usaha Negara bersegi satu dikarenakan keputusan ini dapat
menimbulkan akibat-akibat hukum, hal tersebut dapat dilihat pada point ketiga dan
kelima Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana point ketiga Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah menyatakan “Penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan
dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA
dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan,
termasuk organisasi dan badan hukumnya”. Serta pada point kelima Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah menyatakan” Warga masyarakat yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum
KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan”.
Kemudian Tindakan hukum publik Tata Usaha Negara (Publiekrechtelijke
Rechtshandelingen), dibagi menjadi dua yaitu Tindakan hukum Publik Tata Usaha
Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu (eenzijdige publiekrechtelijke
handeling) dan Tindakan hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik
Pemerintah yang bersegi dua (meerzijdige publiekrechtelijke handeling).
100
Kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berada pada yaitu Tindakan
hukum Publik Tata Usaha Negara/ Tindakan Publik Pemerintah yang bersegi satu
(eenzijdige publiekrechtelijke handeling) sebab Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah dibuat secara sepihak yaitu dibuat atas kehendak organ pemerintah yaitu
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri berdasarkan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama yang menyatakan “ Barang siapa melanggar ketentuan
tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan
perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa
Agung dan Menteri Dalam Negeri dan ditunjukkan kepada publik atau berada pada
ranah publik, dan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah untuk melaksanakan
peraturan guna menyelenggarakan kepentingan umum. Kepentingan umum di dalam
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dimaksudkan untuk menjaga dan memupuk
ketentraman beragama dan ketertiban bermasyarakat, baik itu ditujukan kepada
penganut dan/ atau anggota serta pengurus Jemaah Ahmadiyah maupun warga
masyarakat.
Untuk melihat apakah bentuk keputusan tertulis dari Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah, dimana judul dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiayh adalah
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka Keputusan
Bersama tentang Ahmadiayh yang dikeluarkan oleh aparat pemerintah dalam
kedudukannya sebagai penguasa, yaitu Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
101
dalam Negeri selaku alat perlengkapan pemerintah (Bestuurorganen) dengan
kewenangan atribusi. Dimana Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini dibuat
untuk menjalankan fungsi pemerintah yaitu dalam rangka untuk untuk menjaga dan
memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat.
Di lihat dari judul Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang berisikan kata
peringatan dan perintah yang merupakan salah satu sifat norma hukum dalam
Peraturan Perundang-undangan yaitu Perintah (Gebog) selain norma hukum lainnya
yaitu Larangan (Verbod), Pengizinan, (Toesnemming), dan Pembebasan
(Vrijstelling)87
. Selain itu Austin dalam bukunya Hans Kelsen yaitu General Theory
of Law and State mengatakan “where a command, "obliges generally to acts or
forbearances of a class, a command is a law or rule, yaitu jika suatu peintah
mewajibkan secara umum untuk suatu tindakan dari suatu golongan tindakan, maka
perintah itu merupakan suatu hukum atau peraturan88
. Selain itu Austin juga
mengatakan perintah juga memiliki sifat khusus, yaitu bahwa norma itu tidak hanya
mewakili sifat umum saja namun norma-norma khusus89
. Noerma khusus dapat
dimasukkan kedalam norma Peraturan Perundang-undangan apabila norma khusus
tersebut memberikan karakteristik hukum yang esensial, serta mengikat secara
87 Atamimi ,A Hamid, S, Loc Cit, h. 314
88
Kelsen, Hans, Op.cit, 38
89
Ibid
102
umum90
. Maka norma yang terdapat dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
dapat dikatakan sebagai norma di dalam Peraturan Perundang-undangan (Regeling).
Selain itu maksud dan tujuan dikeluarkannnya Keputusan Bersama tentang
Ahmadiah bertujuan dan bermaksud untuk menjaga dan memupuk ketenteraman
beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat serta pemerintah melakukan
upaya persuasif upaya mengajak secara halus Penganut, Anggota, dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat agar
menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak
menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman
dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, maka dapat dilihat bahwa keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah ini berlaku keluar (Naar buiten werken.)91
. yang
merupakan salah satu unsur dari Peraturan Perundang-undangan.
Adanya kata Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, maka dapat dilihat adanya
subyek umum dan individu, yaitu yang bersunbyek umum dapat dilihat pada kata
warga masyarakat dan penganut, sedang kan subyaek individu dapat dilihat pada kata
Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mana
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mewakili organisasi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) yang berbadan hukum karena Organisasi Jemaat Ahmadiyah terdaftar
di Departemen Kehakiman RI (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) sebagai sebuah
90 Ibid
91
Atamimi ,A Hamid S, Loc Cit,
103
vereneging atau perkumpulan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik
Indonesia No. 26 tanggal 31 juni 195392.
Menurut Jimly Assiddiqie terdapat jenis Peraturan Perundang-undangan yang
bersifat khusus karena kekhususan subyek yang diatur, yaitu hanya berlaku pada
subyek tertentu93
. Walaupun Jimly Assiddiqie menganggap tidak lazim di dunia
moden sekarang ini, namun disetiap negara terdapat juga hukum yang bersifat
konkret dan individual seperti itu yang tercantum di dalam satu-dua Undang-
Undang94
. Jika dilihat lagi dalam Alternative Rule of Law Formulationsnya Brian Z.
Tamanahan yeng menggunakan Thinner to Thicker, Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah merupakan salah satu aturan yang bergerak dari Thinner (tipis) to Thicker
(tebal) sehingga semakin komulatif, maka disini bentuk Peraturan Perundang-
undangan (Regeling) bukan hannya bersifat umum-abstrak, namun juga terdapat
bentuk Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat khusus yaitu
subyeknya individu, yaitu adanya suatu penambahan norma dan subyek dalam
Peraturan Perundang-undangan yang bertujuan sesuai dengan konsepsi formal dari
The Rule of law adalah untuk mengatasi cara di mana hukum harus diundangkan
(oleh yang berwenang), dari kejelasan norma, karena hal tersebut sudah dianggap
cukup jelas untuk menuntun perilaku seseorang, serta waktu kapan norma itu berlaku
92 Zulkanain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, LKis Pelangi Aksara, Yogyakarta.
h. 196
93
Assiddiqie, Jimly II Op Cit
94
Ibid. h15-16
104
menuju ke konsepsi substantif dari Rule of Law yang berusaha untuk melampaui
batas tersebut. Mereka menerima bahwa aturan hukum memiliki atribut formal yang
disebutkan di atas, tetapi mereka ingin mengambil ajaran lebih lanjut. Jadi adanya
kekhususan dari Peraturan Perundanga-undangan juga meupakan salah satu bentu
pelampauan batas dari norma dan subyek dari Peraturan Perundang-undangan
(Regeling) yang mana tetap pada sumber yang tepat dan bentuk legalitas, namun juga
mencakup persyaratan tentang isi hukum (biasanya yang
harus menjunjung tinggi moralitas dengan keadilan atau prinsip moral).
Jadi Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah walaupun mengatur tentang subyek
individu namun dilihat dari maksud dan tujuannya serta normannya yang bersifat
umum, maka Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dapat dikatakan sebagai
Peraturan Perundang-undangan ( Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan
subyek yang sesuai dengan Alternative Rule of Law Formulationsnya Brian Z.
Tamanaha.
105
BAB IV
KEABSAHAN DARI KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI
AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI
REPUBLIK INDONESIA NO 3 TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO.
KEP-03/A/JA/6/2008, MENTERI DALAM NEGERI NO. 199
TAHUN 2008 DI KAITKAN DENGAN PASAL 2 AYAT 1
UNDANG-UNDANG NO. 1 /PNPS/ TAHUN 1965 TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN
AGAMA
4.1 Kedudukan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-
03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Dalam
Perspektif Filsafat Hukum Pancasila
Pancasila merupakan falsafat negara indonesia yang secara yuridis tertuang
dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi:
”Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
106
suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatam Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia”.
Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada saat membahas dasar negara,
khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar
negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia.
Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup.
Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.95
Pancasila bagi bangsa Indonesia disebut sebagi norma fundamental Negara
(Staatsfundamentalnorm) Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm
pertama kali disampaikan oleh Notonagoro96
. Pancasila dilihat sebagai cita hukum
(rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan
95
Bahar, Saafroedin, dkk),1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22
Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta , h. 63, 69, dan 81. Dalam Kusuma,
RM. A.B.,2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 117, 121, 128 – 129.
96
Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil Negara
Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat, Pantjuran Tudjuh , Jakarta.
(selanjutnya disebut Notonagoro I).
107
hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan
untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai
Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila97
.
Nilai-nilai dari Pancasila dijadikan suatu tolak ukur dari semua sistem dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Dimana Pancasila bersifat abstrak-umum –
universal, sedangkan sistem pelaksanaan dan penyelenggaraan negara bersifat umum-
kolektif.
Pancasila yang bersifat abstrak dapat dilihat melaului sila-sila Pancasila, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, (yang memiliki inti Ketuhanan dengan bentuk
dasar Tuhan.
2. Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab (yang memiliki inti Kemanusiaan
dengan bentuk dasar Manusia)
3. Persatuan Indonesia (yang memiliki inti Persatuan dengan bentuk dasar Satu)
4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan / Perwakilan (yang memiliki inti Kerakyatan dengan bentuk
dasar Rakyat
5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (yang memiliki inti Keadilan
dengan bentuk dasar Adil)
97
Atamimi, A, Hamid S, , Loc.Cit, h. 309.
108
Jadi dengan bentuk dasar Tuhan, Manusia, Satu, Rakyat, Adil dalam sila-sila
Pancasila menunjukkan pengertianumum-universal, karena sifatnya yang abstrak-
umum dan universal menunjukkan dengan sendirinya memiliki sifat yang tetap dan
tidak berubah98
. Sedangkan sedangkan sistem pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara bersifat umum-kolektif, sebab umum-kolektif terbatas pada suatu kelompok
penjumlahan, dimana dalam pelaksanaannya mengandung unsur-unsur kesamaan,
namun juga mengandung perbedaan-perbedaan yang berada dalam penjumlahan.
Sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila merupakan suatu
sumber nilai bagi pelaksanaan negara secara nyata, yang artinya pelaksanaan dari
nilai-nilai pancasila tersebut dapat berbeda-beda dan berlainan namun tetap dalam
batas isi, arti dan pengertian Pancasila99
. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan
daripada Pancasila memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem hukum di
Indonesia yang mana digunakan sebagai acuan atau dijadikan sebagai sumber dari
segala sumber hukum dari aturan-aturan hukum yang diterapkan dalam masyarakat..
Hal tersebut dapat dilihat bahwa Pancasila secara yuridis sebagai filsafat hukum
Indonesia tertuang didalam Pembukaaan UUD 1945 alenia ke IV mempunyai isi arti
yang abstrak-umum-universal yang dijadikan sebagai pedoman praktis dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara Indonesia dalam bentuk UUD 1945,
Ketetapan MPR, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan
98 Kaelan,2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma, Yogyakarta,
h. 104 ( selanjutnya disebut Kaelan I),
99
Ibid h, 108
109
pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Propinsi, Peraturan Daerah
Kabupaten, hingga sebuah kebijakan yang berbentuk suatu Keputusan.
Dalam teori Hierarki yang diperkenalkan oleh Hans Kelsen dan selanjutnya
dikembangkan oleh muridnya yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiaky disebut dengan
theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut
adalah:100
1. Norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm);
2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-Undang formal (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung).
Berdasarkan teori Nawiaky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkannya
dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia.
Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan
teori Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah:101
1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).
2) Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan.
3) Formell gesetz: Undang-Undang.
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota
100
, Atamimi, A, Hamid S, Loc. Cit h. 287 101
Ibid.
110
Maka dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, maka
kedudukan filsafat hukum Pancasila sebagai pedoman yang bersifat abstrak-umum-
universal, yang memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam sistem hukum di
Indonesia yaitu sebagai Staatsfundamentalnorm, sedangkan Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah merupakan wujud pelaksanaan dan penyelenggaraan dari
Staatsfundamentalnorm yang melalui Formal gezet yaitu Undang-Undang No. 1
/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
yang memiliki sifat umum-kolektif sebagai Verordnung en Autonome Satzung.
4.2 Nilai-nilai Pancasila Di Dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008,
Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199
Tahun 2008
Nilai (value) diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dan bagi manusia nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari atau
tidak102
.
Nilai itu sendiri menurut Notonagoro dibagi menjadi tiga, yakni103
:
1. Nilai materiil yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani;
102 Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.233
103
Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta. h. 140-141 (selanjutnya
disebut kaelan II)
111
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan
kegiatan atau aktivitas;
3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rokhani manusia.
Nilai kerokhanian ini dibedakan atas 4 macam yaitu:
a. Nilai kebenaran, yang bersumber pada unsur akal manusia (Cipta);
b. Nilai kebaikan, yang bersumber pada unsur kehendak manusia (Karsa);
c. Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa manusia (Perasaan);
d. Nilai religious, yang merupakan nilai ketuhanan dan bersumber pada
kepercayaan.
Undang-Undang merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksana dari
seluruh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah104
. Kemudian “legal Policy” yang
dituangkan dalam Undang-Undang menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang
memusatkan kebijaksanaan yang hendak di capai pemerintah, untuk mengarahkan
nilai-nilai baru. Lev juga mengatakan, “where culture myths and values have
emphasized means of social political regulation and intercourse other than an
antonomous sphere of law, legal institution are consequently less likely to developed
the kind of independent power they have in a few European countries and the United
State105
( yang mana budaya mitos dan nilai-nilai telah menegaskan cara peraturan
sosial politik dan hubungan selain lingkup otonomi hukum, lembaga hukum secara
104 Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, edisi
ke III, Airlangga University Press, Surabaya, hal 12
105
Lev, Daniel, S, 1972, Judicial and Legal Culture in Indonesia , dalam Cultuur and Politic in
Indonesia, Cornell Univercity Press, Itaca, h.318
112
konsekuen cenderung mengembangkan jenis kekuatan mandiri yang mereka miliki
dalam beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat.). Namun dalam masyarakat
Indonesia lebih mengutamakan harmoni, keselarasan, kekeluargaan, di atas konflik.
Nilai-nilai tersebut tercantum dalam Pancasila dan Penjelasan UUD 1945, yang
mengatakan “UUD 1945 bersifat kekeluargaan, tetapi apabila penyelenggaraan
negara bersemangat perorangan individu atau kelompok, maka UUD 1945 tersebut
tidak ada gunannya106
. Secara implisit, pembuat UUD 1945 sesungguhnya menyadari
kultur hukum sebagai unsur sistem hukum., Melalui nilai-nilai yang ada di
masyarakat, yang kemudian diimlementasikan oleh pemerintah melalui sebuah
peraturan, dapat menjaga keadilan dan/ atau menciptakan keadilan dalam masyarakat.
Keadilan memang merupakan suatu yang bersifat luas dan abstrak, tetapi sebagai
tujuan dari setiap individu masyarakat dan setiap bangsa di dunia. Selama ribuan
tahun manusia mencari makna dan definisi dari keadilan, pada jaman dahulu, pada
budaya dan sejarah di Indonesia dalam kaitannya dengan harapan untuk mencapai
keadilan, setiap kali para Dalang mendalang dalam pergelaran wayang kulit, maka Ki
Dalang selalu melantunkan “Suluk” yang merujuk pada sebuah image Universal
Nusantara Indonesia, yaitu tentang Negara yang “tata tentrem kerta raharja, subur
kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku” (tertib atau tertata, tentram atau
damai, makmur, tumbuh subur segala yang ditanam, murah segala yang dibeli). Kata-
106 Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang baik, PT
Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. 48 (selanjutnya disebut Rahadjo, Satjipto I)
113
kata dalang tersebut mewakili “the cry for justice” seluruh masyarakat107
. Dimana
hal tersebut juga menjadi tujuan bangsa Indonesia dewasa ini yang berakar dari nilai-
nilai nusantara Indonesia jaman dahulu yang dimuatkan kedalam Pancasila yaitu sila
kelima Pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Di dalam Pancasila terkandung di dalamnya nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan. Ini merupakan nilai dasar bagi kehidupan
kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Nilai-nilai Pancasila tergolong nilai
kerokhanian yang di dalamnya terkandung nilai-nilai lainnya secara lengkap dan
harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran (kenyataan), nilai kebaikan
(etis), nilai keindahan (estetis) maupun religius. Hal ini dapat dilihat pada susunan
sila-sila Pancasila yang sistematis-hierarki, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang
maha Esa, sampai Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia.
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila sebagi berikut:
1. Sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
(1) Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketaqwaannya terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
107 Ibid. h. 2
114
(3) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk
agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
(4) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
(5) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah
yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
(6) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
(7) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa kepada orang lain.
2. Sila kedua: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan,
jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
115
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
(10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa
lain.
3. Sila ketiga: Persatuan Indonesia
(1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi
dan golongan.
(2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila
diperlukan.
(3) Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
(4) Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
(5) Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
(6) Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
(7) Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan / Perwakilan
(1) Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia
mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
(2) Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
116
(3) Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
(4) Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
(5) Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai
hasil musyawarah.
(6) Dengan i‟tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan
hasil keputusan musyawarah.
(7) Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
(8) Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
(9) Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan
kesatuan demi kepentingan bersama.
(10) Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan pemusyawaratan.
5. Sila Kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
(1) Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan
suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
(2) Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
(3) Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
117
(4) Menghormati hak orang lain.
(5) Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
(6) Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan
terhadap orang lain.
(7) Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan
gaya hidup mewah.
(8) Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan
kepentingan umum.
(9) Suka bekerja keras.
(10) Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
(11) Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata
dan berkeadilan sosial.
4.2.1 Nilai Pancasila, Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-
03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki inti kata Tuhan, sehingga secara
morfologis mengandung makna abstrak atau suatu hal yaitu kesesuaian dengan
hakikat nilai-nilai yang berasal dari Tuhan, dan realisasinya adalah berupa nilai-nilai
agama. Sehingga konsekuensinya dalam pelaksanaan hukum positif di Indonesia
harus diukur dan sesuai dengan aturan yang berasal dari tuhan yang memegang budi
118
pekerti kemanusiaan yang luhur, yang dalam hal ini memberikan penjabaran yang
lebih lanjut dalam suatu Peraturan Perundang-undangan yang mengatur manusia
harus sesuai dengan nilai-nilai agama.
Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa dalam
keputusan ini berisikan tentang adanya suatu kepercayaan dan ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, hal tersebut dilihat bahwa pemerintah dalam hal ini Menteri
Agama, Menteri Dalam Negeri serta Jaksa Agung didalam Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah tidak melarang penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk melakukan ibadah keyakinanan mereka.
Serta didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak ada pemaksaan bahwa
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),
harus melaksanakan ajaran agama tertentu di Indonesia. Mengenai pengaturan
tentang masalah agama dalam UUD 1945 dapat dilihat Pasal 28 E dan Pasal 29
sebagai pelaksana dan penyelenggaraan dari nilai Pancasila sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk memilih agama dan
melaksanakan ajaran agamannya, serta disisi lain juga secara tegas menyatakan
kewajiban Negara menjamin setiap orang untuk memilih agamanya dan menyakini
agama serta kepercayaan yang dianut olehnya tanpa ada yang mengganggu. Maka
disini negara melalui Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menjamin warga
masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) untuk memeluk dan melakukan ibadahnya masing-masing tanpa ada
yang mengganggu.
119
Didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah senantiasa juga menjaga
kerukunan hidup antara sesama umat beragama, serta adanya sikap untuk mengajak
hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dilihat
pada point pertama Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu Memberi
peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang
suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama itu. Serta dalam point Kedua yakni: Memberi peringatan dan
memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-
pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi
dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Dan dalam pioint ke Empat
yaitu: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk
menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan
ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau
tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Bagi penulis Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak mengatur tentang
keyakinan seseorang, hanya mengatur tentang perbutan seeorang yang dianggap
120
melanggar aturan hukum dengan diberikan sebuah sanksi, dimana hal tersebut dilihat
pada point Ketiga: Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana
dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan
hukumnya. Kemudian point Kelima yakni: Warga masyarakat yang tidak
mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum
KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Hal senada juga seperti yang terdapat di dalam ICCPR (International Convenant
on Civil and Political Rights atau disebut dengan Konvenan Internasional Hak-Hak
Sipil dan Politik pun mengatur tentang agama, atau kebebasan beragama atau
berkeyakinan didalam pasal 18 yaitu:
1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion.
This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his
choice, and freedom, either individually or in community with others and in
public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance,
practice and teaching. (Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan
agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau
121
tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran)
2. No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have
or to adopt a religion or belief of his choice. (Tidak seorang pun dapat
dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan
agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.)
3. Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such
limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public
safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of
others. (Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan
seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang
diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral
masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.)
4. The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the
liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the
religious and moral education of their children in conformity with their own
convictions.( Negara Pihak dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati
kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk
memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka
sesuai dengan keyakinan mereka sendiri)108
.
108 Ketentuan dalam International Convenant on Civil and Political Right article 18
122
Kemudian inti normatif dari hak asasi manusia atas kebebasan beragama atau
berkeyakinan dapat disingkat menjadi 8 element yakni109
:
1. Kebebasan Internal: setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
berkesadaran dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk setiap orang
memiliki, menganut, mempertahankan atau pindah agama atau keyakinan.
2. Kebebasan eksternal: setiap orang mempunyai kebebasan, baik sendiri atau
bersama-sama dengan orang lain, di depan umum atau tertutup untuk
menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran,
pengamalan, ibadah dan penataan.
3. Tanpa dipaksa: tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu
kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau keyakinannya
sesuai dengan pilihannya.
4. Tanpa diskriminasi: Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin
hak kebebasan beragama atau berkeyakinan bagi semua orang yang berada
dalam wilayahnya dan yang tunduk pada wilayah hukum atau yuridiksinya,
hak kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa perbedaan apapun seperti
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau keyakinan, politik atau
pendapat lain, kebangsaan atau asal usul lainnya, kekayaan, kelahiran atau
status lainnya.
109 Anonym, 2010, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?,Kanisius,
Yogyakarta, hal 20
123
5. Hak orang tua atau wali: Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan
orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan
mereka sendiri, selaras dengan kewajiban untuk melindungi hak atas
kebebasan beragama atau berkeyakinan setiap anak seiring dengan kapasitas
anak yang sedang berkembang.
6. Kebebasan korporat atau kedudukan hukum: komunitas keagamaan sendiri
mempunyai kebebasan beragama atau berkeyakinan, termasuk hak otonomi
dalam urusan mereka sendiri. Walaupun komunitas keagamaan mungkin tidak
ingin menggunakan kedudukan hukum formilnya, sekarang sudah lazim
diakui bahwa mereka mempunyai hakuntuk memperoleh kedudukan hukum
sebagai bagian dari ha katas kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan
khususnya sebagai salah satu aspek dari kebebasan memanifestasikan
kepercayaan agama bukan hanya secara individual tetapi bersama-sama
dengan orang lain.
7. Pembatasan yang diperbolehkan terhadap kebebasan eksternal: kebebasan
memanifestasikan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh
ketentuen berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi
keamanan public, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar
orang lain.
8. Tidak dapat dikurangi: Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan
beragama atau berkeyakinan, bahkan dalam keadaan darurat publik.
124
Maka dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa nilai dari Pancasila, sila
pertama yaitu Ketuhanan yang Maha Esa terdapat didalam Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah.
4.2.2 Nilai Pancasila, Sila Kedua Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab di
dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No.
KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008
Sila kedua Pancasila yaitu sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab mengakui
bahwa manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan Yang maha Esa. Dimana inti kata
dari sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab adalah manusia.
Unsur-unsur hakikat manusia adalah110
:
1. Susunan kodrat manusia yaitu:
a. Raga yang terdiri dari unsur benda mati, unsur binatang (animal), dan
unsur tumbuhan (vegetative)
b. Jiwa yang terdiri dari unsur akal, rasa dan kehendak
2. Sifat-sifat kodrat manusia yaitu:
a. Makhluk individu
b. Makhluk sosial
3. Kedudukan kodrat manusia yaitu
a. Makhluk berdiri sendiri
b. Makhluk tuhan
110 Notonagoro, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta. h.87-88
125
Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, bahwa dalam
keputusan ini berisikan tentang Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta adanya
pengakuan terhadap persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya. Dimana hal tersebut dapat
dilihat bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah hanya bersifat memperingati
dan memerintahkan yang berarti bahwa keputusan ini tidak langsung memberikan
suatu sanksi, namun berharap dengan memberikan peringatan dan perintah kepada
Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan warga masyarakat tidak melakukan perbuatan yang melanggar Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang Penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga
masyarakat untuk hidup, bekerja, dan menjalankan kehidupan manusia bagai mana
kodratnya. Dan di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, disini negara
menjamin dan menjaga kehidupan Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), hal tersebut dapat dilihat pada point Keempat,
dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Memberi peringatan dan memerintahkan
kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama
serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan
perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
126
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”. Dan apabila wraga
masyarakat melanggar daripada point Keempat, maka negara wajib memberikan
sanksi, sesuai dengan point Kelima, dimana di dalam Point Keempat berbunyi
“Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana
dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Maka didalam Point Kelima
ini mengandung keinginan untuk menciptakan keadaan sikap saling mencintai sesama
manusia, dan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-
mena terhadap orang lain walau memiliki keyakinan yang berbeda. Serta memberikan
sanksi kepada siapapun yang menentang sikap tersebut.
4.2.3 Nilai Pancasila, Sila Ketiga Persatuan Indonesia di dalam Keputusan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-
03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008
Sila ketiga Pancasila yaitu sila Persatuan Indonesia menghendaki keadaan
Indonesia harus sesuai dengan hakikat satu yaitu mutlak tidak dibagi. Dimana inti
kata dari sila Persatuan Indonesia adalah satu.
Walaupun Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, yang memiliki
kebudayaan serta adat-istiadat yang beraneka ragam. Namun keseluruhannya
merupakan satu kesatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia seperti tertuang dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika.
127
Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah, bahwa dalam keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memiliki tujuan
persatuan dan keselamatan bangsa sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan, hal tersebut dilihat, bahwa Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah ini, tidak mengikuti keinginan kelompok agama tertentu, untuk
membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau melarang Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) melakukan ibadah di Indonesia, namum di dalam Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah ini di keluarkan tujuannya untuk menjaga dan memupuk
ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat serta
mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia serta.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak menyatakan suatu permusuhan
terhadap agama atau aliran tertentu, serta tidak melarang atau menyinggung aliran
Ahmadiyah di seluruh dunia, maka dapat dikatakan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah juga ikut menjaga dan memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
4.2.4 Nilai Pancasila, Sila Keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan di dalam
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-
03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008
Sila keempat Pancasila yaitu sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menghendaki keadaan Indonesia
128
harus sesuai dengan hakikat rakyat yang artinya suatu negara hakekatnya adalah
lembaga masyarakat, yang terdiri dari manusia-manusia yang bersatu.
Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah, bahwa Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga masyarakat yang lain,
dimana hal tersebut dapat dilihat pada point kesatu, kedua dan keempat dimana
Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan warga masyarakat sama-sama diberikan peringatan dan perintah untuk tidak
melakukan kegiatan penafsiran suatu agama tertentu di Indonesia, yang mengarah
pada penistaan dan penodaan terhadap agama yang diakui di Indonesia, serta
memberi peringatan dan perintah kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk menjaga
dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban
kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan
melawan hukum.
Kemudian dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak membedakan
antara Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) dengan warga masyarakat lainnya dalam memberikan sanksi apabila terjadi
perbuatan yang melanggar hukum.
Dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak terdapat suatu pemaksaan
kehendak kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
129
Indonesia (JAI) atau warga masyarakat untuk menjalani salah satu agama yang dianut
di Indonesia. Serta Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah ini juga memperhatikan
hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 12 Mei 2005, hasil Rapat Tim
Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 15 Januari 2008, hasil Rapat Tim Koordinasi
PAKEM Pusat tanggal 16 April 2008 sebagai simbul dari musyawarah bersama untuk
mencapai mufakat dengan semangat kekeluargaan untuk kepentingan umum.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah juga merupakan keputusan yang
diambil oleh menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri dalam Negeri
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
4.2.5 Nilai Pancasila, Sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
di dalam Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung Dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No.
KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008
Dalam sila kelima Pancasila yang berbunyi” Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, yang mengandung cita-cita kemanusiaan yang memenuhi hakekat
adil. Berarti harus dipenuhinya segala sesuatu yang merupakan hak dalam hubungan
hidup kemanusiaan sebagai suatu yang wajib, hal tersebut merupakan isi dari arti sila
Keadilan Sosial yang terdalam yang bersifat abstrak, umum universal, tetap dan tidak
berubah. Inti dari Keadilan Sosial kemudian diperinci lebih lanjut dalam
pelaksanaanya yaitu dalam lingkungan Keadilan Sosial masyarakat dan Negara.
130
Dalam kehidupan bersama itu harus terdapat suatu keadilan sosial. Karena hanya
demikian kepentingan dan kebutuhan hidup setiap warga Negara secara individu,
bangsa dan Negara dapat saling terpenuhi. Karena pada hakekatnya Keadilan Sosial
adalah merupakan bawaan kodrat manusia yang memiliki kepentingan dan kehidupan
yang mutlak, yang tertanam didalam hati sanubari manusia dan sebenarnya hal ini
yang menjadi pangkal dasar dari keadilan sosial. Sehingga keadilan sosial tersebut
selain sebagai sifat bawaan Negara juga merupakan sifat bawaan kodrat manusia
sebagai mahkluk sosial dan sebagai mahluk individu yang merupakan sifat kodrat
manusia dan Negara yang monodualisme (dwitunggal)111
.
Dalam kaitannya dengan Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah, adanya sikap adil, yaitu dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
tidak memihak salah satu pihak yaitu Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga masyarakat atau kelompok tertentu
yang memnginginkan Ahmadiyah untuk dibubarkan di Indonesia, serta dalam
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan sanksi kepada siapapun yang
melakukan perbuatan melawan hukum, yang mana hal tersebut dapat dilihat pada
point ketiga dan kelima dari Keputusan bersama tentang Ahmadiyah.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan pengembangkan sikap adil
terhadap sesame, Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban. Menghormati
hak orang lain. Yang mana Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah memberikan hak
kepada seluruh Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
111 Kaelan,Op.Cit.., hal 233
131
Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk melakukan ibadahnya masing-masing
dan melakukan kewajiban untuk tidak melakuakan perbuatan melanggar hukum atau
suatu perbuatan yang dapat menimbulkan suatu ketidaktertiban dan kenyamanan
dalam masyarakat. Kemudian dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
mengharapkan di dalam masyarakat untuk adanya sikap Suka menghargai hasil karya
orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama dan
melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.
Maka dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Didalam Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah terdapat nilai-nilai dalam sila Pancasila, yaitu nilai
Ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
4.3 Kedudukan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung
No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 Tahun 2008
Didalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Pasal 7 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
yang terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
132
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bentuk Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Pasal 7 Undang-
Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang tidak
disebutkan tentang Keputusan Bersama dalam hierarki Peraturan Perundang-
undangan di atas.
Dilihat berdasarkan teori hierarki yang diutarakan oleh Nawiaky, A. Hamid S.
Attamimi membandingkannya dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur
tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum
Indonesia dengan menggunakan pendapatnya Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut,
struktur tata hukum Indonesia adalah:112
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD RI tahun 1945).
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD RI tahun 1945, Tap MPR, dan
Konvensi Ketatanegaraan.
3. Formell gesetz: Undang-Undang.
4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
112
, Atamimim, A, Hamid S, Loc Cit.
133
Jadi berdasarkan pandangan A, Hamid S, Atamimi, kedudukan dari Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah berada pada Verordnung en Autonome Satzung yang
secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau
Walikota, berarti terdapat keputusan menteri diatas keputusan Bupati atau Walikota .
Jika dilihat lagi kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah berdasarkan
Pasal 97 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Undang-Undang menyatakan “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam
Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan
dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua
Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua
Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan
Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan
Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan
DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota,
Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat.
Kemudian dalam Pasal 100 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Undang-Undang yang berbunyi ”Semua Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau
keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya
mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai
sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”.
134
Dimana dalam Pasal 97 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Undang-Undang menyatakan “Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang
diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik
penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD,
Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi,
Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan,
Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan,
Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat,
Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan
DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau
yang setingkat.
Berdasarkan pernyataan pasal 100 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Undang-Undang, maka Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah merupakan keputusan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum (Regeling) yang termasuk ke dalam
Peraturan Perundang-Undangan (Algemeen Verbindende Voorscriften), sehingga
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah selanjutnya dimaknai sebagai peraturan.
Dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Undang-Undang sangat jelas menyatakan “Jenis Peraturan Perundang-
undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
135
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat. Serta penjelasan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang mengatakan “Yang dimaksud
dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri
berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam
pemerintahan.
Dalam Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Undang-Undang menyatakan “Peraturan Perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Berdasarkan kewenangan seperti
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 2 mengatakan “Berdasarkan Kewenangan
adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan”.
Keberadaan dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah diakui keberadaannya
dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangnya yaitu
Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
136
dan/atau Penodaan, sesuai dengan Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang No 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang.
4.6 Keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No.
KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Didalam
Undang-Undang No. 1/PNPS/ Tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Dalam melihat suatu keabsahan dari suatu tindakan hukum pemerintah/Tata
Usaha Negara dapat dilihat dari aspek Kewenangannya, aspek Prosedurnya, dan
aspek substansinya113
. Dalam kaitannya dengan tulisan ini penulis akan menguji
keabsahan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-
03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Didalam Undang-
Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama berdasarkan tiga aspek diatas.
4.6.1 Aspek Kewenangan
Aspek kewenangan dari suatu Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan
tindakan pemerintahan harus bertumpu kepada kewenangan yang sah. Dalam hal ini
Kewenangan Atribusi, Kewenangan Delegasi, dan Mandat114
. Yang mana tiap
113 Hadjon, Philipus M, 1994, Fungsi Normatif Hukum dalam Mewujudkan Pemerintahan yang
Bersih. Makalah Disampaikan Pada Pengukuhan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas
Hukum Universitas Airlangga. Surabaya 10 Oktober
114
Ibid
137
kewenangan dibatasi oleh isi (materi), wilayah, dan waktu. Yang mana cacat didalam
aspek isi (materi), wilayah, dan waktu menimbulkan cacat kewenangan
(onbevoegdheid)115
.
Berkaitan dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah jenis
kewenangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri, maka
kewenangannya adalah kewenangan Atribusi yang merupakan toekenning van en
bestuursbevoegheiddoor een wetgever aan een bestuursorgaan, yang artinya bahwa
atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-Undang
kepada organ pemerintahan116
. Yaitu dalam bentuk Undang-Undang No. 1 /PNPS/
tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dalam
Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi ”Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam
Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di
dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri”.
Selain itu di dalam kewenangan Atribusi terdapat tiga (3) karakteristik dari
atribusi, yaitu :
1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-
undangan.
2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh Konstitusi, Undang-Undang atau
Peraturan Daerah kepada suatu organ.
115 Ibid h. 9
116
HR, Ridwan, Op Cit, h. 104-105
138
3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan bersangkutan.
Maka kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, merupakan kewenangan
Atribusi dapat dilihat dari ketiga point karakteristik diatas yaitu
1. Adanya penciptaan kewenangan (baru) untuk membuat Peraturan Perundang-
undangan. yakni Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
menerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-
03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang
Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat..
2. Kewenangan tersebut dapat diberikan oleh konstitusi, undang-undang atau
Peraturan Daerah kepada suatu organ. Yaitu dilihat dari Pasal 17 UUD 1945
memberikan kewenangan kepada para menteri negara selaku pembantu
Presiden untuk membentuk suatu peraturan atau keputusan menteri,
kemudian Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
memberikan kewenangan kepada jaksa agung untuk ikut serta dalam
menerbitkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dimana kewenangan
tersebut untuk pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara, serta melakukan pencegahan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama di bidang ketertiban dan ketentraman umum serta
139
bersifat membantu, turut serta, dan bekerjasama, serta koordinasi dengan
instansi terkait. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang
berbunyi Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi
perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam
suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri.
3. Organ negara yang menerima kewenangan itu bertanggung jawab atas
pelaksanaan kewenangan bersangkutan. Yakni Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri bertanggung jawab atas diterbitkannya
serta dalam pelaksanaan dari Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa
Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008,
Jaksa Agung No. KEep-03/A/JA/6/2008, Menteri dalam Negeri No. 199
tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota,
dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat.
Dilihat dari segi materi dari Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, dapat
dilihat berdasarkan aspek sejarah sejarahnya yaitu mulai dari pembentukan
Konsiderans Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1965 No. 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2726)
dinyatakan bahwa pembentukan Penpres a quo dilakukan dalam rangka pengamanan
140
negara dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional
semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, untuk mencegah penyalahgunaan
atau penodaan agama, serta untuk pengamanan revolusi. Penetapan Presiden adalah
salah satu jenis (bentuk) Peraturan Perundang-undangan yang terbentuknya dilandasi
oleh Surat Presiden Republik Indonesia No. 2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan-
Peraturan Negara, bertanggal 20 Agustus 1959, yang dikirimkan oleh Presiden
Soekarno kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam surat Presiden tersebut
selain dinyatakan tiga peraturan negara yang secara tegas tertulis dalam Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah, juga menetapkan adanya beberapa
peraturan negara lainnya, antara lain sebagai berikut: “Disamping itu Pemerintah
memandang perlu mengadakan beberapa Peraturan Negara lainnya, yakni117
:
“Penetapan Presiden, untuk melaksanakan Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Perang tanggal 5 Juli 1959 tentang “Kembali kepada Undang- Undang
Dasar 1945”.
Dengan diterimanya surat Presiden tersebut dibentuklah sejumlah 129 (seratus
dua puluh sembilan) Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang berlangsung
dari tahun 1959 sampai tahun 1966. Oleh karena Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden yang dibentuk selama kurun waktu tersebut secara substansi banyak yang
117
Mahkamah Konstitusi, 2010, Risalah Sidang Perkara Nomor 140/Puu-Vii/2009 Perihal
Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan
Agama Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah
konstitusi, Jakarta, h.313
141
tidak tepat maka Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara kemudian
memerintahkan untuk dilakukan peninjauan dengan landasan Ketetapan MPRS No.
XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali.
Produk-produk Legislatif Negara di luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan
UUD 1945 dan Ketetapan MPRS No. XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan
Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966. Berdasarkan kedua Ketetapan MPRS
tersebut dibentuklah Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1969 No. 36, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 2900).
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan
Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang yang
dalam Pasal 1 menyatakan “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini,
menyatakan Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden
sebagaimana termaksud dalam Lampiran I Undang-undang ini, sebagai Undang-
Undang.
Dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang tersebut
dirumuskan sebagai berikut: “Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini,
menyatakan Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden
sebagaimana termaksud dalam Lampiran IIA dan IIB Undang-Undang ini, sebagai
Undang-Undang dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan
142
Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi
penyusunan Undang-Undang yang baru”. Penjelasan Pasal 2 a quo menyatakan
sebagai berikut: “Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIA dinyatakan sebagai Undang-Undang
dengan ketentuan bahwa materi Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-
peraturan Presiden tersebut ditampung dan dituangkan dalam Undang-Undang baru
sebagai penyempurnaan, perubahan atau penambahan dari materi yang diatur dalam
Undang-Undang terdahulu”.
Maka atas dasar dikeluarkannya Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-
Undang, Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 /PNPS tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menjadi sebuah Undang-
Undang, yaitu Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyatakan “Setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-
kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari
pokok-pokok ajaran agama itu. Berarti pada Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/
tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ditujukan
143
bagi siapa pun baik itu perseorangan maupun sebuah organisasi berbadan hukum,
untuk tidak dengan sengaja melakukan kegiatan yang menyimpang baik itu
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum dari ajaran agama
yang dianut di Indonesia, yaitu Agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, dan Kong Hu Chu.
Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama menyebutkan “Barang siapa
melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras
untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri
Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Terdapat beberapa unsur dari ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1
/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
yaitu:
1. Ditunjukkan kepada seseorang secara individu (disebutkan identitas yang
jelas);
2. Adanya pelanggaran terhadap Pasal 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun
1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama;
3. Tujuannya memberikan perintah dan peringatan keras uintuk menghentikan
perbuatan;
4. Adanya pelimpahan kewenangan dari Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1
/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
144
Agama kepada Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri
untuk membuat suatu keputusan bersama.
Dari unsur diatas maka Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama berbentuk Tindakan
Hukum Publik Tata Usaha Negara berbentuk Beschikking, yaitu Individual dan
kongkret. Hal ini dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi yang dibaca oleh Hakim
Anggota Ahmad Fadlil Sumadi dalam Risalah Sidang Perkara No.140/PPU-VII/2009
Perihal Pengujian Undang-Undang No 1 /PNPS/ tahun 1965 Tentang
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945, dalam point (3.59) menyatakan118
”
118
Ibid, h.80-81, Menimbang bahwa terhadap dalil para Pemohon tentang Surat Keputusan
Bersama (SKB), Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Pencegahan Penodaan Agama yang memerintahkan dikeluarkannya SKB adalah benar karena dibuat
atas perintah Undang-Undang Pencegahan Penodaan Agama. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat
bahwa keberadaan surat keputusan bersama yang dikeluarkan bersama-sama antara Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri merupakan bukti dari kehati-hatian dalam pelaksanaan
kewenangan negara untuk melakukan tindakan hukum terhadap orang/kelompok yang dianggap
menyimpang. Mahkamah berpendapat, menurut Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki perundang-undangan adalah,
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Akan tetapi, Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan menentukan, “Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi”. Menurut Mahkamah, surat
keputusan bersama (SKB) sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Pencegahan Penodaan
Agama, bukanlah peraturan perundang-undangan (regeling) melainkan sebuah penetapan konkrit
(beschikking). Tetapi terlepas dari soal apakah SKB tersebut berupa regeling atau beschikking,
substansi perintah UU Pencegahan Penodaan Agama tentang hal tersebut tidak melanggar konstitusi”.
145
Dengan adanya Pasal 2 ayat 1 dari Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama memberikan
kewenangan Atribusi kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri dalam menerbitan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, namun
kewenangan tersebut haruslah mengatur Ditunjukkan kepada seseorang secara
individu (disebutkan identitas yang jelas); yang tujuannya memberikan perintah dan
peringatan keras uintuk menghentikan perbuatan dalam bentuk keputusan bersama
dalam bentuk Ketetapan (Beschikking), namun Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah berbentuk Peraturan Perundang-Undangan (Regeling, kemudian
seharusnya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak mengatur tentang suatu
organisasi badan hukum yaitu Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena hal tersebut
adalah kewenangan Peresiden seperti termuat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang
No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama menyatakan “Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat 1 dilakukan oleh
Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat
membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai
Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan
dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Dari penjelasan diatas mengenai Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dapat dilihat
kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, berdasarkan Teori Hierarki
diperkenalkan oleh Hans Kelsen yang merupakan merupakan sistem anak tangga
146
dengan kaidah berjenjang, yaitu norma hukum yang paling rendah harus berpegangan
pada norma hukum yang lebih tinggi, jadi Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
yang norma hukumnya lebih rendah harus berpegangan pada Undang-Undang No. 1
/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
yang norma hukumnya lebih tinggi. Karena Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
sebagai Verordnung en Autonome Satzung bersumber pada Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama sebagai Formell gesetz.
Maka berdasarkan penjelasan diatas berdasarkan segi materi dari aspek
kewenangan terjadi suatu cacat yang mengakibatkan pertentangan norma antara
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah sebagai Verordnung en Autonome Satzung
bersumber pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama sebagai Formell gesetz
dalam mengeluarkan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Yaitu dilihat
berdasarkan kedudukan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam Pasal 2 ayat
1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah itu harusnya
berbentuk tindakan hukum publik Tata Usaha Negara yang berbentuk Beschikking
yaitu individu dan konkrit dengan bentuk sebuah Keputusan Bersama. Namun pada
norma hukum Administrasi Negara/ Tata Usaha Negara berdasarkan penjelasan pada
Bab III diatas penulis mendapatkan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
tidak merupakan berbentuk Beschikking karena Keputusan Bersama tentang
147
Ahmadiyah namun berbentu Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang bersifat
khusus, yaitu kekhususan karena subyeknya.
Kemudian jika ditinjau berdasarkan dari segi wilayah dari aspek kewenangan,
yaitu menunjukkan wilayah berlakunya diseluruh wilayah Indonesia, baik itu
berdasarkan Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
maupun Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah. Maka jika dilihat berdasarkan
wilayah dari segi kewenangannya tidak menimbulkan cacat segi wilayahnya.
Kemudian jika ditinjau berdasarkan segi waktu dari aspek kewenangannya,
dimana Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak menentukan batasan waktu kepada
oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam membuat
Keputusan Bersama, sedangkan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah setelah jauh diundangkannya Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965
tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, maka berdasarkan
waktu dari segi kewenangannya tidak menimbulkan cacat.
Maka dari penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah berdasarkan aspek kewenangannya menimbulkan cacat secara isi
(materi), sehingga dapat disebutkan sebagai cacat kewenangan (onbevoegdheid).
148
4.6.2 Aspek Prosedur
Melihat dari aspek prosedur maka harus bertumpu pada asas negara hukum yang
berkaitan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia atau hak-hak dasar manusia,
asas Demokratis yang berkaitan dengan keterbukaan dan asas instrumental yang
meliputi asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) dan asas efektivitas
(doeltreffenheid, hasil guna)119
.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas negara hukum
yang berkaitan dengan hak-hak dasar manusia, bahwa didalam Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah tidak melarang penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), untuk melakukan ibadah keyakinanan mereka.
Serta didalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak ada pemaksaan bahwa
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),
harus melaksanakan ajaran agama tertentu di Indonesia. Mengenai pengaturan
tentang masalah agama dalam UUD 1945 dapat dilihat Pasal 28 E dan Pasal 29
sebagai pelaksana dan penyelenggaraan dari nilai Pancasila sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang secara tegas menyatakan hak setiap orang untuk memilih agama dan
melaksanakan ajaran agamannya, serta disisi lain juga secara tegas menyatakan
kewajiban Negara menjamin setiap orang untuk memilih agamanya dan menyakini
agama serta kepercayaan yang dianut olehnya tanpa ada yang mengganggu. Maka
disini negara melalui Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah menjamin warga
masyarakat dan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
119 Hadjon, Philipus M. Op.Cit
149
Indonesia (JAI) untuk memeluk dan melakukan ibadahnya masing-masing tanpa ada
yang mengganggu.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiya berisikan tentang Mengakui dan
memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa serta adanya pengakuan terhadap persamaan derajad,
persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,
keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya. Dimana hal tersebut dapat dilihat bahwa Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah hanya bersifat memperingati dan memerintahkan yang berarti bahwa
keputusan ini tidak langsung memberikan suatu sanksi, namun berharap dengan
memberikan peringatan dan perintah kepada Penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat tidak melakukan
perbuatan yang melanggar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Kemudian
dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak melarang Penganut, anggota,
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau warga
masyarakat untuk hidup, bekerja, dan menjalankan kehidupan manusia bagai mana
kodratnya. Dan di dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, disini negara
menjamin dan menjaga kehidupan Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), hal tersebut dapat dilihat pada point Keempat,
dimana di dalam Point Keempat berbunyi “Memberi peringatan dan memerintahkan
kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama
serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan
150
perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”. Dan apabila wraga
masyarakat melanggar daripada point Keempat, maka negara wajib memberikan
sanksi, sesuai dengan point Kelima, dimana di dalam Point Keempat berbunyi
“Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana
dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Maka didalam Point Kelima
ini mengandung keinginan untuk menciptakan keadaan sikap saling mencintai sesama
manusia, dan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira, serta sikap tidak semena-
mena terhadap orang lain walau memiliki keyakinan yang berbeda. Serta memberikan
sanksi kepada siapapun yang menentang sikap tersebut. Maka dapat dikatakan bahwa
Keputusan bersama tentang Ahmadiyah sesuai dengan asas negara hukum,
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas Demokratis
yang berkaitan dengan keterbukaan bahwa sebelum dikeluarkannya Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah Pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui ser
angkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesai kan permasalahan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI), dimana dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah
menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008, namun
dikarenakan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM)
menyimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa butir yang telah dilaksanakan
namun masih terdapat beberapa butir yang belum dilaksanakan oleh penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sehingga
151
dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat maka
dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang bertujuan untuk
menjaga dan memupuk ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat.
Kemudian dalam mewujudkan asas keterbukaan penyelenggaraan pemerintahan,
Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan
Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran Bersama
Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda Intelijen, dan Direktur
Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri No. :
se/sj/1322/2008, Nomor : se/b-1065/d/dsp.4/08/2008, No. : se/119/921.d.iii/2008
Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 tahun 2008; nomor: kep-
033/a/ja/6/2008; No: 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada
Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan Warga Masyarakat.
Dalam Surat Edaran memberikan penjelasan terhadap point-point yang ada pada
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yaitu:
1. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut memberikan
penjelasan mengenai yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan atau
mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau
perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik
152
yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan rumah
ibadat dan bangunan lainnya.
2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran tersebut menjelaskan
tentang:
a. Peringatan dan perintah ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mengaku
beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengaku beragama
Islam tidaklah termasuk objek yang diberi peringatan atau perintah.
b. Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan penyebaran
penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan yang menyimpang.
Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah faham yang
mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan pengertian kegiatan yang menyimpang adalah kegiatan
melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran adanya Nabi setelah Nabi
Muhammad SAW.
Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian,
pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan,
dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronik
yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang
mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk dihentikan.
153
3. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah, Surat Edaran memberikan penjelasan
Sanksi yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah sanksi pidana
yang terkait dengan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 jo Pasal 3 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965
dan/atau Pasal 156a KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun
penjara. Disamping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi Jemaah
Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenakan sanksi berupa pembubaran
organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
4. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan
bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak melakukan
perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dengan tujuan untuk
melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam rangka memelihara kerukunan
umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat. Hal
tersebut dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hukum dengan tidak
melakukan tindakan anarkis seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan
perbuatan melawan hukum lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya.
5. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah Surat Edaran memberikan penjelasan
bahwa warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main hakim
154
sendiri, berbuat anarkis dan bertindak sewenang-wenang terhadap penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat
dikenai sanksi pidana sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan, antara lain
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal
156 tentang penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan
kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351
tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal
406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya.
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat berdasarkan asas instrumental
yang berdasarkan asas instrumental berdasarkan pada asas efisiensi (doelmatigheid,
daya guna) dan asas efektivitas (doeltreffenheid, hasil guna)
Asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) didalam Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri merupakan langkah yang cepat dalam meredam tindak kekerasan
yang disebabkan masyarakat kepada penganut Ahmadiyah, sehingga tidak perlu
melalui proses Dewan perwakilan Rakyat yang bertele-tele dan memerlukan dana
yang cukup besar.
Asas efektivitas (doeltreffenheid, hasil guna) didalam Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah yang dikeluarkan oleh Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri yaitu dapat dilihat bahwa disatu sisi negara menjaga
keberadaan Ahmadiyah dari ancaman-ancaman yang melawan hukum, dan disisi
yang lain warga masyarakat yang merasa perbuatan Jemaah Ahmadiyah yang
155
menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang
mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW,
diberikan peringatan dan pemerintah oleh pemerintah melalui Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya apabila menganggap dirinya
bagian dari Islam.
Sehingga harapan dari pemerintah tidak terjadi terciptannya keresahan dalam
kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat, serta pemerintah mengharapkan warga masyarakat dan Jemaah
Ahmadiyah bersama-sama wajib menjaga dan memelihara kerukunan umat
beragama untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat
demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional;
Maka menurut penulis dapat disimpulkan bahwa Menteri Agama, Jaksa Agung,
dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia dalam mengeluarkan Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah tidak bertentang dengan asan negara hukum dan asas
demokrasi, dan asas instrumental maka dari itu dapat dikatakan bahwa Keputusan
Bersama tentang Ahmadiyah tidak melanggar dari aspek prosedur.
4.6.3 Aspek Substansial
Di dalam aspek substansial yang menyangkut mengenai “apa dan untuk apa”,
terjkait dengan “apa” berkaitan dengan legalitas ekstern atau sewenang-wenang,
sedangkan “untuk apa” terkait dengan penyalahgunaan wewenang atau legalitas
intern.
156
Terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam
aspek substansial mengenai “apa”, bahwa tindakan Menteri Agama, jaksa Agung dan
Menteri Dalam Negeri telah melakukan tindakan sesuai dengan Undang-Undang No.
1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama, yaitu membuat seuatu Keputusan Bersama yang bertujuan memberi
peringatan dan perintah bagi orang yang melakukan penistaan suatu agama yang ada
di Indonesia.
Dalam point KEDUA Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah yang menyatakan
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota
pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam,
untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari
pokokpokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya
nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Maka adanya kata
sepanjang mengaku beragama Islam, mengindikasikan bahwa apabila penganut,
anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tidak
mengaku dirinya sebagai agama Islam. Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
Dalam Negeri dapat mengijinkan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk melakukan penyebaran keyakinannya dan
melakukan kegiatan sesuai dengan faham Ahmadiyah. Sehingga menurut penulis,
bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak terdapat tindakan sewenang-
wenang yang dilakukan Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri dalam Negeri.
157
Terkait dengan dikeluarkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah didalam
aspek substansial mengenai “untuk apa”, yaitu adanya penyalahguanaan kewenangan,
yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1
/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
yang menyatakan Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh
Organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat
membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai
Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan
dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Sedangkan isi yang terdapat dalam Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
dalam berisikan Jemaah Ahmahdiyah Indonesia (JAI) yang merupakan suatu
organisasi berbadan hukum (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) sebagai sebuah
Vereneging atau perkumpulan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.
J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953 dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik
Indonesia No. 26 tanggal 31 juni 1953120. Sehingga Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah melakukan penyalahgunaan kewenangan, dimana sebenarnya hal tersebut
merupakan kewenangan Presiden, namun dengan dikeluarkan Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah menjadi seolah-olah kewenangan Menteri Agama, Jaksa Agung,
Menteri Dalam Negeri, padahal jika menyangkut mengenai organisasi yang berbadan
hukum Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri hanya memberikan
pertimbangan bukan mengeluarkan sebuah keputusan bersama terkait dengan
120 Zulkarnain, Iskandar, Op.Cit
158
penodaan atau penyimpangan agama yang duilakukan organisasi atau aliran
kepercayaan. Sehingga menurut penulis, bahwa Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah merupakan terjadi kecacatan secara Substansial yang mengenai “untuk
apa” yaitu melakukan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir).
Keabsahan Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dilihat dari aspek
Kewenangannya, aspek Prosedurnya, dan aspek substansinya121
. Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah tidak memiliki keabsahan hukum karena dalam dengan aspek
kewenangan, cacat kewenangan (onbevoegdheid) dari segi isi (materi). Karena
menimbulkan norma konfik antara Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/
tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah dan aspek substansialnya berdasarkan
“untuk apa” karena adanya cacat substansial dalam hal “untuk apa“ merupakan
penyalagunaan wewenang (detournement de pouvoir), karena tidak sesuai dengan
tujuan dan maksud pemberian wewenang tersebut, yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama.
121 Hadjon, Philipus M, Loc. Cit
159
BAB V
UPAYA HUKUM TERKAIT DIKELUARKANNYA KEPUTUSAN
BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NO 3
TAHUN 2008, JAKSA AGUNG NO. KEP-03/A/JA/6/2008,
MENTERI DALAM NEGERI NO. 199 TAHUN 2008 SEBAGAI
TINDAKAN HUKUM TATA USAHA NEGARA
5.1 Lembaga Peradilan Negara Yang Berwenang Melakukan Pemyelesaian
Sengketa Terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 Tahun 2008, Jaksa Agung
No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008
Seperti apa yang dijelaskan diatas pada Bab III bahwa bentuk Keputusan tertulis
dari Keputusan Bersana tentang Ahmadiyah sebagai Peraturan Perundang-undangan
(Regeling) yang bersifat khusus karena kekhususan subyek. Maka yang lembaga
peradilan negara yang berwenang melakukan penyelesaian sengketa terhadap
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah adalah Mahkamah Agung (MA).
Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan Pasal 24 A ayat 1 UUD 1945 yang
menyatakan “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang”,
160
Di dalam Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada
di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain;;
b. menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang; dan
c. kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang
Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Jo
Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dalam Pasal 31 ayat 1 menyatakan”
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang”.
Selain itu kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji Peraturan Perundang-
Undangan dibawah Undang-Undang diatur juga melalui Peraturan Mahkamah Agung
/ PERMA No. 1 tahun 1993 sebagaimana telah diubah dengan PERMA No. 1 tahun
l999, dan kemudian PERMA No. 1 tahun 2004 juga telah diubah dengan PERMA
No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, dimana di dalam Pasal 1 PERMA No. 1
Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil ini menyatakan bahwa Hak Uji Materiil adalah
Hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan Peraturan Perundang-undangan
161
dibawah Undang-Undang terhadap Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih
tinggi.
Judicial Review (Hak Uji Materill) merupakan kewenangan lembaga peradilan
unuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh
lembaga eksekutif legislatif, maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku.
Menurut Prof Satjipto Rahardjo, Judicial Review adalah kekuasaan pengadilan untuk
menentukan apakah suatu produk Peraturan Perundang-undangan itu sah atau
tidak122
. Sedangkan menurut Sri Soemantri hak uji materiil adalah suatu wewenang
untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu Peraturan Perundang-
undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi
derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenement) berhak
mengeluarkan suatu peraturan tertentu123
. Di samping itu, Muhammad Ridwan Indra
memberikan suatu pengertian tentang hak menguji (judicial review) adalah hak untuk
menguji apakah suatu Peraturan Perundang-undangan itu bertentangan yang tingkatan
lebih tinggi124
Pengujian judicial bersifat formil (formele toetsingsrecht) dan materiil (materiele
toetsingsrecht)125
. Hak menguji formil (formele toetsingsrecht) adalah wewenang
untuk menilai , apakah suatu produl legislatif seperti Undang-Undang, yang biasanya
terkait dengan soal-soal produceral dan berkenaan dengan legalitas kompentensi
122 Rahardjo, Satjipto,,2010, Penegakan Hukum Progresif, PT kompas Media Nusantara, Jakarta
h.186 ( selanjutnya disebut Rahardjo, Satjipto II)
123
Soemantri, Sri , 1997, Hak Uji material di Indonesia, Alumni, Bandung, h 6-15
124
Indra, Muhammad Ridwan, 1987, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak Menguji
Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, Jakarta, h. 135.
125
Sri Soemantri, Op Cit
162
institusi yang membuatnya. Sedangkan hak menguji materiil (materiele
toetsingsrecht), suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah
suatu Peraturan Perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi drajatnya atau menyangkut kekhususan-kekhususan yang
dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum, serta
apakah kekuasaan tertentu (verodenende macht) berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu.
5.2 Alasan Mengajukan Gugatan Terhadap Keputusan Bersama Menteri
Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3
Tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri
No. 199 Tahun 2008JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008
Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, alasan untuk mengajukan
gugatan uji materiil terdapat pada Pasal 31 A ayat 2 point b terdapat dua macam
yaitu:
1. Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian Peraturan Perundang-undangan
dianggap bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi; dan/atau
2. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku.
Dalam kaitannya dengan diterbitkannya Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah
yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi yaitu Undang-
163
Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama Jo. Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Yang dapat
menjadi sebuah alasan untuk melakukan uji materiil terhadap Keputusan Bersama
tentang Ahmadiyah yaitu:
1. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/ tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, memberikan
kewenangan kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam
Negeri untuk mengeluarkan sebuak keputusan terkait dengan penyalahgunaan
dan penyimpangan penafsiran terhadap agama-agama yang dianut di
Indonesia berupa sebuah tindakan hukum publik Tata Usaha Negara yang
berbentuk Beschikking yaitu individual dan konkret dengan bentuk
Keputusan Bersama. Namun keputusan yang dikeluarkan Oleh Menteri
Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri dalam mengeluarkan
Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah merupakan tindakan hukum tata
Usaha Negara yang berbetuk Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang
bersifat khusus karena kekhususan subyek, termasuk dalam Peraturan
Perundang-undangan. berdasarkan pasal 100 Undang-Undang No 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Undang-Undang, maka Keputusan
Bersama.
2. Kewenangan yang diberikan oleh Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Undang-
Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
164
dan/atau Penodaan Agama kepada Menteri Agama, Jaksa Agung, dan
Menteri Dalam Negeri dalam menerbitkan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah tersebut harusnya ditunjukkan (Adresstat) untuk pribadi atau
seseorang tertentu, bukan ditujukan kepada suatu Organisasi berbadan hukum
seperti Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mana Organisasi Jemaat
Ahmadiyah terdaftar di Departemen Kehakiman RI (sekarang Kementerian
Hukum dan HAM) sebagai sebuah vereneging atau perkumpulan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953
dan diumumkan dalam Berita Acara Negara Republik Indonesia No. 26 tanggal
31 juni 1953126. Karena yang memiliki kewenangan dalam hal berkaitan
dengan organisasi atau aliran kepercayaan adalah kewenangan Presiden
untuk langsung membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau
aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, dengan mendapatkan
pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri. Maka disini tugas dari Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri
dalam Negeri hanya memberikan pertimbangan bukan mengeluarkan sebuah
keputusan bersama terkait dengan penodaan atau penyimpangan agama yang
dilakukan organisasi atau aliran kepercayaan.
126 Iskandar Zulkarnain, Op Cit
165
5.3 Pihak Yang Berhak Mengajukan Gugatan Uji Materiil (Judicial Review)
terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008, Jaksa Agung No. Kep-
03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008JA/6/2008,
Menteri Dalam Negeri No. 199 Tahun 2008 Ke Mahkamah Agung (MA)
Di dalam 31 A ayat 2 Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985 menyebutkan bahwa Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang
menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya Peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang; atau
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Kemudian dalam Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
No. 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil menyebutkan bahwa pemohon keberatan
adalah sekelompok masyarakat atau perorangan yang mengajukan permohonan
keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu Peraturan Perundang-
undangan yang tingkatannya lebih rendah dari Undang-Undang. Namun didalam
Pasal 1 ayat 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2011
166
tentang Hak Uji Materiil tidak menyebutkan dengan jelas kriteria atau syarat-syarat
mengenai pemohon dari kelompok masyarakat tidak ditentukan lebih lanjut, apakah
harus berbadan hukum (seperti Legal Standing) atau tidak perlu berbadan hukum.
Dalam kaitannya dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah pihak yang
dapat mengajukan gugatan Uji materiil (Judicial Review) adalah warga masyarakat
atau warga negara Indonesia, penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), baik secara perseorangan ataupun melalui badan hukum
atau organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau Badan hukum publik atau
badan hukum privat lainnya.
Termohon dalam gugatan Uji Materiil ini diatur dalam Pasal 1 ayat 5 Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2004 tantang Hak Uji Materiil
yang menyebutkan Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan Keputusan
Bersama tentang Ahmadiayah, pihak termohon adalah Menteri Agama, Jaksa Agung,
Menteri Dalam Negeri sebagai badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan dengan Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah.
5.4 Prosedur Pengajuan Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) Ke
Mahkamah Agung (MA)
Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) terhadap Keputusan Bersama
tentang Ahmadiayah dapat diajukan dengan membuat permohonan tertulis yang
menyebutkan alasan-alasan bahwa Keputusan Bersama tentang Ahmadiayah
bertentangan Undang-Undang Nomor 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
167
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan sebagai dasar keberatan dan
ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya, serta membayar biaya permohonan pada
saat mendaftarkan permohonan keberatan besarnnya diatur tersendiri.
Permohonan Hak Uji Materiil (Judicial Review) dapat diajukan dengan dua cara
yaitu:
a. Diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA)
Dalam hal pernnohonan keberatan diajukan langsung ke MA, didaftarkan ke
kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan datam buku register tersendiri
dengan menggunakan kode/nomor "...... P/HUM/Th -----";
Panitera Mahkamah Agung setelah memeriksa kelengkapan berkas dan apabila
terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon keberatan atau
kuasanya yang sah;
Panitera Mahkamah Agung wajib menirimkan salinan permohonan tersebut
kepada pihak Termohon setelah terpenuhi kelengkapannya:
Termohon wajib mengirimkan/menyerahkan jawabannya kepada Panitera MA
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan
tersebut;
Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung
untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan
keberatan tersebut;
168
Penetapan majelis sebagai mana dimaksud di atas, dilaksanakan oleh Ketua
Muda Bidang Tata Usaha negara atas nama Ketua Mahkamah Agung .
b. Diajukan Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat
kedudukan pemohon
Bahwa dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri,
didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam buku
register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode :
.....,P/HUM/Th....../PN ......, setelah pemohon atau kuasannya yang sah
membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang
telah didaftarkan oleh pemohon atau kuasannya yang sah, dan apabila terdapat
kekurangan dapat meminta langsung kepadapemohon atau kuasannya yang sah.
Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada
Mahkamah Agung pada hari berikut setelah pendaftaran;
Penetapkan majelis senagaimana dimaksud diatas dilaksanakan oleh Ketua Muda
Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.
5.2 Putusan Gugatan Terhadap Permohonan Keberatan Pengajuan Uji Materiil
Dalam Putusan Gugatan Hak Uji Materiil (Judicial Review) di Mahkamah
Agung pada dasarnya terdapat dua kemungkinan yaitu:
1. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonanan keberatan
itu beralasan, karena Peraturan Perundang-undangan tersebut bertentangan
169
dengan Undang-Undang atau Peraturan Perundang-undangan tingkat lebih
tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan keberatan tersebut.
Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan Perundang-
undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau berlaku
untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera
pencabutannya
2. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonana keberatan itu
tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan
disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan Putusan Mahkamah
Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui
Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah
Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim
170
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Bentuk Tindakan Tata Usaha Negara dari Keputusan Bersama Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008,
Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun
2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau
anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat
merupakan tindakan hukun Publik Tata Usaha Negara bersegi satu, dengan
bentuk keputusan tertulis Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang
bersifat khusus karena kekhususan subyek.
2. Keputusan Bersama tentang Ahmadiyah tidak memiliki keabsahan hukum
karena dalam dengan aspek kewenangan, memiliki cacat kewenangan
(onbevoegdheid) dari segi isi (materi). Karena menimbulkan norma konfik antara
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 /PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dengan Keputusan Bersama tentang
Ahmadiyah dan aspek substansialnya berdasarkan “untuk apa” karena adanya
cacat substansial dalam hal “untuk apa“ merupakan penyalagunaan wewenang
(detournement de pouvoir), karena tidak sesuai dengan tujuan dan maksud
pemberian wewenang tersebut, yaitu Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1
171
/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan
Agama.
3. Upaya hukum yang dilakukan terkait dikeluarkannya Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
No. 3 tahun 2008, Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam
Negeri No. 199 tahun 2008 sebagai tindakan hukum Tata Usaha Negara dengan
bentuk keputusan tertulis Peraturan Perundang-undangan (Regeling) yang
bersifat khusus karena kekhususan subyek, yaitu melakukan Uji materiil
(Judicial Review) ke Mahkamah Agung.
6.2 Saran
1. Karena Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No. KEP-
03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang
Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat
merupakan sebuah bentuk Regeling atau Peraturan Perundang-undangan yang
bersifat khusus karena kekhususan subyeknya, maka nama Keputusan
harusnya diganti dengan nama Peraturan, sehingga menjadi Peraturan
Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri
Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada
172
penganut, anggota, dan/atau anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) dan Warga Masyarakat.
2. Dalam menentukan kebijakan agar lebih memperhatikan sisi hukum dan
keadilan dari seluruh rakyat dan seluruh komponen di Indonesia, serta
berdasarkan atas Undang-Undang Dasar tahun 1945 serta Pancasila dan
mengkaji lebih dalam mengenai keabsahan dari sebuah peraturan sebelum
diundangkan, serta tidak tergesa-gesa mengeluarkan kebijakan yang
dikarenakan tuntutan politik serta tuntutan dari pihak mana pun baik itu dari
mayoritas maupun minoritas, baik dari penguasa, organisasi yang
megatasnamakan golongan, agama, maupun suku tertentu di Indonesia.
3. Dalam sebuah perjalanan proses persidangan diharapkan hakim atau
Mahkamah Agung bersikap netral dan memutuskan suatu perkara berdasarkan
pembuktian di persidangan, sehingga tercipta suatu keadilan yang dirasakan
semua pihak dalam memutuskan perkara gugatan atau Judicial Reviev terkait
dikeluarkannya Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, Dan
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 3 tahun 2008 Jaksa Agung No.
KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun 2008 Tentang
Peringatan dan Perintah kepada penganut, anggota, dan/atau anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
173
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Anonym, 2010, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?,Kanisius,
Yogyakarta.
Asshiddiqie, Jimly,2006, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Jilid II, Sekretaris
Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
________________, 2010, Perihal Undang-Undang, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
________________, dan Safa‟at, M. Ali, 2006, Theory Hans Kelsen Tentang
Hukum,Cet I, Sekretariat Jendreral & Kepaniteraan Makamah Konstitusi RI,
Jakarta.
Atmadja, I Dewa Gede, 2010, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia
sesudah Perubahan UUD 1945,Setara Press, Malang.
Ballegooij, G. A. C. M. Van, et.al, 2008, Bestuursrecht in het Awb-Tijperk, zesde,
geheel herziene druk, Kluwer,Oegstgeet, Nederland.
Belinfante, A.D dan Batoeah, Boerhanoeddin Soetan, 1983, Pokok-Pokok Hukum
Tata Usaha Negara, Binacipta, Jakarta.
Brouwer, J.G. dan Schilder,1998, A Survey of Dutch Administrative Law, Ars
Aeguilibri, Nijmegen.
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
174
Fachruddin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan
Pemerintah, Alumni, Bandung.
Farida, Maria, 1998, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta.
Hadjon, Philipus M., dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet 11,
Gajah Mada University Press, Jogjakarta.
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20,
Alumni, Badung.
Hamzah, Andi, 2005, KUHP & KUHAP, Cet 12, PT Rineka Cipta, Jakarta.
HR, Ridwan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
Indra, Muhammad Ridwan, 1987, Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dan Hak
Menguji Menurut UUD 1945., Sinar Grafika, Cet. I, Jakarta.
Indroharto, 1994, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
Buku I, Pustaka Sinar Harapan.
Iskandar, Pranoto, 2012, Hukum Ham Internasional:Sebuah Pengantar Kontekstual,
IMR Prees, Cianjur.
Kaelan, 1987, Pancasila Yuridis Kenegaraan, Liberty, Yogyakarta.
_______, 2002, Filsafat Pancasila, Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Paradigma,
Yogyakarta.
Kelsen, Hans, 2009, General Theory of Law and State, Translated by Anders
Wedberg, Harvard University Printing Office Cambridge, Massachusetts, USA.
Kusuma, RM. A.B., 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
175
Latif, Abdul, 2005, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada
Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta.
Lev, Daniel, S, 1972, Judicial and Legal Culture in Indonesia , dalam Cultuur and
Politic in Indonesia, Cornell Univercity Press, Itaca.
Manan, Bagir, 1985, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
Tingkat Daerah , LPPM Unisba, Bandung.
___________dan Magnar, Kuntana, 1997, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara
Indonesia, Alumni, Bandung.
Marbun, SF, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Muchsan, 1981, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan
Peradilan Administrasi Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Notonagoro, ”Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamentil
Negara Indonesia)” dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan keempat,
Pantjuran Tudjuh, Jakarta.
__________, 1975, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh, Jakarta.
Nugraha, Safri, dkk. 2005, Hukum Administrasi Negara, Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok.
176
Pide, Andi Mustari , 1999, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara, Gaya Media
Pratama, Jakarta.
Rangkuti, Siti Sundari, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan
Nasional, edisi ke III, Airlangga University Press, Surabaya.
Rahardjo, Satjipto, 2009, Hukum dan Prilaku, hidup baik adalah dasar hukum yang
baik, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
_______________,2010, Penegakan Hukum Progresif, PT kompas Media Nusantara,
Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Mamuji, Sri, 2004, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Soemantri, Sri , 1997, Hak Uji material di Indonesia, Alumni, Bandung
Tamanaha, Brian Z, 2004, On The Rule Of Law, History, Politics, Theory, Cambridge
University Press, United.Kingdom.
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Denpasar.
Utrecht, E., 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan
Keempat, Universitas Padjajaran, Bandung.
Usfunan , Johanes, 2002, Perbuatan Pemerintah yang Dapat Digugat, Djambatan,
Jakarta
177
Voermans, Wim, 2004, Toedeling Van Bevoegdheid, Meijers Instituut, Leiden,
Nederland.
Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zulkanain, Iskandar, 2006, Gerakan Ahmadiyah Indonesia, LKis Pelangi Aksara,
Yogyakarta.
JURNAL / MAJALAH ILMIAH
Jafar, Wahyu, 2010, Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum:Sebuah
Catatan atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia, Jurnal
Konstitusi, Vol. 7, No 5, Jakarta.
Hadjon, Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No. 5 & 6 tahun XII,
September-Desember.
DISERTASI
Atamimi, A, Hamid S, , 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–
Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta.
Sutarman, 2007, Kerjasana Antar Daerah Dalam Pelayanan Perizinan Dan
Penegakan Hukum Penangkapan Ikan Di Wilayah Laut, Disertasi Airlangga.
178
PERTEMUAN ILMIAH
Asshiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Kontemporer, dalam orasi ilmiah pada
Wisuda Sarjana Fakultas HukumUniversitas Sriwijaya, Palembang
Hadjon, Philipus M, 1994, Fungsi Normatif Hukum dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Bersih. Makalah Disampaikan Pada Pengukuhan jabatan
Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Surabaya 10 Oktober .
Marzuki, Laica, 1996, Peraturan Kebijaksanaa (Beleidsregel) serta FungsinyaSelaku
sarana Hukum Pemerintahan, makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara
dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Ujung Pandang 26-31 agustus 1996.
MD Moh. Mahfud, 2011, Revitalisasi Pancasila Sebagai Cita Negara Hukum, Orasi
ilmiah didepan Rapat Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-65 Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 17 Februari 2011.
ARTIKEL ELEKTRONIK (INTERNET)
Anggono, Bayu Dwi, 2009, Keputusan Bersama Menteri dalam perundang-
Undangan Republik Indonesia,
:http://www.google.co.id/search?q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%2
8SKB%29+Menteri+Agama%2C+Jaksa+Agung%2C+Dan+Menteri+Dalam+Ne
geri+Republik+Indonesia+tentang+peringatan+dan+perintah+kepada+Jemaat+A
hmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undang-
Undang+Nomor+10+Tahun+2004&ie=utf-8&oe=utf-
179
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a#sclient=psy-
ab&hl=id&client=firefox-a&hs=VEV&rls=org.mozilla:en-
US%3Aofficial&source=hp&q=Kedudukan+Surat+Keputusan+Bersama+%28S
KB%29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+menurut+Undan
g-
Undang+Nomor+10+Tahun+2004&pbx=1&oq=Kedudukan+Surat+Keputusan+
Bersama+%28SKB%29+tentang+Jemaat+Ahmadiyah+Indonesia+%28JAI%29+
menurut+Undang-
Undang+Nomor+10+Tahun+2004&aq=f&aqi=&aql=&gs_sm=s&gs_upl=19665
l22250l0l24214l8l0l0l0l0l0l0l0ll0l0&bav=on.2,or.r_gc.r_pw.,cf.osb&fp=b7730b
97b1285ed7&biw=1280&bih=863, Diakses pada 10 Oktober 2010.
Ningrum, Desi ratna , 2009, Kedudukan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama,
Jaksa Agung, Dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia ,:
http://repository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000678/uii-skripsi-04410173-
desi%20ratna%20ningrum-04410173-DESI%20RATNA%20NINGRUM-
5198215752-bab%201.pdf, Diakses 10 September2012.
Universitas Udayana, 2010, Program S2 Ilmu Hukum Unud
http://programs2ilmuhukumunud.blogspot.com/, Diakses pada, 14 Oktober 2010.
Zakki, Moh, 2010, Kekuatan Hukum Surat Keputusan Bersama tentang Pembubaran
Ajaran Ahmadiyah ditinjau Dari Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
sebagai Hak Konstitusional Rakyat
180
http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/366/jiptummpp-gdl-s1-2010-mohzakki05-
18260-PENDAHUL-N.pdf, 26 Oktober 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
International Convenant on Civil and Political Right article 18
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-Undang No 1/PNPS/ tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
Undang-Undang No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden
dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang.
Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Jo. Undang-Undang
No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung Jo Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-undang No. 14 tahun 1985.
Undang–Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo Undang-
Undang No.9 tahun 2004 tentang perubahan Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Jo Undang-Undang No. 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
181
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 2005 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-
Hak Sipil dan Politik.
Undang-Undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementrerian Negara.
Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No. 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-
undangan.
Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 8
tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan
Presiden No. 62 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 9
tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, Dan Tata
Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I
Kementerian Negara Republik Indonesia Jo Peraturan Presiden No. 63 Tahun
2005 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 10 tahun 2005
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon 1 Kementerian Negara Republik
Indonesia.
182
Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan Dan Organisasi
Kementerian Negara, Keputusan Presiden No. 86 Tahun 1989 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 140/puu-vii/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau
Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
No. 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan
Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 tahun 2004 tantang Hak Uji
Materiil.
Keputusan Makamah Konstitusi mengenai Putusan Nomor 55/PUU-VIII/2010
tentang Putusan dalam Perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor
18 tahun 2004 tentang Perkebunan,vide bukti P-17.
Keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Risalah Sidang Perkara Nomor 140/Puu-
Vii/2009 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Pnps Tahun 1965 Tentang
Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama Terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Keputusan Bersama Menteri Agama,
Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No 3 tahun 2008,
Jaksa Agung No. KEP-03/A/JA/6/2008, Menteri Dalam Negeri No. 199 tahun
2008 Tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
183
Keputusan Mahkamah Agung, No. 70/PID.B/2012/PN.WKB tentang Penetapan
Ketua Pengadilan Negeri Waikabubak No.70 / Pid.B/2012/PN.Wkb tertanggal
21 Juni 2012.
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No: KEP004/J.A/01/1994 tanggal 15
Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran
Kepercayaan Masyarakat (PAKEM),
Keputusan Menteri Kehakiman No. J.A/5/23/13 tanggal 13 Maret 1953.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Departemen Dalam Negeri.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 3 Tahun 2006 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Departemen Agama.
Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-115/J.A/10/1999 tanggal
20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia,
Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No: 199
tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota,
dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat.
Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Departemen Agama, Jaksa Agung Muda
Intelijen, dan Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen
Dalam Negeri No: se/sj/1322/2008, No: se/b-1065/d/dsp.4/08/2008, No:
184
se/119/921.d.iii/2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Keputusan Bersama
Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
No: 3 tahun 2008; No: kep-033/a/ja/6/2008; No: 199 tahun 2008 Tentang
Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota
Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
top related