telaah seruan seruan musikal etnik ntt dalam karya...
Post on 11-Sep-2019
26 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
84
TELAAH SERUAN – SERUAN MUSIKAL ETNIK NTT DALAM KARYA
MUSIK INKULTURASI
Maria Klara Amarilis Citra Sinta Dewi Tukan
Program Studi Pendidikan Sendratasik, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang
Email: www.amarilis_deo@yahoo.com
Abstract:
Inculturation is a reciprocal process between tradition and religion. Musical calls and cries in it's
chant become one of many objects of inculturation mainly because it rises people's spirit and
adoration to God their creator. This study takes a form of a descriptive-qualitative one, the purpose
is to draw or to relate how the calls and cries in music inculturation works. The subject of this study
is a very active local composer, Petrus Riki Tukan who has made many numbers of inculturative
music. This study resulted in six types of calls and cries the subject used frequently in his music:
(1)sililili; (2)uheeee; dan (3)ihh oo aaa; (4)kerrr; (5)halaka; dan (6)e – a – o.
Key Words: Inculturation, musical calls, NTT
Abstrak
Inkulturasi merupakan proses timbal balik antara budaya dan agama. Seruan musikal etnik NTT
menjadi salah satu objek inkulturasi sebab menimbulkan semangat dan kekaguman masyarakat NTT
terhadap kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif
yang bertujuan untuk mendeskripsikan seruan – seruan musikal etnik NTT dalam karya musik
inkulturasi. Subjek Penelitiannya yaitu Petrus Riki Tukan, seorang komponis NTT yang telah
banyak menghasilkan karya musik inkulturasi dan digunakan sebagai musik liturgi di NTT.
Penelaahan menghasilkan 6 jenis seruan etnik yang selalu digunakan dalam karya – karya yang
dihasilkan yaitu: (1)sililili; (2)uheeee; dan (3)ihh oo aaa; (4)kerrr; (5)halaka; dan (6)e – a – o.
Kata Kunci: Inkulturasi, seruan etnik, NTT
PENDAHULUAN
Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT)
merupakan masyarakat yang terdiri dari
beragam suku, ras, dan agama yang
mewariskan beragam budaya dari generasi ke
generasi. Budaya- budaya tersebut
dinyatakan dalam beragam musik, tarian, dan
sastra yang berkembang dalam masyarakat
sebagai warisan yang harus dijaga dan
dilestarikan. Inkulturasi sebagai suatu proses
timbal balik antara budaya setempat dan
agama merupakan wadah di mana budaya –
budaya masyarakat NTT dilestarikan dalam
musik Gereja sehingga budaya menjadi
bagian yang tidak terlepaskan dari pewartaan
sabda dan perkembangan iman masyarakat.
Sebagai suatu proses timbal balik,
inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Di dalam istilah inkulturasi
mengandung istilah kultur yang bersinonim
dengan istilah kebudayaan; hal ini berarti
bahwa di dalam inkulturasi terkandung unsur
– unsur kebudayaan. Secara etimologis,
istilah inkulturasi berasal dari bahasa latin, in
yang berarti (masuk) ke dalam dan cultur
atau cultura berasal dari kata kerja colore
yang berarti “mengolah tanah” (Dodi, 2009).
Collet (Prier, 2014) mengungkapkan
inkulturasi sebagai suatu proses yang
berlangsung terus di mana injil diungkapkan
di dalam situasi sosio politik dan religius
budaya sedemikian rupa hingga ia tidak
hanya diwartakan melalui unsur – unsur
situasi tersebut tetapi menjadi suatu daya
yang menjiwai dan mengolah budaya
tersebut.
Budaya pada dasarnya merupakan
suatu sistem simbol sebagai hasil hidup
bersama di masyarakat (Geertz, 1973;
Rosana, 2017). Untuk memahami
kebudayaan tertentu, seseorang harus dapat
menafsirkan simbol-simbol yang
dipergunakan dalam budaya tersebut. Salah
satu simbol kebudayaan NTT yaitu seruan –
seruan musikal yang diserukan pada saat
tarian – tarian NTT ditampilkan. Seruan –
seruan ini menjadi satu kesatuan dengan
tarian – tarian etnik NTT dan menciptakan
suatu harmoni yang indah antara seni sastra,
musik, dan tari.
Sebagai masyarakat yang kaya akan
budaya, inkulturasi budaya NTT dalam
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
musik liturgi telah menjadi salah satu
perhatian utama Gereja dalam menjalankan
tugas pewartaannya. Inkulturasi budaya ini
menyebabkan musik – musik liturgi menjadi
lebih mengumat dan mudah diterima oleh
masyarakat. Salah satu aspek dalam musik
etnik NTT yang menjadi objek penting dalam
inkulturasi yaitu seruan – seruan etnik NTT.
Hal ini disebabkan, seruan – seruan tersebut
menimbulkan semangat dan rasa kekaguman
terhadap kebesaran Tuhan sehingga makna
yang terkandung di dalam musik tersebut
dapat lebih mudah diresapi oleh umat. Ini
sejalan dengan tujuan dari inkulturasi yaitu
agar umat yang mengikuti ibadat terpesona
oleh lagu dan doa karena semuanya dapat
langsung dimengerti dan “bagus” menurut
penilaian yang dipakai dalam hidup
kebudayaan setempat (Prier, 2014).
Sebagai salah salah satu komponis
NTT, Petrus Riki Tukan telah banyak
menghasilkan karya inkulturasi musik Gereja
dengan memasukan seruan – seruan NTT ke
dalam karya – karya inkulturasi yang
diciptakannya. Hasil wawancara bersama
Petrus Riki Tukan mengungkapkan bahwa
seruan – seruan etnik tersebut merupakan
hasil pengamatan dan perenunganya
terhadap tarian – tarian dan syair – syair adat
dari beragam suku di NTT. Salah satu seruan
yang terdapat di dalam karya inkulturasinya,
Sililili, ternyata bukan hanya diserukan pada
tarian elang dari daerah Sumba, namun
terdapat hampir pada semua budaya suku
NTT, terutama yang mempunyai simbol
burung elang dalam upacara ritual adat. Hal
ini berarti satu seruan etnik dalam karya
inkulturasi belum tentu hanya berasal dari
satu budaya tertentu saja di NTT, namun bisa
jadi seruan tersebut juga terdapat dalam
budaya – budaya lain di NTT. Hal ini
kemudian menimbulkan ketertarikan dalam
diri peneliti untuk meneliti tentang seruan –
seruan etnik budaya NTT yang terdapat
dalam karya inkulturasi musik.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Penelitian bertujuan untuk menelaah dan
mendeskripsikan seruan – seruan musikal
etnik NTT dalam karya musik inkulturasi.
Subjek Penelitiannya yaitu Petrus Riki
Tukan, seorang komponis musik asal NTT.
Petrus Riki Tukan dipilih sebagai subjek
penelitian sebab beliau telah banyak
menghasilkan karya musik inkulturasi yang
digunakan sebagai musik liturgi dalam
perayaan – perayaan gerejawi di NTT.
Penelaahan terhadap seruan – seruan
musikal etnik NTT dalam karya musik
inkulturasi dilakukan peneliti berdasarkan
data – data yang diperoleh dengan
menggunakan tiga teknik pengumpulan data
yaitu observasi, wawancara, dan studi
pustaka. Observasi dilakukan peneliti
terhadap karya – karya musik inkulturasi
Subjek Penelitian untuk mengamati seruan –
seruan etnik NTT yang terdapat dalam karya
– karya tersebut. Selanjutnya, peneliti
mewawancarai Subjek Penelitian untuk
menggali lebih dalam hasil temuan yang
diperoleh. Studi pustaka kemudian peneliti
lakukan untuk memperkuat hasil temuan
tersebut. Pengujian keabsahan data dilakukan
dengan mentriangulasikan temuan dari ketiga
teknik tersebut.
Setelah data – data diperoleh dan
disusun secara sistematis, peneliti kemudian
melakukan analisis data dengan
menggunakan teknik analisis data yang
dikemukakan oleh Miles dan Huberman
(Sugiyono, 2012) yaitu: (1) mereduksi data;
(2) menyajikan data; dan (3) menarik
kesimpulan. Reduksi data dilakukan peneliti
dengan cara merangkum, menyisihkan yang
tidak diperlukan, dan memfokuskan data
sesuai dengan tujuan penelitian. Data hasil
reduksi kemudian disajikan secara naratif
dalam bentuk teks dan dikaji. Kesimpulan
tentang seruan – seruan musikal musik etnik
NTT dalam karya inkulturasi kemudian
ditarik berdasarkan hasil kajian tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelaahan yang dilakukan terhadap
karya - karya musik inkulturasi Subjek
Penelitian menghasilkan beberapa seruan
etnik sebagai berikut:
1. Sililili
Seruan ini terdapat pada suara alto
yang diserukan secara berulang –
ulang pada setiap ayat.
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
86
Gambar 1. Bentuk ritme seruan Sililili
2. Uheeee
Gambar 2. Bentuk ritme seruan Uheeee
Seruan ini terdapat pada suara tenor yang
dinyanyikan secara berulang – ulang kali
pada setiap ayat. Terdapat 2 pola, yang
pertama dengan seruan pendek yang
bersifat membakar semangat penari dan
yang kedua dengan seruan lebih panjang
yang bersifat seakan- akan
meninabobokan para penari yang telah
sungguh- sungguh terlibat dalam emosi
tari.
3. Iiih oo aaa
Gambar 3. Bentuk ritme seruan Iiih oo aaa
Ini terdapat pada suara bass yang
dinyanyikan secara berulang – ulang
pada setiap ayat. Seruan ini biasanya
dilakukan oleh kaum pria dan dibarengi
seruan sililili oleh wanita, baik secara
serempak maupun secara bersambung.
Hasil inkulturasi budaya dari ketiga
seruan di atas dapat dilihat pada lagu Puji
Tuhan karya Subjek Penelitian berikut.
Gambar 4. Lagu Puji Tuhan ciptaan Subjek
Penelitian
Kerrr
Gambar 5. Seruan Kerrr
Seruan ini terdapat pada suara tenor
seperti pada lagu inkulturasi karya
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
Subjek Penelitian berjudul Satukanlah
Kami Ya Tuhan (Gambar 8). Pada lagu
tersebut, Kerrr diserukan dengan
diikuti oleh seruan Halaka. Ini sesuai
dengan motif lagu tersebut yaitu
Muhang – Flores Timur, di mana pada
kebudayaan masyarakat Flores Timur,
Kerrr sering diserukan beriringan
dengan Halaka.
Seruan Kerrrr ini dapat dikatakan
bukan ekslusif milik masyarakat
Flores Timur saja, namun juga
dimiliki oleh masyarakat Timor. Ini
juga ditunjukan oleh Subjek Penelitian
dalam karya inkulturasi yang
diciptakannya, seperti pada lagu
berjudul Pujilah Tuhan, Hai Segala
Bangsa yang bermotif Belu (Timor)
pada Gambar 14.
4. Halaka
Gambar 6. Bentuk ritme seruan
Halaka
Seruan ini juga terdapat pada suara
tenor. Pada karya inkulturasi Subjek
Penelitian di Gambar 8, Halaka
diserukan setelah seruan Kerrr dan
disambung dengan seruan Sililili oleh
suara Sopran. Berdasarkan asal
seruannya, ketiga seruan ini merupakan
seruan etnik dari daerah yang sama
yaitu Flores Timur.
Gambar 7. Perpaduan seruan Kerrr,
Halaka, dan Sililili dalam karya
inkulturasi Subjek Penelitian
5. E – a – o
Gambar 8. Bentuk seruan E – a – o dalam
karya inkulturasi Subjek
Penelitian
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
88
E – a – o diserukan secara bersama –
sama oleh suara pria dan wanita
seperti yang terdapat pada lagu
inkulturasi karya Subjek Penelitian
berjudul Nggeluk Ga Dewa Mese. E –
a – o diserukan pada bagian koor
(wale).
Gambar 9. Seruan E – a – o dalam lagu
Nggeluk Ga Dewa Mese
Pembahasan
Inkulturasi merupakan suatu proses
timbal balik antara budaya setempat dengan
budaya gereja (Prier, 2014). Melalui proses
ini, budaya setempat diserap ke dalam musik
– musik liturgi gereja sebagai sarana
pewartaan sehingga ajaran – ajaran gereja
dapat lebih diterima dan dihayati oleh
masyarakat. Di sisi lain, dengan adanya
karya inkulturasi, kebudayaan – kebudayaan
setempat dapat dilestarikan sehingga tidak
menghilang seiring berjalannya waktu.
Seruan – seruan etnik dalam karya –
karya inkulturasi Subjek Penelitian
merupakan hasil pengamatan dan
perenungannya terhadap karya – karya
musik, tarian, dan sastra masyarakat NTT
yang saling berhubungan satu sama lain.
Kesatuan dari unsur musik, tari, dan sastra
dalam budaya NTT dikemukakan oleh
Subjek Penelitian sebagai suatu segitiga
budaya yang dapat dirincikan sebagai
berikut:
1. Bentuk musik dan sastra mengikuti
tari
Dalam bentuk penyajian ini, yang
menjadi tokoh utama/pusat adalah tari
sedangkan musik dan sastra
mengikutinya. Bentuk inilah yang
paling umum terdapat dalam budaya
asli NTT. Karena itu banyak genre
lagu NTT seperti Gawi di Lio, Bidu di
Timor, Padoa di Sabu/ Rote, Teke di
Ngada, Danding di Manggarai, Beku
dan Liang di Flores Timur dan Sora di
Sikka sebenarnya merupakan lagu tari
dengan karakter musik yang sangat
hidup sesuai ritme tari dari mana dia
berasal.
2. Bentuk sastra dan tari mengikuti
musik
Bentuk penyajian kedua yang juga
khas adalah bentuk dimana sastra dan
tari mengabdi kepada musik yang
dalam hal ini berupa lagu. Subjek
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
Penelitian menyatakan bahwa meski
belum diteliti, tapi dapat dipastikan
bahwa bentuk ini terdapat dimana-
mana di NTT. Hal ini terbukti dari
adanya ”melodi sejati” dalam lagu-
lagu ritus (tua) NTT yang tidak
berpatok saja pada ”pedoman ritme
(tari)” melainkan pada sistem nada
tersendiri yang sangat otentik
menunjukan ke”melodisan”nya.
Contoh dari bentuk ini yaitu: Egol,
Blasi (barasi) dan Oreng di Flores
Timur, Neke di Ngada dan Naruk Pale
di Sikka. Lagu- lagu ini berirama
cukup bebas, namun kalau ditarikan/
ditandakan maka dapat dikemas
dalam pola- pola ritme tari.
3. Bentuk musik dan tari mengikuti
sastra
Bentuk penyajian ketiga yakni sastra
menjadi tokoh utama atau pusat bagi
musik dan tari. Irama asli NTT, seperti
yang dikenal di Maumere, Lio, Flores
Timur, Sumba dan Timor umumnya
berpola ritme binair yang sangat
cocok untuk tarian tandak dan jenis
tarian ritual lainnya seperti tari elang
di Sumba dan Flores Timur, Gawi di
Lio, Opak- oron dan Liang namang
serta Beku di Flores Timur, Togo dan
Oa Mbele di Maumere. Karena itu
pula sastera berirama itu sangat
memancing melodi sastera, baik yang
berbentuk pola melodi dengan ”nada
kwint” yang sangat umum di NTT
seperti Breka (Bleka) Hara di Muhang
Barat, Hode naruk di Muhang Timur,
Sora dan Helelarak di Maumere
Timur, maupun pola melodi yang
lebih berbentuk ” melodi bicara”
seperti Natoni di Timor Opak – oron
di Flores timur, dan Topo – So di
Muhang Barat.
Segitiga budaya di atas
menunjukan bahwa dalam budaya
masyarakat NTT, musik, tari, dan sastra
merupakan tiga hal yang tidak dapat
terpisahkan. Sebagai suatu karya
inkulturasi yang berakar dari budaya
setempat, keenam seruan di atas juga
tidak dapat dipisahkan dari kesatuan
unsur musik, tari, dan sastra dalam
budaya NTT.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Sililili
Seruan Sililili banyak digunakan
oleh Subjek Penelitian dalam karya –
karya inkulturasinya dengan motif
Flores Timur. Selain Flores Timur,
seruan ini terdapat pada hampir
semua budaya suku NTT, terutama
yang mempunyai simbol burung
elang dalam upacara ritual adat.
Bunyi yang sangat dramatis itu
adalah tiruan bunyi keriangan burung
elang tatkala melayang – layang di
angkasa menikmati kepulan asap api
pembakaran calon lahan pertanian
baru. Pola ritme untuk seruan ini
biasanya dikemas dalam birama tari
atau tandak dengan sifat yang sangat
luwes (terbuka) untuk improvisasi.
Hal ini juga diperlihatkan oleh
Subjek Penelitian dalam karya –
karya inkulturasi yang dihasilkan
seperti seruan Sililili pada Gambar 1
yang memiliki pola ritme yang
berbeda dengan yang terdapat pada
Gambar 7.
Gambar 10. Contoh pola ritme untuk tari
elang ala Flores Timur dan Sumba
2. Uheeee
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
90
Uheeee lebih lazim diserukan di
daerah Timor, seperti dalam tarian
adat Bidu yang merupakan tarian
adat masyarakat Malaka. Terdapat 2
pola dalam melantunkan seruan ini
yaitu, yang pertama dengan seruan
pendek yang bersifat membakar
semangat penari dan yang kedua
dengan seruan lebih panjang yang
bersifat seakan – akan
meninabobokan para penari yang
telah sungguh- sungguh terlibat
dalam emosi tari. Hal ini sesuai
dengan fungsi tarian Bidu pada
zaman dahulu yaitu sebagai media
bagi pemuda dan pemudi, khususnya
bagi para remaja yang sudah direstui
orang tua mereka dan sudah siap
dinikahkan untuk saling mengenal
dan memilih jodoh yang mereka
inginkan (Kamerabudaya, 2016).
Dalam menarikan tarian tersebut,
para penari pria dan wanita menari
(dengan gerakan masing – masing)
seakan menggambarkan pesona yang
dimiliki untuk menarik lawan jenis
sehingga saat menentukan pilihan
jodoh mereka tahu yang mana yang
sesuai dengan keinginan mereka.
Gambar 11. Pola pendek seruan Uheeee
Gambar 12. Pola pendek seruan Uheeee
3. Iiih oo aaa
Belum ditemukan seruan yang sangat
katarsis ini di daerah lain di NTT,
kecuali di daerah Flores Timur dalam
tandak Opak-oron atau Liang –
Namang. Secara etimologis, Liang –
Namang berasal dari dua kata yaitu
Liang yang berarti nyanyian yang
dilantunkan oleh penyair (dua orang
secara bergantian) dan Namang yang
berarti hentakan atau gerakan,
sehingga istilah Liang – Namang
dapat juga diartikan sebagai narasi
yang dinyanyikan dan disertai
dengan gerakan atau hentakan
(BPNB, 2015). Kisah yang
diceritakan dalam tarian Liang
Namang didialogkan dalam bentuk
syair adat, hentakan – hentakan, dan
seruan Iiih oo aaa yang biasanya
dilakukan oleh kaum pria. Hal ini
kemudian diinkulturasikan juga oleh
Subjek Penelitian dalam karya –
karya musik inkulturasinya di mana
seruan Ihh oo aaa biasanya
dilakukan oleh kaum pria dan
dibarengi seruan “Silili” oleh wanita,
baik secara serempak maupun secara
bersambung.
Gambar 13. Perpaduan seruan Sililili dan Iiih
oo aaa dalam karya inkulturasi Subjek
Penelitian
4. Kerrr
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
Seruan Kerrr merupakan seruan
yang terdapat di beberapa daerah
NTT, seperti di Flores Timur dan
Belu (Timor). Seruan ini berasal dari
teriakan atau pekikan ketika
melakukan tarian tradisional, seperti
Liang Namang di Flores Timur, dan
biasanya berperan sebagai penanda
sebelum melakukan gerakan cepat.
Kerrr pada dasarnya merupakan
seruan pembangkit semangat ketika
tarian dilakukan. Berbeda dengan
Sililili yang lazimnya berpola ritme,
Kerrr diserukan dalam satu frase
panjang, seperti “pedal point” pada
musik barok, terkadang mencapai
durasi dua birama atau lebih sesuai
mood pelakunya.
Perbedaan antara seruan Kerrr pada
musik inkulturasi karya Subjek
Penelitian untuk daerah Flores
Timur dan daerah Belu (Timor)
yaitu, jika pada karya inkulturasi
daerah Flores Timur, seruan Kerrr
diikuti dengan seruan Halaka (ini
sesuai dengan kebiasaan masyarakat
Flores Timur, khususnya kaum
lelaki, yang akan menyerukan Kerrr
pada tarian – tarian tradisional
dengan diikuti oleh seruan Halaka),
pada karya inkulturasi Subjek
Penelitian untuk budaya Belu
(Timor), seruan Kerrr diikuti dengan
seruan Ai – ai. Ini dapat dilihat pada
lagu Pujilah Tuhan, Hai Segala
Bangsa karya Subjek Penelitian
sebagai berikut.
Gambar 14. Lagu Pujilah Tuhan, Hai Segala
Bangsa karya Subjek Penelitian
5. Halaka
Halaka atau Haleka merupakan
seruan tradisional Flores Timur.
Secara harafiah, Halaka dapat
berarti “masih salah” atau “Awas!!”.
Halaka biasanya diserukan bersama
dengan Kerrr. Seruan Halaka
berfungsi untuk membakar
semangat penari agar lebih
bergairah dalam melakukan gerakan
– gerakan tari. Kerr dan
Halaka/Haleka senantiasa diserukan
dalam tarian – tarian tradisional
yang ditampilkan dalam pesta –
pesta atau acara – acara masyarakat
Flores Timur sebagai pembangkit
semangat dan penambah keceriaan
dalam menari. Kedua seruan ini
bukan merupakan bagian dari
pantun/syair lagu namun merupakan
sampiran atau kata – kata tambahan
yang mengiringi tarian dan bisa
diserukan bukan hanya oleh
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
92
pemantun namun bisa juga oleh
peserta tarian yang lain.
Halaka biasanya diserukan dalam
bentuk pendek – ritmis, pada
tekanan berat / utama dan hanya
diulang pada saat tertentu, misalnya
pada akhir refren, koor, atau pada
akhir solo untuk memulai bagian
berikut dengan meyakinkan.
Gambar 15 Pola ritme pendek Halaka
6. E – a – o
E – a – o merupakan seruan adat
tradisional yang berasal dari daerah
Manggarai yang diserukan dalam
suara tunggal (unisono) oleh kaum
pria, wanita, dan anak - anak. Sama
seperti seruan – seruan adat
tradisional dari daerah lainnya, e – a
– o tidak memiliki arti khusus dan
hanya berupa sampiran di tengah
pantun – pantun adat yang
dinyanyikan dengan diiringi oleh
tarian – tarian tradisional Manggarai.
Seruan ini lazim terdengar ketika
masyarakat Manggarai menarikan
tarian Sanda. Sanda pada dasarnya
merupakan nyanyian vokal alamiah
masyarakat Manggarai yang
dinyanyikan sambil diiringi oleh
gerakan gerakan berputar dalam
lingkaran sambil sesekali disertai
dengan hentakan kaki seirama.
Bentuk lingkaran merupakan bentuk
yang akrab dengan budaya hidup
masyarakat Manggarai (Darmo,
2013). Ketika berdiskusi untuk
memutuskan sesuatu, masyarakat
Manggarai selalu duduk dalam
formasi membentuk lingkaran
sehingga semua warga masyarakat
berhak mengemukakan pendapatnya.
Lantunan Sanda diiringi oleh tarian
dalam formasi lingkaran
mengandung arti bahwa semua yang
terlibat dalam tarian tersebut
bernyanyi bersama untuk
mengungkapkan syukur,
menghadapi persoalan, dan
menyampaikan permohonan kepada
Sang Pencipta secara bersama –
sama.
Darmo (2013) mengungkapkan
bahwa Sanda pada prinsipnya
merupakan nyanyian yang diiringi
oleh tarian yang berisi berbagai
macam ajaran dan pengalaman hidup
manusia dalam berhubungan dengan
alam, sesame, dan pencipta. Ajaran
dan pengalaman hidup tersebut
dilantunkan dalam bentuk puji –
pujian atau ungkapan syukur kepada
pencipta, keluh kesah, sikap dalam
menghadapi tantangan, cara
memecahkan persoalan, cara
menghormati alam dan sesama,
ungkapan, harapan, dan permohonan
kepada Sang Pencipta, serta
kepercayaan akan kehidupan setelah
kematian. Syair – syair yang
dinyanyikan tersebut merupakan
warisan dari leluhur masyarakat
Manggarai yang diwariskan secara
turun – temurun.
Dalam kebiasaan masyarakat
Manggarai, tarian Sanda
dinyanyikan bukan hanya terbatas
pada kaum lelaki saja namun
dibawakan pula secara bersama oleh
kaum wanita dan anak – anak. Hal ini
juga menjadi dasar filosofi yang
digunakan oleh Subjek Penelitian
dalam menginkulturasikan seruan e –
a – o dari nyanyian tradisional Sanda
ke dalam karya inkulturasi yang
dihasilkannya, di mana seruan
tersebut tidak hanya diserukan oleh
kaum lelaki saja (tenor dan bass)
namun juga oleh kaum wanita
(sopran dan alto). Dalam
menghasilkan karya inkulturasi
tersebut, seruan e – a – o mengalami
proses aransemen sehingga
diserukan dalam empat suara; ini
berbeda dengan kondisi aslinya di
mana seruan tersebut diserukan
hanya dalam satu suara saja namun
tidak menghilangkan nafas dari
seruan tersebut yaitu sebagai seruan
kepada Sang Pencipta (berbeda
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
dengan Kerrr dan Halaka yang lebih
berfungsi sebagai pembangkit
semangat ketika menari.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan dapat disimpulkan hal – hal
sebagai berikut:
1. Terdapat beberapa jenis seruan etnik NTT
yang digunakan dalam karya inkulturasi
yang diciptakan oleh Subjek Penelitian
yaitu: (1) sililili; (2) Uheeee; (3) Ihh oo
aaa; (4) kerrr; (5) Halaka; dan (6) e – a –
o.
2. Seruan Sililili terdapat hampir pada semua
budaya suku NTT, terutama yang
mempunyai simbol burung elang dalam
upacara ritual adat merupakan tiruan
bunyi keriangan burung elang tatkala
melayang- layang di angkasa menikmati
kepulan asap api pembakaran calon lahan
pertanian baru.
3. Seruan Uheeee lebih lazim di Timor,
terutama dalam tarian adat Bidu yang
merupakan tarian adat masyarakat
Malaka. Terdapat 2 pola dalam
melantunkan seruan ini yaitu, yang
pertama dengan seruan pendek yang
bersifat membakar semangat penari dan
yang kedua dengan seruan lebih panjang
yang bersifat seakan - akan
meninabobokan para penari yang telah
sungguh- sungguh terlibat dalam emosi
tari.
4. Seruan Ihh oo aaa terdapat pada suara
bass yang dinyanyikan secara berulang –
ulang kali pada setiap ayat. Seruan ini
biasanya dilakukan oleh kaum pria dan
dapat dibarengi dengan seruan” sililili
oleh wanita, baik secara serempak
maupun secara bersambung.
5. Seruan Kerrr terdapat pada suara tenor;
merupakan seruan pembangkit semangat
yang berasal dari beberapa daerah di NTT,
misalnya di Flores Timur dan Belu
(Timor) yang biasanya diserukan oleh
kaum pria ketika melakukan tarian
tradisional.
6. Seruan Halaka juga terdapat pada suara
tenor; juga merupakan seruan pemabngkit
semangat dari Flores Timur. Pada karya
inkulturasi yang dihasilkan, Halaka
diserukan berdampingan dengan Kerrrr,
ini sesuai dengan kebiasaan kaum Pria
Flores Timur yang menyerukan
Halaka/Haleka berdampingan dengan
Kerrrr ketika melakukan tarian
tradisional, seperti tarian Liang Namang,
untuk membangkitkan semangat penari
lainnya.
7. Seruan e – a – o diserukan secara bersama
– sama dalam koor (wale) oleh empat jenis
suara berbeda (sopran, alto, tenor, dan
bass) dalam karya msik inkulturasi
ciptaan Subjek Penelitian. Ini sedikit
berbeda dengan yang dilakukan pada
budaya aslinya dimana hanya
menggunakan satu suara (unisono) namun
tidak menghilangkan nafas dari seruan
tersebut yaitu sebagai seruan kepada Sang
Pencipta (berbeda dengan Kerrr dan
Halaka yang berfungsi sebagai
pembangkit semangat). Seruan ini berasal
dari daerah Manggarai yang biasa
diserukan secara bersama – sama oleh
kaum pria, kaum wanita, dan anak – anak
ketika sedang menari; misalnya ketika
melakukan tarian Sanda untuk
mengungkapkan syukur, menyampaikan
persoalan, dan permohonan kepada Sang
Pencipta.
8. Kesatuan dari unsur musik, tari, dan sastra
dalam budaya NTT dikemukakan oleh
Subjek Penelitian sebagai suatu segitiga
budaya yaitu: (a) bentuk musik dan sastra
mengikuti tari; (b) bentuk sastra dan tari
mengikuti musik; dan (c) bentuk musik
dan tari mengikuti sastra.
Saran
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018
94
1. Inkulturasi bukan saja berperan sebagai
sarana agar agama dapat lebih diterima
oleh masyarakat, namun inkulturasi juga
berperan penting dalam pelestarian
budaya – budaya masyarakat NTT agar
tetap dikenal sampai generasi
selanjutnya dan tidak hilang tergerus
oleh perkembangan zaman.Karena
peran pentingnya inkulturasi dalam
melestarikan budaya masyarakat ini
maka penciptaan karya – karya
inkulturasi dalam karya musik etnik
NTT perlu senantiasa ditingkatkan.
2. Penelaahan terhadap karya – karya
musik inkulturasi perlu lebih
dilakukan sehingga masyarakat NTT
lebih memahami makna dari unsur –
unsur budaya yang terdapat dalam
lagu – lagu karya inkulturasi yang
sering mereka lakukan. Hal ini dapat
mendorong meningkatnya rasa cinta
tanah air dan cinta budaya.
Daftar Pustaka
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB). 2015.
Liang Namang/ Seleng Namang,
Pertunjukan Tradisional Masyarakat
Lamaholot. Bali: (Online):
https://kebudayaan.kemendikbud.go.id/bpn
bbali/2015/01/13/liang-namangseleng-
namang-pertunjukan-tradisional-
masyarakat-lamaholot/#
Dahlan, R.I. 2016. Tarian Khas Flores. Malang
(Online):
http://idaroyanidahlan.student.umm.ac.id/20
16/08/17/tarian-khas-flores/
Darmo, M.2013. Sanda, Mazmur Budaya
Manggarai. (Online):
http://marcelputerating.blogspot.com/2013/
07/sanda-mazmur-budaya-manggarai.html
(Diakses pada 11 September 2018).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1980.
Ensiklopedi Tari Indonesia. Jakarta:
Depdikbud
Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation o f
Cultures. New York: Basic Books.
Kamerabudaya. 2016. Tari Bidu, Tari Tradisional
dari Belu Provinsi NTT. (Online):
https://www.kamerabudaya.com/2016/11/ta
ri-bidu-tarian-tradisional-dari-belu-
provinsi-ntt.html
Prier, E. K. 2014. Inkulturasi Muik Liturgi 1.
Jogjakarta: Pusat Musik Liturgi.
________________ Inkulturasi Muik Liturgi I1.
Jogjakarta: Pusat Musik Liturgi.
Rosana, E. 2017. Dinamisasi Kebudayaan dalam
Realisasi Sosial (Al-AdYaN/Vol.XII,
N0.1/Januari-Juni/2017). Online:
https://media.neliti.com/media/publications
/177704-ID-dinamisasi-kebudayaan-dalam-
realitas-sos.pdf
top related