telaah seruan seruan musikal etnik ntt dalam karya...

11
Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018 84 TELAAH SERUAN SERUAN MUSIKAL ETNIK NTT DALAM KARYA MUSIK INKULTURASI Maria Klara Amarilis Citra Sinta Dewi Tukan Program Studi Pendidikan Sendratasik, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Email: [email protected] Abstract: Inculturation is a reciprocal process between tradition and religion. Musical calls and cries in it's chant become one of many objects of inculturation mainly because it rises people's spirit and adoration to God their creator. This study takes a form of a descriptive-qualitative one, the purpose is to draw or to relate how the calls and cries in music inculturation works. The subject of this study is a very active local composer, Petrus Riki Tukan who has made many numbers of inculturative music. This study resulted in six types of calls and cries the subject used frequently in his music: (1)sililili; (2)uheeee; dan (3)ihh oo aaa; (4)kerrr; (5)halaka; dan (6)e a o. Key Words: Inculturation, musical calls, NTT Abstrak Inkulturasi merupakan proses timbal balik antara budaya dan agama. Seruan musikal etnik NTT menjadi salah satu objek inkulturasi sebab menimbulkan semangat dan kekaguman masyarakat NTT terhadap kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan seruan seruan musikal etnik NTT dalam karya musik inkulturasi. Subjek Penelitiannya yaitu Petrus Riki Tukan, seorang komponis NTT yang telah banyak menghasilkan karya musik inkulturasi dan digunakan sebagai musik liturgi di NTT. Penelaahan menghasilkan 6 jenis seruan etnik yang selalu digunakan dalam karya karya yang dihasilkan yaitu: (1)sililili; (2)uheeee; dan (3)ihh oo aaa; (4)kerrr; (5)halaka; dan (6)e a o. Kata Kunci: Inkulturasi, seruan etnik, NTT PENDAHULUAN Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan masyarakat yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama yang mewariskan beragam budaya dari generasi ke generasi. Budaya- budaya tersebut dinyatakan dalam beragam musik, tarian, dan sastra yang berkembang dalam masyarakat sebagai warisan yang harus dijaga dan dilestarikan. Inkulturasi sebagai suatu proses timbal balik antara budaya setempat dan agama merupakan wadah di mana budaya budaya masyarakat NTT dilestarikan dalam musik Gereja sehingga budaya menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari pewartaan sabda dan perkembangan iman masyarakat. Sebagai suatu proses timbal balik, inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Di dalam istilah inkulturasi mengandung istilah kultur yang bersinonim dengan istilah kebudayaan; hal ini berarti bahwa di dalam inkulturasi terkandung unsur unsur kebudayaan. Secara etimologis, istilah inkulturasi berasal dari bahasa latin, in yang berarti (masuk) ke dalam dan cultur atau cultura berasal dari kata kerja colore yang berarti “mengolah tanah” (Dodi, 2009). Collet (Prier, 2014) mengungkapkan inkulturasi sebagai suatu proses yang berlangsung terus di mana injil diungkapkan di dalam situasi sosio politik dan religius budaya sedemikian rupa hingga ia tidak hanya diwartakan melalui unsur unsur situasi tersebut tetapi menjadi suatu daya yang menjiwai dan mengolah budaya tersebut. Budaya pada dasarnya merupakan suatu sistem simbol sebagai hasil hidup bersama di masyarakat (Geertz, 1973; Rosana, 2017). Untuk memahami kebudayaan tertentu, seseorang harus dapat menafsirkan simbol-simbol yang dipergunakan dalam budaya tersebut. Salah satu simbol kebudayaan NTT yaitu seruan seruan musikal yang diserukan pada saat tarian tarian NTT ditampilkan. Seruan seruan ini menjadi satu kesatuan dengan tarian tarian etnik NTT dan menciptakan suatu harmoni yang indah antara seni sastra, musik, dan tari. Sebagai masyarakat yang kaya akan budaya, inkulturasi budaya NTT dalam

Upload: others

Post on 11-Sep-2019

26 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

84

TELAAH SERUAN – SERUAN MUSIKAL ETNIK NTT DALAM KARYA

MUSIK INKULTURASI

Maria Klara Amarilis Citra Sinta Dewi Tukan

Program Studi Pendidikan Sendratasik, Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Email: [email protected]

Abstract:

Inculturation is a reciprocal process between tradition and religion. Musical calls and cries in it's

chant become one of many objects of inculturation mainly because it rises people's spirit and

adoration to God their creator. This study takes a form of a descriptive-qualitative one, the purpose

is to draw or to relate how the calls and cries in music inculturation works. The subject of this study

is a very active local composer, Petrus Riki Tukan who has made many numbers of inculturative

music. This study resulted in six types of calls and cries the subject used frequently in his music:

(1)sililili; (2)uheeee; dan (3)ihh oo aaa; (4)kerrr; (5)halaka; dan (6)e – a – o.

Key Words: Inculturation, musical calls, NTT

Abstrak

Inkulturasi merupakan proses timbal balik antara budaya dan agama. Seruan musikal etnik NTT

menjadi salah satu objek inkulturasi sebab menimbulkan semangat dan kekaguman masyarakat NTT

terhadap kebesaran Tuhan Sang Pencipta. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif

yang bertujuan untuk mendeskripsikan seruan – seruan musikal etnik NTT dalam karya musik

inkulturasi. Subjek Penelitiannya yaitu Petrus Riki Tukan, seorang komponis NTT yang telah

banyak menghasilkan karya musik inkulturasi dan digunakan sebagai musik liturgi di NTT.

Penelaahan menghasilkan 6 jenis seruan etnik yang selalu digunakan dalam karya – karya yang

dihasilkan yaitu: (1)sililili; (2)uheeee; dan (3)ihh oo aaa; (4)kerrr; (5)halaka; dan (6)e – a – o.

Kata Kunci: Inkulturasi, seruan etnik, NTT

PENDAHULUAN

Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT)

merupakan masyarakat yang terdiri dari

beragam suku, ras, dan agama yang

mewariskan beragam budaya dari generasi ke

generasi. Budaya- budaya tersebut

dinyatakan dalam beragam musik, tarian, dan

sastra yang berkembang dalam masyarakat

sebagai warisan yang harus dijaga dan

dilestarikan. Inkulturasi sebagai suatu proses

timbal balik antara budaya setempat dan

agama merupakan wadah di mana budaya –

budaya masyarakat NTT dilestarikan dalam

musik Gereja sehingga budaya menjadi

bagian yang tidak terlepaskan dari pewartaan

sabda dan perkembangan iman masyarakat.

Sebagai suatu proses timbal balik,

inkulturasi dan kebudayaan merupakan dua

hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama

lain. Di dalam istilah inkulturasi

mengandung istilah kultur yang bersinonim

dengan istilah kebudayaan; hal ini berarti

bahwa di dalam inkulturasi terkandung unsur

– unsur kebudayaan. Secara etimologis,

istilah inkulturasi berasal dari bahasa latin, in

yang berarti (masuk) ke dalam dan cultur

atau cultura berasal dari kata kerja colore

yang berarti “mengolah tanah” (Dodi, 2009).

Collet (Prier, 2014) mengungkapkan

inkulturasi sebagai suatu proses yang

berlangsung terus di mana injil diungkapkan

di dalam situasi sosio politik dan religius

budaya sedemikian rupa hingga ia tidak

hanya diwartakan melalui unsur – unsur

situasi tersebut tetapi menjadi suatu daya

yang menjiwai dan mengolah budaya

tersebut.

Budaya pada dasarnya merupakan

suatu sistem simbol sebagai hasil hidup

bersama di masyarakat (Geertz, 1973;

Rosana, 2017). Untuk memahami

kebudayaan tertentu, seseorang harus dapat

menafsirkan simbol-simbol yang

dipergunakan dalam budaya tersebut. Salah

satu simbol kebudayaan NTT yaitu seruan –

seruan musikal yang diserukan pada saat

tarian – tarian NTT ditampilkan. Seruan –

seruan ini menjadi satu kesatuan dengan

tarian – tarian etnik NTT dan menciptakan

suatu harmoni yang indah antara seni sastra,

musik, dan tari.

Sebagai masyarakat yang kaya akan

budaya, inkulturasi budaya NTT dalam

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

musik liturgi telah menjadi salah satu

perhatian utama Gereja dalam menjalankan

tugas pewartaannya. Inkulturasi budaya ini

menyebabkan musik – musik liturgi menjadi

lebih mengumat dan mudah diterima oleh

masyarakat. Salah satu aspek dalam musik

etnik NTT yang menjadi objek penting dalam

inkulturasi yaitu seruan – seruan etnik NTT.

Hal ini disebabkan, seruan – seruan tersebut

menimbulkan semangat dan rasa kekaguman

terhadap kebesaran Tuhan sehingga makna

yang terkandung di dalam musik tersebut

dapat lebih mudah diresapi oleh umat. Ini

sejalan dengan tujuan dari inkulturasi yaitu

agar umat yang mengikuti ibadat terpesona

oleh lagu dan doa karena semuanya dapat

langsung dimengerti dan “bagus” menurut

penilaian yang dipakai dalam hidup

kebudayaan setempat (Prier, 2014).

Sebagai salah salah satu komponis

NTT, Petrus Riki Tukan telah banyak

menghasilkan karya inkulturasi musik Gereja

dengan memasukan seruan – seruan NTT ke

dalam karya – karya inkulturasi yang

diciptakannya. Hasil wawancara bersama

Petrus Riki Tukan mengungkapkan bahwa

seruan – seruan etnik tersebut merupakan

hasil pengamatan dan perenunganya

terhadap tarian – tarian dan syair – syair adat

dari beragam suku di NTT. Salah satu seruan

yang terdapat di dalam karya inkulturasinya,

Sililili, ternyata bukan hanya diserukan pada

tarian elang dari daerah Sumba, namun

terdapat hampir pada semua budaya suku

NTT, terutama yang mempunyai simbol

burung elang dalam upacara ritual adat. Hal

ini berarti satu seruan etnik dalam karya

inkulturasi belum tentu hanya berasal dari

satu budaya tertentu saja di NTT, namun bisa

jadi seruan tersebut juga terdapat dalam

budaya – budaya lain di NTT. Hal ini

kemudian menimbulkan ketertarikan dalam

diri peneliti untuk meneliti tentang seruan –

seruan etnik budaya NTT yang terdapat

dalam karya inkulturasi musik.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Penelitian bertujuan untuk menelaah dan

mendeskripsikan seruan – seruan musikal

etnik NTT dalam karya musik inkulturasi.

Subjek Penelitiannya yaitu Petrus Riki

Tukan, seorang komponis musik asal NTT.

Petrus Riki Tukan dipilih sebagai subjek

penelitian sebab beliau telah banyak

menghasilkan karya musik inkulturasi yang

digunakan sebagai musik liturgi dalam

perayaan – perayaan gerejawi di NTT.

Penelaahan terhadap seruan – seruan

musikal etnik NTT dalam karya musik

inkulturasi dilakukan peneliti berdasarkan

data – data yang diperoleh dengan

menggunakan tiga teknik pengumpulan data

yaitu observasi, wawancara, dan studi

pustaka. Observasi dilakukan peneliti

terhadap karya – karya musik inkulturasi

Subjek Penelitian untuk mengamati seruan –

seruan etnik NTT yang terdapat dalam karya

– karya tersebut. Selanjutnya, peneliti

mewawancarai Subjek Penelitian untuk

menggali lebih dalam hasil temuan yang

diperoleh. Studi pustaka kemudian peneliti

lakukan untuk memperkuat hasil temuan

tersebut. Pengujian keabsahan data dilakukan

dengan mentriangulasikan temuan dari ketiga

teknik tersebut.

Setelah data – data diperoleh dan

disusun secara sistematis, peneliti kemudian

melakukan analisis data dengan

menggunakan teknik analisis data yang

dikemukakan oleh Miles dan Huberman

(Sugiyono, 2012) yaitu: (1) mereduksi data;

(2) menyajikan data; dan (3) menarik

kesimpulan. Reduksi data dilakukan peneliti

dengan cara merangkum, menyisihkan yang

tidak diperlukan, dan memfokuskan data

sesuai dengan tujuan penelitian. Data hasil

reduksi kemudian disajikan secara naratif

dalam bentuk teks dan dikaji. Kesimpulan

tentang seruan – seruan musikal musik etnik

NTT dalam karya inkulturasi kemudian

ditarik berdasarkan hasil kajian tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Penelaahan yang dilakukan terhadap

karya - karya musik inkulturasi Subjek

Penelitian menghasilkan beberapa seruan

etnik sebagai berikut:

1. Sililili

Seruan ini terdapat pada suara alto

yang diserukan secara berulang –

ulang pada setiap ayat.

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

86

Gambar 1. Bentuk ritme seruan Sililili

2. Uheeee

Gambar 2. Bentuk ritme seruan Uheeee

Seruan ini terdapat pada suara tenor yang

dinyanyikan secara berulang – ulang kali

pada setiap ayat. Terdapat 2 pola, yang

pertama dengan seruan pendek yang

bersifat membakar semangat penari dan

yang kedua dengan seruan lebih panjang

yang bersifat seakan- akan

meninabobokan para penari yang telah

sungguh- sungguh terlibat dalam emosi

tari.

3. Iiih oo aaa

Gambar 3. Bentuk ritme seruan Iiih oo aaa

Ini terdapat pada suara bass yang

dinyanyikan secara berulang – ulang

pada setiap ayat. Seruan ini biasanya

dilakukan oleh kaum pria dan dibarengi

seruan sililili oleh wanita, baik secara

serempak maupun secara bersambung.

Hasil inkulturasi budaya dari ketiga

seruan di atas dapat dilihat pada lagu Puji

Tuhan karya Subjek Penelitian berikut.

Gambar 4. Lagu Puji Tuhan ciptaan Subjek

Penelitian

Kerrr

Gambar 5. Seruan Kerrr

Seruan ini terdapat pada suara tenor

seperti pada lagu inkulturasi karya

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

Subjek Penelitian berjudul Satukanlah

Kami Ya Tuhan (Gambar 8). Pada lagu

tersebut, Kerrr diserukan dengan

diikuti oleh seruan Halaka. Ini sesuai

dengan motif lagu tersebut yaitu

Muhang – Flores Timur, di mana pada

kebudayaan masyarakat Flores Timur,

Kerrr sering diserukan beriringan

dengan Halaka.

Seruan Kerrrr ini dapat dikatakan

bukan ekslusif milik masyarakat

Flores Timur saja, namun juga

dimiliki oleh masyarakat Timor. Ini

juga ditunjukan oleh Subjek Penelitian

dalam karya inkulturasi yang

diciptakannya, seperti pada lagu

berjudul Pujilah Tuhan, Hai Segala

Bangsa yang bermotif Belu (Timor)

pada Gambar 14.

4. Halaka

Gambar 6. Bentuk ritme seruan

Halaka

Seruan ini juga terdapat pada suara

tenor. Pada karya inkulturasi Subjek

Penelitian di Gambar 8, Halaka

diserukan setelah seruan Kerrr dan

disambung dengan seruan Sililili oleh

suara Sopran. Berdasarkan asal

seruannya, ketiga seruan ini merupakan

seruan etnik dari daerah yang sama

yaitu Flores Timur.

Gambar 7. Perpaduan seruan Kerrr,

Halaka, dan Sililili dalam karya

inkulturasi Subjek Penelitian

5. E – a – o

Gambar 8. Bentuk seruan E – a – o dalam

karya inkulturasi Subjek

Penelitian

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

88

E – a – o diserukan secara bersama –

sama oleh suara pria dan wanita

seperti yang terdapat pada lagu

inkulturasi karya Subjek Penelitian

berjudul Nggeluk Ga Dewa Mese. E –

a – o diserukan pada bagian koor

(wale).

Gambar 9. Seruan E – a – o dalam lagu

Nggeluk Ga Dewa Mese

Pembahasan

Inkulturasi merupakan suatu proses

timbal balik antara budaya setempat dengan

budaya gereja (Prier, 2014). Melalui proses

ini, budaya setempat diserap ke dalam musik

– musik liturgi gereja sebagai sarana

pewartaan sehingga ajaran – ajaran gereja

dapat lebih diterima dan dihayati oleh

masyarakat. Di sisi lain, dengan adanya

karya inkulturasi, kebudayaan – kebudayaan

setempat dapat dilestarikan sehingga tidak

menghilang seiring berjalannya waktu.

Seruan – seruan etnik dalam karya –

karya inkulturasi Subjek Penelitian

merupakan hasil pengamatan dan

perenungannya terhadap karya – karya

musik, tarian, dan sastra masyarakat NTT

yang saling berhubungan satu sama lain.

Kesatuan dari unsur musik, tari, dan sastra

dalam budaya NTT dikemukakan oleh

Subjek Penelitian sebagai suatu segitiga

budaya yang dapat dirincikan sebagai

berikut:

1. Bentuk musik dan sastra mengikuti

tari

Dalam bentuk penyajian ini, yang

menjadi tokoh utama/pusat adalah tari

sedangkan musik dan sastra

mengikutinya. Bentuk inilah yang

paling umum terdapat dalam budaya

asli NTT. Karena itu banyak genre

lagu NTT seperti Gawi di Lio, Bidu di

Timor, Padoa di Sabu/ Rote, Teke di

Ngada, Danding di Manggarai, Beku

dan Liang di Flores Timur dan Sora di

Sikka sebenarnya merupakan lagu tari

dengan karakter musik yang sangat

hidup sesuai ritme tari dari mana dia

berasal.

2. Bentuk sastra dan tari mengikuti

musik

Bentuk penyajian kedua yang juga

khas adalah bentuk dimana sastra dan

tari mengabdi kepada musik yang

dalam hal ini berupa lagu. Subjek

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

Penelitian menyatakan bahwa meski

belum diteliti, tapi dapat dipastikan

bahwa bentuk ini terdapat dimana-

mana di NTT. Hal ini terbukti dari

adanya ”melodi sejati” dalam lagu-

lagu ritus (tua) NTT yang tidak

berpatok saja pada ”pedoman ritme

(tari)” melainkan pada sistem nada

tersendiri yang sangat otentik

menunjukan ke”melodisan”nya.

Contoh dari bentuk ini yaitu: Egol,

Blasi (barasi) dan Oreng di Flores

Timur, Neke di Ngada dan Naruk Pale

di Sikka. Lagu- lagu ini berirama

cukup bebas, namun kalau ditarikan/

ditandakan maka dapat dikemas

dalam pola- pola ritme tari.

3. Bentuk musik dan tari mengikuti

sastra

Bentuk penyajian ketiga yakni sastra

menjadi tokoh utama atau pusat bagi

musik dan tari. Irama asli NTT, seperti

yang dikenal di Maumere, Lio, Flores

Timur, Sumba dan Timor umumnya

berpola ritme binair yang sangat

cocok untuk tarian tandak dan jenis

tarian ritual lainnya seperti tari elang

di Sumba dan Flores Timur, Gawi di

Lio, Opak- oron dan Liang namang

serta Beku di Flores Timur, Togo dan

Oa Mbele di Maumere. Karena itu

pula sastera berirama itu sangat

memancing melodi sastera, baik yang

berbentuk pola melodi dengan ”nada

kwint” yang sangat umum di NTT

seperti Breka (Bleka) Hara di Muhang

Barat, Hode naruk di Muhang Timur,

Sora dan Helelarak di Maumere

Timur, maupun pola melodi yang

lebih berbentuk ” melodi bicara”

seperti Natoni di Timor Opak – oron

di Flores timur, dan Topo – So di

Muhang Barat.

Segitiga budaya di atas

menunjukan bahwa dalam budaya

masyarakat NTT, musik, tari, dan sastra

merupakan tiga hal yang tidak dapat

terpisahkan. Sebagai suatu karya

inkulturasi yang berakar dari budaya

setempat, keenam seruan di atas juga

tidak dapat dipisahkan dari kesatuan

unsur musik, tari, dan sastra dalam

budaya NTT.

Hal ini dapat dijelaskan sebagai

berikut:

1. Sililili

Seruan Sililili banyak digunakan

oleh Subjek Penelitian dalam karya –

karya inkulturasinya dengan motif

Flores Timur. Selain Flores Timur,

seruan ini terdapat pada hampir

semua budaya suku NTT, terutama

yang mempunyai simbol burung

elang dalam upacara ritual adat.

Bunyi yang sangat dramatis itu

adalah tiruan bunyi keriangan burung

elang tatkala melayang – layang di

angkasa menikmati kepulan asap api

pembakaran calon lahan pertanian

baru. Pola ritme untuk seruan ini

biasanya dikemas dalam birama tari

atau tandak dengan sifat yang sangat

luwes (terbuka) untuk improvisasi.

Hal ini juga diperlihatkan oleh

Subjek Penelitian dalam karya –

karya inkulturasi yang dihasilkan

seperti seruan Sililili pada Gambar 1

yang memiliki pola ritme yang

berbeda dengan yang terdapat pada

Gambar 7.

Gambar 10. Contoh pola ritme untuk tari

elang ala Flores Timur dan Sumba

2. Uheeee

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

90

Uheeee lebih lazim diserukan di

daerah Timor, seperti dalam tarian

adat Bidu yang merupakan tarian

adat masyarakat Malaka. Terdapat 2

pola dalam melantunkan seruan ini

yaitu, yang pertama dengan seruan

pendek yang bersifat membakar

semangat penari dan yang kedua

dengan seruan lebih panjang yang

bersifat seakan – akan

meninabobokan para penari yang

telah sungguh- sungguh terlibat

dalam emosi tari. Hal ini sesuai

dengan fungsi tarian Bidu pada

zaman dahulu yaitu sebagai media

bagi pemuda dan pemudi, khususnya

bagi para remaja yang sudah direstui

orang tua mereka dan sudah siap

dinikahkan untuk saling mengenal

dan memilih jodoh yang mereka

inginkan (Kamerabudaya, 2016).

Dalam menarikan tarian tersebut,

para penari pria dan wanita menari

(dengan gerakan masing – masing)

seakan menggambarkan pesona yang

dimiliki untuk menarik lawan jenis

sehingga saat menentukan pilihan

jodoh mereka tahu yang mana yang

sesuai dengan keinginan mereka.

Gambar 11. Pola pendek seruan Uheeee

Gambar 12. Pola pendek seruan Uheeee

3. Iiih oo aaa

Belum ditemukan seruan yang sangat

katarsis ini di daerah lain di NTT,

kecuali di daerah Flores Timur dalam

tandak Opak-oron atau Liang –

Namang. Secara etimologis, Liang –

Namang berasal dari dua kata yaitu

Liang yang berarti nyanyian yang

dilantunkan oleh penyair (dua orang

secara bergantian) dan Namang yang

berarti hentakan atau gerakan,

sehingga istilah Liang – Namang

dapat juga diartikan sebagai narasi

yang dinyanyikan dan disertai

dengan gerakan atau hentakan

(BPNB, 2015). Kisah yang

diceritakan dalam tarian Liang

Namang didialogkan dalam bentuk

syair adat, hentakan – hentakan, dan

seruan Iiih oo aaa yang biasanya

dilakukan oleh kaum pria. Hal ini

kemudian diinkulturasikan juga oleh

Subjek Penelitian dalam karya –

karya musik inkulturasinya di mana

seruan Ihh oo aaa biasanya

dilakukan oleh kaum pria dan

dibarengi seruan “Silili” oleh wanita,

baik secara serempak maupun secara

bersambung.

Gambar 13. Perpaduan seruan Sililili dan Iiih

oo aaa dalam karya inkulturasi Subjek

Penelitian

4. Kerrr

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

Seruan Kerrr merupakan seruan

yang terdapat di beberapa daerah

NTT, seperti di Flores Timur dan

Belu (Timor). Seruan ini berasal dari

teriakan atau pekikan ketika

melakukan tarian tradisional, seperti

Liang Namang di Flores Timur, dan

biasanya berperan sebagai penanda

sebelum melakukan gerakan cepat.

Kerrr pada dasarnya merupakan

seruan pembangkit semangat ketika

tarian dilakukan. Berbeda dengan

Sililili yang lazimnya berpola ritme,

Kerrr diserukan dalam satu frase

panjang, seperti “pedal point” pada

musik barok, terkadang mencapai

durasi dua birama atau lebih sesuai

mood pelakunya.

Perbedaan antara seruan Kerrr pada

musik inkulturasi karya Subjek

Penelitian untuk daerah Flores

Timur dan daerah Belu (Timor)

yaitu, jika pada karya inkulturasi

daerah Flores Timur, seruan Kerrr

diikuti dengan seruan Halaka (ini

sesuai dengan kebiasaan masyarakat

Flores Timur, khususnya kaum

lelaki, yang akan menyerukan Kerrr

pada tarian – tarian tradisional

dengan diikuti oleh seruan Halaka),

pada karya inkulturasi Subjek

Penelitian untuk budaya Belu

(Timor), seruan Kerrr diikuti dengan

seruan Ai – ai. Ini dapat dilihat pada

lagu Pujilah Tuhan, Hai Segala

Bangsa karya Subjek Penelitian

sebagai berikut.

Gambar 14. Lagu Pujilah Tuhan, Hai Segala

Bangsa karya Subjek Penelitian

5. Halaka

Halaka atau Haleka merupakan

seruan tradisional Flores Timur.

Secara harafiah, Halaka dapat

berarti “masih salah” atau “Awas!!”.

Halaka biasanya diserukan bersama

dengan Kerrr. Seruan Halaka

berfungsi untuk membakar

semangat penari agar lebih

bergairah dalam melakukan gerakan

– gerakan tari. Kerr dan

Halaka/Haleka senantiasa diserukan

dalam tarian – tarian tradisional

yang ditampilkan dalam pesta –

pesta atau acara – acara masyarakat

Flores Timur sebagai pembangkit

semangat dan penambah keceriaan

dalam menari. Kedua seruan ini

bukan merupakan bagian dari

pantun/syair lagu namun merupakan

sampiran atau kata – kata tambahan

yang mengiringi tarian dan bisa

diserukan bukan hanya oleh

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

92

pemantun namun bisa juga oleh

peserta tarian yang lain.

Halaka biasanya diserukan dalam

bentuk pendek – ritmis, pada

tekanan berat / utama dan hanya

diulang pada saat tertentu, misalnya

pada akhir refren, koor, atau pada

akhir solo untuk memulai bagian

berikut dengan meyakinkan.

Gambar 15 Pola ritme pendek Halaka

6. E – a – o

E – a – o merupakan seruan adat

tradisional yang berasal dari daerah

Manggarai yang diserukan dalam

suara tunggal (unisono) oleh kaum

pria, wanita, dan anak - anak. Sama

seperti seruan – seruan adat

tradisional dari daerah lainnya, e – a

– o tidak memiliki arti khusus dan

hanya berupa sampiran di tengah

pantun – pantun adat yang

dinyanyikan dengan diiringi oleh

tarian – tarian tradisional Manggarai.

Seruan ini lazim terdengar ketika

masyarakat Manggarai menarikan

tarian Sanda. Sanda pada dasarnya

merupakan nyanyian vokal alamiah

masyarakat Manggarai yang

dinyanyikan sambil diiringi oleh

gerakan gerakan berputar dalam

lingkaran sambil sesekali disertai

dengan hentakan kaki seirama.

Bentuk lingkaran merupakan bentuk

yang akrab dengan budaya hidup

masyarakat Manggarai (Darmo,

2013). Ketika berdiskusi untuk

memutuskan sesuatu, masyarakat

Manggarai selalu duduk dalam

formasi membentuk lingkaran

sehingga semua warga masyarakat

berhak mengemukakan pendapatnya.

Lantunan Sanda diiringi oleh tarian

dalam formasi lingkaran

mengandung arti bahwa semua yang

terlibat dalam tarian tersebut

bernyanyi bersama untuk

mengungkapkan syukur,

menghadapi persoalan, dan

menyampaikan permohonan kepada

Sang Pencipta secara bersama –

sama.

Darmo (2013) mengungkapkan

bahwa Sanda pada prinsipnya

merupakan nyanyian yang diiringi

oleh tarian yang berisi berbagai

macam ajaran dan pengalaman hidup

manusia dalam berhubungan dengan

alam, sesame, dan pencipta. Ajaran

dan pengalaman hidup tersebut

dilantunkan dalam bentuk puji –

pujian atau ungkapan syukur kepada

pencipta, keluh kesah, sikap dalam

menghadapi tantangan, cara

memecahkan persoalan, cara

menghormati alam dan sesama,

ungkapan, harapan, dan permohonan

kepada Sang Pencipta, serta

kepercayaan akan kehidupan setelah

kematian. Syair – syair yang

dinyanyikan tersebut merupakan

warisan dari leluhur masyarakat

Manggarai yang diwariskan secara

turun – temurun.

Dalam kebiasaan masyarakat

Manggarai, tarian Sanda

dinyanyikan bukan hanya terbatas

pada kaum lelaki saja namun

dibawakan pula secara bersama oleh

kaum wanita dan anak – anak. Hal ini

juga menjadi dasar filosofi yang

digunakan oleh Subjek Penelitian

dalam menginkulturasikan seruan e –

a – o dari nyanyian tradisional Sanda

ke dalam karya inkulturasi yang

dihasilkannya, di mana seruan

tersebut tidak hanya diserukan oleh

kaum lelaki saja (tenor dan bass)

namun juga oleh kaum wanita

(sopran dan alto). Dalam

menghasilkan karya inkulturasi

tersebut, seruan e – a – o mengalami

proses aransemen sehingga

diserukan dalam empat suara; ini

berbeda dengan kondisi aslinya di

mana seruan tersebut diserukan

hanya dalam satu suara saja namun

tidak menghilangkan nafas dari

seruan tersebut yaitu sebagai seruan

kepada Sang Pencipta (berbeda

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

dengan Kerrr dan Halaka yang lebih

berfungsi sebagai pembangkit

semangat ketika menari.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan dapat disimpulkan hal – hal

sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa jenis seruan etnik NTT

yang digunakan dalam karya inkulturasi

yang diciptakan oleh Subjek Penelitian

yaitu: (1) sililili; (2) Uheeee; (3) Ihh oo

aaa; (4) kerrr; (5) Halaka; dan (6) e – a –

o.

2. Seruan Sililili terdapat hampir pada semua

budaya suku NTT, terutama yang

mempunyai simbol burung elang dalam

upacara ritual adat merupakan tiruan

bunyi keriangan burung elang tatkala

melayang- layang di angkasa menikmati

kepulan asap api pembakaran calon lahan

pertanian baru.

3. Seruan Uheeee lebih lazim di Timor,

terutama dalam tarian adat Bidu yang

merupakan tarian adat masyarakat

Malaka. Terdapat 2 pola dalam

melantunkan seruan ini yaitu, yang

pertama dengan seruan pendek yang

bersifat membakar semangat penari dan

yang kedua dengan seruan lebih panjang

yang bersifat seakan - akan

meninabobokan para penari yang telah

sungguh- sungguh terlibat dalam emosi

tari.

4. Seruan Ihh oo aaa terdapat pada suara

bass yang dinyanyikan secara berulang –

ulang kali pada setiap ayat. Seruan ini

biasanya dilakukan oleh kaum pria dan

dapat dibarengi dengan seruan” sililili

oleh wanita, baik secara serempak

maupun secara bersambung.

5. Seruan Kerrr terdapat pada suara tenor;

merupakan seruan pembangkit semangat

yang berasal dari beberapa daerah di NTT,

misalnya di Flores Timur dan Belu

(Timor) yang biasanya diserukan oleh

kaum pria ketika melakukan tarian

tradisional.

6. Seruan Halaka juga terdapat pada suara

tenor; juga merupakan seruan pemabngkit

semangat dari Flores Timur. Pada karya

inkulturasi yang dihasilkan, Halaka

diserukan berdampingan dengan Kerrrr,

ini sesuai dengan kebiasaan kaum Pria

Flores Timur yang menyerukan

Halaka/Haleka berdampingan dengan

Kerrrr ketika melakukan tarian

tradisional, seperti tarian Liang Namang,

untuk membangkitkan semangat penari

lainnya.

7. Seruan e – a – o diserukan secara bersama

– sama dalam koor (wale) oleh empat jenis

suara berbeda (sopran, alto, tenor, dan

bass) dalam karya msik inkulturasi

ciptaan Subjek Penelitian. Ini sedikit

berbeda dengan yang dilakukan pada

budaya aslinya dimana hanya

menggunakan satu suara (unisono) namun

tidak menghilangkan nafas dari seruan

tersebut yaitu sebagai seruan kepada Sang

Pencipta (berbeda dengan Kerrr dan

Halaka yang berfungsi sebagai

pembangkit semangat). Seruan ini berasal

dari daerah Manggarai yang biasa

diserukan secara bersama – sama oleh

kaum pria, kaum wanita, dan anak – anak

ketika sedang menari; misalnya ketika

melakukan tarian Sanda untuk

mengungkapkan syukur, menyampaikan

persoalan, dan permohonan kepada Sang

Pencipta.

8. Kesatuan dari unsur musik, tari, dan sastra

dalam budaya NTT dikemukakan oleh

Subjek Penelitian sebagai suatu segitiga

budaya yaitu: (a) bentuk musik dan sastra

mengikuti tari; (b) bentuk sastra dan tari

mengikuti musik; dan (c) bentuk musik

dan tari mengikuti sastra.

Saran

Seminar Antar Bangsa : Seni Budaya dan Desain – STANSA 2018

94

1. Inkulturasi bukan saja berperan sebagai

sarana agar agama dapat lebih diterima

oleh masyarakat, namun inkulturasi juga

berperan penting dalam pelestarian

budaya – budaya masyarakat NTT agar

tetap dikenal sampai generasi

selanjutnya dan tidak hilang tergerus

oleh perkembangan zaman.Karena

peran pentingnya inkulturasi dalam

melestarikan budaya masyarakat ini

maka penciptaan karya – karya

inkulturasi dalam karya musik etnik

NTT perlu senantiasa ditingkatkan.

2. Penelaahan terhadap karya – karya

musik inkulturasi perlu lebih

dilakukan sehingga masyarakat NTT

lebih memahami makna dari unsur –

unsur budaya yang terdapat dalam

lagu – lagu karya inkulturasi yang

sering mereka lakukan. Hal ini dapat

mendorong meningkatnya rasa cinta

tanah air dan cinta budaya.

Daftar Pustaka

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB). 2015.

Liang Namang/ Seleng Namang,

Pertunjukan Tradisional Masyarakat

Lamaholot. Bali: (Online):

https://kebudayaan.kemendikbud.go.id/bpn

bbali/2015/01/13/liang-namangseleng-

namang-pertunjukan-tradisional-

masyarakat-lamaholot/#

Dahlan, R.I. 2016. Tarian Khas Flores. Malang

(Online):

http://idaroyanidahlan.student.umm.ac.id/20

16/08/17/tarian-khas-flores/

Darmo, M.2013. Sanda, Mazmur Budaya

Manggarai. (Online):

http://marcelputerating.blogspot.com/2013/

07/sanda-mazmur-budaya-manggarai.html

(Diakses pada 11 September 2018).

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1980.

Ensiklopedi Tari Indonesia. Jakarta:

Depdikbud

Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation o f

Cultures. New York: Basic Books.

Kamerabudaya. 2016. Tari Bidu, Tari Tradisional

dari Belu Provinsi NTT. (Online):

https://www.kamerabudaya.com/2016/11/ta

ri-bidu-tarian-tradisional-dari-belu-

provinsi-ntt.html

Prier, E. K. 2014. Inkulturasi Muik Liturgi 1.

Jogjakarta: Pusat Musik Liturgi.

________________ Inkulturasi Muik Liturgi I1.

Jogjakarta: Pusat Musik Liturgi.

Rosana, E. 2017. Dinamisasi Kebudayaan dalam

Realisasi Sosial (Al-AdYaN/Vol.XII,

N0.1/Januari-Juni/2017). Online:

https://media.neliti.com/media/publications

/177704-ID-dinamisasi-kebudayaan-dalam-

realitas-sos.pdf