tax planning makalah
Post on 16-Jan-2016
39 Views
Preview:
TRANSCRIPT
2. Capital Expenditure versus Reveneu Expenditure
Pengeluaran modal atau yang juga dikenal dengan istilah capex (capital expenditure) merupakan
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tetap, menambah kapasitas output aktiva tetap,
menambah tingkat ke-efisiensi-an aktiva tetap, juga memperpanjang umur ekonomis suatu aktiva
tetap (manfaat ekonomisnya lebih dari satu tahun buku). jika kita lihat dari tingkat material,
biasanya biaya biaya ini dikeluarkan dalam nominal yang cukup material. dan tingkat keseringan
pengeluaran modal ini jarang terjadi.
Contohnya adalah biaya yang dikeluarkan dalam pembelian aktiva tetap, biaya biaya yang
dikeluarkan dalam pembelian salah satu atau lebih komponen aktiva tetap, ataupun biaya
penggantian komponen komponen aktiva yang perlu diganti dengan maksud agar mendapatkan
manfaat ekonomis dimasa yang akan datang akan pengeluaran tersebut, meningkatkan kapasitas
produksi maupun tingkat efisiensi serta juga bisa memperpanjang umur ekonomis atau masa
manfaat atas aset tetap.
Semisal, pembelian mesin produksi, pembelian komponen mesin produksi, mengupgrade
kapasitas mesin produksi, yang rata rata jumlah yang dikeluarkan untuk itu sangat material.
Jadi, pengeluaran modal merupakan pengeluaran yang tidak dibabankan pada saat periode
pengeluaran itu terjadi melainkan di Kapitalisasi sebagai aset tetap dalam Neraca. karena
pengeluaran pengeluaran ini diharap memberikan suatu manfaat untuk perusahaan di masa yang
akan datang. kemudian, secara periodik, Aset Tetap ini dialokasikan sebagai beban penyusutan
pada periode mendatang.
Pengertian revenue expenditure atau pengeluaran pendapatan adalah pengeluaran/biaya biaya
yang hanya memberikan manfaat ekonomis pada saat periode berjalan terjadinya pengeluaran.
pengeluaran ini tidak dikapitalisasi sebagai aset tetap pada neraca tetapi langsung dibebankan
pada laporan laba/rugi periode berjalan. dilihat dari nilai materialitasnya, pengeluaran
pendapatan ini cenderung kecil nilainya, alias tidak material bagi perusahaan. manfaat
ekonomisnya tidak lebih dari satu tahun buku. tingkat, pengeluaran ini biasanya juga sering
terjadi dalam operasional perushaan dan berulang ulang.
Contohnya seperti pengeluaran pemeliharaan mesin, pembersihan mesin, melumasi mesin agar
bisa beroperasi seperti biasanya, pengeluaran pengeluaran seperti ini biasanya tidak membuat
umur ekonomis mesin bertambah, juga tidak bisa meningkatkan kapasitas produksi mesin
maupun tingkat efisiensinya dan nominal yang dikeluarkan cenderung tidak material dibanding
perolehan mesin itu sendiri. pengeluaran seperti ini berulang terjadi dan pencatatannya langsung
dibebankan pada periode tersebut.
Namun, jika seandainya ada salah satu komponen mesin yang rusak, misal ada beberapa kabel
yang harus diganti atau plank yang harus di las dan kerusakannya tidak sampai membuat turun
mesin, nilainya tidak material, maka pengeluaran ini dicatat sebagai beban perbaikan. tidak
dikapitalisasi.
Revenue expenditure adalah cadangan uang yang digunakan oleh pendirian untuk
mengembangkan atau meningkatkan aset fisik seperti peralatan, bangunan industri atau properti.
Operasi pendirian sebuah mencakup segala sesuatu dari membangun struktur ke bagian
perbaikan bangunan.
Setiap pendirian usaha jumlah yang cukup menimbulkan beban untuk terus mempertahankan
operasi bisnis itu. Ada dua kategori besar dari pengeluaran bisnis perusahaan dapat dikenakan..
Kategori pertama pengeluaran bisnis terdiri dari item yang dikeluarkan untuk menjalankan
operasi sehari-hari pendirian. Contoh operasi sehari-hari termasuk pengeluaran atas sewa yang
terjadi, biaya pabrik, pembayaran gaji kepada karyawan, biaya administrasi dan komisi
penjualan.
Kategori kedua terdiri pengeluaran aset dibeli oleh perusahaan. Hal ini menyebabkan
peningkatan produktivitas dan efisiensi ditingkatkan pembentukan. Beberapa contoh penting dari
pengeluaran semacam ini termasuk pembelian peralatan otomatisasi kantor, pembelian
kendaraan kantor, pembelian peralatan mebel dan komputer.
3. Pemilihan Metode Persediaan
Persediaan adalah aktiva yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal; dalam proses
produksi dan atau dalam perjalanan; dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk
digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa (IAI, 2004). Persediaan merupakan aset
yang sangat penting, bagi perusahaan terutama perusahaan manufaktur, yang kegiatan utamanya
adalah menjual barang, sehingga dapat dikatakan bahwa persediaan menentukan kelangsungan
operasi utama perusahaan. Pemilihan metode akuntansi persediaan di Indonesia mengacu pada
PSAK No.14 (IAI, 2004) yang menyatakan bahwa diberlakukannya tiga metode akuntansi
persediaan yaitu metode first in first out (FIFO), metode rata-rata tertimbang (weighted average)
, dan last in first out (LIFO). Namun pada kenyataannya peraturan perpajakan di Indonesia
tentang pajak penghasilan hanya mengakui 2 metode yaitu metode FIFO dan metode rata-rata
tertimbang (weighted average). Perbedaan metode akuntansi persediaan yang diterapkan dalam
perusahaan akan mempengaruhi nilai persediaan akhir, harga pokok penjualan, dan laba bersih
perusahaan. Dalam kondisi harga yang semakin meningkat, metode FIFO akan menghasilkan
nilai persediaan akhir yang tinggi dan harga pokok penjualan yang rendah, sehingga laba bersih
menjadi tinggi. Sebaliknya metode LIFO akan menghasilkan persediaan akhir yang rendah,
harga pokok penjualan yang tinggi, dan laba bersih yang rendah. Sedangkan metode rata-rata
tertimbang akan menghasilkan nilai persediaan akhir, harga pokok penjualan dan laba bersih
yang nilainya berada diantara metode FIFO dan metode LIFO.
Oleh karena itu, adanya perbedaan penggunaan metode akuntansi persediaan dalam laporan
keuangan perusahaan akan menghasilkan laporan keuangan yang berbeda juga. Cushing dan
LeClere (dalam Rustardy et al.,2004) mengatakan bahwa pemilihan metode pemilihan akuntansi
untuk persediaan merupakan suatu keputusan yang memerlukan banyak pertimbangan. Salah
satu alasannya yaitu adanya keinginan investor dalam kaitannya dengan market value perusahaan
dan return yang diharapkan oleh investor. Belkaoui (1993, dalam Mukhlasin, 2002)
mengemukakan bahwa pemilihan metode akuntansi perusahaan dianggap melekat dalam
keseluruhan masalah penelitian untuk memaksimalkan harga saham yang tergantung pada
adanya peluang investasi dan pembiayaan. Penelitian Anissa (2004) menguji analisis tentang
penerapan metode akuntansi persediaan dengan menggunakan sampel perusahaan yang listing
di Bursa Efek Jakarta periode 1997-2000. Hasil penelitian menemukan bahwa berdasarkan
metode discrimination approach, laporan laba rugi pada perusahaan yang menerapkan metode
akuntansi FIFO lebih mencerminkan market value perusahaan dibanding dengan laporan laba-
rugi pada perusahaan yang menerapkan metode rata-rata. Namun berdasarkan metode discerning
approach laporan laba rugi pada perusahaan yang menerapkan metode akuntansi rata-rata lebih
mencerminkan market value perusahaan dibanding dengan laporan laba-rugi pada perusahaan
yang menerapkan metode FIFO.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji metode akuntansi persediaan manakah, antara FIFO dan
rata-rata, yang paling mencerminkan market value perusahaan. Penelitian ini menggunakan
periode penelitian setelah masa krisis moneter yaitu tahun 2003-2005, sedangkan pada penelitian
Anissa (2004) menggunakan periode penelitian pada saat krisis yaitu tahun 1997-2000.
Penggunaan periode data yang berbeda diharapkan dapat memperkaya teori yang ada. Metode
discrimination approach dan discerning approach akan digunakan sebagai alat uji hipotesis
dalam penelitian ini sebagaimana yang digunakan oleh Anissa (2004). Penggunaan 2 metode
tersebut bertujuan untuk mempertegas hasil uji hipotesis dari penelitian ini.
Menurut Smith (1995, dalam Abdullah dan Djalil, 2004) persediaan merupakan salah satu unsur
aktiva yang paling aktif dalam perusahaan dan nilai investasi sumberdaya perusahaan ke
dalamnya sangat besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa persediaan merupakan aktiva yang
penting dalam kegiatan operasi perusahaan, oleh karena itu perusahaan harus menentukan nilai
persediaan memadai guna memenuhi kelancaran kegiatan operasi perusahaan. Menurut Lee dan
Hsieh (1985, dalam Anissa, 2004) metode akuntansi persediaan adalah kebijakan pengukuran
yang digunakan sebagai media kontrak antar-economic agent yang berkaitan dengan persediaan.
Pemilihan metode akuntansi persediaan yang berbeda akan menghasilkan laba yang berbeda
juga. Menurut Kirkpatrick dan Speer (1998, dalam Anissa, 2004) menyatakan bahwa perubahan
metode akuntansi persediaan dipengaruhi oleh faktor konsistensi pelaporan, pengaruh pelaporan
laba pada tahun perubahan metode, dan pengaruh pajak.
Perusahaan dalam melakukan pemilihan metode akuntansi di Indonesia mengacu pada PSAK
No.14 yang memberi 3 alternatif metode akuntansi persediaan, yaitu metode First In First Out
(FIFO), metode rata-rata tertimbang (weighted average), serta metode Last In First Out (LIFO).
Metode-metode tersebut masing-mas ing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
metode FIFO seiring dengan kondisi normal, dengan harga barang yang mengalami kenaikan
dari waktu ke waktu adalah (1) laba menggambarkan arus fisik persediaan, (2) nilai persediaan
akhir lebih mendekati current cost , dan (3) memberikan suatu nilai aproksimasi yang lebih tepat.
Selain mempunyai kelebihan, metode FIFO juga mempunyai kelemahan, yakni laba yang
dihasilkan dari penggunaan metode FIFO tidak mencerminkan keadaan sebenarnya karena
current cost tidak dibandingkan current revenue dalam perhitungan laba-rugi. Menurut Bernstein
& Wild (1998, dalam Abdullah dan Djalil, 2004) hal ini mengakibatkan terjadinya distorsi dalam
laba kotor dan laba bersih sehingga
timbul tambahan laba yang berasal dari perubahan harga yang disebut inflation profit
Penggunaan metode LIFO juga mempunyai kelebihan yaitu: (1) adanya keuntungan pajak, (2)
pengukuran laba yang lebih baik, (3) memperbaiki aliran kas, (4) adanya future earnings hedge ,
yaitu laba perusahaan pada masa yang akan datang tidak terpengaruh oleh penurunan harga.
Sedangkan kelemahan metode LIFO yaitu (1) memperkecil laba, (2)
penyajian persediaan di neraca terlalu rendah, (3) tidak mencerminkan arus fisik persediaan, (4)
tidak mengukur laba berdasarkan berdasarkan current cost , (5) adanya involuntary liguidation
(likuidasi terpaksa)
yaitu jika terjadi penurunan persediaan saat kemampuan perusahaan rendah, maka akan
menyebabkan laba yang dilaporkan tinggi, sehingga perusahaan juga harus membayar pajak
yang tinggi, dan (6) poor buying habits yaitu kebiasaan pembelian yang buruk, misal sebuah
perusahaan bisa membeli lebih banyak barang dan menandingkan pembelian tersebut dengan
pendapatan untuk memastikan bahwa biaya lama tidak dicatat sebagai beban (Kieso et al., 2002).
Menurut Cushing dan LeCLere (1992, dalam Syukriy dan Muslim, 2004), alasan utama
perusahaan memilih LIFO adalah adanya penghematan pajak yang diestimasi. Perusahaan yang
tidak menggunakan LIFO pada dasarnya disebabkan oleh adanya faktor lain yang tidak terlalu
jelas, bahkan sebagian besar sama sekali mengabaikan kemungkinan penghematan pajak.
Sedangkan pendekatan dengan metode rata-rata tertimbang menurut Ali dan Hartono (2000,
dalam Anissa, 2004) pendekatan ini merupakan suatu pendekatan yang realitis dan paralel
dengan arus barang, khususnya jika unit-unit ternyata bercampur-baur. Metode harga perolehan
rata-rata menetapkan harga persediaan berdasarkan harga perolehan rata-rata atas semua barang
yang sama yang tersedia selama satu periode. Pada sistem periodik, metode ini disebut teknik
rata-rata tertimbang (weighted average technique) dan pada sistem perpetual dikenal dengan
nama teknik rata-rata bergerak (moving average technique). Penggunaan metode rata-rata
biasanya didasarkan pada alasan kepraktisannya daripada alasan konseptual (Abdullah dan
Djalil, 2004). Menurut Smith (1995, dalam Abdullah dan Djalil, 2004) keterbatasan dari metode
ini yaitu nilai persediaan secara terus-menerus mengandung pengaruh dari cost paling awal dan
nilai-nilai tersebut dapat mempunyai lag yang signifikan di belakang current price dalam periode
yang mengalami perubahan harga yang sangat cepat, naik atau turun. Namun, Undang-Undang
No. 10 tahun 1994 pasal 10 ayat 6 hanya memperbolehkan wajib pajak untuk memilih metode
FIFO dan metode rata-rata. Adanya perbedaan antara PSAK dan Undang-Undang perpajakan
tersebut menyebabkan keengganan perusahaan-perusahaan di Indonesia menggunakan metode
LIFO. Menurut Abdullah (1999, dalam Ali, 2001) hal itu diduga karena perusahaan merasa tidak
perlu untuk membuat perhitungan dua kali yaitu untuk tujuan pajak dan komersial.
6. Cadangan Piutang Tak Tertagih
Dalam praktik akuntansi terutama untuk basis akrual, timbulnya utang dan piutang merupakan
hal yang wajar dan biasa terjadi. Untuk piutang, biasanya timbul karena kebijakan kredit dari
perusahaan dalam penjualan barang atau jasa perusahaan kepada pihak lain. Namun, terkadang
terjadi suatu keadaan tidak tertagihnya sebagian piutang oleh perusahaan, hal ini merupakan
konsekuensi dari kebijakan kredit yang biasanya dilakukan oleh perusahaan yang bertujuan
meningkatkan penjualan barang atau jasa perusahaan, Hendriksen dan Breda dalam Sugiri dan
Sumiyana (2005) mengungkapkan tidak tertagihnya piutang mencerminkan aliran keluar
(outflow) aktiva atau aset sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan (revenue). Oleh karena
itu, piutang tak tertagih dikategori sebagai biaya (expense). Meskipun begitu, terdapat pandangan
teoretis bahwa piutang tak tertagih (bad debt) diakui sebagai pengurang penjualan, serupa
dengan perlakuan potongan penjualan dan retur penjualan.
Untuk pengakuan kerugian dari piutang tak tertagih biasanya digunakan dua metode yaitu:
1. Metode cadangan, yang mengakui rugi piutang tak tertagih pada periode penjualan kredit
yang sedang berjalan dengan cara menaksir dan bukan pada saat periode dihapusnya
piutang.
2. Metode langsung, atau metode penghapusan langsung yang mengakui rugi pada saat telah
terjadi penghapusan piutang dengan mendebit Biaya Piutang tidak tertagih dan
mengkredit Piutang Usaha, namun metode ini hanya diperbolehkan apabila jumlahnya
tidak material.
Metode Cadangan
Untuk metode cadangan penaksiran jumlah piutang yang tidak dapat ditagih dilakukan pada
akhir periode ketika perusahaan akan menyusun laporan keuangan untuk digunakan pada periode
tersebut. Ada dua dasar yang biasa digunakan untuk menentukan jumlah kerugian piutang tak
tertagih, yaitu:
1. Pendekatan Laporan Laba.
Pada pendekatan ini, perhitungan taksiran piutang tak tertagih mendasarkan pada penjualan
selama satu periode pelaporan. Untuk memperoleh jumlah taksiran biasanya dilakukan dengan
cara mengalikan prosentase tertentu, dengan jumlah penjualan pada periode tersebut. Untuk
memperoleh prosentase piutang tak tertagih dengan menggunakan cara menghitung
perbandingan piutang yang tak tertagih atau yang dihapus dengan jumlah penjualan tahun lalu
kemudian tinggal disesuaikan dengan periode yang berjalan. Secara logika piutang tak
tertagihmuncul karena penjualan kredit, oleh karena itu akan lebih baik jika piutang tak tertagih
dihitung dengan menggunakan dasar penjualan kredit. Namun pada praktiknya pemisahan antara
penjualan kredit dan debit dapat menimbulkan pekerjaan tersendiri, maka untuk praktisnya
prosentase piutang tak tertagih bisa menggunakan dasar jumlah penjualan periode berjalan.
Contoh: Penjualan kredit tahun 2013 adalah Rp 20juta. Berdasarkan pada pengalaman tahun-
tahun sebelumnya manajemen menaksir risiko piutang tak tertagih adalah 5% dari jumlah
penjualan kredit, sehingga biaya piutang tak tertagih untuk tahun 2013 adalah Rp 1 juta (5% x 20
juta). Jurnal penyesuaian untuk mencatat taksiran tersebut pada akhir tahun 2013 adalah:
Pendekatan laporan laba tidak memperhatikan saldo rekening cadangan piutang tak tertagih
sebelum penyesuaian, meskipun mungkin ada sisa saldo pada rekening cadangan piutang tak
tertagih yang berasal dari periode sebelumnya.
2. Pendekatan neraca atau laporan posisi keuangan
Pada pendekatan ini, cadangan piutang tak tertagih ditentukan dari saldo piutang akhir periode.
Cara perhitungan yang bisa dilakukan ada 3 cara yaitu (a) Jumlah taksiran piutang tak tertagih
dinaikan sampai prosentase tertentu dari saldo piutang akhir periode, (b) taksiran piutang tak
tertagih ditambah dengan prosentase tertentu dari saldo piutang, dan (c) jumlah taksiran piutang
tak tertagih dinaikkan hingga suatu jumlah yang dihitung dengan menganalisa umur piutang.
Jumlah taksiran piutang tak tertagih dinaikan sampai prosentase tertentu dari saldo
piutang akhir periode. Untuk memperoleh cadangan piutang tak tertagih yaitu dengan
mengalikan prosentase tertentu terhadap saldo piutang akhir periode, setelah itu hasil
perhitungan tadi dikurangi atau ditambah dengan saldo rekening piutang tak tertagih.
Misalkan pada 31 Des 2013 rekening piutang sebesar 20 juta dan rekening cadangan
piutang tak tertagih menunjukkan saldo kredit sebesar 250.000. Prosentase piutang tak
tertagih ditetapkan sebesar 5% dari saldo piutang. Maka jumlah yang akan dicatat pada
jurnal adalah sebesar 1.000.000 (5%x20 juta) dikurangi jumlah sisa saldo pada rekening
cadangan piutang tak tertagih (250.000) yaitu 750.000, dengan jurnal sebagai berikut.
Metode ini menghubungkan cadangan piutang tak tertagih dengan saldo piutang yang ada
sehingga menunjukkan jumlah piutang yang diharapkan dapat ditagih. Tapi jika melihat dari
sudut pandang laporan laba rugi maka metode tidak dapat menunjukkan berapa taksiran piutang
tak tertagih yang sebenarnya untuk periode ini, karena dalam perhitungannya dipengaruhi oleh
perhitungan cadangan piutang tak tertagih periode sebelumnya.
Cadangan ditambah dengan prosentase tertentu dari saldo piutang. Secara teknis tidak
jauh berbeda dengan metode sebelumnya, hanya saja pada metode ini hasil perkalian dari
prosentase piutang tak tertagih dengan saldo piutang langsung dicatat ke cadangan
piutang tak tertagih tanpa memperhatikan saldo yang telah ada sebelumnya. Jika dari data
diatas maka jurnal yang akan muncul adalah:
Jika sesuai dengan data diatas, pada rekening cadangan piutang tak tertagih terdapat saldo
sebesar Rp250.000 dari periode sebelumnya, lalu kemudian ditambah dengan cadangan piutang
tak tertagih periode sekarang Rp1.000.000 maka akan didapat total cadangan piutang tak tertagih
sebesar Rp1.250.000. Metode ini dapat menghubungkan piutang tak tertagih pada periode
berjalan dengan saldo piutang periode berjalan dan tanpa dipengaruhi perhitungan saldo
cadangan piutang tak tertagih dari periode sebelumnya.
Jumlah cadangan dinaikkan sesuai perhitungan analisa umur piutang. Metode ini
membutuhkan penelusuran dengan seksama rekening-rekening pembantu piutang dari
masing-masing individu atau pelanggan yang kemudian dikelompokkan menjadi dua,
yaitu yang belum menunggak dan yang menunggak atau melebihi jangka waktu kredit.
Selanjutnya rekening individu dan pelanggan menunggak kembali digolongkan
berdasarkan jangka waktu tunggakannya, misalnya kurang dari satu bulan, lalu satu
hingga dua bulan dan seterusnya. Setelah pengelompokkan berdasar umur tunggakan
maka langkah selanjutnya adalah menentukan besaran prosentase dari masing-masing
umur tunggakan atau piutang yang tak tertagih.
Dari perhitungan diperoleh jumlah Rp2.330.000 sebagai cadangan piutang tak tertagih, namun
jika di rekening cadangan piutang tak tertagih telah ada sisa saldo dari periode sebelumnya,
maka jumlah saldo dalam rekening cadangan piutang tak tertagih dapat dijadikan pengurang
untuk periode sekarang. Semisal dalam saldo rekening cadangan piutang tak tertagih terdapat
sisa dari periode sebelumnya sebesar Rp250.000 maka untuk rekening cadangan piutang tak
tertagih untuk periode sekarang sebesar Rp2.080.000 (Rp2.330.000-Rp250.000), jurnal yang
digunakan untuk mencatat adalah
Metode ini menunjukkan jumlah piutang yang dapat ditagih sesuai dengan kondisi yang berlaku
sekarang, karena metode ini melalui pengecekan dan penaksiran dari masing-masing individu
atau pelanggan dengan teliti, jumlah piutang yang akan tertera di neraca atau laporan posisi
keuangan lebih mendekati kenyataan, data yang didapat pada metode ini sangat bermanfaat bagi
manajemen terutama untuk pengendalian atau analisa kredit. Namun di sisi lain metode ini
memakan banyak waktu dan biaya terutama jika mempunyai daftar pelanggan dengan jumlah
banyak, tapi kekurangan tersebut dapat dikurangi dengan penggunaan pembukuan berbasis
komputer.
Penghapusan piutang
Menaksir jumlah piutang tak tertagih dan menjurnalnya pada akhir periode tidak boleh diartikan
sebagai penghapusan piutang, metode pencadangan dilakukan karena adanya prinsip kehati-
hatian atau konservatisme dalam akuntansi. Penghapusan piutang dilakukan apabila sudah ada
keputusan dari manajemen, misalnya setelah manajemen mengetahui bahwa klien atau
pelanggan telah meninggal dunia atau mengalami kebangkrutan, penghapusan piutang
merupakan keputusan internal perusahaan dan tidak perlu untuk memberitahukan klien atau
pelanggan yang menjadi debitor sehingga masih ada kemungkinan jika suatu saat piutang
tersebut akan dibayar oleh debitor
Metode Penghapusan Langsung
Untuk perusahaan-perusahaan yang relatif kecil terkadang mereka tidak membuat cadangan
piutang tak tertagih, jika klien atau pelanggan sebagai debitur tidak dapat melunasi piutang,
maka piutang yang tak tertagih langsung diakui sebagai kerugian atau sebagai biaya dengan
mencatat jurnal berikut:
Kemudian ketika ada pemberitahuan dari klien atau pelanggan sebagai debitur yang akan
membayar piutang yang telah dihapus oleh perusahaan, maka perusahaan harus memunculkan
kembali piutang yang sebelumnya telah dihapus dengan jurnal berikut:
Setelah kembali dimunculkan, tentunya akan ditindaklanjuti dengan pembuatan jurnal ketika
terjadi penerimaan uang dari klien atau pelanggan sebagai debitur atas piutang yang telah
dihapus, maka perusahaan mencatatnya dengan jurnal:
Apabila perusahaan telah terlanjur menghapus piutang yang tak tertagih pada periode
sebelumnya, lalu kemudian pada periode sekarang perusahaan mendapat informasi bahwa klien
atau pelanggan sebagai debitor akan membayar piutangnya, maka perusahaan harus
memunculkan kembali piutang yang telah dihapus sebelumnya dengan mencatat jurnal sebagai
berikut:
Kesimpulan:
Cadangan piutang tak tertagih merupakan suatu metode akuntansi yang mengacu pada prinsip
akuntansi konservatisme atau kehati-hatian, dan sebagai alat bagi perusahaan untuk menaksir
risiko atas kemungkinan tidak tertagihnya suatu potensi pendapatan yaitu piutang. Terdapat dua
metode untuk mengakui kerugian piutang tak tertagih yaitu metode langsung dan metode
cadangan.
Pada metode cadangan, terdapat beberapa pendekatan untuk menaksir besarnya risiko piutang
tak tertagih yaitu pendekatan laporan laba yang mendasarkan risiko piutang tak tertagih pada
besarnya penjualan di periode sekarang, dan pendekatan laporan posisi keuangan atau neraca
yang mendasarkan risiko piutang tak tertagih pada besarnya saldo piutang akhir periode.
Untuk pendekatan laporan posisi keuangan terdapat 3 cara yaitu (a) Jumlah taksiran piutang tak
tertagih dinaikan sampai prosentase tertentu dari saldo piutang akhir periode, (b) taksiran piutang
tak tertagih ditambah dengan prosentase tertentu dari saldo piutang, dan (c) jumlah taksiran
piutang tak tertagih dinaikkan hingga suatu jumlah yang dihitung dengan menganalisa umur
piutang.
Setelah menaksir risiko piutang tak tertagih maka perusahaan dapat menghapus piutang-piutang
yang tidak dapat tertagih, namun penghapusan piutang ini memerlukan otoritas dari manajemen
ataupun yang berwenang dan berkompeten dalam mengelola penjualan kredit perusahaan, jika
diketahui bahwa klien atau pelanggan selaku debitor benar-benar tidak mampu membayar maka
piutangnya bias dihapuskan, misalnya debitor mengalami kebangkrutan atau telah meninggal.
Debitur tidak perlu mengetahui adanya penghapusan piutang tersebut, jika seandainya terjadi
pembayaran terhadap piutang setelah piutang tersebut dihapus maka perusahaan harus
memunculkan piutang kembali untuk mencatat penerimaan kas tersebut.
Berbeda dengan metode cadangan, pada metode penghapusan langsung risiko pada piutang
ditiadakan tetapi ketika terjadi piutang tak tertagih langsung diakui sebagi kerugian perusahaan.
Biasanya digunakan untuk piutang-piutang yang jumlahnya tidak material dan umumnya
digunakan oleh perusahaan kecil karena segi kepraktisannya.
7. Biaya Entertainment Fiskal
Dalam jenis usaha tertentu, biaya entertainment untuk memberikan jamuan atau representasi
kepada kolega, relasi, rekan bisnis, atau lainnya, tidak bisa dihindari dan mutlak harus
dikeluarkan. Ini agar bisnis bisa berjalan lancar dan proyek yang diincar bisa diperoleh dengan
mudah tanpa hambatan. Dalam konteks umum, hal tersebut bisa dibilang lumrah. Namun dalam
konteks pajak atau fiskal, ada aturan khusus mengenai biaya perjamuan atau representasi ini
terutama jika Wajib Pajak ingin membiayakannya di SPT Tahunan PPh.
Biaya Entertainment Menurut Fiskal
Entertainment umumnya diberikan dalam bentuk perjamuan maupun representasi atau hiburan
dan fasilitas. Misalnya makan di restoran, menginap di hotel , guest house, bungalow, bermain
golf atau olah raga berkelas lainnya atau bentuk perjamuan dan representasi lainnya.
Entertainment ini dapat diberikan baik di tempat usaha atau di kantor Wajib Pajak maupun di
luar kantor Wajib Pajak.
Jadi jika kita tilik dari bentuknya, biaya entertainment itu umumnya berupa natura atau
kenikmatan yang dalam istilah pajak disebut dengan benefit in kind. Akan tetapi benefit in kind
yang satu ini berbeda dengan benefit in kind yang disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e
maupun Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh. Benefit in kind yang dimaksud di Pasal 9 atau di Pasal
4 UU PPh itu khusus dikaitkan dengan pegawai sedangkan benefit in kind dalam konteks
entertainment hanya diberikan kepada bukan pegawai.
Selain tidak diberikan kepada pegawai, benefit in kind yang namanya entertainment itu juga
diberikan di luar konteks hubungan kerja dalam arti bahwa suguhan atau representasi itu
diberikan bukan sebagai imbalan langsung atas pekerjaan atau jasa. Perbedaan-perbedaan ini
harus kita fahami karena konteks pembiayaan, pengakuan objek PPh dan pemotongan PPh-nya
berbeda.
Untuk benefit in kind yang kita berikan kepada pegawai (tetap atau pegawai tidak tetap),
biaya ini secara umum tidak boleh dibiayakan di SPT Tahunan PPh dan bukan
merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21;
Untuk benefit in kind yang kita berikan kepada bukan pegawai tetapi diberikan dalam
konteks sebagai imbalan atas jasa dan pekerjaan mereka, secara substantif merupakan
imbalan jasa (fee) yang diberikan tidak dalam bentuk uang. Secara prinsip seharusnya
terhadap imbalan ini harus dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 23 karena dianggap sebagai
pengganti (barter) jasa dengan fee. Implikasinya benefit in kind ini juga harus bisa
dibiayakan di SPT Tahunan PPh tanpa harus disertai dengan daftar nominatif.
Ada Daftar Biaya Entertainment
Benefit in kind dalam konteks entertainment juga diberikan bukan kepada pegawai. Tetapi
umumnya diberikan bukan dalam konteks sebagai pengganti atau barter imbalan (fee) atas
pekerjaan dan jasa yang mereka lakukan. Definisi dan batasannya memang agak beda tipis
dengan barter imbalan fee. Tapi perlakuan pajaknya sangat berbeda.
Seperti sudah disebutkan di atas, jika benefit in kind ini dianggap sebagai barter imbalan (fee)
dengan pekerjaan/jasa, semestinya barter imbalan ini dapat dibiayakan di SPT Tahunan PPh
tetapi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 23. Namun jika diberikan dalam
konteks entertainment, maka biaya ini bukan merupakan objek pemotongan PPh tetapi tetap
dapat dibiayakan di SPT Tahunan PPh pihak yang memberikan entertainment.
Karena sulit untuk membedakan apakah entertainment ini diberikan dalam konteks imbalan (fee)
atau bukan, maka pihak otoritas kemudian memberikan syarat agar biaya entertainment ini
dibuatkan daftar nominatif biaya entertainment. Selain untuk menentukan apakah terhadap
entertainment ini memang bukan objek pemotongan PPh, daftar nominatif biaya entertainment
tersebut juga dimaksudkan untuk melihat apakah pengeluaran biaya entertainment itu ada
kaitannya dengan kegiatan usaha Wajib Pajak pemberi entertainment.
Oleh karena itu dalam daftar nominatif biaya entertainment Wajib Pajak harus menyebutkan
nama orang, posisi (jabatan), nama perusahaan dan jenis usaha dari orang yang diberikan
entertainment. Keterangan ini selain berguna untuk menentukan keterkaitan biaya entertainment
dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, juga dimanfaatkan untuk menentukan apakah pengeluaran
ini murni entertainment atau merupakan barter imbalan jasa atas pekerjaan yang sudah
dilakukan.
Misalnya ketika dalam kolom identitas penerima entertainment itu tercantum nama seorang
konsultan yang biasa digunakan oleh Wajib Pajak, maka pemeriksa pajak bisa saja menilai
bahwa entertainment yang diberikan tersebut bukan murni entertainment melainkan sebagai
imbal jasa (barter) atas pekerjaan konsultan tadi kepada Wajib Pajak. Apalagi jika nominalnya
ternyata cukup besar dan diberikan dalam satu kali event. Dalam hal ini berarti akan muncul
kewajiban Wajib Pajak untuk memotong PPh atas imbal jasa tersebut.
Ada Bukti Pendukung
Selain harus membuat daftar nominatif biaya entertainment, Wajib Pajak yang ingin
membiayakan biaya entertainment tersebut juga harus melengkapinya dengan bukti-bukti
pendukung yang memadai. Terutama bukti pendukung dari pihak ketiga misalnya tagihan (bill)
dari restoran, hotel , pusat olah raga, dan tempat lainnya yang dipakai sebagai tempat
pelaksanaan pemberian entertainment. Ketentuan ini jelas ditegaskan dalam SE-27/PJ.22/1986
tanggal 14 Juni 1986.
Bukti atau dokumen pendukung ini tidak harus dilampirkan di SPT Tahunan PPh tetapi mutlak
harus ada pada saat pemeriksaan pajak dilakukan. Apabila pada saat pemeriksaan pajak, Wajib
Pajak tidak bisa memperlihatkan bukti- bukti pendukung biaya entertainment tersebut, maka
biaya entertainment itu tidak boleh dibiayakan di SPT Tahunan PPh. Dan apabila Wajib Pajak
sudah terlanjur membiayakan biaya entertainment dalam SPT Tahunan PPh-nya sementara bukti
pendukungnya tidak memadai, maka biaya itu dapat dikoreksi positif oleh pemeriksa pajak.
Biaya entertainment menurut pajak, dalam hal ini menurut penjelasan SE-27/PJ.22/1986 tanggal
14 Juni 1986, secara umum harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Diberikan dalam bentuk perjamuan atau representasi tertentu (bukan dalam bentuk uang);
Diberikan kepada bukan pegawai; dan
Diberikan bukan sebagai pengganti imbalan jasa (barter).
Biaya entertainment yang memenuhi ketiga kriteria tersebut pada prinsipnya bisa dibiayakan di
SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang memberikan entertainment, dengan syarat:
1. Ada Daftar Nominatif Biaya Entertainment; dan
2. Ada bukti-bukti atau dokumen pendukung yang menyatakan bahwa biaya itu benar-benar
terjadi.
Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya sepanjang untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan pada dasarnya dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan No.36
Tahun 2008.
Contoh Biaya "entertainment", representasi, jamuan dan sejenisnya adalah jamuan makan untuk
relasi bisnis.
Wajib Pajak harus dapat membuktikan, bahwa biaya-biaya tersebut telah benar-benar
dikeluarkan (formal) dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan (materiil).
Bagi Wajib Pajak yang mengurangkan biaya-biaya tersebut dari penghasilan brutonya, agar
melampirkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Badan atau PPh Orang Pribadi yang
menggunakan pembukuan berupa daftar nominatif yang berisi :
Nomor urut.
Tanggal "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
Nama tempat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
Alamat "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
Jenis "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
Jumlah (Rp) "entertainment" dan sejenisnya yang telah diberikan.
Relasi usaha yang diberikan "entertainment" dan sejenisnya sesuai dengan nomor urut
tersebut di atas berisi :
1. Nama
2. Posisi
3. Nama perusahaan
4. Jenis usaha.
Daftar Nominatif Sebagai Lampiran SPT Tahunan PPh Badan dan PPh Orang Pribadi yang
menggunakan pembukuan adalah sebagai berikut :
Lampiran
Surat Edaran Dirjen Pajak
Nomor : SE-27/PJ.22/1986
Tanggal : 14 Juni 1986
DAFTAR NOMINATIF BIAYA ENTERTAINMENT DAN SEJENISNYA
TAHUN PAJAK : 2013
Nomo
r
Pemberian entertaiment dan sejenisnya Relasi usaha yang diberikan
entertainment dan sejenisnya
Ket
Tangga
l
Tempa
t
Alama
t
Jenis Jumla
h (Rp)
Nama Posisi Nama
Perusahaa
n
Jenis
Usaha
Biaya Promosi dan Penjualan menurut Pajak
Biaya Promosi dan Penjualan menurut Pajak
Sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a angka 7 Undang-undang PPh, Biaya promosi
dan penjualan (yang diatur dengan peraturan menteri keuangan) merupakan salah satu unsur
pengurang penghasilan bruto dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak ( merupakan
deductable expense).
Pada tanggal 10 Juni 2009, Menteri Keuangan telah menerbitkan PMK-104/PMK.03/2009
(“PMK-104”) tentang biaya promosi dan penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto. Meski pun PMK ini baru diterbitkan pada tanggal 10 Juni 2009 dan baru dipublikasikan
menjelang akhir Juni 2009 (baca : saya baru tahu hari ini :D ) namun PMK-104 ini mulai
berlaku terhitung sejak 1 Januari 2009.
Secara specific PMK-104 ini mengatur mengenai biaya promosi dan atau biaya penjualan bagi
industry rokok dan industry farmasi. Mengingat saat ini tahun 2009 sudah berjalan selama 6
bulan, tentu adanya peraturan baru ini akan memberikan dampak yang cukup besar bagi industry
terkait. Mungkin selama 6 bulan ke depan merubah strategi penjualannya, menghitung-hitung
jumlah biaya promosi dan penjualan yang telah direalisasikan sampai dengan bulan Juni dan
menghitung sisa budget biaya promosi berapa banyak yang akan diperhitungkan sebagai
deductable expense.
Biaya Promosi yang dimaksud dalam PMK-104 ini adalah : “biaya yang dikeluarkan oleh Wajib
Pajak dalam rangka memperkenalkan, mempromosikan, dan/atau menganjurkan pemakaian
suatu produk baik langsung maupun tidak langsung untuk mempertahankan dan/atau
meningkatkan penjualan”.
Sedangkan Biaya Penjualan adalah : “biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk
menyalurkan barang dan/atau jasa sampai kepada pembeli dan/atau pelanggan (customer) baik
langsung maupun tidak langsung, termasuk biaya pengepakan, biaya pergudangan, biaya
pengamanan, dan biaya asuransi, dan biaya lainnya yang diperlukan sampai barang diterima
oleh pembeli dan/atau pelanggan (customer)”.
Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus
memenuhi kriteria berikut :
1. untuk mempertahankan dan atau meningkatkan penjualan;
2. dikeluarkan secara wajar;
3. menurut adat kebiasaan pedagang yang baik;
4. dapat berupa barang, uang, jasa, dan fasilitas; dan
5. diterima oleh pihak lain.
Biaya promosi bagi Industry Rokok.
a) Untuk industri rokok, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh :
1. produsen;
2. Distributor Utama; atau
3. importir tunggal.
b) Besarnya Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada point a) adalah sebagai berikut :
1. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha sampai dengan Rp
500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah), besarnya Biaya Promosi tidak melebihi
3% (tiga persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah);
2. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha di atas Rp 500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp 5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah),
besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling
banyak Rp 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
3. untuk industri rokok yang mempunyai peredaran usaha di atas Rp 5.000.000.000.000,00
(lima triliun rupiah), besarnya Biaya Promosi tidak melebihi 1% (satu persen) dari
peredaran usaha dan paling banyak Rp 100.000.0000.000,00 (seratus miliar rupiah).
c) Biaya Promosi tersebut hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh :
1. produsen;
2. Distributor Utama; atau
3. importir tunggal.
d) Dalam hal Biaya Promosi tersebut telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun
Distributor Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah produsen.
e) Dalam hal rokok tidak diproduksi di Indonesia, pihak yang berhak untuk membebankan
Biaya Promosi tersebut adalah importir tunggal.
Biaya promosi bagi Industry Farmasi
a) Untuk industri farmasi, Biaya Promosi hanya dapat dibiayakan oleh :
1. produsen;
2. Distributor Utama; atau
3. importir tunggal.
b) Besarnya Biaya Promosi yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah tidak
melebihi 2% (dua persen) dari peredaran usaha dan paling banyak Rp 25.000.000.000,00 (dua
puluh lima miliar rupiah).
c) Biaya Promosi tersebut hanya dapat dibiayakan sebanyak 1 (satu) kali oleh :
1. produsen;
2. Distributor Utama; atau
3. importir tunggal.
d) Dalam hal Biaya Promosi tersebut telah dikeluarkan baik oleh produsen maupun
Distributor Utama, pihak yang berhak untuk membebankan Biaya Promosi adalah produsen.
e) Dalam hal produk farmasi tidak diproduksi di Indonesia, pihak yang berhak untuk
membebankan Biaya Promosi adalah importir tunggal.
Sample Produk dan daftar nominative
1. Dalam hal promosi diberikan dalam bentuk sample produk, besarnya biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar harga pokok.
2. Industri rokok dan industri farmasi wajib membuat daftar nominatif atas pengeluaran
Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan yang dikeluarkan kepada pihak lain.
3. Daftar nominatif tersebut paling sedikit harus memuat data penerima berupa nama,
alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan besarnya biaya yang dikeluarkan.
4. Apabila daftar nominatif tidak dipenuhi maka Biaya Promosi dan/atau Biaya Penjualan
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Meskipun sedikit terlambat, dengan telah diterbitkannya PMK ini, wajib pajak yang bergerak di
bidang industry rokok dan industry farmasi sudah bisa memperkirakan apakah biaya promosi
yang telah dan akan dikeluarkan selama tahun 2009 ini seluruhnya akan menjadi deductable
expenses atau hanya sebagian saja.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan dan pelaporan biaya promosi dan/atau
penjualan akan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Semoga PER-DJP dimaksud
segera terbit dan dapat lebih menjelaskan hal-hal yang masih menjadi pertanyaan bagi Wajib
Pajak.
top related